8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Itik Tegal Itik merupakan

advertisement
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Itik Tegal
Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Waterfolws) dan dikenal dengan nama
”Duck” serta dalam systematic zoonologi tersusun sebagai berikut
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Aves
Ordo : Anseriformes
Family : Anatidae
Genus : Anas
Species : Anas plathyrynchos
(Srigandono, 1996).
Itik tegal merupakan bangsa itik asli Indonesia yang berasal dari Tegal, Jawa
Tengah. Itik tegal banyak dibudidayakan untuk dimanfaatkan telurnya, dan
dagingnya dimanfaatkan jika itik telah afkir.
Itik tegal mempunyai karakteristik hampir sama dengan itik lain, yaitu warna bulu
kombinasi yang terdiri dari cokelat, hitam, putih, kuning, abu-abu, tubuh terlihat
kecil dan tegak, paruh dan kaki berwarna hitam keputihan, bulu ekor terlihat
mencuat ke atas, telur berwarna putih kehijauan (hijau muda), menghasilkan telur
9
sekitar 200--250 butir per tahun, berat telur berkisar 70--75 g per butir, dan bobot
dewasa baik jantan maupun betina berkisar 1,4--1,5 kg (Srigandono, 1996) .
Telur itik memiliki zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Kandungan
nutrisi yang terkandung pada telur itik lebih tinggi dibandingkan dengan telur
ayam. Tabel 1 menyajikan komposisi gizi telur itik yang dibandingkan dengan
telur ayam.
Tabel 1. Komposisi gizi per 100 g telur itik dan telur ayam
Zat Gizi
Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (g)
Fosfor (mg)
Besi (mg)
Vitamin A (RE)
Vitamin B (mg)
Vitamin C (mg)
Air (g)
Utuh
189,0
13,1
14,3
0,8
56,0
175,0
2,8
422,0
0,1
0,0
70,8
Telur itik
Albumen
54,0
11,0
0,0
0,8
21,0
20,0
0,1
0,0
0,0
0,0
88,0
Yolk
389,0
17,0
35,0
0,8
150,0
400,0
7,0
984,0
0,6
0,0
47,0
Utuh
162,0
12,8
11,5
0,7
54,0
180,0
2,7
309,0
0,1
0,0
74,0
Telur ayam
Albumen
50,0
10,8
0,0
0,8
6,0
17,0
0,2
0,0
0,0
0,0
87,8
Yolk
361,0
19,3
31,9
0,7
147,0
586,0
7,2
686,0
0,3
0,0
49,4
Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (2004)
Itik tegal mengalami fase hidup setelah telur menetas yakni fase starter. Fase
starter itik pada umur 0--2 minggu. Fase kedua (grower) adalah fase dimana
terjadi perkembangan anatomi dan hormonal. Fase grower terbagi menjadi 2 fase
yaitu grower I pada umur 3--10 minggu dan fase grower II pada umur 10--20
minggu. Fase ketiga adalah fase produksi (layer) yaitu pada saat itik mulai
berproduksi pada umur 21 minggu hingga akhir produksi dan kemudian diafkir
(Srigandono, 1986).
10
Pemberian pakan untuk itik petelur perlu diperhatikan rasio energi dan proteinnya
(Srigandono, 1986). Pada pemeliharaan itik secara terkurung (intensif),
hendaknya dalam keadaan basah. Pemberian pakan dilakukan 4--5 kali sehari
pada itik muda dan 2--3 kali pada itik dewasa. Jumlah pemberian pakan tidak
berlebihan namun mencukupi kebutuhan nutrisi harian itik (Suharno, 1992).
Kebutuhan gizi itik petelur disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Kebutuhan gizi itik petelur
Nutrien
Metabolizable energy kcal/ kg
Protein %
Calcium %
Phosphorus %
Sodium %
Cooper mg/kg
Iodine mg/kg
Iron mg/kg
Manganese mg/kg
Zinc mg/kg
Biotin mg/kg
Choline mg/kg
Falic acid mg/kg
Starter
0--2
Minggu
2750
20
0,9
0,45
0,15
8
0,6
80
100
60
0,1
8000
1
Grower
3--8
9--20
Minggu
Minggu
2750
2700
18
15
0,8
0,8
0,45
0,45
0,15
0,15
8
8
0,6
0,6
80
80
100
100
60
60
0,1
0,1
1800
1100
1
1
Breeder
>20
Minggu
2650
18
2,5
0,45
0,15
8
0,6
80
100
80
0,2
1100
1,5
Sumber: (NRC, 1984)
Pemeliharaan itik secara intensif pada itik umur 5 minggu telah mampu hidup
pada suasana suhu bebas sehingga pemanas tidak lagi diperlukan. Itik pada umur
5 minggu memerlukan 1--1,5m2 untuk 10 ekor itik. Pada pemeliharaan itik
dewasa secara intensif dipisahkan dalam flok. Setiap satu flok berisi 12--15 ekor
dan dibatasi menggunakan papan setinggi 40--50 cm (Srigandono, 1986).
