upaya hukum penyelesaian keterlambatan

advertisement
JURNAL BERAJA NITI
ISSN : 2337-4608
Volume 3 Nomor 6 (2014)
http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja
© Copyright 2014
UPAYA HUKUM PENYELESAIAN KETERLAMBATAN PEMBAYARAN
BAGI HASIL OLEH NASABAH DALAM PERJANJIAN KREDIT
MUDHARABAH PADA BANK BRI SYARIAH CABANG SAMARINDA
Dedy Setiawan1
([email protected])
Emilda Kuspraningrum2
([email protected])
Insan Tajali Nur3
([email protected])
Abstrak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perbankan
Syariah, mudharabah merupakan perjanjian kredit bagi hasil antara pihak bank
dengan nasabah dengan prinsip Syariah Islam. Ketika salah salah satu pihak
melanggar isi perjanjian, maka dapat dikatakan adanya wanprestasi atau ingkar
janji walaupun hanya dikarenakan jatuh tempo tenggak waktu pembayaran. Ada
bermacam-macam dalil dari nasabah yang bermasalah namun apapun
permasalah yang diselesaikan dengan upaya hukum biasanya diselesaikan dengan
cara damai sesuai dengna prinsip syariah, karena Islam sangat mengedepankan
perdamaian. Dalam hal upaya dari pihak bank untuk menangani nasabah yang
bermasalah dalam perjanjian kredit bagi hasil biasanya bank melakukan upaya
preventif atau pencegahan yang dilakukan dengan cara analisis hukum atau sosial
dan dan cara penyelamatan dengan segala proses dan metodenya, namun jika
upaya pretif tidak dapat berjalan, maka pihak dapat dapat melakukan upaya
represif dengan cara penagihan, tetapi tetap sesuai dengan prosedur hukum yang
berlaku yaitu panggilan secara lisan dengan telepon peringatan sebanyak dua (2)
kali dan panggilan tertulis dengan surat peringatan atau somasi.
Jika upaya tersebut masih belum efektif juga maka pihak bank dapat
melakukan upaya hukum melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non litigasi (di
luar pengadilan). Biasanya pihak bank mengupayakan agar penyelesaian hukum
tidak sampai ke pengadilan, melainkan melainkan melalui jalur di luar pengadilan
yang dapat ditempuh dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan
pendapat ahli sesuai dengan Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun jika memang tidak memungkinkan
untuk menyelesaikan dengan cara-cara pada jalur non litigasi, bank dapat
menyelesaikan dengan jalur litigasi dan menjadi kewenangan Pengadilan Agama
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara sesuai dengan Undang1
2
3
Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama. Jika ditemukan hal
yang bersengketa adalah nasabah yang non muslim, maka kewenangan tersebut
menjadi otoritas Peradilan Umum.
Kata Kunci: Perbankan Syariah, Penyelesaian Sengketa, Upaya Hukum
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap
negara. Keberadaan sistem keuangan ini diharapkan dapat melaksanakan
fungsinya sebagai lembaga perantara keuangan dan lembaga transmisi yang
mampu menjembati mereka yang berlebihan dana, dan kekurangan dana serta
mempelancar transaksi ekonomi. Dalam hal ini, bank menghimpun dana dari
masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar
menyimpan dana tersebut untuk menggerakan perekonomian bangsa.4 Bank
syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai prantara bagi
pihak yang berlebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan
usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum islam. Selain itu bank syariah
biasa juga di sebut
Islamic Banking
atau interest fee banking, yaitu suatu
sistem perbankan dalam pelaksanaan oprasional nya tidak menggunakan sistem
bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketiakpastian dan ketidak jelasan (gharar).
Bank syariah sebagai sebuah lembaga keuangan mempunyai kewajiban untuk
menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola skema
pembiayaan yang sesuai dengan syariat islam.5 Kebutuhan masyarakat muslim
indonesia akan adanya bank yang beroprasi sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip
4
5
Hermansyah, 2007, Hukum Perbankan Nasiona Indonesial, Kencana, Jakarta, halaman 132
Zainudin Ali, 2008, Hukum perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 2
2
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
ekonomi islam, secra yurisis baru mulai diatur dengan Undang-undang nommor
7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dalam Undang-undang etrsebut eksistensi
bank islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara khusus. Upaya
terus menerus yang dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum
beroprasinya bank syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya
Undang-undang Republik Indonesia No 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 tentang perbankan syarioah, maka ada dua macam pengaturan perbankan
yaitu, Undang-undang perbankan dan Undang-undang perbankan syariah.
