BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan isu gay di

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Perkembangan isu gay di Indonesia meskipun tidak dikatakan pesat, kini
masyarakat mulai menyadari akan adanya keberadaan kaum gay disekitar
mereka. Data yang dilansir dalam portal gaya nusantara (Oetomo, 2006)
mengatakan bahwa jumlah kaum gay di Indonesia sudah mencapai 20.000 juta
orang hingga saat ini. Jumlah ini akan mencapai dua kali lipatnya jika di tambah
dengan kaum biseksual. Merujuk pada penelitian Kinsey terhadap 5300 pria kulit
putih sebagai responden di Amerika, setiap individu disebutkan memiliki
kecenderungan untuk menyukai sesama jenis. Bahkan, Kinsey menyebutkan
bahwa satu dari tiga dari responden memiliki pengalaman hubungan seksual
paling tidak satu kali semenjak masa pubertas (Oetomo, 2006). Besarnya jumlah
gay dan makin gencarnya kampanye tentang hak-hak kaum gay secara
sosiologis tentunya dapat menggeser nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
(Oetomo, 1999). Kondisi ini disempurnakan oleh pernyataan resmi dari WHO
pada tahun 2005 yang menegaskan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit
sosial melainkan preferensi seksual individu.
Homoseksualitas adalah ketertarikan / dorongan / hasrat untuk terlibat
secara seksual dan emosional (ketertarikan yang bersifat romantis) terhadap
orang yang berjenis kelamin sama dari seorang manusia (Neale, Davidson, &
Haaga, 1996). Istilah umum untuk kaum homoseksual adalah gay. Sebutan ini
seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan
2
mencintai sesama jenis. Definisi gay yakni lelaki yang mempunyai orientasi
seksual terhadap sesama lelaki (Duffy & Atwater, 2005).
Masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa
hubungan sesama jenis adalah tabu dan terlarang. Setiap agama di Indonesia
memiliki pandangan tersendiri terhadap homoseksual. Dalam agama Islam dan
Kristen terdapat larangan yang jelas tentang adanya hubungan antar sesama
jenis (gay, lesbian, dan waria). Namun sebaliknya, dengan alasan tertentu, dalam
Buddha, hubungan sesama jenis diperbolehkan walaupun diakui bahwa
hubungan sesama jenis merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual.
Dalam Agama Hindu hubungan sesama jenis masih menjadi perdebatan.
Beberapa kalangan menganggap bahwa hubungan sesama jenis tidak menyalahi
aturan agama, hal ini didasarkan pada tidak ditemukannya satu ayat pun dalm
surat suci agama Hindu yang melarang hubungan sesama jenis, namun
beberapa kalangan menolak alasan tersebut.
Bagi kalangan yang kontra terhadap hubungan sesama jenis, tetap
mengganggap bahwa hubungan sesama jenis merupakan hal yang salah dan
berdosa, kondisi ini menyebabkan terbentuknya sebuah perilaku yang mendasar
dalam masyarakat yang mengakibatkan suatu ancaman sosial untuk para gay.
Hal ini menyebabkan kaum gay kerap menerima perlakuan berupa pelecehan
fisik ataupun verbal dalam lingkungan sosialnya yang menyebabkan peasaan
takut akan perlakuan negatif, pengucilan, dan pernyataan negatif yang
merupakan ancaman sosial-agama yang muncul dari masyarakat (Oetomo,
2006). Hal inilah yang menjadikan individu gay enggan untuk membuka diri atau
yang kita kenal dengan istilah non coming out (Oetomo, 2003).
3
Kondisi diatas, peneliti juga dapat lihat dari hasil wawancara singkat
peneliti terhadap beberapa kaum homoseksual tanggal 5 januari 2010
mendapatkan hasil bahwa agama merupakan faktor penghambat bagi seorang
gay melakukan coming out, karena kaum gay memiliki perasaan berdosa
terhadap agama yang diyakininya karena memiliki orientasi seksual yang
berbeda dengan kaum individu pada umumnya. Hal ini membuat para gay
memilih untuk tidak memiliki agama apapun agar tidak merasakan perasaan
perasaan bersalah terhadap agama manapun. Kaum gay juga lebih memilih
untuk menutup jati dirinya atau non coming out untuk menghindari pernyataan
negatif, perlakuan negatif, dan pengucilan yang muncul dari lingkungan terdekat
mereka dan masyarakat.
