nilai pancasila yang tercermin dalam upacara adat ulur

advertisement
NILAI PANCASILA YANG TERCERMIN DALAM UPACARA ADAT ULUR-ULUR
TELAGA BURET, DESA SAWO, KECAMATAN CAMPURDARAT, KABUPATEN
TULUNGAGUNG
THE VALUE OF PANCASILA REFLECTED IN THE ULUR-ULUR TELAGA
BURET TRADITIONAL CEREMONY, SAWO, CAMPURDARAT DISTRICT
TULUNGAGUNG
Dela Harlianingtyas ¹
Margono ²
Suwarno Winarno ³
Jurusan Hukum dan Kewaganegaraan Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang.
Jl. Semarang 5 Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK : Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Adapun tujuan penelitian ini
adalah (1) mengetahui latar historis upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan
Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, (2) mengetahui peralatan yang ada dalam
pelaksanaan upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung, (3) mengetahui tata urutan upacara adat Ulur-ulur di Desa
Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, (4) mengetahui nilai
Pancasila yang tercermin dalam upacara adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan
Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian Etnografi, dimana peneliti membatasi penelitian ini pada sistem
pelaksanaan Ulur-ulur yang didalamnya tercermin nilai Pancasila dan berusaha
memaparkan keadaan obyek yang diselidiki sebagaimana adanya. Prosedur
pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif, wawancara mendalam,
analisis dokumen. Analisis data menggunakan reduksi data, penyajian data,
kesimpulan atau verifikasi data. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah latar
historis upacara adat Ulur-ulur dimulai dari cerita asal mula telaga, dewa padi yang
membawa kemakmuran pangan bagi penduduk hingga akhirnya terwujud upacara
sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan YME yang diadakan setiap satu tahun
¹ Dela Harlianingtyas Mahasiswa Universitas Negeri Malang
² Margono dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang
³ Suwarno Winarno dosen Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Malang
sekali, kemudian peralatan yang digunakan dalam upacara terdiri dari perlengkapan
upacara, perlengkapan tempat upacara, sesaji, sesaji kenduri. Tata cara dalam upacara
Ulur-ulur yaitu malam sebelum upacara ada acara sarasehan, persiapan, perjalanan
menuju tempat upacara, pembukaan, upacara ritual, mengheningkan cipta, unjuk atur,
caos dahar (membakar dupa) dan siraman, tabur bunga, unjuk lengser, laporan panitia
dan sambutan, selamatan/kenduri, ramah tamah. Nilai Pancasila yang tercermin dalam
upacara antara lain, nilai religius, nilai kemanusiaan, nilai kerukunan, musyawarah,
nilai gotong royong.
Kata kunci: Nilai Pancasila, upacara adat Ulur-ulur
ABSTRACT: this research aims at (1) knowing the historical background of Ulur-ulur
traditional ceremony in Sawo village, Campurdarat Subdistrict, Tulungagung District, (2)
knowing the tools used in that ceremony, (3) knowing the step order of that ceremony, (4)
knowing Pancasila value reflected in that ceremony. This research uses ethnographic research
method, in which the researcher limits this research to the practice system of Ulur-ulur. The
data collecting uses participative observation, deep interview, conclusion or data verification.
The research results are the historical background of Ulur-ulur traditional ceremony was
started from the story of telaga, the rice god who brought rice prosperity for people so that it
was a kind of ceremony as a thank to the God that was held once in every year; the tools used
in this ceremony consists of ceremony place tools, offering and festivity offering. The step
order in this ceremony are gathering, preparation toward ceremony place, opening, ritual
ceremony, meditation, set performance, burning incense and spray ritual, sowing flower,
stepping down performance, committee report and greeting, festivity, and warm-hearted
gathering. Pancasila values reflected in this ceremony are religious, humanism, harmony,
deliberation, and mutual aid values.
