MENGATASI BULLYING SISWA SEKOLAH DASAR DENGAN MENERAPKAN MANAJEMEN KELAS YANG EFEKTIF Irnie Victorynie E-mail: [email protected] Abstrak Ketika ada berita bullying terhadap siswa Sekolah Dasar yang mengakibatkan kematian, hampir semua orang terkejut dan saling menyalahkan. Dunia pendidikan digugat baik Kementerian Pendidikan, pihak sekolah maupun guru yang megajar. Para orang tua juga dipertanyakan perannya dalam mendidik anak. Semua punya alasan pembenarannya sendiri-sendiri dan kenyataannya bahwa semua pihak juga punya andil besar maupun kecil terhadap bullying yang terjadi pada siswa Sekolah Dasar. Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian kualitatif. Kajian ini menganalisis bullying yang terjadi dan menawarkan peran guru sebagai salah satu faktor yang memiliki andil terjadinya bullying. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi solusi mengatasi bullying melalui penerapan manajemen kelas yang efektif dalam sistem belajar mengajar di kelas. Kata kunci : bullying, manajemen kelas, sistem pendidikan PENDAHULUAN Masalah perilaku siswa selama beberapa tahun telah menjadi perhatian utama guru, administrator, dan orang tua. Kita seringkali hanya fokus pada prestasi siswa dan sekolah, sehingga menyebabkan perhatian publik cenderung kurang terhadap perilaku siswa. Kita baru tersadar dan terkaget-kaget ketika ada berita tentang kekerasan terhadap siswa yang dilakukan oleh siswa juga. Publik akan langsung menanyakan dimana keberadaan guru dan pihak sekolah secara umum. Meskipun guru bertugas mendidik siswa agar menjadi ramah dan berusaha membangun PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 lingkungan komunitasnya menjadi kondusif, tetapi masih ada saja ditemukan perilaku siswa yang menunjukkan kekerasan terhadap rekan-rekannya. Kekerasan di sekolah merupakan masalah yang cukup serius. Saat ini bentuk kekerasan di sekolah semakin beragam, diantaranya kasus bullying yang dilakukan oleh seorang siswa saja hingga kasus bullying yang dilakukan oleh beramai-ramai terhadap seorang siswa di sekolah. Dalam kompas.com dikabarkan bahwa telah terjadi kasus bullying pada siswa kelas II Sekolah Dasar 07 Pagi Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan. Kasus bullying 28 berawal dari ejekan saat kegiatan menggambar di sekolah, kemudian berlanjut pada kasus penganiayaan hingga membuat seorang siswa mengalami kematian. (http://megapolitan.kompas.com/rea d/2015/09/19/12111601/Siswa.SD.Ko rban.Kekerasan.di,Sekolah.Berasal.Dar i.Keluarga.Kurang.Mampu) Kasus serupa diberitakan dalam beritaekspres.com. Kasus bullying menimpa siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bintara Jaya 2, Keranji, Bekasi Barat. Peristiwa tersebut terjadi saat jam pelajaran menggambar berlangsung. Guru wali kelas sedang keluar meninggalkan kelas. Seorang siswa dianiaya oleh 10 orang temannya di dalam kelas hingga korban terluka dan berdarah-darah. (http://www.beritaekspres.com/2015 /10/22/dianiaya10-siswa-temansekelas-lagi-kekerasan-anakdilingkungan-sekolah-terjadi-dibekasi/) Kedua kasus di atas, menunjukkan bahwa ada masalah yang cukup serius terhadap perilaku siswa sekolah yang khususnya ada di sekolah dasar. Disamping itu kasus tersebut menunjukkan faktor-faktor yang seharusnya berjalan dengan semestinya dalam lingkungan kelas, ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Peran guru di sekolah belum memberikan tugas dan fungsinya dalam mendidik siswa dan mengkondisikan kelas sebagai tempat yang kondusif dan aman dalam sistem belajar mengajar. Disisi lain pengawasan sekolah pun belum berjalan dengan baik. PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 Guru semestinya mempunyai kontrol atas banyak faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap prestasi dan perilaku siswa. Sekolah dan guru yang bekerja sama diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku yang diharapkan dan meningkatkan prestasi siswa. Proses merubah dan membangun perilaku siswa sebenarnya bisa dilakukan oleh guru di dalam kelas. Hal ini dijelaskan dalam konsep manajemen kelas sebagaimana yang dijelaskan oleh Mary