Table of Contents No. Title Page 1 Dampak Krisis Finansial 2008 Terhadap Angka Pengangguran di Jerman 1 - 16 2 Faktor-Faktor di Balik Perubahan Moda Masuk Billabong Internasional Ltd. dalam Ekspansinya ke Indonesia 17 - 30 3 Perubahan Strategi Revolutionary United Front (RUF) terhadap Intervensi UNAMSIL dalam Perang Sipil Sierra Leone 1999-2000 31 - 52 4 Peranan Ethiopia dalam Konflik di Somalia Kurun Waktu 2006 – 2009 53 - 65 5 Sengketa Kepulauan Senkaku antara Cina dan Jepang (1998-2013) 67 - 83 6 Hubungan Indonesia-China pasca Normalisasi tahun 1990 85 - 104 7 Postur Kebijakan Perbatasan Indonesia – Papua New Guinea 105 - 118 8 Pengaruh Krisis Ekonomi Global terhadap Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Internasional 119 - 140 9 Kebijakan Luar Negeri Rusia Terhadap Suriah dalam Konflik Suriah Tahun 2011-2012 141 - 155 10 Analisis Penghentian Proyek Bendungan Myitsone oleh Myanmar terhadap Cina Tahun 2009-2012 157 - 175 11 Disfungsi Peran UNFPA atas Kebijakan Kependudukan di Cina pada Tahun 1979 – 1994 177 - 200 12 Prestise Kebangkitan Olahraga sebagai Sarana Kebangkitan Damai China 201 - 219 13 Latar Belakang Jepang Mengirim Pasukan Militer Melaksanakan Misi Non-Tempur di Iraq Tahun 2004-2008 221 - 233 14 Terorisme sebagai Tantangan Kelompok Etnis terhadap Negara: Studi Kasus Gerakan Transnasional Boko Haram Di Nigeria 679 - 705 15 Strategi Advokasi OWC, ORIP, dan OPDP dalam Upaya Penyelesaian Konflik Penggusuran Masyarakat Ogiek di Hutan Mau 1990-2013 235 - 255 16 Pemberian Bantuan Amerika Serikat kepada Somalia sebagai Bentuk Pembendungan Kekuatan Cina di Afrika 257 - 276 17 Strategi Diplomasi Organisasi Non-Pemerintah dalam Resolusi Perang Sipil: MARWOPNET di Liberia 2000-2003 277 - 294 18 Pengaruh Ideologi Kiri Baru terhadap Perubahan Kebijakan Negara di Sektor Energi: Studi Kasus Venezuela 295 - 345 19 Pengaruh EU-China Information Society Project dalam Perkembangan E-Government China 347 - 361 20 Strategi Lobbying dan Rebranding Blackwater untuk Merespon Citra Negatif pasca Insiden di Irak Tahun 2004 – 2012 363 - 396 21 Strategi Brasil Menghadapi TRIPS dan Tuntutan Amerika Serikat dalam Menangani Kasus HIVAIDS 397 - 409 22 Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam World Trade Organization (WTO) 411 - 433 Vol. 3 - No. 1 / 2014-03 TOC : 21, and page : 411 - 433 Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam World Trade Organization (WTO) Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam World Trade Organization (WTO) Author : Maria Josephina Ruth Kezia Saudale | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Abstract This research raised issue of Banana Wars, the longest international trade dispute in the history of the WTO. The argument put forward here is the operationalization of the WTO free-trade schemes still has problems, especially of the existence of the historical factors shape banana trade preferences between Europe and the ACP. Thus, Normas are created in the WTO regime is not adhered to because the countries involved exclusively concerned with priorities in trade relations that have long formed between colonies and colonial since 1900 until 1992. Limit of free-trade shaped by historical ties which then prevents the WTO member countries to implement total liberalization in the global banana trade. The discussion is divided into the formation of the European banana trade regime and the ACP during colonialism as historical descriptions and historical implications of the strengthening the conflict sentiment of Banana Wars. This writing concludes with the interpretation of the emergence of Banana Wars case as empirical evidence of the weakness of the WTO multilateral free-trade scheme. Keyword : WTO, Banana, Wars, Compliance, European, Union, ACP, Daftar Pustaka : 1. Alter, Karen J. & Sophie Munier, (2006). “Nested and Overlapping Regimes in the Transatlantic Banana Trade Dispute―, Journal of European Public Policy. London : Routlegde 2. Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes, (2006). “On Compliance―, International Law and International Relations. Cambridge : Cambridge University Press 3. Colares, Fuscelino F., (2011). “The Limits of WTO Adjudication: Is Compliance the Problem?―, Journal of International Economic Law 14 (2), 403-436. Oxford : Oxford University Press 4. Ikbar, Yanuar, (2006). Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori. Bandung : PT. Refika Aditama 5. Krasner, Stephen D., (2006). “Structural Cause and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables―, International Law and International Relations. Cambridge : Cambridge University Press Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) Banana Wars: Menginterpretasi Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam World Trade Organization (WTO) Maria Josephina Ruth Kezia Saudale – 071012018 Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga ABSTRACT This research raised issue of Banana Wars, the longest international trade dispute in the history of the WTO. The argument put forward here is the operationalization of the WTO free-trade schemes still has problems, especially of the existence of the historical factors shape banana trade preferences between Europe and the ACP. Thus, Normas are created in the WTO regime is not adhered to because the countries involved exclusively concerned with priorities in trade relations that have long formed between colonies and colonial since 1900 until 1992. Limit of free-trade shaped by historical ties which then prevents the WTO member countries to implement total liberalization in the global banana trade. The discussion is divided into the formation of the European banana trade regime and the ACP during colonialism as historical descriptions and historical implications of the strengthening the conflict sentiment of Banana Wars. This writing concludes with the interpretation of the emergence of Banana Wars case as empirical evidence of the weakness of the WTO multilateral free-trade scheme. Keywords: WTO, Banana Wars, Compliance, European Union, ACP, United States, Multilateral, Free-trade, Colony, Banana. Penelitian ini mengangkat isu Banana Wars, sebagai sengketa perdagangan internasional terlama di WTO. Argumentasi yang diajukan berdasarkan sengketa Banana Wars adalah operasionalisasi skema perdagangan bebas dalam WTO masih mengalami hambatan khususnya dari eksistensi faktor historis yang membentuk preferensi perdagangan buah pisang antara Eropa dan ACP. Sehingga, norma yang diciptakan dalam rezim WTO tidak dipatuhi karena negara-negara yang terlibat mementingkan prioritas ekslusif dalam hubungan dagang yang telah terbentuk lama antara koloni dan kolonial dari tahun 1900 – 1992. Limit dari perdagangan bebas dibentuk oleh ikatan historis yang kemudian mencegah negara-negara anggota WTO untuk menerapkan liberalisasi total dalam perdagangan buah pisang global. Pembahasan dibagi ke dalam pembentukan rezim perdagangan buah pisang Eropa dan ACP selama kolonialisme sebagai deskripsi historis dan implikasi relasi historis terhadap penguatan sentimen konflik dalam Banana Wars. Penelitian ditutup dengan interpretasi kemunculan kasus Banana Wars sebagai bukti empiris kelemahan dari skema perdagangan bebas multilateral WTO. Kata-Kata Kunci: WTO, Banana Wars, Kepatuhan, Uni Eropa, ACP, Amerika Serikat, Multilateral, Perdagangan Bebas, Koloni, Buah Pisang. 