pelestarian warisan budaya bahari: daya tarik kapal tradisional

advertisement
PELESTARIAN WARISAN BUDAYA BAHARI:
DAYA TARIK KAPAL TRADISIONAL SEBAGAI KAPAL WISATA
Maritime Culture Heritage Preservation:
The Attraction of Traditional Boat as Traditional Cruise
Roby Ardiwidjaja
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan, Jl. Medan Merdeka Barat No. 17, Jakarta
[email protected]
Naskah diterima : 25 Februari 2016
Naskah diperiksa : 1 Maret 2016
Naskah disetujui : 7 Maret 2016
Abstract. Indonesia, where 75% of its territory is covered by the sea, held a significant role
both in local and international commerce in the past. Various historical evidences, shipwrecks,
as well as the influence and the similarity of maritime culture with other countries reveal that
Indonesian people held major role in global maritime culture at the time. However, the maritime
culture and life nowadays slowly recedes due to economical factors, limited raw materials,
and lack of technology. This paper aims to provide solutions for the problems through the
alteration of traditional wooden boat into traditional cruise. The approach used in this research
is sustainable development approach through the concept of marine tourism which focuses in
making use of traditional boats for both native villagers and tourists to visit the natural and
cultural attractions of marine people living in coastal areas and small islands. Hopefully, this
article can inspire to support the government repositioning Indonesia maritime area as one of
the global maritime axis, in addition to strengthen the efforts to preserve the maritime cultural
heritage.
Keywords: Tourism, Cultural Heritage, Maritime, Traditional cruise
Abstrak. Wilayah Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih 75% berupa laut, memiliki
peran penting dalam arus lalu-lintas perdagangan lokal maupun antar negara di masa lalu. Adanya
berbagai bukti sejarah, kapal tenggelam, serta pengaruh atau kesamaan budaya bahari dengan
negara lain, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang hidup di wilayah
perairan sebagai poros pelayaran internasional kala itu. Permasalahannya adalah kehidupan
akar budaya bahari masyarakat sekarang ini, yang salah satunya berupa aktivitas pelayaran
kapal tradisional sebagai bukti budaya bahari, secara perlahan tapi pasti mulai menghilang
akibat faktor ekonomi, bahan baku, dan teknologi. Tulisan ini bertujuan memberikan alternatif
pemecahan masalah pelestarian budaya bahari bangsa melalui pemanfaatan potensi kapal kayu
tradisional sebagai kapal wisata tradisional (traditional cruise). Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan pembangunan berkelanjutan melalui konsep pariwisata bahari dengan fokus
pada pemanfaatan kapal tradisional yang tidak saja memberi kemudahan angkutan masyarakat
antar pulau, tetapi juga kemudahan kepada wisatawan untuk mengunjungi keanekaragaman
alam dan kehidupan keseharian akar budaya bahari masyarakat di kawasan pesisir dan pulaupulau kecil. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi inspirasi dalam mendukung pemerintah
memposisikan kembali wilayah perairan Indonesia sebagai poros pelayaran internasional (poros
maritim dunia), sekaligus memperkuat upaya pelestarian budaya bahari bangsa.
Kata kunci: Pariwisata, Warisan budaya, Bahari, Kapal wisata tradisional
65
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
1.Pendahuluan
Indonesia sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia dengan luas lautan mencapai
5,8 juta km persegi dan panjang garis pantai
81.000 km, memiliki kekuatan sumber daya
kelautan yang luar biasa. Indonesia dengan
potensi ¾ wilayahnya laut, dikenal sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia yang
memiliki sekitar 17.508 pulau (Pujayanti
2011: 3). Selain itu, Indonesia dikenal sebagai
benua keenam dunia dengan sebutan benua
maritim Indonesia, serta negara yang memiliki
garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Letaknya yang strategis menjadikan
Indonesia memiliki keanekaragaman budaya
seperti tinggalan cagar budaya beserta adat
istiadat, kearifan lokal, tradisi dengan 742
bahasa dan dialek dari 1.128 suku bangsa
(Biro Pusat Statistik 2012). Di samping itu,
Indonesia juga dikenal sebagai wilayah Marine
Mega-Biodiversity terbesar di dunia yang kaya
akan keanekaragaman non-hayati dan hayati
laut, di antaranya memiliki 8.500 spesies ikan,
555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota
yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu
karang (Siregar 2015). Bahkan dari berbagai
data dan informasi dalam dan luar negeri,
sering disebutkan bahwa wilayah perairan
Indonesia pada masa lalu sangat strategis dan
memiliki peran penting dalam arus lalu-lintas
perdagangan baik lokal maupun antar negara.
