MENGATASI BULLYING SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN

advertisement
MENGATASI BULLYING SISWA SEKOLAH DASAR
DENGAN MENERAPKAN MANAJEMEN KELAS YANG EFEKTIF
Irnie Victorynie
E-mail: [email protected]
Abstrak
Ketika ada berita bullying terhadap siswa Sekolah Dasar yang mengakibatkan
kematian, hampir semua orang terkejut dan saling menyalahkan. Dunia pendidikan
digugat baik Kementerian Pendidikan, pihak sekolah maupun guru yang megajar.
Para orang tua juga dipertanyakan perannya dalam mendidik anak. Semua punya
alasan pembenarannya sendiri-sendiri dan kenyataannya bahwa semua pihak juga
punya andil besar maupun kecil terhadap bullying yang terjadi pada siswa Sekolah
Dasar. Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian kualitatif.
Kajian ini menganalisis bullying yang terjadi dan menawarkan peran guru sebagai
salah satu faktor yang memiliki andil terjadinya bullying. Hasil kajian ini diharapkan
dapat menjadi solusi mengatasi bullying melalui penerapan manajemen kelas yang
efektif dalam sistem belajar mengajar di kelas.
Kata kunci : bullying, manajemen kelas, sistem pendidikan
PENDAHULUAN
Masalah perilaku siswa selama
beberapa tahun telah menjadi
perhatian utama guru, administrator,
dan orang tua. Kita seringkali hanya
fokus pada prestasi siswa dan sekolah,
sehingga menyebabkan perhatian
publik cenderung kurang terhadap
perilaku siswa. Kita baru tersadar dan
terkaget-kaget ketika ada berita
tentang kekerasan terhadap siswa
yang dilakukan oleh siswa juga. Publik
akan langsung menanyakan dimana
keberadaan guru dan pihak sekolah
secara umum. Meskipun guru
bertugas mendidik siswa agar menjadi
ramah dan berusaha membangun
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
lingkungan komunitasnya menjadi
kondusif, tetapi masih ada saja
ditemukan perilaku siswa yang
menunjukkan kekerasan terhadap
rekan-rekannya.
Kekerasan
di
sekolah
merupakan masalah yang cukup
serius. Saat ini bentuk kekerasan di
sekolah
semakin
beragam,
diantaranya kasus bullying yang
dilakukan oleh seorang siswa saja
hingga kasus bullying yang dilakukan
oleh beramai-ramai terhadap seorang
siswa di sekolah. Dalam kompas.com
dikabarkan bahwa telah terjadi kasus
bullying pada siswa kelas II Sekolah
Dasar 07 Pagi Kebayoran Lama Utara,
Jakarta Selatan. Kasus bullying
28
berawal dari ejekan saat kegiatan
menggambar di sekolah, kemudian
berlanjut pada kasus penganiayaan
hingga membuat seorang siswa
mengalami
kematian.
(http://megapolitan.kompas.com/rea
d/2015/09/19/12111601/Siswa.SD.Ko
rban.Kekerasan.di,Sekolah.Berasal.Dar
i.Keluarga.Kurang.Mampu)
Kasus serupa diberitakan dalam
beritaekspres.com. Kasus bullying
menimpa siswa kelas V Sekolah Dasar
Negeri Bintara Jaya 2, Keranji, Bekasi
Barat. Peristiwa tersebut terjadi saat
jam
pelajaran
menggambar
berlangsung. Guru wali kelas sedang
keluar meninggalkan kelas. Seorang
siswa dianiaya oleh 10 orang
temannya di dalam kelas hingga
korban terluka dan berdarah-darah.
(http://www.beritaekspres.com/2015
/10/22/dianiaya10-siswa-temansekelas-lagi-kekerasan-anakdilingkungan-sekolah-terjadi-dibekasi/)
Kedua
kasus
di
atas,
menunjukkan bahwa ada masalah
yang cukup serius terhadap perilaku
siswa sekolah yang khususnya ada di
sekolah dasar. Disamping itu kasus
tersebut menunjukkan faktor-faktor
yang seharusnya berjalan dengan
semestinya dalam lingkungan kelas,
ternyata tidak berjalan sebagaimana
yang diharapkan. Peran guru di
sekolah belum memberikan tugas dan
fungsinya dalam mendidik siswa dan
mengkondisikan kelas sebagai tempat
yang kondusif dan aman dalam sistem
belajar
mengajar.
Disisi
lain
pengawasan sekolah pun belum
berjalan dengan baik.
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
Guru semestinya mempunyai
kontrol atas banyak faktor yang
berpengaruh
secara
signifikan
terhadap prestasi dan perilaku siswa.
Sekolah dan guru yang bekerja sama
diharapkan dapat membantu siswa
mengembangkan
perilaku
yang
diharapkan
dan
meningkatkan
prestasi siswa. Proses merubah dan
membangun
perilaku
siswa
sebenarnya bisa dilakukan oleh guru
di dalam kelas. Hal ini dijelaskan
dalam konsep manajemen kelas
sebagaimana yang dijelaskan oleh
Mary McCaslin dan Thomas L. Good
(1992) dalam Vern Jones dan Louise
Jones (2012:3) yaitu: “Manajemen
kelas dapat dan lebih dari sekadar
memunculkan kepatuhan yang dapat
dan harus menjadi cara untuk
meningkatkan pemahaman diri siswa,
evaluasi diri, dan internalisasi kontrol
diri”
Oleh
karenanya,
guru
hendaknya memahami dengan benar
mengenai manajemen kelas dan
berupaya mengimplementasikannya
secara
efektif.
