8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Itik Tegal Itik merupakan salah satu jenis unggas air (Waterfolws) dan dikenal dengan nama ”Duck” serta dalam systematic zoonologi tersusun sebagai berikut Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves Ordo : Anseriformes Family : Anatidae Genus : Anas Species : Anas plathyrynchos (Srigandono, 1996). Itik tegal merupakan bangsa itik asli Indonesia yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Itik tegal banyak dibudidayakan untuk dimanfaatkan telurnya, dan dagingnya dimanfaatkan jika itik telah afkir. Itik tegal mempunyai karakteristik hampir sama dengan itik lain, yaitu warna bulu kombinasi yang terdiri dari cokelat, hitam, putih, kuning, abu-abu, tubuh terlihat kecil dan tegak, paruh dan kaki berwarna hitam keputihan, bulu ekor terlihat mencuat ke atas, telur berwarna putih kehijauan (hijau muda), menghasilkan telur 9 sekitar 200--250 butir per tahun, berat telur berkisar 70--75 g per butir, dan bobot dewasa baik jantan maupun betina berkisar 1,4--1,5 kg (Srigandono, 1996) . Telur itik memiliki zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Kandungan nutrisi yang terkandung pada telur itik lebih tinggi dibandingkan dengan telur ayam. Tabel 1 menyajikan komposisi gizi telur itik yang dibandingkan dengan telur ayam. Tabel 1. Komposisi gizi per 100 g telur itik dan telur ayam Zat Gizi Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (g) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin B (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Utuh 189,0 13,1 14,3 0,8 56,0 175,0 2,8 422,0 0,1 0,0 70,8 Telur itik Albumen 54,0 11,0 0,0 0,8 21,0 20,0 0,1 0,0 0,0 0,0 88,0 Yolk 389,0 17,0 35,0 0,8 150,0 400,0 7,0 984,0 0,6 0,0 47,0 Utuh 162,0 12,8 11,5 0,7 54,0 180,0 2,7 309,0 0,1 0,0 74,0 Telur ayam Albumen 50,0 10,8 0,0 0,8 6,0 17,0 0,2 0,0 0,0 0,0 87,8 Yolk 361,0 19,3 31,9 0,7 147,0 586,0 7,2 686,0 0,3 0,0 49,4 Sumber: Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (2004) Itik tegal mengalami fase hidup setelah telur menetas yakni fase starter. Fase starter itik pada umur 0--2 minggu. Fase kedua (grower) adalah fase dimana terjadi perkembangan anatomi dan hormonal. Fase grower terbagi menjadi 2 fase yaitu grower I pada umur 3--10 minggu dan fase grower II pada umur 10--20 minggu. Fase ketiga adalah fase produksi (layer) yaitu pada saat itik mulai berproduksi pada umur 21 minggu hingga akhir produksi dan kemudian diafkir (Srigandono, 1986). 10 Pemberian pakan untuk itik petelur perlu diperhatikan rasio energi dan proteinnya (Srigandono, 1986). Pada pemeliharaan itik secara terkurung (intensif), hendaknya dalam keadaan basah. Pemberian pakan dilakukan 4--5 kali sehari pada itik muda dan 2--3 kali pada itik dewasa. Jumlah pemberian pakan tidak berlebihan namun mencukupi kebutuhan nutrisi harian itik (Suharno, 1992). Kebutuhan gizi itik petelur disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan gizi itik petelur Nutrien Metabolizable energy kcal/ kg Protein % Calcium % Phosphorus % Sodium % Cooper mg/kg Iodine mg/kg Iron mg/kg Manganese mg/kg Zinc mg/kg Biotin mg/kg Choline mg/kg Falic acid mg/kg Starter 0--2 Minggu 2750 20 0,9 0,45 0,15 8 0,6 80 100 60 0,1 8000 1 Grower 3--8 9--20 Minggu Minggu 2750 2700 18 15 0,8 0,8 0,45 0,45 0,15 0,15 8 8 0,6 0,6 80 80 100 100 60 60 0,1 0,1 1800 1100 1 1 Breeder >20 Minggu 2650 18 2,5 0,45 0,15 8 0,6 80 100 80 0,2 1100 1,5 Sumber: (NRC, 1984) Pemeliharaan itik secara intensif pada itik umur 5 minggu telah mampu hidup pada suasana suhu bebas sehingga pemanas tidak lagi diperlukan. Itik pada umur 5 minggu memerlukan 1--1,5m2 untuk 10 ekor itik. Pada pemeliharaan itik dewasa secara intensif dipisahkan dalam flok. Setiap satu flok berisi 12--15 ekor dan dibatasi menggunakan papan setinggi 40--50 cm (Srigandono, 1986). 