BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KECAKAPAN, PERJANJIAN DAN NOTARIS 2.1 Kecakapan 2.1.1 Pengertian Kecakapan Menurut Pasal 2 KUH Perdata, manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum sejak lahir sampai meninggal, tetapi tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaam) untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Secara ekplisit didalam KUH Perdata tidak disebutkan definisi kecakapan. Secara konsepsional, cakap (bekwaam) terkait kepada keadaan seseorang berdasarkan unsur fisiologis dan psikologis sehingga makna kecakapan terkait dengan umur, melekat pada mereka yang telah tidak lagi ”minderjarig”, yaitu setelah dianggap memasuki fase kedewasaan akhir atau disebut adulthood. Hal ini terkait dengan kapasitas mental dan akal sehat seseorang untuk mengetahui akibat-akibat perbuatannya. Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang. Terkait dengan kecakapan tersebut, beberapa sarjana memberikan pengertian kecakapan. Ter Haar menyatakan bahwa “kecakapan atau Volwassen adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya.”1 Pengertian cakap menurut Subekti adalah : “Cakap adalah mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannya. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil balik dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.” 1 Ter Haar dalam Ade Manan Suherman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h.39. R. Setiawan tidak memberikan pengertian mengenai kecakapan, tetapi secara acontario memberikan pengertian tidak cakap. R. Setiawan berpendapat bahwa : “seseorang adalah tidak cakap apabila ia pada umumnya berdasarkan ketentuan undang-undang tidak mampu membuat sendiri persetujuan-persetujuan yang akibat-akibat hukum yang sempurna.”2 J. Satrio menyatakan bahwa “kecakapan melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan dengan unsur kedewasaan dan hal itu secara tidak langsung ada kaitannya dengan unsur umur.”3 Secara singkat, kecakapan bertindak bergantung dari kedewasaan yang dibatasi umur. Namun demikian, ada faktor lain, seperti status menikah, yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang.4 Karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini didasarkan atas anggapan bahwa orang di bawah umur tertentu belum dapat menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya maka dapat disimpulkan bahwa masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum tidak harus sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain, ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada).5 2.1.2 Syarat-Syarat Kecakapan Menurut Hukum Mengingat kecakapan selalu terkait dengan kedewasaan, kedewasaan seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangat beragam. Kecapakan untuk melakukan perbutan hukum pada umumnya diukur dari standar berikut ini ; a. Person (pribadi) diukur dari usia kedewasaan (meerderjarig) dan, 2 R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Abardin, Bandung, 61. (selanjurnya diset R. Setiawan I) 3 Ade Manan Suherman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Nasional Legal Reform Program, Jakarta, h.39. 4 Ibid. 5 Ibid., h.40 b. Rechtpersoon (badan hukum) diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid).6 Dari ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata, doktrin menyatakan bahwa semua orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam Pasal 1330 BW diatur bahwa ; tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Pasal 330 KUH Perdata menentukan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Dengan demikian secara argumentum a-contrario, dewasa menurut KUH Perdata adalah berumur genap 21 (duapuluh satu) tahun atau telah kawin. Artinya menurut KUH Perdata hanya orang yang telah berumur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah kawin adalah cakap membuat perjanjian. Kedewasaan subjek hukum orang perseorangan (persoon) akan menentukan kecakapannya untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dapat berdamapak pada keabsahan perjanjian yang dibuat. 1.1.3 Batasan Usia Cakap Menurut Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan 1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Kecakapan para pihak yang membuat suatu perjanjian merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembuatan suatu perjanjian yang sah. Unsur kecakapan yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan bahwa pihak-pihak sebagai subyek hukum yang akan membuat suatu perjanjian harus tunduk terhadap kiteria kecakapan menurut hukum yaitu telah dewasa dan harus memiliki kemampuan untuk melakukan 6 Agus Yudha Hernoko,op cit h.184. perbuatan hukum sendiri yang berarti bahwa pihak-pihak tersebut harus dapat saling mendukung hak dan kewajibannya sendiri. Hal ini tentu tidak dimiliki oleh mereka yang