AKTIVITAS ANTIBAKTERI RANTING PATAH TULANG

advertisement
AKTIVITAS ANTIBAKTERI
RANTING PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli. Linn)
ULIL ABSOR
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
ABSTRAK
ULIL ABSOR. Aktivitas Antibakteri Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli.
Linn). Dibimbing oleh NORMAN RAZIEF AZWAR dan MARIA BINTANG.
Patah tulang merupakan tanaman tropis yang berasal dari Afrika. Tanaman
ini secara tradisional digunakan obat luka bakar dan tumor kulit. Penelitian ini
dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri dan menentukan konsentrasi hambat
tumbuh minimum (KHTM) dari ranting patah tulang. Ranting patah tulang
diambil filtrat dari ranting segar, filtratnya kemudian dibagi tiga . Bagian pertama
langsung diuji aktivitas bakterinya, bagian kedua dipanaskan dan bagian ketiga
dikeringkan sampai menjadi bubuk. Bubuk tersebut digunakan untuk menentukan
KHTM. Filtrat dan bubuk diuji aktivitas antibakterinya terhadap empat bakteri uji
yaitu bakteri Gram positif, Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus dan
bakteri Gram negatif, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa . Metode
yang digunakan adalah modifikasi metode difusi gel.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa filtrat ranting patah tulang tanpa
pemanasan memiliki aktivitas antibakteri yang lebih tinggi daripada filtrat ranting
patah tulang dengan pemanasan. Besarnya zona hambat filtrat ranting patah tulang
tanpa pemanasan dari bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli dan P. aerugino sa
masing-masing adalah 10.08, 9.64, 9.56 dan 9.28 mm, sedangkan dengan
pemanasan adalah 7.58, 7.36, 6.81 dan 7.65 mm. Besarnya KHTM yang
diperoleh dari bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa masingmasing adalah 10, 50, 15 dan 50 mg/mL. Aktivitas antibakteri bubuk ranting
patah tulang 500mg/mL pada bakteri S.. aureus dan P. Aeruginosa belum
memiliki aktivitas antibakteri yang sebanding dengan antibiotik ampisilin 100
µg/mL. Namun konsentrasi bubuk 500 mg/mL pada bakteri B. subtilis dan E. coli
menghasilkan zona hambat yang sebanding dengan zona hambat ampisilin 100
µg/mL.
ABSTRACT
ULIL ABSOR. Antibacterial Activity of The Stem of The Aveloz (Euphorb ia
tirucalli. Linn). Under the direction of NORMAN RAZIEF AZWAR and MARIA
BINTANG.
The aveloz is a tropical plant from Africa. This plant has been traditionally
used to “burn off” warts and skin tumors. This research was carried out to
determine the antibacterial activity and determine it’s minimum inhibition
concentration (MIC) on some bacteria . In this research the filtrate of aveloz’s stem
was collected and separated into three parts. The first one was directly tested, the
second one was heated by autoclave and the third one was powdered. Filtrate in
the form of powder was used to measure MIC. The filtrate and powder were
tested against four experimental bacteria using well method. There were two types
of bacteria used ini this research, Gram postive bacteria such as Bacillus subtilis
and Staphylococcus aureus, and Gram negative bacteria such as Escherichia coli
and Pseudomonas aeruginosa. This research was used modification methode from
gel difution.
The result showed that antibacterial activity of unautoclaved aveloz’s stem
filtrate higher than autoclaved one. Inhibition zone aveloz’s stem unautoclave of
B. subtilis , S. aureus, E. coli and P. aeruginosa respectively are as follows 10.08,
9.64, 9.56 and 9.28 mm, while autoclave one are as follows 7.58, 7.36, 6.81 and
7.65 mm. The antibacte rial activity of 500 mg/mL powdered aveloz’s stem
towards S. aureus and P. aeruginosa were weaker than amphycillin 100 µg/mL.
But the 500 mg/mL powdered form has antibacterial activity on Bacillus subtilis
and Escherichia coli were comparable to the effect of amphycillin.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI
RANTING PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli. Linn)
ULIL ABSOR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
Judul Skripsi : Aktivitas Antibakteri Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli.
Linn)
Nama
: Ulil Absor
NIM
: G08499002
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. H. Norman Razief Azwar, M.S.
Ketua
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, M.S.
Anggota
Diketahui
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S.
NIP 131 473 999
Tanggal lulus:
PRAKATA
Bismillahirrohmannirrohim. Alhamdulillahirobbil’alamin segala Puji dan
Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan
ni’mat Iman dan Islam serta kekuatan, dan atas rahmat karunia serta hidayah-Nya,
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah disusun berdasarkan
penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 hingga Juni 2006 di
Laboratorium Biokimia Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, IPB Bogor. Tema yang dipilih adalah Aktivitas Antibakteri
Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli. Linn).
Penulis berterima kasih kepada bapak Prof. Dr. drh. H. Norman Razief
Azwar, MS dan ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS selaku dosen pembimbing
atas bimbingan dan arahannya selama pelaksanaan penelitian maupun dalam
penyusunan karya ilmiah, staf Laboratorium Biokimia, pak Katma, pak Nana, ibu
Iis, dan ibu Merry atas fasilitas dan kemudahan yang diberikan, Fri, Never, Dini,
Anton, Leni, dan yang lainnya atas persahabatan dan bantuannya selama
penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis ucapkan yang sedalam-dalamnya
untuk ayahanda H. M. Niin HY dan ibunda Rumyanih. Ucapan terima kasih untuk
seseorang yang selalu dalam ingatan dan hati serta yang selalu memberikan kasih
sayang, semangat dan do’a, Nuriel, serta adikku Dori di rumah atas do’a dan
dorongannya; Tini atas bantuan dan informasinya.
Semoga karya ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.
Amin.
Bogor, September 2006
Ulil Absor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Agustus 1981 sebagai anak
pertama dari empat bersa udara, anak dari pasangan H. M. Niin HY dan
Rumyanih.
Tahun 1999 penulis menyelesaikan sekolah di MAN 4 Jakarta dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB sebagai mahasiswa Program Studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif dalam Ikatan
Mahasiswa Kimia (IMASIKA) Departemen Kimia FMIPA IPB sebagai Ketua
Biro Olah Raga dan Seni (2000/2001) dan BEM FMIPA IPB sebagai Ketua
Departemen Olah Raga dan Seni (2001/2002). Penulis melakukan Praktik Kerja
Lapang di Laboratorium Analisis Produksi PT. Indofarma tbk. dari bulan Juni
hingga Agustus 2002.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... iii
PENDAHULUAN...............................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA
Patah Tulang (Euphorbia tirucalli. Linn) ............................................
Antibakteri............................................................................................
Morfologi Bakteri.................................................................................
Bakteri Uji ............................................................................................
1
2
3
3
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .....................................................................................
Metode Penelitian.................................................................................
4
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kadar Air dan Fitokimia ........................................................
Aktivitas Antibakteri Filtrat Ranting Patah Tulang .............................
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum (KHTM) ............
