View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
KEANEKARAGAMAN FAUNA NON BENTIK PADA EKOSISTEM
MANGROVE DI SUNGAI TALLO KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
Oleh:
ABDUL TALIB
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
KEANEKARAGAMAN FAUNA NON BENTIK PADA EKOSISTEM
MANGROVE DI SUNGAI TALLO KOTA MAKASSAR
Oleh:
ABDUL TALIB
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
1
ABSTRAK
ABDUL TALIB (L111 10 904) “Keanekaragaman Fauna Non Bentik pada
Ekosistem Mangrove di Sungai Tallo Kota Makassar”Dibimbing oleh ANDI
IQBAL BURHANUDDIN dan AMRAN SARU.
Ekosistem mangrove termasuk ekosistem pantai yang memiliki fungsi
ekologis, biologis, dan bernilai ekonomis. Penelitian ini dilaksanakan pada
Desember 2015 sampai dengan Februari 2016 yang bertujuan mengetahui jenis
mangrove dan fauna non bentik yang berada pada ekosistem mangrove serta
hubungan kerapatan mangrove dengan kelimpahan fauna non bentik. Mengetahui
keanekaragaman fauna non bentik yang ada di akar, batang, dan ranting/daun.
Lokasi penelitian dibagi ke dalam tiga stasiun yang masing - masing stasiun
terdiri dari empat substasiun dengan tiga sub plot mangrove berukuran 10 m x 10 m
dan lima untuk organisme berukuran 1 m x 1 m, terkecuali untuk pengamatan aves
dan pendataannya mengikuti luasan yang dijadikan lokasi pengamatan dengan
metode yang digunakan yaitu metode ekploratif dan pengmatan langsung di
lapangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan 6 jenis
mangrove yaitu Nypa fruticans, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa,
Avicennia alba, Sonneratia sp,dan Bruguiera sp dan Fauna non bentik yaitu:
Gastropoda jenis (Natica sp, Achatina sp, Melanopsis sp, Littorina sp, Bedeva sp,
Hastula sp,dan Strombus sp), Bivalvia jenis (Argopecten sp),Malacostraca jenis
(Hemigrapsus sp dan dorippe sp) dan Aves jenis (Butoridies striatus, Ardeola
speciosa, Sterna hirundo, Egretta alba, Egretta sacra, Actitis hypolecos, dan
Nycticorax caledonicus). Hasil dari Indeks keanekaragaman yang diperoleh dalam
kategori rendah,keseragaman dalam kategori komunitas tertekan dan komunitas
labil dan indeks dominansi dalam kategori rendah dan Hubungan antara kerapatan
mangrove dengan kelimpahan fauna non bentik berkorelasi positif tetapi lemah
dengan nilai Koefisien korelasi (r) sebesar 0,173.
Kata kunci : Keanekaragaman, Keseragaman, Dominansi, Fauna non bentik,
Sungai Tallo,Mangrove Sungai Tallo.
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Keanekaragaman Fauna Non Bentik Pada Ekosistem
Mangrove Di Sungai Tallo Kota Makassar.
Nama
:Abdul Talib
Nomor pokok
: L111 10 904
Jurusan
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah di periksa
dan di setujui oleh
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Prof.Andi Iqbal Burhanuddin,M.Fish.Sc.,Ph.D.
NIP :19691215 199403 1 002
Prof.Dr.Amran Saru,ST.,M.Si
NIP : 196709241995031001
Mengetahui
Dekan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc
NIP. 19670308 199003 1 001
Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Sc
NIP. 197010291995031001
Tanggal Lulus :
2016
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 5 Maret 1991 di
Bantaeng, Sulawesi Selatan. Anak keempat dari enam
bersaudara pasangan dari Ayahanda Syamsuddin dengan
Ibunda Salia. Pada tahun 2004 lulus dari SD Inpres
Tamarunang, tahun 2007 lulus dari SMPN 3 Bantaeng, dan
tahun 2010 lulus dari SMK Kelautan Dan Perikanan
Bantaeng. Pada tahun 2010, melalui Seleksi Jalur POSK (Prestasi Olahraga, Seni
Dan Keilmuan). Penulis berhasil diterima pada Program Studi Ilmu Kelautan,
Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Penulis aktif pada bidang kemahasiswaan dengan mengikuti organisasi
Mahasiswa yaitu Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin (SEMA
KELAUTAN UH) periode 2013-2014, Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Komisariat
Ilmu Kelautan Cabang Makassar Timur, Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng
(HPMB), Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) dan pengurus HmI cabang
Makassar Timur periode 2016-2017. Penulis juga aktif pada berbagai asisten mata
kuliah yakni Ekologi Laut, Geologi Laut, Sedimentologi, Metode Dan Teknik Survey
Sumber Daya Hayati Laut,Teknik Rehabilitasi Ekosistem Pesisir Dan Laut dan
Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut.
Pada tahun 2014, penulis melaksanakan salah satu tridarma perguruan
tinggi yaitu pengabdian masyarakat dengan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN)
gelombang 87, di Desa Pattiro Bajo, Kec.Sibulue, Kab.Bone, Sulawesi Selatan.
Pada saat bersamaan, penulis sekaligus melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL)
iv
di Desa Malussetasi, Kec.Sibulue, Kab.Bone dengan judul “Kerapatan Pohon
Mangrove Di Desa Mallusetasi Kabupaten Bone’
Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi akhirnya telah terselesaikan,
penulis melakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Fauna Non Bentik
Pada Ekosistem Mangrove Di Sungai Tallo Kota Makassar” dibawah bimbingan
bapak Prof. Andi Iqbal Burhanuddin, M.fish.Sc.,Ph.D dan Prof.Dr.Amran Saru
ST.,M.Si.
v
KATA PENGANTAR
Tak ada kata yang pantas selain mengagungkan kebesaranmu ya ALLAH,
atas segala karunia dan pertolongan yang engkau berikan kepada penulis selama
dalam proses penyelesaian karya ini yang berjudul “Keanekaragaman Fauna Non
Bentik Pada Ekosistem Mangrove Di Sungai Tallo Kota Makassar” yang merupakan
sebuah hasil penelitian untuk memperoleh gelar sarjan dalam bidang kelautan.
Shalawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW berserta
para sahabat yang telah menegakkan agama ALLAH dalam ajaran Islam di bumi ini.
Ya ALLAH, pemilik segala yang ada di langit dan di bumi. Melalui setiap kesempatan
nafas yang engkau berikan. Aku memohon ampunanmu atas segala keselahan yang
pernahku perbuat. Dan ampunilah pula segala dosa ibu dan ayahku ya robbi, baik
kesalahan yang disengaja maupun tak disengaja yang dibuat oleh beliau.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak-pihak yang telah membantu terciptanya sebuah
karya sederhana yang lahir berkat bantuan pemikiran, saran dan motivasi selama
proses penyusunan skripsi hingga akhirnya penelitian ini dapat selesai.
Penulis,
Abdul Talib
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan Yang Maha Esa atas
berkah, anugerah-Nya serta kasih sayang-Nya yang tidak henti-henti, khususnya
kepada penulis dan keluarga penulis, hingga saat ini.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sangat
tulus kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis mulai dari awal perkuliahan
hingga tersusunnya skripsi ini.
1. Kepada kedua orangtuaku, Ayahanda Syamsuddin dan Ibunda Salia yang telah
bersedia dengan ikhlas menerima beban senang dan sakit yang dirasakan
selama merawatku, menjaga serta mengarahkanku ketika salah, menerimaku apa
adanya dan banyak hal yang tidak bisa diungkapkan atas semua pengorbanan
dan kasih sayang mereka.
2. Kepada Prof. Andi Iqbal Burhanuddin, M.fish.Sc.,Ph.D. dan Prof.Dr.Amran
Saru ST.,M.Si yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk membimbing dan
mengarahkan melalui kritik dan saran yang membangun hingga skripsi ini dapat
selesai sesuai yang diinginkan.
3. Kepada Dr.Inayah Yasir,M.Sc, Dr.Khairul Amri,ST,M,Sc.Stud dan Ir.Marzuki
Ukkas,DEA selaku dosen penguji, memberikan tanggapan, dan saran terhadap
penyempurnaan skripsi ini.
.4. Kepada BapakProf.Dr.Ir.Jamaluddin Djompa, M.Sc selaku Dekan FIKP beserta
jajarannya, Bapak Dr.Mahatma Lanuru,ST.,M.Sc selaku Ketua Jurusan Ilmu
Kelautan.
vii
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kelautan yang telah membagikan
pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.
6. Seluruh Staf pegawai FIKP UH dan Laboratarium yang tidak dapat disebutkan
namanya satu per satu yang selalu mendukung penulis secara ikhlas, sadar
ataupun tidak, membantu penulis mengurus berkas, serta penyemangat disaat
penulis butuh.