11 B. Penetasan Telur Itik Menurut Setioko (2004), telur itik dapat ditetaskan secara alami, sederhana, dan moderen. a. Mesin tetas alami Penetasan telur secara alami dapat dilakukan dengan bantuan entok sebagai pengganti indukan. Menurut Suharno (1992), keberhasilan penetasan menggunakan jasa entok sebagai mesin tetas alami berkisar antara 80--90%. Cara yang digunakan adalah dengan mengganti atau menambah telur yang dierami entok sebanyak 2--3 kali periode penetasan dan menyediakan makanan dan minuman yang cukup. b. Mesin tetas sederhana Menurut Soedjarwo (2007), mesin tetas sederhana adalah mesin tetas yang dibuat dengan bahan-bahan dan cara yang sederhana sehingga energi dapat menggunakan minyak tanah ataupun listrik sesuai dengan kondisi daerah. Mesin tetas tipe sederhana hanya memiliki ruang hatcher. Hatcher pada mesin tetas sederhana memerlukan bantuan tangan untuk membalik telur satu persatu. c. Mesin tetas moderen Mesin tetas moderen banyak digunakan oleh pembibit skala besar. Menurut Suharno (1992), mesin tetas moderen dilengkapi dengan termoregulator (pengatur suhu) otomatis. Menurut Abidin (2009), mesin tetas moderen memiliki ruang setter dan hatcher yang terpisah. Setter pada mesin tetas modern digunakan pada hari ke-4 hingga hari ke-24. Ruang setter adalah ruang mengeram yang dapat memutar telur secara otomatis. Ruang hatcher adalah ruang penetasan digunakan 12 saat telur pertama dimasukkan hingga hari ke-3 dan hari ke-25 hingga telur itik menetas. C. Manajemen Penetasan Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), manajemen dalam penetasan telur meliputi suhu, kelembapan, sirkulasi udara, pemutaran telur (turning), dan peneropongan telur (candling). a) Suhu Suhu dalam penetasan merupakan faktor yang penting dalam penentuan keberhasilan penetasan. Suhu dalam mesin tetas yang terlalu rendah akan mengakibatkan embrio tumbuh lambat selama proses penetasan, sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi akan berkembang sangat cepat sehingga dapat menetas lebih awal. Suhu dalam mesin tetas harus selalu konstan dan diperiksa setiap jam. Umumnya suhu pada mesin tetas berkisar 38--40,5o C. Suhu yang terlalu tinggi pada mesin tetas mengakibatkan kematian embrio pada hari ke 2 hingga ke- 4 (Kurtini dan Riyanti, 2011). Srigandono (1986) menyatakan bahwa suhu optimum untuk penetasan telur itik adalah 38,5--41oC . b) Kelembapan (Rh) Kelembapan (Rh) sangat penting diberikan untuk mengontrol weight loss pada telur. Menurut Sudaryani dan Santosa (1999), kelembapan di dalam mesin tetas adalah 52--55%, sedangkan menurut Nuryati et al. (2000), kelembapan ideal dalam penetasan telur ayam hari ke 1 hingga ke 18 adalah 55--60%. 13 Kelembapan ideal untuk penetasan telur itik pada umur 1--25 hari adalah antara 60--70%, sedangkan pada hari ke-26 sampai menetas membutuhkan lebih tinggi yaitu 75--85% (Rasyaf, 1991). Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), untuk daerah tropik seperti Indonesia, umumnya digunakan 50--55% untuk mencapai weight loss ideal (12--14%). Kelembapan yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan kecilnya rongga udara sehingga embrio susah keluar saat menetas, penyerapan albumen tidak optimal yang menyebabkan ayam menempel pada membran dinding telur. c) Sirkulasi udara Ventilasi pada mesin tetas penting untuk diperhatikan. Aktifnya metabolisme embrio menyebabkan akumulasi CO2 di dalam ruang penetasan. Selain dapat menyebabkan kematian embrio, jumlah CO2 yang telalu banyak dapat menyebabkan DOC yang berhasil menetas menjadi lemas dan lemah. Ventilasi yang buruk bisa disebabkan oleh lubang ventilasi yang kotor atau jumlahnya yang kurang (Hartono, 2012). Sirkulasi udara dalam mesin tetas berfungsi untuk mempermudah pergerakan udara atau oksigen dalam mesin tetas dan mendistribusikan panas secara merata. Kebutuhan oksigen di dalam mesin tetas sekitar 21% dan setiap penurunan 1 % oksigen dapat menurunkan 5% daya tetas telur (Kurtini dan Riyanti, 