6
6
8
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan...............................................................................................
Saran.....................................................................................................
9
9
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
9
LAMPIRAN........................................................................................................ 11
DAFTAR TABEL
1
Halaman
Hasil analisis fitokimia ranting patah tulang................................................. 6
2
Aktivitas antibakteri menurut David Stout ....................................................
7
3
Aktivitas antibakteri filtrat ranting patah tulang tanpa pemanasan...............
7
4
Aktivitas antibakteri filtrat ranting patah tulang dengan pemanasan ............
8
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Ranting Patah Tulang ....................................................................................
2
2
Struktur kimia senyawa yang terkandung dalam patah tulang......................
2
3
Aktivitas antibakteri filtrat ranting patah tulang dengan atau tanpa
pemanasan terhadap bakteri uji .................................................................... 7
4
Aktivitas antibakteri dengan berbagai konsentrasi bubuk ranting patah
tulang.............................................................................................................
8
5
Aktivitas antibakteri ampisilin 100 µg/mL terhadap bakteri uji ...................
9
6
Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang 500 mg/mL dan
Ampisilin 100 µg/mL .................................................................................... 9
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Tahap penelitian ............................................................................................ 11
2
Analisis kadar air ranting patah tulang.......................................................... 12
3
Foto hasil uji fitokimia .................................................................................. 12
4
Aktivitas antibakteri filtrat ranting patah tulang dengan atau tanpa
pemanasan terhadap bakteri uji ..................................................................... 12
5
Foto zona hambat filtrat ranting patah tulang terhadap bakteri uji ............... 13
6
Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap B. subtilis .......... 13
7
Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap S. aureus ........... 13
8
Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap E. coli ................ 14
9
Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap P. aeruginosa .... 14
10 Foto zona hambat minimum bubuk ranting patah tulang terhadap bakteri
uji................................................................................................................... 14
11 Aktivitas antibakteri ampisilin terhadap bakteri uji ...................................... 15
12 Foto zona hambat ampisilin (100 µg/mL) terhadap bakteri uji ..................... 15
PENDAHULUAN
Masalah penanggulangan dan pengobatan
penyakit tidak akan pernah berhenti dan terus
berkembang seirama dengan kemajuan
peradaban manusia. Adapun salah satu
penyebab penyakit adalah bakteri. Bakteri
tertentu
diketahui
merupakan
mikrob
penyebab penyakit (patogen) bagi manusia
maupun makhluk hidup lainnya. Banyak
usaha yang telah dilakukan untuk melawan
bakteri-bakteri patogen, antara lain dengan
upaya penemuan senyawa yang mampu
membunuh bakteri tersebut. Zat-zat seperti ini
kemudian dikenal dengan istilah zat
antibakteri.
Salah satu zat antibakteri yang banyak
dipergunakan akhir-akhir ini adalah antibiotik.
Antibiotik ini ada yang langsung digunakan
dari hasil metabolit sekunder mikroorganisme
dan ada yang digunakan dalam bentuk
turunannya yang telah mengalami proses
pengolahan. Hal ini dilakukan tentu saja
dengan tujuan meningkatkan aktivitas kerja
dan efektivitas antibiotik. Penggunaan
antibiotik sebagai zat antibakteri juga
mempunyai efek negatif seperti timbulnya
resistensi bakteri terhadap aktivitas kerja obat.
Untuk menghindari efek ini dicoba mencari
senyawa antibakteri dari alam yang dapat
digunakan untuk mengurangi pengaruh
negatif antibiotik.
Salah satu tanaman yang mempunyai
potensi sebagai zat antibakteri adalah ranting
pohon patah tulang (Euphorbia tirucalli.
Linn). Pohon patah tulang termasuk dalam
famili Euphorbiaceae, yang merupakan jenis
tanaman kebun dan tersebar luas di daerah
tropis, termasuk di Indonesia (Dalimartha
2003). Pohon patah tulang ini telah digunakan
sebagai obat antikanker (Taylor 2002), dan
untuk pengobatan peradangan (Dalimartha
2003).
Mengingat besarnya potensi tumbuhan ini
dan khasiat yang dikandungnya sebagai obat
infeksi maka besar kemungkinan kalau ranting
pohon patah tulang ini berpotensi sebagai
antibakteri.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendapatkan informasi tentang aktivitas
antibakteri dan menentukan konsentrasi
hambat tumbuh minimum (KHTM) ranting
pohon patah tulang.
Ranting pohon patah tulang diduga
mengandung senyawa aktif yang memiliki
aktivitas antibakteri.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai
aktivitas antibakteri ranting pohon patah
tulang. Di samping itu hasil penelitian ini
dapat
memberikan
informasi
kepada
masyarakat bahwa tanaman ini memiliki efek
antibakteri, sehingga dapat meningkatkan nilai
guna tanaman tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Patah Tulang (Euphorbia tirucalli.Linn)
Tanaman patah tulang (Euphorbia
tirucalli. Linn) adalah tanaman yang berasal
dari Afrika tropis yang menyukai tempat
terbuka yang terkena cahaya matahari
langsung. Di Indonesia ditanam sebagai
tanaman pagar, tanaman hias di pot, atau
tumbuh liar. Tanaman ini dapat ditemukan
dari dataran rendah sampai 600 m dpl.
Gambar tanaman patah tulang dapat dilihat
pada Gambar 1.
Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai
tinggi 2-6 meter dengan pangkal berkayu,
bercabang banyak, dan bergetah seperti susu
beracun. Patah tulang mempunyai ranting
yang bulat silindris berbentuk pensil, beralur
halus membujur, dan berwarna hijau.
Rantingnya setelah tumbuh sekitar satu
jengkal akan segera bercabang dua yang
letaknya melintang, demikian seterusnya
sehingga tampak seperti percabangan yang
terpatah-patah. Daunnya jarang, terdapat pada
ujung ranting yang masih muda, kecil-kecil,
bentuknya lanset, panjang 7-25 mm, dan cepat
rontok. Bunga majemuk, tersusun seperti
mangkuk, warnanya kuning kehijauan, keluar
dari ujung ranting. Jika masak, buahnya akan
pecah dan melemparkan biji-bijinya.
Patah tulang diklasifikasikan ke dalam
divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledonae,
ordo Euphorbiales, famili Euphorbiaceae,
genus Euphorbia, spesies Euphorbia tirucalli.
Linn. Jika dibakar, ranting patah tulang yang
telah kering dapat mengusir nyamuk.
getahnya dipakai untuk meracuni ikan
sehingga mudah ditangkap. Namun, jika getah
patah
tulang
mengenai
mata,
bisa
menyebabkan buta. Di Jawa, tanaman ini
jarang berbunga. Perbanyakan dilakukan
dengan stek batang.
Patah tulang ini memiliki bau yang lemah,
rasa mula-mula tawar, lama kelamaan timbul
rasa tebal di lidah. getah beracun (toksik),
perangsang muntah.