7. Kepada Saudara-saudaraku dan seperjuanganku di KONSERVASI 2010 (Kosong
Sepuluh Berjuta Variasi), Budi, Nenni, Eki, Frans, Akram, Iswan, Hans, Ikram,
Ifha, Nisa, Zusan, Hesti, Fira, Mardi, Mangando, Eka, Putra, Andri, Weindri,
Tuti, Asri, januar, Dian, Dilla, Saldi, Zulfi, Ulil, Azan, Mudin, Ria, Roni, Tendri,
Cute, Ashar, Chandra, Cia, Mito, Ipul, Ulli’, dan Wahid yang selalu
mendampingi, menyemangati, susah senang bersama, pengingat terbaik,
memberikan hidup penulis lebih berwarna dengan hadirnya kalian.
8. Kepada Keluarga Mahasiwa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas
dukungan, doa, serta canda tawanya. Terima kasih atas semua pelajaran hidup
yang kalian berikan.
“Hidup bagaikan skripsi, banyak halaman dan bab yang perlu direvisi, tetapi
semuanya akan berakhir indah, tergantung dari usaha kita sendiri”
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
viii
DAFTAR ISI
No
Halaman
ABSTRAK ................................................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ 1
I. PENDAHULUAN ................................................................................................... 2
A. Latar Belakang ............................................................................................... 2
B. Tujuan dan Kegunaan .................................................................................... 4
C. Ruang Lingkup .............................................................................................. 4
II.TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 6
A. Estuaria.......................................................................................................... 6
B. Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove .................................................... 7
C. Asosiasi Fauna Pada Mangrove .................................................................. 10
D. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Fauna ................. 12
E. Parameter Lingkungan ................................................................................. 14
III. METODOLOGI PENELITIAN..............................................................................17
A. Waktu dan Tempat ....................................................................................... 17
B. Alat dan Bahan ............................................................................................ 18
C. Prosedur Penelitian ...................................................................................... 18
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................................25
A. Kondisi Umum dan Deskripsi Lokasi Penelitian............................................ 25
B. Kondisi Ekosistem Mangrove ....................................................................... 27
C. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Fauna Non Bentik Mangrove ......... 31
D. Parameter Lingkungan ................................................................................ 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................47
A. Kesimpulan .................................................................................................. 47
B. Saran ........................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................48
ix
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Kategori Indeks Keanekaragaman (Odum, 1993) ............................................... 13
2. Kategori Indeks Keseragaman (Odum, 1993) ..................................................... 13
3. Kategori Indeks Dominansi (Odum, 1993) .......................................................... 14
4. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003) ..................... 15
5. Jenis mangrove yang ditemukan di setiap stasiun penelitian .............................. 29
x
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat bakau Rhizopora sp.
(Irwanto,
2006) .................................................................................................................. 9
2. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................................ 17
3. Sketsa Stasiun Pengamatan ............................................................................... 19
4. Penutupan Lahan Kawasan Sungai Tallo ........................................................... 26
5. Rata-rata ketebalan mangrove per stasiun ......................................................... 27
6. Nilai kerapatan mangrove pada tiap stasiun ....................................................... 30
7. Jenis fauna makrozoobentos (Littoria sp.) kiri, dan (Natica sp.) kanan................ 32
8. Jenis Egretta alba (kiri) dan Egretta sacra (kanan) ............................................. 33
9. Jenis burung Ardeola speciosa (kiri) dan Nycticorax caledonicus ....................... 34
10.Kelihatan jenis aves Trinil pantai (Actitis hypoleucos) sedang
beraktifitas di
sekitar rawa hutan mangrove ............................................................................ 35
11. Jenis aves Butoridies striatus (Kokokan Laut) sedang beraktifitas di sekitar rawa
hutan mangrove ................................................................................................ 36
12. Jenis aves Sterna hirundo (dara laut biasa) sedang bertengger di ranting pohon
mangove ......................................................................................................... 36
13. Komposisi jenis fauna non bentik berdasarkan class. ...................................... 37
14. Kepadatan jenis fauna non bentik/plot berdasarkan habitat dari rata-rata jumlah
jenis fauna. ...................................................................................................... 38
15. Kepadatan jenis fauna pada lokasi penelitian ................................................... 39
16. Indeks ekologi fauna non bentik pada tiap stasiun ............................................ 40
17. Grafik regresi linear sederhana ......................................................................... 41
18. Suhu rata-rata pada tiap stasiun pengamatan .................................................. 43
19. Kisaran rata-rata salinitas pada tiap stasiun...................................................... 44
20. Kisaran rata-rata pH pada tiap stasiun pengamatan ......................................... 45
21. Tinggi genangan air rata-rata pada tiap stasiun ................................................ 46
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Kerapatan Jenis Mangrove
Lampiran 2.
Jenis fauna yang ditemukan dilokasi pengamatan berdasarkan
substasiun
Lampiran 3.
Jenis aves yang ditemukan di lokasi penelitian
Lampiran 4.
Jenis fauna non bentik yang ditemukan di lokasi penelitian
Lampiran 5.
Indeks Ekologi Fauna Non Bentik
Lampiran 6.
Jenis Gatropoda, Bivalvia dan Crustacea yang ditemukan pada lokasi
penelitian
Lampiran 7.
Jenis aves yang ditemukan pada lokasi penelitian
Lampiran 8.
Jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian
Lampiran 9.
Foto Kegiatan Lapangan
Lampiran 10.
Hasil pengukuran parameter lingkungan pada lokasi penelitian
Lampiran 11. Hasil pengukuran lebar mangrove pada setiap stasiun pengamatan di
lapangan
Lampiran 12. Hasil pengukuran tinggi genangan air pada lokasi pengamatan
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bagian daerah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan cukup
tinggi adalah estuaria. Daerah estuaria merupakan pesisir semi tertutup dengan
badan air mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka sehingga daerah ini
terjadi percampuran antara massa air laut dengan air tawar dari daratan sehingga
air menjadi payau.
Ekosistem mangrove termasuk ekosistem pantai atau komunitas bahari
dangkal yang lebih spesifik jika dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang
terdapat pada perairan tropik dan subtropik. Selain memiliki fungsi ekologis sebagai
penyedia nutrient bagi biota perairan, tempat pemijahan, daerah asuhan bagi
berbagai biota perairan, penahan abrasi, mangrove juga memiliki fungsi ekonomis
penting seperti penyedia kayu, ekowisata, dan bahan pembuatan obat - obatan
(Burhanuddin, 2011).
Pada ekosistem mangrove terdapat fauna yang merupakan perpaduan
antara fauna ekosistem terestrial, peralihan dan perairan. Fauna terestrial
kebanyakan hidup di pohon mangrove sedangkan fauna peralihan hidupnya
menempati daerah dengan substrat yang keras atau akar mangrove maupun pada
substrat yang lunak. Salah satu hasilpenelitian yang menyatakan bahwa fauna yang
dijumpai pada ekosistem mangrove antara lain adalah jenis kepiting mangrove,
kerang - kerangan dan golongan invertebrata lainnya. Selain itu fauna perairan yang
berada dalam kolom air laut seperti macam-macam ikan dan udang (Kustanti, 2011).
Sungai Tallo memiliki DAS yang membentang secara administrasi mulai dari
Kabupaten Gowa (53%), Kabupaten Maros (25 %), dan Kota Makassar (22%)
2
dengan luas DAS adalah 339,903 km2 dan panjang sungai L= 73,8 km (BLHD,
2014). Sungai Tallo yang membelah sebagian Kota Makassar merupakan salah satu
aset alami yang sarat dengan sejarah kebesaran Makassar masa lampau.
Keberadaan Sungai Tallo seiring dengan pembangunan Kota Makassar tetap
menjadi penopang hidup sebagian besar warga kota Makassar yang sampai saat ini
menetap turun temurun di bantarannya. Elemen dasar bantaran Sungai Tallo
sebagian besar ditumbuhi pohon-pohon Nipah dan Bakau seperti Nypa fruticans,
Rhizophora sp., dan Avicennia alba yang sangat lebat, menjadikan daerah hijau
membentang disepanjang kawasannya. Keanekaragaman tumbuhan yang tumbuh
alami pada bantaran Sungai Tallo,
membuat
pemerintah kota Makassar
merencanakan elemen hijaunya menjadi konservasi alami yang bisa menunjang
pariwisata (Beddu, 2011). Namun dengan berjalannya eksploitasi dibidang
pengelolaan kayu ataupun pengalokasian beberapa industri penggergajian yang
tidak terkendali dan timbulnya peningkatan jumlah penduduk mulai mempengaruhi
kondisi ekosistem kawasan tersebut. Dampak hasil pengalihan fungsi lahan
berakibat rusaknya pantai oleh faktor hidro oseanografi dan konversi lahan
mangrove menjadi areal empang-empang tradisional, sehingga pengaruh tersebut
dapat mempercepat kerusakan alam dan ekosistem fauna.