Hubungan kedua undang-undang tersebut adalah Undang-undang perbankan
sebagai aturan umum sedangkan Undang-undang perbankan syariah aturan
khusus.6 Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan
yang
mengatur
dual
banking
system
dalam
perbankan
Indonesia.menurut undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 ayat
“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha
konvensional
dan
atau
berdasarkan
syariah
yang
dalam
(3),
secara
kegiatannya
memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran. Pembiayaan perbakan syariah
dianggap mempelancar roda perekonomian masyarakat dan menekan terjadinya
inflasi karena tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,7
6
Rahmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
halaman 96-97
7
Agustianto, 2002, percikan pemikiran Ekonomi Islam, Cipta pustaka Media, Bandung, halaman 123.
3
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
juga dapat merubah haluan kaum muslim dalam bertransaksi baik itu
perdagangan dan keuangan yang sejalan dengan ajaran syariah islam.
Dalam hal ini sistem ekonomi islam dan praktek perbankan non bunga
menjadi suatu alternatif yang baik, di samping merupakan suatu keharusan dan
kewajiban
dalam
menjalankan
anjuran
agama,
dan
ditambah
dengan
disahkannya undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
dan Undang-undang nomor 10 tahun 1998 perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut telah
mengatur semua kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah. Undangundang perbankan syariah Nomor 21 tahun 2008 pasal 1 angka 12, prinsip
syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Adapun
produk-produk yang di miliki bank syariah cukup bermacam-macam sehingga
mampu memberikan pilihan bagi calon nasabah untuk memanfaatkannya,
tergantung pada prinsip apa yang dijadikan rujukan dalam penegembangan
produk,8 di antaranya adalah :
1. Murabahah adalah Transaksi jual beli dan bank menyebutkan keuntungannya.
2. Ijarah adalah adanya perpindahan manfaat, pada dasarnya prinsip ijarah
sama dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek
transaksinya.
3. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara bank
dengan nasabah untuk mencampurkan dana mereka pada usaha tertentu,
dengan bagian keuntungan dan resiko akan tanggung bersama sesuai nisbah
yang di sepakati.
8
Muhamad, 2000, Sistem dan prosedur oprasional bank syariah, Yogyakarta : UII Press, halaman 5.
4
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
4. Mudharabah adalah suatu bentuk kontrak kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100 %) modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudarib).
Pembahasan
1. Upaya Bank BRI Syariah Dalam Menyelesaiakan Pembayaran Bagi
Hasil Yang Tertunda Oleh Nasabah Yang Sudah Jatuh Tempo
Menurut
penelitian
penulis,
dalam
pembiayaan
mudharabah
penyebab permasalahannya dapat berasal dari pihak bank, nasabah dan
pihak eksternal. Dari pihak internal bank biasanya kebijakan pembiayaan
yang kurang tepat serta kualitas, kuantitas dan integritas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang kurang memadai dapat menjadi penyebabnya.
Kurangnya ketelitian pihak bank dalam pembuatan akad pembiayaan yang
ternyata banyak cela atau multitafsir bunyi klausul-klausul akad sehingga
dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak baik oleh nasabah atau dengan kata
lain dapat disimpangi oleh nasabah demi keuntungan dirinya sendiri, ataupun
sebab yang dikarenakan nasabah sakit keras sehingga tidak dapat
menjalankan usahanya dan/ atau nasabah yang meninggal dunia padahal
tidak memiliki ahli waris.
1.1. Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan
tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut
tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan
oleh salah satu pihak atau debitur. Perkataan wanprestasi berasal dari
5
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa.
1.2. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) adalah suatu bentuk penyelesaian
sengketa selain pengadilan. Oleh karena itu APS sering pula disebut
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Beberapa bentuk
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu:
a. Konsultasi: suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu
pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak
konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada
klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya;
b. Negosiasi: suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan
bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif;
c.
Mediasi: penyelesaian masalah melalui perundingan di antara para
pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ke-3 yang netral dan
independen, yang disebut Mediator, yang dipilih sendiri oleh para
pihak. Mediator tidak dalam posisi dan kewenangan memutus
sengketa. Dia hanya fasilitator pertemuan guna membantu masingmasing pihak memahami perspektif, posisi dan kepentingan pihak lain
dan bersama-sama mencari solusi yang bisa diterima. Oleh karena itu
Mediasi dianggap berhasil apabila para pihak dapat mencapai
perdamaian. Untuk mengajukan sengketa ke Mediasi, para pihak
harus mempunyai kesepakatan dan mengajukan permohonan secara
tertulis, dan bersedia mematuhi kesepakatan damai yang dicapainya.
6
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
d. Konsiliasi: penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan
kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
e. Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat
teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya
f.