Seperti
yang
disampaikan oleh Thomas L Good dan
Jere Brophy (2008) dalam Vern Jones
dan Louise Jones (2012:3), “Temuan
menunjukkan bahwa guru yang
menganggap
manajemen
kelas
sebagai proses dalam membangun
dan mempertahankan lingkungan
belajar yang efektif cenderung lebih
berhasil daripada guru yang lebih
menekankan peranan mereka sebagai
figur otoritas atau pendisiplin.”
Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak,
membawa
konsekuensi
terhadap perubahan peranan guru
29
sebagai pendidik. Sekolah sebagai
lembaga
pendidikan
merupakan
tempat aktifitas belajar yang di
dalamnya
terdapat
komponenkomponen seperti guru, siswa,
pegawai dan kurikulum serta fasilitas
pendukung. Fungsi sekolah sebagai
lembaga pendidikan harus mampu
memberikan kebutuhan belajar yang
terus berubah. Kebutuhan untuk
belajar
mengenai
bagaimana
menghadapi serta mengatasi kondisikondisi baru itu yaitu menyerap
pengetahuan baru dengan membawa
hasil yang positif telah menciptakan
beberapa tugas yang dibebankan oleh
masyarakat sekolah dan para guru.
Dari uraian diatas maka penulis
akan
merumuskan
masalahmasalahnya yaitu:
1. Bagaimana kondisi bullying di
lingkungan Sekolah Dasar?
2. Bagaimana peran guru dalam
penerapan manajemen kelas di
Sekolah Dasar?
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Perkembangan Siswa
Sekolah Dasar
Anak usia Sekolah Dasar (6-12
tahun) disebut sebagai masa anakanak (midle childhood). Pada masa
inilah disebut sebagai usia matang
bagi anak-anak untuk belajar. Hal ini
dikarenakan anak-anak menginginkan
untuk
menguasai
kecakapankecakapan baru yang diberikan oleh
guru di sekolah.
Simanjuntak
dan
Pasaribu
(1983:68) menegaskan bahwa salah
satu tanda permulaan periode
bersekolah ini ialah sikap anak
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
terhadap
keluarga
tidak
lagi
egosentris melainkan objektif dan
empiris terhadap dunia luar. Jadi
dapat disimpulkan bahwa telah ada
sikap intelektualitas sehingga masa ini
disebut periode intelektual.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Nasution (1995:44) bahwa masa usia
sekolah ini sering disebut sebagai
masa intelektual atau masa keserasian
sekolah. Pada masa ini secara relatif
anak-anak mudah untuk dididik
daripada masa sebelumnya dan
sesudahnya.
Memahami
tentang
murid
berarti memahami gejala atau kondisi
yang dimiliki. Secara umum, Sunarto
(2008:35) mengemukakan beberapa
sifat siswa SD antara lain:
1. Mempunyai sifat patuh terhadap
aturan.
2. Kecenderungan untuk memuji diri
sendiri.
3. Suka membandingkan diri dengan
orang lain.
4. Jika tidak dapat menyelesaikan
tugas, maka tugas tersebut
dianggap tidak penting.
5. Realistis, dan rasa ingin tahu yang
besar.
6. Kecenderungan
melakukan
kegiatan kehidupan yang bersifat
praktis dan nyata.
Berdasar pada amanat Undangundang Dasar 1945, maka pengertian
pendidikan
di
sekolah
dasar
merupakan
upaya
untuk
mencerdaskan
dan
mencetak
kehidupan bangsa yang bertaqwa,
cinta dan bangga terhadap bangsa
dan negara, terampil, kreatif, berbudi
pekerti yang santun serta mampu
menyelesaikan
permasalahan
di
30
lingkungannya. Pendidikan di sekolah
dasar merupakan pendidikan anak
yang berusia antara 7 sampai dengan
13 tahun sebagai pendidikan di tingkat
dasar yang dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi
daerah/karakteristik daerah, sosial
budaya masyarakat setempat bagi
siswa.
Dalam Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional,
dijelaskan
pengertian pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana yang tertuang ke
dalam tujuan pendidikan nasional dan
pendidikan di sekolah dasar yaitu,
untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses kegiatan pembelajaran
dengan tujuan agar siswa secara aktif
mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan,
akhlak
mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat,
dalam berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan
Undang-Undang
tersebut, maka tujuan pendidikan di
Sekolah Dasar dapat diuraikan
meliputi beberapa hal yaitu, (1).
Beriman dan bertaqwa terhadap
TuhanNya, (2). Mengarahkan dan
membimbing siswa ke arah situasi
yang berpotensi positif, berjiwa besar,
kritis,cerdas dan berakhlak mulia, (3).
Memiliki rasa cinta tanah air, bangga
dan mampu mengisi hal yang
bertujuan membangun diri sendiri
bangsa dan negara, (4). Membawa
siswa
sekolah
dasar
mampu
berprestasi ke jenjang selanjutnya.
