TUMBUH KEMBANG KONSEP KHILAFAH DALAM PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT MUSLIM Muhammad Misbahuddin, M.Hum1 Abstract. This paper attempts to explore the history of Islamic thought on the concept of the caliphate in context. The analysis showed that the concept of the caliphate as it can be corrected separately today did not exist in the term Rashid Rida Abduh's ideas. According to Rashid can only succeed Abduh concept if people in the early Islamic Islam. In theory, this study provides an explanation for the symptoms of growing school of thought is now a renewal and expansion of Islam in the 18th century. Keywords: history of Islamic thought, Rashid Rida, Abduh A. Pendahuluan Abad 18 merupakan periode kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya, yang selama beberapa abad yang lalu Umat Islam dinina bobokkan oleh kemegahan kemajuan Islam. Masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir melahirkan kesadaran di kalangan Umat Islam atas ketertinggalannya dengan dunia barat dalam segala bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, masyarakat muslim berbondong-bondong belajar ke Barat untuk menggali khazanah keilmuan modern agar dapat mengembalikan balance of power Islam. Namun demikian, konsekwensi dari kesadaran masyarakat yang tercerahkan ini melahirkan sebuah aliran pembaharuan yang merumuskan bagaimana Islam dapat keluar dari situasi kegelapan tersebut. Salah satu rumusan yang dikembangkan oleh aliran pembaharuan tersebut adalah konsep Khilafah. Konsep “Khilafah” merupakan sebuah term yang telah lama dikenal dalam dunia Islam.2 Bahkan di saat itupun, umat Islam berada dalam 1 Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAI Sunan Giri Ponorogo Dalam Islam konsep dan diskusi mengenai khialafah ini telah muncul semenjak abad ke 4 H atau 10 M. Perumusan tersebut terkait tentang kekudukan khalifah Abasiyyah yang sedang terancam oleh rongrongan dinasti baru, sehingga diperlukan sebuah legitimasi dari para ulama mengenai kedudukan khalifah saat itu. Lihat Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2004), 292. Karena itu, menurut hemat penulis, sejak lama dalam Islam telah terdapat sebuah perselingkuhan antara agama dan politik, dimana keduanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam pengertian lain, pada dasarnya agama memutuhkan politik karena dengan politik agama dapat berkembang dan terus bertahan. Sementara itu, politik meerlukan agama, karena agama dapat membantu pengembangan politik kedepan. 2 1 naungan khalifah Turki Usmani. Namun, menurut mereka, khilafah yang ada belum mampu mengembangkan masyarakat Islam untuk lebih maju, oleh karenanya perlu adanya reformasi yang fundamental dalam konsep tersebut.3 Gerakan ini memberikan aspek domino yang mendalam dalam dunia Islam lainnya. Di daerah-daerah muslim mulai dari Mesir, Aljazair, Libya, kemudian Indonesia tumbuh gerakan pembaharuan Islam. Akhir-akhir ini konsep penegakan khilafah dan penerapan syariat Islam kembali mengemuka dan menjadi tuntutan sebagian umat Islam di dunia. Mengemukanya kembali tuntutan umat Islam atas pelaksanaan dan penyelenggaraan kenegaraan dengan menggunakan asas syariah Islam tidak lepas dari gagalnya kepemimpinan nasional yang sekuler. Di satu sisi, munculnya term tersebut tidak dapat dilepaskan juga dari situasi dan kondisi yang menerpa masyarakat Islam yang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, munculnya AlQaeda, ISIS merupakan metaforfosis pembaharuan Islam yang telah lama ada. Tulisan ini bermaksud menelusuri sejarah pemikiran politik terhadap kemunculan konsep Khilafah di era modern. Dengan focus pembacaan yang demikian, kiranya dapat diketahui secara jelas, keberadaan dan posisi para pemikir