McCaslin dan Thomas L. Good (1992) dalam Vern Jones dan Louise Jones (2012:3) yaitu: “Manajemen kelas dapat dan lebih dari sekadar memunculkan kepatuhan yang dapat dan harus menjadi cara untuk meningkatkan pemahaman diri siswa, evaluasi diri, dan internalisasi kontrol diri” Oleh karenanya, guru hendaknya memahami dengan benar mengenai manajemen kelas dan berupaya mengimplementasikannya secara efektif. Seperti yang disampaikan oleh Thomas L Good dan Jere Brophy (2008) dalam Vern Jones dan Louise Jones (2012:3), “Temuan menunjukkan bahwa guru yang menganggap manajemen kelas sebagai proses dalam membangun dan mempertahankan lingkungan belajar yang efektif cenderung lebih berhasil daripada guru yang lebih menekankan peranan mereka sebagai figur otoritas atau pendisiplin.” Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, membawa konsekuensi terhadap perubahan peranan guru 29 sebagai pendidik. Sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan tempat aktifitas belajar yang di dalamnya terdapat komponenkomponen seperti guru, siswa, pegawai dan kurikulum serta fasilitas pendukung. Fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan harus mampu memberikan kebutuhan belajar yang terus berubah. Kebutuhan untuk belajar mengenai bagaimana menghadapi serta mengatasi kondisikondisi baru itu yaitu menyerap pengetahuan baru dengan membawa hasil yang positif telah menciptakan beberapa tugas yang dibebankan oleh masyarakat sekolah dan para guru. Dari uraian diatas maka penulis akan merumuskan masalahmasalahnya yaitu: 1. Bagaimana kondisi bullying di lingkungan Sekolah Dasar? 2. Bagaimana peran guru dalam penerapan manajemen kelas di Sekolah Dasar? TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar Anak usia Sekolah Dasar (6-12 tahun) disebut sebagai masa anakanak (midle childhood). Pada masa inilah disebut sebagai usia matang bagi anak-anak untuk belajar. Hal ini dikarenakan anak-anak menginginkan untuk menguasai kecakapankecakapan baru yang diberikan oleh guru di sekolah. Simanjuntak dan Pasaribu (1983:68) menegaskan bahwa salah satu tanda permulaan periode bersekolah ini ialah sikap anak PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 terhadap keluarga tidak lagi egosentris melainkan objektif dan empiris terhadap dunia luar. Jadi dapat disimpulkan bahwa telah ada sikap intelektualitas sehingga masa ini disebut periode intelektual. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasution (1995:44) bahwa masa usia sekolah ini sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa ini secara relatif anak-anak mudah untuk dididik daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Memahami tentang murid berarti memahami gejala atau kondisi yang dimiliki. Secara umum, Sunarto (2008:35) mengemukakan beberapa sifat siswa SD antara lain: 1. Mempunyai sifat patuh terhadap aturan. 2. Kecenderungan untuk memuji diri sendiri. 3. Suka membandingkan diri dengan orang lain. 4. Jika tidak dapat menyelesaikan tugas, maka tugas tersebut dianggap tidak penting. 5. Realistis, dan rasa ingin tahu yang besar. 6. Kecenderungan melakukan kegiatan kehidupan yang bersifat praktis dan nyata. Berdasar pada amanat Undangundang Dasar 1945, maka pengertian pendidikan di sekolah dasar merupakan upaya untuk mencerdaskan dan mencetak kehidupan bangsa yang bertaqwa, cinta dan bangga terhadap bangsa dan negara, terampil, kreatif, berbudi pekerti yang santun serta mampu menyelesaikan permasalahan di 30 lingkungannya. Pendidikan di sekolah dasar merupakan pendidikan anak yang berusia antara 7 sampai dengan 13 tahun sebagai pendidikan di tingkat dasar yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat bagi siswa. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan terencana yang tertuang ke dalam tujuan pendidikan nasional dan pendidikan di sekolah dasar yaitu, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses kegiatan pembelajaran dengan tujuan agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, dalam berbangsa dan bernegara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka tujuan pendidikan di Sekolah Dasar dapat diuraikan meliputi beberapa hal yaitu, (1). Beriman dan bertaqwa terhadap TuhanNya, (2). Mengarahkan dan membimbing siswa ke arah situasi yang berpotensi positif, berjiwa besar, kritis,cerdas dan berakhlak mulia, (3). Memiliki rasa cinta tanah air, bangga dan mampu mengisi hal yang bertujuan membangun diri sendiri bangsa dan negara, (4). Membawa siswa sekolah dasar mampu berprestasi ke jenjang selanjutnya. Peran Guru dalam Membangun Perilaku PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada kegiatan pendidikan di sekolah tanpa guru dan tidak ada tujuan pendidikan yang tidak melibatkan manusia di dalamnya khususnya peserta didik. Kedua komponen tersebut mempunyai hubungan yang khas walupun tugas dan tanggung jawabnya berbeda. Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan yang berlangsung di sekolah. Sedangkan hubungan yang khas adalah hubungan antara guru dengan peserta didik dalam suasana belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan. Berbicara mengenai peranan guru, berarti berbicara pula mengenai definisi fungsi sekolah. Sedangkan fungsi sekolah digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagaimana dinyatakan oleh Norman M. Goble (1983; 53) menyatakan; “Tanpa syarat tugas guru adalah meningkatkan proses belajar dan juga bahwa deskripsi peranan guru tidak boleh menyimpang dari tujuan pendidikan yang ingin dicapai”. Guru harus menyadari peranannya dalam pendidikan bahwa orang yang paling penting di sekolah adalah siswa, guru hanya seorang pembantu. Cara-cara lama yang digunakan yang dianggap tidak sesuai dengan konsep pendidikan modern harus dibuang jauh-jauh. Guru harus berani berinovasi untuk melakukan perubahan peranan dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik. Guru harus berubah pola perilakunya yaitu tidak boleh lagi bertindak sebagai penguasa terhadap 31 anak didik sehingga bertindak represif, tetapi harus bertindak persuasif untuk menumbuhkan kesadaran diri akan peranan yang harus dijalankan di sekolah. Semua guru akan setuju bahwa fungsi sekolah tidak hanya sebagai tempat menambah pengetahuan saja, tetapi tempat pendidikan. Itu berarti guru yang baik bukan mengisi pengetahuan saja tetapi mendidik siswanya menjadi manusia yang baik. Interaksi belajar mengajar guru mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Disini guru dituntut untuk memberikan contoh tauladan yang baik kepada anak didiknya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ali Syaifullah dalam bukunya Pengantar Filsafat Pendidikan (1977:24), “Gaya mengajar sistem among yaitu raport yang menekankan relasi kasih sayang, saling percaya mempercayai antara guru dengan siswa. Nilai-nilai yang dapat dikembangkan adalah tanggung jawab sosial dan disiplin sosial serta relasi sosial dalam diri anak.” Manajemen Kelas Menurut Suharsimi Arikunto (1992:8) “Pengelolaan/manajemen adalah penyelenggaraan atau pengurusan agar sesuatu yang dikelola dapat berjalan dengan lancar, efektif dan efisien.” Sedangkan pengertian kelas dijelaskan oleh Ali Imron dkk (2003:43), “Kelas diartikan sebagai ruangan belajar atau rombongan belajar, yang dibatasi oleh empat dinding atau tempat peserta didik belajar, dan tingkatan (grade). Ia juga PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 dapat dipandang sebagai kegiatan belajar yang diberikan oleh guru dalam suatu tempat, ruangan, tingkat dan waktu tertentu.” Menurut konsepsi lama, manajemen kelas diartikan sebagai upaya mempertahankan ketertiban kelas. Menurut konsepsi modern manajemen kelas adalah proses seleksi yang menggunakan alat yang tetap terhadap problem dan situasi manajemen kelas (Lois V. Jhonson dan Mary Bany, 1970) Syaiful Bahri Djamarah (2000:173) berpendapat, “Manajemen Kelas adalah suatu upaya memberdayagunakan potensi kelas yang ada seoptimal mungkin untuk mendukung proses interaksi edukatif mencapai tujuan pembelajaran.” Tujuan Manajemen Kelas secara khusus dibagi menjadi dua yaitu tujuan untuk siswa dan guru. Tujuan Untuk Siswa, dijelaskan oleh Suharsimi Arikunto (1992:68): a. Mendorong siswa untuk mengembangkan tanggung-jawab individu terhadap tingkah