Arbitrase: penyelesaian
sengketa
dengan
menyerahkan
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat
pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang netral dan
independen, yang disebut Arbiter. Untuk mengajukan sengketa ke
Arbitrase ke lembaga arbitrase, para pihak harus mempunyai
kesepakatan tertulis bahwa sengketa akan diselesaikan melalui
Arbitrase (Perjanjian Arbitrase), dan ada salah satu pihak yang
bersengketa mengajukan surat permohonan (tuntutan). Arbiter
(berbentuk majelis atau tunggal) mempunyai tugas dan kewenangan
memeriksa dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya.
Putusan Arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak (UU No. 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Arbitrase mirip dengan
Pengadilan, dan Arbiter mirip dengan Hakim.
Hubungan hukum antara Nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah (Bank
dan Asuransi Syariah) akan berjalan dengan baik dan lancar jika para
pihak mentaati apa yang telah mereka sepaki dalam akad yang mereka
buat. Namun jika salah satu pihak lalai atau melakukan kesalahan dalam
pemenuhan kewajibannya maka pelaksanaan akad akan mengalami
hambatan
atau
permasalahan
bahkan
dimungkinkan
mengalami
7
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
kemacetan. Secara garis besar penyebab terjadinya permasalahan yang
timbul dalam pelaksanaan akad adalah:9
1. Adanya wanprestasi (default), adalah suatu keadaan ketika debitur
tidak dapat melaksanakan prestasinya karena kesalahannya dan si
debitur telah ditegur;
2. Keadaan memaksa (force majeur/ overmacht), adalah suatu keadaan
ketika debitur tidak dapat memenuhi atau melaksanakan prestasinya
karena suatu keadaan di luar kemampuan manusia, Dalam praktik
pelaksanaan akad, permasalahan yang sering muncul adalah adanya
bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, angin puting
beliung, kebakaran dan peristiwa alam lainnya yang menyebabkan
tujuan akad tidak dapat tercapai sesuai dengan tujuannya;
3. Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh salah satu pihak dalam pelaksanaan akad yang tidak sesuai
dengan Undang-Undang, Ketertiban Umum dan Kesusilaan.
Dalam hal terdapat permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan akad, dalam
praktik Perbankan Syariah maka para pihak akan mencari penyelesaian terhadap
permasalahan yang dihadapinya. Secara garis besar upaya penyelesaian
permasalahan dalam pelaksanaan akad disebut juga dengan penanganan
permasalahan, dapat dikelompokkan dalam dua (2) tahap, yaitu upaya
penyelamatan dan upaya penyelesaian. Upaya penyelematan dapat dibagi
menjadi dua (2), yaitu upaya preventif atau pencegahan dan upaya represif atau
penagihan.
Tahap pertama disebut dengan upaya penyelamatan, yang sifatnya
pencegahan dalam tahapan ini cenderung dan lebih terfokus dalam pada upaya
9
8
Ibid, Hal 186.
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
tecapainya pembayaran kembali pembiayaan dengan semestinya dengan cara
collection, rescheduling, reconditioning atau restructuring atau yang dikenal pula
dengan tahapan pemenuhan atas perstasinya. Tahap kedua, penyelesaian
pembiayaan
cenderung
terfokus
pada
tindakan
untuk
mengupayakan
pembayaran kembali pembiayaan dengan mengeksekusi agunan, baik dengan
melakukan
pencairan
cash
collateral,
penagihan
kepada
penjamin,
pengambilalihan agunan oleh bank sendiri, penjualan sevara sukarela atau
penjualan agunan melalui lelang.10 Penyelamatan pembiayaan bermasalah dan
macet merupakan restrukturisasi dari pembiayaan dan tindakan hukum
yang
diperlukan. Sekalipun bank dalam pembiayaan tidak pernah menginginkan bahwa
pembiayaan yang diberikan akan menimbulkan permasalah, dan untuk keperluan
itu pihak bank akan melakukan segala upaya preventif yang mungkin dilakukan
untuk
mencegah
agar
pembiayaan
yang
diberikan
tidak
menimbulkan
permasalah, namun tidak mustahil pada akhirnya pembiayaan tetap juga
bermasalah, bahkan keadaan pembiayaan tersebut bukan hanya sekedar tidak
lancar atau diragukan melainkan akhirnya menjadi macet. Selain itu bank akan
melakukan upaya-upaya
preventif yang mula-mula akan dilakukan ialah
melakukan upaya penyelamatan pembiayaan. Setelah upaya yang dilakukan itu
ternyata tidak berhasil, maka bank akan menempuh upaya penagihan.
Untuk memperbaiki atau memperlancar pembiayaan yang semula
tergolong diragukan atau macet, bank melakukan tindakan penyelamatan
pembiayaan, agar pembiayaan yang semula tergolong diragukan atau macet
10
Ibid. Hal 188.