11
B. Penetasan Telur Itik
Menurut Setioko (2004), telur itik dapat ditetaskan secara alami, sederhana, dan
moderen.
a. Mesin tetas alami
Penetasan telur secara alami dapat dilakukan dengan bantuan entok sebagai
pengganti indukan. Menurut Suharno (1992), keberhasilan penetasan
menggunakan jasa entok sebagai mesin tetas alami berkisar antara 80--90%. Cara
yang digunakan adalah dengan mengganti atau menambah telur yang dierami
entok sebanyak 2--3 kali periode penetasan dan menyediakan makanan dan
minuman yang cukup.
b. Mesin tetas sederhana
Menurut Soedjarwo (2007), mesin tetas sederhana adalah mesin tetas yang dibuat
dengan bahan-bahan dan cara yang sederhana sehingga energi dapat
menggunakan minyak tanah ataupun listrik sesuai dengan kondisi daerah. Mesin
tetas tipe sederhana hanya memiliki ruang hatcher. Hatcher pada mesin tetas
sederhana memerlukan bantuan tangan untuk membalik telur satu persatu.
c. Mesin tetas moderen
Mesin tetas moderen banyak digunakan oleh pembibit skala besar. Menurut
Suharno (1992), mesin tetas moderen dilengkapi dengan termoregulator (pengatur
suhu) otomatis. Menurut Abidin (2009), mesin tetas moderen memiliki ruang
setter dan hatcher yang terpisah. Setter pada mesin tetas modern digunakan pada
hari ke-4 hingga hari ke-24. Ruang setter adalah ruang mengeram yang dapat
memutar telur secara otomatis. Ruang hatcher adalah ruang penetasan digunakan
12
saat telur pertama dimasukkan hingga hari ke-3 dan hari ke-25 hingga telur itik
menetas.
C. Manajemen Penetasan
Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), manajemen dalam penetasan telur meliputi
suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pemutaran telur (turning), dan peneropongan
telur (candling).
a)
Suhu
Suhu dalam penetasan merupakan faktor yang penting dalam penentuan
keberhasilan penetasan. Suhu dalam mesin tetas yang terlalu rendah akan
mengakibatkan embrio tumbuh lambat selama proses penetasan, sedangkan pada
suhu yang terlalu tinggi akan berkembang sangat cepat sehingga dapat menetas
lebih awal. Suhu dalam mesin tetas harus selalu konstan dan diperiksa setiap jam.
Umumnya suhu pada mesin tetas berkisar 38--40,5o C. Suhu yang terlalu tinggi
pada mesin tetas mengakibatkan kematian embrio pada hari ke 2 hingga ke- 4
(Kurtini dan Riyanti, 2011). Srigandono (1986) menyatakan bahwa suhu
optimum untuk penetasan telur itik adalah 38,5--41oC .
b) Kelembapan (Rh)
Kelembapan (Rh) sangat penting diberikan untuk mengontrol weight loss pada
telur. Menurut Sudaryani dan Santosa (1999), kelembapan di dalam mesin tetas
adalah 52--55%, sedangkan menurut Nuryati et al. (2000), kelembapan ideal
dalam penetasan telur ayam hari ke 1 hingga ke 18 adalah 55--60%.
13
Kelembapan ideal untuk penetasan telur itik pada umur 1--25 hari adalah antara
60--70%, sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi
yaitu 75--85% (Rasyaf, 1991).
Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), untuk daerah tropik seperti Indonesia,
umumnya digunakan 50--55% untuk mencapai weight loss ideal (12--14%).
Kelembapan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kecilnya rongga udara
sehingga embrio susah keluar saat menetas, penyerapan albumen tidak optimal
yang menyebabkan ayam menempel pada membran dinding telur.
c) Sirkulasi udara
Ventilasi pada mesin tetas penting untuk diperhatikan. Aktifnya metabolisme
embrio menyebabkan akumulasi CO2 di dalam ruang penetasan. Selain dapat
menyebabkan kematian embrio, jumlah CO2 yang telalu banyak dapat
menyebabkan DOC yang berhasil menetas menjadi lemas dan lemah.