tersebut atas wacana khilafah tersebut. Untuk itu, kiranya bangunan kerangka berfikirnya adalah menggunakan persepektif sejarah Intelektual. Menurut Crane Brinton sebagaimana yang dikutip oleh Kuntowijoyo mengatakan bahwa tugas sejarah pemikiran diantaranya adalah membicarakan pemikiranpemikiran besar yang berpengaruh pada peristiwa sejarah, dan melihat konteks sejarahnya tempat muncul, tumbuh dan berkembangnya, serta melihat pengaruh pemikiran tersebut di akar rumput.4 B. Pembahasan a. Sejarah Singkat Munculnya Konsep Khilafah Pada abad ke 19,5 dunia Islam berada dalam puncak kebangkitan Islam. Berbagai pandangan revitalisasi Islam muncul pada abad ini. Setidaknya pada 3 Serif Mardin, “Agama dan Politik dalam Negara Turki Modern” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed,.), Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1985), 220. 4 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 189 5 Batasan ini hanya mempermudah kajian dalam tulisan ini, disamping itu agar membatasai sosio historis kajian yang penulis tulis. Kalaupun penulis mengungkapkan sosio 2 masa tersebut lahir beberapa pandangan, yaitu Islam adat, kedua Islam alternative dan ketiga “Islam liberal”.6 Pandangan-pandangan tersebut, pada dasarnya saling mengisi antara satu dengan satu yang lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan yang terakhirlah yang kemudian mendominasi pandangan dunia Islam. Pandangan ini kemudian terpecah dan memiliki bentuknya sendiri-sendiri.7 Ketiganya mengalami perdebatan yang panjang, salah satu wacana yang berkembang adalah masalah khilafah. Kendatipun terdapat sejumlah ayat dalam Al-Quran mengenai konsep ini, namun tidak ada kesepakatan di antara para ulama mengenai apa dan bagaimana wujud Khilafah Islamiyah ini. Karena itu hal tesebut menjadi bahan perdebatan diantara para pemikir-pemikir Islam. Sepanjang sejarah Islam, kepemimpinan Islam selalu berada dalam naungan kekhalifahan Islam, hanya pada masa Nabi Muhammad, Islam tidak berada dalam naungan khalifah. Setidaknya sejarawan mencatat terdapat 82 dinasti yang memimpin umat Islam dipelbagai kawasan.8 Mereka silih berganti memimpin umat Islam, sehingga melahirkan pelbagai pemikiran politik Islam klasik mengenai keabsyahan kepemimpinan khalifah tersebut. Tidak kurang historis abad 18, hal tersebut adalah sambil lalu. Namun secara tekstual, hampir seluruh sejarawan menyepakati-meskipun terdapat sedikit perbedaan antara satu sejarawan dengan sejarawan lainnya, namun tidak terlalu prinsipil-bahwa pada masa pertengahan (1250-1800) Islam mengalami masa kemunduran. Baru pada abad 1800- sekarang Islam mulai menggeliat kembali. Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1 (Jakarta: UI Press, 2001), 5086. 6 Ciri yang pertama ditandai dengan kombinasi kebiasaan-kebiasaan daerah, sehingga pada golongan ini adat tetap dihormati sabagai sesuatu yang hidup. Ciri yang kedua, adat hanya akan mengaburkan esensi Islam, sehingga golongan ini selalu menyerang segala hal yang bersifat local. Ciri yang ketiga, menghadirkan masa lalu untuk kepentingan modernitas. Lihat Charles Kurzman,” Pengantar; Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Charles Kurzman (ed,.), Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001), Xv-Xvii. 7 Menurut Charles Kurzman, setidaknya terdapat tiga bentuk Islam liberal, yaitu Islam liberal dengan mengambil bentuk liberal terhadap sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari‟ah (Syariah Liberal). Salah satu tokohnya adalah Rasyid Ridha dan Muhammad Dha‟uddin ar-Rayis. Kedua tokoh ini sangat mandukung adanya khalifah Kedua, menyatakan bahwa Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari‟ah dibiarkan (Syariah yang diam), tokohnya adalah Ali Abd al-Raziq yang mengatakan bahwa Islam tidak menentukan corak pemerintahannya, sehingga umat Islam bebas menentukan pola pemerintahnnya sendiri, baik berupa kerajaan atau republik. Ketiga, memberikan kesan bahwa syari‟ah meskipun itu besifat ilahiyah, tetap memerlukan intrepretasi manusia (Syariah yang ditafsirkan). Ibid,.. Xxxiii. 