Menambah lagi keberadaan tinggalan budaya
bawah air atau disebut benda berharga asal
temuan kapal tenggelam, telah menambah
khazanah kekayaan potensi kelautan Indonesia
(Djalal 2013).
Pemerintah sekarang ini mendorong
pembangunan
pariwisata
di
daerah
dengan mencanangkan sasaran 20 juta
kunjungan wisman pada tahun 2019 (Biro
Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN
2015). Berbagai upaya dilakukan untuk
meningkatkan jumlah kunjungan dimaksud,
yang salah satunya adalah mengembangkan
wisata bahari melalui segmen wisatawan
66
mancanegara dari paket wisata kapal pesiar
(cruise). Permasalahan yang dihadapi adalah
kapal pesiar cruise memiliki karakteristik
yang justru kurang memberikan manfaat
optimal bagi Indonesia sebagai destinasi
yang dikunjungi (Brida dan Sandra 2008).
Sebagai contoh, kapal cruise dengan
kapasitas 1.000 sampai 6.000 penumpang
antara lain akan menghasilkan 2.000 ton
sampah (solid, liquid dan toxic waste) (US
EPA 2008). Cruise tersebut memerlukan
pelabuhan standar internasional yang besar,
sedangkan waktu dan pengeluaran wisatawan
di destinasi sangat terbatas mengingat yang
dijual cruise adalah paket wisata lengkap
(Klein 2003). Permasalahan berikutnya
yaitu keanekaragaman budaya bahari terkait
pembuatan dan transportasi kapal laut
tradisional antar pulau kurang dioptimalkan
sehingga semakin sedikit keberadaannya
(Asmiati, dkk 2012).
Seharusnya Indonesia dengan potensi
bahari yang dimiliki, menjadi salah satu
negara maritim terbesar di dunia yang
akar pembangunan dan pendapatan utama
ekonomi negara adalah dari potensi kekayaan
baharinya. Walaupun diwacanakan sudah
sejak satu dekade yang lalu, program
pembangunan oleh pemerintah masih fokus
pada pembangunan berbasis darat, dan belum
beranjak ke pembangunan yang berbasis
bahari sesuai dengan karakteristik wilayah
Indonesia yang berbasis laut (Sunoto 2016).
Padahal bila dilihat dari sejarahnya, bangsa
Indonesia pada masa lalu sudah dikenal sebagai
bangsa bahari yang juga diakui sebagai pelaut
ulung (Salman, dkk 2011). Artinya, bisa jadi
wilayah Indonesia sebagai jalur perempatan
pelayaran yang sangat ramai pada masa
lalu, sudah menggambarkan sebagai poros
maritim internasional. Lebih jauh lagi, Adhuri
menjelaskan mengenai bukti sejarahnya, yaitu
adanya pengaruh budaya Nusantara dalam
bentuk salah satunya hubungan perdagangan
pelaut kita dengan negara lain yang hingga
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
saat ini masih dilakukan oleh nelayan dari
Bugis (Adhuri 2009).
Atas dasar kondisi tersebut, maka
tulisan ini akan membahas masalah
pelestarian (perlindungan, pengembangan
dan pemanfaatan) budaya bahari terkait moda
transportasi kapal laut tradisional. Berdasarkan
keanekaragaman dan keunikannya, kapal laut
tradisional di Indonesia memiliki peluang
yang dapat dikembangkan sebagai kapal
wisata/pesiar tradisional yang merupakan
bagian keunikan daya tarik wisata bahari,
dan sekaligus menjadi alat konektivitas
antar pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) di
Indonesia. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi
inspirasi terobosan pemerataan pembangunan,
mewujudkan tol laut antar pulau, pertahanan
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), serta pelestarian industri kapal
tradisional yang sekaligus memperkuat akar
budaya bahari.
2.Metode
Guna menumbuhkan kesadaran terhadap
potensi tersebut, maka pemerintah sekarang
mencanangkan visi pembangunan ke depan,
yaitu menjadikan Indonesia sebagai poros
maritim dunia yang tentunya harus melalui
pendekatan pembangunan yang berbasis
laut (Muhamad 2014). Pembangunan yang
dimaksud dipastikan tidak akan terwujud
apabila tidak melalui upaya pelestarian dan
pengangkatan kembali akar budaya bahari
bangsa Indonesia yang sekarang ini sudah dalam
kondisi mengkhawatirkan. Untuk itu, salah
satu upaya pelestarian budaya bahari dalam
rangka mendukung program Indonesia sebagai
poros maritim dunia adalah dengan pendekatan
pembangunan pariwisata berbasis daya tarik
bahari. Konsep pariwisata berbasis bahari dapat
dijadikan sebagai salah satu alat pelestarian
dalam pemanfaatan keanekaragaman potensi
sumber daya bahari yang ada pada kawasan
pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia. Satu
contoh potensi sumber daya bahari yang
dapat dimanfaatkan adalah moda transportasi
laut tradisional sebagai sarana kemudahan
konektivitas antar destinasi wisata bahari
pesisir dan pulau-pulau kecil sekaligus menjadi
daya tarik warisan budaya berupa kapal wisata
tradisional (traditional cruise).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Isu Strategis
Tujuan
pembangunan
pariwisata
berkelanjutan (sustainable tourism development) seharusnya dipahami tidak lagi hanya
berpusat pada pertumbuhan yang menekankan
hasil ekonomi, tetapi berpusat pada rakyat
dengan mengutamakan pelestarian alam
dan budaya masyarakat (Fletcher 1996: 4).
