TUMBUH KEMBANG KONSEP KHILAFAH DALAM PEMIKIRAN

advertisement
TUMBUH KEMBANG KONSEP KHILAFAH DALAM
PEMIKIRAN POLITIK MASYARAKAT MUSLIM
Muhammad Misbahuddin, M.Hum1
Abstract. This paper attempts to explore the history of Islamic thought on
the concept of the caliphate in context. The analysis showed that the
concept of the caliphate as it can be corrected separately today did not exist
in the term Rashid Rida Abduh's ideas. According to Rashid can only
succeed Abduh concept if people in the early Islamic Islam. In theory, this
study provides an explanation for the symptoms of growing school of
thought is now a renewal and expansion of Islam in the 18th century.
Keywords: history of Islamic thought, Rashid Rida, Abduh
A. Pendahuluan
Abad 18 merupakan periode kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya,
yang selama beberapa abad yang lalu Umat Islam dinina bobokkan oleh
kemegahan kemajuan Islam. Masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir melahirkan
kesadaran di kalangan Umat Islam atas ketertinggalannya dengan dunia barat
dalam segala bidang, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Karena itu,
masyarakat muslim berbondong-bondong belajar ke Barat untuk menggali
khazanah keilmuan modern agar dapat mengembalikan balance of power Islam.
Namun demikian, konsekwensi dari kesadaran masyarakat yang tercerahkan ini
melahirkan sebuah aliran pembaharuan yang merumuskan bagaimana Islam dapat
keluar dari situasi kegelapan tersebut.
Salah satu rumusan yang dikembangkan oleh aliran pembaharuan tersebut
adalah konsep Khilafah. Konsep “Khilafah” merupakan sebuah term yang telah
lama dikenal dalam dunia Islam.2 Bahkan di saat itupun, umat Islam berada dalam
1
Dosen Tetap Fakultas Dakwah IAI Sunan Giri Ponorogo
Dalam Islam konsep dan diskusi mengenai khialafah ini telah muncul semenjak abad ke
4 H atau 10 M. Perumusan tersebut terkait tentang kekudukan khalifah Abasiyyah yang sedang
terancam oleh rongrongan dinasti baru, sehingga diperlukan sebuah legitimasi dari para ulama
mengenai kedudukan khalifah saat itu. Lihat Albert Hourani, Sejarah Bangsa-bangsa Muslim terj.
Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2004), 292. Karena itu, menurut hemat penulis, sejak lama
dalam Islam telah terdapat sebuah perselingkuhan antara agama dan politik, dimana keduanya
memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Dalam pengertian lain, pada dasarnya agama
memutuhkan politik karena dengan politik agama dapat berkembang dan terus bertahan.
Sementara itu, politik meerlukan agama, karena agama dapat membantu pengembangan politik
kedepan.
2
1
naungan khalifah Turki Usmani. Namun, menurut mereka, khilafah yang ada
belum mampu mengembangkan masyarakat Islam untuk lebih maju, oleh
karenanya perlu adanya reformasi yang fundamental dalam konsep tersebut.3
Gerakan ini memberikan aspek domino yang mendalam dalam dunia Islam
lainnya. Di daerah-daerah muslim mulai dari Mesir, Aljazair, Libya, kemudian
Indonesia tumbuh gerakan pembaharuan Islam.
Akhir-akhir ini konsep penegakan khilafah dan penerapan syariat Islam
kembali mengemuka dan menjadi tuntutan sebagian umat Islam di dunia.
Mengemukanya
kembali
tuntutan
umat
Islam
atas
pelaksanaan
dan
penyelenggaraan kenegaraan dengan menggunakan asas syariah Islam tidak lepas
dari gagalnya kepemimpinan nasional yang sekuler. Di satu sisi, munculnya term
tersebut tidak dapat dilepaskan juga dari situasi dan kondisi yang menerpa
masyarakat Islam yang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, munculnya AlQaeda, ISIS merupakan metaforfosis pembaharuan Islam yang telah lama ada.
Tulisan ini bermaksud menelusuri sejarah pemikiran politik terhadap
kemunculan konsep Khilafah di era modern. Dengan focus pembacaan yang
demikian, kiranya dapat diketahui secara jelas, keberadaan dan posisi para
pemikir tersebut atas wacana khilafah tersebut. Untuk itu, kiranya bangunan
kerangka berfikirnya adalah menggunakan persepektif sejarah Intelektual.