9
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
menjadi lancar lagi. Tindakan penyelamatan pembiayaan oleh bank dicantumkan
dan
dituangkan
dakam
akad
penyelamatan
pembiayaan.
Bentuk
dari
penyelamatan pembiayaan. Bentuk dari penyelamatan pembiayaan tersebut
dapat berupa:11
a.
Penjadwalan Kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat pembiayaan
yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan/ atau jangka waktunya;
b.
Persyaratan kembali reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh
syarat
pembiayaan,
yang
tidak
terbatas
pada
perubahan
jadwal
pembayaran, jamgka waktu, dan/ atau persyaratan lainnya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimum saldo pembayaran; dan
c.
Penataan
kembali
(restructuring),
yaitu
perubahan
syarat-syarat
pembiayaan yang menyangkut:
1. Penambahan dana bank dan/ atau;
2. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan bagi hasil menjadi pokok
pembiayaan baru; dan
3. Konversi seluruh atau sebagian dari pembiayaan menjadi penyertaan
dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali
dan/atau persyaratan kembali.
Dalam hal bentuk perjanjian bagi hasil, nasabah dalam perjanjian yang
berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan nasabah
melakukan wanprestasi atau jatuh tempo yaitu sejak pada saat nasabah berbuat
sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian atau jatuh tempo. Sedangkan
bentuk prestasi nasabah yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu
apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238
KUHPerdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka
11
10
Ibid. Hal 189.
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
untuk menyatakan seseorang nasabah melakukan wanprestasi, diperlukan surat
peringatan tertulis dari bank yang diberikan kepada bank. Surat peringatan
tersebut disebut dengan somasi.12 Somasi atau surat peringatan ini adalah upaya
penagihan yang sifatnya represif. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan
dari bank kepada debitur dan/atau nasabah yang berisi ketentuan bahwa bank
menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu. Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang
menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri,
ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan”.
2. Faktor-Faktor
Yang
Mendukung
Upaya
Penyelesaian
dan
Permasalahan Pembayaran Bagi Hasil Oleh Nasabah Yang Sudah
Jatuh Tempo
Beberapa
faktor
yang
mendukung
upaya
penyelesaian
permasalahan
pembayaran bagi hasil oleh nasabah yang sudah jatuh tempo adalah sebagai
berikut:
a. Faktor choice of forum, para pihak dalam hal ini antara nasabah dengan
pihak Bank BRI Syariah Cabang Samarinda di dalam akad antara kedua
belah pihak tertuang klausul akad yang menyatakan, bahwa jika terjadi
sengketa
antara
kedua
belah
pihak
bersepakat
untuk
melakukan
musyawarah dahulu, namun apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan
ditempuh jalur litigasi yaitu Pengadilan Negari Agama atau Pengadilan
Negeri sebagai tempat untuk menyelesaikan masalahnya. Hal inilah yang
12
Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, Hal 148.
11
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
menjadi salah satu faktor mengapa penyelesaian sengketa perbankan
Syariah dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri;
b. Faktor
Budaya
Hukum
dan
Kesadaran
Hukum,
kesadaran
hukum
masyarakat, khususnya masyarakat Kota Samarinda merupakan hal yang
sangat
penting
masyarakat.
dan
Apabila
menentukan
kesadaran
berlakunya
masyarakat
suatu
hukum
dalam
hukum
tinggi
dalam
melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh hukum, dipatuhi
oleh masyarakat, maka hukum tersebut dapat dikatakan efektif berlakunya,
tetapi jika ketentuan hukum tersebut diabaikan oleh masyarakat, maka
aturan hukum itu tidak efektif berlakunya. Kesadaran masyarakat itu
menyangkut factor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui,
dipahami, diakui, dihargai oleh masyarakat sebagai penggunaan hukum
tersebut. Kesadaran hukum masyarakat merupakan factor utama yang
harus diperhitungkan dalam berfungsinya hukum secara efektif dalam
masyarakat;
c. Faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik, masih banyak kalangan yang
meragukan kemampuan hakim Pengadilan Agama Kota Samarinda dalam
memeriksa perkara ekonomi syariah mereka beranggapan bahwa hakim
Pengadilan
Agama
Samarinda
tidak
memahami
hukum
ekonomi
konvensional dan perbankan. Sehingga bila menanangi perkara ekonomi
syariah merupakan bagian dari ilmu ekonomi dan perbankan konvensional,
di mana meskipun prinspnya berdasarkan syariah, akan tetapi dalam teknis
dan operasional tetap mengacu pada perbakan konvensional;