Ventilasi yang buruk bisa disebabkan oleh lubang ventilasi yang kotor atau
jumlahnya yang kurang (Hartono, 2012).
Sirkulasi udara dalam mesin tetas berfungsi untuk mempermudah pergerakan
udara atau oksigen dalam mesin tetas dan mendistribusikan panas secara merata.
Kebutuhan oksigen di dalam mesin tetas sekitar 21% dan setiap penurunan 1 %
oksigen dapat menurunkan 5% daya tetas telur (Kurtini dan Riyanti, 2011).
d) Pemutaran telur (turning)
Pemutaran telur (turning) bertujuan agar embrio dapat memanfaatkan seluruh
albumen protein yang tersedia dan mencegah menempelnya embrio pada sel
14
membran khususnya pada minggu pertama. Pemutaran telur (turning) tidak
dilakukan dengan pintu terbuka. Pemutaran telur (turning) yang baik akan
mengoptimalkan pertumbuhan embrio (Kurtini dan Riyanti, 2011).
Harianto (2002) menyatakan bahwa jangan membalik telur sama sekali pada 3
hari terakhir menjelang telur menetas. Pada saat itu, telur tidak boleh diusik
karena embrio dalam telur yang akan menetas tersebut sedang bergerak pada
posisi penetasannya. Pembalikan telur dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 atau
ke-4 sampai 2 hari sebelum telur menetas. Pemutaran telur sebaiknya dilakukan
paling sedikitnya 3 kali atau lebih baik jika diputar sampai 5 atau 6 kali sehari
dengan setengah putaran (Djanah,1984 yang disitasi Meliyanti 2012)
e) Peneropongan telur (Candling)
Peneropongan telur (candling) merupakan salah satu perlakuan yang menentukan
keberhasilan penetasan. Peneropongan telur (candling) biasanya dilakukan
sebanyak 3 kali selama penetasan berlangsung yaitu pada hari ke-4, ke-11 dan hari
ke-25. Peneropongan telur (candling) dilakukan untuk mengetahui fertilitas telur
dengan cara meneropong telur (Rasyaf, 1991).
Selain manajemen mesin tetas, seleksi telur juga memengaruhi dalam
keberhasilan penetasan. Menurut Sudaryani (2003), telur yang baik untuk
ditetaskan adalah telur yang berasal dari induk yang dikawini, berbentuk oval,
permukaan kulit telur harus halus dan bersih, telur yang akan ditetaskan harus
dalam keadaan segar (<7 hari), bobot telur itik berkisar antara 65--75 g.
Telur itik tetas adalah telur yang dikoleksi dari sarang itik bertelur. Menurut
Suprijatna, et al. (2008), keberhasilan dalam penetasan buatan tergantung dari
15
banyak faktor antara lain telur tetas, mesin tetas, dan tata laksana penetasan.
Telur tetas yang baik memiliki fertilitas dan daya tetas yang tinggi. Srigandono
(1986) menyatakan bahwa telur tetas yang baik didapat langsung dari sarang yang
bersih dan kering sehingga tidak terjadi kontaminasi yang dapat membahayakan
kualitas telur. Perbedaan nyata dalam tingkat persentase menetas dari telur yang
berasal dari kandang dengan sarang dan kandang tanpa sarang yaitu 75,93% dan
63,76% (Supardjata, 1977).
Ada beberapa tahapan dalam penetasan buatan, antara lain adalah pemilihan telur
tetas, pembersihan telur tetas, fumigasi mesin tetas, pengaturan suhu dan
kelembapan, peneropongan serta pemutaran posisi telur. Keberhasilan usaha
penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti: kualitas
telur, bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana, 1994; Wibowo et
al. 2005).
Pada proses penetasan suhu dan kelembapan harus diatur dan distabilkan selama
2x24 jam dan dipastikan tidak mengalami perubahan selama proses penetasan.
Suhu dan kelembapan yang stabil ditujukan untuk mempertahankan kondisi telur
agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998)
menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada suhu antara
94--104°F (36--40°C). Kelembapan mesin tetas sebaiknya diusahakan tetap pada
kisaran 65--75 %. Menurut hasil penelitian Maulidya (2013), kisaran daya tetas
dari tiap perlakuan adalah suhu 36--37ºC (3,09 ±7,19%), suhu 37--38°C
(27,76 ± 19,41%), dan suhu 38--39°C (62 ± 13,6%). Hasil tersebut dapat
menunjukkan bahwa rataan daya tetas telur itik pada suhu 38--39°C paling tinggi
16
dibandingkan dengan suhu 36--37°C dan 37--38°C. Hal tersebut disebabkan oleh
suhu yang diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan
alami.