lakunya dan kebutuhan untuk mengontrol diri sendiri. b. Membantu siswa untuk mengetahui tingkah laku yang sesuai dengan tata tertib kelas dan memahami bahwa teguran guru merupakan suatu peringatan dan bukan kemarahan. c. Membangkitkan rasa tanggungjawab untuk melibatkan diri dalam tugas maupun pada kegiatan yang diadakan 32 Tujuan Untuk Guru, dikemukakan oleh Sunaryo (1989:6465): a. Untuk mengembangkan pemahaman dalam penyajian pelajaran dengan pembukaan yang lancar dan kecepatan yang tepat. b. Untuk dapat menyadari akan kebutuhan siswa dan memiliki kemampuan dalam memberi petunjuk secara jelas kepada siswa. c. Untuk mempelajari bagaimana merespon secara efektif terhadap tingkah laku siswa yang mengganggu. d. Untuk memiliki strategi remedial yang lebih komprehensif yang dapat digunakan dalam hubungan dengan masalah tingkah laku siswa yang muncul di dalam kelas PEMBAHASAN Kondisi Bullying Bullying berasal dari kata bully, yang dalam bahasa inggris yang berarti penggertak, orang yang mengganggu orang lemah, menggertak, mengganggu (Echols dan Hassan, 1992:87). Kasus terbunuhnya anak di sekolah selama 5 tahun terakhir yang diindikasikan meningkat setiap tahunnya. Laporan kekerasan terhadap anak yang diterima oleh KPAI tersebut terjadi di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial. Dari hasil penelitian KPAI ternyata sebanyak 17% kekerasan terhadap anak terjadi di sekolah. Bahkan pada 2013, tercatat 181 kasus yang berujung pada tewasnya korban, 141 kasus korban menderita luka berat, dan 97 kasus korban luka ringan. Tindakan kekerasan di sekolah bisa PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 dilakukan oleh guru, kepala sekolah, bahkan sesama peserta didik. Namun, bullying sesama peserta didik memiliki karakteristik berbeda dari kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa. Kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak biasanya dilakukan oleh pelaku tunggal sedangkan bullying oleh sesama murid biasanya berlangsung secara berkelompok. Bahkan menurut penelitian lintas negara yang dilakukan Craig dkk, anak yang menjadi korban bullying cenderung terlibat dalam penggencetan anak lain. Ini berarti sebuah lingkaran tanpa akhir ketika korban berubah menjadi pelaku. Dengan begitu, praktek kekerasan menjadi budaya di kalangan anakanak. Agresivitas di usia belia tidak semua kekerasan berujung kematian namun data statistik di atas cukup menggambarkan betapa perilaku kekerasan telah menjadi keseharian anak-anak Indonesia. Pada tahun 2005-2006, The Health Behavior in School-Aged Children (HBSC) melakukan survei terhadap sekitar 200.000 anak usia sekolah di 40 negara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan peningkatan jumlah bullying di Indonesia. Penelitian lain oleh Craig dkk. pada tahun 2009 menemukan bahwa tingkat bullying terlihat lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hal ini menyebabkan data bullying pada anak lelaki lebih mudah didapat karena mereka cenderung melaporkan penindasan terhadapnya. Menurut berbagai penelitian 33 yang dirangkum Riasukina, Djuwita, dan Soesetio (misalnya Simmons, 2002; Ma, Stewin, Mah, 2001; Sullivan, 2000, dan Olweus, 1993), perilaku bullying di sekolah ini dapat berupa (1) kontak fisik langsung seperti memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, serta berbagai serangan fisik lainnya, termasuk merusak barang-barang yang dimiliki oleh orang lain; (2) kontak verbal langsung seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, menggangu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi seseorang, memaki, dan juga menyebarkan gossip; (3) perilaku nonverbal langsung seperti melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejak, atau mengancam (biasanya disertai oleh bullying langsung, seperti mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga hubungan tersebut menjadi retak, dengan sengaja mengucilkan seseorang atau tidak mengabaikan orang tersebut, atau mengirimkan surat kaleng; (4) pelecehan seksual, kadang-kadang bisa juga verbal. Darmawan (2010) mengutip pendapat Roland dan Insoe dalam tesisnya yang berjudul “Bullying in School: A Studey of Forms and Motives of Aggression in Two Secondary Schools in the city of Palu, Indonesia”, yang menyatakan penggencetan sebagai aspek agresi. Perilaku agresif PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti, atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainnya, atau berbentuk cercaan, makian, ejekan, bantahan, dan semacamnya. Menurut Egi (dalam http://regianamanah.blogspot.com/2 011/02/perilaku-bullying-pada-anaksekolah.html) yang bisa menyebabkan anak berperilaku bully menurut Herlina adalah perpaduan dari faktor internal dan eksternal. 