PERTARUNGAN AKTOR POLITIK DI MEDIA CETAK DALAM PEMILUKADA BANGLI 2010 Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana NI MADE RAS AMANDA G. NIM 0890371021 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 1 2 PENETAPAN PANITIA PENGUJI DISERTASI Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup) Tanggal 22 April 2014 Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No.:1085/UN.14.4/HK/2014 tanggal 21 April 2014 Ketua : Dr. Putu Sukardja, M.Si Anggota : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Prof. Dr. I Gde Parimartha M.A Prof Dr. I Wayan Ardika M.A Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra M.Litt Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U Prof Dr I Gde Semadi Astra Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., 3 PERNYATAAN KEASLIAN Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Ni Made Ras Amanda Gelgel NIM : 0890371021 Jurusan : S3 Kajian Budaya Fakultas/Program : Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Judul Disertasi : Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010 Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan-peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Denpasar, 20 April 2014 Materai Rp 6.000 Ni Made Ras Amanda Gelgel 4 UCAPAN TERIMA KASIH Atas Asung Kertha Waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dan dengan didukung oleh keinginan luhur, Disertasi dengan judul “Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010” ini dapat diselesaikan penulisannya dalam upaya memenuhi beban studi pada Program Doktoral Pascasarjana, Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana. Untuk itu, selayaknyalah dipanjatkan puji syukur kehadirat-Nya. Terwujudnya tulisan ini tentu atas dorongan dari Prof. Dr. I Gde Parimartha M.A selaku promotor yang telah memperkaya penulis dengan diskusi-diskusi mendalamnya, Prof Dr. I Wayan Ardika M.A selaku Kopromotor I yang telah mengajarkan penulis untuk memiliki perspektif yang kuat akan kajian budaya, dan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra M.Litt selaku kopromotor II, yang mengajarkan penulis untuk mengembangkan pemikiran kritis dan mengajarkan kedisplinan dalam penulisan. Untuk itu penulis sampaikan terimakasih yang tak terhingga. Ucapan yang senada, juga disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika SpPD KEMD dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), yang secara profesional menyediakan fasilitas dan finansial selama berlangsungnya proses pendidikan. Ucapan yang sama disampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan Cika M.S selaku Dekan Fakultas Sastra UNUD, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan.S.U dan Dr. I Putu Sukarja, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Kajian Budaya, Program Doktor (S3) Universitas Udayan beserta seluruh dosen yang telah banyak mentransformasi pilar-pilar nilai Kajian Budaya. Tidak lupa pula disampaikan terima kasih kepada para Penguji Prof. Dr. I Made 5 Suastika, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof Dr I Gde Semadi Astra, dan Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S., Dr Putu Sukardja M.Si., serta Dewan Penguji lainnya yang telah membuat hasil tulisan penulis lebih berarti. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada seluruh staf administrasi Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana; Putu Sukaryawan, S.T., Dra Ni Luh Witari, Cok Murniati S.E., Ni Wayan Ariyati S.E., Putu Hendrawan, I Nyoman Candra, dan Ketut Budiarta yang telah membantu mengkritisi kelengkapan administrasi dan memberikan petunjuk teknis dalam memperlancar proses edukasi. Secara istimewa ucapan terima kasih ini ditujukan kepada teman-teman seperjuangan pada Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan 2008. Ucapan terimakasih yang tiada terhingga untuk orangtua penulis yakni Prof. I Putu Kompiang PhD dan Supriyati Kompiang M.Sc, yang tidak henti mendoakan dan mengingatkan penulis untuk memenuhi kewajibannya. Juga kepada orangtua penulis I Wayan Dupa Dharmayuda dan Ni Made Wardani yang tiada lelah mengerti dan memahami kekurangan penulis selama ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada I Made Wirya Santosa S.T M.Si, yang telah mengajarkan untuk selalu berbuat dan belajar untuk lebih baik. Serta kepada para permata hati yang selalu menyediakan senyuman dan pelukan untuk penulis, putri tersayang Putu Mada Layana Sita, putra tercinta Made Galang Dama Nandana, dan kepada yang akan melengkapi keluarga kecil kami. Secara istimewa ucapan terimakasih ini ditujukan pula kepada kedua ninik saya, Ni Wayan Keneh dan Ninik Cicih , Kakak-kakak saya, I Gde Rasananda Gelgel dan Dian Yusnita Setiani beserta kedua belah hatinya Wayan Rasyad Agung Gelgel dan Jundi Aletheia 6 Gelgel, Dr I Wayan Gde Wiryawan SH MH, dan I Gusti Ayu Handayani SE beserta kedua belah hatinya I Putu Gde Yudha Mahakarna dan I Made Yudha Prawira Mahagangga. Seluruh keluarga besar yakni Keluarga I Wayan Balik Kertha, Keluarga I Made Sujendra, Keluarga I Ketut Karben Wardana, Keluarga I Wayan Nukertha, Keluarga I Ketut Nartha, Keluarga I Made Radiawan, Keluarga Narthana, Keluarga I Nyoman Jigra, Keluarga Ketut Metro, Keluarga Ketut Sudiantha, Keluarga Ketut nila, Keluarga Nyoman Parwata, dan seluruh keluarga besar lainnya di Guwang, Gianyar, Bali yang sudah bersedia menerima penulis menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa ini. Ucapan terimakasih pun diucapkan kepada keluarga besar di Cimahi, Bandung yakni Keluarga Bibi Asih, Keluarga Bibi Juju, Keluarga Bibi Nani, Keluarga Om Ujang, dan Keluarga Bibi Yati, yang selalu mendoakan walau jarang bertatap muka. Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada seluruh civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, terutama kepada Alm. Prof. Dr. I Wayan Suandi Drs., SH M,Hum yang telah mengajarkan saya untuk menjadi seorang pendidik yang baik dan selalu mengingat untuk berpijak. Kepada Dekan FISIP terdahulu Prof Dr. dr. I Made Bakta SpPD (KHOM), Dekan FISIP Dr I GPB Suka Arjawa Drs., M.Si, dan jajaran dekanat FISIP Udayana, Tedi Erviantono S.IP., M.Si., Nyoman Dewi Pascarani SS., M.Si, Dr Piers Andreas Noak SH, MH, yang telah memberikan pengertian selama penulis melanjutkan studi. Rekan-rekan di Prodi Ilmu Komunikasi Dewi Yuri Cahyani, IDA Sugiarica Joni, Ni Luh Ramaswati P., Ade Devia Pradipta, yang telah bersedia membagi waktu dalam membantu penulis. Juga rekan-rekan dosen di FISIP Udayana di antaranya I Ketut Putra Erawan PhD., I Made Anom Wiranata, Kadek Dwita, Dr Ni Nyoman Kebayantini M.Si., Imron Hadi Tamim, Ikma Citra Ranteallo, Kadek Wiwin, Eka Purnamaningsih, Titah Kawitri Resen, Nazrina 7 Zuryani, Ketut Sudhana Astika, Wiwik Dharmiasih, Sukma Sushanti, Idin Fasisaka, I Ketut Winaya, Radtya Novi Puspita Sari, I Putu Suhartika, I Made Kastawa, Nyoman Jangkep Astawa, DAP Sri Wigunawati. Seluruh pegawai di FISIP Udayana yang selalu memberikan warna dalam perjalanan penulis yakni I Ketut Wijana, Nyoman Piradana, Luh Sutari, I Wayan Ekayudha, Ida Ayu Putu Meiyanthi, I Wayan Budi Rusmanta, Ketut Kariyasa, I Gusti Agung Bagus Putra Wijaya, Ni Made Sukadi, I Made Suardana, Luh Putu Martiningsih, Ni Luh Budiartini, Made Aditya Pramana Putra, I Nyoman Ngertiyasa, I Made Dwijaya Putra Atmaja, I Kadek Surya Permana, Ida Ayu Made Parwati, Ni Wayan Sudarti, Luh Parini, dan I Made Wahya Dhyatmika. Ucapan terimakasih yang tidak terhingga pun saya ucapkan kepada seluruh informan dan narasumber yang telah bersedia membagi informasi yang dibutuhkan penulis dalam menulis disertasi ini. Juga kepada seluruh pihak yang membantu sehingga penulis berhasil menemui para informan dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam menganalisis disertasi ini. Disertasi ini pun diperuntukkan untuk rekan-rekan media massa yang selama ini terus berusaha berjuang melawan kapitalisme media dengan menjunjung tinggi nilai-nilai jurnalisme khususnya independensi dan objektifitas demi mewujudkan masyarakat yang demokratis. Denpasar, 24 April 2014 Ni Made Ras Amanda G. 8 ABSTRAK Pada masa pascaordebaru, sektor politik dan kebebasan media massa Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Di tingkat lokal seperti di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, pertarungan dalam pemilukada di media cetak pun terjadi. Data Kompas menunjukkan bahwa di Provinsi Bali telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan pemilu yang lebih besar dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Pemilukada di Bangli penuh dinamika di mana terjadi pencoblosan ulang di sebagian TPS hal ini menyebabkan waktu pertarungan kandidat pilkada di media massa lebih panjang. Kedua, jumlah calon bupati di pemilukada Bangli cukup tinggi yakni lima pasangan calon. Pertanyaan penelitian yang diangkat adalah (1) bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik tersebut, dan (3) bagaimana dampak dan makna pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Teori yang digunakan antara lain adalah teori wacana relasi pengetahuan dan kekuasaan Foucault, teori pengaruh media seperti Agenda Setting dari Dominick, teori framing, teori analisis teks media dari Shoemaker dan Reese, Teori Hegemoni Antonio Gramsci, dan teori modal Bourdieu. Teori ini digunakan secara ekletik, atau bersamaan dan saling membantu untuk menganalisis permasalahan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka objek penelitian dalam penelitian ini adalah pertarungan aktor politik dalam komunikasi politik pemilukada di media cetak. Oleh karena itu metode penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis. Bentuk pertarungan aktor politik adalah pada arena artikel berita, advertorial, iklan, dan artikel berbayar. Pertarungan yang terjadi melalui arena ini adalah pertarungan citra diri aktor politik hingga isu politik. Faktor yang mempengaruhinya adalah faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor media massa. Pertarungan aktor politik ini membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor politik. Pertarungan aktor politik di media cetak juga berdampak pada sektor ekonomi dan budaya. Pertarungan aktor politik ini pun mengandung makna. Tiga makna yang dapat diketahui yaitu makna pragmatis media dan aktor politik, makna pencitraan-gaya hidup, dan makna dinamika budaya politik di Bangli. Dari penelitian diketahui bahwa dalam pertarungan aktor politik di media cetak ternyata media massa pun mengambil peranan sentral dimana arena ini digunakan oleh media untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Ironisnya, pragmatism media ini 9 menyampingkan fungsi dasar media yakni sebagai media informasi dan memegang peranan pilar demokrasi. Hal ini menyebabkan media tidak lagi berperan positif namun menjadi bagian dari antidemokratisasi di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya. Kata Kunci : media cetak, pemilukada, komunikasi politik, aktor politik 10 ABSTRACT During the reform phase, Indonesia has developed in political sector and freedom of the press. In local level like in Bangli Region, Bali Province, the battle of political actor in mass media also happened. Based on data published by Kompas, election in Bali had violations and deviations greater than elections in other provinces in Indonesia. The Regent‘s Election in Bangli Region 2010 run with contoversy. It had re-election in some polling station. This incident cause period of political actor’s battling in mass media longer. The candidates in Bangli’s election were five candidates. Based on the background, the research questions are (1) what are the forms of political actors’ battling in printed media during the election in Bangli 2010? (2) what are the factors that influence the political actors’ battling in printed media during the election in Bangli 2010? (3) What are the effect and the meaning of the of political actors’ battling in printed media during the election in Bangli 2010? The theories applied are knowledge and power relations, media effect, framing theory, hegemoni theory, and Capital Theory. The theories were used to help analyzing the research questions. Research method applied is qualitative’s research method. This research used critical paradigm. Based on theories dan literature study, the object of this research is political actors’ battling in printed media during the election in Bangli 2010. The forms of political actors’battling in printed media are news article, advertising, advertorial and paid article. The substantive of the battling consist battle of actor’s image dan political issued. The influence factors are political factors, economical factors, and mass media factors itself. Political actors’ battling in printed media bring out a wide effect and meaning not just in political sectors, but also effected in economy and cultural sectors. The battle also meaningful. There are pragmatic meaning, imaging-lifestyles meaning, and dynamics of political cultural in Bangli. Research shows that in political actors’ battling in printed media, mass media often take the main role that is used by media to take an economic benefit. Ironically, media pragmatism make the basic role of the media as the centre of information and democraric institution excluded. This condition makes the role of media become antidemocratic and negative in Indonesia. Key words : printed media, regent’s election, political communication, political actors 11 RINGKASAN DISERTASI Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan di berbagai sektor dan sendi kehidupan terutama pada sektor politik dan kebebasan media massa. Kedua sektor ini berkembang dan saling bertemu dalam konteks komunikasi politik melalui media massa. Tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat lokal seperti di Bali, pertarungan dalam pemilukada juga terjadi. Data Kompas menunjukkan di Provinsi Bali telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan pemilu yang lebih besar dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Media dianggap memiliki peran yang penting dalam mentransmisi dan menstimulasi permasalahan politik (Negrine, 1996). Keterbukaan dan kebebasan mengungkapkan pendapat telah menjadi tren global, kecurangan politik dapat dengan mudah diangkat menjadi isu nasional oleh media (Firmanzah, 2007:45). Disertasi ini memilih pertarungan pemilukada Bangli di media cetak sebagai objek penelitian dengan beberapa alasan khusus yakni jumlah kandidat yang besar, konflik selama pemilukada, adanya pencoblosan ulang di beberapa TPS, hingga waktu pertarungan kandidat pilkada di media massa menjadi lebih panjang. Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati. Untuk itu menarik ditelusuri lebih lanjut mengenai bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010, lalu faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik tersebut dan bagaimana dampak dan makna dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis dan praktis di mana dapat menambah kekayaan mengenai kajian budaya komunikasi politik khususnya 12 penggunaan media cetak. Secara praktis penelitian ini bermanfaat dalam membantu mengatasi dan mencegah konflik yang kerap terjadi terkait politik praktis. Teori yang digunakan antara lain adalah teori wacana relasi pengetahuan dan kekuasaan Foucault, teori pengaruh media seperti Agenda Setting dari Dominick, teori framing, teori analisis teks media dari Shoemaker dan Reese, Teori Hegemoni Antonio Gramsci, dan teori modal Bourdieu. Teori ini digunakan secara ekletik, atau bersamaan dan saling membantu untuk menganalisis permasalahan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. Berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka obyek penelitian dalam penelitian ini adalah pertarungan aktor politik dalam pemilukada di media cetak. Oleh karena itu metode penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis dengan analisis framing. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dan studi dokumen. Wawancara mendalam ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara luas dari tokoh kunci atau informan. Dalam penelitian mengenai Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010 dapat ditarik beberapa hasil penelitian. Pertama, arena atau tempat bertarung pada aktor politik di media cetak dapat dibagi menjadi empat bentuk arena pertarungan. Pertarungan aktor politik dilakukan melalui wacana isu politik dan pencitraan sebagai bentuk pertarungan di media cetak. Seperti pendapat Bourdieu (dalam Ritzer, 2004:252), setiap calon menggunakan wacana sebagai suatu arena pertarungan memperoleh simpati. 13 Bentuk pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat ragam yakni artikel berita, artikel berita berbayar, artikel advertorial, dan iklan. Masing-masing arena bertarung ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Artikel berita cenderung digunakan untuk tempat pertarungan isu politik antar pasangan calon. Contoh pertarungan isu politik yang terjadi dalam artikel berita adalah perseteruan antara pasangan IB Brahmaputra- Wayan Winurjaya (Brahmawijaya) dan I Made Gianyar- Sedana Artha (GITA) dalam kasus penuntutan pemilihan ulang. Brahmawijaya menonjolkan adanya pelanggaran dan indikasi kecurangan pelaksanaan pemilukada. Isu tersebut mendapat lawan dari GITA di mana diberitakan bahwa pasangan Brahmawijaya melancarkan intimidasi kepada Panwaslu dan KPUD Bangli. Bentuk lainnya yakni iklan. Pasangan yang menggunakan iklan adalah pasangan GITA. Dalam iklan GITA, isu yang diangkat adalah pasangan GITA berafiliasi dengan PDIP, berbudaya, dan berpendidikan tinggi. Isu politik yang diangkat dalam iklan adalah mewujudkan Bali Shanti dan memilih dengan hati nurani. Bentuk berikutnya adalah advertorial. Pasangan yang menggunakan bentuk ini adalah pasangan Wayan Arsada- Lasmawan (ALAS). Advertorial digunakan sebagai arena ALAS mengkonstruksikan citra diri dan program politis ALAS. Citra yang dibentuk atau ditangkap oleh masyarakat adalah citra berpendidikan, menjunjung Budaya Bali, kedekatan dengan sosok Bupati Bangli Arnawa, dan sosok bersahaja dan membumi. Advertorial pasangan ALAS adalah bentuk hegemoni, Gramsci mengatakan kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan. Melalui advertorial pasangan ALAS mampu menghegemoni informasi yang disampaikan kepada kelompok subordinat untuk menerima ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa. 14 Arena pertarungan berikutnya adalah melalui artikel berita berbayar. Pasangan yang paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam komunikasi politiknya adalah pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba mencitrakan diri positif melalui artikel berita berbayar. Dari bentuk-bentuk yang telah ditelaah diketahui terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010 dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor ekonomi, politik, dan media massa. Kekuatan ekonomi atau kapital tercatat sebagai faktor yang paling dominan mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Sistem pemuatan berita dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya komunikasi politik aktor politik di media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali mencari keuntungan yang berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan ideologinya demi meraup untung lebih besar. Kekuatan pasar atau kepentingan kapitalis menghegemoni pertarungan aktor politik di media massa. Faktor politik yang memengaruhi yakni ideologi politik pasangan calon dan partai yang mengusungnya dan strategi komunikasi aktor politik. Setiap pasangan kepala daerah memiliki modal yang berbeda-beda. Kekuatan modal menjadi pertimbangan strategi politik yang dilancarkan aktor politik. Pertarungan kombinasi modal yang diungkapkan Bourdieu dalam Richardson (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang dapat berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada ini. Dari tiga jenis modal yang dikemukakan Bourdieu (1986), yakni ekonomi, sosial, dan budaya. Modal ekonomi adalah modal yang paling menentukan dan berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak. 15 Faktor berikutnya yang mempengaruhi adalah faktor media itu sendiri. Faktor media terbagi menjadi individu pekerja media dan ideologi media. Shoemaker dan Reese (1996:76) mengatakan bahwa nilai-nilai pribadi akan mempengaruhi bagaimana seorang wartawan membuat sebuah berita. Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak menjadi hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi sebuah rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di Bangli. Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga iklan politik terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut. Pertarungan pemilukada tentu saja bersinggungan dengan segala aspek di masyarakat. Pertarungan ini membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor politik saja. Pertarungan aktor politik di media cetak juga berpengaruh pada sektor ekonomi dan budaya. pertarungan berdampak pada sistem komunikasi politik yang semakin gencar menggunakan media cetak sebagai bentuk komunikasi aktor politik kepada konstituennya. Dampak pada sektor ekonomi adalah pemilukada dijadikan ajang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Media pada masa pemilukada menyediakan ruang untuk kampanye para aktor politik. Ruang yang dimaksud dapat berupa iklan atau advertorial. Pada praktiknya ternyata dalam pemilukada Bangli 2010, media menyediakan ruang-ruang lainnya di media untuk aktor politik seperti berita berbayar, atau istilahnya adalah jual beli kavling berita. Setiap kavling diberi harga yang berbeda tergantung halaman dan panjang kolom. Harganya pun beragam dari Rp 10 juta hingga Rp 16 juta untuk setiap kali naik cetak. Peningkatan penggunaan media cetak sebagai tempat bertarung pun tergantung dari kekuatan ekonomi dari aktor politik. Hal ini terjadi karena dalam pertarungan aktor politik di media cetak pada pemilukada di Bangli ternyata terungkap memerlukan biaya yang cukup 16 besar. Biaya politik yang sudah cukup besar ternyata ditambah dengan biaya yang diperlukan untuk menggunakan media dalam menyampaikan pesan-pesan politik para aktor politik. Secara politik ini berpengaruh pada sistem politik dengan biaya tinggi atau high cost politics. Politik berbiaya tinggi ini berdampak ekonomi baik terhadap aktor politik maupun media cetak. Aktor politik diharapkan memiliki modal yang cukup untuk bertarung dalam pemilukada. Hegemoni kekuatan ekonomi dalam pertarungan aktor politik di media cetak dapat memonopoli pengetahuan yang berkembang di masyarakat. Dalam pemikiran Foucault, kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan pengetahuan. Pengetahuan menyokong kekuasaan, kekuasaan menopang pengetahuan (Foucault,1980:98). Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan telah menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola penggunaan media cetaak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik. Temuan kedua adalah terjadinya hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas kenetralan pihak redaksi dalam media cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi media dan ekonomi aktor politik yang berperan sangat dominan dalam proses pertarungan aktor politik di media cetak. Temuan keempat adalah persamaan bentuk pertarungan pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di media cetak. Temuan terakhir yakni temuan kelima adalah media telah dianggap sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada. Untuk itu apabila media dan aktor politik sudah bekerjasama untuk kepentingan ekonomi dan politis maka yang menjadi harapan terakhir adalah pembaca dan konstituennya. Konstituens diharapkan menjadi pembaca yang aktif dan kritis. Pembaca diharapkan mampu memilih dan membaca adanya kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis dari media 17 maupun dari aktor politik dari setiap artikel berita yang termuat. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pembodohan oleh media melalui berita-berita yang subjektif dan tidak lagi independen. 18 GLOSARIUM advertorial, gabungan antara iklan dan berita yang termuat di koran. Biasanya pemasangan advertorial di koran sifatnya berbayar agenda, susunan isu yang diangkat oleh media cetak mengenai fakta atau opini yang telah dikonstruksi aktor, pelaku kegiatan politik seperti calon kepala daerah, tim sukses calon kepala daerah, anggota partai politik baliho, salah satu bentuk komunikasi luar ruang di mana biasanya digunakan oleh aktor politik dalam berkampanye. ukuran yang digunakan biasanya 3 x 1 meter atau lebih berita, bagian dari koran yang berisikan laporan dari wartawan mengenai suatu kejadian atau fakta framing, pembentukan berita atau isi media yang dikonstruksikan sesuai dengan keinginan pelaku media iklan, salah satu bagian dari koran yang berisikan pesan dan dipasang oleh pemasang atau konsumen media dengan berbayar kavling, Istilah yang digunakan untuk merujuk pada bagian dari koran yang dapat diperjualbelikan komodifikasi, perubahan fungsi dasar menjadi komoditi yang menjual koran, salah satu media massa yang tergolong klasik dengan penerbitan secara berkala pemilukada, pemilihan umum untuk menentukan kepala daerah yang dilakukan langsung oleh KPU daerah terkait yang melaksanakan pemilukada 19 Lampiran 1 IDENTITAS INFORMAN PENELITIAN No Nama Profesi / Alamat Tanggal wawancara 1 Dewa Agung Ketua KPUD Bangli 1 Maret 2012 Ida Bagus Ketut Calon kepala daerah 11 Maret 2012 Ludra perseorangan I Ketut Naria Pemimpin Redaksi Harian Lidartawan 2 3 15 Mei 2012 NusaBali 4 I Gusti Alit Purnata Redaktur Pelaksana Harian 10 April 2012 Bali Post 5 Gde Oka Suryawan Wartawan Radar Bali 22 Maret 2012 6 Hari Puspita Redaktur Pelaksana Radar 22 Mei 2012 Bali 7 I Wayan Gunawan Calon Kepala Daerah 12 Juli 2012 8 Wayan Arsada Calon kepala daerah 9 Agustus 2012 9 I Made Gianyar Calon Kepala Daerah 5 September 2012 10 IB Brahmaputra Calon Kepala Daerah 11 Juli 2013 20 PANDUAN WAWANCARA 1. Bentuk-bentuk 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi 3. Dampak dan Makna 21 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hingga tahun 2013, Bali telah melaksanakan beberapa kali pemilihan kepala daerah atau pemilukada. Pemilukada pertama serentak di lima kabupaten dan kota dilaksanakan pada tahun 2005, sedangkan pemilukada kedua pada tahun 2010. Pemilukada langsung pun telah berlangsung di kabupaten lainnya di Provinsi Bali seperti Kabupaten Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan Jembrana. Pemilukada untuk Gubernur di Bali dilaksanakan pada tahun 2008 dan pada tahun 2013. Seperti halnya pemilukada di daerah lain, pemilukada di Bali pun diwarnai dengan banyak intrik pertarungan antarkandidat kepala daerah secara langsung maupun melalui media massa. Kabupaten Bangli mengalami proses pemilukada yang tidak jauh berbeda. Pemilukada di Bangli tahun 2010 diwarnai konflik dan ketidakpuasan hingga menyebabkan pemilihan ulang di beberapa tempat pemungutan suara. Penelitian ini berfokus pada pemilukada Bangli dengan melihat bagaimana pertarungan para kandidat di media massa. Bagaimana para kandidat beserta tim suksesnya memanfaatkan media massa sebagai alat komunikasi politik untuk memenangi pemilukada, akan menjadi analisis utama penelitian ini. Penelitian ini 22 bertujuan untuk mengetahui ragam bentuk pertarungan aktor politik di media cetak, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan tersebut dan dapat memahami dampak serta makna pertarungan aktor politik tersebut. Negara Indonesia telah melalui beragam rezim pemerintahan. Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah tumbuh sebagai negara yang berkembang dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Dinamika yang terjadi di masyarakat Indonesia ini berkembang dengan segala dampak dan manfaatnya. Perkembangan yang cukup signifikan adalah perkembangan politik bangsa Indonesia. Indonesia sejak kelahirannya telah memilih untuk menerapkan sistem demokrasi. Hingga tahun 2009, Indonesia telah melalui sepuluh kali pemilihan umum. Dari sepuluh pemilu yang tergelar maka dapat dibagi ke dalam tiga rezim, yakni pemilu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca Orde Baru. Pemilu pada masing-masing rezim pun memiliki kekhasannya masing-masing. Unsur yang selalu berubah diantaranya adalah sistem pemilihan umum, model kampanye, dan peserta pemilu. Sistem pemilihan umum, model kampanye dan peserta pemilu pada masa pemilu di tahun 1950-an berbeda dengan kampanye di tahun 2000-an. Denver (1992:414) dalam tulisannya mengenai pemilu pada tingkatan yang umum telah mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kampanye. Faktor-faktor tersebut meliputi beberapa hal yakni semakin bertambahnya jumlah pemilih seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, semakin beragam dan meluasnya media massa, pergantian atau perubahan peraturan perundang-undangan 23 yang mengatur pemilihan dan kampanye pemilihan, pesatnya perkembangan televisi, penggunaan polling pendapat umum, pesatnya perkembangan teknologi komputer yang kini nyaris tak terpisahkan dengan internet dan semakin mahalnya biaya kampanye. Perkembangan sistem pemilihan umum yang paling mendasar di Indonesia terletak pada dua aspek, yakni pada model dan bentuk kampanye dalam pemilihan umum serta pada sistem pemilihan umum. Aspek pertama, model dan bentuk kampanye dalam pemilihan umum. Hal ini seiring dengan perkembangan media massa yang semakin marak dan beragam di Indonesia. Munculnya globalisasi, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendorong berkembangnya media massa di Indonesia. Aspek kedua, sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Dua perkembangan yang sangat mempengaruhi sistem pemilihan di Indonesia yakni sistem pemilihan langsung dan sistem pencalonan. Sistem yang digunakan sebelumnya adalah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat. Perkembangan demokratisasi di Indonesia telah memberikan hak-hak rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat, dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat. Perkembangan sistem pencalonan berikutnya adalah dampak dari keputusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memperkenan calon independen atau perseorangan untuk dapat mengikuti pemilihan kepala daerah tanpa melalui 24 kendaraan partai politik. Tentu saja kedua aspek di atas secara langsung mempengaruhi sistem pemilihan umum di Indonesia. Dengan perubahan ini banyak sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terpengaruh serta mempengaruhi sistem pemilihan umum di Indonesia. Di Indonesia, model dan strategi kampanye berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan masyarakat. Pada periode Pemilihan Umum 1955, pelaksanaan kampanye masih cukup sederhana. Kampanye pada masa tersebut tidak menggunakan arak-arakan sepeda motor dan mobil. Hal ini dikarenakan jenis kendaraan ini masih menjadi barang mewah dan langka. Pada masa ini kampanye pemilihan juga belum menggunakan televisi, karena jenis medium ini memang belum ada di Indonesia. Siaran radio yang ada hanya Radio Republik Indonesia (RRI) di bawah kontrol Djawatan Penerangan yang kemudian berganti nama menjadi Departemen Penerangan. Departemen ini melayani kepentingan publik secara relatif adil dan netral. RRI tidak boleh digunakan untuk kepentingan kampanye partai politik, sehingga tidak pernah muncul keluhan masyarakat mengenai keberpihakan media ini terhadap salah satu partai politik. Rapat umum dan pidato politik menjadi pilihan yang menarik dalam periode Pemilihan Umum 1955. Kandidat mengadakan perjalanan ke daerah-daerah dan bertemu langsung dengan calon pemilih. Sedangkan calon pemilih harus menempuh jarak yang relatif jauh dengan berjalan kaki ke kota untuk melihat dan mendengarkan kandidat berpidato, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Hal ini memungkinkan 25 berkembangnya kecenderungan komunikasi timbal balik antara kandidat dan pemilih. Di satu sisi, kandidat dapat mengetahui sebenarnya kondisi-kondisi sosial ekonomi calon pemilih, mendengar aspirasi-aspirasi, dan memahami persoalan-persoalan mereka. Di sisi lain, para calon pemilih juga dapat mendengar secara langsung dari kandidat mengenai program kerja serta prioritas langkah yang akan dilakukan oleh partai atau kandidat apabila menang dalam pemilihan nanti. Calon pemilih juga dapat melihat dan mencermati secara langsung hal-hal berkenaan dengan diri kandidat mulai dari penampilan dan karakter pribadinya, gagasannya hingga posisi dan sikap kandidat berkenaan dengan berbagai isu atau persoalan penting. Pemasangan gambar partai merupakan bentuk lain komunikasi politik yang banyak digunakan dalam kampanye pemilihan di Indonesia periode 1950-an. Gambar-gambar partai dibuat besar (100x150 cm) dengan bahan seadanya. Biasanya menggunakan anyaman bambu yang dalam bahasa jawa disebut ‘kepang’. Kadangkala berupa gambar langsung pada dinding-dinding bangunan termasuk rumah, sekolahan, atau sisi-sisi jembatan. Gambar-gambar biasanya berwarna hitamputih terbuat dari kapur untuk warna putih dan teer untuk warna hitam. Gambar ini dipasang di daerah strategis, yakni di tempat yang banyak dikunjungi atau dilewati banyak orang dan mudah dilihat. Gambar cetak hitam-putih dalam ukuran lebih kecil seukuran kertas folio atau separuh dari ukuran tersebut biasanya ditempel pada dinding-dinding bangunan dan di pasar-pasar. 26 Media massa pers sebagai media komunikasi juga banyak digunakan untuk kepentingan kampanye. Pada periode pemilihan 1950-an, masing-masing partai politik memiliki koran sendiri-sendiri. Pers pada masa ini adalah pers partisan atau jenis pers yang dimiliki oleh dan digunakan untuk membela kepentingan partai politik yang dimilikinya. Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya memiliki Harian Pedoman, kemudian Partai Masyumi memiliki Abadi. Partai Nasional Indonesia memiliki Soeloeh Indonesia, Partai Nahdatul Ulama (NU) memiliki Doeta Masyarakat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki Harian Rakjat (Pawito, 2002:88). Pada periode ini strategi kampanye lebih bertumpu pada dua hal yakni rapat umum dan penggunaan media khususnya media pers dalam arti pers partisan. Pers partisan digunakan untuk menggelorakan semangat dan loyalitas terhadap partai dan sesekali mengkritik atau menyerang partai lain. Bentuk kampanye pada periode Orde Lama tentu saja berbeda dengan masa Orde Baru terutama sejak periode Pemilihan Umum 1977. Sejak periode pemilihan 1977, model kampanye dengan arak-arakkan massa menggunakan sepeda motor dan mobil mulai berkembang. Walau media massa telah berkembang pesat pada periode ini, namun iklan kampanye belum diperbolehkan sampai periode pemilihan umum 1999. Pada masa pemilihan umum 1977 dan sesudahnya, TVRI, RRI dan radio memberitakan kejadian-kejadian berkenaan dengan kampanye dan pemilihan dalam format yang relatif menguntungkan pihak yang berkuasa, yaitu Golkar. Hal ini dikarenakan adanya regulasi yang mengharuskan siaran berita televisi swasta harus 27 me-relay siaran berita TVRI, sedangkan siaran berita radio swasta harus merelay RRI. Padahal, TVRI dan RRI berada di bawah kontrol pemerintah. Acara malam hari yang berupa pidato kampanye yang disiarkan RRI dan TVRI lebih bersifat monolog. Para elite partai sekadar menginformasikan atau menawarkan rencana-rencana kebijakan dan nyaris tidak pernah mengkritik, terlebih lagi menyerang partai lain ataupun pemerintah. Rapat umum yang disertai penyampaian pidato politik oleh para kandidat menjadi pilihan model kampanye yang paling utama pada periode ini. Kampanye dengan rapat umum biasanya diselenggarakan di lapangan kota dan desa di atas panggung yang dipersiapkan khusus. Para tokoh dan elite partai baik pusat maupun daerah, hadir di sana dan secara bergantian menyampaikan pidato politik. Beraneka slogan dan yel-yel diteriakkan dan sisi-sisi positif ataupun sisi-sisi negatif yang ada dalam masyarakat dikemukakan. Namun yang paling banyak disampaikan adalah janji-janji yang pada akhirnya tidak pernah ditepati. Sedangkan di panggung, pada umumnya diisi dengan kelompok musik dengan sejumlah artis, termasuk artis terkenal dari ibukota. Tujuan sebagian hiburan gratis ini adalah sebagai daya tarik bagi warga masyarakat. Massa calon pemilih yang umumnya adalah pendukung partai yang sedang menggelar kampanye datang dan pergi dari lapangan tempat rapat umum diselenggarakan dengan mobil dan motor. Maka, kampanye arak-arakkan massa dengan konvoi kendaraan bermotor menjadi hal yang tak terelakkan. Massa calon 28 pemilih tidak hanya datang dan pergi saja namun juga melakukan arak-arakan atau konvoi keliling kota termasuk melewati jalan-jalan protokol. Akibatnya, kebisingan, kemacetan, kecelakaan lalu lintas, dan bentrok dengan pendukung partai lain kerap kali terjadi. Para peserta konvoi juga menerima uang bensin dan uang makan dari partai atau kandidat yang sedang berkompetisi untuk kepentingan kampanye. Berikutnya adalah periode Pemilihan Umum 1999. Pada periode ini bentuk komunikasi politik yakni kampanye memiliki dimensi yang berbeda dengan tahuntahun sebelumnya. Pada pemilu 1999, media elektronik terutama media maya yakni internet telah menjadi fenomena baru dalam berkampanye. Pada pemilu 1999 semua partai besar memiliki situs masing-masing, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan (PK). Media massa pada masa ini telah memiliki peraturan tersendiri, di mana untuk pertama kalinya diperbolehkan menjual ruang atau pun waktu (slot) untuk kepentingan iklan kampanye. Pada pemilu 1999 terjadi perubahan bentuk komunikasi politik dimana peran media massa menjadi sangat penting. Media massa dinilai sebagai faktor yang signifikan dalam mengkonstruksi citra di publik. Figur politik mempengaruhi media dan media mempengaruhi representasi pemerintahan. Hal itu bisa dilihat dari popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, keterlibatan media tak bisa dihindari dalam mengemas citra Yudhoyono sehingga menjadi seperti sekarang ini. J. Baudrillard 29 menjelaskan empat fase citra (Haryatmoko, 2007: 32): pertama, representasi dimana citra merupakan cermin suatu realitas; kedua, ideologi di mana citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, lalu citra bermain menjadi penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya. Selain dalam bentuk iklan, media massa juga menyelenggarakan acara talkshow dengan menghadirkan pembicara yang berkaitan dengan kampanye politik. Media massa juga menyelenggarakan polling pendapat umum. Pemerintah pada masa ini tidak lagi mencampuri urusan pemberitaan media mengenai peristiwa apapun, termasuk kampanye dan pemilihan umum sebagaimana pada masa orde baru. Pada masa pemilihan umum ini, para elite partai politik disuguhkan beragam pilihan media, termasuk baliho, leaflet/booklet, surat kabar, radio, televisi, dan internet dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dampak media terhadap kampanye mulai dirasakan terutama pada elite politik dan sebagian pemilih. Pada pemilu 1999 ini terdapat hal yang unik. Dengan dicabutnya Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) maka pada periode ini kembali muncul pers partisan seperti pada tahun 1955. Pers partisan pada periode ini rata-rata terbit dalam bentuk tabloid dengan jumlah halaman hanya 36 halaman saja. Pers partisan di antaranya DEMOKRAT dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, AMANAT dari Partai Amanat Nasional dan dari Partai Golkar yakni Suara Karya. Namun dengan 30 berjalannya waktu pers partisan ini ada yang bertahan maupun tidak terbit kembali. Hal ini disebabkan keberadaan pers hanya sesaat pada masa menjelang kampanye dan pemilihan umum. Pada pemilu 2004, Indonesia masuk dalam babak baru kehidupan politik di Indonesia. Pemilu 20004 adalah pemilu pertama bagi bangsa Indonesia untuk dapat memilih secara langsung calon legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada periode ini, Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan perkembangan ini maka tidak hanya calon anggota DPR saja yang harus berkampanye namun juga para calon presiden dan calon wakil presiden. Calon presiden lalu membentuk tim kampanye tersendiri, melakukan perjalanan, tampil di televisi hingga membuat spot iklan. Dalam masa ini media maya seperti internet telah mulai digunakan sebagai komunikasi politik. Pentingnya peran media massa dalam pemilu pun semakin terlihat. Pada kampanye pemilu 2004, media massa seperti televisi dan radio dibanjiri oleh acara talkshow penyelenggaraan jajak pendapat baik di media cetak maupun elektronik. Pada masa ini acara talkshow di televisi semakin diminati karena acara ini membantu masyarakat untuk mengetahui pandangan atau penilaian mengenai kandidat atau partai politik, memperoleh referensi mengenai prediksi politik dalam arti sempit dan luas. Dengan tayangan talkshow ini maka semakin memberikan kesempatan kepada kalangan pemilih yang memiliki kesibukan tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan. Begitu pula dengan penggunaan media internet dalam kampanye yang 31 semakin dirasakan peranannya. Persoalan penggunaan internet oleh partai politik atau kandidat untuk kepentingan kampanye tidak sekadar keindahan desain halaman muka partai politik atau kandidat. Kandidat harus selalu memperbaharui informasi secara rutin, menyediakan arsip yang dapat diakses dengan cepat, serta memastikan kejelasan dan keakuratan setiap informasi. Alhasil, partai ataupun kandidat harus mengeluarkan biaya untuk iklan kampanye, penyelenggaraan jamuan untuk wartawan, dan penyelenggaraan berbagai kegiatan sosial dalam rangka strategi kampanye dengan mengundang wartawan. Media cetak seperti surat kabar juga memberikan ruang untuk komunikasi politik. Contohnya surat kabar yang memiliki halaman khusus laporan pemilihan adalah Kompas. Kompas pada pemilu 2004 lalu mengkhususkan 8 (delapan) halaman yakni pada halaman 37 hingga halaman 44 untuk laporan pemilihan dengan nama Rubrik Pemilihan Umum 2004 selama masa kampanye hingga pemilihan. Contoh lainnya adalah Republika dengan rubrik khusus yakni ‘Pemilu 2004’ pada halaman 4 hingga 8 atau sekitar 5 (lima) halaman. Penyediaan halaman khusus ini memiliki dampak terhadap strategi dan jalannya kampanye. Dengan adanya rubrik khusus ini para elite politik harus mengagendakan kampanye dengan sebaik mungkin, karena berhubungan dengan ketersediaan dana. Media pun tak jarang menjadi ajang pertarungan antar kandidat kepala daerah atau peserta pemilu lainnya. Media dianggap memiliki peran yang sangat penting dalam mentransmisi dan menstimulasi permasalahan politik (Negrine, 1996). Hal ini 32 menjadi sangat penting dalam kampanye partai politik. Keterbukaan dan kebebasan mengungkapkan pendapat telah menjadi tren global, kecurangan politik dapat dengan mudah diangkat menjadi isu nasional dan isu global oleh media (Firmanzah,2007:45). Pemilihan Kepala Daerah atau pemilukada pada masa pascareformasi pun telah mencapai sebuah titik baru. Didorong oleh tuntutan reformasi, maka terbitlah undang-undang tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah yakni Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah juga membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika politik di masyarakat. Dengan sistem yang baru, kepala daerah dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat tidak lagi melalui sistem pemilihan dalam dewan perwakilan rakyat. Oleh karena itu perolehan suara terbanyak adalah syarat mutlak dalam memperoleh puncak tapuk kekuasaan. Hak rakyat menentukan pemimpinna telah menggeser sistem pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat/ Propinsi/ Kabupaten. Sistem pemilihan kepala daerah pun semakin berkembang dengan diterimanya pengajuan judicial review Undang Undang tentang pemilihan umum kepala daerah yakni calon kepala daerah tidak perlu melalui pencalonan dari partai politik namun dapat independen/perseorangan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan kepastian hukum melalui putusan MK No.5/PUU-V/2007 mengenai uji materi UU No.32/2004 tentang Pemerintahaan Daerah terhadap UUD NKRI 1945. MK mengabulkan sebagian dari sejumlah pasal yang diajukan pemohon, khususnya terhadap pasal 56 ayat(2), pasal 59 ayat(1), pasal 59 ayat(2) dan pasal 59 ayat (3) UU 33 No.32/2004, yang telah membuka jalan adanya pengajuan calon kepala daerah secara perorangan. Sedangkan untuk pasal lain, MK menyatakan tetap berlaku, termasuk pasal-pasal yang membuat ketentuan pencalonan kepala daerah melalui parpol. Keputusan MK tersebut tidak merekomendasikan tentang pengaturan lebih lanjut mengenai calon perseorangan, juga tidak memberikan batasan masa transisi tentang pelaksanaan putusan. MK berpendapat bahwa KPU, berdasarkan pasal 8 UU No. 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dapat membuat aturan untuk mengisi kekosongan hukum persyaratan calon perorangan. Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi ini, maka bakal calon kepala daerah yang ingin mengikuti pemilihan umum kepala daerah tidak hanya dapat berasal dari partai politik atau gabungan partai politik saja. Mahkamah Konstitusi memperbolehkan bakal calon kepala daerah dari unsur perseorangan. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini tentu membuka jalan bagi para bakal calon perseorangan untuk mengikuti pemilihan umum kepala daerah. Kini kesempatan menjadi bupati terbuka bagi semua unsur dalam masyarakat, tidak perlu melalui wadah partai politik saja. Keputusan ini adalah anugerah bagi kaum marginal politik, kaum yang selama ini ingin turun ke dunia politik tetapi tidak memiliki basis politik atau partai politik yang kuat. Pengajuan calon perorangan ini mempunyai persyaratan yang tidaklah mudah. Seorang bakal calon perseorangan harus memiliki kekuatan massa yang kuat untuk memenuhi persyaratan dari Komisi Pemilihan Umum daerah agar mereka dapat lolos 34 menjadi calon. Namun langkah ini pun tidak dapat berhenti di sektor kekuatan massa, kini calon kepala daerah pun harus memiliki modal ekonomi yang kuat untuk melakukan kampanye politik terutama apabila ingin berkampanye melalui media massa. Calon perseorangan pun harus memiliki modal politik dan modal budaya yang kuat untuk mempengaruhi para pemilih. Demokratisasi tidaklah murah. Untuk mencapai masyarakat yang demokratis bukanlah hal yang mudah dan murah. Pemenuhan demokrasi di masyarakat sering kali dibayar oleh kekerasan fisik dan amuk massa. Tak terkecuali di Provinsi Bali. Bali yang memiliki sembilan wilayah kabupaten/kota pun ikut serta dalam perebutan kekuasaan pemimpin kepala daerah. Pertarungan perebutan kekuasaan ini pun seringkali diwarnai kekerasan fisik dan amuk massa. Berdasarkan data Kompas (4/6/2010) selama penyelenggaraan pemilukada di tahun 2010 di Indonesia, hingga 9 Mei 2010 Bali tercatat sebagai daerah yang memiliki kecenderungan pelanggaran dan persengketaan pemilu yang lebih besar dibanding daerah lainnya di Indonesia. Jenis pelanggaran yang terdata yakni terbesar pada pelanggaran administrasi pemilu yang dilaporkan ke panwas yakni sebesar 1106 pelanggaran. Angka ini tergolong besar apabila dibandingkan jumlah total pelanggaran administrasi pemilu di seluruh Indonesia yang mencapai 1336 kasus. Data ini menunjukkan bahwa pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan pemilu di Bali mencapai lebih dari 82 persen dibandingkan pelanggaran administrasi 35 lainnya di Indonesia. data lengkap daftar pelanggaran dalam pemilukada 2010 di Indonesia pada tahap pemungutan dan penghitungan suara tertuang dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Daftar pelanggaran dalam pemilukada 2010 di Indonesia pada tahap pemungutan dan penghitungan suara No Jenis Tindak Administrasi Kode Etik Persengketaan pelanggaran Pidana Pemilu Penyelenggaraan dan Pemilu persengketaan 1 Surakarta 11 83 1 2 Rembang 14 49 1 3 Boyolali 1 8 4 Kebumen 42 4 2 5 Kota 5 18 Semarang 6 Serang 24 7 Kota Cilegon 4 4 8 Kutai 1 7 Kertanegara 9 Buton Utara 18 7 4 10 Badung 10 1 11 Bangli 9 16 18 12 Kota 3 69 Denpasar 13 Karangasem 600 14 Tabanan 3 411 1 2 15 Kota Ternate 3 34 Jumlah 114 1336 28 10 (Dok.: Kompas, Jumat 4 Juni 2010) Data Kompas juga menunjukkan bahwa pemilu kepala daerah di lima daerah di Provinsi Bali memiliki catatan pelanggaran tertinggi di tingkat administrasi pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan yang mengiringi jalannya pemilukada di Provinsi Bali. Walaupun pelanggaran banyak terjadi di bidang 36 administrasi pemilu namun ini adalah hanya sebagian pelanggaran yang tercatat dari sekian pelanggaran yang tidak tercatatkan. Bahkan di Kabupaten Bangli, terdapat sembilan pelanggaran tindak pidana pemilu. Hal ini mencerminkan pertarungan kekuasaan di Bali tergolong ketat. Bali sebagai daerah yang selama ini dinilai harmonis dan memiliki masyarakat yang tenang ternyata pada kenyataannya menunjukkan hal yang sebaliknya. Konflik dan kekerasan akibat politik marak terjadi di Provinsi Bali (lihat tabel 1.1). Hal ini diperkuat dengan dengan pernyataan Robinson (2006). Robinson memandang konflik dan kekerasan di Bali telah berlangsung sejak awal abad ke-17. Robinson mengatakan bahwa konflik dan kekerasan telah memberi ciri pada politik pulau Bali sepanjang abad ke-20 (Robinson,2006:28). Robinson (2006) juga mengatakan contoh intrik politik dan perang saudara di Bali banyak sekali, dan terjadi tanpa interupsi yang signifikan sampai permulaan abad ke-20. Pada paruh akhir abad ke-19, misalnya, Klungkung hampir berada dalam kondisi peperangan yang konstan dengan Karangasem dan Gianyar; kerajaan Buleleng dan Bangli terus menerus terlibat pertikaian, dan pada 1849, Bangli membantu Belanda dalam ekspedisi militer melawan Buleleng hingga pada tahun 1904, Bangli menyerang Karangasem dan menghancurkan garapan irigasi di sekitar Gianyar (Robinson,2006:33). Pemaparan Robinson di atas secara tidak langsung telah menggambarkan bagaimana pertarungan memperebutkan kekuasaan di Bali telah mengakar sejak 37 zaman prakolonial. Sedangkan pada masa reformasi, kekuasaan tetap menjadi ajang perebutan. Apabila pada zaman kolonial perebutannya adalah kursi kerajaan, kini yang diperebutkan adalah kursi jabatan politik dan jabatan negara. Kursi jabatan kepala daerah menjadi simbol kekuasaan di daerah tertentu. Perebutan kursi kekuasaan di Bali saat ini memang berbeda dengan masa prakolonial dulu. Apabila sebelumnya menggunakan bentuk kekerasan fisik yang memerlukan modal kekuatan armada perang dan pasukan bersenjata, kini pertarungan perebutan kekuasaan dalam pemilu kepala daerah memiliki bentuk yang berbeda. Perbedaan dalam pertarungan kuasa di pemilu kepala daerah di Bali saat ini adalah bentuk modal yang digunakan. Kini modal yang digunakan tidak lagi berbasis pada kekuatan fisik maupun massa, namun modal yang berbasis pada ekonomi, jaringan sosial dan politik hingga modal budaya. Seperti halnya di tingkat nasional, proses pemilihan kepala daerah di tingkat lokal khususnya pada masa kampanye pun telah menggunakan media massa. Media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan perilaku masyarakat (Klepper, 1960). Di Bali sendiri media massa selama ini memegang peranan besar dalam proses pemilihan kepala daerah. Media massa kerap kali dijadikan alat komunikasi para aktor politik. Pemilukada langsung di Bali telah berlangsung dua kali pada tahun 2005 dan 2010. Pada tahun 2005, pemilukada di Bali berlangsung di Kabupaten Badung, Karangasem, Tabanan, Bangli, dan Kota Denpasar secara serentak pada tanggal 24 Juni 2005. Provinsi Bali juga menyelenggarakan pemilu kepala daerah di lima 38 kabupaten/kota pada 4 Mei 2010 secara serentak. Kelima daerah tersebut yakni Kabupaten Badung, Karangasem, Tabanan, Bangli dan Kota Denpasar. Dari kelima daerah tersebut tercatat tiga kabupaten/kota telah menjalankan pemilu kepala daerah dengan lancar dan tidak ada gugatan lebih lanjut. Namun pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli dan Tabanan tidak berhenti sampai penentuan pemenang pemilu saja. Kedua daerah ini harus menyelesaikan pemilu hingga tahap gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Dari dua calon yang mengajukan keberatan yakni SukajaAnom dari Kabupaten Tabanan dan Brahmawijaya dari Kabupaten Bangli, hanya calon dari Kabupaten Bangli saja yang gugatannya diterima dan mewajibkan KPUD Bangli melakukan pemilukada ulang di 12 TPS (Bali Post, 4 Juni 2010). Disertasi ini memilih di Kabupaten Bangli dengan beberapa alasan khusus yakni konflik, pemilukada ulang di sebagian TPS di Bangli, hingga waktu pertarungan kandidat pemilukada di media massa yang lebih panjang. Pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Bangli pada 4 Mei 2010 memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan daerah pemilihan lainnya di Provinsi Bali, seperti di Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, dan Kabupaten Karangasem. Perbedaan pertama adalah tingginya tingkat konflik selama proses pemilukada di Kabupaten Bangli. Tingginya partisipasi politik di Bangli ternyata tidak sejalan dengan sistem demokrasi yang ideal. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat konflik yang terjadi di Kabupaten Bangli. Konflik terjadi tidak hanya selama kampanye namun hingga pascapemilihan. Tercatat telah terjadi 39 bentrok fisik pada saat pemilihan umum kepala daerah di Bangli. Bentrokan terjadi antara pendukung paket Wayan Gunawan – A.A Artjana Agung dan IB Brahmaputra – Wayan Winurjaya di sekitar lokasi Lake View Hotel dan Restaurant, Penelokan, Kintamani (NusaBali, Rabu 5 Mei 2010). Bentrokan terjadi dimulai dengan adanya suara mobil keras-keras oleh salah satu massa pendukung paket calon di depan kelompok pendukung kandidat lainnya yang sedang minum di kawasan Kintamani. Hasilnya bentrokan menyebabkan rusaknya posko dan sempat saling baku hantam antarkelompok massa (NusaBali, Rabu 5 Mei 2010). Perbedaan kedua adalah pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli diikuti lima pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Banyaknya kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Bangli ini menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi di Kabupaten ini. Kelima pasangan yang ikut bertarung dalam pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Bangli terlihat di tabel 1.2. Tabel 1.2 Nama Pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati di Bangli No Partai / Nama Pasangan Calon Singkatan Nama Perseorangan 1 Partai Golkar I Wayan Gunawan – A A Artjana GUNA 2 PDIP I Made Gianyar – Sang Nyoman GITA Sedana Arta 3 Partai IB Brahma Putra – I Wayan Winurjaya Bhramawijaya Demokrat 4 Perseorangan IBGK Ludra- Nyoman Durpa Ludra-Durpa 5 Perseorangan I Wayan Arsada – I Wayan Lasmawan ALAS Sumber : KPUD Bangli, 2010 40 Ketiga, sengketa keputusan KPUD Bangli yang menetapkan pasangan I Made Gianyar-Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang digugat ke Mahkamah Konstitusi. KPUD Bangli dalam rapat plenonya Selasa (11 Mei 2010) memutuskan pasangan I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang pemilu kepala daerah Bangli. Namun, hasil ini tidak diterima oleh pasangan IB Brahmaputra – Wayan Winurjaya, yang perolehan suara terpaut tipis dengan pasangan GITA. Pasangan Brahma-Wijaya menilai pasangan GITA telah berbuat pelanggaran dalam pemilu, pasangan ini pun menilai pihak penyelenggara yakni KPUD Bangli dan Panwaslu Bangli telah melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu kepala daerah (Bali Post, Jumat 14 Mei 2010). Ketidakpuasan penyelenggaraan pemilu di Bangli terus bergulir, ribuan massa pendukung pasangan Brahma-Wijaya menggelar demo besar-besaran menuntut pemilihan ulang di wilayah Kintamani pada Kamis (6 Mei 2010) (NusaBali, Jumat 7 Mei 2010). Ribuan massa menilai pelaksanaan pemilukada di Kintamani penuh intimidasi dan kecurangan, sehingga kebebasan masyarakat Kintamani untuk menentukan pemimpin Bangli telah “diperkosa” (Bali Post, Jumat, 7 Mei 2010). Fakta yang dikemas media ini adalah realitas yang dikemas media dimana tentu saja banyak hal yang mempengaruhi realitas media tersebut. Penggunaan kata “diperkosa” pun adalah cara untuk mengemas sebuah realita menjadi dramatis dibandingkan realitas sosial. 41 Pemilukada di Kabupaten Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010. Setelah melalui rapat pleno, KPUD Kabupaten Bangli menetapkan pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang dalam pemillukada Bangli periode 2010/2015. Adapun hasil perolehan suara pemilukada Bangli secara keseluruhan dapat terlihat dalam tabel 1.3. Tabel 1.3 Hasil Perolehan Suara Pemilukada Bangli Putaran Pertama No Pasangan Calon Jumlah suara Persentase (%) 1 IB Ludra- Nyoman Durpa 4.398 3,10 2 I Wayan Gunawan – A A Artjana 10.506 7,42 3 I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana A. 52.892 37,38 4 I Wayan Arsada – I Wayan Lasmawan 24.145 17.05 5 IB Brahmaputra – Wayan Winurjaya 49.607 35,06 Total Suara Sah 141.481 84,13 Total Suara Tidak Sah 26.679 15,86 Selisih suara GITA – Brahmawijaya 3.285 2,32 Jumlah DPT 168.160 Sumber: KPUD Bangli, 2010 Perjuangan pasangan Brahmawijaya menolak hasil pleno KPUD Bangli tidak terhenti pasca-rapat hasil pleno. Pasangan ini pun mengajukan gugatan hasil pemilihan umum kepala daerah Bangli ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan 132 TPS yang dimasalahkan bisa dikabulkan MK untuk diadakan pemilihan ulang (BaliPost, Jumat, 14 Mei 2010). 42 Keempat, gugatan keberatan pasangan Brahmawijaya ke Mahkamah Konstitusi diterima Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima sebagian gugatan pasangan Brahma-Wijaya. Sidang yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pada Kamis (3/6/10) memutuskan agar KPUD Bangli untuk mengadakan pemilihan ulang di 12 TPS yang tersebar di tiga kecamatan di Bangli. Duabelas TPS terbagi menjadi sembilan TPS di Kecamatan Kintamani, dua di Kecamatan Tembuku, dan satu di Kecamatan Bangli. Sesuai dengan perkembangan politik nasional, maka perkembangan kampanye saat pemilu kada di daerah pun telah menggunakan media massa sebagai tempat pertarungan antar kandidat pemilu kada. Amanda (2010) dalam penelitiannya mencatat selama masa kampanye pemilukada di lima kabupaten/kota tersebut terdapat 198 bentuk komunikasi politik di tiga media cetak yang beredar di Bali. Komunikasi politik yang dimaksud dapat berupa berita, iklan hingga advertorial Tiga media cetak yang dimaksud adalah Harian BaliPost, Radar Bali, dan NusaBali. Amanda (2010) juga mencatat dari 16 calon yang bertarung di lima kabupaten, 14 pasangan calon atau sekitar 87,5 persennya menggunakan media massa cetak sebagai alat komunikasi politik. Lima pasangan calon dalam pemilukada di Kabupaten Bangli pun menggunakan media sebagai alat komunikasi politik untuk menjangkau pemilihnya. Bentuk yang digunakan dibagi dalam tiga bentuk yakni berita, advertorial, dan iklan. Khusus untuk di Bangli, pertarungan tidak hanya selesai dalam masa kampanye. 43 Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan pemilihan ulang di 12 TPS, membuat masa pertarungan di media massa semakin panjang. Terdapat waktu kurang lebih total dua bulan sejak masa kampanye hingga pemilihan ulang bagi masingmasing pasangan calon untuk bertarung di media cetak. Media dalam pemilukada tidak dapat dipandang independen atau bebas dari nilai dan kepentingan. Altschull menyimpulkan dalam semua sistem pers, media berita merupakan agen dari pihak yang menjalankan kekuasaan ekonomi dan politik. Koran, majalah, dan saluran-saluran siaran bukanlah aktor yang independen, kendatipun hal tersebut mempunyai potensi untuk menguji kekuasaan yang bebas (Altschull dalam Winarso, 2005:128). Dari pemaparan permasalahan yang terjadi di Provinsi Bali khususnya di Kabupaten Bangli, maka penting untuk dikaji bagaimana pertarungan perebutan kekuasaan di Kabupaten Bangli dengan perspektif pada pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. 1.2 Rumusan Masalah Dalam merumuskan permasalahan, fenomena pemilihan kepala daerah di Indonesia khususnya di Provinsi Bali mengandung konflik. Maka dengan rumusan permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang diangkat adalah: 44 a. Bagaimana bentuk pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010? b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010? c. Bagaimana dampak dan makna pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010 terhadap budaya komunikasi politik di Bangli? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengetahui bentuk pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010 b. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010. c. Menginterpretasi bagaimana dampak pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010 terhadap habitus sosial politik masyarakat Kabupaten Bangli, Bali. 45 1.3.2 Tujuan Umum Tujuan Umum dari penelitian ini : a. Dapat mengetahui bagaimana penggunaan modal pada praktik komunikasi politik di media cetak dalam pemilu kepala daerah. b. Mendapat gambaran mengenai habitus khususnya habitus politik di kabupaten Bangli. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan mengenai kajian komunikasi politik khususnya penggunaan media cetak. b. Penelitian dapat membantu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya bidang penggunaan media massa khususnya media cetak dan komunikasi politik. c. Hasil penelitian dapat sebagai bahan awal dan membantu peneliti yang tertarik di bidang komunikasi politik. 46 1.4.2 Manfaat Praktis : a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau masukan bagi para aktor politik dalam mempraktekkan komunikasi politik di masyarakat. b. Penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai pendidikan politik yang berkembang di masyarakat. Dengan mengetahui perkembangan karakteristik sistem komunikasi budaya politik, maka dapat membantu mengatasi dan mencegah konflik yang kerap terjadi terkait politik praktis. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian baik berupa tulisan, opini maupun penelitian mengenai isu pertarungan aktor politik di media massa telah berkembang luas seiring dengan perkembangan politik dan media massa di Indonesia. Hubungan antara media massa dan aktor politik pun semakin erat dengan adanya tarik ulur kepentingan ekonomi dan politis. Oleh karena itu, kajian pustaka mengenai isu ini akan menjadi masukan dasar yang memperkaya penelitian mengenai pertarungan aktor politik di pemilu kada pada media cetak di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010. Keefektifan media masa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikan media sebagai ajang baru pertempuran politik. Abad ke-21 yang tergolong sebagai Abad informasi membuat siapa pun yang memiliki akses kepada media massa memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan membentuk opini publik sesuai dengan yang diharapkannya. Konsekuensinya, dunia politik tidak dapat dipisahkan dari media massa. Persaingan pun muncul untuk mencari aliansi dengan suatu media massa guna menjamin lancarnya pesan 47 politik yang ingin disampaikan 48 (Firmanzah,2011:28). Penelitian mengenai komunikasi politik di Indonesia pada umumnya masih tergolong baru. Terdapat beberapa penelitian maupun pustaka yang berkaitan dengan komunikasi politik terutama komunikasi politik melalui media massa. Amanda (2010) yang menyatakan bahwa terjadi korelasi positif antara kuantitas tampil di media cetak dengan elektabilitas calon kepala daerah. Amanda melakukan penelitian di lima kabupaten/kota yang melangsungkan pemilukada. Amanda (2010) dalam penelitiannya mencatat selama masa kampanye pemilukada di lima kabupaten/kota tersebut terdapat 198 bentuk komunikasi politik yang terkait dengan proses pemilukada di tiga media cetak yang beredar di Bali. Kuantitasnya ini cukup besar untuk tingkat pemilukada Kabupaten/Kota. Tiga media cetak yang dimaksud adalah Harian BaliPost, Radar Bali, dan NusaBali. Amanda (2010) juga mencatat dari 16 calon yang bertarung di lima kabupaten, 14 pasangan calon atau sekitar 87,5 persennya menggunakan media massa cetak sebagai alat komunikasi politik. Hubungan antara media massa dan pemilukada di Bali pernah diteliti Gusti Putu Artha dalam bukunya yang berjudul Konspirasi Media dengan Kandidat Pemilukada (2009). Artha dalam penelitiannya ingin mengetahui bagaimana konstruksi wacana berita surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung, apakah makna wacana berita surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung serta ingin mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi wacana berita 49 kampanye surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung. Teori yang digunakan Artha adalah Kognisi Sosial Teun A. Van Dijk, Teori Hipersemiotika, dan Teori Hegemoni. Artha mengungkapkan bahwa surat kabar melakukan konspirasi dengan kandidat dan usaha sekeras-kerasnya menghegemoni publik. Melalui penggunaan tanda-tanda semiotis yang berlebihan dalam teks berita kampanye, publik disuguhkan berita kampanye yang kurang bermakna bagi proses pencerdasan dan pendidikan politik masyarakat. Artha pun menilai bahwa surat kabar secara sadar mengelola berita kampanye sebagai komoditas. Artha juga mengungkapkan faktor yang paling memegang peranan atas konstruksi wacana surat kabar adalah faktor pemilik modal. Konstruksi wacana berita kampanye didasarkan atas kontrak ekonomi antara surat kabar dan kandidat. Keputusan menyangkut kontrak ekonomi ini ditentukan pemilik modal. Hasil penelitian Artha ini memberikan gambaran realitas di mana media massa berperan sebagai subjek pertarungan para aktor politik tidak hanya sebagai medan atau wadah pertarungan. Penelitian Artha ini memiliki relevansi yang cukup dekat mengingat lokasi penelitiannya adalah di Bali, dan unit analisisnya adalah media cetak sama dengan penelitian yang dilakukan. Kajian mengenai peran media massa dan pemilu kepala daerah juga dilakukan Graeme MacRae dan I Nyoman Darma Putra (2007). MacRae dan Darma Putra mengkaji mengenai peran dan posisi media massa di Bali pada masa pemilu kepala daerah di Bali pada tahun 2005. Pada tahun 2005 pemilu kepala daerah berlangsung di lima kabupaten/kota di provinsi Bali, yakni Badung, Bangli, Tabanan, Karangasem 50 dan Kota Denpasar. Dalam proses pemilu kepala daerah, media massa terutama media massa dengan oplah yang tinggi seperti Kelompok Media BaliPost (KMB) cukup memegang peranan penting. KMB bagi masyarakat Bali dipandang sebagai kelompok media yang menjaga budaya Bali sejak lama. KMB pun berperan besar dalam membentuk opini publik di Bali. Hal ini menyebabkan para kandidat pemilu kepala daerah di Bali merasa perlu dan wajib untuk mendatangi kantor pusat Kelompok Media BaliPost. Kehadiran dan kunjungan para kandidat ke KMB akan diliput oleh semua media yang berada dalam naungan KMB. Ritual yang biasa dilakukan adalah menandatangani prasasti ‘Ajeg Bali’ sebagai simbol mendukung dan berkomitmen menjaga kebudayaan Bali. MacRae dan Putra mengkaji bahwa kekuasaan dan kekuatan media massa di Bali mampu memberikan status media massa atau kelompok media tersebut menjadi seorang aristokrat baru. Relevansinya dengan penelitian yakni bagaimana keberadaan media massa telah menjadi tokoh sentral dalam sebuah pertarungan aktor politik dalam pemilukada di Bali. Dalam tulisan yang berjudul “A Peaceful Festival of Democracy‟; aristocratic rivalry and the media in a local election in Bali‟, MacRae dan Putra (2008) menekankan pada dua faktor penting dalam politik lokal di Bali. Pertama, adalah beragam bentuk modal politik dari struktur lama akan peran organisasi sosial hingga masa prekolonial. Kedua, peran dominan media massa dalam mengatur arus informasi yang disampaikan selama proses pemilukada. MacRae dan Putra kemudian 51 memfokuskan tulisannya berdasarkan pemilu kada di Kabupaten Gianyar pada tahun 2008, antara Cokorda Ardana Artha Sukawati melawan Agung Baratha. MacRae dan Putra melihat pertarungan dalam memperebutkan pemilu kepala daerah di Kabupaten Gianyar bukanlah pertarungan kursi bupati belaka namun pertarungan antara Puri Ubud dan Puri Gianyar yang telah berlangsung sejak lama. MacRae dan Putra pun melihat peran media massa dalam proses pemilu kada ini juga memegang peranan penting. Namun peran media ini dikaitkan pada kekuatan finansial para kandidat. Relevansi penelitian ini adalah menunjukkan bahwa salah satu faktor penting dalam bertarung di media massa adalah faktor ekonomi sang aktor politik dalam praktik komunikasi politik. Penelitian lainnya yakni Kasoma (2000) yang menyatakan bahwa media massa memiliki peran signifikan dalam upaya pengembangan sistem demokrasi multipartai. Fungsi politik media massa banyak dilakukan dengan mengkaitkannya dengan upaya pengembangan demokrasi. Kasoma menemukan fakta bahwa pers telah berperan secara nyata dalam memperkenalkan, mengembangkan dan memantapkan sistem multipartai di negara-negara Afrika pada awal dekade 1990-an. Pers juga berhasil menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi di kalangan masyarakat, termasuk kalangan elite politik. Selain itu June Woong Rhee (1997) meneliti bahwa frame pemberitaan kampanye mempengaruhi interpretasi individu-individu mengenai kampanye yang bersangkutan. 52 Kajian mengenai peran media massa dalam kampanye pemilu kepala daerah sudah banyak dilakukan di antaranya Wisnumurti (2010), Butarbutar (2006), Nugroho (2010). Relevansi penelitian-penelitian ini menambah pengetahuan dan dasar dalam memprediksi mengenai permasalahan yang timbul dalam pertarungan aktor politik pada pemilukada di media massa. Penelitian terdahulu mengenai pemilu kepala daerah di Bali pernah dikaji oleh Anak Agung Gede Oka Wisnumurti dalam disertasinya yang berjudul ‘Dinamika Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kabupaten Badung’ pada tahun 2010. Dalam penelitiannya, Wisnumurti mengungkapkan Pemilu Kada langsung 2005 di Kabupaten Badung membawa perubahan berkelanjutan yang bersifat fluktuatif pada struktur dan kultur politik masyarakat di Kabupaten Badung. Secara kultural perubahan tersebut terjadi pada ideologi masyarakat yang didasarkan pada rasio subjektif sebagai upaya tindakan komunikatif. Wisnumurti menggunakan pendekatan teoritik yang bersifat eklektik yakni teori Tindakan Komunikatif, Teori Diskursus kekuasaan dan Pengetahuan, Teori Hegemoni, dan Teori Modal Sosial. Temuan yang menarik dari penelitian Wisnumurti adalah relasi kekuatan yang mempengaruhi dinamika politik lokal tersegmentasi dalam tiga kekuatan utama meliputi kekuatan masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil. Wisnumurti juga mengungkapkan bahwa dinamika politik lokal dalam pemilukada langsung 2005 di Kabupaten Badung menunjukkan terjadinya perubahan yang berkelanjutan pada struktur dan kultur masyarakat di Badung itu sendiri. Ajang ini 53 pun menjadi wadah atau wahana dimana mampu menghadirkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang memperkuat basis budaya demokrasi lokal. Beny Siga Butarbutar dalam penelitiannya ”Dominasi Media Massa dalam Pemilukada: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pemilukada Depok 2005” (2006) melihat dominasi media massa dan pemilihan kepala daerah sebagai upaya mengetahui kinerja pers dalam meliput pemilihan kepala daerah yang merupakan representasi dalam alam demokrasi. Unit analisis yang diteliti terbagi dalam level mikro dan level massa. Dalam level mikro yang diteliti adalah teks berita yakni berita-berita di Media Indonesia, Monitor Depok dan SCTV. Sedangkan untuk level massa, dilakukan wawancara dengan sejumlah calon kepala daerah Depok, Pemred SCTV, Pemred Monitor Depok dan Pemimpin Umum Media Indonesia. Dalam hasil penelitiannya terlihat bahwa bagaimana dominasi media massa dalam liputan Kota Depok dan kenyataan kuatnya pengaruh bisnis dalam mempengaruhi kinerja pers, sehingga media massa terlihat sebagai institusi ekonomi. Namun Butarbutar menemukan hasil yang cukup mengejutkan adalah bagaimana kandidat yang tidak memiliki uang yang kuat ternyata memenangkan pertarungan walau sempat tidak mendominasi pemberitaan di media massa. Butarbutar juga mengatakan dalam proses memproduksi dan mengkonsumsi teks isi media perlu juga melihat suasana politik dan tekanan ekonomi kapitalis yang tercipta selama ini. Penelitian serupa juga dilakukan Adi Nugroho dalam penelitiannya yakni ‘Kampanye Pemilu dalam Pers: Analisis Isi Berita-berita Kampanye Pemilu 1997 54 dalam Pers Daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta’ (2010). Nugroho meneliti mengenai bagaimana media menyajikan liputan berita, khususnya berita tentang sepanjang massa kampanye pemilu 1997 dari tiga surat kabar yang terbit di Jawa Tengah dan Yogyakarta yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka. Adi Nugroho menggunakan analisis isi sebagai metode penelitian. Dalam penelitiannya Adi Nugroho mendapatkan adanya dualisme antara media dan kepentingan pemerintah di masa kampanye sebelum pemilu. Victor A. Simandjuntak (2006) dalam penelitiannya bertajuk ‘Kampanye Politik: studi atas pemberitaan kampanye capres dan cawapres dalam pemilu 2004 di surat kabar Republika’. Dalam penelitiannya Simandjuntak menggunakan tiga teori sebagai landasan penelitian, yakni Teori Political Marketing, Teori Partisan dan Teori Transisi Demokrasi. Melalui metode deskriptif-kualitatif, Simandjuntak menemukan bahwa media berperan besar dalam proses pemilu 2004. Republika telah berpartisipasi dalam pemilu sebagi sumber informasi bagi masyarakat atau pemilih. Namun Republika menurut Teori Partisipasi Media juga memiliki keterbatasan ruang dan waktu sehingga informasi politik kepada pembaca tidak lengkap. Simandjuntak pun mengatakan bahwa media dapat bersikap non partisan apabila tidak ada keterkaitan modal, manajemen redaksi, serta aliansi politik media tersebut terhadap capres-cawapres yang bertarung dalam Pemilu 2004. Metode berbeda dalam memandang iklan kampanye partai politik dilakukan Sri Agus Adi Setyawati (2001) dengan tajuk penelitian ‘Perencanaan Iklan 55 Kampanye Partai Politik: Studi Evaluasi Perencanaan Iklan Kampanye PDI Perjuangan pada pemilu 1999’. Penelitian Setyawati menggambarkan secara umum mengenai evaluasi proses dan evaluasi hasil iklan kampanye PDI Perjuangan melalui media above the line (televisi, surat kabar dan radio) dan media below the line (bendera, spanduk, umbul-umbul, poster, selebaran, stiker dan t-shirt), khususnya iklan sosialisasi tanda gambar dan iklan kampanye pemilunya. Penelitian ini menggunakan metode evaluatif-kualitatif, dengan melibatkan alat bantu analisis semiotika untuk menjelaskan isi produk iklan. Metode evaluasi yang dipakai adalah evaluasi proses (berdasarkan pada cara atau proses melakukan proses melakukan komunikasi) dan evaluasi hasil (berdasarkan pada dampak yang dihasilkan dari proses berkomunikasi). Analisis semiotika dilakukan dengan menginterpretasi makna dari warna, lambang, teks dan suara pada isi iklan PDI Perjuangan. Hasil penelitian Setyawati menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang digunakan adalah Clinton Campaign Approach, yaitu penggunaan teknik komunikasi dengan menyerang sisi negatif lawannya dan strategi medianya ditekankan pada aspek pemilihan media yang efektif dan efisien. Penelitian lain mengenai kampanye dikaji Lugi Lugina (2004) dengan tajuk penelitian ‘Kampanye Partai Politik pada Pemilihan Umum Legislatif 2004, studi kasus di Dewan Pimpinan daerah Partai Golongan Karya Kota Sukabumi’. Penelitian dengan tujuan mengetahui proses kampanye Partai Golkar di Kota Sukabumi pada pemilu legislatif 2004 menggunakan metode deskriptif dan tehnik pengolahan data 56 dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan studi pustaka. Lugina menyimpulan keberhasilan partai Golkar juga ditunjang oleh beberapa faktor yaitu peran media massa yang membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat. Selain itu faktor penunjang lainnya adalah aksesibilitas yaitu penerimaan masyarakat terhadap topik kampanye yang disampaikan serta kecocokkan materi kampanye dengan karakteristik masyarakat. Hubungan antara komunikasi dan budaya dijelaskan oleh James W.Carey (1975) yang mengatakan mengenai cultural definition of communication. Carey (1975;10) mengatakan Communication is a symbolic process whereby reality is produced, maintained, repaired and transformed (komunikasi adalah proses simbolik dimana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki dan ditransformasi). Pernyataan Carey ini menegaskan bahwa komunikasi dan realitas sangat berhubungan. Komunikasi dinilai sebagai proses penanaman dalam kehidupan sehari-hari yang seperti menerima, mengerti dan mengkonstruksikan pandangan realitas seseorang dan dunia. Komunikasi adalah dasar dari budaya. Dari kajian pustaka di atas maka penelitian mengenai pemilukada di Kabupaten Bangli pada tahun 2010 belum pernah diteliti. Namun, penelitian mengenai pemilukada di Bali telah cukup banyak dikaji.Walaupun penelitian mengenai analisis wacana telah banyak dikaji, penelitian analisa wacana yang terkait dengan pemberitaan semasa pemilukada khususnya di Kabupaten Bangli pada tahun 2010 belum pernah dilakukan. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian 57 sebelumnya adalah penggunaan beberapa teori yang membantu menganalisis masalah. Maka penelitian ini adalah penelitian yang patut dilakukan dan dikaji untuk memperkaya khazanah keilmuan baik di bidang kajian budaya maupun ilmu komunikasi pada khususnya. 2.2 Konsep 2.2.1 Pertarungan Aktor Politik Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa pengertian dari konsep pertarungan. Pertama ‘pertarungan’ adalah perihal bertarung dalam artian sama dengan bertempur, berkelahi. Arti lainnya dari pertarungan adalah perjuangan. Oleh karena itu pertarungan itu sendiri adalah perkelahian dalam memperebutkan sebuah tujuan antara dua atau lebih orang atau pihak. Seperti halnya sebuah perkelahian, pertarungan pun memiliki arena laga tempat bertarung. Pertarungan memiliki tiga aspek, yakni aktor, tujuan pertarungan, dan arena pertarungan. Dalam penelitian ini aktor yang bertarung adalah para ‘aktor politik’, sedangkan tujuan pertarungan adalah memenangkan pemilihan umum kepala daerah, lalu arena pertarungan yang digunakan adalah media massa. Firmanzah (2011) mengatakan wilayah pertempuran politik tidak hanya terjadi dari image-image politik yang ditampilkan di media massa, tetapi juga lobi-lobi politik dengan media massa. 58 Keefektifan media massa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikannya sebagai ajang baru pertempuran politik. Firmanzah (2011) menambahkan kemampuan media massa dalam membentuk opini publik membuat media massa memiliki kekuasaan politik. Menurut McNair (2004) aktor politik adalah individu yang terinspirasi, melalui bentuk organisasi maupun institusi untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan. Untuk mencapai kekuasaan politik secara institusional melalui pemerintahan maupun pemilih, di mana preferensi politik dapat diimplementasikan. Yang termasuk di dalamnya adalah partai politik, organisasi publik, kelompok penekan (pressure groups), dan organisasi teroris. Nimmo (1978) mengatakan aktor politik adalah komunikator politik dimana komunikasi politik tidak hanya menyangkut partai politik, melainkan juga lembaga pemerintahan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, sumber atau komunikator politik adalah mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur, bupati/walikota, DPRD, Politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok-kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan. Komunikator politik itu sendiri dapat dibagi dalam tiga kategori yakni politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (Nimmo,1999:30). Namun dalam 59 penelitian ini yang dimaksudkan dengan aktor politik adalah para calon kepala daerah, tim sukses atau tim kampanye calon yang bersangkutan, hingga partai politik yang mengusung calon kepala daerah dalam pemilu kepala daerah Kabupaten Bangli 2010. Secara operasional konsep pertarungan aktor politik itu dibagi dalam beberapa aspek yang akan diteliti. Aktor politik dalam komunikasi politik di media tidak melakukan pertarungan dalam arti harafiah. Aktor politik dalam pertarungan mereka akan lebih banyak menggunakan opini dan isu yang sengaja maupun tidak sengaja terwacana di media dan masyarakat. Jadi, pertarungan aktor politik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pertarungan isu-isu yang dikemas oleh aktor politik di media cetak. Adapun isu-isu yang dikemas antara lain adalah pencitraan diri aktor politik, isu politis, dan program kerja tiap-tiap aktor politik. 2.2.2 Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Bangli Pemilu kepala daerah terdiri atas dua konsep yakni pemilu atau pemilihan umum dan kepala daerah. Pemilihan umum berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2008 pasal 1 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945. 60 Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatakan setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintahan yang disebut kepala daerah. Kepala daerah yang dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota. Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah. Undang-undang juga menyebutkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 56 UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pasangan calon pun diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian direvisi dalam UU nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana dimungkinkan pasangan calon tidak berasal dari partai tapi berasal dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Perubahan terhadap UU tentang pemerintahan daerah untuk mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokrasi yang memperhatikan prinsip persamaan dan keadilan penyelenggaraan, maka pemilihan kepala pemerintahan daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang memenuhi persyaratan. Perubahan ini pun untuk menjalankan keputusan judicial review Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan. 61 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 juga menyebutkan pemilihan kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang bertanggungjawab kepada DPRD. Perangkat lainnya selain KPUD dalam pemilukada adalah pengawas pemilihan kepala daerah atau panwas daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Pemilu kepala daerah dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli pada tahun 2010. Pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010. Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati. Tahap pemilukada di Bangli dimulai dengan masa kampanye sejak tanggal 17 April 2011 hingga tanggal 30 April 2010. Hari pemilihan berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010. Pada tanggal 7 Mei 2010, KPUD Bangli mengumumkan kemenangan Pasangan I Made Gianyar-Sang Nyoman Sedana Arta dari PDIP sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Hasil ini menuai protes dari kubu Brahmawijaya dari Partai Demokrat. Keberatan Brahmawijaya ini akhirnya berbuntut panjang. Hasil pemilukada di Bangli diadukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Brahmawijaya. Gugatan keberatan pasangan Brahmawijaya ke Mahkamah Konstitusi berbuah hasil. Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima sebagian gugatan pasangan Brahmawijaya. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pada Kamis (3/6/10) Mahkamah Konstitusi memutuskan agar KPUD Bangli 62 untuk mengadakan pemilihan ulang di 12 TPS yang tersebar di tiga kecamatan di Bangli. Duabelas TPS terbagi menjadi sembilan TPS di Kecamatan Kintamani, dua di Kecamatan Tembuku, dan satu di Kecamatan Bangli. Namun hasil pemilihan umum tetap sama yakni kemenangan I Made Gianyar – Sang Sedana Arta sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Bangli terpilih. 2.2.3 Media Cetak Media cetak adalah bagian dari media massa. Media massa sering digunakan pada alat teknik melalui apa komunikasi massa terjadi. Media massa dapat meliputi, (1) media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, pamflet, billboards, dan alat tehnik lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh indera penglihatan, (2) media elektronik seperti program radio dan rekaman yang menyentuh indera pendengaran, dan program televisi, gambar bergerak dan rekaman video yang menyentuh kedua indra pendengaran dan penglihatan (Blake, 2003:42). Media cetak adalah seluruh media massa yang proses produksinya menggunakan alat cetak dan didistribusikan kepada masyarakat umum tidak menggunakan perangkat teknologi informasi. Media yang termasuk dalam media cetak di antaranya, koran, tabloid, majalah, dan buku (Vivian, 2008:10). Media cetak adalah bagian dari media massa. Media dalam arti luas, yaitu segala sarana yang terkait dengan penyampaian pesan, baik yang bersifat riil maupun simbolik, dari 63 sebuah institusi kepada masyarakat luas. Media dalam hal ini dapat berupa televisi, radio, majalah, dan koran. Media pun kerap kali digunakan sebagai instrumen untuk mengkomunikasikan ide, pesan, dan program kerja politik karena kenyataannya media dapat dipakai untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dengan biaya atau orang yang relatif sangat murah (Firmanzah, 2011:28). Media cetak dalam penelitian ini berperan sebagai medan pertarungan para aktor politik. Arti penting media massa dalam komunikasi politik membuat medan pertempuran dan persaingan politik untuk membentuk opini publik terfokus pada media. Masing-masing partai politik akan berusaha mendekati media massa tertentu yang memiliki jaringan luas dalam masyarakat. Firmanzah (2011) mengatakan keberpihakan media massa terhadap suatu partai politik bisa menguntungkan dan merugikan image partai politik di mata masyarakat. Menguntungkan, karena masyarakat dapat dengan mudah mengidentifikasi ideologi yang dikeluarkan oleh media massa. Merugikan karena hal ini dapat mengurangi pangsa pasar mereka. Sementara itu, media massa juga dapat bersikap netral. Dalam aliran ini, mereka menerima dan mempublikasikan siapa pun yang dianggap layak dipublikasikan. Penelitian ini membatasi media cetak pada tiga media surat kabar yang terbit harian di Bali dengan oplah tertinggi, yakni Bali Post, NusaBali dan Radar Bali. Ketiga media cetak ini pun dibatasi sejak bulan April hingga Juni 2010. 64 2.3 Landasan Teori Dalam menganalisis permasalahan yang diajukan, digunakan beberapa teori. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori-teori posmodern dan postrukturalis. Teori yang dimaksud adalah teori wacana relasi pengetahuan dan kekuasaan, teori pengaruh media, teori framming, teori logic of practice atau teori modal, teori hegemoni, dan teori analisis teks media. Teori-teori ini akan dipakai secara ekletik, atau bersamaan dan saling membantu dalam menganalisis permasalahan. Teori analisis teks media dan teori pengaruh media akan berkolaborasi untuk membantu menganalisis pertanyaan penelitian bagaimana bentuk pertarungan aktor politik pada pemilu kada dalam media cetak di Kabupaten Bangli, Bali, serta untuk menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada pemilukada dalam media cetak di Kabupaten Bangli, Bali. Teori Wacana Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan akan digunakan untuk menganalisis pertanyaan penelitian mengenai bagaimana dampak dan makna pertarungan aktor politik pada praktik komunikasi di media cetak dalam pemilu kepala daerah 2010 di Kabupaten Bangli, Bali . 65 2.3.1 Teori Wacana Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan Michel Foucault mengungkapkan konsep mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda tidak dimaknai dalam konsep kepemilikan. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil. Menurutnya, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di sana kuasa sedang bekerja (Bertens,1985:487). Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Penyelenggaraa kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran (Aditjondro, 1994:58). Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Bertens,1985:488). Konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. 66 Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut (Mills,1997:18). Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereproduksi realitas, mereproduksi lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran (Bertens,1985:488-489). Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang displin. Publik tidak dikontrol melalui kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisplinkan melalui wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebih dari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi (Foucault,1997:32). Konsep lain yang dikemukakan Foucault adalah wacana. Bagi Foucault wacana tidak dipahami sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi mengikuti sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto,2008:65). 67 Temuan Foucault yang menarik adalah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa olehnya tidak dimaknai dalam term kepemilikan, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Dalam menghubungkan antara kuasa dan pengetahuan maka digunakanlah wacana. Foucault mengatakan bahwa hubungan antara simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan didisiplinkan. Bagaimana seseorang memersepsikan dan menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif (Eriyanto,2008:72-73). Wacana membatasi bidang pandangan, di mana mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwaperistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, seseorang mengategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut akan sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, 68 perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir (Eriyanto,2008:75). Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan mempertahankan hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” atau “terpendam”. Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi halangan, karena ia memberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta bukan hanya membatasi pandangan, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri, menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. 69 2.3.2 Teori Analisis Teks Media Teori analisis teks media yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis isi teks media dan teori produksi teks media. Teori analisis isi teks media dan teori produksi teks media tergolong dalam teori kritis. Menurut McNair (1994) dalam studi media terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media. Pertama, pendekatan politik-ekonomi. Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor ini seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan. Kedua, pendekatan organisasi. Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik. Dalam pendekatan organisasi, justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Ketiga, pendekatan kulturalis. Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas 70 organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar diri media. Teori analisis isi media lainnya adalah teori produksi teks media. Menurut Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Shoemaker and Reese, 1996) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan. Shoemaker dan Reese mengidentifikasi ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang memiliki orientasi politik tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik yang kebetulan menjadi idolanya. 71 Kedua, level rutinitas media. Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi 72 sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita. Keempat level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media. Pertama, sumber berita. Sumber berita dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini seringkali tidak disadari media. Pengelola media tidak sadar, lewat teknik yang canggih, sebetulnya orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan sumber berita. Media lalu secara tidak sadar, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut. Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus bertahan hidup, dan untuk itu kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalkan media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang 73 berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media. Media tidak menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena dalam negara yang otoriter, negara menentukan apa yang tidak boleh dan apa yang boleh diberitakan. Pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah terutama berita buruk akan diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media bersangkutan akan mati. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis. Keempat, level ideologi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan 74 bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi lebih abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dilihat lebih kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan. 2.3.3 Teori Pengaruh Media Teori pengaruh media yang digunakan adalah teori Agenda-Setting. Dalam menterjemahkan teori ini, banyak ahli yang berpendapat. Menurut Baran (2002:384) teori ini menyatakan bahwa media tidak menyuruh audiens untuk berpikir, tetapi media membentuk apa yang harus dipikirkan oleh audiens. Hal ini berdasarkan pada penelitian yang dilakukan Maxwell McCombs dan Donald Shaw mengenai peranan media dalam pemilihan presiden di tahun 1968. Fenomena Agenda Setting sendiri telah lama diakui. Sosiolog, Robert Park pada 1920-an mengutarakan teori yang menolak gagasan populer bahwa media memberi tahu orang apa yang akan dipikirkan. Seperti dikatakan Park, media lebih banyak menciptakan kesadaran tentang suatu isu, bukan menciptakan pengetahuan atau sikap. Agenda Setting terjadi dalam beberapa level, yakni penciptaan kesadaran, menentukan prioritas, dan mempertahankan isu. Dalam level penciptaan kesadaran, jika individu menyadari isu, maka ia baru akan memperhatikan isu itu. Keprihatinan terhadap orang tua yang membunuh 75 anaknya menjadi isu utama akibat liputan luas media yang spektakuler. Pada tahun 1994, Susan Smith, seorang wanita dari South Carolina, menarik perhatian luas karena laporannya bahwa anakknya yang berumur 3 dan 1 tahun telah diculik. Kisah itu makin mengerikan setelah wanita itu lalu mengakui bahwa ia menenggelamkan sendiri anak-anaknya dengan menaruh anak di mobil yang terkunci dan didorong ke danau. Selama beberapa hari perhatian media yang luas bukan hanya mengungkap detail dari apa yang terjadi, tetapi juga membuat orang tahu lebih banyak tentang isuisu parental, keluarga, kesehatan mentak, dan isu hukum yang ikut dibahas media dalam liputannya. Dalam level menentukan prioritas. Orang mempercayai berita dari media untuk mengetahui kejadian-kejadian dan mengurutkan kejadian-kejadian itu berdasarkan arti pentingnya. Berita utama atau di halaman satu koran dianggap sebagai berita paling signifikan. Agenda seseorang akan terkena pengaruh bukan hanya dari cara suatu berita ditampilkan atau disampaikan, tetapi juga waktu dan ruang yang disediakan untuk berita itu. Dalam mempertahankan isu. Liputan terus menerus akan membuat isu menjadi kelihatan penting. Sebuah berita senator yang disuap mungkin akan segera dilupakan, tetapi berita lanjutannya selama berhari-hari akan menimbulkan reformasi etika. Sebaliknya, apabila gatekeeper media beralih ke berita lain, sebuah isu yang panas akan segera usang dalam semalam dilupakan orang. Peran agenda setting tak hanya terjadi di media berita. Gaya hidup dan nilainilai hidup yang digambarkan di media bisa mempengaruhi apa yang dipikirkan 76 orang dan apa yang mereka lakukan. Meski begitu, individu punya tingkat kontrol yang tinggi atas agenda personal mereka. Jurnalis dan pencipta pesan media lainnya tidak bisa secara otomatis memaksakan agenda mereka pada individu, jika orang tidak tertarik, sebuah isu tidak akan menjadi bagian dari agenda mereka. Nilai-nilai individu dalam proses selective exposure, perception, dan retention, dapat menghalangi peran media dalam penentuan media. Agenda media juga tidak diputuskan dalam ruang isolasi. Mereka tergantung kepada audiens massa. Media mencari petunjuk dari audiensnya sebelum menyajikan liputan. Sekarang, organisasi berita meneliti minat publik dengan sampling ilmiah. Media massa memainkan peran kepemimpinan dalam agenda setting dan sekaligus mencerminkan agenda dari audiensnya. Sedangkan Dominick dalam bukunya menggambarkan teori agenda setting sebagai kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Atau seperti yang telah dikatakan Cohen dalam bukunya The Press and Foreign Policy, yang menyatakan bahwa media tidak selalu sukses dalam menyuruh publik untuk memikirkan sesuatu, tetapi media seringkali sukses dalam mempengaruhi publik untuk memikirkan suatu topik tertentu. Dominick juga menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan teori agenda setting banyak dilakukan pada penelitian saat kampanye politik. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pesan yang dihasilkan saat kampanye politik 77 biasanya dibentuk untuk mensetting sebuah agenda tertentu. Kedua, kampanye politik memiliki batas waktu yang jelas saat memulai kampanye dan saat akhir kampanye. Hal ini menyebabkan periode waktu penelitian tidak lagi ambigu. Salah satu penelitian yang menggunakan teori agenda setting adalah pada penelitian tahun 1968 ketika pemilihan presiden. Dalam penelitian tersebut peneliti meminta sampel pemilih untuk merangking isu dari yang dianggap penting hingga yang kurang penting selama masa kampanye. Saat proses ini berjalan, peneliti mengumpulkan dan mengobservasi kampanye melalui majalah, surat kabar dan siaran televisi. Peneliti pun menyusun peringkat isu yang diangkat media berdasarkan media dan waktu bagi masing-masing isu. Hasilnya pun memuaskan, ternyata peringkat isu yang dikeluarkan oleh sampel pemilih memiliki korelasi yang kuat dan serupa dengan peringkat isu yang diobservasi oleh sang peneliti. Hal ini berarti bahwa para pemilih beranggapan bahwa isu yang diangkat oleh media massa adalah isu penting untuk dipikirkan. Studi dengan menggunakan teori agenda setting menunjukkan beberapa indikasi yang cukup menarik. Indikasi yang dimaksudkan adalah arah hubungan antara isu dalam benak pemilih dan media massa tergantung pada media massa yang digunakan. Sedikitnya terdapat dua penelitian yang melaporkan bahwa surat kabar memiliki tekanan agenda setting yang lebih besar dibandingkan media televisi. Bahkan pada sebuah studi ditemukan bahwa selama kampanye, media televisi sampai 78 merubah jangkauannya untuk menyesuaikan dengan kepentingan pemilih, sedangkan surat kabar terlihat sibuk membentuk agenda publik. Dalam perkembangannya, teori agenda setting ini memiliki dua arah yang menarik bagi kaum peneliti. Pertama adalah mengarah pada teori framing, bagaimana cara umum sebuah isu tersebut dikemas oleh media massa. Penelitian dengan menggunakan teori ini mencoba untuk menjelaskan bahwa media tidak hanya mempengaruhi publik untuk berpikir mengenai suatu isu tetapi bahkan mempengaruhi bagaimana pola pikir tentang suatu isu tersebut sesuai dengan kemasan yang dibentuk media massa. Kedua adalah agenda building. Peneliti dengan arah ini meneliti bagaimana media membangun suatu agenda yang patut untuk dijadikan berita. 2.3.4 Teori Hegemoni Pemikir dalam teori hegemoni adalah Antonio Gramsci. Teori hegemoni Gramsci dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan 79 hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual (Sugiono, 1999:31). Simon (1999) mengatakan titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Menurut Gramsci, hegemoni adalah sebuah organisasi konsensus di mana di dalamnya terjadi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis dan bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, hegemoni merupakan hubungan antar-kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapat persetujuan dari kelas dan kekuatan sosial dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologi (Susanto, 2000:41-42). Bagi Gramsci, kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah hubungan. Hubungan sosial dalam masyarakat sipil juga merupakan hubungan kekuasaan sehingga kekuasaan juga bisa merata ke seluruh masyarakat sipil, bukan hanya terwujud dalam aparat negara yang koersif. Sebuah hubungan hegemonic ditegakkan ketika kelompok subordinat atas subordinasi mereka. Dengan kata lain, kelompok subordinat menerima ide-ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya punya mereka sendiri. Dengan demikian legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, 80 nilai-nilai, norma, dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat (Sugiono, 1999:37). 2.3.5 Teori Framing Dalam menganalisis permasalahan di balik media massa, maka dibutuhkan paradigma alternatif yang lebih kritis untuk melihat realitas lain di balik wacana media massa. Salah satunya adalah teori framing. Sebagai paradigma interpretative, analisis framing merupakan suatu seni atau kreativitas yang kesimpulannya boleh jadi berbeda, jika dilakukan oleh analis berbeda, meskipun kasusnya sama. Sebabnya, analis adalah seorang manusia yang aktif, kreatif, dan bebas menafsirkan lingkungannya, suatu prinsip penting yang dianut oleh paradigma interpretatif. Teori framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Analisis dengan teori framing dapat digunakan untuk melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional (Eriyanto: 2005;xv). Peter L. Berger (dalam Eriyanto, 2005) mengatakan sebuah teks berupa berita tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang 81 sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita. Berita dalam pandangan ini bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Durham (1998) mengatakan framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian, membuat realitas lebih bermakna dan dimengerti (Durham, 1998:101). Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Framing, seperti yang dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan dan presentasi dari realitas. 82 Terdapat dua aspek dalam framing. Pertama memilih fakta atau realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan yakni apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih sudut pandang tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan depaka khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2005:69-70). Analisis framing mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Pertama, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dimana tidak 83 ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Carey (1989) mengatakan realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Fakta dalam berita diproduksi dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi (Carey, 1989:25). Kedua, media adalah agen konstruksi, di mana media dipandang bukan sekadar saluran yang bebas, tetapi ia adalah subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakkannya. Bennet (1982) memandang media sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Bennet menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita yang dibaca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri (Bennet dkk, 1982:287-288). Apa yang tersaji dalam berita, dan dibaca setiap hari, adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Hidayat, 1999:20). Ketiga, berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas. Berita dalam hal ini dipandang sebagai hasil konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai (Schudson dalam Curran, 1991: 141-142). 84 Keempat, berita bersifat subjektif atau hasil konstruksi atas realitas. Berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas yang berbeda pula. Apabila ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas realitas (Eriyanto, 2005:27). Kelima, wartawan bukan pelapor, namun ia adalah agen konstruksi realitas. Wartawan dipandang tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya (Curran, 1996:120). Wartawan juga dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Jadi analisis dengan teori framing adalah memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Dalam studi komunikasi, analisis dengan teori framing dengan paradigma konstruktivis ini seringkali disebut paradigma produksi dan pertukaran makna yang seringkali dilawankan dengan paradigma positivis (Fiske, 1990: 2-4). 85 2.3.6 Teori Logic of Practice (Teori Modal) Ahli sosiologi Perancis Bourdieu (1986) mengungkapkan bahwa dunia sosial adalah hasil dari akumulasi sejarah dimana merupakan interaksi yang terus menerus secara alami antara agen sebagai perantara dan akumulasi dari kapital atau modal dengan segala dampaknya. Modal dinilai sebagai kekuatan atau energi sosial. Modal dengan potensi dan kapasitasnya membutuhkan waktu untuk dapat memproduksi keuntungan dan untuk mereproduksi dirinya dalam bentuk-bentuk yang lainnya. Bourdieu (1986) pada awalnya membagi bentuk modal menjadi tiga bentuk yakni modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial. Modal ekonomi adalah terkait dengan kekuatan uang dan dapat pula berwujud pada hak milik. Modal budaya dapat dikonversikan pada beragam kondisi dan dapat berupa kualifikasi pendidikan. Modal sosial terkait dengan kewajiban sosial dimana dapat dikonversikan dalam kondisi tertentu menjadi kekuatan modal ekonomi serta dapat dilembagakan dalam bentuk kelas. Modal budaya dibagi menjadi tiga bentuk yakni embodied state, objectified state, dan institutionalized state. Embodied state adalah modal yang berada pada badan dan pemikiran seseorang dimana telah ada sejak lama dan tidak dapat diberikan atau ditukarkan dengan mudah. Objectified state berbentuk barang-barang bernilai budaya seperti lukisan, buku, instrument. Institutionalized state adalah bentuk hasil objektifitas dimana dapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan atau 86 bentuk lainnya dari modal budaya yang dapat dijamin. Modal budaya ini seringkali juga diperluas menjadi modal simbolik. Modal sosial adalah sekumpulan atau agregasi sumber-sumber potensial dan nyata dimana terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang terlembagakan dan saling mengenal dalam kelompok tersebut. Hubungan ini biasanya hanya ada dalam keadaan praktis dimana pertukaran materi atau simbol membuat hubungan ini tetap ada. Hubungan ini bisa saja terjadi akibat adanya kesamaan nama, sekolah hingga partai. Bourdieu (1986) juga mengungkapkan bahwa ketiga modal ini bukanlah hal yang berdiri sendiri namun dapat saling mentransformasi. Modal sosial dikatakan sebagai modal yang tidak dapat berdiri sendiri karena proses pertukaran modal yang terus menerus untuk menjaga modal sosial itu sendiri. Hal ini juga disebabkan modal sosial memberikan efek berkelanjutan dari kepemilikan modal ke berbagai hal. Teori ini berguna dalam menganalisi faktor strategi politik yang calon kepala daerah gunakan. 