Getah sifatnya asam, mengandung
senyawa
euphorbin,
taraksasterol,
αlaktucerol, euphol, senyawa damar yang
menyebabkan rasa tajam ataupun kerusakan
pada selaput lendir, kautschuk (zat karet), dan
zat pahit. Ranting patah tulang mengandung
glikosida, sapogenin, dan asam elagat.
Glikosida merupakan senyawa yang
terbentuk dari kondensasi antara gugus
hidroksil pada karbon anomerik monosakarida
atau residu monosakarida dengan senyawa
kedua yang dapat bukan monosakarida lain
(aglikon). Senyawa glikosida ditemukan
dalam sejumlah besar obat serta rempah dan
dalam unsur-unsur pembentuk jaringan
binatang. Senyawa aglikon dapat berupa
metanol, gliserol, sterol, fenol, atau basa
seperti adenin.
Sapogenin merupakan bagian aglikon dari
saponin yang
diperoleh dengan cara
hidrolisis. Sapogenin terdiri struktur terpen
atau steroid. Sapogenin ditemukan dalam
tanaman dan salah satunya adalah ginseng.
Asam elagat adalah senyawa fenol alam
yang ditemukan dalam bentuk elagitanin pada
tanaman. Asam elagat berpotensi sebagai
antikanker dan antioksidan.Struktur senyawasenyawa yang terkandung dalam ranting patah
tulang dapat dilihat pada Gambar 2.
Bagian tanaman yang digunakan sebagai
obat adalah akar, batang kayu, ranting, dan
getahnya.
Akar dan ranting dapat digunakan untuk
nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik,
tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, dan
sifilis. Batang kayu digunakan untuk sakit
kulit, kusta, dan kaki dan tangan mati rasa
(Dalimartha 2003).
Gambar 1 Ranting Patah Tulang.
Asam elagat
Glikosida
Sapogenin
Gambar 2 Struktur kimia senyawa yang
terkandung dalam ranting patah
tulang.
Antibakteri
Senyawa antimikroba adalah zat yang
dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan
dapat
digunakan
untuk
kepentingan
pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan
tumbuhan. Antimikroba meliputi antibakteri,
antiprotozoa, antifungal, dan antivirus.
Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba
yang
digunakan
untuk
menghambat
pertumbuhan bakteri (Schunack et al. 1990).
Berdasarkan cara kerjanya antibakteri
dibedakan
menjadi
bakteriostatik
dan
bakteriosida.
Antibakteri
bakteriostatik
bekerja
dengan
cara
menghambat
perbanyakan populasi bakteri namun tidak
mematikan, sedangkan bakteriosida bekerja
dengan cara membunuh bakteri. Bakteriostatik
dapat bertindak sebagai bakteriosida dalam
konsentrasi tinggi (Schunack et al. 1990).
Kadar minimal yang dibutuhkan untuk
menghambat bakteri atau membunuhnya,
masing-masing dikenal sebagai Kadar Hambat
Tumbuh Minimal (KHTM) atau Kadar Bunuh
Minimal (KBM). Sifat antibakteri dapat
berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang
berspektrum luas (broad spectrum) bila
menghambat atau membunuh bakteri Gram
positif dan Gram negatif, spektrum sempit
(narrow spectrum) bila menghambat atau
membunuh bakteri Gram positif atau Gram
negatif saja, dan berspektrum terbatas (limited
spectrum ) bila efektif terhadap organisme
tunggal atau penyakit tertentu (Todar 2000;
Dwijoseputro 1990).
Mekanisme kerja antibakteri secara umum
menghambat sintesis dinding sel bakteri,
menghambat keutuhan permeabilitas dinding
sel bakteri, menghambat sintesis protein sel
bakteri, menghambat sintesis asam nukleat.
Penghambatan Sintesis Dinding Sel Bakteri
Langkah pertama kerja obat berupa
pengikatan obat pada reseptor sel (beberapa di
antaranya
adalah
enzim
transpeptida).
Kemudian
dilanjutkan
dengan
reaksi
transpeptidase dan sintesis peptidoglikan
terhambat. Mekanisme diakhiri dengan
pembuangan atau penghentian aktivitas
penghambat enzim autolisis pada dinding sel.
Pada lingkungan yang isotonik lisis terjadi
pada lingkungan yang jelas hipertonik, mikrob
berubah menjadi protoplas atau sferoflas yang
hanya tertutup oleh selaput sel yang rapuh
(Jawetz 1996). Sebagai contoh antibakteri
dengan mekanisme kerja di atas adalah
penicillin,
sefalosporin,
vankomisin,
basitrasin, sikloserin, dan ampisilin.
Penghambatan Keutuhan Permeabilitas
Dinding Sel Bakteri
Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh
selaput sitoplasma yang bekerja sebagai
penghalang dengan permeabilitas selektif,
melakukan fungsi pengangkutan aktif,
sehingga dapat mengendalikan susunan sel.
Bila integritas fungsi selaput sitoplasma
terganggu misalnya oleh zat bersifat surfaktan
sehingga permeabilitas dinding sel berubah
atau bahkan menjadi rusak, maka komponen
penting seperti protein, asam nukleat,
nukleotida, dan lain-lain keluar dari sel dan
sel berangsur-angsur mati (Jawetz 1996).
Amfoterisin B, kolistin, polimiksin, imidazol,
dan polien menunjukkan mekanisme kerja
tersebut.
Penghambatan Sintesis Protein Sel Bakteri
Umumnya senyawa penghambat ini akan
menyebabkan Staphylococcus aureus salah
membaca kode pada mRNA oleh tRNA
(hambatan translasi dan transkripsi bahan
genetik), (Jawetz 1996). Kloramfenikol,
eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, dan
aminoglikosida juga bersifat menghambat
sintesis protein sel bakteri.
Penghambatan Sintesis Asam Nukleat
Senyawa antibakteri yang bekerja dengan
mekanisme ini diharapkan mempunyai
selektifitas yang tinggi, sehingga hanya
sintesis asam nukleat bakteri saja yang
dihambat. Umumnya senyawa penghambat
akan berikatan dengan enzim atau salah satu
komponen yang berperan dalam tahapan
sintesis, sehingga akhirnya reaksi akan
terhenti karena tidak ada substrat yang
direaksikan dan asam nukleat tidak dapat
terbentuk (Jawetz 1996).
Morfologi Bakteri
Bakteri adalah protista yang bersifat
prokariot yang khas, bersel tunggal
(uniseluler) dan tidak mengandung struktur
yang terbatasi membran di dalam sitoplasma.
Sel-selnya secara khas berbentuk bola, batang
atau spiral. Diameternya sekitar 0,5-1,0 µm
dan panjangnya 1,5-2,6 µm. Spesies bakteri
tertentu menunjukkan adanya pola penataan
sel, seperti tunggal, berpasangan, gerombol,
rantai, atau filamen (Pelczar dan Chan 1986).
Berdasarkan komposisi dinding selnya,
bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Untuk membedakan
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif
digunakan pewarnaan Gram. Gram positif
akan memberikan warna ungu dan warna
merah untuk bakteri Gram negatif (Pelczar
dan Chan 1986).