8 C. E. Bosworth,. Dinasti-Dinasti Islam Terj. Ilyas Hasan (Bandung, Mizan, 1993),. 23241. 3 dari enam ulama‟ klasik maupun pertengahan yang mencoba merumuskan keabsyahan dan kriteria para khalifah tersebut.9 Di era modern, persoalan politik Islam tersebut menjelma ke dalam persoalan yang lebih kompleks. Setidaknya permasalahan tersebut dapat dipetakan menjadi dua bagian. Pertama persoalan internal umat Islam dan masalah eksternal. Dalam ranah internal, masyarakat Muslim tengah berada dalam pemikiran jumud, sehingga tidak ada pandangan-pandangan yang dapat mengarah kepada kebangkitan umat Islam dari keterpurukan. Namun demikian, kondisi tersebut menyebabkan keprihatinan kalangan muslim intelektual. Karna itu muncul gerakan pembaharuan di berbagai kawasan, baik itu di India, Mesir, Turki dan lain sebagainya.10 Di satu sisi, pasca kekalahan pada perang dunia I, kekuasaan Turki Ustmani semakin merosot, meskipun pembaharuan yang telah digagas oleh Mahmud II dan penerusnya terdapat kemajuan, namun tetap tidak dapat membuat institusi ini bangkit, bahkan dapat dikatakan gagal dalam pembaharuannya.11 Kondisi ini membuat Barat semakin leluasa untuk mengobok-obok kekuasaan Islam tersebut. Oleh karena itu, sebagian pemikir Islam berpendapat bahwa keadaan jumudnya masyarakat Muslim tersebut harus segera dihilangkan untuk kemudian diganti oleh faham yang lebih dinamis. Gerakan ini dimotori oleh Abduh dan murid-muridnya. Dalam perkembangannya, pemikiran yang dikembangkan Abduh ada yang disortir oleh murid-murinya, sehingga 9 Mulai dari Ibnu Abi Rabi, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun. Mereka memberikan kriteria yang cenderung berbeda-beda tehadap calon khalifah, namun secara prinsipnya, mereka semuanya mengakui keabsyahan adanya khalifah dalam dunia Islam.lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta: UI Press, 1993), 41-707. Munculnya pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari keyakinan bahwa adanya hubungan yang integral antara agama dan politik. Pemberontakan suku-suku Arab pasca wafatnya nabi tidak hanya sebuah penghiatan politik tetapi juga penghiatan agama. Karena itu, Abu Bakar berusaha meluruskan sesuatu yang bengkok tersebut. Pada masa berikutnya, persoalan tersebut terus mengemukan dalam ranah polilitik Islam. Puncaknya hilangnya kekuasaan Abbasiyah dan munculnya berbagai kerajaan dipelbagai kawasan Islam dengan mengatas namakan khalifah, menyebabkan pemikiran politik Islam terkait kekahalifahan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut tidak saja berdasarkan peristiwa deduktif maupun spekulatif tetapi juga bersiafat realitas politik.Lihat John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. Joesoef Sou‟yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),. 38-39. 10 R. Hrair Dekmejian, “Kebangkitan Islam; Katalisator, Kategori dan Konsekuensi” dalam Shireen T. Hunter (ed,.), Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),. 23 11 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 109. 