Undang-Undang nomor 10 tahun 2009
tentang Kepariwisataan, Undang-Undang
nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya,
serta Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan,
menekankan bahwa dalam pemanfaatan
sumberdaya alam dan budaya dapat dilakukan
dengan tetap menjaga kelestarian dan
memperhatikan prinsip keberlanjutan yang
didasarkan azas manfaat dan lestari, kerakyatan,
kesejahteraan,
keadilan,
kebersamaan,
keterbukaan, dan keterpaduan.
Dalam penyelenggaraan pariwisata
berkelanjutan, pemerintah menggalakkan
pembangunan pariwisata yang berwawasan
lingkungan serta kelestarian sumber daya
alam dan budaya Indonesia. Sebagai negara
kepulauan yang memiliki keanekaragaman
potensi kelautan dan budaya bahari, seyogyanya
pariwisata mendukung prioritas pembangunan
wilayah laut melalui konsep wisata bahari.
Namun mengingat upaya pengembangan
wisata bahari baru dilakukan beberapa tahun
terakhir, maka masih terdapat berbagai
permasalahan dan peluang yang perlu dikaji
lebih mendalam terhadap konsep, pemahaman
dan kesamaan pandang terkait wisata
bahari beserta komponennya seperti atraksi,
aksesibilitas, amenitas hingga kelembagaan
dan kebijakan yang ada. Beberapa isu yang
67
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
menjadi perhatian dalam pengembangan wisata
bahari secara umum (Ardiwidjaja 2013). Isu
tersebut mencakup antara lain:
1)
Pembangunan wisata bahari belum
dikembangkan secara holistic mencakup
pemanfaatan potensi sumberdaya alam
bahari dan keterkaitannya dengan potensi
sumberdaya akar budaya bahari.
2)Wisata bahari dapat menjadi alat strategis
(strategic weapon) dalam melestarikan
warisan budaya bahari termasuk transportasi
kapal layar tradisional sebagai salah satu
identitas peradaban bangsa bahari untuk
Indonesia.
3)Wisata bahari mempunyai dampak positif
untuk tumbuh bangkitnya kembali jiwa dan
akar budaya bahari yang dimungkinkan
memberikan efek ganda dalam mendorong
terwujudnya negara maritim yang tangguh.
4)
Wisata bahari dengan melestarikan
(melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan) keberadaan akar budaya bahari
dan kehidupan keseharian masyarakatnya
mampu memberikan pengaruh besar
terhadap penguatan karakter bangsa, terobosan ekonomi (economic breakthrough),
serta konservasi lingkungan bahari.
3.2 Wisata Bahari
Menurut Orams, wisata bahari adalah
jenis wisata minat khusus yang memiliki
aktivitas yang berkaitan dengan kelautan,
baik di atas permukaan laut (marine),
yang dilakukan di bawah permukaan laut
(submarine), maupun yang dilakukan di
pesisir (coastal) (Orams 1999). Wisata bahari
oleh pemerintah Indonesia melalui Direktorat
Jenderal Pariwisata, dikelompokkan dalam
wisata minat khusus (Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata 2001). Wisata minat khusus
sendiri didefinisikan sebagai suatu bentuk
perjalanan wisatawan mengunjungi suatu
tempat karena memiliki minat atau tujuan
khusus terhadap suatu daya tarik atraksi atau
kegiatan yang ada di lokasi atau daerah tujuan
wisata tersebut (Cooper, dkk 1996).