Peptidoglikan merupakan suatu polimer
yang terdiri atas tiga macam bahan
pembangun, yaitu asam N-asetil-glukosamin
(AGA), asam N-asetilmuramat (AAM), dan
suatu peptida yang terdiri atas 4-5 asam
amino, yaitu L-alanin, D-alanin, asam Dglutamat dan lisin atau diaminopimelat.
Peptidoglikan ini memberikan bentuk dan
menyebabkan kakunya dinding sel. Susunan
kimiawi dan struktur peptidoglikan khas untuk
masing-masing bakteri. AGA dan AAM
merupakan komponen tetap, akan tetapi
terdapat keragaman pada asam amino yang
ada
dan
sifat
ikatannya.
Perbedaan
penyusunan
dinding
sel
ini
yang
menyebabkan perbedaan respon terhadap
pewarnaan Gram (Pelczar dan Chan 1986).
Tubuh sel bakteri Gram positif dibatasi
oleh suatu jaringan murein berlapis banyak.
Bakteri Gram negatif mempunyai jaringan
murein tunggal yang ditimbuni oleh
lipoprotein, polisakarida dan fosfolipid
(Schunack et al. 1990).
Bakteri Uji
Pada penelitian ini dilakukan pengujian
dengan menggunakan bakteri uji standar,
yaitu Staphylococcus aureus , Escherichia
coli, Pseudomonas aeruginosa , dan Baci llus
subtilis.
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah kelompok
bakteri
dengan
sel
berbentuk
bola
berpasangan atau tersusun dalam kelompokkelompok yang tidak teratur. Bakteri ini
termasuk Gram positif. Koloninya memiliki
pigmen yang relatif bervariasi mulai dari putih
sampai kuning emas. Bersifat fakultatif
anaerob. Mudah tumbuh dalam kebanyakan
pembenihan bakteriologik dalam keadaan
aerobik atau mikroaerobik, tumbuh optimum
pada suhu 30-37 oC. Pada pH optimum 7.0-7.5
dan tumbuh baik dalam larutan NaCl 15%.
Diisolasi dari luka bernanah, terutama dalam
selaput hidung, folikel rambut, kulit, dan
perineum. Komponen utama dinding sel
terdiri atas peptidoglikan, asam terikoat, dan
protein (Jawetz 1996).
Bacillus subtilis
Bakteri ini merupakan bakteri Gram
positif yang berbentuk batang besar,
membentuk rantai, berspora, dan bersifat
aerob. Bakteri ini menggunakan sumber N dan
C untuk energi pertumbuhan. Spora resisten
terhadap perubahan lingkungan. Tahan
terhadap panas, kering, dan desinfektan kimia
tertentu selama waktu yang cukup lama dan
tetap ada selama bertahun-tahun dalam tanah
yang kering. Bacillus subtilis menyebabkan
penyakit pada manusia dengan fungsi imun
terganggu,
misalnya
meningitis
dan
gastroenteritis akut (Jawetz. 1996).
Escherichia coli
Escherichia
coli
pada
umumnya
merupakan mikroba yang secara normal
terdapat dalam saluran pencernaan hewan dan
manusia. Bakteri ini berbentuk batang atau
koma, bersifat fakultatif anaerob dan
tergolong sebagai bakteri Gram negatif. E.
coli termasuk famili Enterobacteriaceae,
berukuran panjang 2.0-6.0 mm dan lebar 1.11.5 mm serta tunggal atau berpasangan. Nilai
pH optimum untuk pertumbuhannya adalah
7.0-7.5 serta kisaran suhu pertumbuhannya
10-40oC dengan suhu optimum 37oC. E. coli
sangat tidak sensitif ter hadap panas (Fardiaz
1983).
Pseudomonas aeruginosa
Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada
pembenihan buatan, membentuk koloni bulat
halus dengan fluorosensi kehijauan dengan
bau aromatik enak. Bakteri ini termasuk
kelompok Gram negatif. Bakteri ini hanya
bersifat patogen dalam tubuh bila masuk ke
daerah yang pertahanan normalnya tidak ada
atau berperan dalam infeksi campuran (Jawetz
1996).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang dipakai dalam penelitian
antara lain ranting patah tulang, bakteri Gram
posit if (Staphylococcus aureus dan Bacillus
subtilis), bakteri Gram negatif (Escherichia
coli dan Pseudomonas aeruginosa), yeast
extract, bacto peptone, bacto agar, nutrient
broth, nutrien agar , glukosa, pereaksipereaksi uji fitokimia dan air destilata.
Alat -alat yang digunakan adalah laminar
air flow , spektrofotometer, inkubator, oven,
otoklaf, lemari es, pH meter, cawan petri,
jarum ose, autopipet, neraca analitik,
alumunium foil, kapas, kertas saring dan
peralatan gelas lainnya.
Metode Penelitian
Pembuatan Filtrat dan Bubuk Ranting
Patah Tulang
Ranting patah tulang dicuci bersih,
kemudian
dikeringkan
beberapa
saat
selanjutnya dipotong-potong dan dihaluskan
dengan mortar kemudian dilakukan uji
pendahuluan.
Filtrat
yang
dihasilkan
kemudian dibagi tiga, pertama langsung diuji
sifat antibakterinya, yang kedua dipanaskan
dan yang ketiga dikeringkan (bubuk). Bubuk
patah tulang utuh dibuat dengan cara,
sebanyak 50 mL filtrat ranting patah tulang
dikeringkan dengan oven suhu ± 50oC sampai
bobotnya konstan. Pemanasan pada suhu ±
50 oC agar senyawa yang diduga memiliki
aktivitas antibakteri tidak mudah rusak. Filtrat
yang sudah kering tersebut kemudian digerus
dengan mortar. Bubuk ini digunakan untuk uji
fitokimia
dan
menentukan
KHTM
(Konsentrasi Hambat Tumbuh Minimum).
Uji Fitokimia (Harbone 1987)
Uji Alkaloid. Dua gram bubuk ranting
patah tulang digerus dan ditambahkan 10 mL
kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi
kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan
10 tetes H2 SO4 2M. Fraksi asam dibagi
menjadi tiga tabung kemudian masing-masing
ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer dan
Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan
terbentuknya endapan putih pada pereaksi
Meyer, endapan merah pada pereaksi
Dragendorf, dan endapan coklat pada pereaksi
Wagner.
Uji Saponin. Satu gram bubuk ranting
patah tulang ditambahkan air secukupnya dan
dipanaskan selama lima menit. Larutan
tersebut didinginkan kemudian selama
dikocok timbulnya busa selama ± 10 menit
menunjukkan adanya saponin.
Uji Flavonoid. Satu gram bubuk ranting
patah tulang ditambahkan methanol sampai
terendam
lalu
dipanaskan.
Filtratnya
ditambahkan H2 SO4 , terbentuknya warna
merah
karena
penambahan
H2 SO 4
menunjukkan adanya senyawa flavonoid.
