Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila Di

advertisement
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wanita Tuna Susila
Wanita Tuna Susila adalah wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian pasangan diluar
perkawinan yang syah dengan mendapat imbalan uang, materi atau jasa (Depsos,
2003:100). Beberapa sebutan lain yang diberikan kepada Wanita Tuna Susila
adalah pekerja seks komersil (PSK), wanita penjaja seksual (WPS), kupu-kupu
malam, penjaja cinta, lonte, ublag, perek, cabo (Mahardika, 2004:2). PSK disebut
juga pelacur (Depkes,2003). Dalam penelitian ini wanita tuna susila yang
dimaksud adalah WTS yang tercatat sebagai peserta pendidikan dan latihan
(Diklat) pada panti rehabilitasi sosial Bina Sosial Wanita (BSW) di Jawa Barat.
2.2 Karakteristik Wanita Tuna Susila
Karakteristik merupakan kemampuan psikologis yang terbawa sejak
kelahirannya. Karakteristik berkaitan dengan tingkah laku, moral dan sosial serta
etis seseorang (Arifin, 2000:103). Karakteristik individu adalah ciri-ciri atau sifatsifat yang ditampilkan seseorang berhubungan dengan semua aspek kehidupan
dalam lingkungannya sendiri.
2.2.1 Umur
Hanafi (1993:58) mengemukakan umur seseorang merupakan salah satu
karakteristik individu yang besarannya mempengaruhi fungsi biologis dan
psikologis individu tersebut. Hubungannya dengan kegiatan belajar, umur
seseorang dikaitkan dengan kapasitas dan efisiensi belajar serta kemampuan
dalam menerima pengetahuan. Padmowiharjo (1999:89) semakin banyak umur
seseorang secara langsung akan semakin matang fisiknya, karena fungsi ototnya
semakin sempurna. Semakin tua seseorang ada kecenderungan semakin matang
mentalnya, karena pengalaman hidupnya semakin banyak. Umur seseorang
berkaitan dengan kapasitas belajarnya, kapasitas belajar terus naik semenjak anak
10
mengenal lingkungan, kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa, yaitu sekitar
umur 25 tahun terkadang 28 tahun, kemudian menurun drastis setelah umur 50
tahun.
Sejalan pendapat di atas, Soekartawi (1988:91) menyatakan bahwa umur
seseorang biasanya akan sejalan dengan pengalaman dan pengetahuannya sesuai
dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikhisnya.
Padmowiharjo (1999:90) berkaitan dengan hal umur, semakin muda umur
seseorang biasanya mempunyai semangat ingin tahu yang makin besar terhadap
hal-hal baru yang belum dialaminya, sehingga ada kesan mencoba-coba. Orang
yang lebih tua kelihatannya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada kesan
mereka
responsif
dalam
menerima
pengetahuan
disebabkan
banyak
pengalamannya.
Penjelasan di atas umur seseorang merupakan variabel yang signifikan
terhadap persepsi mengenai suatu obyek atau informasi.
2.2.2 Status Perkawinan
Nasution (1995:438). Perkawinan merupakan lembaga yang mengikat
seseorang di dalam keluarga. Perkawinan dalam adalah perjanjian, aqad atau
kontrak, dan perjanjian hanya tercapai antara dua pihak yang telah saling kenal
dan saling tahu.
Sabiq (1993:9) Perkawinan juga merupakan salah suatu cara yang dipilih
Allah SWT, sebagai jalan bagi ummat manusia untuk mempunyai keturunan demi
kelestarian hidupnya yang positif dalam merealitaskan tujuan perkawinan
Menurut Wignjodipuro (1982:22) perkawinan adalah salah satu peristiwa
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, sebab perkawinan itu tidak
hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarganya masing-masing.
Ridha (1986:21) tujuan perkawinan adalah saling menjaga antara suamiistri dalam berumah tangga.
Uraian di atas wanita semestinya bersuami agar tidak melakukan hal-hal
negatif, sehingga norma-norma dalam kehidupan sosial dan rumah tangga akan
11
tetap terjaga. Wanita tanpa suami diduga akan berusaha mencari nafkahnya
sendiri, meskipun dalam berusaha ada hal lain yang dilakukan tidak semestinya
harus dilakukan.
2.2.3 Pendidikan Formal
Menurut Houle (1975:89) pendidikan merupakan proses pengumpulan
pengetahuan, keterampilan maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara
terencana, sehingga diperoleh perubahan-perubahan dalam meningkatkan tarap
hidup. Hasil penelitian Baker dan Frio (Harun,1987:21) menemukan bahwa
semakin tinggi pendidikan formal seseorang akan semakin tinggi pula
kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang
dikenal kepadanya. Pendidikan formal adalah sebagai sarana untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang.
Subroto (1982:42) pada dasarnya hampir identik antara pendidikan formal
dengan pendidikan non formal, namun ada perbedaan dalam hal-hal tertentu,
misalnya dalam pendidikan formal, banyak ditekankan pada aspek sikap (afektif)
selain dari domain lainnya yaitu pengetahuan (kognitif) dan keterampilan
(psikomotor).
Azahari (1988:11) pada umumnya seseorang yang mempunyai pendidikan
lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan
lebih mampu berkomunikasi dengan baik.
Menurut Djatnika (1996:188) kebutuhan-kebutuhan manusia yang bersifat
rohani harus dipenuhi, yaitu: kebutuhan akan rasa kasih sayang, rasa aman, rasa
harga diri, rasa bebas dan rasa sukses. Semua itu sebagian besar didapat dalam
pendidikan informal, termasuk pendidikan agama memberikan obyektivitas
kepada nilai-nilai moral, karena nilai-nilai itu banyak mengenai perorangan, kalau
timbul dari perorangan akan menjadi subyektif. Kekhawatiran akan subyektif itu
akan hilang karena seseorang mencari sumber nilai yang lebih tinggi, dan sumber
itu dari agama.
Moral menurut Djatnika (1996:48,60) berasal dari kata mores sinonim
dengan akhlak, etika yang berarti kebiasaan. Dalam hal ini ialah bagaimana suatu
12
perbuatan dari perbuatan-perbuatan manusia itu sesuai dengan moral/ akhlak atau
tidak. Suatu perbuatan yang sesuai dengan etika dianggap baik oleh masyarakat,
sedangkan yang tidak sesuai dengan etika akan dipandang buruk.
Djatnika (1996:62) yang menyebabkan seseorang mempunyai moral sense
adalah: Pertama, aliran intuition, yang berpendapat bahwa tiap-tiap manusia itu
mempunyai kekuatan instink (naluri) yang dapat membedakan antara baik dan
buruk. Kekuatan inilah terkadang berbeda-beda karena perbedaan masa dan
milieu, akan tetapi instink itu telah berurat/berakar pada tiap-tiap manusia; Kedua,
aliran evolusi, mereka berpendapat bahwa pengetahuan manusia tentang baik dan
buruk adalah seperti halnya pengetahuan kita tentang yang lain-lainnya, yaitu
tergantung kepada pengalaman dan pengetahuan. Hal ini tumbuh karena
pergantian zaman dan peningkatan pemikiran. Selanjutnya mereka menyatakan
bahwa perasaan akhlaki bukan instink yang ada pada diri manusia melainkan hasil
pengalaman.
Ajaran-ajaran agama menyatakan bahwa segala bentuk penyimpangan
terhadap ajaran agama tidak boleh berkembang, seperti halnya 5 M, yaitu
mencuri, minum (minuman keras, mentol), main (main judi), madat (pecandu
narkoba), dan madon (suka menjajakan cinta atau berzina).
Dalam ajaran Islam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 (Kailan,1998:683)
memberikan peringatan keras terhadap pemeluknya yang berzina, perempuan dan
laki-laki yang berzina hendaklah keduanya didera, masing-masing seratus dera;
janganlah menaruh sayang terhadap keduanya dalam menjalankan agama Allah
jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hendaklah diperlihatkan
hukuman keduanya kepada kaum muslimin.
Dalam agama Hindu dikenal adanya Rwa Bineda artinya; baik dan buruk
di dunia ini selalu berdampingan. Tujuan agama Hindu “Moksarttam Jagathha Ya
Ca Iti Dharma”, maksudnya sangat dalam dan luas yakni tujuan hidup ini adalah
untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. Disebutkan
pula dalam tubuh manusia ada yang disebut “Panca Hama Buta” yang terdiri
dari: 1) Unsur Apah (zat cair), 2) Unsur Teja (unsur panas/api), 3) Unsur Bayu
(pernafasan), 4) Pertiwi (pori-pori) dan 5) Akassa (segala yang kosong dalam
tubuh, rongga dada, pori-pori atau seluruh jenis lubang).
13
Dalam agama Buddha dikenal dengan Kamesumichacara; kama yang
artinya nafsu inderawi; micha: artinya salah; dan cara: yang artinya perilaku atau
perbuatan. Kamesumichacara artinya perbuatan seksual yang menyimpang.
Sejalan dengan sila ketiga dari ajaran Buddha tindakan seperti ini disebut tindakan
asusila (Priastana,2004:54). Pandangan agama Buddha mengenal istilah
“Pamadatthama”, yang menjadi dasar kelengahan, terdiri dari tiga hal yang tak
pernah membuat kenyang yaitu: mabuk, tidur dan seks.
Ajaran Kristen menyatakan bahwa masalah perjinahan merupakan
tanggungjawab umat Kristiani, pemerintah dan masyarakat: hal ini disebutkan
dalam Mathius (25:14-25) Hal Talenta yaitu: Tuhan memberikan setiap orang
talenta yang berbeda, ada yang diberi lima talenta, dua talenta, dan satu talenta.
Masing-masing wajib mengembangkan talenta itu dengan bekerja.
Menurut Djatnika (1996:143) pengetahuan harus dimiliki agar jangan
sampai jatuh kedalam kebodohan dalam masalah keduniaan dan menjadikannya
seorang bodoh yang biasanya menjadi sapi perahan dari orang pandai yang tidak
berperikemanusiaan. Untuk kepentingan dirinya dan tanggungannya ia harus
mempunyai ilmu praktis keterampilan yang memudahkan berusaha mencari
nafkah untuk hidupnya.