2011). d) Pemutaran telur (turning) Pemutaran telur (turning) bertujuan agar embrio dapat memanfaatkan seluruh albumen protein yang tersedia dan mencegah menempelnya embrio pada sel 14 membran khususnya pada minggu pertama. Pemutaran telur (turning) tidak dilakukan dengan pintu terbuka. Pemutaran telur (turning) yang baik akan mengoptimalkan pertumbuhan embrio (Kurtini dan Riyanti, 2011). Harianto (2002) menyatakan bahwa jangan membalik telur sama sekali pada 3 hari terakhir menjelang telur menetas. Pada saat itu, telur tidak boleh diusik karena embrio dalam telur yang akan menetas tersebut sedang bergerak pada posisi penetasannya. Pembalikan telur dilakukan setiap hari mulai hari ke-3 atau ke-4 sampai 2 hari sebelum telur menetas. Pemutaran telur sebaiknya dilakukan paling sedikitnya 3 kali atau lebih baik jika diputar sampai 5 atau 6 kali sehari dengan setengah putaran (Djanah,1984 yang disitasi Meliyanti 2012) e) Peneropongan telur (Candling) Peneropongan telur (candling) merupakan salah satu perlakuan yang menentukan keberhasilan penetasan. Peneropongan telur (candling) biasanya dilakukan sebanyak 3 kali selama penetasan berlangsung yaitu pada hari ke-4, ke-11 dan hari ke-25. Peneropongan telur (candling) dilakukan untuk mengetahui fertilitas telur dengan cara meneropong telur (Rasyaf, 1991). Selain manajemen mesin tetas, seleksi telur juga memengaruhi dalam keberhasilan penetasan. Menurut Sudaryani (2003), telur yang baik untuk ditetaskan adalah telur yang berasal dari induk yang dikawini, berbentuk oval, permukaan kulit telur harus halus dan bersih, telur yang akan ditetaskan harus dalam keadaan segar (<7 hari), bobot telur itik berkisar antara 65--75 g. Telur itik tetas adalah telur yang dikoleksi dari sarang itik bertelur. Menurut Suprijatna, et al. (2008), keberhasilan dalam penetasan buatan tergantung dari 15 banyak faktor antara lain telur tetas, mesin tetas, dan tata laksana penetasan. Telur tetas yang baik memiliki fertilitas dan daya tetas yang tinggi. Srigandono (1986) menyatakan bahwa telur tetas yang baik didapat langsung dari sarang yang bersih dan kering sehingga tidak terjadi kontaminasi yang dapat membahayakan kualitas telur. Perbedaan nyata dalam tingkat persentase menetas dari telur yang berasal dari kandang dengan sarang dan kandang tanpa sarang yaitu 75,93% dan 63,76% (Supardjata, 1977). Ada beberapa tahapan dalam penetasan buatan, antara lain adalah pemilihan telur tetas, pembersihan telur tetas, fumigasi mesin tetas, pengaturan suhu dan kelembapan, peneropongan serta pemutaran posisi telur. Keberhasilan usaha penetasan telur itik salah satunya ditentukan oleh faktor-faktor seperti: kualitas telur, bobot telur, indeks telur, fertlitas dan daya tetas (Istiana, 1994; Wibowo et al. 2005). Pada proses penetasan suhu dan kelembapan harus diatur dan distabilkan selama 2x24 jam dan dipastikan tidak mengalami perubahan selama proses penetasan. Suhu dan kelembapan yang stabil ditujukan untuk mempertahankan kondisi telur agar tetap baik selama proses penetasan. Parkhus dan Moutney (1998) menyatakan bahwa telur akan banyak menetas jika berada pada suhu antara 94--104°F (36--40°C). Kelembapan mesin tetas sebaiknya diusahakan tetap pada kisaran 65--75 %. Menurut hasil penelitian Maulidya (2013), kisaran daya tetas dari tiap perlakuan adalah suhu 36--37ºC (3,09 ±7,19%), suhu 37--38°C (27,76 ± 19,41%), dan suhu 38--39°C (62 ± 13,6%). Hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa rataan daya tetas telur itik pada suhu 38--39°C paling tinggi 16 dibandingkan dengan suhu 36--37°C dan 37--38°C. Hal tersebut disebabkan oleh suhu yang diberikan sangat optimum dan hampir mendekati suhu pada penetasan alami. Selain suhu dan kelembapan, pemutaran telur merupakan kegiatan yang penting dilakukan. Pemutaran dimulai pada hari ke 4--25. Hal ini bertujuan meratakan panas yang diterima telur selama periode penetasan, dan mencegah kematian embrio karena lengket pada salah satu sisi kerabang. Selain itu, masa kritis pertumbuhan embrio adalah hari ke-4 dan pada hari ke-26 embrio mulai mengatur posisi untuk menetas, sehingga tidak dilakukan pemutaran (Roni, 2012). Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), pembalikan posisi telur selama inkubasi sangatlah penting dilakukan untuk memperoleh daya tetas yang tinggi. Selama inkubasi posisi telur sebaiknya bagian tumpul diletakkan keatas. Telur sebaiknya diputar 45o dengan total putaran 90o. Pemutaran (turning) ini dimaksudkan agar permukaan yolk tidak melekat pada membran kulit telur. D. Pertumbuhan Embrio Perkembangan embrio unggas terjadi di luar tubuh induknya. Setelah telur fertil ditelurkan, perkembangan embrio akan berhasil bila temperatur lingkungan diatas 80o F. Dua lapisan utama germ (ectoderm dan entoderm) biasanya di bentuk saat telur di telurkan. Lapisan ketiga (mesoderm) dibentuk setelah temperatur inkubator sesuai dengan pertumbuhan embrio. Setelah inkubasi dimulai, mesoderm dibedakan oleh pertumbuhan blastocoele diantara dua lapisan lainnya. 17 Kilit, bulu, paruh, kuku, sistem syaraf, mulut, lensa dan retina mata, serta vent berkembang dari lapisan ectoderm (Kurtini dan Riyanti, 2011). a. Periode perkembangan embrio Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), perkembangan embrio tidak dapat dilihat seluruhnya dengan mata telanjang, akan tetapi membutuhkan bantuan mikroskop atau kaca pembesar. Pada dasarnya pertumbuhan embrio setelah memasuki inkubator dapat digolongkan menjadi 3 periode, yaitu 1. pertumbuhan organ-organ dalam (umur 1--5 hari); 2. pertumbuhan jaringan luar (umur 6--14 hari); 3. pertumbuhan membesarnya embrio (umur 15--21 hari). b. Perkembangan embrio per harinya Menurut Rita (2010), yang disitasi Istiana (2012), awal ke 1--1,5 terjadi perkembangan awal, perkembangan warna membran embrio coklat dengan diameter 1cm. Hari ke 2,5--3 terjadi perkembangan warna membran embrio coklat muda dengan diameter 3. Menuju hari ke 4--5 terdapat cincin darah yang terlihat jelas dan awal pembentukan cairan sub-embrio. Pada hari ke 5,5--15 terbentuk mata hitam yaitu pigmen hitam pada mata embrio jelas terlihat, serta sayap dan kaki dapat terlihat juga. Memasuki hari ke 6--21 bulu mulai ada meskipun bulu pertama mulai terlihat pada hari ke 11. Hari ke 22--25, embrio bergerak dari kepala diantara kaki ke posisi penetasan dan kuning telur tetap berada di luar badan embrio. Pada hari 25--27 terjadi robek internal. Paruh dari embrio menembus membran dalam ruang udara. Menjelang hari ke 25--27 terjadi 18 robek internal yaitu paruh dari embrio telah memecah cangkang. Pada hari ke 28 telur pun menetas sempurna. E. Fertilitas Fertilitas dapat diartikan sebagai presentase telur yang memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan tanpa memperhatikan telur dapat atau tidak menetas. Telur tetas itik yang fertil dihasilkan melalui proses dari perkawinan antara itik jantan dengan itik betina dan memiliki benih embrio. Menurut Suryana (2011), rata-rata fertilitas telur tertinggi dengan sex ratio (1:10) menunjukkan nilai sebesar 97,88 % dibandingkan dengan sex ratio (1:28) dengan nilai 50,21%. Semakin tinggi angka yang diperoleh maka semakin baik pula kemungkinan daya tetasnya. Fertilitas dipengaruhi antara lain oleh asal telur (hasil dari perkawinan atau tidak), ransum induk, umur induk, kesehatan induk, umur telur, dan kebersihan telur (Septiwan, 2007). Menurut Sudaryanti (1990), fertilitas dapat mencapai 85,5% pada itik yang dipelihara intensif dan penetasannya menggunakan mesin tetas. Selanjutnya Setiadi et al. (1994) mengemukakan bahwa fertilitas telur pada itik yang dipelihara intensif berkisar 72--92 %. Fertilitas dan daya tetas telur itik memegang peranan penting dalam memproduksi bibit anak itik (Wibowo et al., 2005; Suryana dan Tiro, 2007) sehingga dihasilkan