Selain suhu dan kelembapan, pemutaran telur merupakan kegiatan yang penting
dilakukan. Pemutaran dimulai pada hari ke 4--25. Hal ini bertujuan meratakan
panas yang diterima telur selama periode penetasan, dan mencegah kematian
embrio karena lengket pada salah satu sisi kerabang. Selain itu, masa kritis
pertumbuhan embrio adalah hari ke-4 dan pada hari ke-26 embrio mulai mengatur
posisi untuk menetas, sehingga tidak dilakukan pemutaran (Roni, 2012).
Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), pembalikan posisi telur selama
inkubasi sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh daya tetas yang tinggi.
Selama inkubasi posisi telur sebaiknya bagian tumpul diletakkan keatas. Telur
sebaiknya diputar 45o dengan total putaran 90o. Pemutaran (turning) ini
dimaksudkan agar permukaan yolk tidak melekat pada membran kulit telur.
D. Pertumbuhan Embrio
Perkembangan embrio unggas terjadi di luar tubuh induknya. Setelah telur fertil
ditelurkan, perkembangan embrio akan berhasil bila temperatur lingkungan diatas
80o F. Dua lapisan utama germ (ectoderm dan entoderm) biasanya di bentuk saat
telur di telurkan. Lapisan ketiga (mesoderm) dibentuk setelah temperatur
inkubator sesuai dengan pertumbuhan embrio. Setelah inkubasi dimulai,
mesoderm dibedakan oleh pertumbuhan blastocoele diantara dua lapisan lainnya.
17
Kilit, bulu, paruh, kuku, sistem syaraf, mulut, lensa dan retina mata, serta vent
berkembang dari lapisan ectoderm (Kurtini dan Riyanti, 2011).
a. Periode perkembangan embrio
Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), perkembangan embrio tidak dapat dilihat
seluruhnya dengan mata telanjang, akan tetapi membutuhkan bantuan mikroskop
atau kaca pembesar. Pada dasarnya pertumbuhan embrio setelah memasuki
inkubator dapat digolongkan menjadi 3 periode, yaitu
1. pertumbuhan organ-organ dalam (umur 1--5 hari);
2. pertumbuhan jaringan luar (umur 6--14 hari);
3. pertumbuhan membesarnya embrio (umur 15--21 hari).
b. Perkembangan embrio per harinya
Menurut Rita (2010), yang disitasi Istiana (2012), awal ke 1--1,5 terjadi
perkembangan awal, perkembangan warna membran embrio coklat dengan
diameter 1cm. Hari ke 2,5--3 terjadi perkembangan warna membran embrio
coklat muda dengan diameter 3. Menuju hari ke 4--5 terdapat cincin darah yang
terlihat jelas dan awal pembentukan cairan sub-embrio. Pada hari ke 5,5--15
terbentuk mata hitam yaitu pigmen hitam pada mata embrio jelas terlihat, serta
sayap dan kaki dapat terlihat juga. Memasuki hari ke 6--21 bulu mulai ada
meskipun bulu pertama mulai terlihat pada hari ke 11. Hari ke 22--25, embrio
bergerak dari kepala diantara kaki ke posisi penetasan dan kuning telur tetap
berada di luar badan embrio. Pada hari 25--27 terjadi robek internal. Paruh dari
embrio menembus membran dalam ruang udara. Menjelang hari ke 25--27 terjadi
18
robek internal yaitu paruh dari embrio telah memecah cangkang. Pada hari ke 28
telur pun menetas sempurna.
E. Fertilitas
Fertilitas dapat diartikan sebagai presentase telur yang memperlihatkan adanya
perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan
telur dapat atau tidak menetas. Telur tetas itik yang fertil dihasilkan melalui
proses dari perkawinan antara itik jantan dengan itik betina dan memiliki benih
embrio. Menurut Suryana (2011), rata-rata fertilitas telur tertinggi dengan sex
ratio (1:10) menunjukkan nilai sebesar 97,88 % dibandingkan dengan sex ratio
(1:28) dengan nilai 50,21%. Semakin tinggi angka yang diperoleh maka semakin
baik pula kemungkinan daya tetasnya.
Fertilitas dipengaruhi antara lain oleh asal telur (hasil dari perkawinan atau tidak),
ransum induk, umur induk, kesehatan induk, umur telur, dan kebersihan telur
(Septiwan, 2007). Menurut Sudaryanti (1990), fertilitas dapat mencapai 85,5%
pada itik yang dipelihara intensif dan penetasannya menggunakan mesin tetas.