Menurut Crane Brinton sebagaimana yang dikutip oleh Kuntowijoyo mengatakan
bahwa tugas sejarah pemikiran diantaranya adalah membicarakan pemikiranpemikiran besar yang berpengaruh pada peristiwa sejarah, dan melihat konteks
sejarahnya tempat muncul, tumbuh dan berkembangnya, serta melihat pengaruh
pemikiran tersebut di akar rumput.4
B. Pembahasan
a. Sejarah Singkat Munculnya Konsep Khilafah
Pada abad ke 19,5 dunia Islam berada dalam puncak kebangkitan Islam.
Berbagai pandangan revitalisasi Islam muncul pada abad ini. Setidaknya pada
3
Serif Mardin, “Agama dan Politik dalam Negara Turki Modern” dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra (ed,.), Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1985),
220.
4
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 189
5
Batasan ini hanya mempermudah kajian dalam tulisan ini, disamping itu agar
membatasai sosio historis kajian yang penulis tulis. Kalaupun penulis mengungkapkan sosio
2
masa tersebut lahir beberapa pandangan, yaitu Islam adat, kedua Islam
alternative dan ketiga “Islam liberal”.6 Pandangan-pandangan tersebut, pada
dasarnya saling mengisi antara satu dengan satu yang lainnya. Namun, seiring
berjalannya waktu, pandangan yang terakhirlah yang kemudian mendominasi
pandangan dunia Islam. Pandangan ini kemudian terpecah dan memiliki
bentuknya sendiri-sendiri.7 Ketiganya mengalami perdebatan yang panjang,
salah satu wacana yang berkembang adalah masalah khilafah. Kendatipun
terdapat sejumlah ayat dalam Al-Quran mengenai konsep ini, namun tidak ada
kesepakatan di antara para ulama mengenai apa dan bagaimana wujud Khilafah
Islamiyah ini. Karena itu hal tesebut menjadi bahan perdebatan diantara para
pemikir-pemikir Islam.
Sepanjang sejarah Islam, kepemimpinan Islam selalu berada dalam
naungan kekhalifahan Islam, hanya pada masa Nabi Muhammad, Islam tidak
berada dalam naungan khalifah. Setidaknya sejarawan mencatat terdapat 82
dinasti yang memimpin umat Islam dipelbagai kawasan.8 Mereka silih berganti
memimpin umat Islam, sehingga melahirkan pelbagai pemikiran politik Islam
klasik mengenai keabsyahan kepemimpinan khalifah tersebut. Tidak kurang
historis abad 18, hal tersebut adalah sambil lalu. Namun secara tekstual, hampir seluruh sejarawan
menyepakati-meskipun terdapat sedikit perbedaan antara satu sejarawan dengan sejarawan
lainnya, namun tidak terlalu prinsipil-bahwa pada masa pertengahan (1250-1800) Islam
mengalami masa kemunduran. Baru pada abad 1800- sekarang Islam mulai menggeliat kembali.
Lihat Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1 (Jakarta: UI Press, 2001), 5086.
6
Ciri yang pertama ditandai dengan kombinasi kebiasaan-kebiasaan daerah, sehingga
pada golongan ini adat tetap dihormati sabagai sesuatu yang hidup. Ciri yang kedua, adat hanya
akan mengaburkan esensi Islam, sehingga golongan ini selalu menyerang segala hal yang bersifat
local. Ciri yang ketiga, menghadirkan masa lalu untuk kepentingan modernitas. Lihat Charles
Kurzman,” Pengantar; Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam Charles Kurzman (ed,.),
Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2001),
Xv-Xvii.
7
Menurut Charles Kurzman, setidaknya terdapat tiga bentuk Islam liberal, yaitu Islam
liberal dengan mengambil bentuk liberal terhadap sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh
syari‟ah (Syariah Liberal). Salah satu tokohnya adalah Rasyid Ridha dan Muhammad Dha‟uddin
ar-Rayis. Kedua tokoh ini sangat mandukung adanya khalifah Kedua, menyatakan bahwa Muslim
bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari‟ah dibiarkan (Syariah yang diam),
tokohnya adalah Ali Abd al-Raziq yang mengatakan bahwa Islam tidak menentukan corak
pemerintahannya, sehingga umat Islam bebas menentukan pola pemerintahnnya sendiri, baik
berupa kerajaan atau republik. Ketiga, memberikan kesan bahwa syari‟ah meskipun itu besifat
ilahiyah, tetap memerlukan intrepretasi manusia (Syariah yang ditafsirkan). Ibid,.. Xxxiii.