Kondisi ekosistem fauna
dapat dijadikan sebagai bioindikator kesuburan
pada area mangrove.Kelas Aves dijadikan sebagai bioindikator pada area mangrove
merupakan indikator yang baik untuk menilai biodiversitas dalam suatu wilayah,
karena Avesdapat menempati habitat yang luas juga mendekati puncak dari rantai
makanan (Djuwantono, dkk, 2013). Selanjutnya untuk Kelas Gastropoda dan
Crustacea juga dapat dijadikan sebagai bioindikator karena memiliki banyak peran
3
dalam ekosistem mangrove salah satunya yaitu sebagai dekomposer untuk menjaga
kestabilan ekosistem.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang
keanekaragaman fauna non bentik pada ekosistem mangrove untuk menghasilkan
masukan yang bermanfaat sebagai kebutuhan konservasi yang dapat membangun
kegiatan merehabilitasi hutan mangrove dan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa
mengurangi keanekaragaman hayati di dalamnya,
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Mengetahui jenis mangrove dan fauna non bentik.
b. Mengetahui keanekaragaman fauna non bentik yang ada di akar, batang, dan
ranting/daun.
c. Mengetahui hubungan kerapatan mangrove dengan kelimpahan fauna non
bentik.
Kegunaan
penelitian
ini
adalah
sebagai
bahan
informasi
tentang
keanekaragaman fauna non bentik yang berasosiasi pada ekosistem mangrove
untuk pengelolaan dan kestabilan ekosistem.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi jenis dan
menghitung kerapatan mangrove serta mengidentifikasi fauna yang hidup dan
berasosiasi pada ekosistem mangrove.Kelompok fauna yang umumnya hidup
berasosiasi dengan mangrove dengan cara menempel pada bagian akar dan
batangtersebut adalah Kelas Gastropoda dan Crustacea sedangkan yanghidup
bersarang pada bagian ranting dan daun adalah Kelas Aves. Adapun parameter
4
pendukungyang diukur yaitu kondisi lingkungan perairan seperti suhu, pH, salinitas
dan batas genangan pasang di tegakan pohon mangrove.
5
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Estuaria
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas
dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air
tawar. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu
komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain 1.
tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan
menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan
ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. 2.
pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan
khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. perubahan
yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan
penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4. tingkat kadar
garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air
tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut (Dahuri,1992).
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain :
sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang
surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang
bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan
(feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh
besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan
estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat
penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan
kawasan industri (Saru, 2013).
6
B. Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan
komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai,
hutan payau atau hutan bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan bakau adalah
pohon-pohon yang tumbuh di daerah pantai (pesisir), baik daerah yang dipengaruhi
pasang surut air laut maupun wilayah daratan pantai yang dipengaruhi oleh
ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove sebagai hutan payau atau
hutan bakau adalah pohon-pohon yang tumbuh di daerah payau pada tanah alluvial
atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar muara sungai (Harahab, 2010).
Vegetasi mangrove mempunyai arti yang sangat penting bagi berbagai jenis
biota yang hidup di kawasan mangrove maupun di perairan sekitarnya, salah satu
hewan makrobenthos yang berasosiasi dengan mangrove adalah krustasea. Secara
ekologis, daerah mangrove memiliki produktifitas yang tinggi untuk mendukung
lingkungan di sekitarnya karena kaya akan nutrien serta memiliki temperatur,
cahaya, pH, oksigen, dan salinitas yang optimum serta kondisi perairan yang tenang
sehingga menjadikannya sebagai habitat yang cocok untuk krustasea (Hogart, 1999)
Tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat
terushidup di peraian laut yang dangkal. Daya adaptasi mangrove dilihat dari
perakaran yang pendek dan melebar luas dengan akar penyangga atau tudung akar
yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga struktur batang menjadi kokoh,
berdaun padat dan mengandung banyak air sebagai ciri khas mempunyai jaringan
internal yang menyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa
tumbuhan mangrove seperti Avicennia mempunyai kelenjar garam yang menolong
menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam (Dahuri, 2003).
7
Ekosistem mangrove adalah ekosistem pantai yang disusun oleh berbagai
jenis vegetasi yang mempunyai bentuk adaptasi biologis dan fisiologis secara
spesifik terhadap kondisi lingkungan yang cukup bervariasi. Ekosistem mangrove
umumnya didominasi oleh beberapa spesies mangrove sejati diantaranya
Rhizophora sp., Avicennia sp., Bruguiera sp. dan Sonneratia sp. Spesies mangrove
tersebut dapat tumbuh dengan baik pada ekosistem perairan dangkal, karena
adanya bentuk perakaran yang dapat membantu untuk beradaptasi terhadap
lingkungan perairan, baik dari pengaruh pasang surut maupun faktor - faktor
lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove seperti: suhu,
salinitas, oksigen terlarut, sedimen, pH, arus dan gelombang (Saru, 2013).
Menurut
Nybakken
(1992)
hutan
mangrove
di
Indonesia
memilliki
keanekaragaman yang terbesar di dunia. Komunitas mangrove membentuk
pencampuran antara dua kelompok, yaitu kelompok fauna daratan/terestial
(arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove dan kelompok
fauna perairan/akuatik. Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di
antara akar dan lumpur sekitarnya.
Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan
habitat yang baik untuk bertengger dan bersarang. Mereka makan kepiting, ikan dan
mollusca atau hewan lain yang hidup di habitat mangrove. Setiap species biasanya
mempunyai gaya yang khas dan memilih makanannya sesuai dengan kebiasaan
dan kesukaanya masing-masing dari keanekaragaman sumber yang tersedia di
lingkungan tersebut. Sebagai timbal baliknya, burung – burung meninggalkan guano
sebagai pupuk bagi pertumbuhan pohon mangrove (Irwanto, 2006).
8
Gambar 1.Diagram ilustrasi penyebaran fauna di habitat bakau Rhizophora
sp. (Irwanto, 2006)
Kelompok lain yang bukan hewan arboreal adalah hewan-hewan yang
hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) atau akar
mangrove maupun pada substrat yang lunak (lumpur). Kelompok ini antara lain
adalah jenis kepiting mangrove, kerang-kerangan dan golongan invertebrata lainnya.
Kelompok lainnya lagi adalah yang selalu hidup dalam kolom air laut seperti macammacam ikan dan udang (Irwanto, 2006).
Peranan hewan makrobenthos di perairan sangat penting dalam rantai
makanan (food chain), karena merupakan sumber makanan bagi beberapa ikan dan
sebagai salah satu pengurai bahan organik (Odum, 1993).Hewan makrobenthos
memanfaatkan sumber makanan primer yang terdiri dari makanan yang bersifat
pelagik sebagai makanan tersuspensi dan makan yang bersifat bentik sebagai
makanan terdeposit. Bentuk lain dari deposit yang berbeda dengan makan deposit
9
di atas adalah mikroalga bentik yang ada pada sedimen, akan tetapi sumber
makanan benthos yang sebenarnya diperolehmelalui sedimentasi pada kolom air,
termasuk mineral makanan potensial yang tidak tertangkap oleh organisme pelagik.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa input makanan dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu mikroalga bentik dan guguran dasar atau detritus yang suatu saat juga
tersuspensi oleh adanya pergerakan air (Saru, 2006).
C. Asosiasi Fauna Pada Mangrove
1. Gastropoda dan Crustacea
Ekosistem mangrove merupakan habitat yang mendukung bagi kehidupan
Gastropoda dan Crustacea yang terdapat di dalamnya karena mangrove yang lebat
menyediakan mikrohabitat.Apabila mikrohabitat yang tersedia lebih bervariasi maka
jumlah spesies yang ditemukan lebih banyak (Arief, 2003).
Kepadatan pohon mangrove memiliki hubungan yang besar terhadap
kepadatan Gastropoda dan Crustacea.Hal ini dikarenakan pohon mangrove memiliki
jumlah daun yang besar yang berpengaruh terhadap jumlah makanan yang tersedia
karena sumber makanan yang terjadi di ekosistem mangrove adalah guguran daun
dan ranting yang membusuk (Risawati, 2002).
Gastropoda dan Crustaceasangat penting bagi ekosistem mangrove. Secara
ekologis Gastropoda dan Crustacea memiliki peranan yang besar dalam kaitannya
dengan rantai makanan komponen biotik di kawasan hutan mangrove, karena
disamping sebagai pemangsa detritus, Gastropoda dan Crustacea juga berperan
dalam merobek atau memperkecil serasah yang jatuh. Sebagai organisme yang
memiliki pergerakan lambat dan cenderung menetap pada suatu ekosistem,
10
Gastropoda dan Crustaceadapat dijadikan sebagai indikator ekologis untuk
mengetahui kondisi ekosistem (Arief, 2003).
2. Aves
Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata,
reptilia dan burung. Selain sebagai tempat berlindung dan mencari makan,
mangrove juga merupakan tempat berkembang biak,tempat mencari makan dan
tempat pembesaran anak bagi burung air.
Ramdhani (2008) mengatakan bahwa, burung memiliki nilai penting di dalam
ekosistem antara lain:
1. Berperan dalam proses ekologi (sebagai penyeimbang rantai makanan dalam
ekosistem).