Peran Guru dalam Membangun
Perilaku
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
Hampir dapat dipastikan bahwa
tidak ada kegiatan pendidikan di
sekolah tanpa guru dan tidak ada
tujuan
pendidikan
yang
tidak
melibatkan manusia di dalamnya
khususnya peserta didik. Kedua
komponen
tersebut
mempunyai
hubungan yang khas walupun tugas
dan tanggung jawabnya berbeda.
Pendidikan yang dimaksud disini
adalah pendidikan yang berlangsung
di sekolah. Sedangkan hubungan yang
khas adalah hubungan antara guru
dengan peserta didik dalam suasana
belajar mengajar untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Berbicara mengenai peranan
guru, berarti berbicara pula mengenai
definisi fungsi sekolah. Sedangkan
fungsi sekolah digunakan sebagai
sarana untuk mencapai tujuan
pendidikan. Sebagaimana dinyatakan
oleh Norman M. Goble (1983; 53)
menyatakan; “Tanpa syarat tugas
guru adalah meningkatkan proses
belajar dan juga bahwa deskripsi
peranan
guru
tidak
boleh
menyimpang dari tujuan pendidikan
yang ingin dicapai”.
Guru
harus
menyadari
peranannya dalam pendidikan bahwa
orang yang paling penting di sekolah
adalah siswa, guru hanya seorang
pembantu. Cara-cara lama yang
digunakan yang dianggap tidak sesuai
dengan konsep pendidikan modern
harus dibuang jauh-jauh. Guru harus
berani berinovasi untuk melakukan
perubahan peranan
dalam
memberikan
pelayanan
kepada
peserta didik. Guru harus berubah
pola perilakunya yaitu tidak boleh lagi
bertindak sebagai penguasa terhadap
31
anak didik sehingga bertindak
represif, tetapi harus bertindak
persuasif
untuk
menumbuhkan
kesadaran diri akan peranan yang
harus dijalankan di sekolah.
Semua guru akan setuju bahwa
fungsi sekolah tidak hanya sebagai
tempat menambah pengetahuan saja,
tetapi tempat pendidikan. Itu berarti
guru yang baik bukan mengisi
pengetahuan saja tetapi mendidik
siswanya menjadi manusia yang baik.
Interaksi belajar mengajar guru
mempunyai dua fungsi sekaligus
yaitu sebagai pengajar dan pendidik.
Disini
guru
dituntut
untuk
memberikan contoh tauladan yang
baik
kepada
anak
didiknya.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ali
Syaifullah dalam bukunya Pengantar
Filsafat Pendidikan (1977:24), “Gaya
mengajar sistem among yaitu raport
yang menekankan relasi kasih sayang,
saling percaya mempercayai antara
guru dengan siswa. Nilai-nilai yang
dapat dikembangkan adalah tanggung
jawab sosial dan disiplin sosial serta
relasi sosial dalam diri anak.”
Manajemen Kelas
Menurut Suharsimi Arikunto
(1992:8)
“Pengelolaan/manajemen
adalah
penyelenggaraan
atau
pengurusan agar sesuatu yang
dikelola dapat berjalan dengan lancar,
efektif dan efisien.”
Sedangkan pengertian kelas
dijelaskan oleh Ali Imron dkk
(2003:43), “Kelas diartikan sebagai
ruangan belajar atau rombongan
belajar, yang dibatasi oleh empat
dinding atau tempat peserta didik
belajar, dan tingkatan (grade). Ia juga
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
dapat dipandang sebagai kegiatan
belajar yang diberikan oleh guru
dalam suatu tempat, ruangan, tingkat
dan waktu tertentu.”
Menurut
konsepsi
lama,
manajemen kelas diartikan sebagai
upaya mempertahankan ketertiban
kelas. Menurut konsepsi modern
manajemen kelas adalah proses
seleksi yang menggunakan alat yang
tetap terhadap problem dan situasi
manajemen kelas (Lois V. Jhonson dan
Mary Bany, 1970)
Syaiful
Bahri
Djamarah
(2000:173) berpendapat, “Manajemen
Kelas
adalah
suatu
upaya
memberdayagunakan potensi kelas
yang ada seoptimal mungkin untuk
mendukung proses interaksi edukatif
mencapai tujuan pembelajaran.”
Tujuan Manajemen Kelas secara
khusus dibagi menjadi dua yaitu
tujuan untuk siswa dan guru. Tujuan
Untuk
Siswa,
dijelaskan
oleh
Suharsimi Arikunto (1992:68):
a. Mendorong
siswa
untuk
mengembangkan tanggung-jawab
individu terhadap tingkah lakunya
dan kebutuhan untuk mengontrol
diri sendiri.
b. Membantu
siswa
untuk
mengetahui tingkah laku yang
sesuai dengan tata tertib kelas dan
memahami bahwa teguran guru
merupakan suatu peringatan dan
bukan kemarahan.
c. Membangkitkan rasa tanggungjawab untuk melibatkan diri dalam
tugas maupun pada kegiatan yang
diadakan
32
Tujuan
Untuk
Guru,
dikemukakan oleh Sunaryo (1989:6465):
a. Untuk
mengembangkan
pemahaman dalam penyajian
pelajaran dengan pembukaan yang
lancar dan kecepatan yang tepat.