8
C. E. Bosworth,. Dinasti-Dinasti Islam Terj. Ilyas Hasan (Bandung, Mizan, 1993),. 23241.
3
dari enam ulama‟ klasik maupun pertengahan yang mencoba merumuskan
keabsyahan dan kriteria para khalifah tersebut.9
Di era modern, persoalan politik Islam tersebut menjelma ke dalam
persoalan yang lebih kompleks. Setidaknya permasalahan tersebut dapat
dipetakan menjadi dua bagian. Pertama persoalan internal umat Islam dan
masalah eksternal. Dalam ranah internal, masyarakat Muslim tengah berada
dalam pemikiran jumud, sehingga tidak ada pandangan-pandangan yang dapat
mengarah kepada kebangkitan umat Islam dari keterpurukan. Namun demikian,
kondisi tersebut menyebabkan keprihatinan kalangan muslim intelektual.
Karna itu muncul gerakan pembaharuan di berbagai kawasan, baik itu di India,
Mesir, Turki dan lain sebagainya.10 Di satu sisi, pasca kekalahan pada perang
dunia I, kekuasaan Turki Ustmani semakin merosot, meskipun pembaharuan
yang telah digagas oleh Mahmud II dan penerusnya terdapat kemajuan, namun
tetap tidak dapat membuat institusi ini bangkit, bahkan dapat dikatakan gagal
dalam pembaharuannya.11 Kondisi ini membuat Barat semakin leluasa untuk
mengobok-obok kekuasaan Islam tersebut.
Oleh karena itu, sebagian pemikir Islam berpendapat bahwa keadaan
jumudnya masyarakat Muslim tersebut harus segera dihilangkan untuk
kemudian diganti oleh faham yang lebih dinamis. Gerakan ini dimotori oleh
Abduh dan murid-muridnya. Dalam perkembangannya, pemikiran yang
dikembangkan Abduh ada yang disortir oleh murid-murinya, sehingga
9
Mulai dari Ibnu Abi Rabi, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu
Khaldun. Mereka memberikan kriteria yang cenderung berbeda-beda tehadap calon khalifah,
namun secara prinsipnya, mereka semuanya mengakui keabsyahan adanya khalifah dalam dunia
Islam.lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), 41-707. Munculnya pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari keyakinan bahwa
adanya hubungan yang integral antara agama dan politik. Pemberontakan suku-suku Arab pasca
wafatnya nabi tidak hanya sebuah penghiatan politik tetapi juga penghiatan agama. Karena itu,
Abu Bakar berusaha meluruskan sesuatu yang bengkok tersebut. Pada masa berikutnya, persoalan
tersebut terus mengemukan dalam ranah polilitik Islam. Puncaknya hilangnya kekuasaan
Abbasiyah dan munculnya berbagai kerajaan dipelbagai kawasan Islam dengan mengatas namakan
khalifah, menyebabkan pemikiran politik Islam terkait kekahalifahan selalu mengalami
perkembangan. Perkembangan tersebut tidak saja berdasarkan peristiwa deduktif maupun
spekulatif tetapi juga bersiafat realitas politik.Lihat John L. Esposito, Islam dan Politik, terj.
Joesoef Sou‟yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990),. 38-39.
10
R. Hrair Dekmejian, “Kebangkitan Islam; Katalisator, Kategori dan Konsekuensi”
dalam Shireen T. Hunter (ed,.), Politik Kebangkitan Islam Keragaman dan Kesatuan terj. Ajat
Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),. 23
11
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 109.