411 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Penyelesaian Sengketa Banana Wars Sistem perdagangan multilateral tidak lepas dari dinamika yang terjadi dari peran aktor-aktor yang terlibat. Sepanjang tahun 1960 hingga 1970 persaingan ekonomi global yang sangat kompetitif menghasilkan perimbangan kekuatan dari negara-negara di Eropa terutama Eropa Barat atas Amerika Serikat, yang dalam kurun waktu tadi menjadi aktor ekonomi terkuat.1 Negara-negara di Eropa khususnya di Eropa Barat – yang terkuat secara ekonomi – yaitu Jerman, Perancis, Inggris dan Italia, terintegrasi ke dalam organisasi regional Uni Eropa yang terbentuk pada tahun 1993. Uni Eropa juga memiliki rezim pasar tunggal terbesar di dunia yang disebut Single European Market (SEM).2 Sistem perdagangan multilateral semakin berkembang dengan adanya keanggotan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam organisasi perdagangan dunia yaitu World Trade Organization (WTO).3 Tidak hanya mengalami perkembangan dalam keanggotan, sistem perdagangan multilateral juga menghasilkan sengketa perdagangan yang melibatkan aktor-aktornya. Di antara banyak sengketa perekonomian yang ada di dunia, sengketa yang menjadi kajian dalam penelitian ini berasal dari salah satu produk agrikultur yakni buah pisang. Sengketa yang dikenal dengan nama Banana Wars telah melibatkan negara besar Amerika Serikat, organisasi regional Uni Eropa serta negara-negara di Amerika Latin dan Tengah – yang merupakan produsen buah pisang – ke dalam sengketa perdagangan terlama dalam sistem perdagangan multilateral setelah Perang Dunia II.4 WTO kemudian menjadi satu-satunya organisasi internasional yang mengatur relasi perdagangan dan membuat aturan perdagangan antar negara5 mengambil peranan dalam penyelesaian sengketa. WTO yang berdiri pada 1 Januari 1995 merupakan hasil negosiasi panjang dari Uruguay Round dan memiliki fungsi untuk memastikan aliran perdagangan yang dilakukan oleh negara anggota berlangsung 1 2 3 4 5 Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006): 135 Single European Market (SEM) terbentuk dari Treaty of Rome yang diaplikasikan oleh enam negara utama pendiri European Economic Community ((EEC) kemudian bernama Uni Eropa) dalam istilah common market. Pada saat terbentuknya common market tahun 1957 masih terdapat fragmentasi dari keadaan ekonomi nasional masing-masing negara Eropa sehingga perluasan kebijakan dilakukan untuk menyesuaikan dengan keadaan ekonomi negara-negara dengan membentuk SEM sebagai lanjutan dari common market. Ikbar, Ekonomi Politik Internasional 1, 137 Karen J. Alter & Sophie Munier, “Nested and Overlapping Regimes in the Transatlantic Banana Trade Dispute”, Journal of European Public Policy (London: Routlegde, 2006): 363-364 “The WTO”, WTO Website, http://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.htm (diakses tanggal 30 September 2013) 412 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO lancar, dapat diprediksi dan berjalan sebebas-bebasnya.6 Dalam sistem perdagangan multilateral WTO yang mengatur kurang lebih 159 negara anggota7, diperkirakan aktivitas perdagangan multilateral akan rentan dengan sengketa sehingga terdapat peraturan yang dibuat oleh WTO untuk mengatasi sengketa yang terjadi. Pembuatan dan penerapan aturan memiliki tujuan untuk membantu relasi perdagangan antar negara anggota dapat berlangsung tanpa memberikan implikasi terhadap sistem perdagangan multilateral di WTO.8 Aturan yang dibuat bersifat mengikat negara anggota melalui perjanjian yang telah diratifikasi oleh parlemen dari negara anggota WTO.9 Amerika Serikat, Uni Eropa, negara-negara Amerika Latin dan Tengah yang terlibat dalam Banana Wars telah menjadi anggota dari WTO juga terikat dalam aturan-aturan yang terdapat di WTO.10 Aturan-aturan telah tercantum dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 11yang didasari kepada tiga prinsip utama GATT (yang kemudian menjadi WTO) yaitu: most-favoured-nation (MFN), transparansi dan national treatment.12 Prinsip-prinsip yang berasal dari GATT maupun WTO menjadi dasar protes yang diajukan oleh negara-negara Amerika Tengah dan Latin atas penandatangan Lomé Convention yang menjadi awal dari Banana Wars. Dalam konvensi, telah diatur mengenai tariff protection oleh Perancis, Italia, Inggris, Yunani, Portugal dan Spanyol terhadap 69 negara di African-Caribbean-Pacific (ACP) yang notabene merupakan negara bekas koloni Eropa.13 Negara-negara di ACP yang menandatangani Lomé Convention diuntungkan dalam sebuah perjanjian dagang khusus mengenai kuota dan tarif buah pisang yang diekspor ke pasar Eropa.14 Lomé Convention juga mendapat protes dari Chiquita Brands International – salah satu perusahaan produsen buah pisang terbesar milik Amerika Serikat – yang beroperasi di Amerika Latin.15 Chiquita Brands International melobi pemerintah Amerika Serikat melalui United States Trade Representatives (USTR) untuk mengajukan petisi protes ke 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 “The WTO” “The WTO” “The WTO” “What is the WTO”, WTO Website, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/whatis_e.htm (diakses pada 30 September 2013) Anonim, “Lamy hails accord ending long running dispute”, WTO Website, 15 Desember 2009 http://www.wto.org/english/news_e/pres09_e/pr591_e.htm (diakses tanggal 30 September 2013) “What is the WTO” “What is the WTO” Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 369 Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 367-368 James Wiley, The Banana: Empires, Trade Wars and Globalization (Lincoln, NE: University of Nebraska Press, 2008): 181-182 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 413 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale WTO mengenai kebijakan preferensi yang diberikan Uni Eropa kepada negara bekas koloninya di ACP. Petisi protes juga berisikan protes terhadap pembatasan kuota serta akses untuk mengekspor buah pisang ke pasar Eropa.16 Sebelum Banana Wars dibahas ke dalam panel WTO dengan keterlibatan Amerika Serikat, panel pertama diadakan melalui GATT pada tahun 1991 mengenai pembahasan akan pembentukan SEM.17 Kosta Rika, Kolombia, Venezuela, Peru, Honduras dan Meksiko menyampaikan keberatan yang sama mengenai pembentukan SEM karena melalui terbentuknya SEM, penerapan kebijakan-kebijakan impor Uni Eropa akan mendiskriminasi akses ekspor negara-negara di Amerika Latin ke pasar Eropa.18 Konsultasi diajukan oleh negara-negara Amerika Latin terhadap Uni Eropa untuk mencari solusi dibawah komitmen Uruguay Round on Free Trade.19 Konsultasi tidak menemui jalan keluar dan tekanan semakin bermunculan dari negara-negara yang mengajukan protes ketika Uni Eropa mengadopsi secara penuh kebijakan-kebijakan SEM pada tahun 1993.20 Panel kedua diajukan pada 11 Februari 1994 terhadap kebijakan dalam SEM yang dianggap melanggar Artikel XI GATT (restriksi kuantitatif) mengenai preferensi tarif yang diberikan Uni Eropa kepada buah pisang dari negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik yang juga telah melanggar prinsip MFN.21 Setelah WTO terbentuk, protes baru diajukan dibawah WTO’s dispute settlement system22 oleh Ekuador, Guatemala, Honduras dan Meksiko bersama Amerika Serikat pada tahun 1996 dikarenakan tidak adanya perubahan signifikan yang dilakukan Uni Eropa dalam mengimplementasikan report panel GATT semenjak tahun 1993. Panel selanjutnya pada tahun 1997 menyebutkan bahwa rezim pisang Uni Eropa tetap tidak konsisten terhadap prinsip-prinsip WTO.23 Uni Eropa merespon protes dengan memperkenalkan rezim impor pisang baru pada tahun 1999 namun masih dianggap belum memenuhi seluruh kewajiban Uni Eropa terhadap WTO.24 Tindakan untuk memberikan 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Wiley, The Banana, 182-185 Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 369 Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 369 Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Sistem penyelesaian sengketa dalam WTO diperbaharui yakni ditiadakannya formal veto dalam sengketa perdagangan. Sistem baru dalam WTO melarang tindakan negara yang bersengketa untuk menggunakan veto sehingga tidak mengadopsi hasil report dari panel yang telah dilaksanakan. Prinsip pertama adalah dalam alokasi kuota yang melanggar prinsip non-diskriminasi (Artikel XIII GATT). Prinisp kedua adalah prosedur lisensi yang melanggar prinsip MFN serta national treatment (Artikel I dan III GATT). Prosedur lisensi yang diberikan Uni Eropa kepada negaranegara di ACP memberikan dampak kepada suppliers jasa yang berasal dari negara yang memprotes rezim pisang Uni Eropa. Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website 414 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO sanksi dijatuhkan oleh WTO melalui negara-negara yang telah mengajukan protes. Pada tahun yang sama, WTO memberikan izin bagi Amerika Serikat untuk memberikan sanksi kepada produk Uni Eropa yang memasuki pasar Amerika Serikat sebesar 191 juta dollar Amerika per tahun. Tidak hanya Amerika Serikat, Ekuador diberikan izin oleh WTO untuk memberikan sanksi sebesar 201 juta dollar Amerika per tahun terhadap ekspor Uni Eropa ke Ekuador.25 Pada tahun 2001, ketiga pihak yakni Uni Eropa, Ekuador dan Amerika Serikat mencapai kesepakatan untuk penundaan sanksi terhadap Uni Eropa selama Uni Eropa bisa menunjukkan komitmen26 untuk merubah rezim perdagangan pisang dari sistem yang berdasarkan kepada tarif dan kuota menjadi sistem tarif sebelum 1 Januari 2006. Sehingga, melalui sistem tarif, kebijakan impor buah pisang tidak lagi berpusat kepada kuota serta menetapkan tarif tunggal untuk semua impor buah pisang.27 Namun, terdapat pengecualian kepada buah pisang dari negara-negara di ACP yang tetap mengikuti keuntungan dari preferensi yang telah ditandatangani dalam Lomé Convention.28 Negosiasi terus berlanjut hingga November 2001 pada Doha Ministerial Conference atau Doha Round untuk melanjutkan kesepakatan antara Uni Eropa, Amerika Serikat dan Ekuador. Keputusan dari Doha Round mengijinkan impor buah pisang dari negara-negara di ACP ke Uni Eropa dimasukkan ke dalam pembebasan tarif hingga 31 Desember 2007.29 Melanjutkan negosiasi dalam Doha Round, pada Januari 2005 Uni Eropa menginformasikan kepada WTO mengenai kebijakan baru dalam tarif buah pisang yang akan diekspor ke pasar Eropa yaitu sebesar 230 Euro per ton. Namun, Brazil, Kolumbia, Kosta Rika, Ekuador, Guatemala, Honduras, Nikaragua, Panama, dan Venezuela mengajukan arbitrasi30 ke WTO mengenai hasil keputusan Doha Round yang tetap memberikan kebebasan tarif kepada negara-negara di ACP serta terkait dengan tarif buah pisang sebesar 230 Euro per ton yang telah diajukan 25 26 27 28 29 30 Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Komitmen dalam perjanjian internasional ditandai dengan adanya pembuatan jadwal yang berisikan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini berlangsung selama proses negosiasi perdagangan seperti dalam kasus Banana Wars yakni pembuatan jadwal untuk mengimplementasikan tarif ekspor ke pasar Eropa. Uni Eropa harus segera memenuhi komitmen sebelum dijatuhkan sanksi. Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa WTO yang lebih formal dibandingkan mediasi sengketa. Arbitrasi diajukan oleh negara terkait dengan pencarian kesetaraan serta solusi dalam sebuah sengketa. Arbitrasi akan dilakukan negara terkait dengan kepentingan dalam sengketa yang melibatkan negara yang mengajukan. Dalam arbitrasi, negara yang mengajukan dapat mengundang pihak lain jika hal itu merujuk kepada penyelesaian sebuah perjanjian. Terkait Banana Wars, arbitrasi yang diajukan merujuk kepada keputusan Doha oleh Uni Eropa mengenai tarif. Jurnal Analisis HI, Maret 2014 415 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale oleh Uni Eropa kepada negara di luar ACP.31 Dari pengajuan arbitrasi, Uni Eropa merevisi tarif buah pisang menjadi sebesar 187 Euro per ton. Namun, hasil revisi Uni Eropa belum menemui kesepakatan untuk segera diimplementasikan karena ketiadaan proposal balasan terhadap revisi Uni Eropa. Dalam artian, pihak-pihak yang berada dalam arbitrasi belum menemui kesepakatan yang sama mengenai hasil Doha Round maupun revisi tarif baru dari Uni Eropa.32 Paska arbitrasi pertama, giliran Uni Eropa mengambil keputusan untuk mengajukan arbitrasi kepada WTO. Arbitrasi yang diajukan adalah untuk membuat proposal baru atau rektifikasi33 mengenai kebijakan tarif buah pisang Arbitrasi kedua yang terjadi pada Oktober 2005 berisikan permintaan rektifikasi dari Uni Eropa dalam tarif buah pisang menjadi sebesar 187 Euro per ton dan mengenakan tarif kepada negaranegara di ACP jika mengimpor dibawah 775.000 ton buah pisang. Namun, Uni Eropa gagal menyerahkan rektifikasi tepat waktu sehingga tarif baru buah pisang bagi negara di luar ACP adalah 176 Euro per ton dan tidak ada tarif yang dikenakan kepada buah pisang dari negaranegara di ACP jika mengimpor diatas 775.000 ton . Keputusan berlaku secara efektif pada 1 Januari 2006.34 Namun, pada Desember 2005 dalam Hong Kong Ministerial Meeting, beberapa negara dari Amerika Latin meminta konsultasi dengan Uni Eropa ke WTO. Konsultasi yang diminta merujuk kepada dua arbitrasi yang telah diadakan mengenai keputusan Doha Round termasuk pengecualian terhadap negara-negara di ACP. Negara-negara dari Amerika Latin masih menganggap Uni Eropa belum memenuhi kewajibannya terhadap WTO.35 Tidak hanya itu, sinyal positif dari Doha Round masih mengalami perdebatan dimana Ekuador meminta konsultasi terpisah dengan Uni Eropa pada November 2006. Konsultasi yang diajukan merujuk kepada pelanggaran yang dilakukan Uni Eropa terhadap Artikel I, II, dan XIII GATT dalam penetapan tarif baru. 36 Tidak hanya Ekuador, Panama dan Kolumbia juga mengajukan panel pada Maret 2007 dan Juni 2007. Panel yang diajukan ke WTO berada dalam pengawasan Dispute Settlement Body (DSB)37. Amerika Serikat 31 32 33 34 35 36 37 Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Rektifikasi merupakan perubahan atau perbaikan dalam tarif yang akan dikenakan sebelumnya dalam proses negosiasi perdagangan. Uni Eropa meminta rektifikasi yang memiliki tenggat waktu 30 hari kepada WTO untuk membuat perubahan atau perbaikan dalam proposal yang telah diajukan dalam arbitrasi pertama mengenai tarif buah pisang yang akan diekspor ke pasar Eropa. Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Merupakan Dewan Umum WTO yang mempunyai kewenangan tunggal dalam mengadakan panel di WTO. Badan ini dapat mengadopsi laporan banding dan menjadi badan pengawas dalam implementasi peraturan dan rekomendasi yang telah terjadi selama proses negosiasi. DSB juga 416 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO juga mengajukan untuk diadakan panel pada Agustus 2007. Laporanlaporan dari panel dikeluarkan oleh DSB berdasarkan protes dari Ekuador, Panama, Kolombia dan Amerika Serikat. Selanjutnya, hanya dua laporan yang diadopsi yakni yang berasal dari Ekuador dan Amerika Serikat.38 Uni Eropa mengambil tindakan banding atas dua laporan yang diadopsi pada Agustus 2008. Sehingga, Uni Eropa terus berinteraksi dengan DSB untuk berdiskusi dengan negara-negara Amerika Latin maupun Amerika Serikat mengenai pemenuhan kewajiban dari tarif yang akan dikenakan oleh Uni Eropa. Selama proses diskusi yang berlangsung, Panama maupun Kolumbia mengajukan penggunaan good offices39 kepada Direktur Utama WTO Pascal Lamy untuk menyelesaikan sengketa dan memberikan solusi. Sehingga, pada akhirnya terdapat hasil yang lebih positif melanjutkan kesepakatan dalam Doha Round terjadi pada Desember 2009. Pertemuan di Jenewa pada Desember 2009 menandai kesepakatan untuk mengakhiri sengketa perdagangan yang telah berlangsung hampir dua dekade. Negara-negara Amerika Latin yang hadir adalah Brazil, Kolumbia, Kosta Rika, Ekuador, Guatemala, Honduras, Meksiko, Nikaragua, Panama, Venezuela dan Peru (namun, mereka tidak menandatangani solusi yang disepakati bersama).40 Dalam pertemuan di Jenewa juga disetujui solusi-solusi bersama antara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Solusi-solusi tercantum dalam The Geneva Banana Agreement, salah satunya adalah “jadwal” resmi komitmen Uni Eropa untuk menurunkan tarif impor buah pisang setiap tahunnya hingga 2017. Jadwal yang dibuat telah ditandatangani oleh Direktur Umum WTO dan berlaku secara multilateral.41 Tabel 1. Jadwal Resmi Komitmen Uni Eropa dalam Penurunan Tarif42 38 39 40 41 42 dapat menerima pengajuan banding jika terdapat pihak yang tidak mengimplementasikan aturan atau rekomendasi yang telah ada. Anonim, “Lamy hails accord”, WTO Website Salah satu bentuk mediasi di WTO yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang tidak secara langsung berkepentingan dalam sengketa. Mediasi akan diajukan melalui Direktur Utama WTO untuk memberikan kewenangan kepada pihak ketiga dalam melaksanakan mediasi atau memberikan saran mengenai sengketa. Dalam Banana Wars, Panama maupun Kolumbia secara terpisah melaksanakan mediasi dengan Uni Eropa sepanjang November 2007 hingga Agustus 2008. Anonim, “Dispute: Bananas. Historic signing ends 20 years of EU-Latin Americas Banana Disputes”, WTO Website, 8 November 2012, http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/disp_08nov12_e.htm (diakses pada tanggal 30 September 2013) Anonim, “Dispute: Bananas”, WTO Website Anonim, “Dispute: Bananas”, WTO Website Jurnal Analisis HI, Maret 2014 417 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale 15 Desember 2009 – 31 Desember 2010 1 Januari 2011 1 Januari 2012 1 Januari 2013 1 Januari 2014 1 Januari 2015 1 Januari 2016 1 Januari 2017 148 Euro per ton 143 Euro per ton 136 Euro per ton 132 Euro per ton 127 Euro per ton 122 Euro per ton 117 Euro per ton 114 Euro per ton Sengketa perdagangan buah pisang menunjukkan kemajuan yang signifikan dari tahun 1991 hingga penandatanganan persetujuan atas solusi bersama pada tahun 2009 yang tercantum dalam The Geneva Banana Agreement. Proses negosiasi yang berjalan diantara pihak yang bersengketa berlangsung signifikan melihat hasil kesepakatan yang ditandatangani di Jenewa. Komitmen dari Uni Eropa juga ditunjukkan dalam “jadwal” resmi untuk penetapan tarif impor buah pisang ke pasar Eropa. Sementara itu, selama proses penyelesaian sengketa terdapat persoalan hubungan historis Uni Eropa terhadap negara bekas koloninya yang menjadi hambatan bagi skema perdagangan bebas WTO. Kepatuhan Uni Eropa dalam Banana Wars terkait Ikatan Historis Pembahasan mengenai relasi historis yang dimiliki oleh Bangsa Eropa dan negara-negara bekas jajahan Eropa di ACP dalam aktivitas perdagangan buah pisang global. Relasi historis Uni Eropa dan negara bekas koloni Eropa terlihat dari kehadiran bangsa Eropa seiring dengan praktek kolonialisme dalam membangun industri buah pisang di ACP. Bab ini membahas beberapa hal yakni pembentukan industri pisang di Windward Islands, Jamaika, Belize, dan Suriname sebagai wilayah koloni Inggris serta Guadelope dan Martinique sebagai wilayah Departementes d’outre (DOMS) dari Perancis yang menunjukkan relasi historis kolonialisme dan pembentukan rezim perdagangan buah pisang di ACP. Selanjutnya adalah pembahasan mengenai Lomé Convention tahun 1947 yang merupakan lanjutan dari relasi historis masa kolonialisme sebagai pakta perdagangan terbesar Uni Eropa dan ACP. Industri buah pisang dan kolonialisme memiliki hubungan terkait yaitu produksi buah pisang berasal dari kemunculan pasar perdagangan buah pisang dari negara di ACP pada tahun 1900-an.43 Pada tahun yang sama, sejarah mencatat bahwa proses kolonialisme yang dilakukan oleh 43 Mikah Lightner dan Matt O’Mara, “Bananas and A History of Colonialism”. The Banana Trade War. http://www.stanford.edu/class/e297c/trade_environment/wheeling/hbanana.html (diakses pada 5 Agustus 2013) 418 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO Bangsa Eropa sedang berlangsung.44 Perkenalan negara-negara di ACP terhadap industri pisang dilakukan oleh Bangsa Eropa pada saat kolonialisme sebagai solusi untuk meningkatkan pemasukan bagi bangsa yang dijajah. Melalui buah pisang, negara-negara di ACP mengembangkan industri buah pisang untuk membantu pertumbuhan ekonomi. Negara-negara di ACP kemudian menjadi produsen dari buah pisang selain dari negara-negara di Amerika Latin dan Tengah seperti Ekuador, Kosta Rika, Kolumbia, Guatemala, Nikaragua dan Venezuela. 45 Peta perdagangan buah pisang dalam Peta 2.1 menunjukkan pembagian empat sub-sistem global yang menjadi pusat dalam aktivitas perdagangan pisang termasuk ACP. Sub-sistem yang ada dijadikan dasar bagi bangsa Eropa selama masa kolonialisme sebagai titik awal mendirikan industri buah pisang diluar Eropa. Eksplorasi ke wilayah pesisir Afrika pada tahun 1920-an menjadi titik penting bagi pembentukan industri buah pisang di ACP.46 Salah satu hal yang paling esensial dari pemilihan Afrika sebagai daerah untuk pembentukan industri buah pisang adalah dikarenakan sifat alami kematangan yag cepat dari buah pisang. Sehingga, buah pisang harus segera didistribusikan sampai kepada penjual lokal dengan waktu yang singkat.47 Dengan memilih daerah yang dekat secara geografis dengan Eropa bagi pengembangan industri buah pisang, maka buah pisang dapat segera didistribusikan untuk dikonsumsi dan menghindari terjadinya kerugian akibat pembusukan. Bangsa Eropa menghubungkan dua hal penting yaitu kedekatan geografis dan kepentingan konsumsi untuk mengembangkan industri buah pisang di negara koloninya dan membantu petani buah pisang dalam mendirikan organisasi untuk mengontrol proses distribusi buah pisang.48 44 45 46 47 48 Wiley, The Banana, 125 Wiley, The Banana, 125 Wiley, The Banana, 4 Wiley, The Banana, 5 Wiley, The Banana, 5 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 419 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Peta 2. Sub-Sistem Semenjak 190049 Global Perdagangan Buah Pisang Tidak hanya hubungan dalam ikatan historisis, namun terdapat penandatanganan perjanjian perdagangan antara Uni Eropa dengan negara bekas koloninya. Adanya perjanjian perdagangan buah pisang antara negara-negara Eropa dan ACP terbentuk dalam Lomé Convention. Perjanjian ini dimulai pada tahun 1957 dengan adanya Treaty of Rome sebagai salah satu dasar dari setiap keputusan Uni Eropa.50 Dalam bagian empat Treaty of Rome dijelaskan mengenai adanya European Developmental Funds (EDFs) untuk memberikan bantuan teknis dan finansial salah satunya dalam industri buah pisang. EDFs kemudian dilanjutkan dalam Lomé Convention pada tahun 1957. Lomé Convention merupakan bentuk bantuan yang diberikan bagi wilayah bekas koloni dari sebagian negara Eropa. Lomé Convention menandakan sebuah kerangka finansial dan politik terbesar untuk memfasilitasi bantuan dan kerjasama Utara dan Selatan.51 49 50 51 Wiley, The Banana, 4 European Comission, “European Comission – Lomé Convention”, EU http://ec.europa.eu/europeaid/where/acp/overview/lome-convention/index_en.htm pada tanggal 30 Oktober 2013) Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 373 420 Website (diakses Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO Implikasi