termasuk kategori tidak cakap menurut hukum yang salah satu kiterianya adalah belum dewasa. Di dalam Pasal 330 KUH Perdata disebutkan, bahwa : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin sebelumnya” “Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewas.” “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 bab ini. Sehingga di dalam Pasal 330 KUH Perdata, orang yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang genap berusia 21 tahun atau sudah menikah sebelum umur 21 tahun. Sehingga penetuan ini didasarkan pada ukuran yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Ukuran kuantitatif ini didasarkan berdasarkan umur atau rentang waktu didalam mereka menjalani hidup. Sedangkam ukuran kualitatif ini ditentukan oleh sudah atau belumnya seseorang menikah. Jika seseorang sudah pernah menikah tetapi belum genap berumur 21 tahun maka dia dianggap sudah dewasa. 2. Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Batasan usia cakap sehingga diperbolehkan untuk melakukan perbuatan hukum atau untuk menandatangani akta otentik sudah diatur dengan jelas di dalam undang-undang ini, terutama bagi mereka para penghadap dan seorang saksi, yang terdapat di dalam Pasal 39 UUJN. Di dalam Pasal 39 UUJN dinyatakan bahwa : (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum (2) Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta ini Di dalam pasal tersebut telah dijelaskan secara tegas bahwa batasan minimal seseorang cakap melakukan perbuatan hukum untuk menghadap ke notaris adalah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, juga dijelaskan batasan usia minimal seseorang untuk dapat menjadi saksi, undang-undang juga mensyaratkan seseorang saksi untuk cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Sehingga jelas terlihat bahwa betapa pentingnya kecakapan untuk menentukan keabsahan suatu perjanjian. 3. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai hubungan kerja antara tenaga kerja, pekerja dan pemberi kerja. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Didalam hubungan kerja tersebut terdapat perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang membuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 26 “anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan cakap untuk melakukan hubungan atau perbuatan hukum berdasarkan UU Ketenagakerjaan adalah 18 tahun. 2.2 Perjanjian 2.2.1 Pengertian Perjanjian Dalam pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.” Atas pengertian perjanjian pada pasal 1313 KUH Perdata tersebut, Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa : “Rumusan ketentuan pasal ini sebenarnya tidak jelas. Ketidakjelasan itu dapat dikaji dari beberapa unsur dalam rumusan pasal 1313 KUH Perdata, sebagaimana diuraikan berikut ini : 1. Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakaup juga perjanjian perkawinan yang diatur dalam bidang hukum perdata. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur yang bersifat kebendaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata sebenarnya hanya melingkupi perjanjian bersifat kebendaan, tidak melingkupi perjanjian yang bersifat keorangan (personal). 2. Perbuatan dapat dengan persetujuan dan dapat juga tanpa persetujuan. Dalam hal ini yang disimpulkan dari unsur definisi “perbuatan” yang meliputi juga perbuatan perwakilan sukarela (zakwaarneming), perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang terjadinya itu tanpa persetujuan. Seharusnya unsur tersebut dirumuskan : perjanjian adalah persetujuan. 3. Perjanjian dari sepihak saja hal ini dapat dipahami dari unsur definisi kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya unsur tersebut dirumuskan saling mengikatkan diri artinya pihak yang satu mengikatkan diri pada pihak yang lain dan pihak yang lain juga mengikatkan diri pada pihak yang satu. Jadi ada persetujuan antara kedua pihak. 4. Tanpa menyatakan tujuan, dalam rumusan pasal tersebut tidak dinyatakan tujuan pihak-pihak mengadakan perjanjian sehingga untuk para pihak mengikatkan diri itu tidak jelas. Jika tujuan mereka tidak jelas, mungkin dapat menimbulkan dugaan tujuan yang dilarang undang-undang yang dapat mengakibatkan perjanjian batal.7 Berdasarkan alasan-alasan yang diuraikan diatas, Abdul Kadir Muhammad menyatakan konsep perjanjian dalam arti sempit adalah : “perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di bidang harta kekayaan.”8 Subekti memberikan definisi “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”9 Sedangkan menurut KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum ysng dapat dipaksakan oleh undang- 7 Abdul Kadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.289-290. Ibid. 9 Subekti, 2005, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1. 