Sebagai bagian dari ekowisata, wisata
bahari secara koseptual dilandaskan pada
pariwisata berkelanjutan dengan prinsip
mendukung
upaya-upaya
konservasi
lingkungan bahari (alam dan budaya) dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan, sehingga memberi manfaat
ekonomi kepada masyarakat setempat
(Dritasto dan Annisa 2013). Dengan demikian,
wisata bahari merupakan suatu bentuk wisata
berbasis laut yang sangat erat dengan prinsip
konservasi (Ardiwidjaja 2013). Bahkan dalam
strategi pengembangannya juga menggunakan
strategi konservasi yang mempertahankan
keutuhan dan keaslian ekosistem di area
yang masih alami yang terdiri dari ekosistem
terumbu karang, ekosistem padang lamun,
ekosistem hutan bakau dan ekosistem pantai
pasir/batu.
Adapun sumber daya wisata bahari
meliputi:
1) Potensi atraksi dan aktivitas (Tabel 1).
2)Kegiatan wisata bahari yang mencakup
rekreasi lainnya di wilayah perairan antara
lain kegiatan marina; kapal wisata; kapal
layar; dan pengelolaan pulau kecil.
Tabel 1.Potensi Atraksi dan Aktivitas
Pesisir/Pantai
1. Upacara adat di pantai
2. Kehidupan masyarakat
pesisir
3. Homestay dan kuliner
4. Bola volley pantai
5. Sun Bathing dan lain-lain
68
Permukaan Laut
1. Kegiatan memancing (fishing
game)
2. Kegiatan layar dan dayung
3. Ski air
4. Upacara adat yang dilakukan
di laut
5.Selancar
6. Snorkling
Bawah/Dasar Laut
1.Selam
2. Under water archaeology
3. Penelitian bawah air
4. Under water museum
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
3)
Usaha
penunjang
kegiatan
wisata
bahari, antara lain jasa penyediaan moda
transportasi; kapal pesiar; pengelola pulau
kecil; pengelola taman laut hotel dan
restoran terapung; pemandu wisata selam;
serta rekreasi pantai dan lain sebagainya.
3.3 Penyelenggaraan
Pelayaran Kapal
Tradisional
Melalui sejarah, diketahui bahwa
liberalisasi dalam bidang pelayaran sudah
mulai dirintis sejak tahun 1865 dengan
dikeluarkannya peraturan tarif nondiferensial
tahun 1865. Pemerintah kolonial Belanda
mulai mengendorkan kebijaksanaan dengan
memperbesar peran pelayaran dan perdagangan
bebas di Indonesia. Pembukaan sejumlah
pelabuhan untuk perdagangan umum tidak
hanya pada pelabuhan besar seperti Batavia,
Surabaya, dan Semarang, tetapi juga pada
pelabuhan-pelabuhan kecil seperti Palembang,
Cirebon, dan Banten (Maziyah, dkk 1999).
Dari gambaran tersebut, diperkirakan
bahwa pada masa itu peran pelayaran perahu
tradisional memegang peran penting serta
pangsa pasar sendiri dalam perkembangan
perekonomian
Indonesia,
mengingat
biayanya yang murah, serta tidak terikat
dengan jalur dan jadwal pelayaran tertentu.
Kapal tradisional merupakan kapal kayu
yang dibangun dan didesain berdasarkan
tradisi, pengetahuan serta pengalaman si
pembuatnya (Aji 2000). Umumnya berukuran
kecil dan digunakan untuk menangkap ikan,
mengangkut penumpang dan barang. Hingga
sekarang, kapal tradisional masih digunakan
di beberapa wilayah Indonesia, dan bahkan
menjadi andalan di bidang transportasi antar
pulau. Bahkan dapat dikatakan bahwa kapal
tardisional sudah menjadi industri skala kecil
di bidang perkapalan rakyat (Gultom 1995;
Aji 2000). Ciri khas kapal tradisional ini
kebanyakan mengunakan layar, kecepatannya
rendah dan ukurannya mulai dari perahu kecil
yang disebut kelotok atau ketingting yang
bisa memuat sepuluh penumpang, hingga bus
air berupa perahu panjang (long boat) yang
mampu membawa puluhan penumpang.
Akan tetapi, perkembangan pelayaran
Indonesia selanjutnya, kurang didukung
oleh kebijakan yang memberi kemudahan
perizininan di bidang usaha pelayaran sehingga
memperlancar arus barang dan penumpang.
Akibatnya, hal tersebut memberikan peluang
dan keleluasan bagi kapal asing untuk
memungkinkan beroperasi yang berdampak
pada menurunnya industri pelayaran nasional
khususnya pelayaran kapal tradisional. Namun
sejalan dengan perkembangan teknologi kapal
yang mengarah kepada kapal yang lebih
cepat dan lebih besar saat ini, peran pelayaran
rakyat semakin memprihatinkan karena hanya
sesuai untuk angkutan dengan demand yang
kecil, menghubungkan pulau-pulau yang
jumlah penduduknya masih rendah, ataupun
pada angkutan pedalaman guna memenuhi
kebutuhan masyarakat didaerah aliran sungaisungai khususnya di Kalimantan, Sumatera dan
Papua. Belum lagi masalah angkutan sungai
yaitu pendangkalan pada musim kemarau.