Uji Triterpenoid dan Steroid. Dua gram
bubuk ranting patah tulang ditambahkan 25
mL etanol lalu dipanaskan dan disaring.
Filtratnya diuapkan kemudian ditambahkan
eter. Lapisan eter ditambahkan pereaksi
Liebermen Burchard (3 tetes asam asetat
anhidrida dan 1 tetes H2SO 4 pekat). Warna
merah atau ungu menunjukkan adanya
triterpenoid dan warna hijau menunjukkan
adanya steroid.
Uji Tanin. Sepuluh gram bubuk ranting
patah tulang ditambahkan air kemudian
dididihkan selama beberapa menit. Lalu
disaring dan filtratnya ditambahkan FeCl3 1%
(b/v). Warna biru atau hitam kehijauan
menunjukkan adanya tan in.
Pembuatan Media
Pembuatan Media Cair Nutrien Broth
(NB). Tiga gram beef extract, 5 gram bacto
peptone, 5 gram NaCl dilarutkan dalam 1 liter
akuades dan dipanaskan sambil dikocok
menggunakan magnetic stirrer
sampai
homogen. Kemudian larutan dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer sebanyak 10 mL dan
ditutup dengan kapas dan alumunium foil lalu
dipemanasan pada tekanan 1.5 atm, 121oC
selama 15 menit.
Pembuatan Media Pepton Yeast
Agar (PYG). Sebanyak 10 gram peptone, 10
gram yeast extract, 20 gram glukosa dan 20
gram agar dilarutkan dalam 1 liter akuades,
dipanaskan dan diaduk hingga larut.
Kemudian larutan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 15 mL untuk
pembuatan agar cawan Petri dan 5 mL untuk
pembuatan agar miring. Media agar
disterilkan dengan pemanasan pada tekanan
1.5 atm, 121oC selama 15 menit.
Regenerasi Bakteri
Sebelum dipakai dalam uji antibakteri,
bakteri yang akan dipakai setiap kali harus
diregenerasi terlebih dahulu. Yang pertama
dilakukan adalah membuat biakan agar
miring, yaitu menggores kan biakan dari stok
bakteri ke agar miring yang masih baru.
Kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama
24 jam. Jadi biakan tersebut merupakan
aktivitas awal dari stok bakteri yang telah
disimpan pada suhu 4-5oC .
Dari biakan tersebut diambil satu mata ose
dan diinokulasikan ke tabung reaksi yang
berisi 10 mL media cair steril. Selanjutnya
tabung tersebut diinkubasi di dalam inkubator
bergoyang (shaker) selama 24 jam pada suhu
37 oC.
Pengujian Aktivitas Antibakteri (Bintang
1993)
Uji aktivitas antibakteri menggunakan
metode Bintang (1993). Sampel yang
digunakan untuk metode Bintang adalah filtrat
ranting patah tulang. Pada penentuan KHTM
menggunakan sampel bubuk.
Biakan bakteri uji ditanam satu ose pada
10 mL media cair kemudian diinkubasi dalam
inkubator bergoyang (shaker ) pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Sebanyak 100 µL biakan
bakteri dicampurkan ke dalam 25 mL media
agar PYG pada suhu 45 oC, lalu didiamkan
pada suhu kamar sampai media agar memadat.
Kemudian pada agar tersebut dibuat lubang
dengan diameter ± 5,5 mm menggunakan
pipet tetes yang telah diasah ujungnya dan ke
dalam masing-masing
lubang
tersebut
dimasukkan filtrat ranting patah tulang yang
dipanaskan dan tidak dipanaskan sebanyak 50
µL, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk di
sekeliling
lubang
diukur
dengan
menggunakan jangka sorong.
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum (KHTM)
Setelah diketahui filtrat ranting patah
tulang mempunyai aktivitas antibakteri maka
dilanjutkan dengan penentuan konsentrasi
hambat tumbuh minimal. KHTM adalah
konsentrasi terendah komponen antibakteri
yang
menyebabkan
tidak
terjadinya
pertumbuhan bakteri di sekitar lubang pada
masa inkubasi 24 jam. Metode analisis yang
digunakan pada penentuan ini adalah metode
Bintang. Sampel ranting patah tulang yang
digunakan adalah sampel dalam bentuk
bubuk. Sampel ini kemudian digerus dengan
menggunakan mortar. Dari gerusan tersebut
ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian
dilarutkan dalam 1 ml akuades steril.
Campuran yang dihasilkan selanjutnya
diencerkan sehingga diperoleh konsentrasi
yang bervariasi yaitu 500, 100, 50, 25, 20, 15
dan 10 mg/mL. Sampel dengan konsentrasi ini
kemudian akan diuji pada lubang media PYG
yang telah diinkubasi dengan bakteri uji.
Masing-masing sampel dengan konsentrasi di
atas dimasukkan ke dalam lubang sebanyak
50 µL. Kemudian diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37oC. Aktivitas antibakteri yang
diperoleh dengan mengukur zona hambat,
yaitu zona atau daerah bening yang
menunjukkan bakteri tidak tumbuh di sekitar
filtrat tersebut dengan menggunakan jangka
sorong.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Kadar Air dan Fitokimia
Pemeriksaan pendahuluan ranting patah
tulang berupa kadar air dan analisis fitokimia.
Penentuan kadar air berguna untuk
menyatakan kandungan zat dalam tumbu han
sebagai % bahan kering, dan juga untuk
mengetahui ketahanan suatu bahan dalam
penyimpanan (Harjadi 1993). Kadar air yang
baik adalah kurang dari 10%, karena pada
kadar ini bahan dapat disimpan dalam jangka
waktu
yang
cukup
lama
sehingga
kemungkinan rusak terkena jamur pada saat
penyimpanan sangat kecil. Kadar air yang
diperoleh pada ranting patah tulang sebesar
92,48%. Tingginya nilai kadar air ranting
patah tulang dikarenakan adanya proses
fotosintesis pada tanaman tersebut.
Analisis fitokimia merupakan salah satu
cara untuk mengetahui kandungan metabolit
sekunder pada suatu tanaman secara kualitatif.
Analisis fitokimia dilakukan terhadap ranting
patah tulang yang sudah kering dan dalam
bentuk serbuk. Senyawa-senyawa yang
diperiksa keberadaannya adalah alkaloid,
saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid dan
tanin. Hasil analisis fitokimia dapat dilihat
pada Tabel 1.
Hasil analisis fitokimia menunjukkan
bahwa ranting patah tulang mengandung
alkaloid, saponin dan tanin. Alkaloid
merupakan senyawa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam
gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloid beracun bagi manusia dan banyak
mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol
sehingga dapat digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan (Harbone 1987).
Saponin adalah glikosida triterpena dan
sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90
suku tumbuhan (Tschesche dan Wulf 1973).
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan
dan bersifat seperti sabun, serta dapat
dideteksi
berdasarkan
kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisis sel
darah. Saponin merupakan sumber untuk
mendapatkan sapogenin (Harbone 1987).