1. Faktor internal Secara internal, memang setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan penyataan diri dan aggressiveness dalam dirinya, hanya kapasitasnya saja yang berbeda-beda. Perilaku bully dapat terjadi bila kemudian faktor internal ini distimulasi oleh faktor-faktor eksternal. Pada Workshop Nasional Antibullying 2008 diungkapkan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang rendah. Harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga. Harga diri yang rendah dan pemahaman moral anak yang rendah memunculkan perilaku bullying. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin 34 mendapatkan perhargaan dari temannya dan anak belum memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral. 2. Faktor eksternal Faktor eksternal yang umumnya paling mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan dan jenis tontonan. Anak berperilaku bullying itu biasanya datang dari beberapa macam keluarga. Keluarga yang sangat memanjakan anak, apa pun keinginan anak dituruti, maka anak akan merasa powerful dan bisa mengatur orang lain. Hal ini terekam hingga pada waktu sekolah atau bergaul pun anak mencari temantemannya yang bisa ditindas atau dimanfaatkan. Dalam hal ini kasusnya adalah anak menjadi over-confident atau terlalu percaya diri. Perilaku bullying juga bisa muncul pada anak-anak yang kurang percaya diri. Hal ini bisa datang dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi kenyataannya banyak kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak didapat oleh si anak, seperti perasaan disayang, diperhatikan, juga rasa dihargai. Biasanya terjadi pada keluarga yang tidak berfungsi atau broken home dimana anak memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negative. Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku bully melalui berbagai cara. Yang pertama anak bisa meniru perilaku buruk yang dilihat dari lingkungannya yaitu baik di lingkungan PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 rumah (perilaku kedua orang tuanya) ataupun lingkungan sekolah (perilaku yang berasal dari teman-temannya). Selain itu lingkungan juga dapat memberikan penguatan atau reinforcement pada anak untuk bersikap bully. Bukan hanya itu, sebenarnya lingkungan yang mengabaikan atau mentolerir sikap bully anak juga dapat menjadi penguat. Guru atau orangtua yang tidak berbuat apa-apa akan membuat anak merasa bahwa tindakannya tidak salah. Stimulan lainnya dari luar anak bisa datang dari jenis tontonannya. Serupa dengan contoh dari lingkungan, anak juga memiliki kecenderungan mengimitasi apa yang dilihatnya dari tayangan yang ditonton. Sekali lagi orangtua berperan penting untuk benar-benar mengawasi segala tontonan anak, baik di televisi, games, film bioskop, internet dan lain sebagainya. Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar Berbagai upaya yang dapat kita lakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di sekolah diantaranya: Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan dampaknya. 35 Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban bullying di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying dan sebagainya. Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah. Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam tahap ini. Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti bullying serta berpartisipasi aktif dalam kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak (child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan. Peran pemerintah dalam hal ini PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 Dinas Pendidikan sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap isu bullying di sekolah serta berupaya membangun kapasitas aparaturnya dalam mengatasi isu ini. Langkah strategis yang perlu diambil adalah memasukkan isu ini ke dalam materi pelatihan guru serta mengembangkan program anti bullying di tiap sekolah. Dalam kasus tertentu bullying bisa bersentuhan dengan aspek hukum, maka melibatkan aparat penegak hukum dalam program anti bullying akan sangat efektif. Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan bermartabat bagi anak-anak kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian maka kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan siap menjadi warga negara yang baik. Manajemen Kelas untuk Mengatasi Bullying Anak yang mengalami gangguan perilaku agresivitas/bullying tidak terlepas dari lingkungan sekolah. Oleh karena itu dalam prevensi gangguan perilaku, perlakuan untuk perubahan perilaku anak harus didukung oleh guru dan teman sekolah. Sesuai dengan hasil penelitian Wilson, Lipsey, dan Derzon (2003, Vol. 71.No. 1.136147) membuktikan bahwa prevensi yang melibatkan pendekatan pelatihan kompetensi kelas dan perilaku efektif mengurangi agresivitas/bullying siswa. Untuk menangani agresivitas siswa disekolah diperlukan kerjasama 36 dengan pihak sekolah (dalam hal ini guru). Intervensi berbasis sekolah terbukti dapat mempengaruhi proses dan isi intervensi secara signifikans. Penelitian Eron, Huesman dan Spindler (2002, Vol. 70. No. 1. 179194) menunjukkan bahwa intervensi berbasis sekolah terbukti lebih efektif dalam mencegah agresivitas/bullying dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Eron, L., Huesmann,R., & Spindler, A. 2002 Jere Brophy (1988) dalam Vern Jones dan Louise Jones (2012:16), “Manajemen kelas yang baik bukan hanya secara tidak langsung dapat bekerjasama dengan siswa dalam mengurangi perilaku menyimpang dan dapat menangani secara efektif ketika perilaku tersebut terjadi, tetapi juga menopang kegiatan akademik yang bermanfaat.” Untuk memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas hendaknya guru bersikap seperti yang dikemukakan oleh Djamarah (2006:185) yaitu (1) Hangat dan antusias, guru yang hangat dan akrab pada murid akan menunjukkan antusias pada tugasnya, (2) Menggunakan kata-kata, tindakan, cara kerja dan bahan-bahan yang menantang akan meningkatkan kegairahan murid untuk belajar, (3) Bervariasi dalam penggunaan alat atau media pola interaksi antara guru dan murid, (4) Guru luwes untuk mengubah strategi mengajarnya, (5) Guru harus menekankan pada hal-hal yang positif dan menghindari pemusatan perhatian pada hal-hal yang negatif dan (6) Guru harus disiplin dalam segala hal. PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 Guru sebagai pengelola kelas harus menerapkan pendekatan dalam pengelolaan kelas yaitu: 1. Pendekatan Kekuasaan Pendekatan kekuasaan disini memiliki pengertian sebagai sikap konsisten dari seorang guru untuk menjadikan norma atau aturanaturan dalam kelas sebagai acuan untuk menegakkan kedisplinan. Pendekatan kekuasaan seperti yang diuraikan oleh Djamarah (2006:179) guru menciptakan dan mempertahankan situasi disiplin dalam kelas. Kedisiplinan adalah kekuatan yang menuntut murid untuk mentaatinya. Di dalam kelas ada kekuasaan dan norma yang mengikat untuk ditaati anggota kelas. 2. Pendekatan Ancaman Dari pendekatan ancaman atau intimidasi ini, pengelolaan kelas sebagai suatu proses untuk mengontrol tingkah laku anak didik. Dalam mengontrol tingkah laku anak didik dilakukan dengan cara memberi ancaman, misalnya melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa. Namun, pendekatan ancaman harus dilakukan dalam taraf kewajaran dan diusahakan untuk tidak melukai perasaan siswa. Guru memberi ancaman seperti penangguhan nilai, pemberian tugas tambahan, atau tugas-tugas lain yang sifatnya mendidik. 