Gambar 1.Jenis Kapal Tradisional Indonesia
69
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
Sehubungan dengan permasalahan yang
ada, pemerintah terus berupaya mendorong
pelayaran rakyat untuk meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan
yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas
termasuk sungai dan danau; meningkatkan
kemampuannya sebagai lapangan usaha
angkutan laut nasional dan lapangan kerja;
dan meningkatkan kompetensi sumber daya
manusia dan kewiraswastaan dalam bidang
usaha angkutan laut dan angkutan pedalaman
nasional. Salah satu upaya lainnya dalam
mengakselerasi peran pelayaran tradisional
adalah dengan memberdayakan masyarakat
di bidang pariwisata melalui peningkatan
pelayanan kapal layar tradisional sebagai
kapal wisata tradisional.Indonesia mempunyai
banyak faktor pendukung unggulan yang
dapat menjadikannya sebagai pusat pariwisata
bahari dunia. Salah satu upaya yang diyakini
mempunyai manfaat yang sangat besar dalam
mendorong perekonomian di daerah yang
berbasis pada wisata bahari adalah pelibatan
masyarakat dalam pemanfaatan akar budaya
kapal layar tradisional sebagai daya tarik kapal
wisata tradisional (Traditional Cruise).
Pada sebagian besar wilayah kepulauan
menunjukkan bahwa kapal tradisional inilah
yang telah meringankan beban pemerintah
mempercepat aksesibilitas dalam menembus
keisolasian hubungan antar pulau, walaupun
masih kurang memadai dari segi kenyamanan
dan fasilitas kapal. Dalam pengembangan
transportasi wisata bahari, dapat dilakukan
dengan program pemberdayaan masyarakat
di bidang budaya bahari, yaitu pemanfaatan
daya tarik kapal tradisional. Melalui program
pengembangan pelayaran nusantara yang
berorientasi pada pelayaran tradisional,
semakin
memperjelas
bahwa
tradisi
keseharian kehidupan budaya bahari masih
ditempatkan sebagai dasar identitas peradaban
negara kepulauan Indonesia. Keberpihakan
program pemerintah terhadap nilai dan
tradisi masyarakatnya yang tersebar di
70
P3K, mencerminkan bahwa pembangunan
wisata bahari melalui pendekatan konsep
pengembangan kapal wisata tradisional
(traditional cruise) merupakan pembangunan
yang culturally appropriate, socially accepted,
people centered, dan undiscriminative,
environmentally sound (Ardiwidjaja 2013).
3.4 Pengembangan Traditional Cruise
Pembangunan wisata berbasis bahari
sangat bertumpu pada sumber daya lokal,
dimulai dari sumber daya pariwisata itu sendiri
sampai pada pengadaan sarana, prasarana,
hingga suprasarana yang ramah lingkungan.
Sarana transportasi kapal tradisional memiliki
peluang untuk dikembangkan menjadi
pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah
tujuan wisata dan sekaligus dapat menjadi
daya tarik wisata bahari. Sarana transportasi
kapal tradisional akan menjadi bagian dari ciri
khas daya tarik budaya yang ada. Jenis kapal
pesiar tradisional ini akan lebih optimal, bagi
Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki ribuan pulau, digunakan karena
dengan skala ukuran kecil hingga menengah
akan lebih mudah bermanuver.
Keanekaragaman budaya bahari di
Indonesia memperlihatkan bahwa jenis kapal
tradisional yang ada di Indonesia bervariasi
seperti halnya kapal tradisional asal Sulawesi
seperti kapal patorani, kapal pakur, kapal
padewakang, dan kapal pinisi. Contoh lainnya
adalah kapal asal Madura, seperti kapal golekan
lete; kapal sope dari Jakarta; kapal alut pasa
dari Kalimantan Timur; kapal lancang kuning
dari Riau; kapal gelati dari perairan Bali; dan
kapal kora-kora dari Maluku (Jastro 2010).
Ciri khas daya tarik kapal-kapal tersebut
beraneka ragam, misalnya kapal pinisi sebagai
kapal layar tradisional khas asal Sulawesi
Selatan yang umumnya memiliki dua tiang
layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga
di ujung depan, dua di depan, dan dua di
belakang. Makna dari jumlah tiang dan layar
tersebut adalah bahwa nenek moyang bangsa
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
Gambar 2.Kapal Wisata Tradisional
Indonesia
mampu
mengarungi
tujuh
samudera besar di dunia (Kurniawan 2010).
