The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Study Policy Brief No. 6 Meninjau Kembali Kebutuhan Kesehatan Reproduksi yang Tidak Terpenuhi di Kalangan Penduduk Dewasa Muda Terence Hull, Iwu Dwisetyani Utomo, Peter McDonald, Anna Reimondos, dan Ariane Utomo Tantangan untuk Kebijakan Pada pertengahan 1970an, negara-negara di dunia menerapkan program keluarga berencana, kadangkala dalam konteks pendirian departemen kesehatan sebagai bagian pelayanan kesehatan ibu dan anak, namun seringkali sebagai lembaga tersendiri yang bertugas memaksimalkan pemakaian kontrasepsi dalam rangka menurunkan tingkat kelahiran secepat mungkin. Ketika upaya itu dibenarkan untuk meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan, segera muncul tekanan dari mereka yang lebih memperhatikan pengendalian pertumbuhan penduduk dan mereka yang melihat pengaturan kelahiran sebagai hak azasi manusia. Para peneliti mencoba menjembatani kesenjangan kedua pandangan tersebut dengan mengkaji tingkatan dimana kebutuhan kelahiran individu dapat sejalan dengan tingkat kelahiran yang mencapai angka kelahiran yang kondusif untuk stabilitas jumlah penduduk jangka panjang. Salah satu kesimpulan data statistik yang kuat adalah perkiraan ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ (‘unmet needs’) akan pelayanan kontrasepsi. Ini dihitung sebagai proporsi perempuan menikah dan subur yang ingin menunda kehamilannya, tetapi tidak menggunakan kontrasepsi untuk mecegah kehamilan. Pada dasarnya, angka ini, jika dibandingkan dengan angka prevalensi kontrasepsi – ukuran sedang memakai – akan menunjukkan seberapa baik program keluarga berencana dapat memenuhi kebutuhan perempuan. Selama ini diharapkan bahwa jumlah perempuan yang ingin mengendalikan kelahiran akan meningkat, proporsi jumlah penggunaan kontrasepsi meningkat, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi akan menurun, sebagai cermin keberhasilan program. Namun, skenario tersebut hanya relevan untuk tujuan sederhana, yakni memastikan perempuan menggunakan kontrasepsi dan bahwa mereka memutuskan mempunyai lebih sedikit anak. Ruth Dixon-Mueller dan Adrienne Germin pada tahun 1992 mengatakan bahwa kebutuhan akan kesehatan reproduksi belum tentu menjadi baik kalau wanita kawin memakai salah satu metoda pengendalian kelahiran. Dengan merujuk pada pandangan siklus hidup, mereka memberi catatan bahwa perempuan tidak menikah yang aktif melakukan hubungan seksual mempunyai kebutuhan untuk mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Bahkan, jika perempuan sudah menikah pilihan-pilihan kontrasepsinya akan bergantung pada kondisi-kondisi khusus dalam tahapan kehidupan mereka. Setiap metoda kontrasepsi mempunyai karakteristik dalam hal kemudahan pemakaian, efek sampingan, lama pemakaian, dan harganya. Pilihan metoda bergantung pada kesesuaian antara karakteristikkarakteristik itu dan kebutuhan khas perempuan. Sama halnya dengan kondisi-kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan wanita menggunakan berbagai metoda kontrasepsi, juga ada kondisi psikologis dan sosial yang bertentangan dengan beberapa pilihan metoda. Dengan demikian penggunaan satu metoda saat ini dapat menununjukkan bahwa ada ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ untuk menggantinya dengan metoda yang lebih baik, lebih handal atau lebih murah untuk memenuhi kebutuhan pribadi perempuan. Tidak sederhanya pilihan-pilihan kontrasepsi berarti bahwa salah satu ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ yang penting adalah kebutuhan perempuan untuk memahami dan mengikuti petunjuk-petunjuk pemakaian kontrasepsi yang akan mereka gunakan. Hal ini memerlukan pengetahuan dan pemantauan keadaan mereka secara teratur. Artinya, program keluarga berencana nasional perlu meningkatkan konseling bagi