Key Words: Pancasila Value, Ulur-ulur traditional ceremony
Pola pikir manusia yang semakin hari semakin berkembang menjadikan kreasi dan
inovasi baru. Kreasi-kreasi yang dihasilkan manusia apabila tidak dijaga dan dilindungi nanti
akan hilang ditelan jaman. Hal ini ditegaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X (dalam
Anshoriy 2013: xi-xii) mengatakan bahwa Manusia mulai dari awal dan akhir zaman
berkewajiban pada tiga perkara, yaitu tugas kemanusiaan (ngamanungsakake rasa
kamanungsane), tugas duniawi: “Hamemayu Hayuning Bawânâ”, dan tugas ketuhanan
(nyebarake agama suci). Manusia jangan sekali-kali merusak alam, tetapi berkewajiban
untuk menjaganya, dan berkarya agar memudahkan manusia bertahan hidup. Bukan itu saja,
tetapi manusia juga wajib membangun rasa kemanusiaannya dalam hidup bermasyarakat.
Kesemuanya tersirat dalam pesan yang terkandung dalam filosofi: “Hamemayu Hayuning
Bawânâ”, sebagai sumber kearifan lokal yang sampai sekarang masih menjadi living
philosophy di kalangan masyarakat Jawa.
Di Indonesia mempunyai berbagai macam budaya. Budaya merupakan hasil
pemikiran manusia yang dikembangkan sehingga terwujud sebuah karya untuk dijadikan
milik manusia dengan belajar. Sikap manusia dilakukan terus menerus hingga menjadi
sebuah kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyang yang dinamakan tradisi. Salah satu
budaya dan tradisi di Indonesia yaitu upacara adat Ulur-ulur Telaga Buret berada di Desa
Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Indonesia memiliki dasar negara
yaitu Pancasila dimana pancasila berasal dari sikap bangsa indonesia sendiri. Hal ini
ditegaskan oleh Notonegoro (dalam Anshoriy, 2013:83) menjelaskan bahwa asal-usul bahan
(kausa materialis) Pancasila adalah adat kebiasaan, kebudayaan dan agama-agama yang ada
di Indonesia.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dimana peneliti langsung ke sumber
data untuk mendeskripsikan nilai Pancasila yang tercermin dalam upacara adat Ulur-ulur.
.Jenis penelitian yang digunakan yaitu Etnografi dengan membatasi penelitian pada sistem
pelaksanaan Ulur-ulur yang didalamnya tercermin nilai Pancasila. Penelitian dilakukan
selama satu bulan di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Peneliti
memperoleh data melalui wawancara kepada pihak-pihak yang terkait dan melalui dokumen
tertulis tentang profil Ulur-ulur yang didukung dengan foto-foto pada saat pelaksanaan
upacara Ulur-ulur. Analisis data kualitatif yang digunakan dengan model Miles dan
Huberman, ada 3 langkah, yaitu (1) reduksi data, yaitu membuat ringkasan dimana data-data
yang terkumpul dianalisis dan diringkas dan membuat kode dimana kode ini untuk
mempermudah penacarian dan penggolongan yang berhubungan dengan permasalahan, (2)
penyajian data dalam bentuk teks narasi atau uraian kemudian data yang sudah terkumpul
diklarifikasi menurut kodenya, (3) kesimpulan atau verifikasi data. Pengecekan keabsahan
temuan dilakukan dengan peningkatan ketekunan membaca berbagai buku maupun hasil
penelitian atau dokumen-dokumen yang terkait atau sejenis. Langkah yang dilakukan
pertama yaitu, tahap persiapan peneliti menentukan lokasi yang akan digunakan untuk
penelitian, menyusun proposal diajukan dan didiskusikan kepada dosen maupun teman
sejawat untuk mendapatkan kritik dan masukan mengenai topik maupun metode penelitian
agar dapat dibenahi, mengurus ijin kepada instansi-instansi yang terkait. Langkah kedua
yaitu, pelaksanaan kegiatan pengumpulan data dengan wawancara dengan informan dan
menelaah dokumen yang berkaitan, menganalisis data kemudian menyimpulkan hasil
analisis. Langkah ketiga yaitu, penyelesaian dengan menyusun laporan hasil penelitian atau
skripsi sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah kemudian laporan disetujui para dosen
setelah itu digandakan dan disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar Historis Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung
Asal-usul adanya upacara adat Ulur-ulur berdasarkan paparan data dan hasil temuan
yaitu, konon cerita nenek moyang dahulu
Telaga Buret tersebut
ada penunggu atau
penguasa. Penunggu atau penguasa tersebut bernama Jigang Jaya merupakan salah satu
rombongan penunggang kuda yang kelelahan dan beristirahat disebuah hutan rimba. Jigang
Jaya sebagai ketua rombongan melihat rombongan dan bayi yang digendong merasa
kehausan kemudian cepat mengambil tindakan agar masalah itu tertangani. Tindakan yang
dilakukan yaitu, menggali tanah kemudian tanah yang digali tersebut dengan kemurahan
Tuhan Yang Maha Esa mengeluarkan sumber air yang deras hingga menjadi sebuah telaga
yang diberi nama telaga “Madirda”.