d. Faktor Sosialisasi Hukum, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang diresmikan tanggal 17 Juli 2008 tersebut masih
relatif baru dan masih perlu dilakukan sosialisasi hukum secara terusmenerus secara intensif oleh badan legislatif. Sosialisasi khususnya
ditujukan untuk pihak bank syariah dan notaris yang membuat perjanjian
perbankan syariah, karena pada dasarnya yang menentukan pilihan hukum
terhadap penyelesaian sengketa adalah pihak bank syariah sendiri;
12
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
e. Faktor hakim tidak boleh menolak perkara, Pengadilan Negeri Agama
ataupun Pengadilan Negeri tidak boleh menolak perkara yang diajukan
kepadanya termasuk sengketa perbankan syariah. Apabila hakim menolak
perkara yang diajukan kepadanya berarti juga pengingkaran terhadap rasa
keadilan yang ditegakkan. Hakim sebagai salah satu perangkat keadilan
ditugaskan untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antar
kedua
belah
pihak
yang
bersengketa,
yang
sekaligus
melakukan
konkretisasi hukum terhadap perkara-perkara yang belum ada hukumnya;
Dalam sengketa perbankan Syariah yang penulis teliti, penyelesesaian
sengketa hanya sampai pada tahap mediasi saja, karena memang belum ada
sengketa
perbankan
Syariah
di
Bank
BRI
Syariah
Cabang
Samarinda
penyelesaiannya sampai masuk pada tahap pengadilan. Dalam proses mediasi
faktanya, bahwa mediator adalah pihak ketiga yang berposisi yang yang di
sepakati oleh kedua belah pihak. Mediator bisa saja dari pihak Bank Indonesia
atau seorang yang telah terpercaya netral dan tidak memihak yang disepakati
oleh kedua belah pihak. Mediator dalam proses mediasi hanya bersifat
memfasilitasi atau seorang fasilitator karena akhir dari proses mediasi ini bahwa
mediator tidak berhak memberikan keputusan, karena seorang mediator hanya
pihak ketiga yang menegahi kedua belah pihak.13
Mediator dari pihak Bank Indonesia berupaya membantu para pihak yang
bersengketa untuk menghasilkan putusan melalui perundingan yang dilakukan
kedua belah pihak. Semua pihak kembali duduk bersama untuk fokus pada
masalah yang dipersengketakan dengan mengedepankan asas musyawarah untuk
mufakat dan kekeluargaan. Nasabah dan pihak bank wajb memberikan informasi
13
Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI Syariah
Cabang Samarinda Pada 5 Maret Pukul 11.30 WITA, Di Kantor Bank BRI Syariah Cabang Samarinda.
13
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
penting yang terkait dengan pokok sengketa dalam pelaksaan mediasi, karena
mediator yang paling aktif dalam proses ini untuk menggali terus sebanyakbanyaknya informasi dan keterangan dari pihak nasabah dan bank.14 Untuk
mencapai suatu kesepakatan adalah kesediaan sukarela dari nasabah dan pihak
bank, buka rekomendasi putusan dari mediator, karena kesepakatan yang
dihasilkan dalam mediasi adalah kesepakatan sukarela dari kedua belah pihak dan
bukan dari mediator. Dalam akhir proses mediator biasanya mengembalikan
kesepakatan pada kedua belah pihak yang bersengketa untuk mencapai
perdamaian. Upaya penyelesaian yang dilakukan dengan jalur mediasi dengan
asas musyawarah mufakat dan kekeluargaan juga agar kerahasiaan nasabah
tetap terjaga dan baik dalam proses dan setelah selesai penyelesaian tidak ada
pihak yang dirugikan dari pihak bank maupun pihak nasabah. Dalam proses
mediasi juga tidak memakan biaya yang mahal, jadi nasabah yang bersengketa
juga tidak dibebani oleh biaya menjadi perkara.15
2.1.
Penyelesaian
Sengketa
Perbankan
Syariah
Di
Luar
Jalur
Pengadilan (Non Litigasi)
2.1.1. Mediasi Perbankan
Di dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang perbankan Syariah berbunyi bahwa “Penyelesaian sengketa
Perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama, kemudian pada ayat (2) mengatur lebih lanjut
14
Ibid. Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI
Syariah Cabang Samarinda.
15
Ibid. Hasil Wawancara Dengan Ibu Kurniati Hasnah, S.H selaku Staf Legal Bank BRI
Syariah Cabang Samarinda.
14
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
bahwa dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian
sengketa selain sebagaiman dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan akad dan pada ayat (3),
mewajibkan bahwa penyelesaian tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan 2 cara
penyelesaian sengketa di luar pengadilan:16
1. Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa perdata di luar Peradilan
Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh pihak yang bersengketa;
2. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa dan beda pendapat melalui proses prosedur yang
disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara: Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsolidasi dan
Penilaian Ahli.