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja,
terrencana, terorganisir dan sistematik untuk memberikan serangkaian pelajaran
tertentu agar memperoleh pengetahuan, keahlian dan sikap yang dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya dalam hidup bermasyarakat.
Pendidikan agama dan moral termasuk didalamnya. Dalam pendidikan agama dan
moral terjadi interdependen (saling bersandar), sebab moral bersumber dari
agama. Dengan agama orang menjadi tenang, tentram dan merasa bahagia.
Besarnya pengaruh pendidikan formal terhadap pengetahuan, keterampilan dan
sikap termasuk jiwa seseorang supaya seseorang tersebut dapat melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi segala larangan.
2.2.4 Tingkat Pendapatan
Hubeis (2000:9) kenyataan yang dihadapi masih banyak dijumpai pada
masyarakat pedesaan masalah rendahnya tingkat produktivitas, sehingga tingkat
14
pendapatan menjadi rendah. Sjahrir (1988:188) tingkat pendapatan merupakan
salah satu variabel yang mempengaruhi seseorang dalam berperilaku. Husein
(1995) menyatakan kondisi penghasilanlah yang memungkinkan dapat lebih
optimal dalam melaksanakan peranannya secara baik.
Carner dalam Sjahrir (1988:188,197) Tingkat pendapatan rendah
merupakan fungsi produktivitas yang rendah. Apabila kebutuhan pangan tidak
terpenuhi secara memadai ada beberapa cara yang dilaksanakan dalam rumah
tangga untuk menanggulanginya. Seperti dilakukan anggota rumah tangga dengan
menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka, bahkan pekerjaan yang
paling merendahkan kedudukanpun diterima, kendati upahnya rendah. Gonzales
dalam Jahi (1988:42) sementara itu semakin banyak wanita yang didorong keluar
dari barisan tenaga kerja pertanian.
Sjahrir (1988:189) mengemukakan bila kegiatan-kegiatan semacam ini
masih tidak memadai mereka akan berpaling ke sistem lain. Akhirnya, apabila
kemungkinan-kemungkinan untuk bertahan hidup
menurun hingga titik
penentuan, maka rumah tangga itu menghadapi pilihan yang menentukan.
Kadang-kadang keputusan yang diambil yaitu seorang anak laki-laki atau anak
perempuan dikirim atau pergi ke kota besar tanpa memiliki modal keterampilan
yang relevan dengan kondisi yang ada.
Ditegaskan Raharjo dalam Galba (1981:291) untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang paling minim rumah tangga petani terpaksa memobilisasi hampir
seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak, kedalam pasaran tenaga kerja.
Mereka banyak terjun pada kegiatan ekonomi yang tidak semata-mata
menggantungkan diri pada usaha pertanian.
Pendapat-pendapat di atas, pola hidup konsumtif masyarakat disebabkan
oleh pengaruh lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Berkaitan dengan tingkat
pendapatan, akan berpengaruh pada perilaku seseorang untuk lebih kreatif dalam
berpikir. Pendapatan yang lebih tinggi cenderung mempunyai posisi lebih
terhormat, demikian pula kemandirian perempuan dalam bidang ekonomi
cenderung perempuan tersebut mempunyai kehormatan yang lebih tinggi.
15
2.2.5 Motivasi menjadi WTS
Padmowiharjo (1999:154) motivasi merupakan usaha yang dilakukan
manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan.
Setiap tindakan manusia pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan ini ada
dibelakang setiap tindakan manusia, sedangkan motif adanya didalam tubuh
manusia. Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Namun demikian timbulnya
motif bisa dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Purwanto
(1984:28) menyatakan bahwa motif ialah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu, yang berfungsi mengarahkan
tingkah laku atau perbuatan pada suatu tujuan atau rangsangan.
Wahjosumijo (2001:174) motivasi merupakan proses psikologis yang
terjadi pada diri seseorang yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan,
persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi sebagai
proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di dalam diri seseorang itu
sendiri yang disebut intrinksik atau faktor diluar diri yang disebut faktor
ektrinksik.
Maslow dalam Gibson et.al (1994:92) mengemukakan bahwa ada lima
macam kebutuhan dasar manusia yang dapat menumbuhkan motivasi pada diri
seseorang untuk melakukan sesuatu kegiatan yaitu: (1) kebutuhan pisiologis
(physiological-needs), (2) kebutuhan akan keselamatan dan rasa aman (safetyneeds), (3) kebutuhan untuk memiliki dan dicintai (need for belonging and love),
(4) kebutuhan untuk memperoleh penghargaan (need for esteem), dan (5)
kebutuhan mengaktualisasikan diri (need for actualization). Dengan demikian
hubungan kebutuhan manusia dengan motivasi merupakan hal yang dinamis
sehingga mendorong tumbuhnya motivasi untuk memenuhi kebutuhan dan usaha
mencapai kepuasan.
Mahardika (2004:6) terjerumusnya Melati (nama samaran) karena tidak
mempunyai keterampilan, pengalaman, menganggur dan hidup menggelandang
setelah minggat dari rumahnya, akhirnya terdampar di dunia jual beli pemanjaan
syahwat dengan mendapatkan bayaran.
16
Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa motivasi mempunyai
jalinan yang erat dengan kebutuhan yang dirasakan (felt-need), dan kegiatan yang
dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Motivasi pula yang
menyebabkan wanita terjerumus ke dalam dunia pelacuran. Baik dilihat secara
instrinsik maupun secara ekstrinsik. Motivasi awal wanita tuna susila melakukan
suatu tindakan asusila adalah karena adanya daya pendorong yang menyebabkan
mereka berbuat maupun tidak berbuat sesuatu guna terpenuhi dan terhindarnya
kebutuhan yang dirasakan, atau berkurangnya rasa terancam atau tertekan.
2.2.6 Persepsi hidup Ideal WTS
McKay & Hind (2004:4,5) Visi masa depan adalah apapun yang kita ingin
capai bagi diri kita sendiri (dan dari kita sendiri) selama beberapa tahun kedepan.
Pencapaian ini bisa dalam hal pekerjaan, uang, profesi, status, dimana kita ingin
tinggal, tipe rumah yang kita inginkan, dan hal-hal serupa lainnya.
Menurut Mosher (1965:149) program-program pendidikan bagi wanitawanita pedesaan membantu mereka mengenal cara-cara yang lebih baik dalam
mengurus rumah tangga mereka dan mendorong adanya perubahan dalam cara
hidup. Setelah perubahan-perubahan itu mereka kenal dan menginginkannya.
Depsos (2002) tindakan yang tepat wanita tuna susila yang sudah
mengikuti pendidikan dan pelatihan adalah: (1) memulihkan rasa harga diri,
percaya diri, kecintaan kerja yang layak/ normatif dan kesadaran serta tanggung
jawab terhadap masa depan diri, keluarga lingkungan sosial maupun masyarakat
pada umumnya, (2) memulihkan kemauan dan kemampuan untuk dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Raharjo (1981:302) Wanita harus
bisa mengatur lima hal; antara lain: 1) mengatur suami, 2) mengatur anak, 3)
mengatur rumah, memasak, membersihkan rumah, 4) mengatur kekayaan atau
ekonomi rumah tangga, 5) mengatur hubungan dengan tetangga.
Sudjana (1995:19) masa depan mereka sebagai calon ibu dalam
keluarganya harus disiapkan secara baik agar supaya mereka dapat tetap bisa
berfungsi sebagai tenaga kerja yang potensial tetapi dapat juga melaksanakan
tugas-tugasnya sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik.
17
Secara garis besarnya dikatakan bahwa pilihan yang paling cocok bagi
seorang ibu adalah tugas kerumahtanggaan sebagai tugas kodrati. Tugas pokoknya
adalah sebagai pemangku keturunan, pendidik anak, pendamping suami, dan
pengurus rumah tangga, tanpa mengurangi tugas atau peranan ibu dalam
masyarakat, atau sebagai tenaga kerja diluar rumah mengingat adanya peran
ganda wanita dalam masyarakat.
2.2.7 Lamanya menjadi WTS
Mosher (1965:133) belajar secara terus menerus memang merupakan hal
yang mutlak dan perlu. Akan tetapi orang dapat belajar dari pengalaman tanpa
diberi pelajaran secara formal. Walker (1973:25) pengalaman seseorang bisa
dijadikan salah satu pertimbangan untuk menentukan mudah tidaknya seseorang
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, sosial ekonomi, dan teknologi.
Pengalaman adalah hasil dari proses mengalaminya seseorang yang selanjutnya
mempengaruhi terhadap respon yang diterima guna memutuskan sesuatu yang
baru baginya.
Tjandra (2004:46) pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa kehidupan
yang mempengaruhi pola pikir seseorang. Gagne (1967:32) menjelaskan bahwa
pengalaman merupakan akumulasi proses belajar mengajar yang dialami oleh
seseorang, yang menjadi satu dasar pertimbangan-pertimbangan dalam menerima
ide baru.
Berkaitan dengan kegiatan dan status WTS, makin banyak pengalaman
pahit yang diderita cenderung WTS beralih profesi ke bidang lain. Demikian juga
lama hidup di dunia malam membuat para WTS berpikir dua kali tentang keadaan
statusnya. Kecenderungan seseorang untuk berbuat tergantung dari pengalamannya, karena pengalaman itu menentukan minat dan kebutuhan yang dirasakannya.
2.2.8 Mendapat Perlakuan Kekerasan
Hubeis (2000:2) analisis jender tentang peranan wanita, dan proses yang
difokuskan pada ketidak setaraan dalam kekuasaan, kekayaan dan beban kerja
antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan masyarakat.
18
Menurut Hamid (2000:112) kaum wanita dimasa lampau ditempatkan
sebagai makhluk kedua setelah laki-laki, ia hidup untuk kepuasan dan
kenyamanan laki-laki. Di Yunani wanita relatif tak memperoleh apa-apa, di dunia
perniagaan dikucilkan laki-laki, di dunia politik kalah dan suara mereka nyaris tak
terdengar, dan di dunia intelektual ia dituding intuitif. Di sebagian Eropa, seperti
Perancis wanita tidak mempunyai hak milik pribadi.