4
melahirkan dua cabang pemikiran Islam. Pertama, reformis dan kedua
revivalis. Kelompok yang kedua diwakili oleh Rasyid Ridha, salah satu murid
Abduh. Ia memandang bahwa gerakan yang diusung gurunya akan mengalami
kesuksesan lebih cepat bila Islam kembali kepada institusi awal, yaitu
khalifah.12
Menurut Abdelilah Belkeziz, setidaknya terdapat dua hal yang
mendorong Rasyid Ridha berfikir demikian, pertama masalah hukum dan
masalah politik.13 Dalam masalah hukum, ia berpendapat bahwa Islam telah
menjadikan pemerintahan dan kekuasaan menjadi milik umat. Dalam hal ini
umat mewakilkan kepada seseorang untuk menjalankan urusan tersebut sebagai
wakilnya. Faham ini merupakan faham ulama‟ fiqih terdahulu, karena itu
Ridha merupakan mendukung konsep-konsep pemikir terdahulu dalam hal
khalifah.14
Dalam membangun kerangka berfikirnya tersebut, Rasyid selalu
berangkat dari beberapa pendapat ulama‟ terdahulu diantaranya Mawardi dan
Ibn Taymiyah, sehingga apa yang ditulis oleh para ulama‟ tersebut ia
kemukakan kembali sebagai penegasan atas pentingnya khalifah. Karena itu,
menurut Abdelilah Belkeziz Rasyid tidak memiliki kontribusi lebih atas
12
Kondisi ini setidaknya akan menimbulkan sebuah pertanyaan besar, mengapa Rasyid
Ridha berpandangan lain daripada gurunya, Abduh. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari
persinggungan dan hubungannya dengan Muhammad ibn Wahab. Menurut hemat penulis,
persinggungannya ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama aspek teologis, kedua
aspek politik, dimana keduanya ini saling terkait berkelindan antara satu dengan yang lainnya.
Aspek yang pertama, teologis, sedari semula, Rasyid memiliki kecenderungan salafi, pergaulannya
yang terbatas timur tengah menyebabkan ia tidak memiliki wawasan teologi yang terbuka. Karena
itu, ia mendukung gerakan yang diusung oleh Wahabi. Dukungannya itu di uraikan didalam
kitabnya dan komentarnya terhadap para pengkritik gerakan wahabi. Lihat Nur Khalik Ridwan,
Doktrin Wahabi dan Benih-benih Radikalisme Islam jilid 1 (Yogyakarta: Tanah Air, 2009). 119.
Aspek yang kedua, adalah politik, kekuasaan khalifah Turki Ustmani yang semakin lemah dan
dihapuskannya khilafah dari dunia Islam menyebabkan Rasyid mencari pahlawan baru yang
setipe dengan karakter kepribadian Rasyid. Di samping itu, kekecewaannya terhadap Kemal
Attatruk menyebabkan ia mulai mendukung Ibn Sa‟ud dan bersipati kepada wahabi. Setelah
mengunjungi Hijaz, ia menerbitkan sebuah karya yang memuji penguasa Saudi yang berhasil
menyelamatkan Haramain dan pemangku kekuasaan Islam yang otentik. Dua tahun setelahnya, ia
menerbitkan bunga rampai mengenai kelompok wahabi. Lihat Hamid Algar, Wahhabisme; Sebuah
Tinjauan Kritis terj. Rudy Harisyah Alam (Jakarta: Paramadina, 2008), 91-92.
13
Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State to the State of the Khalifah: Renewal of
Islamic Legal Politics” dalam The State in Contempory Islamic Thouht: A Historical Survey of the
Major Muslim Political Tinkers of the Modern Era, trans. Abdullah Richard Lux, (London: I.B.
Tauris Publishers In Association With The Centre For Arab Unity Studies, 2009), 73.
14
Ibid,. 73
5
pentingnya khalifah di bumi ini.15 Namun demikian, sebagai pemikir modern
setidaknya
perannya
dalam
perumusan
konsep
hukum
Islam
tetap
diperhitungkan, setidaknya masih terdapat perbedaan antara Rasyid dengan
pendahulunya. Hal ini terlihat dengan munculnya konsep imamah dalam
kerangka berfikirnya. Konsep ini selalu ia rumuskan bersama dengan konsep
khalifah. Dimana kedua hal tersebut dalam sejarahnya selalu dipergunakan
oleh dua kelompok politik yang berbeda, sehingga apa yang dia kemukakan
berbeda dengan realitas politik Islam saat itu.16
Membaca kerangka berfikir Rasyid tetang masalah hukum tidak dapat
dilepaskan dari persoalan semakin menurunnya kekuasaan Turki Ustmani di
kalangan Islam. Kondisi ini membuat Rasyid merasa tertekan karena tidak
adanya kesatuan Islam dalam sebuah kepemimpinan Islam. Karena itu,
menurutnya kesatuan Islam sangatlah penting daripada sebuah system dari
institusi khalifah itu sendiri. Institusi khilafah akan memiliki arti penting bila
sanggup melindungi umat muslim dari segala gangguan. Saat ini kiranya
sangat diperlukan adanya kebangkitan bagi institusi khilafah, agar mampu
melindungi Islam dari serangan musuh-musuhnya.17
Dalam kerangka politik, kiranya pijakan yang ingin dibangun Rasyid
berdasarkan sebuah realita kehidupan politik di internal khilafah sendiri.