para pasien semua usia dan pendidikan kesehatan reproduksi bagi penduduk semua usia. penting untuk revitalisasi keluarga berencana di seluruh tanah air. Kebutuhan yang Tidak Terpenuhi di Kalangan Pengguna Kontrasepsi Modern Saat Ini Pengakuan atas ‘Hak-hak Azasi Mmanusia’ dan ‘Kesehatan Reproduksi’ Barangkali hal yang paling lemah dalam pembentukan konsep ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ adalah asumsi bahwa pengguna kontrasepsi saat ini tidak mempunyai kebutuhan lebih lanjut. Pada kenyataannya, seperti yang ditunjukkan oleh Laporan Akhir Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, pengguna berbagai metoda kontrasepsi saat ini harus mempertimbangkan pilihan-pilhan yang lebih banyak, dan harus mempunyai informasi yang lebih baik, seperti: Pada tahun 1994 Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan di Kairo telah mencapai serangkaian kesepakatan yang dirancang untuk menyamakan dua jenis tujuan yang saling bertentangan yang sudah lama mendominiasi program keluarga berencana di negara berkembang. Disamping memperhatikan kebutuhan untuk menurunkan angka pertumbuhan penduduk, Program Aksi Kairo yang dihasilkan juga memberi penekanan pada hak-hak reproduksi individu: Sebagian besar perempuan yang menggunakan metoda apapun dan hampir duapertiganya menggunakan suntik KB, tidak pernah diberi informasi oleh petugas kesehatan mengenai pilihan-pilihan metoda kontrasepsi yang mereka gunakan (hal. 82). Hak-hak ini dilandasi oleh pengakuan atas hak hakiki pasangan dan individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak, dan waktu anak-anak mereka dan mempunyai informasi dan cara-cara untuk melakukan itu, dan hak untuk meraih standar kesehatan seksual dan reproduksi terbaik. Hakhak tersebut termasuk hak semua orang untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan reproduksi secara bebas dari diskriminasi, tekanan, dan kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan untuk mempromosikan hubungan gender yang saling menghormati dan setara dan terutama untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan bagi remaja, sehingga mereka dapat bertindak secara positif dan bertanggung jawab bila berhubungan dengan seksualitasnya. (ICPD POA, Bab 7). Tujuhbelas persen pengguna pil KB tidak menelan pilkontrasepsi dalam dua hari terakhir dan delapan persen tidak dapat memperlihatkan satupun paket pil kontrasepsi. Hal ini menunjukan bahwa mereka tidak mempunyai persediaan pil yang cukup (hal. 80). Satu dari lima pengguna suntikan KB bulanan tidak memperoleh suntikan dalam empat minggu terakhir sementara dibanding empat persen pengguna suntik KB tiga bulanan yang lebih dari tiga bulan setelah suntikan terakhir tidak melakukan suntikan ulangan (hal. 81). Menindaklanjuti deklarasi ini, Indonesia mengambil peran kepemimpinan dalam pengembangan pelayanaan berkualitas melalui Program Pelatihan Internasional BKKBN. Sayangnya, Krisis Keuangan Asia (1998-2000) dan pelaksanaan desentralisasi radikal fungsi-fungsi pemerintahan (1999-2001) menyebabkan banyak tujuan-tujuan yang sudah dirancang oleh program keluarga berencana Indonesia tidak tercapai secepat yang diharapkan. Pemerintah pusat yang tidak setuju dengan desentralisasi juga menghambat banyak inovasi yang mungkin dapat dirancang oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, dua elemen kembar, hak-hak individu dan pelayanan berkualitas, masih terus menjadi kebijakan BKKBN dan Kementerian Kesehatan. Dalam konteks ini, pengembangan dan pelaksanaan konsep yang lebih luas tentang ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ menjadi sangat Duapuluh persen pengguna suntik KB menyatakan masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh metoda itu tidak ditangani (hal. 83). Hanya 16 persen perempuan yang mempunayi