Bertepatan bulan Sela (Jawa) hari Jumat Legi rombongan meninggalakan tempat dan
berpesan kepada arga sekitar agar menjaga dan merawat telaga. pesan tersebut apabila tidak
dilaksanakan akan mendapat kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, sebaiknya setiap
tahun, tepatnya bulan Sela, hari Jum’at Legi warga yang memanfaatkan air dari telaga
berkenan untuk mengirimkan sesajian dan tidak boleh dicicipi terlebih dahulu, apabila
dilanggar akan mendapatkan kutukan. Perintah maupun larangan Jigang Jaya dituruti oleh
masyarakat dan tidak ada seorang pun yang berani melanggarnya, kemungkinan pula hingga
sampai sekarang. Telaga Buret bagi ketiga desa yaitu, Sawo, Gedangan, dan Ngentrong
merupakan tempat yang dianggap keramat. Tiga Desa tersebut setiap satu tahun sekali, tepat
pada bulan Sela, hari Jum’at Legi bersama-sama mengadakan kegiatan Ulur-ulur atau
selamatan di telaga tersebut. Menurut cerita Bapak Kepala Desa Gedangan bernama
Mudjono bahwasannya apabila setiap tahun desa-desa tadi tidak mengadakan Ulur-ulur atau
selamatan ke Telaga Buret, maka akan banyak terjadi halangan di desanya. Oleh sebab itu
hingga sekarang kebiasaan tersebut tidak berani ditinggalkan.
Telaga yang diyakini warga ada penunggu bernama Jigang Joyo berada di tepi sebelah
timur hutan rimba di Dusun Buret, Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten
Tulungagung. Disana juga ditemukan batu dasar semacam altar dan dua arca yang diyakini
oleh penduduk setempat yaitu arca Dewi Sri dan Jaka Sedana yang merupakan Dewa Padi.
Masyarakat yang sampai sekarang mengadakan upacara yaitu Desa Sawo, Desa Gedangan,
Desa Ngentrong dan Desa Gamping. Hal ini disebabkan keempat desa tersebut diari oleh air
dari telaga yang memberikan manfaat besar bagi kehidupan. Setiap tahun pada bulan Sela
hari Jumat Legi keempat desa melakukan upacara Ulur-ulur. Upacara tersebut menjadi
sebuah kebiasaan secara turun-temurun yang bertujuan untuk memperingati para leluhur yang
mendapatkan kemurahan Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber mata air. Tindakan-tindakan
yang dilakukan nenek moyang dahulu adalah sebagai wujud bakti kepada keyakinan mereka
kepada roh makhluk halus dan dewa-dewa. Wujud bakti mereka dengan mengadakan upacara
setiap bulan Sela tepat hari Jumat Legi. Hal itu sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Koentjaraningrat (2010:81) mengatakan bahwa Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi
berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan,
dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makhluk halus lain, dan dalam usahanya untuk
berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu.