4 melahirkan dua cabang pemikiran Islam. Pertama, reformis dan kedua revivalis. Kelompok yang kedua diwakili oleh Rasyid Ridha, salah satu murid Abduh. Ia memandang bahwa gerakan yang diusung gurunya akan mengalami kesuksesan lebih cepat bila Islam kembali kepada institusi awal, yaitu khalifah.12 Menurut Abdelilah Belkeziz, setidaknya terdapat dua hal yang mendorong Rasyid Ridha berfikir demikian, pertama masalah hukum dan masalah politik.13 Dalam masalah hukum, ia berpendapat bahwa Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat. Dalam hal ini umat mewakilkan kepada seseorang untuk menjalankan urusan tersebut sebagai wakilnya. Faham ini merupakan faham ulama‟ fiqih terdahulu, karena itu Ridha merupakan mendukung konsep-konsep pemikir terdahulu dalam hal khalifah.14 Dalam membangun kerangka berfikirnya tersebut, Rasyid selalu berangkat dari beberapa pendapat ulama‟ terdahulu diantaranya Mawardi dan Ibn Taymiyah, sehingga apa yang ditulis oleh para ulama‟ tersebut ia kemukakan kembali sebagai penegasan atas pentingnya khalifah. Karena itu, menurut Abdelilah Belkeziz Rasyid tidak memiliki kontribusi lebih atas 12 Kondisi ini setidaknya akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, mengapa Rasyid Ridha berpandangan lain daripada gurunya, Abduh. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persinggungan dan hubungannya dengan Muhammad ibn Wahab. Menurut hemat penulis, persinggungannya ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama aspek teologis, kedua aspek politik, dimana keduanya ini saling terkait berkelindan antara satu dengan yang lainnya. Aspek yang pertama, teologis, sedari semula, Rasyid memiliki kecenderungan salafi, pergaulannya yang terbatas timur tengah menyebabkan ia tidak memiliki wawasan teologi yang terbuka. Karena itu, ia mendukung gerakan yang diusung oleh Wahabi. Dukungannya itu di uraikan didalam kitabnya dan komentarnya terhadap para pengkritik gerakan wahabi. Lihat Nur Khalik Ridwan, Doktrin Wahabi dan Benih-benih Radikalisme Islam jilid 1 (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). 119. Aspek yang kedua, adalah politik, kekuasaan khalifah Turki Ustmani yang semakin lemah dan dihapuskannya khilafah dari dunia Islam menyebabkan Rasyid mencari pahlawan baru yang setipe dengan karakter kepribadian Rasyid. Di samping itu, kekecewaannya terhadap Kemal Attatruk menyebabkan ia mulai mendukung Ibn Sa‟ud dan bersipati kepada wahabi. Setelah mengunjungi Hijaz, ia menerbitkan sebuah karya yang memuji penguasa Saudi yang berhasil menyelamatkan Haramain dan pemangku kekuasaan Islam yang otentik. Dua tahun setelahnya, ia menerbitkan bunga rampai mengenai kelompok wahabi. Lihat Hamid Algar, Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2008), 91-92. 13 Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State to the State of the Khalifah: Renewal of Islamic Legal Politics” dalam The State in Contempory Islamic Thouht: A Historical Survey of the Major Muslim Political Tinkers of the Modern Era, trans. Abdullah Richard Lux, (London: I.B. Tauris Publishers In Association With The Centre For Arab Unity Studies, 2009), 73. 14 Ibid,. 73 5 pentingnya khalifah di bumi ini.15 Namun demikian, sebagai pemikir modern setidaknya perannya dalam perumusan konsep hukum Islam tetap diperhitungkan, setidaknya masih terdapat perbedaan antara Rasyid dengan pendahulunya. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep imamah dalam kerangka berfikirnya. Konsep ini selalu ia rumuskan bersama dengan konsep khalifah. Dimana kedua hal tersebut dalam sejarahnya selalu dipergunakan oleh dua kelompok politik yang berbeda, sehingga apa yang dia kemukakan berbeda dengan realitas politik Islam saat itu.16 Membaca kerangka berfikir Rasyid tetang masalah hukum tidak dapat dilepaskan dari persoalan semakin menurunnya kekuasaan Turki Ustmani di kalangan Islam. Kondisi ini membuat Rasyid merasa tertekan karena tidak adanya kesatuan Islam dalam sebuah kepemimpinan Islam. Karena itu, menurutnya kesatuan Islam sangatlah penting daripada sebuah system dari institusi khalifah itu sendiri. Institusi khilafah akan memiliki arti penting bila