pertarungan aktor politik di media cetak dalam

advertisement
PERTARUNGAN AKTOR POLITIK DI MEDIA CETAK
DALAM PEMILUKADA BANGLI 2010
Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor
Pada Program Doktor, Program Studi Kajian Budaya,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE RAS AMANDA G.
NIM 0890371021
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
1
2
PENETAPAN
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tahap I (Tertutup)
Tanggal 22 April 2014
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No.:1085/UN.14.4/HK/2014 tanggal 21 April 2014
Ketua :
Dr. Putu Sukardja, M.Si
Anggota :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Prof. Dr. I Gde Parimartha M.A
Prof Dr. I Wayan Ardika M.A
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra M.Litt
Prof. Dr. I Made Suastika, S.U.
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U
Prof Dr I Gde Semadi Astra
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.,
3
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
:
Ni Made Ras Amanda Gelgel
NIM
:
0890371021
Jurusan
:
S3 Kajian Budaya
Fakultas/Program
:
Sastra dan Budaya, Universitas Udayana
Judul Disertasi
:
Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak
dalam Pemilukada Bangli 2010
Menyatakan dengan sebenarnya, bahwa disertasi ini benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan pendapat dan
tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam disertasi ini
terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar
peraturan-peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Denpasar, 20 April 2014
Materai
Rp 6.000
Ni Made Ras Amanda Gelgel
4
UCAPAN TERIMA KASIH
Atas Asung Kertha Waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa dan dengan didukung oleh keinginan luhur, Disertasi dengan judul “Pertarungan Aktor
Politik di Media Cetak dalam Pemilukada Bangli 2010” ini dapat diselesaikan penulisannya
dalam upaya memenuhi beban studi pada Program Doktoral Pascasarjana, Program Doktor
Kajian Budaya Universitas Udayana. Untuk itu, selayaknyalah dipanjatkan puji syukur
kehadirat-Nya. Terwujudnya tulisan ini tentu atas dorongan dari Prof. Dr. I Gde Parimartha
M.A selaku promotor yang telah memperkaya penulis dengan diskusi-diskusi mendalamnya,
Prof Dr. I Wayan Ardika M.A selaku Kopromotor I yang telah mengajarkan penulis untuk
memiliki perspektif yang kuat akan kajian budaya, dan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra
M.Litt selaku kopromotor II, yang mengajarkan penulis untuk mengembangkan pemikiran
kritis dan mengajarkan kedisplinan dalam penulisan. Untuk itu penulis sampaikan
terimakasih yang tak terhingga. Ucapan yang senada, juga disampaikan kepada Rektor
Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika SpPD KEMD dan Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), yang secara
profesional menyediakan fasilitas dan finansial selama berlangsungnya proses pendidikan.
Ucapan yang sama disampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan Cika M.S selaku Dekan
Fakultas Sastra UNUD, Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan.S.U dan Dr. I Putu Sukarja, M.Si
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Kajian Budaya, Program Doktor (S3) Universitas
Udayan beserta seluruh dosen yang telah banyak mentransformasi pilar-pilar nilai Kajian
Budaya. Tidak lupa pula disampaikan terima kasih kepada para Penguji Prof. Dr. I Made
5
Suastika, S.U., Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U., Prof Dr I Gde Semadi Astra, dan Prof.
Dr. Emiliana Mariyah, M.S., Dr Putu Sukardja M.Si., serta Dewan Penguji lainnya yang telah
membuat hasil tulisan penulis lebih berarti. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada
seluruh staf administrasi Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana; Putu
Sukaryawan, S.T., Dra Ni Luh Witari, Cok Murniati S.E., Ni Wayan Ariyati S.E., Putu
Hendrawan, I Nyoman Candra, dan Ketut Budiarta yang telah membantu mengkritisi
kelengkapan administrasi dan memberikan petunjuk teknis dalam memperlancar proses
edukasi. Secara istimewa ucapan terima kasih ini ditujukan kepada teman-teman
seperjuangan pada Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana angkatan 2008.
Ucapan terimakasih yang tiada terhingga untuk orangtua penulis yakni Prof. I Putu
Kompiang PhD dan Supriyati Kompiang M.Sc, yang tidak henti mendoakan dan
mengingatkan penulis untuk memenuhi kewajibannya. Juga kepada orangtua penulis I Wayan
Dupa Dharmayuda dan Ni Made Wardani yang tiada lelah mengerti dan memahami
kekurangan penulis selama ini.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada I Made Wirya Santosa S.T M.Si, yang
telah mengajarkan untuk selalu berbuat dan belajar untuk lebih baik. Serta kepada para
permata hati yang selalu menyediakan senyuman dan pelukan untuk penulis, putri tersayang
Putu Mada Layana Sita, putra tercinta Made Galang Dama Nandana, dan kepada yang akan
melengkapi keluarga kecil kami.
Secara istimewa ucapan terimakasih ini ditujukan pula kepada kedua ninik saya, Ni
Wayan Keneh dan Ninik Cicih , Kakak-kakak saya, I Gde Rasananda Gelgel dan Dian
Yusnita Setiani beserta kedua belah hatinya Wayan Rasyad Agung Gelgel dan Jundi Aletheia
6
Gelgel, Dr I Wayan Gde Wiryawan SH MH, dan I Gusti Ayu Handayani SE beserta kedua
belah hatinya I Putu Gde Yudha Mahakarna dan I Made Yudha Prawira Mahagangga.
Seluruh keluarga besar yakni Keluarga I Wayan Balik Kertha, Keluarga I Made Sujendra,
Keluarga I Ketut Karben Wardana, Keluarga I Wayan Nukertha, Keluarga I Ketut Nartha,
Keluarga I Made Radiawan, Keluarga Narthana, Keluarga I Nyoman Jigra, Keluarga Ketut
Metro, Keluarga Ketut Sudiantha, Keluarga Ketut nila, Keluarga Nyoman Parwata, dan
seluruh keluarga besar lainnya di Guwang, Gianyar, Bali yang sudah bersedia menerima
penulis menjadi bagian dari keluarga yang luar biasa ini. Ucapan terimakasih pun diucapkan
kepada keluarga besar di Cimahi, Bandung yakni Keluarga Bibi Asih, Keluarga Bibi Juju,
Keluarga Bibi Nani, Keluarga Om Ujang, dan Keluarga Bibi Yati, yang selalu mendoakan
walau jarang bertatap muka.
Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada seluruh civitas akademika Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, terutama kepada Alm. Prof. Dr. I Wayan
Suandi Drs., SH M,Hum yang telah mengajarkan saya untuk menjadi seorang pendidik yang
baik dan selalu mengingat untuk berpijak. Kepada Dekan FISIP terdahulu Prof Dr. dr. I Made
Bakta SpPD (KHOM), Dekan FISIP Dr I GPB Suka Arjawa Drs., M.Si, dan jajaran dekanat
FISIP Udayana, Tedi Erviantono S.IP., M.Si., Nyoman Dewi Pascarani SS., M.Si, Dr Piers
Andreas Noak SH, MH, yang telah memberikan pengertian selama penulis melanjutkan studi.
Rekan-rekan di Prodi Ilmu Komunikasi Dewi Yuri Cahyani, IDA Sugiarica Joni, Ni Luh
Ramaswati P., Ade Devia Pradipta, yang telah bersedia membagi waktu dalam membantu
penulis. Juga rekan-rekan dosen di FISIP Udayana di antaranya I Ketut Putra Erawan PhD., I
Made Anom Wiranata, Kadek Dwita, Dr Ni Nyoman Kebayantini M.Si., Imron Hadi Tamim,
Ikma Citra Ranteallo, Kadek Wiwin, Eka Purnamaningsih, Titah Kawitri Resen, Nazrina
7
Zuryani, Ketut Sudhana Astika, Wiwik Dharmiasih, Sukma Sushanti, Idin Fasisaka, I Ketut
Winaya, Radtya Novi Puspita Sari, I Putu Suhartika, I Made Kastawa, Nyoman Jangkep
Astawa, DAP Sri Wigunawati. Seluruh pegawai di FISIP Udayana yang selalu memberikan
warna dalam perjalanan penulis yakni I Ketut Wijana, Nyoman Piradana, Luh Sutari, I
Wayan Ekayudha, Ida Ayu Putu Meiyanthi, I Wayan Budi Rusmanta, Ketut Kariyasa, I Gusti
Agung Bagus Putra Wijaya, Ni Made Sukadi, I Made Suardana, Luh Putu Martiningsih, Ni
Luh Budiartini, Made Aditya Pramana Putra, I Nyoman Ngertiyasa, I Made Dwijaya Putra
Atmaja, I Kadek Surya Permana, Ida Ayu Made Parwati, Ni Wayan Sudarti, Luh Parini, dan I
Made Wahya Dhyatmika.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga pun saya ucapkan kepada seluruh informan
dan narasumber yang telah bersedia membagi informasi yang dibutuhkan penulis dalam
menulis disertasi ini. Juga kepada seluruh pihak yang membantu sehingga penulis berhasil
menemui para informan dan mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam
menganalisis disertasi ini. Disertasi ini pun diperuntukkan untuk rekan-rekan media massa
yang selama ini terus berusaha berjuang melawan kapitalisme media dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai jurnalisme khususnya independensi dan objektifitas demi mewujudkan
masyarakat yang demokratis.
Denpasar, 24 April 2014
Ni Made Ras Amanda G.
8
ABSTRAK
Pada masa pascaordebaru, sektor politik dan kebebasan media massa Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Di tingkat lokal seperti di Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali, pertarungan dalam pemilukada di media cetak pun terjadi. Data Kompas
menunjukkan bahwa di Provinsi Bali telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan pemilu
yang lebih besar dibandingkan provinsi lain di Indonesia.
Pemilukada di Bangli penuh dinamika di mana terjadi pencoblosan ulang di sebagian
TPS hal ini menyebabkan waktu pertarungan kandidat pilkada di media massa lebih panjang.
Kedua, jumlah calon bupati di pemilukada Bangli cukup tinggi yakni lima pasangan calon.
Pertanyaan penelitian yang diangkat adalah (1) bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di
media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi
pertarungan aktor politik tersebut, dan (3) bagaimana dampak dan makna pertarungan aktor
politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010.
Teori yang digunakan antara lain adalah teori wacana relasi pengetahuan dan
kekuasaan Foucault, teori pengaruh media seperti Agenda Setting dari Dominick, teori
framing, teori analisis teks media dari Shoemaker dan Reese, Teori Hegemoni Antonio
Gramsci, dan teori modal Bourdieu. Teori ini digunakan secara ekletik, atau bersamaan dan
saling membantu untuk menganalisis permasalahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis.
berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka objek penelitian dalam penelitian ini adalah
pertarungan aktor politik dalam komunikasi politik pemilukada di media cetak. Oleh karena
itu metode penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis.
Bentuk pertarungan aktor politik adalah pada arena artikel berita, advertorial, iklan,
dan artikel berbayar. Pertarungan yang terjadi melalui arena ini adalah pertarungan citra diri
aktor politik hingga isu politik. Faktor yang mempengaruhinya adalah faktor politik, faktor
ekonomi, dan faktor media massa. Pertarungan aktor politik ini membawa dampak dan
makna yang luas tidak hanya pada sektor politik. Pertarungan aktor politik di media cetak
juga berdampak pada sektor ekonomi dan budaya. Pertarungan aktor politik ini pun
mengandung makna. Tiga makna yang dapat diketahui yaitu makna pragmatis media dan
aktor politik, makna pencitraan-gaya hidup, dan makna dinamika budaya politik di Bangli.
Dari penelitian diketahui bahwa dalam pertarungan aktor politik di media cetak
ternyata media massa pun mengambil peranan sentral dimana arena ini digunakan oleh media
untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi. Ironisnya, pragmatism media ini
9
menyampingkan fungsi dasar media yakni sebagai media informasi dan memegang peranan
pilar demokrasi. Hal ini menyebabkan media tidak lagi berperan positif namun menjadi
bagian dari antidemokratisasi di Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Kata Kunci : media cetak, pemilukada, komunikasi politik, aktor politik
10
ABSTRACT
During the reform phase, Indonesia has developed in political sector and freedom of
the press. In local level like in Bangli Region, Bali Province, the battle of political actor in
mass media also happened. Based on data published by Kompas, election in Bali had
violations and deviations greater than elections in other provinces in Indonesia.
The Regent‘s Election in Bangli Region 2010 run with contoversy. It had re-election
in some polling station. This incident cause period of political actor’s battling in mass media
longer. The candidates in Bangli’s election were five candidates. Based on the background,
the research questions are (1) what are the forms of political actors’ battling in printed media
during the election in Bangli 2010? (2) what are the factors that influence the political actors’
battling in printed media during the election in Bangli 2010? (3) What are the effect and the
meaning of the of political actors’ battling in printed media during the election in Bangli
2010?
The theories applied are knowledge and power relations, media effect, framing
theory, hegemoni theory, and Capital Theory. The theories were used to help analyzing the
research questions. Research method applied is qualitative’s research method. This research
used critical paradigm. Based on theories dan literature study, the object of this research is
political actors’ battling in printed media during the election in Bangli 2010.
The forms of political actors’battling in printed media are news article, advertising,
advertorial and paid article. The substantive of the battling consist battle of actor’s image dan
political issued. The influence factors are political factors, economical factors, and mass
media factors itself. Political actors’ battling in printed media bring out a wide effect and
meaning not just in political sectors, but also effected in economy and cultural sectors. The
battle also meaningful. There are pragmatic meaning, imaging-lifestyles meaning, and
dynamics of political cultural in Bangli.
Research shows that in political actors’ battling in printed media, mass media often
take the main role that is used by media to take an economic benefit. Ironically, media
pragmatism make the basic role of the media as the centre of information and democraric
institution excluded. This condition makes the role of media become antidemocratic and
negative in Indonesia.
Key words : printed media, regent’s election, political communication, political actors
11
RINGKASAN DISERTASI
Sejak tahun 1998, Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan di berbagai
sektor dan sendi kehidupan terutama pada sektor politik dan kebebasan media massa. Kedua
sektor ini berkembang dan saling bertemu dalam konteks komunikasi politik melalui media
massa. Tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat lokal seperti di Bali, pertarungan dalam
pemilukada juga terjadi. Data Kompas menunjukkan di Provinsi Bali telah terjadi
pelanggaran dan penyimpangan pemilu yang lebih besar dibandingkan provinsi lain di
Indonesia. Media dianggap memiliki peran yang penting dalam mentransmisi dan
menstimulasi
permasalahan politik (Negrine, 1996). Keterbukaan dan kebebasan
mengungkapkan pendapat telah menjadi tren global, kecurangan politik dapat dengan mudah
diangkat menjadi isu nasional oleh media (Firmanzah, 2007:45).
Disertasi ini memilih pertarungan pemilukada Bangli di media cetak sebagai objek
penelitian dengan beberapa alasan khusus yakni jumlah kandidat yang besar, konflik selama
pemilukada, adanya pencoblosan ulang di beberapa TPS, hingga waktu pertarungan kandidat
pilkada di media massa menjadi lebih panjang. Pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli
diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati. Untuk itu menarik ditelusuri lebih lanjut
mengenai bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada
Bangli 2010, lalu faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik tersebut dan
bagaimana dampak dan makna dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam
pemilukada Bangli 2010. Penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis dan praktis di mana
dapat menambah kekayaan mengenai kajian budaya komunikasi politik khususnya
12
penggunaan media cetak. Secara praktis penelitian ini bermanfaat dalam membantu
mengatasi dan mencegah konflik yang kerap terjadi terkait politik praktis.
Teori yang digunakan antara lain adalah teori wacana relasi pengetahuan dan
kekuasaan Foucault, teori pengaruh media seperti Agenda Setting dari Dominick, teori
framing, teori analisis teks media dari Shoemaker dan Reese, Teori Hegemoni Antonio
Gramsci, dan teori modal Bourdieu. Teori ini digunakan secara ekletik, atau bersamaan dan
saling membantu untuk menganalisis permasalahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis.
Berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka obyek penelitian dalam penelitian ini adalah
pertarungan aktor politik dalam pemilukada di media cetak. Oleh karena itu metode
penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis dengan analisis framing. Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dan studi dokumen.
Wawancara mendalam ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi secara luas dari tokoh
kunci atau informan.
Dalam penelitian mengenai Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam
Pemilukada Bangli 2010 dapat ditarik beberapa hasil penelitian. Pertama, arena atau tempat
bertarung pada aktor politik di media cetak dapat dibagi menjadi empat bentuk arena
pertarungan. Pertarungan aktor politik dilakukan melalui wacana isu politik dan pencitraan
sebagai bentuk pertarungan di media cetak. Seperti pendapat Bourdieu (dalam Ritzer,
2004:252), setiap calon menggunakan wacana sebagai suatu arena pertarungan memperoleh
simpati.
13
Bentuk pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat ragam yakni
artikel berita, artikel berita berbayar, artikel advertorial, dan iklan. Masing-masing arena
bertarung ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Artikel berita
cenderung digunakan untuk tempat pertarungan isu politik antar pasangan calon. Contoh
pertarungan isu politik yang terjadi dalam artikel berita adalah perseteruan antara pasangan
IB Brahmaputra- Wayan Winurjaya (Brahmawijaya) dan I Made Gianyar- Sedana Artha
(GITA) dalam kasus penuntutan pemilihan ulang. Brahmawijaya menonjolkan adanya
pelanggaran dan indikasi kecurangan pelaksanaan pemilukada. Isu tersebut mendapat lawan
dari GITA di mana diberitakan bahwa pasangan Brahmawijaya melancarkan intimidasi
kepada Panwaslu dan KPUD Bangli.
Bentuk lainnya yakni iklan. Pasangan yang menggunakan iklan adalah pasangan
GITA. Dalam iklan GITA, isu yang diangkat adalah pasangan GITA berafiliasi dengan PDIP,
berbudaya, dan berpendidikan tinggi. Isu politik yang diangkat dalam iklan adalah
mewujudkan Bali Shanti dan memilih dengan hati nurani.
Bentuk berikutnya adalah advertorial. Pasangan yang menggunakan bentuk ini adalah
pasangan Wayan Arsada- Lasmawan (ALAS). Advertorial digunakan sebagai arena ALAS
mengkonstruksikan citra diri dan program politis ALAS. Citra yang dibentuk atau ditangkap
oleh masyarakat adalah citra berpendidikan, menjunjung Budaya Bali, kedekatan dengan
sosok Bupati Bangli Arnawa, dan sosok bersahaja dan membumi. Advertorial pasangan
ALAS adalah bentuk hegemoni, Gramsci mengatakan kekuasaan harus dipahami sebagai
hubungan. Melalui advertorial pasangan ALAS mampu menghegemoni informasi yang
disampaikan kepada kelompok subordinat untuk menerima ide dan kepentingan politik
kelompok berkuasa.
14
Arena pertarungan berikutnya adalah melalui artikel berita berbayar. Pasangan yang
paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam komunikasi politiknya adalah
pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba mencitrakan diri positif melalui artikel
berita berbayar.
Dari bentuk-bentuk yang telah ditelaah diketahui terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Pertarungan aktor politik di media
cetak dalam pemilukada di Bangli 2010 dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor
ekonomi, politik, dan media massa. Kekuatan ekonomi atau kapital tercatat sebagai faktor
yang paling dominan mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Sistem
pemuatan berita dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya komunikasi politik aktor
politik di media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali mencari keuntungan yang
berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan ideologinya demi meraup untung lebih
besar. Kekuatan pasar atau kepentingan kapitalis menghegemoni pertarungan aktor politik di
media massa.
Faktor politik yang memengaruhi yakni ideologi politik pasangan calon dan partai
yang mengusungnya dan strategi komunikasi aktor politik. Setiap pasangan kepala daerah
memiliki modal yang berbeda-beda. Kekuatan modal menjadi pertimbangan strategi politik
yang dilancarkan aktor politik. Pertarungan kombinasi modal yang diungkapkan Bourdieu
dalam Richardson (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang dapat
berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada ini. Dari tiga jenis modal yang dikemukakan
Bourdieu (1986), yakni ekonomi, sosial, dan budaya. Modal ekonomi adalah modal yang
paling menentukan dan berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak.
15
Faktor berikutnya yang mempengaruhi adalah faktor media itu sendiri. Faktor media
terbagi menjadi individu pekerja media dan ideologi media. Shoemaker dan Reese (1996:76)
mengatakan bahwa nilai-nilai pribadi akan mempengaruhi bagaimana seorang wartawan
membuat sebuah berita. Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak
menjadi hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi sebuah
rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di Bangli.
Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga iklan politik
terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut.
Pertarungan pemilukada tentu saja bersinggungan dengan segala aspek di
masyarakat. Pertarungan ini membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor
politik saja. Pertarungan aktor politik di media cetak juga berpengaruh pada sektor ekonomi
dan budaya. pertarungan berdampak pada sistem komunikasi politik yang semakin gencar
menggunakan media cetak sebagai bentuk komunikasi aktor politik kepada konstituennya.
Dampak pada sektor ekonomi adalah pemilukada dijadikan ajang mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya. Media pada masa pemilukada menyediakan ruang untuk
kampanye para aktor politik. Ruang yang dimaksud dapat berupa iklan atau advertorial. Pada
praktiknya ternyata dalam pemilukada Bangli 2010, media menyediakan ruang-ruang lainnya
di media untuk aktor politik seperti berita berbayar, atau istilahnya adalah jual beli kavling
berita. Setiap kavling diberi harga yang berbeda tergantung halaman dan panjang kolom.
Harganya pun beragam dari Rp 10 juta hingga Rp 16 juta untuk setiap kali naik cetak.
Peningkatan penggunaan media cetak sebagai tempat bertarung pun tergantung dari
kekuatan ekonomi dari aktor politik. Hal ini terjadi karena dalam pertarungan aktor politik di
media cetak pada pemilukada di Bangli ternyata terungkap memerlukan biaya yang cukup
16
besar. Biaya politik yang sudah cukup besar ternyata ditambah dengan biaya yang diperlukan
untuk menggunakan media dalam menyampaikan pesan-pesan politik para aktor politik.
Secara politik ini berpengaruh pada sistem politik dengan biaya tinggi atau high cost politics.
Politik berbiaya tinggi ini berdampak ekonomi baik terhadap aktor politik maupun media
cetak. Aktor politik diharapkan memiliki modal yang cukup untuk bertarung dalam
pemilukada. Hegemoni kekuatan ekonomi dalam pertarungan aktor politik di media cetak
dapat memonopoli pengetahuan yang berkembang di masyarakat. Dalam pemikiran Foucault,
kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan pengetahuan. Pengetahuan menyokong
kekuasaan, kekuasaan menopang pengetahuan (Foucault,1980:98).
Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan telah
menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola penggunaan media
cetaak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik. Temuan kedua adalah terjadinya
hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas kenetralan pihak redaksi dalam media
cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi media dan ekonomi aktor politik yang berperan
sangat dominan dalam proses pertarungan aktor politik di media cetak. Temuan keempat
adalah persamaan bentuk pertarungan pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di
media cetak. Temuan terakhir yakni temuan kelima adalah media telah dianggap sebagai alat
katalisator kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di
masyarakat selama masa pemilukada.
Untuk itu apabila media dan aktor politik sudah bekerjasama untuk kepentingan
ekonomi dan politis maka yang menjadi harapan terakhir adalah pembaca dan konstituennya.
Konstituens diharapkan menjadi pembaca yang aktif dan kritis. Pembaca diharapkan mampu
memilih dan membaca adanya kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis dari media
17
maupun dari aktor politik dari setiap artikel berita yang termuat. Hal ini perlu dilakukan
untuk menghindari terjadinya pembodohan oleh media melalui berita-berita yang subjektif
dan tidak lagi independen.
18
GLOSARIUM
advertorial, gabungan antara iklan dan berita yang termuat di koran. Biasanya pemasangan
advertorial di koran sifatnya berbayar
agenda, susunan isu yang diangkat oleh media cetak mengenai fakta atau opini yang telah
dikonstruksi
aktor, pelaku kegiatan politik seperti calon kepala daerah, tim sukses calon kepala daerah,
anggota partai politik
baliho, salah satu bentuk komunikasi luar ruang di mana biasanya digunakan oleh aktor
politik dalam berkampanye. ukuran yang digunakan biasanya 3 x 1 meter atau lebih
berita, bagian dari koran yang berisikan laporan dari wartawan mengenai suatu kejadian atau
fakta
framing, pembentukan berita atau isi media yang dikonstruksikan sesuai dengan keinginan
pelaku media
iklan, salah satu bagian dari koran yang berisikan pesan dan dipasang oleh pemasang atau
konsumen media dengan berbayar
kavling, Istilah yang digunakan untuk merujuk pada bagian dari koran yang dapat
diperjualbelikan
komodifikasi, perubahan fungsi dasar menjadi komoditi yang menjual
koran, salah satu media massa yang tergolong klasik dengan penerbitan secara berkala
pemilukada, pemilihan umum untuk menentukan kepala daerah yang dilakukan langsung
oleh KPU daerah terkait yang melaksanakan pemilukada
19
Lampiran 1
IDENTITAS INFORMAN PENELITIAN
No
Nama
Profesi / Alamat
Tanggal
wawancara
1
Dewa Agung
Ketua KPUD Bangli
1 Maret 2012
Ida Bagus Ketut
Calon kepala daerah
11 Maret 2012
Ludra
perseorangan
I Ketut Naria
Pemimpin Redaksi Harian
Lidartawan
2
3
15 Mei 2012
NusaBali
4
I Gusti Alit Purnata
Redaktur Pelaksana Harian
10 April 2012
Bali Post
5
Gde Oka Suryawan
Wartawan Radar Bali
22 Maret 2012
6
Hari Puspita
Redaktur Pelaksana Radar
22 Mei 2012
Bali
7
I Wayan Gunawan
Calon Kepala Daerah
12 Juli 2012
8
Wayan Arsada
Calon kepala daerah
9 Agustus 2012
9
I Made Gianyar
Calon Kepala Daerah
5 September
2012
10
IB Brahmaputra
Calon Kepala Daerah
11 Juli 2013
20
PANDUAN WAWANCARA
1. Bentuk-bentuk
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
3. Dampak dan Makna
21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hingga tahun 2013, Bali telah melaksanakan beberapa kali pemilihan kepala
daerah atau pemilukada. Pemilukada pertama serentak di lima kabupaten dan kota
dilaksanakan pada tahun 2005, sedangkan pemilukada kedua pada tahun 2010.
Pemilukada langsung pun telah berlangsung di kabupaten lainnya di Provinsi Bali
seperti Kabupaten Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan Jembrana. Pemilukada untuk
Gubernur di Bali dilaksanakan pada tahun 2008 dan pada tahun 2013. Seperti halnya
pemilukada di daerah lain, pemilukada di Bali pun diwarnai dengan banyak intrik
pertarungan antarkandidat kepala daerah secara langsung maupun melalui media
massa. Kabupaten Bangli mengalami proses pemilukada yang tidak jauh berbeda.
Pemilukada di Bangli tahun 2010 diwarnai konflik dan ketidakpuasan hingga
menyebabkan pemilihan ulang di beberapa tempat pemungutan suara.
Penelitian ini berfokus pada pemilukada Bangli dengan melihat bagaimana
pertarungan para kandidat di media massa. Bagaimana para kandidat beserta tim
suksesnya memanfaatkan media massa sebagai alat komunikasi politik untuk
memenangi pemilukada, akan menjadi analisis utama penelitian ini. Penelitian ini
22
bertujuan untuk mengetahui ragam bentuk pertarungan aktor politik di media cetak,
serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan tersebut dan dapat
memahami dampak serta makna pertarungan aktor politik tersebut.
Negara Indonesia telah melalui beragam rezim pemerintahan. Sejak
kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah tumbuh sebagai negara yang
berkembang dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Dinamika yang terjadi di
masyarakat Indonesia ini berkembang dengan segala dampak dan manfaatnya.
Perkembangan yang cukup signifikan adalah perkembangan politik bangsa Indonesia.
Indonesia sejak kelahirannya telah memilih untuk menerapkan sistem
demokrasi. Hingga tahun 2009, Indonesia telah melalui sepuluh kali pemilihan
umum. Dari sepuluh pemilu yang tergelar maka dapat dibagi ke dalam tiga rezim,
yakni pemilu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca Orde Baru. Pemilu pada
masing-masing rezim pun memiliki kekhasannya masing-masing. Unsur yang selalu
berubah diantaranya adalah sistem pemilihan umum, model kampanye, dan peserta
pemilu. Sistem pemilihan umum, model kampanye dan peserta pemilu pada masa
pemilu di tahun 1950-an berbeda dengan kampanye di tahun 2000-an.
Denver (1992:414) dalam tulisannya mengenai pemilu pada tingkatan yang
umum telah mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perubahan kampanye.
Faktor-faktor tersebut meliputi beberapa hal yakni semakin bertambahnya jumlah
pemilih seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, semakin beragam dan
meluasnya media massa, pergantian atau perubahan peraturan perundang-undangan
23
yang mengatur pemilihan dan kampanye pemilihan, pesatnya perkembangan televisi,
penggunaan polling pendapat umum, pesatnya perkembangan teknologi komputer
yang kini nyaris tak terpisahkan dengan internet dan semakin mahalnya biaya
kampanye.
Perkembangan sistem pemilihan umum yang paling mendasar di Indonesia
terletak pada dua aspek, yakni pada model dan bentuk kampanye dalam pemilihan
umum serta pada sistem pemilihan umum. Aspek pertama, model dan bentuk
kampanye dalam pemilihan umum. Hal ini seiring dengan perkembangan media
massa yang semakin marak dan beragam di Indonesia. Munculnya globalisasi,
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mendorong berkembangnya media
massa di Indonesia.
Aspek kedua, sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum di Indonesia
telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Dua perkembangan yang
sangat mempengaruhi sistem pemilihan di Indonesia yakni sistem pemilihan langsung
dan sistem pencalonan. Sistem yang digunakan sebelumnya adalah dipilih oleh
dewan perwakilan rakyat. Perkembangan demokratisasi di Indonesia telah
memberikan hak-hak rakyat sebagai penguasa tertinggi dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, bermasyarakat, dengan adanya pemilihan langsung oleh rakyat.
Perkembangan sistem pencalonan berikutnya adalah dampak dari keputusan
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah memperkenan calon independen
atau perseorangan untuk dapat mengikuti pemilihan kepala daerah tanpa melalui
24
kendaraan partai politik. Tentu saja kedua aspek di atas secara langsung
mempengaruhi sistem pemilihan umum di Indonesia. Dengan perubahan ini banyak
sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang terpengaruh serta mempengaruhi
sistem pemilihan umum di Indonesia.
Di Indonesia, model dan strategi kampanye berubah dari waktu ke waktu
seiring dengan perkembangan masyarakat. Pada periode Pemilihan Umum 1955,
pelaksanaan kampanye masih cukup sederhana. Kampanye pada masa tersebut tidak
menggunakan arak-arakan sepeda motor dan mobil. Hal ini dikarenakan jenis
kendaraan ini masih menjadi barang mewah dan langka. Pada masa ini kampanye
pemilihan juga belum menggunakan televisi, karena jenis medium ini memang belum
ada di Indonesia. Siaran radio yang ada hanya Radio Republik Indonesia (RRI) di
bawah kontrol Djawatan Penerangan yang kemudian berganti nama menjadi
Departemen Penerangan. Departemen ini melayani kepentingan publik secara relatif
adil dan netral. RRI tidak boleh digunakan untuk kepentingan kampanye partai
politik, sehingga tidak pernah muncul keluhan masyarakat mengenai keberpihakan
media ini terhadap salah satu partai politik.
Rapat umum dan pidato politik menjadi pilihan yang menarik dalam periode
Pemilihan Umum 1955. Kandidat mengadakan perjalanan ke daerah-daerah dan
bertemu langsung dengan calon pemilih. Sedangkan calon pemilih harus menempuh
jarak yang relatif jauh dengan berjalan kaki ke kota untuk melihat dan mendengarkan
kandidat berpidato, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Hal ini memungkinkan
25
berkembangnya kecenderungan komunikasi timbal balik antara kandidat dan pemilih.
Di satu sisi, kandidat dapat mengetahui sebenarnya kondisi-kondisi sosial ekonomi
calon pemilih, mendengar aspirasi-aspirasi, dan memahami persoalan-persoalan
mereka. Di sisi lain, para calon pemilih juga dapat mendengar secara langsung dari
kandidat mengenai program kerja serta prioritas langkah yang akan dilakukan oleh
partai atau kandidat apabila menang dalam pemilihan nanti. Calon pemilih juga dapat
melihat dan mencermati secara langsung hal-hal berkenaan dengan diri kandidat
mulai dari penampilan dan karakter pribadinya, gagasannya hingga posisi dan sikap
kandidat berkenaan dengan berbagai isu atau persoalan penting.
Pemasangan gambar partai merupakan bentuk lain komunikasi politik yang
banyak digunakan dalam kampanye pemilihan di Indonesia periode 1950-an.
Gambar-gambar partai dibuat besar (100x150 cm) dengan bahan seadanya. Biasanya
menggunakan anyaman bambu yang dalam bahasa jawa disebut ‘kepang’.
Kadangkala
berupa gambar langsung pada dinding-dinding bangunan termasuk
rumah, sekolahan, atau sisi-sisi jembatan. Gambar-gambar biasanya berwarna hitamputih terbuat dari kapur untuk warna putih dan teer untuk warna hitam. Gambar ini
dipasang di daerah strategis, yakni di tempat yang banyak dikunjungi atau dilewati
banyak orang dan mudah dilihat. Gambar cetak hitam-putih dalam ukuran lebih kecil
seukuran kertas folio atau separuh dari ukuran tersebut biasanya ditempel pada
dinding-dinding bangunan dan di pasar-pasar.
26
Media massa pers sebagai media komunikasi juga banyak digunakan untuk
kepentingan kampanye. Pada periode pemilihan 1950-an, masing-masing partai
politik memiliki koran sendiri-sendiri. Pers pada masa ini adalah pers partisan atau
jenis pers yang dimiliki oleh dan digunakan untuk membela kepentingan partai
politik yang dimilikinya. Partai Sosialis Indonesia (PSI), misalnya memiliki Harian
Pedoman, kemudian Partai Masyumi memiliki Abadi. Partai Nasional Indonesia
memiliki Soeloeh Indonesia, Partai Nahdatul Ulama (NU) memiliki Doeta
Masyarakat, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki Harian Rakjat (Pawito,
2002:88). Pada periode ini strategi kampanye lebih bertumpu pada dua hal yakni
rapat umum dan penggunaan media khususnya media pers dalam arti pers partisan.
Pers partisan digunakan untuk menggelorakan semangat dan loyalitas terhadap partai
dan sesekali mengkritik atau menyerang partai lain.
Bentuk kampanye pada periode Orde Lama tentu saja berbeda dengan masa
Orde Baru terutama sejak periode Pemilihan Umum 1977. Sejak periode pemilihan
1977, model kampanye dengan arak-arakkan massa menggunakan sepeda motor dan
mobil mulai berkembang. Walau media massa telah berkembang pesat pada periode
ini, namun iklan kampanye belum diperbolehkan sampai periode pemilihan umum
1999. Pada masa pemilihan umum 1977 dan sesudahnya, TVRI, RRI dan radio
memberitakan kejadian-kejadian berkenaan dengan kampanye dan pemilihan dalam
format yang relatif menguntungkan pihak yang berkuasa, yaitu Golkar. Hal ini
dikarenakan adanya regulasi yang mengharuskan siaran berita televisi swasta harus
27
me-relay siaran berita TVRI, sedangkan siaran berita radio swasta harus merelay RRI.
Padahal, TVRI dan RRI berada di bawah kontrol pemerintah. Acara malam hari yang
berupa pidato kampanye yang disiarkan RRI dan TVRI lebih bersifat monolog. Para
elite partai sekadar menginformasikan atau menawarkan rencana-rencana kebijakan
dan nyaris tidak pernah mengkritik, terlebih lagi menyerang partai lain ataupun
pemerintah.
Rapat umum yang disertai penyampaian pidato politik oleh para kandidat
menjadi pilihan model kampanye yang paling utama pada periode ini. Kampanye
dengan rapat umum biasanya diselenggarakan di lapangan kota dan desa di atas
panggung yang dipersiapkan khusus. Para tokoh dan elite partai baik pusat maupun
daerah, hadir di sana dan secara bergantian menyampaikan pidato politik. Beraneka
slogan dan yel-yel diteriakkan dan sisi-sisi positif ataupun sisi-sisi negatif yang ada
dalam masyarakat dikemukakan. Namun yang paling banyak disampaikan adalah
janji-janji yang pada akhirnya tidak pernah ditepati. Sedangkan di panggung, pada
umumnya diisi dengan kelompok musik dengan sejumlah artis, termasuk artis
terkenal dari ibukota. Tujuan sebagian hiburan gratis ini adalah sebagai daya tarik
bagi warga masyarakat.
Massa calon pemilih yang umumnya adalah pendukung partai yang sedang
menggelar kampanye datang dan pergi dari lapangan tempat rapat umum
diselenggarakan dengan mobil dan motor. Maka, kampanye arak-arakkan massa
dengan konvoi kendaraan bermotor menjadi hal yang tak terelakkan. Massa calon
28
pemilih tidak hanya datang dan pergi saja namun juga melakukan arak-arakan atau
konvoi keliling kota termasuk melewati jalan-jalan protokol. Akibatnya, kebisingan,
kemacetan, kecelakaan lalu lintas, dan bentrok dengan pendukung partai lain kerap
kali terjadi. Para peserta konvoi juga menerima uang bensin dan uang makan dari
partai atau kandidat yang sedang berkompetisi untuk kepentingan kampanye.
Berikutnya adalah periode Pemilihan Umum 1999. Pada periode ini bentuk
komunikasi politik yakni kampanye memiliki dimensi yang berbeda dengan tahuntahun sebelumnya. Pada pemilu 1999, media elektronik terutama media maya yakni
internet telah menjadi fenomena baru dalam berkampanye. Pada pemilu 1999 semua
partai besar memiliki situs masing-masing, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan
(PK). Media massa pada masa ini telah memiliki peraturan tersendiri, di mana untuk
pertama kalinya diperbolehkan menjual ruang atau pun waktu (slot) untuk
kepentingan iklan kampanye.
Pada pemilu 1999 terjadi perubahan bentuk komunikasi politik dimana peran
media massa menjadi sangat penting. Media massa dinilai sebagai faktor yang
signifikan dalam mengkonstruksi citra di publik. Figur politik mempengaruhi media
dan media mempengaruhi representasi pemerintahan. Hal itu bisa dilihat dari
popularitas Susilo Bambang Yudhoyono, keterlibatan media tak bisa dihindari dalam
mengemas citra Yudhoyono sehingga menjadi seperti sekarang ini. J. Baudrillard
29
menjelaskan empat fase citra (Haryatmoko, 2007: 32): pertama, representasi dimana
citra
merupakan
cermin
suatu
realitas;
kedua,
ideologi
di
mana
citra
menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, citra
menyembunyikan
bahwa
tidak
ada
realitas,
lalu
citra
bermain
menjadi
penampakannya; keempat, citra tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas
apapun, ia hanya menjadi yang menyerupai dengan dirinya.
Selain dalam bentuk iklan, media massa juga menyelenggarakan acara
talkshow dengan menghadirkan pembicara yang berkaitan dengan kampanye politik.
Media massa juga menyelenggarakan polling pendapat umum. Pemerintah pada masa
ini tidak lagi mencampuri urusan pemberitaan media mengenai peristiwa apapun,
termasuk kampanye dan pemilihan umum sebagaimana pada masa orde baru. Pada
masa pemilihan umum ini, para elite partai politik disuguhkan beragam pilihan
media, termasuk baliho, leaflet/booklet, surat kabar, radio, televisi, dan internet
dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dampak media terhadap
kampanye mulai dirasakan terutama pada elite politik dan sebagian pemilih.
Pada pemilu 1999 ini terdapat hal yang unik. Dengan dicabutnya Surat Ijin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) maka pada periode ini kembali muncul pers partisan
seperti pada tahun 1955. Pers partisan pada periode ini rata-rata terbit dalam bentuk
tabloid dengan jumlah halaman hanya 36 halaman saja. Pers partisan di antaranya
DEMOKRAT dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, AMANAT dari Partai
Amanat Nasional dan dari Partai Golkar yakni Suara Karya. Namun dengan
30
berjalannya waktu pers partisan ini ada yang bertahan maupun tidak terbit kembali.
Hal ini disebabkan keberadaan pers hanya sesaat pada masa menjelang kampanye dan
pemilihan umum.
Pada pemilu 2004, Indonesia masuk dalam babak baru kehidupan politik di
Indonesia. Pemilu 20004 adalah pemilu pertama bagi bangsa Indonesia untuk dapat
memilih secara langsung calon legislatif dan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada
periode ini, Presiden dan wakil presiden tidak lagi dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan perkembangan ini maka tidak hanya calon
anggota DPR saja yang harus berkampanye namun juga para calon presiden dan
calon wakil presiden. Calon presiden lalu membentuk tim kampanye tersendiri,
melakukan perjalanan, tampil di televisi hingga membuat spot iklan. Dalam masa ini
media maya seperti internet telah mulai digunakan sebagai komunikasi politik.
Pentingnya peran media massa dalam pemilu pun semakin terlihat. Pada
kampanye pemilu 2004, media massa seperti televisi dan radio dibanjiri oleh acara
talkshow penyelenggaraan jajak pendapat baik di media cetak maupun elektronik.
Pada masa ini acara talkshow di televisi semakin diminati karena acara ini membantu
masyarakat untuk mengetahui pandangan atau penilaian mengenai kandidat atau
partai politik, memperoleh referensi mengenai prediksi politik dalam arti sempit dan
luas. Dengan tayangan talkshow ini maka semakin memberikan kesempatan kepada
kalangan pemilih yang memiliki kesibukan tinggi untuk ikut berpartisipasi dalam
pemilihan. Begitu pula dengan penggunaan media internet dalam kampanye yang
31
semakin dirasakan peranannya. Persoalan penggunaan internet oleh partai politik atau
kandidat untuk kepentingan kampanye tidak sekadar keindahan desain halaman muka
partai politik atau kandidat. Kandidat harus selalu memperbaharui informasi secara
rutin, menyediakan arsip yang dapat diakses dengan cepat, serta memastikan
kejelasan dan keakuratan setiap informasi. Alhasil, partai ataupun kandidat harus
mengeluarkan biaya untuk iklan kampanye, penyelenggaraan jamuan untuk
wartawan, dan penyelenggaraan berbagai kegiatan sosial dalam rangka strategi
kampanye dengan mengundang wartawan.
Media cetak seperti surat kabar juga memberikan ruang untuk komunikasi
politik. Contohnya surat kabar yang memiliki halaman khusus laporan pemilihan
adalah Kompas. Kompas pada pemilu 2004 lalu mengkhususkan 8 (delapan) halaman
yakni pada halaman 37 hingga halaman 44 untuk laporan pemilihan dengan nama
Rubrik Pemilihan Umum 2004 selama masa kampanye hingga pemilihan. Contoh
lainnya adalah Republika dengan rubrik khusus yakni ‘Pemilu 2004’ pada halaman 4
hingga 8 atau sekitar 5 (lima) halaman. Penyediaan halaman khusus ini memiliki
dampak terhadap strategi dan jalannya kampanye. Dengan adanya rubrik khusus ini
para elite politik harus mengagendakan kampanye dengan sebaik mungkin, karena
berhubungan dengan ketersediaan dana.
Media pun tak jarang menjadi ajang pertarungan antar kandidat kepala daerah
atau peserta pemilu lainnya. Media dianggap memiliki peran yang sangat penting
dalam mentransmisi dan menstimulasi permasalahan politik (Negrine, 1996). Hal ini
32
menjadi sangat penting dalam kampanye partai politik. Keterbukaan dan kebebasan
mengungkapkan pendapat telah menjadi tren global, kecurangan politik dapat dengan
mudah diangkat menjadi isu nasional dan isu global oleh media (Firmanzah,2007:45).
Pemilihan Kepala Daerah atau pemilukada pada masa pascareformasi pun
telah mencapai sebuah titik baru. Didorong oleh tuntutan reformasi, maka terbitlah
undang-undang tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah yakni
Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah
juga membawa dampak yang signifikan terhadap dinamika politik di masyarakat.
Dengan sistem yang baru, kepala daerah dipilih melalui pemilihan langsung oleh
rakyat tidak lagi melalui sistem pemilihan dalam dewan perwakilan rakyat. Oleh
karena itu perolehan suara terbanyak adalah syarat mutlak dalam memperoleh puncak
tapuk kekuasaan. Hak rakyat menentukan pemimpinna telah menggeser sistem
pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat/ Propinsi/ Kabupaten.
Sistem pemilihan kepala daerah pun semakin berkembang dengan diterimanya
pengajuan judicial review Undang Undang tentang pemilihan umum kepala daerah
yakni calon kepala daerah tidak perlu melalui pencalonan dari partai politik namun
dapat independen/perseorangan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberikan
kepastian hukum melalui putusan MK No.5/PUU-V/2007 mengenai uji materi UU
No.32/2004 tentang Pemerintahaan Daerah terhadap UUD NKRI 1945. MK
mengabulkan sebagian dari sejumlah pasal yang diajukan pemohon, khususnya
terhadap pasal 56 ayat(2), pasal 59 ayat(1), pasal 59 ayat(2) dan pasal 59 ayat (3) UU
33
No.32/2004, yang telah membuka jalan adanya pengajuan calon kepala daerah secara
perorangan. Sedangkan untuk pasal lain, MK menyatakan tetap berlaku, termasuk
pasal-pasal yang membuat ketentuan pencalonan kepala daerah melalui parpol.
Keputusan MK tersebut tidak merekomendasikan tentang pengaturan lebih lanjut
mengenai calon perseorangan, juga tidak memberikan batasan masa transisi tentang
pelaksanaan putusan. MK berpendapat bahwa KPU, berdasarkan pasal 8 UU No.
22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, dapat membuat aturan untuk mengisi
kekosongan hukum persyaratan calon perorangan.
Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi ini, maka bakal calon kepala
daerah yang ingin mengikuti pemilihan umum kepala daerah tidak hanya dapat
berasal dari partai politik atau gabungan partai politik saja. Mahkamah Konstitusi
memperbolehkan bakal calon kepala daerah dari unsur perseorangan. Keputusan
Mahkamah Konstitusi ini tentu membuka jalan bagi para bakal calon perseorangan
untuk mengikuti pemilihan umum kepala daerah. Kini kesempatan menjadi bupati
terbuka bagi semua unsur dalam masyarakat, tidak perlu melalui wadah partai politik
saja. Keputusan ini adalah anugerah bagi kaum marginal politik, kaum yang selama
ini ingin turun ke dunia politik tetapi tidak memiliki basis politik atau partai politik
yang kuat.
Pengajuan calon perorangan ini mempunyai persyaratan yang tidaklah mudah.
Seorang bakal calon perseorangan harus memiliki kekuatan massa yang kuat untuk
memenuhi persyaratan dari Komisi Pemilihan Umum daerah agar mereka dapat lolos
34
menjadi calon. Namun langkah ini pun tidak dapat berhenti di sektor kekuatan massa,
kini calon kepala daerah pun harus memiliki modal ekonomi yang kuat untuk
melakukan kampanye politik terutama apabila ingin berkampanye melalui media
massa. Calon perseorangan pun harus memiliki modal politik dan modal budaya yang
kuat untuk mempengaruhi para pemilih.
Demokratisasi tidaklah murah. Untuk mencapai masyarakat yang demokratis
bukanlah hal yang mudah dan murah. Pemenuhan demokrasi di masyarakat sering
kali dibayar oleh kekerasan fisik dan amuk massa. Tak terkecuali di Provinsi Bali.
Bali yang memiliki sembilan wilayah kabupaten/kota pun ikut serta dalam perebutan
kekuasaan pemimpin kepala daerah. Pertarungan perebutan kekuasaan ini pun
seringkali diwarnai kekerasan fisik dan amuk massa.
Berdasarkan data Kompas (4/6/2010) selama penyelenggaraan pemilukada di
tahun 2010 di Indonesia, hingga 9 Mei 2010 Bali tercatat sebagai daerah yang
memiliki kecenderungan pelanggaran dan persengketaan pemilu yang lebih besar
dibanding daerah lainnya di Indonesia. Jenis pelanggaran yang terdata yakni terbesar
pada pelanggaran administrasi pemilu yang dilaporkan ke panwas yakni sebesar 1106
pelanggaran. Angka ini tergolong besar apabila dibandingkan jumlah total
pelanggaran administrasi pemilu di seluruh Indonesia yang mencapai 1336 kasus.
Data ini menunjukkan bahwa pelanggaran administrasi dalam penyelenggaraan
pemilu di Bali mencapai lebih dari 82 persen dibandingkan pelanggaran administrasi
35
lainnya di Indonesia. data lengkap daftar pelanggaran dalam pemilukada 2010 di
Indonesia pada tahap pemungutan dan penghitungan suara tertuang dalam Tabel 1.1.
Tabel 1.1
Daftar pelanggaran dalam pemilukada 2010 di Indonesia
pada tahap pemungutan dan penghitungan suara
No Jenis
Tindak Administrasi Kode Etik
Persengketaan
pelanggaran
Pidana Pemilu
Penyelenggaraan
dan
Pemilu
persengketaan
1
Surakarta
11
83
1
2
Rembang
14
49
1
3
Boyolali
1
8
4
Kebumen
42
4
2
5
Kota
5
18
Semarang
6
Serang
24
7
Kota Cilegon
4
4
8
Kutai
1
7
Kertanegara
9
Buton Utara
18
7
4
10 Badung
10
1
11 Bangli
9
16
18
12 Kota
3
69
Denpasar
13 Karangasem
600
14 Tabanan
3
411
1
2
15 Kota Ternate
3
34
Jumlah
114
1336
28
10
(Dok.: Kompas, Jumat 4 Juni 2010)
Data Kompas juga menunjukkan bahwa pemilu kepala daerah di lima daerah
di Provinsi Bali memiliki catatan pelanggaran tertinggi di tingkat administrasi
pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat permasalahan yang mengiringi jalannya
pemilukada di Provinsi Bali. Walaupun pelanggaran banyak terjadi di bidang
36
administrasi pemilu namun ini adalah hanya sebagian pelanggaran yang tercatat dari
sekian pelanggaran yang tidak tercatatkan. Bahkan di Kabupaten Bangli, terdapat
sembilan pelanggaran tindak pidana pemilu. Hal ini mencerminkan pertarungan
kekuasaan di Bali tergolong ketat.
Bali sebagai daerah yang selama ini dinilai harmonis dan memiliki
masyarakat yang tenang ternyata pada kenyataannya menunjukkan hal yang
sebaliknya. Konflik dan kekerasan akibat politik marak terjadi di Provinsi Bali (lihat
tabel 1.1). Hal ini diperkuat dengan dengan pernyataan Robinson (2006). Robinson
memandang konflik dan kekerasan di Bali telah berlangsung sejak awal abad ke-17.
Robinson mengatakan bahwa konflik dan kekerasan telah memberi ciri pada politik
pulau Bali sepanjang abad ke-20 (Robinson,2006:28).
Robinson (2006) juga mengatakan contoh intrik politik dan perang saudara di
Bali banyak sekali, dan terjadi tanpa interupsi yang signifikan sampai permulaan abad
ke-20. Pada paruh akhir abad ke-19, misalnya, Klungkung hampir berada dalam
kondisi peperangan yang konstan dengan Karangasem dan Gianyar; kerajaan
Buleleng dan Bangli terus menerus terlibat pertikaian, dan pada 1849, Bangli
membantu Belanda dalam ekspedisi militer melawan Buleleng hingga pada tahun
1904, Bangli menyerang Karangasem dan menghancurkan garapan irigasi di sekitar
Gianyar (Robinson,2006:33).
Pemaparan Robinson di atas secara tidak langsung telah menggambarkan
bagaimana pertarungan memperebutkan kekuasaan di Bali telah mengakar sejak
37
zaman prakolonial. Sedangkan pada masa reformasi, kekuasaan tetap menjadi ajang
perebutan. Apabila pada zaman kolonial perebutannya adalah kursi kerajaan, kini
yang diperebutkan adalah kursi jabatan politik dan jabatan negara. Kursi jabatan
kepala daerah menjadi simbol kekuasaan di daerah tertentu. Perebutan kursi
kekuasaan di Bali saat ini memang berbeda dengan masa prakolonial dulu. Apabila
sebelumnya menggunakan bentuk kekerasan fisik yang memerlukan modal kekuatan
armada perang dan pasukan bersenjata, kini pertarungan perebutan kekuasaan dalam
pemilu kepala daerah memiliki bentuk yang berbeda.
Perbedaan dalam pertarungan kuasa di pemilu kepala daerah di Bali saat ini
adalah bentuk modal yang digunakan. Kini modal yang digunakan tidak lagi berbasis
pada kekuatan fisik maupun massa, namun modal yang berbasis pada ekonomi,
jaringan sosial dan politik hingga modal budaya. Seperti halnya di tingkat nasional,
proses pemilihan kepala daerah di tingkat lokal khususnya pada masa kampanye pun
telah menggunakan media massa. Media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
opini publik dan perilaku masyarakat (Klepper, 1960). Di Bali sendiri media massa
selama ini memegang peranan besar dalam proses pemilihan kepala daerah. Media
massa kerap kali dijadikan alat komunikasi para aktor politik.
Pemilukada langsung di Bali telah berlangsung dua kali pada tahun 2005 dan
2010. Pada tahun 2005, pemilukada di Bali berlangsung di Kabupaten Badung,
Karangasem, Tabanan, Bangli, dan Kota Denpasar secara serentak pada tanggal 24
Juni 2005. Provinsi Bali juga menyelenggarakan pemilu kepala daerah di lima
38
kabupaten/kota pada 4 Mei 2010 secara serentak. Kelima daerah tersebut yakni
Kabupaten Badung, Karangasem, Tabanan, Bangli dan Kota Denpasar. Dari kelima
daerah tersebut tercatat tiga kabupaten/kota telah menjalankan pemilu kepala daerah
dengan lancar dan tidak ada gugatan lebih lanjut. Namun pemilu kepala daerah di
Kabupaten Bangli dan Tabanan tidak berhenti sampai penentuan pemenang pemilu
saja. Kedua daerah ini harus menyelesaikan pemilu hingga tahap gugatan ke
Mahkamah Konstitusi. Dari dua calon yang mengajukan keberatan yakni SukajaAnom dari Kabupaten Tabanan dan Brahmawijaya dari Kabupaten Bangli, hanya
calon dari Kabupaten Bangli saja yang gugatannya diterima dan mewajibkan KPUD
Bangli melakukan pemilukada ulang di 12 TPS (Bali Post, 4 Juni 2010). Disertasi ini
memilih di Kabupaten Bangli dengan beberapa alasan khusus yakni konflik,
pemilukada ulang di sebagian TPS di Bangli, hingga waktu pertarungan kandidat
pemilukada di media massa yang lebih panjang.
Pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Bangli pada 4 Mei 2010
memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan daerah pemilihan lainnya di
Provinsi Bali, seperti di Kabupaten Badung, Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, dan
Kabupaten Karangasem. Perbedaan pertama adalah tingginya tingkat konflik selama
proses pemilukada di Kabupaten Bangli. Tingginya partisipasi politik di Bangli
ternyata tidak sejalan dengan sistem demokrasi yang ideal. Hal ini ditunjukkan
dengan tingginya tingkat konflik yang terjadi di Kabupaten Bangli. Konflik terjadi
tidak hanya selama kampanye namun hingga pascapemilihan. Tercatat telah terjadi
39
bentrok fisik pada saat pemilihan umum kepala daerah di Bangli. Bentrokan terjadi
antara pendukung paket Wayan Gunawan – A.A Artjana Agung dan IB Brahmaputra
– Wayan Winurjaya di sekitar lokasi Lake View Hotel dan Restaurant, Penelokan,
Kintamani (NusaBali, Rabu 5 Mei 2010). Bentrokan terjadi dimulai dengan adanya
suara mobil keras-keras oleh salah satu massa pendukung paket calon di depan
kelompok pendukung kandidat lainnya yang sedang minum di kawasan Kintamani.
Hasilnya bentrokan menyebabkan rusaknya posko dan sempat saling baku hantam
antarkelompok massa (NusaBali, Rabu 5 Mei 2010).
Perbedaan kedua adalah pemilihan kepala daerah di Kabupaten Bangli diikuti
lima pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Banyaknya kepala
daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Bangli ini menunjukkan tingkat
partisipasi politik yang tinggi di Kabupaten ini. Kelima pasangan yang ikut bertarung
dalam pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Bangli terlihat di tabel 1.2.
Tabel 1.2
Nama Pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati di Bangli
No Partai /
Nama Pasangan Calon
Singkatan Nama
Perseorangan
1
Partai Golkar
I Wayan Gunawan – A A Artjana
GUNA
2
PDIP
I Made Gianyar – Sang Nyoman
GITA
Sedana Arta
3
Partai
IB Brahma Putra – I Wayan Winurjaya
Bhramawijaya
Demokrat
4
Perseorangan IBGK Ludra- Nyoman Durpa
Ludra-Durpa
5
Perseorangan I Wayan Arsada – I Wayan Lasmawan
ALAS
Sumber : KPUD Bangli, 2010
40
Ketiga, sengketa keputusan KPUD Bangli yang menetapkan pasangan I Made
Gianyar-Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang digugat ke Mahkamah
Konstitusi. KPUD Bangli dalam rapat plenonya Selasa (11 Mei 2010) memutuskan
pasangan I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang pemilu
kepala daerah Bangli. Namun, hasil ini tidak diterima oleh pasangan IB Brahmaputra
– Wayan Winurjaya, yang perolehan suara terpaut tipis dengan pasangan GITA.
Pasangan Brahma-Wijaya menilai pasangan GITA telah berbuat pelanggaran dalam
pemilu, pasangan ini pun menilai pihak penyelenggara yakni KPUD Bangli dan
Panwaslu Bangli telah melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu kepala
daerah (Bali Post, Jumat 14 Mei 2010). Ketidakpuasan penyelenggaraan pemilu di
Bangli terus bergulir, ribuan massa pendukung pasangan Brahma-Wijaya menggelar
demo besar-besaran menuntut pemilihan ulang di wilayah Kintamani pada Kamis (6
Mei 2010) (NusaBali, Jumat 7 Mei 2010). Ribuan massa menilai pelaksanaan
pemilukada di Kintamani penuh intimidasi dan kecurangan, sehingga kebebasan
masyarakat Kintamani untuk menentukan pemimpin Bangli telah “diperkosa” (Bali
Post, Jumat, 7 Mei 2010). Fakta yang dikemas media ini adalah realitas yang dikemas
media dimana tentu saja banyak hal yang mempengaruhi realitas media tersebut.
Penggunaan kata “diperkosa” pun adalah cara untuk mengemas sebuah realita
menjadi dramatis dibandingkan realitas sosial.