Relasi Historis Dalam Kebijakan Uni Eropa Selanjutnya adalah pembahasan mengenai beberapa implikasi relasi historis yang dimiliki oleh Bangsa Eropa dan negara-negara bekas jajahannya di ACP terhadap skema perdagangan bebas di WTO. Pembahasan dimulai dari implikasi relasi historis yang dimiliki Uni Eropa dan ACP dalam pembentukan SEM sebagai pasar tunggal Eropa. Dalam kebijakan SEM terdapat preferensi-preferensi akses ke pasar Eropa bagi negara-negara di ACP untuk memperdagangkan buah pisang semenjak tahun 1993. Preferensi-preferensi yang diberikan Uni Eropa kepada negara bekas koloni di ACP merujuk kepada relasi historis sehingga memperkuat posisi Uni Eropa sebagai salah satu aktor penting dalam perdagangan internasional yang berhubungan dengan sengketa Banana Wars. Uni Eropa juga memiliki peranan penting dalam WTO dalam penyelesaian sengketa Banana Wars di WTO. Terakhir, Uni Eropa juga memiliki peranan dalam pembentukan rezim perdagangan buah pisang global di WTO selama sengketa Banana Wars. Implikasi terhadap posisi Uni Eropa di Banana Wars juga telah memperkuat sentimen konflik diantara negara-negara anggota WTO dalam kasus Banana Wars semenjak tahun 1991 hingga 2009. Namun, kebijakan Uni Eropa masih berbeda-beda sebelum adanya pasar tunggal Eropa. Lebih penting lagi, kebijakan Uni Eropa tetap berdasarkan kepada hubungan historis yang dimiliki. Setelah adanya Lomé Convention, kebijakan perdagangan buah pisang Uni Eropa tidak hanya terhubung dengan ACP namun juga dengan negara di Amerika Latin dan Tengah. Namun, kebijakan negara anggota Uni Eropa masih terfragementasi ke dalam kebijakan yang berbeda-beda untuk memasuki pasar Eropa.52 Area perdagangan buah pisang terbagi menjadi tiga53 yakni diantara negara anggota Uni Eropa, negara-negara di ACP dan third countries54 dalam kegiatan ekspor buah pisang. Sehingga, kebijakan ekspor buah pisang negara anggota Uni Eropa terbagi ke dalam empat kategori berbeda yaitu55 1) Proteksi Spanyol terhadap industri buah pisang melalui produsen buah pisang di Canary Islands, 2) Perancis, Inggris, Yunani, Italia dan Portugal memberikan preferensi kepada negara bekas koloni di ACP. Perancis memproteksi pasarnya bagi produsen dalam negeri yaitu Guadeloupe dan Martinique, 52 53 54 55 Wiley, The Banana, 126 Wiley, The Banana, 126 Sebutan dari Uni Eropa bagi negara-negara eksporter buah pisang (selain negara anggota Uni Eropa dan negara-negara di ACP) yakni negara-negara yang sebagian besar berasal dari Amerika Latin. Wiley, The Banana, 127 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 421 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale dan akses spesial bagi tiga negara di ACP yaitu Kamerun, Pantai Gading dan Madagaskar. Bagi Inggris dan Italia, keduanya tidak memiliki preferensi terhadap produsen buah pisang dalam negeri, namun memberikan akses ekspor kepada Belize, Dominika, Grenada, Jamaika, St. Lucia, St. Vincent, Suriname. Yunani tetap memproteksi produsen dalam negeri yaitu dari Crete bersama Portugal yang juga memproteksi produsen buah pisang dalam negeri yaitu dari Algrave, the Azores, dan Madeira, 3) Belgia, Denmark, Irlandia, Luksemburg, dan Belanda mengimpor buah pisang dari third countries, 4) Jerman berdiri dengan kebijakan Jerman dari banana protocol yang terdapat dalam Treaty of Rome yaitu mengatur mengenai akses duty-free kepada buah pisang dari Amerika Tengah dan Latin ke pasar Jerman.56 Pembentukan SEM pada tahun 1993 diatur dalam Council Regulations 404/9357 yang memakai sistem Tarriff-Rate Quota (TRQ) diputuskan oleh Council of Ministers Uni Eropa untuk menciptakan kerangka perdagangan buah pisang dalam sebuah pasar tunggal yang memiliki pola dan prioritas perdagangan.58 Keputusan dalam pembentukan SEM didukung oleh Perancis, Inggris, Yunani, Spanyol dan Portugal namun mendapat pertentangan pada awalnya dari Jerman.59 Dalam Council Regulations 404/93 pasal 15 disebutkan mengenai adanya tiga area kebijakan yang menjadi sasaran dari SEM dalam ekspor buah pisang ke pasar Eropa yakni 12 negara tradisional60 di ACP yang diatur pertama kali dalam Lomé Convention, negara-negara non-tradisional di ACP, dan third countries.61 Kebijakan pertama adalah bagi 12 negara tradisional di ACP diberikan duty-free access ke pasar Eropa dengan kuota impor total per tahun adalah 857.700 ton.62 Kedua adalah third countries diberikan kuota total sebesar dua juta ton buah pisang per tahun serta dikenakan tarif sebesar 100 Euro per ton untuk buah pisang yang memasuki pasar Eropa. Bagi third countries yang melebihi kuota yang telah ditentukan dikenakan tarif sebesar 850 Euro per ton. Kebijakan ketiga adalah negara-negara non-tradisional di ACP yaitu kuota per tahun dengan total 2 juta ton buah pisang. Duty-free access diberikan kepada negara-negara non- 56 57 58 59 60 61 62 Alter & Munier, “Nested and Overlapping Regimes”, 369 Keputusan Council of Ministers diatur dalam Council Regulation 404/93 yang tidak hanya mengatur mengenai pasar tunggal buah pisang Uni Eropa namun memberikan preferensi akses kepada negara-negara di ACP dan proteksi terhadap produsen buah pisang negara-negara anggota Uni Eropa. Regulasi ini mengatur mengenai sistem Tarriff-Rate Quota (TRQ) yaitu sistem yang mengenakan tarif kepada sejumlah kuota yang masuk, dalam hal ini, adalah ke pasar Eropa. Wiley, The Banana, 131 Wiley, The Banana, 131 Negara-negara yang termasuk dalam kategori tradisional memiliki hubungan historis dalam aktivitas perdagangan buah pisang dengan Eropa sebelum pembentukan SEM. Wiley, The Banana, 133 Wiley, The Banana, 133 422 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO tradisional di ACP. Namun, jika negara-negara non-tradisional di ACP melebihi kuota yang telah ditentukan dikenakan 750 Euro per ton. Tabel 3. Alokasi Kuota Ekspor Buah Pisang Negara Tradisional di ACP 63 No Negara di ACP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Belize Kamerun Cape Verde Dominika Grenada Pantai Gading Jamaika Madagaskar St. Lucia St. Vincent Somalia Suriname TOTAL Alokasi Ekspor Buah Pisang ke Eropa 40.000 155.000 4.800 71.000 14.000 155.000 105.000 5.900 127.000 82.000 60.000 38.000 857.700 Dari kebijakan yang ditentukan dalam SEM, memperlihatkan hubungan historis dari Uni Eropa dengan negara bekas koloni di ACP mempengaruhi kuota dan tarif yang dikenakan terhadap produksi buah pisang yang akan dieskpor ke pasar Eropa. Disisi lain, negara-negara yang berasal dari kategori third countries yang berada di Amerika Latin dan Tengah dikenakan tarif yang lebih besar dan mendapatkan kuota yang lebih sedikit dibandingkan negara-negara tradisional maupun nontradisional di ACP. Untuk mengatur pemberian kuota 2 juta ton buah pisang yang diekspor oleh third countries dan negara-negara non-tradisional di ACP ke pasar Eropa telah diatur sebuah licensing system atau sistem lisensi yang diberikan kepada perusahaan third countries dan negara-negara nontradisional di ACP yang mengekspor buah pisang. Terdapat tiga kategori dalam sistem lisensi yaitu Lisensi A, B, dan C. Pemberian lisensi tergantung dalam lamanya hubungan aktivitas perdagangan buah pisang yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dari thrid countries dan negara-negara non-tradisional di ACP dengan Uni Eropa.64 63 64 Wiley, The Banana, 134 Wiley, The Banana, 135 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 423 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Tabel 4. Tipe Pemegang Lisensi Impor65 Kategori Ton (dalam juta) % Kategori A 66.5 1.33 Kategori B 30.0 0.6 Kategori C 3.5 0.07 Tipe Operator Bagi perusahaan third countries dan negaranegara non-tradisional di