8 undang.”10 R. Setiawan tidak menggunakan istilah perjanjian, tetapi menggunakan istilah persetujuan. R. Setiawan menyatakan : “persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”11 Ricardo Simanjuntak tidak membedakan pengertian perjanjian dengan persetujuan yang dalam bahasa Belanda lebih dikenal dengan overeenkomst.12 Perjanjian dan persetujuan sama-sama mempunyai pengertian bahwa kedua belah pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati bersama. Dengan begitu, penggunaannya dapat saja secara bebas menggunakan perjanjian, persetujuan, kesepakatan, ataupun kontrak dalam menggambarkan hubungan hukum yang mengikat para pihak untuk melaksanakannya.13 2.2.2 Asas-Asas Perjanjian Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak pihak-pihak untuk mencapai tujuan. Beberapa asas tersebut adalah sebagaimana diuraikan sebagai berikut : 1. Asas Kebebasan Berkontrak Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan kepentingtan umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Asas kebebasan berkontrak ini terdapat didalam Pasal 1320 KUH Perdata pada ketentuan angka 4 dari pasal tersebut. Asas kebebasan berkontrak memungkinkan para pihak untuk membuat dan mengadakan perjanjian serta 10 KRMT Tirtodiningrat dalam A. Qirom Meliala, 1985, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, h.8. 11 R. Setiawan, op.cit., h.49. 12 Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Mingguan Ekonomi & Bisnis Kontan, Jakarta, h.50. 13 Ibid. untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang. 2. Asas Pelengkap Asas ini mempunyai arti bahwa ketentuan undang-undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak menghendaki dan membuat ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan undang- undang. Akan tetapi, apabila dalam perjanjian yang mereka buat tidak ditentukan lain, berlakulah ketentuan undang-undang. Asas ini hanya mengenai rumusan hak dan kewajiban pihakpihak. 3. Asas Konsensual Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapai kata sepakat (konsesus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Ketentuan yang mengatur mengenai konsensualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu syarat pertama dari pasal tersebut yaitu kesepakatan antara para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Berdasarkan asas ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang dibuat itu cukup secara lisan saja, sebagai penjelmaan dari asas “manusia itu dapat dipegang mulutnya”, artinya dapat dicapai dengan kata-kata yang diucapkan. 4. Asas Obligator Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum mengalihkan hak milik. Hak milik baru beralih apabila dilakukan dengan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui penyerahan (levering). 14 5. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda) Asas Pacta Sunt Servanda ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang dinyatakan sebagai berikut : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan rumusan tersebut berarti setiap pihak, sebagai kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitor, dapat atau berhak memaksakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan kepada pejabat negara yang berwenang yang akan memutus dan menentukan sampai seberapa jauh suatu prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksnakan, atau dilaksnakan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan masih dapat dilaksanakan. 6. Asas Iktikad Baik Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Rumusan tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. 7. Asas Personalia Asas personalia di dalam hukum perjanjian pengaturannya dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.” Dari rumusan tersebut 14 Abdul Kadir Muhamad, op cit,.h.292-296. dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum pribadi, hanya akan berlaku dan mengikatkan dirinya sendiri15. 2.2.3 Syarat Sah Perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan atau syarat sahnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam pasal 1320 KUH Perdata tersebut terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenen die zich verbinden) Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata syarat pertama mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak untuk mengadakan perjanjian, harus bersepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Sepakat mengandung arti apa yang dikehendaki pihak yang satu dengan dikehendaki oleh pihak yang lain. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (de bekwaamheid om enne verbintenis aan te gaan) Arti cakap adalah bagi orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seseorang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat perjanjianperjanjian adalah : a. Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 15 Gunawan Widjaja,2006, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.250. c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. 3. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp) Sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi kewajiban dari debitur dan apa yang menjadi hak dari kreditur. Suatu hal tertentu sebagai obyek dari perjanjian dapat diartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian 16. Berdasarkan ketentuan Pasal 1332-1334 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian, maka obyek perjanjian haruslah : a. Dapat ditentukan b. Dapat diperdagangkan (diperbolehkan) c. Mungkin dilakukan; dan d. Dapat dinilai dengan uang17. Tuntutan dari undang-undang adalah obyek perjanjian haruslah tertentu. Setidaknya obyek perjanjian cukup dapat ditentukan. Tujuan dari suatu perjanjian adalah untuk timbulnya/terbentuknya, berubah, atau berakhirnya suatu perikatan. Perjanjian tersebut mewajibkan kepada (para) pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidakberbuat sesuatu (prestasi). Pada akhirnya, kewajiban tersebut haruslah dapat ditentukan. Bila obyeknya tidak tertentu , maka bagaimana orang dapat menuntut pemenuhan haknya dan melunasi kewajibannya. 4. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak) 16 Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.107. 17 Ibid Di samping isi perjanjian harus tertentu (dapat ditentukan), isinya juga harus halal (tidak dilarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. Berkenaan dengan ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan : “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Dengan demikian isi perjanjian tidaklah boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan di atas tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya, tetapi tidak mengikat artinya tidak wajib dilaksanakan. Apabila dilaksanakan juga sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya dan menimbulkan sengketa. Apabila syarat pertama dan kedua tersebut dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena bertentangan dengan syarat subjektif, dan syarat yang ketiga dan keempat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum karena bertentangan dengan syarat objektif. 2.2.4 Jenis-Jenis Perjanjian Berdasarkan pada kiteria masing-masing, perjanjian dapat dibagi menjadi lima macam jenis perjanjian. Kelima macam jenis-jenis perjanjian tersebut yaitu: 1. perjanjian dua pihak dan sepihak. perjanjian dua pihak atau timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak saling memberi prestasi, misalnya jual beli, sewa-menyewa, atau tukar menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan satu pihak memberi prestasi dan pihak lain menerima prestasi misalnya perjanjian hibah dan hadiah. 2. perjanjian bernama dan tidak bernama. perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah memiliki nama tertentu yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas misalnya perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, hibah, asuransi. Perjanjian bernama diatur didalam titel V-XVIII KUH Perdata. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak memiliki nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas. 3. perjanjian obligator dan kebendaan. perjanjian obligator adalah perjanjian yang menciptakan hak dan kewajiban, misalnya perjanjian jual beli sejak terjadinya kesepakatan (konsensus) mengenai benda dan harga, penjual berhak atas pembayaran harga dan pembeli berhak atas barang yang dibeli. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk mengalihkan hak milik, misalnya perjanjian jual beli, hibah, tukar menukar. 4. perjanjian konsensual dan real. perjanjian konsensualadalah perjanjian yang terjadi itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihaknya. Tujuan perjanjian baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian real adalah perjanjian yang terjadinya itu sekaligus realisasi tujuan perjanjian, yaitu pengalihan hak. 5. perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga. Pada umumnya perjanjian yang diadakan oleh pihak-pihak itu adalah perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua yang mengikatkan pihak-pihak itu sendiri. Dengan demikian, berlakunya perjanjian juga hanya untuk kepentingan pihak pertama dan pihak kedua. Akan tetapi masih ada lagi perjanjian yang berlakunya itu untuk kepentingan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud antara lain ahli waris. Dalam perjanjian, para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat mengikat orang-orang pihak ketiga, kecuali apabila pihak ketiga itu terikat karena ketentuan undang-undang seperti ahli waris, dan penerima wasiat. Sebagai contohnya seorang ayah mengasuransikan anaknya yang bersekolah di sekolah dasar bernama Amin pada Asuransi Jiwa Adil Makmur. Pihak ketigayang terikat memperoleh hak atas suatu