sanggup melindungi umat muslim dari segala gangguan. Saat ini kiranya sangat diperlukan adanya kebangkitan bagi institusi khilafah, agar mampu melindungi Islam dari serangan musuh-musuhnya.17 Dalam kerangka politik, kiranya pijakan yang ingin dibangun Rasyid berdasarkan sebuah realita kehidupan politik di internal khilafah sendiri. Korupsi dan absolutisme kekuasaan khilafah menyebabkan banyak golongan muda dari Turki yang berusaha membatasi kekuasan khilafah. Khilafah di Turki tidak lagi sebagai pengayom masyarakat, tetapi lebih sekedar penguasa yang dapat membunuh rakyatnya dengan peraturan yang dibuatnya.18 Karena itu, sebagian masyarakat Islam berbendapat bahwa kini khilafah bukan merupakan rahmah bagi orang muslim tetapi lebih merupakan fitnah. Situasi itu kemudian dipergunakan oleh kelompok al-Ittihad wa al-Taraqi untuk mereformasi pemerintahan Ustmani. Ridha dalam hal ini mendukung tindakan ini, karena ia tidak menginginkan kekuasaan khilafah dikotori oleh keabsolutan khalifahnya. 15 Ibid,. 73 Ibid,. 74. 17 Ibid,. 74 18 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 106. 16 6 Namun demikian, harapannya pupus oleh tindakan pemerintah yang baru itu, yang memberlakukan sewenang-wenang orang-orang yang bukan berasal dari Turki. Di samping itu, pemerintahan tersebut membiarkan Italia mengambil kota Tripoli dan Libia pada tahun 1911.19 Kekecewaan tersebut tetap tidak menggoyahkan Rasyid untuk mendukung khilafah Ustmani. Pergolakan di Turki semakin memanas, hingga munculnya Mustafa Kemal sebagai penyelamat Negara Turki. Ia dielu-elukan oleh masyarakat Turki karena berhasil mengalahkan pasukan Yunani.20 Harapan Rasyid muncul kembali kepada anak muda Turki ini. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, ideology politik Mustafa Kemal mulai berubah. Ia kemudian dengan berbagai cara membatasi gerak laju khalifah Abdul Majid. Ia berpendapat bahwa agama adalah sesuatu hal dan politik adalah sesuatu hal lain.21 Sebelum akhirnya khilafah dihapuskan 1924 dan menjadi Negara republik, kekuasaan khilafah dengan sedemikian rupa dibatasi geraknya, bahkan hingga hanya sebatas symbol kekuasaan agama an sich.22 Dengan demikian, peristiwa ini merupakan revolusi besar dalam pembentukan sebuah Negara, yang turut membuat Rasyid gusar akan keberlangsungan persatuan Islam. Dihapuskannya khilafah oleh Mustafa Kemal menyebabkan ia bangkit dan menyuarakan pendapatnya mengenai pentingnya institusi khilafah lewat majalah al-manar. Artikel-artikelnya di al-Manar yang senantiasa mendukung adanya khilafah dibukukannya dengan judul al-khilāfah aw al-Imāmah al‘Uzma (Kekhalifahan atau kepemimpinan agung).23 b. Konsep Khilafah dan Khalifah Kedua konsep ini sering mengemuka di kalangan Islam bila berkaitan dengan politik Islam. Namun core-nya dari dua konsep tersebut adalah khilafah dan imamah.24 Meskipun berlandaskan ayat suci al-Qur‟an, tetapi penggunaan 19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 130-131. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 136. 21 Dhiyauddin ar-Rayis, Islam dan Politik Bernegara terj: Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 6. 22 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 142-143. 23 Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, 79. 