Lingkungan terdekat seseorang adalah keluarga. Keluarga merupakan
dukungan sosial yang berpengaruh dalam diri seseorang dalam pembentukan jati
diri dan penerimaan diri. Karena pada umumnya keluarga berfungsi untuk
melindungi, menjaga, mengasuh dan membantu perkembangan sosialisasi para
anggota keluarga, akan tetapi dalam kasus homoseksual, keluarga justru
menjadi kendala utama untuk seorang gay yang ingin mengungkapkan jati
dirinya. Keluarga pada umumnya belum dapat menerima anggota keluarga yang
mengakui diri mereka seorang gay. Bahkan tidak jarang keluarga bersikap
menolak, mengusir ataupun tidak mau mengakui adanya hubungan keluarga
dengan anggota keluarga tersebut.
Saat ini, Homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai bentuk abnormalitas
maupun sebagai suatu bentuk gangguan kejiwaan. Hal ini dapat dilihat dalam
buku PPDGJ III (Pendoman Penggolongan Diangnostik Gangguan Jiwa) dan
DSM IV yang telah menghapus kategori homoseksual sebagai bentuk gangguan
kejiwaan. Meskipun hal ini sudah jelas akan tetapi masyarakat dan para anggota
4
keluarga yang memiliki anggota keluarga seorang gay masih saja melihat hal ini
sebagai kelainan jiwa. Dengan adanya sikap keluarga seperti ini membuat kaum
gay tidak menyatakan secara pribadi dan terbuka tentang identitas dirinya
kepada lingkungan dan masyarakat. Kaum gay mempertimbangkan kosekuensikonsekuensi negatif yang mereka terima dari lingkungan terdekatnya jika mereka
membuka identitasnya.
Sikap keluarga yang menolak, mengusir ataupun tidak mau mengakui
adanya hubungan keluarga yang gay membuat kaum gay tidak menyatakan
secara pribadi dan terbuka tentang identitas dirinya kepada lingkungan dan
masyarakat. Konsekuensi negatif yang mereka dapatkan dari lingkungan
terdekatnya membuat penerimaan diri seorang gay terhadap dirinya menjadi
tidak baik, mereka akan merasa bahwa diri mereka tidak pantas berada dalam
keluarga dan lingkungannya, karena dianggap memiliki suatu perilaku seksual
yang dianggap salah oleh lingkungannya.
Penerimaan diri sangatlah penting dimiliki oleh setiap individu dalam
menjalani kehidupannya, agar dapat menjalani kehidupannya dengan baik.
Penerimaan diri adalah sejauh mana seorang individu, memiliki karakteristik
kepribadian yang mampu dan bersedia untuk hidup bersama orang lain. Hurlock
(1973:338) menyatakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki
penilaian yang realistis dari sumber daya atau kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaannya terhadap diri sendiri
tanpa menjadi budak pendapat orang lain dan memiliki penilaian yang realistis.
Penerimaan diri yang dimiliki oleh setiap individu merupakan sebuah tanda
adanya proses yang terjadi didalam diri individu yang mengantarkan dirinya pada
pengetahuan dan pemahaman tentang dirinya sehingga dapat menerima dirinya
secara utuh dan bahagia.
5
Anita Taylor (dalam Jalaludin Rakhmat 2002 : 131) menyatakan bahwa sikap
menerima merupakan kemampuan berhubungan dengan orang lain tanpa
berusaha mengendalikan, menerima adalah sikap yang melihat orang lain
sebagai manusia, sebagai individu yang patut dihargai. Sikap menerima
merupakan suatu proses yang mana harus dimulai dengan adanya suatu
hubungan interpersonal yang baik. Sebaliknya jika tidak terjalin hubungan
interpersonal yang baik akan memunculkan sikap mengkritik, mengecam, atau
menilai.