41
Pemilukada di Kabupaten Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010.
Setelah melalui rapat pleno, KPUD Kabupaten Bangli menetapkan pasangan I Made
Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta sebagai pemenang dalam pemillukada Bangli
periode 2010/2015. Adapun hasil perolehan suara pemilukada Bangli secara
keseluruhan dapat terlihat dalam tabel 1.3.
Tabel 1.3
Hasil Perolehan Suara Pemilukada Bangli Putaran Pertama
No Pasangan Calon
Jumlah suara
Persentase
(%)
1 IB Ludra- Nyoman Durpa
4.398
3,10
2 I Wayan Gunawan – A A Artjana
10.506
7,42
3 I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana A.
52.892
37,38
4 I Wayan Arsada – I Wayan Lasmawan
24.145
17.05
5 IB Brahmaputra – Wayan Winurjaya
49.607
35,06
Total Suara Sah
141.481
84,13
Total Suara Tidak Sah
26.679
15,86
Selisih suara GITA – Brahmawijaya
3.285
2,32
Jumlah DPT
168.160
Sumber: KPUD Bangli, 2010
Perjuangan pasangan Brahmawijaya menolak hasil pleno KPUD Bangli tidak
terhenti pasca-rapat hasil pleno. Pasangan ini pun mengajukan gugatan hasil
pemilihan umum kepala daerah Bangli ke Mahkamah Konstitusi. Mereka
mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi dengan harapan 132 TPS yang
dimasalahkan bisa dikabulkan MK untuk diadakan pemilihan ulang (BaliPost, Jumat,
14 Mei 2010).
42
Keempat, gugatan keberatan pasangan Brahmawijaya ke Mahkamah
Konstitusi diterima Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memutuskan
menerima sebagian gugatan pasangan Brahma-Wijaya. Sidang yang dipimpin Ketua
Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD pada Kamis (3/6/10) memutuskan agar KPUD
Bangli untuk mengadakan pemilihan ulang di 12 TPS yang tersebar di tiga kecamatan
di Bangli. Duabelas TPS terbagi menjadi sembilan TPS di Kecamatan Kintamani, dua
di Kecamatan Tembuku, dan satu di Kecamatan Bangli. Sesuai dengan
perkembangan politik nasional, maka perkembangan kampanye saat pemilu kada di
daerah pun telah menggunakan media massa sebagai tempat pertarungan antar
kandidat pemilu kada.
Amanda (2010) dalam penelitiannya mencatat selama masa kampanye
pemilukada di lima kabupaten/kota tersebut terdapat 198 bentuk komunikasi politik
di tiga media cetak yang beredar di Bali. Komunikasi politik yang dimaksud dapat
berupa berita, iklan hingga advertorial Tiga media cetak yang dimaksud adalah
Harian BaliPost, Radar Bali, dan NusaBali. Amanda (2010) juga mencatat dari 16
calon yang bertarung di lima kabupaten, 14 pasangan calon atau sekitar 87,5
persennya menggunakan media massa cetak sebagai alat komunikasi politik.
Lima pasangan calon dalam pemilukada di Kabupaten Bangli pun
menggunakan media sebagai alat komunikasi politik untuk menjangkau pemilihnya.
Bentuk yang digunakan dibagi dalam tiga bentuk yakni berita, advertorial, dan iklan.
Khusus untuk di Bangli, pertarungan tidak hanya selesai dalam masa kampanye.
43
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan pemilihan ulang di 12 TPS,
membuat masa pertarungan di media massa semakin panjang. Terdapat waktu kurang
lebih total dua bulan sejak masa kampanye hingga pemilihan ulang bagi masingmasing pasangan calon untuk bertarung di media cetak.
Media dalam pemilukada tidak dapat dipandang independen atau bebas dari
nilai dan kepentingan. Altschull menyimpulkan dalam semua sistem pers, media
berita merupakan agen dari pihak yang menjalankan kekuasaan ekonomi dan politik.
Koran, majalah, dan saluran-saluran siaran bukanlah aktor yang independen,
kendatipun hal tersebut mempunyai potensi untuk menguji kekuasaan yang bebas
(Altschull dalam Winarso, 2005:128).
Dari pemaparan permasalahan yang terjadi di Provinsi Bali khususnya di
Kabupaten Bangli, maka penting untuk dikaji bagaimana pertarungan perebutan
kekuasaan di Kabupaten Bangli dengan perspektif pada pertarungan aktor politik di
media cetak dalam pemilukada Bangli 2010.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam merumuskan permasalahan, fenomena pemilihan kepala daerah di
Indonesia khususnya di Provinsi Bali mengandung konflik. Maka dengan rumusan
permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang diangkat adalah:
44
a. Bagaimana bentuk pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu
kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010?
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada media
cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010?
c. Bagaimana dampak dan makna pertarungan aktor politik pada media cetak
dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010 terhadap
budaya komunikasi politik di Bangli?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui bentuk pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilu
kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010
b. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada
media cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun
2010.
c. Menginterpretasi bagaimana dampak pertarungan aktor politik pada media
cetak dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010
terhadap habitus sosial politik masyarakat Kabupaten Bangli, Bali.
45
1.3.2 Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penelitian ini :
a. Dapat mengetahui bagaimana penggunaan modal pada praktik komunikasi
politik di media cetak dalam pemilu kepala daerah.
b. Mendapat gambaran mengenai habitus khususnya habitus politik di kabupaten
Bangli.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan mengenai kajian
komunikasi politik khususnya penggunaan media cetak.
b. Penelitian dapat membantu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya
bidang penggunaan media massa khususnya media cetak dan komunikasi
politik.
c. Hasil penelitian dapat sebagai bahan awal dan membantu peneliti yang
tertarik di bidang komunikasi politik.
46
1.4.2
Manfaat Praktis :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau masukan
bagi para aktor politik dalam mempraktekkan komunikasi politik di
masyarakat.
b. Penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai pendidikan politik yang
berkembang di masyarakat. Dengan mengetahui perkembangan karakteristik
sistem komunikasi budaya politik, maka dapat membantu mengatasi dan
mencegah konflik yang kerap terjadi terkait politik praktis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian baik berupa tulisan, opini maupun penelitian mengenai isu pertarungan
aktor politik di media massa telah berkembang luas seiring dengan perkembangan
politik dan media massa di Indonesia. Hubungan antara media massa dan aktor
politik pun semakin erat dengan adanya tarik ulur kepentingan ekonomi dan politis.
Oleh karena itu, kajian pustaka mengenai isu ini akan menjadi masukan dasar yang
memperkaya penelitian mengenai pertarungan aktor politik di pemilu kada pada
media cetak di Kabupaten Bangli, Bali tahun 2010.
Keefektifan media masa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikan
media sebagai ajang baru pertempuran politik. Abad ke-21 yang tergolong sebagai
Abad informasi membuat siapa pun yang memiliki akses kepada media massa
memiliki kemampuan untuk mengarahkan dan membentuk opini publik sesuai
dengan yang diharapkannya. Konsekuensinya, dunia politik tidak dapat dipisahkan
dari media massa. Persaingan pun muncul untuk mencari aliansi dengan suatu media
massa
guna
menjamin
lancarnya
pesan
47
politik
yang
ingin
disampaikan
48
(Firmanzah,2011:28). Penelitian mengenai komunikasi politik di Indonesia pada
umumnya masih tergolong baru. Terdapat beberapa penelitian maupun pustaka yang
berkaitan dengan komunikasi politik terutama komunikasi politik melalui media
massa.
Amanda (2010) yang menyatakan bahwa terjadi korelasi positif antara
kuantitas tampil di media cetak dengan elektabilitas calon kepala daerah. Amanda
melakukan penelitian di lima kabupaten/kota yang melangsungkan pemilukada.
Amanda (2010) dalam penelitiannya mencatat selama masa kampanye pemilukada di
lima kabupaten/kota tersebut terdapat 198 bentuk komunikasi politik yang terkait
dengan proses pemilukada di tiga media cetak yang beredar di Bali. Kuantitasnya ini
cukup besar untuk tingkat pemilukada Kabupaten/Kota. Tiga media cetak yang
dimaksud adalah Harian BaliPost, Radar Bali, dan NusaBali. Amanda (2010) juga
mencatat dari 16 calon yang bertarung di lima kabupaten, 14 pasangan calon atau
sekitar 87,5 persennya menggunakan media massa cetak sebagai alat komunikasi
politik.
Hubungan antara media massa dan pemilukada di Bali pernah diteliti Gusti
Putu Artha dalam bukunya yang berjudul Konspirasi Media dengan Kandidat
Pemilukada (2009). Artha dalam penelitiannya ingin mengetahui bagaimana
konstruksi wacana berita surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung,
apakah makna wacana berita surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung
serta ingin mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi wacana berita
49
kampanye surat kabar mengenai kampanye Pemilukada Badung. Teori yang
digunakan Artha adalah Kognisi Sosial Teun A. Van Dijk, Teori Hipersemiotika, dan
Teori Hegemoni. Artha mengungkapkan bahwa surat kabar melakukan konspirasi
dengan kandidat dan usaha sekeras-kerasnya menghegemoni publik. Melalui
penggunaan tanda-tanda semiotis yang berlebihan dalam teks berita kampanye,
publik disuguhkan berita kampanye yang kurang bermakna bagi proses pencerdasan
dan pendidikan politik masyarakat. Artha pun menilai bahwa surat kabar secara sadar
mengelola berita kampanye sebagai komoditas. Artha juga mengungkapkan faktor
yang paling memegang peranan atas konstruksi wacana surat kabar adalah faktor
pemilik modal. Konstruksi wacana berita kampanye didasarkan atas kontrak ekonomi
antara surat kabar dan kandidat. Keputusan menyangkut kontrak ekonomi ini
ditentukan pemilik modal. Hasil penelitian Artha ini memberikan gambaran realitas
di mana media massa berperan sebagai subjek pertarungan para aktor politik tidak
hanya sebagai medan atau wadah pertarungan. Penelitian Artha ini memiliki relevansi
yang cukup dekat mengingat lokasi penelitiannya adalah di Bali, dan unit analisisnya
adalah media cetak sama dengan penelitian yang dilakukan.
Kajian mengenai peran media massa dan pemilu kepala daerah juga dilakukan
Graeme MacRae dan I Nyoman Darma Putra (2007). MacRae dan Darma Putra
mengkaji mengenai peran dan posisi media massa di Bali pada masa pemilu kepala
daerah di Bali pada tahun 2005. Pada tahun 2005 pemilu kepala daerah berlangsung
di lima kabupaten/kota di provinsi Bali, yakni Badung, Bangli, Tabanan, Karangasem
50
dan Kota Denpasar. Dalam proses pemilu kepala daerah, media massa terutama
media massa dengan oplah yang tinggi seperti Kelompok Media BaliPost (KMB)
cukup memegang peranan penting. KMB bagi masyarakat Bali dipandang sebagai
kelompok media yang menjaga budaya Bali sejak lama. KMB pun berperan besar
dalam membentuk opini publik di Bali. Hal ini menyebabkan para kandidat pemilu
kepala daerah di Bali merasa perlu dan wajib untuk mendatangi kantor pusat
Kelompok Media BaliPost. Kehadiran dan kunjungan para kandidat ke KMB akan
diliput oleh semua media yang berada dalam naungan KMB. Ritual yang biasa
dilakukan adalah menandatangani prasasti ‘Ajeg Bali’ sebagai simbol mendukung
dan berkomitmen menjaga kebudayaan Bali. MacRae dan Putra mengkaji bahwa
kekuasaan dan kekuatan media massa di Bali mampu memberikan status media massa
atau kelompok media tersebut menjadi seorang aristokrat baru. Relevansinya dengan
penelitian yakni bagaimana keberadaan media massa telah menjadi tokoh sentral
dalam sebuah pertarungan aktor politik dalam pemilukada di Bali.
Dalam tulisan yang berjudul “A Peaceful Festival of Democracy‟; aristocratic
rivalry and the media in a local election in Bali‟, MacRae dan Putra
(2008)
menekankan pada dua faktor penting dalam politik lokal di Bali. Pertama, adalah
beragam bentuk modal politik dari struktur lama akan peran organisasi sosial hingga
masa prekolonial. Kedua, peran dominan media massa dalam mengatur arus
informasi yang disampaikan selama proses pemilukada. MacRae dan Putra kemudian
51
memfokuskan tulisannya berdasarkan pemilu kada di Kabupaten Gianyar pada tahun
2008, antara Cokorda Ardana Artha Sukawati melawan Agung Baratha. MacRae dan
Putra melihat pertarungan dalam memperebutkan pemilu kepala daerah di Kabupaten
Gianyar bukanlah pertarungan kursi bupati belaka namun pertarungan antara Puri
Ubud dan Puri Gianyar yang telah berlangsung sejak lama. MacRae dan Putra pun
melihat peran media massa dalam proses pemilu kada ini juga memegang peranan
penting. Namun peran media ini dikaitkan pada kekuatan finansial para kandidat.
Relevansi penelitian ini adalah menunjukkan bahwa salah satu faktor penting dalam
bertarung di media massa adalah faktor ekonomi sang aktor politik dalam praktik
komunikasi politik.
Penelitian lainnya yakni Kasoma (2000) yang menyatakan bahwa media
massa memiliki peran signifikan dalam upaya pengembangan sistem demokrasi
multipartai. Fungsi politik media massa banyak dilakukan dengan mengkaitkannya
dengan upaya pengembangan demokrasi. Kasoma menemukan fakta bahwa pers telah
berperan secara nyata dalam memperkenalkan, mengembangkan dan memantapkan
sistem multipartai di negara-negara Afrika pada awal dekade 1990-an. Pers juga
berhasil menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai demokrasi di kalangan masyarakat,
termasuk kalangan elite politik. Selain itu June Woong Rhee (1997) meneliti bahwa
frame pemberitaan kampanye mempengaruhi interpretasi individu-individu mengenai
kampanye yang bersangkutan.
52
Kajian mengenai peran media massa dalam kampanye pemilu kepala daerah
sudah banyak dilakukan di antaranya Wisnumurti (2010), Butarbutar (2006),
Nugroho (2010). Relevansi penelitian-penelitian ini menambah pengetahuan dan
dasar dalam memprediksi mengenai permasalahan yang timbul dalam pertarungan
aktor politik pada pemilukada di media massa.
Penelitian terdahulu mengenai pemilu kepala daerah di Bali pernah dikaji oleh
Anak Agung Gede Oka Wisnumurti dalam disertasinya yang berjudul ‘Dinamika
Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung 2005 di Kabupaten Badung’
pada tahun 2010. Dalam penelitiannya, Wisnumurti mengungkapkan Pemilu Kada
langsung 2005 di Kabupaten Badung membawa perubahan berkelanjutan yang
bersifat fluktuatif pada struktur dan kultur politik masyarakat di Kabupaten Badung.
Secara kultural perubahan tersebut terjadi pada ideologi masyarakat yang didasarkan
pada rasio subjektif sebagai upaya tindakan komunikatif. Wisnumurti menggunakan
pendekatan teoritik yang bersifat eklektik yakni teori Tindakan Komunikatif, Teori
Diskursus kekuasaan dan Pengetahuan, Teori Hegemoni, dan Teori Modal Sosial.
Temuan yang menarik dari penelitian Wisnumurti adalah relasi kekuatan yang
mempengaruhi dinamika politik lokal tersegmentasi dalam tiga kekuatan utama
meliputi kekuatan masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil.
Wisnumurti juga mengungkapkan bahwa dinamika politik lokal dalam pemilukada
langsung 2005 di Kabupaten Badung menunjukkan terjadinya perubahan yang
berkelanjutan pada struktur dan kultur masyarakat di Badung itu sendiri. Ajang ini
53
pun menjadi wadah atau wahana dimana mampu menghadirkan kembali nilai-nilai
kearifan lokal yang memperkuat basis budaya demokrasi lokal.
Beny Siga Butarbutar dalam penelitiannya ”Dominasi Media Massa dalam
Pemilukada: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pemilukada Depok 2005”
(2006) melihat dominasi media massa dan pemilihan kepala daerah sebagai upaya
mengetahui kinerja pers dalam meliput pemilihan kepala daerah yang merupakan
representasi dalam alam demokrasi. Unit analisis yang diteliti terbagi dalam level
mikro dan level massa. Dalam level mikro yang diteliti adalah teks berita yakni
berita-berita di Media Indonesia, Monitor Depok dan SCTV. Sedangkan untuk level
massa, dilakukan wawancara dengan sejumlah calon kepala daerah Depok, Pemred
SCTV, Pemred Monitor Depok dan Pemimpin Umum Media Indonesia. Dalam hasil
penelitiannya terlihat bahwa bagaimana dominasi media massa dalam liputan Kota
Depok dan kenyataan kuatnya pengaruh bisnis dalam mempengaruhi kinerja pers,
sehingga media massa terlihat sebagai institusi ekonomi. Namun Butarbutar
menemukan hasil yang cukup mengejutkan adalah bagaimana kandidat yang tidak
memiliki uang yang kuat ternyata memenangkan pertarungan walau sempat tidak
mendominasi pemberitaan di media massa. Butarbutar juga mengatakan dalam proses
memproduksi dan mengkonsumsi teks isi media perlu juga melihat suasana politik
dan tekanan ekonomi kapitalis yang tercipta selama ini.
Penelitian serupa juga dilakukan Adi Nugroho dalam penelitiannya yakni
‘Kampanye Pemilu dalam Pers: Analisis Isi Berita-berita Kampanye Pemilu 1997
54
dalam Pers Daerah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta’ (2010). Nugroho meneliti
mengenai bagaimana media menyajikan liputan berita, khususnya berita tentang
sepanjang massa kampanye pemilu 1997 dari tiga surat kabar yang terbit di Jawa
Tengah dan Yogyakarta yakni Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Suara Merdeka. Adi
Nugroho menggunakan analisis isi sebagai metode penelitian. Dalam penelitiannya
Adi Nugroho mendapatkan adanya dualisme antara media dan kepentingan
pemerintah di masa kampanye sebelum pemilu.
Victor A. Simandjuntak (2006) dalam penelitiannya bertajuk ‘Kampanye
Politik: studi atas pemberitaan kampanye capres dan cawapres dalam pemilu 2004 di
surat kabar Republika’. Dalam penelitiannya Simandjuntak menggunakan tiga teori
sebagai landasan penelitian, yakni Teori Political Marketing, Teori Partisan dan Teori
Transisi Demokrasi. Melalui metode deskriptif-kualitatif, Simandjuntak menemukan
bahwa media berperan besar dalam proses pemilu 2004. Republika telah
berpartisipasi dalam pemilu sebagi sumber informasi bagi masyarakat atau pemilih.
Namun Republika menurut Teori Partisipasi Media juga memiliki keterbatasan ruang
dan waktu sehingga informasi politik kepada pembaca tidak lengkap. Simandjuntak
pun mengatakan bahwa media dapat bersikap non partisan apabila tidak ada
keterkaitan modal, manajemen redaksi, serta aliansi politik media tersebut terhadap
capres-cawapres yang bertarung dalam Pemilu 2004.
Metode berbeda dalam memandang iklan kampanye partai politik dilakukan
Sri Agus Adi Setyawati (2001) dengan tajuk penelitian ‘Perencanaan Iklan
55
Kampanye Partai Politik: Studi Evaluasi Perencanaan Iklan Kampanye PDI
Perjuangan pada pemilu 1999’. Penelitian Setyawati menggambarkan secara umum
mengenai evaluasi proses dan evaluasi hasil iklan kampanye PDI Perjuangan melalui
media above the line (televisi, surat kabar dan radio) dan media below the line
(bendera, spanduk, umbul-umbul, poster, selebaran, stiker dan t-shirt), khususnya
iklan sosialisasi tanda gambar dan iklan kampanye pemilunya. Penelitian ini
menggunakan metode evaluatif-kualitatif, dengan melibatkan alat bantu analisis
semiotika untuk menjelaskan isi produk iklan. Metode evaluasi yang dipakai adalah
evaluasi proses (berdasarkan pada cara atau proses melakukan proses melakukan
komunikasi) dan evaluasi hasil (berdasarkan pada dampak yang dihasilkan dari
proses berkomunikasi). Analisis semiotika dilakukan dengan menginterpretasi makna
dari warna, lambang, teks dan suara pada isi iklan PDI Perjuangan. Hasil penelitian
Setyawati menunjukkan bahwa strategi komunikasi yang digunakan adalah Clinton
Campaign Approach, yaitu penggunaan teknik komunikasi dengan menyerang sisi
negatif lawannya dan strategi medianya ditekankan pada aspek pemilihan media yang
efektif dan efisien.
Penelitian lain mengenai kampanye dikaji Lugi Lugina (2004) dengan tajuk
penelitian ‘Kampanye Partai Politik pada Pemilihan Umum Legislatif 2004, studi
kasus di Dewan Pimpinan daerah Partai Golongan Karya Kota Sukabumi’. Penelitian
dengan tujuan mengetahui proses kampanye Partai Golkar di Kota Sukabumi pada
pemilu legislatif 2004 menggunakan metode deskriptif dan tehnik pengolahan data
56
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan studi pustaka. Lugina
menyimpulan keberhasilan partai Golkar juga ditunjang oleh beberapa faktor yaitu
peran media massa yang membantu menyampaikan pesan kepada masyarakat. Selain
itu faktor penunjang lainnya adalah aksesibilitas yaitu penerimaan masyarakat
terhadap topik kampanye yang disampaikan serta kecocokkan materi kampanye
dengan karakteristik masyarakat.
Hubungan antara komunikasi dan budaya dijelaskan oleh James W.Carey
(1975) yang mengatakan mengenai cultural definition of communication. Carey
(1975;10) mengatakan Communication is a symbolic process whereby reality is
produced, maintained, repaired and transformed (komunikasi adalah proses simbolik
dimana realitas diproduksi, dipertahankan, diperbaiki dan ditransformasi). Pernyataan
Carey ini menegaskan bahwa komunikasi dan realitas sangat berhubungan.
Komunikasi dinilai sebagai proses penanaman dalam kehidupan sehari-hari yang
seperti menerima, mengerti dan mengkonstruksikan pandangan realitas seseorang dan
dunia. Komunikasi adalah dasar dari budaya.
Dari kajian pustaka di atas maka penelitian mengenai pemilukada di
Kabupaten Bangli pada tahun 2010 belum pernah diteliti. Namun, penelitian
mengenai pemilukada di Bali telah cukup banyak dikaji.Walaupun penelitian
mengenai analisis wacana telah banyak dikaji, penelitian analisa wacana yang terkait
dengan pemberitaan semasa pemilukada khususnya di Kabupaten Bangli pada tahun
2010 belum pernah dilakukan. Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian
57
sebelumnya adalah penggunaan beberapa teori yang membantu menganalisis
masalah. Maka penelitian ini adalah penelitian yang patut dilakukan dan dikaji untuk
memperkaya khazanah keilmuan baik di bidang kajian budaya maupun ilmu
komunikasi pada khususnya.
2.2 Konsep
2.2.1 Pertarungan Aktor Politik
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, terdapat beberapa pengertian
dari konsep pertarungan. Pertama ‘pertarungan’ adalah perihal bertarung dalam artian
sama dengan bertempur, berkelahi. Arti lainnya dari pertarungan adalah perjuangan.
Oleh karena itu pertarungan itu sendiri adalah perkelahian dalam memperebutkan
sebuah tujuan antara dua atau lebih orang atau pihak. Seperti halnya sebuah
perkelahian, pertarungan pun memiliki arena laga tempat bertarung. Pertarungan
memiliki tiga aspek, yakni aktor, tujuan pertarungan, dan arena pertarungan.
Dalam penelitian ini aktor yang bertarung adalah para ‘aktor politik’,
sedangkan tujuan pertarungan adalah memenangkan pemilihan umum kepala daerah,
lalu arena pertarungan yang digunakan adalah media massa. Firmanzah (2011)
mengatakan wilayah pertempuran politik tidak hanya terjadi dari image-image politik
yang ditampilkan di media massa, tetapi juga lobi-lobi politik dengan media massa.
58
Keefektifan media massa dalam menyampaikan pesan politik telah menjadikannya
sebagai ajang baru pertempuran politik. Firmanzah (2011) menambahkan
kemampuan media massa dalam membentuk opini publik membuat media massa
memiliki kekuasaan politik.
Menurut McNair (2004) aktor politik adalah individu yang terinspirasi,
melalui bentuk organisasi maupun institusi untuk mempengaruhi proses pembuatan
keputusan. Untuk mencapai kekuasaan politik secara institusional melalui
pemerintahan maupun pemilih, di mana preferensi politik dapat diimplementasikan.
Yang termasuk di dalamnya adalah partai politik, organisasi publik, kelompok
penekan (pressure groups), dan organisasi teroris.
Nimmo (1978) mengatakan aktor politik adalah komunikator politik dimana
komunikasi politik tidak hanya menyangkut partai politik, melainkan juga lembaga
pemerintahan legislatif dan eksekutif. Dengan demikian, sumber atau komunikator
politik adalah mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang
mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR,
MPR, KPU, gubernur, bupati/walikota, DPRD, Politisi, fungsionaris partai politik,
fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok-kelompok
penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan.
Komunikator politik itu sendiri dapat dibagi dalam tiga kategori yakni
politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesional dalam
politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (Nimmo,1999:30). Namun dalam
59
penelitian ini yang dimaksudkan dengan aktor politik adalah para calon kepala
daerah, tim sukses atau tim kampanye calon yang bersangkutan, hingga partai politik
yang mengusung calon kepala daerah dalam pemilu kepala daerah Kabupaten Bangli
2010.
Secara operasional konsep pertarungan aktor politik itu dibagi dalam beberapa
aspek yang akan diteliti. Aktor politik dalam komunikasi politik di media tidak
melakukan pertarungan dalam arti harafiah. Aktor politik dalam pertarungan mereka
akan lebih banyak menggunakan opini dan isu yang sengaja maupun tidak sengaja
terwacana di media dan masyarakat. Jadi, pertarungan aktor politik yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah pertarungan isu-isu yang dikemas oleh aktor politik di
media cetak. Adapun isu-isu yang dikemas antara lain adalah pencitraan diri aktor
politik, isu politis, dan program kerja tiap-tiap aktor politik.
2.2.2 Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Bangli
Pemilu kepala daerah terdiri atas dua konsep yakni pemilu atau pemilihan
umum dan kepala daerah. Pemilihan umum berdasarkan Undang-undang nomor 20
tahun 2008 pasal 1 adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945.
60
Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah mengatakan setiap daerah dipimpin oleh kepala
pemerintahan yang disebut kepala daerah. Kepala daerah yang dimaksud pada ayat
(1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota
disebut walikota.
Kepala daerah dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah.
Undang-undang juga menyebutkan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan Pasal 56 UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah, Kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pasangan calon pun diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
kemudian direvisi dalam UU nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana dimungkinkan pasangan
calon tidak berasal dari partai tapi berasal dari calon perseorangan yang didukung
oleh sejumlah orang. Perubahan terhadap UU tentang pemerintahan daerah untuk
mewujudkan kepemimpinan daerah yang demokrasi yang memperhatikan prinsip
persamaan dan keadilan penyelenggaraan, maka pemilihan kepala pemerintahan
daerah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang
memenuhi persyaratan. Perubahan ini pun untuk menjalankan keputusan judicial
review Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan.
61
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 juga menyebutkan pemilihan kepala
daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang
bertanggungjawab kepada DPRD. Perangkat lainnya selain KPUD dalam pemilukada
adalah pengawas pemilihan kepala daerah atau panwas daerah yang keanggotaannya
terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
Pemilu kepala daerah dalam penelitian ini dibatasi hanya dalam pemilu kepala
daerah di Kabupaten Bangli pada tahun 2010. Pemilu kepala daerah di Kabupaten
Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010. Pemilihan kepala daerah di Kabupaten
Bangli diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati.
Tahap pemilukada di Bangli dimulai dengan masa kampanye sejak tanggal 17
April 2011 hingga tanggal 30 April 2010. Hari pemilihan berlangsung pada tanggal 4
Mei 2010. Pada tanggal 7 Mei 2010, KPUD Bangli mengumumkan kemenangan
Pasangan I Made Gianyar-Sang Nyoman Sedana Arta dari PDIP sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Hasil ini menuai protes dari kubu
Brahmawijaya dari Partai Demokrat. Keberatan Brahmawijaya ini akhirnya berbuntut
panjang. Hasil pemilukada di Bangli diadukan ke Mahkamah Konstitusi oleh
Brahmawijaya.
Gugatan keberatan pasangan Brahmawijaya ke Mahkamah Konstitusi berbuah
hasil. Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima sebagian gugatan pasangan
Brahmawijaya. Dalam sidang yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud
MD pada Kamis (3/6/10) Mahkamah Konstitusi memutuskan agar KPUD Bangli
62
untuk mengadakan pemilihan ulang di 12 TPS yang tersebar di tiga kecamatan di
Bangli. Duabelas TPS terbagi menjadi sembilan TPS di Kecamatan Kintamani, dua di
Kecamatan Tembuku, dan satu di Kecamatan Bangli. Namun hasil pemilihan umum
tetap sama yakni kemenangan I Made Gianyar – Sang Sedana Arta sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Bangli terpilih.
2.2.3 Media Cetak
Media cetak adalah bagian dari media massa. Media massa sering digunakan
pada alat teknik melalui apa komunikasi massa terjadi. Media massa dapat meliputi,
(1) media cetak seperti surat kabar, majalah, buku, pamflet, billboards, dan alat
tehnik lainnya yang membawa pesan kepada massa dengan cara menyentuh indera
penglihatan, (2) media elektronik seperti program radio dan rekaman yang menyentuh
indera pendengaran, dan program televisi, gambar bergerak dan rekaman video yang
menyentuh kedua indra pendengaran dan penglihatan (Blake, 2003:42).
Media cetak adalah seluruh media massa yang proses produksinya
menggunakan alat cetak dan didistribusikan kepada masyarakat umum tidak
menggunakan perangkat teknologi informasi. Media yang termasuk dalam media
cetak di antaranya, koran, tabloid, majalah, dan buku (Vivian, 2008:10). Media cetak
adalah bagian dari media massa. Media dalam arti luas, yaitu segala sarana yang
terkait dengan penyampaian pesan, baik yang bersifat riil maupun simbolik, dari
63
sebuah institusi kepada masyarakat luas. Media dalam hal ini dapat berupa televisi,
radio, majalah, dan koran. Media pun kerap kali digunakan sebagai instrumen untuk
mengkomunikasikan ide, pesan, dan program kerja politik karena kenyataannya
media dapat dipakai untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat luas dengan
biaya atau orang yang relatif sangat murah (Firmanzah, 2011:28).
Media cetak dalam penelitian ini berperan sebagai medan pertarungan para
aktor politik. Arti penting media massa dalam komunikasi politik membuat medan
pertempuran dan persaingan politik untuk membentuk opini publik terfokus pada
media. Masing-masing partai politik akan berusaha mendekati media massa tertentu
yang memiliki jaringan luas dalam masyarakat. Firmanzah (2011) mengatakan
keberpihakan media massa terhadap suatu partai politik bisa menguntungkan dan
merugikan image partai politik di mata masyarakat. Menguntungkan, karena
masyarakat dapat dengan mudah mengidentifikasi ideologi yang dikeluarkan oleh
media massa. Merugikan karena hal ini dapat mengurangi pangsa pasar mereka.
Sementara itu, media massa juga dapat bersikap netral. Dalam aliran ini, mereka
menerima dan mempublikasikan siapa pun yang dianggap layak dipublikasikan.
Penelitian ini membatasi media cetak pada tiga media surat kabar yang terbit harian
di Bali dengan oplah tertinggi, yakni Bali Post, NusaBali dan Radar Bali. Ketiga
media cetak ini pun dibatasi sejak bulan April hingga Juni 2010.
64
2.3 Landasan Teori
Dalam menganalisis permasalahan yang diajukan, digunakan beberapa teori.
Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori-teori posmodern dan
postrukturalis. Teori yang dimaksud adalah teori wacana relasi pengetahuan dan
kekuasaan, teori pengaruh media, teori framming, teori logic of practice atau teori
modal, teori hegemoni, dan teori analisis teks media. Teori-teori ini akan dipakai
secara ekletik, atau bersamaan dan saling membantu dalam menganalisis
permasalahan.
Teori analisis teks media dan teori pengaruh media akan berkolaborasi untuk
membantu menganalisis pertanyaan penelitian bagaimana bentuk pertarungan aktor
politik pada pemilu kada dalam media cetak di Kabupaten Bangli, Bali, serta untuk
menjawab faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada
pemilukada dalam media cetak di Kabupaten Bangli, Bali.
Teori Wacana Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan akan digunakan untuk
menganalisis pertanyaan penelitian mengenai bagaimana dampak dan makna
pertarungan aktor politik pada praktik komunikasi di media cetak dalam pemilu
kepala daerah 2010 di Kabupaten Bangli, Bali .
65
2.3.1
Teori Wacana Relasi Pengetahuan dan Kekuasaan
Michel Foucault mengungkapkan konsep mengenai hubungan antara
pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda tidak
dimaknai dalam konsep kepemilikan. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi
dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara
strategis berkaitan satu sama lain. Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu,
subjek yang kecil. Menurutnya, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana
saja terdapat susunan aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia
yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di sana kuasa
sedang bekerja (Bertens,1985:487).
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan
pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Penyelenggaraa kekuasaan, menurut
Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir
tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran
(Aditjondro, 1994:58). Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar
dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa
kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan (Bertens,1985:488). Konsep
ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian
mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Wacana tertentu
menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
66
Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari
langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap
kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak
digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut (Mills,1997:18).
Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan
cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa
mereproduksi realitas, mereproduksi lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus
kebenaran (Bertens,1985:488-489). Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan,
melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik
yang displin. Publik tidak dikontrol melalui kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi
dikontrol, diatur, dan didisplinkan melalui wacana. Kekuasaan dalam pandangan
Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk
kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku.
Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebih dari
secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi (Foucault,1997:32).
Konsep lain yang dikemukakan Foucault adalah wacana. Bagi Foucault
wacana tidak dipahami sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi
mengikuti sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek).
Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan
pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto,2008:65).
67
Temuan Foucault yang menarik adalah hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Kuasa olehnya tidak dimaknai dalam term kepemilikan, di mana
seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak
dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi
yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Dalam menghubungkan antara kuasa
dan pengetahuan maka digunakanlah wacana. Foucault mengatakan bahwa hubungan
antara simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga
produktif dan kreatif. Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga
dibentuk, dikontrol, dan didisiplinkan. Bagaimana seseorang memersepsikan dan
menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur
diskursif (Eriyanto,2008:72-73).
Wacana membatasi bidang pandangan, di mana mengeluarkan sesuatu yang
berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk,
pernyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Wacana
membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu dan gabungan dari peristiwaperistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu.
Dalam prosesnya, seseorang mengategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan
peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut akan sukar
keluar dari struktur diskursif yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah
bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme,
68
perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan
berpikir (Eriyanto,2008:75).
Menurut Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi
suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan mempertahankan hubunganhubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya
terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan
memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi
dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” atau “terpendam”.
Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana
dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami.
Pandangan yang lebih luas menjadi halangan, karena ia memberikan pilihan yang
tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi hanya dalam batas-batas struktur diskursif
tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu
objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta bukan hanya membatasi
pandangan, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi
terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya
sendiri, menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan
memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran melalui mana kekuasaan dengan
begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan.
69
2.3.2 Teori Analisis Teks Media
Teori analisis teks media yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
analisis isi teks media dan teori produksi teks media. Teori analisis isi teks media dan
teori produksi teks media tergolong dalam teori kritis. Menurut McNair (1994) dalam
studi media terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media. Pertama,
pendekatan politik-ekonomi. Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media.
Faktor ini seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih
menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan
peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke
arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan.
Kedua, pendekatan organisasi. Pendekatan ini bertolak belakang dengan
pendekatan ekonomi politik. Dalam pendekatan organisasi, justru melihat pengelola
media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita.
Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada dalam
ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang
organisasi adalah unsur-unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan.
Ketiga, pendekatan kulturalis. Pendekatan ini merupakan gabungan antara
pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat
sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas
70
organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media. Mekanisme yang
rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang
pemberitaan. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk
menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk
memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi
politik di luar diri media.
Teori analisis isi media lainnya adalah teori produksi teks media. Menurut
Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Shoemaker and Reese, 1996) terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang
pemberitaan. Shoemaker dan Reese mengidentifikasi ada lima faktor yang
mempengaruhi kebijakan redaksi.
Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang
profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh
aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan
ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur,
atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Latar
belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik sedikit banyak
bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang memiliki orientasi politik
tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik yang kebetulan
menjadi idolanya.
71
Kedua, level rutinitas media. Rutinitas media berhubungan dengan
mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran
tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa
kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari
dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya.
Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.
Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, bagaimana bentuk
pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebuah tulisan sebelum
sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Sebagai
mekanisme yang menjelaskan bagaimana berita diproduksi, rutinitas media karenanya
mempengaruhi bagaimana wujud akhir sebuah berita.
Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur
organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan
wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya
hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen
dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Di dalam
organisasi media, misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian
iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut
tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus
strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut. Setiap organisasi berita,
selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi
72
sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana seharusnya wartawan
bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan dalam berita.
Keempat level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan
di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi
media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Ada
beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media.
Pertama, sumber berita. Sumber berita dipandang bukanlah sebagai pihak
yang netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan
untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan: memenangkan opini publik, atau
memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang
mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja memberlakukan politik
pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan
mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini
seringkali tidak disadari media. Pengelola media tidak sadar, lewat teknik yang
canggih, sebetulnya orientasi pemberitaan telah diarahkan untuk menguntungkan
sumber berita. Media lalu secara tidak sadar, telah menjadi corong dari sumber berita
untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.
Kedua, sumber penghasilan media. Sumber penghasilan media ini bisa berupa
iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli media. Media harus bertahan hidup,
dan untuk itu kadangkala media harus berkompromi dengan sumber daya yang
menghidupi mereka. Misalkan media tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang
73
berhubungan dengan pengiklan. Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk
memaksakan versinya pada media. Ia tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu
dilakukan diantaranya dengan cara memaksa media untuk mengembargo berita yang
buruk mengenai mereka. Pelanggan dalam banyak hal juga ikut mewarnai
pemberitaan media. Tema tertentu yang menarik dan terbukti mendongkrak
penjualan, akan terus menerus diliput oleh media. Media tidak menyia-nyiakan
momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
Ketiga, pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh
ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media.
Dalam negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang
dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Ini karena dalam negara yang
otoriter, negara menentukan apa yang tidak boleh dan apa yang boleh diberitakan.
Pemerintah dalam banyak hal memegang lisensi penerbitan, kalau media ingin tetap
dan bisa terbit ia harus mengikuti batas-batas yang telah ditentukan pemerintah
tersebut. Berita yang berhubungan dengan pemerintah terutama berita buruk akan
diembargo atau dibatalkan, daripada nasib media bersangkutan akan mati. Keadaan
ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur
tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan
pasar dan bisnis.
Keempat, level ideologi. Ideologi di sini diartikan sebagai kerangka berpikir
atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan
74
bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen sebelumnya yang
tampak konkret, level ideologi lebih abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau
posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan dilihat lebih
kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukan.
2.3.3 Teori Pengaruh Media
Teori pengaruh media yang digunakan adalah teori Agenda-Setting. Dalam
menterjemahkan teori ini, banyak ahli yang berpendapat. Menurut Baran (2002:384)
teori ini menyatakan bahwa media tidak menyuruh audiens untuk berpikir, tetapi
media membentuk apa yang harus dipikirkan oleh audiens. Hal ini berdasarkan pada
penelitian yang dilakukan Maxwell McCombs dan Donald Shaw mengenai peranan
media dalam pemilihan presiden di tahun 1968.
Fenomena Agenda Setting sendiri telah lama diakui. Sosiolog, Robert Park
pada 1920-an mengutarakan teori yang menolak gagasan populer bahwa media
memberi tahu orang apa yang akan dipikirkan. Seperti dikatakan Park, media lebih
banyak menciptakan kesadaran tentang suatu isu, bukan menciptakan pengetahuan
atau sikap. Agenda Setting terjadi dalam beberapa level, yakni penciptaan kesadaran,
menentukan prioritas, dan mempertahankan isu.
Dalam level penciptaan kesadaran, jika individu menyadari isu, maka ia baru
akan memperhatikan isu itu. Keprihatinan terhadap orang tua yang membunuh
75
anaknya menjadi isu utama akibat liputan luas media yang spektakuler. Pada tahun
1994, Susan Smith, seorang wanita dari South Carolina, menarik perhatian luas
karena laporannya bahwa anakknya yang berumur 3 dan 1 tahun telah diculik. Kisah
itu makin mengerikan setelah wanita itu lalu mengakui bahwa ia menenggelamkan
sendiri anak-anaknya dengan menaruh anak di mobil yang terkunci dan didorong ke
danau. Selama beberapa hari perhatian media yang luas bukan hanya mengungkap
detail dari apa yang terjadi, tetapi juga membuat orang tahu lebih banyak tentang isuisu parental, keluarga, kesehatan mentak, dan isu hukum yang ikut dibahas media
dalam liputannya.
Dalam level menentukan prioritas. Orang mempercayai berita dari media
untuk mengetahui kejadian-kejadian dan mengurutkan kejadian-kejadian itu
berdasarkan arti pentingnya. Berita utama atau di halaman satu koran dianggap
sebagai berita paling signifikan. Agenda seseorang akan terkena pengaruh bukan
hanya dari cara suatu berita ditampilkan atau disampaikan, tetapi juga waktu dan
ruang yang disediakan untuk berita itu. Dalam mempertahankan isu. Liputan terus
menerus akan membuat isu menjadi kelihatan penting. Sebuah berita senator yang
disuap mungkin akan segera dilupakan, tetapi berita lanjutannya selama berhari-hari
akan menimbulkan reformasi etika. Sebaliknya, apabila gatekeeper media beralih ke
berita lain, sebuah isu yang panas akan segera usang dalam semalam dilupakan orang.
Peran agenda setting tak hanya terjadi di media berita. Gaya hidup dan nilainilai hidup yang digambarkan di media bisa mempengaruhi apa yang dipikirkan
76
orang dan apa yang mereka lakukan. Meski begitu, individu punya tingkat kontrol
yang tinggi atas agenda personal mereka. Jurnalis dan pencipta pesan media lainnya
tidak bisa secara otomatis memaksakan agenda mereka pada individu, jika orang
tidak tertarik, sebuah isu tidak akan menjadi bagian dari agenda mereka. Nilai-nilai
individu dalam proses selective exposure, perception, dan retention, dapat
menghalangi peran media dalam penentuan media.
Agenda media juga tidak diputuskan dalam ruang isolasi. Mereka tergantung
kepada audiens massa. Media mencari petunjuk dari audiensnya sebelum menyajikan
liputan. Sekarang, organisasi berita meneliti minat publik dengan sampling ilmiah.
Media massa memainkan peran kepemimpinan dalam agenda setting dan sekaligus
mencerminkan agenda dari audiensnya.
Sedangkan Dominick dalam bukunya menggambarkan teori agenda setting
sebagai kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik
sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Atau seperti yang
telah dikatakan Cohen dalam bukunya The Press and Foreign Policy, yang
menyatakan bahwa media tidak selalu sukses dalam menyuruh publik untuk
memikirkan sesuatu, tetapi media seringkali sukses dalam mempengaruhi publik
untuk memikirkan suatu topik tertentu.
Dominick juga menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan teori
agenda setting banyak dilakukan pada penelitian saat kampanye politik. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pesan yang dihasilkan saat kampanye politik
77
biasanya dibentuk untuk mensetting sebuah agenda tertentu. Kedua, kampanye politik
memiliki batas waktu yang jelas saat memulai kampanye dan saat akhir kampanye.
Hal ini menyebabkan periode waktu penelitian tidak lagi ambigu.
Salah satu penelitian yang menggunakan teori agenda setting adalah pada
penelitian tahun 1968 ketika pemilihan presiden. Dalam penelitian tersebut peneliti
meminta sampel pemilih untuk merangking isu dari yang dianggap penting hingga
yang kurang penting selama masa kampanye. Saat proses ini berjalan, peneliti
mengumpulkan dan mengobservasi kampanye melalui majalah, surat kabar dan siaran
televisi. Peneliti pun menyusun peringkat isu yang diangkat media berdasarkan media
dan waktu bagi masing-masing isu. Hasilnya pun memuaskan, ternyata peringkat isu
yang dikeluarkan oleh sampel pemilih memiliki korelasi yang kuat dan serupa dengan
peringkat isu yang diobservasi oleh sang peneliti. Hal ini berarti bahwa para pemilih
beranggapan bahwa isu yang diangkat oleh media massa adalah isu penting untuk
dipikirkan.
Studi dengan menggunakan teori agenda setting menunjukkan beberapa
indikasi yang cukup menarik. Indikasi yang dimaksudkan adalah arah hubungan
antara isu dalam benak pemilih dan media massa tergantung pada media massa yang
digunakan. Sedikitnya terdapat dua penelitian yang melaporkan bahwa surat kabar
memiliki tekanan agenda setting yang lebih besar dibandingkan media televisi.
Bahkan pada sebuah studi ditemukan bahwa selama kampanye, media televisi sampai
78
merubah jangkauannya untuk menyesuaikan dengan kepentingan pemilih, sedangkan
surat kabar terlihat sibuk membentuk agenda publik.
Dalam perkembangannya, teori agenda setting ini memiliki dua arah yang
menarik bagi kaum peneliti. Pertama adalah mengarah pada teori framing, bagaimana
cara umum sebuah isu tersebut dikemas oleh media massa. Penelitian dengan
menggunakan teori ini mencoba untuk menjelaskan bahwa media tidak hanya
mempengaruhi
publik
untuk
berpikir
mengenai
suatu
isu
tetapi
bahkan
mempengaruhi bagaimana pola pikir tentang suatu isu tersebut sesuai dengan
kemasan yang dibentuk media massa. Kedua adalah agenda building. Peneliti dengan
arah ini meneliti bagaimana media membangun suatu agenda yang patut untuk
dijadikan berita.
2.3.4 Teori Hegemoni
Pemikir dalam teori hegemoni adalah Antonio Gramsci. Teori hegemoni
Gramsci dibangun di atas premis pentingnya ide dan tidak mencukupinya kekuatan
fisik belaka dalam kontrol sosial politik. Di mata Gramsci, agar yang dikuasai
mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus
memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan
79
hegemoni atau menguasai dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara
konsensual (Sugiono, 1999:31).
Simon (1999) mengatakan titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni
adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah
hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan
persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Menurut Gramsci, hegemoni adalah sebuah organisasi konsensus di mana di
dalamnya terjadi hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik
dan ideologis dan bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekerasan.
Dengan kata lain, hegemoni merupakan hubungan antar-kelas dengan kekuatan sosial
lain. Kelas hegemonik adalah kelas yang mendapat persetujuan dari kelas dan
kekuatan sosial dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui
perjuangan politik dan ideologi (Susanto, 2000:41-42). Bagi Gramsci, kekuasaan
harus dipahami sebagai sebuah hubungan. Hubungan sosial dalam masyarakat sipil
juga merupakan hubungan kekuasaan sehingga kekuasaan juga bisa merata ke seluruh
masyarakat sipil, bukan hanya terwujud dalam aparat negara yang koersif. Sebuah
hubungan hegemonic ditegakkan ketika kelompok subordinat atas subordinasi
mereka. Dengan kata lain, kelompok subordinat menerima ide-ide dan kepentingan
politik kelompok berkuasa seperti layaknya punya mereka sendiri. Dengan demikian
legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur,
80
nilai-nilai, norma, dan politiknya sudah diinternalisasi sebagai kepunyaan sendiri oleh
kelompok subordinat (Sugiono, 1999:37).
2.3.5 Teori Framing
Dalam menganalisis permasalahan di balik media massa, maka dibutuhkan
paradigma alternatif yang lebih kritis untuk melihat realitas lain di balik wacana
media massa. Salah satunya adalah teori framing. Sebagai paradigma interpretative,
analisis framing merupakan suatu seni atau kreativitas yang kesimpulannya boleh jadi
berbeda, jika dilakukan oleh analis berbeda, meskipun kasusnya sama. Sebabnya,
analis adalah seorang manusia yang aktif, kreatif, dan bebas menafsirkan
lingkungannya, suatu prinsip penting yang dianut oleh paradigma interpretatif. Teori
framing cocok digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana,
khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme
mengenai
bagaimana
berita
membangun,
mempertahankan,
mereproduksi,
mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Analisis dengan teori framing dapat digunakan
untuk melihat siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana
yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si tertindas, tindakan politik
mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional (Eriyanto: 2005;xv).
Peter L. Berger (dalam Eriyanto, 2005) mengatakan sebuah teks berupa berita
tidak bisa kita samakan seperti sebuah kopi dari realitas, ia haruslah dipandang
sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang
81
sama dikonstruksi secara berbeda. Wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan
konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa, dan itu dapat dilihat dari
bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita.
Berita dalam pandangan ini bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang
riil. Di sini realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi
antara wartawan dengan fakta. Dalam proses internalisasi, wartawan dilanda oleh
realitas. Realitas diamati oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan.
Dalam proses eksternalisasi, wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai
realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.
Durham (1998) mengatakan framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih
dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam kategori
tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian, membuat realitas lebih
bermakna dan dimengerti (Durham, 1998:101). Framing adalah pendekatan untuk
mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan
ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Framing, seperti yang dikatakan Todd
Gitlin adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca.
Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan
menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan
dan presentasi dari realitas.
82
Terdapat dua aspek dalam framing. Pertama memilih fakta atau realitas.
Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan yakni apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih sudut pandang tertentu,
memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu
dan melupakan aspek lainnya. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan
dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan depaka khalayak. Gagasan itu
diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto
dan gambar apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut
ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok,
pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan,
pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan,
asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang
mencolok, gambar dan sebagainya. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi
tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas
yang disajikan secara menonjol atau mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas
(Eriyanto, 2005:69-70).
Analisis framing mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan,
dan berita dilihat. Pertama, fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi, dimana tidak
83
ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan
pandangan tertentu. Carey (1989) mengatakan realitas bukanlah sesuatu yang terberi,
seakan-akan ada, realitas sebaliknya diproduksi. Fakta dalam berita diproduksi dan
ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia dilihat dan
bagaimana fakta tersebut dikonstruksi (Carey, 1989:25).
Kedua, media adalah agen konstruksi, di mana media dipandang bukan
sekadar saluran yang bebas, tetapi ia adalah subjek yang mengkonstruksi realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakkannya. Bennet (1982) memandang
media sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas. Bennet menolak
argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Berita
yang dibaca bukan hanya menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan
pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri (Bennet dkk,
1982:287-288). Apa yang tersaji dalam berita, dan dibaca setiap hari, adalah produk
dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif
menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Hidayat, 1999:20).
Ketiga, berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari realitas.
Berita dalam hal ini dipandang sebagai hasil konstruksi sosial di mana selalu
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana
realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan
dimaknai (Schudson dalam Curran, 1991: 141-142).
84
Keempat, berita bersifat subjektif atau hasil konstruksi atas realitas. Berita
adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas
suatu realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan
realitas yang berbeda pula. Apabila ada perbedaan antara berita dengan realitas yang
sebenarnya maka tidak dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah
pemaknaan mereka atas realitas (Eriyanto, 2005:27).
Kelima, wartawan bukan pelapor, namun ia adalah agen konstruksi realitas.
Wartawan
dipandang
tidak
bisa
menyembunyikan
pilihan
moral
dan
keberpihakkannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan
berita. Berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses
organisasi dan interaksi antara wartawannya (Curran, 1996:120). Wartawan juga
dipandang sebagai aktor atau agen konstruksi. Wartawan bukan hanya melaporkan
fakta, melainkan juga turut mendefinisikan peristiwa. Sebagai aktor sosial, wartawan
turut mendefinisikan apa yang terjadi, dan secara aktif membentuk peristiwa dalam
pemahaman mereka.
Jadi analisis dengan teori framing adalah memandang realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Dalam studi
komunikasi, analisis dengan teori framing dengan paradigma konstruktivis ini
seringkali disebut paradigma produksi dan pertukaran makna yang seringkali
dilawankan dengan paradigma positivis (Fiske, 1990: 2-4).
85
2.3.6 Teori Logic of Practice (Teori Modal)
Ahli sosiologi Perancis Bourdieu (1986) mengungkapkan bahwa dunia sosial
adalah hasil dari akumulasi sejarah dimana merupakan interaksi yang terus menerus
secara alami antara agen sebagai perantara dan akumulasi dari kapital atau modal
dengan segala dampaknya. Modal dinilai sebagai kekuatan atau energi sosial. Modal
dengan potensi dan kapasitasnya membutuhkan waktu untuk dapat memproduksi
keuntungan dan untuk mereproduksi dirinya dalam bentuk-bentuk yang lainnya.
Bourdieu (1986) pada awalnya membagi bentuk modal menjadi tiga bentuk
yakni modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial. Modal ekonomi adalah terkait
dengan kekuatan uang dan dapat pula berwujud pada hak milik. Modal budaya dapat
dikonversikan pada beragam kondisi dan dapat berupa kualifikasi pendidikan. Modal
sosial terkait dengan kewajiban sosial dimana dapat dikonversikan dalam kondisi
tertentu menjadi kekuatan modal ekonomi serta dapat dilembagakan dalam bentuk
kelas.
Modal budaya dibagi menjadi tiga bentuk yakni embodied state, objectified
state, dan institutionalized state. Embodied state adalah modal yang berada pada
badan dan pemikiran seseorang dimana telah ada sejak lama dan tidak dapat
diberikan atau ditukarkan dengan mudah. Objectified state berbentuk barang-barang
bernilai budaya seperti lukisan, buku, instrument. Institutionalized state adalah
bentuk hasil objektifitas dimana dapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan atau
86
bentuk lainnya dari modal budaya yang dapat dijamin. Modal budaya ini seringkali
juga diperluas menjadi modal simbolik.
Modal sosial adalah sekumpulan atau agregasi sumber-sumber potensial dan
nyata dimana terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang terlembagakan dan
saling mengenal dalam kelompok tersebut. Hubungan ini biasanya hanya ada dalam
keadaan praktis dimana pertukaran materi atau simbol membuat hubungan ini tetap
ada. Hubungan ini bisa saja terjadi akibat adanya kesamaan nama, sekolah hingga
partai.
Bourdieu (1986) juga mengungkapkan bahwa ketiga modal ini bukanlah hal
yang berdiri sendiri namun dapat saling mentransformasi. Modal sosial dikatakan
sebagai modal yang tidak dapat berdiri sendiri karena proses pertukaran modal yang
terus menerus untuk menjaga modal sosial itu sendiri. Hal ini juga disebabkan modal
sosial memberikan efek berkelanjutan dari kepemilikan modal ke berbagai hal. Teori
ini berguna dalam menganalisi faktor strategi politik yang calon kepala daerah
gunakan.
2.4 Model Penelitian
Penelitian mengenai pertarungan aktor politik dalam pemilukada pada media
cetak di Kabupaten Bangli, Bali 2010 berangkat dari beberapa asumsi yang
mempengaruhi adanya pertarungan tersebut. Aspek yang mempengaruhi di antaranya
87
adalah (1) sistem politik Indonesia yang terdiri atas ideologi partai, sistem pemilihan
umum, pemerintahan daerah di Indonesia dengan isu desentralisasi dan otonomi
daerah (2) sistem ekonomi Indonesia yang terdiri dari aspek-aspek ekonomi di
Indonesia seperti akibat dari pengaruh globalisasi, liberalisasi hingga komersialisasi,
(3) aspek terakhir adalah aspek sosial, budaya, di tingkat nasional maupun di tingkat
lokal.
Seluruh aspek ini secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi
pertarungan aktor politik dalam pemilukada pada media cetak di Kabupaten Bangli,
Bali 2010. Penelitian akan mencoba menjawab tiga permasalahan yakni (1) bentuk
pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilukada di Kabupaten Bangli
Bali tahun 2010, (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik pada
media cetak dalam pemilukada di Kabupaten Bangli Bali tahun 2010, dan (3)
Dampak dan makna pertarungan aktor politik pada media cetak dalam pemilukada di
Kabupaten Bangli Bali tahun 2010. Penelitian ini pun akan menemukan rekomendasi
mengenai identifikasi dan kritisisasi peran media cetak dalam politik praktis serta
mendapatkan gambaran mengenai habitus sosial budaya politik di Kabupaten Bangli,
Bali.
Berikut model penelitiannya;
88
Bagan 2.1. Model Penelitian
Aspek ekonomi:
Liberalisasi
Globalisasi
Komersialisasi
Aspek politik :
Sistem pemilu
Sistem kampanye
Otonomi daerah
Aspek sosial -budaya:
Kebebasan media massa
Desentralisasi
Pertarungan Aktor Politik pada
Media Cetak dalam
Pemilukada
Bentuk pertarungan
Faktor-faktor yang
berpengaruh
Temuan
Mempengaruhi / menyebabkan
Saling berhubungan
Dampak dan Makna
pertarungan
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Penelitian sosial budaya berkecenderungan kepada penelitian
dengan
pendekatan
kualitatif
dengan
paradigma
kritis.
Sedangkan
untuk
melengkapkan data empiris, akan menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kuantitatif untuk mengumpulkan data awal sebagai dasar argumentasi dalam analisis
data kualitatif. Metode penelitian ini akan menggunakan tehnik triangulasi. Metode
penelitian ini pun menggunakan metode analisis wacana kritis.
3.1 Rancangan Penelitian
Berdasarkan atas permasalahan penelitian, maka rancangan penelitian ini akan
menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, landasan berpikir
yang digunakan adalah makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
berpola. Oleh karena itu, untuk memahami makna dalam suatu gejala sosial, seorang
peneliti harus bisa menempatkan dirinya dalam peranannya sebagai para pelaku yang
ditelitinya untuk dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai
89
90
makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan,
1966).
Berdasarkan teori dan kajian pustaka, maka obyek penelitian dalam penelitian
ini adalah pertarungan aktor politik di media cetak. Obyek utama dalam penelitian ini
adalah berita, iklan, dan advertorial di tiga media massa yakni Bali Post, Radar Bali,
dan NusaBali pada masa kampanye pemilukada di Bangli tahun 2010 hingga
pencoblosan ulang di 12 TPS di Bangli. Adapun alasan mengapa penelitian ini hanya
meneliti pada tiga media massa tersebut saja karena ketiga media massa ini memiliki
tiras tertinggi yang ada di Bali. Maka dengan memiliki tiras tertinggi sehingga berarti
ketiga media massa ini lah yang paling banyak di baca oleh masyarakat di Bali.