Selanjutnya Setiadi et al. (1994) mengemukakan bahwa fertilitas telur pada itik
yang dipelihara intensif berkisar 72--92 %.
Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang peranan penting dalam memproduksi
bibit anak itik (Wibowo et al., 2005; Suryana dan Tiro, 2007) sehingga
dihasilkan jumlah bibit sesuai yang diharapkan (Suryana, 2011). Fertilitas telur
itik juga dipengaruhi umur induk yang tepat. Induk jantan sebaiknya dikawinkan
19
pada umur 7--15 bulan dan betina pada umur 7--12 bulan (Kurtini dan Riyanti,
2011).
F. Daya Tetas
Daya tetas merupakan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur
yang fertil. Daya tetas telur sangat ditentukan oleh berbagai faktor terutama nilai
gizi dari induk. Nilai daya tetas ini baru dapat diketahui setelah anak ayam
menetas (Wibowo dan Jafendi, 1994).
Banyak faktor yang memengaruhi daya tetas telur antara lain berat telur, bentuk
telur, warna telur, keutuhan telur, kualitas telur, dan kebersihan kulit telur.
Berat telur yang ditetaskan sebaiknya berkisar 65--75 g (Srigandono, 1986).
Menurut Dewanti (2014), bobot telur tidak memengaruhi fertilitas dan daya tetas
tetapi memengaruhi bobot tetas. Selain bobot telur, bentuk dan warna kulit telur
juga harus oval dan seragam. Keseragaman bentuk telur ditujukan untuk
mengefektifkan jumlah telur dalam mesin tetas.
Warna kulit telur yang seragam juga memberikan dampak posif pada penetasan.
Jika warna telur tidak seragam dikhawatirkan akan terjadi ketidakseragaman
waktu menetas. Kurtini (1993) melaporkan bahwa telur itik yang memiliki warna
hijau tua kebiruan menetas lebih lama dibandingkan dengan warna kulit telur
hijau muda kebiruan (29 hari, 29 menit) dan ( 28 hari, 55 menit). Warna kulit
telur hijau tua kebiruan juga memiliki daya tetas yang lebih rendah dibandingkan
dengan telur yang berwarna hijau muda hingga sedang kebiruan (46,6%) dan
(78,35 dan 70,74%).
20
Faktor lain yang memengaruhi daya tetas ialah genetik, nutrisi, fertilitas, dan
penyakit (Sinabutar, 2009). Faktor genetik diantaranya adalah dewasa kelamin,
umur, dan bangsa itik yang dapat memengaruhi bobot telur. Protein dalam pakan
dapat memengaruhi umur dewasa kelamin dan bobot induk (Solihat et al. 2003).
Applegate et al. (1998) menyatakan bahwa bobot telur yang dihasilkan
berkorelasi positif dengan bobot induk. Selain itu, menurut Wilson (1997),
daya tetas sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga
keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak
terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985).
Daya tetas dan kualitas telur tetas dipengaruhi oleh cara penyimpanan, lama
penyimpanan, tempat penyimpanan, suhu lingkungan, suhu mesin tetas, dan
pembalikan selama penetasan. Penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan
kualitas dan daya tetas menurun sehingga telur sebaiknya disimpan tidak lebih
dari 7 hari (Raharjo, 2004). Darmanto (2014) menyatakan bahwa penyimpanan
telur memiliki pengaruh sangat nyata terhadap daya tetas. Pada lama simpan
3--5 hari menunjukkan daya tetas lebih tinggi (76,67 + 1,04%) dan
(76,67 + 0,29%) jika dibandingkan dengan dengan telur itik yang disimpan 7 hari
(51,67 + 0,58%). Hal ini dapat terjadi karena pada telur yang disimpan 3 dan 5
hari memiliki calon embrio yang telah terbiasa dengan suhu lingkungan dan lebih
siap untuk tumbuh. Pada lama simpan 7 hari daya tetas menjadi rendah karena
semakin lama telur tetas disimpan maka kualitas telur akan menurun dan akan
mudah tercemari oleh mikroba patogen yang beresiko menurunkan daya tetas.
21
G. Susut Tetas
Susut tetas merupakan hilangnya bobot telur pada proses penetasan. Menurut
North dan Bell (1990), penyusutan berat telur selama penetasan dipengaruhi oleh
berat awal telur. Telur yang masih segar memiliki pori-pori kerabang telur yang
lebih kecil dibandingkan dengan telur yang lama disimpan. Telur yang memiliki
pori-pori kerabang kecil memungkinkan penguapan gas-gas dari dalam telur juga
kecil, sehingga susut tetas dari telur yang ditetaskan semakin kecil juga.