pengetahuan yang benar tentang masa subur(pertengahan dua haid), padahal hal ini sangat perlu untuk memfasilitasi penggunaan metoda pantang berkala untuk pencegahan kehamilan (hal.69). Masing-masing pernyataan tersebut menunjukkan ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ akan informasi, konseling, dan pilihan-pilihan metoda kontrasepsi. Jika ditambah dengan ukuran konvensional ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’, proporsi 2 perempuan yang membutuhkan tambahan menjadi meningkat tajam. pelayanan pertiga menggunakan pil hormonal harian atau suntikan hormonal bulanan atau tiga bulanan. Susuk KB juga bersifat hormonal tetapi jangka waktunya lama. Hanya sedikit perempuan yang menggunakan susuk KB atau IUD yang juga berjangka waktu lama meskipun kedua metoda kontrasepsi tersebut lebih andal daripada pil KB. Hampir tidak ada seorangpun yang menggunakan sterilisasi yang permanen dan bukan hormonal (baik tubektomi atau vasektomi) yang menawarkan jaminan bahwa pasangan tidak akan mengalamai kehamilan lagi. Tabel. 3 yang diolah dari SDKI 2007 memberi hasil yang serupa dan menunjukkan bahwa persentasi tinggi di kalangan perempuan yang ingin menunda kelahiran berikutnya juga tidak menggunakan kontrasepsi apapun. Suatu tanda bahwa kelahiran di Indonesia tidak diinginkan ditemukan pada proporsi perempuan yang menyatakan mereka tidak menginginkan (berniat) kehamilan terakhir mereka, atau jika mereka saat ini sedang hamil, mereka menyatakan bahwa ini adalah kehamilan yang tidak diinginkan (Tabel 1). Dalam Survei Transisi Penduduk Dewasa Muda pada 2010, sekitar 20 persen perempuan yang sedang tidak hamil mengatakan bahwa kelahiran anak mereka yang terakhir adalah tidak tepat waktunya atau tidak diinginkan. Kebutuhan yang Berbeda bagi Mereka yang Tidak Menginginkan Anak Lagi Ketika pasangan nikah telah mempunyai anak dengan jumlah yang mereka inginkan, dan memutuskan untuk tidak akan pernah hamil lagi, kebutuhan kontrasepsi mereka berbeda dengan ketika mereka hanya ingin menunda kehamilan. Tabel 2 menunjukkan bahwa di antara 3006 responden yang berusia 20-34 tahun dalam survei ‘Transisi Penduduk Dewasa Muda di Jakarta dan Sekitarnya’, pada tahun 2010 hampir 500 responden menyatakan bahwa tujuan memperoleh anak sudah tercapai dan mereka ingin mencegah kehamilan berikutnya. Memahami dan Memberi Dukungan Pelayanan Aborsi Aman Dari perkiraan 2 juta kejadian aborsi pertahun di Indonesia, lebih dari setengahnya merupakan penghentian kehamilan muda secara spontan yang memerlukan penanganan medis. Dari sisanya, sebagian besar adalah sengaja dilakukan oleh peremuan menikah yang mengalami kegagalan kontrasepsi, atau yang mengalami kehamilan tetapi secara psikologis dan ekonomis tidak mampu melanjutkannya. Hanya sepertiga dari aborsi disengaja (induced abortion) terjadi pada perempuan tidak menikah tetapi aktif melakukan hubungan seksual yang sering dicontohkan sebagai hal ‘umum’ dalam debat politis tentang aborsi. (B. Utomo, dkk., 2000, Tabel 11). Sekitar satu dari tiga responden yang tidak ingin mempunyai anak lagi tidak menggunakan kontrasepsi apapun meskipun mereka aktif melakukan hubungan seksual, dan hampir dua Table 1. Tingkat keinginan perempuan sedang hamil atau baru melahirkan usia 20-34 tahun, di Jakarta Keinginan terhadap kehamilan baru-baru ini Survei Penduduk Dewasa Muda di Jakarta Sedang Tidak hamil hamil SDKI 2007 sampel Jakarta Sedang hamil Tidak hamil Ya, menginginkan Ya,tetapi tida sekarang Sama sekali tidak menginingkan Tidak menjawab 85 11 78 13 93 6 88 10 4 0 6 2 1 -- 2 -- Total % Total N 100 92 100 1001 100 81 100 550 Sumber: The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey dan DHS 2007 3 Tabel 2. Metoda kontrasepsi yang digunakan oleh perempuan usia 20-34 tahun