Sebagai media massa yang paling banyak dibaca oleh masyarakat Bali maka ketiga
media cetak inilah yang paling banyak memengaruhi persepsi masyarakat Denpasar
terutama dalam masa kampanye pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Bangli. Artikel
ini penting sebagai obyek utama karena di media lah pertarungan antar aktor politik
terjadi. Penelitian juga akan mengkaji mengenai bagaimana pemberitaan atau iklan
yang dikonstruksikan oleh media massa mengenai masing-masing calon kepala
daerah. Penelitian akan mengkaji bagaimana bentuk komunikasi politik yang
dilakukan setiap pasangan calon.
Obyek penelitian pendukung dalam penelitian ini adalah para calon kepala
daerah Kabupaten Bangli yang bertarung dalam perebutan kursi bupati dan wakil
bupati Kabupaten Bangli untuk periode 2010/2015. Para calon inilah yang menjadi
91
obyek pendukung dalam penelitian ini. Penelitian juga akan mengkaji bentuk
komunikasi politik yang dilakukan apakah melalui media massa atau bentuk
komunikasi politik lainnya.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di wilayah Kabupaten Bangli. Tetapi pengamatan
atas laporan media massa yang menjadi objek penelitian dilakukan di Denpasar,
tempat bekerja peneliti dan di Gianyar, kediaman peneliti. Penelitian difokuskan pada
masa kampanye pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli pada Bulan April
2010 tepatnya pada tanggal 17 hingga 30 April 2010. Pemilihan bupati/wakil bupati
Kabupaten Bangli berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010, hingga pemilihan ulang di
12 TPS di Bangli pada 4 Juni 2010.
Penelitian mengkaji perkembangan pemberitaan dan iklan di tiga media massa
yang terkait dengan pemilihan bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli. Penelitian ini
pun terbagi dalam beberapa tahap, yakni pada masa sebelum kampanye pemilihan
bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli. Kedua, pada masa kampanye pasangan
bupati/wakil bupati Kabupaten Bangli di Bulan April 2010. Ketiga pada masa pascapemilihan hingga pemilihan ulang di 12 TPS di Bangli.
92
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data kualitatif yang diperoleh dari hasil
pengamatan, dipikirkan yang kemudian ditranskripkan secara narasi. Data yang
berasal dari dokumen berupa berita atau kliping berita surat kabar pun jenisnya
kualitatif yang akan dikaji secara subjektif dengan menggunakan analisa wacana
kritis.
Sumber data pada penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber
data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari media massa
berupa berita, iklan, dan advertorial para calon kepala daerah di Bangli pada tiga surat
kabar yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali saat masa kampanye hingga pada
masa menjelang pemilihan ulang di 12 TPS di Bangli.
Sumber data primer juga diperoleh langsung dari informan yang dinilai
kompeten dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Informan
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala Redaksi tiga surat kabar yakni
Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Warrtawan yang meliput pemilu kada di Bangli
pada tiga surat kabar yakni Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Sumber data
sekunder didapatkan dari informan lainnya yakni calon kepala daerah di Bangli atau
tim kampanye pemilukada di Bangli.
93
3.4. Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini melalui teknik purposive sampling
atau judgemental, di mana informan yang akan diwawancarai adalah pihak-pihak
yang dipentingkan dan berperan penting dalam pembentukan komunikasi politik para
calon kepala daerah pada pemilukada di Kabupaten Bangli. Informan adalah yang
yang memiliki informasi yang relevan dengan masalah yang diteliti. Adapun
informannya adalah para redaktur dan wartawan harian Bali Post, Radar Bali, dan
NusaBali yang melakukan peliputan pada masa pemilukada di Kabupaten Bangli. Hal
ini karena wartawanlah yang berhadapan langsung dengan realitas di lapangan,
wartawan jugalah yang bertemu langsung dengan calon kepala daerah pada
pemilukada di Kabupaten Bangli. Wartawan pulalah yang menulis berita sebelum
masuk proses produksi di sebuah surat kabar. Informan berikutnya adalah kepala
redaksi/ editor harian Bali Post, Radar Bali, dan NusaBali. Hal ini dikarenakan pada
pihak inilah sebuah berita disunting sebelum naik cetak. Kepala redaksi pun
cenderung bekerja berdasarkan ideoogi apa yang surat kabar itu terapkan, sehingga
akan diketahui ideologi apa yang mendasari terbentuknya sebuah berita.
Informan lainnya adalah calon kepala daerah pada pemilukada di Kabupaten
Bangli atau tim kampanye sebagai sumber berita. Hal ini untuk mengetahui
bagaimana strategi komunikasi politik yang dilakukan para calon dalam masa
kampanye hingga pascapemilihan. Informan ini pun diharapkan dapat menjelaskan
94
proses dalam komunikasi politik serta faktor-faktor apa yang paling berpengaruh di
dalamnya. Informan lainnya adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Bangli. Ketua KPUD dianggap mampu untuk memberi gambaran mengenai
bagaimana proses pemilukada berlangsung sejak pencalonan hingga pemilihan ulang
di 12 TPS. Ketua KPUD pun seringkali dijadikan obyek kritikan para aktor politik
yang tersampaikan melalui media cetak.
3.5 Instrumen Penelitian
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama. Pada pendekatan ini,
peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari
pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15).
Instrumen pendukung yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah instrumen
penelitian yang berupa pedoman wawancara yang dilengkapi dengan tape recorder.
Jawaban pedoman wawancara direkam dengan tape recorder, kamera, handycam,
catatan anekdot dan atau kartu ikhtisar.
95
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data maka digunakan beberapa teknik pengumpulan
data. Teknik pengumpulan data tersebut antara lain teknik wawancara mendalam,
studi dokumen, dan observasi.
3.6.1 Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam ini dimaksudkan
untuk memperoleh informasi secara luas dari tokoh kunci atau informan. Wawancara
mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan
informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman
(guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama.
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian kualitatif bersifat mendalam dan
dikembangkan oleh sendiri. Dengan demikian, kedudukan peneliti menjadi sentral
untuk menentukan kedalaman dan akurasi data yang dikumpulkan. Materi pertanyaan
akan dikembangkan di lapangan, dengan dipengaruhi oleh tingkat kepekaan peneliti
di dalam memahami seberapa jauh memahami ranah persoalan yang ingin diketahui
dan sejauh mana informan menguasai masalah yang ditanyakan.
96
Tentu saja sebelumnya dibutuhkan pemahaman awal oleh sang peneliti itu
sendiri. Pemahaman ini merupakan hasil dari studi literatur sebelumnya dan atau dari
hasil diskusi secara mendalam dengan tim atau para ahli. Hasil pemahaman ini
digunakan sebagai kerangka pemahaman awal. Pemahaman awal ini kemudian untuk
menyusun suatu pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah semaca guideline
yaitu point-point dalam bentuk kalimat terbuka. Pedoman wawancara disusun
disesuaikan dengan isi draft laporan penelitian. Dengan pedoman wawancara ini
peneliti mencoba daya kreatif untuk mengeksplorasi sasaran penelitiannya.
Sedangkan informan yang baik adalah mereka yang mudah diajak bicara,
mengerti informasi yang dibutuhkan, menerima dan bersedia memberikan informasi
dengan sikap yang senang. Ini artinya, peneliti adalah orang yang ingin mengetahui
banyak hal yang sesuai dengan fokus kajian, sementara informan juga ingin tahu
mengenai siapa dan apa motivasi peneliti juga dampaknya jika informan
menginformasikan sesuatu.
Materi pertanyaan dalam wawancara bisa berstruktur, bisa juga tidak
berstruktur. Yang pertama, adalah serangkaian pertanyaan yang telah disusun secara
teratur. Sedang yang kedua, adalah pertanyaan yang diajukan secara bebas, baik dari
segi urutan pertanyaan maupun redaksionalnya. Wawancara bersifat terbuka di mana
pertanyaan yang telah dipersiapkan berkembang disesuaikan dengan arah
pembicaraan atau hasil jawaban atas pertanyaan terstruktur.
97
Total informan yang diwawancara adalah sepuluh informan. Kesepuluh orang
tersebut adalah tiga kepala redaksi dari Bali Post, NusaBali, Radar Bali, satu orang
wartawan RadarBali, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bangli dan
lima orang calon kepala daerah yang bertarung. Adapun alasan mengapa hanya satu
wartawan yang diwawancara adalah karena wartawan harian NusaBali , Pagar
Manurung yang bertugas di Kabupaten Bangli meninggal dunia sebelum peneliti
berhasil mewawancarai wartawan tersebut.
Dalam melakukan proses wawancara mendalam ini, peneliti menemui
beberapa kesulitan. Kesulitan pertama adalah mencari kesempatan dan waktu yang
dimiliki dari para informan. Dalam mewawancara masing-masing kepala redaksi,
peneliti membutuhkan total waktu sekitar dua hingga tiga minggu. Hal ini
dikarenakan dalam prosesnya, informan mengharuskan peneliti menuliskan surat
dengan melampirkan proposal dan daftar pertanyaan yang akan diajukan. Adapun
waktu yang diperlukan peneliti sejak memasukkan surat permohonan wawancara pun
beragam. Waktu yang terpendek adalah satu minggu yakni Kepala Redaksi NusaBali,
I Ketut Naria, kemudian Direktur Pelaksana Radar Bali, Hari Puspita, dan terlama
adalah Redaktur Pelaksana Harian Bali Post, I Gusti Alit Purnata yang membutuhkan
waktu hingga tiga minggu sejak surat permohonan dikirimkan.
Dalam proses wawancara, ketiga informan ini memiliki tingkat keterbukaan
yang berbeda-beda. I Ketut Naria adalah informan yang cukup terbuka, wawancara
dengan Naria berlangsung pada tanggal 15 Mei 2012 dengan waktu kurang lebih tiga
98
jam di kantor harian NusaBali. Informan berikutnya Hari Puspita cukup banyak
memberikan informasi namun karena wawancara berlangsung dua tahun setelah
proses pemilukada berlangsung maka Hari Puspita mengatakan lebih banyak lupa
secara detail kejadian maupun proses penulisan berita pada saat itu. Wawancara
dengan Hari Puspita berlangsung pada tanggal 22 Mei 2012 dan wawancara
berlangsung cukup panjang sejak pukul 10 pagi hingga pukul 15.00 di sore hari.
Wawancara berikutnya adalah kepada Redaktur Pelaksana Harian Bali Post, I Gusti
Alit Purnata pada tanggal 10 April 2012 di gedung Bali Post jalan Kepundung
Denpasar. Wawancara dengan Alit Purnata cenderung sulit karena Alit Purnata
cenderung menutup diri dan tidak memberikan informasi yang dibutuhkan. Jawaban
yang dilontarkan Alit Purnata cenderung bersifat formal dan idealis bukan fakta yang
sebenarnya terjadi. Alit Purnata pun lebih sering mengasumsikan bahwa semua orang
mengetahui praktik komodifikasi kolom koran Bali Post. Alit Purnata pun lebih
banyak menyuruh peneliti untuk mencari tahu sendiri bagaimana praktik tersebut
berlangsung kepada aktor politik.
Wawancara juga dilakukan kepada salah seorang wartawan Radar Bali yang
bertugas saat pemilukada Bangli yakni Oka Suryawan. Wawancara berlangsung pada
tanggal 22 Maret 2012. Saat wawancara berlangsung, Oka Suryawan sudah tidak lagi
bertugas untuk Radar Bali. Oka Suryawan saat diwawancara telah diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ditempatkan di SMKN 1 Tegalalang Ubud Gianyar.
Wawancara berlangsung di SMKN 1 Tegalalang Ubud Gianyar sejak pukul 9 pagi
99
hingga 11 siang. Wawancara dengan Oka Suryawan memberikan banyak informasi
yang cukup penting untuk mengungkap bagaimana proses pembentukan berita selama
pemilukada di Bangli di Radar Bali. Oka Suryawan pun cukup terbuka karena ia
sudah tidak lagi bekerja untuk Radar Bali sehingga ia dapat dengan terbuka
menyeritakan prosesnya tanpa ada yang ditutupi.
Peneliti pun melakukan wawancara dengan pihak KPUD Bangli. Ketua
KPUD Bangli, Dewa Lidartawan menerima peneliti di kantor KPUD Bangli pada
tanggal 1 Maret 2012. Informasi yang disampaikan Lidartawan cukup penting dan
lengkap karena informasi yang diberikan adalah informasi resmi dari instansi yang
berwenang. Data proses pemilukada yang diberikan oleh pihak KPUD pun cukup
lengkap mulai dari masa pencalonan hingga penetapan pemenang pascapemilihan
ulang di 12 TPS.
Kesulitan peneliti berikutnya adalah mencari waktu dan kesediaan kelima
pasangan calon kepala daerah untuk diwawancarai. Akhirnya peneliti pertama kali
mencari kesediaan waktu dari calon perseorangan I Bagus Ludra. Hal ini dikarenakan
peneliti telah mengenal Ludra sebelum melakukan penelitian ini. Namun karena
kesibukan Ludra, peneliti baru berhasil mewawancara Ludra pada tanggal 11 Maret
2012 di rumah Ludra di Puri Chandra Asri, Denpasar. Wawancara berlangsung sejak
pukul 18.00 hingga pukul 21.00 wita. Ludra cukup terbuka dalam memberikan
informasi dibutuhkan oleh peneliti. Adapun kekurangan informasi yang dibutuhkan
dari Ludra dilakukan melalui telepon. Informan berikutnya yang berhasil
100
diwawancara setelah Ludra adalah I Wayan Gunawan, calon kepala daerah yang
diusung oleh Partai Golkar. Kesulitan dalam melakukan wawancara dengan Gunawan
adalah waktu yang dimiliki Gunawan sangat terbatas. Gunawan pun berulang kali
membatalkan janji wawancara dikarenakan kesibukannya sebagai anggota DPRD
Provinsi Bali dan Ketua DPD Golkar Bangli. Namun akhirnya wawancara dapat
terwujud pada tanggal 12 Juli 2012. Berlatarbelakang ilmu komunikasi dan mengerti
media massa, wawancara dengan Gunawan berlangsung terbuka dan Gunawan
banyak mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui atau diperkirakan
oleh peneliti.
Informan berikutnya adalah I Wayan Arsada. Proses wawancara Arsada pun
tidaklah mudah. Arsada adalah seorang guru dan pada waktu peneliti mencari waktu
wawancara Arsada sedang dalam proses pemenuhan syarat sertifikasi guru di
Singaraja selama dua bulan. Maka peneliti mencoba mencari kesediaan waktu Arsada
di tengah kesibukan Arsada. Wawancara akhirnya berhasil dilakukan pada tanggal 9
Agustus 2012 di hotel tempat Arsada menginap selama pelatihan sertifikasi guru di
Singaraja. Oleh karena Arsada sedang dalam proses pelatihan maka waktu yang
dimiliki beliau pun terbatas yakni hanya sejak pagi hingga siang hari. Pertama kali
Arsada enggan mengungkapkan biaya dan bagaimana hubungan pasangan ini dengan
media cetak, namun setelah proses wawancara akhirnya Arsada pun terbuka dan
memberikan informasi yang dibutuhkan.
101
Informan berikutnya adalah I Made Gianyar. Gianyar adalah pemenang dalam
pertarungan aktor politik di pemilukada Bangli. Sebagai seorang bupati tentu saja
peneliti mengalami kesulitan dalam mencari kesediaan waktu Gianyar. Setelah
memasukkan surat permohonan wawancara, peneliti harus menunggu kurang lebih
satu setengah bulan agar Gianyar bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancarai. Proses wawancara berlangsung di rumah jabatan Gianyar di Bangli
pada tanggal 5 September 2012 pada pukul 9 pagi hingga pukul 10 pagi. Sebagai
seorang bupati jawaban yang dikeluarkan oleh Gianyar cenderung normatif dan tidak
terbuka. Namun setelah ditelisik lebih lanjut Gianyar bersedia memberikan data-data
yang diperlukan peneliti. Gianyar pun memberikan kewenangan kepada asisten
pribadinya untuk memberikan data-data penunjang yang diperlukan oleh peneliti.
Setelah pertemuan singkat dengan Gianyar, apabila ada data yang masih diperlukan
oleh peneliti, peneliti langsung menghubungi asisten pribadi Gianyar yang ternyata
telah bersama Gianyar sejak Gianyar menjabat sebagai wakul bupati Bangli.
Informan yang paling sulit untuk dihubungi dan ditemui berikutnya adalah I
Bagus Made Brahmaputra. Peneliti tidak berhasil menghubungi Brahmaputra melalui
telepon untuk memohon kesediaan Brahmaputra wawancara. Hal ini dikarenakan
telepon Brahmaputra tidak dapat menerima telepon dari nomor-nomor yang tidak
dikehendaki atau terdaftar di telepon Brahmaputra. Akhirnya peneliti mencoba
mencari rumah Brahmaputra di daerah Penatih, Denpasar. Setelah peneliti langsung
ke rumah Brahmaputra, peneliti akhirnya bertemu langsung dengan Brahmaputra
102
pada tanggal 11 Juli 2013. Pertama kali Brahmaputra enggan untuk diwawancara
namun setelah memohon akhirnya Brahmaputra bersedia memberikan informasi yang
dibutuhkan. Ia pun mengungkapkan bahwa ia memang tidak pernah menerima
telepon dari nomor yang tidak tercatat di telepon genggamnya.
3.6.2 Studi Dokumen
Penelitian ini tentu saja menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi
dokumen. Hal ini disebabkan karena ingin mendapatkan data dari kejadian yang telah
lewat. Penelitian studi dokumen berpijak pada data yang ada. Data ini bisa
merupakan sumber primer (primary sources) atau sumber sekunder (secondary
sources). Sumber primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa. Ia dapat berupa
orang atau benda (tape recorder, kamera) yang hadir dalam peristiwa tertentu.
Peneliti sejarah membedakan dua jenis sumber primer : record dan relics. Record
adalah kesaksian mata yang disengaja. Kesaksian seperti ini dapat mengaburkan
penafsiran sejarah dan memerlukan penelitian yang mendalam tentang motivasi
pencatatan kesaksian itu. Record dapat berupa dokumen, rekaman lisan atau karya
seni. Relics adalah rekaman peristiwa yang tidak dimaksudkan untuk merekam
peristiwa sejarah. Catatan neraca keuangan, bahasa, tradisi masyarakat, artifak seperti
peralatan atau mesiu dapat dimasukkan ke dalam kelompok relics.
103
Data harus diteliti dari segi keaslian (otensitas; authenticity) dan kepercayaan
(kredibilitas; credibility). Penelitian segi pertama disebut kritik eksternal. Bila
menggunakan suatu dokumen, ia akan mencatat tanggal dokumen dan menentukan
apakah bahan dokumen berasal dari zaman yang sama. Bila tidak terjadi penyesuaian,
sumber-sumber itu dikatakan anakronitis (tidak sezaman).
Dalam penelitian, peneliti meneliti dokumen-dokumen terkait dengan
pemilukada Bangli. Dokumen yang dimaksud antara lain Undang-Undang yang
terkait dengan Pemilukada dan pemerintahan daerah, dokumen berupa berkas-berkas
pemilukada Bangli yang dikeluarkan oleh KPUD Bangli, dokumen rekapitulasi
perolehan suara hasil rapat pleno KPUD Bangli, hingga berkas keputusan Mahkamah
Konstitusi.
Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah isi dari tiga media
cetak selama proses pemilukada di Bangli yang dijadikan sumber data yakni Bali
Post, NusaBali, dan Radar Bali. Adapun media yang dikumpulkan yakni sejak
tanggal mulai kampanye hingga penetapan pemenang pasca-pemilihan ulang. Adapun
kesulitan dalam mengumpulkan bahan-bahan ini adalah ada beberapa hari yang
terlewatkan dalam proses dokumentasi sehingga peneliti harus ke kantor media
tersebut untuk memohon data yang terlewatkan. Dari data yang akhirnya
terkumpulkan, peneliti menganalisis beragam bentuk komunikasi politik yang
dilakukan kelima pasangan calon kepala daerah dan proses pemilukada di Bangli.
104
Ada beberapa langkah analisis yang dilakukan peneliti. Langkah pertama
dalam melakukan studi dokumen ini adalah memilah dokumen yang ada berdasarkan
bentuk komunikasi politik yang digunakan seperti artikel berita, iklan, advertorial,
dan artikel berita berbayar. Langkah analisis berikutnya adalah menganalisis secara
kuantitatif berapa jumlah bentuk komunikasi politik yang dilakukan masing-masing
pasangan calon. Langkah analisis berikutnya adalah analisis kualitatif atas pesan
komunikasi politik yang dikontruksi di media cetak tersebut.
3.6.3 Observasi
Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan pada riset
kualitatif. Observasi adalah interaksi (perilaku) dan percakapan yang terjadi di antara
subjek yang diriset (Kriyantono,2010:111). Teknik observasi mengedepankan
pengamatan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian.
Hal ini penting untuk mampu menyajikan gambaran realistis perilaku atau kejadian,
menjawab pertanyaan, membantu mengerti perilaku manusia, dan evaluasi yaitu
melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu. Bungin (2007: 115) mengemukakan
beberapa bentuk observasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu obervasi
partisipatif, tidak berstruktur, dan kelompok tidak terstruktur. Penelitian ini
menggunakan observasi tidak berstruktur dimana observasi ini adalah observasi yang
dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau
105
pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati
suatu objek.
Observasi yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengamatan langsung
selama masa kampanye hingga pemilihan ulang. Ada pun pengamatan yang
dilakukan antara lain mengamati alat kampanye luar ruang seperti baliho, spanduk
hingga leaflet, mengamati proses kampanye terbuka beberapa calon kepala daerah,
hingga memperhatikan distribusi koran yang dijadikan sarana komunikasi politik
pada kandidat. Kesulitan yang ditemui dalam melakukan observasi adalah dalam
mendokumentasikan bentuk-bentuk komunikasi politik luar ruang, masyarakat
cenderung tertutup dan tidak bersedia untuk diabadikan dalam foto.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis wacana
kritis. Di mana memandang bahasa sebagai faktor penting, yakni bagaimana bahasa
digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi. Analisis
wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa
dan kondisi. Wacana dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu
konteks tertentu. Guy Cook (1994:1) mengatakan analisis wacana juga memeriksa
konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikaskan dengan siapa dan mengapa;
dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe
106
dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak.
Titik tolaknya adalah bahasa tidak bisa dimengerti sebagai mekanisme interna dari
linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Guy Cook
menyebut terdapat tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan
wacana (Cook, 1994:3).
Untuk menganalisis teks, maka akan digunakan analisis isi teks media yang
cenderung kuantitatif. Menurut Wimmer & Dominick, analisis isi merupakan analisis
yang dioperasikan oleh seperangkat kategori-kategori konseptual yang berkaitan
dengan isi media dan secara kuantitatif menghitung ada atau tidaknya kategori
tersebut dengan tingkat kesulitan yang berbeda-beda.[1] Pendekatan dasar untuk
menerapkan teknik ini adalah memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi. (2)
menetapkan kerangka teori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian,
(3) memilih satuan analisis isi (kata, kalimat, alinea, kisah, gambar, urutan dan
sebagainya (4) menyesuaikan isi dengan kerangka teori per satuan unit yang dipilih
(5) mengungkapkan hasil sebagai distribusi menyeluruh dari semua satuan atau per
contoh dalam hubungannya dengan frekuensi keterjadian hal-hal yang dicari untuk
acuan. Secara singkat maka prosedurnya didasarkan atas dua asumsi utama yaitu
hubungan antara objek acuan eksternal dan acuannya dalam teks akan cukup jelas dan
tidak mendua dan frekuensi perwujudan acuan yang terpilih secara sahih akan
mengungkapkan ”arti” utama teks secara objektif.
107
Menurut Wimmer & Dominick (2000) analisis isi didefinisikan sebagai suatu
metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif,
dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak atau tidak tampak. Analisis isi (content
analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat
ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. (Klaus
Krippendorff:1993 dalam Burhan Bungin, 2003:172).
Analisis isi pada perkembangannya tidak cukup digunakan untuk menekankan
isi pesan sebagai area terpenting dalam analisis ilmu-ilmu sosial. Oleh karenanya
analisis isi secara kuantitatif seperti ini dianggap sebagai cara tradisional dan
berkembang menjadi ilmu analisis wacana, analisis semiotik dan analisis framing.
Kelebihan dari analisis isi adalah mampu menyajikan secara lebih sistematis,
kuantitatif dan deskriptis sementara kekurangannya tidak mampu menganalisis lekaklekuk teks secara lebih detail. Dengan kata lain, analisis isi memiliki keterbatasan
untuk menganalisis isi pesan apalagi sampai ke tingkat ideologis, padahal pesan
dalam sebuah media terlebih media massa merupakan bangunan yang dibentuk dari
struktur bahasa
yang terdiri dari lambang-lambang (sign) dan berfungsi
menyampaikan pesan dari si pengirim pesan melalui penerima pesan. Kurang lebih
bisa dikatakan bahwa pesan dapat dianalisis melalui alat penghantarnya yaitu struktur
tanda itu sendiri.
Sedangkan untuk menganalisis konteks, maka akan digunakan analisis
framing. Analisis framing digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu
108
wacana, khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau
mekanisme
mengenai
bagaimana
berita
membangun,
mempertahankan,
mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi (Eriyanto,2002:xiv). Analisis
framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi media. Dengan
cara apa peristiwa ditekan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang
dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan.
Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk
mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai
media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini realitas
sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna tertentu. Hasilnya, pemberitaan
media pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. semua elemen
tersebut tidak hanya bagian dari tehnik jurnalistik tetapi menandakan bagaimana
peristiwa dimaknai dan ditampilkan (Eriyanto,2002:3).
Dalam analisis ini, yang dilakukan adalah melihat bagaimana media
mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted,
sebaliknya wartawan dan medialah yang secara aktif membentuk realitas. Jadi, dalam
penelitian framing, yang menjadi titik persoalan adalah bagaimana realitas atau
peristiwa dikonstruksi oleh media.
Pendekatan analisis wacana yang digunakan adakah pendekatan perubahan
sosial, di mana memandang wacana sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis
antara praktik diskursif dengan identitas dan relasi sosial. Wacana juga melekat
109
dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu (Eriyanto,2001:17). Analis Norman
Fairclough (1998) membangun analisis wacana yang mempunyai kontribusi dalam
analisis sosial dan budaya, sehingga ia mengkombinasikan tradisi analisis tekstual
dengan konteks masyarakat yang lebih luas. Fairclough membagi analisis wacana
dalam tiga dimensi; teks, discourse practice, dan sociocultural practice. (Eriyanto,
2001:285-286). Penelitian akan mengikuti teknik analisis wacana yang dikenalkan
oleh Fairclough dimana terdiri atas dimensi teks, discourse practice dan sociocultural
practice.
Pada dimensi teks akan digunakan analisis isi secara kuantitatif. Objek
penelitiannya adalah semua bentuk komunikasi yang dilakukan para calon kepala
daerah di Kabupaten Bangli pada pemilukada 2010 melalui media cetak Bali Post,
NusaBali, dan Radar Bali sejak masa kampanye hingga masa pemilihan ulang. Teks
pada tahap ini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan
tata kalimat. Elemen ini digunakan untuk melihat tiga masalah, yakni pertama,
ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam
teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu.
Pada dimensi discourse practice, akan digunakan teknik analisis framing,
dimana mencoba menghubungkan proses produksi dengan konsumsi teks. Sebuah
teks berita pada dasarnya dihasilkan melalui proses produksi teks yang berbeda,
seperti bagaimana pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas dalam menghasilkan berita.
Proses konsumsi teks bisa jadi juga berbeda dalam konteks sosial yang berbeda pula.
110
Konsumsi juga bisa dihasilkan secara personal ketika seseorang mengkonsumsi teks
atau secara kolektif.
Pada dimensi sociocultural practice, akan melihat hubungan dengan konteks
di luar teks. Konteks di sini memasukkan banyak hal, seperti konteks situasi, lebih
luas adalah konteks dari praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya
dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu. Objek penelitian pada kedua
tingkat ini adalah melalui wawancara mendalam kepada wartawan, redaktur media
massa, hingga pelaku/aktor politik.
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data akan disajikan baik dalam bentuk narasi kualitatif dari hasil
analisis data yang melibatkan pemeriksaan, pemilahan, penggolongan, evaluasi,
perbandingan, sintesis, dan perenungan data yang dikodekan serta mengkaji data
mentah dan data yang direkam (Neuman:2013,570). Sebagian besar bentuk analisis
data kualitatif melibatkan coding dan menulis memo analitis (Neuman:2013,594).
Untuk menunjang paparan narasi tersebut maka digunakan pula sajian penunjang
seperti bagan dan tabel. Data yang terkumpul diharapkan mendapat penjelasan lebih
mendalam dalam bentuk narasi yang bersifat kualitatif.
Hasil analisis disajikan dalam delapan bab. Bab I adalah pendahuluan yang
menguraikan latar belakang masalah dan rumusan masalah. Bab II adalah kerangka
111
teori dan konsep yang menyajikan teori yang digunakan dan menguraikan kerangka
konsep yang terkait dengan permasalahan. Bab III adalah metodelogi di mana
menguraikan mengenai metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan. Bab V hingga bab VII adalah analisis utama. Bab V membahas
mengenai bentuk pertarungan aktor politik di media cetak. Bab VI menguraikan
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak.
Bab VII mengulas mengenai dampak dan makna pertarungan aktor politik, temuan
dan refleksi penelitian. Bab terakhir yakni bab VIII adalah bab simpulan dan saran.
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah pertarungan aktor politik dalam media massa pada
pemilukada di Bangli tahun 2010. Objek penelitian terbagi dalam empat bagian,
yakni pemaparan mengenai Kabupaten Bangli. Bagian berikutnya adalah pemilukada
Bangli 2010. Bagian penelitian ketiga adalah pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang bertarung dalam pemilukada Bangli 2010. Bagian keempat adalah
media cetak yang digunakan sebagai tempat bertarung antar aktor politik dalam
pemilukada Bangli 2010.
4.1 Kabupaten Bangli
Kabupaten Bangli merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali dengan
luas wilayah mencapai 520,81 kilometer persegi atau 52.081 hektar, sekitar 9,25
persen dari luas wilayah Propinsi Bali. Secara administratif Kabupaten Bangli dibagi
menjadi 4 kecamatan 4 kelurahan dan 56 desa. Kabupaten Bangli terletak di sebelah
timur laut Kota Denpasar, kota beriklim sejuk ini berjarak 40 kilometer atau satu jam
perjalanan dari Kota Denpasar. Kabupaten Bangli merupakan satu-satunya kabupaten
112
113
di Bali yang tidak mempunyai wilayah laut karena berada di tengah-tengah Pulau
Bali, meski demikian Kabupaten Bangli menyimpan sejumlah potensi menjanjikan
seperti keindahan panorama gunung dan Danau Batur di Kintamani.
Bangli terletak pada ketinggian antara 100 hingga 2.152 meter dari permukaan
laut. Dengan kondisi geografis seperti ini segala jenis tanaman bisa tumbuh di daerah
ini. Secara geografis di bagian selatan Bangli merupakan daerah dataran rendah.
Sementara di bagian utara merupakan wilayah pegunungan. Puncak tertinggi adalah
Puncak Penulisan. Sementara Gunung Batur di Kintamani dengan kepundannya,
Danau Batur memiliki luas sekitar 1.067, 50 hektar.
Selanjutnya mengenai data kependudukan, jumlah dan kepadatan penduduk
Bangli berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten Bangli
sebanyak 192.681 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk tahun 1990-2000 sebesar
0,92% per tahun. Sedangkan dari hasil registrasi penduduk keadaan akhir tahun 2008
penduduk Kabupaten Bangli tercatat jumlahnya 213.808 jiwa dengan laju
pertumbuhan untuk tahun 2000-2008 sebesar 0,41%, dengan kepadatan rata-rata 411
jiwa/km2, sex rationya adalah 99,50. Selain itu juga kepadatan penduduk Bangli
dipengaruhi oleh mutasi penduduk baik yang disebabkan oleh kelahiran, kematian
dan perpindahan yang masuk maupun yang keluar wilayah. Berdasarkan data
registrasi penduduk Kabupaten Bangli tahun 2008 tercatat jumlah kelahiran sebanyak
2.140 orang, kematian sebanyak 1.285 orang. Sedangkan penduduk yang masuk ke
Kabupaten Bangli sebanyak 963 orang dan yang keluar dari Kabupaten Bangli
114
sebanyak 936 orang. Adapun jumlah penduduk dan jumlah data potensial pemilih
pemilu pada pemilukada Kabupaten Bangli 2010 dapat dilihat dalam tabel 4.1..
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
NO
KECAMATAN
JENIS KELAMIN
LAKI PEREMPUAN
JUMLAH
KK
JUMLAH
PENDUDUK
1.
Susut
22.212
21.983
12.075
44.195
2.
Bangli
23.456
23.354
12.156
46.810
3.
Tembuku
20.234
19.864
10.632
40.098
4.
Kintamani
49.181
47.724
24.699
96.905
JUMLAH 115.083
112.925
59.562
228.008
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Dari jumlah penduduk yang mencapai 228.008 jiwa, kecamatan dengan
tingkat penduduk yang tertinggi adalah Kecamatan Kintamani dengan jumlah
penduduk mencapai 96.905 jiwa, hampir dua kali lipat dibandingkan ketiga
kecamatan lainnya di Bangli seperti Kecamatan Susut, Bangli, dan Tembuku. Jumlah
penduduk yang lebih besar di Kecamatan Kintamani ini membuat Kecamatan
Kintamani sebagai kecamatan yang menentukan dalam pemilukada. Kecamatan
Kintamani ini pun tidak pernah melahirkan tokoh yang menjabat sebagai Bupati
Bangli. Karakteristik lainnya adalah jumlah penduduk laki-laki yang lebih besar
daripada jumlah penduduk perempuannya. Jumlah penduduk laki-laki yang lebih
115
besar membuat karakteristik masyarakat di Bangli lebih menonjolkan sifat-sifat yang
lebih maskulin dan keras.
Kawasan permukiman di Kabupaten Bangli dilayani pusat-pusat kegiatan
yang telah bekembang terutama kawasan perkotaan Bangli sebagai ibukota
Kabupaten
Bangli,
Ibukota-ibukota
Kecamatan
(Susut,
Bangli,
Tembuku,
Kintamani), pusat-pusat kegiatan wisata (Penelokan, Toyabungkah), pusat-pusat
pertanian (Catur, Belantih), Pusat Kegiatan Spiritual (Batur) dan lainnya. Beberapa
pemukiman perdesaan atau kawasan perdesaan terutama di wilayah Kecamatan
Kintamani jaraknya cukup jauh dari pusat pelayanan.
Lahirnya sebuah kota tentunya banyak mitos dan sejarah yang mengiringinya,
terdapat sejarah mengenai penetapan hari lahirnya Kota Bangli. Menurut Prasasti
Pura Kehen kini tersimpan di Pura Kehen, diceritakan bahwa pada zaman silam di
Desa Bangli berkembang wabah penyakit yang disebut kegeringan yang
menyebabkan banyak penduduk meninggal. Penduduk lainnya yang masih hidup dan
sehat menjadi ketakutan setengah mati, sehingga mereka berbondong-bondong
meninggalkan desa guna menghindari wabah tersebut. Akibatnya Desa Bangli
menjadi kosong karena tidak ada seorangpun yang berani tinggal di sana.
Raja Ida Bhatara Guru Sri Adikunti Ketana yang bertahta kala itu dengan
segala upaya berusaha mengatasi wabah tersebut. Setelah keadaan pulih kembali sang
raja yang kala itu bertahta pada tahun Caka 1126, tanggal 10 tahun Paro Terang, hari
pasaran Maula, Kliwon, Chandra (senin), Wuku Klurut tepatnya tanggal 10 Mei
116
1204, memerintahkan kepada putra-putrinya yang bernama Dhana Dewi Ketu agar
mengajak penduduk ke Desa Bangli guna bersama-sama membangun memperbaiki
rumahnya masing-masing sekaligus menyelenggarakan upacara/yadnya pada bulan
Kasa, Karo, katiga, Kapat, Kalima, Kalima, Kanem, Kapitu, kaulu, Kasanga, Kadasa,
Yjahstha dan Sadha. Di samping itu beliau memerintahkan kepada seluruh penduduk
agar menambah keturunan di wilayah Pura Loka Serana di Desa Bangli dan
mengijinkan membabat hutan untuk membuat sawah dan saluran air. Untuk itu pada
setiap upacara besar penduduk yang ada di Desa Bangli harus sembahyang.
Pada saat itu juga, tanggal 10 Mei 1204, Raja Idha Bhatara Guru Sri Adikunti
Katana mengucapkan pemastu yaitu; Barang siapa yang tidak tunduk dan melanggar
perintah, semoga orang itu disambar petir tanpa hujan atau mendadak jatuh dari titian
tanpa sebab, mata buta tanpa catok, setelah mati arwahnya disiksa oleh Yamabala,
dilempar dari langit turun jatuh ke dalam api neraka. Bertitik tolak dari titah-titah
Sang Raja yang dikeluarkan pada tanggal 10 Mei 1204, maka pada tanggal tersebut
ditetapkan sebagai hari lahirnya Kota Bangli.
Selain itu pada saat jaman kerajaan Bangli pernah memiliki peran yang amat
penting terutama pada akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 saat itu di Bali
merupakan masa jaya pemerintahan Raja Udayana dan Dinasti Warmadewa.
Berbagai prasasti dan catatan penting tentang sejarah penjalanan Bali banyak
ditemukan di daerah Bangli Pura Bukit Panulisan di utara Kintamani memberi
gambaran penjalanan sejarah Bali. Tatanan masyarakat dan dialek bicara masyarakat
117
di daerah pegunungan Kintamani menunjukkan bahwa Bangli memegang peran
penting dalam sejarah tatanan masyarakat Bali mula hingga kini masih terpelihara
dengan baik.
Kondisi alam Bangli khususnya di wilayah perbukitan dan pegunungan yang
didominasi oleh tebing dan jurang ini membentuk karakter masyarakat yang berbeda
dengan wilayah lainnya. Karakter masyarakat cenderung keras dan sulit menerima
hal-hal yang baru dari luar wilayah mereka. Tidak heran apabila sering terjadi konflik
di Trunyan, Kedisan, Songan, Buahan, yang desanya terletak di wilayah pegunungan.
Konflik yang terjadi bukan konflik antar desa, melainkan konflik antar banjar dalam
satu desa adat yang sama. Tentunya sangat meresahkan kehidupan bermasyarakat
yang seharusnya harmonis, yang terjadi malah perpecahan yang sering dipicu oleh
perebutan lahan.
Pada masa kini di Bangli terjadi sebuah bentrokan. Bentrokan yang terjadi di
Bangli antara masyarakat Desa Songan, Kintamani dengan warga Banjar Kawan,
Bangli yang mengakibatkan satu orang meninggal dunia. Tragedi ini sangat
mencoreng nama Bangli yang terkenal sebagai kabupaten yang bersih, aman,
nyaman, gairah, lestari, dan indah sesuai dengan namanya.
Dialek masyarakat yang khas menjadi daya tarik juga, secara sosiologis
kondisi alam selain mempengaruhi karakter namun juga dialek dalam berbicara
menjadi unik. Walaupun kini Bangli sudah maju dan modern masih banyak
masyarakat di wilayah Bangli yang masih hidup secara tradisonal dan mereka
118
berupaya mempertahankan nilai-nilai tersebut. Seperti yang dapat terlihat pada model
hunian penduduk di daerah Pengotan Panglipuran Bayung Gede Sribatu dan desa
kuno lainnya membuktikan struktur kependudukan yang tertata baik di masa lalu.
Hingga periode 2010/2013 Kabupaten Bangli sudah pernah dipimpin oleh
delapan orang bupati. Periode masa jabatan setiap bupati berbeda-beda dengan masa
jabatan terpanjang adalah Ida Anak Agung Ketut Ngurah yang menjabat sejak tahun
1933 hingga 1960. Hal ini karena Ida Anak Agung Ketut Ngurah adalah Raja Bangli
pada saat itu. Nama-nama Bupati Bangli sebelumnya dapat dilihat dalam tabel 4.2.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tabel 4.2 Bupati Bangli dari Masa ke Masa
Nama Bupati
Periode
Ida Anak Agung Ketut Ngurah
1933 – 1960
Ida Bagus Made Sutha
1960 – 1968
Drs. I Dewa Made Beratha
1968 - 1970
Tjokorde Gde Ngurah
1970 – 1975
I Ketut Winaya
1975 – 1985
Anak Agung Gede Putra, SH
1985 – 1990
Ida Bagus Gede Agung Ladip
1990 – 2000
I Nengah Arnawa, S.Sos, MM
2000 – 2010
I Made Gianyar, SH, M.Hum.
2010 – skrg
Partisipasi masyarakat Bangli dalam politik bisa dikatakan cukup tinggi,
terbukti dengan semakin banyak masyarakat yang peduli dengan calon pemimpin
mereka dan juga kemana arah kebijakan yang akan disusun oleh pemerintah demi
kesejahteraan masyarakat Bangli. Namun, peningkatan partisipasi tersebut tidak
berjalan merata. Di wilayah Bangli pedesaan, surat kabar sulit untuk masuk sehingga
aktualisasi diri masyarakat setempat berkurang, mereka hanya mengandalkan televisi
119
saja untuk mengetahui perkembangan politik di Bangli. Selain itu permainan uang
juga masih banyak terjadi dalam dunia politik di Bangli, seperti saat pemilihan bupati
periode terakhir masyarakat masih banyak yang menantikan diberikan uang oleh para
kandidat, tentunya kondisi ini memprihatinkan.
Secara administratif Kabupaten Bangli terbagi menjadi empat daerah
kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani, Kecamatan Tembuku, Kecamatan Susut dan
Kecamatan
Bangli.
Mempunyai
72
Desa
kelurahan
dengan
332
banjar
dinas/lingkungan. Dari 72 desa/kelurahan tersebut sebanyak 48 desa/kelurahan berada
di Kecamatan Kintamani. Selain desa/kelurahan administratif terdapat juga desa
pekraman sebanyak 159 buah yang merupakan lembaga tradisional yang memiliki
hak otonomi dalam menjalankan pemerintahannya.
Mata pencaharian masyarakat Bangli kota sudah beragam, seperti menjadi
pegawai negeri sipil, bekerja pada bidang pariwisata, dan lainnya. Untuk masyarakat
Bangli pedesaan masih terbatas pada petani, tukang kebun, nelayan, dan juga
pedegang. Secara umum sosialisasi masyarakat Bangli terjalin harmonis mengingat
Bangli merupakan kabupaten yang tidak banyak masyarakat pendatangnya. Selain itu
tingkat pendidikan di Bangli kini semakin meningkat, sehingga semakin banyak
usaha-usaha kreatif yang dibangun untuk mendukung perekonomian masyarakat.
Bangli terkenal sebagai penghasil bambu yang tidak hanya keluar daerah namun juga
keluar negeri. Ini merupakan kesempatan bagi masyarakat Bangli untuk
meningkatkan kreativitas dan perekonomian mereka.
120
4.2 Pemilukada Bangli 2010
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang biasa disebut
Pemilukada adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilukada Bangli 2010 adalah salah satu pemilukada yang dilaksanakan serentak
pada tahun 2010 di Provinsi Bali. Kabupaten/Kota lain yang juga menyelenggarakan
pemilukada adalah Denpasar, Badung, Karangasem, dan Tabanan. Dari lima
kabupaten/kota yang menyelenggarakan pemilukada, pemilukada Bangli dan
Tabanan adalah pemilukada yang cukup panas dan menyedot perhatian masyarakat.
Pemilukada di dua daerah ini berlanjut hingga ke Mahkamah Konstitusi. Proses
pemilukada di Bangli ini adalah pemilukada yang disinyalir terjadi pelanggaranpelanggaran sehingga proses pemilukada di Bangli harus diulang di beberapa Tempat
Pemungutan Suara (TPS). Keputusan untuk mengulang pencoblosan suara di 12 TPS
adalah hasil keputusan dari Mahkamah Konstitusi. Berikut prosesi pemilukada di
Bangli mulai dari pendataan penduduk yang berpotensi atau potensial pemilih
pemilu.
Jumlah penduduk di Kabupaten Bangli mencapai 228 ribu jiwa lebih. Dari
228.008 penduduk, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bangli mencatat
terdapat 173.007 penduduk potensial sebagai pemilih Pemilu. Hal ini dapat dilihat
dalam tabel 4.3..
121
Tabel 4.3 Jumlah Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4)
NO
KECAMATAN
1.
Susut
17.151
17.493
34.644
2.
Bangli
17.804
18.369
36.173
3.
Tembuku
15.382
15.435
30.817
4.
Kintamani
35.851
35.522
71.373
86.188
86.819
173.007
JUMLAH
JENIS KELAMIN
LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
DP4
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Dari data dalam tabel 4.3 diketahui bahwa Kecamatan Kintamani memiliki
jumlah potensial pemilih pemilu yang terbesar dibandingkan Kecamatan lainnya
seperti Susut, Bangli, dan Tembuku. Jumlah pemilih di Kecamatan Kintamani
jumlahnya dua kali lipat dibandingkan jumlah di salah satu Kecamatan lainnya di
Bangli. Setelah mendapatkan jumlah penduduk potensial pemilih maka disusunlah
daftar pemilih sementara. Panitia Pemungutan Suara (PPS) menyusun daftar pemilih
sementara dan telah diumumkan pada tanggal 15 Desember 2009 di wilayah PPS
masing-masing dengan jumlah rekapitulasi dalam tabel 4.4.
Tabel 4.4 Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara
Pemilukada Kabupaten Bangli 2010
NO
1.
KECAMATA
N
Susut
2.
Bangli
82
17.849
18.308
36.157
3.
Tembuku
69
14.652
14.577
29.229
4.
Kintamani
193
34.630
34.035
68.665
430
84.046
84.265
168.311
JUMLAH
JUMLAH
TPS
86
Sumber : KPUD Bangli, 2010
PEMILIH SEMENTARA
LAKI-LAKI PEREMPUAN TOTAL
16.915
17.345
34.260
122
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa jumlah pemilih di Kabupaten Bangli mencapai
168.311 pemilih yang terbagi dalam empat kecamatan. Kecamatan dengan jumlah
pemilih terbanyak adalah di Kecamatan Kintamani yang mencapai 68.665 pemilih.
Jumlah pemilih di Kecamatan Kintamani bahkan mencapai hampir 40 persen dari
total pemilih di Kabupaten Bangli.
Setelah proses penetapan Daftar Pemilih
Sementara (DPS) dilakukan perbaikan untuk menetapkan Daftar Pemilih Tetap
(DPT).
Dari hasil perbaikan Daftar Pemilih Sementara diatas, Daftar Pemilih Tetap
(DPT) Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 diumumkan pada tanggal 1 Pebruari
2010 dengan rekapitulasi seperti dalam tabel 4.5 .
Tabel 4.5 Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap
Pemilukada Kabupaten Bangli 2010
NO.
KECAMATAN
LAKI
PEMILIH
PEREMPUAN
TOTAL
JUMLAH
TPS
1
SUSUT
16.952
17.309
34.261
86
2
BANGLI
17.905
18.365
36.270
85
3
4
TEMBUKU
KINTAMANI
14.593
34.539
14.520
33.977
29.113
68.516
70
193
JUMLAH
83.989
84.171
168.160
434
Sumber: KPUD Bangli, 2010
Jika dibandingkan antara Daftar Pemilih Sementara (DPS) dengan Daftar Pemilih
Tetap (DPT) terdapat selisih sejumlah 151 orang pemilih, selisih tersebut merupakan
hasil perbaikan karena beberapa hal antara lain; meninggal dunia, dibawah umur,
anggota TNI/Polri, data ganda maupun pindah domisili/menikah keluar tempat
123
tinggal. Sehingga daftar pemilih tetap (DPT) Pemilukada Kabupaten Bangli 2010
adalah sejumlah 168.160 (seratus enam puluh delapan ribu seratus enam puluh) orang
pemilih. Namun dalam praktiknya, daftar pemilih tetap ini memicu kontroversi
dimana terdapat nama-nama dalam daftar pemilih tetap yang pada saat hari
pencoblosan tidak memilih sendiri namun diwakilkan. Adanya pemilih yang
diwakilkan ini memicu konflik pemilukada Bangli hingga ke Mahkamah Konstitusi.
KPUD Bangli memulai tahapan berikutnya dalam pemilukada di Kabupaten
Bangli dengan kegiatan sosialisasi pemilukada. Pasangan calon dari partai politik atau
gabungan partai politik yang mendaftarkan diri ke KPUD Bangli adalah sebagai
berikut :
1. Pasangan Calon Drs. I Wayan Gunawan dan A.A. Gede Artjana Agung,
dikenal dengan nama pasangan GUNA dari gabungan partai politik :
Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasional Benteng
Kerakyatan Indonesia (PNBKI).
2. Pasangan Calon I Made Gianyar, SH, M.Hum dan Sang Nyoman Sedana
Arta, yang kemudian lebih dikenal dengan nama pasangan GITA, dari
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3. Pasangan Calon Drs. Ida Bagus Made Brahmaputra, S.Sos, MM dan I
Wayan Winurjaya, SE dari gabungan partai politik : Partai Demokrat,
Partai Pemuda Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
124
Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan
PNI Marhaenisme. Pasangan ini kemudian dikenal dengan nama pasangan
Brahmawijaya.
Sesuai dengan pengumuman Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor
271/38/KPU tanggal 3 Pebruari 2010 pasangan calon perseorangan yang memenuhi
syarat untuk dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Kepala Daerah adalah :
1. Pasangan Calon Drs. Ida Bagus Ketut Agung Ludra dan I Nyoman Durpa,
BA dengan jumlah dukungan sejumlah yang memenuhi syarat sejumlah
16.967 dengan rincian seperti dalam tabel 4.6 di bawah ini.
Tabel 4.6 Rekapitulasi Jumlah Dukungan Calon Perseorangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010
No
Jumlah dukungan
Kecamatan
Hasil verifikasi
yang diajukan
MS
TMS
1.
Bangli
9.006
8.246
760
2.
Susut
3.097
2.739
358
3.
Tembuku
4.511
3.872
639
4.
Kintamani
2.626
2.110
516
JUMLAH
19.240
16.967
2.273
Sumber: KPUD Bangli, 2010
Keterangan :
MS
: memenuhi syarat
TMS : tidak memenuhi syarat
Sumber : KPUD Bangli
2. Pasangan Calon I Wayan Arsada, S.Pd, M.Ag dan Prof. Dr. I Wayan
Lasmawan, M.Pd yang kemudian lebih dikenal dengan nama pasangan
125
ALAs, dengan jumlah dukungan sejumlah 18.802 dengan rincian seperti
dalam tabel 4.7.
Tabel 4.7 Rekapitulasi Jumlah Dukungan Calon Perseorangan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010
Jumlah
HASIL VERIFIKASI
NO KECAMATAN
dukungan yang
diajukan
MS
TMS
1.
Bangli
9.749
8.089
1.660
2.
Susut
3.131
2.677
454
3.
Tembuku
3.967
3.652
315
4.
Kintamani
6.966
4.384
2.582
JUMLAH
23.813
18.802
5.011
Sumber: KPUD Bangli, 2010
Keterangan :
MS
: memenuhi syarat
TMS
: tidak memenuhi syarat
Sumber KPUD Bangli
Dari hasil verifikasi yang dilakukan terhadap dukungan yang diajukan oleh
kedua pasangan calon perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Bangli 2010, telah memenuhi syarat dukungan lebih dari 14.821 sesuai
dengan Syarat Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 yang ditetapkan KPU Kabupaten Bangli
berdasarkan Surat Keputusan Nomor 271/38/KPU tertanggal 4 Desember 2009
tentang Syarat Dukungan Calon Perseorangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010.
Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
ditetapkan dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor :
126
278/18/KPU, tanggal 6 Maret 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010. Pengambilan
nomor urut peserta Pemilukada Kabupaten Bangli 2010 diselenggarakan dalam rapat
pleno KPU Kabupaten Bangli di Gedung Sasana Budaya Giri Kusuma Bangli pada
tanggal 5 Maret 2010 dengan nomor urut sebagai berikut;
Tabel 4.8 Nomor Urut Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati
Nomor Urut
Nama Pasangan
1
Ida Bagus Ketut Agung Ludra - I Nyoman Durpa
2
I Wayan Gunawan - A.A. Gede Artjana Agung (GUNA)
3
I Made Gianyar - Sang Nyoman Sedana Arta (GITA)
4
I Wayan Arsada - I Wayan Lasmawan (ALAS)
5
Ida Bagus Made Brahmaputra - I Wayan Winurjaya
(Brahmawijaya)
Setelah penetapan nomor urut pasangan calon, tahapan pemilukada masuk ke
tahap kampanye Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilakukan
dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis, serta bertanggungjawab dan merupakan
bagian dari pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang
dimaksud adalah dengan mengikutsertakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Kampanye Pemilu Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah dapat dilaksanakan dalam bentuk pertemuan terbatas, tatap
muka dan dialog, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran
melalui radio dan/atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum,
pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, debat publik/debat terbuka
antar calon, dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan,
127
antara lain kegiatan deklarasi atau konvensi pasangan calon oleh partai politik atau
gabungan partai politik, acara ulang tahun/milad, kegiatan sosial dan budaya,
perlombaan olahraga, istighosah, jalan santai, tabligh akbar, kesenian dan bazaar serta
rapat umum.
Pembukaan kegiatan kampanye pasangan calon Pemilukada Kabupaten
Bangli 2010 dilaksanakan pada tanggal 17 April 2010 di Gedung Sasana Budaya Giri
Kusuma Bangli dan ditutup pada tanggal 30 April 2010 dengan kegiatan
persembahyangan bersama dengan seluruh pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah di Pura Kehen Bangli. Seluruh kegiatan kampanye yang
diselenggarakan oleh masing-masing pasangan calon maupun yang difasilitasi oleh
KPU Kabupaten Bangli.
Dalam upaya memfasilitasi kampanye dalam bentuk debat publik/debat
terbuka antar calon, KPU Kabupaten Bangli menyelenggarakan kegiatan debat publik
antar calon yang disiarkan secara langsung melalui media televisi maupun radio.
Kegiatan kampanye dalam bentuk yang lain dilaksanakan oleh pasangan calon
atau tim kampanye masing-masing pasangan calon dengan jadwal yang telah
disepakati oleh masing-masing tim kampanye disusun oleh KPU Kabupaten Bangli.
Pemilukada berlangsung pada tanggal 4 Mei 2010 secara serentak di 434 TPS yang
tersebar di empat kecamatan di Bangli. Pada tanggal 11 Mei 2010, KPUD Bangli
menyelenggarakan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten
Bangli untuk penetapan hasil penghitungan suara pemilukada. Dari hasil
128
penghitungan suara di 434 (empat ratus tiga puluh empat) TPS, rekapitulasi di empat
PPK dan rekapitulasi di KPU, KPU menetapkan rincian perolehan suara masingmasing pasangan calon seperti dalam tabel 4.9.
Tabel 4.9
Data Perolehan Suara Masing-Masing Pasangan Calon Hasil Pleno 11 Mei 2010
NO
SUARA SAH PASANGAN
BANGLI
1
2
3
4
5
Ida Bagus Ketut Agung Ludra
I Nyoman Durpa
I Wayan Gunawan
A.A.Gede Artjana Agung
I Made Gianyar
Sang Nyoman Sedana Arta
I Wayan Arsada,
I Wayan Lasmawan
Ida Bagus Made Brahmaputra
I Wayan Winurjaya
JUMLAH SUARA SAH
KECAMATAN
TEMBUKU
SUSUT
KINTAMANI
JUMLAH
AKHIR
1.524
511
687
1.676
4.398
873
831
791
8.011
10.506
8.612
7.957
7.907
28.416
52.892
3.476
5.224
6.013
9.412
24.125
15.168
9.933
14.686
9.773
49.560
29.653
24.456
30.084
57.288
141.481
534
483
555
1.113
2.685
JUMLAH SURAT SUARA TIDAK SAH
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Usai penetapan hasil pemilukada Bangli oleh KPUD, ternyata terdapat
gugatan atau keberatan dari salah satu pasangan calon, yakni pasangan
Brahmawijaya. Hal ini dimungkinkan dan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Pasangan yang mengajukan keberatan dalah pasangan calon dengan nomor
urut 5 yaitu Pasangan Calon Ida Bagus Made Brahmaputra dan I Wayan Winurjaya
(Brahmawijaya). Brahmawijaya mengajukan keberatan terhadap penetapan Hasil
129
Perhitungan Suara Pemilukada Kabupaten Bangli Tahun 2010 ke Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 2010. Brahmawijaya menyatakan
keberatan terhadap Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli
Nomor 270/28/KPU tertanggal 11 Mei 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon
Terpilih Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Bangli Tahun 2010 yang menetapkan Pasangan Nomor Urut 3, I Made Gianyar, SH,
M.Hum. dan Sang Nyoman Sedana Arta sebagai Pasangan Calon Terpilih Pemilihan
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010.
Brahmawijaya menilai dalam pelaksanaan pemilukada terdapat beberapa kecurangan
dan pelanggaran, seperti pemilih yang diwakilkan, dan pemilih ganda.
Dari keberatan atau gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 3
Juni 2010 menjatuhkan putusan sela dengan Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 dalam
perkara permohonan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Bangli Provinsi Bali yang diajukan oleh Pasangan Calon Nomor
Urut 5 sebelum menjatuhkan Putusan Akhir. Adapun keputusannya adalah
memerintahkan kepada KPU Kabupaten Bangli untuk melakukan Pemungutan Suara
Ulang dan menyerahkan hasil pemungutan suara ulang di beberapa TPS seperti dalam
tabel 4.10.
130
Tabel 4.10 TPS yang melakukan hasil pemungutan suara ulang
No Kecamatan
TPS
1
Kintamani
2
Bangli
3
Tembuku
1) Desa Serai TPS 01,
2) Desa Serai TPS 02,
3) Desa Satra TPS 08,
4) Desa Selulung TPS 02,
5) Desa Pengejaran TPS 01,
6) Desa Sukawana TPS 08,
7) Desa Bantang TPS 01,
8) Desa Bantang TPS 02,
9) Desa Binyan TPS 01,
10) Desa Pengotan TPS 08
1) Desa Yang Api TPS 13,
2) Desa Yang Api TPS 14,
Sumber: KPUD Bangli, 2010
Untuk itu pula Mahkamah Konstitusi menangguhkan berlakunya Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/28/KPU tertanggal 11 Mei 2010
tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 dan Berita Acara Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/391/KPU tertanggal 11 Mei 2010
tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli 2010.
KPUD Bangli sesaat setelah keputusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan
segera bergerak untuk memproses pemungutan suara ulang Pemilukada di 12 TPS
131
yang telah ditentukan. Adapun jadwal yang dilaksanakan adalah seperti tertuang
dalam tabel 4.11.