Pori-pori kerabang telur yang lebih kecil tersebut dapat mencegah masuknya
bakteri ke dalam telur, sehingga kualitas isi telur dapat dipertahankan.
Seperti yang diungkapkan oleh Rasyaf (1991), semakin lama telur tetas disimpan
maka pori-pori kulit telur akan semakin lebar, sehingga memungkinkan penetrasi
bakteri ke dalam telur tetas semakin besar yang mengakibatkan kualitas telur tetas
semakin menurun.
Kualitas telur segar yang baik hanya bertahan hingga 5--7 hari pada suhu ruang
dan akan mengalami penurunan kesegaran selama penyimpanan terutama
disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar, masuk melalui pori-pori
kerabang (Hadiwiyoto, 1983). Penyimpanan telur selama 5--10 hari juga dapat
menyebabkan penurunan berat telur dan tinggi putih telur, tetapi meningkatkan
pH putih telur dan volume buih putih telur (Silversides dan Budgell, 2004).
Menurut Imai et al.(1986) yang disitasi Meliyanti (2012), pada penyimpanan
telur selama 0, 3, 7, 14, 21, dan 28 hari diperoleh penurunan bobot telur
22
berturut-turut 0; 0,94; 1,82; 2,99; 4,34; dan 5,90%. Penurunan bobot tersebut
adalah berbeda nyata dan dinyatakan juga terjadi penurunan berat albumen,
meningkatnya ruang udara telur, dan menurunnya haugh unit telur.
Menurut Meliyanti (2012), rata-rata susut tetas telur itik mojosari pada perlakuan
penyimpanan telur tetas 1, 4, dan 7 hari berpengaruh tidak nyata (P>0,05).
Rata-rata susut tetas telur itik Mojosari pada hari ke- 1, 4, dan 7 berturut-turut
7,35; 7,84; dan 8,35. Susut tetas berpengaruh sangat nyata dapat disebabkan oleh
tebal kerabang yang berbeda. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur
kurang terpengaruh oleh suhu penetasan, sehingga penguapan air dan gas sangat
kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga
tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1991).
Peebles dan Brake (1985) menyatakan bahwa penyusutan bobot telur tetas selama
masa penetasan menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio,
yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta
penguapan air melalui kerabang telur. Susut tetas yang terlalu tinggi
menyebabkan menurunnya daya tetas dan bobot tetas. Menurut Kurtini dan
Riyanti (2011), secara umum susut tetas yang dianjurkan adalah 12--14 %.
H. Kematian Embrio
Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkembangan embrio dengan
mamalia. Perkembangan embrio pada telur terjadi pada tiga tahapan waktu yang
berbeda yaitu, sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk betina, waktu
pengeluaran hingga masa inkubasi dan selama masa inkubasi berlangsung
(Maulidya, 2013). Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada
23
embrio saat didalam cangkang atau belum menatas. Hal ini biasanya disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu penyimpanan telur lebih dari 7 hari, telur dalam kondisi
kotor sehingga mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melaluli pori-pori
(Rasyaf, 1990).
Kematian embrio dapat terjadi karena pakan induk mengalami defisiensi zat gizi
seperti vitamin dan mineral, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio
menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, pada ransum induk perlu
ditambahkan suplemen vitamin dan mineral yang banyak dijual di pasaran
(Supriyanto, 2004). Selain penambahan suplemen pada ransum, menurut
Widyaningrum (2012), penyemprotan dengan larutan vitamin B kompleks
sebanyak 5 butir per liter dapat mengoptimalkan perkembangan embrio selama
proses penetasan sehingga nilai kematian embrio menjadi berkurang.
Telur yang kotor juga merupakan salah satu faktor kematian embrio. Para ahli
melaporkan bahwa sekitar 0,5-- 6% telur yang berasal dari ayam sehat
mengandung Escherichia coli dan sekitar 1,75% dari embrio yang mati
mengandung Escherichia coli serotype patogen. Sumber kematian embrio yang
terpenting adalah akibat pencemaran feses pada telur. Telur tetas yang berasal
dari lingkungan yang kotor dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah
kemasukan Escherichia coli dan dapat mencapai yolk sac (Sayib, 2013).