Herba patah tulang mengandung glikosida,
sapogenin, dan asam elagat (Dalimartha
2003). Saponin diduga sebagai senyawa
antibakteri
karena
kemampuannya
menghambat fungsi membran sel sehingga
merusak permeabelitas membran yang
mengakibatkan dinding sel rusak atau hancur.
Secara kimia terdapat dua jenis utama
tanin yang tersebar tidak merata dalam dunia
tumbuhan. Tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis. Tanin terkondensasi terdapat
dalam tumbuhan paku dan gimnospermae,
serta tersebar luas dalam angiospermae.
Sebaliknya, tanin terhidrolisis penyebarannya
terbatas pada tumbuhan berkeping dua
(Harbone 1987). Tanin terhidrolisis salah
satunya adalah elagitanin. Bila dihidrolisis,
elagitanin ini menghasilkan asam elagat.
Ranting patah tulang mengandung senyawa
asam elagat (Duke 1983).
Tabel 1
Hasil analisis fitokimia ranting
patah tulang
Uji
Hasil
Alkaloid
+
Saponin
+
Flavonoid
Triterpenoid
Steroid
Tanin
+
+ : positif mengandung golongan senyawa tersebut
- : tidak mengandung golongan senyawa tersebut
Aktivitas Antibakteri Filtrat Ranting Patah
Tulang Dengan atau Tanpa Pemanasan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk
mengetahui potensi antibakteri dari filtrat
ranting patah tulang (Euphorbia tirucalli)
terhadap bakteri uji. Tingkat aktivitas
antibakteri dari filtrat ranting patah tulang
berbeda-beda untuk setiap bakteri uji yang
digunakan, hal tersebut dapat dilihat dari hasil
pengukuran zona hambat dari filtrat ranting
patah tulang terhadap bakteri B. subtilis, S.
aureus, E. coli dan P. aeruginosa ditunjukkan
pada lampiran 4
Gambar 3 menunjukkan bahwa ranting
patah tulang memiliki potensi sebagai
senyawa antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Dari hasil penelitian
diperoleh diameter zona hambat dari filtrat
ranting patah tulang terhadap bakteri B.
subtilis, S. aureus, E. coli dan P. aeruginosa
adalah berturut-turut 10.08, 9.64, 9.56 dan
9.28 mm.
Diameter zona hambat (mm)
12
10
8
6
4
2
0
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Bakteri
otoklaf
tanpa otoklaf
Gambar 3 Aktivitas antibakteri filtrat ranting
patah tulang dengan atau tanpa
pemanasan terhadap bakteri uji.
Sterilisasi merupakan proses mematikan
semua organisme yang terdapat pada suatu
bahan (Pelczar dan Chan 1986). Salah satu
proses sterilisasi adalah pemanasan dengan
tekanan 1.5 atm pada suhu 121oC selama 15
menit.
Pengaruh
pemanasan
menyebabkan
aktivitas antibakteri ranting patah tulang
cenderung menurun. Penurunan aktivitas
antibakteri dari ranting patah tulang yang
dipanaskan dapat dilihat pada diameter zona
hambat dari setiap bakteri yang digunakan.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa ranting patah
tulang yang dipanaskan mampu menghambat
pertumbuhan bakteri B. subtilis, S. aureus
masing-masing 7.58 dan 7.36 mm serta
pertumbuhan bakteri E. coli dan P.
aeruginosa masing-masing sebesar 6.81 dan
7.65 mm. Adanya penurunan aktivitas
antibakteri ranting patah tulang dapat terjadi
karena pemanasan pada suhu tinggi
menyebabkan komponen antibakteri yang
bersifat volatil pada ranting patah tulang
berkurang dan rusak karena penguapan.
Pembagian
aktivitas
ant ibakteri
mempergunakan
metode
David
Stout
didasarkan atas ukuran diameter zona hambat
(Suryawiria 1978). Aktivitas antibakteri
metode David Stout dapat dilihat pada Tabel
2.
Berdasarkan metode David Stout, aktivitas
antibakteri filtrat ranting patah tulang terhadap
bakteri B. subtilis, S. aureus , E. coli dan P.
aeruginosa dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Pada bakteri B. subtilis , filtrat ranting patah
tulang tanpa pemanasan menghasilkan zona
hambat antara 10-20 mm maka filtrat ranting
patah tulang tersebut termasuk ke dalam
antibakteri yang kuat, sedang filtrat ranting
patah tulang dengan pemanasan menghasilkan
zona hambat antara 5-10 mm sehingga filtrat
ranting patah tulang tersebut pada bakteri B.
subtilis bersifat antibakteri dengan kekuatan
sedang. Filtrat ranting patah tulang dengan
dan tanpa pemanasan hanya mampu
menghasilkan zona hambat antara 5-10 mm
maka filtrat ranting patah tulang terhadap S.
aureus termasuk ke dalam antibakteri yang
sedang. Antibakteri dengan kekuatan sedang
juga terjadi pada bakteri E.coli dan P.
aeruginosa, karena filtrat ranting patah tulang
dengan dan tanpa pemanasan menghasilkan
zona hambat antara 5-10 mm.
Ranting patah tulang secara umum
memiliki aktivitas penghambat paling baik
terhadap bakteri B. subtilis , S. aureus yang
tergolong bakteri Gram positif dengan
diameter
zona
hambat
lebih
besar
dibandingkan bakteri E. coli dan P.
aeruginosa yang tergolong bakteri Gram
negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
bakteri B. subtilis, S. aureus lebih sensitif
terhadap komponen aktif y ang bersifat
antibakteri yang terdapat pada filtrat ranting
patah tulang dibandingkan dengan bakteri E.
coli dan P. aeruginosa. Kemampuan ranting
patah tulang juga dipengaruhi oleh sifat
dinding sel yang dimiliki bakteri uji. Pelczar
dan Chan (1986) menyat akan bahwa struktur
dinding sel bakteri Gram positif relatif
sederhana sehingga memudahkan senyawa
antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan
menemukan sasaran untuk bekerja, sedangkan
dinding sel bakteri Gram negatif lebih
kompleks.
Tabel 2
Aktivitas
ant ibakteri
menurut
David Stout
Aktivitas
Diameter zona
Antibakteri
hambat(mm)
Lemah
<5
Sedang
5-10
Kuat
10-20
Sangat Kuat
> 20
Tabel 3
Aktivitas antibakteri filtrat ranting
patah tulang tanpa pemanasan
Bakteri Uji
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Diameter zona
hambat (mm)
10.08
9.64
9.56
9.28
Aktivitas
A ntibakteri
kuat
sedang
sedang
sedang
Aktivitas antibakteri filtrat ranting
patah tulang dengan pemanasan
Bakteri Uji
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Diameter zona
hambat (mm)
7.58
7.36
6.81
7.65
Aktivitas
Antibakteri
sedang
sedang
sedang
sedang
25
Diameter zona hambat (mm)
Tabel 4
20
15
10
5
0
B. subtilis
S. aureus
Penentuan Konsentrasi Hambat Tumbuh
Minimum (KHTM)
Konsentrasi hambat tumbuh minimum
(KHTM) yang dilakukan menggunakan
sampel bubuk filtrat ranting patah tulang yang
telah dikeringkan. Hal tersebut dilakukan agar
dapat mengetahui konsentrasi minimum
sampel yang dapat membunuh bakteri secara
pasti dari filtrat ranting patah tulang. Menurut
Wattimena et al (1991), suatu antibakteri
dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi
bila KHTM terjadi pada kadar antibiotik yang
rendah tetapi mempunyai daya hambat yang
besar.