2.4 Model Penelitian Penelitian mengenai pertarungan aktor politik dalam pemilukada pada media cetak di Kabupaten Bangli, Bali 2010 berangkat dari beberapa asumsi yang mempengaruhi adanya pertarungan tersebut. Aspek yang mempengaruhi di antaranya 87 adalah (1) sistem politik Indonesia yang terdiri atas ideologi partai, sistem pemilihan umum, pemerintahan daerah di Indonesia dengan isu desentralisasi dan otonomi daerah (2) sistem ekonomi Indonesia yang terdiri dari aspek-aspek ekonomi di Indonesia seperti akibat dari pengaruh globalisasi, liberalisasi hingga komersialisasi, (3) aspek terakhir adalah aspek sosial, budaya, di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Seluruh aspek ini secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi pertarungan aktor politik dalam pemilukada pada media cetak di Kabupaten Bangli, Bali 2010. Penelitian akan mencoba menjawab tiga permasalahan yakni (1) bentuk pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilukada di Kabupaten Bangli Bali tahun 2010, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilukada di Kabupaten Bangli Bali tahun 2010, dan (3) Dampak dan makna pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilukada di Kabupaten Bangli Bali tahun 2010. Penelitian ini pun akan menemukan rekomendasi mengenai identifikasi dan kritisisasi peran media cetak dalam politik praktis serta mendapatkan gambaran mengenai habitus sosial budaya politik di Kabupaten Bangli, Bali. Berikut model penelitiannya; 88 Bagan 2.1. Model Penelitian Aspek ekonomi: Liberalisasi Globalisasi Komersialisasi Aspek politik : Sistem pemilu Sistem kampanye Otonomi daerah Aspek sosial -budaya: Kebebasan media massa Desentralisasi Pertarungan Aktor Politik pada Media Cetak dalam Pemilukada Bentuk pertarungan Faktor-faktor yang berpengaruh Temuan Mempengaruhi / menyebabkan Saling berhubungan Dampak dan Makna pertarungan BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian sosial budaya berkecenderungan kepada penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis. Sedangkan untuk melengkapkan data empiris, akan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk mengumpulkan data awal sebagai dasar argumentasi dalam analisis data kualitatif. Metode penelitian ini akan menggunakan tehnik triangulasi. Metode penelitian ini pun menggunakan metode analisis wacana kritis. 3.1 Rancangan Penelitian Berdasarkan atas permasalahan penelitian, maka rancangan penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, landasan berpikir yang digunakan adalah makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan berpola. Oleh karena itu, untuk memahami makna dalam suatu gejala sosial, seorang peneliti harus bisa menempatkan dirinya dalam peranannya sebagai para pelaku yang ditelitinya untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai 89 90 makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1966). Berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka obyek penelitian dalam penelitian ini adalah pertarungan aktor politik di media cetak. Obyek utama dalam penelitian ini adalah berita, iklan, dan advertorial di tiga media massa yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali pada masa kampanye pemilukada di Bangli tahun 2010 hingga pencoblosan ulang di 12 TPS di Bangli. Adapun alasan mengapa penelitian ini hanya meneliti pada tiga media massa tersebut saja karena ketiga media massa ini memiliki tiras tertinggi yang ada di Bali. Maka dengan memiliki tiras tertinggi sehingga berarti ketiga media massa ini lah yang paling banyak di baca oleh masyarakat di Bali. Sebagai media massa yang paling banyak dibaca oleh masyarakat Bali maka ketiga media cetak inilah yang paling banyak memengaruhi persepsi masyarakat Denpasar terutama dalam masa kampanye pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bangli. Artikel ini penting sebagai obyek utama karena di media lah pertarungan antar aktor politik terjadi. Penelitian juga akan mengkaji mengenai bagaimana pemberitaan atau iklan yang dikonstruksikan oleh media massa mengenai masing-masing calon kepala daerah. Penelitian akan mengkaji bagaimana bentuk komunikasi politik yang dilakukan setiap pasangan calon. Obyek penelitian pendukung dalam penelitian ini adalah para calon kepala daerah Kabupaten Bangli yang bertarung dalam perebutan kursi bupati dan wakil bupati Kabupaten Bangli untuk periode 2010/2015. Para calon inilah yang menjadi 91 obyek pendukung dalam penelitian ini. Penelitian juga akan mengkaji bentuk komunikasi politik yang dilakukan apakah melalui media massa atau bentuk komunikasi politik lainnya. 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di wilayah Kabupaten Bangli. Tetapi pengamatan atas laporan media massa yang menjadi objek penelitian dilakukan di Denpasar, tempat bekerja peneliti dan di Gianyar, kediaman peneliti. Penelitian difokuskan pada masa kampanye pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli pada Bulan April 2010 tepatnya pada tanggal 17 hingga 30 April 2010. Pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010, hingga pemilihan ulang di 12 TPS di Bangli pada 4 Juni 2010. Penelitian mengkaji perkembangan pemberitaan dan iklan di tiga media massa yang terkait dengan pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli. Penelitian ini pun terbagi dalam beberapa tahap, yakni pada masa sebelum kampanye pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli. Kedua, pada masa kampanye pasangan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli di Bulan April 2010. Ketiga pada masa pascapemilihan hingga pemilihan ulang di 12 TPS di Bangli. 92 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan, dipikirkan yang kemudian ditranskripkan secara narasi. Data yang berasal dari dokumen berupa berita atau kliping berita surat kabar pun jenisnya kualitatif yang akan dikaji secara subjektif dengan menggunakan analisa wacana kritis. Sumber data pada penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari media massa berupa berita, iklan, dan advertorial para calon kepala daerah di Bangli pada tiga surat kabar yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali saat masa kampanye hingga pada masa menjelang pemilihan ulang di 12 TPS di Bangli. Sumber data primer juga diperoleh langsung dari informan yang dinilai kompeten dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Informan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala Redaksi tiga surat kabar yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Warrtawan yang meliput pemilu kada di Bangli pada tiga surat kabar yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Sumber data sekunder didapatkan dari informan lainnya yakni calon kepala daerah di Bangli atau tim kampanye pemilukada di Bangli. 93 3.4. Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini melalui teknik purposive sampling atau judgemental, di mana informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak yang dipentingkan dan berperan penting dalam pembentukan komunikasi politik para calon kepala daerah pada pemilukada di Kabupaten Bangli. Informan adalah yang yang memiliki informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti. Adapun informannya adalah para redaktur dan wartawan harian Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali yang melakukan peliputan pada masa pemilukada di Kabupaten Bangli. Hal ini karena wartawanlah yang berhadapan langsung dengan realitas di lapangan, wartawan jugalah yang bertemu langsung dengan calon kepala daerah pada pemilukada di Kabupaten Bangli. Wartawan pulalah yang menulis berita sebelum masuk proses produksi di sebuah surat kabar. Informan berikutnya adalah kepala redaksi/ editor harian Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Hal ini dikarenakan pada pihak inilah sebuah berita disunting sebelum naik cetak. Kepala redaksi pun cenderung bekerja berdasarkan ideoogi apa yang surat kabar itu terapkan, sehingga akan diketahui ideologi apa yang mendasari terbentuknya sebuah berita. Informan lainnya adalah calon kepala daerah pada pemilukada di Kabupaten Bangli atau tim kampanye sebagai sumber berita. Hal ini untuk mengetahui bagaimana strategi komunikasi politik yang dilakukan para calon dalam masa kampanye hingga pascapemilihan. Informan ini pun diharapkan dapat menjelaskan 94 proses dalam komunikasi politik serta faktor-faktor apa yang paling berpengaruh di dalamnya. Informan lainnya adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bangli. Ketua KPUD dianggap mampu untuk memberi gambaran mengenai bagaimana proses pemilukada berlangsung sejak pencalonan hingga pemilihan ulang di 12 TPS. Ketua KPUD pun seringkali dijadikan obyek kritikan para aktor politik yang tersampaikan melalui media cetak. 3.5 Instrumen Penelitian Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Instrumen pendukung yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah instrumen penelitian yang berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder. Jawaban pedoman wawancara direkam dengan tape recorder, kamera, handycam, catatan anekdot dan atau kartu ikhtisar. 95 3.6 Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data maka digunakan beberapa teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data tersebut antara lain teknik wawancara mendalam, studi dokumen, dan observasi. 3.6.1 Wawancara Mendalam Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara luas dari tokoh kunci atau informan. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian kualitatif bersifat mendalam dan dikembangkan oleh sendiri. Dengan demikian, kedudukan peneliti menjadi sentral untuk menentukan kedalaman dan akurasi data yang dikumpulkan. Materi pertanyaan akan dikembangkan di lapangan, dengan dipengaruhi oleh tingkat kepekaan peneliti di dalam memahami seberapa jauh memahami ranah persoalan yang ingin diketahui dan sejauh mana informan menguasai masalah yang ditanyakan. 96 Tentu saja sebelumnya dibutuhkan pemahaman awal oleh sang peneliti itu sendiri. Pemahaman ini merupakan hasil dari studi literatur sebelumnya dan atau dari hasil diskusi secara mendalam dengan tim atau para ahli. Hasil pemahaman ini digunakan sebagai kerangka pemahaman awal. Pemahaman awal ini kemudian untuk menyusun suatu pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah semaca guideline yaitu point-point dalam bentuk kalimat terbuka. Pedoman wawancara disusun disesuaikan dengan isi draft laporan penelitian. Dengan pedoman wawancara ini peneliti mencoba daya kreatif untuk mengeksplorasi sasaran penelitiannya. Sedangkan informan yang baik adalah mereka yang mudah diajak bicara, mengerti informasi yang dibutuhkan, menerima dan bersedia memberikan informasi dengan sikap yang senang. Ini artinya, peneliti adalah orang yang ingin mengetahui banyak hal yang sesuai dengan fokus kajian, sementara informan juga ingin tahu mengenai siapa dan apa motivasi peneliti juga dampaknya jika informan menginformasikan sesuatu. Materi pertanyaan dalam wawancara bisa berstruktur, bisa juga tidak berstruktur. Yang pertama, adalah serangkaian pertanyaan yang telah disusun secara teratur. Sedang yang kedua, adalah pertanyaan yang diajukan secara bebas, baik dari segi urutan pertanyaan maupun redaksionalnya. Wawancara bersifat terbuka di mana pertanyaan yang telah dipersiapkan berkembang disesuaikan dengan arah pembicaraan atau hasil jawaban atas pertanyaan terstruktur. 97 Total informan yang diwawancara adalah sepuluh informan. Kesepuluh orang tersebut adalah tiga kepala redaksi dari Bali Post, NusaBali, Radar Bali, satu orang wartawan RadarBali, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bangli dan lima orang calon kepala daerah yang bertarung. Adapun alasan mengapa hanya satu wartawan yang diwawancara adalah karena wartawan harian NusaBali , Pagar Manurung yang bertugas di Kabupaten Bangli meninggal dunia sebelum peneliti berhasil mewawancarai wartawan tersebut. Dalam melakukan proses wawancara mendalam ini, peneliti menemui beberapa kesulitan. Kesulitan pertama adalah mencari kesempatan dan waktu yang dimiliki dari para informan. Dalam mewawancara masing-masing kepala redaksi, peneliti membutuhkan total waktu sekitar dua hingga tiga minggu. Hal ini dikarenakan dalam prosesnya, informan mengharuskan peneliti menuliskan surat dengan melampirkan proposal dan daftar pertanyaan yang akan diajukan. Adapun waktu yang diperlukan peneliti sejak memasukkan surat permohonan wawancara pun beragam. Waktu yang terpendek adalah satu minggu yakni Kepala Redaksi NusaBali, I Ketut Naria, kemudian Direktur Pelaksana Radar Bali, Hari Puspita, dan terlama adalah Redaktur Pelaksana Harian Bali Post, I Gusti Alit Purnata yang membutuhkan waktu hingga tiga minggu sejak surat permohonan dikirimkan. Dalam proses wawancara, ketiga informan ini memiliki tingkat keterbukaan yang berbeda-beda. I Ketut Naria adalah informan yang cukup terbuka, wawancara dengan Naria berlangsung pada tanggal 15 Mei 2012 dengan waktu kurang lebih tiga 98 jam di kantor harian NusaBali. Informan berikutnya Hari Puspita cukup banyak memberikan informasi namun karena wawancara berlangsung dua tahun setelah proses pemilukada berlangsung maka Hari Puspita mengatakan lebih banyak lupa secara detail kejadian maupun proses penulisan berita pada saat itu. Wawancara dengan Hari Puspita berlangsung pada tanggal 22 Mei 2012 dan wawancara berlangsung cukup panjang sejak pukul 10 pagi hingga pukul 15.00 di sore hari. Wawancara berikutnya adalah kepada Redaktur Pelaksana Harian Bali Post, I Gusti Alit Purnata pada tanggal 10 April 2012 di gedung Bali Post jalan Kepundung Denpasar. Wawancara dengan Alit Purnata cenderung sulit karena Alit Purnata cenderung menutup diri dan tidak memberikan informasi yang dibutuhkan. Jawaban yang dilontarkan Alit Purnata cenderung bersifat formal dan idealis bukan fakta yang sebenarnya terjadi. Alit Purnata pun lebih sering mengasumsikan bahwa semua orang mengetahui praktik komodifikasi kolom koran Bali Post. Alit Purnata pun lebih banyak menyuruh peneliti untuk mencari tahu sendiri bagaimana praktik tersebut berlangsung kepada aktor politik. Wawancara juga dilakukan kepada salah seorang wartawan Radar Bali yang bertugas saat pemilukada Bangli yakni Oka Suryawan. Wawancara berlangsung pada tanggal 22 Maret 2012. Saat wawancara berlangsung, Oka Suryawan sudah tidak lagi bertugas untuk Radar Bali. Oka Suryawan saat diwawancara telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di SMKN 1 Tegalalang Ubud Gianyar. Wawancara berlangsung di SMKN 1 Tegalalang Ubud Gianyar sejak pukul 9 pagi 99 hingga 11 siang. Wawancara dengan Oka Suryawan memberikan banyak informasi yang cukup penting untuk mengungkap bagaimana proses pembentukan berita selama pemilukada di Bangli di Radar Bali. Oka Suryawan pun cukup terbuka karena ia sudah tidak lagi bekerja untuk Radar Bali sehingga ia dapat dengan terbuka menyeritakan prosesnya tanpa ada yang ditutupi. Peneliti pun melakukan wawancara dengan pihak KPUD Bangli. Ketua KPUD Bangli, Dewa Lidartawan menerima peneliti di kantor KPUD Bangli pada tanggal 1 Maret 2012. Informasi yang disampaikan Lidartawan cukup penting dan lengkap karena informasi yang diberikan adalah informasi resmi dari instansi yang berwenang. Data proses pemilukada yang diberikan oleh pihak KPUD pun cukup lengkap mulai dari masa pencalonan hingga penetapan pemenang pascapemilihan ulang di 12 TPS. Kesulitan peneliti berikutnya adalah mencari waktu dan kesediaan kelima pasangan calon kepala daerah untuk diwawancarai. Akhirnya peneliti pertama kali mencari kesediaan waktu dari calon perseorangan I Bagus Ludra. Hal ini dikarenakan peneliti telah mengenal Ludra sebelum melakukan penelitian ini. Namun karena kesibukan Ludra, peneliti baru berhasil mewawancara Ludra pada tanggal 11 Maret 2012 di rumah Ludra di Puri Chandra Asri, Denpasar. Wawancara berlangsung sejak pukul 18.00 hingga pukul 21.00 wita. Ludra cukup terbuka dalam memberikan informasi dibutuhkan oleh peneliti. Adapun kekurangan informasi yang dibutuhkan dari Ludra dilakukan melalui telepon. Informan berikutnya yang berhasil 100 diwawancara setelah Ludra adalah I Wayan Gunawan, calon kepala daerah yang diusung oleh Partai Golkar. Kesulitan dalam melakukan wawancara dengan Gunawan adalah waktu yang dimiliki Gunawan sangat terbatas. Gunawan pun berulang kali membatalkan janji wawancara dikarenakan kesibukannya sebagai anggota DPRD Provinsi Bali dan Ketua DPD Golkar Bangli. Namun akhirnya wawancara dapat terwujud pada tanggal 12 Juli 2012. Berlatarbelakang ilmu komunikasi dan mengerti media massa, wawancara dengan Gunawan berlangsung terbuka dan Gunawan banyak mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui atau diperkirakan oleh peneliti. Informan berikutnya adalah I Wayan Arsada. Proses wawancara Arsada pun tidaklah mudah. Arsada adalah seorang guru dan pada waktu peneliti mencari waktu wawancara Arsada sedang dalam proses pemenuhan syarat sertifikasi guru di Singaraja selama dua bulan. Maka peneliti mencoba mencari kesediaan waktu Arsada di tengah kesibukan Arsada. Wawancara akhirnya berhasil dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2012 di hotel tempat Arsada menginap selama pelatihan sertifikasi guru di Singaraja. Oleh karena Arsada sedang dalam proses pelatihan maka waktu yang dimiliki beliau pun terbatas yakni hanya sejak pagi hingga siang hari. Pertama kali Arsada enggan mengungkapkan biaya dan bagaimana hubungan pasangan ini dengan media cetak, namun setelah proses wawancara akhirnya Arsada pun terbuka dan memberikan informasi yang dibutuhkan. 101 Informan berikutnya adalah I Made Gianyar. Gianyar adalah pemenang dalam pertarungan aktor politik di pemilukada Bangli. Sebagai seorang bupati tentu saja peneliti mengalami kesulitan dalam mencari kesediaan waktu Gianyar. Setelah memasukkan surat permohonan wawancara, peneliti harus menunggu kurang lebih satu setengah bulan agar Gianyar bersedia meluangkan waktunya untuk diwawancarai. Proses wawancara berlangsung di rumah jabatan Gianyar di Bangli pada tanggal 5 September 2012 pada pukul 9 pagi hingga pukul 10 pagi. Sebagai seorang bupati jawaban yang dikeluarkan oleh Gianyar cenderung normatif dan tidak terbuka. Namun setelah ditelisik lebih lanjut Gianyar bersedia memberikan data-data yang diperlukan peneliti. Gianyar pun memberikan kewenangan kepada asisten pribadinya untuk memberikan data-data penunjang yang diperlukan oleh peneliti. Setelah pertemuan singkat dengan Gianyar, apabila ada data yang masih diperlukan oleh peneliti, peneliti langsung menghubungi asisten pribadi Gianyar yang ternyata telah bersama Gianyar sejak Gianyar menjabat sebagai wakul bupati Bangli. Informan yang paling sulit untuk dihubungi dan ditemui berikutnya adalah I Bagus Made Brahmaputra. Peneliti tidak berhasil menghubungi Brahmaputra melalui telepon untuk memohon kesediaan Brahmaputra wawancara. Hal ini dikarenakan telepon Brahmaputra tidak dapat menerima telepon dari nomor-nomor yang tidak dikehendaki atau terdaftar di telepon Brahmaputra. Akhirnya peneliti mencoba mencari rumah Brahmaputra di daerah Penatih, Denpasar. Setelah peneliti langsung ke rumah Brahmaputra, peneliti akhirnya bertemu langsung dengan Brahmaputra 102 pada tanggal 11 Juli 2013. Pertama kali Brahmaputra enggan untuk diwawancara namun setelah memohon akhirnya Brahmaputra bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan. Ia pun mengungkapkan bahwa ia memang tidak pernah menerima telepon dari nomor yang tidak tercatat di telepon genggamnya. 3.6.2 Studi Dokumen Penelitian ini tentu saja menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi dokumen. Hal ini disebabkan karena ingin mendapatkan data dari kejadian yang telah lewat. Penelitian studi dokumen berpijak pada data yang ada. Data ini bisa merupakan sumber primer (primary sources) atau sumber sekunder (secondary sources). Sumber primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa. Ia dapat berupa orang atau benda (tape recorder, kamera) yang hadir dalam peristiwa tertentu. Peneliti sejarah membedakan dua jenis sumber primer : record dan relics. Record adalah kesaksian mata yang disengaja. Kesaksian seperti ini dapat mengaburkan penafsiran sejarah dan memerlukan penelitian yang mendalam tentang motivasi pencatatan kesaksian itu. Record dapat berupa dokumen, rekaman lisan atau karya seni. Relics adalah rekaman peristiwa yang tidak dimaksudkan untuk merekam peristiwa sejarah. Catatan neraca keuangan, bahasa, tradisi masyarakat, artifak seperti peralatan atau mesiu dapat dimasukkan ke dalam kelompok relics. 103 Data harus diteliti dari segi keaslian (otensitas; authenticity) dan kepercayaan (kredibilitas; credibility). Penelitian segi pertama disebut kritik eksternal. Bila menggunakan suatu dokumen, ia akan mencatat tanggal dokumen dan menentukan apakah bahan dokumen berasal dari zaman yang sama. Bila tidak terjadi penyesuaian, sumber-sumber itu dikatakan anakronitis (tidak sezaman). Dalam penelitian, peneliti meneliti dokumen-dokumen terkait dengan pemilukada Bangli. Dokumen yang dimaksud antara lain Undang-Undang yang terkait dengan Pemilukada dan pemerintahan daerah, dokumen berupa berkas-berkas pemilukada Bangli yang dikeluarkan oleh KPUD Bangli, dokumen rekapitulasi perolehan suara hasil rapat pleno KPUD Bangli, hingga berkas keputusan Mahkamah Konstitusi. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah isi dari tiga media cetak selama proses pemilukada di Bangli yang dijadikan sumber data yakni Bali Post, NusaBali, dan Radar Bali. Adapun media yang dikumpulkan yakni sejak tanggal mulai kampanye hingga penetapan pemenang pasca-pemilihan ulang. Adapun kesulitan dalam mengumpulkan bahan-bahan ini adalah ada beberapa hari yang terlewatkan dalam proses dokumentasi sehingga peneliti harus ke kantor media tersebut untuk memohon data yang terlewatkan. Dari data yang akhirnya terkumpulkan, peneliti menganalisis beragam bentuk komunikasi politik yang dilakukan kelima pasangan calon kepala daerah dan proses pemilukada di Bangli. 104 Ada beberapa langkah analisis yang dilakukan peneliti. Langkah pertama dalam melakukan studi dokumen ini adalah memilah dokumen yang ada berdasarkan bentuk komunikasi politik yang digunakan seperti artikel berita, iklan, advertorial, dan artikel berita berbayar. Langkah analisis berikutnya adalah menganalisis secara kuantitatif berapa jumlah bentuk komunikasi politik yang dilakukan masing-masing pasangan calon. Langkah analisis berikutnya adalah analisis kualitatif atas pesan komunikasi politik yang dikontruksi di media cetak tersebut. 3.6.3 Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi di antara subjek yang diriset (Kriyantono,2010:111). Teknik observasi mengedepankan pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian. Hal ini penting untuk mampu menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian, menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia, dan evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu. Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu obervasi partisipatif, tidak berstruktur, dan kelompok tidak terstruktur. Penelitian ini menggunakan observasi tidak berstruktur dimana observasi ini adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau 105 pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Observasi yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan langsung selama masa kampanye hingga pemilihan ulang. Ada pun pengamatan yang dilakukan antara lain mengamati alat kampanye luar ruang seperti baliho, spanduk hingga leaflet, mengamati proses kampanye terbuka beberapa calon kepala daerah, hingga memperhatikan distribusi koran yang dijadikan sarana komunikasi politik pada kandidat. Kesulitan yang ditemui dalam melakukan observasi adalah dalam mendokumentasikan bentuk-bentuk komunikasi politik luar ruang, masyarakat cenderung tertutup dan tidak bersedia untuk diabadikan dalam foto. 3.7 Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis wacana kritis. Di mana memandang bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Guy Cook (1994:1) mengatakan analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikaskan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe 106 dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Titik tolaknya adalah bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme interna dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Guy Cook menyebut terdapat tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana (Cook, 1994:3). Untuk menganalisis teks, maka akan digunakan analisis isi teks media yang cenderung kuantitatif. Menurut Wimmer & Dominick, analisis isi merupakan analisis yang dioperasikan oleh seperangkat kategori-kategori konseptual yang berkaitan dengan isi media dan secara kuantitatif menghitung ada atau tidaknya kategori tersebut dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda.[1] Pendekatan dasar untuk menerapkan teknik ini adalah memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi. (2) menetapkan kerangka teori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian, (3) memilih satuan analisis isi (kata, kalimat, alinea, kisah, gambar, urutan dan sebagainya (4) menyesuaikan isi dengan kerangka teori per satuan unit yang dipilih (5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau per contoh dalam hubungannya dengan frekuensi keterjadian hal-hal yang dicari untuk acuan. Secara singkat maka prosedurnya didasarkan atas dua asumsi utama yaitu hubungan antara objek acuan eksternal dan acuannya dalam teks akan cukup jelas dan tidak mendua dan frekuensi perwujudan acuan yang terpilih secara sahih akan mengungkapkan ”arti” utama teks secara objektif. 107 Menurut Wimmer & Dominick (2000) analisis isi didefinisikan sebagai suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak atau tidak tampak. Analisis isi (content analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. (Klaus Krippendorff:1993 dalam Burhan Bungin, 2003:172). Analisis isi pada perkembangannya tidak cukup digunakan untuk menekankan isi pesan sebagai area terpenting dalam analisis ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya analisis isi secara kuantitatif seperti ini dianggap sebagai cara tradisional dan berkembang menjadi ilmu analisis wacana, analisis semiotik dan analisis framing. Kelebihan dari analisis isi adalah mampu menyajikan secara lebih sistematis, kuantitatif dan deskriptis sementara kekurangannya tidak mampu menganalisis lekaklekuk teks secara lebih detail. Dengan kata lain, analisis isi memiliki keterbatasan untuk menganalisis isi pesan apalagi sampai ke tingkat ideologis, padahal pesan dalam sebuah media terlebih media massa merupakan bangunan yang dibentuk dari struktur bahasa yang terdiri dari lambang-lambang (sign) dan berfungsi menyampaikan pesan dari si pengirim pesan melalui penerima pesan. Kurang lebih bisa dikatakan bahwa pesan dapat dianalisis melalui alat penghantarnya yaitu struktur tanda itu sendiri. Sedangkan untuk menganalisis konteks, maka akan digunakan analisis framing. Analisis framing digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu 108 wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi (Eriyanto,2002:xiv). Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi media. Dengan cara apa peristiwa ditekan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari tehnik jurnalistik tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan (Eriyanto,2002:3). Dalam analisis ini, yang dilakukan adalah melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted, sebaliknya wartawan dan medialah yang secara aktif membentuk realitas. Jadi, dalam penelitian framing, yang menjadi titik persoalan adalah bagaimana realitas atau peristiwa dikonstruksi oleh media. Pendekatan analisis wacana yang digunakan adakah pendekatan perubahan sosial, di mana memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat 109 dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu (Eriyanto,2001:17). Analis Norman Fairclough (1998) membangun analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Fairclough membagi analisis wacana dalam tiga dimensi; teks, discourse practice, dan sociocultural practice. (Eriyanto, 2001:285-286). Penelitian akan mengikuti teknik analisis wacana yang dikenalkan oleh Fairclough dimana terdiri atas dimensi teks, discourse practice dan sociocultural practice. Pada dimensi teks akan digunakan analisis isi secara kuantitatif. Objek penelitiannya adalah semua bentuk komunikasi yang dilakukan para calon kepala daerah di Kabupaten Bangli pada pemilukada 2010 melalui media cetak Bali Post, NusaBali, dan Radar Bali sejak masa kampanye hingga masa pemilihan ulang. Teks pada tahap ini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Elemen ini digunakan untuk melihat tiga masalah, yakni pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Pada dimensi discourse practice, akan digunakan teknik analisis framing, dimana mencoba menghubungkan proses produksi dengan konsumsi teks. Sebuah teks berita pada dasarnya dihasilkan melalui proses produksi teks yang berbeda, seperti bagaimana pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Proses konsumsi teks bisa jadi juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula. 110 Konsumsi juga bisa dihasilkan secara personal ketika seseorang mengkonsumsi teks atau secara kolektif. Pada dimensi sociocultural practice, akan melihat hubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih luas adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu. Objek penelitian pada kedua tingkat ini adalah melalui wawancara mendalam kepada wartawan, redaktur media massa, hingga pelaku/aktor politik. 3.8 Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data akan disajikan baik dalam bentuk narasi kualitatif dari hasil analisis data yang melibatkan pemeriksaan, pemilahan, penggolongan, evaluasi, perbandingan, sintesis, dan perenungan data yang dikodekan serta mengkaji data mentah dan data yang direkam (Neuman:2013,570). Sebagian besar bentuk analisis data kualitatif melibatkan coding dan menulis memo analitis (Neuman:2013,594). Untuk menunjang paparan narasi tersebut maka digunakan pula sajian penunjang seperti bagan dan tabel. Data yang terkumpul diharapkan mendapat penjelasan lebih mendalam dalam bentuk narasi yang bersifat kualitatif. Hasil analisis disajikan dalam delapan bab. Bab I adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah dan rumusan masalah. Bab II adalah kerangka 111 teori dan konsep yang menyajikan teori yang digunakan dan menguraikan kerangka konsep yang terkait dengan permasalahan. Bab III adalah metodelogi di mana menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis permasalahan. Bab V hingga bab VII adalah analisis utama. Bab V membahas mengenai bentuk pertarungan aktor politik di media cetak. Bab VI menguraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Bab VII mengulas mengenai dampak dan makna pertarungan aktor politik, temuan dan refleksi penelitian. Bab terakhir yakni bab VIII adalah bab simpulan dan saran. BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN Objek penelitian ini adalah pertarungan aktor politik dalam media massa pada pemilukada di Bangli tahun 2010. Objek penelitian terbagi dalam empat bagian, yakni pemaparan mengenai Kabupaten Bangli. Bagian berikutnya adalah pemilukada Bangli 2010. Bagian penelitian ketiga adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bertarung dalam pemilukada Bangli 2010. Bagian keempat adalah media cetak yang digunakan sebagai tempat bertarung antar aktor politik dalam pemilukada Bangli 2010. 4.1 Kabupaten Bangli Kabupaten Bangli merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali dengan luas wilayah mencapai 520,81 kilometer persegi atau 52.081 hektar, sekitar 9,25 persen dari luas wilayah Propinsi Bali. Secara administratif Kabupaten Bangli dibagi menjadi 4 kecamatan 4 kelurahan dan 56 desa. Kabupaten Bangli terletak di sebelah timur laut Kota Denpasar, kota beriklim sejuk ini berjarak 40 kilometer atau satu jam perjalanan dari Kota Denpasar. Kabupaten Bangli merupakan satu-satunya kabupaten 112 113 di Bali yang tidak mempunyai wilayah laut karena berada di tengah-tengah Pulau Bali, meski demikian Kabupaten Bangli menyimpan sejumlah potensi menjanjikan seperti keindahan panorama gunung dan Danau Batur di Kintamani. Bangli terletak pada ketinggian antara 100 hingga 2.152 meter dari permukaan laut. Dengan kondisi geografis seperti ini segala jenis tanaman bisa tumbuh di daerah ini. Secara geografis di bagian selatan Bangli merupakan daerah dataran rendah. Sementara di bagian utara merupakan wilayah pegunungan. Puncak tertinggi adalah Puncak Penulisan. Sementara Gunung Batur di Kintamani dengan kepundannya, Danau Batur memiliki luas sekitar 1.067, 50 hektar. Selanjutnya mengenai data kependudukan, jumlah dan kepadatan penduduk Bangli berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten Bangli sebanyak 192.681 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 1990-2000 sebesar 0,92% per tahun. Sedangkan dari hasil registrasi penduduk keadaan akhir tahun 2008 penduduk Kabupaten Bangli tercatat jumlahnya 213.808 jiwa dengan laju pertumbuhan untuk tahun 2000-2008 sebesar 0,41%, dengan kepadatan rata-rata 411 jiwa/km2, sex rationya adalah 99,50. Selain itu juga kepadatan penduduk Bangli dipengaruhi oleh mutasi penduduk baik yang disebabkan oleh kelahiran, kematian dan perpindahan yang masuk maupun yang keluar wilayah. Berdasarkan data registrasi penduduk Kabupaten Bangli tahun 2008 tercatat jumlah kelahiran sebanyak 2.140 orang, kematian sebanyak 1.285 orang. Sedangkan penduduk yang masuk ke Kabupaten Bangli sebanyak 963 orang dan yang keluar dari Kabupaten Bangli 114 sebanyak 936 orang. Adapun jumlah penduduk dan jumlah data potensial pemilih pemilu pada pemilukada Kabupaten Bangli 2010 dapat dilihat dalam tabel 4.1.. Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin NO KECAMATAN JENIS KELAMIN LAKI PEREMPUAN JUMLAH KK JUMLAH PENDUDUK 1. Susut 22.212 21.983 12.075 44.195 2. Bangli 23.456 23.354 12.156 46.810 3. Tembuku 20.234 19.864 10.632 40.098 4. Kintamani 49.181 47.724 24.699 96.905 JUMLAH 115.083 112.925 59.562 228.008 Sumber : KPUD Bangli, 2010 Dari jumlah penduduk yang mencapai 228.008 jiwa, kecamatan dengan tingkat penduduk yang tertinggi adalah Kecamatan Kintamani dengan jumlah penduduk mencapai 96.905 jiwa, hampir dua kali lipat dibandingkan ketiga kecamatan lainnya di Bangli seperti Kecamatan Susut, Bangli, dan Tembuku. Jumlah penduduk yang lebih besar di Kecamatan Kintamani ini membuat Kecamatan Kintamani sebagai kecamatan yang menentukan dalam pemilukada. Kecamatan Kintamani ini pun tidak pernah melahirkan tokoh yang menjabat sebagai Bupati Bangli. Karakteristik lainnya adalah jumlah penduduk laki-laki yang lebih besar daripada jumlah penduduk perempuannya. Jumlah penduduk laki-laki yang lebih 115 besar membuat karakteristik masyarakat di Bangli lebih menonjolkan sifat-sifat yang lebih maskulin dan keras. Kawasan permukiman di Kabupaten Bangli dilayani pusat-pusat kegiatan yang telah bekembang terutama kawasan perkotaan Bangli sebagai ibukota Kabupaten Bangli, Ibukota-ibukota Kecamatan (Susut, Bangli, Tembuku, Kintamani), pusat-pusat kegiatan wisata (Penelokan, Toyabungkah), pusat-pusat pertanian (Catur, Belantih), Pusat Kegiatan Spiritual (Batur) dan lainnya. Beberapa pemukiman perdesaan atau kawasan perdesaan terutama di wilayah Kecamatan Kintamani jaraknya cukup jauh dari pusat pelayanan. Lahirnya sebuah kota tentunya banyak mitos dan sejarah yang mengiringinya, terdapat sejarah mengenai penetapan hari lahirnya Kota Bangli. Menurut Prasasti Pura Kehen kini tersimpan di Pura Kehen, diceritakan bahwa pada zaman silam di Desa Bangli berkembang wabah penyakit yang disebut kegeringan yang menyebabkan banyak penduduk meninggal. Penduduk lainnya yang masih hidup dan sehat menjadi ketakutan setengah mati, sehingga mereka berbondong-bondong meninggalkan desa guna menghindari wabah tersebut. Akibatnya Desa Bangli menjadi kosong karena tidak ada seorangpun yang berani tinggal di sana. Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang bertahta kala itu dengan segala upaya berusaha mengatasi wabah tersebut. Setelah keadaan pulih kembali sang raja yang kala itu bertahta pada tahun Caka 1126, tanggal 10 tahun Paro Terang, hari pasaran Maula, Kliwon, Chandra (senin), Wuku Klurut tepatnya tanggal 10 Mei 116 1204, memerintahkan kepada putra-putrinya yang bernama Dhana Dewi Ketu agar mengajak penduduk ke Desa Bangli guna bersama-sama membangun memperbaiki rumahnya masing-masing sekaligus menyelenggarakan upacara/yadnya pada bulan Kasa, Karo, katiga, Kapat, Kalima, Kalima, Kanem, Kapitu, kaulu, Kasanga, Kadasa, Yjahstha dan Sadha. Di samping itu beliau memerintahkan kepada seluruh penduduk agar menambah keturunan di wilayah Pura Loka Serana di Desa Bangli dan mengijinkan membabat hutan untuk membuat sawah dan saluran air. Untuk itu pada setiap upacara besar penduduk yang ada di Desa Bangli harus sembahyang. Pada saat itu juga, tanggal 10 Mei 1204, Raja Idha Bhatara Guru Sri Adikunti Katana mengucapkan pemastu yaitu; Barang siapa yang tidak tunduk dan melanggar perintah, semoga orang itu disambar petir tanpa hujan atau mendadak jatuh dari titian tanpa sebab, mata buta tanpa catok, setelah mati arwahnya disiksa oleh Yamabala, dilempar dari langit turun jatuh ke dalam api neraka. Bertitik tolak dari titah-titah Sang Raja yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1204, maka pada tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Bangli. Selain itu pada saat jaman kerajaan Bangli pernah memiliki peran yang amat penting terutama pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 saat itu di Bali merupakan masa jaya pemerintahan Raja Udayana dan Dinasti Warmadewa. Berbagai prasasti dan catatan penting tentang sejarah penjalanan Bali banyak ditemukan di daerah Bangli Pura Bukit Panulisan di utara Kintamani memberi gambaran penjalanan sejarah Bali. Tatanan masyarakat dan dialek bicara masyarakat 117 di daerah pegunungan Kintamani menunjukkan bahwa Bangli memegang peran penting dalam sejarah tatanan masyarakat Bali mula hingga kini masih terpelihara dengan baik. Kondisi alam Bangli khususnya di wilayah perbukitan dan pegunungan yang didominasi oleh tebing dan jurang ini membentuk karakter masyarakat yang berbeda dengan wilayah lainnya. Karakter masyarakat cenderung keras dan sulit menerima hal-hal yang baru dari luar wilayah mereka. Tidak heran apabila sering terjadi konflik di Trunyan, Kedisan, Songan, Buahan, yang desanya terletak di wilayah pegunungan. Konflik yang terjadi bukan konflik antar desa, melainkan konflik antar banjar dalam satu desa adat yang sama. Tentunya sangat meresahkan kehidupan bermasyarakat yang seharusnya harmonis, yang terjadi malah perpecahan yang sering dipicu oleh perebutan lahan. Pada masa kini di Bangli terjadi sebuah bentrokan. Bentrokan yang terjadi di Bangli antara masyarakat Desa Songan, Kintamani dengan warga Banjar Kawan, Bangli yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Tragedi ini sangat mencoreng nama Bangli yang terkenal sebagai kabupaten yang bersih, aman, nyaman, gairah, lestari, dan indah sesuai dengan namanya. Dialek masyarakat yang khas menjadi daya tarik juga, secara sosiologis kondisi alam selain mempengaruhi karakter namun juga dialek dalam berbicara menjadi unik. Walaupun kini Bangli sudah maju dan modern masih banyak masyarakat di wilayah Bangli yang masih hidup secara tradisonal dan mereka 118 berupaya mempertahankan nilai-nilai tersebut. Seperti yang dapat terlihat pada model hunian penduduk di daerah Pengotan Panglipuran Bayung Gede Sribatu dan desa kuno lainnya membuktikan struktur kependudukan yang tertata baik di masa lalu. Hingga periode 2010/2013 Kabupaten Bangli sudah pernah dipimpin oleh delapan orang bupati. Periode masa jabatan setiap bupati berbeda-beda dengan masa jabatan terpanjang adalah Ida Anak Agung Ketut Ngurah yang menjabat sejak tahun 1933 hingga 1960. Hal ini karena Ida Anak Agung Ketut Ngurah adalah Raja Bangli pada saat itu. Nama-nama Bupati Bangli sebelumnya dapat dilihat dalam tabel 4.2. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Tabel 4.2 Bupati Bangli dari Masa ke Masa Nama Bupati Periode Ida Anak Agung Ketut Ngurah 1933 – 1960 Ida Bagus Made Sutha 1960 – 1968 Drs. I Dewa Made Beratha 1968 - 1970 Tjokorde Gde Ngurah 1970 – 1975 I Ketut Winaya 1975 – 1985 Anak Agung Gede Putra, SH 1985 – 1990 Ida Bagus Gede Agung Ladip 1990 – 2000 I Nengah Arnawa, S.Sos, MM 2000 – 2010 I Made Gianyar, SH, M.Hum. 2010 – skrg Partisipasi masyarakat Bangli dalam politik bisa dikatakan cukup tinggi, terbukti dengan semakin banyak masyarakat yang peduli dengan calon pemimpin mereka dan juga kemana arah kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah demi kesejahteraan masyarakat Bangli. Namun, peningkatan partisipasi tersebut tidak berjalan merata. Di wilayah Bangli pedesaan, surat kabar sulit untuk masuk sehingga aktualisasi diri masyarakat setempat berkurang, mereka hanya mengandalkan televisi 119 saja untuk mengetahui perkembangan politik di Bangli. Selain itu permainan uang juga masih banyak terjadi dalam dunia politik di Bangli, seperti saat pemilihan bupati periode terakhir masyarakat masih banyak yang menantikan diberikan uang oleh para kandidat, tentunya kondisi ini memprihatinkan. Secara administratif Kabupaten Bangli terbagi menjadi empat daerah kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani, Kecamatan Tembuku, Kecamatan Susut dan Kecamatan Bangli. Mempunyai 72 Desa kelurahan dengan 332 banjar dinas/lingkungan. Dari 72 desa/kelurahan tersebut sebanyak 48 desa/kelurahan berada di Kecamatan Kintamani. Selain desa/kelurahan administratif terdapat juga desa pekraman sebanyak 159 buah yang merupakan lembaga tradisional yang memiliki hak otonomi dalam menjalankan pemerintahannya. Mata pencaharian masyarakat Bangli kota sudah beragam, seperti menjadi pegawai negeri sipil, bekerja pada bidang pariwisata, dan lainnya. Untuk masyarakat Bangli pedesaan masih terbatas pada petani, tukang kebun, nelayan, dan juga pedegang. Secara umum sosialisasi masyarakat Bangli terjalin harmonis mengingat Bangli merupakan kabupaten yang tidak banyak masyarakat pendatangnya. Selain itu tingkat pendidikan di Bangli kini semakin meningkat, sehingga semakin banyak usaha-usaha kreatif yang dibangun untuk mendukung perekonomian masyarakat. Bangli terkenal sebagai penghasil bambu yang tidak hanya keluar daerah namun juga keluar negeri. Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat Bangli untuk meningkatkan kreativitas dan perekonomian mereka. 120 4.2 Pemilukada Bangli 2010 Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang biasa disebut Pemilukada adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilukada Bangli 2010 adalah salah satu pemilukada yang dilaksanakan serentak pada tahun 2010 di Provinsi Bali. Kabupaten/Kota lain yang juga menyelenggarakan pemilukada adalah Denpasar, Badung, Karangasem, dan Tabanan. Dari lima kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilukada, pemilukada Bangli dan Tabanan adalah pemilukada yang cukup panas dan menyedot perhatian masyarakat. Pemilukada di dua daerah ini berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi. Proses pemilukada di Bangli ini adalah pemilukada yang disinyalir terjadi pelanggaranpelanggaran sehingga proses pemilukada di Bangli harus diulang di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS). Keputusan untuk mengulang pencoblosan suara di 12 TPS adalah hasil keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Berikut prosesi pemilukada di Bangli mulai dari pendataan penduduk yang berpotensi atau potensial pemilih pemilu. Jumlah penduduk di Kabupaten Bangli mencapai 228 ribu jiwa lebih. Dari 228.008 penduduk, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bangli mencatat terdapat 173.007 penduduk potensial sebagai pemilih Pemilu. Hal ini dapat dilihat dalam tabel 4.3.. 121 Tabel 4.3 Jumlah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) NO KECAMATAN 1. Susut 17.151 17.493 34.644 2. Bangli 17.804 18.369 36.173 3. Tembuku 15.382 15.435 30.817 4. Kintamani 35.851 35.522 71.373 86.188 86.819 173.007 JUMLAH JENIS KELAMIN LAKI PEREMPUAN JUMLAH DP4 Sumber : KPUD Bangli, 2010 Dari data dalam tabel 4.3 diketahui bahwa Kecamatan Kintamani memiliki jumlah potensial pemilih pemilu yang terbesar dibandingkan Kecamatan lainnya seperti Susut, Bangli, dan Tembuku. Jumlah pemilih di Kecamatan Kintamani jumlahnya dua kali lipat dibandingkan jumlah di salah satu Kecamatan lainnya di Bangli. Setelah mendapatkan jumlah penduduk potensial pemilih maka disusunlah daftar pemilih sementara. Panitia Pemungutan Suara (PPS) menyusun daftar pemilih sementara dan telah diumumkan pada tanggal 15 Desember 2009 di wilayah PPS masing-masing dengan jumlah rekapitulasi dalam tabel 4.4. Tabel 4.4 Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 NO 1. KECAMATA N Susut 2. Bangli 82 17.849 18.308 36.157 3. Tembuku 69 14.652 14.577 29.229 4. Kintamani 193 34.630 34.035 68.665 430 84.046 84.265 168.311 JUMLAH JUMLAH TPS 86 Sumber : KPUD Bangli, 2010 PEMILIH SEMENTARA LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL 16.915 17.345 34.260 122 Dari tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah pemilih di Kabupaten Bangli mencapai 168.311 pemilih yang terbagi dalam empat kecamatan. Kecamatan dengan jumlah pemilih terbanyak adalah di Kecamatan Kintamani yang mencapai 68.665 pemilih. Jumlah pemilih di Kecamatan Kintamani bahkan mencapai hampir 40 persen dari total pemilih di Kabupaten Bangli. Setelah proses penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dilakukan perbaikan untuk menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Dari hasil perbaikan Daftar Pemilih Sementara diatas, Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 diumumkan pada tanggal 1 Pebruari 2010 dengan rekapitulasi seperti dalam tabel 4.5 . Tabel 4.5 Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 NO. KECAMATAN LAKI PEMILIH PEREMPUAN TOTAL JUMLAH TPS 1 SUSUT 16.952 17.309 34.261 86 2 BANGLI 17.905 18.365 36.270 85 3 4 TEMBUKU KINTAMANI 14.593 34.539 14.520 33.977 29.113 68.516 70 193 JUMLAH 83.989 84.171 168.160 434 Sumber: KPUD Bangli, 2010 Jika dibandingkan antara Daftar Pemilih Sementara (DPS) dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) terdapat selisih sejumlah 151 orang pemilih, selisih tersebut merupakan hasil perbaikan karena beberapa hal antara lain; meninggal dunia, dibawah umur, anggota TNI/Polri, data ganda maupun pindah domisili/menikah keluar tempat 123 tinggal. Sehingga daftar pemilih tetap (DPT) Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 adalah sejumlah 168.160 (seratus enam puluh delapan ribu seratus enam puluh) orang pemilih. Namun dalam praktiknya, daftar pemilih tetap ini memicu kontroversi dimana terdapat nama-nama dalam daftar pemilih tetap yang pada saat hari pencoblosan tidak memilih sendiri namun diwakilkan. Adanya pemilih yang diwakilkan ini memicu konflik pemilukada Bangli hingga ke Mahkamah Konstitusi. KPUD Bangli memulai tahapan berikutnya dalam pemilukada di Kabupaten Bangli dengan kegiatan sosialisasi pemilukada. Pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik yang mendaftarkan diri ke KPUD Bangli adalah sebagai berikut : 1. Pasangan Calon Drs. I Wayan Gunawan dan A.A. Gede Artjana Agung, dikenal dengan nama pasangan GUNA dari gabungan partai politik : Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). 2. Pasangan Calon I Made Gianyar, SH, M.Hum dan Sang Nyoman Sedana Arta, yang kemudian lebih dikenal dengan nama pasangan GITA, dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 3. Pasangan Calon Drs. Ida Bagus Made Brahmaputra, S.Sos, MM dan I Wayan Winurjaya, SE dari gabungan partai politik : Partai Demokrat, Partai Pemuda Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai 124 Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan PNI Marhaenisme. Pasangan ini kemudian dikenal dengan nama pasangan Brahmawijaya. Sesuai dengan pengumuman Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 271/38/KPU tanggal 3 Pebruari 2010 pasangan calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Kepala Daerah adalah : 1. Pasangan Calon Drs. Ida Bagus Ketut Agung Ludra dan I Nyoman Durpa, BA dengan jumlah dukungan sejumlah yang memenuhi syarat sejumlah 16.967 dengan rincian seperti dalam tabel 4.6 di bawah ini. Tabel 4.6 Rekapitulasi Jumlah Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 No Jumlah dukungan Kecamatan Hasil verifikasi yang diajukan MS TMS 1. Bangli 9.006 8.246 760 2. Susut 3.097 2.739 358 3. Tembuku 4.511 3.872 639 4. Kintamani 2.626 2.110 516 JUMLAH 19.240 16.967 2.273 Sumber: KPUD Bangli, 2010 Keterangan : MS : memenuhi syarat TMS : tidak memenuhi syarat Sumber : KPUD Bangli 2. Pasangan Calon I Wayan Arsada, S.Pd, M.Ag dan Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd yang kemudian lebih dikenal dengan nama pasangan 125 ALAs, dengan jumlah dukungan sejumlah 18.802 dengan rincian seperti dalam tabel 4.7. Tabel 4.7 Rekapitulasi Jumlah Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 Jumlah HASIL VERIFIKASI NO KECAMATAN dukungan yang diajukan MS TMS 1. Bangli 9.749 8.089 1.660 2. Susut 3.131 2.677 454 3. Tembuku 3.967 3.652 315 4. Kintamani 6.966 4.384 2.582 JUMLAH 23.813 18.802 5.011 Sumber: KPUD Bangli, 2010 Keterangan : MS : memenuhi syarat TMS : tidak memenuhi syarat Sumber KPUD Bangli Dari hasil verifikasi yang dilakukan terhadap dukungan yang diajukan oleh kedua pasangan calon perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli 2010, telah memenuhi syarat dukungan lebih dari 14.821 sesuai dengan Syarat Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 yang ditetapkan KPU Kabupaten Bangli berdasarkan Surat Keputusan Nomor 271/38/KPU tertanggal 4 Desember 2009 tentang Syarat Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010. Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor : 126 278/18/KPU, tanggal 6 Maret 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010. Pengambilan nomor urut peserta Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 diselenggarakan dalam rapat pleno KPU Kabupaten Bangli di Gedung Sasana Budaya Giri Kusuma Bangli pada tanggal 5 Maret 2010 dengan nomor urut sebagai berikut; Tabel 4.8 Nomor Urut Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut Nama Pasangan 1 Ida Bagus Ketut Agung Ludra - I Nyoman Durpa 2 I Wayan Gunawan - A.A. Gede Artjana Agung (GUNA) 3 I Made Gianyar - Sang Nyoman Sedana Arta (GITA) 4 I Wayan Arsada - I Wayan Lasmawan (ALAS) 5 Ida Bagus Made Brahmaputra - I Wayan Winurjaya (Brahmawijaya) Setelah penetapan nomor urut pasangan calon, tahapan pemilukada masuk ke tahap kampanye Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilakukan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis, serta bertanggungjawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang dimaksud adalah dengan mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kampanye Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat dilaksanakan dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap muka dan dialog, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, debat publik/debat terbuka antar calon, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan, 127 antara lain kegiatan deklarasi atau konvensi pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik, acara ulang tahun/milad, kegiatan sosial dan budaya, perlombaan olahraga, istighosah, jalan santai, tabligh akbar, kesenian dan bazaar serta rapat umum. Pembukaan kegiatan kampanye pasangan calon Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 dilaksanakan pada tanggal 17 April 2010 di Gedung Sasana Budaya Giri Kusuma Bangli dan ditutup pada tanggal 30 April 2010 dengan kegiatan persembahyangan bersama dengan seluruh pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Pura Kehen Bangli. Seluruh kegiatan kampanye yang diselenggarakan oleh masing-masing pasangan calon maupun yang difasilitasi oleh KPU Kabupaten Bangli. Dalam upaya memfasilitasi kampanye dalam bentuk debat publik/debat terbuka antar calon, KPU Kabupaten Bangli menyelenggarakan kegiatan debat publik antar calon yang disiarkan secara langsung melalui media televisi maupun radio. Kegiatan kampanye dalam bentuk yang lain dilaksanakan oleh pasangan calon atau tim kampanye masing-masing pasangan calon dengan jadwal yang telah disepakati oleh masing-masing tim kampanye disusun oleh KPU Kabupaten Bangli. Pemilukada berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010 secara serentak di 434 TPS yang tersebar di empat kecamatan di Bangli. Pada tanggal 11 Mei 2010, KPUD Bangli menyelenggarakan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Bangli untuk penetapan hasil penghitungan suara pemilukada. Dari hasil 128 penghitungan suara di 434 (empat ratus tiga puluh empat) TPS, rekapitulasi di empat PPK dan rekapitulasi di KPU, KPU menetapkan rincian perolehan suara masingmasing pasangan calon seperti dalam tabel 4.9. Tabel 4.9 Data Perolehan Suara Masing-Masing Pasangan Calon Hasil Pleno 11 Mei 2010 NO SUARA SAH PASANGAN BANGLI 1 2 3 4 5 Ida Bagus Ketut Agung Ludra I Nyoman Durpa I Wayan Gunawan A.A.Gede Artjana Agung I Made Gianyar Sang Nyoman Sedana Arta I Wayan Arsada, I Wayan Lasmawan Ida Bagus Made Brahmaputra I Wayan Winurjaya JUMLAH SUARA SAH KECAMATAN TEMBUKU SUSUT KINTAMANI JUMLAH AKHIR 1.524 511 687 1.676 4.398 873 831 791 8.011 10.506 8.612 7.957 7.907 28.416 52.892 3.476 5.224 6.013 9.412 24.125 15.168 9.933 14.686 9.773 49.560 29.653 24.456 30.084 57.288 141.481 534 483 555 1.113 2.685 JUMLAH SURAT SUARA TIDAK SAH Sumber : KPUD Bangli, 2010 Usai penetapan hasil pemilukada Bangli oleh KPUD, ternyata terdapat gugatan atau keberatan dari salah satu pasangan calon, yakni pasangan Brahmawijaya. Hal ini dimungkinkan dan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pasangan yang mengajukan keberatan dalah pasangan calon dengan nomor urut 5 yaitu Pasangan Calon Ida Bagus Made Brahmaputra dan I Wayan Winurjaya (Brahmawijaya). Brahmawijaya mengajukan keberatan terhadap penetapan Hasil 129 Perhitungan Suara Pemilukada Kabupaten Bangli Tahun 2010 ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 2010. Brahmawijaya menyatakan keberatan terhadap Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/28/KPU tertanggal 11 Mei 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 yang menetapkan Pasangan Nomor Urut 3, I Made Gianyar, SH, M.Hum. dan Sang Nyoman Sedana Arta sebagai Pasangan Calon Terpilih Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010. Brahmawijaya menilai dalam pelaksanaan pemilukada terdapat beberapa kecurangan dan pelanggaran, seperti pemilih yang diwakilkan, dan pemilih ganda. Dari keberatan atau gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 3 Juni 2010 menjatuhkan putusan sela dengan Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 dalam perkara permohonan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Provinsi Bali yang diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 5 sebelum menjatuhkan Putusan Akhir. Adapun keputusannya adalah memerintahkan kepada KPU Kabupaten Bangli untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang dan menyerahkan hasil pemungutan suara ulang di beberapa TPS seperti dalam tabel 4.10. 