Ridha (1982:139) analisis antropologi dan sejarah kebudayaan primitif
mengatakan bahwa poligami yang dilakukan di banyak negara yang oleh
penduduknya dianggap sebagai tradisi, adalah merupakan sisa-sisa perbudakan
kaum wanita, dimana orang-orang yang berkuasa dan para pemilik harta
memperlakukan kaum wanita semata-mata sebagai pemuas nafsu dan pengabdi
dirinya. Oleh karena itu hal ini khususnya dilakukan oleh para raja, para pangeran,
para kepala-kepala suku dan para pemilik harta. Praktek ini kebanyakan terjadi di
negeri-negeri panas yang penduduknya memiliki nafsu seksual yang tinggi serta
seringkali melakukan perjalanan dimana mereka banyak bertemu dengan wanitawanita cantik dan gadis-gadis molek. Pada sementara suku, hal itu semata-mata
merupakan perbudakan kemudian muncul praktek poligami dimana seorang pria
mengawini wanita merdeka dan sekaligus melakukan hubungan seksual dengan
wanita-wanita yang menjadi budaknya.
Orang-orang Yunani kuno yang bermukim di Athena memperdagangkan
wanita di pasar-pasar, serta membenarkan poligami tanpa batas. Sementara itu
Sparta membolehkan poliandri bagi kaum wanita dan tidak poligami bagi kaum
pria. Poligami juga dipraktekkan pada zaman kaisar dan dikenal pula dikalangan
bangsa Jerman pada pemerintahan Nazi. Di Romawi praktek serupa dijalankan
dalam kehidupan nyata tanpa ada undang-undang yang mengaturnya, sampai
kelak tiba masa pemerintahan Kaisar Justianus yang melarangnya melalui
undang-undang.
Menurut uraian diatas, kendatipun dalam kenyataannya poligami ini tetap
berjalan, namun sementara wanita bukan hanya sekedar pelepas nafsu belaka,
melainkan lebih dari itu hingga pada tindak kekerasan lain, perbudakan, hingga
perdagangan perempuan.
19
2.2.9 Keadaan Ekonomi Keluarga
BKKBN (1996:19,20) mengkatagorikan keluarga menjadi: keluarga pra
sejahtera, keluarga sejahtera tahap I, keluarga sejahtera tahap II, keluarga
sejahtera tahap III dan keluarga sejahtera tahap III plus.
Keluarga pra sejahtera yaitu keluarga yang belum dapat memenuhi
kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, sandang, pangan,
papan dan kesehatan. Hal ini hampir mendekati miskin, seperti pendapat Sayogyo,
keluarga dikategorikan miskin jika pendapatan 320 liter per orang per tahun
Keluarga sejahtera tahap I yaitu keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan
sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan interaksi dalam keluarga,
interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
Keluarga sejahtera tahap II yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan fisik dan sosial psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi
kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan akan informasi.
Keluarga sejahtera tahap III yaitu keluarga yang telah dapat memenuhi
seluruh kebutuhan fisik, sosial psikologis dan pengembangannya namun belum
dapat memberikan sumbangannya secara teratur kepada masyarakat sekitarnya,
misalnya dalam bentuk sumbangan materil dan keuangan, serta secara aktif
menjadi pengurus lembaga sosial kemasyarakatan yang ada di lingkungannya.
Keluarga sejahtera tahap III plus yaitu yang telah dapat memenuhi seluruh
kebutuhannya serta memiliki kepedulian yang tinggi dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga di sekitarnya.
Berdasarkan uraian tentang kategori keluarga di atas, keadaan ekonomi
berhubungan dengan tingkat kesejahteraan dan stratifikasi sosial keluarga.
Tingkat kesejahteraan keluarga pra sejahtera (PS) dan keluarga sejahtera tahap I
(KS I) dapat dikategorikan kedalam keadaan ekonomi keluarga rendah, keluarga
dengan keadaan ekonomi keluarga sejahtera tahap II (KS II) dapat dikelompokkan
kedalam keluarga sedang, dan keluarga sejahtera tahap III (KS III dan KS III plus)
dikelompokkan kedalam keluarga ekonomi tinggi. Para WTS tersebut diduga
berasal dari kalangan keluarga PS, KS I, KS II dan KS III plus.
20
2.2.10 Kepatuhan terhadap norma Susila
Purwanto (1999:28) manusia susila adalah manusia yang hidupnya selalu
menuruti dan sesuai dengan norma-norma kesusilaan yang sedang berlaku.
Sedangkan menurut Djatnika (1996:48) banyak sebab-sebab yang menjadikan
adat kebiasaan antara lain mungkin sebab kebiasan yang sudah ada sejak nenek
moyangnya, sehingga dia menerima sebagai sesuatu yang sudah ada kemudian
meneruskan hal itu karena peninggalan orang tuanya, mungkin juga karena
lingkungan tempat dia bergaul yang membawa dan memberi pengaruh yang kuat
dalam kehidupannya sehari-hari. Dua faktor melakukan adat kebiasaan; pertama,
karena adanya kecenderungan hati pada perbuatan itu, merasa senang untuk
melakukannya dan tertarik oleh sikap dan perbuatan tersebut. Kedua, menurutkan
kecenderungan hati itu dengan praktek yang berulang-ulang, sehingga menjadi
biasa.
Raharjo (1984:3) tatanan kebiasaan terdiri dari norma-norma yang dekat
sekali dengan kenyataan. Bahwa kaidah-kaidah kebiasaan itu tidak lain diangkat
dari dunia kenyataan juga. Apa yang dilakukan orang itu yang kemudian menjadi
bisa menjelma menjadi norma kebiasaan, melalui uji keteraturan keajegan dan
kesadaran untuk menerimanya sebagai kaidah oleh masyarakat.
Norma kesusilaan, berpegang kepada ideal yang masih harus diwujudkan
dalam masyarakat. Ideal merupakan tolok ukur tatanan ini menilai tingkah laku
anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian perbuatan yang dapat diterima
oleh norma tersebut hanyalah yang sesuai dengan idealnya tentang manusia.
Adanya perubahan nilai perilaku inilah yang dimaksud bertentangan dengan
norma. Dengan norma dapat mengetur kehidupan menjadi tenteram, sehingga
kehidupan akan tertib dan teratur.
2.2.11 Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal
Dirdjosiswono (1990:111) masalah pendidikan yang rendah, teman yang
berperilaku buruk dan keretakan keluarga masih dianggap faktor yang
berpengaruh timbulnya kenakalan remaja putri yang menjurus ke prostitusi.
Hampir di setiap kota besar di Indonesia ditemukan gejala sosial prostitusi laten,
21
dimana ditemukan WTS dengan usia antara 14 hingga 19 tahun yang ditemukan
dirumah-rumah bordil. Menurut telaahannya, faktor-faktor yang cukup kuat
adalah kondisi daerah asal WTS tadi yang umumnya berasal dari pedesaan dan
kota-kota kecil yang mengalami kesulitan ekonomi, dan pandangaan hidup
masyarakat pedesaan di beberapa daerah yang telah terpola dalam struktur sosial
yang mapan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap perilaku WTS, antara lain :
1. Pengaruh Geografi, Iklim dan Luas wilayah
Dhakidae (2001:206) sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan
DKI Jakarta Provinsi Jawa Barat memiliki keuntungan sekaligus kerugian.
Keuntungan provinsi ini dapat memanfaatkan fasilitas publik metropolitan, berupa
tempat-tempat rekreasi pusat komersial yang modern, dan berbagai kemudahan
komunikasi canggih. Namun kerugian berdekatan dengan sebuah ibu kota juga
ada. Dampak dari kemudahan fasilitas dan pariwisata membawa akibat langsung
kepada masalah sosial penduduk Jawa Barat. Terutama bagi penduduk yang
menggantungkan hidupnya dari hasil laut, pertanian dan perkebunan yang
semakin menciut, banyak warga yang beralih usaha ke sektor lain.
2. Pariwisata, Tempat Hiburan dan Rekreasi
Banyak tempat rekreasi yang dapat dikunjungi seputar Jawa Barat, baik
yang berupa taman, pemandangan, pemandian, tempat bersejarah, hutan, tempat
pertunjukan kesenian, olah raga, tempat bersantap dan sebagainya. Tempat
hiburan terdiri dari gedung kesenian: rumentang siang, nite club, discotik,
karaoke, gedung film, dan mainan. Tempat-tempat bersejarah, seperti museum
dan peninggalan-peninggalan penjajahan Belanda. Banyak hawa sejuk dan
pemandangan alam yang dimanfaatkan sebagai potensi wisata (Pemda,1998:56)
Demikian kondisi wilayah yang bernuansa “gurilap” (gunung, rimba, laut dan
pantai) tentu menjadi sumber penghasilan (Dhakidae,2001:200)
Pada satu sisi tempat hiburan dapat berfungsi memenuhi kebutuhan
psikologis keluarga, namun pada sisi lain tempat pariwisata dan hiburan berubah
fungsi menjadi tempat praktek mesum.
22
3. Perhotelan (akomodasi) dan restoran
Perhotelan merupakan salah satu fasilitas pariwisata yang penting. Apalagi
di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, Sukabumi dan kota lainnya di Jawa
Barat. Karena banyak dibutuhkan oleh kaum pelancong yang ingin berkunjung
lama. Di Bandung terdapat 113 fasilitas akomodasi yang terdiri atas 26 hotel
berbintang dan 87 rumah penginapan, di Bogor 14 hotel berbintang dan 109 hotel
non berbintang. Sukabumi tercatat memiliki 17 hotel berbintang dan 86 melati,
yang sebagian besar terdapat di pantai. Jumlah ini belum termasuk vila-vila atau
perumahan tempat peristirahatan pribadi atau perusahaan.
Potensi wisata, perhotelan dan restoran pun menjadi magnet baru bagi
dunia seksual, sehingga sulit memisahkan pariwisata dan perhotelan dengan dunia
penjajakan seksual.
Pengaruh lingkungan sosial daerah asal diduga dapat mempengaruhi
terjadinya praktek prostitusi. Lingkungan tempat tinggal daerah asal yang permisif
akan mempengaruhi kehidupan yang ada dalam lingkungannya, kalau ia tidak
mempunyai pertahanan yang kuat untuk bertahan atau mengubah sama sekali.