Kapal tersebut umumnya digunakan untuk
pengangkutan barang antar pulau.
Menurut World Tourism Organization
(WTO) (Ardiwidjaja 2013), trend wisatawan
sekarang ini mengalami perubahan dari
perjalanan yang bersifat hiburan ke
perjalanan yang memberikan pengalaman
dan pengetahuan. Penyelenggaraan wisata
bahari dengan menggunakan traditional cruise
milik masyarakat, memungkinkan wisatawan
melakukan perjalanan yang memberi manfaat
terkait daya tarik pelestarian yang mendidik
pada daerah yang memiliki fenomena alam dan
budaya bahari terutama di kawasan P3K.
Aksesibilitas dan mobilitas wisatawan
ke daerah tujuan wisata akan sangat didukung
oleh ketersediaan infrastruktur transportasi,
sebagai akses bagi wisatawan untuk
kemudahan menuju daerah tujuan wisata. Ini
berarti, keterkaitan antara wisata bahari dan
transportasi merupakan suatu hubungan yang
mutlak terjadi, terutama di Indonesia sebagai
negara kepulauan. Pergerakan manusia yang
dilakukan dari daerah/negara satu ke daerah/
negara lain melibatkan transportasi sebagai
sistem untuk mewujudkannya. Keterpisahan
daerah-daerah oleh lautan membutuhkan
sarana dan prasarana angkutan laut dan udara.
Kapal tradisional dapat menjadi
kelengkapan sarana wisata untuk melayani
kebutuhan wisatawan dalam menikmati
perjalanan wisatanya ke daerah tujuan
wisata, sekaligus menikmati salah satu unsur
kehidupan budaya bahari masyarakat setempat.
Keanekaragaman kapal tradisional di Indonesia
tidak saja dapat dimanfaatkan sebagai
atraksi unik dari budayanya, seperti budaya
pembuatan kapal tradisional mulai dari upacara
penyiapan bahan baku, perancangan kapal,
hingga pembagian tugas mengoperasikan
kapal. Dalam hal ini interpretasi (story telling)
nilai yang terkandung dalam unsur-unsur akar
budaya khususnya terkait dengan kapal wisata
tradisional menjadi penting. Menurut Bambang,
kapal tradisional juga dapat dimanfaatkan dari
fungsinya sebagai kapal nelayan atau angkutan
menjadi traditional cruise, baik yang melayani
transportasi antar pulau (small islands cruise)
maupun yang melayani transportasi pedalaman
(river cruise) (Utomo 2010). Beberapa
karakteristik kapal layar tradisional yang dapat
dipertimbangkan sebagai sarana transportasi
sekaligus daya tarik wisata bahari mencakup:
1.
Penyelenggaraan
pelayaran
kapal
tradisional yang dilakukan oleh Perusahaan
Pelayaran Rakyat dengan menggunakan
kapal tradisional dengan layar; Kapal
tradisional dengan layar dan motor; serta
Kapal tradisional dengan motor.
2.Batas pelayarannya menyinggahi antar
pulau dan bahkan antar negara tetangga
melalui jalur tradisional (jalur sutera).
3.Kapal pelayaran rakyat memiliki beaya
menggunakan perahu tradisional lebih
murah dari pada kapal uap atau bermesin;
71
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
memiliki pangsa pasar tersendiri yang tidak
tersentuh oleh pelayaran kapal-kapal lain;
tidak selalu terikat pada jalur dan jadwal
pelayaran tertentu; dan ramah lingkungan.
Dalam
situasi
masih
lemahnya
infrastruktur perhubungan dan fasilitas
pariwisata di sebagian besar wilayah pulaupulau kecil di Indonesia, kegiatan wisata dengan
menggunakan transportasi laut di Indonesia
pada dasarnya mempunyai peluang yang besar.
Upaya pemanfaatan keanekaragaman daya
tarik pulau-pulau kecil yang ada, menjadikan
keberadaan transportasi yang menghubungkan
antar pulau sebagai daerah tujuan wisata
bahari menjadi penting. Walaupun hingga saat
ini sarana transportasi laut yang disediakan
pemerintah masih sangat minim, namun
hubungan antar pulau di beberapa wilayah
banyak dilakukan oleh pelayaran rakyat dalam
bentuk kapal layar tradisional.