Peralatan yang Ada dalam Pelaksanaan Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung
Peralatan-peralatan yang digunakan dalam upacara adat Ulur-ulur berdasarkan hasil
an temuan terbagi dalam tiga bagian yaitu, (1) perlengkapan upacara terdiri dari 12 (dua
belas) payung songsong, 1 (satu) payung songsong susun dua, 10 (sepuluh) tempat bunga, 1
(satu) bokor tempat sesaji, 1 (satu) baki tempat ketu janur, 2 (dua) tungku padam, 1 (satu)
bokor kecil tempat kemenyan/ratus, 3 (tiga) jodang tempat membawa sesaji, 2 (dua) kasedCD gending-gending monggang, son sistem-pengeras suara, bunga, kemenyan/ratus, arang
kayu, sesaji dan sesajian komplit, Peraga upacara terdiri dari remaja Pa, Pi, dan dewasa. (2)
perlengkapan tempat upacara terdiri dari terop lengkap, meja, kursi, son sistem lengkap,
terpal, umbul-umbul, sepanduk, baliho, lain-lain yang dianggap penting. Perlengkapan tempat
upacara dipergunakan untuk masyarakat yang hadir lebih merasa nyaman mengikuti upacara.
Perlengkapan tempat upacara hanya sebagai alat pendukung dalam pelaksanaan upacara. (3)
Perlengkapan sesaji terdiri dari, pisang raja 2 sisir, cok bakal uba rampen, badek, tike/candu,
kemenyan, minyak fanbo, rokok klobot, kelapa 1 butir, telur ayam/ itik, topi janur 2 buah,
boreh panji anom, koco, suri, kendi, tikar, mori, bunga telon. Perlengkapan sesaji kenduri
terdiri dari, dahar suci uba rampen, dahar ambeng mule uba rampen, buceng robyong,
buceng kuwat, jenang sengkolo, duabah (jadah) putih, duabah (jadah) merah, duabah
(jadah) kuning, duabah (jadah) hitam, wajik, jenang dodol, ketan kinco, tape ketan, punten,
lepet, pipis kopyor, kupat luar, untir-untir, kerupuk bakar ketan, ampyang, keleman yang
terdiri dari uwi, pohong, bentul, ubi rambat. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Anshoriy
(2013:85) mengatakan bahwa aktivitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari
berbagai penggunaan peralatan sebagai hasil karya manusia untuk mencapai tujuannya.
Ditegaskan juga oleh Koentjaraningrat (2010:81) mengenai lima komponen religi salah
satunya yaitu dalam ritus dan upacara religi biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana
dan peralatan.
Tata Urutan Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung
Tata urutan upacara yang dimulai dari malam sebelum pelaksanaan upacara, diadakan acara
sarasehan yang mendatangkan pakar budaya yang dilakukan oleh Paguyuban Sendang Tirto
Mulya. Jumat pagi tepat jam 10.00 WIB. Upacara Ulur-ulur dilaksanakan. Memulai dengan
pembawa acara membacakan susunan acara dilanjutkan dengan juru kunci menuju tempat
semadi membakar dupa, hening cipta untuk menghormati pahlawan yang sudah mendahului
kita, unjuk atur berisi maksud dan tujuan mengadakan upacara, caos dahar (obong dupa)
oleh juru kunci empat desa, siraman patung Dewi Sri dan Jaka Sedana. Selesai siraman
dilanjutkan dengan tabur bunga ke telaga, unjuk lengser berisi ucapan bahwasannya
pelaksanaan upacara selesai dilaksanakan, laporan panitia dan sambutan-sambutan. Semua
prosesi selesai kemudian dilakukan selamatan. Selamatan ini merupakan acara yang inti dari
seluruh rangkaian upacara, bahwasannya selamatan ini merupakan ucapan terima kasih
kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat berupa air telaga. Di selamatan terdapat
doa-doa yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam doa tersebut isinya ungkapan
terima kasih. Acara yang paling terakhir yaitu ramah tamah. hal ini sesuai dengan pendapat
Anshoriy (2013:85) mengatakan kebudayaan merupakan hasil olahan akal manusia tentang
alam ini. Dalam arti ini, maka setiap produk akal manusia disebut kebudayaan seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, ekonomi, seni, dan lain-lainnya.