2.2.12 Jarak ke Tempat Sebagai WTS
Dhakidae (2003:176) pesatnya industri pariwisata banyak berpengaruh
terhadap urbanisasi penduduk. Jumlah tenaga kerja yang besar mengakibatkan
tumbuhnya aneka ragam pemukiman, tidak semua tenaga kerja berasal dari kota,
sebagian besar berasal dari desa, akibat konsentrasi tenaga kerja ini menimbulkan
masalah. Penduduk yang tempat tinggalnya jauh dari tempat bekerja umumnya
menyewa rumah untuk kelancaran bekerja. Namun banyak penduduk yang
bekerja pada daerah perkotaan, tetapi istirahat dan tempat tinggal pada daerah
yang berbeda, penduduk seperti ini kerap disebut komuter.
Alam AS dalam Sriwidodo (1987:42) akibat tumbuh dan berkembangnya
pusat-pusat kegiatan pembangunan yang jauh dari perumahan, sehingga banyak
kepala keluarga yang terpisah dari keluarganya. Hal tersebut berpengaruh pada
perilaku yang cenderung memenuhi kebutuhan biologis (ekstra marital).
23
Menurut penelitian Sriwidodo (1997:49) sebagian besar WTS berasal dari
daerah yang selama ini dikenal sebagai daerah yang mengalami masalah
kemiskinan atau kekurangan, seperti Garut dan Sumedang yang tergabung
kedalam wilayah Jawa Barat Priangan.
Berdasarkan uraian dan acuan hasil penelitian di atas, sebagian besar WTS
yang bekerja pada tempat prostitusi seperti: hotel, night club, cape, tempat
hiburan, rumah bordil, salon dan lain-lain berasal dari daerah yang selama ini
dikenal sebagai daerah pemasok, umumnya daerah-daerah tersebut adalah daerah
yang mengalami kemiskinan atau kekurangan. Dengan demikian ada suatu jarak
yang harus ditempuh oleh WTS untuk melakukan kegiatan. Hal ini diduga mereka
melakukan semua ini (prostitusi) mengingat pada kenyataan di lingkungannya
sendiri tidak banyak orang mengetahui sepak terjang yang dilakukan WTS
tersebut.
2.2.13 Intensitas Interaksi dengan WTS lain
Mahardika (2004:6) intensitas interaksi antara wanita tuna susila (WTS)
dengan WTS lain pengaruhnya seperti dituturkan Mawar (nama samaran), melihat
adanya contoh (modeling) penyebabnya faktor psikologis, ia mengikuti jejak
sahabat baiknya yang menuai keberhasilan sukses dalam materi, dan ketagihan
nonton film porno.
Menurut pengakuan Wangi (bukan nama sebenarnya) faktor lingkungan
yang terus-menerus merangsang membuat libido menjadi tinggi, akhirnya bibinya
sendiri yang menyediakan tempat penyaluran (Mahardika, 2004 :7)
Uraian di atas pada dasarnya sesuai dengan teori dorongan dan teori
keseimbangan. Karena adanya keadaan tidak seimbang yang menimbulkan suatu
kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga mendorong terjadinya tingkah laku.
Intensitas dan frekuensi berhubungan dengan WTS lain yang telah berhasil, akan
semakin terpikat untuk mengikuti jejak rekannya tersebut.
24
2.2.14 Yang Melatih/Mengajari tentang Seksual
Kosasih (2004:33-34) pendidikan seksual bertujuan untuk membina agar
tidak terjerumus kedalam hawa nafsu yang akan merusak hidupnya. Orang akan
memahami masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri mengenai
penanganan seks dengan baik, akan tumbuh menjadi seseorang yang memahami
problematika kehidupan dan memahami segala sesuatu yang dihalalkan dan
diharamkan.
Mahardika (2004:65) pengakuan seorang WTS; karena saya pelacur yang
otodidak saya perlu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan masalah
seksual. Saya perlu diajari cara melakukan hubungan seks melalui VCD dan
buku-buku porno serta tidak ketinggalan dari buku-buku seksual dan juga buku
kesehatan supaya membuat saya menjadi “ready”.
Berkaitan dengan pengetahuan tentang seks, para WTS merasa perlu
mempelajararinya dalam memenuhi dan memuaskan para pelanggannya.
2.2.15 Intensitas hubungan WTS dengan pelanggan
Intensitas hubungan atau frekuensi berhubungan wanita tuna susila
dengan pelanggan atau laki-laki hidung belang merupakan salah satu variabel.
Banyaknya pelanggan menyebabkan wanita tuna susila akan bertahan dalam
profesinya, demikian pula sebaliknya, jika pelanggan sudah tidak lagi menggunakan, cenderung beralih kepada profesi yang lain atau berhenti sebagai wanita tuna
susila.
2.2.16 Persepsi Karena Hedonisme
Teori Hedonistis David McClelland (Sutarto,1998:321) mengatakan
bahwa segala perbuatan manusia, baik disadari maupun tidak, baik itu timbul dari
kekuatan luar ataupun dalam, pada dasarnya mempunyai tujuan yang satu, yaitu
mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan.
Hal ini digambarkan pada hasil penelitian di Amerika Serikat tahun 1929,
hedonisme sebagai motif yang paling kuat menguasai orang Amerika Serikat pada
25
umumnya. Sebagai ukurannya adalah banyaknya uang yang dikeluarkan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari penelitian itu menunjukkan bahwa orang
Amerika Serikat pada waktu itu menggunakan uang paling banyak untuk
keperluan hiburan, dua kali lebih besar dari jumlah yang dikeluarkan untuk
kepentingan pendidikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang-orang
Amerika Serikat pada waktu itu umumnya dikuasai oleh motif mendapatkan
hiburan (salah satu dari bentuk motif sosial). Dengan kata lain, motif yang paling
kuat bagi orang Amerika Serikat pada waktu itu motif mencari hiburan, yang
meliputi banyak hal, misalnya: nonton film, makan-makan di restoran, pestapesta, pertunjukan-pertunjukan dan lain-lain.
2.3 Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Sudirman (1991:102) pengetahuan (recall) berhubungan dengan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari sebelumnya. Pengetahuan dapat
menyangkut bahan yang luas (teori) ataupun sempit (seperti fakta). Namun apa
yang diketahui hanya sekedar informasi yang dapat diingat saja. Menanamkan
pengetahuan untuk mencegah menularnya HIV/AIDS dikalangan Wanita Tuna
Susila dapat menggunakan pendekatan multi sektoral seperti kesehatan,
kesejahteraan sosial dan agama.
Depsos (1996) meningkatnya pengetahuan dan kesadaran sasaran tentang
pengetahuan HIV/AIDS serta berkemauan bertindak untuk melaksanakan
pencegahan penularan HIV/AIDS. Tujuan khususnya adalah sasaran dapat
menjelaskan kepada rekan-rekannya tentang HIV/AIDS, sasaran mau dan mampu
berperan serta dalam kegiatan pencegahan HIV/AIDS, sasaran mau dan mampu
melindungi diri dan atau keluarganya dari penularan HIV/AIDS.
Tjandra (2004:57) tindakan yang tidak disertai pengetahuan yang baik dan
benar akan sering megalami banyak kesalahan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Saparinah (1987:21) mengatakan bahwa perilaku sehat individu cenderung
dipengaruhi oleh kepercayaan orang bersangkutan terhadap kondisi kesehatan
yang diinginkan. Norma-norma sosial dan budaya yang berlaku memegang
peranan penting dalam membentuk pola perilaku individu. Salah satu usaha yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek para WTS
26
dalam mencegah HIV/AIDS adalah melaksanakan penyuluhan secara intensif
dengan menerapkan metode, teknik dan media penyuluhan yang tepat.
Pengetahuan minimal tentang HIV/AIDS yang harus dikuasai oleh para
WTS adalah sebagai berikut:
2.3.1 Pengertian HIV/AIDS
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh virus yang
disebut human immunodeficiency virus (HIV). Virus ini tidak diturunkan secara
genetis, tapi diperoleh pengidap melalui infeksi HIV. AIDS merupakan fase akhir
dari infeksi HIV. HIV merusak sel-sel genetik yang dimasukinya, sehingga
mempengaruhi aktifitas sel-sel tersebut dalam waktu tidak terbatas dan kemudian
berkembang biak dalam darah dan cairan tubuh (Muninjaya, 1999:73)
Dalam tubuh pengidap HIV/AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA
sel pengidap, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur hidup ia
tetap terinfeksi. Kerusakan progresif pada sistem kekebalan tubuh menyebabkan
orang dengan HIV/AIDS (ODHA), amat rentan dan mudah terjangkit bermacammacam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahayapun, lama
kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah, bahkan meninggal. Orang yang
terinfeksi HIV, mula-mula sedikit saja yang menjadi pengidap AIDS pada tiga
tahun pertama, kemudian 50 % berkembang menjadi pengidap AIDS sesudah
sepuluh tahun, dan sesudah tiga belas tahun hampir semua orang terinfeksi HIV
menunjukkan gejala AIDS, kemudian meninggal (Depsos, 2003)
Menurut Hutapea (1995:65) diagnosis infeksi HIV dapat diperiksa dengan
suatu test darah yang disebut ELISA (enzyme linked immunosorbent assay), untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV didalam aliran darah. Seseorang mulai
membentuk antibodi terhadap infeksi HIV lama sebelum menunjukkan gejalagejala dan bertahun-tahun sebelum sampai pada tahap AIDS. Sekalipun test
antibodi tidak secara langsung menunjukkan terdapatnya virus, suatu hasil tes
yang positif (seropositif) umumnya menandakan bahwa orang itu telah tertular
HIV dan bahwa imun tubuhnya telah menghasilkan antibodi terhadap terhadap
infeksi tersebut.
27
Suatu test darah yang lebih canggih test western blot dapat dilakukan
terhadap orang yang seropositif untuk menjamin bahwa hasil semula itu benar.
Test western blot ini menguji adanya pola khusus pada rantai protein yang khas
bagi virus tersebut (Hutapea, 1995:65). Adanya antibodi HIV tidak berarti, atau
memberi petunjuk waktu bahwa seseorang yang tertular HIV akan memperoleh
AIDS. Diagnosa AIDS menuntut adanya penyakit-penyakit indikator tertentu
seperti sarkoma kaposi, PCP, atau kanker leher rahim inpansif pada seorang yang
seropositif terhadap HIV. Cara lain adalah dengan melihat bahwa pada orang yang
terinfeksi HIV tersebut, kadar sel CD4-nya berada di bawah 200 per cc darah.