4.Penutup
Wisata bahari dengan kondisi geografis
Indonesia yang memiliki daya tarik wisata
alam dan budaya yang tersebar ribuan kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil, akan sangat
membutuhkan sarana transportasi laut yang
layak. Kapal layar tradisional dengan ukuran
yang mampu bermanufer di wilayah kepulauan
serta sangat fleksibel dalam pengaturan jadwal
dan tujuan antar pulau, sangat dimungkinkan
dimanfaatkan dalam kegiatan wisata bahari
sebagai kapal wisata tradisional Berdasarkan
data sejarah, beberapa kawasan di Indonesia
memiliki banyak pelabuhan tua yang hingga
kini masih berfungsi dengan komunitas
masyarakatnya yang beragam. Sebagai bagian
dari unsur-unsur sistem kebudayaan, pelabuhan
ini dapat menjadi kesatuan daya tarik mulai
dari jalur pelayaran tradisional, pelabuhan
tradisional/rakyat, kehidupan sosial budaya
bahari masyarakat pesisir, hingga daya tarik
sarana, fasilitas dan layanan di dalam kapal
itu sendiri (The Fine Art Department 1999).
Adapun untuk pelabuhan tidak harus ada
72
di sebuah teluk yang dalam dan terlindung
dari tiupan angin, tetapi bisa juga pelabuhan
terdapat di pedalaman yang jalan masuknya
melalui sungai-sungai (river cruise).
Dengan
basis
kekayaan
dan
keanekaragaman potensi alam dan budaya
bahari yang dimiliki Indonesia, baik yang berada
di pesisir, laut permukaan (marine), maupun
kedalaman laut (submarine), maka sangat
dimungkinkan sasaran pembangunan pariwisata
Indonesia adalah mejadikan Indonesia sebagai
destinasi pariwisata bahari dunia dengan salah
satu keunikannya adalah keanekaragamanan
kapal pesiar tradisional (traditional cruise)
antar pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pembangunan berbasis bahari untuk Indonesia
sebagai negara kepulauan menempatkan wisata
bahari menjadi alat penting dalam:
1.Mengakomodasi kebutuhan transportasi
laut yang mampu menghubungkan jejaring
antar daerah terpencil khususnya daerah
kepulauan.
2.Memperkuat upaya pelestarian warisan
budaya bahari terkait dengan alat
transportasi tradisional masyarakat pesisir
di Indonesia.
3.Meningkatkan apresiasi, kesadaran, dan
kepedulian masyarakat sebagai warga
negara kepulauan terhadap budaya bahari.
4.
Mendukung pemerintah dalam upaya
percepatan pembangunan daerah tertinggal,
khususnya daerah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang letaknya terisolir.
5.
Memudahkan pengelolaan pemanfatan
sumberdaya budaya bahari khususnya di
pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai daya
tarik, dan sekaligus perlindungan nusantara
yang berbatasan negara tetangga.
6.Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil melalui
pemanfaatan akar budaya bahari, sekaligus
pemberdayaan dibidang layanan jasa dan
usaha transportasi kapal laut tradisional
sebagai kapal wisata tradisional (traditional
cruise).
Pelestarian Warisan Budaya Bahari: Daya Tarik Kapal Tradisional Sebagai Kapal Wisata (Traditional Cruise), Roby Ardiwidjaja
Daftar Pustaka
Aji, Chandra Anggoro. 2000. “Pengetahuan
Lokal Pembuatan Perahu Tradisional
Oleh Suku Biak Di Kecamatan Warsa,
Kabupaten Biak Numfor.” Universitas
Cendrawasih.
Ardiwidjaja, Roby. 2013a. Pariwisata
Berkelanjutan: Pengembangan Destinasi
Pariwisata
Berbasis
Lingkungan.
Yogyakarta: Kepel Press.
----------. 2013b. Pesisir Dan Pulau-Pulau
Kecil: P3K Sebagai Destinasi Wisata
Berbasis Bahari. Yogyakarta: Kepel
Press.
Cooper, Chris. 1996. “Tourism Principles and
Practice.” Malaysia.
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2001. “Rencana Induk Pengembangan
Wisata.”
Djalal, Hasjim. 2013. “Mengelola Potensi Laut
Indonesia.” Majalah Hukum Nasional
No. 2.
Fletcher, John. 1996. “Heritage Tourism:
Enhancing the Net Benefits of Tourism.”
In International Conference on Tourism
and Heritge Management. Yogyakarta.
Gultom, F. J. H. 1995. “Jenis-Jenis Kayu
Yang Digunakan Dan Kesesuaian
Sebagai Bahan Baku Pembuatan Perahu
Tradisional Di Kabupaten Manokwari.”
Universitas Cendrawasih.
Jastro, Elymart. 2010. “Kajian Perahu
Tradisional Nusantara Di Museum
Bahari Jakarta: Proses Produksi Pesan
Tentang Teknologi Perahu.” Universitas
Indonesia.