Korupsi dan absolutisme kekuasaan khilafah menyebabkan banyak golongan
muda dari Turki yang berusaha membatasi kekuasan khilafah. Khilafah di
Turki tidak lagi sebagai pengayom masyarakat, tetapi lebih sekedar penguasa
yang dapat membunuh rakyatnya dengan peraturan yang dibuatnya.18 Karena
itu, sebagian masyarakat Islam berbendapat bahwa kini khilafah bukan
merupakan rahmah bagi orang muslim tetapi lebih merupakan fitnah. Situasi
itu kemudian dipergunakan oleh kelompok al-Ittihad wa al-Taraqi untuk
mereformasi pemerintahan Ustmani. Ridha dalam hal ini mendukung tindakan
ini, karena ia tidak menginginkan kekuasaan khilafah dikotori oleh keabsolutan
khalifahnya.
15
Ibid,. 73
Ibid,. 74.
17
Ibid,. 74
18
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 106.
16
6
Namun demikian, harapannya pupus oleh tindakan pemerintah yang
baru itu, yang memberlakukan sewenang-wenang orang-orang yang bukan
berasal dari Turki. Di samping itu, pemerintahan tersebut membiarkan Italia
mengambil kota Tripoli dan Libia pada tahun 1911.19 Kekecewaan tersebut
tetap tidak menggoyahkan Rasyid untuk mendukung khilafah Ustmani.
Pergolakan di Turki semakin memanas, hingga munculnya Mustafa Kemal
sebagai penyelamat Negara Turki. Ia dielu-elukan oleh masyarakat Turki
karena berhasil mengalahkan pasukan Yunani.20 Harapan Rasyid muncul
kembali kepada anak muda Turki ini. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu, ideology politik Mustafa Kemal mulai berubah. Ia kemudian dengan
berbagai cara membatasi gerak laju khalifah Abdul Majid. Ia berpendapat
bahwa agama adalah sesuatu hal dan politik adalah sesuatu hal lain.21
Sebelum akhirnya khilafah dihapuskan 1924 dan menjadi Negara
republik, kekuasaan khilafah dengan sedemikian rupa dibatasi geraknya,
bahkan hingga hanya sebatas symbol kekuasaan agama an sich.22 Dengan
demikian, peristiwa ini merupakan revolusi besar dalam pembentukan sebuah
Negara, yang turut membuat Rasyid gusar akan keberlangsungan persatuan
Islam. Dihapuskannya khilafah oleh Mustafa Kemal menyebabkan ia bangkit
dan menyuarakan pendapatnya mengenai pentingnya institusi khilafah lewat
majalah al-manar. Artikel-artikelnya di al-Manar yang senantiasa mendukung
adanya khilafah dibukukannya dengan judul al-khilāfah aw al-Imāmah al‘Uzma (Kekhalifahan atau kepemimpinan agung).23
b. Konsep Khilafah dan Khalifah
Kedua konsep ini sering mengemuka di kalangan Islam bila berkaitan
dengan politik Islam. Namun core-nya dari dua konsep tersebut adalah khilafah
dan imamah.24 Meskipun berlandaskan ayat suci al-Qur‟an, tetapi penggunaan
19
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 130-131.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 136.
21
Dhiyauddin ar-Rayis, Islam dan Politik Bernegara terj: Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), 6.
22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 142-143.
23
Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, 79.
24
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (Q.S. Al-Baqarah (2):30); "Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim
20
7
kedua trem dalam kancah politik Islam tersebut berbeda, kata khilafah
dipergunakan oleh golongan Sunni, sedang imamah dipergunakan oleh
kalangan Syi‟ah. Namun demikian, kedua istilah tersebut terkadang memiliki
pengertian yang hampir serupa, dengan kata lain serupa tapi tidak sama.