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna
mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakan sukarela terhadap
sebagian atau seluruh permasalahan yang disengketakan. Pengertian
lain
menurut
Goodpaster
(1999)
adalah
proses
negosiasi
penyelesaian masalah (sengketa) dimana suatu pihak luar, tidak
memihak, netral, tidak bekerjasana dengan pihak yang bersengketa,
membantu mereka yang bersengketa mencapai suatu kesepakatan
hasil negosiasi yang memuaskan. Hal ini termuat dalam angka 5
16
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa
15
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi
Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.17 Namun
demikian, mengingat pembentukan lembaga mediasi perbankan
independen tidak dapat dilaksanakan dalam waktu singkat karena
adanya kendala-kendala seperti aspek pendanaan dan sumber daya
manusia sementara kebutuhan mediasi sudah mendesak maka pada
tahap awal fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank
Indonesia.
Pelaksanaan
fungsi
mediasi
perbankan
oleh
Bank
Indonesia ini dilakukan dengan mempertemukan nasabah dan bank
untuk mengkaji kembali pokok permasalahan yang menjadi sengketa
guna mencapai kesepakatan tanpa adanya rekomendasi maupun
keputusan dari Bank Indonesia. Dalam rangka melaksanakan fungsi
mediasi perbankan tersebut Bank Indonesia menunjuk mediator.
2.2. Penyelesaian
Sengketa
Perbankan
Syariah
Melalui
Lembaga
Peradilan (Litigasi)
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan, baik melalui perdamaian
(sulh) maupun secara arbitrase (tahkim) akan diselesaikan melalui lembaga
peradilan. Menurut ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentan
17
16
Angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 tentang Mediasi Perbankan
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
Kekuasaan Kehakiman secara eksplisit menyebutkan bahwa di Indonesia ada
4 Lingkungan Lembaga Peradilan yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.18
Dalam Pasal 2 Juncto Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
dinyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan
pelaku kekuasaan Kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orangorang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah. Dalam Pasal 49
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang
beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan
ketentuan Pasal ini.
Sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama adalah:
1.
Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2.
Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan
dan lembaga pembiayaan syariah;
3.
Sengketa di bidang ekonomi syariah antar orang-orang yang beragama
islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan
prinsip-prinsip syariah.
18
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman
17
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
Sengketa ekonomi syariah adalah sengketa atas cidera janji/ pelanggaran
terhadap poin-poin yang telah diperjanjikan dalam akad, misalnya:
a.
Kelalaian bank mengembalikan dana titipan nasabah dalam akad
wa`diah;
b.
Bank mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang
bersangkutan, dalam akad mudharabah;
c.
Nasabah melakukan kegiatan usaha minimum keras dari dana pinjaman
pada bank syariah.
Pengadilan Agama berwenang menghukum pihak nasabah atau pihak
bank yang melakukan cidera janji (wanprestasi) yang menyebabkan
kerugian rill (real loss), bila ada tuntutan ganti rugi akibat cidera janji
tersebut;
1.
Wanprestasi lahir dari suatu perjanjian antara kedua belah pihak (Pasal
1320 KUHPdt) dan perjanjian tersebutmerupakan persetujuan yang
didasarkan atas kehendak atau kata sepakat; Untuk dapat menyatakan
telah terjadi cidera janji, harus terlebih dahulu ada pernyataan lalai
(ingebreke stelling) sebagaimana dimaksud denan Pasal 1243 KUHPdt;
2.
Perbuatan melawan hukum, gugatan yang berisi tuntutan ganti rugi
hanya lahir dari suatu perbuatan melawan hukum atau ingkar janji/
wanprestasi.
Walaupun hukum materiil yang mengatur mengenai hukum ekonomi
syariah belum ada, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya, sehingga Pasal ini menjadi landasan bagi hakim untuk tidak
18
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
boleh menolak perkara sengketa ekonomi syariah. Sebagaimana UndangUndang Nomor 50 Tahun 2009, maka Pengadilan Agama diberi kewenangan
untuk mengadili sengketa ekonomi syariah, maka Pengadilan Agama
memunyai kewenangan pula dalam melaksanakan eksekusi terhadap barang
jaminan yang digunakan pada bank syariah, karena pada dasarnya
perjanjian jaminan adalah perjanjian yang bersifat accesoir terhadap
perjanjian pokok. Apabila falam suatu jenis pembiayaan (musyarakah,
mudharabah, murabahah) dibarengi dengan perjanjian jaminan, maka
perjanjian jaminan tersebut melekat pula prinsip syariah, sehingga jika
terjadi sengketa maka Pengadilan Agama berwenang menyelesaikannya,
sepanjang perjanjian pokoknya dibuat berdasarkan prinsip syariah maka
perjanjian
tambahannya
mengikuti
perjanjian
pokoknya
sehingga,
Pengadilan Agama berwenang pula menyelesaikannya.