Tabel 4.11 Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang Pemilukada
Kabupaten Bangli Tahun 2010
No Hari/Tanggal
Kegiatan
1
7 Juni 2010 Rapat Pleno
2
8-13 Juni 2010 Pembentukan KPPS
3
14 Juni 2010 Pelantikan dan Bimtek
4
15-20 Juni 2010 Persiapan Logistik (Sosialisasi)
5
21-23 Juni 2010 Penyampaian Undangan pada Pemilih
6
24-25 Juni 2010 Pengiriman Logistik
7
26 Juni 2010 Pemungutan Suara Ulang
8
27 Juni 2010 Rekapitulasi di PPK
9
28 Juni 2010 Rekapitulasi di KPU
10
29-30 Juni 2010 Pengesahan hasil ke Makamah Konstitusi
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Adapun jumlah DPT di 12 TPS tersebut tertuang dalam tabel 4.12.
Tabel 4.12 Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemungutan Suara Ulang di 12 TPS
Tanggal 26 Juni 2010
NO
KECAMATAN
JUMLAH PEMILIH
LAKI-LAKI PEREMPUAN
190
203
JML
393
JUMLAH
TPS
1
BANGLI
2
TEMBUKU
366
328
694
2
3
KINTAMANI
1.965
1.887
3.852
9
2521
2418
4939
12
JUMLAH KAB .
BANGLI
Sumber : KPUD Bangli, 2010
1
132
Pemungutan suara ulang di 12 TPS di Bangli dilaksanakan pada tanggal 26
Juni 2010. Mekanisme pemungutan dan penghitungan suara sama seperti pada saat
pemungutan dan penghitungan suara sebelumnya. Pemberian suara dilakukan dengan
cara mencoblos pada salah satu pasangan calon dalam surat suara yang berisi nomor,
foto dan nama pasangan calon dan dilaksanakan secara serentak di 12 (dua belas)
TPS dimulai pada pukul 07.00 dan berakhir pukul 13.00. Hasil rekapitulasi
pemungutan suara ulang di 12 (dua belas) TPS dapat dilihat dalam tabel 4.13.
Tabel 4.13 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara
Pemungutan Suara Ulang Pemilukada Kabupaten Bangli 2010
KECAMATAN
NO
SUARA SAH PASANGAN CALON
1
Ida Bagus Ketut Agung Ludra
I Nyoman Durpa
2
I Wayan Gunawan
A.A.Gede Artjana Agung
3
I Made Gianyar
Sang Nyoman Sedana Arta
4
I Wayan Arsada
I Wayan Lasmawan
5
Ida Bagus Made Brahmaputra
I Wayan Winurjaya
JUMLAH SELURUH SURAT SUARA SAH
JUMLAH SELURUH SURAT SUARA TIDAK
SAH
JML
AKHIR
BANGLI
TEMBUKU
SUSUT
KINTAMANI
3
2
-
18
23
-
3
-
20
23
192
278
-
2.542
3.012
5
7
-
24
36
152
300
-
820
1.272
352
5
590
5
-
3.424
40
4.366
50
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Dari hasil pemungutan suara ulang di 12 TPS tersebut, KPUD Bangli
selanjutnya melakukan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan
133
Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tingkat Kabupaten Bangli Tahun
2010. Adapun hasilnya adalah seperti dalam tabel 4.14.
Tabel 4.14 Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara
Pemilukada Bangli Tahun 2010
NO
KECAMATAN
SUARA SAH PASANGAN CALON
BANGLI
TEMBUKU
SUSUT
KINTAMANI
JUMLAH
AKHIR
1.525
513
687
1.666
4.391
843
765
791
7.767
10.166
8.732
8.106
7.907
28.726
53.471
3.274
5.006
6.013
3.951
23.244
15.248
9.967
14.686
9.981
49.882
29.622
539
24.357
486
30.084
555
57.091
1.133
141.154
2.713
Ida Bagus Ketut Agung Ludra
I Nyoman Durpa
I Wayan Gunawan
2
A.A.Gede Artjana Agung
I Made Gianyar
3
Sang Nyoman Sedana Arta
I Wayan Arsada
4
I Wayan Lasmawan
Ida Bagus Made Brahmaputra
5
I Wayan Winurjaya
JUMLAH SELURUH SURAT SUARA
SAH
JUMLAH SELURUH SURAT SUARA
TIDAK SAH
1
Sumber : KPUD Bangli, 2010
Terdapat perbedaan jumlah suara sah yang dimiliki oleh tiap-tiap pasangan calon.
Pasangan Bramawijaya yang sebelumnya memperoleh 49.560 suara setelah
pemilihan ulang jumlah suaranya naik menjadi 49.882 suara. Pasangan GITA pun
mengalami kenaikan jumlah suara. Bahkan kenaikan jumlah suara yang dialami
GITA naik cukup signifikan yakni dari 52.892 menjadi 53.471 suara sah. Hasil ini
mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan penetapan pemenang pemilukada
Bangli 2010, yakni pasangan GITA.
134
Secara umum jika dibandingkan antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) sejumlah
168.160 dengan tingkat kehadiran pemilih dalam menggunakan hak pilihnya
sejumlah 143.867 maka dapat digambarkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat
yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah kabupaten Bangli Tahun 2010 adalah sebesar 85,55 % dengan
demikian hanya 14,45 % pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten Bangli Tahun
2010. Angka partisipasi ini termasuk dalam kategori yang cukup tinggi apabila
dibandingkan dengan daerah lain, maupun di tingkat provinsi Bali sendiri. Pada
pemilu legislatif 2009 lalu berdasarkan data KPU Provinsi Bali, angka golput atau
pemilih yang tidak menggunakan suaranya bahkan mencapai 26 persen. Oleh karena
itu angka golput yang hanya 14,45 persen di Bangli jauh lebih rendah, hal ini
menunjukkan kesadaran politik masyarakat di Bangli untuk menggunakan hak
suaranya sudah cukup tinggi. Angka kesadaran politik dapat dilihat dalam grafik 4.1.
135
Grafik 4.1
Tingkat Partisipasi Masyarakat
Dalam Menggunakan Hak Pilih
24.293
Menggunakan Hak Pilih
143.867
Tidak Menggunakan Hak Pilih
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli Tahun 2010 tersebut di atas
lebih lanjut sebagai dasar penetapan pasangan calon terpilih yang ditetapkan dengan
Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli Nomor 270/30/KPU
tertanggal 12 Juli 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Bangli 2010, menetapkan Pasangan Calon I Made
Gianyar, SH, M.Hum. dan Sang Nyoman Sedana Arta memperoleh suara lebih dari
30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan
suaranya terbesar dengan perolehan 53.471 suara (37,88%) ditetapkan sebagai
pasangan Calon Terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Bangli
Tahun 2010.
136
4.3 Aktor Politik
Aktor politik yang dijadikan objek penelitian adalah tokoh yang menjadi
calon kepala daerah dalam pemilukada di Bangli 2010, juru kampanye atau juru
bicara pasangan calon pemilukada, hingga perwakilan partai politik yang mengusung
pasangan calon kepala daerah dalam pemilukada Bangli 2010.
4.3.1 Pasangan Ida Bagus Ketut Agung Ludra- I Nyoman Durpa
Pasangan dengan nomor urut satu ini adalah pasangan yang mendaftar melalui
jalur perseorangan. Ida Bagus Ketut Agung Ludra lahir di Bangli pada tanggal 1
April 1963 dan bertempat tinggal di Jl. Nusantara 117 Banjar Brahmana Bukit,
Kelurahan Cempaga, Bangli. Ida Bagus Ketut Agung Ludra adalah anak keempat dari
mantan Bupati Bangli atas nama Ida Bagus Suta. IBK Agung Ludra memiliki
Sembilan saudara kandung di antaranya adalah Ida bagus Gede Agung Ladip yang
telah menjadi Ida Pedanda Gede Nyoman Putra.
IBK Agung Ludra adalah seorang pegawai negeri sipil di tingkat provinsi Bali
sejak tahun 1987. Karirnya dimulai sebagai staf dinas kebudayaan provinsi Bali.
Namun pada tahun 2003, IBK Agung Ludra menjabat sebagai Kasubbag Teknis dan
Humas KPU Provinsi Bali hingga tahun 2009. Pada tahun 2009 hingga 2013 IBK
Agung Ludra menjabat sebagai Kasubbag Penyajian dan Pemberitaan Biro Humas
Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Bali.
137
Foto 4.1 Pasangan Ludra-Durpa, (Dok : KPUD Bangli, 2010)
IBK Agung Ludra menamatkan pendidikan sekolah dasar pada tahun 1975
dari SDN 3 Bangli. IBK Agung Ludra pun berhasil menamatkan pendidikan sekolah
menengah pertama dari SMPN 1 Bangli pada tahun 1979. Namun IBK Agung Ludra
menyelesaikan sekolah menengah atas di Kota Denpasar yakni di SMAN 3 Denpasar.
IBK Agung Ludra mendapatkan gelar sarjana (S1) bidang sosial politik dari
Universitas Ngurah Rai pada tahun 1982.
138
Calon wakil bupati dengan nomor urut satu (1) adalah I Nyoman Durpa BA.
Nyoman Durpa lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1958. I Nyoman Durpa
bertempat tinggal di Desa Satra Kintamani, Bangli. I Nyoman Durpa menamatkan
pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Satra pada tahun 1972. Namun pendidikan
sekolah menengah pertama I Nyoman Durpa ditempuh di SMPN 2 Singaraja dan
lulus pada tahun 1975. Kemudian I Nyoman Durpa melanjutkan ke SPGN Denpasar
dan lulus pada tahun 1980. I Nyoman Durpa rupanya tertarik pada seni sehingga
memilih ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) ketika lulus SPGN.
I Nyoman Durpa adalah seorang pegawai negeri sipil khususnya sebagai guru.
Karir mengajarnya dimulai sebagai guru SMAN 1 Bangli pada tahun 1986, kemudian
menjadi guru SGON Singaraja pada tahun 1991. I Nyoman Durpa akhirnya menjadi
penilik kebudayaan hingga tahun 2000, kemudian menjadi penilik PAUD pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Buleleng hingga mencalonkan diri sebagai calon wakil bupati
Bangli. Walau lahir di Bangli, Durpa sejak SMP sudah berdomisili di Singaraja. Di
luar karirnya sebagai pendidik, I Nyoman Durpa dikenal luas di masyarakat sebagai
pemain kesenian dari sanggar Padepokan Seni Dwi Mekar. Lewat seni-budaya itulah
ia kemudian dikenal oleh banyak kelompok masyarakat di Bangli. Kelompokkelompok masyarakat dari Bangli mendukungnya untuk menjadi calon wabup
mendampingi calon bupati Ida Bagus Ketut Agung Ludra.
Dengan berlatarbelakang sebagai anak mantan Bupati Bangli yang berhasil
serta berasal dari griya yang terpandang dan bersanding dengan calon wakil bupati
139
dengan latar belakang budaya yang kuat sebagai seorang seniman, pasangan ini
memiliki citra sebagai pasangan yang bercitarasa budaya tinggi, dan siap memajukan
Bangli melalui seni budayanya.
Kekuatan pasangan ini adalah pada kekuatan modal simbolik. Menurut ahli
sosilogi Perancis, Pierre Bourdieu (1986) modal simbolik berasal dari kehormatan
dan prestise seseorang. Dalam hal ini calon kepala daerah IB Ludra memiliki modal
simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise bapak IB Ludra yakni IB Suta. IB
Ludra pun memperoleh kekuatan modal simbolik dari kakaknya yakni IB Agung
Ladip. Modal yang dimiliki oleh calon wakil kepala daerah pasangan ini adalah
modal budaya. Modal budaya memiliki beberapa dimensi yaitu, pengetahuan obyektif
tentang seni dan budaya, cita rasa budaya dan prefensi, kualifikasi-kualifikasi formal,
kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis, hingga kemampuan
untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk. Sebagai
seorang seniman dan budayawan, I Nyoman Durpa memiliki kekuatan di bidang
budaya dan seni. Bahkan dalam berkampanye pasangan ini mengandalkan mediamedia seni budaya seperti pertunjukan kesenian. Pasangan ini pun mengakui bahwa
mereka tidak memiliki modal ekonomi yang kuat, sehingga keduanya hanya
mengandalkan modal simbolik dan modal budaya.
140
4.3.2
Pasangan Wayan Gunawan – A.A. Gde Artjana Agung
Pasangan nomor urut 2 ini diusung oleh gabungan partai politik yakni Partai
Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai
Hati Nurani Rakyat (HANURA), dan Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia
(PNBKI).
Wayan Gunawan lahir di Batur pada tanggal 14 Juli 1959. Wayan Gunawan
bertempat tinggal di Desa Batur Tengah Kecamatan Kintamani Bangli. Wayan
Gunawan menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Kintamani dan lulus pada
tahun 1971. Wayan Gunawan kemudian melanjutkan pendidikan sekolah menengah
pertama di SMPN 3 Bogor dan lulus pada tahun 1975. Wayan Gunawan menamatkan
SMA juga di kota Bogor, yakni di SMA Kristen Tunas Harapan Bogor tahun 1979.
Wayan Gunawan melanjutkan di jurusan ilmu jurnalistik, komunikasi, IISIP Jakarta
dan lulus pada tahun 1990.
Wayan Gunawan sejak tahun 1991 telah menjabat sebagai Ketua Kosgoro
Bangli, dan telah menjadi anggota DPRD Bangli sejak tahun 1992 hingga tahun
2004. Karir politiknya terus menanjak naik, pada tahun 2004, Wayan Gunawan
berhasil menjadi Ketua Komisi III DPRD Provinsi Bali. Periode berikutnya yakni
tahun 2009/2014 Wayan Gunawan menjadi Ketua Fraksi Golkar DPRD Prov. Bali.
141
Foto 4.2 Pasangan GUNA (Dok : KPUD Bangli, 2010)
Selain karir politik, Wayan Gunawan tercatat sebagai ketua PHRI Bangli pada
tahun 1999 hingga 2003. Wayan Gunawan pun menjadi Wakil Ketua PHRI Bali
tahun 2005 – 2009. Wayan Gunawan pun pernah menjabat sebagai wakil Ketua Bali
Tourism Board pada tahun 2001 hingga 2004.
Calon Bupati Wayan Gunawan didampingi oleh calon wakil bupati, Anak
Agung Gde Artjana Agung. A.A. Gde Artjana Agung lahir di Bangli pada tanggal 31
Desember 1950. A.A. Gde Artjana Agung adalah purnawirawan kepolisian yang
142
berasal dari Puri Agung Bangli, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, Kabupaten
Bangli. A.A. Gde Artjana Agung memiliki tiga orang putra dan berprofesi sebagai
seorang polisi.
A.A. Gde Artjana Agung menamatkan sekolah dasar di sekolah rakyat nomor
1 Bangli pada tahun 1963. A.A. Gde Artjana Agung kemudian melanjutkan studinya
di SMP Negeri 1 Bangli, dan berhasil tamat pada tahun 1969. Usai menamatkan
SMP, A.A. Gde Artjana Agung melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas di
SMAN1 Bangli. Usai SMA, A.A. Gde Artjana Agung mendaftarkan diri ke
kepolisian.
Dengan latar belakang partai politik yang kuat seperti Golkar, maka pasangan
ini diharapkan mendapat dukungan penuh dari mesin partai Golkar. Pemilihan calon
wakil bupati A.A. Gde Artjana Agung yang merupakan mantan polisi dan berasal
dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu menarik massa.
Gunawan sebelumnya diperintahkan oleh DPP Golkar untuk berpasangan
dengan IB Brahmaputra apabila ingin turun di Pemilukada Bangli. Namun apabila
bergabung dengan IB Brahmaputra yang mengendarai Partai Demokrat, maka
Gunawan diposisikan sebagai wakil bupati. Tawaran ini ditolak Gunawan. Gunawan
tetap memutuskan untuk turun sebagai Calon Bupati dan menampik keputusan dari
DPP Golkar saat itu dengan segala konsekuensinya. Dampak dari keputusannya yang
tidak ingin disandingkan dengan IB Brahmpautra adalah tidak adanya dukungan dari
DPP Golkar, Gunawan dibiarkan berjuang sendiri. Oleh karena itu Gunawan
143
mengandeng Artjana yang berasal dari salah satu Puri di Kabupaten Bangli. Hal ini
dilakukan dengan harapan dapat mendongkrak perolehan suara pasangan ini. Artjana
sebagai mantan polisi pun diharapkan mampu membuat citra pasangan ini lebih baik
di mata masyarakat.
Pasangan dengan nomor urut 2 ini dapat dikatakan kurang memiliki kekuatan
modal yang menonjol dari keempat modal yang diuraikan Bourdieu. Gunawan
sebagai ketua DPD Golkar Bangli 2010 memiliki kekuatan modal sosial dengan
jaringan partai politik yang ia gunakan. Gunawan memilih Artjana sebagai wakilnya
dengan harapan dapat memperkuat pertarungan dengan kekuatan modal simbolik.
Artjana sebagai mantan polisi dan berasal dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu
untuk menjadi kekuatan modal budaya dan simbolik.
4.3.3
Pasangan I Made Gianyar – Sang Nyoman Sedana Arta
Pasangan dengan nomor urut 3 , I Made Gianyar SH M.Hum – Sang Nyoman
Sedana Arta diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai
terbesar di DPRD Bangli. I Made Gianyar SH M.Hum, pada periode 2005/2010 telah
menjabat sebagai wakil bupati Bangli mendampingi I Nengah Arnawa. I Made
Gianyar lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1964. I Made Gianyar bertempat
tinggal di jalan Brigjen Ngurah Rai no. 22 Bangli, Bali. I Made Gianyar mengawali
karirnya sebagai guru dan dosen.
144
Foto 4.3 Pasangan GITA (Dok : KPUD Bangli, 2010)
I Made Gianyar menamatkan sekolah dasar di SD Bunutan pada tahun 1976, dan
melanjutkan studi ke SMP Kintamani pada tahun 1980. I Made Gianyar mengeyam
pendidikan sekolah menengah atas di SMA PGRI I Badung dan lulus pada tahun
1983. I Made Gianyar memilih untuk mengambul Ilmu Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Mataram dan berhasil tamat pada tahun 1989. Lalu I Made Gianyar
kembali melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi yakni mengambil program
145
studi Hukum Keperdataan (Hukum Lingkungan) dari Universitas Gajah Mada
Yogyakarta dan berhasil tamat pada tahun 1997.
I Made Gianyar berdampingan dengan calon wakil bupati yakni Sang
Nyoman Sedana Arta. Sang Nyoman Sedana Arta lahir di Banjar Sulahan, Susut,
Bangli pada tanggal 15 November 1972. Sang Nyoman Sedana Arta beralamat
tempat tinggal di Dusun Sulahan, Susut, Bangli. Sang Nyoman Sedana Arta
sebelumnya adalah seorang anggota DPRD Provinsi Bali dari Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dari dapil Kabupaten Bangli.
Sang Nyoman Sedana Arta menamatkan sekolah dasar di SDN 1 Sulahan
pada tahun 1984. Sang Nyoman Sedana Arta kemudian melanjutkan ke SMPN 1
Sulahan dan berhasil tamat pada tahun 1987. Sang Nyoman Sedana Arta menamatkan
sekolah menengah atas di SMAN 1 Bangli pada tahun 1990 dan melanjutkan ke
diploma III bidang pariwisata Universitas Udayana dan lulus pada tahun 1993.
Berangkat dari partai besar seperti PDI Perjuangan membuat pasangan ini
mendapat dukungan penuh dari seluruh partisan partai yang dikenal loyalis ini.
Walaupun Gianyar bukanlah seorang partisan partai PDIP, Gianyar dinilai dekat dan
memiliki elektabilitas yang tinggi di Bangli. Menurut Gianyar, saat PDIP akan
mengusungnya, Gianyar tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa calon
pasanganya. Ia mengatakan bahwa ia pasrah dan menyerahkan keputusannya ke DPD
PDIP. Berangkat dari partai besar maka kekuatan modal terbesar pasangan ini adalah
modal sosial. Modal sosial yang dimaksud Bourdieu berupa hubungan-hubungan
146
sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Partai
besar yakni PDIP memiliki kekuatan politik jaringan partai yang dikenal militan dan
loyal.
4.3.4
Pasangan I Wayan Arsada - I Wayan Lasmawan
Pasangan dengan nomor urut 4 adalah pasangan perseorangan atas nama I
Wayan Arsada S.Pd M.Ag dan Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd. Pasangan ini
lolos setelah KPU Kabupaten Bangli menerima rekapitulasi pendukung pasangan ini
yang memenuhi syarat 12.536 orang.
I Wayan Arsada lahir di Bangli pada tanggal 31 Desember 1967. I Wayan
Arsada bertempat tinggal di Lingkungan Banjar Gunaksa Kelurahan Cempaga,
Kecamatan Bangli. I Wayan Arsada dikenal sebagai seorang guru di SMPN. I Wayan
Arsada sendiri menamatkan sekolah dasar di SDN 3 Cempaga pada tahun 1982, dan
melanjutkan ke SMPN 1 Bangli lulus pada tahun 1985. I Wayan Arsada kemudian
menamatkan SMA di SMAN 1 Bangli pada thun 1988. I Wayan Arsada lalu
melanjutkan studi tingkat tinggi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan
Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial di Universitas Dwijendra Denpasar pada tahun
1993, dan lulus pada tahun 1997. Usai menamatkan pendidikan sarjana, I Wayan
Arsada melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi yakni di Program Pascasarjana
147
dengan jurusan Magister Agama Program Studi Ilmu Pendidikan Agama di Institut
Hindu Dharma Negeri Denpasar, dan lulus pada tahun 2006.
Foto 4.4 Pasangan ALAS (Dok : KPUD Bangli, 2010)
Sejak kuliah, I Wayan Arsada telah aktif berorganisasi, ia bahkan sempat
menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Perguruan Tinggi FKIP UNUD Singaraja. I
Wayan Arsada tercatat sebagai Pengurus KNPI Bangli pada tahun 2005 hingga 2009.
I Wayan Arsada memang telah dikenal sebagai seorang pendidik. Di antaranya I
Wayan Arsada pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP/SMA Gurukula
Bangli, Guru di SMAN 1 Susut dan menjadi dosen tidak tetap (DTT) di IHDN
Denpasar sejak yahun 2001.
148
Pasangan calon wakil bupati I Wayan Arsada adalah I Wayan Lasmawan. I
Wayan Lasmawan lahir di Desa Bonyoh, pada tanggal 21 Februari 1967. I Wayan
Lasmawan bertempat tinggal di Desa Bonyoh, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli.
I Wayan Lasmawan menamatkan sekolah dasar di SDN 1 Manukaya dan
melanjutkan ke SMP Amarawati di Tampak Siring, dan SMA Lab UNUD Singaraja.
I Wayan Lasmawan melanjutkan studi pendidikan tinggi ke Universitas Udayana,
fakultas Perguruan dan Ilmu Pendidikan, jurusan Pendidikan Moral Pancasila dan
Kewarganegaraan dan lulus pada tahun 1991. I Wayan Lasmawan lalu melanjutkan
ke tingkat magister di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung hingga tingkat
Doktor di bidang pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Kini I Wayan Lasmawan
dikenal sebagai seorang guru besar dari Universitas Ganesha Singaraja dengan gelar
Doktor Pendidikan Ilmu Sosial.
Dari paparan di atas, kekuatan modal pasangan ini adalah kombinasi antara
modal sosial dan budaya. Modal sosial yang dimiliki Arsada adalah dirinya sebagai
kepala sekolah dan ia memiliki asrama dan sekolah bagi anak-anak yang kurang
mampu. Pasangannya yakni I Wayan Lasmawan memiliki kekuatan di modal budaya
dimana ia tercatat sebagai professor dimana memiliki pendidikan tinggi dan menjadi
akademisi di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
149
4.3.5
Pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra - I Wayan Winurjaya
Foto 4.5 Pasangan Brahmawijaya (Dok : KPUD Bangli, 2010)
Pasangan Nomor Urut 5 yakni pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra dan
Ida Wayan Winurjaya. Pasangan ini diusung oleh gabungan partai politik yakni Partai
Demokrat, Partai Pemuda Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) dan PNI
Marhaenisme.
150
Ida Bagus Made Brahmaputra lahir di Bangli, pada tanggal 20 Agustus 1956.
Ida Bagus Made Brahmaputra bertempat tinggal di Dusun Demulih, Desa Demulih,
Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Brahmaputra dikenal sebagai camat di
Kecamatan Kintamani dan Denpasar. Awal mula kariernya sebagai Kasi Pajak dan
Pendapatan Pemerintah Kabupaten Bangli sebelum menjadi Kasubag Penyusunan
Pelaksanaan Program Pemerintah Kabupaten Bangli. Ida Bagus Made Brahmaputra
memulai menjadi camat di Kintamani, lalu menjabat Camat Bangli sebelum menjadi
Camat di Denpasar Timur lalu menjadi Camat di Denpasar Barat. Jabatan terakhir Ida
Bagus Made Brahmaputra adalah sebagai Kepala Dinas Trantib Kodya Denpasar.
Brahmaputra menamatkan sekolah dasar di SDN 6 Denpasar pada tahun 1969
dan SMPN I Bangli pada tahun 1972. I Bagus Made Brahmaputra menamatkan
sekolah menengah atas di SMAN 1 Bangli 1975 dan kemudian melanjutkan ke
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) NTB pada tahun 1983 dengan jurusan
ilmu pemerintahan. Ida Bagus Made Brahmaputra kemudian kembali mengambil
program sarjana di Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Departemen Dalam Negeri
dalam program studi ilmu pemerintahan jurusan perencanaan pembangunan. Ida
Bagus Made Brahmaputra lulus pada tahun 1990. Ida Bagus Made Brahmaputra
kembali melanjutkan studinya dalam program magister di Universitas 17 Agustus
1945 Surabaya di bidang magister manajemen.
151
Brahmaputra cukup aktif berorganisasi diantaranya sebagai Ketua ORARI
Bangli, Badan Pengawas Koveri Susut, Ketua FKPPU Bangli. Bahkan I Bagus Made
Brahmaputra pernah menjabat sebagai wakil ketua DPD Golkar Kab. Bangli.
Pasangan Ida Bagus Made Brahmaputra adalah I Wayan Winurjaya. I Wayan
Winurjaya lahir di Singaraja pada tanggal 9 Januari 1968. Winurjaya beralamat di
Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani, Bangli. I Wayan Winurjaya dikenal
sebagai pengusaha di bidang restoran. Ia menjabat sebagai General Manager
Lakeview Hotel dan Restaurant.
I Wayan Winurjaya menamatkan sekolah dasar menyambung di SDN 2 Batur
Tengah, SDN 26 Singaraja dan akhirnya tamat di SDN 2 Kesiman Denpasar Timur. I
Wayan Winurjaya melanjutkan ke SMPN 3 Denpasar pada tahun 1983 dan SMAN 1
Denpasar tamat pada tahun 1986. I Wayan Winurjaya kemudian melanjutkan studi ke
Universitas Udayana, Fakultas Ekonomi dengan jurusan Akuntansi dan berhasil tamat
pada tahun 1994.
I Wayan Winurjaya sangat aktif terlibat dalam organisasi, di antaranya adalah
sebagai Dewan Penasehat Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), Dewan
Penasehat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ketua Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Bangli, Dewan Penyantun Komite
Olahraga Nasional Indonesia kab Bangli. I Wayan Winurjaya sempat mendapat
penghargaan sebagai Pemuda Pelopor tingkat Kabupaten Bangli pada tahun 2000
oleh Bupati Bangli.
152
Pasangan dengan nomor urut lima ini memiliki beberapa kombinasi kekuatan
modal. Modalnya antara lain modal budaya dan simbolik yang dimiliki IB
Brahmaputra, yakni sebagai mantan camat Kintamani yang berhasil kemudian modal
simbolik dimana dirinya berasal dari Griya terpandang di Bangli. Modal berikutnya
yang dimiliki pasangan ini adalah modal ekonomi yang cukup besar. Modal ekonomi
ini berasal dari calon wakil kepala daerah yakni Winurjaya. Winurjaya sebagai
pengusaha pariwisata yang tergolong sukses tentu saja memiliki kekuatan ekonomi.
4.4 Media Massa
Media Massa yang dijadikan bagian penting dari penelitian ini adalah tiga
media cetak yang memiliki tiras tertinggi di Bali, yakni Harian Bali Post, Harian
NusaBali, dan Harian Radar Bali. Ketiga media cetak ini dipilih karena ketiga media
cetak ini adalah media cetak yang beredar di Bangli dengan tingkat oplah cukup
tinggi. Berikut latar belakang dan penjelasan mengenai ketiga media ini yang diolah
dari beragam sumber.
4.4.1
Harian Bali Post
Harian Bali Post adalah koran terbesar yang ada di Bali sejak Agustus 1948.
Bali Post pun telah lama tumbuh dan berkembang di Provinsi Bali sejalan dengan
sejarah pers di Bali. Lahirnya Bali Post tidak dapat terlepas dari sosok pendirinya
153
yakni Ketut Nadha. Dalam kaitan sejarah dan perjalanan pers di Bali, jebolan Taman
Dewasa Denpasar tahun 1943 ini juga dikenal sebagai sosok yang mengutamakan
perjuangan dan berkarya. Ketika usianya sekitar 17 tahum, K.Nadha muda sudah
bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun yang dipimpin oleh seorang Jepang.
Bali Shimbun tidak bertahan lama. Tahun 1945 ketika Jepang kalah atas
sekutu, Bali Shimbun dipersiapkan untuk tidak terbit. Namun, K. Nadha secara diamdiam telah membulatkan tekad untuk meneruskan perjuangan dengan menerbitkan
koran perjuangan. Berjuang untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik
Indonesia yang pada saat itu masih terancam. Ternyata rencana ini mendapat
dukungan rekan K. Nadha seperti I Gusti Putu Arka. Selama masa persiapan antara
tahun 1946 hingga 1947, K. Nadha mendirikan perpustakaan merangkap penjualan
buku. Barulah pada tahun 1948, tepatnya pada tanggal 16 Agustus, K. Nadha berhasil
menerbitkan “Suara Indonesia”. Koran ini dicetak dengan tehnik cetak handset.
“Suara Indonesia” inilah yang menjadi cikal bakal surat kabar Bali Post. Suara
Indonesia terbit perdana pada tanggal 16 Agustus 1948. Penerbitnya Badan Penerbit
Suara Indonesia dimana K. Nadha sebagai perintis bersama Made Sarya Udayana dan
I Gusti Putu Arka. Keduanya merupakan teman seperjuangan K.Nadha ketika bekerja
sebagai wartawan surat kabar Bali Shimbun.
Penerbitan Suara Indonesia saat itu masih dalam bentuk sederhana, dengan
motto dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menjelang usia ke-18, Suara
Indonesia berubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali. Belum genap setahun nama
154
itu disandang, koran perjuangan rakyat Bali ini berubah nama menjadi Suluh
Marhaen edisi Bali. Perubahan ini mengacu pada ketentuan pemerintah, bahwa
semua penerbitan harus berafiliasi dengan organisasi partai politik dan instansi yang
ada. Nama itu disandang hingga pergantian tahun 1972. Pada tahun 1972 setelah
demokrasi terpimpin tidak diberlakukan lagi dan penerbitan pers dibebaskan dari
keharusan berafiliasi, maka dipakai kembali nama Suara Indonesia. Namun
Departemen Penerangan Republik Indonesia tidak menyetujui, karena di Malang
sudah terdapat surat kabar dengan nama yang serupa, hingga akhirnya berubah
namanya menjadi Bali Post hingga saat ini. Nama ini diperkuat dengan akta no.9
notaris A. Syarifuddin pada tanggal 10 Januari 1973 dengan badan penerbit PT Bali
Press. Selanjutnya pada tanggal 1 Februari 1974 dengan akta no.1 diadakan lagi
perubahan nama badan penerbit menjadi PT Percetakan dan Penerbit Bali Post,
disingkat Bali Post.
K. Nadha meninggal dunia pada tahun 2001. Selepas kepemimpinan
K.Nadha, pucuk kepemimpinan dipegang oleh putra K. Nadha, ABG Satria Naradha
yang bertindak sebagai penanggungjawab Bali Post. Satria selama 10 tahun
sebelumnya menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Pemimpin Perusahaan
Bali Post.
155
4.4.2
Harian NusaBali
Harian NusaBali adalah salah satu harian dengan tiras tertinggi di Bali. Harian
ini dahulu di masa awal kelahirannya dikenal sebagai media yang berafiliasi dengan
tentara nasional Indonesia (TNI). Harian NusaBali, pertama kali lahir pada tahun
1966 sebagai surat kabar Angkatan Bersenjata terbitan yayasan Udayana yang berada
di Bawah Kodam Udayana. Badan hukum surat kabar ini atas nama Yayasan
Penerbitan dan Percetakan Udayana pimpinan Kolonel R. Soejono S. Media yang
bernaung di bawah KOdam XVI/Udayana ini membawa misi khusus sebagai media
pembinaan Orde Baru, pasca-G30S/PKI. Pemimpin umum pertama dijabat oleh
Kepala Penerangan Kodam XVI/Udayana Mayor I Gusti Ngurah Pindha, B.A.,
Pada tahun 1978, harian ini menjadi harian dengan tajuk Harian Nusa
Tenggara. Hal ini sesuai dengan wilayah Kodam Udayana yang mencakup wilayah
Bali dan Nusa Tenggara. Pemasaran harian ini pun diperluas ke Nusa Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur, dengan motto “Meningkatkan Pembangunan Guna
Memperkuat Ketahanan Nasional”. Pada tahun 1983, harian ini kolaps, dan pada
tahun 1984 kembali terbit.
Pada tahun 1990, Harian Nusa Bali diakuisisi oleh group media raksasa Media
Indonesia yang dimiliki oleh Surya Paloh. Namun Harian Nusa Bali berada di bawah
Media Indonesia hanya selama dua tahun saja hingga tahun 1992. Selepas
peninggalan group Media Indonesia, Nusa Bali terpaksa vakum hingga tahun 1994.
Pada tahun 1994, Harian Nusa Bali dibeli oleh Bakrie Group yang dimiliki oleh
156
Aburizal Bakrie. Saat itu Nusa Bali bernama PT Sinar Nusra Pers Utama, dengan
tajuk harian Nusra. Pada tahun 2001, nama Nusra diganti dengan nama Harian
Umum Nusa. Akhirnya pada bulan Oktober 2005, Harian Umum Nusa berganti nama
menjadi Harian Nusa Bali.
Harian Nusa Bali mengklaim diri sebagai surat kabar politiknya Bali. Harian
Nusa Bali pun menyatakan merupakan koran yang berpihak pada masyarakat Bali.
Hal ini dibuktikan dengan proporsi isi surat kabar yang terdiri dari 75 persen konten
lokal, 15 persen konten internasional dan hanya 10 persen konten internasional.
Harian Nusa Bali terdiri atas 16 halaman. Konten Harian Nusa Bali terdiri atas 50
persen informasi, 30 persen edukasi dan 20 persen hiburan. Karakteristik pembaca
Harian Nusa Bali adalah berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA/U/K) ke atas
dengan rata-rata pembaca berusia di atas 25 tahun serta berpenghasilan di atas 4 juta
rupiah.
4.4.3
Harian Radar Bali
Harian Radar Bali adalah salah satu anak perusahaan dari raksasa Jawa Pos
yang berpusat di Surabaya. Radar Bali adalah harian yang termuda terbit di Bali
dibandingkan Bali Post dan NusaBali. Radar Bali terbit di Bali pasca tahun 1999,
saat SIUPP sudah dihapuskan.
157
Radar Bali sendiri terbit pada tanggal 12 Februari 2001. Radar Bali hanyalah
mengambil sejumlah halaman Jawa Pos yang bermaterikan informasi lokal di
wilayah tertentu di Bali. Adapun tujuan dari pernerbitan ini adalah untuk menggaet
pembaca lokal. Radar Bali adalah salah satu media massa atau koran yang menjadi
bagian dari Jawa Pos Group. Radar Bali mengelola pemberitaan seputar daerah Bali
dan daerah lain yang terkait. Koran Radar Bali menyajikan aneka informasi aktual seputar
politik, bisnis dan ekonomi, sosial budaya serta informasi pariwisata di daerah Bali dan
sekitarnya.
Harian Radar Bali terdiri dari 12 halaman yang terbagi dalam beberapa
rubrik. Adapun rubrik yang menjadi bagian dari Radar Bali adalah Halaman Utama,
Radar Utama, Ekonomi, Metro Denpasar, Bali Dwipa, Iklan Jitu, Radar Buleleng,
Radar Jembrana, Hiburan dan Budaya, dan Sportmania. Radar Bali memiliki
kekuatan sumber daya manusia yang terdiri dari bagian General Manager, Pemimpin
Redaksi/Penanggungjawab, Redaktur Pelaksana, Koordinator Liputan, reporter yang
tersebar di Denpasar, Badung, Buleleng, Tabanan, Klungkung, Bangli, dan
Karangasem. Bagian lain dari Radar Bali adalah Fotografer, Editor Bahasa,
Sekretaris Redaksi, Pracetak, Pemasaran, Event, dan bagian Iklan.
Sebagai bagian dari Jawa Pos Group, Radar Bali dalam peredarannya di Bali masih
menjadi suplemen dari harian Jawa Pos.Jawa Pos adalah surat kabar harian yang
berpusat di Surabaya, Jawa Timur. Jawa Pos merupakan harian terbesar di Jawa
Timur, dan merupakan salah satu harian dengan oplah terbesar di Indonesia. Sirkulasi
Jawa Pos menyebar di seluruh Jawa Timur, Bali, dan sebagian Jawa Tengah dan DI
158
Yogyakarta. Jawa Pos mengklaim sebagai "Harian Nasional yang Terbit dari
Surabaya".
Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama
Djawa Post, dahulu menggunakan ejaan “post”. Setelah sukses dengan Jawa Posnya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda.
Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk
menjual Jawa Pos. Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur
Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan
manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala
Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian
meninggal dunia pada tahun 2000. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa
Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun
menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN), salah
satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat
kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Setelah sukses
mengembangkan media cetak di seluruh Indonesia, pada tahun 2002 Jawa Pos Grup
mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV
di Batam, Riau TV di Pekanbaru, Fajar TV di Makassar, Palembang TV di
Palembang, Parijz van Java TV di Bandung.
159
Sirkulasi Jawa Pos menyebar hingga ke seluruh provinsi Jawa Timur, Bali,
dan sebagian Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Jawa Pos terbit dalam beberapa edisi.
Di antaranya Jawa Pos edisi Surabaya. Berikutnya adalah Jawa Pos edisi luar
Surabaya, seperti di kawasan Jawa Timur dan Bali. Hal yang membedakan Jawa Pos
edisi Surabaya dan luar Surabaya adalah seksi "Metropolis" diganti dengan seksi
yang lebih regional, dengan sebutan "Radar". Seksi "Radar" berisi berita-berita
banyak.
Saat ini Jawa Pos memiliki 15 "Radar", yang masing-masing memiliki redaksi
sendiri di kotanya masing-masing diantaranya adalah Radar Bali yang berkantor di
Denpasar Bali. Isi berita "Radar" bersifat lokal, dan memuat iklan yang juga bersifat
lokal, serta seksi Olahraga lokal. Dari sisi manajemen, Radar-Radar yang ada ini
dikelola secara otonom. Rekrutmen karyawan dan wartawan dilakukan sendiri oleh
masing-masing manajemen Radar.
Keempat objek di atas adalah aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan
penelitian mengenai pertarungan aktor politik di media cetak. Hal ini dikarenakan
komunikasi politik yang dijalin oleh para aktor politik kepada konstituennya
dilakukan melalui media cetak dalam konteks pemilukada di Bangli. Lalu bagaimana
bentuk komunikasi politik dan aspek apa saja yang dipertarungkan para aktor politik
di media cetak akan dibahas pada bab berikutnya yakni bab mengenai bentuk-bentuk
pertarungan aktor politik.
BAB V
BENTUK-BENTUK PERTARUNGAN AKTOR POLITIK PADA MEDIA CETAK
Aktor politik memegang peranan penting dalam memenangkan sebuah
pemilukada. Bagaimana strategi dan aktivitas politik yang dimainkan aktor politik
akan memengaruhi hasil pemilukada. Permainan politik ini seringkali saling
bersinggungan antara aktor politik. Strategi politik ini akhirnya membentuk sebuah
pertarungan antar aktor politik untuk memenangkan pemilukada.
Pertarungan aktor politik dilakukan melalui isu sebagai arena pertarungan di
media cetak. Wacana merupakan suatu arena pertarungan untuk memperoleh
kekuasaan. Menurut Bourdieu dalam wacana terjadi pertarungan atau perjuangan
antara orang-orang atau kelompok yang berbeda untuk mempertegas dan
memperlihatkan pengaruh serta kekuatannya (dalam Ritzer, 2004:525). Foucault pun
menjelaskan bahwa wacana tidak dipahami sebagai rangkaian kata atau proposisi
dalam teks, tetapi mengikuti sesuatu yang memproduksi yang lain seperti sebuah
gagasan, konsep atau efek. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide,
opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga
memengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto, 2008:65).
160
161
Media massa kerap dijadikan wadah komunikasi politik para aktor politik.
Pertarungan politik melalui media massa dapat melalui beberapa bentuk, di antaranya
pembentukan opini publik mengenai citra aktor politik, citra partai politik, dan
program kerja calon kepala daerah. Komunikasi politik melancarkan seranganserangan yang bermuatan politis di pemberitaan, advertorial, berita berbayar hingga
iklan. Para aktor politik pun dapat melakukan serangan kepada lawan politiknya
melalui media massa. Bentuk-bentuk pertarungan dibahas dalam bab ini.
Dalam mengidentifikasikan mengenai bentuk pertarungan akan dibahas
terlebih dahulu mengenai arena atau wadah sebagai bentuk pertarungan aktor politik
di media cetak. Arena tersebut terbagi menjadi empat bentuk yakni artikel berita,
advertorial, iklan, dan artikel berbayar. Dalam setiap arena ini akan dijelaskan
bagaimana esensi dari bentuk-bentuk pertarungan yakni pertarungan citra diri dan
pertarungan isu politis atau program kerja.
Foucault (dalam Foss, 1985:205) mengatakan bahwa kekuasaan merupakan
bagian yang melekat dengan susunan diskursif wacana. Artinya dalam setiap wacana
terkandung kekuasaan dan wacana dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Maka
untuk melakukan analisis media ini maka perlu menggambarkan isi media yang
tersirat.
Unit analisa dalam bentuk pertarungan ini adalah isu citra diri dan isu politis
serta program kerja calon yang berada dalam kliping berita, advertorial, dan iklan di
tiga media cetak yang beredar di Bali, yakni BaliPost, NusaBali, dan Radar Bali
162
selama masa kampanye dan pascapemilukada di Bangli pada tahun 2010. Analisis
bentuk pertarungan berikutnya adalah terkait dengan substansi yang dibentuk oleh
para aktor politik di media cetak. Substansi yang dibentuk akan membentuk wacana.
Wacana ini menjadi alat kepentingan yang berujung pada dominasi. Van Dijk
(1993:249) menjelaskan dominasi didefinisikan sebagai pelaksanaan kekuasaan atau
pengaruh sosial oleh elite, institusi atau kelompok masyarakat tertentu, yang
menghasilkan ketidaksetaraan.
Kelima pasangan aktor politik dalam pemilukada Bangli mereproduksi makna
melalui media cetak untuk menciptakan wacana dan pengetahuan di masyarakat. Hal
ini seperti yang ditegaskan Giddens (1984, dalam Barker, 2005:236) dimana tatanan
sosial tersusun di dalam dan melalui aktivitas sehari-hari, serta gambaran mengenai
aktor-aktor sosial yang terampil dan mengetahui. Maka teori yang berlaku adalah
teori strukturasi (Giddens, 1984 dalam Barker, 2005:237) yang berintikan cara-cara
agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan-tindakan
mereka sendiri. Aktivitas manusia yang teratur bukanlah hasil ciptaan aktor
individual itu sendiri melainkan selalu mereka ciptakan kembali melalui cara-cara
yang mereka pakai untuk mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Tindakan aktor
politik untuk memproduksi makna akan terlihat dalam bentuk-bentuk pertarungan
yang aktor politik gunakan di media cetak.
Pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat bentuk arena
bertarung yakni artikel berita, artikel berita berbayar, artikel advertorial, dan iklan.
163
Tiap-tiap tempat bertarung ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masingmasing. Diketahui bahwa artikel berita lebih cenderung digunakan untuk tempat
pertarungan isu politik antar pasangan calon. Bentuk lainnya yakni advertorial, iklan
dan artikel berbayar lebih cenderung dijadikan wadah pertarungan citra diri masingmasing calon. Arena pertarungan ini menjadi penting sebagai wadah pemberian atau
penonjolan aspek tertentu atas sebuah fakta atau framing. Framing menurut Sudibyo
(2001:186) adalah bagaimana realitas dibingkai, dikonstruksi, dan dimaknai oleh
media. Maka bentuk dari arena pertarungan akan berpengaruh pada bentuk dari upaya
framing yang dilakukan oleh calon maupun oleh media.
Bentuk pertarungan antara aktor politik dalam Pemilukada Bangli 2010 terjadi
dalam dua wujud (a) pertarungan citra diri dan (b) pertarungan isu politis dan
program kerja calon. Hal ini diklasifikasikan dari teks berita yang termuat di tiga
koran selama masa kampanye hingga pencoblosan ulang. Terdapat perbedaan umum
dalam cara menampilkan diri lewat dua bentuk pertarungan. Ada calon yang lebih
menonjolkan citra diri namun ada pula calon yang mengutamakan isu politis dan
program kerja. Citra yang dibentuk melalui media massa akan mempengaruhi
pandangan pembaca terhadap sosok pasangan tertentu. Media sebagai wadah pun
dapat menentukan bagaimana citra yang ingin disampaikan media atau pasangan atas
cermin dirinya tersebut.
Menentukan isu atau wacana yang termuat di media menjadi penting karena
terkait secara tidak langsung dengan opini publik dan dampak pada kekuasaan atas
164
pemilih. Foucault menekankan hubungan antara wacana pengetahuan dan kekuasaan.
Menurutnya melalui wacana, individu bukan didefinisikan tetapi juga dibentuk,
dikontrol, dan didisplinkan (Eriyanto, 2008:73). Pasangan calon menentukan isu
melalui media massa dengan cara menyeting agenda atau agenda setting. Agenda
setting mengarah pada praktik framing, atau bagaimana cara sebuah isu dikemas oleh
media massa (Dominick, 2008). Dalam arena pertarungan aktor politik mengangkat
dua bentuk pertarungan, yakni pertarungan citra diri dan pertarungan isu atau pesan
politis.
Citra dalam bentuk wacana ini pun menjadi isu penting yang menjadi
pertarungan antara calon kepala daerah di media cetak. Masing-masing calon kepala
daerah akan mencoba mencitrakan positif diri mereka, dengan beragam cara.
Pembentukaan sebuah citra oleh aktor politik dapat melalui foto dalam berita, foto
dalam iklan ataupun kalimat-kalimat yang digunakan dalam berita, advertorial dan
iklan. Pembentukan citra dalam proses pemberitaan ini membawa implikasi. Dalam
framing Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:260) dalam melakukan
framing diperlukan perangkat yang dapat berupa visual images seperti gambar,
maupun citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan.
Riggins (1997:10-11) mengatakan wacana dalam proses pemberitaan
membawa beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk
mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa
sehingga adanya wacana yang terpinggirkan. Kedua, boleh jadi peminggiran wacana
165
menunjukkan praktik ideologi. Kerap kali tokoh, kelompok, gagasan, tindakan, dan
kegiatan terpinggirkan dan menjadi marginal melalui penciptaan wacana tertentu.
Media mampu menciptakan realitas semu citra yang diinginkan untuk
ditampilkan tiap-tiap pasangan calon. Citra yang kerap ingin disampaikan tentu saja
adalah citra yang positif dan mampu mencuri hati pemilih. Cara dalam mengemas
citra adalah dapat dengan berita, iklan, hingga advertorial. Bentuk pencitraan yang
diusung masing-masing pasangan calon kepala daerah Bangli yang dikemas di media
cetak. Setelah proses analisis framing maka bentuk pencitraan calon kepala daerah
dapat dalam tabel 5.1.
Tabel 5.1 Tabel Bentuk Pencitraan Para Pasangan Calon Kepala Daerah
No
Pasangan
Citra yang ingin dibentuk
1
Ida Bagus Ketut Agung Ludra
I Nyoman Durpa
a. Berbudaya
b. Adik dari IB Ladip
c. Soroh Pande
2
I Wayan Gunawan
A.A.Gede Artjana Agung
a. Putra daerah dari Batur
b. Tegas
c. Berpendirian teguh
3
I Made Gianyar
Sang Nyoman Sedana Arta
a. Afiliasi dengan PDIP
b. Berbudaya
c. Berpendidikan
4
I Wayan Arsada
I Wayan Lasmawan
a. Berpendidikan Tinggi
b. Berbudaya
c. Sosok penerus I Nengah Arnawa
5
Ida Bagus Made Brahmaputra
I Wayan Winurjaya
a.
b.
c.
d.
Santun
Beretika
Bijaksana
Memiliki kedekatan kepribadian
dan personal dengan Susilo
Bambang Yudhoyono
166
Dari tabel 5.1 diketahui bahwa ada beberapa citra diri yang ingin dibentuk atau
diframekan oleh pasangan calon. Dari beberapa citra diri terdapat persamaan citra diri
di antara citra berpendidikan, dan citra berbudaya.
Bentuk pertarungan para aktor politik yang berikutnya adalah pada isu politik.
Isu politik adalah alat paling terpenting dalam pertarungan perebutan kekuasaan atau
kedudukan politik. Perbedaan isu politik yang diusung tiap-tiap calon akan
berpengaruh pada hasil pertarungan para aktor politik. Oleh karena itu pemilihan isu
politik atau pesan politik yang ingin disampaikan aktor politik kepada khalayak
pemilih menjadi hal yang cukup penting. Pertarungan isu politik yang dimaksudkan
adalah pertarungan tiap-tiap calon kepala daerah dalam mengemas dan mengangkat
isu untuk memenangi pemilukada. Dalam mengkonstruksi isu politik menurut Berger
dan Luckman (2000), media massa dipandang sebagai variabel atau fenomena yang
sangat substantif. Berger dan Luckman (dalam Bungin, 2007:208) membagi tiga
tahap pembentukan realitas, yakni (1) konstruksi realitas pembenaran (2) kesediaan
dikonstruksi media massa, dan (3) sebagai pilihan konsumtif. Pembentukan
konstruksi isu politis adalah bangunan yang diinginkan dalam tahap konstruksi pada
pertarungan aktor politik. Tiap-tiap calon membawa isu politiknya sendiri yang
terkonstruksi di media cetak. Setelah proses analisis framing, isu politik yang diusung
para calon kepala daerah dalah dilihat dalam tabel 5.2.
167
Tabel 5.2 Pertarungan Isu Politik yang Diusung Para Calon Kepala Daerah
No
Pasangan calon
1
Ida Bagus Ketut Agung
Ludra
I Nyoman Durpa
2
I Wayan Gunawan
A.A.Gede Artjana Agung
3
I Made Gianyar
Sang Nyoman Sedana Arta
4
I Wayan Arsada
I Wayan Lasmawan
5
Ida Bagus Made
Brahmaputra
I Wayan Winurjaya
Isu Politik
a. Anti-money politics
b. Gema Bangli Jaya Mandiri
c. Mewujudkan Bangli yang
sejahtera dan berbudaya
d. Lingkungan religius
e. Mewujudkan Bangli yang
maju, dinamis, modern dan
unggul.
a. Peningkatan sarana dan prasarana
layanan kesehatan
b. Pemberian subsidi pendidikan
secara silang
a. Memilih dengan hati nurani
b. Mewujudkan Bali yang shanti
c. Diprediksikan menang telak
d. Menyelenggarakan
pemerintahan yang bersih,
demokratis, efisien, dan efektif.
a. Meningkatkan kualitas SDM
yang spiritual untuk
membangun jati diri
b. Melanjutkan program I Nengah
Arnawa
c. Mewujudkan Bangli yang
berjati diri, berbudaya, maju,
inovatif, sejahtera dan spiritual
a. Politik pencitraan dengan
politik santun dan beretika
b. Kampanye yang dihadiri
puluhan ribu massa.
c. Tambahan bantuan langsung ke
desa adat 30 juta rupiah
d. Bantuan langsung tunai ke
banjar dan masyarakat
168
5.1 Bentuk Pertarungan dalam Artikel Berita
Sebuah artikel berita dibuat oleh wartawan media terkait sebagai hasil
peliputan, pengamatan atau observasi sebuah kejadian atau event, hingga hasil
wawancara narasumber. Idealnya artikel berita adalah realitas yang dibentuk media
dengan objektivitas dari wartawan itu sendiri. Oleh karena itu berita diharapkan tidak
memihak, memberikan kesempatan yang sama terhadap kedua belah pihak yang
terkait, dan tidak memiliki pesan tersembunyi atau propaganda dari pihak-pihak
tertentu. Bagian dari artikel berita antara lain adalah diawali dengan judul berita, lalu
teras berita, awal pemberitaan, dan runutan alinea atau paragraf sebagai isi berita.
Berita pun seringkali dilengkapi dengan foto. Dalam pandangan framing dari Gamson
dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) bila melalui berita ada proses
penentuan fakta dan bagian apa yang ditonjolkan atau dihilangkan dalam berita
tersebut.
Artikel berita yang terkait dengan pemilukada di Bangli pada tahun 2010
antara lain dimulai dengan prosesi awal masa kampanye, jalannya kampanye masingmasing calon, dinamika yang terjadi di antara calon kepala daerah, hingga konflik
yang terjadi selama kampanye.
Fakta yang dituangkan dalam kata dan kalimat berita kerap kali mengandung
makna di baliknya disadari ataupun tidak disadari oleh individu pekerja media. Fakta
yang dituangkan akhirnya terbentuk dalam kemasan berita dimana menurut Gamson
dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) paket kemasan ini merupakan
169
rangkaian ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa yang
relevan.
5.1.1 Pertarungan Citra Diri dalam Artikel Berita
Pasangan Ludra dan Durpa adalah pasangan yang termasuk jarang
menggunakan media dalam komunikasi politiknya dengan konstituennya. Namun
walaupun jarang tampil di media, ada beberapa citra diri yang ditampilkan mengenai
pasangan ini di media cetak. Beberapa citra diri yang ditampilkan antara lain adalah
berbudaya, bersih dari money politics, adik dari IB Ladip, dan Durpa bersoroh pande.
Hal ini terlihat dari artikel kliping berita 5.1. dengan judul “Cabup Ludra Ingatkan
Bahaya Money Politics”, pada harian Radar Bali, pada tanggal 27 April 2010.
Citra berbudaya terlihat dari penggunaan pakaian dalam foto kliping 5.1. yang
menggunakan udeng atau destar. Penggunaan destar ini adalah bentuk pencitraan diri
sebagai sosok yang berbudaya. Destar adalah tanda, Preminger (2001) mengatakan
bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan lambang atau
simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah tanda yang
dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi destar adalah
lambang atas citra diri yang berbudaya.
170
Kliping Berita 5.1 Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politic
(Dok : Radar Bali, 27 April 2010)
Citra berikutnya adalah IB Ludra merupakan adik kandung dari IB Ladip.
Framing yang dilakukan adalah dengan menggunakan perangkat teks berita seperti
kata dan kalimat. Citra ini ditampilkan melalui kalimat dimana disebutkan bahwa IB
Ludra adalah adik kandung dari mantan Bupati Bangli IB Ladip. IB Ladip adalah
salah satu bupati Bangli yang sukses dalam memimpin dan meninggalkan citra yang
cukup positif di masyarakat. Citra adik kandung ini diharapkan dapat membantu IB
Ludra untuk memperoleh dukungan suara.
Citra berikutnya adalah pasangan IB Ludra yakni I Nyoman Durpa memiliki
soroh Pande. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan nama Pande Durpa dalam
171
menyebutkan nama I Nyoman Durpa pada artikel berita di atas. Penggunaan
perangkat framing (Gamson dan Modigliani) berupa penggunaan kata pande. Pande
bersinonim dengan salah satu soroh. Penekanan soroh ini dilakukan untuk pencitraan
dimana diharapkan menambah kekuatan pertarungan melalui modal budaya. Modal
budaya dengan soroh pande adalah modal budaya berbentuk embodied state. Menurut
Sosiolog Perancis, Bourdieu modal dapat bertransformasi, maka modal budaya
berupa soroh pande ini dapat bertransformasi menjadi modal sosial dimana dapat
menggalang dukungan atau massa yag lebih signifikan sebagai sesama pande.
Pasangan Ludra-Durpa dalam pertarungan aktor politik di pemilukada Bangli
mengangkat satu tema atau satu isu politis. Isu politis yang diusung oleh pasangan ini
adalah isu anti politik uang. Pasangan Ludra-Durpa dalam artikel berita berjudul
“Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politics” di harian Radar Bali pada tanggal
27 April 2010 mengungkapkan bahwa pasangan ini ingin memberikan pembelajaran
politik kepada masyarakat Bangli mengenai bahayanya politik uang. Isu politis ini
terungkap pada cuplikan berita di bawah ini:
Jangan hanya karena waktu tiga menit, rela mencoblos
pasangan yang member uang Rp 50 ribu. Ingat, kontrak
politik akan berlangsung lima tahun. Dan bahaya kalau
semuanya hanya diukur dari uang
“Cabup Ludra Ingatkan Bahaya Money Politics”
(dok : Radar Bali, 27 April 2010)
172
Isu politis anti politik uang ini pun dikatakan selalu disampaikan pasangan LudraDurpa saat melakukan simakrama ke masyarakat. Pasangan ini pun menekankan pada
isu agar masyarakat pemilih tidak berpikiran pragmatis dalam pemilukada. Hal ini
ditegaskan dalam praktik komunikasi politik yang dilakukan pasangan ini selama
kampanye yakni dengan tidak memberikan janji yang muluk-muluk. Ludra dalam
wawancara mengatakan bahwa dirinya bersama Durpa lebih berupaya untuk
memberikan pendidikan politik agar masyarakat Bangli lebih cerdas dalam memilih
dan tidak tergantung pada politik pragmatis berbasis pada uang.
Kedua isu ini tentu saja telah melalui proses seleksi isu sehingga pasangan ini
lebih menekankan pada aspek anti politik uang dan anti pragmatism politik. Seleksi
isu ini menurut Entman (dalam Eriyanto, 2002:187) berkaitan dengan pemilihan
fakta. Isu yang diangkat ini menurut Entman masuk dalam kategori definisi masalah
dimana pasangan Durpa-Ludra memandang kedua isu ini adalah salah satu
permasalahan yang patut diperhatikan dalam pendidikan politik.
5.1.2. Pertarungan Isu Politis dalam Artikel Berita
Fakta yang dituangkan dalam kata dan kalimat berita kerap kali mengandung
makna di baliknya disadari ataupun tidak disadari oleh individu pekerja media. Fakta
yang dituangkan akhirnya terbentuk dalam kemasan berita dimana menurut Gamson
dan Modigliani (dalam Kriyantono, 2010:259) paket kemasan ini merupakan
173
rangkaian ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa yang
relevan. Contohnya pada kliping berita 5.2.