Kata khilafah sendiri berasal dari kata khalafa (kh-l-f) yang berarti
mengganti atau menggantikan.25 Secara grammatical arab, kata khilafah
merupakan kata benda verbal mensyaratkan adanya subyek atau pelaku yang
aktif yang disebut khalifah. Kata khalā’if meruapakan bentuk plural dari
khalifah, sedangkan kata khulafa‟ adalah bentuk plural dari khālif.26 Dengan
demikian, tidak ada sebuah khilafah tanpa adanya khalifah, karena khilafah
merupakan system pemerintahan Islam yang telah dikenal sejak lama dan
berlandaskan al-Qur‟an dan sunnah. Salah satu ulama klasik, Mawardi
mengartikan imam sebagai kedudukan yang diadakan untuk mengganti
kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengendalikan politik. Dengan
demikian seorang imam di satu sisi merupakan pemimpin agama dan di sisi
lain adalah pemimpin politik.27 Kekuasaan khalifah terhadap urusan agama itu
tidak ada hubungannya dengan sifat ketuhanan atau kekuasaannnya, akan tetapi
hal tersebut merupakan usaha dari pemikir Islam yang percaya bahwa untuk
menjaga agama dan politik adalah dengan mengangkat khalifah.
Karena itu, seorang khalifah haruslah senantiasa memegang beberapa
prinsip. Prinsip pertama yang harus diyakini dan dipegangi adalah bahwa
seluruh kekuasaan di bumi ini ada pada Allah, karena Dia-lah yang
menciptakannya. Prinsip kedua adalah bahwa syariah Islam telah ditetapkan
Allah untuk membimbing umat manusia dalam menjalankan fungsi
khilafahnya di bumi ini. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, suatu negara yang
diatur menurut syariah Islam secara teknis disebut Khilafah al-Islamiyah, yang
menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi semua
umat manusia..." (Q.S. Al-Baqarah (2):124).
25
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), 361.
26
Ali „Abd ar-Rāziq, Islam dasar-dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan
Pemerintahan dalam Islam terj. M. Zaid Su‟di (Yogyakarta: Jendela, 2002), 3.
27
Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, hlm 80. Lihat juga Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara,. 63.
8
menurut Qamaruddin Khan, negara yang terikat oleh kaidah yang demikian
dapat dinamakan sebagai negara agama.28
Namun demikian, seorang khalifah tidak dapat dicapai oleh semua
orang atau suku. Rasyid Ridha mensyaratkan bahwa khalifah itu harus
merupakan atau berasal suku Quraisy. Hal ini ia ambil dari pendapatnya
Mawardi dan Ibn Khaldun. Banyak pemikir Islam yang berbeda pendapat
mengenai kata Quraisy ini. Ada yang mengatakan bahwa kata tersebut adalah
syarat yang tersirat. Dalam arti siapapun dapat menjadi khalifah dengan catatan
bahwa ia mampu dalam mengemban amanah tersebut. Di sisi lain terdapat
pemikir yang secara tekstual memaknai kata tersebut, dan salah satu
pendukungnya adalah Rasyid Ridha.29
Namun demikian, bangunan politik Islam tidak dapat dilepaskan oleh
adanya ummah. Ummah mempunyai peranan penting dalam politik Islam. Ia
merupakan totalitas (jamaah) individu-individu yang saling terikat oleh tali
ikatan agama, bukan tali kekeluargaan ataupun ras. Di samping itu, ia memiliki
kekuatan yang luar biasa dan kekuasan dan kesuciannya dapat disejajarkan
dengan Nabi saw. Akan tetapi ummah tidak dapat berdiri bila tidak ada
pemimpin yang disetujui oleh ummah tersebut. Karena itu, pemimpin
membutuhkan baiat dari ummah.30 Dalam kerangka politik, scup ummah ini
dalam kerangka politik diperluas, sehingga orang yang berpengetahuan,
berbakat, dan berpengaruh turut dalam proses tersebut. Terkait dengan hal
tersebut, Rasyid mengemukakan bahwa khalifah baiat yang diberikan oleh
ummah diwakili oleh Ahl al-Halli wal ‘Aqdi.31
Dengan demikian, seluruh ummah berada dalam satu keyakinan, satu
moral, dan tunduk dalam satu hukum dibawah pimpinan khalifah. Karena itu,
menurut Rasyid kiranya negara yang baik adalah negara dalam bentuk
kekhalifahan. Kekuasaan khalifah yang begitu luas, baik duniawi maupun
28
Qamaruddin Khan, Kekuasaan Penghiatan dan Otoritas Agama; telaah Kritis teori AlMawardi tentang negara terj: Imron Rosyidi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), 3.