b. Untuk dapat menyadari akan
kebutuhan siswa dan memiliki
kemampuan
dalam
memberi
petunjuk secara jelas kepada siswa.
c. Untuk mempelajari bagaimana
merespon secara efektif terhadap
tingkah
laku
siswa
yang
mengganggu.
d. Untuk memiliki strategi remedial
yang lebih komprehensif yang
dapat digunakan dalam hubungan
dengan masalah tingkah laku siswa
yang muncul di dalam kelas
PEMBAHASAN
Kondisi Bullying
Bullying berasal dari kata
bully, yang dalam bahasa inggris
yang berarti penggertak, orang yang
mengganggu
orang
lemah,
menggertak, mengganggu (Echols dan
Hassan, 1992:87). Kasus terbunuhnya
anak di sekolah selama 5 tahun
terakhir yang diindikasikan meningkat
setiap tahunnya. Laporan kekerasan
terhadap anak yang diterima oleh
KPAI tersebut terjadi di sekolah,
keluarga dan lingkungan sosial. Dari
hasil penelitian KPAI ternyata
sebanyak 17% kekerasan terhadap
anak terjadi di sekolah. Bahkan pada
2013, tercatat 181 kasus yang
berujung pada tewasnya korban, 141
kasus korban menderita luka berat,
dan 97 kasus korban luka ringan.
Tindakan kekerasan di sekolah bisa
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
dilakukan oleh guru, kepala sekolah,
bahkan sesama peserta didik. Namun,
bullying sesama peserta didik memiliki
karakteristik berbeda dari kekerasan
yang dilakukan oleh orang dewasa.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang
dewasa terhadap anak biasanya
dilakukan oleh pelaku tunggal
sedangkan bullying oleh sesama murid
biasanya
berlangsung
secara
berkelompok.
Bahkan menurut penelitian
lintas negara yang dilakukan Craig dkk,
anak yang menjadi korban bullying
cenderung
terlibat
dalam
penggencetan anak lain. Ini berarti
sebuah lingkaran tanpa akhir ketika
korban berubah menjadi pelaku.
Dengan begitu, praktek kekerasan
menjadi budaya di kalangan anakanak. Agresivitas di usia belia tidak
semua kekerasan berujung kematian
namun data statistik di atas cukup
menggambarkan betapa perilaku
kekerasan telah menjadi keseharian
anak-anak Indonesia.
Pada tahun 2005-2006, The
Health Behavior in School-Aged
Children (HBSC) melakukan survei
terhadap sekitar 200.000 anak usia
sekolah di 40 negara. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan peningkatan
jumlah
bullying
di
Indonesia.
Penelitian lain oleh Craig dkk. pada
tahun 2009 menemukan bahwa
tingkat bullying terlihat lebih tinggi
pada anak laki-laki daripada anak
perempuan. Hal ini menyebabkan
data bullying pada anak lelaki lebih
mudah didapat karena mereka
cenderung melaporkan penindasan
terhadapnya.
Menurut berbagai penelitian
33
yang dirangkum Riasukina, Djuwita,
dan Soesetio (misalnya Simmons,
2002; Ma, Stewin, Mah, 2001;
Sullivan, 2000, dan Olweus, 1993),
perilaku bullying di sekolah ini dapat
berupa (1) kontak fisik langsung
seperti
memukul,
mendorong,
menggigit, menjambak, menendang,
mengunci seseorang dalam ruangan,
mencubit, mencakar, serta berbagai
serangan fisik lainnya, termasuk
merusak barang-barang yang dimiliki
oleh orang lain; (2) kontak verbal
langsung
seperti
mengancam,
mempermalukan,
merendahkan,
menggangu, memberi panggilan nama
(name-calling),
sarkasme,
merendahkan
(put-downs),
mencela/mengejek, mengintimidasi
seseorang,
memaki,
dan
juga
menyebarkan gossip; (3) perilaku
nonverbal langsung seperti melihat
dengan sinis, menjulurkan lidah,
menampilkan ekspresi muka yang
merendahkan,
mengejak,
atau
mengancam (biasanya disertai oleh
bullying
langsung,
seperti
mendiamkan
seseorang,
memanipulasi persahabatan sehingga
hubungan tersebut menjadi retak,
dengan
sengaja
mengucilkan
seseorang atau tidak mengabaikan
orang tersebut, atau mengirimkan
surat kaleng; (4) pelecehan seksual,
kadang-kadang bisa juga verbal.
Darmawan (2010) mengutip
pendapat Roland dan Insoe dalam
tesisnya yang berjudul “Bullying in
School: A Studey of Forms and Motives
of Aggression in Two Secondary
Schools in the city of Palu, Indonesia”,
yang menyatakan penggencetan
sebagai aspek agresi. Perilaku agresif
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
biasanya
ditunjukkan
untuk
menyerang, menyakiti, atau melawan
orang lain, baik secara fisik maupun
verbal. Hal itu bisa berbentuk
pukulan, tendangan, dan perilaku fisik
lainnya, atau berbentuk cercaan,
makian, ejekan, bantahan, dan
semacamnya.