2.3.2 Penyebab AIDS dan infeksi sekunder
sebagai akibat AIDS
Gunawan (2003:1) Indonesia sangat memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi HIV dengan pesat, antara lain karena 1) adanya industri seks yang
berkembang pesat di daerah perkotaan dan daerah wisata; 2) Prevalensi penyakit
kelamin yang tinggi; 3) Pemakaian kondom yang rendah; 4) Urbanisasi dan
migrasi penduduk yang tinggi; 5) Perilaku seksual kearah yang lebih bebas; 6)
Praktek-praktek injeksi dan sterilisasi alat kedokteran yang tidak memenuhi
persyaratan kesehatan: 7) meningkatnya industri pariwisata dan lalu lintas ke luar
negeri yang bebas.
Kronologis perjalanan HIV/AIDS terbagi dalam empat stadium:
(1) Stadium pertama: HIV Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti
terjadinya perubahan serologik, ketika antibodi terhadap virus tersebut dari
negatif berubah menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam
tubuh, sampai test antibodi terhadap HIV menjadi positif, disebut masa
inkubasi, lamanya antara 1 sampai 3 bulan, bahkan ada yang berlangsung
sampai 6 bulan.
(2) Stadium kedua: Asimtomatik (tanpa gejala). Didalam organ tubuh terdapat
HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat
berlangsung rata-rata antara 5-10 tahun. Cairan tubuh ODHA yang nampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
28
(3) Stadium ketiga: pembesaran kelenjar limfe. Fase ini ditandai dengan
pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata serta tidak hanya
pembesaran pada satu tempat, berlangsung lebih dari satu bulan.
(4) Stadium keempat: AIDS. Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam
penyakit antara lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyakit
infeksi sekunder. Gejala-gejala klinis pada stadium ini yaitu demam
berkepanjangan lebih dari tiga bulan, diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat lebih dari 10% dalam tiga
bulan, batuk kronis selama lebih dari satu bulan, infeksi pada mulut dan
tenggorokkan pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh
tubuh munculnya herpes zorter berulang, bercak-bercak gatal di seluruh
tubuh (Depkes,1997). Selain gejala tersebut, terdapat pula infeksi
oportunistik.
Seseorang yang dinyatakan AIDS apabila: (1) hasil tes HIV menunjukkan
hasil positif, (2) mengidap satu atau lebih penyakit infeksi oportunistik khusus
yang kambuh berulang kali atau menunjukkan adanya gangguan yang parah pada
sistem kekebalan tubuhnya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko tertularnya
HIV/AIDS yaitu peningkatan jumlah pasangan seksual, pengguna jarum suntik
untuk tato dan penyalahgunaan narkoba, bentuk hubungan seks (anal, oral,
vagina) tanpa mempergunakan kondom. Penyalahgunaan narkoba nonsuntik dan
alkohol dapat meningkatkan resiko infeksi HIV, karena keduanya mempunyai
pengaruh terhadap perilaku seksual.
Menurut Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial (Depkeskessos) sampai dengan 31 Desember 2002 tercatat sebanyak 3568 kasus. Tingkat
penyebaran pada lima provinsi terbesar, yaitu provinsi DKI Jakarta, Papua, Jatim,
Riau dan Bali. Kasus HIV paling tinggi (861 kasus) berada di DKI Jakarta dengan
penderita AIDS sebanyak 315 kasus. Provinsi yang menduduki ranking kedua
yaitu papua sebanyak 527 HIV positif dengan 325 AIDS, disusul oleh provinsi
lain seperti Jatim, Riau, Bali yang mempunyai kasus HIV positif dan AIDS diatas
100 kasus. Demikian juga penderita AIDS yang meninggal, banyak ditemukan di
provinsi Papua (112 orang), disusul DKI Jakarta (95 orang).
29
Bila dilihat dari usia penderita HIV/AIDS kebanyakan berada pada usia
produktif, yaitu usia 20-29 tahun (898 orang), dan usia 30-39 tahun pada kasus
AIDS 309 orang dan HIV positif 180 orang, sedangkan usia 40-49 tahun ialah 120
kasus AIDS 120 orang dan HIV positif 45 orang.
2.3.3 Cara Penularan HIV/AIDS
Muninjaya (1999:11) HIV bisa menular lewat 3 cara, yaitu: (1) melalui
hubungan seksual dengan seseorang yang sudah terinfeksi HIV tanpa memakai
kondom, (2) melalui transfusi darah, transplantasi organ tubuh, pemakaian alatalat yang telah tercemar HIV, (3) melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada janin
yang dikandungnya atau kepada bayi yang disusuinya.
Depsos (2003) HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara tertentu.
Dalam penularan HIV, dikenal adanya perilaku resiko tinggi tertular HIV, yaitu
(1) berhubungan seksual yang tidak aman, termasuk tanpa kondom; (2) bergantiganti pasangan seksual; (3) berganti-ganti jarum suntik atau alat-alat lain yang
kontak dengan cairan tubuh orang lain; (4) memperoleh transfusi darah yang tidak
ditest HIV.
2.3.4 Cara Pencegahan HIV/AIDS
Tindakan pencegahan di kalangan wanita tuna susila yaitu: a) tidak timbul
kecenderungan meningkatnya tindak ketunasusilaan, b) meluasnya pengaruh
negatif akibat tindak ketunasusilaan, dan c) kambuhnya bekas penerima pelayanan
menjadi pelaku tindak ketunasusilaan lagi.
Muninjaya (1999:26) untuk mencegah penularan secara seksual, dikenal
rumus ABC. Abstinence (pantang berhubungan seks sebelum menikah), be
faithful (berhubungan seks hanya dengan pasangan suami-istri yang tetap), dan
use condom (menggunakan kondom secara kontinu apabila melakukan hubungan
seks). Cara yang paling tepat dilakukan Wanita Tuna Susila untuk mencegah
HIV/AIDS adalah use condom.
Menurut Muninjaya (1999:27) tindakan yang harus dilakukan untuk
mencegah penularan HIV adalah: (1) tidak melakukan hubungan seksual dengan
30
pengidap HIV/AIDS atau orang yang termasuk kelompok perilaku resiko tinggi,
(2) tidak melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan, (3) menggunakan
kondom dari awal sampai selesai, apabila melakukan hubungan seksual dengan
pasangan baru atau anggota kelompok beresiko tinggi, (4) mengobati penyakit
kelamin secara tuntas, (5) tidak melakukan suntikan obat-obatan melalui
pembuluh darah, jika melakukannya jangan menggunakan satu jarum bersamasama, (6) orang yang termasuk beresiko tinggi tidak menjadi donor darah, organ
tubuh, dan sperma, (7) wanita pengidap HIV/AIDS harus meminta nasehat dokter
sebelum hamil, karena mungkin akan menularkan kepada bayinya, (8) apabila
suntik atau bedah, seseorang berhak menuntut agar memperoleh alat-alat suntik
suci hama, (9) jika terpaksa melakukan transfusi darah, harus mendapat darah
bebas HIV, (10) bila terluka balut dengan plester, dan (11) tidak menggunakan
pisau cukur atau alat tusuk secara bergantian
Pencegahan HIV dapat dilakukan dengan realistis yaitu menghindarkan
diri dari perilaku berisiko (Djalal,2001) Langkah preventif (pencegahan) dapat
dilakukan dengan melakukan peningkatan penyuluhan berbagai tempat baik di
instansi pemerintah lewat program Stop AIDS (ASA), maupun non-pemerintah
melalui keaktifan Komite Penanggulangan AIDS. Depsos (2004) upaya-upaya
efektif untuk memotong mata rantai penularan HIV/AIDS dimasyarakat meliputi :
penjangkauan
lapangan
(outreach)
kepada
IDU,
pengembangan
media
komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai HIV/AIDS dan infeksi
menular seks (IMS), pelatihan relawan dan penyuluh sebaya.
Yang rawan tertular HIV/AIDS selain laki-laki hidung belang, juga
seseorang yang sedang bertugas jauh dari keluarga, karena hal itu berhubungan
dengan situasi dan kondisi saat bertugas. Kasus ini patut mendapat perhatian,
pasalnya seperti 11 tentara kita yang dikirim ke Kamboja sebagai pasukan
perdamaian terinfeksi HIV karena mereka tidak dibekali dengan cara-cara
pencegahan yang realistis. Ketika itu prevalensi HIV di kalangan pekerja seks di
Kamboja antara 35-65 persen sehingga risiko tertular pun tinggi. Jika dibandingkan dengan tentara Belanda yang dibekali dengan kondom justru luput dari infeksi
HIV dan PMS.
31
Sudah banyak langkah yang ditempuh dalam pencarian metode paling
tepat dan masih terus dilakukannya upaya untuk pencegahan tersebut. Apakah
upaya preventif sebagai salah satu alternatif terhadap tindakan pencegahan
HIV/AIDS kepada orang lain, ataukah isolasi dan pengobatan terhadap orang yang
sudah terkena HIV/AIDS.
Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dengan memotivasi, terutama
bertujuan untuk mengurangi bahaya penyebaran serta penularannya (harm
reduction), penyebaran informasi tentang HIV/AIDS, yang disertai dukungan dan
pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial secara tepat (suportive health and
social care).
2.3.5 Pengetahuan Kesehatan alat reproduksi dan
Penyakit menular seksual (PMS)
Momsen
(Handoko,2003:52)
Kesehatan
reproduksi
secara
sosial
mengandung pengertian pelayanan dan pemeliharaan rumah tangga, serta
manajemen rumah tangga. Peran perempuan mengembangkan hubunganhubungan kekeluargaan, membangun jaringan kekerabatan dan keagamaan,
upacara dan tanggung jawab sosial dalam komunitas. Dalam hal seksual, wanita
tuna susila paling tidak menanggung risiko kerusakan reproduksi biologis dan
sosial, kekerasan dan berbagai bentuk pelecehan seksual (sexual
harrashement),
dan lost generation.