Faktor lingkungan antara lain suhu, kelembapan dan konsentrasi gas yang terdapat
di dalam telur (Kortlang, 1985). Kelembapan berpengaruh terhadap kecepatan
hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko, 1998). Kehilangan air
yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian
24
digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur
membusuk (Baruah et al., 2001).
Kematian embrio dapat juga terjadi karena prosedur penetasan yang tidak sesuai
seperti, suhu inkubator terlalu tinggi atau terlalu rendah, penyimpanan telur yang
terlalu lama, telur tidak diputar. Akibatnya, embrio tidak dapat tumbuh normal
dan akhirnya mati (Putri, 2009).
Menurut Sudaryani (1999), beberapa penyebab kegagalan embrio saat penetasan:
1) Telur infertil, disebabkan oleh :
a) perbandingan induk jantan dan betina tidak memenuhi persyaratan induk
jantan/betina sudah terlalu tua;
b) induk betina terlalu gemuk;
c) kebersihan kerabang telur tetas;
d) telur tetas disimpan terlalu lama pada kondisi yang tidak sesuai sebelum
dimasukan ke dalam mesin tetas;
e) pakan induk parent stock kekurangan vitamin A, B, C atau E dan;
f) parent stock mengalami sakit/stres.
2) Embrio mati pada awal penetasan disebabkan oleh:
a) suhu mesin tetas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah;
b) faktor genetik parent stock;
c) kesalahan dalam proses fumigasi (pengasapan);
d) kesalahan pada pemutaran telur;
e) stres/penyakit pada parent stock.
25
3) Embrio banyak yang mati di mesin penetasan pada umur 11--20 hari
disebabkan oleh:
a) pemutaran telur yang tidak benar;
b) suhu dan kelembapan mesin tetas yang tidak tepat;
c) faktor genetik parent stock;
d) peletakan telur pada egg tray yang tidak benar arahnya sebaiknya yang
bulat diatas dan runcing dibawah;
e) sirkulasi udara yang tidak baik.
4) Embrio banyak yang mati setelah kulit telur retak
Bila embrio banyak yang mati sesudah kulit telur retak, penyebab utamanya
adalah kelembapan di mesin hatcher (penetasan) terlalu rendah dan terjadi
fluktuasi suhu di mesin setter.
5) Menetas terlalu cepat, disebabkan oleh suhu mesin setter/hatcher yang terlalu
tinggi.
6) Menetas terlambat
Kemungkinan disebabkan oleh suhu mesin setter terlalu rendah atau
sebelum ditetaskan, telur tetas telah lama disimpan.
7) Menetas tidak serempak, disebabkan oleh:
a) penyebaran panas di dalam mesin tetas tidak merata;
b) telur tetas berasal dari induk/parent stock yang berbeda umur dan ukuran
telur yang beragam.
8) Pusar final stock tidak menutup secara sempurna, disebabkan oleh:
a) suhu di mesin hatcher terlalu tinggi;
b) suhu di mesin setter terlalu berfluktuasi;
26
c) kesalahan teknik fumigasi pada saat telur berada di mesin hatcher;
d) kelembapan di mesin hatcher terlalu rendah.
9) Final stock tertutup cairan disebabkan oleh:
a) suhu di mesin tetas terlalu rendah;
b) kelembapan di mesin tetas terlalu tinggi dan kandungan gizi pakan parent
stock kurang tepat.
10) Final stock terlalu kecil, disebabkan oleh:
a) berat telur tetas terlalu rendah;
b) kelembapan di mesin tetas terlalu rendah dan suhu di mesin tetas terlalu
tinggi.
11) Final stock lemah disebabkan oleh:
a) suhu dan kelembapan di mesin hatcher terlalu tinggi atau terlalu rendah;
b) kandungan gizi pakan parent stock kurang tepat;
c) telur tetas berasal dari induk parent stock yang masih muda.
I. Vitamin B kompleks
Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang terdiri dari: vitamin
B1 (thiamine), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niacin), vitamin B5
(pantothenic acid/asam pantotenat), vitamin B6 (pyridoxamine), vitamin B9 (folic
acid/asam folat), vitamin B12 (cyanocob), vitamin B7 (biotin), Kolin, dan inositol
(Yuniastuti, 2007). Vitamin B bekerja dengan bersinergi, yaitu antara jenis yang
satu dan jenis yang lain saling melengkapi. Kekurangan salah satu dari vitamin B
kompleks dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem tubuh. Vitamin B
27
kompleks bersifat larut dalam air. Kelebihan mengonsumsi vitamin B akan di
eskresikan melalui urin (Sulaksono, 2013).