di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi yang tidak ingin punya anak lagi (Penggunaan bisa lebih dari satu metoda. Jumlah kolom persentase tidak 100) Laki-laki Tidak menggunakan kontrasepsi 35 Pil 20 Suntik 34 Norplan/Susuk KB 1 IUD 3 Kondom 4 Senggama terputus 0 Pantang berkala/metoda alamiah 3 Lainnya 1 Sterilisasi Perempuan 0 Total Persen 101 Total N 116 Sumber: The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey Perempuan 29 20 39 2 5 3 1 2 1 1 103 461 Tabel 3. Metoda kontrasepsi yang digunakan peremuan Jakarta usia 20-34 tahun menurut keinginannya mempunyai anak lagi Ingin dalam waktu 2 thn Ingin setelah 2 thn lagi Ingin, waktunya Tidak jelas Belum memutuskan Tidak ingin hamil lagi Tidak menggunakan kontrasepsi Pil Suntik Norplan/Susuk KB IUD Kondom Senggama terputus 83 3 8 1 2 1 1 25 16 44 2 5 5 1 22 11 48 7 7 4 0 65 4 23 0 4 0 0 20 19 44 4 3 6 3 Pantang berkala Masa menyusui (Lactational amenorrhea) 1 1 0 4 2 0 1 0 0 0 Sterilisasi Perempuan 0 0 0 0 0 Total % Total N Total persentase baris 100 179 21% 100 371 44% 100 27 3% 100 26 3% 100 239 28% 842 100% Sumber: Tabulasi dari data DHS 2007. Meskipun pendapat umum yang menyatakan aborsi profesi kesehatan (al POGI, IDI dan IBI). Hingga saat Source: Tabulation from data set of 2007 Indonesian Demographic and Health Survey (SDKI) adalah tidak sah, pada kenyataanya, UU No ini produk hukum UU Kesehatan No 36/2009 yang 36/2009 tentang Kesehatan menetapkan kondisiberhubungan dengan aborsi belum diterbitkan, kondisi dimana aborsi disengaja adalah sah. Dalam meskipun sudah didiskusikan dan ditelaah selama praktiknya, kebanyakan aborsi yang memerlukan lebih dari dua tahun. Penting artinya memformalpenanganan medis termasuk aborsi disengaja kan dan mensosialisasikan regulasi tersebut untuk adalah sah, dan memerlukan regulasi oleh yang menjamin tersedianya akses pelayanan aborsi yang berwenang di Kementerian Kesehatan dan asosiasi aman dan berkualitas tinggi. 4 Pilihan Kebijakan dan Prioritas mereka memperoleh pemecahan masalahnya dengan aman. Saat ini sebagian besar perempuan tidak mempunyai akses pada sumber-sumber penanganan aborsi spontan dan dengan demikian hampir semua perempuan dapat dikatakan mempunyai ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ akan pelayanan kesehatan reproduksi. Kementerian Kesehatan sebaiknya mengembangkan pelatihan dan manajemen yang tepat untuk menjamin pelayanan klinis untuk aborsi spontan tersedia di setiap kabupaten/kota di tanah air. Serangkaian intervensi yang dibutuhkan untuk pelayan tersebut telah dikaji oleh Griebel, dkk (2005): http://journals.dev.aafp.org/XML-journal-files/afp/ 2005/1001/.svn/text-base/afp20051001p1243.pdf. svn-base Penggunaan konsep ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ sebagai petunjuk kebijakan sangatlah tepat karena dapat mengarahkan pada kebutuhan, perilaku, dan masalah individu perempuan dan lakilaki di seluruh tanah air. Namun, rumusan saat ini tentang ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ oleh SDKI terlalu sempit untuk bisa mencakup kebutuhan reproduksi perempuan secara penuh sebagaimana digambarkan dalam hak-hak kesehatan dan reproduksi pada Program Aksi Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan. BKKBN sebaiknya mengembangkan lebih luas dan lebih spesifik indikator ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ yang diterapkan di tingkat nasional, provinsi, dan jika dimungkinkan, di kabupaten/ kota. Setiap tahun banyak perempuan menikah mengalami nasib buruk karena tidak menginginkan kehamilan akan tetapi mereka mengalami kegagalan kontrasepsi atau kegagalan dalam menggunakan alat KB. Perempuan tidak menikah tetapi aktif melakukan hubungan seksual dapat mengalami hal yang sama, seringkali berlawan dengan apa yang mereka inginkan. Beberapa perempuan dengan