Kliping 5.2 “Kubu Brahma-Wijaya Minta Pemilihan Ulang”
(Dok: BaliPost, 6 Mei 2010)
Dari kliping artikel berita 5.2 diketahui bahwa artikel berita dijadikan tempat arena
bertarung isu politis yang ingin diangkat oleh pasangan Brahmawijaya. Isu politis
tersebut adalah adanya pelanggaran dan indikasi kecurangan pelaksanaan pemilukada
di kecamatan di Bangli. Isu politik lain yang diangkat adalah perlunya pemilihan
ulang di beberapa tempat pemungutan suara yang diindikasikan bermasalah oleh
pasangan Brahmawijaya ini. Penempatan isu di artikel berita memiliki kemampuan
menyeting isu tersebut dalam benak pembaca atau Agenda Setting. Dalam
perkembangannya agenda setting yang dicetuskan McComb dan L.Shaw (1968)
bertransformasi dimana agenda tidak hanya ditentukan oleh media namun juga hasil
interaksi dengan agenda publik (Littlejohn, 2005:280). Maka agenda bahwa terjadi
pelanggaran pemilu dapat merupakan agenda dari media maupun agenda setting dari
pihak pasangan Brahmawijaya.
174
Isu yang diangkat oleh pasangan Brahma-Wijaya dalam media cetak ternyata
mendapat tandingannya. Pendukung KPUD Bangli dan pasangan Gita pun tampil di
media. Bahkan massa pendukung paket Gita dan KPUD serta Panwaslu ikut
mengerahkan massa tandingan massa Brahma-Wijaya. Pengetahuan masyarakat
mengenai pelanggaran akan memberikan kekuasaan bagi pasangan Brahmawijaya,
maka pasangan Gita pun menampilkan kemasan yang berbeda tentang isu tersebut. Di
mana bagi Foucault kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan
pengetahuan selalu memiliki efek kuasa (Bertens, 1985:487). Hal ini terlihat dalam
artikel kliping 5.3.
Kliping 5.3 “Pilkada Bangli: 132 TPS Direkomendasi Pemilihan Ulang” dan
“Demo Tandingan Massa Gita, Sesalkan Panwaslu Diintimidasi”
(Dok: BaliPost ,10 Juli 2010)
Isu tandingan yang diusung pasangan Gita adalah Pasangan Brahmawijaya
mengintimidasi Panwaslu dan KPUD Bangli. Pasangan ini mengatakan sangat
menyayangkan cara-cara yang dilakukan tim pemenangan Brahmawijaya dengan
175
mengintimidasi Panwaslu. Hal ini dipertegas dengan menggunakan pernyataan Ketua
KPUD Bangli, Dewa Agung Lidartawan yang mengakui telah terjadi intimidasi di
Panwaslu Bangli.
5.2 Bentuk Pertarungan dalam Iklan
Iklan adalah salah satu isi dari media cetak. Iklan adalah darah dari sebuah
media massa, dimana iklan adalah pendukung utama dari kelangsungan hidup media
tersebut. Iklan dapat beragam bentuk sesuai keinginan dari pihak pemasang. Iklan
biasanya memiliki pesan yang ingin disampaikan pemasang iklan. Pesan bisa secara
tertulis maupun secara lisan. Dalam framing Gamson dan Modigliani (dalam
Kriyantono, 2010:260) dalam melakukan framing diperlukan perangkat yang dapat
berupa visual images seperti gambar, maupun citra yang mendukung bingkai secara
keseluruhan.
Dalam pemilukada di Bangli, iklan pun dipilih menjadi salah satu tempat atau
wadah dalam pertarungan antara aktor politik. Adapun pasangan yang memilih iklan
sebagai wadah komunikasi politiknya adalah pasangan Made Gianyar dan Sang
Nyoman Sedana Arta atau pasangan GITA. Iklan yang ditampilkan pasangan GITA
ini tercatat sebanyak 10 (sepuluh) kali. Berikut adalah iklan pasangan GITA di
harian NusaBali;
176
Kliping 5.4 Iklan pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta
di Harian NusaBali selama masa kampanye (Dok: NusaBali)
Pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta tercatat memasang iklan
sebanyak sepuluh kali sepanjang masa kampanye dalam pemilukada Bangli tahun
2010. Pasangan lainnya tidak memilih iklan sebagai bentuk yang digunakan dalam
pertarungan aktor politik pada pemilukada 2010 di Bangli. Dalam iklan Gita terdapat
foto pasangan GITA dengan menggunakan pakaian adat Bali lengkap. Di bawah foto
terdapat nama keduanya. Kedua namanya pun tertulis secara lengkap dengan gelar
dan soroh yakni I Made Gianyar, SH, M.Hum dan Sang Nyoman Sedana Arta. Latar
belakang foto berwarna merah dan terdapat lambang Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) yang terlihat samar. Pada bagian atas terdapat tulisan Calon
Bupati & Wakil Bupati Pemilu Kepala Daerah Bangli 2010-2015. Di bagian bawah
iklan terdapat slogan politik yang ingin disampaikan yakni Pilih GITA dengan Hati
Nurani Untuk Mewujudkan Bangli yang Santhi. Maka dari iklan di atas perangkat
framing yang digunakan dalam iklan GITA adalah frase yang menarik berupa slogan
177
atau jargon, gambar, yang menekankan dan mendukung pesan yang ingin
disampaikan (Eriyanto, 2002:225).
5.2.1 Pertarungan Citra Diri dalam Iklan
Iklan pun dapat dijadikan wadah atau arena pertarungan aktor politik.
Contohnya dari iklan GITA terdapat beberapa citra diri yang ingin dikonstruksikan,
di antaranya berafiliasi dengan PDIP, pasangan berbudaya, dan berpendidikan tinggi.
Sedangkan isu politik yang menjadi slogan atau pesan yang diangkat adalah
mewujudkan Bali yang shanti dan memilih dengan hati nurani. Jadi iklan di media
cetak adalah hasil konstruksi sosial dimana dijadikan salah satu wadah atau arena
pertarungan aktor politik dalam pemilukada. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
Berger dan Luckmann (1965) dimana realitas sosial yang terkonstruksi dapat
membentuk opini massa (Bungin, 2007:288).
Berangkat dari partai besar seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), GITA selalu melekatkan diri pada citra dan lambang partai terbesar di Bali
ini. Citra yang ingin ditampilkan pertama adalah afiliasi pasangan ini dengan PDI
Perjuangan. Afiliasi ini digambarkan dengan terdapat tiga lambang partai dalam iklan
tersebut, yakni dua di dada masing-masing calon dan lambang terbesar berada di latar
belakang foto kedua calon. Saussure menjelaskan tanda itu sendiri terdiri dari
signifier (tanda) dan signified (petanda). Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik
178
yang dapat dilihat dan biasanya merujuk kepada sebuah objek atau realitas yang ingin
dikomunikasikan (Kriyantono, 2010:270). Dalam hal ini GITA menggunakan tanda
berupa lambang partai dengan ingin terbentuk citra yang merujuk pada realitas partai
yang besar dan berkuasa di Bangli.
Tanda lainnya adalah dengan menggunakan latar belakang merah sebagai
warna yang diasosiasikan sebagai warna PDIP. Dari banyaknya penggunaan lambang
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dalam iklan ini maka pasangan Gita
ingin mencitrakan diri sebagai pasangan yang kuat karena berasal dari partai yang
besar seperti PDIP. Warna merah yang mendominasi iklan ini pun identik dengan
warna partai PDIP yakni berwarna merah. Bahkan warna merah tidak hanya sebagai
latar belakang tulisan dan foto, namun juga merah bunga pucuk bang yang dikenakan
calon dalam foto ini.Oleh karena itu iklan pasangan ini selalu berwarna dan berada di
halaman satu. Apabila iklan pasangan ini ditaruh di halaman hitam putih maka citra
Gita sebagai jagoan dari PDIP tidak akan memiliki dampak persepsi yang sama di
benak pembaca dibandingkan ditaruh di halaman berwarna.
Warna merah yang
mendominasi iklan ini merupakan lambang warna yang sinonim dengan PDIP.
Berdasarkan metode analisis framing dari Gamson dan Modigliani, warna merah
digunakan untuk membingkai citra partai.
Citra diri sebagai pasangan dari PDIP merupakan modal sosial yang kuat
dimiliki pasangan GITA. Modal sosial menurut Bourdiue (1986) adalah sekumpulan
sumber potensial dimana terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan yang
179
terlembagakan. Hubungan ini bisa terjadi akibat kesamaan partai. Maka berasal dari
PDIP diharapkan mampu menggerakkan kekuatan dari modal sosial yang sudah
dimiliki pasangan GITA. Oleh karena itu pasangan ini berharap akan mendapat
dukungan dari simpatisan PDIP yang cukup besar kuantitasnya di Bangli.
Citra yang ingin ditampilkan lainnya adalah citra sebagai pasangan yang
memegang teguh kebudayaan Bali. Hal ini terlihat dari pilihan busana yang
dikenakan kedua pasangan calon dalam iklan mereka seperti dalam kliping iklan di
atas. Pasangan ini dalam iklannya mengenakan pakaian adat Bali dengan udeng
bertahtakan bunga pucuk atau kembang sepatu berwarna merah. Foto ini seakan-akan
ingin menampilkan pesan bahwa pasangan ini memiliki kedekatan dengan budaya
Bali, dan siap melestarikan budaya Bali.
Iklan yang ditampilkan pasangan Gita tidak pernah berubah. Iklannya selalu
menampilkan pasangan Gita dengan menggunakan busana yang sama. Calon bupati, I
Made Gianyar selalu ditampilkan dengan menggunakan baju adat lengkap berwarna
putih, dengan udeng putih bertahtakan bunga pucuk atau kembang sepatu. Calon
wakil bupati Sang Nyoman Sedana Arta, selalu ditampilkan dengan menggunakan
baju adat lengkap berwarna hitam, dengan udeng bermotif dan bertahtakan bunga
kembang sepatu atau pucuk. Foto baju adat Bali lengkap adalah tanda, Preminger
(2001) mengatakan bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat
dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan
lambang atau simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah
180
tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi baju
adat Bali lengkap adalah lambang atas citra diri yang berbudaya.
Citra ketiga adalah pasangan yang memiliki gelar pendidikan. Citra ini dapat
terlihat dalam penggunaan gelar lengkap di iklan pasangan Gita. Dalam iklan tersebut
pasangan ini menuliskan nama lengkap yakni I Made Gianyar, SH, M.Hum. dan Sang
Nyoman Sedana Arta. Citra yang ingin ditangkap adalah I Made Gianyar adalah
seorang lulusan hukum dan telah melanjutkan hingga ke tingkat magister yakni
magister humaniora. Hal ini tercermin dari gelar yang ada di belakang nama I Made
Gianyar yakni SH (Sarjana Hukum) dan M.Hum (Magister Humaniora). Dengan
memiliki gelar ini maka citra yang ingin disampaikan oleh pasangan ini adalah
mengusung calon bupati yang memiliki pendidikan tinggi hingga magister atau S2.
Gelar pendidikan menurut Bourdieu (1986) adalah salah satu bentuk modal budaya
yakni institutionalized state dimana didapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan.
Pasangan GITA berharap dengan menggunakan gelar dalam iklan maka citra sebagai
pasangan yang memiliki pendidikan tinggi dapat meningkatkan perolehan suara
dalam pemilukada.
5.2.2 Pertarungan Isu Politik dalam Iklan
Isu politik atau pesan politik menjadi faktor yang cukup signifikan dalam
sebuah pertarungan perebutan kedudukan dan kekuasaan politik. Untuk itu maka isu
181
politik yang diangkat membutuhkan pemikiran yang matang. Isu politik yang diusung
oleh pasangan dengan nomor urut 3 yakni pasangan I Made Gianyar, SH, M.Hum –
Sang Nyoman Sedana Arta atau GITA dalam media cetak adalah mewujudkan Bangli
yang santhi atau damai. Pesan politik yang lain adalah menekankan memilih dengan
hati nurani, dan mengemas berita dengan isu bahwa pasangan ini akan menang
dengan telak dalam pemilukada.
Hal ini terlihat dari iklan-iklan dari pasangan I Made Gianyar, SH, M.Hum –
Sang Nyoman Sedana Arta di Harian Nusa Bali. Dalam iklannya, pasangan GITA
bertuliskan Pilih GITA dengan Hati Nurani untuk Mewujudkan Bangli yang Santhi.
Pesan politik yang diusung oleh GITA adalah untuk mewujudkan Bangli yang santhi.
Pesan politik kedua yang diusung adalah menganggap bahwa pemilih yang memilih
pasangan GITA adalah pemilih yang memiliki dan menggunakan hati nurani. Jargon
atau slogan ini adalah praktik framing dengan perangkat bernama Catchprases
(Gamson dalam Eriyanto, 2002:255), dimana dalam membingkai mengginakan frase
yang menarik, kontras, dan menonjol dalam suatu wacana.
Pesan politik lainnya adalah meminta pembaca dalam hal ini selaku pemilih
untuk mencoblos pasangan dengan nomor urut 3 (tiga) ini. Hal ini terlihat dari
gambar iklan di atas dimana terlihat sebuah paku menusuk angka 3 (tiga). Ini adalah
pesan politik yang sangat jelas terlihat dimana mengajak pembaca untuk memilih
nomor urut 3.
182
5.3 Bentuk Pertarungan dalam Advertorial
Advertorial dapat berupa advertorial dari produk, jasa, perusahaan, dan
pemerintahan. Komunikasi politik dalam kampanye pemilu kepala daerah di media
cetak pun seringkali berbentuk advertorial. Dalam sebuah advertorial politik,
mempunyai bentuk yang tidak berbeda dengan advertorial pada umumnya.
Advertorial memakan setengah halaman koran bahkan terdapat advertorial yang
mencapai satu halaman penuh koran. Isi dari advertorial diwenangkan sepenuhnya
kepada si pemasang advertorial. Maka daripada itu dalam advertorial lebih mudah
melakukan framing. Dalam framing Gamson dan Modigliani (dalam Kriyantono,
2010:260) dalam melakukan framing diperlukan perangkat yang dapat berupa visual
images seperti gambar, maupun citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan.
Advertorial kampanye pemilu kepala daerah terdiri atas dua bagian, yakni
tulisan dan foto. Namun biasanya yang ditonjolkan dalam advertorial adalah foto-foto
kegiatan yang dilaksanakan pasangan calon selama berkampanye. Agar menarik
perhatian pembaca, foto dalam advertorial menggunakan foto berwarna, sedangkan
tulisan dalam advertorial biasanya berbentuk layaknya berita yang berisikan visi misi
para pasangan calon kepala daerah.
Advertorial adalah iklan yang berbentuk seperti artikel berita. Namun artikel
advertorial ini lebih terbuka dan lebih terlihat sebagai salah satu bentuk iklan. Hal ini
ditandai dengan ukuran dan perbedaan jenis huruf dan terdapat pembatas di antara
183
artikel berita lainnya. Ini menunjukkan kepada pembaca bahwa artikel ini adalah
iklan dan bukan hasil peliputan dari media massa terkait.
Dari lima pasangan calon yang bertarung di Bangli, pasangan Wayan Arsada
dan Wayan Lasmawan (ALAS) adalah pasangan yang memilih bentuk advertorial
sebagai wadahnya dalam bertarung di media cetak. Pasangan ini tercatat memasang
artikel advertorial di Harian NusaBali sebanyak lima kali sepanjang masa
kampanyenya.
Berikut contoh dari advertorial Alas di harian NusaBali,
Kliping 5.5 Advertorial “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan”,
(Dok: NusaBali, 21 April 2010)
184
5.3.1 Pertarungan Citra Diri dalam Advertorial
Advertorial
pun
digunakan
sebagai
arena
dimana
pasangan
mengkonstruksikan citra diri dan program politis mereka. Pasangan yang kerap
menggunakan advertorial sebagai arena pertarungan adalah pasangan ALAS.
Beberapa citra yang ingin dibentuk atau ditangkap oleh masyarakat akan pasangan
Alas ini, antara lain citra berpendidikan sebagai seorang akademisi, menjunjung
budaya Bali dalam kesehariannya, kedekatannya dengan sosok Bupati Bangli
Arnawa, dan sosok yang bersahaja dan membumi.
Dalam advertorial, prinsip
hegemoni pun terpenuhi karena isi dari advertorial hanya didominasi oleh pasangan
tertentu saja tidak terdapat berita mengenai pasangan lainnya. Bagi Gramsci,
kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan. Dalam advertorial pasangan ALAS
menghegemoni informasi yang disampaikan kepada kelompok subordinat untuk
menerima ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya punya
mereka sendiri (Sugiono, 1999:37).
Pasangan Arsada dan Lasmawan atau pasangan ALAS menonjolkan beberapa
citra diri mereka di media cetak. Citra diri yang dikonstruksikan antara lain memiliki
tingkat pendidikan yang tinggi, berbudaya, dan sosok penerus dari bupati sebelumnya
yakni Bupati I Nengah Arnawa. Pasangan ALAS mencitrakan diri mereka sebagai
pasangan muda yang berpendidikan dan kaum akademis. Ini terkait dengan latar
belakang keduanya, Arsada adalah guru dan kepala sekolah di SMP Gurukula
185
sedangkan Lasmawan adalah seorang profesor dari Universitas Ganesha Singaraja
(Undiksha). Jabatan sebagai guru dan telah mengabdi sebagai kepala sekolah
diungkapkan pasangan ini dalam berita advertorial mereka.
Keberhasilan Lasmawan sebagai seorang Guru Besar atau Profesor pun
dieksploitasi oleh pasangan Alas untuk membentuk citra pasangan yang
berpendidikan dan pintar. Cara pencitraan yang dilakukan adalah dengan framing
dimana menggunakan perangkat framing berupa kata-kata dan exemplaar. Exemplaar
menurut Gamson dan Modigliani (dalam Eriyanto, 2002:225) adalah mengaitkan
bingkai dengan contoh, uraian yang memperjelas bingkai. Dalam advertorial ALAS,
digunakan kata sebagai pasangan muda yang berpendidikan dan menggunakan titel
mereka.
Title atau modal sosial yang dimiliki Lasmawan sebagai profesor ini tidak
disia-siakan dengan selalu disertakan dalam penyebutan namanya dalam setiap berita
maupun advertorial. Gelar pendidikan menurut Bourdieu (1986) adalah salah satu
bentuk modal budaya yakni institutionalized state dimana didapat dalam bentuk
kualifikasi pendidikan.
Hal ini terlihat pada kutipan berita di Bali Post pada tanggal 18 April 2010
dengan judul berita Kampanye Pertama: Tegang, Cabup Saling Serang di Sidang.
Berikut kutipan-kutipan berita yang terkait dengan pencitraan pasangan Alas sebagai
kaum berpendidikan tinggi dan pintar.
186
Ucapan pedas bernada membela yang dilayangkan nomor urut 4
pasangan Arsada yakni Prof. Dr. I Wayan Lasmawan dinilai telah
menohok dan mengkritisi visi dan misi cabup lain. Jika dirinya
yang dipercaya rakyat,
“Kampanye Pertama: Tegang, Cabup Saling Serang di Sidang”
(Dok: Bali Post , 18 April 2010)
Namun yang pasti selama ini duet I Wayan Arsada S.Pd M.Ag –
Prof.Dr. I Wayan Lasmawan M.Pd, cabup/cawabup independen
yang ambil bagian dalam tarung Pilkada Bangli 4 Mei
“ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”
(Dok: NusaBali, 19 April 2010)
Pasangan ALAS selalu menulis nama I Wayan Lasmawan dengan titel profesor di
depan namanya, menjadi Prof. Dr. I Wayan Lasmawan. Dalam advertorialnya di
harian NusaBali (19/4), yang berjudul “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan
Kesehatan”, ALAS pun menuliskan nama kedua calon ini dengan titel yang lengkap.
Dalam berita tersebut titel Arsada lengkap ditulis sebagai Sarjana Pendikan dan
Magister Agama. Titel Lasmawan pun ditulis lengkap dengan title Profesor, Doktor
dan Magister Pendidikan. Hal ini menegaskan bahwa Alas menekankan diri sebagai
pasangan dengan tingkat pendidikan yang tinggi dibandingkan pasangan lainnya yang
ikut bertarung dalam pemilukada Bangli. Alas pun mengusung citra sebagai pasangan
muda yang cerdas dan pintar.
Modal sosial sebagai calon yang berpendidikan tinggi pun ditambahkan
dengan citra akademisi yang dinilai cukup berpengalaman. Gelar pendidikan menurut
Bourdieu (1986) adalah salah satu bentuk modal budaya yakni institutionalized state
187
dimana didapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Hal ini diperkuat dengan sosok
Arsada yang diberitakan sebagai Kepala Sekolah SMP Gurukula yang sangat peduli
dengan pendidikan masyarakat Bangli. Pendidikan dinilai sebagai jalan keluar dari
lingkaran kemiskinan yang menjerat masyarakat Bangli.
Citra lain yang ingin dibentuk Alas antara lain adalah sebagai pasangan yang
agamais dan menjunjung tinggi budaya Bali. Citra ini dibentuk melalui penggunaan
busana yang dikenakan pasangan Alas dalam setiap foto di berita maupun advertorial
Alas. Di seluruh foto terlihat calon bupati, I Wayan Arsada mengenakan baju adat
lengkap berwarna putih dengan udeng berwarna putih pula. Sedangkan wakilnya I
Wayan Lasmawan mengenakan pakaian adat lengkap dengan warna hitam. Foto ini
seakan-akan mencitrakan dirinya sebagai sosok yang beragama dan berbudaya.
Dalam foto ini pula terlihat kedua tangan pasangan calon ini berada di depan
pinggang dengan posisi bertautan. Hal ini memiliki makna ketulusan dan
kerendahhatian, dibandingkan menaruh tangan di belakang atau berkacak pinggang.
Oleh karena itu, dari foto ini dapat diketahui bahwa citra yang ingin ditampilkan Alas
adalah pasangan yang beragama, berbudaya, dan rendah hati. Hal ini terlihat dari
beberapa foto dalam advertorial pasangan Alas, diantaranya dalam advertorial ALAS
Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan, di Harian NusaBali, pada tanggal 19 April
2010 berikut ini:
188
Foto 5.1 Advertorial “ALAS Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”
(Dok: NusaBali, 19 April 2010)
Citra agamais dan berbudaya ini juga ditampilkan dalam foto dimana terlihat
pasangan ALAS sedang bersimakrama dengan masyarakat. Preminger (2001)
mengatakan bahwa ilmu menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Destar adalah tanda yang mencerminkan
lambang atau simbol dari adat Bali. Lambang menurut Pierce (Fiske, 1990:50) adalah
tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda tersebut. Jadi baju
adat Bali lengkap adalah lambang atas citra diri yang berbudaya. Foto kegiatan
simakrama ini juga dekat dengan citra berbudaya dan agamais, dimana kegiatan
189
simakrama adalah kegiatan yang dilakukan dalam budaya di Bali. Foto 5.2. adalah
salah satu foto yang menggambarkan Arsada dalam advertorial.
Foto 5.2 Advertorial “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan”
(Dok: NusaBali, 21 April 2010)
Foto dengan menggunakan pakaian yang sama ini dilakukan berulang di setiap
kesempatan advertorial yang ditampilkan pasangan ini. Foto dengan busana yang
berulang ini pun mengesankan agar sosok ALAS selalu diingat oleh pembaca, dan
khususnya pemilih sebagai sosok yang agamais dan berbudaya. Pada foto 5.3.
diperlihatkan kedua pasangan sedang dalam acara simakrama bersama masyarakat.
Dari dua foto 5.2. dan 5.3., terlihat posisi pasangan Alas yang duduk bersila
dan sejajar dengan masyarakat yang menghadiri simakrama. Foto ini mencitrakan
pasangan Alas sebagai pasangan yang memegang budaya Bali, di mana duduk bersila
adalah salah satu tradisi dalam budaya di Bali. Posisi duduk yang sejajar dengan
masyarakat yang bersimakrama, mencitrakan pasangan ini yang menganggap
190
masyarakat dan diri mereka sejajar, tidak ada posisi yang lebih tinggi maupun yang
lebih rendah.
Foto 5.3 Advertorial “ALAS Bertekad Turunkan Angka Kemiskinan Hingga 50
Persen” (Dok: NusaBali, 26 April 2010)
Hal ini terkonstruksi bahwa pasangan ini ingin sejalan dengan ajaran agama Hindu,
Tat Twam Asi, di mana ajaran ini mengatakan aku adalah kamu, sehingga seluruh
manusia adalah sama. Pembingkaian citra diri pasangan ALAS melalui foto dalam
advertorial di mana menggunakan imaji visual dengan menekankan pada pesan
berbudaya.
Citra berikutnya yang ingin disampaikan oleh pasangan I Wayan Arsada dan I
Wayan Lasmawan adalah sebagai sosok yang serupa dan berkarakter seperti Bupati
Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa. Citra Alas yang tercipta adalah sebagai
191
sosok pengganti Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa yang dinilai
berhasil memajukan Bangli. Sosok pasangan ini pun dicitrakan sebagai representasi
dari Nengah Arnawa yang bersahaja, komunikatif, dan bersedia melayani masyarakat
untuk bersimakrama. Hal ini ditunjukkan dengan menggunakan kata-kata yang
menyanjung program-program yang dijalankan dengan I Nengah Arnawa. Alas dalam
advertorialnya mengungkapkan bahwa program I Nengah Arnawa adalah program
yang monumental dan mampu menyejahterakan masyarakat Bangli. Selain program
yang dinilai berhasil, sosok I Nengah Arnawa pun disanjung dengan dikatakan
sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial yang tinggi kepada masyarakat. Hal ini
terungkap dalam beberapa advertorial pasangan Alas, salah satunya adalah
advertorial berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsxada-Lasmawan” di
harian NusaBali pada tanggal 21 April 2010.
Alasan masyarakat mendukung karena ALAS memiliki komitmen
melanjutkan pelbagai program monumental Bupati Bangli, Nengah
Arnawa yang mampu menyejahterakan masyarakat Bangli antara
lain di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu masyarakat
melihat sosok Arnawa yang membidani kelahiran ALAS. Selain
mampu menyejahterakan masyaratat, Arnawa juga merupakan sosok
yang memiliki jiwa sosial cukup tinggi kepada masyarakat.
“Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan”
(Dok: NusaBali, 21 April 2010)
Pasangan Alas pun menggunakan langkah lain untuk membangun citra dekat dengan
sosok I Nengah Arnawa. Pasangan ini menggunakan pihak kedua untuk
mengungkapkan bahwa pasangan Alas dekat dengan sosok I Nengah Arnawa.
192
Pasangan Alas menggunakan pendapat tokoh masyarakat Desa Songan, Jro Mangku
Gede Ardana alias Jro Tomi. Adapun Alasan menggunakan tokoh masyarakat Desa
Songan antara lain karena Desa Songan berada di daerah Kintamani, yang notabene
adalah daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Bangli. Jro Tomi dalam advertorial
berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsxada-Lasmawan” di harian
NusaBali pada tanggal 21 April 2010, terang-terangan mengatakan bahwa pasangan
Alas adalah representasi dari Arnawa yang bersahaja, komunikatif, dan bersedia
melayani masyarakat. Cara pencitraan seperti ini menurut Gamson dan Modigliani
(dalam Eriyanto, 2002:225) adalah menggunakan perangkat framing berupa
methapors yakni dengan menggunakan perumpamaan atau pengandaian.
5.3.2 Pertarungan Isu Politis dalam Advertorial
ALAS menggunakan advertorial untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
politiknya. Pasangan Alas mengusung beberapa isu politik yang dijabarkan baik
secara eksplisit maupun implisit di media cetak seperti NusaBali, Bali Post dan
Radar Bali. Namun tercatat pasangan ALAS ini lebih sering menggunakan media
NusaBali dalam wadah komunikasi mereka dengan pemilihnya. Beberapa isu politis
yang diangkat oleh ALAS adalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan, melanjutkan
program bupati sebelumnya I Nengah Arnawa. ALAS mencoba menyeting agenda
politik pasangan ini menjadi agenda publik. McCombs dan L. Shaw (1972)
193
menjelaskan bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media
akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap
penting atau muncul media maka khalayak akan menanggapnya sebagai isu yang
penting pula (Bungin, 2007:281). Maka Pasangan ALAS berharap isu politis seperti
kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan akan menjadi agenda publik untuk
direalisasikan dalam agenda policy atau kebijakan.
Pasangan ALAS mengusung beberapa isu politik yang dijabarkan baik secara
eksplisit maupun implisit di media cetak seperti NusaBali, Bali Post dan Radar Bali.
Namun tercatat pasangan ALAS ini lebih sering menggunakan media NusaBali dalam
wadah komunikasi mereka dengan pemilihnya. Isu politis yang pertama diusung oleh
pasangan ALAS adalah memprioritaskan masalah kemiskinan, pendidikan, dan
kesehatan. Isu yang diangkat Alas di media cetak ini adalah program-program
lanjutan dari Bupati Bangli sebelumnya yakni I Nengah Arnawa. Pasangan Alas pun
mengusung jargon “Bagimu Bangli, Aku Mengabdi”. Hal ini terlihat dalam tulisan
advertorialnya di NusaBali pada tanggal 19 April 2010, yang bertajuk “ALAS
Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”. Advertorial ini adalah advertorial pertama
pasangan ALAS. Oleh karena itu ALAS memulainya dengan menjelaskan jargon
yang diusung yakni “Bagimu Bangli, Aku Mengabdi”. Jargon ini adalah senjata
politik yang digunakan ALAS untuk mengambil hati pemilih mereka dengan
menyatakan bahwa pasangan ALAS bersedia untuk mengabdi bagi Bangli.
194
Kliping Berita 5.6 “Alas Prioritaskan Pendidikan dan Kesehatan”
(Dok: NusaBali, 19 April 2013)
Jargon menurut Gamson dan Modgiliani (dalam Eriyanto, 2002:255) adalah
salah satu bentuk framing dengan menggunakan catchprases dan metafor. Hal ini
cukup menjadi senjata ampuh, karena kata mengabdi sendiri sejalan dengan kata
ngayah dalam bahasa Bali. Konsep ngayah bersinonim dengan salah satu kebiasaan
dalam adat yang memiliki nilai positif dalam arti tanpa pamrih.
Dari advertorial 5.6 juga diketahui secara eksplisit isu politik yang ALAS
angkat adalah masalah kemiskinan, pendidikan dan kesehatan sebagai skala prioritas
yang akan dipandang perlu untuk mendapat revitalisasi. Dalam kutipan di atas juga
jelas serangan dari ALAS kepada pasangan calon lainnya yang dinilai penuh dengan
pesona semu dan janji-janji yang belum teruji melalui suatu kajian. ALAS pun
mengemas bahwa isu politik yang mereka angkat adalah terinspirasi dari harapan
195
rakyat Bangli yang muncul pada setiap pertemuan dengan masyarakat Bangli selama
ini. Pasangan ALAS berharap isu ini akan menjadi agenda kebijakannya apabila
dipilih nanti dan menjadi isu yang penting bagi masyarakat Bangli pada umumnya.
Pesan politik yang dikemas pasangan ALAS lainnya adalah bagaimana sosok
kepala daerah yang dibutuhkan oleh Bangli. Dalam advertorialnya, ALAS
mengatakan bahwa sosok pemimpin yang diperlukan Bangli adalah pemimpin yang
merakyat, cerdas, visioner dan bermoral. Ciri-ciri sosok pemimpin ini adalah citra
yang ingin dilekatkan pada pasangan ALAS. Pesan politik lain yang dijadikan senjata
pasangan ALAS adalah tetap memperjuangkan dana bansos (bantuan sosial) dalam
APBD Bangli. Agenda ini yang terus menerus ditekankan oleh pasangan ALAS.
McCombs dan L. Shaw (1972) menjelaskan bahwa jika media memberi tekanan pada
suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting. Bansos adalah salah satu agenda yang diharapkan mempengaruhi agenda
publik.
Isu politik lain yang dimiliki Alas adalah kedekatan pasangan ini dengan
tokoh-tokoh masyarakat di Bangli. Tokoh pertama adalah Bupati Bangli sebelumnya
yakni I Nengah Arnawa. Hal ini tertuang dalam advertorial Alas di harian NusaBali
pada 21 April 2010 yang berjudul “Masyarakat Kompak Dukung Paket ArsadaLasmawan”.
Salah satu tokoh masyarakat Desa Songan, Kintamani, Bangli,
Jro Mangku Gede Ardana alias Jro Tomi mengatakan, pihaknya
mendukung untuk memenangkan ALAS karena paket ini selain
representasi dari Arnawa juga paket ini bersahaja, komunikatif, dan
196
bersedia melayani masyarakat ketika diundang untuk datang seperti
mesimakrama. Bahkan sebelum dicalonkan sebagai bupati, Arsada
selalu bersedia datang ketika diundang masyarakat. “Karakter Pak
Arsada tidak jauh dengan Pak Arnawa. Untuk itu pilihlah ALAS,”
ajak Jro Tomi, Selasa (20/4).
Kliping Berita “Masyarakat Kompak Dukung Paket Arsada-Lasmawan”
(Dok: NusaBali, 21 April 2010)
Dalam advertorial ini jelas diungkapkan pesan politik yang disampaikan
tokoh lain yakni Jro mangku Gede Ardana atau Jro Tomi untuk memilih pasangan
Arsada-Lasmawan. Bahkan pesan yang disampaikan sangat politis yakni untuk
memilih ALAS, dengan alasan karakter ALAS tidak jauh dengan Bupati Arnawa.
Teknik yang digunakan ALAS ini adalah tehnik framing dengan menggunakan
perangkat metaphor atau perumpamaan diri yang sosoknya dekat dengan sosok
Bupati Arnawa. Kedekatan dengan bupati Arnawa ini adalah modal sosial yang
menueut Bourdieu (1986) diharapkan mampu menggalangkan massa.
Mendekati akhir masa kampanye, pasangan ALAS semakin mempertajam
pesan politik mereka. Pada advertorial di NusaBali pada tanggal 28 April 2010, yang
berjudul “Masyarakat Rela Antre Demi Paket ALAS”, ALAS kembali menekankan
dukungan terhadap pasangan ini makin meninggi. Selain dukungan yang semakin
meninggi, dalam advertorial tersebut ditekankan beberapa isu politis penting di
antaranya, visi misi yang menyentuh lapisan masyarakat seperti pendidikan dan
kesehatan, mengupayakan pelestarian budaya dan lingkungan masyarakat Bangli,
meningkatkan peran serta Desa Adat, Desa Pakraman, dan pesan politik lainnya.
197
Namun dari advertorial ini, pasangan ALAS lebih menekankan bahwa
pasangan ALAS ini semakin dicintai oleh beragam kelompok masyarakat di Bangli.
Dalam advertorial ini terlihat jelas bahwa pasangan ALAS ingin menunjukkan bahwa
dukungan masyarakat terhadap pasangan ALAS semakin membesar. Hal ini
dinyatakan dengan kata-kata seperti membludak, pendukung rela antre, dan rangkaian
kata antusias kelompok masyarakat. Pada advertorial ini pun dijelaskan lebih lanjut
alasan mengapa pasangan ALAS semakin mendapat dukungan dari beragam
kelompok masyarakat. Dari sisi inilah pasangan ALAS menegaskan bahwa dukungan
yang mengalir ke pasangan ALAS tidaklah tanpa alasan. Pasangan ALAS dalam
pesan politik berikutnya mencoba menjelaskan visi misi mereka. Adapun visi misi
tersebut telah disebutkan dalam advertorial sebelumnya. Jadi pesan politik dalam
advertorial ini adalah pengulangan dan penekanan kembali dari pesan politik yang
telah ALAS sampaikan dalam visi misi pasangan ALAS.
Mendekati akhir masa kampanye, pasangan ALAS dalam advertorialnya pun
semakin jelas mengajak pembaca memilih pasangan ALAS ini. Hal ini ditunjukkan
dalam advertorial di harian NusaBali dengan judul “Masyarakat Rela Antre Demi
Paket ALAS”, pada tanggal 28 April 2010 yang menggunakan foto Arsada yang
sedang memegang surat suara nomor urut 4 dan dalam posisi siap mencoblos, seperti
pada foto 5.7..
198
Kliping 5.7 Foto Masyarakat Rela Antre Demi Paket ALAS,
(Dok: NusaBali 28 April 2010)
Dalam foto terlihat calon bupati Arsada sedang duduk bersila dengan
menggenakan pakaian adat Bali lengkap. Sembari bersila, Arsada memegang kertas
dengan foto pasangan ALAS diperbesar, sedangkan pada dasar kertas tersebut
seluruh pasangan calon bupati dan wakil bupati Bangli yang digambarkan dalam
sosok hitam. Di samping foto pasangan ALAS yang telah diperbesar terdapat gambar
tangan dengan memegang paku yang seolah-olah akan menusuk gambar pasangan
ini. Dari foto di atas maka terlihat jelas pesan politik yang disampaikan adalah mari
memilih pasangan dengan nomor urut 4 dalam pemilukada Bangli 4 Mei 2010. Hal
ini dipertegas dengan kutipan foto dibawahnya dengan kalimat, ARSADA
199
menunjukkan foto pasangan ALAS nomor 4 agar dicoblos pada 4 Mei mendatang.
Jadi pada advertorial ini jelas pesan politik yang disampaikan ALAS yakni coblos
pasangan ALAS dengan nomor urut 4.
5.4 Bentuk Pertarungan dalam Artikel Berita Berbayar
Artikel berita berbayar adalah penyimpangan dari artikel berita pada
umumnya. Artikel berita berbayar memiliki bagian-bagian yang serupa dengan berita
pada umumnya, dimana dimulai dengan judul berita, lalu lead berita dan isi berita.
Namun yang membedakan adalah pihak yang membuat artikel berita tersebut. Artikel
berbayar biasanya dibuat oleh pihak di luar media, atau dibuat oleh wartawan media
dengan pesanan dari pihak dari luar media. Kompensasi dari artikel ini adalah pihak
kedua membayar kepada pihak media agar berita mereka dimuat dalam media
tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Berger (dalam Eriyanto, 2005) dimana
dikatakan bahwa teks berita tidak dapat disamakan seperti cerminan dari realitas,
namun konstruksi atas realitas.
Artikel berbayar ini adalah negosiasi antara suatu pihak dengan pihak media
dimana pihak kedua membayar kepada media agar berita atau artikel mereka dimuat.
Artikel berita berbayar sulit dibedakan dengan artikel berita biasa, karena komposisi
yang sama dengan berita biasa. Struktur dan komposisi artikel berbayar tidak ada
perbedaan dengan artikel biasa. Jenis kata dan ukurannya pun sama dengan berita
200
biasa. Artikel berita berbayar ini banyak dapat ditemukan dalam harian BaliPost,
pada halaman dalam.
Kliping 5.8 Berita Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra,
(Dok: BaliPost, 20 April 2010)
Beberapa indikator artikel berita berbayar ini adalah sifat berita tidak lagi
mengandung keterbaruan, di mana terkadang keterangan waktu sudah tidak lagi
201
aktual. Indikator lainnya adalah isi berita biasanya hanya dari satu sudut pandang
tanpa ada pandangan dari sisi yang berseberangan.
5.4.1 Pertarungan Citra Diri dalam Artikel Berita Berbayar
Pasangan yang paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam
komunikasi politiknya adalah pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba
mencitrakan diri positif melalui artikel berita berbayar. Beberapa citra diri yang
dicoba dikonstruksi oleh Brahmawijaya adalah santun dan beretika, beretika,
bijaksana, dan memiliki kedekatan kepribadian dan personal dengan Susilo Bambang
Yudhoyono. Salah satu contoh berita berbayar yang dipasang oleh Brahmawijaya
pada kliping berita 5.8.
Contoh artikel berbayar lainnya antara lain pada saat mendekati akhir masa
kampanye yang ditutup dengan kampanye terbuka pada tanggal 29 April 2010.
Pasangan Brahmawijaya menyiapkan amunisi lain dalam pertarungan pemilukada.
Pada tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya menggelar kampanye puncak
dengan menghadirkan tokoh pusat Partai Demokrat Andi Mallarangeng dan Ketua
Umum DPP PNI Marhaenisme, Sukmawati Soekarnoputri.
Dimuatnya berita “Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye
Pemungkas Brawijaya di Kayubihi” di Radar Bali, di hari puncak kampanye seolaholah telah memberi gambaran dalam benak si pembaca bagaimana puncak kampanye
202
yang akan digelar pasangan Brahmawijaya di lapangan Kayubihi. Dalam berita ini
media menyeting agenda bahwa puncak kampanye pasangan Brahmawijaya akan
berlangsung meriah. Proses media mempengaruhi publik dengan setting agenda ini
ditentukan oleh bagaimana terbentuknya agenda media dengan teori ekonomi politik
media (Kriyantono, 2010:232). Hal ini terkait dengan artikel berita berbayar dimana
ada faktor ekonomi dan politik di dalam menyeting agenda dari media yang
bersangkutan.
Pasangan Brahmawijaya dalam komunikasi politiknya di media cetak terdapat
beberapa citra diri yang ingin ditampilkan. Beberapa citra diri yang terkonstruksikan
antara lain adalah sebagai sosok yang santun dan beretika, bijaksana, memiliki
kepribadian yang serupa dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam tahap
konstruksi citra diri menurut Berger dan Luckman (2000), media massa dipandang
sebagai variabel atau fenomena yang sangat substantif.
Pasangan dengan nomor urut lima lebih mengkonstruksikan diri sebagai
pasangan yang santun dan beretika. Hal ini tercermin dari pemberitaan-pemberitaan
mengenai pasangan ini. Salah satu beritanya adalah di Harian Bali Post pada tanggal
20 April 2010 dengan judul berita “Hari Pertama Kampanye Milik I.B.
Brahmaputra”. Dalam alinea pertama diberitakan suasana tegang yang terjadi pada
hari pertama kampanye ternyata mampu disejukkan oleh pasangan Brahmawijaya ini.
Berikut kutipan beritanya:
203
Sidang Paripurna DPRD Bangli hari pertama masa kampanye
Sabtu (17/4) lalu sempat tegang. Namun, dengan tampilnya
pasangan nomor 5 Cabup Bangli I.B. Brahma Putra dan I Wayan
Winurjaya (Brahmawijaya)—sosok santun – ternyata mampu
menyejukkan suasana panas sidang. Apresiasi simpati pun ketika
itu langsung tertuju kepada Brahmawijaya.
“Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra”
(dok: BaliPost, 20 April 2010)
Dalam berita tersebut juga dikatakan bagaimana dampak dari sikap santun
Brahmawijaya langsung mendapat simpati oleh masyarakat. Citra santun yang
disampaikan Brahmawijaya pun dikatakan berlangsung tidak hanya hari pertama
kampanye namun juga pada saat pementasan kesenian. Dalam berita mengenai
pementasan kesenian terkonstruksi bahwa pasangan Brahmawijaya adalah sosok yang
santun kebapakan dan penuh petuah serta bijaksana. Sosok Brahmawijaya juga
dicitrakan sebagai sosok yang penuh etika dan selalu tampil santun, serta menjunjung
tinggi kedamaian. Pencitraan sebagai sosok yang santun ini menggunakan perangkat
framing berupa pemakaian kata (Eriyanto, 2002:255) seperti sosok santun, dan
menyejukkan suasana panas.
Pemilihan diksi kata ternyata memiliki dampak dalam pembentukkan citra
pasangan Brahmawijaya. Kata lainnya yang digunakan dalam pemberitaan dengan
judul “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra” adalah menjunjung tinggi
kedamaian, selalu tampil santun, penuh etika, kesejukan yang ditampilkan, tidak
arogan, tidak menjelekkan calon lain.
204
Adapun citra yang ingin disampaikan Brahmawijaya dalam pemberitaan yakni
lebih pada citra sosok yang santun dikarenakan latar belakang partai pengusungnya
yakni koalisi antara Partai Demokrat dengan PNI Marhaenisme. Partai Demokrat
sendiri berasosiasi dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang dikenal sebagai
sosok yang santun. Praktik framing ini menggunakan perangkat framing metaphors
(Eriyanto, 2002:255) atau perumpamaan dan pengandaian dengan sosok Susilo
Bambang Yudhoyono.
Pencitraan ini dilakukan melalui konstruksi berita di harian Bali Post pada
tanggal 24 April 2010, dengan judul “SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya, Tekankan
Kampanye Damai dan Simpatik”. Dalam berita tersebut diberitakan Susilo Bambang
Yudhoyono dan sejumlah menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu menyempatkan diri
mengunjungi Posko Pemenangan Brahmawijaya.
Dari berita yang sama jelas ingin menunjukkan kedekatan pasangan
Brahmawijaya dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY diberitakan
memberikan apresiasi kepada seluruh pendukung pasangan Brahmawijaya yang
dikatakan selama ini telah berjuang dengan penuh kerelaan. Dalam berita ini juga
memuat foto SBY dan ibu Ani Yudhoyono bersama kedua pasangan. Teknik framing
yang digunakan selain kalimat dan kata juga teknik perangkat framing dengan
menggunakan foto atau imaji visual (Eriyanto, 2002:255). Dalam foto terlihat Susilo
Bambang Yudhoyono dan ibu Ani Yudhoyono diapit oleh I.B. Brahmaputra dan
Wayan Winurjaya. Susilo Bambang Yudhoyono mengenakan pakaian hangat kotak-
205
kotak, sedangkan ibu Ani Yudhoyono mengenakan pakaian kebaya dan mengenakan
syal hangat. I.B. Made Brahmaputra dan Wayan Winurjaya dalam foto tersebut
mengenakan baju adat Bali lengkap berwarna putih. Keempatnya dalam pose
tersenyum menghadap kamera. Foto ini menunjukkan kedekatan diri Brahmawijaya
dengan sosok Susilo Bambang Yudhoyono secara fisik maupun perilaku. Hal ini
terlihat dalam foto 5.4.
Foto 5.4 Foto “SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya Tekankan Kampanye Damai dan
Simpatik”, (Dok: BaliPost, 24 April 2010)
5.4.2 Pertarungan Isu Politis dalam Artikel Berita Berbayar
Pasangan Brahmawijaya pun menyadari pentingnya isu politik dalam
pertarungan kekuasaan kepala daerah di Bangli. Brahmawijaya pun memandang isu
politik atau pesan politik menjadi faktor yang cukup signifikan dalam sebuah
pertarungan perebutan kedudukan politik. Berbeda dengan pasangan lainnya isu
206
politik yang diusung pasangan I.B. Brahma Putra dan I Wayan Winurjaya lebih
bersifat terselubung dalam kemasan berita berbayar.
Pasangan Brahmawijaya lebih cenderung menyampaikan pesan-pesan
politiknya dalam berita dan artikel berita berbayar. Isu politik yang diangkat oleh
pasangan ini antara lain adalah politik santun dan beretika. Isu politik yang diusung
oleh pasangan Brahma Putra dan I Wayan Winurjaya adalah politik santun dan penuh
dengan etika. Hal ini terlihat dalam pemberitaan di harian BaliPost pada tanggal 20
April 2010 yang berjudul “Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra” di
BaliPost, 20 April 2010. Agenda setting menurut McCombs dan L. Shaw (1972) jika
media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan mempengaruhi
khalayak untuk menganggapnya penting
Politik citra yang santun dan beretika inilah yang menjadi pesan politik
pasangan Brahma Putra. Hal ini dikarenakan dalam berita sepanjang 6 (enam) alinea
ini sama sekali tidak memberitakan visi dan misi pasangan Brahma Putra. Bahkan
penyampaian visi misi pasangan Brahmaputra ini hanya diberitakan sebagai latar
belakang saja, tidak menjadi penekanan berita.
...Ini dibuktikan dengan munculnya I.B. Brahma Putra pada saat
memaparkan visi dan misi di hadapan wakil rakyat yang
sebelumnya berlangsung menegangkan. Ternyata, tampilnya
Brahmawijaya telah mencairkan suasana tegang itu. Dimana,
Brahmawijaya ketika itu menyampaikan visi dan misi secara utuh,
tanpa dikurangi. Visi dan misi calon bupati dan wakilnya
merupakan dokumen rencana pembangunan jangka menengah
Kabupaten Bangli.
“Hari Pertama Kampanye Milik I.B. Brahma Putra”,
(Dok: BaliPost, 20 April 2010)
207
Kutipan berita di atas menegaskan bahwa pesan politik yang diusung
Brahmawijaya lebih kepada politik citra. Pasangan ini sama sekali tidak
mengungkapkan visi misinya dengan cukup jelas. Pesan politik ini pun disampaikan
dalam harian Bali Post pada tanggal 24 April 2010, dengan judul SBY Kunjungi
Posko Brahmawijaya, Tekankan Kampanye Damai dan Simpatik. Dalam berita ini
ditekankan pesan politik yang santun dimana menekankan pentingnya kampanye
dengan penuh simpatik, menjauhi sikap provokatif serta saling menghormati. Politik
citra yang santun ini ditambah dengan karakteristik pasangan Brahmawijaya yang
karakteristiknya sama dengan partai yang mengusungnya yakni Partai Demokrat.
Dalam berita di atas terdapat realitas yang dikemas oleh media atau dikemas melalui
media. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk pengemasan isu politis melalui
pembingkaian dan konstruksi berita. Konstruksi akan realitas di media ini adalah
tahap pertama dalam mengkonstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi
media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa yang
tersaji di media sebagai suatu realitas kebenaran (Berger dalam Bungin, 2007:208).
Ditambahkan, pihaknya bersama seluruh jajaran relawan
Brahmawijaya tidak pernah kehilangan komitmen untuk
memenangkan pemilukada mendatang dengan sikap yang elegan,
terlebih lagi pihaknya telah menerima pesan langsung dari Ketua
Dewan Pembina Partai Demokrat. Tentunya hal itu akan dijadikan
pegangan sehingga arah perjuangan pihaknya menjadi makin jelas
untuk mencapai satu tujuan yakni memenangkan pilihan rakyat.
“SBY Kunjungi Posko Brahmawijaya Tekankan Kampanye Damai dan
Simpatik”, (Dok: BaliPost, 24 April 2010)
208
Dalam berita di atas jelas terungkap kata yang selalu diulang yakni simpatik,
mengedepankan sopan santun, sikap yang elegan. Di berita ini juga tertulis hal nyata
yang dilakukan Brahmawijaya selain hanya mengatakan kampanye damai saja. Hal ini
dikatakan Ketua Tim Relawan Pemenangan Brahmawijaya Kecamatan Kintamani,
Putranata. Dari kutipan berita di atas diketahui bahwa pasangan Brahmawijaya ini
mengusung isu politik yang elegan dan selalu mengikuti aturan main dari KPUD
Bangli. Pesan politik yang senada pun disampaikannya dalam alinea terakhir yang
menekankan pemilukada sebagai pesta demokrasi yang penuh dengan keceriaan.
Mendekati akhir masa kampanye yang ditutup dengan kampanye terbuka pada
tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya menyiapkan amunisi lain dalam
pertarungan pemilukada. Pada tanggal 29 April 2010, pasangan Brahmawijaya
menggelar kampanye puncak dengan menghadirkan tokoh pusat Partai Demokrat
Andi Mallarangeng dan Ketua Umum DPP PNI Marhaenisme, Sukmawati
Soekarnoputri. Kampanye terbuka tersebut dilaksanakan di lapangan Kayubihi
Bangli. Pertarungan melalui orasi terbuka dan kampanye dengan mengerahkan massa
baru akan dimulai pada tanggal 29 April 2010 menjelang siang, namun pertarungan di
media cetak telah dimulai sejak surat kabar harian terbit di pagi hari. Pada harian
Radar Bali, tanggal 29 April 2010, telah terdapat berita rencana kampanye
pamungkas pasangan Brahmawijaya.
Berita “Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye Pemungkas
Brawijaya di Kayubihi” juga sarat akan pesan politik. Pesan politik yang ingin
209
disampaikan pertama adalah turunnya tokoh-tokoh nasional dari partai yang
menyusung pasangan Brahmawijaya. Langkah ini ingin membuat pembaca berasumsi
positif akan kesungguhan pasangan Brahmawijaya. Hal ini terlihat dengan
penggunaan kata benar-benar all out.
Pesan politik yang berikutnya adalah kampanye terbuka pasangan
Brahmawijaya ini akan diikuti oleh ribuan massa. Dengan berita ini, maka tim
pemenangan Brahmawijaya ingin membuat asumsi bahwa dukungan masyarakat akan
pasangan Brahmawijaya cukup besar. Kampanye pasangan ini diberitakan akan
dihadiri lebih dari 10ribu massa. Berikut kutipan beritanya;
Politikus vocal asal Demulih, Susut yang juga adik kandung
Brahmaputra ini menyebutkan, kampanye akan diikuti ribuan
massa. “Kita akan menghadirkan 10 ribu massa,” kata Santosa
yang juga anggota DPRD Bangli itu. Hal yang tidak jauh beda juga
ditegaskan Kadek Madra, salah satu relawan pemenangan
Brawijaya. Pria yang dikenal militant terhadap Brahmaputra itu
mengaku akan mengerahkan massa semaksimal mungkin. “Untuk
wilayah Kota ribuan massa akan berkumpul di lapangan Taman
Bali,” kata pria asal banjar Pule itu. Sakeng semangatnya, Madra
bukan menyebutkan 10ribu massa. Jika tidak ada halangan, 15ribu
massa siap dihadirkan. (sur)
“Hadirkan Sukmawati dan Andi Mallarangeng: Kampanye
Pemungkas Brawijaya di Kayubihi”,
(Dok: Radar Bali, 29 April 2010)
Dari kutipan berita Radar Bali di atas diketahui bahwa pesan yang ingin
disampaikan pasangan Brahmawijaya adalah kekuatan mobilisasi massa yang besar
hingga mencapai 15ribu massa. Ini adalah salah satu serangan politik kepada
210
pasangan calon lainnya, pesannya jelas bahwa massa yang mendukung pasangan
Brahmawija cukup besar. Berita ini didukung oleh berita pada hari berikutnya pada
tanggal 30 April 2010, dengan judul berita “Kampanye Brahma-Wijaya Dibanjiri
Massa”.
Kliping 5.9 “Kampanye Brahma-wijaya Dibanjiri Massa”,
(Dok: NusaBali, 30 April 2010)
Artikel berita berbayar pun digunakan oleh pasangan lainnya yakni pasangan
GITA.
Pasangan
GITA
menggunakan
artikel
berita
berbayar
untuk
mengkomunikasikan beberapa pesan politik mereka. Pesan politiknya di antaranya
211
adalah jargon GITA, memilih dengan hati nurani, dan juga pesan bahwa mereka
diprediksikan akan memenangi pemilukada. Pesan politik memilih dengan hati nurani
disampaikan dalam artikel berita 5.10. yang termuat dalam harian NusaBali pada
tanggal 22 April 2010, dengan judul “Pasangan Gita Ajak Pilih Pemimpin dengan
Hati”.
Kliping 5.10 “Pasangan Gita Ajak Pilih Pemimpin dengan Hati”,
(Dok: NusaBali, 22 April 2010)
Dalam berita tersebut, NusaBali menulis pesan politik pasangan GITA baik pada
judul maupun alinea pertama. Dari kutipan berita di atas diketahui bahwa pesan yang
disampaikan oleh pasangan GITA adalah memilih pemimpin sesuai dengan hati
212
nurani, cerdas, dan tulus. Pasangan ini juga mengatakan bahwa apabila memilih
dengan hati nurani, cerdas dan tulus maka akan lahir pula pemimpin yang tulus. Hal
ini akan berbeda apabila memilih berdasarkan uang yang diberikan oleh pasangan
calon lainnya. Ini adalah serangan yang digunakan GITA untuk melawan calon
pasangan lainnya dengan tudingan menggunakan uang untuk memperoleh suara.
Penggunaan GITA sebagai akronim dari pasangan ini pun memiliki tujuan. GITA
dibingkai dengan perangkat framing Catchphrases dan Metaphors (Gamson dalam
Eriyanto, 2002 : 255) dimana diumpamakan sebagai pasangan yang menarik dalam
artian GITA adalah nyanyian suci.
Pada hari terakhir kampanye, tanggal 30 April 2010, terdapat berita di Harian
NusaBali yang memuat mengenai kampanye terbuka pasangan Gita pada hari terakhir
yakni tanggal 29 April 2010. Dalam berita “Gita Diperdiksi Meraih 53 Persen”,
diberitakan mengenai prediksi sebuah lembaga survey yang menyatakan bahwa
pasangan Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Arta (Gita) akan memperoleh 53
persen suara. Hal ini menunjukkan seolah-olah pasangan Gita ini telah memenangkan
pemilukada dengan raihan suara 53 persen. Dengan adanya berita ini maka
diharapkan mampu memberi dorongan dan dukungan bagi masyarakat di Bangli
untuk memilih Gita. Dalam berita di atas terdapat realitas yang di kemas oleh media
atau dikemas melalui media. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk pengemasan isu
politis melalui pembingkaian dan konstruksi berita. Konstruksi akan realitas di media
ini adalah tahap pertama dalam mengkonstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk
213
konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan
apa yang tersaji di media sebagai suatu realitas kebenaran (Berger dalam Bungin,
2007:208).
214
Kliping 5.11 “Gita Diprediksi Meraih 53 Persen”, (Dok: NusaBali, 30 April 2010)
Uniknya berita tersebut tidak menyertakan narasumbernya sama sekali, nama
lembaga surveynya pun tidak ditulis sama sekali. Hal ini menunjukkan hal yang
cukup menimbulkan pemikiran negatif. Berita sudah sewajarnya menyertakan sumber
yang jelas. Pada alinea berikutnya pun dikatakan bahwa survey ini sudah berulang
kali dilakukan oleh lembaga survey ini. Hal ini berbeda dengan yang dikatakan
Berger (dalam Bungin 2007:208) bahwa pada tahap kedua diperlukan kesediaan
dikonstruksi oleh media massa. Namun yang terjadi adalah sumber berita adalah
pihak yang mengkonstruksi sendiri realitas dan media massa bersifat pasif.
Pada berita Gita Diprediksi Meraih 53 Persen ini juga mengandung pesan
politik praktis untuk memilih pasangan Gita dalam pemilukada 4 Mei 2010. Dalam
berita ini dengan secara eksplisit dikemukakan untuk memilih pasangan dengan
nomor urut 3. Ajakan untuk memilih pasangan Gita disampaikan langsung oleh calon
215
wakil bupati Sang Sedana Arta. Keyakinan akan memenangkan pemilukada dengan
raihan suara 53 persen, didukung dengan berita yang menyatakan besarnya dukungan
masyarakat Bangli kepada pasangan ini. Berita ini pun memuat bagaimana
harapannya agar masyarakat mendukung pemerintahan pasangan ini selama lima
tahun ke depan.