Menurut Obaid (2005) kesehatan dan hak reproduksi menjadi pusat
terpenting, sesuai dengan yang telah disetujui para pemimpin dunia di Kairo pada
konferensi internasional kependudukan dan pembangunan. Semua individu
mempunyai hak untuk kesehatan reproduksi; untuk menentukan secara bebas dan
bertanggung jawab dalam hal jumlah, waktu dan jarak memiliki anak dan untuk
memperoleh informasi dan cara melakukannya; dan untuk membuat keputusan
mengenai reproduksi yang bebas dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan.
Kesehatan dan hak reproduksi adalah kunci untuk pemberdayaan perempuan dan
kesehatan gender dan pencapaian tujuan pembangunan internasional. Pelayanan
kesehatan reproduksi mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi,
infeksi HIV, kematian ibu, bayi dan anak, dan menyelamatkan kehidupan.
32
Rampan (2000:10) mengenai rendahnya pendidikan mengenai kesehatan,
umumnya ibu dan anak perempuan tidak memiliki bargaining position dalam
proses pengambilan keputusan mengenai pelayanan kesehatan yang selayaknya
diperoleh. Keprihatinan terhadap kesehatan perempuan berimplikasi pada
kesehatan anak-anak mengingat peran reproduksional dan pengasuhan yang
dilakukan sebagai ibu rumah tangga dan ibu keluarga.
2.3.6 Bahaya HIV/AIDS Pada Kesehatan Manusia
Warmbrand (1985:105) pola hidup yang salah akan menghadapi tantangan
dan penyakit yang berkembang dalam dirinya. Hukum sebab akibat juga berlaku
dalam problema lainnya. Perawatan tubuh yang baik dan kebiasaan hidup yang
sehat merupakan dasar menuju kesehatan yang baik pula. Sedangkan perawatan
yang kurang baik disertai kebiasaan hidup yang buruk akan merusak fungsi tubuh
dan merupakan dasar berkembangnya penyakit. Setiap orang harus menghargai
kesehatannya sendiri dan merawat diri sendiri dengan demikian akan dapat
mempertahankan standar hidup yang tinggi.
Depkes (2002:23) sehat adalah hak semua warga negara Indonesia, akan
tetapi pada kenyataannya sekarang ini untuk mendapatkan akses pelayanan
kesehatan tidaklah mudah. Akses kesehatan yang sulit tidak diimbangi dengan
pengadaan obat. Kita menginginkan agar kesehatan dikembalikan ke hakikatnya
sebagai masalah kemanusiaan.
HIV/AIDS disebut suatu sindrom karena terdiri dari beberapa variasi
gejala. Fase awal dari kasus HIV/AIDS yang matang ditandai dengan gejala
lemah, keringat malam, demam yang bandel, kelenjar limfa membengkak, diare
dan turunnya berat badan yang tak diketahui sebabnya. (Hutapea,1995:44) HIV
dapat juga menyerang susunan syaraf pusat, menimbulkan AIDS Dementia
Complex (ADC). Dementia adalah suatu keadaan dimana seseorang nyata sekali
kebingungan dan kehilangan arah. Orang-orang dengan ADC sering dengan cepat
kehilangan kemampuan berkonsentrasi, komunikasi, belajar, mengingat sesuatu,
menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya dan mengendalikan gerakan ototnya.
Lebih dari separuh penderita AIDS akan mengalami masalah seperti ini.
33
Hutapea (1995:44) orang dengan HIV/AIDS rentan terhadap beberapa
penyakit yang disebut penyakit indikator atau penyakit oportunistik. Penyakitpenyakit ini meliputi sarkoma kaposi (sejenis kanker yang langka), PCP (sejenis
radang paru-paru), infeksi parasit di otak (toxoplasmosis), infeksi herpes dengan
luka menganga yang kronis, TBC paru, radang paru bakteri yang sering kambuh,
kanker ganas leher rahim, dan apa yang disebut ‘wasting syndrome’. Yaitu
keadaan dimana seseorang terlihat seperti mendekati sekarat. Mereka mengalami
penurunan berat badan tanpa menjalani diet atau senam yang membakar banyak
kalori. Penyakit indikator (oportunistik) tidak mungkin muncul apabila tidak
diberi kesempatan untuk merajalela dengan lumpuhnya sistem kekebalan tubuh.
Dengan demikian risiko dari penyerangan penyakit HIV/AIDS adalah kematian.
2.3.7 Akibat HIV/AIDS
Muninjaya (1999:7) human imunodeficiency virus (HIV) adalah virus
penyebab penyakit AIDS. Cara kerja virus ini pada manusia adalah merusak
sistem kekebalan tubuh (sel putih) sehingga penderita akan meninggal karena
tidak mampu lagi melawan serangan penyakit serius lainnya. HIV adalah
kelompok virus yang termasuk golongan retrovirus, sangat kecil ukurannya, lebih
kecil dari seperseribu tampang sehelai rambut. Virus ini bentuknya seperti
binatang bulu babi (bintang laut) yang berbulu tegak dan tajam. Dalam virus
AIDS terdapat dua bentuk RNA yang wujudnya seperti ular dan mengandung
reverse transcriptase dalam intinya. Inti tersebut berbentuk segi tiga yang hampir
bundar dan dasarnya berlekuk ke dalam.
Menurut Depsos (2003) berdasarkan faktor risiko penularan HIV/AIDS,
ternyata faktor hubungan heteroseksual masih menduduki tingkat yang paling
tinggi, disusul dengan intervena drug use (IDU) dan terendah pada biseksual
(homo). Dampak terhadap kesejahteraan keluarga, terutama yang berasal dari
faktor hubungan heteroseksual, akan menimbulkan makin banyak wanita dan
anak-anak menjadi korban. Dampak yang serius bisa terjadi karena wanita di
negara berkembang umumnya wanita menjadi perawat bagi anggota keluarga
yang sakit dan bertanggungjawab menyediakan makanan, bekerja di ladang dan
membesarkan anak-anaknya. Pada keluarga dengan adanya orang dewasa yang
34
menderita AIDS mengakibatkan penurunan pendapatan secara drastis antara lain
dapat mengurangi status gizi serta kemampuan membiayai hidup sehari-hari
menurun.
2.3.8 Hubungan Sosial dengan Penderita HIV/AIDS
Akhir-akhir ini di Indonesia berkembang suatu sikap yang berlebihan dari
masyarakat terhadap penderita penyakit HIV/AIDS, yang oleh sementara ahli
disebut sebagai “epidemi ketiga” yaitu adanya penolakan, prasangka, stigmati-sasi
dan pengucilan terhadap orang, atau kelompok yang tertular HIV/AIDS, bahkan
diusir dari lingkungannya “Kasus di Rumah Sakit Kota Bandung, mengusir
pasiennya karena belum ada ruangan khusus untuk menangani penyakit tersebut
dan takut ketahuan oleh pasien lain sehingga akan berpengaruh terhadap nama
baik rumah sakit tersebut (Depsos, 2003:3)
Sejalan dengan pesatnya peningkatan ODHA tersebut maka semakin
banyak masalah yang akan timbul, terutama yang berhubungan dengan masalahmasalah psikologis dan sosial yang dihadapi ODHA beserta keluarganya (Depsos,
2003:3)
Sampai saat ini masih sering dijumpai salah pengetahuan dalam penularan
HIV, yang intinya kontak sosial dengan ODHA akan menyebabkan penularan,
sehingga menimbulkan ketakutan yang berlebihan pada masyarakat tentang
HIV/AIDS. Hal ini menyebabkan tindakan diskriminasi dan isolasi terhadap
ODHA. Diskriminasi dan isolasi ini menyebabkan pengidap terkucil, dijauhkan
dan menjauhkan diri dari masyarakat. Hal demikian tidak mendukung dalam
pencegahan penularan HIV/AIDS.
Muninjaya (1999:25) menyebutkan kontak sosial berikut ini tidak
menyebabkan penularan HIV, yaitu melalui rangkulan, ciuman (kecuali
mempunyai luka di wilayah mulut), jabat tangan, cium tangan dan pipi, batuk atau
bersin, gigitan serangga dan nyamuk, berbagi (memakai) baju, handuk dan toilet,
penggunaan peralatan yang sama (misalnya telepon), makan dari perkakas yang
sama, kolam renang bersama-sama pengidap HIV dalam satu tempat, merawat
orang yang terinfeksi HIV, mencuci kloset, sprei dan lainnya yang digunakan
pengidap HIV.
35
2.3.9 Dampak Sosial Ekonomi AIDS
Depsos (2003:2)Secara umum penyebaran infeksi HIV/AIDS tidak saja
berdampak pada sektor sosial, ekonomi, kesehatan dan kesejahteraan keluarga
namun lebih besar lagi mempengaruhi produktivitas dan pendapatan nasional,
yang selanjutnya bisa mengakibatkan kerugian besar pada anggaran belanja
negara dan menghambat proses pembangunan nasional.
Dari sisi ekonomi HIV/AIDS telah menjadi masalah karena mahalnya
biaya perawatan walaupun terbukti memberi efek positif mengarah kepada
kepulihan. Cara pengobatan juga merupakan bagian tersulit. Akses obat yang sulit
dan mahal merupakan suatu kendala, yang pada akhirnya dapat menjadi faktor
penyebab kemiskinan.
2.3.10 Hubungan Narkoba dengan HIV/AIDS
Handoko (2005:51) selama ini pemakai narkoba merasakan bahwa mereka
mengalami kenikmatan dan bisa mencapai tahap fly ketika mereka menggunakan
narkoba dan dilanjutkan dengan sexual intercourse baik dengan pasangannya
sendiri maupun bukan (perilaku free sex). Sangat erat hubungan antara pecandu
narkoba dengan HIV/AIDS. Untuk mendapatkan kegairahan dan kegembiraan
semu lewat narkoba, perempuan bahkan rela mengorbankan tubuhnya untuk
mendapatkan shabu-shabu, putauw maupun jenis lain.
Depkes (2003) Kegemaran untuk berganti-ganti pasangan pada saat pesta
seks sesudah mengkonsumsi narkoba secara bersama-sama akan mengakibatkan
kondisi kehamilan yang tidak diharapkan, yang mendorong tindakan aborsi.
Implikasi lain, tertularnya penyakit HIV/AIDS baik melalui alat suntik untuk
menyuntik obat-obatan terlarang tersebut, maupun melalui gonta-ganti pasangan
seks.