Berdasarkan pemikiran di atas maka, Pengadilan Agama mempunyai
tugas untuk menyelesaikan setiap ada pemohonan eksekusi baik eksekusi
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maupun eksekusi
terhadap barang jaminan di Perbankan Syariah, yang diajukan sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Saat ini Perbankan Syariah
telah mempunyai Undang-undang tersendiri sebagai lex spesialis yaitu
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada
Pasal 5 Undang-undang tersebut mengatur mengenai penyelesaian sengketa
ekonomi syariah di mana salah satunya adalah sengketa yang terjadi dalam
19
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
perbankan syariah dan lembaga yang berwenang menyelesaikannya . Pada
Pasal 55 berbunyi:
a.
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan
dalam Lingkungan Perdilan Agama;
b.
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad;
c.
Penyelesain sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Dengan demikian dalam hal pihak-pihak yang bersengketa adalah
orang-orang yang berbeda agama, muslim dan non muslim, maka Undangundang ini mengizinkan untuk menyelesaikan sengketa di Peradilan Umum,
kecuali para pihak menentukan lain dalam akadnya. Jadi adanya alternative
Peradilan
Umum
untuk
menyelesaikan
sengketa
didasarkan
pada
kemungkinan adanya nasabah bank syariah yang non muslim, mengingat
bank syariah bukan saja milik umat muslim yang nasabahnya haruslah umat
muslim,
tetapi
bank
syariah
adalah
milik
bersama
tanpa
harus
mendiskriminasikan suku, agama dan ras. Berdasarkan pemaparan di atas
dapat kita lihat bahwa terhadap sengketa yang potensial muncul antara
nasabah dan bank syariah bentuknya macam-macam. Pilihan hukum dan
forum sengketa sepenuhnya diserahkan ada para pihak yang terkait. Apabila
kita urutkan rangkaian penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh
para pihak melalui jalur non litigasi terdiri dari musyawarah mufakat, melalui
mediasi perbankan, forum arbitrase dan apabila belum terselesaikan juga
20
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
para ihak dapat menempuh upaya litigasi yaitu penyelesaian di Pengadilan
Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Pengadilan Agama dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah yang selain member kewenangan pada
Pengadilan Agama juga memberi kewenangan pada Peradilan Umum.
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut: 1) Upaya bank syariah dalam menyelesaikan penundaan
perjanjian
bagi
hasil
bagi
nasabah
yang
jatuh
tempo
dalam
konteks
mudharabahdapat dibagi menjadi dua (2), yaitu upaya preventif dan upaya
represif. Upaya preventif atau mencegah yang dilakukan adalah penyelamatan
pembiayaan bermasalah dan macet guna memperlancar pembiayaan yang semula
diragukan macet dapat lancar kembali. Upaya penyelamatan tersebut berupa
penjadwalan kembali, persyaratan kembali dan penataan kembali. Jika upaya
preventif tidak dapat terwujud, maka pihak bank dapat menempuh upaya
penagihan atau represif melalui prosedur hukum yang berlaku, yaitu telepon
peringatan dan surat peringatan atau somasi.
Telepon peringatan adalah panggilan resmi secara lisan dari pihak
bank kepada nasabah untuk pemenuhan prestasi nasabah tersebut, dimana
telepon peringatan tersebut di lakukan sebanyak dua (2) kali. Jika telepon
peringatan sebanyak dua (2) yang merupakan panggilan resmi secara lisan dari
pihak bank tidak diindahkan, maka pihak bank akan mengirimkan surat
21
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
peringatan yang merupakan panggilan resmi secara tertulis dari pihak bank; 2)
Penyelesaian hukum perbankan syariah dapat melalui dua (2) jalur, yaitu litigasi
dan non litigasi. Dalam non litigasi yang merupakan jalur di luar pengadilan dan
mengedepankan upaya damai, kedua belah pihak dapat memakai metode mediasi
bank atau jalan-jalan lainnya seperti konsultasi, mediasi, negosisasi, konsiliasi dan
pendapat ahli segaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam jalur non litigasi
permasalah perbankan syariah juga dapat menggunakan jalur BASYARNAS
(Badan Arbitrase Syariah Nasional). Jika upaya perdamaian melalui jalur non
litigasi tidak membuahkan hasil, maka dapat ditempuh jalur litigasi dan dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan dan dan berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara ekonomi syariah adalah pengadilan agama
berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, namun jika salah satu pihak yang bersengketa adalah non muslim,
maka perkara ini akan di persidangkan di peradilan umum.