Menurut
Egi
(dalam
http://regianamanah.blogspot.com/2
011/02/perilaku-bullying-pada-anaksekolah.html) yang bisa menyebabkan
anak berperilaku bully menurut
Herlina adalah perpaduan dari faktor
internal dan eksternal.
1. Faktor internal
Secara internal, memang setiap
orang pada dasarnya memiliki
kebutuhan penyataan diri dan
aggressiveness dalam dirinya, hanya
kapasitasnya saja yang berbeda-beda.
Perilaku bully dapat terjadi bila
kemudian
faktor
internal
ini
distimulasi
oleh
faktor-faktor
eksternal.
Pada Workshop Nasional Antibullying 2008 diungkapkan bahwa
salah satu penyebab seseorang
menjadi pelaku bullying adalah
adanya harga diri yang rendah. Harga
diri adalah penilaian yang dibuat
seseorang dan biasanya tetap tentang
dirinya. Hal itu menyatakan sikap
menyetujui atau tidak menyetujui,
dan menunjukkan sejauh mana orang
menganggap dirinya mampu, berarti,
sukses dan berharga.
Harga diri yang rendah dan
pemahaman moral anak yang rendah
memunculkan perilaku bullying. Anak
yang melakukan bullying pada
temannya
karena
anak
ingin
34
mendapatkan
perhargaan
dari
temannya dan anak belum memahami
suatu perbuatan benar atau salah
berdasarkan norma moral.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang umumnya
paling
mempengaruhi
adalah
keluarga, lingkungan dan jenis
tontonan. Anak berperilaku bullying
itu biasanya datang dari beberapa
macam keluarga. Keluarga yang
sangat memanjakan anak, apa pun
keinginan anak dituruti, maka anak
akan merasa powerful dan bisa
mengatur orang lain. Hal ini terekam
hingga pada waktu sekolah atau
bergaul pun anak mencari temantemannya yang bisa ditindas atau
dimanfaatkan. Dalam hal ini kasusnya
adalah anak menjadi over-confident
atau terlalu percaya diri.
Perilaku bullying juga bisa
muncul pada anak-anak yang kurang
percaya diri. Hal ini bisa datang dari
keluarga yang terlihat baik-baik saja,
tidak ada masalah, tapi kenyataannya
banyak
kebutuhan-kebutuhan
emosional yang tidak didapat oleh si
anak, seperti perasaan disayang,
diperhatikan, juga rasa dihargai.
Biasanya terjadi pada keluarga yang
tidak berfungsi atau broken home
dimana anak memang kurang
perhatian. Akibatnya anak memiliki
self esteem dan self confident rendah,
konsep dirinya pun negative.
Faktor lingkungan juga dapat
mempengaruhi
anak
untuk
berperilaku bully melalui berbagai
cara. Yang pertama anak bisa meniru
perilaku buruk yang dilihat dari
lingkungannya yaitu baik di lingkungan
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
rumah (perilaku kedua orang tuanya)
ataupun lingkungan sekolah (perilaku
yang berasal dari teman-temannya).
Selain itu lingkungan juga dapat
memberikan
penguatan
atau
reinforcement pada anak untuk
bersikap bully. Bukan hanya itu,
sebenarnya
lingkungan
yang
mengabaikan atau mentolerir sikap
bully anak juga dapat menjadi
penguat. Guru atau orangtua yang
tidak berbuat apa-apa akan membuat
anak merasa bahwa tindakannya tidak
salah.
Stimulan lainnya dari luar anak
bisa datang dari jenis tontonannya.
Serupa
dengan
contoh
dari
lingkungan, anak juga memiliki
kecenderungan mengimitasi apa yang
dilihatnya dari tayangan yang
ditonton. Sekali lagi orangtua
berperan penting untuk benar-benar
mengawasi segala tontonan anak, baik
di televisi, games, film bioskop,
internet dan lain sebagainya.
Analisis Perilaku Bullying di Sekolah
Dasar
Berbagai upaya yang dapat kita
lakukan untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan bullying di
sekolah diantaranya: Pertama, di
lingkungan sekolah harus dibangun
kesadaran dan pemahaman tentang
bullying dan dampaknya kepada
semua stakeholder di sekolah, mulai
dari murid, guru, kepala sekolah,
pegawai sekolah hingga orangtua.
Sosialisasi tentang program anti
bullying perlu dilakukan dalam tahap
ini sehingga semua stakeholder
memahami dan pengerti apa itu
bullying dan dampaknya.
35
Kemudian
harus
dibangun
sistem atau mekanisme untuk
mencegah dan menangani kasus
bullying di sekolah. Dalam tahap ini
perlu dikembangkan aturan sekolah
atau kode etik sekolah yang
mendukung lingkungan sekolah yang
aman dan nyaman bagi semua anak
dan mengurangi terjadinya bullying
serta sistem penanganan korban
bullying di setiap sekolah. Sistem ini
akan
mengakomodir
bagaimana
seorang anak yang menjadi korban
bullying bisa melaporkan kejadian
yang dialaminya tanpa rasa takut atau
malu, lalu penanganan bagi korban
bullying dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya adalah
menghentikan
praktek-praktek
kekerasan di sekolah dan di rumah
yang mendukung terjadinya bullying
seperti pola pendidikan yang ramah
anak dengan penerapan positive
discipline di rumah dan di sekolah.
