I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Pertanian tahun 2007-2011 menunjukkan konsumsi daging sapi rata-rata perkapita pada tahun 2011 adalah 0,469 kg pertahun. Pemerintah berupaya meningkatkan konsumsi daging sapi melalui salah satu program kerja Kementerian Pertanian yaitu Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK). Salah satu upaya untuk mensukseskan PSDSK adalah dengan meningkatkan produktivitas ternak melalui pengendalian penyakit ternak. Oleh karena itu status dan kondisi kesehatan ternak harus ditingkatkan melalui pengendalian penyakit hewan menular (Bahri dan Martindah, 2010). Penyakit Jembrana merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis yang ada di Indonesia berdasarkan Keputusan Dirjen Peternakan pada tahun 1997. Penyakit Jembrana juga merupakan salah satu dari 5 penyakit hewan menular strategis pada ruminansia yang mendapat prioritas dan perhatian khusus karena kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. Berdasarkan data Direktorat Kesehatan Hewan menyatakan bahwa selama tahun 2000-2003 telah terjadi 319 kasus penyakit Jembrana yang tersebar di beberapa Propinsi di Indonesia (Bahri dan Martindah, 2010). Wabah penyakit Jembrana pertama kali menyerang sapi Bali (Bos javanicus) pada tahun 1964 di daerah Jembrana, Bali. Penyakit ini 1 2 menyebar sangat cepat hingga Sumatera, Jawa, dan Kalimantan (Hartaningsih et al., 1993). Metode diagnosis yang cepat, akurat, dan mudah sangat diperlukan untuk pengendalian penyebaran penyakit Jembrana. Diagnosis yang didasarkan pada gejala yang muncul kadang sangat sulit ditegakkan terutama pada awal infeksi dan karena adanya kemiripan dengan gejala penyakit lainnya. Kelompok Lentivirus pada umumnya dapat didiagnosis secara imunologis sebelum fase klinis, tetapi pada PJ diagnosis serologis memberikan hasil yang baik pada 5-15 minggu setelah serangan penyakit (Desport et al., 2009). Hal ini membuat diagnosa penyakit Jembrana secara serologis kurang sensitif pada masa awal infeksi virus. Enzyme linked immunosorbent Assay (ELISA) adalah metode diagnosis berdasarkan reaksi antigen antibodi yang sering digunakan untuk diagnosis PJ. ELISA memiliki keterbatasan yaitu tidak dapat mendeteksi antibodi pada awal infeksi karena antibodi terdeteksi pada minggu ke-11 setelah infeksi (Hartaningsih et al., 1994). Metode deteksi untuk mengetahui keberadaan protein virus menggunakan antibodi hanya dapat dilakukan pada saat titer virus cukup dalam darah. Deteksi protein VPJ menggunakan western blot masih terkendala dengan adanya reaksi silang dengan BIV (bovine immunodeficiency virus) (Hartaningsih et al., 1993) Metode deteksi berbasis asam nukleat merupakan metode deteksi dini karena dapat diterapkan sebelum terbentuknya antibodi pada hewan terinfeksi. Metode ini tidak hanya cepat, akurat dan sensitif, tetapi dapat juga untuk mengetahui epidemiologi suatu penyakit. Metode ini mendeteksi keberadaan DNA atau RNA patogen dalam hewan sehingga patogen dapat dideteksi sebelum 3 gejala klinis muncul. Metode deteksi asam nukleat yang telah berkembang antara lain hibridisasi (dot blot, southern atau northern blot, in situ) dan amplifikasi (PCR, RT-PCR, qRT-PCR, LAMP ). Metode hibridisasi memiliki beberapa kelemahan antara lain memerlukan banyak peralatan, waktu yang lama dan tidak ekonomis. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode amplifikasi asam nukleat yang sering digunakan untuk deteksi VPJ secara molekuler karena mempunyai sensitifitas dan spesifitas tinggi. Desport et al. (2007) telah berhasil mengamplifikasi provirus VPJ dari sapi menggunakan PCR, sedangkan Stewart et al (2005) mengkuantifikasi virus dalam plasma selama fase akut menggunakan metode qRT-PCR. Metode qRT-PCR ini hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan fasilitas lengkap dan belum tentu dapat dilakukan pada setiap situasi laboratorium. Di Indonesia, PCR telah digunakan untuk mendeteksi DNA proviral VPJ dari limfosit sapi Bali yang diinfeksi VPJ (Tenaya et al., 2003) dan telah dikembangkan untuk survei molekuler penyakit Jembrana di beberapa propinsi (Agustini, 2011). Saat ini, diagnosis VPJ menggunakan ELISA dan PCR terbatas pada laboratorium tertentu dengan peralatan khusus, membutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang tidak sedikit. Kekurangan metode PCR adalah adanya kemungkinan hasil yang positif atau negatif palsu. Keberadaan inhibitor akan mengganggu amplifikasi DNA sehingga memberikan hasil negatif palsu. Faktor lain yang menyebabkan hasil negatif atau positif palsu adalah kontaminasi, ketidaksesuaian antara gen target dan sekuen primer, variasi kondisi eksperimen, prosedur ekstraksi DNA dan deteksi produk PCR (Yu et al., 2012). 4 Teknologi amplifikasi isothermal menggunakan satu suhu reaksi pada tahap amplifikasi merupakan metode potensial karena lebih sederhana dan menggunakan peralatan yang lebih murah dibandingkan dengan mesin thermalcycler. Amplifikasi isothermal dapat dilakukan dengan menggunakan waterbath atau pemanas sederhana lainnya. Metode amplifikasi isothermal dikelompokkan berdasarkan mekanisme reaksinya yaitu amplifikasi berbasis transkripsi RNA, amplifikasi berbasis replikasi DNA, dan amplifikasi pemindahan untai yang diperantarai oleh DNA polimerase (Yu et al., 2012). Metode amplifikasi isothermal yang telah dikembangkan untuk deteksi VPJ adalah Reverse Transcriptase-Loop Mediated Isothermal Amplification (RTLAMP) (Hendarta, 2012; Tampubolon, 2012). Reaksi amplifikasi ini memanfaatkan aktivitas pemindahan untai (strand displacement) pada kondisi isothermal oleh enzim DNA Polimerase. Reaksi LAMP melibatkan 2-3 pasang primer yang memerlukan desain lebih kompleks (Gill and Ghaemi, 2008). Hal ini merupakan salah satu kekurangan LAMP, karena memerlukan desain primer yang cukup komplek dan juga LAMP tidak mampu untuk mendeteksi target yang belum diketahui sekuennya (DrapaĆa and Kordalewska, 2011). Selain itu, LAMP didesain untuk mengamplifikasi target berupa DNA, sehingga untuk VPJ yang merupakan virus RNA, memerlukan proses transkripsi balik. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA) merupakan metode amplifikasi RNA isothermal, melibatkan aktivitas tiga jenis enzim yaitu reverse transcriptase, T7 RNA Polimerase, RNAse H dan juga dua primer oligonukleotida spesifik (salah satu primer terdapat sekuen promoter T7 pada ujung 5-nya). 5 NASBA pertama kali dikembangkan oleh Compton pada tahun 1991. Kelebihan NASBA dibanding RT-PCR adalah kemampuan mengamplifikasi langsung sampel berupa RNA dan tidak memerlukan proses reverse transkripsi sehingga mengurangi resiko kontaminasi (Loens et al., 2005). NASBA juga tidak memerlukan peralatan thermal cycling karena berlangsung dalam satu suhu sehingga dapat diaplikasikan pada laboratorium sederhana. Kelebihan NASBA lainnya adalah hasil akhir NASBA berupa RNA untai tunggal yang dapat dideteksi langsung menggunakan probe ataupun sekuensing tanpa perlu denaturasi. NASBA telah diaplikasikan untuk deteksi virus, bakteri, jamur dan parasit (Deiman et al., 2002). Penyakit Jembrana disebabkan oleh Virus Penyakit Jembrana (VPJ) yang merupakan genus Lentivirus dari Famili Retroviridae (Kertayadnya et al., 1993). Virus Penyakit Jembrana mempunyai beberapa protein struktural yang sering digunakan sebagai antigen untuk mendeteksi VPJ. Protein kapsid (CA) yang dikode oleh open reading frame (ORF) gag merupakan protein struktural terbanyak dan sangat imunodominan. Antibodi terhadap CA terdeteksi paling awal pada sebagian besar infeksi lentivirus (Hartaningsih et al.,1994). Antibodi terhadap CA sangat penting untuk mendeteksi VPJ secara serologis (Hartaningsih et al., 1993 dan Hartaningsih et al., 1994). Sekuen CA mempunyai region yang sangat conserved yaitu major homology region (MHR) (Barboni et al., 2001). Data di genebank menunjukkan bahwa terdapat 13 sekuen gen gag-CA dari berbagai strain di Indonesia. Strain Tabanan/87 merupakan strain yang pertama kali disekuensing secara utuh 6 (Chadwick et al., 1995) dan juga merupakan strain yang digunakan untuk vaksinasi di Indonesia (Hartaningsih et al., 2001). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati, et al pada tahun 2015 (belum dipublikasi), NASBA telah berhasil mengamplifikasi gen gag-CA VPJ Strain Tabanan/95 dalam sampel jaringan dan plasma sapi Bali terinfeksi serta plasmid rekombinan pGEX-CA. Dalam pengembangan NASBA, terdapat beberapa variasi antara lain lamanya waktu amplifikasi dan konsentrasi KCl. Lamanya waktu amplifikasi merupakan waktu optimal yang diperlukan untuk proses amplifikasi cetakan sehingga menghasilkan produk yang dapat dideteksi. Sedangkan konsentrasi KCl akan mempengaruhi sensitifitas reaksi NASBA (Heim and Schumann, 2002) karena mempengaruhi aktifitas enzim (Ong et al., 2012) dan annealing primer (Brink et al., 1998). Dalam penelitian ini dilakukan amplifikasi gen gag-CA pada sampel yang diinfeksi VPJ strain Tabanan/87, optimasi reaksi NASBA yang terdiri dari lamanya waktu amplifikasi (30, 45, 60, 90, 120 menit) dan konsentrasi KCl (40, 50, 60, 70, 80 mM) serta tingkat sensitifitas dan spesifitas NASBA. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian diatas, maka timbul permasalahan dengan rumusan sebagai berikut : 1. Apakah metode NASBA dapat digunakan untuk mendeteksi gen gag-CA VPJ Strain Tabanan/87 dari sampel jaringan dan plasma Sapi Bali yang diinfeksi dan berapakah kondisi optimum waktu dan konsentrasi KCl dalam reaksi NASBA? 7 2. Bagaimanakah tingkat sensitifitas dan spesifitas NASBA dibandingkan RTPCR dalam mengamplifikasi gen gag-CA VPJ Strain Tabanan/87 dibandingkan VPJ Strain Tabanan/95? 1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi gen gag-CA VPJ Starin Tabanan/87 menggunakan metode NASBA. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum metode NASBA dan tingkat sensitifitas dan spesifitas metode NASBA. 1.4 Manfaat Hasil pengembangan metode NASBA diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif deteksi berbasiskan pendekatan genomik yang mudah, cepat, ekonomis serta mempunyai tingkat sensitifitas dan spesifitas yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan penyebaran penyakit Jembrana. 1.5. Keaslian Penelitian Keterbaruan penelitian ini terdapat pada Strain VPJ yang digunakan yaitu Tabanan/87. Publikasi penggunaan metode NASBA untuk deteksi VPJ strain Tabanan/87 belum ditemukan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kusumawati et al pada tahun 2015 (belum dipublikasi), NASBA telah berhasil mengamplifikasi gen gag-CA pada VPJ Strain Tabanan/95 dalam sampel jaringan, plasma terinfeksi dan plasmid rekombinan pGEX-CA. 8 Selain NASBA, VPJ telah berhasil dideteksi dengan metode in Situ Hibridization (ISH) (Chadwick et al., 1998), immuonoassay dan Real Time PCR (Lewis et al., 2009), western immunoblot (Chadwick et al., 1995 dan Kertayadnya et al., 1993), northern blot (Chen, et al., 1999), Hibridisasi dot blot (Sutrisno, 2011), ELISA (Hartaningsih et al., 1994; Burkala et al.,1999; Barboni et al., 2001; Agustini, 2011) dan amplifikasi isotermal LAMP (Kusumawati et al., 2009; Hendarta, 2012; Tampubolon, 2012). Hasil penelusuran menunjukkan bahwa metode NASBA telah berhasil dilakukan untuk deteksi virus misalnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) (Kievits et al., 1991 dan Oehlenschlager et al., 1996), Hepatitis A Virus (HAV) (Jean et al., 2001), Hepatitis A Virus (HBV) (Deiman et al., 2008) dan sebagainya. NASBA juga telah berhasil digunakan untuk deteksi bakteri, parasit, jamur, dan sel tumor (Deiman et al., 2002). Zhao et al., (2014) juga menyatakan bahwa NASBA dapat digunakan untuk mendeteksi patogen yang ditularkan melalui makanan/ foodborne disease.