Malloch dalam Handoko (2003:49) mengemukakan bahwa free sex yang
dilakukan perempuan pecandu narkoba sebenarnya telah melanggar batas-batas
kategori feminin, yang memutar balikan realitas perempuan alamiah dan
membentuk citra perempuan yang hidup dalam realitas semu.
36
2.4 Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila dengan
Pengetahuan Mereka tentang HIV/AIDS
2.4.1 Hubungan Umur WTS dengan
pengetahuan HIV/AIDS
Variabel umur merupakan salah satu faktor sosial yang penting dalam
mempelajari masalah kesehatan dan sosial karena umur ternyata berkaitan dengan
perilaku kebiasaan seseorang termasuk perilaku hubungan seksual. Hasil
penelitian Soelistiani (2003:83) menunjukkan bahwa wanita tuna susila pada
kelompok umur 15-29 tahun ternyata lebih banyak (66,1%) dibandingkan dengan
wanita tuna susila pada kelompok umur 30 tahun (33,9%). Menurut Astawa dan
Habasiah dalam Soelistiani (2003:83) bahwa semakin bertambah umur seseorang
akan semakin matang dalam mengambil sikap dan berperilaku termasuk perilaku
seksual.
Variabel umur dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu
pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang HIV/AIDS, dan perilaku wanita tuna
susila dalam upaya pencegahan HIV/AIDS.
2.4.2 Hubungan Status Perkawinan
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat mengamanatkan berbagai
fungsi kepada anggotanya untuk dilaksanakan melalui tugas-tugas kehidupan
didalam keluarga, yang tercakup dalam aspek-aspek: pengaturan seksual,
pemenuhan kebutuhan biologis, sosialisasi, penentuan status sosial, pemenuhan
kebutuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kasih sayang (Soelaiman,1999:54)
Pengalaman berkeluarga akan menambah dan meningkatkan pengetahuan tentang
berbagai hal termasuk penyakit, terutama penyakit menular akibat hubungan
seksual.
Dengan demikian diduga wanita tuna susila yang berstatus menikah
tentunya akan mempunyai pengetahuan lebih baik, pengalaman praktis dan
penghayatan yang lebih baik, dibandingkan dengan wanita tuna susila yang status
perkawinan pernah menikah atau belum menikah.
37
2.4.3 Hubungan Pendidikan Formal
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Pendidikan merupakan suatu proses sosial dimana seseorang mengalami
perkembangan sosial maupun individu. Oleh karena itu variabel pendidikan dapat
mempengaruhi seseorang termasuk perilaku seksual. Hasil penelitian Soelistiani
(2003:85) menunjukkan bahwa wanita tuna susila lebih banyak yang
berpendidikan rendah (94,3%) dibandingkan dengan wanita berpendidikan tinggi
(5,7%). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian Iskandar (2001)
di Jakarta dan Surabaya, bahwa ada hubungan bermakna antara tingkat pendidikan
dengan keinginan menggunakan kondom. Wanita tuna susila dengan pendidikan
rendah berpeluang lebih besar (2,5 kali) tidak mempunyai keinginan
menggunakan kondom, dibandingkan dengan wanita tuna susila berpendidikan
tinggi (Soelistiani, 2003:85)
Uraian
tersebut
menjelaskan
bahwa
variabel
pendidikan
dapat
mempengaruhi persepsi seseorang terhadap keseriusan suatu penyakit, selanjutnya
dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam mengurangi ancaman dari suatu
penyakit. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin mudah
menerima perilaku yang positif, dalam hal ini pengetahuan tentang HIV/AIDS
2.4.4 Hubungan Tingkat Pendapatan
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Mereka meninggalkan rumah karena keadaan ekonomi orang tuanya,
walaupun tanpa pendidikan yang memadai, nyaris buta hurup (Media Indonesia,
2005). Kesulitan hidup yang menjerat juga menjadi masalah yang dominan bagi
berlangsungnya perselingkuhan. Seorang wanita berusaha setia terhadap
suaminya. Cintanya terhadap suami tidak diragukan. Aktifitas didalam kamar
keduanya berjalan normal. Kebutuhan nafkah batin keduanya tidak ada masalah.
Namun aktifitas diluar kamar berlangsung timpang. Kebutuhan materi tidak
terpenuhi, penghasilan suami tidak cukup. Gaji satu bulan hanya cukup dimakan
seminggu sementara anak-anak mulai perlu biaya sekolah.
38
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesesuaian tingkat pendapatan
berhubungan dengan tingkat pengetahuan. Pendidikan orang tua yang tinggi
menghasilkan pendapatan yang tinggi. Tingkat pendapatan yang tinggi
berpengaruh terhadap penyediaan alat/media sebagai sumber informasi. Dengan
tersedianya berbagai media akan meningkatkan pengetahuan tentang HIV/AIDS
dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.5 Hubungan Motivasi menjadi WTS
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Hubungan motivasi menjadi WTS terhadap pengetahuan HIV/AIDS
dijelaskan (Matra,1997) agar tetap bertahan hidup mereka terjebak dalam
penjajakan seksual, demi uang dan perlindungan, kemiskinan dan banyak
tanggungan memaksa wanita muda harus memilih: bertahan dan mati kelaparan
atau melacur dan terkena HIV/AIDS. Kenari (nama samaran) shalat rajin dan
sering berpuasa, ia menjadi pelacur demi menghidupi dua anaknya.
Pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki
motivasi yang tinggi menjadi wanita tuna susila, diduga akan semakin besar
hubungannya dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit menular
seksual lainnya.
2.4.6 Hubungan Persepsi hidup ideal
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Sriwidodo (1997:5) idealnya peran wanita adalah melaksanakan fungsi
keluarga dengan baik tentunya harus mengerti dan memahami dengan baik fungsi
keluarga tersebut, sehingga dengan pemahaman yang baik akan membentuk
persepsi yang baik tentang fungsi keluarga.
Hubungan wanita tuna susila yang memiliki persepsi hidup ideal tentang
keluarga terhadap pengetahuan HIV/AIDS diduga bahwa wanita tuna susila yang
memiliki persepsi hidup yang ideal akan memiliki pengetahuan lebih baik tentang
HIV/AIDS.
39
2.4.7 Hubungan Lamanya menjadi WTS
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Soelistiani (2003:87) Variabel lama bekerja merupakan salah satu faktor
sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang bekerja sebagai
wanita tuna susila lebih dari 14 bulan lebih banyak, sekitar 54,6 % dibandingkan
dengan wanita tuna susila yang bekerja kurang dari 14 bulan (45,4%).
Sriwidodo (1997:56) waktu terlama menjadi WTS adalah delapan tahun,
sedangkan waktu terpendeknya satu tahun. Rentang waktu yang relatif pendek ini
dimungkinkan karena secara daya tarik seksual wanita terbatas karena faktor usia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa semakin lama seseorang menekuni
pekerjaannya maka akan merasa semakin rentan terhadap penyakit, sehingga
perasaan rentan tersebut menyebabkan seseorang semakin berperilaku berupaya
mencegah penyakit.
2.4.8 Hubungan Mendapat perlakuan kekerasan
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Depkes (2000:21) bahwa ketidaksetaraan jender terjadi karena adanya
norma di dalam masyarakat yaitu norma yang menerima perilaku pria
mengendalikan wanita dan anggapan bahwa keperkasaan pria (maskulinitas)
terkait dengan dominasi terhadap wanita. Ditangan penguasa apapun bisa
dilakukan, perselingkuhan sebagai suatu aib bisa dilegitimasikan menjadi sesuatu
yang biasa.
Dalam sejarah kehidupan para raja di Jawa maupun di belahan dunia
lainnya, cerita tentang kehidupan seks mereka menjadi bukti bahwa kekuasaan
dan jabatan merupakan sarana pendorong untuk melakukan kegiatan seks diluar
kebiasaan. Hanya, raja menggunakan cara yang sudah menjadi dunianya, Selir
(Kholid, 2004:58)
Pada tataran tertentu selir sesungguhnya bagian dari praktek perselingkuhan. Kekuasaan kemudian melegitimasikan. Konsep ini sebagai sesuatu yang
lazim, bahkan seakan menjadi suatu keharusan berlaku bagi para raja. Hal seperti
ini diikuti oleh para penguasa, terutama yang memiliki materi yang lebih dari
40
cukup. Seorang wanita kadang tidak merasa senang melayani lelaki namun dalam
situasi terpaksa, ia harus melayaninya.
2.4.9 Hubungan keadaan ekonomi keluarga
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Soelaiman (2004:65) tingkat pendidikan yang lebih baik akan diperoleh
penghasilan yang lebih memuaskan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu
aspek sosial dan umunya berpengaruh pada tingkat pendapatan sebagai aspek
ekonomi. Demikian juga tingkat pendidikan orang tua turut berperan dalam
menentukan pengetahuan anggota keluarga, terutama pendidikan ayah. Sebab
ayah sebagai orang tua yang berpendidikan lebih baik senantiasa berusaha
mendapatkan informasi-informasi yang dianggap penting, misalnya dengan
membeli koran atau majalah sebagai salah satu informasi, atau media lainnya
untuk menambah pengetahuannya.
Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pada umumnya dalam semua
program faktor pendidikan merupakan faktor yang dominan keberhasilan suatu
program. Faktor pendidikan diduga berhubungan dengan tingkat penghasilan,
tingkat penghasilan berpengaruh terhadap keadaan keluarga, pada akhirnya
keadaan keluarga berpengaruh terhadap pengetahuan, yaitu tentang HIV/AIDS.
2.4.10 Hubungan Kepatuhan terhadap Norma Susila
dengan Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Kholid (2004:70) Kebebasan yang nyaris menyamai hewan dimulai ketika
hiburan erotik marak dipertunjukkan. Ketika foto-foto wanita telanjang atau
setengah telanjang bebas terpajang. Ketika goyangan erotis dianggap sebagai
kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Ketika kumpul kebo dianggap
biasa, jajan dianggap sebagai menghilangkan kejenuhan, kebebasan pergaulan
dilihat sebagai contoh kehidupan masyarakat modern. Ketika larangan atau
pembenahan terhadap itu semua dianggap sebagai pemasungan prinsip-prinsip
demokrasi, pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan pemasungan terhadap
kebebasan berekspresi.