ACP yang telah memiliki aktivitas ekspor buah pisang ke Uni Eropa sebelum tahun 1992 Bagi perusahaan yang berasal dari negara anggota European Community dan negara-negara tradisional di ACP dalam aktivitas impor yang telah dilakukan ke Uni Eropa sebelum tahun 1992 Bagi perusahaan yang baru memasuki industri buah pisang yang berasal dari third countries dan negaranegara non-tradisional di ACP pada tahun 1992 dan setelahnya Melalui Tabel 4 diatur untuk perusahaan yang berada di Lisensi Kategori C telah melakukan aktivitas perdagangan pisang dengan Uni Eropa terhitung selama tiga tahun sebagai referensi untuk mendapatkan Lisensi Kategori A dan Lisensi Kategori B. Diatur dalam Commission Regulations 1442/93 terdapat tiga jenis perusahaan yang bisa mendapatkan lisensi yaitu importir utama, ripeners,66 dan freecirculation releasers. Sistem lisensi yang diberikan oleh Uni Eropa menjadi acuan terkuat bagi Amerika Serikat dan negara-negara di Amerika Latin dan Amerika Tengah untuk mengajukan protes ke WTO. Sistem lisensi ini sekaligus membatasi akses Amerika Serikat, negaranegara di Amerika Latin dan Tengah untuk dapat mengekspor buah pisang ke pasar Eropa dikarenakan faktor historis dalam jangka waktu aktivitas perdagangan buah pisang yang lebih singkat dibandingkan negara-negara di ACP. Aktivitas perdagangan buah pisang Amerika Serikat, Amerika Latin dan Tengah ke pasar Eropa baru mengalami 65 66 Wiley, The Banana, 135 Merupakan perusahaan yang langsung mengimporkan buah pisang yang telah masak dan siap dimakan. 424 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO pertumbuhan pada tahun 1992 ketika adanya negosiasi pembentukan SEM. Namun, kebijakan-kebijakan SEM yaitu TRQ dan sistem lisensi telah membatasi akses Amerika Serikat, Amerika Tengah dan Latin dalam perdagangan buah pisang ke pasar Eropa. Kepentingan Uni Eropa dan Peran Uni Eropa Di WTO Uni Eropa berperan sebagai salah satu aktor inti di WTO dalam sistem perdagangan internasional. Secara regional, Uni Eropa merupakan representasi kepentingan nasional dari negara-negara anggotanya yang terunifikasi dalam organisasi regional.67 Kepentingan nasional negara anggota Uni Eropa tergambar melalui keterlibatan Uni Eropa dalam sistem perdagangan internasional. Keanggotaan Uni Eropa di WTO merupakan salah satu tujuan Uni Eropa untuk mendapatkan identitas internasional.68 WTO menyediakan forum global bagi Uni Eropa untuk mendapatkan identitas internasional sebagai aktor penting dalam aktivitas perdagangan dunia. Uni Eropa menjadi eksporter terbesar dan importir terbesar kedua di dunia.69 Melalui aktivitas ekspor dan impor, Uni Eropa menjadi rekan yang strategis dalam pembentukan preferensi perjanjian perdagangan. Sebagai rekan strategis dalam perdagangan internasional, menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu aktor penting dalam perdagangan multilateral di WTO.70 Tidak hanya sebagai rekan strategis, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa yang signifikan menjadikan Uni Eropa sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia dan menjadi rival dagang dari Amerika Serikat. Rivalitas Uni Eropa dan Amerika Serikat di WTO tidak dapat dihindarkan melalui adanya sengketa Banana Wars. Preferensi yang diberikan oleh Uni Eropa terhadap negara bekas koloninya secara tidak langsung mengancam kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan negara anggota WTO lainnya yang tidak diuntungkan melalui preferensi Uni Eropa. Peran Uni Eropa dalam WTO terlihat ketika terdapat sengketa yang melibatkan Uni Eropa. Dalam sengketa Banana Wars, Uni Eropa memainkan peran yang besar. Pertama adalah sebagai salah satu aktor ekonomi terkuat dalam perdagangan multilateral, Uni Eropa menjadi role model bagi negara maju maupun berkembang untuk membuat perjanjian seperti yang telah dimiliki oleh Uni Eropa.71 Kedua adalah 67 68 69 70 71 Lisa van Well dan Mitchell Reardon, “The WTO and the EU: Leadership versus Power in International Image” (Nordregio: Euro Broad Map Publisher, 2011): 1-19 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 4 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 4 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 6 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 6 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 425 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Uni Eropa memiliki posisi yang kuat dalam tawar-menawar dalam sistem perdagangan multilateral. Sehingga, terdapat argumen bahwa WTO tidak dapat membuat sebuah keputusan tanpa keterlibatan dari Uni Eropa.72 Preferensi perdagangan dibuat untuk mencapai kepentingan Uni Eropa. Terdapat tujuan dari Uni Eropa untuk meliberalisasi pasar dalam aktivitas perdagangan bebas. Namun, dalam hal agrikultural, Uni Eropa telah memiliki preferensi dalam perjanjian perdagangan dimulai dari Common Agricultural Policy (CAP).73 Perjanjian perdagangan CAP yang dimiliki oleh Uni Eropa merupakan bentuk perlindungan terhadap produsen produk agrikultur di Eropa salah satunya adalah buah pisang. Selain CAP, dalam kasus Banana Wars Uni Eropa telah meregulasi aktivitas impor buah pisang melalui Common Market Organizations for Banana (CMOB) dalam pembentukan SEM pada 1993.74 Adanya CAP dan CMOB menjadikan Uni Eropa dapat meregulasi kebijakankebijakan aktivitas ekspor dan impor buah pisang sesuai dengan kepentingan nasional negara-negara anggota Uni Eropa, salah satunya adalah perlindungan terhadap produsen buah pisang Eropa. Dasar dari adanya CAP dan CMOB yang digunakan oleh Uni Eropa dalam pembentukan SEM pada 1993 tidak hanya memberikan perlindungan bagi produsen buah pisang Eropa, namun juga memberikan status preferensi terhadap negara-negara bekas koloni dari negara anggota Uni Eropa. Preferensi yang diberikan oleh Uni Eropa merupakan tanggung jawab Uni Eropa terhadap negara bekas koloninya untuk dapat menghasilkan pasar yang lebih kompetitif sehingga terdapat pertumbuhan ekonomi di negara-negara bekas koloninya. Sistem Penyelesaian Sengketa Banana Wars Dalam WTO Dalam WTO, terdapat sistem penyelesaian sengketa untuk memberikan posisi tawar yang besar bagi negara anggotanya dalam reduksi tarif, eliminasi pembatasan tarif dan akses pasar.75 WTO menyediakan mekanisme sistem penyelesaian sengketa yang mengikat melalui Appellate Body (AB)76 dan Panel WTO merupakan fasilitas WTO bagi negara anggotanya untuk menyelesaikan sengketa dan membuat aturan 72 73 74 75 76 Well & Reardon. “The WTO and the EU”, 6 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 12 Well & Reardon, “The WTO and the EU”, 12 Fuscelino F. Colares, “The Limits of WTO Adjudication: Is Compliance the Problem?”, Journal of International Economic Law 14 (2), 403-436 (Oxford University Press, 2011) Badan banding yang berisikan tujuh orang independen dalam banding terhadap sengketa di WTO. Ketika terdapat banding dari satu atau lebih pihak yang bersengketa, badan ini melihat kembali kepada laporan yang berasal dari panel WTO. 426 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO dibawah pengawasan DSB.77 AB maupun panel bertindak sebagai adjudicators78 menerima laporan dari anggota WTO yang mengajukan protes terhadap anggota lain yang melanggar aturan yang telah ada di WTO. Hasil dari AB atau panel disiapkan sebagai laporan yang diserahkan kepada DSB untuk diadopsi secara formal sebagai aturan yang mengikat. Pada pertemuan DSB, laporan dari AB atau panel harus diadopsi namun terdapat perkecualian jika dari konsensus di WTO terdapat keputusan untuk menolak adopsi dari laporan.79 Sistem penyelesaian sengketa di WTO telah menghapus formal veto dan menginginkan adanya