2. Membantu penyerbukan tanaman, khususnya tanaman yang mempunyai
perbedaan antara posisi benang sari dan putik.
3. Sebagai predator hama (serangga, tikus, dan sebagainya).
4. Penyebar/agen bagi beberapa jenis tumbuhan dalam mendistribusikan
bijinya.
Kehadiran burung merupakan sebagai penyeimbang lingkungan. Jika ditinjau
dari banyak jenis burung yang memakan serangga dan besarnya porsi makan
burung maka fungsi pengontrol utama serangga di hutan tropika adalah burung.
Dalam membantu regenerasi hutan tropika terutama pada proses penyebaran biji
dan penyerbuan bunga, burung memiliki andil yang cukup besar. Telah dijumpai 12
jenis burung yang secara potensial memiliki kemampuan membantu proses
penyerbukan, sehingga kehadiran burung mutlak diperlukan dalam ekosistem hutan
tropika (Hernowo, 1989).
11
D. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Fauna
Menurut Dahuri (2003) Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang
sering dipergunakan oleh para ahli biologi konservasi. Keanekaragaman hayati
(biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk
menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk variabilitas hewan,
tumbuhan, serta jasad renik di alam.
Untuk melihat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi fauna vertikal
pada ekosistem mangrove perlu merujuk ke nilai indeks ekologi. Odum (1993)
menyatakan, bahwa nilai keanekaragaman dan keseragaman dapat menunjukkan
keseimbangan dalam suatu pembagian jumlah individu tiap jenis. Keseragaman
mempunyai nilai yang besar jika individu ditemukan berasal dari spesies atau
genera yang berbeda-beda, sedangkan keanekaragaman mempunyai nilai yang
kecil atau sama dengan nol jika semua individu berasal dari satu spesies. Indeks
keseragaman merupakan angka yang tidak mempunyai satuan, besarnya berkisar
nol sampai satu.Semakin kecil nilai suatu keseragaman, semakin kecil pula
keseragaman dalam komunitas.
Indeks keanekaragaman (H’) dapat diartikan sebagai suatu penggambaran
secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan
proses analisa informasi-informasi mengenai macam dan jumlah organisme. Selain
itu keanekaragaman dan keseragaman sangat tergantung pada banyaknya jenis
dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keanekaragaman
akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah inividu
masing-masing jenis (Wilhm dan Doris, 1986). Pendapat ini juga didukung oleh
Krebs (1985) yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota individunya
dan merata, maka indeks keanekaragaman juga akan semakin besar (Tabel 1).
12
Tabel 1. Kategori Indeks Keanekaragaman (Odum, 1993)
No.
1
2
3
Keanekaragaman (H’)
H’ < 2,0
2,0 < H’ < 3,0
H’ > 3,0
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Indeks keanekaragaman (H’) merupakan suatu angka yang tidak memiliki
satuan dengan kisaran 0 - 3. Tingkat keanekaragaman akan tinggi jika nilai H’
mendekati 3, sehingga hal ini menunjukkan kondisi perairan baik. Sebaliknya jika
nilai H’ mendekati 0 maka keanekaragaman rendah dan kondisi perairan kurang
baik (Odum, 1993).
Menurut Levinton (1982) yang dimaksud dengan indeks keseragaman
adalah komposisi tiap individu pada suatu species yang terdapat dalam suatu
komunitas.Indeks keseragaman (E) merupakan pendugaan yang baik untuk
menentukan dominasi dalam suatu area. Apabila satu atau beberapa jenis melimpah
dari yang lainnya, maka indeks keseragaman akan rendah. Jonathan (1979)
menyatakan bahwa jika nilai indeks keseragaman melebihi 0,7 mengindikasikan
derajat keseragaman komunitasnya stabil (Tabel 2).
Tabel 2. Kategori Indeks Keseragaman (Odum, 1993)
No.
1
2
3
Keseragaman (E)
0,00 < E < 0,50
0,50 < E < 0,75
0,75 < E < 1,00
Kategori
Komunitas Tertekan
Komunitas Labil
Komunitas Stabil
Indeks dominansi adalah indeks yang mengetahui jenis-jenis tertentu yang
mendominasi suatu komunitas (Odum, 1993). Jika nilai indeks dominansi mendekati
satu, maka ada organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan. Jika nilai
indeks dominansi adalah nol maka tidak ada organisme yang dominan (Tabel 3).
13
Tabel 3. Kategori Indeks Dominansi (Odum, 1993)
No.
1
2
3
Dominansi (C)
0,00 < D < 0,50
0,50 < D < 0,75
0,75 < D < 1,00
Kategori
Rendah
Sedang
Tinggi
Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengetahui apakah suatu komunitas
didominasi oleh suatu organisme tertentu, maka dapat diketahui dengan menghitung
indeks dominansi.
E. Parameter Lingkungan
1. Suhu
Suhu merupakan suatu ukuran yang menunjukan derajat panas benda. Suhu
biasa digambarkan sebagai ukuran energi gerakan molekul. Suhu sangat berperan
dalam mengendalikan kondisi ekosistem suatu perairan. Suhu sangat memengaruhi
segala proses yang terjadi di perairan baik fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu
juga mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Burhanuddin, 2011).
Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya. Makin tinggi kenaikan suhu air, maka makin sedikit oksigen yang
terkandung di dalamnya (Retnowati, 2003).
2. pH
Organisme perairan mempunyai kemampuan berbeda dalam menolerir pH
perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak
faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan
kation serta jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).
14
Sebagian besar biota akuatik menyukai nilai pH berkisar antara 5,0-9,0 hal ini
menunjukkan adanya kelimpahan dari organisme makrozoobenthos, dimana
sebagian besar organisme dasar perairan seperti polychaeta, moluska dan bivalvia
memiliki tingkat asosiasi terhadap derajat keasaman yang berbeda-beda (Hawkes,
1978). Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan
dalamTabel 4.
Tabel 4. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003)
Nilai pH
6,0 – 6,5
5,5 – 6,0
5,0 – 5,5
4,5 – 5,0
Pengaruh Umum
Keanekaragaman benthos sedikit menurun
Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami
perubahan
Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum
mengalami perubahan yang berarti
Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos
semakin besar Terjadi penurunan kelimpahan total dan
biomassa benthos
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos
semakin besar Penurunan kelimpahan total dan biomassa
benthos
pH tanah di kawasan mangrove juga merupakan salah satu faktor yang ikut
berpengaruh terhadap keberadaan makrozoobenthos. Jika keasaman tanah
berlebihan, maka akan mengakibatkan tanah sangat peka terhadap proses biologi,
misalnya proses dekomposisi bahan organik oleh makrozoobenthos. Proses
dekomposisi bahan organik pada umumnya akan mengurangi suasana asam,
sehingga makrozoobenthos akan tetap aktif melakukan aktivitasnya (Arief, 2003).
3. Salinitas
Salinitas
merupakan
takaran
bagi
keasinan
air
lautdi
perairan
samudera,salinitas biasanya berkisar antara 34-35 ‰. Di perairan pantai salinitas
biasanya turun rendah karena terjadi pengenceran, misalnya pengaruh aliran
15
sungai. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas
biasanya tinggi (Nontji,1987).
Selanjutnya Nybakken (1992), menjelaskan bahwa fluktuasi salinitas di
daerah intertidal dapat disebabkan oleh dua hal, pertama akibat hujan lebat
sehingga salinitas akan sangat turun dan kedua akibat penguapan yang sangat
tinggi pada siang hari sehingga salinitas akan sangat tinggi. Organisme yang hidup
di daerah intertidal biasanya telah beradaptasi untuk mentolerir perubahan salinitas
hingga 15‰.
16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian inidilaksanakan pada bulan September 2015yang diawali dengan
kegiatan survei awal lapangan dilanjutkan pada bulan Februari 2016. Jangka waktu
tersebut meliputi studi literatur, penulisan proposal penelitian, pengambilan data
lapangan dan pengolahan data. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Biologi
Laut, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Lokasi
penelitian berada di Sungai Tallo Kota Makassar (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
17
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah Global Positoning System
(GPS) berfungsi untuk menentukan titik koordinat, kamera berfungsi sebagai alat
dokumentasi kegiatan dan gambar burung, teropong berfungsi untuk mengamati
fauna secara jarak jauh. Rollmeter berfungsi untuk mendapatkan luasan area
penelitian, tali rapia dan patok berfungsi sebagai alat untuk pembuatan plot ukuran
10 m x 10 m sabak berfungsi sebagai wadah alat menulis data sementara, pulpen
berfungsi sebagai alat tulis menulis, kantong sampel untuk penyimpanan sampel.
Buku berfungsi sebagai sumber literatur untuk mengidentifikasi jenis fauna, dan
perahu sebagai alat transportasi ke lokasi penelitian, pH meter untuk mengukur pH
perairan, salinometer untuk mengukur salinitas perairan, dan termometer untuk
mengukur suhu perairan. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% berfungsi
untuk mengawetkan sampel organisme.