jumlah bibit sesuai yang diharapkan (Suryana, 2011). Fertilitas telur itik juga dipengaruhi umur induk yang tepat. Induk jantan sebaiknya dikawinkan 19 pada umur 7--15 bulan dan betina pada umur 7--12 bulan (Kurtini dan Riyanti, 2011). F. Daya Tetas Daya tetas merupakan persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil. Daya tetas telur sangat ditentukan oleh berbagai faktor terutama nilai gizi dari induk. Nilai daya tetas ini baru dapat diketahui setelah anak ayam menetas (Wibowo dan Jafendi, 1994). Banyak faktor yang memengaruhi daya tetas telur antara lain berat telur, bentuk telur, warna telur, keutuhan telur, kualitas telur, dan kebersihan kulit telur. Berat telur yang ditetaskan sebaiknya berkisar 65--75 g (Srigandono, 1986). Menurut Dewanti (2014), bobot telur tidak memengaruhi fertilitas dan daya tetas tetapi memengaruhi bobot tetas. Selain bobot telur, bentuk dan warna kulit telur juga harus oval dan seragam. Keseragaman bentuk telur ditujukan untuk mengefektifkan jumlah telur dalam mesin tetas. Warna kulit telur yang seragam juga memberikan dampak posif pada penetasan. Jika warna telur tidak seragam dikhawatirkan akan terjadi ketidakseragaman waktu menetas. Kurtini (1993) melaporkan bahwa telur itik yang memiliki warna hijau tua kebiruan menetas lebih lama dibandingkan dengan warna kulit telur hijau muda kebiruan (29 hari, 29 menit) dan ( 28 hari, 55 menit). Warna kulit telur hijau tua kebiruan juga memiliki daya tetas yang lebih rendah dibandingkan dengan telur yang berwarna hijau muda hingga sedang kebiruan (46,6%) dan (78,35 dan 70,74%). 20 Faktor lain yang memengaruhi daya tetas ialah genetik, nutrisi, fertilitas, dan penyakit (Sinabutar, 2009). Faktor genetik diantaranya adalah dewasa kelamin, umur, dan bangsa itik yang dapat memengaruhi bobot telur. Protein dalam pakan dapat memengaruhi umur dewasa kelamin dan bobot induk (Solihat et al. 2003). Applegate et al. (1998) menyatakan bahwa bobot telur yang dihasilkan berkorelasi positif dengan bobot induk. Selain itu, menurut Wilson (1997), daya tetas sangat dipengaruhi oleh status nutrien pakan induk, sehingga keseimbangan kebutuhan nutrien untuk perkembangan embrio normal tidak terpenuhi dengan baik (Kortlang, 1985). Daya tetas dan kualitas telur tetas dipengaruhi oleh cara penyimpanan, lama penyimpanan, tempat penyimpanan, suhu lingkungan, suhu mesin tetas, dan pembalikan selama penetasan. Penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan kualitas dan daya tetas menurun sehingga telur sebaiknya disimpan tidak lebih dari 7 hari (Raharjo, 2004). Darmanto (2014) menyatakan bahwa penyimpanan telur memiliki pengaruh sangat nyata terhadap daya tetas. Pada lama simpan 3--5 hari menunjukkan daya tetas lebih tinggi (76,67 + 1,04%) dan (76,67 + 0,29%) jika dibandingkan dengan dengan telur itik yang disimpan 7 hari (51,67 + 0,58%). Hal ini dapat terjadi karena pada telur yang disimpan 3 dan 5 hari memiliki calon embrio yang telah terbiasa dengan suhu lingkungan dan lebih siap untuk tumbuh. Pada lama simpan 7 hari daya tetas menjadi rendah karena semakin lama telur tetas disimpan maka kualitas telur akan menurun dan akan mudah tercemari oleh mikroba patogen yang beresiko menurunkan daya tetas. 21 G. Susut Tetas Susut tetas merupakan hilangnya bobot telur pada proses penetasan. Menurut North dan Bell (1990), penyusutan berat telur selama penetasan dipengaruhi oleh berat awal telur. Telur yang masih segar memiliki pori-pori kerabang telur yang lebih kecil dibandingkan dengan telur yang lama disimpan. Telur yang memiliki pori-pori kerabang kecil memungkinkan penguapan gas-gas dari dalam telur juga kecil, sehingga susut tetas dari telur yang ditetaskan semakin kecil juga. Pori-pori kerabang telur yang lebih kecil tersebut dapat mencegah masuknya bakteri ke dalam telur, sehingga kualitas isi telur dapat dipertahankan. Seperti yang diungkapkan oleh