konsesus positif dari pihak yang terlibat dari sengketa dalam mengadopsi laporan yang dikeluarkan AB atau panel. Dalam sengketa Banana Wars, penyelesaian sengketa dilakukan melalui panel WTO. Panel WTO yang berlangsung lama untuk menyelesaikan sengketa Banana Wars adalah berasal dari peran adjudicators untuk mempelajari dokumen mengenai kasus dan bias yang terjadi.80 Dokumen mengenai Banana Wars berasal dari relasi historis Uni Eropa, perjanjian yang dimiliki oleh negara anggota yang terlibat sengketa serta aturan-aturan WTO yang telah dilanggar melalui sebuah preferensi kebijakan tertentu. Sehingga, hal ini menghabiskan waktu yang cukup lama bagi panel untuk mengeluarkan laporan untuk diadopsi. Peran adjudicators juga mengobservasi identitas dari negara yang berperkara dalam sebuah sengketa dan argumen yang dihadirkan oleh pihak yang mengajukan protes terhadap aturan WTO.81 Uni Eropa menggunakan adanya rentang waktu yang cukup lama untuk merubah kebijakan dalam penurunan tarif sebagai pengganti negosiasi formal dalam panel WTO. Uni Eropa memberikan opsi-opsi tarif yang dikenakan agar sesuai dengan aturan yang terdapat di WTO sehingga tidak lagi melanggar tiga prinsip utama WTO. Namun, selama panel dalam sengketa Banana Wars berlangsung, Uni Eropa masih berusaha untuk mempertahankan preferensi terhadap negara bekas koloninya di ACP dan menyesuaikan kebijakannya terhadap aturan WTO. Hal ini menjadikan penyelesaian sengketa berlangsung lama. Peranan penting Uni Eropa sebagai aktor penting dalam perdagangan global mempengaruhi penyelesaian sengketa walaupun WTO telah memiliki sistem penyelesaian sengketa. 77 78 79 80 81 Colares, “The Limits of WTO”, 406 Merupakan nama lain dari juri yang bertindak sebagai pengambil keputusan dalam menyelesaikan sengketa di WTO Colares, “The Limits of WTO”, 406 Colares, “The Limits of WTO”, 411 Colares, “The Limits of WTO”, 412 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 427 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Kesimpulan Kasus Banana Wars menunjukkan bahwa implementasi skema perdagangan bebas buah pisang dalam WTO dibatasi oleh eksistensi sentimen historis sebagai faktor yang membentuk ekslusivitas rezim perdagangan buah pisang Uni Eropa dan ACP. Kelemahan perdagangan multilateral ini tidak bisa mencegah faktor historis dan perilaku ekslusivitas yang diberikan Uni Eropa terhadap ACP untuk menjalankan aktivitas perdagangan buah pisang. Proses penyelesaian sengketa di WTO untuk mendapatkan kepatuhan dari pihak yang menghambat perdagangan multilateral juga telah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan sengketa Banana Wars. Kasus Banana Wars merupakan sengketa yang menunjukkan implikasi dari relasi historis memiliki peranan penting dalam perdagangan buah pisang global. Sengketa yang melibatkan aktor-aktor inti dalam perdagangan buah pisang global yaitu Uni Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, Amerika Tengah dan negara-negara di ACP merupakan sengketa terlama yang diselesaikan dalam sistem penyelesaian sengketa di WTO. Penyelesaian sengketa diupayakan melalui panel WTO yang merupakan bentuk dari second-order compliance untuk mendapatkan kepatuhan dari aktor yang terlibat dalam Banana Wars. Namun, selama panel yang diadakan di WTO tahun 1991 – 2009 keputusan untuk penyelesaian sengketa tidak dapat diselesaikan dengan mudah dikarenakan adanya kepentingan yang berbeda dari negara-negara terhadap perdagangan buah pisang. Teori pembentukan rezim internasional mendukung penelitian peneliti dalam pembentukan rezim perdagangan buah pisang global yang diawali dengan pembentukan industri buah pisang oleh Eropa di ACP selama proses kolonialisme. Industri buah pisang di ACP menjelaskan mengenai sebuah konteks historis yang menunjukkan bahwa pembentukan rezim perdagangan buah pisang melalui Eropa sebagai aktor dominan dalam industri buah pisang di ACP. Dominasi Eropa dalam industri buah pisang di ACP memiliki tujuan untuk membangun wilayah koloninya dalam hal ekonomi. Eropa memiliki kepentingan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi buah pisang dalam negeri serta menjadi aktor dominan dalam perdagangan buah pisang global. Dominasi Eropa dan tumbuhnya industri buah pisang di ACP menghasilkan persaingan yang kompetitif dengan buah pisang yang diproduksi di Amerika Latin dan Tengah. Persaingan yang kompetitif antara industri buah pisang di ACP dengan Amerika Latin dan Tengah ditunjukkan dengan akses pasar yang diberikan oleh Eropa kepada wilayah koloninya di ACP. Inggris menjadi aktor penting dari Eropa dalam industri buah pisang di wilayah 428 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO koloninya dengan memberikan akses pasar buah pisang dari Windward Islands ke pasar Inggris. Industri buah pisang bertumbuh dengan dukungan pembangunan sistem transportasi yang memudahkan distribusi buah pisang ke pasar Eropa dalam efisiensi waktu dan kualitas buah pisang yang baik. Tidak hanya Inggris, negara-negara di Eropa lainnya seperti Perancis dan Spanyol. Kedekatan historis yang dimiliki selama kolonialisme dilanjutkan oleh Eropa dengan membentuk kontrak formal dalam sebuah perjanjian perdagangan dalam Lomé Convention pada 1947. Lomé Convention merupakan perjanjian perdagangan terbesar antara negara-negara di Eropa dan negara-negara di ACP. Dalam Lomé Convention diatur juga mengenai pemberian bantuan pembangunan dan preferensi kebijakan perdagangan buah pisang Eropa dan ACP. Berakhirnya kolonialisme, integrasi negara-negara Eropa dalam Uni Eropa dan berdirinya WTO mempengaruhi rezim perdagangan yang telah terbentuk sebelumnya. Pembentukan Uni Eropa telah mengintegrasikan kebijakan-kebijakan perdagangan buah pisang dalam sebuah pasar tunggal yaitu SEM. Dalam kebijakan-kebijakan SEM, Uni Eropa memberikan preferensi akses pasar melalui TRQ dan sistem lisensi dengan tetap mempertahankan kontrak formal Lomé Convention dan relasi historis dengan negara-negara di ACP. Hal ini memunculkan protes dari negara produsen buah pisang di Amerika Latin dan Tengah dibawah GATT. Posisi Uni Eropa sebagai aktor penting dalam perdagangan global mendapatkan tantangan dikarenakan preferensi yang diberikan kepada negara bekas koloninya. Akses pasar dan TRQ yang terbatas ke pasar Eropa merupakan bentuk diskriminasi terhadap perdagangan bebas yang diusung dalam GATT. Sistem penyelesaian sengketa di GATT belum menemui penyelesaian terhadap preferensi yang diberikan Uni Eropa kepada negara-negara di ACP dikarenakan Uni Eropa belum merubah kebijakan yang telah diterapkan. Kasus Banana Wars diajukan kembali pada tahun 1995 pada saat terbentuknya WTO. Sistem penyelesaian sengketa WTO digunakan untuk menyelesaikan Banana Wars. Salah satunya adalah melalui panel WTO untuk mendapatkan kepatuhan dari Uni Eropa. Panel WTO diajukan oleh negara-negara Amerika Latin dan Tengah bersama dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan kepatuhan dari Uni Eropa terhadap prinsip-prinsip di WTO. Uni Eropa dianggap tidak mematuhi prinsip MFN dan non-diskriminasi yang dimiliki WTO melalui kebijakan TRQ dan sistem lisensi. Akses ke pasar Eropa menjadi terbatas dikarenakan kebijakan TRQ dan sistem lisensi yang berasal dari SEM. Dalam kebijakan TRQ, akses ke pasar Eropa dibatasi dalam Jurnal Analisis HI, Maret 2014 429 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale alokasi kuota ekspor buah pisang yang memprioritaskan negara bekas koloni Uni Eropa di ACP. Sistem lisensi impor juga mengatur mengenai aktivitas ekspor dari third countries dan negara diluar ACP. Kuota dan sistem lisensi yang diberikan oleh Uni Eropa memperkuat