Klein, Ross A. 2003. Cruising – Out of
Control: The Cruise Industry, the
Environment,Workers,
and
the
Maritimes. Canadian Centre for Policy
Alternatives – Nova Scotia.
Maziyah, Siti, Sugiyarto, and Singgih Tri
Sulistiyono. 1999. “Strategi Pelayaran
Perahu Tradisional Indonesia 18791911.” Semarang.
Muhamad, Simela Victor. 2014. Indonesia
Menuju Poros Maritim Dunia: Info
Singkat
Hubungan
Internasional.
Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data, dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI.
Orams, Mark. 1999. Marine Tourism
Development: Impacts and Management.
London: Routledge.
The Fine Art Department (FAD) of Thailand.
1999. “Cultural System: For Quality
Management.” Bangkok.
US EPA. 2008. Cruise Ship Discharge
Assessment Report, Oceans and Coastal
Protection Division Office of Wetlands,
Oceans, and Watersheds. Washington:
Division Office of Wetlands, Oceans,
and Watersheds.
Sumber online:
Adhuri, Dedi S. 2009. Refleksi Kontemporer
Sejarah Pelayaran dan Perniagaan
Nusantara Abad ke‐16 dan 17:
Posisi Pengetahuan Tradisional dan
Persoalan Teritori dalam Pembangunan.
h t t p s : / / w w w. r e s e a r c h g a t e . n e t /
publication/257355908. Diunduh 2
Januari 2013.
Asmiati, M., Yamin Jinca, dan Syamsu
Alam. 2012. Manajemen Usaha
Pelayaran
Rakyat:
Business
Management of Traditional Shipping.
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/
c5213a0da9555e04b2f296abf06fc3ca.
pdf. Diunduh 5 Desember 2015.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan
APBN. 2015. http://www.dpr.go.id/
doksetjen/dokumen/biro-apbn-apbn.
Diunduh 2 Februari 2016.
Biro Pusat Statistik. 2012. Jumlah Penduduk
Miskin Berdasarkan Propinsi. http://
w w w. b p s . g o . i d / t a b _ s u b / v i e w /
php?tabel=1&id_subyek=23&notab=1.
Diunduh 1 Maret 2014.
Brida, Juan Gabriel dan Sandra Zapata Aguirre.
2008. “The Impacts of the Cruise
Industry on Tourism Destinations”,
dalam Sustainable Tourism as a Factor
of Local Development. http://ssrn.com/
abstract=1298403. Diunduh 2 Februari
2016.
Dritasto, Achadiat dan Annisa Ayu
Anggraeni. 2013. “Analisis Dampak
Ekonomi Wisata Bahari terhadap
Pendapatan Masyarakat di Pulau
Tidung”, dalam Reka Loka Jurnal
Online Institut Teknologi Nasional,
PWK - Itenas. portalgaruda.org/
article.php?article=57445&val=4295.
Diunduh 2 Maret 2016.
73
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 25 No. 1, Mei 2016 (65-74)
Kurniawan, Iwan. 2010. “Yang Masih
Tersisa di Sunda Kelapa”, dalam
Heritage, Media Indonesia, Minggu,
17 Oktober 2010. ftp.unpad.ac.id/
koran/mediaindonesia/2010-10-17/
mediaindonesia_2010-10-17_006.pdf.
Diunduh 10 November 2015.
Pujayanti, Adirini. 2011. Budaya Maritim:
Geo-Politik dan Tantangan Keamanan
Indonesia.
http://berkas.dpr.go.id/
pengkajian/files/buku_lintas_tim/bukulintas-tim-3.pdf. Diunduh 2 Januari
2016.
Salman, Darmawan, dkk. 2011. Jagad Bahari
Nusantara.
Jakarta:
Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata.
Siregar, Yusni Ikhwan. 2015. Menggali
Potensi Sumberdaya Laut Indonesia.
Makalah disampaikan pada Workshop
Forum Rektor Indonesia USU, Medan
5-6 Maret 2015. http://usu.ac.id/public/
content/files/USU%20Ikhwan.pdf.
Diunduh 2 Februari 2016.
Sunoto, MES. Arah Kebijakan Pengembangan
Konsep Minapolitan di Indonesia. http://
penataanruang.pu.go.id/bulletin/upload/
data_artikel/edisi2%20pdf2c.pdf.
Diunduh 2 Januari 2016.
Utomo, Bambang Budi. 2010. Traditional Cruise
dan River Cruise di Kawasan Timur
Indonesia.
http://wisatadanbudaya.
blogspot.co.id/2010/03/traditionalc r u i s e - d a n - r i v e r- c r u i s e - d i . h t m l .
Diunduh 2Februari 2015.
74
Download