Lebih lanjut dikemukakan oleh Sulaksono (2013) bahwa vitamin B kompleks
memiliki manfaat memproduksi energi, membantu kerja sistem saraf,
mempertahankan kondisi tubuh yang sehat, menjaga sistem pencernaan, serta
menjaga kesehatan rambut dan kuku.
Vitamin B1, diperlukan untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Vitamin
B1 (thiamine) berfungsi pada unsur sistem enzim jaringan terutama dalam
dekarboksilasi asam piruvat dan ketoglutarat. Kekurangan vitamin-vitamin B ini
dapat menyebabkan penurunan produksi energi, yang menyebabkan lesu dan
mudah kelelahan (Yuniastuti, 2007).
Vitamin B5, diperlukan agar kelenjar adrenal bekerja dengan baik untuk
memproduksi beberapa hormon dan zat pengatur saraf. Kekurangan vitamin B5
(asam pantotenat) berupa kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran cerna, dan
gangguan otot berupa kejang (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat,
2011).
Vitamin B6, membantu tubuh dalam membuat hormon-hormon tertentu, serta
senyawa kimia khusus dalam otak yang disebut dengan neurotransmitter. Vitamin
B6 (pyridoxine) membantu memproduksi sel darah merah, yang akan membantu
mencegah anemia. Vitamin B6 berfungsi membantu pelepasan glikogen dari hati
dan otot menjadi energi dan disimpan dalam otot (Achadi, 2007).
28
Vitamin B9 atau asam folat sangat berperan penting bagi ibu hamil untuk
mencegah cacat tabung saraf pada janin selama pertumbuhan di dalam kandungan.
Kekurangan salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan perasaan
mudah stres, cemas dan depresi. Vitamin B9 berperan dalam mentransfer dan
pemakaian gugus karbon. Mempunyai peran spesifik dalam metabolisme histidin
dan peran dalam hemopoesis (Yuniastuti, 2007).
Vitamin B kompleks, sangat penting untuk menjaga pencernaan, yaitu membantu
produksi HCl (asam klorida ), membantu pemecahan lemak, protein dan
karbohidrat. Vitamin B sangat penting untuk RNA, DNA dan reproduksi sel
tubuh. Kulit, rambut, dan kuku yang terus tumbuh membutuhkan vitamin B
(Sulaksono, 2013). Vitamin B yang berfungsi menjaga pencernaan adalah
vitamin B1, vitamin B2, Vitamin B3 dan Vitamin B6. Kekurangan dalam salah
satu dapat menyebabkan pencernaan terganggu, akibatnya tubuh juga akan
kekurangan nutrisi penting (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat, 2011).
Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo ( 2010), fungsi B kompleks secara umum
yaitu:
1) memengaruhi keseimbangan air dalam tubuh;
2) berguna dalam proses pertumbuhan dan perbanyakan sel;
3) berguna dalam pembuatan sel-sel darah;
4) berguna dalam proses pertumbuhan dan pekerjaan urat syaraf;
5) merangsang pembentukan eritrosit.
Menurut Achadi (2007), kebutuhan B kompleks dalam sehari belum bisa
ditentukan. Akan tetapi, vitamin B kompleks rata - rata terkandung dalam
29
makanan sehari – hari sekitar 500 -- 900 mg. Penggunaan yang terbaik dan aman
bagi tubuh manusia dewasa ialah 200-- 400 mg.
Kebutuhan vitamin B kompleks dalam tubuh sebaiknya tercukupi, jika tubuh
mengalami kekurangan asupan B kompleks maka akan timbul gejala--gejala:
1) terjadi kelemahan pada otot;
2) badan menjadi kurus, gangguan syaraf dan kelumpuhan kaki;
3) sesak nafas dan ederma yang disebabkan oleh gagal fungsi jantung;
4) cepat lelah;
5) kulit kasar dan berminyak dan gangguan pertumbuhan.
Menurut Sulaksono (2013), kelebihan mengonsumsi vitamin B kompleks juga
dapat menyebabkan efek samping negatif. Efek samping ini termasuk asam urat,
gula darah tinggi, dan masalah kulit. Selain itu, dosis yang tak terkontrol dapat
menyebabkan komplikasi jantung dan hati. Kelebihan vitamin B3 atau niasin
dapat menyebabkan masalah penglihatan, mual, muntah, dan memperparah sakit
maag. Kelebihan B9 atau asam folat dapat mengganggu kerja sistem lain.
Kelebihan niacin ini juga dapat menimbulkan efek samping pada hati.
Download