3. Pendekatan Kebebasan Pengelolaan diartikan secara suatu proses untuk membantu 37 anak didik agar merasa bebas untuk mengerjakan sesuatu kapan saja dan dimana saja. Peranan guru adalah mengusahakan semaksimal mungkin kebebasan anak didik selama tidak menyimpang pada aturan dan kesepakantan bersama. Karena siswa terkadang tidak merasa nyaman bila ada seorang guru yang Over Protective. 4. Pendekatan Resep Pendekatan resep (cook book) ini dilakukan dengan memberi satu daftar yang dapat menggambarkan apa yang harus dan apa yang tidak boleh dikerjakan oleh guru dalam mereaksi semua masalah atau situasi yang terjadi di kelas. Dalam daftar itu digambarkan tahap demi tahap apa yang harus dikerjakan oleh guru. Pendekatan ini sangat cocok dilakukan oleh guru sendiri. Mencoba mengingat kembali hal apa yang tidak disukai oleh siswa saat kita mengajar. 5. Pendekatan Pengajaran Pendekatan pengajaran, pendekatan ini didasarkan atas suatu anggapan bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaannya akan mencegah munculnya masalah tingkah laku murid dan memecahkan masalah itu bila tidak bisa dicegah. Sehingga secara garis besar bisa diambil kesimpulan bahwa cara pendekatan ini adalah dengan membuat rencana pengajaran disetiap akan melaksanakan suatu pengajaran terhadap siswa. 6. Pendekatan Perubahan Tingkah Laku PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 Sesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk mengubah tingkah laku anak didik. Peranan guru adalah mengembangkan tingkah laku anak didik yang baik, dan mencegah tingkah laku yang kurang baik. Pendekatan berdasarkan perubahan tingkah laku (behavior modification approach) ini bertolak dari sudut pandangan psikologi behavioral. Menurut pendekatan ini, tingkah laku yang baik atau positif harus dirangsang dengan memberikan pujian atau hadiah, sebaliknya tingkah laku yang kurang baik diberi sanksi atau hukuman yang akan menimbulkan perasaan tidak puas dan pada gilirannya tingkah laku tersebut akan dihindari. 7. Pendekatan Sosio-Emosional Pendekatan sosio-emosional akan tercapai secara maksimal apabila hubungan antar pribadi yang baik berkembang di dalam kelas. Hubungan tersebut meliputi hubungan antara guru dan murid serta hubungan antar murid. Dalam hal ini guru merupakan kunci pengembangan hubungan tersebut. Oleh karena itu seharusnya guru mengembangkan iklim kelas yang baik melalui pemeliharaan hubungan antar pribadi di kelas. 8. Pendekatan Kerja Kelompok Pendekatan kerja kelompok, dalam pendekatan ini guru menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan kelompok yang produktif, selain itu guru juga harus dapat menjaga kondisi itu agar 38 tetap baik. 9. Pendekatan elektis atau pluralistic Menurut Djamarah (2006:18) Pendekatan elektis yaitu guru kelas memilih berbagai pendekatan tersebut berdasarkan situasi yang dihadapi dalam suatu situasi mungkin dipergunakan salah satu dan dalam situasi yang lain mungkin mengkombinasikan ketiga pendekatan tersebut. Guru memilih dan menggabungkan secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang efektif dan efisien. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Lexy J. Moleong (2007:6) menyatakan bahwa penilitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian yang berupa perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, yang dilakukan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Anak-anak usia SD (6-12 tahun) merupakan masa dimana anak-anak terlibat dengan dua dunia yaitu dunia bermain dan belajar. Pada masa ini, PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 anak-anak mudah untuk dididik dari masa sebelumnya dan sesudahnya. Untuk itulah peran seorang guru dan orang tua sangat diperlukan untuk memahami sifat khas yang dimiliki anak didiknya baik kelas rendah maupun kelas tinggi. Maka seorang guru dan orang tua dituntut memahami perkembangan tugas apa yang perlu dilakukan anak pada masa ini sehingga guru dan orang tua dapat memperlakukan anak dengan tepat dalam proses pembelajaran. Manajemen kelas secara efektif, selain dapat meningkatkan prestasi akademik, juga dapat mengatasi dan menurunkan terjadinya kasus perilaku bullying di sekolah. Hal ini menuntut para guru sekolah dasar untuk menambah wawasan dan ilmu terkait dengan