Penetapan konsentrasi hambat tumbuh
minimum dapat dilakukan dengan menguji
sederetan konsentrasi antibiotik yang dibuat
dengan cara pengenceran (Wattimena et al.
1991). Konsentrasi bubuk ranting patah tulang
yang digunakan untuk penentuan KHTM
berkisar antara 10 -500 mg/mL, dengan
menggunakan metode Bintang karena metode
ini cukup sederhana dan mudah digunakan.
KHTM dari bubuk ranting patah tulang
terhadap bakteri uji yang digunakan dapat
dilihat pada lampiran 6, 7, 8 dan 9.
Gambar 4 menunjukkan bahwa masingmasing bakteri memiliki KHTM yang
berbeda. Konsentrasi 50 mg/mL merupakan
konsentrasi paling rendah yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus
dan P. aerug inosa dengan diameter zona
hambat masing-masing 4.00 dan 4.50 mm.
Sedangkan konsentrasi 15 mg/mL merupakan
konsentrasi paling rendah yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri E. coli
dengan menghasilkan diameter zona hambat
sebesar 3.00 mm. Bakteri B. subtilis dapat
dihambat pada konsentrasi paling rendah 10
mg/mL dengan diameter zona hambat sebesar
3.00 mm.
Dilihat dari keefektifan daya hambat dari
senyawa antibakteri bubuk ranting patah
tulang, B. subtilis paling efektif dihambat
dibandingkan dengan bakteri uji yang lain
pada konsentrasi 10 mg/mL.
E. coli
P. aeruginosa
Bakteri
500 mg/mL
100 mg/mL
50 mg/mL
20 mg/mL
15 mg/mL
10 mg/mL
25 mg/mL
Gambar 4 Aktivitas
antibakteri
dengan
berbagai konsentrasi bubuk ranting
patah tulang.
Variasi konsentrasi yang digunakan,
menghasilkan aktivitas antibakteri yang
berbeda-beda pada setiap bakteri. Aktivitas
antibakteri pada konsentrasi paling tinggi akan
menghasilkan diameter zona hambat paling
besar pula. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
4, konsentrasi 500 mg/mL merupakan
konsentrasi hambat paling besar yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri uji yang
digunakan. Namun diameter zona hambat
yang diperoleh pada setiap bakteri uji
berbeda-beda. Pada konsentrasi 500 mg/mL
diperoleh diameter zona hambat terhadap
bakteri B. subtilis, S. aureus, E. coli dan P.
aeruginosa adalah berturut -turut 19.50, 14.00,
18.50 dan 13.25 mm. Secara umum semakin
tinggi konsentrasi bubuk ranting patah tulang
maka semakin besar pula konsentrasi senyawa
antibakteri yang ada dalam bubuk ranting
patah tulang.
Pada penentuan KHTM digunakan
ampisilin dengan konsentrasi 100 µg/mL
sebagai antibiotik standar terhadap daya
hambat bubuk pada bakteri uji. Hasil
pengukuran zona hambat dari ampisilin dapat
dilihat pada lampiran 11.
Menurut Wattimena (1991), terhadap
bakteri Gram positif ampisilin mempunyai
spektrum antibakteri yang sama dengan
penisilin G dan lebih selektif terhadap bakteri
Gram negatif. Berdasarkan Gambar 5 terlihat
bahwa E. coli dan P. aeruginosa memiliki
zona hambat lebih besar dari B. subtilis dan S.
aureus, yaitu masing-masing sebesar 17.75
dan 16.00 mm terhadap E. coli dan P.
aeruginosa dan sebesar 16.13, 15.00 mm
terhadap B. subtilis, S. aureus. Ampisilin
digunakan sebagai kontrol positif dalam
penentuan aktivitas antibakteri ranting patah
tulang karena ampisilin merupakan turunan
dari penisilin yang mempunyai spektrum
antibakteri yang luas. Besarnya potensi bubuk
ranting patah tulang sebagai antibakteri dapat
diketahui dengan cara membandingkan zona
hambat dari masing-masing bakteri uji
terhadap ampisilin 100 µg/mL. Perbandingan
aktivitas antibakteri ranting p atah tulang
dengan ampisilin dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa zona
hambat yang dihasilkan oleh bubuk ranting
patah tulang pada semua konsentrasi (10-500
mg/mL) terhadap bakteri S. aureus dan P.
aeruginosa belum sebanding dengan ampisilin
100 µg/mL. Besarnya zona hambat paling
besar bubuk ranting patah tulang kedua
bakteri tersebut berturut-turut 0.93 dan 0.83
dari zona hambat ampisilin 100 µg/mL,
sedangkan zona hambat yang dihasilkan oleh
B. subtilis dan E. coli lebih besar 0.83 dan
0.96 dari zona hambat ampisilin 100 µg/mL.
Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi
yang menghasilkan zona hambat terbesar
dapat digunakan sebagai antibiotik untuk
pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri B. subtilis dan E. coli.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ranting patah tulang memiliki potensi
sebagai antibakteri. Aktivitas antibakteri filtrat
ranting patah tulang yang tidak dipanaskan
lebih tinggi dari filtrat yang dipanaskan.
KHTM
bakteri
Bacillus
subtilis,
Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan
Pseudomonas aeruginosa masing-masing
sebesar 10, 50, 15 dan 50 mg/mL. Daya
hambat paling besar yang dihasilkan oleh
semua bakteri yaitu pada konsentrasi 500
mg/mL. Semakin tinggi konsentrasi bubuk
ranting patah tulang maka semakin besar pula
konsentrasi senyawa antibakteri yang ada
dalam bubuk ranting patah tulang tersebut.
Aktivitas ant ibakteri bubuk ranting patah
tulang yang menghasilkan zona hambat paling
besar pada bakteri Staphylococcus. aureus dan
Pseudomonas aeruginosa, namun belum
memiliki aktivitas antibakteri yang sebanding
dengan antibiotik ampisilin 100 µg/mL.
Tetapi konsentrasi bubuk 500 mg/mL pada
bakteri Bacillus subtilis dan Escherichia coli
menghasilkan zona hambat yang sebanding
dengan zona hambat ampisilin 100 µg/mL.
Diameter zona hambat (mm)
20
Saran
15
10
5
0
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Bakteri
Gambar 5 Aktivitas antibakteri ampisilin 100
µg/mL terhadap bakteri uji.