sentimen konflik Banana Wars dan memberikan implikasi terhadap skema perdagangan bebas yang dimiliki WTO. Aktivitas perdagangan multilateral telah diatur dalam WTO agar dapat berlangsung sebebasbebasnya. Namun, konsiderasi dari kepentingan nasional maupun relasi historis dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan antar negara anggota WTO. Uni Eropa memiliki peranan penting dalam perdagangan buah pisang melalui rezim buah pisang yang telah terbentuk sebelumnya. Hal ini menjadi hambatan bagi negara-negara produsen buah pisang di Amerika Latin dan Tengah maupun Amerika Serikat dengan adanya preferensi kebijakan milik Uni Eropa. Rezim perdagangan buah pisang Uni Eropa telah diintegrasikan ke dalam SEM membawa kompleksitas dalam rezim perdagangan buah pisang global. Uni Eropa sebagai aktor penting dalam WTO mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan rezim yang dimiliki terhadap prinsip dan aturan di WTO. Sehingga, Banana Wars berlangsung sangat lama dan memerlukan proses penyelesaian dalam panel-panel yang telah berlangsung selama hampir satu dekade. Untuk mendapatkan kepatuhan dari Uni Eropa, WTO menyelesaikan sengketa Banana Wars dibawah pengawasan DSB. WTO telah memiliki sistem penyelesaian sengketa yang memiliki sifat mengikat dikarenakan tidak adanya formal veto terhadap adopsi laporan yang dikeluarkan oleh DSB. Namun, WTO memiliki fasilitas waiver sehingga Uni Eropa menggunakan fasilitas ini tetap mempertahankan kebijakan TRQ dan sistem lisensi yang menguntungkan negara-negara bekas koloni di ACP. Fasilitas waiver memberikan tantangan bagi WTO, merujuk kepada waiver yang digunakan oleh Uni Eropa terhadap Lomé Convention. Prioritas yang tetap dipertahankan oleh Uni Eropa dengan menggunakan fasilitas waiver adalah setelah panel diadakan, Uni Eropa menambahkan kuota buah pisang ke pasar Eropa kepada negara-negara di Amerika Latin dan Tengah serta bagi Chiquita Brands International. Namun, Uni Eropa tetap mempertahankan kebijakan dalam Lomé Convention yang membebaskan tarif kepada negara-negara di ACP dalam Lomé Convention. Hal ini terus mendapatkan protes dari negaranegara di Amerika Latin dan Tengah maupun Amerika Serikat. WTO mengalami kesulitan untuk menyelesaikan sengketa dikarenakan tindakan yang diambil oleh Uni Eropa masih belum mencerminkan 430 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO skema perdagangan multilateral WTO yang bebas diskriminasi dan preferensi. Preferensi kebijakan dan hubungan historis yang dimiliki Uni Eropa dengan negara-negara bekas koloninya di WTO memberikan kompleksitas selama proses penyelesaian sengketa. Sinyal positif dalam Doha Round pada 2001 masih terus mengalami perkembangan hingga ditandatanganinya The Geneva Banana Agreement pada 2009. Dalam Doha Round dibahas mengenai sistem penyelesaian sengketa milik WTO, aturan yang terdapat dalam WTO, kepentingan negara anggota WTO dan fasilitas waiver WTO yang berhubungan dengan Banana Wars. Sehingga, penyelesaian dari Banana Wars berlangsung lama. Secara kesuluruhan implikasi Banana Wars terhadap skema perdagangan multilateral WTO adalah kepentingan negara anggota WTO, aturan dan fasilitas di WTO serta relasi historis antar negara anggota WTO telah menghambat alur perdagangan multilateral WTO dan memberikan kompleksitas terhadap rezim yang telah dibentuk oleh WTO. Beberapa area yang dapat menjadi prospek penelitian lebih lanjut adalah pembahasan mengenai kebijakan perdagangan buah pisang dalam Doha Round yang telah mempengaruhi kebijakan Uni Eropa dalam penurunan tarif. Selanjutnya adalah pembahasan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa WTO dalam Banana Wars secara spesifik serta lanjutan mengenai kepentingan Amerika Serikat dalam sengketa Banana Wars. Daftar Pustaka Buku Alter, Karen J. & Sophie Munier, “Nested and Overlapping Regimes in the Transatlantic Banana Trade Dispute”, Journal of European Public Policy (London: Routlegde, 2006): 363-364 Chayes, Abram & Antonia Handler Chayes, “On Compliance”, International Law and International Relations (Cambridge University Press, 2006): 65-91 Colares, Fuscelino F., “The Limits of WTO Adjudication: Is Compliance the Problem?”, Journal of International Economic Law 14 (2), 403436 (Oxford University Press, 2011) Ikbar, Yanuar, Ekonomi Politik Internasional 1: Konsep dan Teori (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006): 135 Krasner, Stephen D., “Structural Cause and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables”, International Law and International Relations (Cambridge University Press, 2006): 3-17 Jurnal Analisis HI, Maret 2014 431 Maria Josephina Ruth Kezia Saudale Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung: Pustaka Alumni, 2000), 9 Simmons, Beth A., “Compliance with International Agreements” (Berkeley: University of California, 1998): 75-93 Tangermann, Stefan, “European Interests in Banana Market”. Banana Wars: The Anatomy of A Trade Dispute (Cambridge: CABI Publishing, 2003): 17-44 Well, Lisa van dan Mitchell Reardon, “The WTO and the EU: Leadership versus Power in International Image” (Nordregio: Euro Broad Map Publisher, 2011): 1-19 Wiley, James, The Banana: Empires, Trade Wars and Globalization (Lincoln, NE: University of Nebraska Press, 2008): 181-182 Young, Oran R., “Regimes Dynamics: The Rise and Fall of International Regimes”, International Organization (Cambridge University Press, 1982): 277-297 Jurnal Online Dickson, Anna K., “The EU Banana Regime: History and Interests” (University of Durham, 2003): 1-7. http://www.acp-eutrade.org/library/files/Dickson-Anna-K_EN_2003_The-EUbanana-regime-history-and-interests.pdf (diakses pada tanggal 2 Desember 2013). Fridell, Gavin, “The Case Against Cheap Bananas: Lessons from the EUCaribbean Banana Agreement” (2011): 286-304. http://www.sagepublications.com (diakses pada tanggal 29 Oktober 2013) “Geneva Agreement on Trade in Bananas”, EUR-Lex Website http://eurlex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=OJ:L:2010: 141:0003:0005:EN:PDF (diakses pada tanggal 18 Desember 2013) Artikel Online Anonim, “Belize Bananas”, Mongabay Website. http://www.mongabay.com/history/belize/belize-bananas.html (diakses pada tanggal 29 November 2013) Anonim, “Dispute: Bananas. Historic signing ends 20 years of EU-Latin Americas Banana Disputes”, WTO Website, 8 November 2012, http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/disp_08nov12_e.ht m (diakses pada tanggal 30 September 2013) Anonim, “The History of the Banana: Is the End Nigh?”, UCSC Website, http://cwh.ucsc.edu/bananas/Site/Modern%20History%20of%the% 20ofthe%20Banana.html (diakses pada tanggal 27 November 2013) Anonim, “Lamy hails accord ending long running dispute”, WTO Website, 15 Desember 2009 432 Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 1 Banana Wars: Limit Rezim Perdagangan Bebas Multilateral dalam WTO http://www.wto.org/english/news_e/pres09_e/pr591_e.htm (diakses tanggal 30 September 2013) Lightner, Mikah dan Matt O’Mara, “Bananas and A History of Colonialism”. The Banana Trade War. http://www.stanford.edu/class/e297c/trade_environment/wheeling /hbanana.html (diakses pada 5 Agustus 2013) SUMBER INTERNET LAINNYA European Comission, “European Comission – Lomé Convention”, EU Website http://ec.europa.eu/europeaid/where/acp/overview/lomeconvention/index_en.htm “The WTO”, WTO Website, http://www.wto.org/english/thewto_e/thewto_e.htm (diakses tanggal 30 September 2013) “What is the WTO”, WTO Website, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/whatis_e.htm (diakses pada 30 September 2013) Jurnal Analisis HI, Maret 2014 433