24 "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (Q.S. Al-Baqarah (2):30); "Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim 20 7 kedua trem dalam kancah politik Islam tersebut berbeda, kata khilafah dipergunakan oleh golongan Sunni, sedang imamah dipergunakan oleh kalangan Syi‟ah. Namun demikian, kedua istilah tersebut terkadang memiliki pengertian yang hampir serupa, dengan kata lain serupa tapi tidak sama. Kata khilafah sendiri berasal dari kata khalafa (kh-l-f) yang berarti mengganti atau menggantikan.25 Secara grammatical arab, kata khilafah merupakan kata benda verbal mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang aktif yang disebut khalifah. Kata khalā’if meruapakan bentuk plural dari khalifah, sedangkan kata khulafa‟ adalah bentuk plural dari khālif.26 Dengan demikian, tidak ada sebuah khilafah tanpa adanya khalifah, karena khilafah merupakan system pemerintahan Islam yang telah dikenal sejak lama dan berlandaskan al-Qur‟an dan sunnah. Salah satu ulama klasik, Mawardi mengartikan imam sebagai kedudukan yang diadakan untuk mengganti kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengendalikan politik. Dengan demikian seorang imam di satu sisi merupakan pemimpin agama dan di sisi lain adalah pemimpin politik.27 Kekuasaan khalifah terhadap urusan agama itu tidak ada hubungannya dengan sifat ketuhanan atau kekuasaannnya, akan tetapi hal tersebut merupakan usaha dari pemikir Islam yang percaya bahwa untuk menjaga agama dan politik adalah dengan mengangkat khalifah. Karena itu, seorang khalifah haruslah senantiasa memegang beberapa prinsip. Prinsip pertama yang harus diyakini dan dipegangi adalah bahwa seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah, karena Dia-lah yang menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa syariah Islam telah ditetapkan Allah untuk membimbing umat manusia dalam menjalankan fungsi khilafahnya di bumi ini. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, suatu negara yang diatur menurut syariah Islam secara teknis disebut Khilafah al-Islamiyah, yang menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi semua umat manusia..." (Q.S. Al-Baqarah (2):124). 25 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 361. 26 Ali „Abd ar-Rāziq, Islam dasar-dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam terj. M. Zaid Su‟di (Yogyakarta: Jendela, 2002), 3. 27 Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, hlm 80. Lihat juga Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,. 63. 8 menurut Qamaruddin Khan, negara yang terikat oleh kaidah yang demikian dapat dinamakan sebagai negara agama.28 Namun demikian, seorang khalifah tidak dapat dicapai oleh semua orang atau suku. Rasyid Ridha mensyaratkan bahwa khalifah itu harus merupakan atau berasal suku Quraisy. Hal ini ia ambil dari pendapatnya Mawardi dan Ibn Khaldun. Banyak pemikir Islam yang berbeda pendapat mengenai kata Quraisy ini. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut adalah syarat yang tersirat. Dalam arti siapapun dapat menjadi khalifah dengan catatan bahwa ia mampu dalam mengemban amanah tersebut. Di sisi lain terdapat pemikir yang secara tekstual memaknai kata tersebut, dan salah satu pendukungnya adalah Rasyid Ridha.29 Namun demikian, bangunan politik Islam tidak dapat dilepaskan oleh adanya ummah. Ummah mempunyai peranan penting dalam politik Islam. Ia merupakan totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terikat oleh tali ikatan agama, bukan tali kekeluargaan ataupun ras. Di samping itu, ia memiliki kekuatan yang luar biasa dan kekuasan dan kesuciannya dapat disejajarkan dengan Nabi saw. Akan tetapi ummah tidak dapat berdiri bila tidak ada pemimpin yang disetujui oleh ummah tersebut. Karena itu, pemimpin membutuhkan baiat dari ummah.30 Dalam kerangka politik, scup ummah ini dalam kerangka politik diperluas, sehingga orang yang berpengetahuan, berbakat, dan berpengaruh turut dalam proses tersebut. Terkait dengan hal tersebut, Rasyid mengemukakan bahwa khalifah baiat yang diberikan oleh ummah diwakili oleh Ahl al-Halli wal ‘Aqdi.31 Dengan demikian, seluruh ummah berada dalam satu keyakinan, satu moral, dan tunduk dalam satu hukum dibawah pimpinan khalifah. Karena itu, menurut Rasyid kiranya negara yang baik adalah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kekuasaan khalifah yang begitu luas, baik duniawi maupun 28 Qamaruddin Khan, Kekuasaan Penghiatan dan Otoritas Agama; telaah Kritis teori AlMawardi tentang negara terj: Imron Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 3. 