Langkah ini membutuhkan komitmen
yang kuat dari guru dan orangtua
untuk menghentikan praktek-praktek
kekerasan dalam mendidik anak.
Pelatihan tentang metode positif
disiplin perlu dilakukan kepada guru
dan orangtua dalam tahap ini.
Terakhir adalah membangun kapasitas
anak-anak kita dalam hal melindungi
dirinya dari pelaku bullying dan tidak
menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak
bisa diikutkan dalam pelatihan anti
bullying serta berpartisipasi aktif
dalam kampanye anti bullying di
sekolah. Dalam tahap ini metode dari
anak untuk anak (child to child) dapat
diterapkan dalam kampanye dan
pelatihan.
Peran pemerintah dalam hal ini
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
Dinas Pendidikan sudah selayaknya
memberikan perhatian terhadap isu
bullying di sekolah serta berupaya
membangun kapasitas aparaturnya
dalam mengatasi isu ini. Langkah
strategis yang perlu diambil adalah
memasukkan isu ini ke dalam materi
pelatihan guru serta mengembangkan
program anti bullying di tiap sekolah.
Dalam kasus tertentu bullying bisa
bersentuhan dengan aspek hukum,
maka melibatkan aparat penegak
hukum dalam program anti bullying
akan sangat efektif.
Sekolah sebagai lembaga yang
bertugas mencerdaskan bangsa sudah
seharusnya menjadi tempat yang
aman, nyaman dan bermartabat bagi
anak-anak kita sehingga mereka dapat
tumbuh dan berkembang secara
optimal. Dengan demikian maka kita
telah
mempersiapkan
generasi
mendatang yang unggul dan siap
menjadi warga negara yang baik.
Manajemen Kelas untuk Mengatasi
Bullying
Anak yang mengalami gangguan
perilaku agresivitas/bullying tidak
terlepas dari lingkungan sekolah. Oleh
karena itu dalam prevensi gangguan
perilaku, perlakuan untuk perubahan
perilaku anak harus didukung oleh
guru dan teman sekolah. Sesuai
dengan hasil penelitian Wilson, Lipsey,
dan Derzon (2003, Vol. 71.No. 1.136147) membuktikan bahwa prevensi
yang
melibatkan
pendekatan
pelatihan kompetensi kelas dan
perilaku
efektif
mengurangi
agresivitas/bullying siswa.
Untuk menangani agresivitas
siswa disekolah diperlukan kerjasama
36
dengan pihak sekolah (dalam hal ini
guru). Intervensi berbasis sekolah
terbukti dapat mempengaruhi proses
dan isi intervensi secara signifikans.
Penelitian Eron, Huesman dan
Spindler (2002, Vol. 70. No. 1. 179194) menunjukkan bahwa intervensi
berbasis sekolah terbukti lebih efektif
dalam mencegah agresivitas/bullying
dan meningkatkan prestasi akademik
siswa. Eron, L., Huesmann,R., &
Spindler, A. 2002
Jere Brophy (1988) dalam Vern
Jones dan Louise Jones (2012:16),
“Manajemen kelas yang baik bukan
hanya secara tidak langsung dapat
bekerjasama dengan siswa dalam
mengurangi perilaku menyimpang dan
dapat menangani secara efektif ketika
perilaku tersebut terjadi, tetapi juga
menopang kegiatan akademik yang
bermanfaat.”
Untuk memperkecil masalah
gangguan dalam pengelolaan kelas
hendaknya guru bersikap seperti yang
dikemukakan
oleh
Djamarah (2006:185) yaitu (1) Hangat
dan antusias, guru yang hangat dan
akrab pada murid akan menunjukkan
antusias
pada
tugasnya,
(2)
Menggunakan kata-kata, tindakan,
cara kerja dan bahan-bahan yang
menantang
akan
meningkatkan
kegairahan murid untuk belajar, (3)
Bervariasi dalam penggunaan alat
atau media pola interaksi antara guru
dan murid, (4) Guru luwes untuk
mengubah strategi mengajarnya, (5)
Guru harus menekankan pada hal-hal
yang
positif
dan
menghindari
pemusatan perhatian pada hal-hal
yang negatif dan (6) Guru harus
disiplin dalam segala hal.
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
Guru sebagai pengelola kelas
harus menerapkan pendekatan dalam
pengelolaan kelas yaitu:
1. Pendekatan Kekuasaan
Pendekatan kekuasaan disini
memiliki pengertian sebagai sikap
konsisten dari seorang guru untuk
menjadikan norma atau aturanaturan dalam kelas sebagai acuan
untuk menegakkan kedisplinan.
Pendekatan
kekuasaan
seperti yang diuraikan oleh
Djamarah
(2006:179)
guru
menciptakan dan mempertahankan
situasi disiplin dalam kelas.
Kedisiplinan adalah kekuatan yang
menuntut
murid
untuk
mentaatinya. Di dalam kelas ada
kekuasaan dan norma yang
mengikat untuk ditaati anggota
kelas.