Dalam Pilkada Bangli 2010 nanti, ada 168.357 suara yang
diperebutkan. Sebanyak 68.665 suara atau 40,79 persennya berada
di Kecamatan Kintamani, sementara sisanya tersebar di tiga
kecamatan yakni Susut (34.298 suara), Tembuku (29.229 suara),
dan Kecamatan Bangli (36.165 suara). Berdasarkan survey
terakhir, paket Gita unggul di tiga kecamatan yakni Kintamani
(Kampung halamannya), Bangli, dan Tembuku. Sedangkan di
Kecamatan Susut, terjadi persaingan ketat dengan paket Cabupcawabup lainnya.
“Gita Diprediksi Meraih 53 Persen”,
(Dok: NusaBali, 30 April 2010)
Bentuk-bentuk pertarungan para aktor politik di media cetak yang telah
dijelaskan pada bab ini, tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil
sebuah konstruksi dan realitas yang dibentuk oleh pelaku komunikasi politik itu
sendiri. Bentuk pertarungan ini dipengaruhi oleh beragam faktor. Faktor-faktor inilah
yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab berikutnya yakni bab faktor-faktor yang
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak.
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PERTARUNGAN AKTOR POLITIK DI MEDIA CETAK
Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010
dipengaruhi oleh tiga faktor dominan yaitu faktor ekonomi, politik, dan faktor media
massa. Ketiga faktor ini tidak berdiri sendiri namun saling bersinggungan dan
bergantung
satu
sama
lainnya.
Dalam
menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi, digunakan teori analisis teks media dengan pendekatan kulturalis.
McNair (2011;3) mengatakan pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan
ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita dilihat sebagai
mekanisme yang rumit di mana melibatkan faktor internal media (rutinitas dan
organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media. Mekanisme yang
rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang
pemberitaan. Media pada dasarnya memang mempunyai mekanisme untuk
menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi berbagai pola yang dipakai untuk
memaknai peristiwa tersebut tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi
politik di luar diri media (McNair, 2011:6).
216
217
Media cetak dalam hal ini adalah wadah arena pertarungan. Menurut Bourdieu
(dalam Ritzer, 2010:581-582) arena atau field adalah sebuah arena pertarungan.
Struktur field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan
penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka
untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi
produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis
modal saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Field atau ranah tempat pertarungan
aktor politik dalam penelitian ini adalah media cetak. Bentuk field atau tempat
pertarungan telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yakni dapat berupa artikel
berita, advertorial, iklan, dan artikel berita berbayar.
Dalam menganalisis isi media digunakan teori produksi teks media dari
Shoemaker dan Reese (1996:64). Shoemaker dan Reese membagi dua faktor yang
mempengaruhi produksi teks media, yakni faktor internal media dan eksternal media.
Kedua pandangan inilah yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli
2010.
6.1 Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi adalah faktor yang paling berperan dalam pertarungan aktor
politik di media massa, dibandingkan faktor politik dan faktor media itu sendiri.
218
Namun kekuatan terbesar adalah dorongan ekonomi yang berlaku di pasar. Faktor
ekonomi terbagi dalam dua sektor, yakni di faktor ekonomi media dan faktor
ekonomi aktor politik. Faktor ekonomi media massa diketahui dari. rutinitas media,
organisasi media, dan sumber penghasilan media. Kekuatan ekonomi atau kapital
tercatat sebagai faktor yang paling dominan mempengaruhi pertarungan aktor politik
di media cetak. Sistem pemuatan berita dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya
komunikasi politik aktor politik di media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali
mencari keuntungan yang berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan
ideologinya demi meraup untung lebih besar. Hal ini akan dijelaskan pada sub bab
faktor ekonomi media berikutnya.
Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak menjadi
hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi sebuah
rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di Bangli.
Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga iklan
politik terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut.
Dalam membahas mengenai ekonomi media dipaparkan dalam dua faktor,
yakni rutinitas organisasi media dan sumber pendanaan media cetak. Gramsci (dalam
Sugiono, 1999:31) mengungkapkan agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang
dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta
norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas
219
subordinasi mereka. Maka dalam pemilukada Bangli, pihak yang tersubordinasi
dalam media adalah calon-calon yang tidak memiliki akses terhadap media.
6.1.1 Faktor Rutinitas Ekonomi Media
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita.
Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita,
apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut
adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi
pengelola media yang berada di dalamnya (Shoemaker,1996:100). Rutinitas media ini
berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Shoemaker (1996:100)
mengatakan rutinitas terjadi ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput,
bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja
sebuah tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan
seterusnya.
Setiap perusahaan media massa memiliki rutinitas yang berbeda-beda,
walaupun sebagian besar memiliki alur yang tidak jauh berbeda. Seperti Harian Bali
Post yang dipimpin oleh seorang pemimpin redaksi yang bertugas bertanggungjawab
atas seluruh pemberitaan. Setelah pemimpin redaksi terdapat redaktur pelaksana yang
menjalankan tugas sehari-hari dan bertanggungjawab atas kinerja dari redaktur
220
masing-masing bagian. Redaktur di sini berperan sebagai editor pula. Sedangkan
ujung tombak di lapangan adalah seorang wartawan.
Selama pemilukada Bangli 2010, wartawan Bali Post yang ditugaskan meliput
adalah Pujawan, dengan redaktur pelaksana di Denpasar yakni I Gusti Alit Purnata.
Menurut penuturan Alit, Pujawan diberikan kebebasan untuk meliput apa pun yang
menurut Pujawan menarik terjadi selama pemilukada di Bangli pada tahun 2010.
Selain berita hasil liputan Pujawan, Bali Post memiliki rutinitas lain dalam
pembentukan berita yang akan naik cetak. Bali Post memiliki kebijakan untuk
memberikan ruang bagi berita berbayar yang disebut Alit sebagai advertorial.
Kita berikan ruang advertorial. Advertorial itu ada yang langsung,
dari pemasang. Yang namanya advertorial itu adalah ketentuan
kita, kita edit kalau memang tidak sesuai dengan ketentuan, kalau
menjelek-jelekkan calon lain dan sebagainya. Kalau namanya
politik kan ada saringannya, ada filternya.
(Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 10 April 2011)
Pada berita advertorial di Bali Post rutinitas yang terjadi biasanya dua bentuk.
Bali Post menerima mentah bahan berita yang akan dinaikkan dari pasangan calon
kepala daerah atau tim suksesnya. Kedua Bali Post mengirimkan wartawannya untuk
membuat berita atas undangan dari pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya.
Namun Alit enggan mengungkapkan berapa biaya yang dihabiskan untuk membeli
advertorial di media Bali Post.
221
Kita tidak langsung (berhubungan) ya, siapa saja boleh saja
sepanjang dia sifatnya itu kan advertorial, bisa saja tapi tetap diedit
tidak menyinggung atau menjelekkan calon lain. Sebatas, mungkin
mempromosikan diri.
(Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 10 April 2011)
Hal ini menurut Gramsci (dalam Sugiono, 2010:41-42) adalah salah satu bentuk
kekuasaan melalui kekuatan ekonomi dalam menjaga sebuah relasi kekuasaan.
Namun dari catatan dan dokumentasi selama kampanye, dua pasangan calon yang
terbanyak memasang advertorial atau berita berbayar di Bali Post adalah pasangan
Brahmawijaya dan pasangan Gianyar- Sedana Arta (GITA). Alit mengatakan pihak
Bali Post tidak pernah membedakan atau berpihak pada pasangan manapun selama
pemilukada di Bangli 2010. Namun yang Bali Post lakukan adalah praktik framing
yang diungkapkan Pan dan Kosicki (1993, dalam Eriyanto, 2005:253) di mana Bali
Post membuat suatu berita yang lebih menonjolkan salah satu pihak dan
menempatkan beberapa informasi lebih daripada yang lain sehingga pembaca lebih
tertuju pada pesan tersebut.
Menurut keterangan marketing Bali Post, untuk biaya iklan berita di halaman
satu yang menyambung di halaman belakang, atau biasanya halaman 15 adalah Rp
13.200.000,00. Harga ini dengan rincian duabelas juta ditambah PPN 10%.
Sedangkan untuk berita di halaman dalam dan hitam putih biayanya 900 ribu rupiah
di luar pajak, apabila dengan pajak harganya biasanya dibulatkan menjadi satu juta
rupiah. Dalam prosesnya Alit mengatakan pihak Bali Post pun tidak pernah
mengajukan apa pun terhadap para pasangan calon atau tidak bertindak aktif, namun
222
cenderung menunggu atau lebih pasif. Alit Purnata mengatakan, “Biasanya tim
(sukses)nya yang mencari. Untuk harga juga tidak ada perbedaan, sama. Namanya
juga advertorial kan sama” (Alit Purnata. Redpel BaliPost, 10 April 2012).
Pengakuan Alit bertolak belakang dengan pengakuan salah satu pasangan
calon yang mengaku mendapatkan proposal dari pihak Bali Post untuk membeli
ruang berita advertorial di harian Bali Post. Hal ini diungkapkan salah satu calon
bupati dari calon perseorangan, Ida Bagus Ketut Ludra. Ia mengatakan ada beberapa
pihak dari media massa yang menghampiri dengan beberapa ajuan untuk membeli
layanan advertorial di media tertentu. Kegiatan ini menurut Ludra dalah hal rutin
yang dilakukan media. Rutinitas ini yang mempengaruhi bagaimana media
membentuk berita (Shoemaker, 1996:103).
Berita ini segini, berita itu segini, yah anda tahu lah saya tidak
mau menyebut media. Semua media formatnya sama. Saya bilang
kalau anda minta berita dengan saya, mau wawancara saya
silahkan
(Wawancara IBK Ludra, calon perseorangan, 11 Maret 2012)
Hal yang sama juga diakui oleh calon kepala daerah dari Partai Golkar, Wayan
Gunawan. Ia mengatakan bahwa ia mendapat tawaran dari berbagai media untuk
memasang iklan maupun berita di media-media tertentu. Namun Gunawan
mengatakan ia menggunakan media untuk kepentingan yang terbatas saja.
223
Ditawari, direspons dengan analisis. Ditawari dalam keadaan
terpaksa saja demi sebuah relasi. Tidak karena sebuah kepentingan
yang ideal dalam konteks, paling sekali waktu pemberitaan ada.
Kan begitu yang menggerakkan media, paling ada kegiatan
pertemuan dimana. Dimanfaatkan, Cuma kadang-kadang sudah
terlalu kapitalis juga media. Jadi dimanfaatkan pada momen itu,
nilai tinggi.
(Wawancara Wayan Gunawan, calon kepala daerah, 12 Juli 2012)
Alit mengatakan pihak Bali Post tidak pernah berpihak pada calon mana pun
dari kelima calon kepala daerah di Kabupaten Bangli. Alit tetap menegaskan Bali
Post sama sekali tidak memiliki kepentingan dalam pemilukada Bangli dan tetap pada
kebijakan Bali Post yang mengajegkan Bali, dimana bersifat menyejahterakan rakyat
dan memberdayakan masyarakat.
Tidak ada yang istimewa, semua sama. Kita tidak ada
kepentingan, yang penting memberikan informasi kepada
masyarakat yang sebanyak-banyaknya dan yang sebenar-benarnya
sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Sebab kita tidak mungkin membantu orang per orang atau calon
per calon, tidak ada. Itu memang aturan kita, bahwa kita berada
dalam posisi netral. Iya, kita kan independen.
(Wawancara I Gusti Alit Purnata, Redpel BaliPost, 8 April 2011)
Ideologi yang dianut oleh Bali Post ini adalah nilai dalam media yang mempengaruhi
isi dari pemberitaan (Shomaker dan Reese, 1996:213). Hal serupa juga terjadi di
harian NusaBali.
Harian NusaBali dipimpin oleh seorang pemimipin utama.
Sedangkan untuk sehari-hari yang bertanggungjawab atas harian NusaBali adalah
224
seorang pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi membawahi beberapa redaktur, dimana
masing-masing redaktur memiliki beberapa wartawan. Pada tahun 2010, bertindak
sebagai pemimpin redaksi adalah I Ketut Naria. Naria mengatakan selama
pemilukada Bangli 2010, sedangkan wartawan yang turun lapangan adalah Pagar
Manurung. Pagar Manurung adalah seorang wartawan dengan spesialisasi
pemilukada, dan Manurung menghembuskan nafas terakhirnya pada tahun 2012,
akibat stroke.
Naria mengatakan bahwa NusaBali adalah media cetak di Bali yang fokus di
bidang politik. Untuk itu NusaBali memiliki kecenderungan untuk mengangkat berita
mengenai politik di halaman pertamanya. Naria mengatakan NusaBali pada
umumnya menampilkan pergumulan kekuatan politik selama pemilukada di Bangli.
Pilihan NusaBali dalam mengedepankan pergumulan politik adalah sesuai dengan
praktik Agenda Setting di mana diharapkan media mampu mentransfer isu untuk
mempengaruhi agenda public dalam hal ini opini politik publik selama pemilukada
(McComb and Shaw dalam Griffin, 2003:490).
Kami ini koran politik, image kami NusaBali adalah sebagai Koran
Politiknya di Bali ini. Itu kami pegang.
Oleh karena itu kami memberitakan power game yang ada atau
terjadi saat itu.. bagaimana pergumulannya baik di tengah
partainya sendiri ataupun antar pasangan calon
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred NusaBali,15 Mei 2012)
225
Jadi rutinitas di NusaBali dipengaruhi oleh kebijakan perusahaan yang sesuai
dengan citra yang melekat di NusaBali. NusaBali mengakui pihaknya memberikan
kesempatan selama kampanye untuk menggunakan medianya bagi seluruh pasangan
calon untuk mensosialisasikan visi misi pasangan. Rutinitas berita selama kampanye
yang dapat digunakan oleh pasangan calon adalah berita advertorial dan membeli
ruang kolom dalam media atau dilebih dikenal dengan istilah “kavling berita”.
Rutinitas yang dijalankan NusaBali tergantung pada kekuatan ekonomi yang dimiliki
calon kepala daerah. Bourdieu (1986) mengatakan modal ekonomi adalah salah satu
modal penting dalam melakukan ragam praktik.
Selain berita advertorial, maka bisa juga partai atau pasangan
calon membeli kavling pada halaman koran kami.. itu bisa juga
harganya sama dengan harga iklan..
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012)
Naria mengakui bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membeli “kavling
berita” di halaman satu mencapai 15 ribu rupiah per millimeter kolom. Bahkan untuk
satu artikel berita politik di halaman satu yang menyambung ke halaman 15 dapat
menghabiskan dana sebesar 16 juta rupiah. Sedangkan untuk membeli berita
advertorial harganya lebih murah dan tergantung dengan harga yang diberikan oleh
pihak marketing Nusa Bali.
226
Untuk halaman satu, yang bersambung beritanya ke halaman
belakang itu bisa dihargai 16,5 juta.. kalau BaliPost kan hanya 4
sampai 5 jutaan.. kita memang mahal namun jangan disamakan
karena Nusa itu ya koran politik, pembacanya jelas yakni orangorang yang suka dan berpolitik.. jadi tidak mungkin rugi.
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012)
Naria mengakui harga berita berbayar di Nusa Bali lebih mahal apabila dibandingkan
media seperti Bali Post maupun Radar Bali. Naria mengatakan harga yang mahal di
Nusa Bali sebanding, karena pembaca Nusa Bali memiliki karakteristik sebagai
pembaca yang kerap peduli dan mengerti dengan politik di Bali. Untuk sebuah berita
politik di halaman pertama dan menyambung di halaman enambelas, dihargai 16 juta
rupiah per sekali muat. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa modal ekonomi
menjadi kunci dalam pertarungan isu di media cetak dibandingkan modal lain yang
diungkapkan Bourdieu (1986).
Namun Naria mengatakan walaupun berita ini termasuk berita berbayar, Nusa
Bali tetap memegang idealisme sebagai media massa. Rutinitas Nusa Bali dalam
menghadapi berita berbayar adalah menetapkan etika dan aturan yang berlaku untuk
setiap berita berbayar. Salah satu aturannya adalah tidak boleh menjelekkan atau
memojokkan pasangan lainnya. Aturan lainnya adalah tidak boleh menyebarkan
berita bohong. Hal ini menurut Naria sangat penting untuk tetap menjaga nama baik
dan independensi dari media Nusa Bali. Apa yang dikatakan oleh Naria ini
membuktikan bahwa ideologi yang menurut Shomaker dan Reese (1996:213)
seharusnya mempengaruhi isi media namun tidak berperan cukup signifikan.
227
Namun kami tidak melepaskannya begitu saja, tetap ada ramburambunya seperti bahasanya, substansinya bahkan foto apa yang
sebaiknya dimuat dalam halaman berita tersebut. Ini penting untuk
tetap menjaga nama baik Nusa. Kalau tidak waduh bisa gawat
nantinya, kita kan tetap harus independen.
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali,15 Mei 2012)
Naria mengatakan bahan berita berbayar biasanya dapat dalam dua bentuk. Pertama
yakni diberikan langsung oleh si pasangan calon atau tim sukses dari pasangan calon
kepala daerah. Bentuk ini lebih dikenal dengan nama rilis ke media. Rilis ke media
cenderung sudah lengkap dan siap cetak serta telah dilengkapi oleh foto-foto yang
akan diikutsertakan dalam berita berbayar. Kedua, NusaBali mendapatkan undangan
dan mengirimkan wartawannya untuk meliput acara yang dimaksudkan oleh calon
kepala daerah atau pun tim sukses calon pasangan kepala daerah. Kedua praktik ini
adalah bentuk framing yang dilakukan media terhadap sebuah peristiwa atau fakta.
Dengan adanya pesanan berita atau setoran berita ini maka ada praktik penempatan
informasi dalam konteks yang unik dengan menempatkan elemen tertentu dari suatu
isu yang lebih menonjolkan kepentingan pihak tertentu (Eriyanto, 2005:253).
Rutinitas yang hampir serupa juga dilakukan oleh harian Radar Bali. Radar
Bali memiliki susunan yang serupa dengan media cetak lainnya. Radar Bali dipimpin
oleh seorang General Manager, dengan seorang pemimpin redaksi. Untuk urusan dan
tanggung jawab sehari-hari terdapat seorang redaktur pelaksana. Di ujung tombak
pemberitaan adalah seorang wartawan. Di Radar Bali, rutinitas pembuatan dan
228
pemuatan berita juga memiliki rutinitas yang berbeda. Di Radar Bali, menurut
redaktur pelaksana, Hari Puspita, tidak dikenal dengan adanya berita berbayar. Hari
Puspita juga mengatakan bahwa di Radar Bali tidak pernah mempraktikkan jual beli
kavling berita semasa kampanye pemilukada Bangli tahun 2010.
Sejauh ini kami berusaha untuk tetap independen, tidak ada
keterkaitan antara kebijakan Radar untuk berpihak ke calon siapa
misalnya, atau harus mendukung siapa.
(Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Harian Radar
Bali,22 Mei2012)
Namun hal berbeda diungkapkan wartawan Radar Bali, Gde Oka Suryawan
yang bertugas sebagai wartawan untuk meliput selama pemilukada Bangli tahun
2010. Ia mengatakan ia baru melakukan tugas peliputan ke Bangli apabila ada
pesanan dari kantor, terutama dari pihak marketing. Ternyata informasi ini bertolak
belakang dengan apa yang diungkapkan Hari Puspita. Namun Hari mengakui Radar
Bali melakukan praktik jual eksemplar apabila diminati oleh calon kepala daerah atau
tim sukses pasangan calon. Hari menjelaskan Radar Bali membuka diri bagi
pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya apabila ingin termuat dalam harian
Radar Bali maka Radar Bali akan melakukan barter dengan membeli sejumlah
eksemplar koran Radar Bali pada waktu tertentu. Tentu saja oplahnya akan lebih
tinggi pada hari tersebut. Namun Hari enggan menjelaskan lebih lanjut mengenai
harga yang dikenakan untuk masing-masing calon kepala daerah. Hari lebih
menyerahkannya kepada pihak marketing atau pemasaran Radar Bali. Dari paparan
229
di atas kembali diketahui bahwa modal ekonomi adalah modal yang paling berperan
dalam pertarungan calon kepala daerah untuk tampil di media. Sekali lagi terungkap
bahwa dari tiga modal yang diungkapkan Bourdieu (1986), modal ekonomi adalah
modal yang berperan signifikan.
Ya, memang ada yang beli koran misalnya pas kampanye gitu.
Tapi tidak terus kami membalikkan fakta itu, tidak. Kalau koran
memang ada. Biasanya seminggu sekali kan ada profil, kami
memberikan kesempatan untuk semua calon. Ada yang beli koran
sih memang, yang profil itu. Kami juga memberikan kesempatan
yang lainnya.
(Wawancara Hari Puspita,Redaktur Pelaksana Radar Bali,
22 Mei 2012)
Hari menjelaskan biasanya berita yang tukar dengan pembelian eksemplar ini
tetap sejalan dengan ideologi yang dijalankan Radar Bali, dan tetap dijamin
independennya. Hari mengatakan kuasa proses pembuatan berita ini tetap di tangan
Radar Bali, dimana wartawan Radar Bali yang ditugaskan untuk meliput berita
undangan yang dikirim oleh pasangan calon kepala daerah atau tim suksesnya. Hari
Puspita enggan menjelaskan calon mana yang paling sering menggunakan layanan
beli eksemplar ini. Namun dari pemaparan Oka, diketahui bahwa Oka baru meliput
proses pemilukada Bangli saat ada pesan dari Radar Bali untuk meliput karena ada
pesanan dari pihak pemasaran. Oka menjelaskan ia cukup jarang berinisiatif meliput
dalam pemilukada saat masa kampanye di Bangli apabila tidak ada perintah dari
pihak Radar Bali. Dari paparan di atas terungkap bahwa ideology media kerap kali
termarginalkan oleh kekuatan ekonomi.
230
Jarang sebenarnya meliput di Bangli, tidak ada pesanan.
Sebenarnya waktu itu space untuk Bangli paling minim, karena
iklan tidak ada, calon berpikir rasional yang baca koran sebarapa
banyak sih dari sekian jumlah penduduk. Jarang ada iklan
ceremonial begitu
(Wawancara Gde Oka Suryawan, Wartawan Radar Bali,
22 Maret 2012)
Oka mengatakan hal ini dikarenakan ia enggan disangka memihak di salah satu pihak
pasangan calon. Oka mengaku lebih leluasa melakukan peliputan saat sebelum masa
kampanye, karena ia merasa lebih bebas dan independen. Shoemaker dan Reese
(1996:255) mengungkapkan bagaimana hubungan antara jurnalis dan sumber akan
berpengaruh pada penulisan sebuah berita.
Rutinitas yang biasa dilakukan oleh Radar Bali adalah menjual eksemplar
koran yang berisikan berita tentang calon kepala daerah. Oka mengakui dua calon
kepala daerah yang lebih sering menggunakan layanan ini adalah Made GianyarSang Nyoman Sedana Arta dan Ida Bagus Brahmaputra- Wayan Winurjaya. Namun
Oka menegaskan tidak ada kenaikan harga koran untuk koran yang berisikan berita
tentang calon yang bersangkutan.
Strategi kita sih, pembelian koran. Biasanya, kalau calon mau
muncul di koran, kita pasang di koran berapa, misalnya 100
hingga 500 eksemplar. Iya di dalamnya ada berita tentang mereka
dengan harga seharga koran tersebut.
(Wawancara Gde Oka Suryawan, Wartawan Radar Bali,
22 Maret 2012)
231
Salah satu rutinitas lain yang biasa dilakukan Radar Bali menjelang
pemilukada adalah polling atau jajak pendapat pembaca. Biasanya Radar Bali, akan
menggelar jajak pendapat para pembaca dengan memotong kupon yang telah
disediakan dan menuliskan siapa calon kepala daerah dan wakil yang diinginkan.
Hari Puspita mengatakan bahwa rutinitas ini adalah salah satu kekuatan dari Radar
Bali dan jajak pendapat ini dijamin independensinya dan sama sekali tidak ada
rekayasa atau kepentingan apapun.
Ini riil, kami tidak mau gambling untuk bermain-main di wilayah
itu. Makanya sejauh ini polling kan sesuai dengan hasilnya. Kita
tidak pernah merekayasa. Kita juga tidak pernah ada blok
kavlingan berita
(Wawancara Hari Puspita , Redaktur Pelaksana Radar Bali, 22
Mei 2012)
Praktik yang dilakukan dalam hal polling pendapat yang diselenggarakan oleh
Radar Bali kerap kali terjadi penyimpangan. Namun penyimpangan dilakukan bukan
oleh media melainkan oleh calon kepala daerah. Layanan jajak pendapat Radar Bali
ini diakui oleh salah satu pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Bangli, Wayan
Gunawan. Gunawan mengakui menjelang pemilukada, pihaknya memborong Radar
Bali untuk mengisi jajak pendapat agar dirinya masuk dalam jajaran calon yang
difavoritkan. Hal ini menurut Gunawan sangat penting, karena mencitrakan dirinya
dipilih oleh audiens pembaca untuk menjadi calon kepala daerah di Bangli. Aksi yang
232
dilakukan Gunawan adalah salah satu bentuk Agenda Setting (McComb dan Shaw,
1986) dimana Gunawan membentuk atau menyeting opini publik dengan cara
menyeting agenda di media yang menonjolkan dirinya sebagai salah seorang pilihan
masyarakat Bangli.
Itu seolah-olah sudah menjadi nilai pesan dari audience. Borong
saja dari semua lini. Saya pun ya langganan korannya, minta
kuponnya kirim. Dipikir-pikir gak ada kerjaan. Tapi banyak lho
saya belinya.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah,12 Juli 2012)
Dari penjelasan di atas faktor rutinitas media yang paling mempengaruhi
pertarungan para aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli adalah
kebiasaan atau rutinitas media dalam proses pembuatan berita. Kebiasaan media ikut
bermain dalam pertarungan dengan memberikan harga untuk kavling berita atau
berita berbayar mempengaruhi pertarungan para aktor politik di media cetak dalam
pemilukada di Bangli tahun 2010.
6.1.2 Faktor Sumber Pendanaan Media Cetak
Rutinitas media pun terkait dengan organisasi media dan sumber pendanaan
media cetak. Organisasi media juga berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di
media cetak dalam pemilukada Bangli 2010. Faktor organisasi berhubungan dengan
233
struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola
media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia
sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing
komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Di dalam organisasi media misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian
pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum dan seterusnya. Masingmasing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target
masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut.
Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan
dan filosofi organisasi sendiri, berbagai elemen tersebut mempengaruhi bagaimana
seharusnya wartawan bersikap, dan bagaimana juga seharusnya peristiwa disajikan
dalam berita.
Bagian terbesar dalam media setelah bagian pemberitaan dalam mengemas
sebuah media cetak tentu saja adalah bagian pemasaran atau marketing. Bagian
pemasaran atau marketing dalam sebuah media biasanya mempunyai target dan
tuntutannya sendiri. Bagi sebuah media cetak dengan omset besar, kesulitan bagian
pemasaran dalam memenuhi target tentu saja tidak akan seberapa sulit. Tetapi hal
yang berbeda akan terjadi pada media-media yang oplahnya tidak begitu besar. Media
cetak di tingkat lokal biasanya dihadapkan pada permasalahan sulitnya memenuhi
target pemasaran atau target iklan. Iklan di media cetak lokal terutama yang berdiri
sendiri dan tidak berjaringan dengan media yang lebih besar akan lebih menemukan
234
kesulitan memenuhi pundi-pundi iklannya. Untuk itu, jalan tengah yang biasa diambil
oleh media-media tersebut untuk tetap bertahan hidup adalah menjual kavling berita
kepada pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Hal ini sebenarnya melanggar kode
etik jurnalistik di mana pemberitaan seharusnya independen dan tidak memihak pada
pihak mana pun. Namun apabila kavling berita ini dijual, maka independensi sebuah
media cetak akan dipertanyakan. Ironisnya, di Bali jual beli kavling berita sebagai
sumber penghasilan media adalah hal yang lumrah terjadi.
Bali Post sebagai media cetak tertua di Bali pun telah biasa melakukan praktik
jual beli kavling berita ini. Di Bali Post praktik ini diakui bukan sebagai jual beli
kavling berita namun, berita advertorial. Istilah berita advertorial ini dinilai bukan
sebuah pelanggaran jurnalistik namun bagian dari praktik legal periklanan. Bahkan
redaktur pelaksana Bali Post pun mengaku tidak mengetahui berapa biaya yang harus
dikeluarkan apabila ingin memasang berita advertorial di Bali Post. Namun dari
tuturan narasumber yang lain, terdapat harga yang berbeda untuk berita advertorial di
Bali Post tergantung pada halaman dimana berita advertorial itu berada. Sebagai
pembaca yang tidak memiliki literasi berita yang cukup maka akan menemukan
kesulitan untuk menentukan apakah berita tertentu itu adalah berita advertorial
berbayar atau berita murni.
Namun dari dokumen yang berhasil dihimpun, pasangan yang paling sering
menggunakan layanan berita advertorial ini adalah Brahmawijaya. Selama masa
kampanye tercatat pasangan Brahmawijaya adalah pasangan yang memiliki kuantitas
235
berita advertorial tertinggi di Bali Post selama masa kampanye pemilukada 2010
yakni sebanyak empat berita selama kampanye.
Praktik serupa juga dijalankan oleh harian NusaBali. Harian ini melalui
pemimpin redaksinya mengakui bahwa media NusaBali memberikan layanan khusus
untuk para pasangan calon kepala daerah pada masa kampanye. Dua layanan yang
diberikan NusaBali adalah berita advertorial atau berbayar dan pembelian kavling
berita selayaknya iklan. Kedua bentuk layanan ini memiliki nilai ekonomi yang tentu
saja berbeda.
Kalau halaman satu harganya itu mencapai 16 juta rupiah karena
bersambung ke halaman 15. Pokoknya 15 ribu per mm kolom.
Kalau berita advertorial itu beda lagi seperti iklan biasa, harnya
lebih murah dari halaman satu.
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012)
Naria mengakui berita berbayar atau advertorial biasanya memiliki ciri-ciri
tertentu yang membedakannya dengan berita biasa lainnya. Ciri yang pertama adalah
pada akhir pemberitaan biasanya terdapat tanda a keong atau @. Ini adalah salah satu
tanda bahwa berita tersebut adalah berita berbayar. Berita berbayar sendiri memiliki
perbedaan dengan berita dengan sistem membeli kavling. Perbedaan yang mencolok
adalah jenis huruf yang digunakan dalam berita tersebut. Apabila pada berita
berbayar jenis huruf yang digunakan adalah jenis times new roman, maka dalam
berita berkavling, jenis huruf yang digunakan adalah arial. Ini menurut Naria adalah
236
salah satu bentuk tanggungjawab media kepada pembacanya dimana dijelaskan
secara tidak langsung bahwa berita ini adalah iklan, bukan tergolong berita biasa.
Untuk berita politik, kita sama sekali tidak ada diskon atau harga
khusus, ya harganya segitu. Tetapi kalau berita pendidikan atau
kesehatan tentu ada kebijakan khususnya
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012)
Naria mengakui bahwa selama masa kampanye, dijadikan kesempatan untuk
memperoleh pendapatan yang berlebih dibandingkan hari biasanya. Dengan adanya
berita berbayar atau advertorial ini tentu saja dapat membantu memenuhi target
bagian pemasaran atau marketing. Masa-masa kampanye pemilukada tentu saja
dijadikan ajang untuk mengeruk pendapatan sebesar-besarnya. Bahkan beberapa
media telah mempersiapkan proposal kepada setiap pasangan calon. Proposal tersebut
berisikan tawaran pemuatan berita dalam beberapa kala dengan biaya tertentu. Hal ini
diakui oleh salah satu pasangan calon kepala daerah dalam pemilukada Bangli 2010.
Berita ini segini, berita itu segini, yah anda tahu lah saya tidak mau
menyebut media. Semua media formatnya sama. Saya bilang kalau
anda minta berita dengan saya, mau wawancara saya silahkan.
(Wawancara IBK Ludra, Calon Perseorangan, 11 Maret 2011)
237
Ludra mengatakan ada pihak-pihak dari media massa yang mendekatinya dengan
beberapa ajuan proposal. Namun ia enggan menjelaskan lebih lanjut berapa biaya
yang ditawarkan dari masing-masing media massa. IBK Ludra menjelaskan proposal
biasanya diajukan oleh wartawan medianya langsung atau melalui pihak marketing
sebuah media massa. Hal yang sama juga diakui calon kepala daerah lainnya.
Iya ada bawa proposal. Di Nusa masih bisa nego, kalau Bali Post
dipatok. Halaman satu beda harganya, perkolomnya beda, semakin
kecil kolomnya semakin mahal justru.
Yang datang wartawannya. Penawaran awal ya marketing lewat
korespondennya. Iya bawa proposal.
(Wawancara Wayan Gunawan, calon kepala daerah, 12 Juli 2012)
Kepentingan pihak pemasaran ini ternyata memberikan pengaruh terhadap
pertarungan para aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010.
Pengaruhnya adalah siapa yang memiliki modal ekonomi yang kuat maka ia akan
lebih mampu untuk sering tampil di sebuah media. Bahkan pasangan calon kepala
daerah untuk masuk dalam sebuah berita di media cetak akan lebih sulit pada masamasa kampanye.
Dari dua faktor organisasi media di atas, yakni kebijakan dan tuntutan
pemenuhan target marketing atau faktor kapitalis, diketahui bahwa dalam pertarungan
aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli 2010 tercatat bahwa faktor
kapitalislah yang lebih banyak mempengaruhi pertarungan para aktor ini di media
cetak.
Ini menegaskan bahwa kecenderungan media lokal masih berfokus pada
238
pemenuhan ekonomi mereka. Lalu ajang kampanye pemilukada dijadikan salah satu
tambang emas dalam mengisi pundi-pundi keuangan media tersebut.
Faktor yang disinyalir mempengaruhi isi media menurut Shoemaker and
Reese (1996) yakni rutinitas media, dan organisasi media dalam kasus pemilukada
Bangli 2010 terbukti berpengaruh. Namun rutinitas dan organisasi media dipengaruhi
oleh satu kekuatan besar yakni kekuatan ekonomi. Dimana kekuatan ekonomi
mempengaruhi bagaimana media memberitakan kasus tersebut. Hal ini terbukti
dengan adanya jual beli kavling berita hingga jual beli oplah koran selama masa
pemilukada.
Biaya media yang tinggi ini menuntut aktor politik yang mengikuti
pemilukada untuk memiliki modal ekonomi yang tinggi pula. Dapat dipastikan
apabila tidak memiliki modal ekonomi yang cukup maka aktor politik tidak akan
sering muncul di media cetak. Foucault (dalam Ritzer dan Goodman,2010:655)
mengungkapkan bahwa manusia memusatkan perhatian pada bagaimana orang
mengatur dirinya dan orang lain melalui produksi kekuasaan. Tampil di media adalah
salah satu cara untuk memproduksi kekuasaan opini pada masyarakat. Oleh karena itu
modal biaya yang dibutuhkan tiap-tiap calon kepala daerah tergolong tinggi.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa total biaya yang dikeluarkan masingmasing calon kepala daerah beragam mulai dari 500 juta rupiah hingga lebih dari tiga
miliar rupiah. Pasangan Ludra-Durpa enggan mengungkap total biaya yang mereka
keluarkan, namun secara tidak langsung Ludra mengatakan tidak menghabiskan dana
239
lebih dari 500 juta rupiah. Pasangan Gunawan-Artjana mengaku menghabiskan dana
tidak lebih dari satu miliar rupiah. Pasangan GITA enggan mengungkapkan total
biaya karena menurut pengakuan Gianyar ia tidak mengetahui secara pasti dana yang
dikeluarkan partai karena dipegang oleh pihak partai. Namun, apabila diperkirakan
dari hasil observasi dan wawancara maka dana yang dikeluarkan minimal dua milyar
rupiah. Pasangan ALAS juga enggan mengungkapkan nilai biaya yang ia keluarkan
namun Arsada mengungkapkan pascapemilukada ia masih berhutang kurang lebih
dua milyar rupiah. Pasangan Brahmawijaya adalah pasangan yang mengungkapkan
secara terus terang bahwa pasangan ini menghabiskan dana hingga tiga milyar rupiah
selama masa pemilukada.
Tuntutan pasar akan biaya ekonomi yang tinggi dalam pemilukada adalah
bentuk terhegemoninya pertarungan aktor politik di media cetak akan kepentingan
capital atau ekonomi pihak-pihak terkait terutama media cetak. Pertarungan aktor
politik terhegomi oleh pasar. Melalui konsep hegemoni, Gramsci beragumentasi
bahwa kekuasaan agar dapat abadi dan langgeng membutuhkan paling tidak dua
perangkat kerja. Perangkat kerja yang pertama adalah mampu melakukan tindak
kekerasan yang bersifat memaksa (Heryanto, 1997). Dalam hal ini media memiliki
kekuasaan yang bersifat memaksa di mana apabila calon kepala daerah ingin tampil
di media, calon harus membayar kepada media tersebut. Tindakan yang dilakukan
media ini pun didorong oleh tuntutan keberlangsungang hidup media cetak tersebut.
Ketiga media cetak yang menjadi obyek penelitian adalah media cetak swasta yang
240
berorientasi pada keuntungan. Masa pemilukada pun dinilai sebagai ajang dan
peluang emas dalam memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Faktor
proximity atau kedekatan peredaran surat kabar dengan pemilih dalam pemilukada
membuat posisi media cetak lebih diuntungkan. Tunduknya media pada kapitalisme
ini adalah bentuk kuatnya hegemoni pasar pada sektor media yang pada idealnya
bersifat independen. Faktor ekonomi ini tidak berdiri sendiri namun juga dipengaruhi
oleh faktor lainnya yakni faktor politik, yang akan dijelaskan pada sub bab berikut
ini.
6.2 Faktor Politik
Faktor politik yang mempengaruhi pertarungan aktor politik diantaranya
adalah faktor ideologi aktor, partai politik yang mengusung hingga strategi kampanye
dalam pemilukada. Aktor politik sebagai sumber berita dipandang bukanlah sebagai
pihak yang netral
kepentingan
untuk
yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai
mempengaruhi
media
dengan
berbagai
alasan
seperti
memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan
seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu saja
memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya
baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya.
Shoemaker dan Reese (1996:267) mengatakan bahwa apabila semakin tinggi sumber
241
memiliki kekuatan ekonomi atau politik maka akan lebih mempengaruhi isi dari
sebuah pemberitaan.
Sebelum kelima pasangan calon ini terbentuk, pertarungan pembentukan
pasangan calon sudah terjadi. Pembentukan pasangan ini akan berpengaruh pada
bentuk komunikasi politik yang digunakan masing-masing pasangan. Perpaduan
antara ideology politik, kepemilikan modal masing-masing pasangan menjadi
kekuatan awal pasangan calon untuk bertarung. Pertarungan kombinasi modal yang
diungkapkan Bourdieu (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang
dapat berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada Bangli ini.
6.2.1 Faktor Ideologi Politik
Setiap aktor politik dalam melakukan pertarungan di pemilukada berangkat
dari sebuah ideologi yang tertuang dalam visi misi aktor politik. Visi misi aktor
politik ini dapat diketahui dalam paparan para aktor politik selama masa kampanye
aktor politik. Ideologi aktor politik dapat dipengaruhi oleh partai politik yang
mengusungnya hingga ideologi yang dimiliki aktor politik itu sendiri terlepas dari
partai politik yang mengusungnya.
Ideologi menurut Althusser (2008: xi) merepresentasikan hubungan imajiner
dari individu-individu pada kondisi eksistensi yang nyata dan merupakan suatu
susunan perangkat praktis yang merembes ke segala arah tanpa henti. Althusser
242
sebagai pelopor kajian ideologi mikro menilai ideologi telah tertanam dalam diri
individu sepanjang hidupnya. Oleh karena itu maka aktor politik sebagai seorang
individu tentu saja telah memiliki nilai-nilai ideologinya sendiri terlepas dari ideologi
partai politik pengusungnya. Takwin (dalam Althusser, 2008:xix) mengungkapkan
konsep ideologi yang diungkapkan Althusser ini berimplikasi bahwa siapa pun tidak
lepas dari ideologi, dimana seakan-akan ideologi adalah udara tempat manusia
menghirup mafas untuk melangsungkan hidup.
Kelima pasangan aktor politik yang bertarung dalam pemilukada pun
memiliki ideologinya sendiri-sendiri. Pasangan Ludra-Durpa menyampaikan visi
“Gema Bangli Jaya Mandiri” sedangkan misinya adalah mewujudkan Bangli yang
sejahtera dan berbudaya, dalam lingkungan alam Bangli yang religius, serta
mewujudkan Bangli yang maju, dinamis, modern dan unggul. Pasangan GUNA dari
partai Golkar menyampaikan sejumlah program di antaranya adalah peningkatan
sarana dan prasarana rumah sakit bertaraf internasional dan puskesmas serta
laboratorium kesehatan. Pasangan ini pun mencanangkan pemberian subsidi
pendidikan secara silang. Pasangan GITA yang diusung PDI Perjuangan memiliki
visi menwujudkan masyarakat Bangli yang “Gita Shanti” berlandaskan Tri Hita
Karana, sedangkan salah satu misinya adalah menyelenggarakan pemerintahan yang
bersih, demokratis, efisien dan efektif. Pasangan ALAS memiliki visi terwujudnya
masyarakat Bangli yang memiliki jati diri, berbudaya, maju, inovatif, sejahtera dan
spriritual. Salah satu misi pasangan ALAS adalah meningkaykan kualitas sumber
243
daya manusia yang spiritual untuk membangun jati diri dan budaya Bangli menuju
terwujudnya masyarakat sejahtera dan maju berlandaskan Tri Hita Karana. Pasangan
Brahmawijaya
menampilkan Sembilan program unggulan jika berhaasil terpilih
menjadi kepala daerah. Di antaranya, tambahan bantuan langsung ke desa adat senilai
30 juta rupiah, bantuan langsung tunai ke banjar dan masyarakat.
Ideologi yang tertuang dalam visi misi para pasangan calon aktor politik ini
tentu saja tidak terlepas dari idologi partai politik yang mengusung para calon
pasangan kepala daerah ini. PDI Perjuangan sebagai partai terbesar dan terkuat di
Bali memiliki ideologi partainya sendiri yakni menjalankan cita-cita proklamasi
kemerdekaan, di mana partai dalah alat perjuangan rakyat dalam mewujudkan
Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan
berkepribadian dalam kebudayaan dalam bingkai NKRI- Pancasila. PDI Perjuangan
tidak bisa terlepas dari ideologi Marhaenisme di mana memiliki nilai Nasionalisme
yang tinggi dan menentang liberalism dan kapitalisme.
Partai Golkar memiliki ideologinya sendiri, yakni pada ideologi pembangunan
dengan erat kaitannya dengan kesejahteraaan. Namun dalam Anggaran Dasar Rumah
Tangganya Partai Golkar mengaku bahwa partai Golkar berasaskan Pancasila. Tugas
pokok partai Golkar adalah memperjuangkan terwujudnya peningkatan segala aspek
kehidupan yang meliputi ideologi, politik, ekonomi, agama, sosial budaya, hukum,
serta pertahanan dan keamanan nasional guna mewujudkan cita-cita nasional.
244
Partai besar lainnya yang mengusung calon kepala daerah adalah Partai
Demokrat. Ideologi Partai Demokrat adalah nasionalis-religius, humanisme, dan
pluralisme. Partai Demokrat sendiri memiliki visi mewujudkan keinginan luhur
rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang
merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat
Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada
Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan
sejahtera. Sementara misi partai, antara lain, memperjuangkan tegaknya persamaan
hak dan kewajiban Warganegara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan
dalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah
yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lembaga
perwakilan dan permusyawaratan.
6.2.2 Strategi Politik
Dari lima pasangan calon kepala daerah yang bertarung di pemilukada Bangli,
tercatat hampir seluruhnya pernah menggunakan media massa terutama media cetak
dalam menyampaikan visi misi selama masa kampanye mereka. Namun yang
membedakan adalah kuantitas penggunaan media cetak sebagai media dalam
menyampaikan visi misi mereka. Pasangan yang tercatat paling sering tampil di
media dengan menggunakan bentuk iklan adalah pasangan dari PDIP, yakni pasangan
245
GITA. Pasangan yang tercatat paling sering tampil di media dengan bentuk berita
advertorial adalah pasangan perseorangan ALAS. Pasangan ini tercatat banyak
menggunakan berita advertorial di media cetak terutama di Harian NusaBali.
Sedangkan pasangan dari Partai Demokrat dan gabungan beberapa partai kecil
lainnya yakni Brahmawijaya tercatat tersering menggunakan berita berbayar di media
cetak Bali Post.
Masing-masing pasangan calon atau tim sukses dalam pemilukada di Bangli
2010 tentu saja memiliki alasan tertentu untuk menggunakan media cetak dalam
bertarung memperebutkan kursi bupati dan wakil bupati di Kabupaten Bangli. Latar
belakang yang diungkapkan para pasangan calon atau tim suksesnya pun berbeda,
mulai dari permasalahan ekonomi, strategi kampanye, hingga karakteristik pemilih di
Bangli.
1
Tabel 6.1 Penggunaan Media Cetak oleh Aktor Politik
dalam Pemilukada di Bangli 2010
Pasangan
Iklan Advertorial Berita
Berita
berbayar
Ludra – Durpa
Perseorangan 1
1
2
GUNA
Golkar
-
-
1
1
3
GITA
(PDIP)
10
-
2
9
4
ALAS
Perseorangan
-
5
-
5
5
Brahmawijaya
Demokrat
-
-
4
4
No
246
6.2.2.1 Strategi Politik Pasangan Lurda-Durpa
Pasangan perseorangan Ida Bagus Ketut Ludra dan I Wayan Durpa termasuk
pasangan calon yang tidak begitu sering tampil di media cetak Nusa Bali, Radar Bali,
dan Bali Post. Berita khusus pasangan ini tercatat hanya satu kali di Harian Radar
Bali. IBK Ludra mengakui bahwa media massa memang memiliki pengaruh dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, namun
masih memiliki beberapa keterbatasan tergantung dari derajat literasi masyarakat
akan media itu sendiri.
Pilihan Ludra untuk tidak menggunakan uang baik di media maupun untuk
membeli suara tidak terlepas dari motivasi awal mencalonkan diri. Ludra mengaku
motivasi utamanya adalah ingin memberikan pendidikan politik kepada masyarakat di
Bangli.
Tapi terbatas, masyarakat terbatas, yang derajat kosmopolitnya sudah
bagus. Tapi kalau masyarakat pedesaan yang di balik gunung, daerah
Kintamanilah, penyediaan sarana kurang, keterikatan mereka terhadap
hal-hal yang bersifat tradisional masih kuat, artinya pengaruh sentuhan
modernisasi masih lambat. Mata pencaharuan mereka lebih cenderung
petani dan peternak, sehingga waktu mereka untuk membaca media itu
masih sangat kecil.
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Adapun berita yang termuat di Radar Bali pun adalah pesan politik dari IBK Ludra
agar masyarakat mawas diri akan politik uang yang semakin menghantui.
247
Coba deh, saya ingin mencoba mumpung ada keran baru yang dibuka
dengan calon independen, saya hanya memberikan pendidikan politik
pada public. Jadi lebih keterikatan moral saya dengan pemilih saya
atau pendukung saya.
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Pesan politik anti politik uang ini pula yang hadir di sebuar artikel di Radar Bali. Hal
ini ditegaskan kembali oleh Ludra, agar tidak ada lagi politik transaksional. Pemilih
diharapkan mampu menggunakan pikiran positifnya dimana pada saat harus memilih
ia menggunakan suaranya untuk yang terbaik bukan atas dorongan apa pun. Ludra
mempraktikan Agenda Setting (McComb dan Shaw, 1986) dimana diharapkan isu
anti politik uang menjadi agenda atau isu yang dianggap penting oleh publik atau
pembaca media. “Mudah-mudahan. Kalau itu bisa dilakukan masyarakat bisa lebih
cerdas, saya pikir akan dapat pemimpin yang sesuai dengan keinginan masyarakat”
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011) .
IBK Ludra mengatakan untuk sebagian pemilih, pemilih masih memandang
partai yang mengusung pasangan calon bukanlah sosok orang yang diusung itu
sendiri. Perilaku pemilih yang cenderung pragmatis pun menyebabkan IBK Ludra
enggan menggunakan media cetak. Politik praktis di Indonesia yang masih cenderung
memerlukan biaya politik tinggi menyebabkan budaya politik yang dekat dengan
uang.
248
Dengan format begini memang, politik itu biayanya besar, sepintar
apapun kamu kalau tidak ada biaya politik tidak bisa. Karena mereka
belum bisa memahami, apa yang mau kita lakukan, makanya dia
hanya bisa melakukan kalau dia dikasih uang kan
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Pesan politik anti politik uang inilah yang selalu diangkat IBK Ludra dalam setiap
kesempatan saat bertemu dengan masyarakat. IBK Ludra pun selalu mengingatkan
pada masyarakat yang mengundangnya datang di daerah tertentu, bahwa ia tidak akan
menjanjikan maupun memberikan uang sepeserpun. IBK Ludra mengakui pertama
kali masyarakat cukup kaget dan akhirnya enggan untuk menindaklanjuti rencana
kunjungan. Namun pascapemilukada banyak masyarakat yang mengadu dan
mengatakan bahwa politik uang yang diterima saat kampanye kini tidak ada realisasi
dan pembangunan apapun di daerah mereka.
Ada beberapa sih yang sekarang ini setelah pasca pemilihan. Ternyata
iya betul, jawaban mereka betul. Mestinya saya dulu ikut dengan
pemikiran bapak. Masyarakat sudah merasa dirinya diperalat oleh
politik sekarang.
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Prinsip IBK Ludra yang tidak menggunakan media sebagai alat bertarung dalam
pemilukada 2010 juga karena tuntutan ekonomi dari media. Ia mengatakan untuk
membayar media tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ia juga
beranggapan bahwa apabila ia membayar media maka ia sama saja melakukan praktik
249
politik uang. Rutinitas media yang menjadikan aktor politik sebagai sumber
penghasilan media selama pemilukada disadari oleh IBK Ludra.
IBK Ludra mengakui keengganannya untuk bermain di media juga disadari
wartawan-wartawan yang bertugas saat pemilukada Bangli. Ia pun mengakui kerap
kali menolak proposal dan pengajuan orang media untuk memasang iklan atau berita
berbayar di media-media tertentu.
Ada penawaran resmi, ada istilah advertorial. Sekali liputan sekian
puluh juta. Yah polanya seperti itu, dia menawarkan proposal sekian
kali terbit tentang bapak dalam bentuk advertorial, dengan sekian
koran distribusi
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Namun walau telah ditegaskan berulang kali, hampir semua wartawan media tetap
berusaha menghampiri dan menawarkan untuk membeli berita. Menurut IBK Ludra
ajang ini adalah ajang dimana media mengambil peluang dan memanfaatkan situasi.
IBK Ludra juga mengatakan bahwa dirinya tidak pernah diwawancara lalu harus
berkontribusi uang.
Menyadari keterbatasannya menggunakan media dalam pemilukada, IBK
Ludra akhirnya memilih untuk menggunakan kekuatan jaringan yang telah ia dan
keluarganya miliki. Memahami kelemahannya di modal ekonomi IBK Ludra lebih
banyak menggunakan kekuatan modal lainnya yang dimiliki IBK Ludra dan Durpa.
Modal lainnya yakni modal sosial dan modal budaya seperti yang diungkapkan
Sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1986). Modal sosial yang dimiliki berangkat dari
250
awal keputusannya untuk maju. Keputusannya untuk maju dalam pemilukada juga
diakui akibat dukungan dari masyarakat yang dekat dengannya.
Saya maju waktu itu tanpa uang dan waktunya Cuma 5 bulan, saya
waktu itu sudah tidak mau maju, tapi beberapa masyarakat saya
terutama saya mempunyai hubungan dengan masyarakat, istilah di
griya ada sisyaya. Sisya saya ini yang mengkehendaki.
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
Modal sosial yang dimilikinya adalah mesin politik sisya yang akhirnya digunakan
oleh pasangan perseorangan IBK Ludra dan Wayan Durpa. Bahkan IBK Ludra
mengatakan seluruh urusan pendaftaran yang disyaratkan KPUD, diselesaikan dengan
baik oleh sisya. Persyaratan lolos sebagai peserta perseorangan adalah dengan
mengumpulkan 17 ribu KTP, dan semua berhasil dikumpulkan dengan bantuan sisya
dari IBK Ludra.
Keterbatasan dana atau modal ekonomi membuat IBK Ludra-Durpa
menggelar kampanye sederhana simpatik. Bentuk kampanyenya pun sangat
sederhana seperti datang ke rumah-rumah dan memberI hiburan kepada masyarakat,
mengingat Wayan Durpa adalah seorang seniman. Lurda-Durpa memilih untuk
mengunjungi masyarakat pemilih secara langsung.
Saya datang door to door, simakarma, terus sekaligus juga menghibur
masyarakat, tapi tidak ada uang. Sama sekali tidak ada uang, makanya
saya calon independen tidak ada sponsor, tidak bisa saya datang ke
TPS mana menghimbau, Karena memang tidak ada uang
(Wawancara IBK Ludra, Calon Kepala Daerah, 11 Maret 2011)
251
Kekuatan pasangan ini adalah pada kekuatan modal budaya. Modal budaya
berupa simbolik menurut Bourdieu (1986) berasal dari kehormatan dan prestise
seseorang. Dalam hal ini calon kepala daerah IB Ludra memiliki modal simbolik
yang berasal dari kehormatan dan prestise bapak IB Ludra yakni IB Suta. IB Ludra
pun memperoleh kekuatan modal simbolik dari kakaknya yakni IB Agung Landip.
Modal yang dimiliki oleh calon wakil kepala daerah pasangan ini adalah modal
budaya. Modal budaya memiliki beberapa dimensi yaitu, pengetahuan obyektif
tentang seni dan budaya, cita rasa budaya dan prefensi, kualifikasi-kualifikasi formal,
kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis, hingga kemampuan
untuk dibedakan dan untuk membuat perbedaan antara yang baik dan buruk.
Sebagai seorang seniman dan budayawan, I Nyoman Durpa memiliki
kekuatan di bidang budaya dan seni. Bahkan dalam berkampanye pasangan ini
mengandalkan media-media seni budaya seperti pertunjukan kesenian. Pasangan ini
pun mengakui bahwa mereka tidak memiliki modal ekonomi yang kuat, sehingga
keduanya hanya mengandalkan modal simbolik dan modal budaya.
6.2.2.2 Strategi Politik Pasangan GUNA
Pasangan dari Partai Golkar, yakni Wayan Gunawan dan Artjana Tergolong
pasangan yang tidak begitu sering melakukan komunikasi politik terhadap pemilih
252
dengan menggunakan media massa. Pasangan ini tergolong hampir tidak pernah
memasang iklan maupun advertorial di media massa apapun termasuk di Bali Post,
Nusa Bali maupun Radar Bali. Hal ini diakui oleh calon bupati Wayan Gunawan. Ia
mengatakan pasangannya cenderung tidak melakukan komunikasi politik karena
beberapa faktor, diantaranya, faktor partai politik, faktor karakteristik pemilih, faktor
ekonomi, dan faktor media massa itu sendiri. Gunawan sendiri meragukan jumlah
pembaca di Bangli. Ia memperkirakan pembaca surat kabar di Bangli tidak lebih dari
1200 pembaca. Hal ini menyebabkan Ludra memilih untuk menggunakan media luar
ruang dalam mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya.
Berapa banyak yang membaca media di Bangli? Paling hanya
kelompok-kelompok elite di situ. Paling tidak sampai 1200, media di
Bangli oplahnya.
Iya untuk ukuran Bangli. Mungkin yang lebih berperan adalah
baliho,spanduk, buklet mungkin itu, sepanjang itu masuk ke ruang
publik.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Wayan Gunawan mengatakan walau ia berangkat dari Partai Golkar di mana
ia adalah ketua DPD Partai Golkar Bangli, Gunawan mengakui sama sekali tidak
mendapatkan suntikan dana dari induk Partai Golkar. Hal ini dikarenakan latar
belakang pencalonan Wayan Gunawan dan Artjana. Wayan Gunawan mengatakan
Partai Golkar pusat sebenarnya menginginkan dirinya untuk bersinergi dengan Partai
253
Demokrat yakni berpasangan dengan IB Brahma Putra, di mana IB Brahma Putra
menjadi calon bupati, dan dirinya menjadi wakil bupati Bangli. Walaupun tidak
direstui oleh Partai, namun Gunawan mengatakan dirinya sebagai seorang pemimpin
partai tetap harus berani maju.
Kalau seorang pemimpin partai, ketua tidak berani maju karena
dibentangkan matanya itu kalah, pengecut anda jadi ketua partai. Saya
tadinya ingin dipasangkan dengan Ida Bagus Brahmaputra. Di atas
kertas menang, tapi saya diposisikan wakil.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Harapan dan dorongan Partai Golkar tingkat pusat ini bagi Gunawan
bertentangan dengan hati nuraninya yang ingin tetap menjaga harga diri dan suara
partai Golkar di Kabupaten Bangli. Ia menilai dirinya sebagai ketua DPD tidak
mungkin mengecewakan konstituennya yang menginginkan dirinya maju sebagai
calon bupati di Bangli. Keinginan ini pun akhirnya diungkapkannya ke jajaran induk
partai Golkar. Namun ironisnya, keinginan Gunawan ini tidak mendapat restu yang
cukup baik dari induk partai. Gunawan pun menolak untuk menjadi calon wakil
bupati seperti yang diajukan Partainya.
Saya hormat pada prosedur administrasi kewenangan, tapi ketika kami
dipaksa untuk masuk menjadi wakil bupatinya pak Brahmaputra,
mohon maaf saya tidak siap. Saya lebih siap kalah tapi menjadi calon
bupati. Saya akan membiayai diri saya sendiri tanpa membebani
partai. Walau dibilang silahkan, namun walau manis sekali katakatanya, tapi kalau mukanya tidak manis kan sama dengan juga
menipu
254
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Konsekuensi dari keputusan Gunawan ini adalah tidak adanya dukungan dana segar
di pihak DPP Partai Golkar untuk biaya pemilukada Gunawan dan Artjana dalam
pertarungan pemilukada di Bangli pada tahun 2010. Hal ini berdampak pada strategi
kampanye yang dijalankan oleh pasangan ini. Mesin politik Golkar diharapkan
mampun menjadi modal sosial yang mampu berpengaruh signifikan dalam
pertarungan pemilukada. Modal sosial menurut Bourdieu (1986:51) adalah
sekumpulan atau agregasi sumber-sumber potensial dan nyata dimana terkait dengan
kepemilikan jaringan hubungan yang terlembagakan dan saling mengenal dalam
kelompok tersebut. Dengan hilangnya modal sosial berupa dukungan dari partai
Golkar maka hilang pula dukungan berupa modal ekonomi untuk berjuang dari Partai
Golkar. Dengan dana yang berasal dari kantung sendiri dan ketersediaan yang
terbatas, pasangan ini memilih untuk tidak menggunakan media sebagai wadah
komunikasi politik mereka dengan para pemilih. Gunawan mengatakan bahwa walau
telah memakai jejaring partai dan tim sukses, ia telah menghabiskan dana sekitar 1,4
milliar rupiah (Wawancara Wayan Gunawan, 12 Juli 2012).