130 Tabel 4.10 TPS yang melakukan hasil pemungutan suara ulang No Kecamatan TPS 1 Kintamani 2 Bangli 3 Tembuku 1) Desa Serai TPS 01, 2) Desa Serai TPS 02, 3) Desa Satra TPS 08, 4) Desa Selulung TPS 02, 5) Desa Pengejaran TPS 01, 6) Desa Sukawana TPS 08, 7) Desa Bantang TPS 01, 8) Desa Bantang TPS 02, 9) Desa Binyan TPS 01, 10) Desa Pengotan TPS 08 1) Desa Yang Api TPS 13, 2) Desa Yang Api TPS 14, Sumber: KPUD Bangli, 2010 Untuk itu pula Mahkamah Konstitusi menangguhkan berlakunya Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/28/KPU tertanggal 11 Mei 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 dan Berita Acara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/391/KPU tertanggal 11 Mei 2010 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli 2010. KPUD Bangli sesaat setelah keputusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan segera bergerak untuk memproses pemungutan suara ulang Pemilukada di 12 TPS 131 yang telah ditentukan. Adapun jadwal yang dilaksanakan adalah seperti tertuang dalam tabel 4.11. Tabel 4.11 Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten Bangli Tahun 2010 No Hari/Tanggal Kegiatan 1 7 Juni 2010 Rapat Pleno 2 8-13 Juni 2010 Pembentukan KPPS 3 14 Juni 2010 Pelantikan dan Bimtek 4 15-20 Juni 2010 Persiapan Logistik (Sosialisasi) 5 21-23 Juni 2010 Penyampaian Undangan pada Pemilih 6 24-25 Juni 2010 Pengiriman Logistik 7 26 Juni 2010 Pemungutan Suara Ulang 8 27 Juni 2010 Rekapitulasi di PPK 9 28 Juni 2010 Rekapitulasi di KPU 10 29-30 Juni 2010 Pengesahan hasil ke Makamah Konstitusi Sumber : KPUD Bangli, 2010 Adapun jumlah DPT di 12 TPS tersebut tertuang dalam tabel 4.12. Tabel 4.12 Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemungutan Suara Ulang di 12 TPS Tanggal 26 Juni 2010 NO KECAMATAN JUMLAH PEMILIH LAKI-LAKI PEREMPUAN 190 203 JML 393 JUMLAH TPS 1 BANGLI 2 TEMBUKU 366 328 694 2 3 KINTAMANI 1.965 1.887 3.852 9 2521 2418 4939 12 JUMLAH KAB . BANGLI Sumber : KPUD Bangli, 2010 1 132 Pemungutan suara ulang di 12 TPS di Bangli dilaksanakan pada tanggal 26 Juni 2010. Mekanisme pemungutan dan penghitungan suara sama seperti pada saat pemungutan dan penghitungan suara sebelumnya. Pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos pada salah satu pasangan calon dalam surat suara yang berisi nomor, foto dan nama pasangan calon dan dilaksanakan secara serentak di 12 (dua belas) TPS dimulai pada pukul 07.00 dan berakhir pukul 13.00. Hasil rekapitulasi pemungutan suara ulang di 12 (dua belas) TPS dapat dilihat dalam tabel 4.13. Tabel 4.13 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 KECAMATAN NO SUARA SAH PASANGAN CALON 1 Ida Bagus Ketut Agung Ludra I Nyoman Durpa 2 I Wayan Gunawan A.A.Gede Artjana Agung 3 I Made Gianyar Sang Nyoman Sedana Arta 4 I Wayan Arsada I Wayan Lasmawan 5 Ida Bagus Made Brahmaputra I Wayan Winurjaya JUMLAH SELURUH SURAT SUARA SAH JUMLAH SELURUH SURAT SUARA TIDAK SAH JML AKHIR BANGLI TEMBUKU SUSUT KINTAMANI 3 2 - 18 23 - 3 - 20 23 192 278 - 2.542 3.012 5 7 - 24 36 152 300 - 820 1.272 352 5 590 5 - 3.424 40 4.366 50 Sumber : KPUD Bangli, 2010 Dari hasil pemungutan suara ulang di 12 TPS tersebut, KPUD Bangli selanjutnya melakukan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan 133 Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tingkat Kabupaten Bangli Tahun 2010. Adapun hasilnya adalah seperti dalam tabel 4.14. Tabel 4.14 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilukada Bangli Tahun 2010 NO KECAMATAN SUARA SAH PASANGAN CALON BANGLI TEMBUKU SUSUT KINTAMANI JUMLAH AKHIR 1.525 513 687 1.666 4.391 843 765 791 7.767 10.166 8.732 8.106 7.907 28.726 53.471 3.274 5.006 6.013 3.951 23.244 15.248 9.967 14.686 9.981 49.882 29.622 539 24.357 486 30.084 555 57.091 1.133 141.154 2.713 Ida Bagus Ketut Agung Ludra I Nyoman Durpa I Wayan Gunawan 2 A.A.Gede Artjana Agung I Made Gianyar 3 Sang Nyoman Sedana Arta I Wayan Arsada 4 I Wayan Lasmawan Ida Bagus Made Brahmaputra 5 I Wayan Winurjaya JUMLAH SELURUH SURAT SUARA SAH JUMLAH SELURUH SURAT SUARA TIDAK SAH 1 Sumber : KPUD Bangli, 2010 Terdapat perbedaan jumlah suara sah yang dimiliki oleh tiap-tiap pasangan calon. Pasangan Bramawijaya yang sebelumnya memperoleh 49.560 suara setelah pemilihan ulang jumlah suaranya naik menjadi 49.882 suara. Pasangan GITA pun mengalami kenaikan jumlah suara. Bahkan kenaikan jumlah suara yang dialami GITA naik cukup signifikan yakni dari 52.892 menjadi 53.471 suara sah. Hasil ini mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan penetapan pemenang pemilukada Bangli 2010, yakni pasangan GITA. 134 Secara umum jika dibandingkan antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) sejumlah 168.160 dengan tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya sejumlah 143.867 maka dapat digambarkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten Bangli Tahun 2010 adalah sebesar 85,55 % dengan demikian hanya 14,45 % pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten Bangli Tahun 2010. Angka partisipasi ini termasuk dalam kategori yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan daerah lain, maupun di tingkat provinsi Bali sendiri. Pada pemilu legislatif 2009 lalu berdasarkan data KPU Provinsi Bali, angka golput atau pemilih yang tidak menggunakan suaranya bahkan mencapai 26 persen. Oleh karena itu angka golput yang hanya 14,45 persen di Bangli jauh lebih rendah, hal ini menunjukkan kesadaran politik masyarakat di Bangli untuk menggunakan hak suaranya sudah cukup tinggi. Angka kesadaran politik dapat dilihat dalam grafik 4.1. 135 Grafik 4.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Menggunakan Hak Pilih 24.293 Menggunakan Hak Pilih 143.867 Tidak Menggunakan Hak Pilih Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 tersebut di atas lebih lanjut sebagai dasar penetapan pasangan calon terpilih yang ditetapkan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/30/KPU tertanggal 12 Juli 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli 2010, menetapkan Pasangan Calon I Made Gianyar, SH, M.Hum. dan Sang Nyoman Sedana Arta memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dengan perolehan 53.471 suara (37,88%) ditetapkan sebagai pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010. 136 4.3 Aktor Politik Aktor politik yang dijadikan objek penelitian adalah tokoh yang menjadi calon kepala daerah dalam pemilukada di Bangli 2010, juru kampanye atau juru bicara pasangan calon pemilukada, hingga perwakilan partai politik yang mengusung pasangan calon kepala daerah dalam pemilukada Bangli 2010. 4.3.1 Pasangan Ida Bagus Ketut Agung Ludra- I Nyoman Durpa Pasangan dengan nomor urut satu ini adalah pasangan yang mendaftar melalui jalur perseorangan. Ida Bagus Ketut Agung Ludra lahir di Bangli pada tanggal 1 April 1963 dan bertempat tinggal di Jl. Nusantara 117 Banjar Brahmana Bukit, Kelurahan Cempaga, Bangli. Ida Bagus Ketut Agung Ludra adalah anak keempat dari mantan Bupati Bangli atas nama Ida Bagus Suta. IBK Agung Ludra memiliki Sembilan saudara kandung di antaranya adalah Ida bagus Gede Agung Ladip yang telah menjadi Ida Pedanda Gede Nyoman Putra. IBK Agung Ludra adalah seorang pegawai negeri sipil di tingkat provinsi Bali sejak tahun 1987. Karirnya dimulai sebagai staf dinas kebudayaan provinsi Bali. Namun pada tahun 2003, IBK Agung Ludra menjabat sebagai Kasubbag Teknis dan Humas KPU Provinsi Bali hingga tahun 2009. Pada tahun 2009 hingga 2013 IBK Agung Ludra menjabat sebagai Kasubbag Penyajian dan Pemberitaan Biro Humas Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Bali. 137 Foto 4.1 Pasangan Ludra-Durpa, (Dok : KPUD Bangli, 2010) IBK Agung Ludra menamatkan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1975 dari SDN 3 Bangli. IBK Agung Ludra pun berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama dari SMPN 1 Bangli pada tahun 1979. Namun IBK Agung Ludra menyelesaikan sekolah menengah atas di Kota Denpasar yakni di SMAN 3 Denpasar. IBK Agung Ludra mendapatkan gelar sarjana (S1) bidang sosial politik dari Universitas Ngurah Rai pada tahun 1982. 138 Calon wakil bupati dengan nomor urut satu (1) adalah I Nyoman Durpa BA. Nyoman Durpa lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1958. I Nyoman Durpa bertempat tinggal di Desa Satra Kintamani, Bangli. I Nyoman Durpa menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Satra pada tahun 1972. Namun pendidikan sekolah menengah pertama I Nyoman Durpa ditempuh di SMPN 2 Singaraja dan lulus pada tahun 1975. Kemudian I Nyoman Durpa melanjutkan ke SPGN Denpasar dan lulus pada tahun 1980. I Nyoman Durpa rupanya tertarik pada seni sehingga memilih ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) ketika lulus SPGN. I Nyoman Durpa adalah seorang pegawai negeri sipil khususnya sebagai guru. Karir mengajarnya dimulai sebagai guru SMAN 1 Bangli pada tahun 1986, kemudian menjadi guru SGON Singaraja pada tahun 1991. I Nyoman Durpa akhirnya menjadi penilik kebudayaan hingga tahun 2000, kemudian menjadi penilik PAUD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng hingga mencalonkan diri sebagai calon wakil bupati Bangli. Walau lahir di Bangli, Durpa sejak SMP sudah berdomisili di Singaraja. Di luar karirnya sebagai pendidik, I Nyoman Durpa dikenal luas di masyarakat sebagai pemain kesenian dari sanggar Padepokan Seni Dwi Mekar. Lewat seni-budaya itulah ia kemudian dikenal oleh banyak kelompok masyarakat di Bangli. Kelompokkelompok masyarakat dari Bangli mendukungnya untuk menjadi calon wabup mendampingi calon bupati Ida Bagus Ketut Agung Ludra. Dengan berlatarbelakang sebagai anak mantan Bupati Bangli yang berhasil serta berasal dari griya yang terpandang dan bersanding dengan calon wakil bupati 139 dengan latar belakang budaya yang kuat sebagai seorang seniman, pasangan ini memiliki citra sebagai pasangan yang bercitarasa budaya tinggi, dan siap memajukan Bangli melalui seni budayanya. Kekuatan pasangan ini adalah pada kekuatan modal simbolik. Menurut ahli sosilogi Perancis, Pierre Bourdieu (1986) modal simbolik berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dalam hal ini calon kepala daerah IB Ludra memiliki modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise bapak IB Ludra yakni IB Suta. IB Ludra pun memperoleh kekuatan modal simbolik dari kakaknya yakni IB Agung Ladip. Modal yang dimiliki oleh calon wakil kepala daerah pasangan ini adalah modal budaya. Modal budaya memiliki beberapa dimensi yaitu, pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya, cita rasa budaya dan prefensi, kualifikasi-kualifikasi formal, kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis, hingga kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk. Sebagai seorang seniman dan budayawan, I Nyoman Durpa memiliki kekuatan di bidang budaya dan seni. Bahkan dalam berkampanye pasangan ini mengandalkan mediamedia seni budaya seperti pertunjukan kesenian. Pasangan ini pun mengakui bahwa mereka tidak memiliki modal ekonomi yang kuat, sehingga keduanya hanya mengandalkan modal simbolik dan modal budaya. 140 4.3.2 Pasangan Wayan Gunawan – A.A. Gde Artjana Agung Pasangan nomor urut 2 ini diusung oleh gabungan partai politik yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). Wayan Gunawan lahir di Batur pada tanggal 14 Juli 1959. Wayan Gunawan bertempat tinggal di Desa Batur Tengah Kecamatan Kintamani Bangli. Wayan Gunawan menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Kintamani dan lulus pada tahun 1971. Wayan Gunawan kemudian melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di SMPN 3 Bogor dan lulus pada tahun 1975. Wayan Gunawan menamatkan SMA juga di kota Bogor, yakni di SMA Kristen Tunas Harapan Bogor tahun 1979. Wayan Gunawan melanjutkan di jurusan ilmu jurnalistik, komunikasi, IISIP Jakarta dan lulus pada tahun 1990. Wayan Gunawan sejak tahun 1991 telah menjabat sebagai Ketua Kosgoro Bangli, dan telah menjadi anggota DPRD Bangli sejak tahun 1992 hingga tahun 2004. Karir politiknya terus menanjak naik, pada tahun 2004, Wayan Gunawan berhasil menjadi Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali. Periode berikutnya yakni tahun 2009/2014 Wayan Gunawan menjadi Ketua Fraksi Golkar DPRD Prov. Bali. 141 Foto 4.2 Pasangan GUNA (Dok : KPUD Bangli, 2010) Selain karir politik, Wayan Gunawan tercatat sebagai ketua PHRI Bangli pada tahun 1999 hingga 2003. Wayan Gunawan pun menjadi Wakil Ketua PHRI Bali tahun 2005 – 2009. Wayan Gunawan pun pernah menjabat sebagai wakil Ketua Bali Tourism Board pada tahun 2001 hingga 2004. Calon Bupati Wayan Gunawan didampingi oleh calon wakil bupati, Anak Agung Gde Artjana Agung. A.A. Gde Artjana Agung lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1950. A.A. Gde Artjana Agung adalah purnawirawan kepolisian yang 142 berasal dari Puri Agung Bangli, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. A.A. Gde Artjana Agung memiliki tiga orang putra dan berprofesi sebagai seorang polisi. A.A. Gde Artjana Agung menamatkan sekolah dasar di sekolah rakyat nomor 1 Bangli pada tahun 1963. A.A. Gde Artjana Agung kemudian melanjutkan studinya di SMP Negeri 1 Bangli, dan berhasil tamat pada tahun 1969. Usai menamatkan SMP, A.A. Gde Artjana Agung melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas di SMAN1 Bangli. Usai SMA, A.A. Gde Artjana Agung mendaftarkan diri ke kepolisian. Dengan latar belakang partai politik yang kuat seperti Golkar, maka pasangan ini diharapkan mendapat dukungan penuh dari mesin partai Golkar. Pemilihan calon wakil bupati A.A. Gde Artjana Agung yang merupakan mantan polisi dan berasal dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu menarik massa. Gunawan sebelumnya diperintahkan oleh DPP Golkar untuk berpasangan dengan IB Brahmaputra apabila ingin turun di Pemilukada Bangli. Namun apabila bergabung dengan IB Brahmaputra yang mengendarai Partai Demokrat, maka Gunawan diposisikan sebagai wakil bupati. Tawaran ini ditolak Gunawan. Gunawan tetap memutuskan untuk turun sebagai Calon Bupati dan menampik keputusan dari DPP Golkar saat itu dengan segala konsekuensinya. Dampak dari keputusannya yang tidak ingin disandingkan dengan IB Brahmpautra adalah tidak adanya dukungan dari DPP Golkar, Gunawan dibiarkan berjuang sendiri. Oleh karena itu Gunawan 143 mengandeng Artjana yang berasal dari salah satu Puri di Kabupaten Bangli. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mendongkrak perolehan suara pasangan ini. Artjana sebagai mantan polisi pun diharapkan mampu membuat citra pasangan ini lebih baik di mata masyarakat. Pasangan dengan nomor urut 2 ini dapat dikatakan kurang memiliki kekuatan modal yang menonjol dari keempat modal yang diuraikan Bourdieu. Gunawan sebagai ketua DPD Golkar Bangli 2010 memiliki kekuatan modal sosial dengan jaringan partai politik yang ia gunakan. Gunawan memilih Artjana sebagai wakilnya dengan harapan dapat memperkuat pertarungan dengan kekuatan modal simbolik. Artjana sebagai mantan polisi dan berasal dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu untuk menjadi kekuatan modal budaya dan simbolik. 4.3.3 Pasangan I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana Arta Pasangan dengan nomor urut 3 , I Made Gianyar SH M.Hum – Sang Nyoman Sedana Arta diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai terbesar di DPRD Bangli. I Made Gianyar SH M.Hum, pada periode 2005/2010 telah menjabat sebagai wakil bupati Bangli mendampingi I Nengah Arnawa. I Made Gianyar lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1964. I Made Gianyar bertempat tinggal di jalan Brigjen Ngurah Rai no. 22 Bangli, Bali. I Made Gianyar mengawali karirnya sebagai guru dan dosen. 144 Foto 4.3 Pasangan GITA (Dok : KPUD Bangli, 2010) I Made Gianyar menamatkan sekolah dasar di SD Bunutan pada tahun 1976, dan melanjutkan studi ke SMP Kintamani pada tahun 1980. I Made Gianyar mengeyam pendidikan sekolah menengah atas di SMA PGRI I Badung dan lulus pada tahun 1983. I Made Gianyar memilih untuk mengambul Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Mataram dan berhasil tamat pada tahun 1989. Lalu I Made Gianyar kembali melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi yakni mengambil program 145 studi Hukum Keperdataan (Hukum Lingkungan) dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta dan berhasil tamat pada tahun 1997. I Made Gianyar berdampingan dengan calon wakil bupati yakni Sang Nyoman Sedana Arta. Sang Nyoman Sedana Arta lahir di Banjar Sulahan, Susut, Bangli pada tanggal 15 November 1972. Sang Nyoman Sedana Arta beralamat tempat tinggal di Dusun Sulahan, Susut, Bangli. Sang Nyoman Sedana Arta sebelumnya adalah seorang anggota DPRD Provinsi Bali dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dari dapil Kabupaten Bangli. Sang Nyoman Sedana Arta menamatkan sekolah dasar di SDN 1 Sulahan pada tahun 1984. Sang Nyoman Sedana Arta kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Sulahan dan berhasil tamat pada tahun 1987. Sang Nyoman Sedana Arta menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Bangli pada tahun 1990 dan melanjutkan ke diploma III bidang pariwisata Universitas Udayana dan lulus pada tahun 1993. Berangkat dari partai besar seperti PDI Perjuangan membuat pasangan ini mendapat dukungan penuh dari seluruh partisan partai yang dikenal loyalis ini. Walaupun Gianyar bukanlah seorang partisan partai PDIP, Gianyar dinilai dekat dan memiliki elektabilitas yang tinggi di Bangli. Menurut Gianyar, saat PDIP akan mengusungnya, Gianyar tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa calon pasanganya. Ia mengatakan bahwa ia pasrah dan menyerahkan keputusannya ke DPD PDIP. Berangkat dari partai besar maka kekuatan modal terbesar pasangan ini adalah modal sosial. Modal sosial yang dimaksud Bourdieu berupa hubungan-hubungan 146 sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Partai besar yakni PDIP memiliki kekuatan politik jaringan partai yang dikenal militan dan loyal. 4.3.4 Pasangan I Wayan Arsada - I Wayan Lasmawan Pasangan dengan nomor urut 4 adalah pasangan perseorangan atas nama I Wayan Arsada S.Pd M.Ag dan Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. Pasangan ini lolos setelah KPU Kabupaten Bangli menerima rekapitulasi pendukung pasangan ini yang memenuhi syarat 12.536 orang. I Wayan Arsada lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1967. I Wayan Arsada bertempat tinggal di Lingkungan Banjar Gunaksa Kelurahan Cempaga, Kecamatan Bangli. I Wayan Arsada dikenal sebagai seorang guru di SMPN. I Wayan Arsada sendiri menamatkan sekolah dasar di SDN 3 Cempaga pada tahun 1982, dan melanjutkan ke SMPN 1 Bangli lulus pada tahun 1985. I Wayan Arsada kemudian menamatkan SMA di SMAN 1 Bangli pada thun 1988. I Wayan Arsada lalu melanjutkan studi tingkat tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Dwijendra Denpasar pada tahun 1993, dan lulus pada tahun 1997. Usai menamatkan pendidikan sarjana, I Wayan Arsada melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yakni di Program Pascasarjana 147 dengan jurusan Magister Agama Program Studi Ilmu Pendidikan Agama di Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, dan lulus pada tahun 2006. Foto 4.4 Pasangan ALAS (Dok : KPUD Bangli, 2010) Sejak kuliah, I Wayan Arsada telah aktif berorganisasi, ia bahkan sempat menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Perguruan Tinggi FKIP UNUD Singaraja. I Wayan Arsada tercatat sebagai Pengurus KNPI Bangli pada tahun 2005 hingga 2009. I Wayan Arsada memang telah dikenal sebagai seorang pendidik. Di antaranya I Wayan Arsada pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP/SMA Gurukula Bangli, Guru di SMAN 1 Susut dan menjadi dosen tidak tetap (DTT) di IHDN Denpasar sejak yahun 2001. 148 Pasangan calon wakil bupati I Wayan Arsada adalah I Wayan Lasmawan. I Wayan Lasmawan lahir di Desa Bonyoh, pada tanggal 21 Februari 1967. I Wayan Lasmawan bertempat tinggal di Desa Bonyoh, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. I Wayan Lasmawan menamatkan sekolah dasar di SDN 1 Manukaya dan melanjutkan ke SMP Amarawati di Tampak Siring, dan SMA Lab UNUD Singaraja. I Wayan Lasmawan melanjutkan studi pendidikan tinggi ke Universitas Udayana, fakultas Perguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan Kewarganegaraan dan lulus pada tahun 1991. I Wayan Lasmawan lalu melanjutkan ke tingkat magister di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung hingga tingkat Doktor di bidang pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Kini I Wayan Lasmawan dikenal sebagai seorang guru besar dari Universitas Ganesha Singaraja dengan gelar Doktor Pendidikan Ilmu Sosial. Dari paparan di atas, kekuatan modal pasangan ini adalah kombinasi antara modal sosial dan budaya. Modal sosial yang dimiliki Arsada adalah dirinya sebagai kepala sekolah dan ia memiliki asrama dan sekolah bagi anak-anak yang kurang mampu. Pasangannya yakni I Wayan Lasmawan memiliki kekuatan di modal budaya dimana ia tercatat sebagai professor dimana memiliki pendidikan tinggi dan menjadi akademisi di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja. 149 4.3.5 Pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra - I Wayan Winurjaya Foto 4.5 Pasangan Brahmawijaya (Dok : KPUD Bangli, 2010) Pasangan Nomor Urut 5 yakni pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra dan Ida Wayan Winurjaya. Pasangan ini diusung oleh gabungan partai politik yakni Partai Demokrat, Partai Pemuda Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan PNI Marhaenisme. 150 Ida Bagus Made Brahmaputra lahir di Bangli, pada tanggal 20 Agustus 1956. Ida Bagus Made Brahmaputra bertempat tinggal di Dusun Demulih, Desa Demulih, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Brahmaputra dikenal sebagai camat di Kecamatan Kintamani dan Denpasar. Awal mula kariernya sebagai Kasi Pajak dan Pendapatan Pemerintah Kabupaten Bangli sebelum menjadi Kasubag Penyusunan Pelaksanaan Program Pemerintah Kabupaten Bangli. Ida Bagus Made Brahmaputra memulai menjadi camat di Kintamani, lalu menjabat Camat Bangli sebelum menjadi Camat di Denpasar Timur lalu menjadi Camat di Denpasar Barat. Jabatan terakhir Ida Bagus Made Brahmaputra adalah sebagai Kepala Dinas Trantib Kodya Denpasar. Brahmaputra menamatkan sekolah dasar di SDN 6 Denpasar pada tahun 1969 dan SMPN I Bangli pada tahun 1972. I Bagus Made Brahmaputra menamatkan sekolah menengah atas di SMAN 1 Bangli 1975 dan kemudian melanjutkan ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) NTB pada tahun 1983 dengan jurusan ilmu pemerintahan. Ida Bagus Made Brahmaputra kemudian kembali mengambil program sarjana di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Departemen Dalam Negeri dalam program studi ilmu pemerintahan jurusan perencanaan pembangunan. Ida Bagus Made Brahmaputra lulus pada tahun 1990. Ida Bagus Made Brahmaputra kembali melanjutkan studinya dalam program magister di Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya di bidang magister manajemen. 151 Brahmaputra cukup aktif berorganisasi diantaranya sebagai Ketua ORARI Bangli, Badan Pengawas Koveri Susut, Ketua FKPPU Bangli. Bahkan I Bagus Made Brahmaputra pernah menjabat sebagai wakil ketua DPD Golkar Kab. Bangli. Pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra adalah I Wayan Winurjaya. I Wayan Winurjaya lahir di Singaraja pada tanggal 9 Januari 1968. Winurjaya beralamat di Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Bangli. I Wayan Winurjaya dikenal sebagai pengusaha di bidang restoran. Ia menjabat sebagai General Manager Lakeview Hotel dan Restaurant. I Wayan Winurjaya menamatkan sekolah dasar menyambung di SDN 2 Batur Tengah, SDN 26 Singaraja dan akhirnya tamat di SDN 2 Kesiman Denpasar Timur. I Wayan Winurjaya melanjutkan ke SMPN 3 Denpasar pada tahun 1983 dan SMAN 1 Denpasar tamat pada tahun 1986. I Wayan Winurjaya kemudian melanjutkan studi ke Universitas Udayana, Fakultas Ekonomi dengan jurusan Akuntansi dan berhasil tamat pada tahun 1994. I Wayan Winurjaya sangat aktif terlibat dalam organisasi, di antaranya adalah sebagai Dewan Penasehat Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), Dewan Penasehat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Bangli, Dewan Penyantun Komite Olahraga Nasional Indonesia kab Bangli. I Wayan Winurjaya sempat mendapat penghargaan sebagai Pemuda Pelopor tingkat Kabupaten Bangli pada tahun 2000 oleh Bupati Bangli. 152 Pasangan dengan nomor urut lima ini memiliki beberapa kombinasi kekuatan modal. Modalnya antara lain modal budaya dan simbolik yang dimiliki IB Brahmaputra, yakni sebagai mantan camat Kintamani yang berhasil kemudian modal simbolik dimana dirinya berasal dari Griya terpandang di Bangli. Modal berikutnya yang dimiliki pasangan ini adalah modal ekonomi yang cukup besar. Modal ekonomi ini berasal dari calon wakil kepala daerah yakni Winurjaya. Winurjaya sebagai pengusaha pariwisata yang tergolong sukses tentu saja memiliki kekuatan ekonomi. 4.4 Media Massa Media Massa yang dijadikan bagian penting dari penelitian ini adalah tiga media cetak yang memiliki tiras tertinggi di Bali, yakni Harian Bali Post, Harian NusaBali, dan Harian Radar Bali. Ketiga media cetak ini dipilih karena ketiga media cetak ini adalah media cetak yang beredar di Bangli dengan tingkat oplah cukup tinggi. Berikut latar belakang dan penjelasan mengenai ketiga media ini yang diolah dari beragam sumber. 4.4.1 Harian Bali Post Harian Bali Post adalah koran terbesar yang ada di Bali sejak Agustus 1948. Bali Post pun telah lama tumbuh dan berkembang di Provinsi Bali sejalan dengan sejarah pers di Bali. Lahirnya Bali Post tidak dapat terlepas dari sosok pendirinya 153 yakni Ketut Nadha. Dalam kaitan sejarah dan perjalanan pers di Bali, jebolan Taman Dewasa Denpasar tahun 1943 ini juga dikenal sebagai sosok yang mengutamakan perjuangan dan berkarya. Ketika usianya sekitar 17 tahum, K.Nadha muda sudah bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun yang dipimpin oleh seorang Jepang. Bali Shimbun tidak bertahan lama. Tahun 1945 ketika Jepang kalah atas sekutu, Bali Shimbun dipersiapkan untuk tidak terbit. Namun, K. Nadha secara diamdiam telah membulatkan tekad untuk meneruskan perjuangan dengan menerbitkan koran perjuangan. Berjuang untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang pada saat itu masih terancam. Ternyata rencana ini mendapat dukungan rekan K. Nadha seperti I Gusti Putu Arka. Selama masa persiapan antara tahun 1946 hingga 1947, K. Nadha mendirikan perpustakaan merangkap penjualan buku. Barulah pada tahun 1948, tepatnya pada tanggal 16 Agustus, K. Nadha berhasil menerbitkan “Suara Indonesia”. Koran ini dicetak dengan tehnik cetak handset. “Suara Indonesia” inilah yang menjadi cikal bakal surat kabar Bali Post. Suara Indonesia terbit perdana pada tanggal 16 Agustus 1948. Penerbitnya Badan Penerbit Suara Indonesia dimana K. Nadha sebagai perintis bersama Made Sarya Udayana dan I Gusti Putu Arka. Keduanya merupakan teman seperjuangan K.Nadha ketika bekerja sebagai wartawan surat kabar Bali Shimbun. Penerbitan Suara Indonesia saat itu masih dalam bentuk sederhana, dengan motto dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menjelang usia ke-18, Suara Indonesia berubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali. Belum genap setahun nama 154 itu disandang, koran perjuangan rakyat Bali ini berubah nama menjadi Suluh Marhaen edisi Bali. Perubahan ini mengacu pada ketentuan pemerintah, bahwa semua penerbitan harus berafiliasi dengan organisasi partai politik dan instansi yang ada. Nama itu disandang hingga pergantian tahun 1972. Pada tahun 1972 setelah demokrasi terpimpin tidak diberlakukan lagi dan penerbitan pers dibebaskan dari keharusan berafiliasi, maka dipakai kembali nama Suara Indonesia. Namun Departemen Penerangan Republik Indonesia tidak menyetujui, karena di Malang sudah terdapat surat kabar dengan nama yang serupa, hingga akhirnya berubah namanya menjadi Bali Post hingga saat ini. Nama ini diperkuat dengan akta no.9 notaris A. Syarifuddin pada tanggal 10 Januari 1973 dengan badan penerbit PT Bali Press. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 1974 dengan akta no.1 diadakan lagi perubahan nama badan penerbit menjadi PT Percetakan dan Penerbit Bali Post, disingkat Bali Post. K. Nadha meninggal dunia pada tahun 2001. Selepas kepemimpinan K.Nadha, pucuk kepemimpinan dipegang oleh putra K. Nadha, ABG Satria Naradha yang bertindak sebagai penanggungjawab Bali Post. Satria selama 10 tahun sebelumnya menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan Bali Post. 155 4.4.2 Harian NusaBali Harian NusaBali adalah salah satu harian dengan tiras tertinggi di Bali. Harian ini dahulu di masa awal kelahirannya dikenal sebagai media yang berafiliasi dengan tentara nasional Indonesia (TNI). Harian NusaBali, pertama kali lahir pada tahun 1966 sebagai surat kabar Angkatan Bersenjata terbitan yayasan Udayana yang berada di Bawah Kodam Udayana. Badan hukum surat kabar ini atas nama Yayasan Penerbitan dan Percetakan Udayana pimpinan Kolonel R. Soejono S. Media yang bernaung di bawah KOdam XVI/Udayana ini membawa misi khusus sebagai media pembinaan Orde Baru, pasca-G30S/PKI. Pemimpin umum pertama dijabat oleh Kepala Penerangan Kodam XVI/Udayana Mayor I Gusti Ngurah Pindha, B.A., Pada tahun 1978, harian ini menjadi harian dengan tajuk Harian Nusa Tenggara. Hal ini sesuai dengan wilayah Kodam Udayana yang mencakup wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Pemasaran harian ini pun diperluas ke Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dengan motto “Meningkatkan Pembangunan Guna Memperkuat Ketahanan Nasional”. Pada tahun 1983, harian ini kolaps, dan pada tahun 1984 kembali terbit. Pada tahun 1990, Harian Nusa Bali diakuisisi oleh group media raksasa Media Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh. Namun Harian Nusa Bali berada di bawah Media Indonesia hanya selama dua tahun saja hingga tahun 1992. Selepas peninggalan group Media Indonesia, Nusa Bali terpaksa vakum hingga tahun 1994. Pada tahun 1994, Harian Nusa Bali dibeli oleh Bakrie Group yang dimiliki oleh 156 Aburizal Bakrie. Saat itu Nusa Bali bernama PT Sinar Nusra Pers Utama, dengan tajuk harian Nusra. Pada tahun 2001, nama Nusra diganti dengan nama Harian Umum Nusa. Akhirnya pada bulan Oktober 2005, Harian Umum Nusa berganti nama menjadi Harian Nusa Bali. Harian Nusa Bali mengklaim diri sebagai surat kabar politiknya Bali. Harian Nusa Bali pun menyatakan merupakan koran yang berpihak pada masyarakat Bali. Hal ini dibuktikan dengan proporsi isi surat kabar yang terdiri dari 75 persen konten lokal, 15 persen konten internasional dan hanya 10 persen konten internasional. Harian Nusa Bali terdiri atas 16 halaman. Konten Harian Nusa Bali terdiri atas 50 persen informasi, 30 persen edukasi dan 20 persen hiburan. Karakteristik pembaca Harian Nusa Bali adalah berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA/U/K) ke atas dengan rata-rata pembaca berusia di atas 25 tahun serta berpenghasilan di atas 4 juta rupiah. 4.4.3 Harian Radar Bali Harian Radar Bali adalah salah satu anak perusahaan dari raksasa Jawa Pos yang berpusat di Surabaya. Radar Bali adalah harian yang termuda terbit di Bali dibandingkan Bali Post dan NusaBali. Radar Bali terbit di Bali pasca tahun 1999, saat SIUPP sudah dihapuskan. 157 Radar Bali sendiri terbit pada tanggal 12 Februari 2001. Radar Bali hanyalah mengambil sejumlah halaman Jawa Pos yang bermaterikan informasi lokal di wilayah tertentu di Bali. Adapun tujuan dari pernerbitan ini adalah untuk menggaet pembaca lokal. Radar Bali adalah salah satu media massa atau koran yang menjadi bagian dari Jawa Pos Group. Radar Bali mengelola pemberitaan seputar daerah Bali dan daerah lain yang terkait. Koran Radar Bali menyajikan aneka informasi aktual seputar politik, bisnis dan ekonomi, sosial budaya serta informasi pariwisata di daerah Bali dan sekitarnya. Harian Radar Bali terdiri dari 12 halaman yang terbagi dalam beberapa rubrik. Adapun rubrik yang menjadi bagian dari Radar Bali adalah Halaman Utama, Radar Utama, Ekonomi, Metro Denpasar, Bali Dwipa, Iklan Jitu, Radar Buleleng, Radar Jembrana, Hiburan dan Budaya, dan Sportmania. Radar Bali memiliki kekuatan sumber daya manusia yang terdiri dari bagian General Manager, Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab, Redaktur Pelaksana, Koordinator Liputan, reporter yang tersebar di Denpasar, Badung, Buleleng, Tabanan, Klungkung, Bangli, dan Karangasem. Bagian lain dari Radar Bali adalah Fotografer, Editor Bahasa, Sekretaris Redaksi, Pracetak, Pemasaran, Event, dan bagian Iklan. Sebagai bagian dari Jawa Pos Group, Radar Bali dalam peredarannya di Bali masih menjadi suplemen dari harian Jawa Pos.Jawa Pos adalah surat kabar harian yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur. Jawa Pos merupakan harian terbesar di Jawa Timur, dan merupakan salah satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia. Sirkulasi Jawa Pos menyebar di seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI 158 Yogyakarta. Jawa Pos mengklaim sebagai "Harian Nasional yang Terbit dari Surabaya". Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post, dahulu menggunakan ejaan “post”. Setelah sukses dengan Jawa Posnya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Setelah sukses mengembangkan media cetak di seluruh Indonesia, pada tahun 2002 Jawa Pos Grup mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam, Riau TV di Pekanbaru, Fajar TV di Makassar, Palembang TV di Palembang, Parijz van Java TV di Bandung. 159 Sirkulasi Jawa Pos menyebar hingga ke seluruh provinsi Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Jawa Pos terbit dalam beberapa edisi. Di antaranya Jawa Pos edisi Surabaya. Berikutnya adalah Jawa Pos edisi luar Surabaya, seperti di kawasan Jawa Timur dan Bali. Hal yang membedakan Jawa Pos edisi Surabaya dan luar Surabaya adalah seksi "Metropolis" diganti dengan seksi yang lebih regional, dengan sebutan "Radar". Seksi "Radar" berisi berita-berita banyak. Saat ini Jawa Pos memiliki 15 "Radar", yang masing-masing memiliki redaksi sendiri di kotanya masing-masing diantaranya adalah Radar Bali yang berkantor di Denpasar Bali. Isi berita "Radar" bersifat lokal, dan memuat iklan yang juga bersifat lokal, serta seksi Olahraga lokal. Dari sisi manajemen, Radar-Radar yang ada ini dikelola secara otonom. Rekrutmen karyawan dan wartawan dilakukan sendiri oleh masing-masing manajemen Radar. Keempat objek di atas adalah aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan penelitian mengenai pertarungan aktor politik di media cetak. Hal ini dikarenakan komunikasi politik yang dijalin oleh para aktor politik kepada konstituennya dilakukan melalui media cetak dalam konteks pemilukada di Bangli. Lalu bagaimana bentuk komunikasi politik dan aspek apa saja yang dipertarungkan para aktor politik di media cetak akan dibahas pada bab berikutnya yakni bab mengenai bentuk-bentuk pertarungan aktor politik. BAB V BENTUK-BENTUK PERTARUNGAN AKTOR POLITIK PADA MEDIA CETAK Aktor politik memegang peranan penting dalam memenangkan sebuah pemilukada. Bagaimana strategi dan aktivitas politik yang dimainkan aktor politik akan memengaruhi hasil pemilukada. Permainan politik ini seringkali saling bersinggungan antara aktor politik. Strategi politik ini akhirnya membentuk sebuah pertarungan antar aktor politik untuk memenangkan pemilukada. Pertarungan aktor politik dilakukan melalui isu sebagai arena pertarungan di media cetak. Wacana merupakan suatu arena pertarungan untuk memperoleh kekuasaan. Menurut Bourdieu dalam wacana terjadi pertarungan atau perjuangan antara orang-orang atau kelompok yang berbeda untuk mempertegas dan memperlihatkan pengaruh serta kekuatannya (dalam Ritzer, 2004:525). Foucault pun menjelaskan bahwa wacana tidak dipahami sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi mengikuti sesuatu yang memproduksi yang lain seperti sebuah gagasan, konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2008:65). 160 161 Media massa kerap dijadikan wadah komunikasi politik para aktor politik. Pertarungan politik melalui media massa dapat melalui beberapa bentuk, di antaranya pembentukan opini publik mengenai citra aktor politik, citra partai politik, dan program kerja calon kepala daerah. Komunikasi politik melancarkan seranganserangan yang bermuatan politis di pemberitaan, advertorial, berita berbayar hingga iklan. Para aktor politik pun dapat melakukan serangan kepada lawan politiknya melalui media massa. Bentuk-bentuk pertarungan dibahas dalam bab ini. Dalam mengidentifikasikan mengenai bentuk pertarungan akan dibahas terlebih dahulu mengenai arena atau wadah sebagai bentuk pertarungan aktor politik di media cetak. Arena tersebut terbagi menjadi empat bentuk yakni artikel berita, advertorial, iklan, dan artikel berbayar. Dalam setiap arena ini akan dijelaskan bagaimana esensi dari bentuk-bentuk pertarungan yakni pertarungan citra diri dan pertarungan isu politis atau program kerja. Foucault (dalam Foss, 1985:205) mengatakan bahwa kekuasaan merupakan bagian yang melekat dengan susunan diskursif wacana. Artinya dalam setiap wacana terkandung kekuasaan dan wacana dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Maka untuk melakukan analisis media ini maka perlu menggambarkan isi media yang tersirat. Unit analisa dalam bentuk pertarungan ini adalah isu citra diri dan isu politis serta program kerja calon yang berada dalam kliping berita, advertorial, dan iklan di tiga media cetak yang beredar di Bali, yakni BaliPost, NusaBali, dan Radar Bali 162 selama masa kampanye dan pascapemilukada di Bangli pada tahun 2010. Analisis bentuk pertarungan berikutnya adalah terkait dengan substansi yang dibentuk oleh para aktor politik di media cetak. Substansi yang dibentuk akan membentuk wacana. Wacana ini menjadi alat kepentingan yang berujung pada dominasi. Van Dijk (1993:249) menjelaskan dominasi didefinisikan sebagai pelaksanaan kekuasaan atau pengaruh sosial oleh elite, institusi atau kelompok masyarakat tertentu, yang menghasilkan ketidaksetaraan. Kelima pasangan aktor politik dalam pemilukada Bangli mereproduksi makna melalui media cetak untuk menciptakan wacana dan pengetahuan di masyarakat. Hal ini seperti yang ditegaskan Giddens (1984, dalam Barker, 2005:236) dimana tatanan sosial tersusun di dalam dan melalui aktivitas sehari-hari, serta gambaran mengenai aktor-aktor sosial yang terampil dan mengetahui. Maka teori yang berlaku adalah teori strukturasi (Giddens, 1984 dalam Barker, 2005:237) yang berintikan cara-cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan-tindakan mereka sendiri. Aktivitas manusia yang teratur bukanlah hasil ciptaan aktor individual itu sendiri melainkan selalu mereka ciptakan kembali melalui cara-cara yang mereka pakai untuk mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Tindakan aktor politik untuk memproduksi makna akan terlihat dalam bentuk-bentuk pertarungan yang aktor politik gunakan di media cetak. Pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat bentuk arena bertarung yakni artikel berita, artikel berita berbayar, artikel advertorial, dan iklan. 163 Tiap-tiap tempat bertarung ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Diketahui bahwa artikel berita lebih cenderung digunakan untuk tempat pertarungan isu politik antar pasangan calon. Bentuk lainnya yakni advertorial, iklan dan artikel berbayar lebih cenderung dijadikan wadah pertarungan citra diri masingmasing calon. Arena pertarungan ini menjadi penting sebagai wadah pemberian atau penonjolan aspek tertentu atas sebuah fakta atau framing. Framing menurut Sudibyo (2001:186) adalah bagaimana realitas dibingkai, dikonstruksi, dan dimaknai oleh media. Maka bentuk dari arena pertarungan akan berpengaruh pada bentuk dari upaya framing yang dilakukan oleh calon maupun oleh media. Bentuk pertarungan antara aktor politik dalam Pemilukada Bangli 2010 terjadi dalam dua wujud (a) pertarungan citra diri dan (b) pertarungan isu politis dan program kerja calon. Hal ini diklasifikasikan dari teks berita yang termuat di tiga koran selama masa kampanye hingga pencoblosan ulang. Terdapat perbedaan umum dalam cara menampilkan diri lewat dua bentuk pertarungan. Ada calon yang lebih menonjolkan citra diri namun ada pula calon yang mengutamakan isu politis dan program kerja. Citra yang dibentuk melalui media massa akan mempengaruhi pandangan pembaca terhadap sosok pasangan tertentu. Media sebagai wadah pun dapat menentukan bagaimana citra yang ingin disampaikan media atau pasangan atas cermin dirinya tersebut. Menentukan isu atau wacana yang termuat di media menjadi penting karena terkait secara tidak langsung dengan opini publik dan dampak pada kekuasaan atas 164 pemilih. Foucault menekankan hubungan antara wacana pengetahuan dan kekuasaan. Menurutnya melalui wacana, individu bukan didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan didisplinkan (Eriyanto, 2008:73). Pasangan calon menentukan isu melalui media massa dengan cara menyeting agenda atau agenda setting. Agenda setting mengarah pada praktik framing, atau bagaimana cara sebuah isu dikemas oleh media massa (Dominick, 2008). Dalam arena pertarungan aktor politik mengangkat dua bentuk pertarungan, yakni pertarungan citra diri dan pertarungan isu atau pesan politis. Citra dalam bentuk wacana ini pun menjadi isu penting yang menjadi pertarungan antara calon kepala daerah di media cetak. Masing-masing calon kepala daerah akan mencoba mencitrakan positif diri mereka, dengan beragam cara. Pembentukaan sebuah citra oleh aktor politik dapat melalui foto dalam berita, foto dalam iklan ataupun kalimat-kalimat yang digunakan dalam berita, advertorial dan iklan. Pembentukan citra dalam proses pemberitaan ini membawa implikasi. Dalam framing Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:260) dalam melakukan framing diperlukan perangkat yang dapat berupa visual images seperti gambar, maupun citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Riggins (1997:10-11) mengatakan wacana dalam proses pemberitaan membawa beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa sehingga adanya wacana yang terpinggirkan. Kedua, boleh jadi peminggiran wacana 165 menunjukkan praktik ideologi. Kerap kali tokoh, kelompok, gagasan, tindakan, dan kegiatan terpinggirkan dan menjadi marginal melalui penciptaan wacana tertentu. Media mampu menciptakan realitas semu citra yang diinginkan untuk ditampilkan tiap-tiap pasangan calon. Citra yang kerap ingin disampaikan tentu saja adalah citra yang positif dan mampu mencuri hati pemilih. Cara dalam mengemas citra adalah dapat dengan berita, iklan, hingga advertorial. Bentuk pencitraan yang diusung masing-masing pasangan calon kepala daerah Bangli yang dikemas di media cetak. Setelah proses analisis framing maka bentuk pencitraan calon kepala daerah dapat dalam tabel 5.1. Tabel 5.1 Tabel Bentuk Pencitraan Para Pasangan Calon Kepala Daerah No Pasangan Citra yang ingin dibentuk 1 Ida Bagus Ketut Agung Ludra I Nyoman Durpa a. Berbudaya b. Adik dari IB Ladip c. Soroh Pande 2 I Wayan Gunawan A.A.Gede Artjana Agung a. Putra daerah dari Batur b. Tegas c. Berpendirian teguh 3 I Made Gianyar Sang Nyoman Sedana Arta a. Afiliasi dengan PDIP b. Berbudaya c. Berpendidikan 4 I Wayan Arsada I Wayan Lasmawan a. Berpendidikan Tinggi b. Berbudaya c. Sosok penerus I Nengah Arnawa 5 Ida Bagus Made Brahmaputra I Wayan Winurjaya a. b. c. d. Santun Beretika Bijaksana Memiliki kedekatan kepribadian dan personal dengan Susilo Bambang Yudhoyono 166 Dari tabel 5.1 diketahui bahwa ada beberapa citra diri yang ingin dibentuk atau diframekan oleh pasangan calon. Dari beberapa citra diri terdapat persamaan citra diri di antara citra berpendidikan, dan citra berbudaya. Bentuk pertarungan para aktor politik yang berikutnya adalah pada isu politik. Isu politik adalah alat paling terpenting dalam pertarungan perebutan kekuasaan atau kedudukan politik. Perbedaan isu politik yang diusung tiap-tiap calon akan berpengaruh pada hasil pertarungan para aktor politik. Oleh karena itu pemilihan isu politik atau pesan politik yang ingin disampaikan aktor politik kepada khalayak pemilih menjadi hal yang cukup penting. Pertarungan isu politik yang dimaksudkan adalah pertarungan tiap-tiap calon kepala daerah dalam mengemas dan mengangkat isu untuk memenangi pemilukada. Dalam mengkonstruksi isu politik menurut Berger dan Luckman (2000), media massa dipandang sebagai variabel atau fenomena yang sangat substantif. Berger dan Luckman (dalam Bungin, 2007:208) membagi tiga tahap pembentukan realitas, yakni (1) konstruksi realitas pembenaran (2) kesediaan dikonstruksi media massa, dan (3) sebagai pilihan konsumtif. Pembentukan konstruksi isu politis adalah bangunan yang diinginkan dalam tahap konstruksi pada pertarungan aktor politik. Tiap-tiap calon membawa isu politiknya sendiri yang terkonstruksi di media cetak. Setelah proses analisis framing, isu politik yang diusung para calon kepala daerah dalah dilihat dalam tabel 5.2. 167 Tabel 5.2 Pertarungan Isu Politik yang Diusung Para Calon Kepala Daerah No Pasangan calon 1 Ida Bagus Ketut Agung Ludra I Nyoman Durpa 2 I Wayan Gunawan A.A.Gede Artjana Agung 3 I Made Gianyar Sang Nyoman Sedana Arta 4 I Wayan Arsada I Wayan Lasmawan 5 Ida Bagus Made Brahmaputra I Wayan Winurjaya Isu Politik a. Anti-money politics b. Gema Bangli Jaya Mandiri c. Mewujudkan Bangli yang sejahtera dan berbudaya d. Lingkungan religius e. Mewujudkan Bangli yang maju, dinamis, modern dan unggul. a. Peningkatan sarana dan prasarana layanan kesehatan b. Pemberian subsidi pendidikan secara silang a. Memilih dengan hati nurani b. Mewujudkan Bali yang shanti c. Diprediksikan menang telak d. Menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, demokratis, efisien, dan efektif. a. Meningkatkan kualitas SDM yang spiritual untuk membangun jati diri b. Melanjutkan program I Nengah Arnawa c. Mewujudkan Bangli yang berjati diri, berbudaya, maju, inovatif, sejahtera dan spiritual a. Politik pencitraan dengan politik santun dan beretika b. Kampanye yang dihadiri puluhan ribu massa. c. Tambahan bantuan langsung ke desa adat 30 juta rupiah d. Bantuan langsung tunai ke banjar dan masyarakat 168 5.1 Bentuk Pertarungan dalam Artikel Berita Sebuah artikel berita dibuat oleh wartawan media terkait sebagai hasil peliputan, pengamatan atau observasi sebuah kejadian atau event, hingga hasil wawancara narasumber. Idealnya artikel berita adalah realitas yang dibentuk media dengan objektivitas dari wartawan itu sendiri. Oleh karena itu berita diharapkan tidak memihak, memberikan kesempatan yang sama terhadap kedua belah pihak yang terkait, dan tidak memiliki pesan tersembunyi atau propaganda dari pihak-pihak tertentu. Bagian dari artikel berita antara lain adalah diawali dengan judul berita, lalu teras berita, awal pemberitaan, dan runutan alinea atau paragraf sebagai isi berita. Berita pun seringkali dilengkapi dengan foto. Dalam pandangan framing dari Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) bila melalui berita ada proses penentuan fakta dan bagian apa yang ditonjolkan atau dihilangkan dalam berita tersebut. Artikel berita yang terkait dengan pemilukada di Bangli pada tahun 2010 antara lain dimulai dengan prosesi awal masa kampanye, jalannya kampanye masingmasing calon, dinamika yang terjadi di antara calon kepala daerah, hingga konflik yang terjadi selama kampanye. Fakta yang dituangkan dalam kata dan kalimat berita kerap kali mengandung makna di baliknya disadari ataupun tidak disadari oleh individu pekerja media. Fakta yang dituangkan akhirnya terbentuk dalam kemasan berita dimana menurut Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) paket kemasan ini merupakan 169 rangkaian ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa yang relevan. 5.1.1 Pertarungan Citra Diri dalam Artikel Berita Pasangan Ludra dan Durpa adalah pasangan yang termasuk jarang menggunakan media dalam komunikasi politiknya dengan konstituennya. Namun walaupun jarang tampil di media, ada beberapa citra diri yang ditampilkan mengenai pasangan ini di media cetak. Beberapa citra diri yang ditampilkan antara lain adalah berbudaya, bersih dari money politics, adik dari IB Ladip, dan Durpa bersoroh pande. Hal ini terlihat dari artikel kliping berita 5.1. dengan judul “Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politics”, pada harian Radar Bali, pada tanggal 27 April 2010. Citra berbudaya terlihat dari penggunaan pakaian dalam foto kliping 5.1. yang menggunakan udeng atau destar. Penggunaan destar ini adalah bentuk pencitraan diri sebagai sosok yang berbudaya. Destar adalah tanda, Preminger (2001) mengatakan bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan lambang atau simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi destar adalah lambang atas citra diri yang berbudaya. 170 Kliping Berita 5.1 Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politic (Dok : Radar Bali, 27 April 2010) Citra berikutnya adalah IB Ludra merupakan adik kandung dari IB Ladip. Framing yang dilakukan adalah dengan menggunakan perangkat teks berita seperti kata dan kalimat. Citra ini ditampilkan melalui kalimat dimana disebutkan bahwa IB Ludra adalah adik kandung dari mantan Bupati Bangli IB Ladip. IB Ladip adalah salah satu bupati Bangli yang sukses dalam memimpin dan meninggalkan citra yang cukup positif di masyarakat. Citra adik kandung ini diharapkan dapat membantu IB Ludra untuk memperoleh dukungan suara. Citra berikutnya adalah pasangan IB Ludra yakni I Nyoman Durpa memiliki soroh Pande. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan nama Pande Durpa dalam 171 menyebutkan nama I Nyoman Durpa pada artikel berita di atas. Penggunaan perangkat framing (Gamson dan Modigliani) berupa penggunaan kata pande. Pande bersinonim dengan salah satu soroh. Penekanan soroh ini dilakukan untuk pencitraan dimana diharapkan menambah kekuatan pertarungan melalui modal budaya. Modal budaya dengan soroh pande adalah modal budaya berbentuk embodied state. Menurut Sosiolog Perancis, Bourdieu modal dapat bertransformasi, maka modal budaya berupa soroh pande ini dapat bertransformasi menjadi modal sosial dimana dapat menggalang dukungan atau massa yag lebih signifikan sebagai sesama pande. Pasangan Ludra-Durpa dalam pertarungan aktor politik di pemilukada Bangli mengangkat satu tema atau satu isu politis. Isu politis yang diusung oleh pasangan ini adalah isu anti politik uang. Pasangan Ludra-Durpa dalam artikel berita berjudul “Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politics” di harian Radar Bali pada tanggal 27 April 2010 mengungkapkan bahwa pasangan ini ingin memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat Bangli mengenai bahayanya politik uang. Isu politis ini terungkap pada cuplikan berita di bawah ini: Jangan hanya karena waktu tiga menit, rela mencoblos pasangan yang member uang Rp 50 ribu. Ingat, kontrak politik akan berlangsung lima tahun. Dan bahaya kalau semuanya hanya diukur dari uang “Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politics” (dok : Radar Bali, 27 April 2010) 172 Isu politis anti politik uang ini pun dikatakan selalu disampaikan pasangan LudraDurpa saat melakukan simakrama ke masyarakat. Pasangan ini pun menekankan pada isu agar masyarakat pemilih tidak berpikiran pragmatis dalam pemilukada. Hal ini ditegaskan dalam praktik komunikasi politik yang dilakukan pasangan ini selama kampanye yakni dengan tidak memberikan janji yang muluk-muluk. Ludra dalam wawancara mengatakan bahwa dirinya bersama Durpa lebih berupaya untuk memberikan pendidikan politik agar masyarakat Bangli lebih cerdas dalam memilih dan tidak tergantung pada politik pragmatis berbasis pada uang. Kedua isu ini tentu saja telah melalui proses seleksi isu sehingga pasangan ini lebih menekankan pada aspek anti politik uang dan anti pragmatism politik. Seleksi isu ini menurut Entman (dalam Eriyanto, 2002:187) berkaitan dengan pemilihan fakta. Isu yang diangkat ini menurut Entman masuk dalam kategori definisi masalah dimana pasangan Durpa-Ludra memandang kedua isu ini adalah salah satu permasalahan yang patut diperhatikan dalam pendidikan politik. 