Rasyaf (1991), semakin lama telur tetas disimpan maka pori-pori kulit telur akan semakin lebar, sehingga memungkinkan penetrasi bakteri ke dalam telur tetas semakin besar yang mengakibatkan kualitas telur tetas semakin menurun. Kualitas telur segar yang baik hanya bertahan hingga 5--7 hari pada suhu ruang dan akan mengalami penurunan kesegaran selama penyimpanan terutama disebabkan oleh adanya kontaminasi mikrobia dari luar, masuk melalui pori-pori kerabang (Hadiwiyoto, 1983). Penyimpanan telur selama 5--10 hari juga dapat menyebabkan penurunan berat telur dan tinggi putih telur, tetapi meningkatkan pH putih telur dan volume buih putih telur (Silversides dan Budgell, 2004). Menurut Imai et al.(1986) yang disitasi Meliyanti (2012), pada penyimpanan telur selama 0, 3, 7, 14, 21, dan 28 hari diperoleh penurunan bobot telur 22 berturut-turut 0; 0,94; 1,82; 2,99; 4,34; dan 5,90%. Penurunan bobot tersebut adalah berbeda nyata dan dinyatakan juga terjadi penurunan berat albumen, meningkatnya ruang udara telur, dan menurunnya haugh unit telur. Menurut Meliyanti (2012), rata-rata susut tetas telur itik mojosari pada perlakuan penyimpanan telur tetas 1, 4, dan 7 hari berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Rata-rata susut tetas telur itik Mojosari pada hari ke- 1, 4, dan 7 berturut-turut 7,35; 7,84; dan 8,35. Susut tetas berpengaruh sangat nyata dapat disebabkan oleh tebal kerabang yang berbeda. Kerabang yang terlalu tebal menyebabkan telur kurang terpengaruh oleh suhu penetasan, sehingga penguapan air dan gas sangat kecil. Telur yang berkerabang tipis mengakibatkan telur mudah pecah sehingga tidak baik untuk ditetaskan (Rasyaf, 1991). Peebles dan Brake (1985) menyatakan bahwa penyusutan bobot telur tetas selama masa penetasan menunjukkan adanya perkembangan dan metabolisme embrio, yaitu dengan adanya pertukaran gas vital oksigen dan karbondioksida serta penguapan air melalui kerabang telur. Susut tetas yang terlalu tinggi menyebabkan menurunnya daya tetas dan bobot tetas. Menurut Kurtini dan Riyanti (2011), secara umum susut tetas yang dianjurkan adalah 12--14 %. H. Kematian Embrio Unggas memiliki perbedaan dalam sistem perkembangan embrio dengan mamalia. Perkembangan embrio pada telur terjadi pada tiga tahapan waktu yang berbeda yaitu, sebelum telur dikeluarkan dari tubuh induk betina, waktu pengeluaran hingga masa inkubasi dan selama masa inkubasi berlangsung (Maulidya, 2013). Kematian embrio merupakan kematian yang terjadi pada 23 embrio saat didalam cangkang atau belum menatas. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu penyimpanan telur lebih dari 7 hari, telur dalam kondisi kotor sehingga mudah terkontaminasi oleh bakteri yang masuk melaluli pori-pori (Rasyaf, 1990). Kematian embrio dapat terjadi karena pakan induk mengalami defisiensi zat gizi seperti vitamin dan mineral, sehingga metabolisme dan perkembangan embrio menjadi tidak optimal. Untuk mengatasi hal ini, pada ransum induk perlu ditambahkan suplemen vitamin dan mineral yang banyak dijual di pasaran (Supriyanto, 2004). Selain penambahan suplemen pada ransum, menurut Widyaningrum (2012), penyemprotan dengan larutan vitamin B kompleks sebanyak 5 butir per liter dapat mengoptimalkan perkembangan embrio selama proses penetasan sehingga nilai kematian embrio menjadi berkurang. Telur yang kotor juga merupakan salah satu faktor kematian embrio. Para ahli melaporkan bahwa sekitar 0,5-- 6% telur yang berasal dari ayam sehat mengandung Escherichia coli dan sekitar 1,75% dari embrio yang mati mengandung Escherichia coli serotype patogen. Sumber kematian embrio yang terpenting adalah akibat pencemaran feses pada telur. Telur tetas yang berasal dari lingkungan yang kotor dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah kemasukan Escherichia coli dan dapat mencapai yolk sac (Sayib, 2013). Faktor lingkungan antara lain suhu, kelembapan dan konsentrasi