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi beberapa langkah yaitu langkah persiapan,
penentuan lokasi pengamatan, penempatan plot, pengambilan data dan analisis
data.
1. Langkah Persiapan
Langkah persiapan meliputi survei lapangan atau observasi awal dari
langkah tersebut mempunyai maksud dapat memperoleh gambaran awal tentang
kondisi yang ada dilokasi. Selanjutnya, menentuan lokasi penelitian dengan
menghitung luas yang akan dijadikan lokasi pengamatan dengan bantuan rolmeter.
Pengambilan titik koordinat dengan menggunakan Global Positioning System (GPS).
18
2. Tahap Penentuan Stasiun Dan Penempatan Transek
Berdasarkan
zonasi
mangrove,
ditetapkan tiga
stasiun
pengamatan
sepanjang Sungai Tallo. Stasiun I pengamatan yang dimulai dari Jembatan Sungai
Tallo sampai dengan Pulau Lakkang dengan vegetasi mangrove Nypa fruticans.
Stasiun ke II dimulai dari Pulau Lakkang sampai dengan Jembatan Tol dengan
vegetasi mangrove Rhizophora, dan Stasiun ke III pengamatan yang dimulai dari
Jembatan Tol sampai dengan muara Sungai Tallo dengan vegetasi mangrove
campuran yaitu Rhizophora, Bruguiera dan Avicennia.
Pada setiap stasiun pengamatan dibagi menjadi 4 substasiun sebagai
perwakilan ekosistem mangrove pada masing-masing stasiun pengamatan yang
ditempatkan pada daerah yang selalu tergenang air pada saat pasang dan surut.
Stasiun pengamatan (gambar 3)
Gambar 3.Sketsa Stasiun Pengamatan
19
3. Pengambilan Data
a. Pengambilan Data Fauna Non Bentik Pada Mangrove Bagian Akar, Batang,
Ranting/Daun.
Pengambilan data dilakukan pada tiap stasiun pengamatan dengan
menggunakan plot berukuran 1 m x 1 m untuk fauna non bentik dalam areal 10 m x
10 m untuk mangrove. Data fauna melingkupi jenis fauna dari kelas Gastropoda dan
Crustacea yang berasosiasi di mangrove yang dicatat berdasarkan jumlah individu
dan jenis yang didapatkan didalam plot. Hasil data fauna non bentik selanjutnya
diolah untuk mendapatkan kepadatan fauna dengan menggunakan satuan ind/m2.
b. Pengambilan Data Aves
Pengamatan aves dan pendataannya mengikuti luasan yang dijadikan lokasi
pengamatan serta lokasi aktivitas aves (mencari makan dan tinggal bersarang)
dikarenakan fauna yang sering bermigrasi dari satu tempat ketempat lain. Waktu
pengamatan aves sekitar pukul 05:00 – 09:00 dan 16:00 – 18:00 WITA. Jenis aves
yang terdapat dalam lokasi pengamatan dicatat dan diambil gambar avesnya
sebagai keperluan identifikasi dalam penentuan jenisnya dari semua individu baik
hanya melakukan migrasi, mencari makan, besar dan tinggal bersarang pada
mangrove. Adapun data kepadatan aves tidak dilakukan pada penelitian ini..
c. Pengambilan Data Ekologi Mangrove
Pengambilan data ekologi mangrove melalui beberapa prosedur pengamatan
dan pengambilan data. Pertama yaitu data ketebalan/lebar mangrove diukur secara
manual mempergunakan roll meter yang ditarik dari pinggir sungai mulai dari hutan
mangrove yang berhadapan langsung dengan sungai hingga di ujung daratan
20
tempat tumbuhnya mangrove. Kedua membuat plot untuk setiap stasiun yang
membentuk bujur sangkar dengan ukuran luas 10 m x 10 m dengan jumlah plot
mengikuti luasan mangrove di lokasi pengamatan.Ketiga mengidentifikasi jenis
tumbuhan mangrove berdasarkan buku identifikasi mangrove atau dengan
mengambil
sebagian/potongan
dari
ranting,
lengkap
dengan
bunga
dan
daunnya.Ke-empat menghitung jumlah jenis mangrove.
d. Pengukuran Parameter Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan sebagai data penunjang adalah suhu
perairan yang langsung diukur disetiap stasiun dengan menggunakan thermometer,
salinitas diukur dengan menggunakan salinometer pengukuran salinitas dilakukan
langsung di lapangan dan pengukuran pH air menggunakan pH meter.
4. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kemudian ditampilkan dalam
bentuk gambar dan tabel. Untuk menghitung keanekaragaman fauna vertikal berikut
rumus yang dipergunakan:
a. Komposisi Jenis Fauna Non Bentik Mangrove
Untuk menghitung komposisi jenis fauna vertikal dengan menggunakan
formula Brower et al. (1989):
21
Keterangan:
KJ = Komposisi jenis (%);
ni = Jumlah individu setiap jenis (ind); dan
N = Jumlah individu dan kelimpahan jenis (ind).
b. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman dihitung dengan rumus Shannon-Wiener
(Odum,1993):
(
)
(
)
Keterangan :
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah seluruh individu dari semua jenis
c. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evenness
Indek (Odum, 1993):
Keterangan:
E = Indeks keseragaman jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S = Jumlah jenis organisme
d. Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi dihitung dengan rumus indeks (Odum, 1993):
22
Keterangan:
C = Indeks dominansi
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah seluruh individu dari semua jenis
e. Kerapatan Mangrove
Untuk menghitung kerapatan jenis dihitung dengan menggunakan formula
(Bengen, 1999):
Dimana :
Di = Kerapatan setiap jenis(ind/m2)
ni = Jumlah total tegakan setiap jenis
A = Luas area plot (10 m²)
f. Analisis Hubungan Kerapatan Mangrove Dengan Kelimpahan Fauna Non
Bentik
Dari data kerapatan mangrove dan kelimpahan fauna non bentik dapat
diketahui korelasi antara vegetasi mangrove dengan kelimpahan fauna non bentik
menggunakan model regresi sederhana. Rumus yang digunakan adalah :
Y=a+bx
23
Keterangan :
Y : Kepadatan fauna non bentik (ind/ha)
X : Kerapatan Mangrove (ind/ha)
a : konstanta
b : slope
Masing-masing kelompok fauna tersebut dikelompokkan menurut plot dan
hasilnya akan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik, untuk dianalisis secara
deskriptif.
24
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Umum dan Deskripsi Lokasi Penelitian
Secara geografis Sungai Tallo terletak diantara 1190 3’ dan 1190 48’ Bujur
Timur serta 50 6’ dan 50 16’ Lintang Selatan. Sungai Tallo terletak dibagian utara
Kota Makassar, merupakan sebuah sungai yang daerah muaranya sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan pada bagian dasar sungai tersebut
letaknya lebih dalam dari pada muka laut sehingga mengakibabkan air asin dapat
dijumpai disepanjang kurang lebih 10 km (Pemkot Makassar, 2015).
Sungai Tallo memiliki DAS yang membentang secara administrasi mulai dari
Kabupaten Gowa (53%), Kabupaten Maros (25 %), dan Kota Makassar (22%)
dengan Luas DAS adalah 339,903 km2, panjang sungai L= 73,8 km kemiringan ratarata sungai I=0,0001 s/d 0,000385, kedalaman rata-rata adalah 6 m , lebar sungai
hulu 50-80 m, lebar sungai hilir = 80-300 m. Untuk Kota Makassar, sebagian besar
wilayahnya masuk dalam Sungai Tallo dan merupakan muara dari Sungai ini yang
menerima pengaruh dari berbagai kegiatan di wilayah hulu yang terletak di
Kabupaten Maros dan Gowa.
Secara hidrologis, Sungai Tallo memiliki 268,13 mm/tahun dengan jumlah
rata-rata hari hujan adalah 3.217 pertahun, atau debit alirannya mencapai 5,7 milyar
m3/tahun atau sekitar 70,67 m3/s. Debit sungai Tallo sangat berfluktuasi yaitu
antara musim hujan dan musim kemarau sangat jauh berbeda. Di Sungai Tallo
terdapat banyak mata air, Sungai Tallo mempunyai sekitar 400 buah mata air yang
mempunyai potensi debit lebih dari 15 m3/s di bagian hulu.
Keteraturan pola penggunaan lahan sering dikaitkan dengan penggunaan
lahan dalam kota. Pola tersebut merupakan gambaran distribusi kegiatan penduduk
25
dalam kota. Pola penggunaan lahan pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu: kelompok kawasan terbangun dan kelompok kawasan tidak
terbangun. Kawasan tidak terbangun didaerah Sungai Tallo sebagian besar
didominasi oleh tambak (empang), rawa dan lahan kosong.Sedang bagi peruntukan
pemukiman hanya berada pada areal kira-kira 36 ha pada kelurahan lakkang.