kehamilan yang tidak diinginkan menghadapi masalah medis dan ekonomi serius yang memerlukan pelayanan aborsi yang sah dan aman. Hal ini sudah diantisipasi dalam kerangka perbaikan terakhir UU Kesehatan No 36/2009, tetapi masih mememerlukan peraturan pelaksanaan yang ditebitkan oleh Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Tidak adanya regulasi yang jelas dan manajemen yang efektif pelayanan klinis aborsi spontan berakibat pada hampir satu juta perempuan per tahun yang kebutuhannya akan pelayanan tidak terpenuhi. Kementerian Kesehatan sebaiknya segera menyelesaikan peraturan pelaksanaan kesehatan reproduksi untuk UU Kesehatan No.36/2009, demi menghargai alasan-alasan yang benar untuk aborsi sengaja (induksi haid) yang diakui sah dalam UU tersebut. Tentu saja program keluarga berencana perlu melayani perempuan menikah yang ingin menghindari kehamilan tetapi saat ini tidak sedang menggunakan kontrasepsi. Mereka membutuhkan informasi, pilihan-pilihan metoda yang luas, dan akses pada penanganan tindaklajut yang tepat. Studi-studi pusat dan daerah tentang ‘kebutuhan yang tidak terpenuhi’ perlu diarahkan pada penysusunan anggaran daerah untuk pelayanan, bahan/alat-alat keluarga berencana, dan menggiring upaya-upaya untuk meningkatkan ketersediaan petugas kesehatan (per kapita). Langkah realistis mengenai kebutuhan yang tidak terpenuhi harus mencakup 60 persen perempuan menikah yang sedang menggunakan kontrasepsi, tetapi kondisi fisik dan keinginannya untuk menghentikan kehamilan mempunyai implikasi bahwa mereka harus mengganti metoda yang selama ini mereka gunakan dengan metoda yang lebih cocok dengan kondisinya. BKKBN dan Kementerian Kesehatan sebaiknya mengembangkan lembaran saran dan algoritma untuk memandu asesmen klinis dan memberi petunjuk bagi perempuan semua usia untuk membantu mereka memilih dan mengganti metoda kontrasepsi. Salah satu sumber untuk model penerapannya adalah: http://www.mja.com.au/ public/issues/178_12_160603/for10744_fm.html _____________ Setiap tahun di Indonesia hampir satu juta perempuan mengalami aborsi spontan yang memerlukan penanganan medis. Mereka membutuhkan akses pada bidan atau dokter yang memiliki keahlian dan peralatan untuk menjamin Judul naskah asli: “The 2010 Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey, Policy Brief No. 6, Rehthinking Unmet Reproductive Health Needs Among Young Adults”, diterjemahkan oleh Toto Purwanto. 5 Referensi: Dixon-Mueller, Ruth and Adrienne Germain, 1992. Stalking the Elusive "Unmet Need" for Family Planning, Studies in Family Planning,Vol. 23, No. 5 (Sep. - Oct), pp. 330-335. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1966531 Utomo, B., V. Hakim, A. H. Habsyah, Irwanto, L. Tampubolon, D. N. Wirawan, S. Jatiputra, K. N. Siregar, L. H. Tarigan, B.Affandi, Z.Tafal. 2001. “Incidence and Social-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia:A Community-Based Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000”, Jakarta: Center for Health Research University of Indonesia. Griebel, C.J., J. Halvorsen, T. B. Golemon, and A. A. Day,. 2005. Management of Spontaneous Abortion. American Family Physician 72:1243-50. ICPD – POA, 1994. International Conference on Population and Development – Program of Action. http://www.un.org/ecosocdev/ geninfo/ populatin/icpd.htm 6 Tim Peneliti tersebut. Dari setiap RT yang terpilih, dipilih 11 responden dengan menggunakan sampel acak sederhana (simple random sampling). Dengan menerapkan metode sampling tersebut terpilih sebanyak 3.006 responden. Australian Demographic and Social Research InstituteAustralian National University (ADSRI-ANU): Dr. Iwu Dwisetyani Utomo (Kepala/Peneliti Utama I) Prof. Peter McDonald (Peneliti Utama II) Prof. Terence Hull (Peneliti Utama III) Anna Reimondos Dr. Ariane