gas yang terdapat di dalam telur (Kortlang, 1985). Kelembapan berpengaruh terhadap kecepatan hilangnya air dari dalam telur selama inkubasi (Setioko, 1998). Kehilangan air yang banyak menyebabkan keringnya chario-allantoic untuk kemudian 24 digantikan oleh gas-gas, sehingga sering terjadi kematian embrio dan telur membusuk (Baruah et al., 2001). Kematian embrio dapat juga terjadi karena prosedur penetasan yang tidak sesuai seperti, suhu inkubator terlalu tinggi atau terlalu rendah, penyimpanan telur yang terlalu lama, telur tidak diputar. Akibatnya, embrio tidak dapat tumbuh normal dan akhirnya mati (Putri, 2009). Menurut Sudaryani (1999), beberapa penyebab kegagalan embrio saat penetasan: 1) Telur infertil, disebabkan oleh : a) perbandingan induk jantan dan betina tidak memenuhi persyaratan induk jantan/betina sudah terlalu tua; b) induk betina terlalu gemuk; c) kebersihan kerabang telur tetas; d) telur tetas disimpan terlalu lama pada kondisi yang tidak sesuai sebelum dimasukan ke dalam mesin tetas; e) pakan induk parent stock kekurangan vitamin A, B, C atau E dan; f) parent stock mengalami sakit/stres. 2) Embrio mati pada awal penetasan disebabkan oleh: a) suhu mesin tetas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah; b) faktor genetik parent stock; c) kesalahan dalam proses fumigasi (pengasapan); d) kesalahan pada pemutaran telur; e) stres/penyakit pada parent stock. 25 3) Embrio banyak yang mati di mesin penetasan pada umur 11--20 hari disebabkan oleh: a) pemutaran telur yang tidak benar; b) suhu dan kelembapan mesin tetas yang tidak tepat; c) faktor genetik parent stock; d) peletakan telur pada egg tray yang tidak benar arahnya sebaiknya yang bulat diatas dan runcing dibawah; e) sirkulasi udara yang tidak baik. 4) Embrio banyak yang mati setelah kulit telur retak Bila embrio banyak yang mati sesudah kulit telur retak, penyebab utamanya adalah kelembapan di mesin hatcher (penetasan) terlalu rendah dan terjadi fluktuasi suhu di mesin setter. 5) Menetas terlalu cepat, disebabkan oleh suhu mesin setter/hatcher yang terlalu tinggi. 6) Menetas terlambat Kemungkinan disebabkan oleh suhu mesin setter terlalu rendah atau sebelum ditetaskan, telur tetas telah lama disimpan. 7) Menetas tidak serempak, disebabkan oleh: a) penyebaran panas di dalam mesin tetas tidak merata; b) telur tetas berasal dari induk/parent stock yang berbeda umur dan ukuran telur yang beragam. 8) Pusar final stock tidak menutup secara sempurna, disebabkan oleh: a) suhu di mesin hatcher terlalu tinggi; b) suhu di mesin setter terlalu berfluktuasi; 26 c) kesalahan teknik fumigasi pada saat telur berada di mesin hatcher; d) kelembapan di mesin hatcher terlalu rendah. 9) Final stock tertutup cairan disebabkan oleh: a) suhu di mesin tetas terlalu rendah; b) kelembapan di mesin tetas terlalu tinggi dan kandungan gizi pakan parent stock kurang tepat. 10) Final stock terlalu kecil, disebabkan oleh: a) berat telur tetas terlalu rendah; b) kelembapan di mesin tetas terlalu rendah dan suhu di mesin tetas terlalu tinggi. 11) Final stock lemah disebabkan oleh: a) suhu dan kelembapan di mesin hatcher terlalu tinggi atau terlalu rendah; b) kandungan gizi pakan parent stock kurang tepat; c) telur tetas berasal dari induk parent stock yang masih muda. I. Vitamin B kompleks Vitamin B kompleks adalah satu kelompok vitamin B yang terdiri dari: vitamin B1 (thiamine), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niacin), vitamin B5 (pantothenic acid/asam pantotenat), vitamin B6 (pyridoxamine), vitamin B9 (folic acid/asam folat), vitamin B12 (cyanocob), vitamin B7 (biotin), Kolin, dan inositol (Yuniastuti, 2007). Vitamin B bekerja dengan bersinergi, yaitu antara jenis yang satu dan jenis yang lain saling melengkapi. Kekurangan salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan ketidakseimbangan sistem tubuh. Vitamin B 27 kompleks bersifat larut