29
Persyaratan tersebut di dasari oleh sebuah hadits yang kali pertama dimunculkan oleh
Abu Bakar ketika dalam perselisihan di Bani Saadah. Lihat Ahmad Khairuddin, Beberapa
Interpretasi Hadits al-Aimmah Mi Quraisy (Banjarmasin: Antari Press, 2003), 163-212.
30
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
pemerintahan Islam terj. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), 95.
31
Abdelilah Belkeziz, “ From the Nation State, 82
9
agama tersebut menyebabkan seorang khalifah harus mempunyai sifat
mujtahid. Akan tetapi kekuasaan tersebut tidak boleh menjadikannnya sebagai
penguasa yang absolud, karenanya ia selalu dipandu oleh syariah Islam dan di
monitor oleh Ahll al-Halli wal ‘Aqdi.
c. Konsep Ahl al-Halli wal ‘Aqdi
Dalam kajian politik Islam, sekumpulan orang yang mewakili orang
ramai seringkali di sebut Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Mereka tidak mewakili nama
mereka masing-masing, akan tetapi mereka bertindak sebagai wakil ummah.
Sebagai pengusung faham modern, tentunya Rasyid berusaha mengususung
dan mereformasi politik lewat Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Konsepnya mengenai Ahl
al- Halli wal ‘Aqdi sedikit berbeda dengan ulama‟ klasik. Bila konsep ulama‟
klasik, yang berhak memilih khalifah adalah sekumpulan ulama atau ahli
agama yang sudah menjadi mujtahid. Sedangkan Rasyid menawarkan tidak
hanya mujtahid saja, tetapi segala orang dalam segala bidang, baik pedagang,
insinyur dan lain sebagainya.32
Namun demikian, konsepnya tersebut kurang begitu jelas, terutama
terkait dengan pengangkatan personil Ahl al-Halli wal ‘Aqdi, apakah peronel
tersebut dipilih oleh rakyat dan khalifah ataupun ditunjuk oleh mereka berdua.
Ia hanya mensyaratkan bahwa setiap personel yang masuk dalam Ahl al-Halli
wal ‘Aqdi haruslah orang yang berilmu dan mampu berijtihad.33 Hal ini hampir
ditemukan di semua konsep pemikir Islam klasik maupun pertengahan tentang Ahl alHalli wal ‘Aqdi. Mereka hanya memberikan syarat anggota saja, namun bagaimana
aplikasi dan prakteknya di serahkan kepada masyarakat sendiri.
Ketidak jelasan konsepnya tersebut semakin terlihat ketika ia memberi contoh
orang-orang yang layak menjadi personel Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Ia mengatakan
bahwa satu-satunya golongan yang layak untuk menduduki Ahl al-Halli wal ‘Aqdi
adalah ulama yang bercirikan Islam Moderat. Dalam arti lain, hanya kelompok dari
Muhammad Abduh dan murid-muridnyalah yang layak menduduki jabatan Ahl al-
32
33
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 134.
Ibid,. 134.
10
Halli wal ‘Aqdi.34 Hal ini karena moderasinya mereka dalam beragama, sehingga
dapat menuntut khalifah untuk menciptakan kemakmuran di seluruh muka bumi.35
Kecintaannya terhadap institusi khilafah menyebabkan Rasyid berusaha
menawarkan program dan tanggung jawab Ahl al-Halli wal ‘Aqdi. Ia menekankan
bahwa tugas institusi tersebbut tidak hanya berhenti kepada pemilihan dan
pengangkatan khalifah, tetapi juga sebagai pengawas pemerintahan. Menurutnya,
institusi tersebut harus dapat melakukan perlawanan terhadap kezaliman dan ketidak
adilan khalifah yang terpilih.36 Hal ini terkait kondisi politik Islam yang telah terjadi
penggembosan yang dilakukan oleh para khalifah dan sultan yang ada.