manajemen kelas. Saran a. Mengatasi perilaku bullying, memerlukan peran serta semua pihak, mulai dari orang tua, guru, sekolah dan pihak pemerintah yang mengeluarka kebijakan sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga ada sinergitas dari semua pihak untuk bersama-sama menggunakan peran secara baik dan efektif dan bersama-sama mengikis perilaku bullying. b. Para guru Sekolah Dasar harus dibekali ilmu manajemen kelas sehingga perilaku siswa dapat terkontrol dan bahkan membuat para siswa menjadi berperilaku positif dan kondusif dalam suasana belajar mengajar yang ramah, aman serta menyenangkan. 39 * Irnie Victorynie adalah Dosen Pgsd Universitas Islam “45” Bekasi DAFTAR PUSTAKA Ali Imron dkk. Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang, 2003 Craig, Wendy, dkk. “A Cross-National 3UR¿OH RI Adolescents in 40 countries”, Int J Public Health. 2009:54 (Suppl 2):216-224. Darmawan. 2010. “Bullying in School: A Studey of Forms and Motives of Aggression in Two Secondary Schools in the city of Palu, Indonesia”, tesis. "http://munin. uit.no/bitstream/handle/10037/2670/ thesis.pdf?sequence=2"http://munin.uit. no/bitstream/handle/10037/2670/thesis. pdf?sequence=2 (diakses tanggal 8 Mei 2014) Egi. 2011. “Perilaku bullying pada anak sekolah”. on line at http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anaksekolah.html [accessed at 21/12/2011] Eron, L., Huesmann, R., & Spindler, A. 2002 A Cognitive – Ecological Approach to Preventing Aggression in Urban Setting: Initial Outcomes for High-Risk Children. Journal of Consultation and Clinical Psychology. American Psychological Association. Vol. 70. No. 1. 179-194. Komnas PA, Terima Laporan 3.339 Kasus Kekerasan Anak, http://news.okezone.com/ read/2014/05/06/337/980928/komnas-paterimalaporan-3-339-kasus-kekerasan-anak, diakses tanggal 10 Mei 2014. Nasution, Noehi. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka. Rachman, Maman. Manajemen Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1998 Riauskina, Intan Indira, Djuwita, Ratna, & Soesetio, Sri Rochani. “Gencetgencetan”Di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah Kognitif tentang arti, scenario, dan dampak “gencetgencetan”, Jurnal Psikologi Sosial, September 2005. Tahun 12, No.1, hal:1-14. Salman Rusydi Prinsip-prinsip Manajemen kelas: Diva Prress Cet Pertama 2011 Simanjuntak, B. dan Pasaribu, I.L. Psikologi Perkembangan (Dasar Psikologi Kriminil). Bandung: Tarsito, 1983 Sunarto dan Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008 Sunaryo. Strategi Belajar Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Malang: IKIP Malang, 1989 Suharsimi Arikunto. Pengelolaan Kelas dan Siswa Sebuah Pendekatan Evaluatif. Jakarta: Rajawali Pers, 1992 Syaiful Bahri Djamarah. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 40 Rineka Cipta, 2000 Wilson, S.J., Lipsey, M.W., & Derzon, J.H., 2003 The Effects of School-Based Intervention Programme on Aggressive behavior: A Meta Analysis. Journal of Consultation and Clinical Psychology. American Pschological Association. Vol. 71. No. 1.136-147 http://www.smansamedan.sch.id/artikel/artikel_isi/implikasi_undang-undang_no_ 23.html http://megapolitan.kompas.com/read/2015/09/19/12111601/Siswa.SD.Korban.Kek erasan.di,Sekolah.Berasal.Dari.Keluarga.Kurang.Mampu http://www.beritaekspres.com/2015/10/22/dianiaya10-siswa-teman-sekelas-lagikekerasan-anak-dilingkungan-sekolah-terjadi-di-bekasi/ http://one.indoskripsi.com/node/10486 http://sekolah-dasar.blogspot.com/2009/02/pendekatan-dalam-pengelolaan kelas.html http://gurukreatif.wordpress.com/2008/03/26/6-indikator-pengelolaan-kelas-yangberhasil/ BIODATA PENULIS IRNIE VICTORYNIE, S.Pd, M.Pd lahir di Kuningan, 19 Juni 1982, Meniti karir sejak tahun 2013 sebagai Dosen Universitas Islam 45 Kota Bekasi. Pernah meraih Juara I Mahasiswa Berprestasi Tingkat Kopertis Wilayah IV Tahun 2003. Menyelesaikan kuliah S1 di Universitas Siliwangi dengan predikat cum laude pada tahun 2004 serta menyelesaikan kuliah S2 di Univesitas Negeri Jakarta dengan predikat cum laude pada tahun 2013. PEDAGOGIK Vol. V, No. 1, Februari 2017 41