Pola penyebaran permukiman ini adalah pada sekitar pusat Kelurahan
Lakkang dan mengelompok dengan rapat dalam satu lokasi yang masih kurang
sarana fasilitas penunjangnya. Perkembangan permukiman pada masa yang akan
datang akan disesuaikan dengan kecenderungan perkembangan bentuk dan
struktur kota, serta arahan perkembangan kota secara keseluruhan. Sebagai
kawasan konservasi, Sungai Tallo menjadi kawasan yang diperuntukkan sebagai
hutan kota dan riverside city.
Gambar 4.Penutupan Lahan Kawasan Sungai Tallo
Sumber: Dinas Tata Ruang Kota Makassar, 2013
26
B. Kondisi Ekosistem Mangrove
1. Ketebalan/Lebar mangrove
Ketebalan mangrove adalah jarak dari bibir pantai menuju ke daratan yang
masih terdapat vegetasi mangrove (surut terendah sampai ke pasang tertinggi) atau
disebut juga green belt. Yang dihitung dalam satuan meter (Fahriansyah dan
Yoswaty, 2012).
Berdasarkan hasil pengukuran pada ketiga Stasiun yang dilakukan di Sungai
Tallo maka diperoleh hasil ketebalan/lebar ekosistem mangrove yang masuk
kedalam kategori pohon. Rata-rata ketebalan/lebar mangrove yang diperoleh pada
Stasiun I berkisar 56,5 m, Stasiun II berkisar 24,25 m dan stasiun III berkisar 28,5 m
yang disajikan dalam bentuk seperti gambar di bawah ini (Gambar 5).
56,5
Lebar mangrove (meter)
60
50
40
28,5
30
24,25
20
10
0
I
II
III
Stasiun
Gambar 5.Rata-rata ketebalan mangrove per stasiun
Berdasarkan
gambar
diatas,
ketebalan
mangrove
di
Sungai
Tallo
menunjukkan rata-rata ketebalan mangrove tertinggi berada di Stasiun I diikuti pada
Stasiun III dan terendah berada di Stasiun II.
27
Penebangan habis yang dilakukan pihak stakeholder setempat yang
berkordinasi dengan masyarakat menyebabkan menurunnya jumlah pohon dan
vegetasi mangrove.Ketebalan pohon paling tinggi terdapat di daerah mangrove
(Stasiun I). Tingginya ketebalan pohon di daerah mangrove disebabkan lokasi
tersebut masih dalam kondisi alami dan memiliki jenis substrat berlumpur.Kondisi
tersebut mendukung vegetasi mangrove dapat hidup secara optimal, lain halnya
dengan kondisi ketebalan mangrove di daerah tebangan (Stasiun II) berada pada
lahan yang dikonversi (tambak).Hal ini disebabkan keberadaan vegetasi sangat
ditentukan oleh pemilik tambak sebab mangrove masih dianggap sebagai hal yang
tidak menguntungkan.Sedangkan untuk di daerah yang sudah mengalami abrasi
dan daerah kawasan industri (Stasiun III) mengalami penurunan yang signifikan
akibat pengaruh oseanografi. Mangrove yang tumbuh di daerah tersebut dari musim
ke musim akan terus habis disebabkan fenomena alam tersebut dan juga semakin
kecilnya area mangrove akibat lahan industry.
2. Sebaran dan Jenis Mangrove
Pada Lokasi penelitian di Sungai Tallo ditemukan empat famili mangrove
diantaranya Acanthaceae, Rhizophoraceae, Arecaeae dan Lythraceae dengan jenis
yang diidentifikasi antara lain: Avicennia alba, Rhizophora mucronata, Rhizophora
sylosa, Nypa fruticans, Sonneratia sp. dan Brugueira sp. Komposisi jenis mangrove
yang ditemukan di Sungai Tallo disajikan pada (Tabel 5 ).
28
Tabel 5. Jenis mangrove yang ditemukan di setiap stasiun penelitian
STASIUN
NO
JENIS MANGROVE
1
2
3
1
Nypa fruticans
√
√
2
Rhizophora mucronata
√
3
Rhizophora stylosa
√
√
4
Avicennia alba
√
5
Sonneratia sp.
√
6
Bruguiera sp.
√
Bengen (2002), mengungkapkan bahwa zonasi hutan mangrove terdiri dari
zona daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang
dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. Pada (Stasiun 3)
terdapat jenis Avicennia alba yang berinteraksi langsung dengan laut.dan ditemukan
juga jenis Sonneratia sp., Bruguiera sp., dan Rhizophora stylosa tapi dalam jumlah
sedikit. Zona lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh
Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. Pada
(Stasiun 2) terdapat jenis Rhizophora stylosa, Rhizophora mucronata, dan Nypa
fruticans tapi dalam jumlah sedikit. Sedangkan zona transisi antara hutan mangrove
dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa
spesies palem lainnya. Pada (Stasiun 1) yang didominasi oleh jenis Nypa fruticans.
Sedangkan Arief (2003), mengungkapkan pembagian kawasan mangrove
berdasarkan perbedaan penggenangan bahwa pada zona proksimal, yaitu zona
yang terdekat dengan laut. Pada zona ini biasanya ditemukan juga Rhizophora spp.
29
3. Kerapatan Jenis Mangrove
Kerapatan jenis mangrove di setiap stasiun dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fauna pada mangrove
sangat tergantung pada tingkat kerapatan suatu ekosistem mangrove, karena fauna
mangrove menjadikan mangrove sebagai naungan maupun tempat mencari
makan.Untuk lebih jelasnya. Kerapatan jenis mangrove pada setiap Stasiun dapat
dilihat pada Gambar 6.
4000
3592
3500
Kerapatan (ind/ha)
3000
2500
2250
2000
1500
1000
398
500
0
I
Stasiun
II
III
Gambar 6. Nilai kerapatan rata-rata mangrove pada tiap stasiun
Berdasarkan gambar diatas, kerapatan mangrove pada tiap Stasiun yakni
kerapatan tertinggi berada pada Staiun I yakni 3592 ind/ha, Stasiun II dengan
kerapatan 2250 ind/ha dan terendah berada pada Stasiun III yakni 398 ind/ha.
Tingginya nilai kerapatan ekosistem mangrove pada Stasiun I di sebabkan karena
kurangnya aktifitas masyarakat sekitar area pengamatan, sementara itu stasiun II
kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
area tambak sehingga kerapatan masih tergolong tinggi,. Hal yang berbeda yang
ditemukan pada Stasiun III di mana nilai kerapatan ekosistem mangrove tergolong
30
rendah, Hal ini diduga karena lokasi tersebut sangat dekat dengan kawasan industri
dan beberapa faktor oseonografi menjadi salah satu penyebab kerusakan mangrove
pada daerah tersebut.
C. Struktur Komunitas dan Indeks Ekologi Fauna Non Bentik Mangrove
1. Struktur Komunitas Fauna Non Bentik
Struktur komunitas fauna terdiri dari komposisi jenis, jumlah jenis dan
kepadatan jenis. Arief (2003), mengungkapkan bahwa fauna pada ekosistem
mangrove bersifat unik, karena kawasan mangrove merupakan suatu kawasan
peralihan antara daratan dan lautan sehingga terjadi percampuran organisme lautan
dan daratan.Beberapa organisme yang menetap di kawasan ekosistem mangrove
kebanyakan hidup pada subtrat keras sampai berlumpur, misalnya pada perakaran
pohon.
Berdasarkan hasil pengamatan pada lokasi penelitian, struktur komunitas
fauna non bentik dominan ditemukan pada daerah akar. Anwar dkk (1984) dalam
Arief
(2003), mengungkapkan fauna yang hidup di daerah akar
adalah
makrozoobentos yang tidak mampu membenamkan diri dalam lumpur di antara
pohon. Apabila terjadi pasang maka yang tidak tahan ataupun tahan dengan
keadaan tersebut akan segera memanjat perakaran-perakaran pohon (Gambar 7).
31
Gambar 7. Jenis fauna makrozoobentos (Littoria sp) kiri, dan (Natica sp)
kanan.
Bengen (2002), menyatakan bahwa komunitas fauna daratan/terestial
(arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas
insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi
khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian
besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun
mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air
surut.
Pada lokasi pengamatan, aves yang ditemukan berasal dari dua Order dan
dua Family dengan tujuh jenis yaitu Ardeola speciosa (Blekok sawah), Sterna
hirundo (Dara laut biasa), Butoridies striatus (Kokokan Laut), Egretta alba(Kuntul
besar), Egretta sacra (Kuntul karang), Actitis hypolecos (Trinil pantai), dan
Nycticorax caledonicus (Kowak malam ).
Jenis burung kuntul ada dua ditemukan yaitu Egretta alba dan Egretta sacra
yang menjadikan dahan pohon mangrove sebagai tempat bersarang, berinteraksi
32
dan ketika pagi dan sore hari keluar mencari makan di daerah tambak yang berada
di sekitar lokasi pengamatan.
Menurut Gitayan (2011), burung air yang memiliki nama latin Egretta sacra
ini sangat menyukai aktifitas mencari mangsa di daerah atau zona pasang surut.