Individu yang mampu untuk menerima orang lain apa adanya dan mau
menerima kondisi dirinya sendiri dengan bahagia disebut juga individu yang
sehat mental. Individu yang sehat mental tidak akan memaksakan orang lain
untuk melakukan yang diminta, dan tidak menuntut orang lain untuk memenuhi
semua kebutuhannya (Andangsari,2007). Penjelasan-penjelasan penerimaan diri
menurut Andang sari (2007) dan Anita Taylor (dalam Jalaludin Rakhmat 2002 :
131) merupakan karakteristik dari individu yang mampu menerima dirinya sendiri
secara umum dan berlaku juga untuk seorang gay, karena seorang gay juga
merupakan seorang individu yang sama dengan individu lainnya pada umumnya
yang hanya memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Seorang gay yang sudah menerima dirinya sendiri merupakan permulaan
bagi mereka untuk melakukan proses coming out. Coming out menurut Cass
(Anderson&Brown, 1999) merupakan sebuah bentuk pengakuan, penenerimaan,
pengekspresian. Dan keterbukaan mengenai orientasi seksual seseorang
dengan dirinya sendiri dan orang lain.
Cass
menyatakan
bahwa
coming
out
adalah
bagian
dari
proses
perkembangan yang paling signifikan dalam kehidupan pria homoseksual (dalam
Anderson&Brown, 1999). Sedangkan menurut Bohan (dalam Griffith & Helb,
6
2002), identitas seorang pria homoseksual merupakan permasalahan yang
utama bagi individu sehingga mereka dapat merasa tidak diterima atau menyukai
orang lain sampai mereka membuka diri. Menurut Cass; Lee; McCarn &
Fassinger; dan Sophie (dalam Vaughan, 2007), dengan melakukan coming out,
seorang individu akan membentuk identitas yang lebih kuat dan lebih positif,
lebih mampu untuk mengatasi stress, serta hubungan yang lebih kuat dan lebih
dalam dengan teman, anggota keluarga, maupun pasangan.
Dengan kata lain, coming out bersifat esensial bagi seorang pria
homoseksual karena membantu individu tersebut untuk mengembangkan
identitas yang positif dan mengembangkan hubungan interpersonal yang hangat,
sehingga mengindikasikan berkurangnya kecemasan dan stress, yang terkait
erat dengan penerimaan diri.
Berbagai masalah yang ada di atas, seperti adanya larangan beberapa
agama yang ada di Indonesia membuat pemikiran masyarakat Indonesia
memandang negatif terhadap kaum gay.
Pandangan negatif ini terbentuk berdasarkan keyakinan masyarakat yang
memang melarang adanya kaum homoseksual. Dengan melihat berbagai bentuk
ketidak adilan yang diberikan oleh masyarakat, seperti dikucilkan dan menjadi
bahan pergunjingan, membuat kaum gay memilih untuk melakukan penutupan
jati diri. Penutupan jati diri yang dilakukan oleh seorang gay dikarenakan mereka
tidak percaya terhadap dirinya sendiri, selalu memiliki anggapan bahwa dirinya
adalah orang yang memiliki kelainan sehingga tidak dapat menerima dirinya
dengan baik. Penerimaan diri menjadi suatu yang penting untuk seseorang dapat
menerima kelebihan dan kekurangan yang ada sehingga tidak kehilangan tujuan
hidupnya.
7
Melihat fenomena yang terjadi seperti ini dapat dilihat adanya hubungan
antara penerimaan diri seseorang dengan proses non coming out yang dilakukan
oleh seorang gay. Kemudian timbulah assumsi peneliti bahwa gay yang memiliki
penerimaan diri yang rendah akan memilih untuk non coming out, sedangkan gay
yang memiliki penerimaan diri yang tinggi akan lebih mempertimbangkan
pemikirannya untuk lebih memilih coming out.
1.2 Rumusan Masalah
-
Bagaimana penerimaan diri pada gay yang coming out?
-
Bagaimana penerimaan diri pada gay yang belum coming out?
-
Apakah terdapat hubungan antara penerimaan diri dan proses coming
out?
-
Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui, bagaimana perbedaan
penerimaan diri pada gay yang coming out dan non coming out?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara penerimaan diri
dengan non coming out pada gay.
8
1.3.2 Manfaat
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi
perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi klinis dengan memberikan
tambahan data empiris yang teruji secara statistik, baik hipotesis tersebut
terbukti ataupun tidak.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
-
Memberikan pengayaan sudut pandang bagi masyarakat tentang cara
menilai seorang gay.
-
Bagi kaum homoseksual (gay), membantu untuk membuat suatu
cerminan diri dalam menghadapi kehidupan dan untuk membantu
proses coming out.
Download