Utomo Dua daftar pertanyaan digunakan dalam penelitian ini. Daftar pertanyaan pertama ditanyakan pada responden dengan menggunakan teknik wawancara mendalam yang dilakukan oleh pewawancara yang sudah dilatih. Daftar pertanyaan pertama meliputi pertanyaanpertanyaan tentang keadaan demografik dari responden dan juga tentang latar belakang orangtua responden dan suami/isteri bagi responden yang sudah menikah. Dalam daftar pertanyaan yang pertama ini ditanyakan tentang: sejarah pendidikan, pekerjaan dan migrasi; pendapatan dan keadaan ekonomi; kondisi pekerjaan; tempat tinggal; hubungan dengan lawan jenis dan pernikahan, jumlah anak, KB dan aborsi; kesehatan fisik dan mental serta kebahagiaan; tingkah laku merokok dan mimum minuman keras; keimanan, serta afiliasi pada organisasi keagamaan dan organisasi politik; norma-norma tentang gender, nilai anak dan pandangan-pandangan terhadap keadaan dunia. Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia: Dr. Sabarinah Prasetyo Prof. Budi Utomo Heru Suparno Dadun Yelda Fitria Asian Research Institute-National University of Singapore (ARI-NUS): Prof. Gavin Jones Bila ada pertanyaan tentang policy brief ini dapat ditanyakan melalui e-mail pada: [email protected] atau [email protected] Untuk menjaga kerahasiaan responden, daftar pertanyaan kedua yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang lebih sensitif, diisi sendiri oleh responden. Daftar pertanyaan ini diberikan pada responden dalam amplop dan dikembalikan pada interviewer setelah responden selesai menuliskan jawabannya. Untuk daftar pertanyaan yang kedua ini pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan meliputi perilaku seksual, praktek-praktek seks yang aman, pengetahuan tentang STDs/HIV/AIDS, akses pada pelayanan kesehatan reproduksi, dan pegunaan narkoba. Setelah survei selesai dilakukan, 100 responden dipilih secara random dan kemudian dilakukan wawancara yang mendalam terhadap responden yang terpilih tersebut. Deskripsi Studi dan Survei Transisi Penduduk Usia Muda 2010 di JATABEK Penelitian tentang transisi penduduk usia muda (20-34 tahun) ini dilakukan di JATABEK. Penelitian yang dibiayai oleh Australian Research Council, WHO, ADSRI-ANU dan ARI-NUS, merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan dalam dua tahap dengan metode gugus (cluster) dan dengan memakai metode probabilitas proporsional (probability proportional to size-PPS). Pada tahap pertama, ditarik 60 kelurahan dengan menggunakan PPS. Pada tahapan kedua, dari setiap kelurahan yang sudah dipilih, 5 Rukun Tetangga dipilih dengan menggunakan sampel acak sistematis (systematic random sampling). Dari 300 RT yang terpilih kemudian dilakukan sensus dan pemetaan. Sensus rumah tangga tersebut dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang umur, jenis kelamin, status pernikahan dan hubungan dengan kepala rumah tangga. Sensus ini dilakukan untuk semua anggota keluarga. Dari hasil sensus ini diperoleh daftar dari semua calon responden yang berusia antara 20-34 tahun yang tinggal di RT Berdasarkan hasil analisa peneltian ini akan dihasilkan sejumlah policy brief dan bila mendapatkan dana maka survei ini akan diulang setiap 3 tahun sekali selama 10 tahun dengan mewawancarai responden yang sama untuk mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada responden sehubungan dengan transisi kehidupannya dalam bidang karakteristik demografi responden, pendidikan dan karirnya.. Acknowledgement: Policy brief ini didanai oleh Australian Research Council, ADSRI-ANU, Ford Foundation, WHO, National University of Singapore, dan BAPPENAS. Jakarta, 11 Januari 2012. Australian Demographic and Social Research Institute The Australian National University Canberra ACT 0200, AUSTRALIA http://adsri.anu.edu.au Enquiries: +61 2 6125 3629 7