Kuntul karang memiliki 2 warna varian yaitu hitam dan putih. Keberadaannya di
pantai sangat dipengaruhi oleh waktu pasang surut air laut, karena mereka akan
lebih mudah mendapatkan mangsa berupa ikan kecil yang terdapat pada karang
disaat air laut surut.
Gambar 8. Jenis Egretta alba (kiri) dan Egretta sacra (kanan) (Kutilang.org, 2015)
ga
Jenis Ardeola speciosamenjadikan pohon mangrove yang ada di stasiun
pengamatan sebagai tempat beristirahat pada saat malam hari, mereka mencari
makan disekitar rawa atau tambak yang ada disekitar lokasi pengamatan.
Sedangkan Nycticorax caledonicus berada di area mangrove sepanjang harinya
karena lokasi mencari makannya berada di daerah tambak.
Menururut Holmes dan Nash (1999), Ardeola speciosa (blekok sawah)
berwarna putih dan coklat ini sering terlihat di sawah-sawah, baik di perbukitan
maupun di pantai. Ketika diam, burung ini kelihatan coklat kusam dan mungkin
terlewat dari pengamatan, tetapi sayapnya yang putih mulus kelihatan menakjubkan
33
ketika terbang. Selama musim kawin, punggungnya menjadi kehitaman dan
dadanya berwarna kayu manis, kisaran penyebarannya ke timur mencapai Sulawesi
dan Sumba.
Menururt Kristantanto (2008), Nycticorax caledonicus (kowak malam)
merupakan burung air yang mudah dikenali, selain bentuk badannya yang agar
besar (61 cm), burung ini mempunyai warnah putih diperut, dengan mahkota hitam
dikepala dan sayap kelabu. Burung ini mencari makan dimalam hari, dengan suara
yang khas “kowak..kowak..kowak”. bila siang hari suka beristirahat di rimbunan
pohon nipah. Ia mencari makan di sawah, padang rumput, dan pinggir sungai.
Makanannya berupa ikan, kodok, ataupun kadal. Dapat dilihat pada (Gambar 9).
Gambar 9. Jenis burung Ardeola speciosa (kiri) dan Nycticorax caledonicus
(kanan) (Kutilang.org, 2015).
Jenis burung yang lain di lokasi pengamatan adalah Trinil pantai memiliki
paruh yang pendek, tubuh bagian atas berwarna coklat, bulu sayap kehitaman.
Bagian bawah putih dengan bercak abu-abu coklat pada sisi dada. Kebiasaan
mencari makan sering berjalan di rawa hutan mangrove mencari crustacea,
34
serangga, dan invertebrata lainnya. Ciri khas waktu terbang adalah garis sayap
putih, garis putih pada bulu ekor terluar.Jenis Actitis hypoleucos terlihat di daerah
rawa hutan mangrove berjalan, mematuk dan mengaduk permukaan lumpur/pasir.
Hal ini sesuai dengan pendapat Coates dan Bishop (1997) aves jenis Actitis
hypoleucos bentuk paruh yang dimiliki pendek ketimbang trinil yang lain, lingkaran
mata putih, bercak coklat pada sisi dada, dada bagian bawah yang putih,
memanjang di sekitar lengkungan sayap. Ekornya sering dijentik-jentikkan naik
turun. Sayap berpalang putih dan ekor bertepi putih.
Gambar 10. Kelihatan jenis aves Trinil pantai (Actitis hypoleucos) sedang
beraktifitas di sekitar rawa hutan mangrove (Kutilang.org, 2015)
Butoridies striatus Jenis burung ini memiliki paruh yang lurus yang
digunakan untuk menangkap mangsa hewan-hewan air, terutama ikan, serangga,
katak, udang, ular kecil, dan larva yang biasa ditemukan di habitat pantai dan biasa
ditemukan pada daerah mangrove, lumpur dan daerah pasang surut dan lebih
sering ditemukan pada daerah sungai untuk mencari makan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Kristantanto (2008), bahwa jenis burung
Butoridies striatus Menempati dan mencari makan di habitat lahan basah mereka
berkembang biak dan mengandalkan sungai sebagai tempat mencari makan.
35
Gambar 11. Jenis aves Butoridies striatus (Kokokan Laut) sedang
beraktifitas disekitar rawa hutan mangrove (Kutilang.org,
2015)
Sedangkan Sterna hirundo adalah burung laut di dalam keluarga Sternidae,
masih berkerabat dengan Burung Camar, biasanya dengan warna abu-abu atau
putih, seringkali dengan tanda hitam di bagian kepala.dengan paruh berbentuk
memanjang Burung Dara-laut dapat ditemukan di daerah pantai pada saat air laut
surut.
Gambar 12. Jenis aves Sterna hirundo (dara laut biasa) sedang bertengger
di ranting pohon mangrove (Kutilang.org, 2015)
2. Komposisi Jenis Fauna Non Bentik
Jenis fauna yang ditemukan pada lokasi pengamatan sebanyak 1 jenis yang
terdiri atas, 1 jenis Class Bivalvia, 7 jenis Class Gastropoda, 2 jenis dari Class
36
Malacostraca,dan 7 jenis dari Class Aves. Berikut grafik untuk membedakan
komposisi jenis fauna non bentik (Gambar 13).
28%
Gastropoda
Bivalvia
Malacostraca
5%
64%
Aves
3%
Gambar 13.Komposisi jenis fauna non bentik berdasarkan class.
Pada lokasi penelitian diperoleh hasil komposisi jenis berdasarkan
pengelompokan Class yang didominasi oleh gastropoda 64 %, aves 28 %,
malacostraca 5 %, dan bivalvia 3 %.
3. Jenis dan Kepadatan Fauna Non Bentik
Jenis fauna yang ditemukan pada lokasi pengamatan sebanyak 17 jenis
yang terdiri atas, satu jenis Class Bivalvia, delapan jenis Class Gastropoda, dua
jenis dari Class Malacostraca,dan tujuh jenis dari Class Aves.
Untuk class aves tidk dihitung kepadatannya,hanya mengamati tingkah laku
maupun ciri-ciri dari aves tersebut. Penghitungan class aves hanya berdasarkan
jumlah jenisnya.
Kepadatan fauna pada mangrove sangat tergantung pada tingkat kerapatan
suatu ekosistem mangrove, karena fauna mangrove menjadikan mangrove sebagai
naungan maupun tempat mencari makan. Kepadatan jenis fauna berdasarkan
golongan fauna dapat dilihat pada (Gambar 14).
37
Kepadatan fauna (ind/m²)
140
120
115
93
100
76
80
66
60
68
60
Daun/ranting
40
20
Batang
Akar
25
9
0
0
1
2
3
Stasiun
Gambar 14. Kepadatan jenis fauna non bentik disetiap stasiun berdasarkan
habitat
Pada lokasi penelitian diperoleh nilai kepadatan fauna tiap stasiun pada
lokasi pengamatan berdasarkan habitat seperti bagian akar, batang
dan
ranting/daun. Pada stasiun I (vegetasi Nypa fruticans) jumlah kepadatan tertinggi
terdapat pada bagian batang mencapai 115 ind/m², bagian daun/ranting dengan nilai
9 ind/m². dan bagian akar dengan nilai 0 ind/m². Stasiun II (vegetasi Rhizophora)
jumlah kepadatan pada bagian batang 93 ind/m², daun/ranting dengan nilai 25
ind/m² dan bagian akar dengan nilai 76 ind/m². Hal yang berbeda yang ditemukan
pada stasiun III (vegetasi campuran) dimana kepadatan fauna pada bagian batang
66 ind/m²,daun/ranting 60 ind/m² dan pada bagian akar 68 ind/m².
Berdasarkan gambar diatas, pada habitat akar dan batang banyak fauna
ditemukan. Hal ini disebabkan karena sistem perakaran mangrove juga menyokong
komunitas invertebrata laut. Fenomena ini memberikan gambaran tentang tingginya
produktifitas rmangrove. Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di
antara akar dan lumpur sekitarnya sedangkan pada ranting dan daun dihuni oleh
38
beberapa jenis burung dan digunakan sebagai tempat untuk bertengger dan
bersarang (Irwanto, 2006).
Berdasarkan pengambilan sampel fauna di lapangan,maka diperolehrata-rata
jumlah jenis faunadengan
nilai kepadatan fauna non bentik tertinggi yaitu jenis
Natica sp. yang berkisar mencapai 39,65 ind/m2. Jenis tersebut berasal dari class
Gastropoda yang menempati bagian batang pohon mangrove. Kepadatan
berdasarkan jenis fauna dapat dilihat pada (Gambar 15).
Kepadatan fauna(Ind/m²)
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
39,65
16,60
9,77
1,76 0,20 0,98
1,56
6,05 4,10
0,98 1,76
2,34
5,08 4,49
0,78 1,37 2,54
Jenis fauna
Gambar 15.Kepadatan jenis fauna pada lokasi penelitian
4. Indeks Ekologi Fauna Non Bentik Mangrove
Indeks ekologi fauna non bentik mangrove dapat dilihat pada gambar di
bawah ini (Gambar 16).