29 Persyaratan tersebut di dasari oleh sebuah hadits yang kali pertama dimunculkan oleh Abu Bakar ketika dalam perselisihan di Bani Saadah. Lihat Ahmad Khairuddin, Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Mi Quraisy (Banjarmasin: Antari Press, 2003), 163-212. 30 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam terj. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 95. 31 Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, 82 9 agama tersebut menyebabkan seorang khalifah harus mempunyai sifat mujtahid. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak boleh menjadikannnya sebagai penguasa yang absolud, karenanya ia selalu dipandu oleh syariah Islam dan di monitor oleh Ahll al-Halli wal ‘Aqdi. c. Konsep Ahl al-Halli wal ‘Aqdi Dalam kajian politik Islam, sekumpulan orang yang mewakili orang ramai seringkali di sebut Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Mereka tidak mewakili nama mereka masing-masing, akan tetapi mereka bertindak sebagai wakil ummah. Sebagai pengusung faham modern, tentunya Rasyid berusaha mengususung dan mereformasi politik lewat Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Konsepnya mengenai Ahl al- Halli wal ‘Aqdi sedikit berbeda dengan ulama‟ klasik. Bila konsep ulama‟ klasik, yang berhak memilih khalifah adalah sekumpulan ulama atau ahli agama yang sudah menjadi mujtahid. Sedangkan Rasyid menawarkan tidak hanya mujtahid saja, tetapi segala orang dalam segala bidang, baik pedagang, insinyur dan lain sebagainya.32 Namun demikian, konsepnya tersebut kurang begitu jelas, terutama terkait dengan pengangkatan personil Ahl al-Halli wal ‘Aqdi, apakah peronel tersebut dipilih oleh rakyat dan khalifah ataupun ditunjuk oleh mereka berdua. Ia hanya mensyaratkan bahwa setiap personel yang masuk dalam Ahl al-Halli wal ‘Aqdi haruslah orang yang berilmu dan mampu berijtihad.33 Hal ini hampir ditemukan di semua konsep pemikir Islam klasik maupun pertengahan tentang Ahl alHalli wal ‘Aqdi. Mereka hanya memberikan syarat anggota saja, namun bagaimana aplikasi dan prakteknya di serahkan kepada masyarakat sendiri. Ketidak jelasan konsepnya tersebut semakin terlihat ketika ia memberi contoh orang-orang yang layak menjadi personel Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya golongan yang layak untuk menduduki Ahl al-Halli wal ‘Aqdi adalah ulama yang bercirikan Islam Moderat. Dalam arti lain, hanya kelompok dari Muhammad Abduh dan murid-muridnyalah yang layak menduduki jabatan Ahl al- 32 33 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 134. Ibid,. 134. 10 Halli wal ‘Aqdi.34 Hal ini karena moderasinya mereka dalam beragama, sehingga dapat menuntut khalifah untuk menciptakan kemakmuran di seluruh muka bumi.35 Kecintaannya terhadap institusi khilafah menyebabkan Rasyid berusaha menawarkan program dan tanggung jawab Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Ia menekankan bahwa tugas institusi tersebbut tidak hanya berhenti kepada pemilihan dan pengangkatan khalifah, tetapi juga sebagai pengawas pemerintahan. Menurutnya, institusi tersebut harus dapat melakukan perlawanan terhadap kezaliman dan ketidak adilan khalifah yang terpilih.36 Hal ini terkait kondisi politik Islam yang telah terjadi penggembosan yang dilakukan oleh para khalifah dan sultan yang ada. C. Simpulan Pemikiran politik Islam pada masa modern umumnya berangkat daripada perdebatan yang besar terkait hubungan antara