Nilai Pancasila yang Tercermin dalam Upacara Adat Ulur-ulur di Desa Sawo,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Nilai religius semua masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas
rahmat yang diberikan berupa sumber mata air. Masyarakat empat desa masih memegang
kepercayaan nenek moyang bahwa telaga itu ada penunggu atau penguasa yang konon
merupakan seseorang yang membuat telaga. Kepercayaan-kepercayaan masyarakat empat
desa sesuai dengan pendapat Sunoto (1988: 2) mengatakan “percaya adanya jiwa-jiwa yang
menguasai alam, adanya kekuatan gaib yang terdapat di dalam alam ini dan lain sebagainya”.
Doa-doa yang dipanjatkan dalam upacara Ulur-ulur ditujukan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dan tidak mengandung simbol agama tertentu. Hal itu ditegaskan oleh pernyataan
sesepuh desa bapak Pamuji yaitu “Doa yang dihaturkan tidak boleh mengandung simbol
agama tertentu” . Darmodiharjo (1994: 24) mengatakan bahwa negara Indonesia tidak ada
dan tidak boleh ada faham yang meniadakan dan mengingkari adanya Tuhan dan toleransi
terhadap kebebasan memeluk agama dan kpercayaan masing-masing.
2.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Masyarakat empat desa mengadakan upacara Ulur-ulur tidak membeda-bedakan
suku, agama, keturunan maupun agama. Semua warga yang mengikuti upacara mendapatkan
perlakuan sama. Tidak hanya terfokus warga empat desa saja yang boleh datang dalam
pelaksanaan Ulur-ulur. Paguyuban Sendang Tirto Mulya yang mengurusi pelaksanaan Ulurulur juga mengundang dari paguyuban-paguyuban lain untuk bekerjasama melestarikan
budaya. Sunoto (1988: 3-4) mengatakan bahwa kekhususan Bangsa Indonesia adalah adil dan
beradab yang berati adil tidak merampas hak orang lain dan mempunyai sopan santun saling
menghormati sesama makkluk Tuhan. Darmodiharjo (1994: 25) mengatakan “Setiap
warganegara dijamin hak serta kebebasannya yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, dengan orang seorang, dengan masyarakatnya, dan alam lingkungannya”. Jadi
upacara Ulur-ulur masih menjujung tinggi kemanusiaan terbukti dengan memperlakukan
manusia layaknya manusia tidak ada penindasan dan diperlakukan sama serta juga
bekerjasama menghormati tamu dari paguyuban lain.
3.
Persatuan Indonesia
Warga desa yang mendapat pengairan dari telaga hidup secara rukun dan bersama-
sama menjaga telaga agar air dalam telaga tersebut tidak kering tetap terus mengeluarkan
sumber air. Pemanfaatan air telaga untuk pengairan diberlakukan sistem bergantian apabila
pada saat musim kemarau ataupun pada saa
air dalam telaga kurang untuk pengairan
langsung ke empat desa. Sunoto (1988: 5) mengatakan “Bangsa Indonesia dengan ciri-cirinya
guyub, rukun, bersatu, dan kekeluargaan, bertindak bukan semata-mata atas perhitungan
untung rugi dan pamrih serta kepentingan pribadi. Oleh karena itu unsur persatuan sudah
terdapat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia bahkan sudah dilaksanakan oleh mereka”.
Darmodiharjo (1994: 25) mengatakan “Nilai yang menjunjung tingi tradisi kejuangan dan
kerelaan untuk berkorban dan membela kehormatan bangsa dan negara. Mengandung nilai
patriotik serta penghargaan rasa kebangsaan sebagai realitas yang dinamis”. Warga masih
memiliki rasa cinta tanah air dan bersatu menjaga telaga tidak berebut air apabila air dalam
telaga tidak cukup untuk mengairi keempat desa. Selain itu pada saat mengikuti upacara
Ulur-ulur menggunakan sebuah pin yang bersimbolkan Burung Garuda dan Bendera Merah
Putih. Selain itu pada rangkaian upacara ada sesi mengheningkan cipta yang bertujuan untuk
mengenang jasa para pahalawan.