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengetahui jumlah bakteri yang mampu
dibunuh atau dihambat oleh bubuk ranting
patah tulang secara pasti dan perlu dilakukan
pemurnian dan identifikasi lebih lanjut
terhadap senyawa kimia ranting patah tulang
yang berperan sebagai antibakteri. Selain itu,
perlu dilakukan uji fitokimia dengan
menggunakan bahan pembanding.
Diameter zona hambat (mm)
25
DAFTAR PUSTAKA
20
15
10
5
0
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Bakteri
Ampisilin
Ranting Patah Tulang
Gambar 6 Aktivitas antibakteri bubuk ranting
patah tulang 500 mg/mL dan
Ampisilin 100 µg/mL.
Bintang M. 1993. Studi antimikroba dari
Streptococcus lactis
BCC
2259
[disertasi]. Bandung: Program Doktor
Institut Teknologi Bandung.
Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Jilid II. Jakarta: Trubus
Agriwidya.
Duke JA. 1983. Handbook of energy crops.
http//www.hort.purdue.edu/newcrop/du
ke_energy/Euphorbia tirucalli.html
Dwijoseputro.1990.
Dasar-dasar
Mikrobiologi . Ed. ke -11. Jakarta:
Djambtan.
Fardiaz S. 1983. Bakteriologi Keamanan
Pangan. Jilid I. Bogor: Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan . Pusat
Antar Universitas. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan
Pangan Lanjut. Bogor: Pusat Ant ar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia.
Padmawinata K, Soediro I, penerjemah;
Niksolihin S, editor. Bandung: Penerbit
ITB. Terjemahan dari Phytochemical
Methode.
Haryadi W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar.
Jakarta: Gramedia
Jewetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 1996.
Mikrobiologi Kedokteran . Ed. ke-20.
Nugroho E, Maulany RF, penerjemah;
Jakarta: buku Kedokteran EGC.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar
Mikrobiologi I. Volume ke-1,2.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo
SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI
Press. Terjemahan dari: Elements of
Microbiology.
Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990.
Senyawa Obat. Ed. ke -2. Wattimenna
JR, Subito, penerjemah; Yogyakarta:
UGM Press.
Suryawiria U. 1978. Mikroba Lingkung an. Ed.
ke-2. Bandung : ITB.
Taylor L. 2005. The healing power of
rainforest
herbs.
http//www.raintree.com/aveloz.htm
Todar K. Bacteriology. http//www.text book
of bacteriology.net/protein toxins.html
Wattimena JR, Nelly CS, Mathilda BW. 1991.
Farmakodinamika
dan
Terapi
Antibiotik. Yogyakarta: UGM Press
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahap penelitian
Ranting Patah Tul ang
Filtrat Ranting Patah Tulang
Otoklaf
Tanpa Otoklaf
Aktivitas Antibakteri
Keringkan
KHTM
Bubuk
Uji Fitokimia
Lampiran 2 Analisis kadar air ranting patah tulang
Bobot
Bobot setelah
Bobot cawan Bobot sample
cawan awal
pengeringan
+ sample (g)
(g)
(g)
(g)
Ulangan 1
30.3428
33.5306
3.1878
0.2341
Ulangan 2
30.7246
33.8548
3.1302
0.2410
Rataan
30.5337
33.6927
3.1590
0.2376
Contoh perhitungan:
Kadar air
= bobot sampel – bobot setelah pengeringan x 100%
bobot sampel
= 3.1878 – 0.2341 x 100%
3.1878
= 92.66%
Sampel
Kadar air
(%)
92.66
92.30
92.48
Lampiran 3 Foto hasil uji fitokimia
Keterangan:
1
: Uji alkaloid
2
: Uji flavonoid
3
: Uji saponin
4
: Uji triterpenoid
5
: Uji tanin
Lampiran 4 Aktivitas antibakteri filtrat ranting patah tulang dengan atau tanpa
pemanasan terhadap bakteri uji
Perlakuan
B. subtilis
Diameter zona hambat (mm)
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Otoklaf
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan
7.25
7.92
7.58
7.29
7.42
7.36
7.04
6.58
6.81
7.42
7.88
7.65
Tanpa otoklaf
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan
10.38
9.79
10.08
9.33
9.96
9.64
10.08
9.04
9.56
7.88
10.67
9.28
Lampiran 5 Foto zona hambat filtrat ranting patah tulang terhadap bakteri uji
B. subtilis
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Keterangan:
O
: dengan otoklaf
TO
: tanpa otoklaf
Lampiran 6 Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap B. subtilis
Konsentrasi
(mg/mL)
500
100
50
25
20
15
10
Ulangan 1
22.00
12.00
11.00
8.00
4.00
4.00
3.00
Diameter zona hambat (mm)
Ulangan 2
17.00
12.00
9.00
5.00
4.00
4.00
3.00
Rataan
19.50
12.00
10.00
6.50
4.00
4.00
3.00
Lampiran 7 Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap S.aureus
Konsentrasi
(mg/mL)
500
100
50
25
20
15
10
Ulangan 1
14.00
4.50
4.50
0
0
0
0
Diameter zona hambat (mm)
Ulangan 2
14.00
4.50
3.50
0
0
0
0
Rataan
14.00
4.50
4.00
0
0
0
0
Lampiran 8 Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap E. coli
Konsentrasi
(mg/mL)
500
100
50
25
20
15
10
Ulangan 1
18.00
12.00
9.00
6.00
5.00
3.00
0
Diameter zona hambat (mm)
Ulangan 2
19.00
15.00
12.00
6.00
4.00
3.00
0
Rataan
18.50
13.50
10.5
6.00
4.50
3.00
0
Lampiran 9 Aktivitas antibakteri bubuk ranting patah tulang terhadap
P. aeruginosa
Konsentrasi
(mg/mL)
500
100
50
25
20
15
10
Ulangan 1
17.50
9.00
4.00
0
0
0
0
Diameter zona hambat (mm)
Ulangan 2
9.00
8.00
5.00
0
0
0
0
Rataan
13.25
8.50
4.50
0
0
0
0
Lampiran 10 Foto zona hambat minimum bubuk ranting patah tulang terhadap
bakteri uji
B. subtilis
KHTM
S. aureus
E. coli
P. aeruginosa
Keterangan:
1
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 100 mg/mL
2
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 50 mg/mL
3
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 25 mg/mL
4
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 20 mg/mL
5
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 15 mg/mL
6
: konsentrasi bubuk ranting patah tulang 10 mg/mL
Lampiran 11 Aktivitas antibakteri ampisilin terhadap bakteri uji
Perlakuan
B. subtilis
17.00
15.25
16.13
Ulangan 1
Ulangan 2
Rataan
Diameter zona hambat (mm)
S. aureus
E. coli
13.50
18.00
16.50
17.50
15.00
17.75
P. aeruginosa
18.00
14.00
16.00
Lampiran 12 Foto zona hambat ampisilin (100 µg/mL) terhadap bakteri uji
B. subtilis
E. coli
S. aureus
P. aureginosa
Download