agama dengan politik. Berbicara tentang agama dan politik, maka tidak terlepaskan dari perdebatan yang panjang mengenai imamah dan khilafah. Kondisi politik Islam yang begitu muram, menyebabkan Rasyid Ridha berusaha mengembalikan kejayaan Islam melalui konsep khilafahnya. Munculnya agenda pembaharuan ini muncul akaibat legalitas dan kekuasaan Islam tidak memberikan kesejukan dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu Rasyid mencoba memberikan kontribusi pemikiran untuk mengatasi kondisi masyarakat Islam. Namun demikian, sebagai pembaharu Rasyid tetap memiliki keterbatasan, sehingga terkesan pembaharuannnya tidak secara total dalam mereformasi kejumudan Islam. Kiranya, keterbatasan pergaulannya terhadap pemikir Eropa menyebabkan ia hanya mampu mengambil dan mengolah sesuatu hasil pemikiran yang telah lama ada di dunia Islam. 34 Muchoto Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fiqih Politik) (Yogyakarta: GamaMedia, 2004), 42. 35 Menurut interpretasi penulis, hal ini dilakukan oleh Rasyid karena ia tidak ingin gagasan Negara idealnya mudah terkoyak akibat “kebodohan” umat Islam dalam memandang masa depan. 36 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 63. 11 D. Daftar Pustaka Algar, Hamid. Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis terj. Rudy Harisyah Alam Jakarta: Paramadina, 2008 Bosworth, C. E. Dinasti-Dinasti Islam Terj. Ilyas Hasan Bandung, Mizan, 1993. Belkeziz, Abdelilah.“ From the Nation State to the State of the Khalifah: Renewal of Islamic Legal Politics” dalam The State in Contempory Islamic Thouht: A Historical Survey of the Major Muslim Political Tinkers of the Modern Era, trans. Abdullah Richard Lux, London: I.B. Tauris Publishers In Association With The Centre For Arab Unity Studies, 2009. Dekmejian, R. Hrair. “Kebangkitan Islam; Katalisator, Kategori dan Konsekuensi” dalam Shireen T. Hunter (ed,.), Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan terj. Ajat Sudrajat Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001. Esposito, John L. Islam dan Politik, terj. Joesoef Sou‟yb Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Hamzah, Muchoto.Menjadi GamaMedia, 2004 Politisi Islami (Fiqih Politik) Yogyakarta: Hourani, Albert.Sejarah Bangsa-bangsa Muslim terj. Irfan Abubakar Bandung: Mizan, 2004 Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang pemerintahan Islam terj. Masrohin Surabaya: Risalah Gusti, 1999 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003. Kurzman, Charles. ”Pengantar; Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Charles Kurzman (ed,.), Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global Jakarta: Paramadina, 2001. Khan, Qamaruddin . Kekuasaan Penghiatan dan Otoritas Agama; telaah Kritis teori Al-Mawardi tentang negara terj: Imron Rosyidi Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Khairuddin, Ahmad. Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Mi Quraisy Banjarmasin: Antari Press, 2003. Mardin, Serif,“Agama dan Politik dalam Negara Turki Modern” dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed,.), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor, 1985 12 Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1 Jakarta: UI Press, 2001. ………………….. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 2003. Rayis, Dhiyauddin ar-. Islam dan Politik Bernegara terj: Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002. ar-Rāziq, Ali „Abd. .Islam dasar-dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam terj. M. Zaid Su‟di Yogyakarta: Jendela, 2002. Ridwan, Nur Khalik. Doktrin Wahabi dan Benih-benih Radikalisme Islam jilid 1 Yogyakarta: Tanah Air, 2009. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran Jakarta: UI Press, 1993. 13