dalam air. Kelebihan mengonsumsi vitamin B akan di eskresikan melalui urin (Sulaksono, 2013). Lebih lanjut dikemukakan oleh Sulaksono (2013) bahwa vitamin B kompleks memiliki manfaat memproduksi energi, membantu kerja sistem saraf, mempertahankan kondisi tubuh yang sehat, menjaga sistem pencernaan, serta menjaga kesehatan rambut dan kuku. Vitamin B1, diperlukan untuk mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Vitamin B1 (thiamine) berfungsi pada unsur sistem enzim jaringan terutama dalam dekarboksilasi asam piruvat dan ketoglutarat. Kekurangan vitamin-vitamin B ini dapat menyebabkan penurunan produksi energi, yang menyebabkan lesu dan mudah kelelahan (Yuniastuti, 2007). Vitamin B5, diperlukan agar kelenjar adrenal bekerja dengan baik untuk memproduksi beberapa hormon dan zat pengatur saraf. Kekurangan vitamin B5 (asam pantotenat) berupa kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran cerna, dan gangguan otot berupa kejang (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat, 2011). Vitamin B6, membantu tubuh dalam membuat hormon-hormon tertentu, serta senyawa kimia khusus dalam otak yang disebut dengan neurotransmitter. Vitamin B6 (pyridoxine) membantu memproduksi sel darah merah, yang akan membantu mencegah anemia. Vitamin B6 berfungsi membantu pelepasan glikogen dari hati dan otot menjadi energi dan disimpan dalam otot (Achadi, 2007). 28 Vitamin B9 atau asam folat sangat berperan penting bagi ibu hamil untuk mencegah cacat tabung saraf pada janin selama pertumbuhan di dalam kandungan. Kekurangan salah satu dari vitamin B kompleks dapat menyebabkan perasaan mudah stres, cemas dan depresi. Vitamin B9 berperan dalam mentransfer dan pemakaian gugus karbon. Mempunyai peran spesifik dalam metabolisme histidin dan peran dalam hemopoesis (Yuniastuti, 2007). Vitamin B kompleks, sangat penting untuk menjaga pencernaan, yaitu membantu produksi HCl (asam klorida ), membantu pemecahan lemak, protein dan karbohidrat. Vitamin B sangat penting untuk RNA, DNA dan reproduksi sel tubuh. Kulit, rambut, dan kuku yang terus tumbuh membutuhkan vitamin B (Sulaksono, 2013). Vitamin B yang berfungsi menjaga pencernaan adalah vitamin B1, vitamin B2, Vitamin B3 dan Vitamin B6. Kekurangan dalam salah satu dapat menyebabkan pencernaan terganggu, akibatnya tubuh juga akan kekurangan nutrisi penting (Departemen Gizi dan Kesahatan Masyarakat, 2011). Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo ( 2010), fungsi B kompleks secara umum yaitu: 1) memengaruhi keseimbangan air dalam tubuh; 2) berguna dalam proses pertumbuhan dan perbanyakan sel; 3) berguna dalam pembuatan sel-sel darah; 4) berguna dalam proses pertumbuhan dan pekerjaan urat syaraf; 5) merangsang pembentukan eritrosit. Menurut Achadi (2007), kebutuhan B kompleks dalam sehari belum bisa ditentukan. Akan tetapi, vitamin B kompleks rata - rata terkandung dalam 29 makanan sehari – hari sekitar 500 -- 900 mg. Penggunaan yang terbaik dan aman bagi tubuh manusia dewasa ialah 200-- 400 mg. Kebutuhan vitamin B kompleks dalam tubuh sebaiknya tercukupi, jika tubuh mengalami kekurangan asupan B kompleks maka akan timbul gejala--gejala: 1) terjadi kelemahan pada otot; 2) badan menjadi kurus, gangguan syaraf dan kelumpuhan kaki; 3) sesak nafas dan ederma yang disebabkan oleh gagal fungsi jantung; 4) cepat lelah; 5) kulit kasar dan berminyak dan gangguan pertumbuhan. Menurut Sulaksono (2013), kelebihan mengonsumsi vitamin B kompleks juga dapat menyebabkan efek samping negatif. Efek samping ini termasuk asam urat, gula darah tinggi, dan masalah kulit. Selain itu, dosis yang tak terkontrol dapat menyebabkan komplikasi jantung dan hati. Kelebihan vitamin B3 atau niasin dapat menyebabkan masalah penglihatan, mual, muntah, dan memperparah sakit maag. Kelebihan B9 atau asam folat dapat mengganggu kerja sistem lain. Kelebihan niacin ini juga dapat menimbulkan efek samping pada hati.