Gunawan mengatakan alasan mengapa ia tidak menggunakan media adalah
mahalnya biaya yang diperlukan untuk memasang iklan, advertorial, dan berita di
media massa terutama di tiga media cetak seperti NusaBali, Radar Bali, dan Bali
Post. Biaya yang besar untuk memuat berita, iklan dan advertorial di media cetak ini
255
membuatnya enggan untuk menggunakan media sebagai komunikasi politik pasangan
ini dengan pemilihnya. Gunawan mengatakan ia lebih cenderung memilih untuk
membeli suara pemilih.
Sekali tampil misalnya harus 5 juta, itu dibagi-bagi masing-masing 50
warganya kan lebih untung. Sudah dapat 100 suara, kalau dengan
media belum tentu ditusuk oleh 100 orang. Itu logika sederhana, itungitungan ekonomi juga itu kan.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Gunawan juga mengatakan ia tidak menggunakan media juga karena faktor
lain yakni efektivitas menggunakan media massa untuk menggalang pemilih. Hal ini
menurutnya karena masih sedikit pemilih di Bangli yang membaca surat kabar. Jadi
menurutnya komunikasi politik melalui media massa akan menghabiskan uang
banyak namun tidak memberikan kontribusi yang besar pada suara pemilihnya. Ia
menilai bentuk komunikasi yang lain seperti spanduk dan baliho jauh lebih efektif
untuk menjangkau pemilih dibandingkan menggunakan media massa. Hal ini
mengungkapkan bahwa tingginya tuntutan modal ekonomi dalam sebuah pertarungan
pemilukada di media cetak.
Gunawan juga mengatakan alasan-alasan di ataslah yang membuatnya
memilih untuk tidak menggunakan media sebagai media komunikasi politik dalam
pemilukada Bangli tahun 2010. Gunawan juga memandang media saat ini tidak lagi
murni sebagai media yang merefleksikan realitas, namun sudah bertransformasi
menjadi salah satu kekuatan kapitalis. Hal ini menggambarkan bahwa media memiliki
256
kekuasaan. Teori pengetahuan dan kekuasaan Foucault menyadarkan bahwa relasi
kekuasaan dan pengetahuan terbentuk di setiap aspek kehidupan, tidak hanya pada
mereka-mereka yang memiliki modal sosial dan ekonomi yang besar (Martono, 2011
: 128). Gunawan juga menilai bahwa media terlalu kapitalis dimana mencari
keuntungan semata.
Media kini pikirannya kapitalis. Demokrasi dipakai standar alat untuk
mengembangkan kapitalismenya media. Jadi media dapat berbuat
apapun, untuk siapapun, oleh siapapun, kapan pun, dengan cara
apapun, dia bisa melakukannya.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Namun Gunawan tidak memungkiri bahwa media mampu membangun opini
di masyarakat. Gunawan mengakui bahwa media memiliki kekuatan Agenda Setting
(McComb dan Shaw, 1986). Gunawan menggunakan media pada saat awal sebelum
masa kampanye pemilukada di Bangli 2010. Gunawan mengaku memborong salah
satu media massa saat media tersebut melakukan survey mengenai pemimpin yang
diinginkan dan popular menjelang pemilukada di Bangli 2010. Ia mengaku
memborong semua koran tersebut untuk kemudian mengikuti survey yang
diselenggarakan. Menurut Gunawan hal ini menjadi lebih penting agar namanya
dapat dikenal terlebih dahulu di masyarakat.
Kalau Nusa pasang kandidat calon yang di halaman bawah itu. Itu
sengaja beli khusus untuk bookingannya itu. Itu laku, itu bila perlu
mesan dipercetakan supaya menonjol dulu kan. Itu seolah-olah sudah
menjadi nilai pesan dari audiens. Borong saja semua lini. Saya pun ya
257
langganan koran Nusa, minta saja fotonya potongannya itu, dipikirpikir gak ada kerjaan.
(Wawancara Wayan Gunawan, Calon Kepala Daerah, 12 Juli 2012)
Dari analisis di atas, maka Wayan Gunawan sebagai sumber berita menilai
penggunaan media dalam pemilukada Bangli 2010 adalah sebuah langkah yang
kurang efektif. Hal ini dikarenakan tingginya biaya yang dibandrol oleh masingmasing media apabila ia ingin melakukan komunikasi politik melalui media massa.
Keterbatasan biaya kampanye pun menjadi alasan Gunawan untuk tidak
menggunakan media sebagai pilihan utamanya dalam berkomunikasi dengan
konstituen. Hal ini dikarenakan tidak adanya sokongan dana dari partai politik yang
mengusungnya. Pandangan Gunawan yang menilai media kini bersifat sangat
kapitalis pun membuatnya enggan untuk menggunakan media massa lebih lanjut.
Pasangan dengan nomor urut 2 ini dapat dikatakan kurang memiliki kekuatan
modal yang menonjol dari keempat modal yang diuraikan Bourdieu. Gunawan
sebagai ketua DPD Golkar Bangli 2010 memiliki kekuatan modal sosial dengan
jaringan partai politik yang ia gunakan. Gunawan memilih Artjana sebagai wakilnya
dengan harapan dapat memperkuat pertarungan dengan kekuatan modal simbolik.
Artjana sebagai mantan polisi dan berasal dari Puri Agung Bangli diharapkan mampu
untuk menjadi kekuatan modal budaya dan simbolik.
258
6.2.2.3 Strategi Politik Pasangan ALAS
Salah satu pasangan perseorangan dalam pemilukada di Bangli pada tahun
2010 yakni Wayan Arsada dan Wayan Lasmawan. Pasangan Arsada dan Lasmawan
atau dikenal dengan Alas ini menggunakan strategi kampanye yang mengandalkan
kinerja dari tim sukses. Arsada mengakui segala urusan mulai dari jargon, pengerahan
massa hingga komunikasi dengan media massa, Arsada mengakui menyerahkan
sepenuhnya kepada tim sukses atau orang-orang yang ia percayai. Bahkan untuk
urusan dengan media massa terutamta advertorial di harian NusaBali, Arsada
mengatakan ada pihak-pihak dari tim suksesnya yang mengatur semuanya. Walaupun
diserahkan pada tim suksesnya, Arsada mengaku sebelum naik cetak, semua
dikoordinasikan terlebih dahulu kepada pihaknya. Bahkan untuk biaya yang
dikeluarkan dalam pemberitaan di media, Arsada mengatakan tidak mengetahuinya
dan menyerahkan semuanya pada tim suksesnya. Hal ini mencerminkan pasangan ini
memiliki modal sosial yang cukup dimana memiliki tim sukses yang cukup besar.
Modal sosial menurut Bourdieu (1986:51) adalah hubungan yang bisa terjadi akibat
adanya kesamaan nama, sekolah hingga partai.
Posisi pasangan yang berangkat sebagai pasangan perseorangan pun membuat
ALAS merasakan pentingnya media massa untuk menjadi jembatan antara calon
kepala daerah dengan pemilih. Arsada menilai dengan tidak diusung oleh partai
tertentu, maka ia mendapatkan keuntungan karena tidak akan terbebani oleh tuntutan
259
partai. Namun ia mengakui mesin politik yang ia miliki menjadi sangat terbatas
dibandingkan pasangan yang diusung oleh partai politik. Mengingat biaya kampanye
yang besar melalui media massa, Arsada dan Lasmawan menggunakan hubungan
keakraban dan kedekatan atau modal sosial dengan media massa sehingga biaya yang
dikeluarkan tidak begitu besar. Arsada mengakui bahwa dalam menggunakan media,
ALAS memperoleh bantuan dari salah satu teman Lasmawan namun tetap membayar.
Nusa saya rasa iya, mungkin ada teman profesoor (Lasmawan) sudah
ada hubungan baik. Jadi membayar seperlunya saja. Artinya kan yang
harus masuk secara resmi ke sana.
(Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012)
Pasangan Arsada dan Lasmawan sendiri tergolong sebagai pasangan yang
paling banyak menggunakan media massa dalam bentuk advertorial di harian Nusa
Bali. Hampir sepanjang masa kampanye pasangan ini memasang advertorial mereka
di harian Nusa Bali. Namun Arsada mengakui hubungan dengan media massa ini ia
serahkan kepada tim suksesnya. Arsada mengatakan semua hal yang terkait dengan
advertorial di media massa menjadi tanggungjawab tim suksesnya. Hal yang
dimaksud mulai dari memilih foto yang akan disertakan hingga berita yang
mendampinginya. Bahkan hingga biaya yang dikeluarkan Arsada mengakui itu semua
diatur oleh tim suksesnya.
260
Teman-teman dekat lah, yang bisa multimedia mereka yang
bantu. Beritanya juga tim sukses, tapi koordinasi ke kita. Jadi
kita lihat dulu. Untuk biaya itu teman yang ngatur.
(Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012)
Arsada juga mengakui sebagai calon perseorangan dengan dana kampanye yang
terbatas, membuat pasangan ALAS sangat selektif memilih media yang akan
digunakannya dalam berkampanye. Arsada pun mengakui bahwa ia banyak menerima
tawaran untuk tampil tidak hanya di media cetak namun juga di media elektronik.
Makanya banyak tawaran dari DewataTV, BaliTV dan mediamedia lain yang memasang gambar-gambar saya dengan pak
Lasmawan. Baik itu berupa baliho, stiker-stiker, berita-berita
kemudian ajakan di TV.
(Wawancara Wayan Arsada, calon perseorangan, 9 Agustus 2012)
Arsada masih berharap media pada saat itu tetap objektif dan tidak berorientasi pada
uang yang masuk ke media itu saja. Arsada berharap untuk masuk ke media atau
diangkat media tidak perlu mencari-cari namun kalau memang dianggap menarik dan
penting serta layak pasti akan dipublikasikan.
Dengan minimnya modal ekonomi, pasangan ALAS akhirnya dalam
menerapkan strategi kampanye lebih menekankan pada modal sosial dan modal
budaya. Modal budaya yang dimiliki adalah dalam bentuk Institutionalized state.
Bourdieu (1986:50) mengungkapkan institutionalized state adalah bentuk hasil
objektifitas dimana dapat dalam bentuk kualifikasi pendidikan atau bentuk lainnya
261
dari modal budaya yang dapat dijamin. Hal ini terlihat dari penggunaan gelar
pendidikan keduanya dalam setiap pemberitaan.
6.2.2.4 Strategi Politik Pasangan GITA
Pasangan I Made Gianyar dan Sang Nyoman Sedana Artha biasa dipanggil
GITA. Pasangan ini diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Sebagai pasangan yang diusung oleh partai terbesar, GITA memilih strategi
kampanye yang lebih banyak menonjolkan partai berlogo banteng ini. GITA pun
memperoleh dukungan penuh dari seluruh DPD PDIP Bangli. Hal ini memudahkan
GITA untuk menjalankan kampanye politiknya. Jadi modal yang ditekankan adalah
modal sosial dari persamaan partai. Bourdieu (1986:51) menekankan bahwa
hubungan sosial bisa saja terjadi akibat adanya kesamaan nama, sekolah hingga
partai.
Strategi kampanye GITA pun lebih menonjolkan pada citra bahwa mereka
adalah pasangan dari PDIP. Sebagian besar komunikasi politik yang digunakan GITA
di media cetak adalah dalam bentuk iklan di media Bali Post dan NusaBali. GITA
sendiri tercatat selama masa kampanye memasang iklan sebanyak tujuh kali naik
cetak di kedua media massa tersebut. Biaya untuk sekali pasang iklan tentu saja tidak
murah. Namun Gianyar mengatakan bahwa ia secara pribadi tidak mengeluarkan
dana yang besar. Hal ini dikarenakan dalam masa kampanye, PDIP telah memiliki
262
tim pemenangan yang berhubungan langsung dengan media massa. Gianyar
mengatakan bahwa ia tidak pernah berhubungan langsung dengan media massa.
Berangkat dari partai besar maka GITA disokong oleh modal ekonomi yang cukup
besar pula.
Tim sukses mungkin siapa, yang jelas saya tidak pernah ada
hubungan uang dengan media. Tidak boleh itu, tidak ada.
Kalau ada mengajukan proposal saya juga tidak pernah punya
uang bagaimana, yah lebih baik tidak. Lebih baik di tim, kalau
di tim itu kan ada tim siapa yang bantu.
(Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah,
5 September 2012)
Gianyar mengakui kemunculan di media sangat penting dalam masa
kampanye pemilukada. Namun bagi Gianyar komunikasi tatap muka langsung
dengan pemilih juga menjadi sangat penting untuk dilakukan. Namun Gianyar
mengakui strategi penggunaan media pada pemilukada 2010 ia serahkan kepada tim
sukses PDIPerjuangan. Hal ini dikarenakan pada saat yang bersamaan juga
berlangsung pemilukada di beberapa kabupaten/kota lainnya di Bali, yakni di Kota
Denpasar, Kabupaten Tabanan, Karangasem, dan Badung. Sehingga hubungan
dengan media telah diorganisir oleh PDI Perjuangan. Hal ini terlihat dengan selalu
berdampingannya iklan pasangan Gita dengan pasangan Ni Putu Eka Wiryastuti dan I
Komang Gede Sanjaya yang bertarung dalam pemilukada di Kabupaten Tabanan.
Gianyar mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki modal ekonomi yang
cukup besar. Dengan latar belakang sebagai dosen, Gianyar tidak memiliki kekayaan
263
yang besar. Namun Gianyar mengakui bahwa banyak pihak maupun kelompok
masyarakat yang memberikan sumbangan kepada dirinya maupun pada tim
kampanye.
Bukan, itu dari masyarakat saya nyumbang ditolak. Betul-betul
masyarakat itu luar biasa, ada bikin baliho mungkin sendiri saya
mau nyumbang 1 juta cuma diambil 50.000,-. Kalau dari uang
kayaknya diseluruh Indonesia, di seluruh dunia saya calon paling
tidak punya.
(Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah,
5 September 2012)
Gianyar bahkan membantah bahwa dirinya menggunakan kekuatan ekonomi untuk
dapat tampil di media massa. Ia mengatakan dirinya hanya menggunakan modal
sosial, kekuatan jaringan yang dimilikinya. Hal ini menurutnya dikarenakan ia secara
pribadi tidak memiliki cukup modal ekonomi sehingga mengandalkan jaringan sosial
yang dimilikinya maupun partai.
Oh tidak ada proposal-proposalan! Pertemanan saja, kalau saya ini
kan calon bupati paling kere, tidak ada uangnya. Orang itu bantu
betul-betul.
(Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah,
5 September 2012)
Gianyar sendiri adalah calon petahana. Dua periode jabatan sebelumnya Gianyar
adalah wakil Bupati Bangli mendampingi I Nengah Arnawa. I Nengah Arnawa dan
Gianyar adalah pasangan yang diusung oleh PDI Perjuangan. Sebagai petahana,
Gianyar memiliki keuntungan yang tidak dimiliki oleh pasangan lainnya. Dengan
264
masa jabatan mencapai 10 tahun, maka kemunculan Gianyar di media massa cukup
sering. Kemunculan di media massa tersebut bahkan sebelum masa kampanye
pemilukada Bangli 2010. Gianyar juga mengatakan bahwa ia cukup beruntung tidak
pernah diberitakan hal yang negatif di media massa.
Media besar perannya , tapi saya tidak ada berhubungan dengan
uang dengan media. Saya juga mungkin dibantu oleh media saking
simpatinya mungkin. Misalnya mereka melihat saya selama 10
tahun begini adanya, ditulis apa adanya tidak dijelek-jelekkan.
(Wawancara I Made Gianyar, Calon Kepala Daerah,
5 September 2012)
Dari analisis di atas, maka pasangan Gita ini dapat dikatakan tidak memiliki modal
ekonomi yang cukup kuat namun memiliki kekuatan di modal sosial dan budaya.
Bourdieu mengungkapkan bentuk modal ini dalam hubungan praktiknya. Bourdieu
(1986:49) mengungkapkan modal budaya dibagi menjadi tiga bentuk yakni embodied
state, objectified state, dan institutionalized state, dimana PDIP sebagai simbol yang
cukup kuat untuk mendulang suara. Berangkat dari partai besar seperti PDI
Perjuangan, memudahkan Gita untuk melakukan kampanye politiknya. Lambang PDI
Perjuangan yang telah dikenal akrab oleh masyarakat di Bangli menjadi kekuatan
tersendiri dalam tampilan iklan pasangan ini di media cetak seperti Bali Post, Nusa
Bali, dan Radar Bali. Selain partai yang telah dikenal baik, PDIP pun memiliki
kekuatan jaringan, dari tingkat daerah hingga ke tingkat ranting bahkan anak ranting.
265
Kekuatan modal sosial inilah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Gita. Sehingga
kemunculan Gita di media cetak pun tidaklah terlalu massif.
Berangkat dari partai besar seperti PDI Perjuangan membuat pasangan ini
mendapat dukungan penuh dari seluruh partisan partai yang dikenal loyalis ini.
Walaupun Gianyar bukanlah seorang partisan partai PDIP, Gianyar dinilai dekat dan
memiliki elektabilitas yang tinggi di Bangli. Menurut Gianyar, saat PDIP akan
mengusungnya, Gianyar tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa calon
pasanganya. Ia mengatakan bahwa ia pasrah dan menyerahkan keputusannya ke DPD
PDIP. Berangkat dari partai besar maka kekuatan modal terbesar pasangan ini adalah
modal sosial. Modal sosial yang dimaksud Bourdieu (1986:51) berupa hubunganhubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan
sendiri. Partai besar yakni PDIP memiliki kekuatan politik jaringan partai yang
dikenal militan dan loyal.
6.2.2.5 Strategi Politik Pasangan Brahmawijaya
Pasangan I B Brahmaputra – Wayan Winurjaya atau Brahmawijaya memiliki
pandangan yang berbeda dengan pasangan yang lainnya. Walaupun berangkat dari
gabungan partai dimana Partai Demokrat adalah partai terbesar yang mengusungnya,
namun Brahmawijaya memiliki strategi kampanyenya sendiri. Ia mengakui lebih
266
memilih komunikasi tatap muka langsung dengan pemilih dibandingkan melalui
media massa seperti media cetak.
IB Brahmaputra mengaku selama pemilukada ia menghabiskan dana sebesar
500 juta rupiah. Sedangkan total dana kampanye selama pemilukada adalah tiga
milyar rupiah. Brahmaputra mengaku dana kampanye yang digunakan berasal dari
berbagai pihak seperti sponsor dan iuran dari para relawan. Dana sebesar tiga milyar
ini membuktikan bahwa pasangan Brahmawijaya memiliki modal ekonomi yang
cukup besar. Modal ekonomi menurut Bourdieu (1986:47) mengatakan modal
ekonomi adalah terkait dengan uang atau dapat dikategorikan dalam modal berbentuk
hak milik. Brahmaputra mengaku dirinya memiliki tim sukses yang khusus untuk
berbicara dengan media dan berhubungan dengan media. Brahmaputra bahkan
mengaku tidak mengetahui bagaimana berita mengenai dirinya terkemas di media
massa. Ia menyerahkan seluruhnya kepada tim suksesnya. Brahmaputra sendiri
mengaku pertama kali memandang media dengan sebelah mata. Ia mengaku banyak
sekali pemberitaan mengenai dirinya yang tidak dikemas dengan benar.
Apa yang saya katakan besoknya di Koran kok beda keluarnya,
dulu pertama kali saya tidak begitu percaya dengan media, lebih
banyak berita buruknya saja yang disorot.
(Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013)
267
Brahmaputra
kemudian
sadar
bahwa
media
cetak
juga
penting
untuk
menyebarluaskan kegiatan atau program apa yang akan dan telah dilakukannya
selama pemilukada. Namun untuk mengurangi adanya pemberitaan yang miring atau
tidak berasal dari sumber yang jelas maka Brahmaputra memilih siapa yang pantas
menjadi juru bicaranya. Ia kemudian memilih Made Suandi dan IB Santosa untuk
menjadi juru bicaranya. IB Santosa adalah adik kandung dari Brahmaputra. IB
Santosa adalah anggota dewan DPRD Bangli. Selain IB Santosa, Brahmaputra juga
mengangkat seorang juru bicara yakni Made Suandi yang mengetahui seluruh
kegiatannya.
Pokoknya juru bicara saya itu Made Suandi, dia yang tahu semua
kegiatan saya, dia juga yang berhubungan dengan media massa.
Atau pada masa pascapencoblosan itu biasanya yang bertemu dan
dicari media ya IB Santosa, karena dia mengerti hukum dan juga
suka bicaranya nyeleneh dan keras. Itu yang disuka media bukan.
(Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013)
IB Brahmaputra mengatakan walaupun ia berasal dari gabungan partai, ia
mengatakan tidak pernah menggunakan mesin partai dalam melakukan komunikasi
politik dengan konstituen. Hal ini membuktikan bahwa modal sosial yang pasangan
ini miliki ternyata tidak efektif untuk digunakan dalam praktik pertarungan antaraktor
politik di media cetak. Modal sosial menurut Bourdieu (1986:46) seharusnya
memiliki peranan dalam praktik sosial. Namun modal sosial berbasis partai yang
dimiliki Brahmawijaya ternyata tidak efektif dan tidak berjalan dengan baik.
Brahmaputra bahkan mengaku walaupun ia disokong banyak partai namun mesin
268
partainya sama sekali tidak bergerak. Brahmaputra lebih banyak mengandalkan
relawan dan jaringannya selama ia menjadi camat di Kintamani terdahulu. Modal
sosial yang digunakan berbasis pada modal budaya yang Brahmaputra miliki selama
ini. Brahmaputra pun mengaku bahwa ia lebih banyak mengandalkan relawan
dibandingkan mesin partai.
Saya lebih banyak mengandalkan relawan daripada mesin partai.
Partai itu gimana yah. Bahkan di TPS tempat anggota dewan yang
menyokong saya saja kalah.. itu gimana? Berarti kan sama sekali
tidak jalan.
(Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013)
IB Brahmaputra pun menegaskan kinerja partainya pun sama sekali tidak
terlihat bahkan saat Brahmaputra mengajukan keberatan atas hasil pemilukada Bangli
ke Mahkamah Konstitusi. Ia mengaku sama sekali tidak mendapat sokongan dari
partai politik. Brahmaputra mengatakan bahkan pada saat ia di Jakarta bersama
saksinya, partai maupun elite partai politiknya sama sekali tidak membantu baik dari
segi moriil maupun materiil. Hal ini membuat Brahmaputra cukup kecewa dengan
partai yang menyokongnya. Brahmaputra mengatakan bahkan anggota dewan
pembina partainya terkesan sama sekali tidak mendukungnya, bahkan lebih
cenderung mendukung lawannya. Hal ini membuktikan bahwa ikatan dalam modal
sosial berbasis partai yang Brahmaputra miliki ternyata tidak memiliki ikatan kohesi
yang begitu kuat.
269
Dia lebih mementingkan sentiment kedaerahannya, fanatisme
daerahnya Kintamani dibandingkan partainya. Ia juga memegang
prinsip pang taen gen ngelah bupati uling Kintamani. Bahkan
selama saya berjuang di MK, beliau sama sekali tidak pernah
menelpon saya. Terus terang saya sangat kecewa.
(Wawancara IB Brahmaputra, Calon Kepala Daerah, 11 Juli 2013)
Untuk itu ia mengatakan bahwa ia lebih merasa berjuang sendiri tidak bersama partai
yang menyokongnya. Dengan paparan ini maka diketahui bahwa modal sosial yang
Brahmawijaya miliki tidak berperan signifikan dalam pertarungan aktor politik.
Pasangan dengan nomor urut lima ini memiliki beberapa kombinasi kekuatan
modal. Modalnya antara lain modal budaya dan simbolik yang dimiliki IB
Brahmaputra, yakni sebagai mantan camat Kintamani yang berhasil kemudian modal
simbolik dimana dirinya berasal dari Griya terpandang di Bangli. Modal berikutnya
yang dimiliki pasangan ini adalah modal ekonomi yang cukup besar. Modal ekonomi
ini berasal dari calon wakil kepala daerah yakni Winurjaya. Winurjaya sebagai
pengusaha pariwisata yang tergolong sukses tentu saja memiliki kekuatan ekonomi.
Namun perpaduan antara modal ekonomi dan modal budaya ini ternyata tidak cukup
memenangkan pertarungan aktor politik di media cetak.
270
6.3 Faktor Media Cetak
Faktor yang berpengaruh pada isi media menurut Shoemaker dan Reese
(1996) antara lain adalah faktor individu pekerja media, dan ideologi media. Inilah
yang dibedah untuk mengkonstruksi kembali bagaimana sebuah berita, iklan
mengenai pemilukada di Kabupaten Bangli pada tahun 2010 dikemas. Faktor ini
diyakini merupakan bagian-bagian terpisah yang akhirnya mengkonstruksi sebuah
artikel berita maupun iklan dimana mempunyai daya pengaruh yang besar terhadap
pertarungan politik para aktor politik pasangan calon kepala daerah di Kabupaten
Bangli.
6.3.1 Faktor Individu Pekerja Media
Pertama adalah faktor individu pekerja media. Faktor ini berhubungan dengan
latar belakang professional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana
pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan
yang akan ditampilkan kepada khalayak. Hal ini diketahui melalui wawancara
langsung dengan wartawan dan redaktur. Latar belakang individu seperti jenis
kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan
media. Latar belakang pendidikan, atau kecenderungan orientasi pada partai politik
sedikit banyak bisa mempengaruhi pemberitaan media. Wartawan yang memiliki
orientasi politik tertentu, akan memberitakan secara berbeda terhadap partai politik
yang kebetulan menjadi idolanya (Shoemaker dan Reese, 1996:63).
271
Faktor ini berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam
pemilukada di Bangli 2010. Individu pekerja media yang terlibat di dalamnya adalah
wartawan dan redaktur/ pemimpin redaksi dari media Bali Post, Nusa Bali, dan
Radar Bali. Pengaruh latar belakang individu ini terlihat di masing-masing media.
Salah satunya adalah pengaruh latar belakang pada wartawan Radar Bali, Oka.
Wartawan Radar Bali, Oka adalah wartawan Radar Bali yang bertugas meliput
selama proses pemilukada di Kabupaten Bangli tahun 2010. Oka sehari-hari bertugas
di Kabupaten Gianyar, namun menjelang pemilukada di Kabupaten Bangli, Oka
ditugaskan untuk meliput di Kabupaten Bangli. Hal ini dikarenakan kosongnya posisi
wartawan Radar Bali yang biasa bertugas di Kabupaten Bangli. Wartawan Radar
Bali yang bertugas adalah Anak Agung Gde Prabangsa yang menjadi korban
pembunuhan. Ternyata Pembunuhan yang menimpa rekannya ini berpengaruh
terhadap cara Oka mengemas berita selama pemilukada di Bangli.
Oka menegaskan dirinya mengakui ada perbedaan dalam membuat berita saat
pemilukada di Bangli 2010 lalu. Ia mengatakan tidak bisa bertindak adil dengan
kelima calon pasangan. Salah satu faktor yang membuatnya tidak bisa
memperlakukan adil adalah karena kasus pembunuhan salah satu rekannya di Radar
Bali, yakni Anak Agung Gde Prabangsa.
Pembunuhan terhadap rekannya ini ternyata dilatarbelakangi oleh profesi
Prabangsa sebagai wartawan yang sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan
kasus korupsi di dinas pendidikan dan kebudayaan Kabupaten Bangli. Setelah proses
272
penyidikan tahun 2009 hingga 2010 yang dilakukan Polda Bali, diketahui pelaku atau
aktor intelektual dibalik pembunuhan Anak Agung Gde Prabangsa adalah adik dari
Bupati Bangli, I Nyoman Susrama. Polisi sendiri telah menetapkan sembilan
tersangka kasus pembunuhan wartawan Radar Bali (Jawa Pos Grup), Anak Agung
Gede Prabangsa, termasuk calon anggota DPRD Bangli terpilih, I Nyoman Susrama.
Sebelum jasadnya diceburkan ke laut dalam keadaan masih bernyawa, Prabangsa
mengalami penyiksaan sadis di rumah aktor intelektual dan pelaku pembunuhan, I
Nyoman Susrama di Banjar Petak, Desa Bebalang, Bangli.
Dalam keadaan tak berdaya, Prabangsa dikeroyok. Tangan kanan korban
dipatahkan, para eksekutor dengan kejam memukuli kepalanya dengan balok dan
menginjak-injak tubuhnya yang tak berdaya. Menurut informasi yang diungkapkan
tersangka, sang wartawan sempat memohon agar jangan dianiaya dan dibunuh.
Prabangsa dibunuh terkait dengan profesinya sebagai wartawan. Prabangsa
memberitakan dugaan penyimpangan dalam proyek di Dinas Pendidikan Bangli,
dimana I Nyoman Susrama menjadi ketua pengawas proyek.
Kedekatan Oka sebagai kawan seprofesi dari Anak Agung Gde Prabangsa,
membuatnya enggan untuk berkomunikasi maupun berhubungan dengan salah satu
calon yakni I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan. Calon pasangan yang berasal
dari calon perseorangan ini adalah calon yang dibentuk oleh I Nengah Arnawa dalam
pemilukada Bangli 2010. Akibatnya, Oka mengakui tidak pernah membuat berita
mengenai pasangan I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan. Kecenderungan Oka
273
untuk cenderung menghindari salah satu pasangan yakni ALAS dipengaruhi oleh
nilai yang dianut dan kedekatan sosial Oka dengan rekannya Prabangsa. Shoemaker
dan Reese (1996:76) mengatakan bahwa nilai-nilai pribadi akan mempengaruhi
bagaimana seorang wartawan membuat sebuah berita. Oka Suryawan mengatakan
bahwa “Saya jarang wawancarai Arsada, karena secara psikologis mungkin ada
Arnawa karena kasus Prabangsa” (Wawancara Gde Oka Suryawan, 22 Maret 2012).
Namun Oka mengakui keputusan dan keengganannya untuk berhubungan
dengan pasangan I Wayan Arsada dan I Wayan Lasmawan adalah keputusan pribadi
tanpa ada perintah atau kebijakan dari kantor pusat Radar Bali. Hal ini menunjukkan
bahwa keputusan Oka ini adalah murni dari faktor pribadi bukan kebijakan dari
perusahaan.
Selain wartawan, individu pekerja media lainnya yang berpengaruh adalah
pekerja media yang bertanggungjawab atas hasil kerja wartawan, yakni pemimpin
redaksi, redaktur hingga pemimpin umum. Pihak yang paling berpengaruh kedua
yakni pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana yang menyunting berita hasil
susunan dari wartawan.Salah satunya adalah pemimpin redaksi Harian NusaBali, I
Ketut Naria. Latar belakang dan pengetahuan dari seorang pemimpin redaksi akan
situasi sosial ekonomi di Bangli tentu saja mempengaruhi bagaimana sebuah berita
mengenai pemilukada Bangli 2010 dimuat di media cetak. Shoemaker dan Reese
(1996:67) mengatakan bahwa etnisitas atau asal daerah akan mempengaruhi pula isi
dari sebuah media.
274
I Ketut Naria bermukim di Denpasar namun sebenarnya berasal dari
Kintamani Bangli. Latar belakang Naria ini tentu saja mempengaruhi pemberitaan
mengenai pemilukada Bangli 2010 hingga pemberitaan mengenai calon pasangan
kepala daerah Bangli 2010.
Saya ini memang lama di Denpasar, tapi saya aslinya dari
Kintamani Bangli. Saya tahu bagaimana deal politik dan keadaan
politiknya di Bangli khususnya di daerah Kintamani. Ya jadi saat
saya kasih tugas peliputan atau mengedit beritanya saya sudah
tahu latar belakangnya juga bagaimana..
(Wawancara Ketut Naria, Pemimpin Redaksi Nusa Bali, 15 Mei 2012)
Naria pun mengetahui kondisi sosial kultural psikologis masyarakat di Bangli.
Naria pun mengetahui pergulatan hingga konflik sosial baik laten maupun non laten
dalam masyarakat di Bangli. Tentu saja pengetahuannya akan hal ini akan membuat
berita yang disajikan oleh Nusa Bali akan berbeda dengan media cetak lainnya.
Latar belakang Naria sebagai penduduk asli Bangli pun membuatnya
mengetahui isu-isu yang beredar dalam pertarungan antar calon kepala daerah di
Bangli. Tentu saja hal ini mempengaruhi berita yang disajikan menjadi dua
pandangan. Pandangan pertama, berita menjadi lebih kaya akan informasi sehingga
pemberitaan akan lebih dalam. Sedangkan pandangan kedua adalah ikut sertanya
asumsi pribadi dalam sebuah pemberitaan. Hal ini menyebabkan pemberitaan tidak
lagi obyektif namun terdapat unsur-unsur subyektifitas di dalamnya.
275
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa faktor individu pekerja media
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli
tahun 2010. Individu pekerja media yang berpengaruh berada di setiap lini, baik dari
lini terdepan yakni wartawan hingga penjaga gawang terakhir dalam pembentukan
berita yakni si pemimpin redaksi. Keberpihakan pada salah satu calon pasangan
kepala daerah tentu saja akan mempengaruhi bagaimana individu pekerja ini akan
membentuk berita yang bersangkutan. Ketidaksukaan atau rasa tidak menyukai
individu pekerja pada pasangan calon kepala daerah tertentu tentu saja akan
mempengaruhi berita pasangan calon tersebut. Perbedaan berita dapat berupa
pembentukan citra negatif atas calon kepala daerah, atau ruang yang lebih kecil di
media cetak yang dinaunginya.
6.3.2 Faktor Ideologi Media
Faktor media lainnya adalah faktor ideologi media itu sendiri. Ideologi
sebagai mekanisme simbolis yang berjalan secara kohesif dan memiliki kekuatan
yang mengikat dalam sebuah masyarakat dipandang memiliki peranan dalam
mempengaruhi isi dari media (Shoemaker dan Reese, 1996:212). Ideologi pun
diyakini sebagai berjalan seiring dengan nilai yang berlaku dan bukan sistem
kepercayaan yang terbentuk begitu saja seperti mahluk asing (Thompson, 1990 dalam
Shoemaker dan Reese, 1996:214). Oleh karenanya ideologi media yang ada di
276
Indonesia akan dipengaruhi oleh Ideologi Pancasila dan taat pada aturan hukum yang
berlaku.
Ketiga media yang dianalisis memiliki nilai-nilai yang berbeda. Harian Bali
Post mengaku berideologikan Pancasila. Harian Nusa Bali pada dasarnya memiliki
visi misi bahwa Nusa Bali adalah korannya orang Bali. Harian Radar Bali memiliki
visi misi yang sama dengan Harian Jawa Pos dengan menekankan bahwa harian ini
selalu menampilkan sesuatu yang baru. Namun dalam praktiknya nilai yang
cenderung terjadi adalah condong pada kepentingan ekonomi kapitalis dari media itu
sendiri.
Ideologi ini ternyata tidak memiliki dampak pada pemberitaan dalam
pemilukada Bangli 2010. Ideologi yang terlihat pada pemilukada adalah ideologi
ekonomi kapitalis. Media pada saat pemilukada lebih cenderung untuk berpihak pada
keuntungan atau kapitalisme bukan berpegang pada ideologi harian tersebut selama
ini.
Ideologi ini termasuk dalam kebijakan media itu sendiri. Kebijakan sebuah
media tentu saja tidak dapat dilepaskan dari latar belakang dan sejarah media
tersebut. Kebijakan sebuah media pada masa kampanye pemilukada tentu saja
berbeda dengan kebijakan pada saat tidak ada pertarungan perebutan kekuasaan
politik.
277
Yang jelas kami berusaha independen karena koran kami kalau
berpihak, jelas tidak dapat diterima luas di Bali. Dalam hal ini adalah
konyol kalau kami berpihak, iya, kalau menang kalau kalah kan
hancur.
(Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali,
22 Mei 2013)
Hari menegaskan selama masa kampanye, media Radar Bali akan cenderung
lebih berhati-hati dalam memuat sebuah berita. Diakuinya, selama masa kampanye
adalah masa yang riskan dimana independensi dari sebuah media akan menjadi
taruhannya. Untuk itu Radar Bali selalu menghimbau agar seluruh individu pekerja
media terutama wartawannya untuk tidak berpihak pada pasangan mana pun. Ia pun
mengakui dalam mengedit sebuah berita yang masuk terutama menyangkut
pemilukada akan semakin ketat dan kritis.
Biasanya untuk momen pilkada itu juga ada perhatian khusus dari
redaksi, dapat semacam juklak lah, yang jelas posisimu harus
netral.
(Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali,
22 Mei 2013)
Hari menambahkan sebagai media yang berafiliasi dengan media besar seperti Jawa
Pos, kebijakan Radar Bali tentu saja mengakar pada induknya di Jawa Timur. Radar
Bali diharapkan tetap menjunjung independensinya sebagai media di mana tidak ikut
bermain dalam pertarungan politik dalam pemilukada manapun.
278
Kami kayak memiliki otonomi sendiri, misalnya urusan keuangan,
terus managemen untuk kepegawaian, yah mirip dengan
kabupaten dengan pusatlah.
alur kebijakannya masih sama dengan Jawa Pos, pakemnya
misalnya kiri berapa. Think global, act local, jadi pemikiran global
dengan action Bali.
(Wawancara Hari Puspita, Redaktur Pelaksana Radar Bali,
22 Mei 2013)
Sebagai media yang mumpuni dan tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi
seperti Radar Bali, tentu saja tidak sulit untuk menjaga independensinya. Radar Bali
juga tidak menjadikan ajang pemilukada sebagai ajang peningkatan pendapatan
mereka. Namun hal ini berbeda dengan harian lainnya seperti harian Nusa Bali.
Sebagai anak perusahaan milik kelompok usaha Bakrie Group, dimana
pemiliknya adalah Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Nusa Bali tentu saja
diprediksi akan lebih banyak mengangkat pemberitaan calon kepala daerah yang
berasal dari Partai Golkar. Namun ternyata prediksi ini meleset, Nusa Bali tercatat
hampir tidak pernah memberitakan atau memasang iklan pasangan calon kepala
daerah Kabupaten Bangli dari Partai Golkar. Naria mengaku netral dan tidak berpihak
pada pasangan calon manapun.
Kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap pasangan
calon, tidak pernah membedakan sama sekali. Harga yang dipatok
pun sama untuk semua berita tentang politik.
(Wawancara I Ketut Naria, Pemred Nusa Bali, 15 Mei 2012)
Naria mengatakan ini sebagai bukti bahwa Nusa Bali tidak memihak pada
pasangan manapun. Naria pun mengatakan selama ini tidak pernah ada perintah atau
279
intervensi dari pihak pemilik mengenai kebijakan yang diambil selama masa
kampanye pemilukada Bangli pada tahun 2010.
Tiga faktor di atas, ekonomi, politik dan media adalah faktor-faktor yang
ditengarai mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada
Bangli 2010. Ketiga faktor di atas berdampak pada ekonomi, politik, dan budaya baik
pada tingkat media, politik praktis, ataupun budaya masyarakat itu sendiri. Dampak
dan makna inilah yang akan dibahas pada bab selanjutnya yakni dampak dan makna
pertarungan aktor politik di media cetak pada pemilukada Bangli 2010.
BAB VII
DAMPAK DAN MAKNA PERTARUNGAN AKTOR POLITIK
DI MEDIA CETAK
Perkembangan politik seperti pemilukada tentu saja bukan sebuah prosesi
yang tumbuh dan berjalan di ruang hampa. Pemilukada akan bersinggungan dengan
segala aspek di masyarakat. Jalannya pemilukada akan membawa dampak dan makna
yang luas tidak hanya pada sektor politik saja. Sekurang-kurangnya terdapat tiga
dampak yang merupakan konsekuensi dari pertarungan aktor politik dalam
pemilukada. Pertama, dampak politik dari pertarungan ini adalah berkembangnya
praktik politik praktis dan hubungan pragmatis antara media cetak dengan aktor
politik yang bertarung. Kedua, dampak ekonomi di mana dibutuhkan kekuatan
ekonomi yang besar dalam pertarungan aktor politik di media cetak sehingga dalam
pemilukada terjadi biaya politik ekonomi yang tinggi dan menonjolkan terjadinya
sistem kapitalisme media cetak yang kebablasan. Ketiga, dampak budaya di mana
pertarungan aktor politik yang dikemas oleh media cetak adalah realitas semu yang
dinilai sebagai kebenaran oleh masyarakat dan telah menjadi budaya. Oleh karena itu,
tiga sektor inilah yang akan dibahas dalam menganalisis dampak pertarungan aktor
politik di media cetak.
280
281
7.1 Dampak Pertarungan
7.1.1 Praktik Politik Praktis
Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada di Bangli
memberikan beberapa dampak secara politik. Salah satu dampaknya adalah aktor
politik yang lebih sering tampil di media ternyata lebih popular dan memiliki
kecenderungan untuk memperoleh suara yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak
tampil di media.
Ras Amanda (2010) mengemukakan dari lima pemilukada di Bali pada tahun
2010 (Badung, Denpasar, Bangli, Karangasem, Tabanan), empat pasangan yang
terpilih
menjadi
bupati
dan
walikota
adalah
pasangan
dengan
kuantitas
kemunculannya di media yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan
yang relatif positif antara tampil di media dengan tingkat elektabilitas pasangan calon
kepala daerah. MacRae dan Darma Putra (2007) mengkaji bahwa kekuasaan dan
kekuatan media massa di Bali mampu memberikan status media massa atau
kelompok media tersebut menjadi seorang aristokrat baru. MacRae dan Darma Putra
mengemukakan keberadaan media massa telah menjadi tokoh sentral dalam sebuah
pertarungan aktor politik dalam pemilukada di Bali.
282
Hal ini pun terjadi dalam pemilukada di Bangli pada tahun 2010. Pasangan
GITA tercatat sebagai pasangan yang paling sering muncul di media, dan pasangan
GITA inilah yang akhirnya memenangkan pemilukada Bangli 2010. Kemunculan di
media bukanlah hal yang murah. Pertarungan aktor politik di media cetak dari
pemaparan bab sebelumnya merupakan bentuk komunikasi politik yang harus
memiliki kekuatan ekonomi yang cukup tinggi. Dunia media cetak di Bali yang dapat
dibayar membuat para aktor politik harus memiliki dana yang cukup untuk dapat
dimuat di media cetak.
Biaya yang tinggi ini membuat komunikasi politik melalui media massa
menjadi hal yang sangat mahal. Hal ini membuat beban para aktor politik dalam
melakukan politik praktis pada masa kampanye menjadi tinggi. Ini membuat sistem
politik di tingkat kabupaten pun tergolong politik berbiaya tinggi atau high cost
politics.
Salah satu pasangan calon, yakni Arsada mengakui ia menghabiskan dana
yang tidak sedikit untuk kampanye pada pemilukada Bangli 2010. Ia mengatakan
hingga pascapemilukada ia masih berhutang untuk biaya kampanye sekitar tiga
milyar rupiah. Namun ia enggan merinci berapa biaya yang ia keluarkan untuk bentuk
komunikasi politik melalui media cetak.
Harian NusaBali memungut biaya sekitar Rp 16 juta untuk satu kali naik cetak
di halaman satu yang menyambung di halaman terakhir. Tampilan di halaman satu
biasanya disertai foto berwarna, dan berlanjut di halaman terakhir dengan panjang
283
empat kolom dikalikan hampir setengah halaman. Apabila kampanye berlangsung
selama tujuh hari, berarti satu kandidat harus menyediakan sedikitnya 100 juta rupiah
untuk tampil di media cetak tersebut dalam bentuk berita. Hal ini ditegaskan Naria
pemred Nusa Bali. Lain halnya dengan harian Bali Post, untuk halaman pertama yang
menyambung ke halaman lima belas, seorang kandidat harus menyiapkan dana besar,
sekitar Rp 13,5 juta. Sedangkan untuk memasang iklan, biaya yang dikeluarkan tentu
berbeda lagi. Untuk iklan di halaman satu dan berwarna, aktor politik harus
membayar dengan harga berbeda. Sedangkan untuk berita berbayar di halaman dalam
Bali Post memasang harga yang berbeda. Biaya berita di halaman dalam lebih murah
dibandingkan biaya berita di halaman dalam.
Berbeda dengan NusaBali dan Bali Post, harian Radar Bali tidak menjual
kolom atau slot dalam surat kabarnya. Radar Bali menyatakan jual beli kolom di
Radar Bali tidak diperbolehkan dalam kebijakan induk perusahaan. Namun Radar
Bali dapat melakukan jual beli oplah koran. Jadi apabila ada kandidat atau aktor
politik yang ingin dirinya termuat dalam Koran Radar Bali, ia harus membayarnya
dengan membeli koran tersebut dengan oplah tertentu. Jadi dalam hal ini terjadi aksi
borong oleh aktor politik atas Harian Radar Bali yang memuat berita tentang dirinya.
Praktik mencari keuntungan yang dilakukan media cetak membuat biaya
komunikasi aktor politik menjadi tinggi. Jadi dampaknya adalah siapa yang memiliki
kekuatan ekonomi yang cukup maka ia akan dapat tampil di media, sedangkan bagi
284
mereka yang tidak memiliki cukup uang maka kandidat tersebut akan sulit untuk
dapat tampil di media massa seperti koran.
Adanya prasyarat biaya yang tinggi untuk dapat tampil di media, membuat
aktor politik harus berpikir cerdas untuk melakukan bentuk komunikasi politik
lainnya. Aktor politik pun berpikir logis dan realistis dalam menggunakan dana
kamapanye selain melalui media cetak. Seperti yang dilakukan oleh salah satu
kandidat dari Partai Golkar yakni Wayan Gunawan. Ia mengatakan biaya yang tinggi
dalam kampanye politik melalui media cetak membuatnya enggan untuk melakukan
komunikasi politik melalui media cetak. Gunawan berpendapat tampil di koran belum
tentu berdampak langsung dalam hasil pemilihan. Ia mengatakan bahwa lebih baik
menghabiskan dana lima juta rupiah untuk membeli suara dibandingkan untuk
membeli slot kolom di koran. Ia mengatakan dengan lima juta rupiah, ia bisa
mendapatkan 100 suara dengan harga per suara 50 ribu rupiah. Sedangkan dengan
tampil di Koran dan menghabiskan dana lima juta rupiah belum tentu ia mendapatkan
100 suara. Pernyataan Gunawan ini mencerminkan bahwa ia melegalkan praktik
politik uang untuk memperoleh suara.
Hal yang sama juga dilakukan oleh calon lainnya yakni Ludra. Ludra
mengatakan ia tidak memiliki cukup kekuatan ekonomi untuk melakukan komunikasi
politik di media cetak. Untuk itu ia mengatakan strategi dalam berkomunikasi politik
adalah dengan sesering mungkin bertemu dengan pemilihnya. Ia pun mengatakan
285
bahwa setiap ada wartawan yang mendekati dan bertanya, ia akan mengatakan bahwa
dirinya tidak dapat membayar kepada wartawan maupun media yang bersangkutan.
Dampak dari media yang dapat dibayar ini tidak berhenti di sektor individu
aktor politik itu sendiri, namun juga berdampak pada institusi media. Dengan adanya
uang yang beredar dan masuk ke media cetak, membuat media cetak tidak lagi sesuai
dengan fungsinya yakni pengawasan dan bertindak independen tidak berpihak.
Dampak pertarungan yang terhegemoni oleh kekuatan ekonomi membuat
media cetak lupa akan kode etik jurnalistiknya. Media cetak berdasarkan kode etik
jurnalistik harus menjunjung tinggi netraliltas baik dalam bidang politik maupun
bidang lainnya. Namun dengan sistem yang berlaku pada pemilukada ini, membuat
media tidak dapat lagi netral. Media seharusnya memberikan wadah dan ruang yang
sama untuk seluruh kandidat calon kepala daerah. Namun dengan adanya prasyarat
membayar maka tidak semua kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk dimuat
di media cetak. Maka dengan adanya ketidakadilan media cetak tentunya akan
berdampak pada hasil pemilihan baik langsung maupun tidak langsung.
Dari catatan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa dari lima pasangan calon
pemilukada di Bangli yang tercatat sering muncul di media cetak adalah pasangan
GITA disusul oleh pasangan Brahmawijaya, lalu pasangan ALAS, pasangan GUNA
dan pasangan Ludra-Durpa berada di posisi terakhir. Hasil pemilukada di Bangli
2010 lalu menunjukkan pasangan GITA memperoleh suara terbanyak disusul oleh
pasangan Brahmawijaya, ALAS, GUNA dan Ludra. Hal ini menunjukkan adanya
286
hubungan yang searah antara tingginya kuantitas tampil di media dengan tingginya
elektabilitas saat pemilukada.
Dengan hasil pemilukada seperti dipaparkan di atas maka seolah-olah
menegaskan kembali pentingnya tampil di media cetak untuk memperoleh
kemenangan dalam pemilukada. Muncul di media cetak menjadi sebuah kunci dalam
suksesnya sebuah pemilukada. Bahkan, kekuatan media cetak terlihat cukup
signifikan dengan membandingkan antara kuantitas pasangan GUNA dan pasangan
ALAS tampil di media cetak. Pasangan GUNA yang diusung oleh Golkar tercatat
sangat jarang tampil di media cetak. Sedangkan pasangan ALAS yang merupakan
pasangan perseorangan tercatat selama masa kampanye selalu tampil di media dalam
bentuk advertorial. Dari kedua pasangan ini yang memperoleh suara terbesar adalah
pasangan ALAS. ALAS memperoleh 23.244 suara. Sedangkan GUNA hanya
memperoleh 10.166 suara.
Ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan kacamata bagaimana modal
sosial dalam hal ini partai ternyata tidak memiliki kekuatan yang cukup signifikan
melawan faktor media terutama dalam kasus pasangan yang berangkat dari partai
dengan jaringan sosial yang besar. Kontinuitas tampil di media, membuat ALAS
menjadi lebih memiliki elektabilitas yang tinggi dibandingkan GUNA.
Dengan adanya fenomena populerisme media cetak, maka aktor politik akan
berpikir bahwa untuk tampil di media adalah langkah yang sangat penting.
Kebutuhan aktor politik untuk tampil di media membuat media memiliki posisi tawar
287
yang tinggi. Hal ini menyebabkan media menggunakan ajang pemilukada sebagai
ajang meraup keuntungan.
Maka pertarungan aktor politik di pemilukada juga
berdampak pada ekonomi media di Bali. Ini yang akan dibahas pada sub bab
berikutnya.
7.1.2 Dampak Kapitalisme Media Cetak
Pertarungan aktor politik di media cetak berdampak pada sistem ekonomi
media. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa kekuatan ekonomi atau uang menjadi
hal yang paling penting dalam proses komunikasi politik. Proses komunikasi politik
dengan biaya tinggi dijadikan media ajang untuk meraup keuntungan. Pada prosesnya
media cetak melakukan praktik komersialisasi halaman cetak mereka. Hal ini tumbuh
subur dengan turut berkembangnya dinamika baru pencitraan aktor politik di media
cetak.
Perspektif ekonomi politik media adalah kajian dengan kelompok pendekatan
kritis. Perspektif ekonomi politik melihat persoalan ekonomi berada dalam hubungan
dengan kehidupan politik, sosial, dan budaya serta memberikan penekanan pada
relasi sosial dan kekuasaan (McQuail, 2000:82). McQuail mengarahkan pada analisis
empiris dari struktur kepemilikan dan kontrol media, serta cara kekuatan pasar media
bekerja. Institusi media dipandang sebagai bagian dari sistem ekonomi yang
mempunyai hubungan dekat dengan sistem politik.
288
Pendekatan ekonomi politik media menemukan ketergantungan ideologi pada
kekuatan ekonomi dan mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris
terhadap struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media
(McQuail,2000:64). Ajang kampanye atau komunikasi politik melalui media massa
akhirnya dijadikan ajang sebagai sumber penghasilan media massa. Sumber
penghasilan media ini bisa berupa iklan, bisa juga berupa pelanggan atau pembeli
media. Media harus bertahan hidup, dan untuk bertahan hidup kadangkala media
harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka. Misalkan media
tertentu tidak memberitakan kasus tertentu yang berhubungan dengan pengiklan.
Pihak pengiklan juga mempunyai strategi untuk memaksakan versinya pada media. Ia
tentu saja ingin kepentingannya dipenuhi, itu dilakukan diantaranya dengan cara
memaksa media untuk mengembargo berita yang buruk mengenai mereka. Pelanggan
dalam banyak hal juga ikut mewarnai pemberitaan media. Tema tertentu yang
menarik dan terbukti mendongkrak penjualan, akan terus menerus diliput oleh media.
Media tidak menyia-nyiakan momentum peristiwa yang disenangi oleh khalayak.
Dalam pemilukada Bangli 2010, media cetak menjadikan proses ini sebagai
sumber penghasilan media. Pemilukada dinilai sebagai kesempatan untuk bagi media
mencari keuntungan sebesar-besarnya. Keuntungan diraih dengan beragam modus
seperti menawarkan iklan, advertorial, berita berbayar, maupun berita jurnalistik
murni.
289
Ironisnya, fenomena mencari keuntungan selama pemilukada telah menjadi
hal yang biasa bagi media cetak di Bali. Memperoleh sumber peghasilan dengan
menjual slot kolom diluar iklan maupun advertorial menjadi hal yang biasa dan
lumrah. Media cetak seakan-akan tidak lagi mengindahkan kode etik jurnalistik yang
menuntut netralitas dan obyektivitas dalam pemberitaannya.
Modal yang kecil dan tuntutan untuk tetap bertahan membuat media cetak
menilai hal tersebut dapat dihalalkan dan wajar dilakukan. Hal ini membuat ekonomi
media menjadi dalam ketergantungan dengan sistem politik yang berbiaya tinggi.
Mosco (1996:27) memahami pendekatan ekonomi politik media melalui tiga konsep
kajian komunikasi, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan stukturasi.
Pada pemilukada Bangli 2010, media melakukan segala bentuk usaha untuk
memasarkan produk mereka kepada aktor politik untuk mendapatkan profit secara
ekonomi. Spesialisasi ini dapat dilihat dari meningkatnya asset dan keuntungan
media.
Komodifikasi ialah suatu istilah yang mendeskripsikan cara-cara kapitalisme
dan mentranformasi suatu nilai guna menjadi nilai tukar. Oleh sebab itu komodifikasi
dapat menjadi ukuran untuk kapitalisme global. Dalam pemilukada Bangli 2010,
media mentransformasikan nilai guna dari kolom mereka menjadi nilai tukar dengan
uang. Dalam komodifikasi terkadang produsen media massa menghalalkan segala
cara dalam memodifikasi isi untuk kemudian menguasai pasar konsumen. Berarti
media cetak telah melakukan praktik komodifikasi media dimana media cetak
290
melupakan etika jurnalistiknya dan menghalalkan beragam cara untuk memperoleh
keuntungan. Ketidakobjektifan media dan keberpihakan media juga dapat dilihat
sebagai bentuk upaya media untuk meneguhkan konsentrasi kapital, sekaligus upaya
institusi media memperbesar profitnya dengan menggunakan situasi politik yang
krusial untuk kepentingan sepihak.
Praktik komodifikasi ini berdampak pada ekonomi media dimana praktik
komodifikasi telah menjadi rutininas media cetak selama pemilukada. Hal yang rutin
di media massa ini berpengaruh pada pemahaman dan penerimaan wacana oleh
masyarakat. Realitas yang dikemas media atau realitas media tidak selamanya
mencerminkan realitas yang ada di masyarakat. Terlebih lagi apabila realitas yang
dikemas media adalah rekayasa yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Berita
berbayar adalah salah satu realitas media yang penuh rekayasa. Realitas media yang
berpihak ini berlangsung secara konsisten dan terus menerus telah menjadi budaya
media yang berdampak pada budaya di masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan Altschull (dalam Shoemaker 1996:231) bahwa ideologi yang direfleksikan
media dibedakan dalam empat sumber berdasarkan siapa yang membiayai media.
Dalam kasus pemilukada Bangli, media merefleksikan ideologi dari pemasang iklan
dan ideologi dari mereka yang membiayai partai politik. Dampak pertarungan di
media pada budaya akan dibahas pada sub bab berikutnya.
291
7.1.3 Dampak Berkembangnya Realitas Semu dalam Masyarakat
Media massa memiliki fungsi di dalam masyarakat (Dominick, 1999:33)
yakni fungsi informasi, pendidikan, pengawasan dan hiburan. Idealnya, media harus
menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat agar mereka dapat
membentuk pendapat dan membuat keputusan sendiri tentang berbagai aspek
kehidupan, terutama persoalan politik.
Menurut Subiakto (2012:171) dalam pemilukada media diharapkan bukan
hanya menyukseskan pemilukada dengan menyebarkan informasi terkait pemilihan
tetapi juga harus dituntut melalukan pendidikan pada pemilih. Media sebaiknya pun
mendiskusikan, apa dan bagaimana pentingnya pemilukada bagi masyarakat. Dengan
demikian, media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan
pengawasan terhadap proses politik dalam pemilukada.
Namun pada praktiknya, media cenderung melakukan praktik komodifikasi
ekonomi media dalam pemilukada di Bangli. Tentunya praktik komodifikasi ini
berdampak luas. Dampak rutinitas media ini berdampak pada pemahaman dan budaya
yang ada di masyarakat pada umumnya.
Carey (1988:23) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah sebuah proses
simbolik dimana realitas diproduksi, dipelihara, diperbaiki, dan diubah. Budaya
didefinisikan oleh Carey sebagai proses, tetapi dapat juga merujuk pada atribut
292
bersama sekelompok manusia. Carey pun menegaskan terdapat aspek ekonomi politik
dari pengaturan produksi budaya yang diwakili oleh industri media massa.
Maka dampak komodifikasi yang dilakukan media dengan menciptakan
realitas media yang semu akan berdampak pada sistem budaya demokrasi dan politik.
Media yang seharusnya objektif akhirnya tidak berperan sesuai fungsinya.
Dampaknya media melakukan pembodohan politik terhadap rakyat. Rakyat dalam hal
ini pembaca media cetak memandang isu atau agenda yang diangkat oleh media atau
yang disebut sebagai realitas media. Dimana pada akhirnya apa yang disajikan media
dianggap penting oleh masyarakat.
Dominick (1999) dalam bukunya menggambarkan teori agenda setting
sebagai kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik
sehingga publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Atau seperti yang
telah dikatakan Cohen dalam bukunya The Press and Foreign Policy, yang
menyatakan bahwa media tidak selalu sukses dalam menyuruh publik untuk
memikirkan sesuatu, tetapi media seringkali sukses dalam mempengaruhi publik
untuk memikirkan suatu topik tertentu.