C. Simpulan
Pemikiran politik Islam pada masa modern umumnya berangkat daripada
perdebatan yang besar terkait hubungan antara agama dengan politik. Berbicara
tentang agama dan politik, maka tidak terlepaskan dari perdebatan yang panjang
mengenai imamah dan khilafah. Kondisi politik Islam yang begitu muram,
menyebabkan Rasyid Ridha berusaha mengembalikan kejayaan Islam melalui
konsep khilafahnya.
Munculnya agenda pembaharuan ini muncul akaibat legalitas dan kekuasaan
Islam tidak memberikan kesejukan dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu
Rasyid mencoba memberikan kontribusi pemikiran untuk mengatasi kondisi
masyarakat Islam. Namun demikian, sebagai pembaharu Rasyid tetap memiliki
keterbatasan, sehingga terkesan pembaharuannnya tidak secara total dalam
mereformasi kejumudan Islam. Kiranya, keterbatasan pergaulannya terhadap
pemikir Eropa menyebabkan ia hanya mampu mengambil dan mengolah sesuatu
hasil pemikiran yang telah lama ada di dunia Islam.
34
Muchoto Hamzah, Menjadi Politisi Islami (Fiqih Politik) (Yogyakarta: GamaMedia,
2004), 42.
35
Menurut interpretasi penulis, hal ini dilakukan oleh Rasyid karena ia tidak ingin
gagasan Negara idealnya mudah terkoyak akibat “kebodohan” umat Islam dalam memandang
masa depan.
36
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, 63.
11
D. Daftar Pustaka
Algar, Hamid. Wahhabisme; Sebuah Tinjauan Kritis terj. Rudy Harisyah Alam
Jakarta: Paramadina, 2008
Bosworth, C. E. Dinasti-Dinasti Islam Terj. Ilyas Hasan Bandung, Mizan, 1993.
Belkeziz, Abdelilah.“ From the Nation State to the State of the Khalifah: Renewal
of Islamic Legal Politics” dalam The State in Contempory Islamic Thouht: A
Historical Survey of the Major Muslim Political Tinkers of the Modern Era,
trans. Abdullah Richard Lux, London: I.B. Tauris Publishers In Association
With The Centre For Arab Unity Studies, 2009.
Dekmejian, R. Hrair. “Kebangkitan Islam; Katalisator, Kategori dan
Konsekuensi” dalam Shireen T. Hunter (ed,.), Politik Kebangkitan Islam
Keragaman dan Kesatuan terj. Ajat Sudrajat Yogyakarta: Tiara Wacana,
2001.
Esposito, John L. Islam dan Politik, terj. Joesoef Sou‟yb Jakarta: Bulan Bintang,
1990.
Hamzah, Muchoto.Menjadi
GamaMedia, 2004
Politisi
Islami
(Fiqih
Politik)
Yogyakarta:
Hourani, Albert.Sejarah Bangsa-bangsa Muslim terj. Irfan Abubakar Bandung:
Mizan, 2004
Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
pemerintahan Islam terj. Masrohin Surabaya: Risalah Gusti, 1999
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
Kurzman, Charles. ”Pengantar; Islam Liberal dan Konteks Islaminya” dalam
Charles Kurzman (ed,.), Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer
tentang isu-isu Global Jakarta: Paramadina, 2001.
Khan, Qamaruddin . Kekuasaan Penghiatan dan Otoritas Agama; telaah Kritis
teori Al-Mawardi tentang negara terj: Imron Rosyidi Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2000.
Khairuddin, Ahmad. Beberapa Interpretasi Hadits al-Aimmah Mi Quraisy
Banjarmasin: Antari Press, 2003.
Mardin, Serif,“Agama dan Politik dalam Negara Turki Modern” dalam Harun Nasution
dan Azyumardi Azra (ed,.), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan
Obor, 1985
12
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya jilid 1 Jakarta: UI Press,
2001.
………………….. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan
Jakarta: Bulan Bintang, 2003.
Rayis, Dhiyauddin ar-. Islam dan Politik Bernegara terj: Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
ar-Rāziq, Ali „Abd. .Islam dasar-dasar Pemerintahan; Kajian Khilafah dan
Pemerintahan dalam Islam terj. M. Zaid Su‟di Yogyakarta: Jendela, 2002.
Ridwan, Nur Khalik. Doktrin Wahabi dan Benih-benih Radikalisme Islam jilid 1
Yogyakarta: Tanah Air, 2009.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; ajaran, sejarah dan pemikiran
Jakarta: UI Press, 1993.
13
Download