2. Pendekatan Ancaman
Dari pendekatan ancaman
atau intimidasi ini, pengelolaan
kelas sebagai suatu proses untuk
mengontrol tingkah laku anak
didik. Dalam mengontrol tingkah
laku anak didik dilakukan dengan
cara memberi ancaman, misalnya
melarang, ejekan, sindiran, dan
memaksa.
Namun,
pendekatan
ancaman harus dilakukan dalam
taraf kewajaran dan diusahakan
untuk tidak melukai perasaan
siswa. Guru memberi ancaman
seperti
penangguhan
nilai,
pemberian tugas tambahan, atau
tugas-tugas lain yang sifatnya
mendidik.
3. Pendekatan Kebebasan
Pengelolaan diartikan secara
suatu proses untuk membantu
37
anak didik agar merasa bebas
untuk mengerjakan sesuatu kapan
saja dan dimana saja. Peranan guru
adalah mengusahakan semaksimal
mungkin kebebasan anak didik
selama tidak menyimpang pada
aturan dan kesepakantan bersama.
Karena siswa terkadang tidak
merasa nyaman bila ada seorang
guru yang Over Protective.
4. Pendekatan Resep
Pendekatan resep (cook
book) ini dilakukan dengan
memberi satu daftar yang dapat
menggambarkan apa yang harus
dan apa yang tidak boleh
dikerjakan oleh guru dalam
mereaksi semua masalah atau
situasi yang terjadi di kelas. Dalam
daftar itu digambarkan tahap demi
tahap apa yang harus dikerjakan
oleh guru. Pendekatan ini sangat
cocok dilakukan oleh guru sendiri.
Mencoba mengingat kembali hal
apa yang tidak disukai oleh siswa
saat kita mengajar.
5. Pendekatan Pengajaran
Pendekatan
pengajaran,
pendekatan ini didasarkan atas
suatu anggapan bahwa dalam
perencanaan dan pelaksanaannya
akan
mencegah
munculnya
masalah tingkah laku murid dan
memecahkan masalah itu bila tidak
bisa dicegah. Sehingga secara garis
besar bisa diambil kesimpulan
bahwa cara pendekatan ini adalah
dengan
membuat
rencana
pengajaran
disetiap
akan
melaksanakan suatu pengajaran
terhadap siswa.
6. Pendekatan Perubahan Tingkah
Laku
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
Sesuai dengan namanya,
pengelolaan kelas diartikan sebagai
suatu proses untuk mengubah
tingkah laku anak didik. Peranan
guru adalah mengembangkan
tingkah laku anak didik yang baik,
dan mencegah tingkah laku yang
kurang
baik.
Pendekatan
berdasarkan perubahan tingkah
laku
(behavior
modification
approach) ini bertolak dari sudut
pandangan psikologi behavioral.
Menurut pendekatan ini, tingkah
laku yang baik atau positif harus
dirangsang dengan memberikan
pujian atau hadiah, sebaliknya
tingkah laku yang kurang baik
diberi sanksi atau hukuman yang
akan menimbulkan perasaan tidak
puas dan pada gilirannya tingkah
laku tersebut akan dihindari.
7. Pendekatan Sosio-Emosional
Pendekatan sosio-emosional
akan tercapai secara maksimal
apabila hubungan antar pribadi
yang baik berkembang di dalam
kelas. Hubungan tersebut meliputi
hubungan antara guru dan murid
serta hubungan antar murid. Dalam
hal ini guru merupakan kunci
pengembangan
hubungan
tersebut.
Oleh
karena
itu
seharusnya guru mengembangkan
iklim kelas yang baik melalui
pemeliharaan hubungan antar
pribadi di kelas.
8. Pendekatan Kerja Kelompok
Pendekatan kerja kelompok,
dalam pendekatan ini guru
menciptakan kondisi-kondisi yang
memungkinkan kelompok yang
produktif, selain itu guru juga harus
dapat menjaga kondisi itu agar
38
tetap baik.
9. Pendekatan elektis atau pluralistic
Menurut Djamarah (2006:18)
Pendekatan elektis yaitu guru kelas
memilih berbagai pendekatan
tersebut berdasarkan situasi yang
dihadapi dalam suatu situasi
mungkin dipergunakan salah satu
dan dalam situasi yang lain
mungkin mengkombinasikan ketiga
pendekatan tersebut.
Guru
memilih
dan
menggabungkan secara bebas
pendekatan tersebut sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan untuk
menciptakan dan mempertahankan
kondisi kelas yang efektif dan
efisien.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif. Lexy
J. Moleong (2007:6) menyatakan
bahwa penilitian kualitatif merupakan
penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subyek penelitian
yang berupa perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, secara holistik,
yang dilakukan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Anak-anak usia SD (6-12 tahun)
merupakan masa dimana anak-anak
terlibat dengan dua dunia yaitu dunia
bermain dan belajar. Pada masa ini,
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
anak-anak mudah untuk dididik dari
masa sebelumnya dan sesudahnya.
Untuk itulah peran seorang guru dan
orang tua sangat diperlukan untuk
memahami sifat khas yang dimiliki
anak didiknya baik kelas rendah
maupun kelas tinggi. Maka seorang
guru dan orang tua dituntut
memahami perkembangan tugas apa
yang perlu dilakukan anak pada masa
ini sehingga guru dan orang tua dapat
memperlakukan anak dengan tepat
dalam proses pembelajaran.