41
Uraian tersebut di atas, menyatakan bahwa kebebasan dalam tingkah laku
kehidupan kita memang diatur oleh norma-norma yang berlaku. Norma yang
mengatur hak dan kebebasan manusia antara lain: norma agama, norma
masyarakat, tata cara adat, aturan negara dan lain sebagainya.
Kehidupan yang menyerupai hewan itulah ciri-ciri hilangnya normanorma kehidupan. Hilangnya norma-norma kehidupan itu menjadi faktor utama
yang mendorong berlangsungnya perselingkuhan berbagai bentuk. Seseorang
yang menjalankan norma susila dalam pergaulannya diduga berpengaruh terhadap
pengetahuan tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.11 Hubungan Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah Asal
dengan Pengetahuan HIV/AIDS
Hubungan
pengaruh
lingkungan
pergaulan
terhadap
pengetahuan
HIV/AIDS sebagaimana penjelasan Depsos (2002:17) studi tentang permasalahan HIV/AIDS: nama baik kota wisata berkembang cepat seiring dengan
pertambahan sarana pariwisata baru, pusat hiburan, serta hotel dan restoran
bertarap internasional. Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang pertumbuhannya paling cepat dan mempunyai banyak peluang untuk terus berkembang.
Dengan terus meningkatnya beragam sarana, seperti Jakarta semakin dapat
menarik perhatian dunia untuk menyelenggarakan acara-acara internasional yang
bergengsi.
Ditinjau dari segi sensitifitas terhadap penyakit, sebagai dampak kehidupan ibu kota yang ekstra dinamis dimana sebagian besar warganya melalui
perjuangan yang keras mempertahankan hidup, maka hampir tidak terasakan
perbedaan antara penyakit yang mematikan dan tidak.
Seiring dengan meningkatnya wisata meningkat pula permasalahan yang
dihadapi, hubungannya dengan penyakit HIV/AIDS yang tidak dapat terdeteksi
jumlah orangnya dengan tepat. Meningkatnya kasus HIV/AIDS karena adanya
perubahan nilai perilaku seksual di masyarakat tersebut. Dengan demikian
pengaruh lingkungan sosial daerah asal yang kuat akan lebih besar berhubungan
dengan pengetahuan tentang HIV/AIDS.
42
2.4.12 Hubungan Jarak Tempat bekerja
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Mahardika (2004:99) Aku mangkal di lokalisasi “S” pinggiran kota Solo,
merupakan kawasan prostitusi yang terkenal dari tempat ini aku mengetahui
beberapa penyakit kelamin. Faktor yang menentukan daya tarik adalah kedekatan
geografis (proksimitas). Semakin berdekatan dua orang secara geografis, semakin
besar kecenderungan mereka untuk tertarik terhadap satu sama lain (Tubbs dan
Moss dalam Mulyana, 2001:186)
Pekerja seks baik wanita maupun laki-laki memang sangat tinggi risikonya
terkena HIV/AIDS dari pekerjaannya. Seorang pengidap HIV juga tidak akan
memberikan risiko menularkan penyakitnya kepada teman-teman sekerjanya
melalui kontak sosial (Muninjaya, 1999:35).
Menurut Nuryana (2003:95) Wanita tuna susila, gay/homo dan pecandu
narkoba yang berisiko tinggi pada umumnya telah mengetahui tentang virus
HIV/AIDS, gejala-gejala si penderita, cara penularan dan upaya pencegahan. Hal
ini karena umumnya mereka menjadi anggota suatu wadah (organisasi).
Dengan demikian terdapat hubungan antara tempat bekerja terhadap
pengetahuan HIV/AIDS karena mereka terhimpun dalam suatu organisasi. Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa informasi-informasi dari tempat bekerja
akan lebih mengetahui tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya.
2.4.13 Intensitas Interaksi dengan WTS lain
terhadap pengetahuan HIV/AIDS
Menurut pengakuan salah seorang WTS, dalam Mahardika (2004:98,99) di
tempat kerjaku, aku menjadi primadonanya, sehingga banyak teman-temanku
pada iri. Aku tidak hendak jumawa, namun kecantikan wajahku diatas rata-rata
teman-teman seprofesiku. belum lagi bentuk tubuhku, usiaku masih muda
merupakan tambahan poin tersendiri, yang menyebabkan aku laris diminati
pelanggan. Dengan segala kelebihanku aku sibuk terus menerus melayani para
tamu. Setelah menghuni kira-kira tiga tahun aku diserang suatu penyakit yang
misterius itulah yang disebut penyakit kelamin.
43
Melihat intensitas hubungannya dengan WTS lain terhadap pengetahuan
penyakit kelamin diduga akan meningkat sehingga wanita tuna susila dengan
frekuesi hubungan yang tinggi akan lebih mengetahui tentang HIV/AIDS.
2.4.14 Hubungan yang melatih/mengajari seksual
dengan pengetahuan HIV/AIDS
Menurut Mahardika (2000:40) beberapa hal hasil penemuan penelitian
tentang wanita tuna susila, pada umumnya baik secara langsung maupun tidak
langsung mereka diajari tentang bagaimana hubungan seksual, baik oleh rekannya
sendiri maupun oleh para seniornya yang sudah berpengalaman.
Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa wanita tuna susila yang
diajari tentang cara melakukan hubungan seksual diduga akan mengetahui tentang
HIV/AIDS dan penyakit menular seksual.
2.4.15 Intensitas hubungan dengan pelanggan
terhadap pengetahuan HIV/AIDS
Sriwidodo (1997:56) Intensitas hubungan dengan pelanggan terhadap
pengetahuan HIV/AIDS dapat berpengaruh. Sebagaimana dijelaskan, dengan
kegiatan seksual yang berlebihan selama mereka menjadi WTS menjadikannya
cepat layu dan biasanya ditinggalkan pelanggan yang rata-rata menginginkan
yang masih “segar” atau muda usia.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa intensitas hubungan
yang frekuensinya tinggi antara wanita tuna susila dengan pelanggan, akan lebih
rentan terhadap mengidap suatu penyakit kelamin. Hal ini diduga mereka
mengetahui tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya dari
banyaknya berganti-ganti pasangan atau tingkat berhubungan dengan para
pelanggan yang tinggi.
2.4.16 Hubungan Persepsi hedonisme dengan
pengetahuan HIV/AIDS
Kholid (2004:75) Ada telepon party line atau sex on the phone. Sarana ini
siap membantu para pria lewat “Janda Binal, Janda Kembang, Tante-tante
44
kesepian, Tante genit, Pesona tante muda, Wanita siap saji dan lain-lain. Hanya
cukup tekan nomor yang ada dalam jalur-jalur itu, kemudian bisa bicara apa saja
yang dapat membantu untuk melepaskan penat hidup dan meraih berahi melalui
fantasi. Jika mau, bisa mengajak dia melalui “copy darat” dan meneruskan ke
yang lebih hot lagi.
Kholid (2004:64-65) ada lagi fasilitas yang mendekati Biro Jodoh namun
ini budak jodoh. Dalam arti yang sesungguhnya hal ini tidak diakui oleh norma
agama dan masyarakat. Ini jodoh nafsu untuk mendapatkan jodoh sesaat. Disana
disediakan kolom khusus bagi mereka yang kesepian, lelaki atau perempuan,
untuk mendapatkan orang yang bersedia menghangatkan tubuhnya. Simpelnya
mereka mengajak berselingkuh. Mereka bukan wanita panggilan yang sematamata mencari uang. Mereka adalah wanita-wanita bersuami yang tidak puas
dengan apa yang didapat dari suaminya.
Seorang wanita kesepian dengan mudah memasang iklan untuk mencari
siapa saja yang dapat memberinya kehangatan, atau menulis di sebuah tabloid
hiburan untuk mendapatkan laki-laki yang diinginkannya dengan imbalan yang
menjanjikan, untuk mewujudkan hasrat seksualnya.
Karakteristik WTS antara lain: umur, status perkawinan, pendidikan
(formal, non-formal dan informal), tingkat pendapatan, motivasi instrinsik dan
motivasi ekstrinsik menjadi WTS, persepsi hidup ideal, lamanya menjadi WTS,
mendapatkan perlakuan kekerasan, keadaan ekonomi keluarga, kepatuhan
terhadap norma susila, pengaruh lingkungan sosial daerah asal, jarak tempat
bekerja sebagai WTS, intensitas interaksi dengan WTS lain, yang mengajari
tentang seks, intensitas hubungan dengan pelanggan, persepsi seks hanya karena
hedonisme. Berpengaruh terhadap pengetahuan wanita tuna susila tentang
HIV/AIDS.
Lebih jelasnya uraian alur pikir penelitian “Hubungan Karakteristik
Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi Sosial Wanita Jawa Barat dengan
pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS” dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
45
Gambar 1. Hubungan Karakteristik Wanita Tuna Susila di Panti Rehabilitasi
Sosial Wanita Jawa Barat dengan pengetahuan mereka tentang
HIV/AIDS
Karakteristik
a. WTS
1. Umur b.
2. Status Perkawinan
3. Pendidikan Formal
4. Tingkat Pendapatan
5. Motivasi Instrinksik menjadi WTS
6. Motivasi Ekstrinksik menjadi WTS
7. Persepsi untuk hidup yang Ideal
8. Lamanya Menjadi WTS
9. Mendapat perlakuan kekerasan
10. Keadaan Ekonomi Keluarga
11. Kepatuhan Terhadap Norma Susila
12. Pengaruh Lingkungan Sosial Daerah
Asal
13. Jarak tempat bekerja sebagai WTS
14. Intensitas Interaksi dengan WTS lain
15. Yang melatih/mengajari tentang
seksualitas
16. Intensitas Hubungan dengan
Pelanggan
17. Persepsi Seks Hedonisme
Pengetahuan HIV/AIDS
1. Pengertian
2. Penyebab AIDS dan Infeksi
Sekunder sebagai Akibat
AIDS
3. Cara Penularan
4. Cara Pencegahan
5. Pengetahuan Kespro
6. Bahaya HIV/AIDS bagi
kesehatan manusia
7. Akibat HIV/AIDS
8. Hubungan Sosial Dengan
Penderita AIDS
9. Dampak Sosial Ekonomi
AIDS
10. Hubungan Narkoba dengan
HIV/AIDS
Download