4.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
Dahulu cerita mengenai upacara Ulur-ulur pernah berhenti beberapa tahun kemudian
oleh salah satu warga yang peduli terhadap budaya peninggalan nenek moyang yaitu bernama
mbah Mangil (alm). Beliau mengajak pini sepuh untuk melestarikan kembali budaya nenek
moyang. Akhirnya pada tahun 1996 terbentuklah sebuah paguyuban yang bernama
Paguyuban Sendang Tirto Mulya. Tujuannya untuk melestarikan upacara adat Ulur-ulur dan
menjaga kelestian lingkungan yang ada disekitar telaga. Di Paguyuban Sendang Tirto Mulya
pemilihan ketua juga dipilih anggota, kebijakan yang diambil dasarnya musyawarah. Sunoto
(1988: 6-7) mengatakan bahwa Kerakyatan berarti bahwa yang berdaulat atau yang berkuasa
adalah rakyat. Darmodiharjo (1994: 26) mengatakan bahwa Dalam sila keempat ini,
tercermin nilai yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat yang harus
didahulukan. Jadi dalam upacara Ulur-ulur segala sesuatu dengan cara musyawarah untuk
mengambil kebijakan.
5.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Warga bergotong royong membersihkan lingkungan dan nglampet yaitu membuat
DAM atau bendungan. Sedangkan sekarang dalam pelaksanaan upacara warga emapat desa
bergotong royong untuk mempersiapkan keperluan yang dibutuhkan dalam upacara. Pada
saat upacara berlangsung para ibu-ibu keempat desa bersama-sama bergotong royong saling
membantu mempersiapkan makanan yang dibuat dari rumah dibagikan secara adil tidak
memilih-milih kepada seluruh masyarakat yang sudah datang ke upacara. Sunoto (1988: 7-8)
mengatakan bahwa Keadilan sosial ialah sifat masyarakat adil dan makmur berbahagia buat
semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penghisapan, bahagia material dan bahagia
spiritual, lahir dan batin. Istilah adil sudah saya terangkan yaitu menunjukkan bahwa orang
harus memberi kepada orang lain apa yang menjadi haknya dan tahu mana haknya sendiri
serta tahu apa kewajibannya kepada orang lain dan dirinya. Istilah gotong royong yang berarti
berkarya bersama dan membagi hasil karya bersama tepat sekali untuk menerangkan apa arti
keadilan sosial. Darmodiharjo (1994: 26) mengatakan bahwa Di dalam sila ini pun
terkandung nilai kedermawanan kepada sesama; nilai yang memberi tempat kepada sikap
juga mengembangkan nilai untuk menghargai karya, dan norma yang menolak adanya
kesewenang-wenangan, serta pemerasan kepada sesama. Jadi dalam upacara Ulur-ulur nilai
gotong royong tetapa dijunjung tinggi.
PENUTUP
Kesimpulan
Latar historis menegnai upacara adat Ulur-ulur Konon cerita telaga Buret ada
penunggu atau penguasa yang bernama Mbah Jigang Joyo yaitu salah satu rombongan
penunggang kuda yang beristirahat di sebuah hutan yang akhirnya untuk mengobati kehausan
menggali tanah hingga mengeluarkan sumber air yang besar sampai menjadi sebuah telaga.
Tepat bulan Sela hari Jumat Legi rombongan jigang Joyo meninggalkan tempat dan berpesan
kepada warga yang memanfaatkan air telaga bahwasannya harus menjaga dan mengrim
sesajian. Masyarakat masih percaya apabila tidak dilaksanakan akan mendapat kutukan.
Warga yang memanfaatkan air dari telaga yaitu
Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa
Ngentrong, Desa Gamping. Pelaksanaan upacara Ulur-ulur juga tidak lepas dari cerita dewa
padi yaitu Dewi Sri dan Jaka Sedana yang memberi kemakmuran dalam bidang pangan.