Sementara factor-faktor yang mendukung upaya pnyelesaian adalah
faktor choice of forum, para pihak dalam hal ini antara nasabah dengan pihak
Bank di dalam akad antara kedua belah pihak tertuang klausul akad yang
menyatakan, bahwa jika terjadi sengketa antara kedua belah pihak bersepakat
untuk melakukan musyawarah dahulu, namun apabila tidak tercapai kesepakatan
maka akan ditempuh jalur litigasi yaitu Pengadilan Negari Agama atau Pengadilan
Negeri sebagai tempat untuk menyelesaikan masalahnya. Hal inilah yang menjadi
salah satu faktor mengapa penyelesaian sengketa perbankan Syariah dapat
22
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
diselesaikan di Pengadilan Negeri, faktor Budaya Hukum dan Kesadaran Hukum,
kesadaran hukum masyarakat, faktor Kepercayaan dan Pendapat Publik tentang
pemahaman hukum ekonomi konvensional dan perbankan.
Saran
Adapun saran dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Seharusnya upaya
yang dilakukan perbankan syariah dalam menangani perjanjian bagi hasil yang
jatuh tempo dalam mudharabah adalah mengedepankan upaya preventif
daripada represif, karena sebelum melakukan perjajian tentunya bank terlebih
dahulu akan melakukan analisis hukum dan perekonomian keuangan juga survey
terhadap nasabah apakah nasabah tersebut dikemudian kelak akan menimbul
kemacetan pembayaran atau tidak, jika hasil analisis memungkinkan untuk
melakukan perjanjian bagi hasil maka dapat dilaksanakan, tetapi jika hasil analisis
dan survey tidak memungkinkan atau tidak memenuhi persyaratan nasabah,
sebaiknya tidak usah dipaksakan untuk melakukan perjanjian bagi hasil dengan
nasabah tersebut daripada menimbulkan masalah dikemudian kelak; 2) Sebaiknya
dalam penyelesaian hukum perbankan syariah perjanjian bagi hasil dalam
mudharabah kedua belah pihak mengedepankan jalur non litigasi atau
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, karena jalur non litigasi dapat ditempuh
dengan cara konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi dan pendapat ahli adalah
jalur yang mengedepankan upaya damai antar kedua belah pihak yang
bersengketa.
Apalagi
ini
menyangkut
tentang
perbankan
syariah
yang
mengedapankan ajaran dan norma Islam, dimana Islam sangat menjunjung tinggi
23
Jurnal Beraja Niti, Volume 3 Nomor 6
perdamaian. Jadi, dalam jalur non litigasi baik konsultasi, mediasi, negosiasi,
konsiliasi dan pendapat ahli hal yang palin pertama dan utama yang
dikedepankan adalah upaya damai antara kedua belah pihak sebelum masuk ke
jalur pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung;
Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media,
Bandung;
Chatamarrasajid Ais, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Prenada group, Jakarta;
Hermansyah, 2007, Hukum Perbankan Nasional, Kencana Prenada Group,
Jakarta;
Muhammad, 2005, Bank Syariah di Indonesia: Analisa Kebijakan Indonesia
Terhadap Perbankan Syariah, PT. Graha Abadi, Yogyakarta;
Musjtari Nurul dewi, 2012, Penyelesaian Sengketa Dalam Praktik Perbankan
Syariah, Parama Publishing, Yogyakarta;
Rahmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta;
Subekti, 2005, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta;
Warkum Sumitro, 1992, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga
Terkait di Indonesia, raja Grafindo Persada, Jakarta; dan
Zainudin Ali, 2008, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun
1945;
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan
(LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 182);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR 7);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008
NOMOR 94);
24
Upaya Hukum Penyelesaian Keterlambatan Pembayaran (Dedy Setiawan)
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif
Penyelesaian Sengketa (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR138);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009
NOMOR 157);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR
159);
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1992 tentang Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1992 NOMOR 138); dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (LEMBARAN
NEGARA TAHUN 2011 NOMOR 103).
C.
Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis dan Disertasi
Eprints.undip.ac.id/15401/1/Ayu_Nurhasanah.pdf
Ikhwan Abidin Basri, Makalah Teori akad dalam fikih Muamalah: sistem dan
Prosedur Operasional Bank Syariah, UII, Yogyakarta;
Muhammad Amin Suma, Artikel Ekonomi Syariah Sebagai Alternatif Sistem
Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis;
QS An-Nisa` (4): 29; “Hai Orang yang Beriman Janganlah Kalian Saling Memakan
(Mengambil) Harta Sesamamu dengan Jalan Yang Bathil, Kecuali dengan
Jalan Perniagaan Yang berlaku Diantaramu.
25
Download