5.1.2. Pertarungan Isu Politis dalam Artikel Berita Fakta yang dituangkan dalam kata dan kalimat berita kerap kali mengandung makna di baliknya disadari ataupun tidak disadari oleh individu pekerja media. Fakta yang dituangkan akhirnya terbentuk dalam kemasan berita dimana menurut Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) paket kemasan ini merupakan 173 rangkaian ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa yang relevan. Contohnya pada kliping berita 5.2. Kliping 5.2 “Kubu Brahma-Wijaya Minta Pemilihan Ulang” (Dok: BaliPost, 6 Mei 2010) Dari kliping artikel berita 5.2 diketahui bahwa artikel berita dijadikan tempat arena bertarung isu politis yang ingin diangkat oleh pasangan Brahmawijaya. Isu politis tersebut adalah adanya pelanggaran dan indikasi kecurangan pelaksanaan pemilukada di kecamatan di Bangli. Isu politik lain yang diangkat adalah perlunya pemilihan ulang di beberapa tempat pemungutan suara yang diindikasikan bermasalah oleh pasangan Brahmawijaya ini. Penempatan isu di artikel berita memiliki kemampuan menyeting isu tersebut dalam benak pembaca atau Agenda Setting. Dalam perkembangannya agenda setting yang dicetuskan McComb dan L.Shaw (1968) bertransformasi dimana agenda tidak hanya ditentukan oleh media namun juga hasil interaksi dengan agenda publik (Littlejohn, 2005:280). Maka agenda bahwa terjadi pelanggaran pemilu dapat merupakan agenda dari media maupun agenda setting dari pihak pasangan Brahmawijaya. 174 Isu yang diangkat oleh pasangan Brahma-Wijaya dalam media cetak ternyata mendapat tandingannya. Pendukung KPUD Bangli dan pasangan Gita pun tampil di media. Bahkan massa pendukung paket Gita dan KPUD serta Panwaslu ikut mengerahkan massa tandingan massa Brahma-Wijaya. Pengetahuan masyarakat mengenai pelanggaran akan memberikan kekuasaan bagi pasangan Brahmawijaya, maka pasangan Gita pun menampilkan kemasan yang berbeda tentang isu tersebut. Di mana bagi Foucault kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa (Bertens, 1985:487). Hal ini terlihat dalam artikel kliping 5.3. Kliping 5.3 “Pilkada Bangli: 132 TPS Direkomendasi Pemilihan Ulang” dan “Demo Tandingan Massa Gita, Sesalkan Panwaslu Diintimidasi” (Dok: BaliPost ,10 Juli 2010) Isu tandingan yang diusung pasangan Gita adalah Pasangan Brahmawijaya mengintimidasi Panwaslu dan KPUD Bangli. Pasangan ini mengatakan sangat menyayangkan cara-cara yang dilakukan tim pemenangan Brahmawijaya dengan 175 mengintimidasi Panwaslu. Hal ini dipertegas dengan menggunakan pernyataan Ketua KPUD Bangli, Dewa Agung Lidartawan yang mengakui telah terjadi intimidasi di Panwaslu Bangli. 5.2 Bentuk Pertarungan dalam Iklan Iklan adalah salah satu isi dari media cetak. Iklan adalah darah dari sebuah media massa, dimana iklan adalah pendukung utama dari kelangsungan hidup media tersebut. Iklan dapat beragam bentuk sesuai keinginan dari pihak pemasang. Iklan biasanya memiliki pesan yang ingin disampaikan pemasang iklan. Pesan bisa secara tertulis maupun secara lisan. Dalam framing Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:260) dalam melakukan framing diperlukan perangkat yang dapat berupa visual images seperti gambar, maupun citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Dalam pemilukada di Bangli, iklan pun dipilih menjadi salah satu tempat atau wadah dalam pertarungan antara aktor politik. Adapun pasangan yang memilih iklan sebagai wadah komunikasi politiknya adalah pasangan Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta atau pasangan GITA. Iklan yang ditampilkan pasangan GITA ini tercatat sebanyak 10 (sepuluh) kali. Berikut adalah iklan pasangan GITA di harian NusaBali; 176 Kliping 5.4 Iklan pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta di Harian NusaBali selama masa kampanye (Dok: NusaBali) Pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta tercatat memasang iklan sebanyak sepuluh kali sepanjang masa kampanye dalam pemilukada Bangli tahun 2010. Pasangan lainnya tidak memilih iklan sebagai bentuk yang digunakan dalam pertarungan aktor politik pada pemilukada 2010 di Bangli. Dalam iklan Gita terdapat foto pasangan GITA dengan menggunakan pakaian adat Bali lengkap. Di bawah foto terdapat nama keduanya. Kedua namanya pun tertulis secara lengkap dengan gelar dan soroh yakni I Made Gianyar, SH, M.Hum dan Sang Nyoman Sedana Arta. Latar belakang foto berwarna merah dan terdapat lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang terlihat samar. Pada bagian atas terdapat tulisan Calon Bupati & Wakil Bupati Pemilu Kepala Daerah Bangli 2010-2015. Di bagian bawah iklan terdapat slogan politik yang ingin disampaikan yakni Pilih GITA dengan Hati Nurani Untuk Mewujudkan Bangli yang Santhi. Maka dari iklan di atas perangkat framing yang digunakan dalam iklan GITA adalah frase yang menarik berupa slogan 177 atau jargon, gambar, yang menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan (Eriyanto, 2002:225). 5.2.1 Pertarungan Citra Diri dalam Iklan Iklan pun dapat dijadikan wadah atau arena pertarungan aktor politik. Contohnya dari iklan GITA terdapat beberapa citra diri yang ingin dikonstruksikan, di antaranya berafiliasi dengan PDIP, pasangan berbudaya, dan berpendidikan tinggi. Sedangkan isu politik yang menjadi slogan atau pesan yang diangkat adalah mewujudkan Bali yang shanti dan memilih dengan hati nurani. Jadi iklan di media cetak adalah hasil konstruksi sosial dimana dijadikan salah satu wadah atau arena pertarungan aktor politik dalam pemilukada. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Berger dan Luckmann (1965) dimana realitas sosial yang terkonstruksi dapat membentuk opini massa (Bungin, 2007:288). Berangkat dari partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), GITA selalu melekatkan diri pada citra dan lambang partai terbesar di Bali ini. Citra yang ingin ditampilkan pertama adalah afiliasi pasangan ini dengan PDI Perjuangan. Afiliasi ini digambarkan dengan terdapat tiga lambang partai dalam iklan tersebut, yakni dua di dada masing-masing calon dan lambang terbesar berada di latar belakang foto kedua calon. Saussure menjelaskan tanda itu sendiri terdiri dari signifier (tanda) dan signified (petanda). Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik 178 yang dapat dilihat dan biasanya merujuk kepada sebuah objek atau realitas yang ingin dikomunikasikan (Kriyantono, 2010:270). Dalam hal ini GITA menggunakan tanda berupa lambang partai dengan ingin terbentuk citra yang merujuk pada realitas partai yang besar dan berkuasa di Bangli. Tanda lainnya adalah dengan menggunakan latar belakang merah sebagai warna yang diasosiasikan sebagai warna PDIP. Dari banyaknya penggunaan lambang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam iklan ini maka pasangan Gita ingin mencitrakan diri sebagai pasangan yang kuat karena berasal dari partai yang besar seperti PDIP. Warna merah yang mendominasi iklan ini pun identik dengan warna partai PDIP yakni berwarna merah. Bahkan warna merah tidak hanya sebagai latar belakang tulisan dan foto, namun juga merah bunga pucuk bang yang dikenakan calon dalam foto ini.Oleh karena itu iklan pasangan ini selalu berwarna dan berada di halaman satu. Apabila iklan pasangan ini ditaruh di halaman hitam putih maka citra Gita sebagai jagoan dari PDIP tidak akan memiliki dampak persepsi yang sama di benak pembaca dibandingkan ditaruh di halaman berwarna. Warna merah yang mendominasi iklan ini merupakan lambang warna yang sinonim dengan PDIP. Berdasarkan metode analisis framing dari Gamson dan Modigliani, warna merah digunakan untuk membingkai citra partai. Citra diri sebagai pasangan dari PDIP merupakan modal sosial yang kuat dimiliki pasangan GITA. Modal sosial menurut Bourdiue (1986) adalah sekumpulan sumber potensial dimana terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang 179 terlembagakan. Hubungan ini bisa terjadi akibat kesamaan partai. Maka berasal dari PDIP diharapkan mampu menggerakkan kekuatan dari modal sosial yang sudah dimiliki pasangan GITA. Oleh karena itu pasangan ini berharap akan mendapat dukungan dari simpatisan PDIP yang cukup besar kuantitasnya di Bangli. Citra yang ingin ditampilkan lainnya adalah citra sebagai pasangan yang memegang teguh kebudayaan Bali. Hal ini terlihat dari pilihan busana yang dikenakan kedua pasangan calon dalam iklan mereka seperti dalam kliping iklan di atas. Pasangan ini dalam iklannya mengenakan pakaian adat Bali dengan udeng bertahtakan bunga pucuk atau kembang sepatu berwarna merah. Foto ini seakan-akan ingin menampilkan pesan bahwa pasangan ini memiliki kedekatan dengan budaya Bali, dan siap melestarikan budaya Bali. Iklan yang ditampilkan pasangan Gita tidak pernah berubah. Iklannya selalu menampilkan pasangan Gita dengan menggunakan busana yang sama. Calon bupati, I Made Gianyar selalu ditampilkan dengan menggunakan baju adat lengkap berwarna putih, dengan udeng putih bertahtakan bunga pucuk atau kembang sepatu. Calon wakil bupati Sang Nyoman Sedana Arta, selalu ditampilkan dengan menggunakan baju adat lengkap berwarna hitam, dengan udeng bermotif dan bertahtakan bunga kembang sepatu atau pucuk. Foto baju adat Bali lengkap adalah tanda, Preminger (2001) mengatakan bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan lambang atau simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah 180 tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi baju adat Bali lengkap adalah lambang atas citra diri yang berbudaya. Citra ketiga adalah pasangan yang memiliki gelar pendidikan. Citra ini dapat terlihat dalam penggunaan gelar lengkap di iklan pasangan Gita. Dalam iklan tersebut pasangan ini menuliskan nama lengkap yakni I Made Gianyar, SH, M.Hum. dan Sang Nyoman Sedana Arta. Citra yang ingin ditangkap adalah I Made Gianyar adalah seorang lulusan hukum dan telah melanjutkan hingga ke tingkat magister yakni magister humaniora. Hal ini tercermin dari gelar yang ada di belakang nama I Made Gianyar yakni SH (Sarjana Hukum) dan M.Hum (Magister Humaniora). Dengan memiliki gelar ini maka citra yang ingin disampaikan oleh pasangan ini adalah mengusung calon bupati yang memiliki pendidikan tinggi hingga magister atau S2. Gelar pendidikan menurut Bourdieu (1986) adalah salah satu bentuk modal budaya yakni institutionalized state dimana didapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Pasangan GITA berharap dengan menggunakan gelar dalam iklan maka citra sebagai pasangan yang memiliki pendidikan tinggi dapat meningkatkan perolehan suara dalam pemilukada. 5.2.2 Pertarungan Isu Politik dalam Iklan Isu politik atau pesan politik menjadi faktor yang cukup signifikan dalam sebuah pertarungan perebutan kedudukan dan kekuasaan politik. Untuk itu maka isu 181 politik yang diangkat membutuhkan pemikiran yang matang. Isu politik yang diusung oleh pasangan dengan nomor urut 3 yakni pasangan I Made Gianyar, SH, M.Hum – Sang Nyoman Sedana Arta atau GITA dalam media cetak adalah mewujudkan Bangli yang santhi atau damai. Pesan politik yang lain adalah menekankan memilih dengan hati nurani, dan mengemas berita dengan isu bahwa pasangan ini akan menang dengan telak dalam pemilukada. Hal ini terlihat dari iklan-iklan dari pasangan I Made Gianyar, SH, M.Hum – Sang Nyoman Sedana Arta di Harian Nusa Bali. Dalam iklannya, pasangan GITA bertuliskan Pilih GITA dengan Hati Nurani untuk Mewujudkan Bangli yang Santhi. Pesan politik yang diusung oleh GITA adalah untuk mewujudkan Bangli yang santhi. Pesan politik kedua yang diusung adalah menganggap bahwa pemilih yang memilih pasangan GITA adalah pemilih yang memiliki dan menggunakan hati nurani. Jargon atau slogan ini adalah praktik framing dengan perangkat bernama Catchprases (Gamson dalam Eriyanto, 2002:255), dimana dalam membingkai mengginakan frase yang menarik, kontras, dan menonjol dalam suatu wacana. Pesan politik lainnya adalah meminta pembaca dalam hal ini selaku pemilih untuk mencoblos pasangan dengan nomor urut 3 (tiga) ini. Hal ini terlihat dari gambar iklan di atas dimana terlihat sebuah paku menusuk angka 3 (tiga). Ini adalah pesan politik yang sangat jelas terlihat dimana mengajak pembaca untuk memilih nomor urut 3. 182 5.3 Bentuk Pertarungan dalam Advertorial Advertorial dapat berupa advertorial dari produk, jasa, perusahaan, dan pemerintahan. Komunikasi politik dalam kampanye pemilu kepala daerah di media cetak pun seringkali berbentuk advertorial. Dalam sebuah advertorial politik, mempunyai bentuk yang tidak berbeda dengan advertorial pada umumnya. Advertorial memakan setengah halaman koran bahkan terdapat advertorial yang mencapai satu halaman penuh koran. Isi dari advertorial diwenangkan sepenuhnya kepada si pemasang advertorial. Maka daripada itu dalam advertorial lebih mudah melakukan framing. Dalam framing Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:260) dalam melakukan framing diperlukan perangkat yang dapat berupa visual images seperti gambar, maupun citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Advertorial kampanye pemilu kepala daerah terdiri atas dua bagian, yakni tulisan dan foto. Namun biasanya yang ditonjolkan dalam advertorial adalah foto-foto kegiatan yang dilaksanakan pasangan calon selama berkampanye. Agar menarik perhatian pembaca, foto dalam advertorial menggunakan foto berwarna, sedangkan tulisan dalam advertorial biasanya berbentuk layaknya berita yang berisikan visi misi para pasangan calon kepala daerah. Advertorial adalah iklan yang berbentuk seperti artikel berita. Namun artikel advertorial ini lebih terbuka dan lebih terlihat sebagai salah satu bentuk iklan. Hal ini ditandai dengan ukuran dan perbedaan jenis huruf dan terdapat pembatas di antara 183 artikel berita lainnya. Ini menunjukkan kepada pembaca bahwa artikel ini adalah iklan dan bukan hasil peliputan dari media massa terkait. Dari lima pasangan calon yang bertarung di Bangli, pasangan Wayan Arsada dan Wayan Lasmawan (ALAS) adalah pasangan yang memilih bentuk advertorial sebagai wadahnya dalam bertarung di media cetak. Pasangan ini tercatat memasang artikel advertorial di Harian NusaBali sebanyak lima kali sepanjang masa kampanyenya. Berikut contoh dari advertorial Alas di harian NusaBali, Kliping 5.5 Advertorial “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan”, (Dok: NusaBali, 21 April 2010) 184 5.3.1 Pertarungan Citra Diri dalam Advertorial Advertorial pun digunakan sebagai arena dimana pasangan mengkonstruksikan citra diri dan program politis mereka. Pasangan yang kerap menggunakan advertorial sebagai arena pertarungan adalah pasangan ALAS. Beberapa citra yang ingin dibentuk atau ditangkap oleh masyarakat akan pasangan Alas ini, antara lain citra berpendidikan sebagai seorang akademisi, menjunjung budaya Bali dalam kesehariannya, kedekatannya dengan sosok Bupati Bangli Arnawa, dan sosok yang bersahaja dan membumi. Dalam advertorial, prinsip hegemoni pun terpenuhi karena isi dari advertorial hanya didominasi oleh pasangan tertentu saja tidak terdapat berita mengenai pasangan lainnya. Bagi Gramsci, kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan. Dalam advertorial pasangan ALAS menghegemoni informasi yang disampaikan kepada kelompok subordinat untuk menerima ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya punya mereka sendiri (Sugiono, 1999:37). Pasangan Arsada dan Lasmawan atau pasangan ALAS menonjolkan beberapa citra diri mereka di media cetak. Citra diri yang dikonstruksikan antara lain memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, berbudaya, dan sosok penerus dari bupati sebelumnya yakni Bupati I Nengah Arnawa. Pasangan ALAS mencitrakan diri mereka sebagai pasangan muda yang berpendidikan dan kaum akademis. Ini terkait dengan latar belakang keduanya, Arsada adalah guru dan kepala sekolah di SMP Gurukula 185 sedangkan Lasmawan adalah seorang profesor dari Universitas Ganesha Singaraja (Undiksha). Jabatan sebagai guru dan telah mengabdi sebagai kepala sekolah diungkapkan pasangan ini dalam berita advertorial mereka. Keberhasilan Lasmawan sebagai seorang Guru Besar atau Profesor pun dieksploitasi oleh pasangan Alas untuk membentuk citra pasangan yang berpendidikan dan pintar. Cara pencitraan yang dilakukan adalah dengan framing dimana menggunakan perangkat framing berupa kata-kata dan exemplaar. Exemplaar menurut Gamson dan Modigliani (dalam Eriyanto, 2002:225) adalah mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian yang memperjelas bingkai. Dalam advertorial ALAS, digunakan kata sebagai pasangan muda yang berpendidikan dan menggunakan titel mereka. Title atau modal sosial yang dimiliki Lasmawan sebagai profesor ini tidak disia-siakan dengan selalu disertakan dalam penyebutan namanya dalam setiap berita maupun advertorial. Gelar pendidikan menurut Bourdieu (1986) adalah salah satu bentuk modal budaya yakni institutionalized state dimana didapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Hal ini terlihat pada kutipan berita di Bali Post pada tanggal 18 April 2010 dengan judul berita Kampanye Pertama: Tegang, Cabup Saling Serang di Sidang. Berikut kutipan-kutipan berita yang terkait dengan pencitraan pasangan Alas sebagai kaum berpendidikan tinggi dan pintar. 186 Ucapan pedas bernada membela yang dilayangkan nomor urut 4 pasangan Arsada yakni Prof. Dr. I Wayan Lasmawan dinilai telah menohok dan mengkritisi visi dan misi cabup lain. Jika dirinya yang dipercaya rakyat, “Kampanye Pertama: Tegang, Cabup Saling Serang di Sidang” (Dok: Bali Post , 18 April 2010) Namun yang pasti selama ini duet I Wayan Arsada S.Pd M.Ag – Prof.Dr. I Wayan Lasmawan M.Pd, cabup/cawabup independen yang ambil bagian dalam tarung Pilkada Bangli 4 Mei “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan” (Dok: NusaBali, 19 April 2010) Pasangan ALAS selalu menulis nama I Wayan Lasmawan dengan titel profesor di depan namanya, menjadi Prof. Dr. I Wayan Lasmawan. Dalam advertorialnya di harian NusaBali (19/4), yang berjudul “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”, ALAS pun menuliskan nama kedua calon ini dengan titel yang lengkap. Dalam berita tersebut titel Arsada lengkap ditulis sebagai Sarjana Pendikan dan Magister Agama. Titel Lasmawan pun ditulis lengkap dengan title Profesor, Doktor dan Magister Pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa Alas menekankan diri sebagai pasangan dengan tingkat pendidikan yang tinggi dibandingkan pasangan lainnya yang ikut bertarung dalam pemilukada Bangli. Alas pun mengusung citra sebagai pasangan muda yang cerdas dan pintar. Modal sosial sebagai calon yang berpendidikan tinggi pun ditambahkan dengan citra akademisi yang dinilai cukup berpengalaman. Gelar pendidikan menurut Bourdieu (1986) adalah salah satu bentuk modal budaya yakni institutionalized state 187 dimana didapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Hal ini diperkuat dengan sosok Arsada yang diberitakan sebagai Kepala Sekolah SMP Gurukula yang sangat peduli dengan pendidikan masyarakat Bangli. Pendidikan dinilai sebagai jalan keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjerat masyarakat Bangli. Citra lain yang ingin dibentuk Alas antara lain adalah sebagai pasangan yang agamais dan menjunjung tinggi budaya Bali. Citra ini dibentuk melalui penggunaan busana yang dikenakan pasangan Alas dalam setiap foto di berita maupun advertorial Alas. Di seluruh foto terlihat calon bupati, I Wayan Arsada mengenakan baju adat lengkap berwarna putih dengan udeng berwarna putih pula. Sedangkan wakilnya I Wayan Lasmawan mengenakan pakaian adat lengkap dengan warna hitam. Foto ini seakan-akan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang beragama dan berbudaya. Dalam foto ini pula terlihat kedua tangan pasangan calon ini berada di depan pinggang dengan posisi bertautan. Hal ini memiliki makna ketulusan dan kerendahhatian, dibandingkan menaruh tangan di belakang atau berkacak pinggang. Oleh karena itu, dari foto ini dapat diketahui bahwa citra yang ingin ditampilkan Alas adalah pasangan yang beragama, berbudaya, dan rendah hati. Hal ini terlihat dari beberapa foto dalam advertorial pasangan Alas, diantaranya dalam advertorial ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan, di Harian NusaBali, pada tanggal 19 April 2010 berikut ini: 188 Foto 5.1 Advertorial “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan” (Dok: NusaBali, 19 April 2010) Citra agamais dan berbudaya ini juga ditampilkan dalam foto dimana terlihat pasangan ALAS sedang bersimakrama dengan masyarakat. Preminger (2001) mengatakan bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan lambang atau simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi baju adat Bali lengkap adalah lambang atas citra diri yang berbudaya. Foto kegiatan simakrama ini juga dekat dengan citra berbudaya dan agamais, dimana kegiatan 189 simakrama adalah kegiatan yang dilakukan dalam budaya di Bali. Foto 5.2. adalah salah satu foto yang menggambarkan Arsada dalam advertorial. Foto 5.2 Advertorial “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan” (Dok: NusaBali, 21 April 2010) Foto dengan menggunakan pakaian yang sama ini dilakukan berulang di setiap kesempatan advertorial yang ditampilkan pasangan ini. Foto dengan busana yang berulang ini pun mengesankan agar sosok ALAS selalu diingat oleh pembaca, dan khususnya pemilih sebagai sosok yang agamais dan berbudaya. Pada foto 5.3. diperlihatkan kedua pasangan sedang dalam acara simakrama bersama masyarakat. Dari dua foto 5.2. dan 5.3., terlihat posisi pasangan Alas yang duduk bersila dan sejajar dengan masyarakat yang menghadiri simakrama. Foto ini mencitrakan pasangan Alas sebagai pasangan yang memegang budaya Bali, di mana duduk bersila adalah salah satu tradisi dalam budaya di Bali. Posisi duduk yang sejajar dengan masyarakat yang bersimakrama, mencitrakan pasangan ini yang menganggap 190 masyarakat dan diri mereka sejajar, tidak ada posisi yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Foto 5.3 Advertorial “ALAS Bertekad Turunkan Angka Kemiskinan Hingga 50 Persen” (Dok: NusaBali, 26 April 2010) Hal ini terkonstruksi bahwa pasangan ini ingin sejalan dengan ajaran agama Hindu, Tat Twam Asi, di mana ajaran ini mengatakan aku adalah kamu, sehingga seluruh manusia adalah sama. Pembingkaian citra diri pasangan ALAS melalui foto dalam advertorial di mana menggunakan imaji visual dengan menekankan pada pesan berbudaya. Citra berikutnya yang ingin disampaikan oleh pasangan I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan adalah sebagai sosok yang serupa dan berkarakter seperti Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa. Citra Alas yang tercipta adalah sebagai 191 sosok pengganti Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa yang dinilai berhasil memajukan Bangli. Sosok pasangan ini pun dicitrakan sebagai representasi dari Nengah Arnawa yang bersahaja, komunikatif, dan bersedia melayani masyarakat untuk bersimakrama. Hal ini ditunjukkan dengan menggunakan kata-kata yang menyanjung program-program yang dijalankan dengan I Nengah Arnawa. Alas dalam advertorialnya mengungkapkan bahwa program I Nengah Arnawa adalah program yang monumental dan mampu menyejahterakan masyarakat Bangli. Selain program yang dinilai berhasil, sosok I Nengah Arnawa pun disanjung dengan dikatakan sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial yang tinggi kepada masyarakat. Hal ini terungkap dalam beberapa advertorial pasangan Alas, salah satunya adalah advertorial berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsxada-Lasmawan” di harian NusaBali pada tanggal 21 April 2010. Alasan masyarakat mendukung karena ALAS memiliki komitmen melanjutkan pelbagai program monumental Bupati Bangli, Nengah Arnawa yang mampu menyejahterakan masyarakat Bangli antara lain di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu masyarakat melihat sosok Arnawa yang membidani kelahiran ALAS. Selain mampu menyejahterakan masyaratat, Arnawa juga merupakan sosok yang memiliki jiwa sosial cukup tinggi kepada masyarakat. “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan” (Dok: NusaBali, 21 April 2010) Pasangan Alas pun menggunakan langkah lain untuk membangun citra dekat dengan sosok I Nengah Arnawa. Pasangan ini menggunakan pihak kedua untuk mengungkapkan bahwa pasangan Alas dekat dengan sosok I Nengah Arnawa. 192 Pasangan Alas menggunakan pendapat tokoh masyarakat Desa Songan, Jro Mangku Gede Ardana alias Jro Tomi. Adapun Alasan menggunakan tokoh masyarakat Desa Songan antara lain karena Desa Songan berada di daerah Kintamani, yang notabene adalah daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Bangli. Jro Tomi dalam advertorial berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsxada-Lasmawan” di harian NusaBali pada tanggal 21 April 2010, terang-terangan mengatakan bahwa pasangan Alas adalah representasi dari Arnawa yang bersahaja, komunikatif, dan bersedia melayani masyarakat. Cara pencitraan seperti ini menurut Gamson dan Modigliani (dalam Eriyanto, 2002:225) adalah menggunakan perangkat framing berupa methapors yakni dengan menggunakan perumpamaan atau pengandaian. 5.3.2 Pertarungan Isu Politis dalam Advertorial ALAS menggunakan advertorial untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya. Pasangan Alas mengusung beberapa isu politik yang dijabarkan baik secara eksplisit maupun implisit di media cetak seperti NusaBali, Bali Post dan Radar Bali. Namun tercatat pasangan ALAS ini lebih sering menggunakan media NusaBali dalam wadah komunikasi mereka dengan pemilihnya. Beberapa isu politis yang diangkat oleh ALAS adalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, melanjutkan program bupati sebelumnya I Nengah Arnawa. ALAS mencoba menyeting agenda politik pasangan ini menjadi agenda publik. McCombs dan L. Shaw (1972) 193 menjelaskan bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting atau muncul media maka khalayak akan menanggapnya sebagai isu yang penting pula (Bungin, 2007:281). Maka Pasangan ALAS berharap isu politis seperti kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan akan menjadi agenda publik untuk direalisasikan dalam agenda policy atau kebijakan. Pasangan ALAS mengusung beberapa isu politik yang dijabarkan baik secara eksplisit maupun implisit di media cetak seperti NusaBali, Bali Post dan Radar Bali. Namun tercatat pasangan ALAS ini lebih sering menggunakan media NusaBali dalam wadah komunikasi mereka dengan pemilihnya. Isu politis yang pertama diusung oleh pasangan ALAS adalah memprioritaskan masalah kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Isu yang diangkat Alas di media cetak ini adalah program-program lanjutan dari Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa. Pasangan Alas pun mengusung jargon “Bagimu Bangli, Aku Mengabdi”. Hal ini terlihat dalam tulisan advertorialnya di NusaBali pada tanggal 19 April 2010, yang bertajuk “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”. Advertorial ini adalah advertorial pertama pasangan ALAS. Oleh karena itu ALAS memulainya dengan menjelaskan jargon yang diusung yakni “Bagimu Bangli, Aku Mengabdi”. Jargon ini adalah senjata politik yang digunakan ALAS untuk mengambil hati pemilih mereka dengan menyatakan bahwa pasangan ALAS bersedia untuk mengabdi bagi Bangli. 194 Kliping Berita 5.6 “Alas Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan” (Dok: NusaBali, 19 April 2013) Jargon menurut Gamson dan Modgiliani (dalam Eriyanto, 2002:255) adalah salah satu bentuk framing dengan menggunakan catchprases dan metafor. Hal ini cukup menjadi senjata ampuh, karena kata mengabdi sendiri sejalan dengan kata ngayah dalam bahasa Bali. Konsep ngayah bersinonim dengan salah satu kebiasaan dalam adat yang memiliki nilai positif dalam arti tanpa pamrih. Dari advertorial 5.6 juga diketahui secara eksplisit isu politik yang ALAS angkat adalah masalah kemiskinan, pendidikan dan kesehatan sebagai skala prioritas yang akan dipandang perlu untuk mendapat revitalisasi. Dalam kutipan di atas juga jelas serangan dari ALAS kepada pasangan calon lainnya yang dinilai penuh dengan pesona semu dan janji-janji yang belum teruji melalui suatu kajian. ALAS pun mengemas bahwa isu politik yang mereka angkat adalah terinspirasi dari harapan 195 rakyat Bangli yang muncul pada setiap pertemuan dengan masyarakat Bangli selama ini. Pasangan ALAS berharap isu ini akan menjadi agenda kebijakannya apabila dipilih nanti dan menjadi isu yang penting bagi masyarakat Bangli pada umumnya. Pesan politik yang dikemas pasangan ALAS lainnya adalah bagaimana sosok kepala daerah yang dibutuhkan oleh Bangli. Dalam advertorialnya, ALAS mengatakan bahwa sosok pemimpin yang diperlukan Bangli adalah pemimpin yang merakyat, cerdas, visioner dan bermoral. Ciri-ciri sosok pemimpin ini adalah citra yang ingin dilekatkan pada pasangan ALAS. Pesan politik lain yang dijadikan senjata pasangan ALAS adalah tetap memperjuangkan dana bansos (bantuan sosial) dalam APBD Bangli. Agenda ini yang terus menerus ditekankan oleh pasangan ALAS. McCombs dan L. Shaw (1972) menjelaskan bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Bansos adalah salah satu agenda yang diharapkan mempengaruhi agenda publik. Isu politik lain yang dimiliki Alas adalah kedekatan pasangan ini dengan tokoh-tokoh masyarakat di Bangli. Tokoh pertama adalah Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa. Hal ini tertuang dalam advertorial Alas di harian NusaBali pada 21 April 2010 yang berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket ArsadaLasmawan”. Salah satu tokoh masyarakat Desa Songan, Kintamani, Bangli, Jro Mangku Gede Ardana alias Jro Tomi mengatakan, pihaknya mendukung untuk memenangkan ALAS karena paket ini selain representasi dari Arnawa juga paket ini bersahaja, komunikatif, dan 196 bersedia melayani masyarakat ketika diundang untuk datang seperti mesimakrama. Bahkan sebelum dicalonkan sebagai bupati, Arsada selalu bersedia datang ketika diundang masyarakat. “Karakter Pak Arsada tidak jauh dengan Pak Arnawa. Untuk itu pilihlah ALAS,” ajak Jro Tomi, Selasa (20/4). Kliping Berita “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan” (Dok: NusaBali, 21 April 2010) Dalam advertorial ini jelas diungkapkan pesan politik yang disampaikan tokoh lain yakni Jro mangku Gede Ardana atau Jro Tomi untuk memilih pasangan Arsada-Lasmawan. Bahkan pesan yang disampaikan sangat politis yakni untuk memilih ALAS, dengan alasan karakter ALAS tidak jauh dengan Bupati Arnawa. Teknik yang digunakan ALAS ini adalah tehnik framing dengan menggunakan perangkat metaphor atau perumpamaan diri yang sosoknya dekat dengan sosok Bupati Arnawa. Kedekatan dengan bupati Arnawa ini adalah modal sosial yang menueut Bourdieu (1986) diharapkan mampu menggalangkan massa. Mendekati akhir masa kampanye, pasangan ALAS semakin mempertajam pesan politik mereka. Pada advertorial di NusaBali pada tanggal 28 April 2010, yang berjudul “Masyarakat Rela Antre Demi Paket ALAS”, ALAS kembali menekankan dukungan terhadap pasangan ini makin meninggi. Selain dukungan yang semakin meninggi, dalam advertorial tersebut ditekankan beberapa isu politis penting di antaranya, visi misi yang menyentuh lapisan masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan, mengupayakan pelestarian budaya dan lingkungan masyarakat Bangli, meningkatkan peran serta Desa Adat, Desa Pakraman, dan pesan politik lainnya. 197 Namun dari advertorial ini, pasangan ALAS lebih menekankan bahwa pasangan ALAS ini semakin dicintai oleh beragam kelompok masyarakat di Bangli. Dalam advertorial ini terlihat jelas bahwa pasangan ALAS ingin menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap pasangan ALAS semakin membesar. Hal ini dinyatakan dengan kata-kata seperti membludak, pendukung rela antre, dan rangkaian kata antusias kelompok masyarakat. Pada advertorial ini pun dijelaskan lebih lanjut alasan mengapa pasangan ALAS semakin mendapat dukungan dari beragam kelompok masyarakat. Dari sisi inilah pasangan ALAS menegaskan bahwa dukungan yang mengalir ke pasangan ALAS tidaklah tanpa alasan. Pasangan ALAS dalam pesan politik berikutnya mencoba menjelaskan visi misi mereka. Adapun visi misi tersebut telah disebutkan dalam advertorial sebelumnya. Jadi pesan politik dalam advertorial ini adalah pengulangan dan penekanan kembali dari pesan politik yang telah ALAS sampaikan dalam visi misi pasangan ALAS. Mendekati akhir masa kampanye, pasangan ALAS dalam advertorialnya pun semakin jelas mengajak pembaca memilih pasangan ALAS ini. Hal ini ditunjukkan dalam advertorial di harian NusaBali dengan judul “Masyarakat Rela Antre Demi Paket ALAS”, pada tanggal 28 April 2010 yang menggunakan foto Arsada yang sedang memegang surat suara nomor urut 4 dan dalam posisi siap mencoblos, seperti pada foto 5.7.. 198 Kliping 5.7 Foto Masyarakat Rela Antre Demi Paket ALAS, (Dok: NusaBali 28 April 2010) Dalam foto terlihat calon bupati Arsada sedang duduk bersila dengan menggenakan pakaian adat Bali lengkap. Sembari bersila, Arsada memegang kertas dengan foto pasangan ALAS diperbesar, sedangkan pada dasar kertas tersebut seluruh pasangan calon bupati dan wakil bupati Bangli yang digambarkan dalam sosok hitam. Di samping foto pasangan ALAS yang telah diperbesar terdapat gambar tangan dengan memegang paku yang seolah-olah akan menusuk gambar pasangan ini. Dari foto di atas maka terlihat jelas pesan politik yang disampaikan adalah mari memilih pasangan dengan nomor urut 4 dalam pemilukada Bangli 4 Mei 2010. Hal ini dipertegas dengan kutipan foto dibawahnya dengan kalimat, ARSADA 199 menunjukkan foto pasangan ALAS nomor 4 agar dicoblos pada 4 Mei mendatang. Jadi pada advertorial ini jelas pesan politik yang disampaikan ALAS yakni coblos pasangan ALAS dengan nomor urut 4. 5.4 Bentuk Pertarungan dalam Artikel Berita Berbayar Artikel berita berbayar adalah penyimpangan dari artikel berita pada umumnya. Artikel berita berbayar memiliki bagian-bagian yang serupa dengan berita pada umumnya, dimana dimulai dengan judul berita, lalu lead berita dan isi berita. Namun yang membedakan adalah pihak yang membuat artikel berita tersebut. Artikel berbayar biasanya dibuat oleh pihak di luar media, atau dibuat oleh wartawan media dengan pesanan dari pihak dari luar media. Kompensasi dari artikel ini adalah pihak kedua membayar kepada pihak media agar berita mereka dimuat dalam media tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Berger (dalam Eriyanto, 2005) dimana dikatakan bahwa teks berita tidak dapat disamakan seperti cerminan dari realitas, namun konstruksi atas realitas. Artikel berbayar ini adalah negosiasi antara suatu pihak dengan pihak media dimana pihak kedua membayar kepada media agar berita atau artikel mereka dimuat. Artikel berita berbayar sulit dibedakan dengan artikel berita biasa, karena komposisi yang sama dengan berita biasa. Struktur dan komposisi artikel berbayar tidak ada perbedaan dengan artikel biasa. Jenis kata dan ukurannya pun sama dengan berita 200 biasa. Artikel berita berbayar ini banyak dapat ditemukan dalam harian BaliPost, pada halaman dalam. Kliping 5.8 Berita Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra, (Dok: BaliPost, 20 April 2010) Beberapa indikator artikel berita berbayar ini adalah sifat berita tidak lagi mengandung keterbaruan, di mana terkadang keterangan waktu sudah tidak lagi 201 aktual. Indikator lainnya adalah isi berita biasanya hanya dari satu sudut pandang tanpa ada pandangan dari sisi yang berseberangan. 5.4.1 Pertarungan Citra Diri dalam Artikel Berita Berbayar Pasangan yang paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam komunikasi politiknya adalah pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba mencitrakan diri positif melalui artikel berita berbayar. Beberapa citra diri yang dicoba dikonstruksi oleh Brahmawijaya adalah santun dan beretika, beretika, bijaksana, dan memiliki kedekatan kepribadian dan personal dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu contoh berita berbayar yang dipasang oleh Brahmawijaya pada kliping berita 5.8. Contoh artikel berbayar lainnya antara lain pada saat mendekati akhir masa kampanye yang ditutup dengan kampanye terbuka pada tanggal 29 April 2010. Pasangan Brahmawijaya menyiapkan amunisi lain dalam pertarungan pemilukada. Pada tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya menggelar kampanye puncak dengan menghadirkan tokoh pusat Partai Demokrat Andi Mallarangeng dan Ketua Umum DPP PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri. Dimuatnya berita “Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye Pemungkas Brawijaya di Kayubihi” di Radar Bali, di hari puncak kampanye seolaholah telah memberi gambaran dalam benak si pembaca bagaimana puncak kampanye 202 yang akan digelar pasangan Brahmawijaya di lapangan Kayubihi. Dalam berita ini media menyeting agenda bahwa puncak kampanye pasangan Brahmawijaya akan berlangsung meriah. Proses media mempengaruhi publik dengan setting agenda ini ditentukan oleh bagaimana terbentuknya agenda media dengan teori ekonomi politik media (Kriyantono, 2010:232). Hal ini terkait dengan artikel berita berbayar dimana ada faktor ekonomi dan politik di dalam menyeting agenda dari media yang bersangkutan. Pasangan Brahmawijaya dalam komunikasi politiknya di media cetak terdapat beberapa citra diri yang ingin ditampilkan. Beberapa citra diri yang terkonstruksikan antara lain adalah sebagai sosok yang santun dan beretika, bijaksana, memiliki kepribadian yang serupa dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam tahap konstruksi citra diri menurut Berger dan Luckman (2000), media massa dipandang sebagai variabel atau fenomena yang sangat substantif. Pasangan dengan nomor urut lima lebih mengkonstruksikan diri sebagai pasangan yang santun dan beretika. Hal ini tercermin dari pemberitaan-pemberitaan mengenai pasangan ini. Salah satu beritanya adalah di Harian Bali Post pada tanggal 20 April 2010 dengan judul berita “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahmaputra”. Dalam alinea pertama diberitakan suasana tegang yang terjadi pada hari pertama kampanye ternyata mampu disejukkan oleh pasangan Brahmawijaya ini. Berikut kutipan beritanya: 203 Sidang Paripurna DPRD Bangli hari pertama masa kampanye Sabtu (17/4) lalu sempat tegang. Namun, dengan tampilnya pasangan nomor 5 Cabup Bangli I.B. Brahma Putra dan I Wayan Winurjaya (Brahmawijaya)—sosok santun – ternyata mampu menyejukkan suasana panas sidang. Apresiasi simpati pun ketika itu langsung tertuju kepada Brahmawijaya. “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra” (dok: BaliPost, 20 April 2010) Dalam berita tersebut juga dikatakan bagaimana dampak dari sikap santun Brahmawijaya langsung mendapat simpati oleh masyarakat. Citra santun yang disampaikan Brahmawijaya pun dikatakan berlangsung tidak hanya hari pertama kampanye namun juga pada saat pementasan kesenian. Dalam berita mengenai pementasan kesenian terkonstruksi bahwa pasangan Brahmawijaya adalah sosok yang santun kebapakan dan penuh petuah serta bijaksana. Sosok Brahmawijaya juga dicitrakan sebagai sosok yang penuh etika dan selalu tampil santun, serta menjunjung tinggi kedamaian. Pencitraan sebagai sosok yang santun ini menggunakan perangkat framing berupa pemakaian kata (Eriyanto, 2002:255) seperti sosok santun, dan menyejukkan suasana panas. Pemilihan diksi kata ternyata memiliki dampak dalam pembentukkan citra pasangan Brahmawijaya. Kata lainnya yang digunakan dalam pemberitaan dengan judul “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra” adalah menjunjung tinggi kedamaian, selalu tampil santun, penuh etika, kesejukan yang ditampilkan, tidak arogan, tidak menjelekkan calon lain. 204 Adapun citra yang ingin disampaikan Brahmawijaya dalam pemberitaan yakni lebih pada citra sosok yang santun dikarenakan latar belakang partai pengusungnya yakni koalisi antara Partai Demokrat dengan PNI Marhaenisme. Partai Demokrat sendiri berasosiasi dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal sebagai sosok yang santun. Praktik framing ini menggunakan perangkat framing metaphors (Eriyanto, 2002:255) atau perumpamaan dan pengandaian dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono. Pencitraan ini dilakukan melalui konstruksi berita di harian Bali Post pada tanggal 24 April 2010, dengan judul “SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya, Tekankan Kampanye Damai dan Simpatik”. Dalam berita tersebut diberitakan Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu menyempatkan diri mengunjungi Posko Pemenangan Brahmawijaya. Dari berita yang sama jelas ingin menunjukkan kedekatan pasangan Brahmawijaya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY diberitakan memberikan apresiasi kepada seluruh pendukung pasangan Brahmawijaya yang dikatakan selama ini telah berjuang dengan penuh kerelaan. Dalam berita ini juga memuat foto SBY dan ibu Ani Yudhoyono bersama kedua pasangan. Teknik framing yang digunakan selain kalimat dan kata juga teknik perangkat framing dengan menggunakan foto atau imaji visual (Eriyanto, 2002:255). Dalam foto terlihat Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu Ani Yudhoyono diapit oleh I.B. Brahmaputra dan Wayan Winurjaya. Susilo Bambang Yudhoyono mengenakan pakaian hangat kotak- 205 kotak, sedangkan ibu Ani Yudhoyono mengenakan pakaian kebaya dan mengenakan syal hangat. I.B. Made Brahmaputra dan Wayan Winurjaya dalam foto tersebut mengenakan baju adat Bali lengkap berwarna putih. Keempatnya dalam pose tersenyum menghadap kamera. Foto ini menunjukkan kedekatan diri Brahmawijaya dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono secara fisik maupun perilaku. Hal ini terlihat dalam foto 5.4. Foto 5.4 Foto “SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya Tekankan Kampanye Damai dan Simpatik”, (Dok: BaliPost, 24 April 2010) 5.4.2 Pertarungan Isu Politis dalam Artikel Berita Berbayar Pasangan Brahmawijaya pun menyadari pentingnya isu politik dalam pertarungan kekuasaan kepala daerah di Bangli. Brahmawijaya pun memandang isu politik atau pesan politik menjadi faktor yang cukup signifikan dalam sebuah pertarungan perebutan kedudukan politik. Berbeda dengan pasangan lainnya isu 206 politik yang diusung pasangan I.B. Brahma Putra dan I Wayan Winurjaya lebih bersifat terselubung dalam kemasan berita berbayar. Pasangan Brahmawijaya lebih cenderung menyampaikan pesan-pesan politiknya dalam berita dan artikel berita berbayar. Isu politik yang diangkat oleh pasangan ini antara lain adalah politik santun dan beretika. Isu politik yang diusung oleh pasangan Brahma Putra dan I Wayan Winurjaya adalah politik santun dan penuh dengan etika. Hal ini terlihat dalam pemberitaan di harian BaliPost pada tanggal 20 April 2010 yang berjudul “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra” di BaliPost, 20 April 2010. Agenda setting menurut McCombs dan L. Shaw (1972) jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting Politik citra yang santun dan beretika inilah yang menjadi pesan politik pasangan Brahma Putra. Hal ini dikarenakan dalam berita sepanjang 6 (enam) alinea ini sama sekali tidak memberitakan visi dan misi pasangan Brahma Putra. Bahkan penyampaian visi misi pasangan Brahmaputra ini hanya diberitakan sebagai latar belakang saja, tidak menjadi penekanan berita. ...Ini dibuktikan dengan munculnya I.B. Brahma Putra pada saat memaparkan visi dan misi di hadapan wakil rakyat yang sebelumnya berlangsung menegangkan. Ternyata, tampilnya Brahmawijaya telah mencairkan suasana tegang itu. Dimana, Brahmawijaya ketika itu menyampaikan visi dan misi secara utuh, tanpa dikurangi. Visi dan misi calon bupati dan wakilnya merupakan dokumen rencana pembangunan jangka menengah Kabupaten Bangli. “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra”, (Dok: BaliPost, 20 April 2010) 207 Kutipan berita di atas menegaskan bahwa pesan politik yang diusung Brahmawijaya lebih kepada politik citra. Pasangan ini sama sekali tidak mengungkapkan visi misinya dengan cukup jelas. Pesan politik ini pun disampaikan dalam harian Bali Post pada tanggal 24 April 2010, dengan judul SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya, Tekankan Kampanye Damai dan Simpatik. Dalam berita ini ditekankan pesan politik yang santun dimana menekankan pentingnya kampanye dengan penuh simpatik, menjauhi sikap provokatif serta saling menghormati. Politik citra yang santun ini ditambah dengan karakteristik pasangan Brahmawijaya yang karakteristiknya sama dengan partai yang mengusungnya yakni Partai Demokrat. Dalam berita di atas terdapat realitas yang dikemas oleh media atau dikemas melalui media. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk pengemasan isu politis melalui pembingkaian dan konstruksi berita. Konstruksi akan realitas di media ini adalah tahap pertama dalam mengkonstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa yang tersaji di media sebagai suatu realitas kebenaran (Berger dalam Bungin, 2007:208). Ditambahkan, pihaknya bersama seluruh jajaran relawan Brahmawijaya tidak pernah kehilangan komitmen untuk memenangkan pemilukada mendatang dengan sikap yang elegan, terlebih lagi pihaknya telah menerima pesan langsung dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Tentunya hal itu akan dijadikan pegangan sehingga arah perjuangan pihaknya menjadi makin jelas untuk mencapai satu tujuan yakni memenangkan pilihan rakyat. “SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya Tekankan Kampanye Damai dan Simpatik”, (Dok: BaliPost, 24 April 2010) 208 Dalam berita di atas jelas terungkap kata yang selalu diulang yakni simpatik, mengedepankan sopan santun, sikap yang elegan. Di berita ini juga tertulis hal nyata yang dilakukan Brahmawijaya selain hanya mengatakan kampanye damai saja. Hal ini dikatakan Ketua Tim Relawan Pemenangan Brahmawijaya Kecamatan Kintamani, Putranata. Dari kutipan berita di atas diketahui bahwa pasangan Brahmawijaya ini mengusung isu politik yang elegan dan selalu mengikuti aturan main dari KPUD Bangli. Pesan politik yang senada pun disampaikannya dalam alinea terakhir yang menekankan pemilukada sebagai pesta demokrasi yang penuh dengan keceriaan. Mendekati akhir masa kampanye yang ditutup dengan kampanye terbuka pada tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya menyiapkan amunisi lain dalam pertarungan pemilukada. Pada tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya menggelar kampanye puncak dengan menghadirkan tokoh pusat Partai Demokrat Andi Mallarangeng dan Ketua Umum DPP PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri. Kampanye terbuka tersebut dilaksanakan di lapangan Kayubihi Bangli. Pertarungan melalui orasi terbuka dan kampanye dengan mengerahkan massa baru akan dimulai pada tanggal 29 April 2010 menjelang siang, namun pertarungan di media cetak telah dimulai sejak surat kabar harian terbit di pagi hari. Pada harian Radar Bali, tanggal 29 April 2010, telah terdapat berita rencana kampanye pamungkas pasangan Brahmawijaya. Berita “Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye Pemungkas Brawijaya di Kayubihi” juga sarat akan pesan politik. Pesan politik yang ingin 209 disampaikan pertama adalah turunnya tokoh-tokoh nasional dari partai yang menyusung pasangan Brahmawijaya. Langkah ini ingin membuat pembaca berasumsi positif akan kesungguhan pasangan Brahmawijaya. Hal ini terlihat dengan penggunaan kata benar-benar all out. Pesan politik yang berikutnya adalah kampanye terbuka pasangan Brahmawijaya ini akan diikuti oleh ribuan massa. Dengan berita ini, maka tim pemenangan Brahmawijaya ingin membuat asumsi bahwa dukungan masyarakat akan pasangan Brahmawijaya cukup besar. Kampanye pasangan ini diberitakan akan dihadiri lebih dari 10ribu massa. Berikut kutipan beritanya; Politikus vocal asal Demulih, Susut yang juga adik kandung Brahmaputra ini menyebutkan, kampanye akan diikuti ribuan massa. “Kita akan menghadirkan 10 ribu massa,” kata Santosa yang juga anggota DPRD Bangli itu. Hal yang tidak jauh beda juga ditegaskan Kadek Madra, salah satu relawan pemenangan Brawijaya. Pria yang dikenal militant terhadap Brahmaputra itu mengaku akan mengerahkan massa semaksimal mungkin. “Untuk wilayah Kota ribuan massa akan berkumpul di lapangan Taman Bali,” kata pria asal banjar Pule itu. Sakeng semangatnya, Madra bukan menyebutkan 10ribu massa. Jika tidak ada halangan, 15ribu massa siap dihadirkan. (sur) “Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye Pemungkas Brawijaya di Kayubihi”, (Dok: Radar Bali, 29 April 2010) Dari kutipan berita Radar Bali di atas diketahui bahwa pesan yang ingin disampaikan pasangan Brahmawijaya adalah kekuatan mobilisasi massa yang besar hingga mencapai 15ribu massa. Ini adalah salah satu serangan politik kepada 210 pasangan calon lainnya, pesannya jelas bahwa massa yang mendukung pasangan Brahmawija cukup besar. Berita ini didukung oleh berita pada hari berikutnya pada tanggal 30 April 2010, dengan judul berita “Kampanye Brahma-Wijaya Dibanjiri Massa”. Kliping 5.9 “Kampanye Brahma-wijaya Dibanjiri Massa”, (Dok: NusaBali, 30 April 2010) Artikel berita berbayar pun digunakan oleh pasangan lainnya yakni pasangan GITA. Pasangan GITA menggunakan artikel berita berbayar untuk mengkomunikasikan beberapa pesan politik mereka. Pesan politiknya di antaranya 211 adalah jargon GITA, memilih dengan hati nurani, dan juga pesan bahwa mereka diprediksikan akan memenangi pemilukada. Pesan politik memilih dengan hati nurani disampaikan dalam artikel berita 5.10. yang termuat dalam harian NusaBali pada tanggal 22 April 2010, dengan judul “Pasangan Gita Ajak Pilih Pemimpin dengan Hati”. Kliping 5.10 “Pasangan Gita Ajak Pilih Pemimpin dengan Hati”, (Dok: NusaBali, 22 April 2010) Dalam berita tersebut, NusaBali menulis pesan politik pasangan GITA baik pada judul maupun alinea pertama. Dari kutipan berita di atas diketahui bahwa pesan yang disampaikan oleh pasangan GITA adalah memilih pemimpin sesuai dengan hati 212 nurani, cerdas, dan tulus. Pasangan ini juga mengatakan bahwa apabila memilih dengan hati nurani, cerdas dan tulus maka akan lahir pula pemimpin yang tulus. Hal ini akan berbeda apabila memilih berdasarkan uang yang diberikan oleh pasangan calon lainnya. Ini adalah serangan yang digunakan GITA untuk melawan calon pasangan lainnya dengan tudingan menggunakan uang untuk memperoleh suara. Penggunaan GITA sebagai akronim dari pasangan ini pun memiliki tujuan. GITA dibingkai dengan perangkat framing Catchphrases dan Metaphors (Gamson dalam Eriyanto, 2002 : 255) dimana diumpamakan sebagai pasangan yang menarik dalam artian GITA adalah nyanyian suci. Pada hari terakhir kampanye, tanggal 30 April 2010, terdapat berita di Harian NusaBali yang memuat mengenai kampanye terbuka pasangan Gita pada hari terakhir yakni tanggal 29 April 2010. Dalam berita “Gita Diperdiksi Meraih 53 Persen”, diberitakan mengenai prediksi sebuah lembaga survey yang menyatakan bahwa pasangan Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta (Gita) akan memperoleh 53 persen suara. Hal ini menunjukkan seolah-olah pasangan Gita ini telah memenangkan pemilukada dengan raihan suara 53 persen. Dengan adanya berita ini maka diharapkan mampu memberi dorongan dan dukungan bagi masyarakat di Bangli untuk memilih Gita. Dalam berita di atas terdapat realitas yang di kemas oleh media atau dikemas melalui media. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk pengemasan isu politis melalui pembingkaian dan konstruksi berita. Konstruksi akan realitas di media ini adalah tahap pertama dalam mengkonstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk 213 konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa yang tersaji di media sebagai suatu realitas kebenaran (Berger dalam Bungin, 2007:208). 214 Kliping 5.11 “Gita Diprediksi Meraih 53 Persen”, (Dok: NusaBali, 30 April 2010) Uniknya berita tersebut tidak menyertakan narasumbernya sama sekali, nama lembaga surveynya pun tidak ditulis sama sekali. Hal ini menunjukkan hal yang cukup menimbulkan pemikiran negatif. Berita sudah sewajarnya menyertakan sumber yang jelas. Pada alinea berikutnya pun dikatakan bahwa survey ini sudah berulang kali dilakukan oleh lembaga survey ini. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan Berger (dalam Bungin 2007:208) bahwa pada tahap kedua diperlukan kesediaan dikonstruksi oleh media massa. Namun yang terjadi adalah sumber berita adalah pihak yang mengkonstruksi sendiri realitas dan media massa bersifat pasif. Pada berita Gita Diprediksi Meraih 53 Persen ini juga mengandung pesan politik praktis untuk memilih pasangan Gita dalam pemilukada 4 Mei 2010. Dalam berita ini dengan secara eksplisit dikemukakan untuk memilih pasangan dengan nomor urut 3. Ajakan untuk memilih pasangan Gita disampaikan langsung oleh calon 215 wakil bupati Sang Sedana Arta. Keyakinan akan memenangkan pemilukada dengan raihan suara 53 persen, didukung dengan berita yang menyatakan besarnya dukungan masyarakat Bangli kepada pasangan ini. Berita ini pun memuat bagaimana harapannya agar masyarakat mendukung pemerintahan pasangan ini selama lima tahun ke depan. Dalam Pilkada Bangli 2010 nanti, ada 168.357 suara yang diperebutkan. Sebanyak 68.665 suara atau 40,79 persennya berada di Kecamatan Kintamani, sementara sisanya tersebar di tiga kecamatan yakni Susut (34.298 suara), Tembuku (29.229 suara), dan Kecamatan Bangli (36.165 suara). Berdasarkan survey terakhir, paket Gita unggul di tiga kecamatan yakni Kintamani (Kampung halamannya), Bangli, dan Tembuku. Sedangkan di Kecamatan Susut, terjadi persaingan ketat dengan paket Cabupcawabup lainnya. “Gita Diprediksi Meraih 53 Persen”, (Dok: NusaBali, 30 April 2010) Bentuk-bentuk pertarungan para aktor politik di media cetak yang telah dijelaskan pada bab ini, tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil sebuah konstruksi dan realitas yang dibentuk oleh pelaku komunikasi politik itu sendiri. Bentuk pertarungan ini dipengaruhi oleh beragam faktor. Faktor-faktor inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya yakni bab faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERTARUNGAN AKTOR POLITIK DI MEDIA CETAK Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010 dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor ekonomi, politik, dan faktor media massa. Ketiga faktor ini tidak berdiri sendiri namun saling bersinggungan dan bergantung satu sama lainnya. Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi, digunakan teori analisis teks media dengan pendekatan kulturalis. McNair (2011;3) mengatakan pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit di mana melibatkan faktor internal media (rutinitas dan organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar diri media (McNair, 2011:6). 216 217 Media cetak dalam hal ini adalah wadah arena pertarungan. Menurut Bourdieu (dalam Ritzer, 2010:581-582) arena atau field adalah sebuah arena pertarungan. Struktur field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Field atau ranah tempat pertarungan aktor politik dalam penelitian ini adalah media cetak. Bentuk field atau tempat pertarungan telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yakni dapat berupa artikel berita, advertorial, iklan, dan artikel berita berbayar. Dalam menganalisis isi media digunakan teori produksi teks media dari Shoemaker dan Reese (1996:64). Shoemaker dan Reese membagi dua faktor yang mempengaruhi produksi teks media, yakni faktor internal media dan eksternal media. Kedua pandangan inilah yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010. 6.1 Faktor Ekonomi Faktor ekonomi adalah faktor yang paling berperan dalam pertarungan aktor politik di media massa, dibandingkan faktor politik dan faktor media itu sendiri. 218 Namun kekuatan terbesar adalah dorongan ekonomi yang berlaku di pasar. Faktor ekonomi terbagi dalam dua sektor, yakni di faktor ekonomi media dan faktor ekonomi aktor politik. Faktor ekonomi media massa diketahui dari. rutinitas media, organisasi media, dan sumber penghasilan media. Kekuatan ekonomi atau kapital tercatat sebagai faktor yang paling dominan mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Sistem pemuatan berita dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya komunikasi politik aktor politik di media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali mencari keuntungan yang berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan ideologinya demi meraup untung lebih besar. Hal ini akan dijelaskan pada sub bab faktor ekonomi media berikutnya. Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak menjadi hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi sebuah rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di Bangli. Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga iklan politik terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut. Dalam membahas mengenai ekonomi media dipaparkan dalam dua faktor, yakni rutinitas organisasi media dan sumber pendanaan media cetak. Gramsci (dalam Sugiono, 1999:31) mengungkapkan agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas 219 subordinasi mereka. Maka dalam pemilukada Bangli, pihak yang tersubordinasi dalam media adalah calon-calon yang tidak memiliki akses terhadap media. 6.1.1 Faktor Rutinitas Ekonomi Media Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya (Shoemaker,1996:100). Rutinitas media ini berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Shoemaker (1996:100) mengatakan rutinitas terjadi ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Setiap perusahaan media massa memiliki rutinitas yang berbeda-beda, walaupun sebagian besar memiliki alur yang tidak jauh berbeda. Seperti Harian Bali Post yang dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi yang bertugas bertanggungjawab atas seluruh pemberitaan. Setelah pemimpin redaksi terdapat redaktur pelaksana yang menjalankan tugas sehari-hari dan bertanggungjawab atas kinerja dari redaktur 220 masing-masing bagian. Redaktur di sini berperan sebagai editor pula. Sedangkan ujung tombak di lapangan adalah seorang wartawan. Selama pemilukada Bangli 2010, wartawan Bali Post yang ditugaskan meliput adalah Pujawan, dengan redaktur pelaksana di Denpasar yakni I Gusti Alit Purnata. Menurut penuturan Alit, Pujawan diberikan kebebasan untuk meliput apa pun yang menurut Pujawan menarik terjadi selama pemilukada di Bangli pada tahun 2010. Selain berita hasil liputan Pujawan, Bali Post memiliki rutinitas lain dalam pembentukan berita yang akan naik cetak. Bali Post memiliki kebijakan untuk memberikan ruang bagi berita berbayar yang disebut Alit sebagai advertorial. Kita berikan ruang advertorial. Advertorial itu ada yang langsung, dari pemasang. Yang namanya advertorial itu adalah ketentuan kita, kita edit kalau memang tidak sesuai dengan ketentuan, kalau menjelek-jelekkan calon lain dan sebagainya. Kalau namanya politik kan ada saringannya, ada filternya. (Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 10 April 2011) Pada berita advertorial di Bali Post rutinitas yang terjadi biasanya dua bentuk. Bali Post menerima mentah bahan berita yang akan dinaikkan dari pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya. Kedua Bali Post mengirimkan wartawannya untuk membuat berita atas undangan dari pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya. Namun Alit enggan mengungkapkan berapa biaya yang dihabiskan untuk membeli advertorial di media Bali Post. 221 Kita tidak langsung (berhubungan) ya, siapa saja boleh saja sepanjang dia sifatnya itu kan advertorial, bisa saja tapi tetap diedit tidak menyinggung atau menjelekkan calon lain. Sebatas, mungkin mempromosikan diri. (Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 10 April 2011) Hal ini menurut Gramsci (dalam Sugiono, 2010:41-42) adalah salah satu bentuk kekuasaan melalui kekuatan ekonomi dalam menjaga sebuah relasi kekuasaan. Namun dari catatan dan dokumentasi selama kampanye, dua pasangan calon yang terbanyak memasang advertorial atau berita berbayar di Bali Post adalah pasangan Brahmawijaya dan pasangan Gianyar- Sedana Arta (GITA). Alit mengatakan pihak Bali Post tidak pernah membedakan atau berpihak pada pasangan manapun selama pemilukada di Bangli 2010. Namun yang Bali Post lakukan adalah praktik framing yang diungkapkan Pan dan Kosicki (1993, dalam Eriyanto, 2005:253) di mana Bali Post membuat suatu berita yang lebih menonjolkan salah satu pihak dan menempatkan beberapa informasi lebih daripada yang lain sehingga pembaca lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut keterangan marketing Bali Post, untuk biaya iklan berita di halaman satu yang menyambung di halaman belakang, atau biasanya halaman 15 adalah Rp 13.200.000,00. Harga ini dengan rincian duabelas juta ditambah PPN 10%. Sedangkan untuk berita di halaman dalam dan hitam putih biayanya 900 ribu rupiah di luar pajak, apabila dengan pajak harganya biasanya dibulatkan menjadi satu juta rupiah. Dalam prosesnya Alit mengatakan pihak Bali Post pun tidak pernah mengajukan apa pun terhadap para pasangan calon atau tidak bertindak aktif, namun 222 cenderung menunggu atau lebih pasif. Alit Purnata mengatakan, “Biasanya tim (sukses)nya yang mencari. Untuk harga juga tidak ada perbedaan, sama. Namanya juga advertorial kan sama” (Alit Purnata. Redpel BaliPost, 10 April 2012). Pengakuan Alit bertolak belakang dengan pengakuan salah satu pasangan calon yang mengaku mendapatkan proposal dari pihak Bali Post untuk membeli ruang berita advertorial di harian Bali Post. Hal ini diungkapkan salah satu calon bupati dari calon perseorangan, Ida Bagus Ketut Ludra. Ia mengatakan ada beberapa pihak dari media massa yang menghampiri dengan beberapa ajuan untuk membeli layanan advertorial di media tertentu. Kegiatan ini menurut Ludra dalah hal rutin yang dilakukan media. Rutinitas ini yang mempengaruhi bagaimana media membentuk berita (Shoemaker, 1996:103). Berita ini segini, berita itu segini, yah anda tahu lah saya tidak mau menyebut media. Semua media formatnya sama. Saya bilang kalau anda minta berita dengan saya, mau wawancara saya silahkan (Wawancara IBK Ludra, calon perseorangan, 11 Maret 2012) Hal yang sama juga diakui oleh calon kepala daerah dari Partai Golkar, Wayan Gunawan. Ia mengatakan bahwa ia mendapat tawaran dari berbagai media untuk memasang iklan maupun berita di media-media tertentu. Namun Gunawan mengatakan ia menggunakan media untuk kepentingan yang terbatas saja. 223 Ditawari, direspons dengan analisis. Ditawari dalam keadaan terpaksa saja demi sebuah relasi. Tidak karena sebuah kepentingan yang ideal dalam konteks, paling sekali waktu pemberitaan ada. Kan begitu yang menggerakkan media, paling ada kegiatan pertemuan dimana. Dimanfaatkan, Cuma kadang-kadang sudah terlalu kapitalis juga media. Jadi dimanfaatkan pada momen itu, nilai tinggi. (Wawancara Wayan Gunawan, calon kepala daerah, 12 Juli 2012) Alit mengatakan pihak Bali Post tidak pernah berpihak pada calon mana pun dari kelima calon kepala daerah di Kabupaten Bangli. Alit tetap menegaskan Bali Post sama sekali tidak memiliki kepentingan dalam pemilukada Bangli dan tetap pada kebijakan Bali Post yang mengajegkan Bali, dimana bersifat menyejahterakan rakyat dan memberdayakan masyarakat. Tidak ada yang istimewa, semua sama. Kita tidak ada kepentingan, yang penting memberikan informasi kepada masyarakat yang sebanyak-banyaknya dan yang sebenar-benarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebab kita tidak mungkin membantu orang per orang atau calon per calon, tidak ada. Itu memang aturan kita, bahwa kita berada dalam posisi netral. Iya, kita kan independen. (Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 8 April 2011) Ideologi yang dianut oleh Bali Post ini adalah nilai dalam media yang mempengaruhi isi dari pemberitaan (Shomaker dan Reese, 1996:213). Hal serupa juga terjadi di harian NusaBali. Harian NusaBali dipimpin oleh seorang pemimipin utama. Sedangkan untuk sehari-hari yang bertanggungjawab atas harian NusaBali adalah 224 seorang pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi membawahi beberapa redaktur, dimana masing-masing redaktur memiliki beberapa wartawan. Pada tahun 2010, bertindak sebagai pemimpin redaksi adalah I Ketut Naria. Naria mengatakan selama pemilukada Bangli 2010, sedangkan wartawan yang turun lapangan adalah Pagar Manurung. Pagar Manurung adalah seorang wartawan dengan spesialisasi pemilukada, dan Manurung menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2012, akibat stroke. Naria mengatakan bahwa NusaBali adalah media cetak di Bali yang fokus di bidang politik. Untuk itu NusaBali memiliki kecenderungan untuk mengangkat berita mengenai politik di halaman pertamanya. Naria mengatakan NusaBali pada umumnya menampilkan pergumulan kekuatan politik selama pemilukada di Bangli. Pilihan NusaBali dalam mengedepankan pergumulan politik adalah sesuai dengan praktik Agenda Setting di mana diharapkan media mampu mentransfer isu untuk mempengaruhi agenda public dalam hal ini opini politik publik selama pemilukada (McComb and Shaw dalam Griffin, 2003:490). Kami ini koran politik, image kami NusaBali adalah sebagai Koran Politiknya di Bali ini. Itu kami pegang. Oleh karena itu kami memberitakan power game yang ada atau terjadi saat itu.. bagaimana pergumulannya baik di tengah partainya sendiri ataupun antar pasangan calon (Wawancara I Ketut Naria, Pemred NusaBali,15 Mei 2012) 225 Jadi rutinitas di NusaBali dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan yang sesuai dengan citra yang melekat di NusaBali. NusaBali mengakui pihaknya memberikan kesempatan selama kampanye untuk menggunakan medianya bagi seluruh pasangan calon untuk mensosialisasikan visi misi pasangan. Rutinitas berita selama kampanye yang dapat digunakan oleh pasangan calon adalah berita advertorial dan membeli ruang kolom dalam media atau dilebih dikenal dengan istilah “kavling berita”. Rutinitas yang dijalankan NusaBali tergantung pada kekuatan ekonomi yang dimiliki calon kepala daerah. Bourdieu (1986) mengatakan modal ekonomi adalah salah satu modal penting dalam melakukan ragam praktik. Selain berita advertorial, maka bisa juga partai atau pasangan calon membeli kavling pada halaman koran kami.. itu bisa juga harganya sama dengan harga iklan.. (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012) Naria mengakui bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membeli “kavling berita” di halaman satu mencapai 15 ribu rupiah per millimeter kolom. Bahkan untuk satu artikel berita politik di halaman satu yang menyambung ke halaman 15 dapat menghabiskan dana sebesar 16 juta rupiah. Sedangkan untuk membeli berita advertorial harganya lebih murah dan tergantung dengan harga yang diberikan oleh pihak marketing Nusa Bali. 226 Untuk halaman satu, yang bersambung beritanya ke halaman belakang itu bisa dihargai 16,5 juta.. kalau BaliPost kan hanya 4 sampai 5 jutaan.. kita memang mahal namun jangan disamakan karena Nusa itu ya koran politik, pembacanya jelas yakni orangorang yang suka dan berpolitik.. jadi tidak mungkin rugi. (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012) Naria mengakui harga berita berbayar di Nusa Bali lebih mahal apabila dibandingkan media seperti Bali Post maupun Radar Bali. Naria mengatakan harga yang mahal di Nusa Bali sebanding, karena pembaca Nusa Bali memiliki karakteristik sebagai pembaca yang kerap peduli dan mengerti dengan politik di Bali. Untuk sebuah berita politik di halaman pertama dan menyambung di halaman enambelas, dihargai 16 juta rupiah per sekali muat. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa modal ekonomi menjadi kunci dalam pertarungan isu di media cetak dibandingkan modal lain yang diungkapkan Bourdieu (1986). Namun Naria mengatakan walaupun berita ini termasuk berita berbayar, Nusa Bali tetap memegang idealisme sebagai media massa. Rutinitas Nusa Bali dalam menghadapi berita berbayar adalah menetapkan etika dan aturan yang berlaku untuk setiap berita berbayar. Salah satu aturannya adalah tidak boleh menjelekkan atau memojokkan pasangan lainnya. Aturan lainnya adalah tidak boleh menyebarkan berita bohong. Hal ini menurut Naria sangat penting untuk tetap menjaga nama baik dan independensi dari media Nusa Bali. Apa yang dikatakan oleh Naria ini membuktikan bahwa ideologi yang menurut Shomaker dan Reese (1996:213) seharusnya mempengaruhi isi media namun tidak berperan cukup signifikan. 227 Namun kami tidak melepaskannya begitu saja, tetap ada ramburambunya seperti bahasanya, substansinya bahkan foto apa yang sebaiknya dimuat dalam halaman berita tersebut. Ini penting untuk tetap menjaga nama baik Nusa. Kalau tidak waduh bisa gawat nantinya, kita kan tetap harus independen. (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012) Naria mengatakan bahan berita berbayar biasanya dapat dalam dua bentuk. Pertama yakni diberikan langsung oleh si pasangan calon atau tim sukses dari pasangan calon kepala daerah. Bentuk ini lebih dikenal dengan nama rilis ke media. Rilis ke media cenderung sudah lengkap dan siap cetak serta telah dilengkapi oleh foto-foto yang akan diikutsertakan dalam berita berbayar. Kedua, NusaBali mendapatkan undangan dan mengirimkan wartawannya untuk meliput acara yang dimaksudkan oleh calon kepala daerah atau pun tim sukses calon pasangan kepala daerah. Kedua praktik ini adalah bentuk framing yang dilakukan media terhadap sebuah peristiwa atau fakta. Dengan adanya pesanan berita atau setoran berita ini maka ada praktik penempatan informasi dalam konteks yang unik dengan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu yang lebih menonjolkan kepentingan pihak tertentu (Eriyanto, 2005:253). Rutinitas yang hampir serupa juga dilakukan oleh harian Radar Bali. Radar Bali memiliki susunan yang serupa dengan media cetak lainnya. Radar Bali dipimpin oleh seorang General Manager, dengan seorang pemimpin redaksi. Untuk urusan dan tanggung jawab sehari-hari terdapat seorang redaktur pelaksana. Di ujung tombak pemberitaan adalah seorang wartawan. Di Radar Bali, rutinitas pembuatan dan 228 pemuatan berita juga memiliki rutinitas yang berbeda. Di Radar Bali, menurut redaktur pelaksana, Hari Puspita, tidak dikenal dengan adanya berita berbayar. Hari Puspita juga mengatakan bahwa di Radar Bali tidak pernah mempraktikkan jual beli kavling berita semasa kampanye pemilukada Bangli tahun 2010. Sejauh ini kami berusaha untuk tetap independen, tidak ada keterkaitan antara kebijakan Radar untuk berpihak ke calon siapa misalnya, atau harus mendukung siapa. (Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Harian Radar Bali,22 Mei2012) Namun hal berbeda diungkapkan wartawan Radar Bali, Gde Oka Suryawan yang bertugas sebagai wartawan untuk meliput selama pemilukada Bangli tahun 2010. Ia mengatakan ia baru melakukan tugas peliputan ke Bangli apabila ada pesanan dari kantor, terutama dari pihak marketing. Ternyata informasi ini bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan Hari Puspita. Namun Hari mengakui Radar Bali melakukan praktik jual eksemplar apabila diminati oleh calon kepala daerah atau tim sukses pasangan calon. Hari menjelaskan Radar Bali membuka diri bagi pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya apabila ingin termuat dalam harian Radar Bali maka Radar Bali akan melakukan barter dengan membeli sejumlah eksemplar koran Radar Bali pada waktu tertentu. Tentu saja oplahnya akan lebih tinggi pada hari tersebut. Namun Hari enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai harga yang dikenakan untuk masing-masing calon kepala daerah. Hari lebih menyerahkannya kepada pihak marketing atau pemasaran Radar Bali. Dari paparan 229 di atas kembali diketahui bahwa modal ekonomi adalah modal yang paling berperan dalam pertarungan calon kepala daerah untuk tampil di media. Sekali lagi terungkap bahwa dari tiga modal yang diungkapkan Bourdieu (1986), modal ekonomi adalah modal yang berperan signifikan. Ya, memang ada yang beli koran misalnya pas kampanye gitu. Tapi tidak terus kami membalikkan fakta itu, tidak. Kalau koran memang ada. Biasanya seminggu sekali kan ada profil, kami memberikan kesempatan untuk semua calon. Ada yang beli koran sih memang, yang profil itu. Kami juga memberikan kesempatan yang lainnya. (Wawancara Hari Puspita,Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22 Mei 2012) Hari menjelaskan biasanya berita yang tukar dengan pembelian eksemplar ini tetap sejalan dengan ideologi yang dijalankan Radar Bali, dan tetap dijamin independennya. Hari mengatakan kuasa proses pembuatan berita ini tetap di tangan Radar Bali, dimana wartawan Radar Bali yang ditugaskan untuk meliput berita undangan yang dikirim oleh pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya. Hari Puspita enggan menjelaskan calon mana yang paling sering menggunakan layanan beli eksemplar ini. Namun dari pemaparan Oka, diketahui bahwa Oka baru meliput proses pemilukada Bangli saat ada pesan dari Radar Bali untuk meliput karena ada pesanan dari pihak pemasaran. Oka menjelaskan ia cukup jarang berinisiatif meliput dalam pemilukada saat masa kampanye di Bangli apabila tidak ada perintah dari pihak Radar Bali. Dari paparan di atas terungkap bahwa ideology media kerap kali termarginalkan oleh kekuatan ekonomi. 230 Jarang sebenarnya meliput di Bangli, tidak ada pesanan. Sebenarnya waktu itu space untuk Bangli paling minim, karena iklan tidak ada, calon berpikir rasional yang baca koran sebarapa banyak sih dari sekian jumlah penduduk. Jarang ada iklan ceremonial begitu (Wawancara Gde Oka Suryawan, Wartawan Radar Bali, 22 Maret 2012) Oka mengatakan hal ini dikarenakan ia enggan disangka memihak di salah satu pihak pasangan calon. Oka mengaku lebih leluasa melakukan peliputan saat sebelum masa kampanye, karena ia merasa lebih bebas dan independen. Shoemaker dan Reese (1996:255) mengungkapkan bagaimana hubungan antara jurnalis dan sumber akan berpengaruh pada penulisan sebuah berita. Rutinitas yang biasa dilakukan oleh Radar Bali adalah menjual eksemplar koran yang berisikan berita tentang calon kepala daerah. Oka mengakui dua calon kepala daerah yang lebih sering menggunakan layanan ini adalah Made GianyarSang Nyoman Sedana Arta dan Ida Bagus Brahmaputra- Wayan Winurjaya. Namun Oka menegaskan tidak ada kenaikan harga koran untuk koran yang berisikan berita tentang calon yang bersangkutan. Strategi kita sih, pembelian koran. Biasanya, kalau calon mau muncul di koran, kita pasang di koran berapa, misalnya 100 hingga 500 eksemplar. Iya di dalamnya ada berita tentang mereka dengan harga seharga koran tersebut. (Wawancara Gde Oka Suryawan, Wartawan Radar Bali, 22 Maret 2012) 231 Salah satu rutinitas lain yang biasa dilakukan Radar Bali menjelang pemilukada adalah polling atau jajak pendapat pembaca. Biasanya Radar Bali, akan menggelar jajak pendapat para pembaca dengan memotong kupon yang telah disediakan dan menuliskan siapa calon kepala daerah dan wakil yang diinginkan. Hari Puspita mengatakan bahwa rutinitas ini adalah salah satu kekuatan dari Radar Bali dan jajak pendapat ini dijamin independensinya dan sama sekali tidak ada rekayasa atau kepentingan apapun. Ini riil, kami tidak mau gambling untuk bermain-main di wilayah itu. Makanya sejauh ini polling kan sesuai dengan hasilnya. Kita tidak pernah merekayasa. Kita juga tidak pernah ada blok kavlingan berita (Wawancara Hari Puspita , Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22 Mei 2012) Praktik yang dilakukan dalam hal polling pendapat yang diselenggarakan oleh Radar Bali kerap kali terjadi penyimpangan. Namun penyimpangan dilakukan bukan oleh media melainkan oleh calon kepala daerah. Layanan jajak pendapat Radar Bali ini diakui oleh salah satu pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Bangli, Wayan Gunawan. Gunawan mengakui menjelang pemilukada, pihaknya memborong Radar Bali untuk mengisi jajak pendapat agar dirinya masuk dalam jajaran calon yang difavoritkan. Hal ini menurut Gunawan sangat penting, karena mencitrakan dirinya dipilih oleh audiens pembaca untuk menjadi calon kepala daerah di Bangli. Aksi yang 232 dilakukan Gunawan adalah salah satu bentuk Agenda Setting (McComb dan Shaw, 1986) dimana Gunawan membentuk atau menyeting opini publik dengan cara menyeting agenda di media yang menonjolkan dirinya sebagai salah seorang pilihan masyarakat Bangli. Itu seolah-olah sudah menjadi nilai pesan dari audience. Borong saja dari semua lini. Saya pun ya langganan korannya, minta kuponnya kirim. Dipikir-pikir gak ada kerjaan. Tapi banyak lho saya belinya. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah,12 Juli 2012) Dari penjelasan di atas faktor rutinitas media yang paling mempengaruhi pertarungan para aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli adalah kebiasaan atau rutinitas media dalam proses pembuatan berita. Kebiasaan media ikut bermain dalam pertarungan dengan memberikan harga untuk kavling berita atau berita berbayar mempengaruhi pertarungan para aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli tahun 2010. 6.1.2 Faktor Sumber Pendanaan Media Cetak Rutinitas media pun terkait dengan organisasi media dan sumber pendanaan media cetak. Organisasi media juga berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Faktor organisasi berhubungan dengan 233 struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam organisasi media misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. Masingmasing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita. Bagian terbesar dalam media setelah bagian pemberitaan dalam mengemas sebuah media cetak tentu saja adalah bagian pemasaran atau marketing. Bagian pemasaran atau marketing dalam sebuah media biasanya mempunyai target dan tuntutannya sendiri. Bagi sebuah media cetak dengan omset besar, kesulitan bagian pemasaran dalam memenuhi target tentu saja tidak akan seberapa sulit. Tetapi hal yang berbeda akan terjadi pada media-media yang oplahnya tidak begitu besar. Media cetak di tingkat lokal biasanya dihadapkan pada permasalahan sulitnya memenuhi target pemasaran atau target iklan. Iklan di media cetak lokal terutama yang berdiri sendiri dan tidak berjaringan dengan media yang lebih besar akan lebih menemukan 234 kesulitan memenuhi pundi-pundi iklannya. Untuk itu, jalan tengah yang biasa diambil oleh media-media tersebut untuk tetap bertahan hidup adalah menjual kavling berita kepada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Hal ini sebenarnya melanggar kode etik jurnalistik di mana pemberitaan seharusnya independen dan tidak memihak pada pihak mana pun. Namun apabila kavling berita ini dijual, maka independensi sebuah media cetak akan dipertanyakan. Ironisnya, di Bali jual beli kavling berita sebagai sumber penghasilan media adalah hal yang lumrah terjadi. Bali Post sebagai media cetak tertua di Bali pun telah biasa melakukan praktik jual beli kavling berita ini. Di Bali Post praktik ini diakui bukan sebagai jual beli kavling berita namun, berita advertorial. Istilah berita advertorial ini dinilai bukan sebuah pelanggaran jurnalistik namun bagian dari praktik legal periklanan. Bahkan redaktur pelaksana Bali Post pun mengaku tidak mengetahui berapa biaya yang harus dikeluarkan apabila ingin memasang berita advertorial di Bali Post. Namun dari tuturan narasumber yang lain, terdapat harga yang berbeda untuk berita advertorial di Bali Post tergantung pada halaman dimana berita advertorial itu berada. Sebagai pembaca yang tidak memiliki literasi berita yang cukup maka akan menemukan kesulitan untuk menentukan apakah berita tertentu itu adalah berita advertorial berbayar atau berita murni. Namun dari dokumen yang berhasil dihimpun, pasangan yang paling sering menggunakan layanan berita advertorial ini adalah Brahmawijaya. Selama masa kampanye tercatat pasangan Brahmawijaya adalah pasangan yang memiliki kuantitas 235 berita advertorial tertinggi di Bali Post selama masa kampanye pemilukada 2010 yakni sebanyak empat berita selama kampanye. Praktik serupa juga dijalankan oleh harian NusaBali. Harian ini melalui pemimpin redaksinya mengakui bahwa media NusaBali memberikan layanan khusus untuk para pasangan calon kepala daerah pada masa kampanye. Dua layanan yang diberikan NusaBali adalah berita advertorial atau berbayar dan pembelian kavling berita selayaknya iklan. Kedua bentuk layanan ini memiliki nilai ekonomi yang tentu saja berbeda. Kalau halaman satu harganya itu mencapai 16 juta rupiah karena bersambung ke halaman 15. Pokoknya 15 ribu per mm kolom. Kalau berita advertorial itu beda lagi seperti iklan biasa, harnya lebih murah dari halaman satu. (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012) Naria mengakui berita berbayar atau advertorial biasanya memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan berita biasa lainnya. Ciri yang pertama adalah pada akhir pemberitaan biasanya terdapat tanda a keong atau @. Ini adalah salah satu tanda bahwa berita tersebut adalah berita berbayar. Berita berbayar sendiri memiliki perbedaan dengan berita dengan sistem membeli kavling. Perbedaan yang mencolok adalah jenis huruf yang digunakan dalam berita tersebut. Apabila pada berita berbayar jenis huruf yang digunakan adalah jenis times new roman, maka dalam berita berkavling, jenis huruf yang digunakan adalah arial. Ini menurut Naria adalah 236 salah satu bentuk tanggungjawab media kepada pembacanya dimana dijelaskan secara tidak langsung bahwa berita ini adalah iklan, bukan tergolong berita biasa. Untuk berita politik, kita sama sekali tidak ada diskon atau harga khusus, ya harganya segitu. Tetapi kalau berita pendidikan atau kesehatan tentu ada kebijakan khususnya (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012) Naria mengakui bahwa selama masa kampanye, dijadikan kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang berlebih dibandingkan hari biasanya. Dengan adanya berita berbayar atau advertorial ini tentu saja dapat membantu memenuhi target bagian pemasaran atau marketing. Masa-masa kampanye pemilukada tentu saja dijadikan ajang untuk mengeruk pendapatan sebesar-besarnya. Bahkan beberapa media telah mempersiapkan proposal kepada setiap pasangan calon. Proposal tersebut berisikan tawaran pemuatan berita dalam beberapa kala dengan biaya tertentu. Hal ini diakui oleh salah satu pasangan calon kepala daerah dalam pemilukada Bangli 2010. Berita ini segini, berita itu segini, yah anda tahu lah saya tidak mau menyebut media. Semua media formatnya sama. Saya bilang kalau anda minta berita dengan saya, mau wawancara saya silahkan. (Wawancara IBK Ludra, Calon Perseorangan, 11 Maret 2011) 237 Ludra mengatakan ada pihak-pihak dari media massa yang mendekatinya dengan beberapa ajuan proposal. Namun ia enggan menjelaskan lebih lanjut berapa biaya yang ditawarkan dari masing-masing media massa. IBK Ludra menjelaskan proposal biasanya diajukan oleh wartawan medianya langsung atau melalui pihak marketing sebuah media massa. Hal yang sama juga diakui calon kepala daerah lainnya. Iya ada bawa proposal. Di Nusa masih bisa nego, kalau Bali Post dipatok. Halaman satu beda harganya, perkolomnya beda, semakin kecil kolomnya semakin mahal justru. Yang datang wartawannya. Penawaran awal ya marketing lewat korespondennya. Iya bawa proposal. (Wawancara Wayan Gunawan, calon kepala daerah, 12 Juli 2012) Kepentingan pihak pemasaran ini ternyata memberikan pengaruh terhadap pertarungan para aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Pengaruhnya adalah siapa yang memiliki modal ekonomi yang kuat maka ia akan lebih mampu untuk sering tampil di sebuah media. Bahkan pasangan calon kepala daerah untuk masuk dalam sebuah berita di media cetak akan lebih sulit pada masamasa kampanye. Dari dua faktor organisasi media di atas, yakni kebijakan dan tuntutan pemenuhan target marketing atau faktor kapitalis, diketahui bahwa dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 tercatat bahwa faktor kapitalislah yang lebih banyak mempengaruhi pertarungan para aktor ini di media cetak. Ini menegaskan bahwa kecenderungan media lokal masih berfokus pada 238 pemenuhan ekonomi mereka. Lalu ajang kampanye pemilukada dijadikan salah satu tambang emas dalam mengisi pundi-pundi keuangan media tersebut. Faktor yang disinyalir mempengaruhi isi media menurut Shoemaker and Reese (1996) yakni rutinitas media, dan organisasi media dalam kasus pemilukada Bangli 2010 terbukti berpengaruh. Namun rutinitas dan organisasi media dipengaruhi oleh satu kekuatan besar yakni kekuatan ekonomi. Dimana kekuatan ekonomi mempengaruhi bagaimana media memberitakan kasus tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya jual beli kavling berita hingga jual beli oplah koran selama masa pemilukada. Biaya media yang tinggi ini menuntut aktor politik yang mengikuti pemilukada untuk memiliki modal ekonomi yang tinggi pula. Dapat dipastikan apabila tidak memiliki modal ekonomi yang cukup maka aktor politik tidak akan sering muncul di media cetak. Foucault (dalam Ritzer dan Goodman,2010:655) mengungkapkan bahwa manusia memusatkan perhatian pada bagaimana orang mengatur dirinya dan orang lain melalui produksi kekuasaan. Tampil di media adalah salah satu cara untuk memproduksi kekuasaan opini pada masyarakat. Oleh karena itu modal biaya yang dibutuhkan tiap-tiap calon kepala daerah tergolong tinggi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa total biaya yang dikeluarkan masingmasing calon kepala daerah beragam mulai dari 500 juta rupiah hingga lebih dari tiga miliar rupiah. Pasangan Ludra-Durpa enggan mengungkap total biaya yang mereka keluarkan, namun secara tidak langsung Ludra mengatakan tidak menghabiskan dana 239 lebih dari 500 juta rupiah. Pasangan Gunawan-Artjana mengaku menghabiskan dana tidak lebih dari satu miliar rupiah. Pasangan GITA enggan mengungkapkan total biaya karena menurut pengakuan Gianyar ia tidak mengetahui secara pasti dana yang dikeluarkan partai karena dipegang oleh pihak partai. Namun, apabila diperkirakan dari hasil observasi dan wawancara maka dana yang dikeluarkan minimal dua milyar rupiah. Pasangan ALAS juga enggan mengungkapkan nilai biaya yang ia keluarkan namun Arsada mengungkapkan pascapemilukada ia masih berhutang kurang lebih dua milyar rupiah. Pasangan Brahmawijaya adalah pasangan yang mengungkapkan secara terus terang bahwa pasangan ini menghabiskan dana hingga tiga milyar rupiah selama masa pemilukada. Tuntutan pasar akan biaya ekonomi yang tinggi dalam pemilukada adalah bentuk terhegemoninya pertarungan aktor politik di media cetak akan kepentingan capital atau ekonomi pihak-pihak terkait terutama media cetak. Pertarungan aktor politik terhegomi oleh pasar. Melalui konsep hegemoni, Gramsci beragumentasi bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua perangkat kerja. Perangkat kerja yang pertama adalah mampu melakukan tindak kekerasan yang bersifat memaksa (Heryanto, 1997). Dalam hal ini media memiliki kekuasaan yang bersifat memaksa di mana apabila calon kepala daerah ingin tampil di media, calon harus membayar kepada media tersebut. Tindakan yang dilakukan media ini pun didorong oleh tuntutan keberlangsungang hidup media cetak tersebut. Ketiga media cetak yang menjadi obyek penelitian adalah media cetak swasta yang 240 berorientasi pada keuntungan. Masa pemilukada pun dinilai sebagai ajang dan peluang emas dalam memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Faktor proximity atau kedekatan peredaran surat kabar dengan pemilih dalam pemilukada membuat posisi media cetak lebih diuntungkan. Tunduknya media pada kapitalisme ini adalah bentuk kuatnya hegemoni pasar pada sektor media yang pada idealnya bersifat independen. Faktor ekonomi ini tidak berdiri sendiri namun juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yakni faktor politik, yang akan dijelaskan pada sub bab berikut ini. 6.2 Faktor Politik Faktor politik yang mempengaruhi pertarungan aktor politik diantaranya adalah faktor ideologi aktor, partai politik yang mengusung hingga strategi kampanye dalam pemilukada. Aktor politik sebagai sumber berita dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral kepentingan untuk yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai mempengaruhi media dengan berbagai alasan seperti memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Shoemaker dan Reese (1996:267) mengatakan bahwa apabila semakin tinggi sumber 241 memiliki kekuatan ekonomi atau politik maka akan lebih mempengaruhi isi dari sebuah pemberitaan. Sebelum kelima pasangan calon ini terbentuk, pertarungan pembentukan pasangan calon sudah terjadi. Pembentukan pasangan ini akan berpengaruh pada bentuk komunikasi politik yang digunakan masing-masing pasangan. Perpaduan antara ideology politik, kepemilikan modal masing-masing pasangan menjadi kekuatan awal pasangan calon untuk bertarung. Pertarungan kombinasi modal yang diungkapkan Bourdieu (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang dapat berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada Bangli ini. 6.2.1 Faktor Ideologi Politik Setiap aktor politik dalam melakukan pertarungan di pemilukada berangkat dari sebuah ideologi yang tertuang dalam visi misi aktor politik. Visi misi aktor politik ini dapat diketahui dalam paparan para aktor politik selama masa kampanye aktor politik. Ideologi aktor politik dapat dipengaruhi oleh partai politik yang mengusungnya hingga ideologi yang dimiliki aktor politik itu sendiri terlepas dari partai politik yang mengusungnya. Ideologi menurut Althusser (2008: xi) merepresentasikan hubungan imajiner dari individu-individu pada kondisi eksistensi yang nyata dan merupakan suatu susunan perangkat praktis yang merembes ke segala arah tanpa henti. Althusser 242 sebagai pelopor kajian ideologi mikro menilai ideologi telah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya. Oleh karena itu maka aktor politik sebagai seorang individu tentu saja telah memiliki nilai-nilai ideologinya sendiri terlepas dari ideologi partai politik pengusungnya. Takwin (dalam Althusser, 2008:xix) mengungkapkan konsep ideologi yang diungkapkan Althusser ini berimplikasi bahwa siapa pun tidak lepas dari ideologi, dimana seakan-akan ideologi adalah udara tempat manusia menghirup mafas untuk melangsungkan hidup. Kelima pasangan aktor politik yang bertarung dalam pemilukada pun memiliki ideologinya sendiri-sendiri. Pasangan Ludra-Durpa menyampaikan visi “Gema Bangli Jaya Mandiri” sedangkan misinya adalah mewujudkan Bangli yang sejahtera dan berbudaya, dalam lingkungan alam Bangli yang religius, serta mewujudkan Bangli yang maju, dinamis, modern dan unggul. Pasangan GUNA dari partai Golkar menyampaikan sejumlah program di antaranya adalah peningkatan sarana dan prasarana rumah sakit bertaraf internasional dan puskesmas serta laboratorium kesehatan. Pasangan ini pun mencanangkan pemberian subsidi pendidikan secara silang. Pasangan GITA yang diusung PDI Perjuangan memiliki visi menwujudkan masyarakat Bangli yang “Gita Shanti” berlandaskan Tri Hita Karana, sedangkan salah satu misinya adalah menyelenggarakan pemerintahan yang bersih, demokratis, efisien dan efektif. Pasangan ALAS memiliki visi terwujudnya masyarakat Bangli yang memiliki jati diri, berbudaya, maju, inovatif, sejahtera dan spriritual. Salah satu misi pasangan ALAS adalah meningkaykan kualitas sumber 243 daya manusia yang spiritual untuk membangun jati diri dan budaya Bangli menuju terwujudnya masyarakat sejahtera dan maju berlandaskan Tri Hita Karana. Pasangan Brahmawijaya menampilkan Sembilan program unggulan jika berhaasil terpilih menjadi kepala daerah. Di antaranya, tambahan bantuan langsung ke desa adat senilai 30 juta rupiah, bantuan langsung tunai ke banjar dan masyarakat. Ideologi yang tertuang dalam visi misi para pasangan calon aktor politik ini tentu saja tidak terlepas dari idologi partai politik yang mengusung para calon pasangan kepala daerah ini. PDI Perjuangan sebagai partai terbesar dan terkuat di Bali memiliki ideologi partainya sendiri yakni menjalankan cita-cita proklamasi kemerdekaan, di mana partai dalah alat perjuangan rakyat dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dalam bingkai NKRI- Pancasila. PDI Perjuangan tidak bisa terlepas dari ideologi Marhaenisme di mana memiliki nilai Nasionalisme yang tinggi dan menentang liberalism dan kapitalisme. Partai Golkar memiliki ideologinya sendiri, yakni pada ideologi pembangunan dengan erat kaitannya dengan kesejahteraaan. Namun dalam Anggaran Dasar Rumah Tangganya Partai Golkar mengaku bahwa partai Golkar berasaskan Pancasila. Tugas pokok partai Golkar adalah memperjuangkan terwujudnya peningkatan segala aspek kehidupan yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, agama, sosial budaya, hukum, serta pertahanan dan keamanan nasional guna mewujudkan cita-cita nasional. 244 Partai besar lainnya yang mengusung calon kepala daerah adalah Partai Demokrat. Ideologi Partai Demokrat adalah nasionalis-religius, humanisme, dan pluralisme. Partai Demokrat sendiri memiliki visi mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera. Sementara misi partai, antara lain, memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban Warganegara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lembaga perwakilan dan permusyawaratan. 6.2.2 Strategi Politik Dari lima pasangan calon kepala daerah yang bertarung di pemilukada Bangli, tercatat hampir seluruhnya pernah menggunakan media massa terutama media cetak dalam menyampaikan visi misi selama masa kampanye mereka. Namun yang membedakan adalah kuantitas penggunaan media cetak sebagai media dalam menyampaikan visi misi mereka. Pasangan yang tercatat paling sering tampil di media dengan menggunakan bentuk iklan adalah pasangan dari PDIP, yakni pasangan 245 GITA. Pasangan yang tercatat paling sering tampil di media dengan bentuk berita advertorial adalah pasangan perseorangan ALAS. Pasangan ini tercatat banyak menggunakan berita advertorial di media cetak terutama di Harian NusaBali. Sedangkan pasangan dari Partai Demokrat dan gabungan beberapa partai kecil lainnya yakni Brahmawijaya tercatat tersering menggunakan berita berbayar di media cetak Bali Post. Masing-masing pasangan calon atau tim sukses dalam pemilukada di Bangli 2010 tentu saja memiliki alasan tertentu untuk menggunakan media cetak dalam bertarung memperebutkan kursi bupati dan wakil bupati di Kabupaten Bangli. Latar belakang yang diungkapkan para pasangan calon atau tim suksesnya pun berbeda, mulai dari permasalahan ekonomi, strategi kampanye, hingga karakteristik pemilih di Bangli. 1 Tabel 6.1 Penggunaan Media Cetak oleh Aktor Politik dalam Pemilukada di Bangli 2010 Pasangan Iklan Advertorial Berita Berita berbayar Ludra – Durpa Perseorangan 1 1 2 GUNA Golkar - - 1 1 3 GITA (PDIP) 10 - 2 9 4 ALAS Perseorangan - 5 - 5 5 Brahmawijaya Demokrat - - 4 4 No 246 6.2.2.1 Strategi Politik Pasangan Lurda-Durpa Pasangan perseorangan Ida Bagus Ketut Ludra dan I Wayan Durpa termasuk pasangan calon yang tidak begitu sering tampil di media cetak Nusa Bali, Radar Bali, dan Bali Post. Berita khusus pasangan ini tercatat hanya satu kali di Harian Radar Bali. IBK Ludra mengakui bahwa media massa memang memiliki pengaruh dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, namun masih memiliki beberapa keterbatasan tergantung dari derajat literasi masyarakat akan media itu sendiri. Pilihan Ludra untuk tidak menggunakan uang baik di media maupun untuk membeli suara tidak terlepas dari motivasi awal mencalonkan diri. Ludra mengaku motivasi utamanya adalah ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat di Bangli. Tapi terbatas, masyarakat terbatas, yang derajat kosmopolitnya sudah bagus. Tapi kalau masyarakat pedesaan yang di balik gunung, daerah Kintamanilah, penyediaan sarana kurang, keterikatan mereka terhadap hal-hal yang bersifat tradisional masih kuat, artinya pengaruh sentuhan modernisasi masih lambat. Mata pencaharuan mereka lebih cenderung petani dan peternak, sehingga waktu mereka untuk membaca media itu masih sangat kecil. (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Adapun berita yang termuat di Radar Bali pun adalah pesan politik dari IBK Ludra agar masyarakat mawas diri akan politik uang yang semakin menghantui. 247 Coba deh, saya ingin mencoba mumpung ada keran baru yang dibuka dengan calon independen, saya hanya memberikan pendidikan politik pada public. Jadi lebih keterikatan moral saya dengan pemilih saya atau pendukung saya. (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Pesan politik anti politik uang ini pula yang hadir di sebuar artikel di Radar Bali. Hal ini ditegaskan kembali oleh Ludra, agar tidak ada lagi politik transaksional. Pemilih diharapkan mampu menggunakan pikiran positifnya dimana pada saat harus memilih ia menggunakan suaranya untuk yang terbaik bukan atas dorongan apa pun. Ludra mempraktikan Agenda Setting (McComb dan Shaw, 1986) dimana diharapkan isu anti politik uang menjadi agenda atau isu yang dianggap penting oleh publik atau pembaca media. “Mudah-mudahan. Kalau itu bisa dilakukan masyarakat bisa lebih cerdas, saya pikir akan dapat pemimpin yang sesuai dengan keinginan masyarakat” (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) . IBK Ludra mengatakan untuk sebagian pemilih, pemilih masih memandang partai yang mengusung pasangan calon bukanlah sosok orang yang diusung itu sendiri. Perilaku pemilih yang cenderung pragmatis pun menyebabkan IBK Ludra enggan menggunakan media cetak. Politik praktis di Indonesia yang masih cenderung memerlukan biaya politik tinggi menyebabkan budaya politik yang dekat dengan uang. 248 Dengan format begini memang, politik itu biayanya besar, sepintar apapun kamu kalau tidak ada biaya politik tidak bisa. Karena mereka belum bisa memahami, apa yang mau kita lakukan, makanya dia hanya bisa melakukan kalau dia dikasih uang kan (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Pesan politik anti politik uang inilah yang selalu diangkat IBK Ludra dalam setiap kesempatan saat bertemu dengan masyarakat. IBK Ludra pun selalu mengingatkan pada masyarakat yang mengundangnya datang di daerah tertentu, bahwa ia tidak akan menjanjikan maupun memberikan uang sepeserpun. IBK Ludra mengakui pertama kali masyarakat cukup kaget dan akhirnya enggan untuk menindaklanjuti rencana kunjungan. Namun pascapemilukada banyak masyarakat yang mengadu dan mengatakan bahwa politik uang yang diterima saat kampanye kini tidak ada realisasi dan pembangunan apapun di daerah mereka. Ada beberapa sih yang sekarang ini setelah pasca pemilihan. Ternyata iya betul, jawaban mereka betul. Mestinya saya dulu ikut dengan pemikiran bapak. Masyarakat sudah merasa dirinya diperalat oleh politik sekarang. (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Prinsip IBK Ludra yang tidak menggunakan media sebagai alat bertarung dalam pemilukada 2010 juga karena tuntutan ekonomi dari media. Ia mengatakan untuk membayar media tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ia juga beranggapan bahwa apabila ia membayar media maka ia sama saja melakukan praktik 249 politik uang. Rutinitas media yang menjadikan aktor politik sebagai sumber penghasilan media selama pemilukada disadari oleh IBK Ludra. IBK Ludra mengakui keengganannya untuk bermain di media juga disadari wartawan-wartawan yang bertugas saat pemilukada Bangli. Ia pun mengakui kerap kali menolak proposal dan pengajuan orang media untuk memasang iklan atau berita berbayar di media-media tertentu. Ada penawaran resmi, ada istilah advertorial. Sekali liputan sekian puluh juta. Yah polanya seperti itu, dia menawarkan proposal sekian kali terbit tentang bapak dalam bentuk advertorial, dengan sekian koran distribusi (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Namun walau telah ditegaskan berulang kali, hampir semua wartawan media tetap berusaha menghampiri dan menawarkan untuk membeli berita. Menurut IBK Ludra ajang ini adalah ajang dimana media mengambil peluang dan memanfaatkan situasi. IBK Ludra juga mengatakan bahwa dirinya tidak pernah diwawancara lalu harus berkontribusi uang. Menyadari keterbatasannya menggunakan media dalam pemilukada, IBK Ludra akhirnya memilih untuk menggunakan kekuatan jaringan yang telah ia dan keluarganya miliki. Memahami kelemahannya di modal ekonomi IBK Ludra lebih banyak menggunakan kekuatan modal lainnya yang dimiliki IBK Ludra dan Durpa. Modal lainnya yakni modal sosial dan modal budaya seperti yang diungkapkan Sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1986). Modal sosial yang dimiliki berangkat dari 250 awal keputusannya untuk maju. Keputusannya untuk maju dalam pemilukada juga diakui akibat dukungan dari masyarakat yang dekat dengannya. Saya maju waktu itu tanpa uang dan waktunya Cuma 5 bulan, saya waktu itu sudah tidak mau maju, tapi beberapa masyarakat saya terutama saya mempunyai hubungan dengan masyarakat, istilah di griya ada sisyaya. Sisya saya ini yang mengkehendaki. (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) Modal sosial yang dimilikinya adalah mesin politik sisya yang akhirnya digunakan oleh pasangan perseorangan IBK Ludra dan Wayan Durpa. Bahkan IBK Ludra mengatakan seluruh urusan pendaftaran yang disyaratkan KPUD, diselesaikan dengan baik oleh sisya. Persyaratan lolos sebagai peserta perseorangan adalah dengan mengumpulkan 17 ribu KTP, dan semua berhasil dikumpulkan dengan bantuan sisya dari IBK Ludra. Keterbatasan dana atau modal ekonomi membuat IBK Ludra-Durpa menggelar kampanye sederhana simpatik. Bentuk kampanyenya pun sangat sederhana seperti datang ke rumah-rumah dan memberI hiburan kepada masyarakat, mengingat Wayan Durpa adalah seorang seniman. Lurda-Durpa memilih untuk mengunjungi masyarakat pemilih secara langsung. Saya datang door to door, simakarma, terus sekaligus juga menghibur masyarakat, tapi tidak ada uang. Sama sekali tidak ada uang, makanya saya calon independen tidak ada sponsor, tidak bisa saya datang ke TPS mana menghimbau, Karena memang tidak ada uang (Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) 251 Kekuatan pasangan ini adalah pada kekuatan modal budaya. Modal budaya berupa simbolik menurut Bourdieu (1986) berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dalam hal ini calon kepala daerah IB Ludra memiliki modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise bapak IB Ludra yakni IB Suta. IB Ludra pun memperoleh kekuatan modal simbolik dari kakaknya yakni IB Agung Landip. Modal yang dimiliki oleh calon wakil kepala daerah pasangan ini adalah modal budaya. Modal budaya memiliki beberapa dimensi yaitu, pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya, cita rasa budaya dan prefensi, kualifikasi-kualifikasi formal, kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis, hingga kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk. Sebagai seorang seniman dan budayawan, I Nyoman Durpa memiliki kekuatan di bidang budaya dan seni. Bahkan dalam berkampanye pasangan ini mengandalkan media-media seni budaya seperti pertunjukan kesenian. Pasangan ini pun mengakui bahwa mereka tidak memiliki modal ekonomi yang kuat, sehingga keduanya hanya mengandalkan modal simbolik dan modal budaya. 6.2.2.2 Strategi Politik Pasangan GUNA Pasangan dari Partai Golkar, yakni Wayan Gunawan dan Artjana Tergolong pasangan yang tidak begitu sering melakukan komunikasi politik terhadap pemilih 252 dengan menggunakan media massa. Pasangan ini tergolong hampir tidak pernah memasang iklan maupun advertorial di media massa apapun termasuk di Bali Post, Nusa Bali maupun Radar Bali. Hal ini diakui oleh calon bupati Wayan Gunawan. Ia mengatakan pasangannya cenderung tidak melakukan komunikasi politik karena beberapa faktor, diantaranya, faktor partai politik, faktor karakteristik pemilih, faktor ekonomi, dan faktor media massa itu sendiri. Gunawan sendiri meragukan jumlah pembaca di Bangli. Ia memperkirakan pembaca surat kabar di Bangli tidak lebih dari 1200 pembaca. Hal ini menyebabkan Ludra memilih untuk menggunakan media luar ruang dalam mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya. Berapa banyak yang membaca media di Bangli? Paling hanya kelompok-kelompok elite di situ. Paling tidak sampai 1200, media di Bangli oplahnya. Iya untuk ukuran Bangli. Mungkin yang lebih berperan adalah baliho,spanduk, buklet mungkin itu, sepanjang itu masuk ke ruang publik. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Wayan Gunawan mengatakan walau ia berangkat dari Partai Golkar di mana ia adalah ketua DPD Partai Golkar Bangli, Gunawan mengakui sama sekali tidak mendapatkan suntikan dana dari induk Partai Golkar. Hal ini dikarenakan latar belakang pencalonan Wayan Gunawan dan Artjana. Wayan Gunawan mengatakan Partai Golkar pusat sebenarnya menginginkan dirinya untuk bersinergi dengan Partai 253 Demokrat yakni berpasangan dengan IB Brahma Putra, di mana IB Brahma Putra menjadi calon bupati, dan dirinya menjadi wakil bupati Bangli. Walaupun tidak direstui oleh Partai, namun Gunawan mengatakan dirinya sebagai seorang pemimpin partai tetap harus berani maju. Kalau seorang pemimpin partai, ketua tidak berani maju karena dibentangkan matanya itu kalah, pengecut anda jadi ketua partai. Saya tadinya ingin dipasangkan dengan Ida Bagus Brahmaputra. Di atas kertas menang, tapi saya diposisikan wakil. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Harapan dan dorongan Partai Golkar tingkat pusat ini bagi Gunawan bertentangan dengan hati nuraninya yang ingin tetap menjaga harga diri dan suara partai Golkar di Kabupaten Bangli. Ia menilai dirinya sebagai ketua DPD tidak mungkin mengecewakan konstituennya yang menginginkan dirinya maju sebagai calon bupati di Bangli. Keinginan ini pun akhirnya diungkapkannya ke jajaran induk partai Golkar. Namun ironisnya, keinginan Gunawan ini tidak mendapat restu yang cukup baik dari induk partai. Gunawan pun menolak untuk menjadi calon wakil bupati seperti yang diajukan Partainya. Saya hormat pada prosedur administrasi kewenangan, tapi ketika kami dipaksa untuk masuk menjadi wakil bupatinya pak Brahmaputra, mohon maaf saya tidak siap. Saya lebih siap kalah tapi menjadi calon bupati. Saya akan membiayai diri saya sendiri tanpa membebani partai. Walau dibilang silahkan, namun walau manis sekali katakatanya, tapi kalau mukanya tidak manis kan sama dengan juga menipu 254 (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Konsekuensi dari keputusan Gunawan ini adalah tidak adanya dukungan dana segar di pihak DPP Partai Golkar untuk biaya pemilukada Gunawan dan Artjana dalam pertarungan pemilukada di Bangli pada tahun 2010. Hal ini berdampak pada strategi kampanye yang dijalankan oleh pasangan ini. Mesin politik Golkar diharapkan mampun menjadi modal sosial yang mampu berpengaruh signifikan dalam pertarungan pemilukada. Modal sosial menurut Bourdieu (1986:51) adalah sekumpulan atau agregasi sumber-sumber potensial dan nyata dimana terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang terlembagakan dan saling mengenal dalam kelompok tersebut. Dengan hilangnya modal sosial berupa dukungan dari partai Golkar maka hilang pula dukungan berupa modal ekonomi untuk berjuang dari Partai Golkar. Dengan dana yang berasal dari kantung sendiri dan ketersediaan yang terbatas, pasangan ini memilih untuk tidak menggunakan media sebagai wadah komunikasi politik mereka dengan para pemilih. Gunawan mengatakan bahwa walau telah memakai jejaring partai dan tim sukses, ia telah menghabiskan dana sekitar 1,4 milliar rupiah (Wawancara Wayan Gunawan, 12 Juli 2012). Gunawan mengatakan alasan mengapa ia tidak menggunakan media adalah mahalnya biaya yang diperlukan untuk memasang iklan, advertorial, dan berita di media massa terutama di tiga media cetak seperti NusaBali, Radar Bali, dan Bali Post. Biaya yang besar untuk memuat berita, iklan dan advertorial di media cetak ini 255 membuatnya enggan untuk menggunakan media sebagai komunikasi politik pasangan ini dengan pemilihnya. Gunawan mengatakan ia lebih cenderung memilih untuk membeli suara pemilih. Sekali tampil misalnya harus 5 juta, itu dibagi-bagi masing-masing 50 warganya kan lebih untung. Sudah dapat 100 suara, kalau dengan media belum tentu ditusuk oleh 100 orang. Itu logika sederhana, itungitungan ekonomi juga itu kan. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Gunawan juga mengatakan ia tidak menggunakan media juga karena faktor lain yakni efektivitas menggunakan media massa untuk menggalang pemilih. Hal ini menurutnya karena masih sedikit pemilih di Bangli yang membaca surat kabar. Jadi menurutnya komunikasi politik melalui media massa akan menghabiskan uang banyak namun tidak memberikan kontribusi yang besar pada suara pemilihnya. Ia menilai bentuk komunikasi yang lain seperti spanduk dan baliho jauh lebih efektif untuk menjangkau pemilih dibandingkan menggunakan media massa. Hal ini mengungkapkan bahwa tingginya tuntutan modal ekonomi dalam sebuah pertarungan pemilukada di media cetak. Gunawan juga mengatakan alasan-alasan di ataslah yang membuatnya memilih untuk tidak menggunakan media sebagai media komunikasi politik dalam pemilukada Bangli tahun 2010. Gunawan juga memandang media saat ini tidak lagi murni sebagai media yang merefleksikan realitas, namun sudah bertransformasi menjadi salah satu kekuatan kapitalis. Hal ini menggambarkan bahwa media memiliki 256 kekuasaan. Teori pengetahuan dan kekuasaan Foucault menyadarkan bahwa relasi kekuasaan dan pengetahuan terbentuk di setiap aspek kehidupan, tidak hanya pada mereka-mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi yang besar (Martono, 2011 : 128). Gunawan juga menilai bahwa media terlalu kapitalis dimana mencari keuntungan semata. Media kini pikirannya kapitalis. Demokrasi dipakai standar alat untuk mengembangkan kapitalismenya media. Jadi media dapat berbuat apapun, untuk siapapun, oleh siapapun, kapan pun, dengan cara apapun, dia bisa melakukannya. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Namun Gunawan tidak memungkiri bahwa media mampu membangun opini di masyarakat. Gunawan mengakui bahwa media memiliki kekuatan Agenda Setting (McComb dan Shaw, 1986). Gunawan menggunakan media pada saat awal sebelum masa kampanye pemilukada di Bangli 2010. Gunawan mengaku memborong salah satu media massa saat media tersebut melakukan survey mengenai pemimpin yang diinginkan dan popular menjelang pemilukada di Bangli 2010. Ia mengaku memborong semua koran tersebut untuk kemudian mengikuti survey yang diselenggarakan. Menurut Gunawan hal ini menjadi lebih penting agar namanya dapat dikenal terlebih dahulu di masyarakat. Kalau Nusa pasang kandidat calon yang di halaman bawah itu. Itu sengaja beli khusus untuk bookingannya itu. Itu laku, itu bila perlu mesan dipercetakan supaya menonjol dulu kan. Itu seolah-olah sudah menjadi nilai pesan dari audiens. Borong saja semua lini. Saya pun ya 257 langganan koran Nusa, minta saja fotonya potongannya itu, dipikirpikir gak ada kerjaan. (Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012) Dari analisis di atas, maka Wayan Gunawan sebagai sumber berita menilai penggunaan media dalam pemilukada Bangli 2010 adalah sebuah langkah yang kurang efektif. Hal ini dikarenakan tingginya biaya yang dibandrol oleh masingmasing media apabila ia ingin melakukan komunikasi politik melalui media massa. Keterbatasan biaya kampanye pun menjadi alasan Gunawan untuk tidak menggunakan media sebagai pilihan utamanya dalam berkomunikasi dengan konstituen. Hal ini dikarenakan tidak adanya sokongan dana dari partai politik yang mengusungnya. Pandangan Gunawan yang menilai media kini bersifat sangat kapitalis pun membuatnya enggan untuk menggunakan media massa lebih lanjut. Pasangan dengan nomor urut 2 ini dapat dikatakan kurang memiliki kekuatan modal yang menonjol dari keempat modal yang diuraikan Bourdieu. Gunawan sebagai ketua DPD Golkar Bangli 2010 memiliki kekuatan modal sosial dengan jaringan partai politik yang ia gunakan. Gunawan memilih Artjana sebagai wakilnya dengan harapan dapat memperkuat pertarungan dengan kekuatan modal simbolik. Artjana sebagai mantan polisi dan berasal dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu untuk menjadi kekuatan modal budaya dan simbolik. 258 6.2.2.3 Strategi Politik Pasangan ALAS Salah satu pasangan perseorangan dalam pemilukada di Bangli pada tahun 2010 yakni Wayan Arsada dan Wayan Lasmawan. Pasangan Arsada dan Lasmawan atau dikenal dengan Alas ini menggunakan strategi kampanye yang mengandalkan kinerja dari tim sukses. Arsada mengakui segala urusan mulai dari jargon, pengerahan massa hingga komunikasi dengan media massa, Arsada mengakui menyerahkan sepenuhnya kepada tim sukses atau orang-orang yang ia percayai. Bahkan untuk urusan dengan media massa terutamta advertorial di harian NusaBali, Arsada mengatakan ada pihak-pihak dari tim suksesnya yang mengatur semuanya. Walaupun diserahkan pada tim suksesnya, Arsada mengaku sebelum naik cetak, semua dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pihaknya. Bahkan untuk biaya yang dikeluarkan dalam pemberitaan di media, Arsada mengatakan tidak mengetahuinya dan menyerahkan semuanya pada tim suksesnya. Hal ini mencerminkan pasangan ini memiliki modal sosial yang cukup dimana memiliki tim sukses yang cukup besar. Modal sosial menurut Bourdieu (1986:51) adalah hubungan yang bisa terjadi akibat adanya kesamaan nama, sekolah hingga partai. Posisi pasangan yang berangkat sebagai pasangan perseorangan pun membuat ALAS merasakan pentingnya media massa untuk menjadi jembatan antara calon kepala daerah dengan pemilih. Arsada menilai dengan tidak diusung oleh partai tertentu, maka ia mendapatkan keuntungan karena tidak akan terbebani oleh tuntutan 259 partai. Namun ia mengakui mesin politik yang ia miliki menjadi sangat terbatas dibandingkan pasangan yang diusung oleh partai politik. Mengingat biaya kampanye yang besar melalui media massa, Arsada dan Lasmawan menggunakan hubungan keakraban dan kedekatan atau modal sosial dengan media massa sehingga biaya yang dikeluarkan tidak begitu besar. Arsada mengakui bahwa dalam menggunakan media, ALAS memperoleh bantuan dari salah satu teman Lasmawan namun tetap membayar. Nusa saya rasa iya, mungkin ada teman profesoor (Lasmawan) sudah ada hubungan baik. Jadi membayar seperlunya saja. Artinya kan yang harus masuk secara resmi ke sana. (Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012) Pasangan Arsada dan Lasmawan sendiri tergolong sebagai pasangan yang paling banyak menggunakan media massa dalam bentuk advertorial di harian Nusa Bali. Hampir sepanjang masa kampanye pasangan ini memasang advertorial mereka di harian Nusa Bali. Namun Arsada mengakui hubungan dengan media massa ini ia serahkan kepada tim suksesnya. Arsada mengatakan semua hal yang terkait dengan advertorial di media massa menjadi tanggungjawab tim suksesnya. Hal yang dimaksud mulai dari memilih foto yang akan disertakan hingga berita yang mendampinginya. Bahkan hingga biaya yang dikeluarkan Arsada mengakui itu semua diatur oleh tim suksesnya. 260 Teman-teman dekat lah, yang bisa multimedia mereka yang bantu. Beritanya juga tim sukses, tapi koordinasi ke kita. Jadi kita lihat dulu. Untuk biaya itu teman yang ngatur. (Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012) Arsada juga mengakui sebagai calon perseorangan dengan dana kampanye yang terbatas, membuat pasangan ALAS sangat selektif memilih media yang akan digunakannya dalam berkampanye. Arsada pun mengakui bahwa ia banyak menerima tawaran untuk tampil tidak hanya di media cetak namun juga di media elektronik. Makanya banyak tawaran dari DewataTV, BaliTV dan mediamedia lain yang memasang gambar-gambar saya dengan pak Lasmawan. Baik itu berupa baliho, stiker-stiker, berita-berita kemudian ajakan di TV. (Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012) Arsada masih berharap media pada saat itu tetap objektif dan tidak berorientasi pada uang yang masuk ke media itu saja. Arsada berharap untuk masuk ke media atau diangkat media tidak perlu mencari-cari namun kalau memang dianggap menarik dan penting serta layak pasti akan dipublikasikan. Dengan minimnya modal ekonomi, pasangan ALAS akhirnya dalam menerapkan strategi kampanye lebih menekankan pada modal sosial dan modal budaya. Modal budaya yang dimiliki adalah dalam bentuk Institutionalized state. Bourdieu (1986:50) mengungkapkan institutionalized state adalah bentuk hasil objektifitas dimana dapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan atau bentuk lainnya 261 dari modal budaya yang dapat dijamin. Hal ini terlihat dari penggunaan gelar pendidikan keduanya dalam setiap pemberitaan. 6.2.2.4 Strategi Politik Pasangan GITA Pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Artha biasa dipanggil GITA. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Sebagai pasangan yang diusung oleh partai terbesar, GITA memilih strategi kampanye yang lebih banyak menonjolkan partai berlogo banteng ini. GITA pun memperoleh dukungan penuh dari seluruh DPD PDIP Bangli. Hal ini memudahkan GITA untuk menjalankan kampanye politiknya. Jadi modal yang ditekankan adalah modal sosial dari persamaan partai. Bourdieu (1986:51) menekankan bahwa hubungan sosial bisa saja terjadi akibat adanya kesamaan nama, sekolah hingga partai. Strategi kampanye GITA pun lebih menonjolkan pada citra bahwa mereka adalah pasangan dari PDIP. Sebagian besar komunikasi politik yang digunakan GITA di media cetak adalah dalam bentuk iklan di media Bali Post dan NusaBali. GITA sendiri tercatat selama masa kampanye memasang iklan sebanyak tujuh kali naik cetak di kedua media massa tersebut. Biaya untuk sekali pasang iklan tentu saja tidak murah. Namun Gianyar mengatakan bahwa ia secara pribadi tidak mengeluarkan dana yang besar. Hal ini dikarenakan dalam masa kampanye, PDIP telah memiliki 262 tim pemenangan yang berhubungan langsung dengan media massa. Gianyar mengatakan bahwa ia tidak pernah berhubungan langsung dengan media massa. Berangkat dari partai besar maka GITA disokong oleh modal ekonomi yang cukup besar pula. Tim sukses mungkin siapa, yang jelas saya tidak pernah ada hubungan uang dengan media. Tidak boleh itu, tidak ada. Kalau ada mengajukan proposal saya juga tidak pernah punya uang bagaimana, yah lebih baik tidak. Lebih baik di tim, kalau di tim itu kan ada tim siapa yang bantu. (Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah, 5 September 2012) Gianyar mengakui kemunculan di media sangat penting dalam masa kampanye pemilukada. Namun bagi Gianyar komunikasi tatap muka langsung dengan pemilih juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Namun Gianyar mengakui strategi penggunaan media pada pemilukada 2010 ia serahkan kepada tim sukses PDIPerjuangan. Hal ini dikarenakan pada saat yang bersamaan juga berlangsung pemilukada di beberapa kabupaten/kota lainnya di Bali, yakni di Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, Karangasem, dan Badung. Sehingga hubungan dengan media telah diorganisir oleh PDI Perjuangan. Hal ini terlihat dengan selalu berdampingannya iklan pasangan Gita dengan pasangan Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Komang Gede Sanjaya yang bertarung dalam pemilukada di Kabupaten Tabanan. Gianyar mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki modal ekonomi yang cukup besar. Dengan latar belakang sebagai dosen, Gianyar tidak memiliki kekayaan 263 yang besar. Namun Gianyar mengakui bahwa banyak pihak maupun kelompok masyarakat yang memberikan sumbangan kepada dirinya maupun pada tim kampanye. Bukan, itu dari masyarakat saya nyumbang ditolak. Betul-betul masyarakat itu luar biasa, ada bikin baliho mungkin sendiri saya mau nyumbang 1 juta cuma diambil 50.000,-. Kalau dari uang kayaknya diseluruh Indonesia, di seluruh dunia saya calon paling tidak punya. (Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah, 5 September 2012) Gianyar bahkan membantah bahwa dirinya menggunakan kekuatan ekonomi untuk dapat tampil di media massa. Ia mengatakan dirinya hanya menggunakan modal sosial, kekuatan jaringan yang dimilikinya. Hal ini menurutnya dikarenakan ia secara pribadi tidak memiliki cukup modal ekonomi sehingga mengandalkan jaringan sosial yang dimilikinya maupun partai. Oh tidak ada proposal-proposalan! Pertemanan saja, kalau saya ini kan calon bupati paling kere, tidak ada uangnya. Orang itu bantu betul-betul. (Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah, 5 September 2012) Gianyar sendiri adalah calon petahana. Dua periode jabatan sebelumnya Gianyar adalah wakil Bupati Bangli mendampingi I Nengah Arnawa. I Nengah Arnawa dan Gianyar adalah pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan. Sebagai petahana, Gianyar memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh pasangan lainnya. Dengan 264 masa jabatan mencapai 10 tahun, maka kemunculan Gianyar di media massa cukup sering. Kemunculan di media massa tersebut bahkan sebelum masa kampanye pemilukada Bangli 2010. Gianyar juga mengatakan bahwa ia cukup beruntung tidak pernah diberitakan hal yang negatif di media massa. Media besar perannya , tapi saya tidak ada berhubungan dengan uang dengan media. Saya juga mungkin dibantu oleh media saking simpatinya mungkin. Misalnya mereka melihat saya selama 10 tahun begini adanya, ditulis apa adanya tidak dijelek-jelekkan. (Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah, 5 September 2012) Dari analisis di atas, maka pasangan Gita ini dapat dikatakan tidak memiliki modal ekonomi yang cukup kuat namun memiliki kekuatan di modal sosial dan budaya. Bourdieu mengungkapkan bentuk modal ini dalam hubungan praktiknya. Bourdieu (1986:49) mengungkapkan modal budaya dibagi menjadi tiga bentuk yakni embodied state, objectified state, dan institutionalized state, dimana PDIP sebagai simbol yang cukup kuat untuk mendulang suara. Berangkat dari partai besar seperti PDI Perjuangan, memudahkan Gita untuk melakukan kampanye politiknya. Lambang PDI Perjuangan yang telah dikenal akrab oleh masyarakat di Bangli menjadi kekuatan tersendiri dalam tampilan iklan pasangan ini di media cetak seperti Bali Post, Nusa Bali, dan Radar Bali. Selain partai yang telah dikenal baik, PDIP pun memiliki kekuatan jaringan, dari tingkat daerah hingga ke tingkat ranting bahkan anak ranting. 265 Kekuatan modal sosial inilah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Gita. Sehingga kemunculan Gita di media cetak pun tidaklah terlalu massif. Berangkat dari partai besar seperti PDI Perjuangan membuat pasangan ini mendapat dukungan penuh dari seluruh partisan partai yang dikenal loyalis ini. Walaupun Gianyar bukanlah seorang partisan partai PDIP, Gianyar dinilai dekat dan memiliki elektabilitas yang tinggi di Bangli. Menurut Gianyar, saat PDIP akan mengusungnya, Gianyar tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa calon pasanganya. Ia mengatakan bahwa ia pasrah dan menyerahkan keputusannya ke DPD PDIP. Berangkat dari partai besar maka kekuatan modal terbesar pasangan ini adalah modal sosial. Modal sosial yang dimaksud Bourdieu (1986:51) berupa hubunganhubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Partai besar yakni PDIP memiliki kekuatan politik jaringan partai yang dikenal militan dan loyal. 6.2.2.5 Strategi Politik Pasangan Brahmawijaya Pasangan I B Brahmaputra – Wayan Winurjaya atau Brahmawijaya memiliki pandangan yang berbeda dengan pasangan yang lainnya. Walaupun berangkat dari gabungan partai dimana Partai Demokrat adalah partai terbesar yang mengusungnya, namun Brahmawijaya memiliki strategi kampanyenya sendiri. Ia mengakui lebih 266 memilih komunikasi tatap muka langsung dengan pemilih dibandingkan melalui media massa seperti media cetak. IB Brahmaputra mengaku selama pemilukada ia menghabiskan dana sebesar 500 juta rupiah. Sedangkan total dana kampanye selama pemilukada adalah tiga milyar rupiah. Brahmaputra mengaku dana kampanye yang digunakan berasal dari berbagai pihak seperti sponsor dan iuran dari para relawan. Dana sebesar tiga milyar ini membuktikan bahwa pasangan Brahmawijaya memiliki modal ekonomi yang cukup besar. Modal ekonomi menurut Bourdieu (1986:47) mengatakan modal ekonomi adalah terkait dengan uang atau dapat dikategorikan dalam modal berbentuk hak milik. Brahmaputra mengaku dirinya memiliki tim sukses yang khusus untuk berbicara dengan media dan berhubungan dengan media. Brahmaputra bahkan mengaku tidak mengetahui bagaimana berita mengenai dirinya terkemas di media massa. Ia menyerahkan seluruhnya kepada tim suksesnya. Brahmaputra sendiri mengaku pertama kali memandang media dengan sebelah mata. Ia mengaku banyak sekali pemberitaan mengenai dirinya yang tidak dikemas dengan benar. Apa yang saya katakan besoknya di Koran kok beda keluarnya, dulu pertama kali saya tidak begitu percaya dengan media, lebih banyak berita buruknya saja yang disorot. (Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013) 267 Brahmaputra kemudian sadar bahwa media cetak juga penting untuk menyebarluaskan kegiatan atau program apa yang akan dan telah dilakukannya selama pemilukada. Namun untuk mengurangi adanya pemberitaan yang miring atau tidak berasal dari sumber yang jelas maka Brahmaputra memilih siapa yang pantas menjadi juru bicaranya. Ia kemudian memilih Made Suandi dan IB Santosa untuk menjadi juru bicaranya. IB Santosa adalah adik kandung dari Brahmaputra. IB Santosa adalah anggota dewan DPRD Bangli. Selain IB Santosa, Brahmaputra juga mengangkat seorang juru bicara yakni Made Suandi yang mengetahui seluruh kegiatannya. Pokoknya juru bicara saya itu Made Suandi, dia yang tahu semua kegiatan saya, dia juga yang berhubungan dengan media massa. Atau pada masa pascapencoblosan itu biasanya yang bertemu dan dicari media ya IB Santosa, karena dia mengerti hukum dan juga suka bicaranya nyeleneh dan keras. Itu yang disuka media bukan. (Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013) IB Brahmaputra mengatakan walaupun ia berasal dari gabungan partai, ia mengatakan tidak pernah menggunakan mesin partai dalam melakukan komunikasi politik dengan konstituen. Hal ini membuktikan bahwa modal sosial yang pasangan ini miliki ternyata tidak efektif untuk digunakan dalam praktik pertarungan antaraktor politik di media cetak. Modal sosial menurut Bourdieu (1986:46) seharusnya memiliki peranan dalam praktik sosial. Namun modal sosial berbasis partai yang dimiliki Brahmawijaya ternyata tidak efektif dan tidak berjalan dengan baik. Brahmaputra bahkan mengaku walaupun ia disokong banyak partai namun mesin 268 partainya sama sekali tidak bergerak. Brahmaputra lebih banyak mengandalkan relawan dan jaringannya selama ia menjadi camat di Kintamani terdahulu. Modal sosial yang digunakan berbasis pada modal budaya yang Brahmaputra miliki selama ini. Brahmaputra pun mengaku bahwa ia lebih banyak mengandalkan relawan dibandingkan mesin partai. Saya lebih banyak mengandalkan relawan daripada mesin partai. Partai itu gimana yah. Bahkan di TPS tempat anggota dewan yang menyokong saya saja kalah.. itu gimana? Berarti kan sama sekali tidak jalan. (Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013) IB Brahmaputra pun menegaskan kinerja partainya pun sama sekali tidak terlihat bahkan saat Brahmaputra mengajukan keberatan atas hasil pemilukada Bangli ke Mahkamah Konstitusi. Ia mengaku sama sekali tidak mendapat sokongan dari partai politik. Brahmaputra mengatakan bahkan pada saat ia di Jakarta bersama saksinya, partai maupun elite partai politiknya sama sekali tidak membantu baik dari segi moriil maupun materiil. Hal ini membuat Brahmaputra cukup kecewa dengan partai yang menyokongnya. Brahmaputra mengatakan bahkan anggota dewan pembina partainya terkesan sama sekali tidak mendukungnya, bahkan lebih cenderung mendukung lawannya. Hal ini membuktikan bahwa ikatan dalam modal sosial berbasis partai yang Brahmaputra miliki ternyata tidak memiliki ikatan kohesi yang begitu kuat. 269 Dia lebih mementingkan sentiment kedaerahannya, fanatisme daerahnya Kintamani dibandingkan partainya. Ia juga memegang prinsip pang taen gen ngelah bupati uling Kintamani. Bahkan selama saya berjuang di MK, beliau sama sekali tidak pernah menelpon saya. Terus terang saya sangat kecewa. (Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013) Untuk itu ia mengatakan bahwa ia lebih merasa berjuang sendiri tidak bersama partai yang menyokongnya. Dengan paparan ini maka diketahui bahwa modal sosial yang Brahmawijaya miliki tidak berperan signifikan dalam pertarungan aktor politik. Pasangan dengan nomor urut lima ini memiliki beberapa kombinasi kekuatan modal. Modalnya antara lain modal budaya dan simbolik yang dimiliki IB Brahmaputra, yakni sebagai mantan camat Kintamani yang berhasil kemudian modal simbolik dimana dirinya berasal dari Griya terpandang di Bangli. Modal berikutnya yang dimiliki pasangan ini adalah modal ekonomi yang cukup besar. Modal ekonomi ini berasal dari calon wakil kepala daerah yakni Winurjaya. Winurjaya sebagai pengusaha pariwisata yang tergolong sukses tentu saja memiliki kekuatan ekonomi. Namun perpaduan antara modal ekonomi dan modal budaya ini ternyata tidak cukup memenangkan pertarungan aktor politik di media cetak. 270 6.3 Faktor Media Cetak Faktor yang berpengaruh pada isi media menurut Shoemaker dan Reese (1996) antara lain adalah faktor individu pekerja media, dan ideologi media. Inilah yang dibedah untuk mengkonstruksi kembali bagaimana sebuah berita, iklan mengenai pemilukada di Kabupaten Bangli pada tahun 2010 dikemas. Faktor ini diyakini merupakan bagian-bagian terpisah yang akhirnya mengkonstruksi sebuah artikel berita maupun iklan dimana mempunyai daya pengaruh yang besar terhadap pertarungan politik para aktor politik pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Bangli. 6.3.1 Faktor Individu Pekerja Media Pertama adalah faktor individu pekerja media. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang professional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Hal ini diketahui melalui wawancara langsung dengan wartawan dan redaktur. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang memiliki orientasi politik tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik yang kebetulan menjadi idolanya (Shoemaker dan Reese, 1996:63). 271 Faktor ini berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010. Individu pekerja media yang terlibat di dalamnya adalah wartawan dan redaktur/ pemimpin redaksi dari media Bali Post, Nusa Bali, dan Radar Bali. Pengaruh latar belakang individu ini terlihat di masing-masing media. Salah satunya adalah pengaruh latar belakang pada wartawan Radar Bali, Oka. Wartawan Radar Bali, Oka adalah wartawan Radar Bali yang bertugas meliput selama proses pemilukada di Kabupaten Bangli tahun 2010. Oka sehari-hari bertugas di Kabupaten Gianyar, namun menjelang pemilukada di Kabupaten Bangli, Oka ditugaskan untuk meliput di Kabupaten Bangli. Hal ini dikarenakan kosongnya posisi wartawan Radar Bali yang biasa bertugas di Kabupaten Bangli. Wartawan Radar Bali yang bertugas adalah Anak Agung Gde Prabangsa yang menjadi korban pembunuhan. Ternyata Pembunuhan yang menimpa rekannya ini berpengaruh terhadap cara Oka mengemas berita selama pemilukada di Bangli. Oka menegaskan dirinya mengakui ada perbedaan dalam membuat berita saat pemilukada di Bangli 2010 lalu. Ia mengatakan tidak bisa bertindak adil dengan kelima calon pasangan. Salah satu faktor yang membuatnya tidak bisa memperlakukan adil adalah karena kasus pembunuhan salah satu rekannya di Radar Bali, yakni Anak Agung Gde Prabangsa. Pembunuhan terhadap rekannya ini ternyata dilatarbelakangi oleh profesi Prabangsa sebagai wartawan yang sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus korupsi di dinas pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Bangli. Setelah proses 272 penyidikan tahun 2009 hingga 2010 yang dilakukan Polda Bali, diketahui pelaku atau aktor intelektual dibalik pembunuhan Anak Agung Gde Prabangsa adalah adik dari Bupati Bangli, I Nyoman Susrama. Polisi sendiri telah menetapkan sembilan tersangka kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (Jawa Pos Grup), Anak Agung Gede Prabangsa, termasuk calon anggota DPRD Bangli terpilih, I Nyoman Susrama. Sebelum jasadnya diceburkan ke laut dalam keadaan masih bernyawa, Prabangsa mengalami penyiksaan sadis di rumah aktor intelektual dan pelaku pembunuhan, I Nyoman Susrama di Banjar Petak, Desa Bebalang, Bangli. Dalam keadaan tak berdaya, Prabangsa dikeroyok. Tangan kanan korban dipatahkan, para eksekutor dengan kejam memukuli kepalanya dengan balok dan menginjak-injak tubuhnya yang tak berdaya. Menurut informasi yang diungkapkan tersangka, sang wartawan sempat memohon agar jangan dianiaya dan dibunuh. Prabangsa dibunuh terkait dengan profesinya sebagai wartawan. Prabangsa memberitakan dugaan penyimpangan dalam proyek di Dinas Pendidikan Bangli, dimana I Nyoman Susrama menjadi ketua pengawas proyek. Kedekatan Oka sebagai kawan seprofesi dari Anak Agung Gde Prabangsa, membuatnya enggan untuk berkomunikasi maupun berhubungan dengan salah satu calon yakni I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan. Calon pasangan yang berasal dari calon perseorangan ini adalah calon yang dibentuk oleh I Nengah Arnawa dalam pemilukada Bangli 2010. Akibatnya, Oka mengakui tidak pernah membuat berita mengenai pasangan I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan. Kecenderungan Oka 273 untuk cenderung menghindari salah satu pasangan yakni ALAS dipengaruhi oleh nilai yang dianut dan kedekatan sosial Oka dengan rekannya Prabangsa. Shoemaker dan Reese (1996:76) mengatakan bahwa nilai-nilai pribadi akan mempengaruhi bagaimana seorang wartawan membuat sebuah berita. Oka Suryawan mengatakan bahwa “Saya jarang wawancarai Arsada, karena secara psikologis mungkin ada Arnawa karena kasus Prabangsa” (Wawancara Gde Oka Suryawan, 22 Maret 2012). Namun Oka mengakui keputusan dan keengganannya untuk berhubungan dengan pasangan I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan adalah keputusan pribadi tanpa ada perintah atau kebijakan dari kantor pusat Radar Bali. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan Oka ini adalah murni dari faktor pribadi bukan kebijakan dari perusahaan. Selain wartawan, individu pekerja media lainnya yang berpengaruh adalah pekerja media yang bertanggungjawab atas hasil kerja wartawan, yakni pemimpin redaksi, redaktur hingga pemimpin umum. Pihak yang paling berpengaruh kedua yakni pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana yang menyunting berita hasil susunan dari wartawan.Salah satunya adalah pemimpin redaksi Harian NusaBali, I Ketut Naria. Latar belakang dan pengetahuan dari seorang pemimpin redaksi akan situasi sosial ekonomi di Bangli tentu saja mempengaruhi bagaimana sebuah berita mengenai pemilukada Bangli 2010 dimuat di media cetak. Shoemaker dan Reese (1996:67) mengatakan bahwa etnisitas atau asal daerah akan mempengaruhi pula isi dari sebuah media. 274 I Ketut Naria bermukim di Denpasar namun sebenarnya berasal dari Kintamani Bangli. Latar belakang Naria ini tentu saja mempengaruhi pemberitaan mengenai pemilukada Bangli 2010 hingga pemberitaan mengenai calon pasangan kepala daerah Bangli 2010. Saya ini memang lama di Denpasar, tapi saya aslinya dari Kintamani Bangli. Saya tahu bagaimana deal politik dan keadaan politiknya di Bangli khususnya di daerah Kintamani. Ya jadi saat saya kasih tugas peliputan atau mengedit beritanya saya sudah tahu latar belakangnya juga bagaimana.. (Wawancara Ketut Naria, Pemimpin Redaksi Nusa Bali, 15 Mei 2012) Naria pun mengetahui kondisi sosial kultural psikologis masyarakat di Bangli. Naria pun mengetahui pergulatan hingga konflik sosial baik laten maupun non laten dalam masyarakat di Bangli. Tentu saja pengetahuannya akan hal ini akan membuat berita yang disajikan oleh Nusa Bali akan berbeda dengan media cetak lainnya. Latar belakang Naria sebagai penduduk asli Bangli pun membuatnya mengetahui isu-isu yang beredar dalam pertarungan antar calon kepala daerah di Bangli. Tentu saja hal ini mempengaruhi berita yang disajikan menjadi dua pandangan. Pandangan pertama, berita menjadi lebih kaya akan informasi sehingga pemberitaan akan lebih dalam. Sedangkan pandangan kedua adalah ikut sertanya asumsi pribadi dalam sebuah pemberitaan. Hal ini menyebabkan pemberitaan tidak lagi obyektif namun terdapat unsur-unsur subyektifitas di dalamnya. 275 Dari penjelasan di atas diketahui bahwa faktor individu pekerja media mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli tahun 2010. Individu pekerja media yang berpengaruh berada di setiap lini, baik dari lini terdepan yakni wartawan hingga penjaga gawang terakhir dalam pembentukan berita yakni si pemimpin redaksi. Keberpihakan pada salah satu calon pasangan kepala daerah tentu saja akan mempengaruhi bagaimana individu pekerja ini akan membentuk berita yang bersangkutan. Ketidaksukaan atau rasa tidak menyukai individu pekerja pada pasangan calon kepala daerah tertentu tentu saja akan mempengaruhi berita pasangan calon tersebut. Perbedaan berita dapat berupa pembentukan citra negatif atas calon kepala daerah, atau ruang yang lebih kecil di media cetak yang dinaunginya. 6.3.2 Faktor Ideologi Media Faktor media lainnya adalah faktor ideologi media itu sendiri. Ideologi sebagai mekanisme simbolis yang berjalan secara kohesif dan memiliki kekuatan yang mengikat dalam sebuah masyarakat dipandang memiliki peranan dalam mempengaruhi isi dari media (Shoemaker dan Reese, 1996:212). Ideologi pun diyakini sebagai berjalan seiring dengan nilai yang berlaku dan bukan sistem kepercayaan yang terbentuk begitu saja seperti mahluk asing (Thompson, 1990 dalam Shoemaker dan Reese, 1996:214). Oleh karenanya ideologi media yang ada di 276 Indonesia akan dipengaruhi oleh Ideologi Pancasila dan taat pada aturan hukum yang berlaku. Ketiga media yang dianalisis memiliki nilai-nilai yang berbeda. Harian Bali Post mengaku berideologikan Pancasila. Harian Nusa Bali pada dasarnya memiliki visi misi bahwa Nusa Bali adalah korannya orang Bali. Harian Radar Bali memiliki visi misi yang sama dengan Harian Jawa Pos dengan menekankan bahwa harian ini selalu menampilkan sesuatu yang baru. Namun dalam praktiknya nilai yang cenderung terjadi adalah condong pada kepentingan ekonomi kapitalis dari media itu sendiri. Ideologi ini ternyata tidak memiliki dampak pada pemberitaan dalam pemilukada Bangli 2010. Ideologi yang terlihat pada pemilukada adalah ideologi ekonomi kapitalis. Media pada saat pemilukada lebih cenderung untuk berpihak pada keuntungan atau kapitalisme bukan berpegang pada ideologi harian tersebut selama ini. Ideologi ini termasuk dalam kebijakan media itu sendiri. Kebijakan sebuah media tentu saja tidak dapat dilepaskan dari latar belakang dan sejarah media tersebut. Kebijakan sebuah media pada masa kampanye pemilukada tentu saja berbeda dengan kebijakan pada saat tidak ada pertarungan perebutan kekuasaan politik. 277 Yang jelas kami berusaha independen karena koran kami kalau berpihak, jelas tidak dapat diterima luas di Bali. Dalam hal ini adalah konyol kalau kami berpihak, iya, kalau menang kalau kalah kan hancur. (Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22 Mei 2013) Hari menegaskan selama masa kampanye, media Radar Bali akan cenderung lebih berhati-hati dalam memuat sebuah berita. Diakuinya, selama masa kampanye adalah masa yang riskan dimana independensi dari sebuah media akan menjadi taruhannya. Untuk itu Radar Bali selalu menghimbau agar seluruh individu pekerja media terutama wartawannya untuk tidak berpihak pada pasangan mana pun. Ia pun mengakui dalam mengedit sebuah berita yang masuk terutama menyangkut pemilukada akan semakin ketat dan kritis. Biasanya untuk momen pilkada itu juga ada perhatian khusus dari redaksi, dapat semacam juklak lah, yang jelas posisimu harus netral. (Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22 Mei 2013) Hari menambahkan sebagai media yang berafiliasi dengan media besar seperti Jawa Pos, kebijakan Radar Bali tentu saja mengakar pada induknya di Jawa Timur. Radar Bali diharapkan tetap menjunjung independensinya sebagai media di mana tidak ikut bermain dalam pertarungan politik dalam pemilukada manapun. 278 Kami kayak memiliki otonomi sendiri, misalnya urusan keuangan, terus managemen untuk kepegawaian, yah mirip dengan kabupaten dengan pusatlah. alur kebijakannya masih sama dengan Jawa Pos, pakemnya misalnya kiri berapa. Think global, act local, jadi pemikiran global dengan action Bali. (Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22 Mei 2013) Sebagai media yang mumpuni dan tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi seperti Radar Bali, tentu saja tidak sulit untuk menjaga independensinya. Radar Bali juga tidak menjadikan ajang pemilukada sebagai ajang peningkatan pendapatan mereka. Namun hal ini berbeda dengan harian lainnya seperti harian Nusa Bali. Sebagai anak perusahaan milik kelompok usaha Bakrie Group, dimana pemiliknya adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Nusa Bali tentu saja diprediksi akan lebih banyak mengangkat pemberitaan calon kepala daerah yang berasal dari Partai Golkar. Namun ternyata prediksi ini meleset, Nusa Bali tercatat hampir tidak pernah memberitakan atau memasang iklan pasangan calon kepala daerah Kabupaten Bangli dari Partai Golkar. Naria mengaku netral dan tidak berpihak pada pasangan calon manapun. Kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap pasangan calon, tidak pernah membedakan sama sekali. Harga yang dipatok pun sama untuk semua berita tentang politik. (Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012) Naria mengatakan ini sebagai bukti bahwa Nusa Bali tidak memihak pada pasangan manapun. Naria pun mengatakan selama ini tidak pernah ada perintah atau 279 intervensi dari pihak pemilik mengenai kebijakan yang diambil selama masa kampanye pemilukada Bangli pada tahun 2010. Tiga faktor di atas, ekonomi, politik dan media adalah faktor-faktor yang ditengarai mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Ketiga faktor di atas berdampak pada ekonomi, politik, dan budaya baik pada tingkat media, politik praktis, ataupun budaya masyarakat itu sendiri. Dampak dan makna inilah yang akan dibahas pada bab selanjutnya yakni dampak dan makna pertarungan aktor politik di media cetak pada pemilukada Bangli 2010. BAB VII DAMPAK DAN MAKNA PERTARUNGAN AKTOR POLITIK DI MEDIA CETAK Perkembangan politik seperti pemilukada tentu saja bukan sebuah prosesi yang tumbuh dan berjalan di ruang hampa. Pemilukada akan bersinggungan dengan segala aspek di masyarakat. Jalannya pemilukada akan membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor politik saja. Sekurang-kurangnya terdapat tiga dampak yang merupakan konsekuensi dari pertarungan aktor politik dalam pemilukada. Pertama, dampak politik dari pertarungan ini adalah berkembangnya praktik politik praktis dan hubungan pragmatis antara media cetak dengan aktor politik yang bertarung. Kedua, dampak ekonomi di mana dibutuhkan kekuatan ekonomi yang besar dalam pertarungan aktor politik di media cetak sehingga dalam pemilukada terjadi biaya politik ekonomi yang tinggi dan menonjolkan terjadinya sistem kapitalisme media cetak yang kebablasan. Ketiga, dampak budaya di mana pertarungan aktor politik yang dikemas oleh media cetak adalah realitas semu yang dinilai sebagai kebenaran oleh masyarakat dan telah menjadi budaya. Oleh karena itu, tiga sektor inilah yang akan dibahas dalam menganalisis dampak pertarungan aktor politik di media cetak. 280 281 7.1 Dampak Pertarungan 7.1.1 Praktik Politik Praktis Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli memberikan beberapa dampak secara politik. Salah satu dampaknya adalah aktor politik yang lebih sering tampil di media ternyata lebih popular dan memiliki kecenderungan untuk memperoleh suara yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak tampil di media. Ras Amanda (2010) mengemukakan dari lima pemilukada di Bali pada tahun 2010 (Badung, Denpasar, Bangli, Karangasem, Tabanan), empat pasangan yang terpilih menjadi bupati dan walikota adalah pasangan dengan kuantitas kemunculannya di media yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang relatif positif antara tampil di media dengan tingkat elektabilitas pasangan calon kepala daerah. MacRae dan Darma Putra (2007) mengkaji bahwa kekuasaan dan kekuatan media massa di Bali mampu memberikan status media massa atau kelompok media tersebut menjadi seorang aristokrat baru. MacRae dan Darma Putra mengemukakan keberadaan media massa telah menjadi tokoh sentral dalam sebuah pertarungan aktor politik dalam pemilukada di Bali. 282 Hal ini pun terjadi dalam pemilukada di Bangli pada tahun 2010. Pasangan GITA tercatat sebagai pasangan yang paling sering muncul di media, dan pasangan GITA inilah yang akhirnya memenangkan pemilukada Bangli 2010. Kemunculan di media bukanlah hal yang murah. Pertarungan aktor politik di media cetak dari pemaparan bab sebelumnya merupakan bentuk komunikasi politik yang harus memiliki kekuatan ekonomi yang cukup tinggi. Dunia media cetak di Bali yang dapat dibayar membuat para aktor politik harus memiliki dana yang cukup untuk dapat dimuat di media cetak. Biaya yang tinggi ini membuat komunikasi politik melalui media massa menjadi hal yang sangat mahal. Hal ini membuat beban para aktor politik dalam melakukan politik praktis pada masa kampanye menjadi tinggi. Ini membuat sistem politik di tingkat kabupaten pun tergolong politik berbiaya tinggi atau high cost politics. Salah satu pasangan calon, yakni Arsada mengakui ia menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk kampanye pada pemilukada Bangli 2010. Ia mengatakan hingga pascapemilukada ia masih berhutang untuk biaya kampanye sekitar tiga milyar rupiah. Namun ia enggan merinci berapa biaya yang ia keluarkan untuk bentuk komunikasi politik melalui media cetak. Harian NusaBali memungut biaya sekitar Rp 16 juta untuk satu kali naik cetak di halaman satu yang menyambung di halaman terakhir. Tampilan di halaman satu biasanya disertai foto berwarna, dan berlanjut di halaman terakhir dengan panjang 283 empat kolom dikalikan hampir setengah halaman. Apabila kampanye berlangsung selama tujuh hari, berarti satu kandidat harus menyediakan sedikitnya 100 juta rupiah untuk tampil di media cetak tersebut dalam bentuk berita. Hal ini ditegaskan Naria pemred Nusa Bali. Lain halnya dengan harian Bali Post, untuk halaman pertama yang menyambung ke halaman lima belas, seorang kandidat harus menyiapkan dana besar, sekitar Rp 13,5 juta. Sedangkan untuk memasang iklan, biaya yang dikeluarkan tentu berbeda lagi. Untuk iklan di halaman satu dan berwarna, aktor politik harus membayar dengan harga berbeda. Sedangkan untuk berita berbayar di halaman dalam Bali Post memasang harga yang berbeda. Biaya berita di halaman dalam lebih murah dibandingkan biaya berita di halaman dalam. Berbeda dengan NusaBali dan Bali Post, harian Radar Bali tidak menjual kolom atau slot dalam surat kabarnya. Radar Bali menyatakan jual beli kolom di Radar Bali tidak diperbolehkan dalam kebijakan induk perusahaan. Namun Radar Bali dapat melakukan jual beli oplah koran. Jadi apabila ada kandidat atau aktor politik yang ingin dirinya termuat dalam Koran Radar Bali, ia harus membayarnya dengan membeli koran tersebut dengan oplah tertentu. Jadi dalam hal ini terjadi aksi borong oleh aktor politik atas Harian Radar Bali yang memuat berita tentang dirinya. Praktik mencari keuntungan yang dilakukan media cetak membuat biaya komunikasi aktor politik menjadi tinggi. Jadi dampaknya adalah siapa yang memiliki kekuatan ekonomi yang cukup maka ia akan dapat tampil di media, sedangkan bagi 284 mereka yang tidak memiliki cukup uang maka kandidat tersebut akan sulit untuk dapat tampil di media massa seperti koran. Adanya prasyarat biaya yang tinggi untuk dapat tampil di media, membuat aktor politik harus berpikir cerdas untuk melakukan bentuk komunikasi politik lainnya. Aktor politik pun berpikir logis dan realistis dalam menggunakan dana kamapanye selain melalui media cetak. Seperti yang dilakukan oleh salah satu kandidat dari Partai Golkar yakni Wayan Gunawan. Ia mengatakan biaya yang tinggi dalam kampanye politik melalui media cetak membuatnya enggan untuk melakukan komunikasi politik melalui media cetak. Gunawan berpendapat tampil di koran belum tentu berdampak langsung dalam hasil pemilihan. Ia mengatakan bahwa lebih baik menghabiskan dana lima juta rupiah untuk membeli suara dibandingkan untuk membeli slot kolom di koran. Ia mengatakan dengan lima juta rupiah, ia bisa mendapatkan 100 suara dengan harga per suara 50 ribu rupiah. Sedangkan dengan tampil di Koran dan menghabiskan dana lima juta rupiah belum tentu ia mendapatkan 100 suara. Pernyataan Gunawan ini mencerminkan bahwa ia melegalkan praktik politik uang untuk memperoleh suara. Hal yang sama juga dilakukan oleh calon lainnya yakni Ludra. Ludra mengatakan ia tidak memiliki cukup kekuatan ekonomi untuk melakukan komunikasi politik di media cetak. Untuk itu ia mengatakan strategi dalam berkomunikasi politik adalah dengan sesering mungkin bertemu dengan pemilihnya. Ia pun mengatakan 285 bahwa setiap ada wartawan yang mendekati dan bertanya, ia akan mengatakan bahwa dirinya tidak dapat membayar kepada wartawan maupun media yang bersangkutan. Dampak dari media yang dapat dibayar ini tidak berhenti di sektor individu aktor politik itu sendiri, namun juga berdampak pada institusi media. Dengan adanya uang yang beredar dan masuk ke media cetak, membuat media cetak tidak lagi sesuai dengan fungsinya yakni pengawasan dan bertindak independen tidak berpihak. Dampak pertarungan yang terhegemoni oleh kekuatan ekonomi membuat media cetak lupa akan kode etik jurnalistiknya. Media cetak berdasarkan kode etik jurnalistik harus menjunjung tinggi netraliltas baik dalam bidang politik maupun bidang lainnya. Namun dengan sistem yang berlaku pada pemilukada ini, membuat media tidak dapat lagi netral. Media seharusnya memberikan wadah dan ruang yang sama untuk seluruh kandidat calon kepala daerah. Namun dengan adanya prasyarat membayar maka tidak semua kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk dimuat di media cetak. Maka dengan adanya ketidakadilan media cetak tentunya akan berdampak pada hasil pemilihan baik langsung maupun tidak langsung. Dari catatan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa dari lima pasangan calon pemilukada di Bangli yang tercatat sering muncul di media cetak adalah pasangan GITA disusul oleh pasangan Brahmawijaya, lalu pasangan ALAS, pasangan GUNA dan pasangan Ludra-Durpa berada di posisi terakhir. Hasil pemilukada di Bangli 2010 lalu menunjukkan pasangan GITA memperoleh suara terbanyak disusul oleh pasangan Brahmawijaya, ALAS, GUNA dan Ludra. Hal ini menunjukkan adanya 286 hubungan yang searah antara tingginya kuantitas tampil di media dengan tingginya elektabilitas saat pemilukada. Dengan hasil pemilukada seperti dipaparkan di atas maka seolah-olah menegaskan kembali pentingnya tampil di media cetak untuk memperoleh kemenangan dalam pemilukada. Muncul di media cetak menjadi sebuah kunci dalam suksesnya sebuah pemilukada. Bahkan, kekuatan media cetak terlihat cukup signifikan dengan membandingkan antara kuantitas pasangan GUNA dan pasangan ALAS tampil di media cetak. Pasangan GUNA yang diusung oleh Golkar tercatat sangat jarang tampil di media cetak. Sedangkan pasangan ALAS yang merupakan pasangan perseorangan tercatat selama masa kampanye selalu tampil di media dalam bentuk advertorial. Dari kedua pasangan ini yang memperoleh suara terbesar adalah pasangan ALAS. ALAS memperoleh 23.244 suara. Sedangkan GUNA hanya memperoleh 10.166 suara. Ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan kacamata bagaimana modal sosial dalam hal ini partai ternyata tidak memiliki kekuatan yang cukup signifikan melawan faktor media terutama dalam kasus pasangan yang berangkat dari partai dengan jaringan sosial yang besar. Kontinuitas tampil di media, membuat ALAS menjadi lebih memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan GUNA. Dengan adanya fenomena populerisme media cetak, maka aktor politik akan berpikir bahwa untuk tampil di media adalah langkah yang sangat penting. Kebutuhan aktor politik untuk tampil di media membuat media memiliki posisi tawar 287 yang tinggi. Hal ini menyebabkan media menggunakan ajang pemilukada sebagai ajang meraup keuntungan. Maka pertarungan aktor politik di pemilukada juga berdampak pada ekonomi media di Bali. Ini yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. 7.1.2 Dampak Kapitalisme Media Cetak Pertarungan aktor politik di media cetak berdampak pada sistem ekonomi media. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kekuatan ekonomi atau uang menjadi hal yang paling penting dalam proses komunikasi politik. Proses komunikasi politik dengan biaya tinggi dijadikan media ajang untuk meraup keuntungan. Pada prosesnya media cetak melakukan praktik komersialisasi halaman cetak mereka. Hal ini tumbuh subur dengan turut berkembangnya dinamika baru pencitraan aktor politik di media cetak. Perspektif ekonomi politik media adalah kajian dengan kelompok pendekatan kritis. Perspektif ekonomi politik melihat persoalan ekonomi berada dalam hubungan dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya serta memberikan penekanan pada relasi sosial dan kekuasaan (McQuail, 2000:82). McQuail mengarahkan pada analisis empiris dari struktur kepemilikan dan kontrol media, serta cara kekuatan pasar media bekerja. Institusi media dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi yang mempunyai hubungan dekat dengan sistem politik. 288 Pendekatan ekonomi politik media menemukan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media (McQuail,2000:64). Ajang kampanye atau komunikasi politik melalui media massa akhirnya dijadikan ajang sebagai sumber penghasilan media massa. Sumber penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus bertahan hidup, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalkan media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media. Media tidak menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak. Dalam pemilukada Bangli 2010, media cetak menjadikan proses ini sebagai sumber penghasilan media. Pemilukada dinilai sebagai kesempatan untuk bagi media mencari keuntungan sebesar-besarnya. Keuntungan diraih dengan beragam modus seperti menawarkan iklan, advertorial, berita berbayar, maupun berita jurnalistik murni. 289 Ironisnya, fenomena mencari keuntungan selama pemilukada telah menjadi hal yang biasa bagi media cetak di Bali. Memperoleh sumber peghasilan dengan menjual slot kolom diluar iklan maupun advertorial menjadi hal yang biasa dan lumrah. Media cetak seakan-akan tidak lagi mengindahkan kode etik jurnalistik yang menuntut netralitas dan obyektivitas dalam pemberitaannya. Modal yang kecil dan tuntutan untuk tetap bertahan membuat media cetak menilai hal tersebut dapat dihalalkan dan wajar dilakukan. Hal ini membuat ekonomi media menjadi dalam ketergantungan dengan sistem politik yang berbiaya tinggi. Mosco (1996:27) memahami pendekatan ekonomi politik media melalui tiga konsep kajian komunikasi, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan stukturasi. Pada pemilukada Bangli 2010, media melakukan segala bentuk usaha untuk memasarkan produk mereka kepada aktor politik untuk mendapatkan profit secara ekonomi. Spesialisasi ini dapat dilihat dari meningkatnya asset dan keuntungan media. Komodifikasi ialah suatu istilah yang mendeskripsikan cara-cara kapitalisme dan mentranformasi suatu nilai guna menjadi nilai tukar. Oleh sebab itu komodifikasi dapat menjadi ukuran untuk kapitalisme global. Dalam pemilukada Bangli 2010, media mentransformasikan nilai guna dari kolom mereka menjadi nilai tukar dengan uang. Dalam komodifikasi terkadang produsen media massa menghalalkan segala cara dalam memodifikasi isi untuk kemudian menguasai pasar konsumen. Berarti media cetak telah melakukan praktik komodifikasi media dimana media cetak 290 melupakan etika jurnalistiknya dan menghalalkan beragam cara untuk memperoleh keuntungan. Ketidakobjektifan media dan keberpihakan media juga dapat dilihat sebagai bentuk upaya media untuk meneguhkan konsentrasi kapital, sekaligus upaya institusi media memperbesar profitnya dengan menggunakan situasi politik yang krusial untuk kepentingan sepihak. Praktik komodifikasi ini berdampak pada ekonomi media dimana praktik komodifikasi telah menjadi rutininas media cetak selama pemilukada. Hal yang rutin di media massa ini berpengaruh pada pemahaman dan penerimaan wacana oleh masyarakat. Realitas yang dikemas media atau realitas media tidak selamanya mencerminkan realitas yang ada di masyarakat. Terlebih lagi apabila realitas yang dikemas media adalah rekayasa yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Berita berbayar adalah salah satu realitas media yang penuh rekayasa. Realitas media yang berpihak ini berlangsung secara konsisten dan terus menerus telah menjadi budaya media yang berdampak pada budaya di masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Altschull (dalam Shoemaker 1996:231) bahwa ideologi yang direfleksikan media dibedakan dalam empat sumber berdasarkan siapa yang membiayai media. Dalam kasus pemilukada Bangli, media merefleksikan ideologi dari pemasang iklan dan ideologi dari mereka yang membiayai partai politik. Dampak pertarungan di media pada budaya akan dibahas pada sub bab berikutnya. 291 7.1.3 Dampak Berkembangnya Realitas Semu dalam Masyarakat Media massa memiliki fungsi di dalam masyarakat (Dominick, 1999:33) yakni fungsi informasi, pendidikan, pengawasan dan hiburan. Idealnya, media harus menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek kehidupan, terutama persoalan politik. Menurut Subiakto (2012:171) dalam pemilukada media diharapkan bukan hanya menyukseskan pemilukada dengan menyebarkan informasi terkait pemilihan tetapi juga harus dituntut melalukan pendidikan pada pemilih. Media sebaiknya pun mendiskusikan, apa dan bagaimana pentingnya pemilukada bagi masyarakat. Dengan demikian, media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan pengawasan terhadap proses politik dalam pemilukada. Namun pada praktiknya, media cenderung melakukan praktik komodifikasi ekonomi media dalam pemilukada di Bangli. Tentunya praktik komodifikasi ini berdampak luas. Dampak rutinitas media ini berdampak pada pemahaman dan budaya yang ada di masyarakat pada umumnya. Carey (1988:23) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah sebuah proses simbolik dimana realitas diproduksi, dipelihara, diperbaiki, dan diubah. Budaya didefinisikan oleh Carey sebagai proses, tetapi dapat juga merujuk pada atribut 292 bersama sekelompok manusia. Carey pun menegaskan terdapat aspek ekonomi politik dari pengaturan produksi budaya yang diwakili oleh industri media massa. Maka dampak komodifikasi yang dilakukan media dengan menciptakan realitas media yang semu akan berdampak pada sistem budaya demokrasi dan politik. Media yang seharusnya objektif akhirnya tidak berperan sesuai fungsinya. Dampaknya media melakukan pembodohan politik terhadap rakyat. Rakyat dalam hal ini pembaca media cetak memandang isu atau agenda yang diangkat oleh media atau yang disebut sebagai realitas media. Dimana pada akhirnya apa yang disajikan media dianggap penting oleh masyarakat. Dominick (1999) dalam bukunya menggambarkan teori agenda setting sebagai kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Atau seperti yang telah dikatakan Cohen dalam bukunya The Press and Foreign Policy, yang menyatakan bahwa media tidak selalu sukses dalam menyuruh publik untuk memikirkan sesuatu, tetapi media seringkali sukses dalam mempengaruhi publik untuk memikirkan suatu topik tertentu. Dominick juga menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan teori agenda setting banyak dilakukan pada penelitian saat kampanye politik. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pesan yang dihasilkan saat kampanye politik biasanya dibentuk untuk mensetting sebuah agenda tertentu. Kedua, kampanye politik 293 memiliki batas waktu yang jelas saat memulai kampanye dan saat akhir kampanye. Hal ini menyebabkan periode waktu penelitian tidak lagi ambigu. Apabila apa yang disajikan media bukanlah sebuah realitas, namun realitas penuh rekayasa yang dibentuk media atas pesanan aktor politik maka realitas dan isu yang diterima atau dipahami oleh masyarakat menjadi sebuah realitas yang semu. Media pada akhirnya menyajikan realitas yang jauh dari realitas sebenarnya bahkan penuh manipulasi. Berita yang penuh rekayasa ini pun pada akhirnya diterima dan dikonsumsi oleh masyarakat. Agenda dan isu yang ada di media pun dinilai masyarakat menjadi agenda dan isu penting untuk dipikirkan. Padahal isu tersebut penuh dengan muatan politik berbasis kekuasaan ekonomi aktor politik. Media yang seharusnya menyajikan secara adil masing-masing kandidat akhirnya dengan prinsip ekonomi hanya menampilkan aktor-aktor politik yang memiliki kekuasaan ekonomi yang cukup. Hal yang meyedihkan seringkali media tidak merasa melakukan pelanggaran etika saat menyajikan berita maupun iklan dalam bentuk berita maupun hasil jurnalistik lainnya yang nyatanya hanya menguntungkan aktor politik tertentu. Media yang tunduk dengan kekuatan ekonomi ini akhirnya menggerus fungsi media sebagai pengawas atau dikenal dengan watch dog. Apabila media akhirnya tunduk pada kekuasaan ekonomi maka ia tidak dapat lagi berperan sebagai pengawas namun hanya menjadi media yang dipelihara oleh kekuatan kapitalis. 294 Media yang telah terhegemoni oleh kekuatan kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada perkembangan ekonomi politik sosial masyarakat. Masyarakat atau massa kini tidak lagi berpandangan tradisional dimana media selalu menyebarkan kebenaran. Masyarakat yang aktif akan memilih media yang ia nilai dapat memenuhi kebutuhannya dan akan meninggalkan media yang ia nilai merugikannya baik secara informasi maupun ideologi. Dari sisi masyarakat, maka pertarungan aktor politik di media cetak akan berdampak pada pembodohan masyarakat oleh media. Masyarakat secara tidak langsung menerima informasi yang tidak objektif dan memihak. Dalam pandangan komunikasi tradisional, audiens dipandang masih pasif, maka audiens akan menganggap apa yang dimuat di media adalah kebenaran dan penting untuk diperhatikan. Teori Agenda Setting (Dominick, 1999) mengatakan bahwa kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Maka apabila berita yang dimuat adalah kebohongan publik maka audiens akan menganggap bahwa berita rekayasa itu adalah kebenaran dan penting. Namun dalam pandangan kritis, audiens dipandang sebagai audiens yang aktif. Di mana audiens sudah cukup pintar dan memiliki literasi media yang tinggi. Audiens yang aktif ini dapat memilah media berdasarkan kebutuhannya. Audiens yang aktif ini pun mampu melihat muatan media yang subjektif dan berpihak. Audiens ini tidak mampu dihegemoni oleh media. Namun dalam pertarungan aktor 295 politik dalam pemilukada Bangli 2010, audiens yang aktif dan memiliki literasi media tidak cukup tinggi. audiens di Bangli masih terhegemoni oleh media. 7.2 Makna Dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 terdapat beberapa makna dibaliknya. Beberapa makna di antaranya adalah makna pragmatis media cetak dan aktor politik, makna pencitraan, dan makna dinamika perubahan budaya politik di Bangli. 7.2.1 Makna Pragmatis Di balik sebuah berita terdapat kekuasaan modal, politik, dan juga ideologi yang ingin memengaruhi, mengarahkan, dan mencoba membentuk realitas pikiran dari audiens. Proses pembentukan berita pada akhirnya adalah sebuah proses yang tidak sederhana di mana terdapat faktor yang dapat mempengaruhinya sehingga terjadi pertarungan dalam memaknai realitas yang dikemas media. Terdapat kekuasaan yang mengendalikan realitas tersebut. Makna pragmatis dapat dibagi menjadi dua yakni makna pragmatis media dan makna pragmatis aktor politik itu sendiri. 296 Dalam pertarungan aktor politik di media cetak pada Pemilukada Bangli 2010, kekuasaan yang paling signifikan mengendalikan adalah kekuasaan ekonomi di atas kekuasaan politik maupun ideologi dan budaya. Dalam pemikiran Foucault, kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan pengetahuan. Pengetahuan menyokong kekuasaan, kekuasaan menopang pengetahuan (Foucault,1980:98). Pemikiran Foucault termanifestasi antara lain melalui wacana sosial yang dibuat. Artinya dalam suatu wacana terdapat kekuasaan. Wacana dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan (Foucault,1980:205) Dalam Discipline and Punishment Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan beroperasi tidak melalui kekuatan fisik dan hukum yang represif melainkan melalui penciptaan norma sosial dan hukum politik yang dapat diterima karena memberi keberuntungan kepada manusia (Foucault dalam Best, 2003:53). Kekuasaan ekonomi yang mendominasi dan menghegemoni media. Hal ini akan mampu merongrong kekuatan media sebagai pilar keempat demokrasi. Media massa adalah pilar keempat dalam demokrasi. Media selama ini dianggap mampu sebagai penyeimbang proses demokratisasi dalam masyarakat dan Negara. Media berperan dan berfungsi sebagai pengawas berjalannya proses demokrasi. Namun apabila media dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi, maka independensi dari media akan dipertanyakan. Media yang dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi ini akan berpengaruh pada turunnya peran pengawasan media terhadap proses demokrasi atau pemilukada. Padahal pemilukada adaah bentuk pesta 297 demokrasi yang melibatkan masyarakat dan berpengaruh pada keberlangsungan pembangunan selama lima tahun ke depan. Robert W. McChesney (2000) menulis tentang jurnalisme, demokrasi dan perjuangan kelas yang mengatakan bahwa sistem media pada dasarnya merupakan kekuatan antidemokrasi, an antidemocration force. McChesney juga melihat media dalam era neoliberalisme global sebenarnya tidak lagi berpihak pada kepentingankepentingan demokratik dari orang banyak (Subiakto, 2012:167). Menurut Subiakto (2012) terdapat dua hal yang dapat digarisbawahi dari penjelasan McChesney mengenai persoalan sistem media dan demokratisasi di era neoliberalisme. Pertama, institusi media pada hakikatnya lebih mementingkan kepentingan ekonomi atau komersialisasi daripada kepentingan politik.Atau dapat dikatakan bahwa media itu berpihak pada orang-orang yang berada di dalam kekuasaan bukan karena alasan politik melainkan lebih karena faktor ekonomi atau keuntungan organisasi yang diperolehnya. Dengan kata lain, media adalah organisasi profit yang menjual space (ruang) dan time (slot waktu) mereka. Mengingat pendapatan media adalah dari iklan, maka keberpihakan kepada mereka yang berkuasa dan atau ingin berkuasa semata untuk menangguk perolehan yang bisa didapatkannya dari pihak tertentu. Jadi karena alasan ekonomilah, maka institusi media melalui bentuk-bentuk jurnalismenya kemudian menjadi berpihak. 298 Kedua, karena alasan kepentingan untuk memperoleh keuntungan komersial yang sebesar-besarnya, maka sistem media tidak berpihak secara langsung pada hakikat pendidikan moral dan pendidikan politik yang seharusnya melekat pada sistem media (Subiakto, 2012:168). Hubungan antara aktor politik dan media layaknya simbiosis mutualisme dimana saling menguntungkan. Para aktor politik memiliki kepentingan terhadap media untuk popularitas, karena semakin popular seseorang yang muncul di media, maka elektabilitasnya untuk terpilih akan semakin tinggi. Sementara media sebagai institusi mungkin sebenarnya kurang memiliki kepentingan politik, namun menggunakan politiknya untuk melakukan tawar menawar yang bernilai ekonomi demi kepentingan media itu sendiri. Media pun melihat pemilukada sebagai ajang pertaruhan mereka untuk pendapatan media ke depannya, jika bakal calon yang didukungnya akhirnya menjadi penguasa daerah tersebut. Pemberitaan yang dimuat oleh media dapat merupakan hasil negosiasi bisnis dimana media menjual slot, sementara aktor politik membeli untuk mempublikasikan kepentingan politiknya. Motif keberpihakan media atas kekuasaan ekonomi ini bukan tanpa alasan. Pihak media cetak mengatakan bahwa media berpihak pada kekuasaan ekonomi untuk keberlangsungan hidup media itu sendiri. Media cetak terutama media cetak lokal dihadapkan pada kesulitan ekonomi untuk bertahan hidup. Terlebih lagi apabila media tersebut adalah media lokal yang tidak berjaringan dengan media massa lain yang lebih besar. Dengan keadaan seperti ini maka media massa terutama 299 media cetak dihadapkan pada situasi ekonomi yang tidak kuat dan perlu bekerja keras untuk bertahan hidup. 7.2.2 Makna Pencitraan Media memiliki peranan dalam mengartikulasikan gagasan kepada masyarakat, dan melakukan manipulasi terhadap informasi dan citra publik untuk memproduksi dan mereproduksi ideologi dominan bagi masyarakat. Para pembuat ideologi dominan menjadi suatu kelompok elit informasi di mana dominasi yang terbentuk bersumber dari kemampuan mereka dalam mengartikulasikan suatu sistem ide yang lebih disukai kepada masyarakat (Lull, 1998:2). Pertarungan aktor politik di media cetak pun kerap kali dilakukan untuk memperoleh pencitraan yang positif di mata masyarakat. Pencitraan pun dilakukan untuk mereproduksi sebuah makna yang dikonstruksikan oleh aktor politik bekerjasama dengan media tertentu. Pencitraan yang dilakukan oleh kelima pasangan adalah imej atau citra agamais dan berbudaya. Konstruksi pencitraannya pun sama yakni selalu tampil di media dengan menggunakan pakaian adat Bali atau minimal terlihat tampil dengan menggunakan udeng atau destar. Dari studi dokumen terlihat bahwa seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tampil di media dengan menggunakan pakaian adat Bali. Ini adalah salah satu bentuk konstruksi pencitraan yang dilakukan para pasangan calon. Citra berbudaya dan masih memegang adat dan 300 tradisi di Bali menjadi sangat penting untuk mampu mengambil hati pemilih atau konstituen. Pencitraan-pencitraan lainnya pun dilakukan oleh pasangan calon. Pencitraan sebagai pasangan berpendidikan dilakukan oleh pasangan ALAS. Pasangan ini mencitrakan diri mereka sebagai pasangan berpendidikan dengan selalu menggunakan title yang melekat pada diri mereka di setiap advertorial yang termuat di media cetak. Pasangan ini pun menggunakan kata atau konsep yang mencitrakan bahwa diri mereka adalah pasangan yang mengedepankan dan mementingkan pendidikan dalam visi misinya. Hal ini dilakukan untuk membuat imej atau citra sebagai pasangan muda yang terdidik dan berpendapat bahwa pendidikan adalah hal yang utama. Pencitraan juga dilakukan oleh pasangan lainnya yakni Brahmawijaya. Pasangan Brahmawijaya berusaha mencitrakan diri mereka sebagai pasangan yang santun, beretika, berbudaya dalam perhelatan politik. Hal ini dikonstruksikan dengan penggunaan bahasa dan kata yang menampilkan bahwa pasangan Brahmawijaya mampu meredakan emosi dan mengedepankan politik santun. Pencitraan ini dilakukan juga untuk mengkonstruksikan bahwa pasangan ini adalah pasangan yang memiliki kepribadian yang tidak jauh dengan kepribadian ketua umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang santun, beretika, dan berbudaya. Media mampu menciptakan realitas semu citra yang diinginkan untuk ditampilkan masing-masing pasangan calon. Citra yang kerap ingin disampaikan tentu saja adalah citra yang 301 positif dan mampu mencuri hati pemilih. Cara dalam mengemas citra adalah dapat dengan berita, iklan, hingga advertorial. Tiap-tiap pasangan calon memahami bahwa penting untuk melakukan konstruksi citra di media. Pasangan yakin bahwa media massa memiliki kemampuan sebagai alat kekuasaan karena mampu menarik dan mengarahkan perhatian, membujuk pendapat dan anggapan, mempengaruhi sikap, memberikan status, dan mendefinisikan legitimasi serta mendefinisikan realitas (McQuail,2000:82). Maka dengan membangun citra yang positif maka akan dapat membantu pasangan memperoleh legitimasi kekuasaan dari masyarakat pemilih. Media massa kerap kali dituding menjadi media popular. Penampilan seorang aktor politik di media cetak dinilai sebagai hal yang harus dilakukan apabila ingin dikenal atau diketahui oleh pemilih. Akhirnya tampil di media kini bermakna sebagai simbol dari gaya hidup populis. Gaya hidup menurut (Kotler, 2002:192) adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan menggambarkan dalam aktivitas, “keseluruhan diri minat, dan seseorang” opininya. dalam Gaya berinteraksi hidup dengan lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas sehari-harinya dan minat apa yang menjadi kebutuhan dalam hidupnya. 302 Seorang Profesor Sosiologi di Universitas Durham yaitu David Chaney mengkaji persoalan gaya hidup secara lebih komprehensif dan didasarkan dari berbagai perspektif. Menurutnya gaya hidup haruslah dilihat sebagai suatu usaha individu dalam membentuk identitas diri dalam membentuk identitas diri dalam interaksi sosial. Dalam bukunya “Life Style’’ Chaney (1996:92) mengatakan bahwa: “Gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai social atau simbolik; tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.” Atau dengan kata lain :“Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam pergaulan, pemahaman, atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk mengasosiasikan permainan kriteria status dalam konteks yang tidak diketahui namanya”. Tampil di media cetak pada pemilukada Bangli dapat dikatakan sebagai bentuk dari gaya hidup dimana sebagai usaha individu dalam membentuk identitas dirinya dalam interaksi sosial. Untuk tampil di media aktor politik pun harus melakukan cara-cara yang terpola dengan menginvestasikan aspek sosial dan simbolik. Pencitraan diri seperti telah dijelaskan sebelumnya juga adalah bentuk bermain dengan identitas dan penegasan status dalam sebuah konteks pemilukada. Chaney juga berasumsi bahwa gaya hidup merupakan ciri dari sebuah masyarakat modern, atau biasa juga disebut modernitas. Dalam arti disini, adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern yang akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. 303 Oleh karena itu hadir di media seakan-akan adalah bentuk dari modernitas. Tampilnya aktor politik atau pasangan calon di media akan diasumsikan sebagai pasangan yang mengikuti perkembangan zaman dan modern. 7.2.3 Dinamika perubahan budaya politik Dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 ternyata terungkap adanya dinamika atau perubahan yang terjadi dalam sistem komunikasi politik para aktor politik dan dinamika peranan media massa dalam pemilukada sebagai wadah komunikasi politik para aktor politik. Dinamika sistem komunikasi politik adalah mulai digunakannya media massa dalam hal ini media cetak sebagai media komunikasi antara aktor politik dan masyarakat audiensnya. Pola penggunaan medianya pun terjadi perubahan. Perubahan terjadi pada tingkat keterlibatan aktor politik dalam mengemas berita atau artikel yang memuat pasangan aktor politik tersebut di media massa. Dalam komunikasi politik yang dilakukan aktor politik tersebut, aktor politik dimungkinkan membungkus citra atau image apa yang ingin ditampilkan oleh aktor politik tersebut. Aktor politik bahkan dapat mengemasnya dengan kata-katanya sendiri. Aktor politik memiliki akses penuh terhadap media. Idealnya berita dikemas dan dibuat oleh individu pekerja media yang bekerja secara independen dalam melakukan kegiatan jurnalime. Namun dalam fenomena pertarungan aktor politik di 304 media cetak dalam pemilukada 2010 terlihat bahwa aktor politik dapat melakukan semua kegiatan jurnalistik ini sendiri tanpa harus melibatkan pekerja media. Hal ini dapat dilakukan aktor politik dengan memberi imbalan berupa uang kepada media yang diinginkannya. Maknanya ruang di media cetak ternyata dapat dibeli oleh aktor politik ini. Harga yang dipatok pun beragam antara satu juta rupiah hingga 16 juta rupiah untuk satu buah artikel. Jadi perubahan atau dinamika yang terjadi adalah bentuk komunikasi politik yang selama ini dimediai oleh media cetak kini terjadi secara langsung tanpa melalui proses jurnalistik. Proses jurnalistik yang hilang diantaranya tidak adanya proses peliputan acara tersebut oleh wartawan, tidak adanya proses penulisan berita yang independen dari pekerja media atau wartawan, hingga tidak adanya proses penyuntingan berita. Ironisnya, media bahkan tidak berwenang untuk menyunting artikel yang disiapkan aktor politik apabila aktor politik yang bersangkutan sudah membayar untuk ruang berita tertentu. Dinamika lainnya adalah perubahan dan terjadinya pergeseran ideologi media dan prinsip-prinsip media massa. Prinsip yang terlanggar antara lain adalah hilangnya ideologi sebuah media saat berhadapan dengan prinsip ideologi kapitalis. Dinamika budaya politik lainnya adalah telah terjadinya pergeseran dan perubahan sosial dalam pertarungan aktor politik dalam memperebutkan kekuasaan dalam hal ini jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Perubahan yang terjadi adalah pada kekuatan modal yang memiliki dampak signifikan terhadap tingkat elektabilitas calon kepala daerah. Pada pemilihan kepala daerah di Bali sebelumnya 305 modal yang memegang peranan signifikan adalah modal budaya seperti keturunan raja. Hal ini ditandai dengan pentingnya calon kepala daerah itu berasal dari Puri atau Griya. Namun dari pertarungan pemilukada Bangli 2010 kini telah terjadi pergeseran modal yang signifikan. Modal yang signifikan mempengaruhi elektabilitas adalah modal sosial. Terdapat dua modal sosial yang dimiliki oleh pasangan GITA adalah kekuatan jaringan partai PDIP dan kekuatan jaringan jiwa kedaerahan masyarakat di Kintamani. Kedua modal ini juga didukung oleh modal ekonomi yang cukup kuat yang dimiliki oleh PDIP untuk mengakses media cetak. Hal ini membuktikan bahwa terjadi dinamika budaya politik dari yang sebelumnya mementingkan kasta kini sudah bergerak pada modal sosial yakni jaringan massa dan modal ekonomi. 7.3 Temuan Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan telah menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola penggunaan media cetaak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik. Temuan kedua adalah terjadinya hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas kenetralan pihak redaksi dalam media cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi media dan ekonomi aktor politik yang berperan sangat dominan dalam proses pertarungan aktor politik di media cetak. Temuan keempat adalah persamaan bentuk pertarungan pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di media cetak. Temuan 306 terakhir yakni temuan kelima adalah media telah dianggap sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada. Temuan pertama adalah terkait dengan penggunaan media cetak sebagai media komunikasi politik para aktor politik. Dalam pemilukada Bangli terungkap bahwa dalam komunikasi politik para aktor politik melalui media cetak, seluruh bagian dari media cetak atau koran digunakan oleh aktor politik untuk melakukan komunikasi. Perusahaan media cetak pun menggunakan ajang kampanye dengan menjual seluruh bagian dari media yang dapat dijual. Apabila mengikuti aturan media maka bagian yang bisa dipergunakan aktor politik untuk melakukan komunikasi politik adalah iklan, dan advertorial. Kedua bagian ini yakni iklan dan advertorial terlihat jelas bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pihak yang berkepentingan yakni aktor politik. Pembaca pun mengetahui bahwa aktor politik dengan sengaja membayar media untuk mendapatkan slot dalam media ini. Namun dalam penelitian ini ternyata bagian lainnya dari media yang selama ini indenpenden dan netral ternyata berhasil disusupi maupun dengan sengaja dijual oleh pihak media. Bagian yang terjual ini adalah bentuk artikel berita. Namun artikel berita ini berbeda dengan artikel berita pada umumnya di mana artikel berita ini adalah hasil negosiasi dan atau pertukaran dengan nominal uang tertentu untuk dapat dimuat dalam media cetak tersebut. Hal ini adalah salah satu bentuk penyimpangan dari praktik jurnalisme media cetak. Berita seyogyanya adalah bentuk penyampaian informasi yang bersifat 307 netral dan tidak berpihak. Namun yang terjadi dalam pemilukada di Bangli praktik jual beli kavling berita ini sudah biasa terjadi. Ironisnya pihak media sama sekali tidak memberitahukan kepada pembacanya bahwa artikel berita berbayar tersebut adalah bukan berita netral namun titipan hasil jual beli media cetak dan aktor politik. Hal ini dikarenakan oleh tekanan media cetak di tingkat lokal untuk keberlangsungan hidup mereka. Ruang redaksi ternyata tidak dapat berdiri independen namun terhegemoni oleh marketing media atau pemilik media demi keuntungan media cetak tersebut. Temuan kedua adalah terhegemoninya pihak redaksional oleh pihak marketing dari media cetak tersebut. Pada masa kampanye pemilukada, pihak marketing media cenderung menjual seluruh bagian dari media tersebut kepada pihak aktor politik. Hal ini dilakukan pihak marketing atas dasar tuntutan dari pemilik media untuk memenuhi target pemasukan mereka selama kampanye dan dipergunakan untuk biaya operasional media tersebut. Jadi pemilik media pun mempunyai peranan penting dalam hegemoni marketing atas redaksi. Pihak marketing kemudian memiliki kewenangan untuk memerintahkan pihak redaksi meliput sebuah berita atau acara yang merupakan hasil negosiasi atau jual beli kavling kolom berita dengan uang. Ironisnya, pihak redaksi tidak memiliki hak atau kemampuan untuk menolak perintah dari pihak marketing. Bentuk pesanan dari marketing media dapat berupa harus meliput sebuah acara atau sebuah rilis dari pihak aktor politik untuk dimuat di media cetak. Pihak redaksi pun tidak memiliki hak 308 untuk menolak pesanan, bahkan walau berita tersebut tidak mengandung nilai-nilai berita seperti proximity atau kedekatan dengan pembaca, aktualitas hingga independensi. Pihak redaksi tidak memiliki lagi kewenangan untuk mempertimbangkan apakah berita tersebut mengandung nilai-nilai berita atau tidak. Hal ini membuktikan bahwa dalam pertarungan aktor politik di media cetak telah terjadi hegemoni dalam pihak media itu sendiri di mana pihak marketing dan pemilik media menghegemoni pihak redaksi. Fenomena ini membuktikan bahwa faktor ekonomi dalam hal ini kapitalisme media cetak terjadi dan menekan kepentingan dan idealism lain. Hegemoni ini ternyata telah menjadi rutinitas media cetak selama pemillukada maupun dalam keseharian tugas redaksional. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi baik ekonomi media maupun ekonomi aktor politik menjadi faktor yang paling dominan dalam pertarungan aktor politik di media cetak. Dari tiga modal yang diajukan oleh Bourdieu (1986), ternyata modal ekonomi telah menjadi modal yang paling berperan dalam praktik pertarungan aktor politik dalam pemilukada. Modal ekonomi ini pun menjadi modal yang dominan dibandingkan modal sosial maupun modal budaya. Modal sosial dan modal budaya yang selama ini dipandang sebagai modal penting dalam pertarungan pemilukada di Bali ternyata telah tergeserkan oleh modal ekonomi. Aktor politik yang mengandalkan modal sosial dan modal budaya pun mentransformasikan modal sosial dan modal budaya mereka menjadi modal ekonomi. Dengan adanya pertarungan aktor politik di media cetak, biaya politik yang tinggi selama ini akan semakin tinggi. 309 Namun terdapat calon kepala daerah yang menolak menggunakan media karena harga yang tinggi. Calon ini mengerti bahwa popularitasnya akan lebih rendah dibandingkan calon yang menggunakan media. Calon biasanya tidak akan dirugikan selama media tidak mengkonstruksi realitas yang kontra terhadapnya. Namun apabila isu yang dikemas calon lain merugikan maka calon pun terpaksa menggunakan media untuk melawan isu atau opini publik yang dikemas media. Dari hasil wawancara dengan para aktor politik dalam pemilukada Bangli 2010, terungkap bahwa tanpa tampil di media saja para aktor politik ini harus mengeluarkan dana yang cukup besar dalam berkampanye dan memenangkan pertarungan pemilukada. Sebagian besar mereka mengakui perlunya berkomunikasi politik melalui media cetak membuat biaya politik pun semakin tinggi. Oleh karena itu, ada beberapa aktor politik yang memilih untuk membatasi dirinya dalam penggunaan media hanya karena tidak memiliki dana kampanye yang cukup. Bahkan beberapa aktor politik enggan untuk bertemu jurnalis karena para aktor ini enggan mengeluarkan biaya untuk membayar jurnalis yang mencari mereka. Maka dari itu, bentuk komunikasi politik yang dilakukan para aktor politik di media pun dilakukan seefektif dan seefisien mungkin dengan membentuk citra dan pesan politik yang dinilai dapat memenangkan para aktor politik ini di kancah pertarungan pemilukada. Temuan keempat, dalam pertarungan aktor politik salah satu hal yang dipertarungkan adalah pencitraan diri para aktor politik di media cetak. Dari pertarungan citra diri para aktor politik, bentuk pencitraan yang selalu dikonstruksi 310 oleh seluruh aktor politik melalui media cetak adalah citra berbudaya dan berpendidikan. Citra berbudaya ditonjolkan melalui penggunaan busana adat di mana pun dan kapan pun para aktor politik ini tampil. Penampilan di media pun tidak jauh berbeda. Penampilan para aktor politik baik dalam foto iklan, artikel berita, artikel berita berbayar, hingga foto dalam advertorial selalu menampilkan para aktor politik ini menggunakan busana adat Bali, seperti udeng atau destar, kain dan saput Bali. Hal yang cukup unik adalah persamaan busana yang digunakan dalam segala kesempatan dengan foto di surat suara. Kesadaran konsistensi dalam berbusana ini ternyata telah disadari sebagai hal yang penting bagi para aktor politik. Pilihan tampil dengan busana adat untuk mendukung citra diri para aktor politik yang berbudaya dan menjunjung tinggi adat Bali. Persamaan citra yang ingin ditonjolkan lainnya adalah citra berpendidikan. Citra pendidikan ditampilkan melalui penggunaan gelar di setiap penulisan nama para aktor politik. Selain penulisan gelar pada nama aktor politik, gelar pendidikan pun dikonstruksikan dalam kalimat di mana menggunakan kata seperti “guru besar dari Undiksha” untuk I Wayan Lasmawan, “Kepala Sekolah” untuk I Wayan Arsada. Bentuk pencitraan berpendidikan lainnya pun terlihat dalam pesan politik yang diusung pada aktor politik seperti “Pemberian subsidi pendidikan secara silang” yang diusung pasangan GUNA, dan “Meningkatkan kualitas SDM yang spiritual untuk membangun jati diri” yang diusung pasangan ALAS. Kedua persamaan citra ini menunjukkan bahwa kedua citra ini yang merupakan bentuk dari modal budaya masih 311 dipercaya mampu meningkatkan perolehan suara dan mendapatkan simpati dari para konstituen. Temuan kelima, Media tetap dianggap sebagai wadah yang tepat untuk mengemas isu politik dan menguasai pengetahuan atau wacana untuk kekuasaan di masyarakat. Media dinilai sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada. Dari persepsi ini maka aktor politik telah berpikir bahwa penting bagi mereka untuk tampil di media selama pemilukada. Tampilnya para aktor politik ini dinilai mampu untuk meningkatkan elektabilitas para aktor politik dalam pemilukada. Hal ini terbukti dengan perbandingan lurus antara kuantitas muncul di media dengan kuantitas suara yang kandidat peroleh di pemilukada Bangli. Tampil di media ternyata tidak hanya berpengaruh pada tingkat elektabilitas calon, namun pesan yang dikonstruksi oleh aktor politik yang bekerjasama dengan pihak media pun dinilai mampu membangun realitas media yang disosialisasikan kepada masyarakat dan akhirnya diterima sebagai realitas oleh masyarakat. Oleh karena itu teknik framing berita di mana menonjolkan sisi tertentu dan dengan sengaja menghilangkan fakta yang bertentangan kerap kali dilakukan dalam mengkonstruksi realitas media. Pertarungan opini ini terjadi setelah hari pemilihan di mana telah terjadi kontroversi hasil pemilukada. Pasangan Brahmawijaya mengkonstruksi telah terjadi kecurangan massif dalam pencoblosan di beberapa daerah di Bangli sehingga memenangkan pihak GITA. Pihak GITA pun melawan 312 dengan cara yang sama yakni dengan menggunakan media. Adapun pesan yang disampaikan GITA adalah adanya penekanan dan intimidasi yang dilakukan pendukung Brahmawijaya kepada pihak penyelenggara KPUD Bangli dan pihak pengawas pemilu tingkat kabupaten. Temuan penelitian di atas membawa sebuah refleksi dan perenungan dalam memandang sebuah fenomena dan kejadian yang terjadi di sebuah kabupaten di Bali ke dalam refleksi yang mendalam akan fungsi dan peran media massa dalam pertarungan aktor politik di pemilukada. 7.4 Refleksi Refleksi atas penelitian ini adalah posisi masyarakat dalam pertarungan aktor politik di media cetak selama pemilukada. Pertarungan yang melibatkan aktor politik yang bersinergi dengan media cetak tidak mengindahkan dampak budaya yang terjadi di masyarakat. Masyarakat kerap kali disuguhkan kebohongan atau realitas semu hasil konstruksi media cetak maupun aktor politik dengan tujuan paling pragmatis yakni kemenangan dalam pemilukada. Masyarakat dinilai media dan aktor politik sebagai pihak yang pasif, dipandang rendah, tidak kritis dan telah menjadi korban dari konspirasi dan hegemoni aktor politik dan media cetak atas realitas. Hubungan antara aktor politik dan media layaknya simbiosis mutualisme dimana saling menguntungkan. Para aktor politik memiliki kepentingan terhadap 313 media untuk popularitas, karena semakin popular seseorang yang muncul di media, maka elektabilitasnya untuk terpilih akan semakin tinggi. Sementara media sebagai institusi mungkin sebenarnya kurang memiliki kepentingan politik, namun menggunakan politiknya untuk melakukan tawar menawar yang bernilai ekonomi demi kepentingan media itu sendiri. Media pun melihat pemilukada sebagai ajang pertaruhan mereka untuk pendapatan media ke depannya, jika bakal calon yang didukungnya akhirnya menjadi penguasa daerah tersebut. Teori Agenda Setting (Dominick, 1999) mengatakan bahwa kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Maka apabila berita yang dimuat adalah kebohongan publik maka audiens akan menganggap bahwa berita rekayasa itu adalah kebenaran dan penting. Namun dalam pandangan kritis, audiens dipandang sebagai audiens yang aktif. Di mana audiens sudah cukup pintar dan memiliki literasi media yang tinggi. Audiens yang aktif ini dapat memilah media berdasarkan kebutuhannya. Audiens yang aktif ini pun mampu melihat muatan media yang subjektif dan berpihak. Audiens ini tidak mampu dihegemoni oleh media. Namun dalam pertarungan aktor politik dalam pemilukada Bangli 2010, audiens yang aktif dan memiliki literasi media tidak cukup tinggi. audiens di Bangli masih terhegemoni oleh media. BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN Dalam masa pasca berakhirnya era Orde Baru, Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan di berbagai sektor dan sendi kehidupan terutama pada sektor politik dan sektor kebebasan media massa. Kedua sektor ini berkembang dan saling bertemu dalam konteks komunikasi politik melalui media massa. Menurut McNair (1995:5) aktor politik harus menggunakan media untuk mengkomunikasikan pesan mereka kepada audiens yang diinginkan, seperti program politik, pernyataan politik, permohonan pemilihan, kampanye politik. Bagaimanapun juga, semua komunikator politik dalam hal ini aktor politik harus menggunakan akses ke media dengan beragam tujuan, baik bagi legislatif, atau hanya sebagai bentuk apresiasi bahwa pesan kepada audiens telah tersampaikan. Tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat lokal seperti di Bali, pertarungan dalam pemilukada juga terjadi. Perbedaan dalam pertarungan kuasa pada pemilukada adalah bentuk modal yang digunakan. Kini modal yang digunakan tidak lagi berbasis pada kekuatan fisik dan kuantitas dari tentara namun modal yang berbasis pada ekonomi, jaringan sosial dan politik hingga modal budaya. 314 315 Disertasi ini memilih Kabupaten Bangli dengan beberapa alasan khusus yakni konflik, pilkada ulang di sebagian TPS pertama di Bangli, hingga waktu pertarungan kandidat pilkada di media massa yang lebih panjang. Pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Bangli pada 4 Mei 2010 memiliki perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan daerah pemilihan lainnya di Provinsi Bali. Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati. Banyaknya calon bupati-wakil bupati Kabupaten Bangli ini menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi di Kabupaten ini. Untuk itu menarik ditelusuri lebih lanjut mengenai bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Lalu faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik tersebut dan bagaimana dampak dan makna dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. 8.1 Simpulan Dalam penelitian mengenai Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010 dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, arena atau tempat bertarung pada aktor politik di media cetak dapat dibagi menjadi empat bentuk arena pertarungan. Pertarungan aktor politik dilakukan melalui wacana isu politik dan pencitraan sebagai bentuk pertarungan di media cetak. Seperti pendapat Bourdieu (dalam Ritzer, 2004:252), setiap calon menggunakan wacana sebagai suatu arena pertarungan memperoleh kekuasaan. 316 Bentuk pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat ragam bentuk di media tempat bertarung yakni artikel berita, artikel berita berbayar, artikel advertorial, dan iklan. Masing-masing tempat bertarung ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Artikel berita lebih cenderung digunakan untuk tempat pertarungan isu politik antar pasangan calon. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Gamson (dalam Kriyantono, 2010:259) di mana pembuatan berita melalui proses penentuan fakta dan ada bagian yang ditonjolkan atau dihilangkan. Pertarungan isu politik yang terjadi dalam artikel berita adalah perseteruan antara pasangan Brahmawijaya dan GITA dalam kasus penuntutan pemilihan ulang. Brahmawijaya menonjolkan adanya pelanggaran dan indikasi kecurangan pelaksanaan pemilukada. Isu yang diangkat mendapat lawan dari GITA dimana diberitakan pasangan Brahmawijaya melancarkan intimidasi kepada Panwaslu dan KPUD Bangli. Bentuk lainnya yakni iklan. Pasangan yang menggunakan bentuk iklan ini adalah pasangan GITA. Dalam iklan GITA, isu yang diangkat dalam pertarungan adalah pasangan GITA berafiliasi dengan PDIP, pasangan berbudaya, dan berpendidikan tinggi. Isu politik yang diangkat dalam iklan adalah mewujudkan Bali Shanti dan memilih dengan hati nurani. Citra ini dibentuk GITA untuk membentuk opini massa (Bungin, 2007:288) di mana GITA merekonstruksi realitas di media. Bentuk berikutnya adalah advertorial. Pasangan yang menggunakan bentuk ini adalah pasangan ALAS. Advertorial pun digunakan sebagai arena di mana ALAS 317 mengkonstruksikan citra diri dan program politis ALAS. Citra yang dibentuk atau ditangkap oleh masyarakat antara lain citra berpendidikan, menjunjung Budaya Bali dalam keseharian, kedekatan dengan sosok Bupati Bangli Arnawa, dan sosok yang bersahaja dan membumi. Advertorial pasangan ALAS adalah bentuk hegemoni, Gramsci mengatakan kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan. Melalui advertorial pasangan ALAS mampu menghegemoni informasi yang disampaikan kepada kelompok subordinat untuk menerima ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa. Bentuk pertarungan berikutnya adalah melalui artikel berita berbayar. Pasangan yang paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam komunikasi politiknya adalah pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba mencitrakan diri positif melalui artikel berita berbayar. Bentuk pertarungan antar aktor politik di media cetak terjadi dalam pembentukan citra diri aktor politik untuk membentuk opini publik di masyarakat. Citra diri yang dibentuk oleh media menjadi sangat penting karena hal ini akan berpengaruh terhadap opini publik akan citra diri yang diterima oleh pembaca media cetak tersebut. Citra yang dibentuk melalui media massa akan mempengaruhi pandangan pembaca terhadap sosok pasangan tertentu. Media sebagai wadah pun dapat menentukan bagaimana citra yang ingin disampaikan media atau pasangan atas cermin dirinya tersebut. 318 Dari bentuk-bentuk yang telah ditelaah diketahui terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010 dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor ekonomi, politik, dan media massa. Kekuatan ekonomi atau kapital tercatat sebagai faktor yang paling dominan mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Sistem pemuatan berita dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya komunikasi politik aktor politik di media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali mencari keuntungan yang berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan ideologinya demi meraup untung lebih besar. Kekuatan pasar atau kepentingan kapitalis menghegemoni pertarungan aktor politik di media massa. Faktor politik yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di antaranya adalah faktor ideologi politik dan faktor aktor sebagai sumber berita, partai politik yang mengusung dan strategi kampanye dalam pemilukada. Aktor politik sebagai sumber berita dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan seperti memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Setiap pasangan calon kepala daerah memiliki modal yang berbeda-beda. Kekuatan modal menjadi pertimbangan strategi politik yang dilancarkan aktor politik. Pertarungan kombinasi modal yang 319 diungkapkan Bourdieu (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang dapat berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada ini. Dari tiga jenis modal yang dikemukakan Bourdieu (1986), yakni ekonomi, sosial, dan budaya. Kolaborasi modal ini saling mendukung dalam praktik pertarungan namun modal ekonomi adalah modal yang paling menentukan dan berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak. Modal sosial dan modal budaya bahkan bersinergi dan berkonvergensi untuk menjadi kekuatan modal ekonomi. Pasangan GUNA yang kurang memiliki kekuatan modal ekonomi dan sosial akhirnya hampir tidak pernah muncul di media cetak. Pasangan GITA memiliki kekuatan modal sosial yang besar karena diusung oleh partai sebesar PDI Perjuangan yang notabene memiliki modal ekonomi yang cukup. Kekuatan dua modal ini membuat pasangan GITA tercatat paling sering muncul di media cetak. Faktor berikutnya yang mempengaruhi adalah faktor medianya itu sendiri. Media dianggap sebagai faktor yang juga cukup berpengaruh dalam pertarungan aktor politik ini. Faktor media terbagi menjadi individu pekerja media dan ideologi media itu sendiri. Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak menjadi hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi sebuah rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di Bangli. Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga iklan politik terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut. 320 Perkembangan politik seperti pemilukada tentu saja bukan sebuah prosesi yang tumbuh dan berjalan di ruang hampa. Pemilukada tentu saja bersinggungan dengan segala aspek di masyarakat. Sehingga bagaimana pemilukada berlangsung akan membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor politik saja. Pertarungan aktor politik di media cetak juga akan berpengaruh pada sektor ekonomi dan budaya. Dampak secara politik yaitu terutama pada sistem komunikasi politik yang semakin gencar menggunakan media cetak sebagai bentuk komunikasi aktor politik kepada konstituennya. Peningkatan penggunaan media cetak sebagai tempat bertarung pun tergantung dari kekuatan ekonomi dari aktor politik. Hal ini terjadi karena dalam pertarungan aktor politik di media cetak pada pemilukada di Bangli ternyata terungkap memerlukan biaya yang cukup besar. Biaya politik yang sudah cukup besar ternyata ditambah dengan biaya yang diperlukan untuk menggunakan media dalam menyampaikan pesan-pesan politik para aktor politik. Secara politik ini berpengaruh pada sistem politik dengan biaya tinggi atau high cost politics. Politik berbiaya tinggi ini berdampak ekonomi baik terhadap aktor politik maupun media cetak. Aktor politik wajib memiliki modal yang cukup untuk bertarung dalam pemilukada. Dampak ekonomi pada media cetak adalah ajang pemilukada dijadikan ajang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan banyak cara. Media pada masa pemilukada menyediakan ruang untuk kampanye para aktor politik. Ruang yang 321 dimaksud dapat berupa iklan atau advertorial. Pada praktiknya ternyata dalam pemilukada Bangli 2010, media menyediakan ruang-ruang lainnya di media untuk aktor politik seperti berita berbayar, atau istilahnya adalah jual beli kavling berita. Setiap kavling diberi harga yang berbeda tergantung halaman dan panjang artikel. Harganya pun beragam dari 10 juta hingga 16 juta rupiah untuk setiap kali naik cetak. Media pun cenderung melupakan ideologi media dan lebih mementingkan keuntungan secara ekonomis. Pertarungan aktor politik ini pun mengandung makna. Beberapa makna yang dapat diketahui yaitu makna pragmatis media dan aktor politik, makna pencitraan, makna popular-gaya hidup, dan makna dinamika budaya politik di Bangli. Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan telah menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola penggunaan media cetak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik. Temuan kedua adalah terjadinya hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas kenetralan pihak redaksi dalam media cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi media dan ekonomi aktor politik yang berperan sangat dominan dalam proses pertarungan aktor politik di media cetak. Temuan keempat adalah persamaan bentuk pertarungan pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di media cetak. Temuan terakhir yakni adalah media telah dianggap sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada. 322 Dalam pemilukada di Bangli dan di tempat lain dan di tingkat lain seperti di Gianyar (MacRae dan Darma Putra,2010, maupun di Badung (Putu Artha, 201) terbukti bahwa selain adanya kemenangan kandidat juga identik dengan kemenangan media karena mereka bisa memenuhi ambisi ekonominya dengan menjual hampir seluruh bagian dari media tidak hanya iklan, namun hingga artikrl berita berbayar. Bagi sebagian orang, gejala ini tidak sehat terhadap pertumbuhan demokrasi di Indonesia. 8.2 Saran Dari hasil penelitian pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010, terdapat beberapa saran yang dapat dianjurkan. Saran-saran yang dikemukakan tertuju kepada penyelenggara pemilu, aktor politik, media cetak, dan saran kepada pemilih. Saran kepada penyelenggara pemilu adalah perlunya sistem dan aturan dalam pemilukada yang mengatur mengenai penggunaan media cetak sebagai media kampanye aktor politik. Hal ini penting untuk menjaga agar aktor politik tidak mendominasi dan menggunakan media cetak sebagai alat propaganda untuk mendapatkan keuntungan politis. Penyelenggara pun harus aktif memperhatikan bagaimana media cetak digunakan oleh aktor politik ini jangan sampai praktik komunikasi politik yang dilakukan bertentangan dengan nilai luhur dari demokrasi. 323 Saran kepada aktor politik dan partai politik adalah dalam menggunakan media cetak sebagai alat komunikasi politik dalam pemilu terutama pemilukada sebaiknya digunakan secara bijak. Media seharusnya memberikan kesempatan yang sama kepada setiap aktor politik, untuk itu sebaiknya aktor politik menggunakan media sesuai dengan aturan yang berlaku. Aktor politik dan partai politik pun jangan tertipu dengan bujukan media menawarkan kavling berita dalam media yang bersangkutan. Dalam menjaga hubungan dengan konstituen atau pemilih gunakan bentuk komunikasi politik lainnya yang sesuai dengan budaya dan situasi masyarakatnya. Aktor politik pun diharapkan mengurangi kebiasaan berpolitik praktis dalam pemilukada dan meminimalisir penggunaan dana kampanye yang berlebihan. Terdapat beberapa saran kepada media cetak. Pertama untuk mengingat kembali salah satu fungsi dari media cetak yakni informasi dan pendidikan. Hal ini dikarenakan apa yang terjadi pada pemilukada Bangli 2010, media kerap kali melupakan tugasnya sebagai media yang informatif bukan media yang provokatif. Saran berikutnya adalah kepada pekerja media itu sendiri. Jurnalistik berpegang teguh pada asas independensi dan objektifitas, namun dengan adanya praktik jual beli kavling ini maka asas indenpendensi dan objektifitas sudah dilanggar. Maka saran dari penelitian ini adalah mengajak media cetak untuk kembali pada porosnya sebagai salah satu pilar demokrasi bukan menjadi alat anti demokrasi. Terakhir adalah saran kepada pembaca atau audiens dan konstituens. Apabila media dan aktor politik sudah bekerjasama untuk kepentingan ekonomi dan politis 324 maka yang menjadi harapan terakhir adalah pembaca dan konstituennya. Konstituens diharapkan menjadi pembaca yang aktif dan kritis. Pembaca diharapkan mampu memilih dan membaca adanya kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis dari media maupun dari aktor politik dari setiap artikel berita yang termuat. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pembodohan oleh media melalui beritaberita yang subjektif dan tidak lagi independen. 325 Daftar Pustaka Aditjondro, George Junus. 1994. “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas”, Kalam No.1 Jakarta Almond, Gabriel and G Bingham Powell. 1976. Comparative Politics: A Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company Almond, Gabriel and James S. Coleman.1960. The Politics of Developing Areas, New York: The Princenton University Press Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra Artha, Gusti Putu. 2009. Konspirasi Media Massa dengan Kandidat Pilkada. Denpasar : Arti Foundation Baran, Stanley J. 2002. Introduction to Mass Communication: media literacy& culture 2nd. New York :McGraw Hill Bennet, Tony, Michel Gurevitch, James Curran dan James Wollacott. 1982. Culture, Society, and the Media. London : Methuen Bertens, K.1985. Filsafat Barat Abad XX, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Best, Steven, Douglas Kellner. 2003. Teori Postmodern. Terj. Malang : Boyan Budiarjo, Miriam. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia Blake, Reed H., Edwin O. Haroldsen. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi. Surabaya : Papyrus Carey, James W. 1989. Communication as Culture: Essay on Media and Society. Boston : Unwin Hyman Chaney, David. 2004. Lifestlyes : Sebuah Pengantar Komprehensif. Jakarta : Jalasutra 326 Cook, Guy.1994. The Discourse of Advertising. London and New York : Routledge Curran, James. 1991. Communication, Power, and Social Order dalam Michael Gurveitch. 1991. Culture, Society, and The Media. New York : Methuen Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc: California. Durham, Frank. 1998. News Frames as Social Narratives: TWA Flight 800 in Journal of Communication, vol 48 no 4 Dan Nimmo,1982. Komunikasi Politik, Bandung: Rosdakarya Denver, David. 1992. Campaigns and Elections dalam Mary Hawkeswarth & Maurice Kogan (eds) Encylopedia of Government and Politics Vol. 1. London : Routledge Dominick, Joseph R..1996. The Dynamics of Mass Communication 5th. USA : McGraw Hill Eriyanto.2008 . Analisa Wacana. Yogyakarta : LKiS Eriyanto.2002 . Analisa Framing. Yogyakarta : LKiS Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Partai Politik di Era Reformasi. Jakarta : Yayasan Obor Foss, Sonja K.. 1985. Contemporary Perspectives on Rhetoric. Illinois: Waveland Press Inc Foucault, Michael. 1997. Seks dan Kekuasaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Foucault, Michel, Gordon, Collins (ed). 1980. Power/Knowledge: Selected interviews. Havester : Brighton Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Praktik : Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta : Jalasutra 327 Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi :manipulasi media,kekerasan, dan pornografi. Yogyakarta : Kanisius Hidayat, Dedy N. 1999. Memantau Media, Memantau Arena Publik. Pantau no.6 Huntington, Samuel P., Joan M. Nelson. 1977. No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries; Cambridge, Mass: Harvard University Press Ibrahim, Idi Subandy Ibrahim (ed.), 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia .Bandung: Mizan McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, 3rd edition. London and New York : Routledge Klepper, J. 1960. The Effect of Mass Communication, New York : Free Press Littlejohn, Stephen W.1999. Theories of Human Communication, 6th edition. Belmont, California Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu Pengantar Global Terjemahan A. Setiawan. Jakarta : Yayasan Obor MacRae, Graeme and I Nyoman Darma Putra. 2007. “A New Theatre-State in Bali? Aristocracies, the Media and Cultural Revival in the 2005 Local Elections‟, Asian Studies Review, 31:2, pp. 171–189. MacRae, Graeme and I Nyoman Darma Putra. 2008. “A peaceful festival of democracy‟; aristocratic rivalry and the media in a local election in Bali‟, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 42, no. 2, pp. 107–46. McNair, Brian. 1994. News and Jurnalism in UK : A Textbook, London dan New York : Routledge McNair, Brian. 1995. An Introduction to Political Communication. London dan New York : Routledge Mosso, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London : Sage Publication 328 Negrine, R. 1996. The Communication of Politics. London : Sage Publication Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif ed.7. Jakarta : Indeks Nightingale, Virginia.1996. Studying Audiences : The Shock of the Real. London dan New York : Routledge Nightingale, V. (1996) Studying audience: he shock of the real. London: Routledge. Nimmo, Dan. 1982. Komunikasi Politik. Rosdakarya: Bandung Olson, David R. 1994. The World on Paper. Cambridge : Cambridge University Press Pawito.1998. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan Ras Amanda, Ni Made. 2010. Pola Penggunaan Media Cetak dalam Pemilukada di Bali 2010. Jurnal Widyasosipolitika FISIP Udayana vol.2/ 2010 Riggins, Sthepen Harold. 1997. The Retoric of Othering dalam The Language and Politics of Exclusions: Other in Discourse. Thousand Oaks : Sage Publications Ritzer, George, Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern terj. Jakarta : Kencana Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan Politik. Yogyakarta : LKiS Schudson, Michael, The Sociology of News Production Revisited, dalam James Curran dan Michel Guveritch.1991. Mass Media and Society. London : Edward Arnold Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese. 1996. Mediating tje Message : Theories of Influences on Mass Media Content. Second Edition. New York : Longman Simon, Roger. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar Subiakto, Henry, Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Group 329 Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : LkiS Susanto, Budi. 2000. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia.Yogyakarta : Lembaga Studi Realino dan Kanisius Van DIjk, Teun A. 1993. Discourse and Society: Vol 4 (2). London : Newbury Park and New Delhi: Sage Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Kencana Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi Pustaka Artikel “Ada Cabup Tanpa Suara di Satu TPS”. NusaBali, 5 Mei 2010 “Ada Isu Tebar Duit Rp 1 M”. NusaBali, 3 Mei 2010 “Anggota DPR Diadili dalam Kasus Hutan”. Kompas, 26 September 2008 “Arnawa Amankan Suara Gita Cok. Ratmadi Perintahkan”. BaliPost, 8 Mei 2010 “Bentrok Fisik Coreng Pilkada Bangli” NusaBali, 5 Mei 2010 “Demo Tandingan Massa Gita, Sesalkan Panwaslu Diintimidasi”. BaliPost, 10 Mei 2010 “Gita Ditetapkan Jadi Pemenang, Brahma-Wijaya akan Gugat ke MK”. BaliPost, 14 Mei 2010 “Golput Kalahkan Suara Kandidat”. BaliPost, 9 Mei 2010, “Golput Tinggi : Pendidikan Politik Gagal”. Kompas, 24 Juli 2008 “Gugatan Pilkada Hari ini Sidang Brahma-Wijaya di MK” BaliPost, 24 Mei 2010 330 “Jajak Pendapat Kompas, DPR Semakin Jauh dari Rakyat” Kompas, Senin 10 Maret 2008 “Kampanye Pemilu : Iklan Politik, KPK dan DPR yang Lebih Baik”. Kompas , 30 September 2008 “Kualitas Pemilu 2009” oleh Lambang Trijono. Kompas, 12 Agustus 2008 “Massa Sukarno Kepung Kantor Bupati”. BaliPost, 11 Mei 2010 “Pasca Pilkada di Bali: Kecurangan Makin Banyak, Panwaslu Bingung” . BaliPost, 9 Mei 2010 “Pascapengaduan Brahma-Wijaya Panwaslu Periksa Puluhan KPPS”. BaliPost, 8 Mei 2010 “Pemberantasan Korupsi : Anggota DPR yang Diperiksa Akan Bertambah”. Kompas, 27 September 2008 “Pemungutan Suara di Temacun akan Diulang”. BaliPost, 8 Mei 2010, “Pencoblosan di Lima Kabupaten/Kota Tipis, Peluang Pilkada Dua Putaran”, BaliPost, 3 Mei 2010 “Pendukung Brawijaya Serbu Dewan”. NusaBali, 7 Mei 2010 “Pendukung Brahma-Wijaya, Desak Pilada Ulang di Kintamani”. BaliPost, 7 Mei 2010 “Perilaku Pemilih : Parpol Tak Beri Harapan, Golput Naik”. Kompas, 25 Juli 2008, “Perilaku Pemilih : Wapres Akui Adanya Kebosanan pada Pilkada”. Kompas, 26 Juli 2008 ““Pesta Demokrasi” yang Melelahkan” Kompas, 4 Juni 2010, “Pilkada Bangli MK Putuskan Pemilihan Ulang di 12 TPS”. BaliPost, 4 Juni 2010 “Pilkada Bangli 132 TPS Direkomendasikan Pemilihan Ulang”. BaliPost, 12 Mei 2010 “Pilkada Tabanan KPUD Sahkan Eka-Jaya”. BaliPost, 11 Mei 2010 331 “Sejarah Pemilu di Indonesia”. Tempo, Jumat 19 Maret 2004 “Tren Golput Pilkada Menuju Pemilu 2009”. Media Indonesia, 4 Agustus 2008