prestasi berupa klaim asuransi adalah Amin anaknya yang bersekolah di sekolah dasar dalam polis asuransi jiwa tertulis nama anaknya itu sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas klaim “Asuransi Jiwa Adil Makmur”. Klausula asuransi seperti ini disebut “perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.18 2.3 Notaris 2.3.1 Pengertian Notaris Pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN) diatur mengenai pengertian notaris yaitu : “Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Berdasarkan ketentuan tersebut, Notaris dikualifikasi sebagai Pejabat Umum, tetapi kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum, tidak hanya untuk notaris saja, karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai Pejabat Umum kepada pejabat lain selain kepada Notaris, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja, yang berkaitan dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang hanya untuk lelang saja. 18 Abdul Kadir Muhamad,2010, op cit,.h.297-298. Dengan demikian Notaris berperan melaksanakan sebagai tugas negara dalam bidang hukum keperdataan, dan kepada Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta merupakan formulasi keinganan atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris, dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN. Pemberian kualifikasi sebagai pejabat umum tidak hanya kepada notaris saja, tetapi juga diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang, dengan demikian Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tetapi tidak setiap setiap Pejabat Umum pasti Notaris, karena Pejabat Umum bisa juga PPAT atau Pejabat Lelang. 2.3.2 Syarat Sahnya Diangkat Menjadi Seorang Notaris Untuk menjadi notaris, maka sesorang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur pada pasal 3 UUJN, yaitu : a. b. c. d. e. f. Warga Negara Indonesia; Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh ) tahun; Sehat jasmani dan rohani; Berijajazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Seorang Notaris yang dikatakan sehat secara jasmani dan rohani adalah mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan wewenang dan kewajibannya sebagai Notaris. Dan seorang Notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Notaris. 2.3.3 Kewenangan Notaris Dalam setiap jabatan melekat suatu kewenangan. Notaris memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 15 UUJN. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa kewenangan Notaris adalah : “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Ada beberapa akta otentik yang merupakan wewenang Notaris dan juga menjadi wewenang pejabat atau intansi lain, yaitu : 1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUH Perdata). 2. Akta berita acara tentang kelalain pejabat penyimpan hipotik (1227 KUH Perdata). 3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi (Pasal 1405 dan 1406 KUH Perdata). 4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218WvK) 5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Pasal 15 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996. 6. Membuat akta risalah lelang Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) yaitu : 1. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku. 2. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Dengan kontruksi tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai kewenangan khusus Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti : 1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yangmemuat uaraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau 7. Membuat akta risalah lelang; Sebenarnya ada kewenangan khusus Notaris lainnya, yaitu membuat akta dalam bentuk In Originali, yaitu akta :19 a. Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Penawaran pembayaran tunai; c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d. Akta kuasa; e. Keterangan kepemilikan; atau f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. 19 Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Surabaya,.h 82. Tetapi dimasukkan tersebut tidak dimasukkan sebagai kewenangan khusus, tapi dimasukkan sebagai kewajiban Notaris (Pasal 16 ayat (3) UUJN). Dilihat secara subtansi hal tersebut harus dimasukkan sebagai kewenangan khusus Notaris, karena Pasal 16 ayat (3) UUJN tersebut tindakan hukum yang harus dilakukan Notaris yaitu membuat akta tertentu dalam bentuk In Originali. Notaris juga mempunyai kewenangan khusus lainnya seperti yang tersebut dalam Pasal 51 UUJN, yaitu berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis atau kesalahan ketik yang terdapat didalam Minuta akta yang telah ditandatangani, dengan cara membuat Berita Acara Pembetulan, dan Salinan atas Berita Acara Pembetulan tersebut Notaris wajib menyampaikan kepada para pihak. 