Manajemen kelas secara efektif,
selain dapat meningkatkan prestasi
akademik, juga dapat mengatasi dan
menurunkan terjadinya kasus perilaku
bullying di sekolah. Hal ini menuntut
para guru sekolah dasar untuk
menambah wawasan dan ilmu terkait
dengan manajemen kelas.
Saran
a. Mengatasi
perilaku
bullying,
memerlukan peran serta semua
pihak, mulai dari orang tua, guru,
sekolah dan pihak pemerintah yang
mengeluarka kebijakan sistem
pendidikan di Indonesia. Sehingga
ada sinergitas dari semua pihak
untuk
bersama-sama
menggunakan peran secara baik
dan efektif dan bersama-sama
mengikis perilaku bullying.
b. Para guru Sekolah Dasar harus
dibekali ilmu manajemen kelas
sehingga perilaku siswa dapat
terkontrol dan bahkan membuat
para siswa menjadi berperilaku
positif dan kondusif dalam suasana
belajar mengajar yang ramah,
aman
serta
menyenangkan.
39
* Irnie Victorynie adalah Dosen Pgsd Universitas Islam “45” Bekasi
DAFTAR PUSTAKA
Ali Imron dkk. Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang, 2003
Craig, Wendy, dkk. “A Cross-National 3UR¿OH RI Adolescents in 40 countries”, Int J
Public Health. 2009:54 (Suppl 2):216-224.
Darmawan. 2010. “Bullying in School: A Studey of Forms and Motives of Aggression
in Two Secondary Schools in the city of Palu, Indonesia”, tesis. "http://munin.
uit.no/bitstream/handle/10037/2670/ thesis.pdf?sequence=2"http://munin.uit.
no/bitstream/handle/10037/2670/thesis. pdf?sequence=2 (diakses tanggal 8
Mei 2014)
Egi. 2011. “Perilaku bullying pada anak sekolah”. on line at
http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anaksekolah.html [accessed at 21/12/2011]
Eron, L., Huesmann, R., & Spindler, A. 2002 A Cognitive – Ecological Approach to
Preventing Aggression in Urban Setting: Initial Outcomes for High-Risk Children.
Journal of Consultation and Clinical Psychology. American Psychological
Association. Vol. 70. No. 1. 179-194.
Komnas
PA,
Terima
Laporan
3.339
Kasus
Kekerasan
Anak,
http://news.okezone.com/ read/2014/05/06/337/980928/komnas-paterimalaporan-3-339-kasus-kekerasan-anak, diakses tanggal 10 Mei 2014. Nasution,
Noehi. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Rachman, Maman. Manajemen Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998
Riauskina, Intan Indira, Djuwita, Ratna, & Soesetio, Sri Rochani. “Gencetgencetan”Di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah Kognitif tentang arti,
scenario, dan dampak “gencetgencetan”, Jurnal Psikologi Sosial, September
2005. Tahun 12, No.1, hal:1-14.
Salman Rusydi Prinsip-prinsip Manajemen kelas: Diva Prress Cet Pertama 2011
Simanjuntak, B. dan Pasaribu, I.L. Psikologi Perkembangan (Dasar Psikologi Kriminil).
Bandung: Tarsito, 1983
Sunarto dan Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2008
Sunaryo. Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Malang: IKIP Malang,
1989
Suharsimi Arikunto. Pengelolaan Kelas dan Siswa Sebuah Pendekatan Evaluatif.
Jakarta: Rajawali Pers, 1992
Syaiful Bahri Djamarah. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta:
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
40
Rineka Cipta, 2000
Wilson, S.J., Lipsey, M.W., & Derzon, J.H., 2003 The Effects of School-Based
Intervention Programme on Aggressive behavior: A Meta Analysis. Journal of
Consultation and Clinical Psychology. American Pschological Association. Vol.
71. No. 1.136-147
http://www.smansamedan.sch.id/artikel/artikel_isi/implikasi_undang-undang_no_
23.html
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/19/12111601/Siswa.SD.Korban.Kek
erasan.di,Sekolah.Berasal.Dari.Keluarga.Kurang.Mampu
http://www.beritaekspres.com/2015/10/22/dianiaya10-siswa-teman-sekelas-lagikekerasan-anak-dilingkungan-sekolah-terjadi-di-bekasi/
http://one.indoskripsi.com/node/10486
http://sekolah-dasar.blogspot.com/2009/02/pendekatan-dalam-pengelolaan
kelas.html
http://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan-kelas-yangberhasil/
BIODATA PENULIS
IRNIE VICTORYNIE, S.Pd, M.Pd lahir di Kuningan, 19 Juni 1982, Meniti karir sejak
tahun 2013 sebagai Dosen Universitas Islam 45 Kota Bekasi. Pernah meraih Juara I
Mahasiswa Berprestasi Tingkat Kopertis Wilayah IV Tahun 2003. Menyelesaikan
kuliah S1 di Universitas Siliwangi dengan predikat cum laude pada tahun 2004 serta
menyelesaikan kuliah S2 di Univesitas Negeri Jakarta dengan predikat cum laude
pada tahun 2013.
PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017
41
Download