Dahulu perginya mbok Sri Sedana tepat pada bulan Sela hari Jumat Legi. Akhirnya warga
setempat terutama keempat desa yang memanfaatkan air telaga mengadakan upacara Ulurulur setiap setahun sekali tepat pada bulan Sela hari Jumat Legi.
Peralatan yang digunakan yaitu perlengkapan upacara ini digunakan pada saat
pelaksanaan yaitu antara lain, 12 (dua belas) payung songsong, 1 (satu) payung songsong
susun dua, 10 (sepuluh) tempat bunga, 1 (satu) bokor tempat sesaji, 1 (satu) baki tempat ketu
janur, 2 (dua) tungku padam, 1 (satu) bokor kecil tempat kemenyan/ratus, 3 (tiga) jodang
tempat membawa sesaji, 2 (dua) kased-cd gending-gending monggang, son sistem pengeras
suara, bunga, kemenyan/ratus, arang kayu, sesaji dan sesajian komplit, peraga upacara terdiri
dari remaja pa, pi, dan dewasa. Perlengkapan tempat upacara yang ada ditempat upacara
yaitu, terop lengkap, meja, kursi, son sistem lengkap, terpal, umbul-umbul, sepanduk, baliho,
lain-lain yang dianggap penting. Sesaji digunakan untuk upacara Ulur-ulur yaitu, pisang raja
2 sisir, cok bakal uba rampen, badek, tike/candu, kemenyan, minyak fanbo, rokok klobot,
kelapa 1 butir, telur ayam/ itik, topi janur 2 buah, boreh panji anom, koco, suri, kendi, tikar,
mori, bunga telon. Perlengkapan ini digunakan untuk memandikan arca dewi sri dan jaka
sedana yang dianggap sebagai dewa padi. Sesaji kenduri ini digunakan pada saat
selamatan/kenduri yaitu berupa dahar suci uba rampen, dahar ambeng mule uba rampen,
buceng robyong, buceng kuwat, jenang sengkolo, duabah (jadah) putih, duabah (jadah)
merah duabah (jadah) kuning, duabah (jadah) hitam, wajik, jenang dodol, ketan kinco tape
ketan, punten, lepet, pipis kopyor, kupat luar, untir-untir, kerupuk bakar ketan, ampyang,
keleman yang terdiri dari uwi, pohong, bentul, ubi rambat.
Pada malam hari sebelum upacara dilakukan ada acara sarasehan untuk membahas
perkembangan dan kelestarian upacara Ulur-ulur. Upacara dimulai tepat pukul 10.00 WIB,
upacara dibuka oleh pembawa acara kemudian dilanjutkan dengan juru kunci menuju tempat
semedi dengan membakar kemenyan untuk menghaturkan maksud dan tujuan. Juru kunci
selesai melakukan semedi kemudian melakukan hening cipta untuk mengenang jasa
pahlawan. Dilanjutkan dengan membacakan unjuk atur oleh pimpinan ritual. Kegiatan
selanjutnya yaitu caos dahar (obong dupa) dialnjutkan petugas membawa sesaji dan ketu
janur menyerahkan kejuru siram kemudian drlanjutkan dengan siraman 2 arca Dewi Sri dan
Jaka Sedana penyongsong mengikuti. Selesai siraman kemudian para petugas yang membawa
bunga menuju telaga untuk menaburkan bunga di telaga. Seluruh rangkaian upacara sudah
dilakukan kemudian dilakukan unjuk lengser dilanjutkan dengan laporan panitia dan
sambutan pihak terkait. Acara selanjutnya yaitu selamatan atau kenduri disertai doa kemudian
selamatan selesai dilanjutkan dengan acara ramah tamah untuk para tamu undangan maupun
peserta upacara.
Upacara adat Ulur-ulur mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Nilai religius semua
masyarakat mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas rahmat yang diberikan
berupa sumber mata air tercermin dalam doa-doa yang dipanjatkan. Selain itu nilai kerukunan
antar umat beragama meskipun ada lima agama semua saling menghormati satu sama lain.