2.3.4 Jenis-jenis Akta Akta adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti.20 Berdasarkan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata, Akta dapat dibedakan menjadi dua yaitu, Akta Otentik dan Akta Bawah Tangan. Menurut ketentuan Pasal 101 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, akta otentik adalah yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. Adapun Menurut Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta otentik adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa- 20 Tan Thong Kie, 2007, Studi Notaris : Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, h. 440 peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.21 Sementara itu menurut ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan tempat akta itu dibuat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian Akta Otentik adalah akta yang harus dibuat berdasarkan peraturan perundangan serta dihadapana pejabat yang berwenang. Sementara itu akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditanda tangani oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau hanya antara para pihak yang berkepentingan saja. Dalam KUHPerdata akta di bawah tangan disebut dengan “tulisan si bawah tangan”. Menurut ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Akta dibawah tangan ini dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Akta di bawah tangan di mana pihak menandatangani kontrak itu di atas materai (tanpa keterlibatan pejabat umum; 2. Akta di bawah tangan yang didaftar (waarmeking) oleh Notaris/ Pejabat Umum yang berwenang; 3. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh Notaris/ Pejabat Umum yang berwenang.22 21 Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 149 Salim H.S, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU), Sinar Grafika, Jakarta, h. 16. 22 Akta bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak yang berkepentingan lalu didaftarkan ke Notaris (Warmeking), proses pembuatan kesepakatan dan penandatangan akta dilakukan tidak dihadapan Notaris serta tidak melibatkan Notaris. Setelah perjanjian disepakati dan selesai ditandatangani lalu akta tersebut dibawa ke Notaris. Pihak Notaris selanjutnya melakukan pendataan dan mencantumkan akta tersebut dalam buku khusus. Meskipun demikian, kekuatan hukumnya tetap tidak sekuat akta otentik. Akta di bawah tangan yang didaftarkan pada Notaris disebut Akta Waarmerken. Dengan demikian maka Akta Warmeken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak. Sedikit berbeda dengan kedua akta bawah tangan sebelumnya, pada akta bawah tangan yang dilegalisasi penandatanganan dilakukan di hadapan Notaris. Jadi, pihak-pihak yang memiliki kepentingan menghadap ke Notaris sambil membawa perjanjian yang telah disepakati. Akta bawah tangan jenis ini dilakukan untuk memastikan kebenaran dan keaslian tanda tangan para pihak. Selain itu juga untuk memastikan keabsahan dan kepastian tanggal dilakukannya tanda tangan itu. Waarmeking dan legalisasi adalah dua dari beberapa kewenangan khusus Notaris yang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) UUJN, yaitu sebagai untuk melakukan tindakan hukum tertentu.23 Waarmeking (register) yaitu pembukuan yang dilakukan oleh seorang Notaris berdasarkan keinginan pihak yang aktanya akan didaftarkan untuk dibukukan ke dalam sebuah buku khusus yang dimiliki oleh Notaris yang bersangkutan. Pada Pasal 15 23 Hartanti Sulihandari & Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Cetakan I, Dunia Cerdas, Jakarta, h. 96. ayat (2) huruf b UUJN diatur mengenai kewenangan Notaris dalam membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar pada buku khusus. Perbedaan yang mencolok dari waarmeking dan legalisasi yaitu terlihat pada kapan tanda tangan Notaris dan tanda tangan para pihak dalam akta tersebut dibubuhkan. Pada waarmeking, pembubuhan tanda tangan oleh Notaris tersebut dilakukan di waktu yang berbeda setelah para pihak dalam akta telah menyepakati dan menandatangani akta tersebut terlebih dahulu. Jadi, tanggal ditandatanganinya akta oleh para pihak berbeda dan lebih dahulu dari pada tanggal ditandatanganinya akta tersebut oleh Notaris. Sedangkan pada legalisasi yaitu waktu penandatanganan antara para pihak yang terkait dalam akta dan Notaris harus sama. Dengan arti lain bahwa akta tersebut disahkan dihadapan Notaris dengan ditandatangani oleh para pihak terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan tanda tangan oleh Notaris pada waktu yang sama. Waarmeking hanya sebatas pembukuan saja yang dalam hal ini bertujuan agar apabila di kemudian hari akta tersebut hilang maka dapat dimintakan salinan yang telah dilegalisir sebelumnya oleh Notaris. Istilah “legalisir” ini adalah mencocokan fotocopy suatu dokumen dengan aslinya dan akan dicantumkan keterangan bahwa fotocopy tersebut sama dengan aslinya.