Dominick juga menjelaskan bahwa penelitian dengan menggunakan teori
agenda setting banyak dilakukan pada penelitian saat kampanye politik. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, pesan yang dihasilkan saat kampanye politik
biasanya dibentuk untuk mensetting sebuah agenda tertentu. Kedua, kampanye politik
293
memiliki batas waktu yang jelas saat memulai kampanye dan saat akhir kampanye.
Hal ini menyebabkan periode waktu penelitian tidak lagi ambigu.
Apabila apa yang disajikan media bukanlah sebuah realitas, namun realitas
penuh rekayasa yang dibentuk media atas pesanan aktor politik maka realitas dan isu
yang diterima atau dipahami oleh masyarakat menjadi sebuah realitas yang semu.
Media pada akhirnya menyajikan realitas yang jauh dari realitas sebenarnya bahkan
penuh manipulasi. Berita yang penuh rekayasa ini pun pada akhirnya diterima dan
dikonsumsi oleh masyarakat. Agenda dan isu yang ada di media pun dinilai
masyarakat menjadi agenda dan isu penting untuk dipikirkan. Padahal isu tersebut
penuh dengan muatan politik berbasis kekuasaan ekonomi aktor politik.
Media yang seharusnya menyajikan secara adil masing-masing kandidat
akhirnya dengan prinsip ekonomi hanya menampilkan aktor-aktor politik yang
memiliki kekuasaan ekonomi yang cukup. Hal yang meyedihkan seringkali media
tidak merasa melakukan pelanggaran etika saat menyajikan berita maupun iklan
dalam bentuk berita maupun hasil jurnalistik lainnya yang nyatanya hanya
menguntungkan aktor politik tertentu.
Media yang tunduk dengan kekuatan ekonomi ini akhirnya menggerus fungsi
media sebagai pengawas atau dikenal dengan watch dog. Apabila media akhirnya
tunduk pada kekuasaan ekonomi maka ia tidak dapat lagi berperan sebagai pengawas
namun hanya menjadi media yang dipelihara oleh kekuatan kapitalis.
294
Media yang telah terhegemoni oleh kekuatan kapitalis ini pada akhirnya
berdampak pada perkembangan ekonomi politik sosial masyarakat. Masyarakat atau
massa kini tidak lagi berpandangan tradisional dimana media selalu menyebarkan
kebenaran. Masyarakat yang aktif akan memilih media yang ia nilai dapat memenuhi
kebutuhannya dan akan meninggalkan media yang ia nilai merugikannya baik secara
informasi maupun ideologi.
Dari sisi masyarakat, maka pertarungan aktor politik di media cetak akan
berdampak pada
pembodohan masyarakat oleh media. Masyarakat secara tidak
langsung menerima informasi yang tidak objektif dan memihak. Dalam pandangan
komunikasi tradisional, audiens dipandang masih pasif, maka audiens akan
menganggap apa yang dimuat di media adalah kebenaran dan penting untuk
diperhatikan. Teori Agenda Setting (Dominick, 1999) mengatakan bahwa
kemampuan dari media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga
publik menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Maka apabila berita yang
dimuat adalah kebohongan publik maka audiens akan menganggap bahwa berita
rekayasa itu adalah kebenaran dan penting.
Namun dalam pandangan kritis, audiens dipandang sebagai audiens yang
aktif. Di mana audiens sudah cukup pintar dan memiliki literasi media yang tinggi.
Audiens yang aktif ini dapat memilah media berdasarkan kebutuhannya. Audiens
yang aktif ini pun mampu melihat muatan media yang subjektif dan berpihak.
Audiens ini tidak mampu dihegemoni oleh media. Namun dalam pertarungan aktor
295
politik dalam pemilukada Bangli 2010, audiens yang aktif dan memiliki literasi media
tidak cukup tinggi. audiens di Bangli masih terhegemoni oleh media.
7.2 Makna
Dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli
2010 terdapat beberapa makna dibaliknya. Beberapa makna di antaranya adalah
makna pragmatis media cetak dan aktor politik, makna pencitraan, dan makna
dinamika perubahan budaya politik di Bangli.
7.2.1 Makna Pragmatis
Di balik sebuah berita terdapat kekuasaan modal, politik, dan juga ideologi
yang ingin memengaruhi, mengarahkan, dan mencoba membentuk realitas pikiran
dari audiens. Proses pembentukan berita pada akhirnya adalah sebuah proses yang
tidak sederhana di mana terdapat faktor yang dapat mempengaruhinya sehingga
terjadi pertarungan dalam memaknai realitas yang dikemas media. Terdapat
kekuasaan yang mengendalikan realitas tersebut. Makna pragmatis dapat dibagi
menjadi dua yakni makna pragmatis media dan makna pragmatis aktor politik itu
sendiri.
296
Dalam pertarungan aktor politik di media cetak pada Pemilukada Bangli
2010, kekuasaan yang paling signifikan mengendalikan adalah kekuasaan ekonomi di
atas kekuasaan politik maupun ideologi dan budaya. Dalam pemikiran Foucault,
kekuasaan mempunyai hubungan yang erat dengan pengetahuan. Pengetahuan
menyokong kekuasaan, kekuasaan menopang pengetahuan (Foucault,1980:98).
Pemikiran Foucault termanifestasi antara lain melalui wacana sosial yang dibuat.
Artinya dalam suatu wacana terdapat kekuasaan. Wacana dan kekuasaan tidak dapat
dipisahkan (Foucault,1980:205)
Dalam Discipline and Punishment Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan
beroperasi tidak melalui kekuatan fisik dan hukum yang represif melainkan melalui
penciptaan norma sosial dan hukum politik yang dapat diterima karena memberi
keberuntungan kepada manusia (Foucault dalam Best, 2003:53). Kekuasaan ekonomi
yang mendominasi dan menghegemoni media. Hal ini akan mampu merongrong
kekuatan media sebagai pilar keempat demokrasi. Media massa adalah pilar keempat
dalam demokrasi. Media selama ini dianggap mampu sebagai penyeimbang proses
demokratisasi dalam masyarakat dan Negara. Media berperan dan berfungsi sebagai
pengawas berjalannya proses demokrasi.
Namun apabila media dikendalikan oleh kekuasaan ekonomi, maka
independensi dari media akan dipertanyakan. Media yang dikendalikan oleh
kekuasaan ekonomi ini akan berpengaruh pada turunnya peran pengawasan media
terhadap proses demokrasi atau pemilukada. Padahal pemilukada adaah bentuk pesta
297
demokrasi yang melibatkan masyarakat dan berpengaruh pada keberlangsungan
pembangunan selama lima tahun ke depan.
Robert W. McChesney (2000) menulis tentang jurnalisme, demokrasi dan
perjuangan kelas yang mengatakan bahwa sistem media pada dasarnya merupakan
kekuatan antidemokrasi, an antidemocration force. McChesney juga melihat media
dalam era neoliberalisme global sebenarnya tidak lagi berpihak pada kepentingankepentingan demokratik dari orang banyak (Subiakto, 2012:167).
Menurut Subiakto (2012) terdapat dua hal yang dapat digarisbawahi dari
penjelasan McChesney mengenai persoalan sistem media dan demokratisasi di era
neoliberalisme. Pertama, institusi media pada hakikatnya lebih mementingkan
kepentingan ekonomi atau komersialisasi daripada kepentingan politik.Atau dapat
dikatakan bahwa media itu berpihak pada orang-orang yang berada di dalam
kekuasaan bukan karena alasan politik melainkan lebih karena faktor ekonomi atau
keuntungan organisasi yang diperolehnya.
Dengan kata lain, media adalah organisasi profit yang menjual space (ruang)
dan time (slot waktu) mereka. Mengingat pendapatan media adalah dari iklan, maka
keberpihakan kepada mereka yang berkuasa dan atau ingin berkuasa semata untuk
menangguk perolehan yang bisa didapatkannya dari pihak tertentu. Jadi karena alasan
ekonomilah, maka institusi media melalui bentuk-bentuk jurnalismenya kemudian
menjadi berpihak.
298
Kedua, karena alasan kepentingan untuk memperoleh keuntungan komersial
yang sebesar-besarnya, maka sistem media tidak berpihak secara langsung pada
hakikat pendidikan moral dan pendidikan politik yang seharusnya melekat pada
sistem media (Subiakto, 2012:168). Hubungan antara aktor politik dan media
layaknya simbiosis mutualisme dimana saling menguntungkan. Para aktor politik
memiliki kepentingan terhadap media untuk popularitas, karena semakin popular
seseorang yang muncul di media, maka elektabilitasnya untuk terpilih akan semakin
tinggi. Sementara media sebagai institusi mungkin sebenarnya kurang memiliki
kepentingan politik, namun menggunakan politiknya untuk melakukan tawar
menawar yang bernilai ekonomi demi kepentingan media itu sendiri. Media pun
melihat pemilukada sebagai ajang pertaruhan mereka untuk pendapatan media ke
depannya, jika bakal calon yang didukungnya akhirnya menjadi penguasa daerah
tersebut.
Pemberitaan yang dimuat oleh media dapat merupakan hasil negosiasi bisnis
dimana media menjual slot, sementara aktor politik membeli untuk mempublikasikan
kepentingan politiknya. Motif keberpihakan media atas kekuasaan ekonomi ini bukan
tanpa alasan. Pihak media cetak mengatakan bahwa media berpihak pada kekuasaan
ekonomi untuk keberlangsungan hidup media itu sendiri. Media cetak terutama media
cetak lokal dihadapkan pada kesulitan ekonomi untuk bertahan hidup. Terlebih lagi
apabila media tersebut adalah media lokal yang tidak berjaringan dengan media
massa lain yang lebih besar. Dengan keadaan seperti ini maka media massa terutama
299
media cetak dihadapkan pada situasi ekonomi yang tidak kuat dan perlu bekerja keras
untuk bertahan hidup.
7.2.2 Makna Pencitraan
Media
memiliki
peranan
dalam
mengartikulasikan
gagasan
kepada
masyarakat, dan melakukan manipulasi terhadap informasi dan citra publik untuk
memproduksi dan mereproduksi ideologi dominan bagi masyarakat. Para pembuat
ideologi dominan menjadi suatu kelompok elit informasi di mana dominasi yang
terbentuk bersumber dari kemampuan mereka dalam mengartikulasikan suatu sistem
ide yang lebih disukai kepada masyarakat (Lull, 1998:2).
Pertarungan aktor politik di media cetak pun kerap kali dilakukan untuk
memperoleh pencitraan yang positif di mata masyarakat. Pencitraan pun dilakukan
untuk mereproduksi sebuah makna yang dikonstruksikan oleh aktor politik
bekerjasama dengan media tertentu. Pencitraan yang dilakukan oleh kelima pasangan
adalah imej atau citra agamais dan berbudaya. Konstruksi pencitraannya pun sama
yakni selalu tampil di media dengan menggunakan pakaian adat Bali atau minimal
terlihat tampil dengan menggunakan udeng atau destar. Dari studi dokumen terlihat
bahwa seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tampil di media dengan
menggunakan pakaian adat Bali. Ini adalah salah satu bentuk konstruksi pencitraan
yang dilakukan para pasangan calon. Citra berbudaya dan masih memegang adat dan
300
tradisi di Bali menjadi sangat penting untuk mampu mengambil hati pemilih atau
konstituen.
Pencitraan-pencitraan lainnya pun dilakukan oleh pasangan calon. Pencitraan
sebagai pasangan berpendidikan dilakukan oleh pasangan ALAS. Pasangan ini
mencitrakan
diri
mereka
sebagai
pasangan
berpendidikan
dengan
selalu
menggunakan title yang melekat pada diri mereka di setiap advertorial yang termuat
di media cetak. Pasangan ini pun menggunakan kata atau konsep yang mencitrakan
bahwa diri mereka adalah pasangan yang mengedepankan dan mementingkan
pendidikan dalam visi misinya. Hal ini dilakukan untuk membuat imej atau citra
sebagai pasangan muda yang terdidik dan berpendapat bahwa pendidikan adalah hal
yang utama.
Pencitraan juga dilakukan oleh pasangan lainnya yakni Brahmawijaya.
Pasangan Brahmawijaya berusaha mencitrakan diri mereka sebagai pasangan yang
santun, beretika, berbudaya dalam perhelatan politik. Hal ini dikonstruksikan dengan
penggunaan bahasa dan kata yang menampilkan bahwa pasangan Brahmawijaya
mampu meredakan emosi dan mengedepankan politik santun. Pencitraan ini
dilakukan juga untuk mengkonstruksikan bahwa pasangan ini adalah pasangan yang
memiliki kepribadian yang tidak jauh dengan kepribadian ketua umum Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono yang santun, beretika, dan berbudaya. Media mampu
menciptakan realitas semu citra yang diinginkan untuk ditampilkan masing-masing
pasangan calon. Citra yang kerap ingin disampaikan tentu saja adalah citra yang
301
positif dan mampu mencuri hati pemilih. Cara dalam mengemas citra adalah dapat
dengan berita, iklan, hingga advertorial.
Tiap-tiap pasangan calon memahami bahwa penting untuk melakukan
konstruksi citra di media. Pasangan yakin bahwa media massa memiliki kemampuan
sebagai alat kekuasaan karena mampu menarik dan mengarahkan perhatian,
membujuk pendapat dan anggapan, mempengaruhi sikap, memberikan status, dan
mendefinisikan legitimasi serta mendefinisikan realitas (McQuail,2000:82). Maka
dengan membangun citra yang positif maka akan dapat membantu pasangan
memperoleh legitimasi kekuasaan dari masyarakat pemilih.
Media massa kerap kali dituding menjadi media popular. Penampilan seorang
aktor politik di media cetak dinilai sebagai hal yang harus dilakukan apabila ingin
dikenal atau diketahui oleh pemilih. Akhirnya tampil di media kini bermakna sebagai
simbol dari gaya hidup populis.
Gaya hidup menurut (Kotler, 2002:192) adalah pola hidup seseorang di dunia
yang
diekspresikan
menggambarkan
dalam
aktivitas,
“keseluruhan
diri
minat,
dan
seseorang”
opininya.
dalam
Gaya
berinteraksi
hidup
dengan
lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana
membelanjakan
uangnya,
dan
bagaimana
mengalokasikan
waktu
dalam
kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktivitas sehari-harinya dan minat apa yang
menjadi kebutuhan dalam hidupnya.
302
Seorang Profesor Sosiologi di Universitas Durham yaitu David Chaney
mengkaji persoalan gaya hidup secara lebih komprehensif dan didasarkan dari
berbagai perspektif. Menurutnya gaya hidup haruslah dilihat sebagai suatu usaha
individu dalam membentuk identitas diri dalam membentuk identitas diri dalam
interaksi sosial. Dalam bukunya “Life Style’’ Chaney (1996:92) mengatakan bahwa:
“Gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan
aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai social atau simbolik; tapi ini
juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas.” Atau dengan
kata lain :“Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam pergaulan, pemahaman, atau
penghargaan artefak-artefak budaya material untuk mengasosiasikan permainan
kriteria status dalam konteks yang tidak diketahui namanya”.
Tampil di media cetak pada pemilukada Bangli dapat dikatakan sebagai
bentuk dari gaya hidup dimana sebagai usaha individu dalam membentuk identitas
dirinya dalam interaksi sosial. Untuk tampil di media aktor politik pun harus
melakukan cara-cara yang terpola dengan menginvestasikan aspek sosial dan
simbolik. Pencitraan diri seperti telah dijelaskan sebelumnya juga adalah bentuk
bermain dengan identitas dan penegasan status dalam sebuah konteks pemilukada.
Chaney juga berasumsi bahwa gaya hidup merupakan ciri dari sebuah
masyarakat modern, atau biasa juga disebut modernitas. Dalam arti disini, adalah
siapapun yang hidup dalam masyarakat modern yang akan menggunakan gagasan
tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
303
Oleh karena itu hadir di media seakan-akan adalah bentuk dari modernitas.
Tampilnya aktor politik atau pasangan calon di media akan diasumsikan sebagai
pasangan yang mengikuti perkembangan zaman dan modern.
7.2.3 Dinamika perubahan budaya politik
Dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli
2010 ternyata terungkap adanya dinamika atau perubahan yang terjadi dalam sistem
komunikasi politik para aktor politik dan dinamika peranan media massa dalam
pemilukada sebagai wadah komunikasi politik para aktor politik. Dinamika sistem
komunikasi politik adalah mulai digunakannya media massa dalam hal ini media
cetak sebagai media komunikasi antara aktor politik dan masyarakat audiensnya. Pola
penggunaan medianya pun terjadi perubahan. Perubahan terjadi pada tingkat
keterlibatan aktor politik dalam mengemas berita atau artikel yang memuat pasangan
aktor politik tersebut di media massa.
Dalam komunikasi politik yang dilakukan aktor politik tersebut, aktor politik
dimungkinkan membungkus citra atau image apa yang ingin ditampilkan oleh aktor
politik tersebut. Aktor politik bahkan dapat mengemasnya dengan kata-katanya
sendiri. Aktor politik memiliki akses penuh terhadap media. Idealnya berita dikemas
dan dibuat oleh individu pekerja media yang bekerja secara independen dalam
melakukan kegiatan jurnalime. Namun dalam fenomena pertarungan aktor politik di
304
media cetak dalam pemilukada 2010 terlihat bahwa aktor politik dapat melakukan
semua kegiatan jurnalistik ini sendiri tanpa harus melibatkan pekerja media. Hal ini
dapat dilakukan aktor politik dengan memberi imbalan berupa uang kepada media
yang diinginkannya. Maknanya ruang di media cetak ternyata dapat dibeli oleh aktor
politik ini. Harga yang dipatok pun beragam antara satu juta rupiah hingga 16 juta
rupiah untuk satu buah artikel. Jadi perubahan atau dinamika yang terjadi adalah
bentuk komunikasi politik yang selama ini dimediai oleh media cetak kini terjadi
secara langsung tanpa melalui proses jurnalistik. Proses jurnalistik yang hilang
diantaranya tidak adanya proses peliputan acara tersebut oleh wartawan, tidak adanya
proses penulisan berita yang independen dari pekerja media atau wartawan, hingga
tidak adanya proses penyuntingan berita. Ironisnya, media bahkan tidak berwenang
untuk menyunting artikel yang disiapkan aktor politik apabila aktor politik yang
bersangkutan sudah membayar untuk ruang berita tertentu. Dinamika lainnya adalah
perubahan dan terjadinya pergeseran ideologi media dan prinsip-prinsip media massa.
Prinsip yang terlanggar antara lain adalah hilangnya ideologi sebuah media saat
berhadapan dengan prinsip ideologi kapitalis.
Dinamika budaya politik lainnya adalah telah terjadinya pergeseran dan
perubahan sosial dalam pertarungan aktor politik dalam memperebutkan kekuasaan
dalam hal ini jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Perubahan yang terjadi
adalah pada kekuatan modal yang memiliki dampak signifikan terhadap tingkat
elektabilitas calon kepala daerah. Pada pemilihan kepala daerah di Bali sebelumnya
305
modal yang memegang peranan signifikan adalah modal budaya seperti keturunan
raja. Hal ini ditandai dengan pentingnya calon kepala daerah itu berasal dari Puri atau
Griya. Namun dari pertarungan pemilukada Bangli 2010 kini telah terjadi pergeseran
modal yang signifikan. Modal yang signifikan mempengaruhi elektabilitas adalah
modal sosial. Terdapat dua modal sosial yang dimiliki oleh pasangan GITA adalah
kekuatan jaringan partai PDIP dan kekuatan jaringan jiwa kedaerahan masyarakat di
Kintamani. Kedua modal ini juga didukung oleh modal ekonomi yang cukup kuat
yang dimiliki oleh PDIP untuk mengakses media cetak. Hal ini membuktikan bahwa
terjadi dinamika budaya politik dari yang sebelumnya mementingkan kasta kini sudah
bergerak pada modal sosial yakni jaringan massa dan modal ekonomi.
7.3 Temuan
Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan
telah menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola
penggunaan media cetaak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik.
Temuan kedua adalah terjadinya hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas
kenetralan pihak redaksi dalam media cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi
media dan ekonomi aktor politik yang berperan sangat dominan dalam proses
pertarungan aktor politik di media cetak. Temuan keempat adalah persamaan bentuk
pertarungan pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di media cetak. Temuan
306
terakhir yakni temuan kelima adalah media telah dianggap sebagai alat katalisator
kekuasaan melalui dominasi wacana dan pengetahuan yang berkembang di
masyarakat selama masa pemilukada.
Temuan pertama adalah terkait dengan penggunaan media cetak sebagai
media komunikasi politik para aktor politik. Dalam pemilukada Bangli terungkap
bahwa dalam komunikasi politik para aktor politik melalui media cetak, seluruh
bagian dari media cetak atau koran digunakan oleh aktor politik untuk melakukan
komunikasi. Perusahaan media cetak pun menggunakan ajang kampanye dengan
menjual seluruh bagian dari media yang dapat dijual. Apabila mengikuti aturan media
maka bagian yang bisa dipergunakan aktor politik untuk melakukan komunikasi
politik adalah iklan, dan advertorial. Kedua bagian ini yakni iklan dan advertorial
terlihat jelas bahwa yang memasang iklan tersebut adalah pihak yang berkepentingan
yakni aktor politik. Pembaca pun mengetahui bahwa aktor politik dengan sengaja
membayar media untuk mendapatkan slot dalam media ini. Namun dalam penelitian
ini ternyata bagian lainnya dari media yang selama ini indenpenden dan netral
ternyata berhasil disusupi maupun dengan sengaja dijual oleh pihak media. Bagian
yang terjual ini adalah bentuk artikel berita. Namun artikel berita ini berbeda dengan
artikel berita pada umumnya di mana artikel berita ini adalah hasil negosiasi dan atau
pertukaran dengan nominal uang tertentu untuk dapat dimuat dalam media cetak
tersebut. Hal ini adalah salah satu bentuk penyimpangan dari praktik jurnalisme
media cetak. Berita seyogyanya adalah bentuk penyampaian informasi yang bersifat
307
netral dan tidak berpihak. Namun yang terjadi dalam pemilukada di Bangli praktik
jual beli kavling berita ini sudah biasa terjadi. Ironisnya pihak media sama sekali
tidak memberitahukan kepada pembacanya bahwa artikel berita berbayar tersebut
adalah bukan berita netral namun titipan hasil jual beli media cetak dan aktor politik.
Hal ini dikarenakan oleh tekanan media cetak di tingkat lokal untuk keberlangsungan
hidup mereka. Ruang redaksi ternyata tidak dapat berdiri independen namun
terhegemoni oleh marketing media atau pemilik media demi keuntungan media cetak
tersebut.
Temuan kedua adalah terhegemoninya pihak redaksional oleh pihak
marketing dari media cetak tersebut. Pada masa kampanye pemilukada, pihak
marketing media cenderung menjual seluruh bagian dari media tersebut kepada pihak
aktor politik. Hal ini dilakukan pihak marketing atas dasar tuntutan dari pemilik
media untuk memenuhi target pemasukan mereka selama kampanye dan
dipergunakan untuk biaya operasional media tersebut. Jadi pemilik media pun
mempunyai peranan penting dalam hegemoni marketing atas redaksi. Pihak
marketing kemudian memiliki kewenangan untuk memerintahkan pihak redaksi
meliput sebuah berita atau acara yang merupakan hasil negosiasi atau jual beli
kavling kolom berita dengan uang. Ironisnya, pihak redaksi tidak memiliki hak atau
kemampuan untuk menolak perintah dari pihak marketing. Bentuk pesanan dari
marketing media dapat berupa harus meliput sebuah acara atau sebuah rilis dari pihak
aktor politik untuk dimuat di media cetak. Pihak redaksi pun tidak memiliki hak
308
untuk menolak pesanan, bahkan walau berita tersebut tidak mengandung nilai-nilai
berita seperti proximity atau kedekatan dengan pembaca, aktualitas hingga
independensi.
Pihak
redaksi
tidak
memiliki
lagi
kewenangan
untuk
mempertimbangkan apakah berita tersebut mengandung nilai-nilai berita atau tidak.
Hal ini membuktikan bahwa dalam pertarungan aktor politik di media cetak telah
terjadi hegemoni dalam pihak media itu sendiri di mana pihak marketing dan pemilik
media menghegemoni pihak redaksi. Fenomena ini membuktikan bahwa faktor
ekonomi dalam hal ini kapitalisme media cetak terjadi dan menekan kepentingan dan
idealism lain. Hegemoni ini ternyata telah menjadi rutinitas media cetak selama
pemillukada maupun dalam keseharian tugas redaksional.
Temuan ketiga adalah faktor ekonomi baik ekonomi media maupun ekonomi
aktor politik menjadi faktor yang paling dominan dalam pertarungan aktor politik di
media cetak. Dari tiga modal yang diajukan oleh Bourdieu (1986), ternyata modal
ekonomi telah menjadi modal yang paling berperan dalam praktik pertarungan aktor
politik dalam pemilukada. Modal ekonomi ini pun menjadi modal yang dominan
dibandingkan modal sosial maupun modal budaya. Modal sosial dan modal budaya
yang selama ini dipandang sebagai modal penting dalam pertarungan pemilukada di
Bali ternyata telah tergeserkan oleh modal ekonomi. Aktor politik yang
mengandalkan modal sosial dan modal budaya pun mentransformasikan modal sosial
dan modal budaya mereka menjadi modal ekonomi. Dengan adanya pertarungan
aktor politik di media cetak, biaya politik yang tinggi selama ini akan semakin tinggi.
309
Namun terdapat calon kepala daerah yang menolak menggunakan media karena harga
yang tinggi. Calon ini mengerti bahwa popularitasnya akan lebih rendah
dibandingkan calon yang menggunakan media. Calon biasanya tidak akan dirugikan
selama media tidak mengkonstruksi realitas yang kontra terhadapnya. Namun apabila
isu yang dikemas calon lain merugikan maka calon pun terpaksa menggunakan media
untuk melawan isu atau opini publik yang dikemas media.
Dari hasil wawancara dengan para aktor politik dalam pemilukada Bangli
2010, terungkap bahwa tanpa tampil di media saja para aktor politik ini harus
mengeluarkan dana yang cukup besar dalam berkampanye dan memenangkan
pertarungan pemilukada. Sebagian besar mereka mengakui perlunya berkomunikasi
politik melalui media cetak membuat biaya politik pun semakin tinggi. Oleh karena
itu, ada beberapa aktor politik yang memilih untuk membatasi dirinya dalam
penggunaan media hanya karena tidak memiliki dana kampanye yang cukup. Bahkan
beberapa aktor politik enggan untuk bertemu jurnalis karena para aktor ini enggan
mengeluarkan biaya untuk membayar jurnalis yang mencari mereka. Maka dari itu,
bentuk komunikasi politik yang dilakukan para aktor politik di media pun dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin dengan membentuk citra dan pesan politik yang
dinilai dapat memenangkan para aktor politik ini di kancah pertarungan pemilukada.
Temuan keempat, dalam pertarungan aktor politik salah satu hal yang
dipertarungkan adalah pencitraan diri para aktor politik di media cetak. Dari
pertarungan citra diri para aktor politik, bentuk pencitraan yang selalu dikonstruksi
310
oleh seluruh aktor politik melalui media cetak adalah citra berbudaya dan
berpendidikan. Citra berbudaya ditonjolkan melalui penggunaan busana adat di mana
pun dan kapan pun para aktor politik ini tampil. Penampilan di media pun tidak jauh
berbeda. Penampilan para aktor politik baik dalam foto iklan, artikel berita, artikel
berita berbayar, hingga foto dalam advertorial selalu menampilkan para aktor politik
ini menggunakan busana adat Bali, seperti udeng atau destar, kain dan saput Bali. Hal
yang cukup unik adalah persamaan busana yang digunakan dalam segala kesempatan
dengan foto di surat suara. Kesadaran konsistensi dalam berbusana ini ternyata telah
disadari sebagai hal yang penting bagi para aktor politik. Pilihan tampil dengan
busana adat untuk mendukung citra diri para aktor politik yang berbudaya dan
menjunjung tinggi adat Bali.
Persamaan citra yang ingin ditonjolkan lainnya adalah citra berpendidikan.
Citra pendidikan ditampilkan melalui penggunaan gelar di setiap penulisan nama para
aktor politik. Selain penulisan gelar pada nama aktor politik, gelar pendidikan pun
dikonstruksikan dalam kalimat di mana menggunakan kata seperti “guru besar dari
Undiksha” untuk I Wayan Lasmawan, “Kepala Sekolah” untuk I Wayan Arsada.
Bentuk pencitraan berpendidikan lainnya pun terlihat dalam pesan politik yang
diusung pada aktor politik seperti “Pemberian subsidi pendidikan secara silang” yang
diusung pasangan GUNA, dan “Meningkatkan kualitas SDM yang spiritual untuk
membangun jati diri” yang diusung pasangan ALAS. Kedua persamaan citra ini
menunjukkan bahwa kedua citra ini yang merupakan bentuk dari modal budaya masih
311
dipercaya mampu meningkatkan perolehan suara dan mendapatkan simpati dari para
konstituen.
Temuan kelima, Media tetap dianggap sebagai wadah yang tepat untuk
mengemas isu politik dan menguasai pengetahuan atau wacana untuk kekuasaan di
masyarakat. Media dinilai sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi
wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada.
Dari persepsi ini maka aktor politik telah berpikir bahwa penting bagi mereka untuk
tampil di media selama pemilukada. Tampilnya para aktor politik ini dinilai mampu
untuk meningkatkan elektabilitas para aktor politik dalam pemilukada. Hal ini
terbukti dengan perbandingan lurus antara kuantitas muncul di media dengan
kuantitas suara yang kandidat peroleh di pemilukada Bangli. Tampil di media
ternyata tidak hanya berpengaruh pada tingkat elektabilitas calon, namun pesan yang
dikonstruksi oleh aktor politik yang bekerjasama dengan pihak media pun dinilai
mampu membangun realitas media yang disosialisasikan kepada masyarakat dan
akhirnya diterima sebagai realitas oleh masyarakat.
Oleh karena itu teknik framing berita di mana menonjolkan sisi tertentu dan
dengan sengaja menghilangkan fakta yang bertentangan kerap kali dilakukan dalam
mengkonstruksi realitas media. Pertarungan opini ini terjadi setelah hari pemilihan di
mana telah terjadi kontroversi hasil pemilukada. Pasangan Brahmawijaya
mengkonstruksi telah terjadi kecurangan massif dalam pencoblosan di beberapa
daerah di Bangli sehingga memenangkan pihak GITA. Pihak GITA pun melawan
312
dengan cara yang sama yakni dengan menggunakan media. Adapun pesan yang
disampaikan GITA adalah adanya penekanan dan intimidasi yang dilakukan
pendukung Brahmawijaya kepada pihak penyelenggara KPUD Bangli dan pihak
pengawas pemilu tingkat kabupaten.
Temuan penelitian di atas membawa sebuah refleksi dan perenungan dalam
memandang sebuah fenomena dan kejadian yang terjadi di sebuah kabupaten di Bali
ke dalam refleksi yang mendalam akan fungsi dan peran media massa dalam
pertarungan aktor politik di pemilukada.
7.4 Refleksi
Refleksi atas penelitian ini adalah posisi masyarakat dalam pertarungan aktor
politik di media cetak selama pemilukada. Pertarungan yang melibatkan aktor politik
yang bersinergi dengan media cetak tidak mengindahkan dampak budaya yang terjadi
di masyarakat. Masyarakat kerap kali disuguhkan kebohongan atau realitas semu
hasil konstruksi media cetak maupun aktor politik dengan tujuan paling pragmatis
yakni kemenangan dalam pemilukada. Masyarakat dinilai media dan aktor politik
sebagai pihak yang pasif, dipandang rendah, tidak kritis dan telah menjadi korban
dari konspirasi dan hegemoni aktor politik dan media cetak atas realitas.
Hubungan antara aktor politik dan media layaknya simbiosis mutualisme
dimana saling menguntungkan. Para aktor politik memiliki kepentingan terhadap
313
media untuk popularitas, karena semakin popular seseorang yang muncul di media,
maka elektabilitasnya untuk terpilih akan semakin tinggi. Sementara media sebagai
institusi mungkin sebenarnya kurang memiliki kepentingan politik, namun
menggunakan politiknya untuk melakukan tawar menawar yang bernilai ekonomi
demi kepentingan media itu sendiri. Media pun melihat pemilukada sebagai ajang
pertaruhan mereka untuk pendapatan media ke depannya, jika bakal calon yang
didukungnya akhirnya menjadi penguasa daerah tersebut.
Teori Agenda Setting (Dominick, 1999) mengatakan bahwa kemampuan dari
media massa untuk memilih dan menekankan sebuah topik sehingga publik
menganggap isu atau topik tersebut adalah penting. Maka apabila berita yang dimuat
adalah kebohongan publik maka audiens akan menganggap bahwa berita rekayasa itu
adalah kebenaran dan penting.
Namun dalam pandangan kritis, audiens dipandang sebagai audiens yang
aktif. Di mana audiens sudah cukup pintar dan memiliki literasi media yang tinggi.
Audiens yang aktif ini dapat memilah media berdasarkan kebutuhannya. Audiens
yang aktif ini pun mampu melihat muatan media yang subjektif dan berpihak.
Audiens ini tidak mampu dihegemoni oleh media. Namun dalam pertarungan aktor
politik dalam pemilukada Bangli 2010, audiens yang aktif dan memiliki literasi media
tidak cukup tinggi. audiens di Bangli masih terhegemoni oleh media.
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
Dalam masa pasca berakhirnya era Orde Baru, Indonesia mengalami
perkembangan dan perubahan di berbagai sektor dan sendi kehidupan terutama pada
sektor politik dan sektor kebebasan media massa. Kedua sektor ini berkembang dan
saling bertemu dalam konteks komunikasi politik melalui media massa. Menurut
McNair (1995:5) aktor politik harus menggunakan media untuk mengkomunikasikan
pesan mereka kepada audiens yang diinginkan, seperti program politik, pernyataan
politik, permohonan pemilihan, kampanye politik. Bagaimanapun juga, semua
komunikator politik dalam hal ini aktor politik harus menggunakan akses ke media
dengan beragam tujuan, baik bagi legislatif, atau hanya sebagai bentuk apresiasi
bahwa pesan kepada audiens telah tersampaikan.
Tidak hanya di tingkat nasional, di tingkat lokal seperti di Bali, pertarungan
dalam pemilukada juga terjadi. Perbedaan dalam pertarungan kuasa pada pemilukada
adalah bentuk modal yang digunakan. Kini modal yang digunakan tidak lagi berbasis
pada kekuatan fisik dan kuantitas dari tentara namun modal yang berbasis pada
ekonomi, jaringan sosial dan politik hingga modal budaya.
314
315
Disertasi ini memilih Kabupaten Bangli dengan beberapa alasan khusus yakni
konflik, pilkada ulang di sebagian TPS pertama di Bangli, hingga waktu pertarungan
kandidat pilkada di media massa yang lebih panjang. Pemilihan umum kepala daerah
di Kabupaten Bangli pada 4 Mei 2010 memiliki perbedaan-perbedaan dibandingkan
dengan daerah pemilihan lainnya di Provinsi Bali. Pemilihan kepala daerah di
Kabupaten Bangli diikuti lima pasangan calon bupati-wakil bupati. Banyaknya calon
bupati-wakil bupati Kabupaten Bangli ini menunjukkan tingkat partisipasi politik
yang tinggi di Kabupaten ini. Untuk itu menarik ditelusuri lebih lanjut mengenai
bagaimana bentuk pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli
2010. Lalu faktor yang mempengaruhi pertarungan aktor politik tersebut dan
bagaimana dampak dan makna dalam pertarungan aktor politik di media cetak dalam
pemilukada Bangli 2010.
8.1 Simpulan
Dalam penelitian mengenai Pertarungan Aktor Politik di Media Cetak dalam
Pemilukada Bangli 2010 dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, arena atau
tempat bertarung pada aktor politik di media cetak dapat dibagi menjadi empat
bentuk arena pertarungan. Pertarungan aktor politik dilakukan melalui wacana isu
politik dan pencitraan sebagai bentuk pertarungan di media cetak. Seperti pendapat
Bourdieu (dalam Ritzer, 2004:252), setiap calon menggunakan wacana sebagai suatu
arena pertarungan memperoleh kekuasaan.
316
Bentuk pertarungan aktor politik di media cetak terbagi dalam empat ragam
bentuk di media tempat bertarung yakni artikel berita, artikel berita berbayar, artikel
advertorial, dan iklan. Masing-masing tempat bertarung ini memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Artikel berita lebih cenderung digunakan untuk
tempat pertarungan isu politik antar pasangan calon. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Gamson (dalam Kriyantono, 2010:259) di mana pembuatan berita melalui
proses penentuan fakta dan ada bagian yang ditonjolkan atau dihilangkan.
Pertarungan isu politik yang terjadi dalam artikel berita adalah perseteruan antara
pasangan Brahmawijaya dan GITA dalam kasus penuntutan pemilihan ulang.
Brahmawijaya
menonjolkan
adanya
pelanggaran
dan
indikasi
kecurangan
pelaksanaan pemilukada. Isu yang diangkat mendapat lawan dari GITA dimana
diberitakan pasangan Brahmawijaya melancarkan intimidasi kepada Panwaslu dan
KPUD Bangli.
Bentuk lainnya yakni iklan. Pasangan yang menggunakan bentuk iklan ini
adalah pasangan GITA. Dalam iklan GITA, isu yang diangkat dalam pertarungan
adalah pasangan GITA berafiliasi dengan PDIP, pasangan berbudaya, dan
berpendidikan tinggi. Isu politik yang diangkat dalam iklan adalah mewujudkan Bali
Shanti dan memilih dengan hati nurani. Citra ini dibentuk GITA untuk membentuk
opini massa (Bungin, 2007:288) di mana GITA merekonstruksi realitas di media.
Bentuk berikutnya adalah advertorial. Pasangan yang menggunakan bentuk
ini adalah pasangan ALAS. Advertorial pun digunakan sebagai arena di mana ALAS
317
mengkonstruksikan citra diri dan program politis ALAS. Citra yang dibentuk atau
ditangkap oleh masyarakat antara lain citra berpendidikan, menjunjung Budaya Bali
dalam keseharian, kedekatan dengan sosok Bupati Bangli Arnawa, dan sosok yang
bersahaja dan membumi. Advertorial pasangan ALAS adalah bentuk hegemoni,
Gramsci mengatakan kekuasaan harus dipahami sebagai hubungan. Melalui
advertorial pasangan ALAS mampu menghegemoni informasi yang disampaikan
kepada kelompok subordinat untuk menerima ide dan kepentingan politik kelompok
berkuasa.
Bentuk pertarungan berikutnya adalah melalui artikel berita berbayar.
Pasangan yang paling banyak menggunakan artikel berita berbayar dalam komunikasi
politiknya adalah pasangan Brahmawijaya. Pasangan ini pun mencoba mencitrakan
diri positif melalui artikel berita berbayar.
Bentuk pertarungan antar aktor politik di media cetak terjadi dalam
pembentukan citra diri aktor politik untuk membentuk opini publik di masyarakat.
Citra diri yang dibentuk oleh media menjadi sangat penting karena hal ini akan
berpengaruh terhadap opini publik akan citra diri yang diterima oleh pembaca media
cetak tersebut. Citra yang dibentuk melalui media massa akan mempengaruhi
pandangan pembaca terhadap sosok pasangan tertentu. Media sebagai wadah pun
dapat menentukan bagaimana citra yang ingin disampaikan media atau pasangan atas
cermin dirinya tersebut.
318
Dari bentuk-bentuk yang telah ditelaah diketahui terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Pertarungan aktor politik di
media cetak dalam pemilukada di Bangli 2010 dipengaruhi oleh tiga faktor dominan
yaitu faktor ekonomi, politik, dan media massa.
Kekuatan ekonomi atau kapital tercatat sebagai faktor yang paling dominan
mempengaruhi pertarungan aktor politik di media cetak. Sistem pemuatan berita
dengan berbayar, menjadikan tingginya biaya komunikasi politik aktor politik di
media massa. Pada titik ini, media cetak seringkali mencari keuntungan yang
berlebih. Bahkan media cenderung meninggalkan ideologinya demi meraup untung
lebih besar. Kekuatan pasar atau kepentingan kapitalis menghegemoni pertarungan
aktor politik di media massa.
Faktor politik yang mempengaruhi pertarungan aktor politik di antaranya
adalah faktor ideologi politik dan faktor aktor sebagai sumber berita, partai politik
yang mengusung dan strategi kampanye dalam pemilukada. Aktor politik sebagai
sumber berita dipandang bukanlah sebagai pihak yang netral yang memberikan
informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media
dengan berbagai alasan seperti memenangkan opini publik, atau memberi citra
tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Setiap pasangan
calon kepala daerah
memiliki modal yang berbeda-beda. Kekuatan modal menjadi pertimbangan strategi
politik yang dilancarkan aktor politik. Pertarungan kombinasi modal yang
319
diungkapkan Bourdieu (1986) ini terjadi dalam pemilukada Bangli 2010. Modal yang
dapat berubah bentuk pun terjadi dalam pemilukada ini.
Dari tiga jenis modal yang dikemukakan Bourdieu (1986), yakni ekonomi,
sosial, dan budaya. Kolaborasi modal ini saling mendukung dalam praktik
pertarungan namun modal ekonomi adalah modal yang paling menentukan dan
berpengaruh dalam pertarungan aktor politik di media cetak. Modal sosial dan modal
budaya bahkan bersinergi dan berkonvergensi untuk menjadi kekuatan modal
ekonomi. Pasangan GUNA yang kurang memiliki kekuatan modal ekonomi dan
sosial akhirnya hampir tidak pernah muncul di media cetak. Pasangan GITA memiliki
kekuatan modal sosial yang besar karena diusung oleh partai sebesar PDI Perjuangan
yang notabene memiliki modal ekonomi yang cukup. Kekuatan dua modal ini
membuat pasangan GITA tercatat paling sering muncul di media cetak.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi adalah faktor medianya itu sendiri.
Media dianggap sebagai faktor yang juga cukup berpengaruh dalam pertarungan
aktor politik ini. Faktor media terbagi menjadi individu pekerja media dan ideologi
media itu sendiri. Interaksi saling menggunakan antara aktor politik dan media cetak
menjadi hal yang biasa dalam pemilukada ini. Interaksi keduanya telah menjadi
sebuah rutinitas media di masa kampanye pemilukada, termasuk pada pemilukada di
Bangli. Rutinitas media yang menarik biaya tinggi untuk berita, advertorial hingga
iklan politik terkait pula dengan sumber pendanaan organisasi media tersebut.
320
Perkembangan politik seperti pemilukada tentu saja bukan sebuah prosesi
yang tumbuh dan berjalan di ruang hampa. Pemilukada tentu saja bersinggungan
dengan segala aspek di masyarakat. Sehingga bagaimana pemilukada berlangsung
akan membawa dampak dan makna yang luas tidak hanya pada sektor politik saja.
Pertarungan aktor politik di media cetak juga akan berpengaruh pada sektor ekonomi
dan budaya.
Dampak secara politik yaitu terutama pada sistem komunikasi politik yang
semakin gencar menggunakan media cetak sebagai bentuk komunikasi aktor politik
kepada konstituennya. Peningkatan penggunaan media cetak sebagai tempat
bertarung pun tergantung dari kekuatan ekonomi dari aktor politik. Hal ini terjadi
karena dalam pertarungan aktor politik di media cetak pada pemilukada di Bangli
ternyata terungkap memerlukan biaya yang cukup besar. Biaya politik yang sudah
cukup besar ternyata ditambah dengan biaya yang diperlukan untuk menggunakan
media dalam menyampaikan pesan-pesan politik para aktor politik. Secara politik ini
berpengaruh pada sistem politik dengan biaya tinggi atau high cost politics. Politik
berbiaya tinggi ini berdampak ekonomi baik terhadap aktor politik maupun media
cetak. Aktor politik wajib memiliki modal yang cukup untuk bertarung dalam
pemilukada.
Dampak ekonomi pada media cetak adalah ajang pemilukada dijadikan ajang
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan banyak cara. Media pada masa
pemilukada menyediakan ruang untuk kampanye para aktor politik. Ruang yang
321
dimaksud dapat berupa iklan atau advertorial. Pada praktiknya ternyata dalam
pemilukada Bangli 2010, media menyediakan ruang-ruang lainnya di media untuk
aktor politik seperti berita berbayar, atau istilahnya adalah jual beli kavling berita.
Setiap kavling diberi harga yang berbeda tergantung halaman dan panjang artikel.
Harganya pun beragam dari 10 juta hingga 16 juta rupiah untuk setiap kali naik cetak.
Media pun cenderung melupakan ideologi media dan lebih mementingkan
keuntungan secara ekonomis.
Pertarungan aktor politik ini pun mengandung makna. Beberapa makna yang
dapat diketahui yaitu makna pragmatis media dan aktor politik, makna pencitraan,
makna popular-gaya hidup, dan makna dinamika budaya politik di Bangli.
Pertarungan aktor politik di media cetak dalam pemilukada Bangli melibatkan telah
menemukan lima temuan penelitian. Temuan pertama mengenai pola penggunaan
media cetak sebagai bentuk komunikasi politik para aktor politik. Temuan kedua
adalah terjadinya hegemoni pihak marketing atau pemilik media atas kenetralan pihak
redaksi dalam media cetak. Temuan ketiga adalah faktor ekonomi media dan
ekonomi aktor politik yang berperan sangat dominan dalam proses pertarungan aktor
politik di media cetak. Temuan keempat adalah persamaan bentuk pertarungan
pencitraan yang dikonstruksi oleh aktor politik di media cetak. Temuan terakhir yakni
adalah media telah dianggap sebagai alat katalisator kekuasaan melalui dominasi
wacana dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat selama masa pemilukada.
322
Dalam pemilukada di Bangli dan di tempat lain dan di tingkat lain seperti di
Gianyar (MacRae dan Darma Putra,2010, maupun di Badung (Putu Artha, 201)
terbukti bahwa selain adanya kemenangan kandidat juga identik dengan kemenangan
media karena mereka bisa memenuhi ambisi ekonominya dengan menjual hampir
seluruh bagian dari media tidak hanya iklan, namun hingga artikrl berita berbayar.
Bagi sebagian orang, gejala ini tidak sehat terhadap pertumbuhan demokrasi di
Indonesia.
8.2 Saran
Dari hasil penelitian pertarungan aktor politik di media cetak dalam
pemilukada Bangli 2010, terdapat beberapa saran yang dapat dianjurkan. Saran-saran
yang dikemukakan tertuju kepada penyelenggara pemilu, aktor politik, media cetak,
dan saran kepada pemilih. Saran kepada penyelenggara pemilu adalah perlunya
sistem dan aturan dalam pemilukada yang mengatur mengenai penggunaan media
cetak sebagai media kampanye aktor politik. Hal ini penting untuk menjaga agar
aktor politik tidak mendominasi dan menggunakan media cetak sebagai alat
propaganda untuk mendapatkan keuntungan politis. Penyelenggara pun harus aktif
memperhatikan bagaimana media cetak digunakan oleh aktor politik ini jangan
sampai praktik komunikasi politik yang dilakukan bertentangan dengan nilai luhur
dari demokrasi.
323
Saran kepada aktor politik dan partai politik adalah dalam menggunakan
media cetak sebagai alat komunikasi politik dalam pemilu terutama pemilukada
sebaiknya digunakan secara bijak. Media seharusnya memberikan kesempatan yang
sama kepada setiap aktor politik, untuk itu sebaiknya aktor politik menggunakan
media sesuai dengan aturan yang berlaku. Aktor politik dan partai politik pun jangan
tertipu dengan bujukan media menawarkan kavling berita dalam media yang
bersangkutan. Dalam menjaga hubungan dengan konstituen atau pemilih gunakan
bentuk komunikasi politik lainnya yang sesuai dengan budaya dan situasi
masyarakatnya. Aktor politik pun diharapkan mengurangi kebiasaan berpolitik praktis
dalam pemilukada dan meminimalisir penggunaan dana kampanye yang berlebihan.
Terdapat beberapa saran kepada media cetak. Pertama untuk mengingat
kembali salah satu fungsi dari media cetak yakni informasi dan pendidikan. Hal ini
dikarenakan apa yang terjadi pada pemilukada Bangli 2010, media kerap kali
melupakan tugasnya sebagai media yang informatif bukan media yang provokatif.
Saran berikutnya adalah kepada pekerja media itu sendiri. Jurnalistik berpegang teguh
pada asas independensi dan objektifitas, namun dengan adanya praktik jual beli
kavling ini maka asas indenpendensi dan objektifitas sudah dilanggar. Maka saran
dari penelitian ini adalah mengajak media cetak untuk kembali pada porosnya sebagai
salah satu pilar demokrasi bukan menjadi alat anti demokrasi.
Terakhir adalah saran kepada pembaca atau audiens dan konstituens. Apabila
media dan aktor politik sudah bekerjasama untuk kepentingan ekonomi dan politis
324
maka yang menjadi harapan terakhir adalah pembaca dan konstituennya. Konstituens
diharapkan menjadi pembaca yang aktif dan kritis. Pembaca diharapkan mampu
memilih dan membaca adanya kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis dari
media maupun dari aktor politik dari setiap artikel berita yang termuat. Hal ini perlu
dilakukan untuk menghindari terjadinya pembodohan oleh media melalui beritaberita yang subjektif dan tidak lagi independen.
325
Daftar Pustaka
Aditjondro, George Junus. 1994. “Pengetahuan-Pengetahuan Lokal yang Tertindas”,
Kalam No.1 Jakarta
Almond, Gabriel and G Bingham Powell. 1976. Comparative Politics: A
Developmental Approach. New Delhi, Oxford & IBH Publishing Company
Almond, Gabriel and James S. Coleman.1960. The Politics of Developing Areas,
New York: The Princenton University Press
Althusser, Louis. 2008. Tentang Ideologi : Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Yogyakarta: Jalasutra
Artha, Gusti Putu. 2009. Konspirasi Media Massa dengan Kandidat Pilkada.
Denpasar : Arti Foundation
Baran, Stanley J. 2002. Introduction to Mass Communication: media literacy&
culture 2nd. New York :McGraw Hill
Bennet, Tony, Michel Gurevitch, James Curran dan James Wollacott. 1982. Culture,
Society, and the Media. London : Methuen
Bertens, K.1985. Filsafat Barat Abad XX, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Best, Steven, Douglas Kellner. 2003. Teori Postmodern. Terj. Malang : Boyan
Budiarjo, Miriam. 1998. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta :Yayasan Obor
Indonesia
Blake, Reed H., Edwin O. Haroldsen. 2003. Taksonomi Konsep Komunikasi.
Surabaya : Papyrus
Carey, James W. 1989. Communication as Culture: Essay on Media and Society.
Boston : Unwin Hyman
Chaney, David. 2004. Lifestlyes : Sebuah Pengantar Komprehensif. Jakarta :
Jalasutra
326
Cook, Guy.1994. The Discourse of Advertising. London and New York : Routledge
Curran, James. 1991. Communication, Power, and Social Order dalam Michael
Gurveitch. 1991. Culture, Society, and The Media. New York : Methuen
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications, Inc:
California.
Durham, Frank. 1998. News Frames as Social Narratives: TWA Flight 800 in Journal
of Communication, vol 48 no 4
Dan Nimmo,1982. Komunikasi Politik, Bandung: Rosdakarya
Denver, David. 1992. Campaigns and Elections dalam Mary Hawkeswarth &
Maurice Kogan (eds) Encylopedia of Government and Politics Vol. 1. London
: Routledge
Dominick, Joseph R..1996. The Dynamics of Mass Communication 5th. USA :
McGraw Hill
Eriyanto.2008 . Analisa Wacana. Yogyakarta : LKiS
Eriyanto.2002 . Analisa Framing. Yogyakarta : LKiS
Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta : Yayasan Obor
Firmanzah. 2011. Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi
Partai Politik di Era Reformasi. Jakarta : Yayasan Obor
Foss, Sonja K.. 1985. Contemporary Perspectives on Rhetoric. Illinois: Waveland
Press Inc
Foucault, Michael. 1997. Seks dan Kekuasaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Foucault, Michel, Gordon, Collins (ed). 1980. Power/Knowledge: Selected
interviews. Havester : Brighton
Harker, Richard, Cheelen Mahar, Chris Wilkes. 2005. (Habitus x Modal) + Praktik :
Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu.
Yogyakarta : Jalasutra
327
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi :manipulasi media,kekerasan, dan pornografi.
Yogyakarta : Kanisius
Hidayat, Dedy N. 1999. Memantau Media, Memantau Arena Publik. Pantau no.6
Huntington, Samuel P., Joan M. Nelson. 1977. No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries; Cambridge, Mass: Harvard University
Press
Ibrahim, Idi Subandy Ibrahim (ed.), 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop
dalam Masyarakat Komoditas Indonesia .Bandung: Mizan
McNair, Brian. 2003. An Introduction to Political Communication, 3rd edition.
London and New York : Routledge
Klepper, J. 1960. The Effect of Mass Communication, New York : Free Press
Littlejohn, Stephen W.1999. Theories of Human Communication, 6th edition.
Belmont, California
Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu Pengantar Global
Terjemahan A. Setiawan. Jakarta : Yayasan Obor
MacRae, Graeme and I Nyoman Darma Putra. 2007. “A New Theatre-State in Bali?
Aristocracies, the Media and Cultural Revival in the 2005 Local Elections‟,
Asian Studies Review, 31:2, pp. 171–189.
MacRae, Graeme and I Nyoman Darma Putra. 2008. “A peaceful festival of
democracy‟; aristocratic rivalry and the media in a local election in Bali‟,
Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 42, no. 2, pp. 107–46.
McNair, Brian. 1994. News and Jurnalism in UK : A Textbook, London dan New
York : Routledge
McNair, Brian. 1995. An Introduction to Political Communication. London dan New
York : Routledge
Mosso, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. London : Sage
Publication
328
Negrine, R. 1996. The Communication of Politics. London : Sage Publication
Neuman, W. Lawrence. 2013. Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif ed.7. Jakarta : Indeks
Nightingale, Virginia.1996. Studying Audiences : The Shock of the Real. London dan
New York : Routledge
Nightingale, V. (1996) Studying audience: he shock of the real. London: Routledge.
Nimmo, Dan. 1982. Komunikasi Politik. Rosdakarya: Bandung
Olson, David R. 1994. The World on Paper. Cambridge : Cambridge University Press
Pawito.1998. Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan
Ras Amanda, Ni Made. 2010. Pola Penggunaan Media Cetak dalam Pemilukada di
Bali 2010. Jurnal Widyasosipolitika FISIP Udayana vol.2/ 2010
Riggins, Sthepen Harold. 1997. The Retoric of Othering dalam The Language and
Politics of Exclusions: Other in Discourse. Thousand Oaks : Sage Publications
Ritzer, George, Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern terj. Jakarta :
Kencana
Robinson, Geoffrey. 2006. Sisi Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan Politik.
Yogyakarta : LKiS
Schudson, Michael, The Sociology of News Production Revisited, dalam James
Curran dan Michel Guveritch.1991. Mass Media and Society. London : Edward
Arnold
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese. 1996. Mediating tje Message : Theories
of Influences on Mass Media Content. Second Edition. New York : Longman
Simon, Roger. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Insist Press
dan Pustaka Pelajar
Subiakto, Henry, Rachmah Ida. 2012. Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group
329
Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS
Yogyakarta
Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia
Ketiga. Yogyakarta : LkiS
Susanto, Budi. 2000. Politik dan Postkolonialitas di Indonesia.Yogyakarta :
Lembaga Studi Realino dan Kanisius
Van DIjk, Teun A. 1993. Discourse and Society: Vol 4 (2). London : Newbury Park
and New Delhi: Sage
Vivian, John. 2008. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Kencana
Winarso, Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta : Prestasi Pustaka
Artikel
“Ada Cabup Tanpa Suara di Satu TPS”. NusaBali, 5 Mei 2010
“Ada Isu Tebar Duit Rp 1 M”. NusaBali, 3 Mei 2010
“Anggota DPR Diadili dalam Kasus Hutan”. Kompas, 26 September 2008
“Arnawa Amankan Suara Gita Cok. Ratmadi Perintahkan”. BaliPost, 8 Mei 2010
“Bentrok Fisik Coreng Pilkada Bangli” NusaBali, 5 Mei 2010
“Demo Tandingan Massa Gita, Sesalkan Panwaslu Diintimidasi”. BaliPost, 10 Mei
2010
“Gita Ditetapkan Jadi Pemenang, Brahma-Wijaya akan Gugat ke MK”. BaliPost, 14
Mei 2010
“Golput Kalahkan Suara Kandidat”. BaliPost, 9 Mei 2010,
“Golput Tinggi : Pendidikan Politik Gagal”. Kompas, 24 Juli 2008
“Gugatan Pilkada Hari ini Sidang Brahma-Wijaya di MK” BaliPost, 24 Mei 2010
330
“Jajak Pendapat Kompas, DPR Semakin Jauh dari Rakyat” Kompas, Senin 10 Maret
2008
“Kampanye Pemilu : Iklan Politik, KPK dan DPR yang Lebih Baik”. Kompas , 30
September 2008
“Kualitas Pemilu 2009” oleh Lambang Trijono. Kompas, 12 Agustus 2008
“Massa Sukarno Kepung Kantor Bupati”. BaliPost, 11 Mei 2010
“Pasca Pilkada di Bali: Kecurangan Makin Banyak, Panwaslu Bingung” . BaliPost, 9
Mei 2010
“Pascapengaduan Brahma-Wijaya Panwaslu Periksa Puluhan KPPS”. BaliPost, 8 Mei
2010
“Pemberantasan Korupsi : Anggota DPR yang Diperiksa Akan Bertambah”. Kompas,
27 September 2008
“Pemungutan Suara di Temacun akan Diulang”. BaliPost, 8 Mei 2010,
“Pencoblosan di Lima Kabupaten/Kota Tipis, Peluang Pilkada Dua Putaran”,
BaliPost, 3 Mei 2010
“Pendukung Brawijaya Serbu Dewan”. NusaBali, 7 Mei 2010
“Pendukung Brahma-Wijaya, Desak Pilada Ulang di Kintamani”. BaliPost, 7 Mei
2010
“Perilaku Pemilih : Parpol Tak Beri Harapan, Golput Naik”. Kompas, 25 Juli 2008,
“Perilaku Pemilih : Wapres Akui Adanya Kebosanan pada Pilkada”. Kompas, 26 Juli
2008
““Pesta Demokrasi” yang Melelahkan” Kompas, 4 Juni 2010,
“Pilkada Bangli MK Putuskan Pemilihan Ulang di 12 TPS”. BaliPost, 4 Juni 2010
“Pilkada Bangli 132 TPS Direkomendasikan Pemilihan Ulang”. BaliPost, 12 Mei
2010
“Pilkada Tabanan KPUD Sahkan Eka-Jaya”. BaliPost, 11 Mei 2010
331
“Sejarah Pemilu di Indonesia”. Tempo, Jumat 19 Maret 2004
“Tren Golput Pilkada Menuju Pemilu 2009”. Media Indonesia, 4 Agustus 2008
Download