Nilai yang tercermin dalam Pancasila sila kedua yaitu, nilai kemanusiaan yang terbukti
dengan tidak adanya diskriminasi antar golongan maupun agama. Semua dianggap sama
tidak membeda-bedakan. Nilai Pancasila sila ketiga yang terdapat dalam upacara Ulur-ulur
yaitu, nilai persatuan, kerukunan, cinta tanah air dan rasa kebanggan terhadap kebudayaan.
Hal ini bepegang pada Bhineka Tunggal Ika berbeda-beda tetap satu jua walaupun berbeda
agama semua bersatu untuk melestarikan kebudayaan nenek moyang. Nilai Pancasila sila
keempat dalam upacara Ulur-ulur yaitu, musyawarah mufakat. Masyarakat menggunakan
asas musyawarah mufakat unyuk pengambilan kebijakan dalam membahas permasalahan
untuk perkembangan dan kelestarian budaya peninggalan nenek moyang. Nilai Pancasila sila
kelima dalam upacara Ulur-ulur yaitu, saling membantu dan bekerjasama dalam
melaksanakan upacara Ulur-ulur. Nilai keadilan dan gotong royong juga tercermin dalam
upacara Ulur-ulur.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran penulis adalah sebagai berikut: (1)
diharapkan FIS dapat mengenalkan lagi budaya Ulur-ulur dan budaya asli Indonesia lainnya
agar tidak punah dan tidak diambil oleh bangsa lain (2) disarankan jurusan HKn untuk
mengintegrasikan lebih mendalam lagi mengenai kearifan lokal sehingga mahasiswa lebih
mengenal budaya daerah masing-masing (3) diharapkan masyarakat Desa Sawo, Gedangan,
Ngentrong, Gamping memahami makna dari upacara Ulur-ulur dan juga tetap melaksanakan
serta melestarikan budaya Ulur-ulur (4) diharapkan tokoh tetua adat mengajarkan kepada
generasi penerus mengenai tradisi Ulur-ulur tanpa mengurangi nilai budaya terkandung (5)
Diharapkan untuk pengembang ilmiah selanjutnya fokus penlitian lebih dikembangkan
misalnya melihat tradisi Ulur-ulur dari segi agama, sejarah, dan lingkungan (6) Dinas
Pariwisata diharapakan lebih menjaga, melestarikan dan melindungi budaya-budaya di daerah
agar tidak punah ataupun diambil oleh pihak lain.
DAFTAR RUJUKAN
Anshoriy Ch, HM. Nasruddin. 2013. Strategi Kebudayaan Titik Balik Kebangkitan Nasional.
Malang:UB Press.
Darmodiharjo, Darji. 1984. Pancasila Suatu Orientasi Singkat. Jakarta:Aries Lima.
Darmodiharjo, Darji. 1994. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.
Malang:Laboratorium Pancasila IKIP Malang.
Catatan Artikel Seni dan Budaya. 2012. Definisi Upacara Adat. (Online),
(http://catatansenibudaya.blogspot.com), diakses 10 Desember 2013.
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:Paradigma.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2011. Jakarta:Pusat Balai Bahasa.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta:Universitas Indonesia.
Naskah Amandemen Lengkap UUD 1945. 2013. Yogyakarta:Pustaka Yutistia.
Sunoto. 1988. Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui: Sejarah dan
Pelaksanaannya. Yogyakarta:PT. Hanindita.
Ulur-ulur Upacara Tradisional di Desa Sawo. 2006. Tulungagung:Paguyuban Sendang Tirto
Mulya.
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis,
Disertasi, Artikel Makalah, Laporan Penelitian (Edisi Kelima). Malang: Biro
Admistrasi Akademik, Perencanaan, dan Sistem Informasi Kerjasama dengan
Penerbit Universitas Negeri Malang.
Wiyono, Bambang Budi. 2007. Metodologi Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kulitatif, dan
Action Research) (Burhanuddin, Ed). Malang:Universitas Negeri Malang Fakultas Ilmu
Pendidikan.
Download