39
1.40
1,16
Indeks ekologi
1.20
0,91
1.00
0.80
0.60
0.40
0,52
0,51
0,50
E
0,29
0.20
H
C
0,04
0,04
0,02
0.00
1
2
3
Stasiun
Gambar 16. Indeks ekologi fauna non bentik pada tiap stasiun
Nilai indeks kenakeragaman, keseragaman dan dominansi yang diperoleh
secara umum (Gambar 16) menujukkan bahwa, pada beberapa stasiun pengamatan
ditemukan nilai indeks ekologi yang bervariasi mulai dari yang tertinggi hingga
terkecil. Untuk nilai Indeks keanekaragaman tertinggi ditemukan pada stasiun II
(vegetasi campuran) sebesar 1,16. Berdasarkan katagori indeks kenakeragaman, Ini
tergolong rendah. Menurut (Odum, 1993) keanekaragaman rendah, penyebaran
jumlah individu tiap spesies/genera rendah, kestabilan komunitas rendah dan
perairannya sudah tergolong tercemar. Sedangkan untuk indeks keanekaragaman
dengan nilai terkecil ditemukan distasiun I (vegetasi Nypa fruticans) dengan nilai
0,52. Ini tergolong rendah untuk sebuah komunitas makrozoobenthos.Rendahnya
nilai keanekaragaman yang diperoleh menujukkan bahwa, penyebaran jumlah
individu tiap genera/spesies rendah, kestabilan komunitas rendah dan keadaan
perairan mulai tercemar (Odum, 1993).
Kemudian untuk indeks keseragaman dengan nilai indeks keseragaman
tertinggi ditemukan pada stasiun II dengan nilai yang diperoleh yaitu sebesar 0,51.
Ini mengindikasikan bahwa komunitas tersebut tergolong labil, stasiun I dengan nilai
0,29 dan stasiun III dengan nilai 0,50 masing masing dalam kategori komunitas
40
tertekan. Rendahnya nilai indeks keseragaman yang diperoleh dari ketiga stasiun
tersebut mengindikasikan komunitas makrozoobenthos tertekan, artinya penyebaran
jumlah individu tiap jenis tidak sama, ada kecenderungan didominasi oleh jenis
tertentu (Odum, 1993). Sedangkan nilai indeks dominansi yang ditemukan pada
setiap stasiun yaitu stasiun I 0,04, stasiun II 0,04 dan stasiun III 0,02 yang masih
dalam kategori rendah yang berarti tidak ada jenis yang mendominasi. Dominansi
jenis yang rendah pada komunitas makrozoobenthos menandakan ekosistem
tersebut mempunyai keseragaman yang merata (Odum, 1993).
5. Hubungan Kerapatan Mangrove Dengan Kelimpahan Fauna Non Bentik
Vegetasi mangrove memberikan persediaan makanan alami bagi fauna non
bentik berupa serasah dari daun, ranting, buah, dan batang dalam bentuk material
organik seperti fosfat dan nitrogen (Bengen, 2002). Untuk melihat keterkaitan antara
kelimpahan fauna non bentik dengan kerapatan mangrove digunakan analisis
regresi linier sederhana menggunakan Excel yang dapat dilihat pada (Gambar 17).
Kelimpahan fauna non bentik (Ind/m²)
y = 0.002x + 33.121
R² = 0.03
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Kerapatan mangrove (Ind/ha)
Gambar 17.Grafik regresi linear sederhana
41
Hubungan antara kelimpahan fauna non bentik dengan kerapatan mangrove
diperoleh hubungan Y = 0,002x + 33,121 artinya setiap kenaikan kerapatan
mangrove 1 satuan akan meningkatkan kelimpahan fauna non bentik sebesar 0,002
atau kerapatan mangrove sebanyak 1000 satuan meningkatkan kelimpahan fauna
non bentik sebesar 2 individu. Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh adalah
0,03 artinya pengaruh kerapatan mangrove terhadap kelimpahan fauna non bentik
sebesar 3%. Koefisien korelasi (r) yang diperoleh adalah 0,173 artinya antara
kerapatan mangrove dengan kelimpahan fauna non bentik berkorelasi positif tetapi
lemah. Hal ini diduga karena tingkat pemanfaatan fauna non bentik sangat tinggi
yang disebabkan karena penduduk disekitar Sungai Tallo sebagian besar berprofesi
sebagai nelayan, tingginya jumlah nelayan tersebut diduga menyebabkan aktivitas
penangkapan atau pemenfaatan tinggi sehingga kelimpahan fauna non bentik
semakin lama semakin berkurang. Seperti yang dikemukakan oleh Kordi (2012)
bahwa penangkapan fauna di ekosistem mangrove yang dilakukan secara tidak
selektif menyebabkan penurunan populasi. Faktor lain yang didugamenyebabkan
hubungan antara kerapatan mangrove terhadap kelimpahan fauna non bentik di
Sungai Tallo berkorelasi lemah adalah kemampuan berkembang biak fauna non
bentik tidak seimbang dibandingkan dengan kemampuan perkembangbiakan hutan
mangrove.
D. Parameter Lingkungan
1. Suhu
Suhu
dapat
membatasi
sebaran
hewan-hewan
bentik
secara
geografis.Pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme dipengaruhi oleh suhu,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
42
Kisaran suhu yang didapatkan di semua stasiun penelitian (30–31.5 C)
umumnya masih bisa ditolerir oleh tumbuhan mangrove dan makrozoobenthos.
Kisaran suhu pada stasiun dapat di lihat pada (gambar 18)
32
31.5
Suhu (0 C)
31,5
31
31
30.5
30
30
29.5
29
1
2
3
Stasiun
Gambar 18. Suhu rata-ratapada tiap stasiun pengamatan
2. Salinitas
Kisaran salinitas yang didapatkan pada semua Stasiun penelitian yaitu pada
Stasiun I didapatkan nilai salinitas yaitu 4 ‰, Stasiun II 5,25 ‰, dan Stasiun III 13,75
‰ rendahnya salinitas pada staiun I disebabkan lokasi ini jauh dari pengaruh air laut
dan lebih dekat dengan daratan, begitu pun dengan Stasiun II yang berada pada
daerah pertengahan antara darat dan laut sedangkan Stasiun III lebih tinggi karena
lokasi ini berada pada muara sungai dan pengaruh air laut lebih berpengaruh.
Kisaran salinitas ini masih dianggap layak untuk kehidupan makrozoobenthos yang
berkisar 4-13,75 ‰ (Noortiningsih,dkk.2008). Kisaran salinitas pada tiap stasiun
dapat dilihat pada (gambar 19).
43
16
14
13,75
Salinitas (‰)
12
10
8
6
5,25
4
2
4
0
1
2
3
Stasiun
Gambar 19.Kisaran salinitas rata-rata pada tiap stasiun
3. pH Air
Kisaran pH yang didapatkan pada semua stasiun pengamatan yaitu berkisar
7.2-7.5. Kisaran nilai pH di setiap titik penelitian cukup baik untuk kehidupan
makrozoobenthos, sesuai pernyataan Effendi (2003), bahwa sebagian besar biotik
aquatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH berkisar 7,0–
8,5.kisaran pH dapat dilihat pada (gambar 20).
44
7.55
7.5
7,5
7.45
7.4
7,4
pH
7.35
7.3
7.25
7.2
7.15
7,2
7.1
7.05
1
2
3
Stasiun
Gambar 20.Kisaran pH rata-rata pada tiap stasiun pengamatan
4. Tinggi Genangan Air
Pengukuran tinggi genangan pada air merupakan data parameter pendukung
dalam penelitian ini, maka diperoleh hasil pengukuran tinggi genangan air pada
lokasi penelitian yaitu pada Stasiun I dengan nilai 21.5 cm, Stasiun II 19.5 cm dan
Stasiun III 24 cm. Tingginya genangan air pada stasiun III disebabkan karena dekat
dengan laut sehingga pengaruh pasang surut sangat tinggi sedangkan stasiun I dan
II jauh dari pengaruh pasang surut air laut dan yang berpengaruh pada saat
pengambilan data yaitu aktifitas perahu motor yang menjadikan Sungai Tallo
sebagai alur transportasi tinggi genangan air pada tiap stasiun dapat dilihat pada
(gambar 21).
45
Tinggi genangan air (cm)
30
25
24
21,5
20
19,5
15
10
5
0
I
II
III
stasiun
Gambar 21. Tinggi genangan air rata-rata pada tiap stasiun
Pengaruh alami yang ditimbulkan oleh siklus tinggi genangan air khususnya
pada organisme ketika air laut sedang pasang organisme tersebut naik ke akar
mangrove untuk makan dengan membuka cangkangnya untuk menghindari percikan
air laut dan menutup kembali apabila air laut sudah surut.
46
V.KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan:
a. Di daerah Sungai Tallo ditemukan 6 jenis mangrove yaitu Nypa fruticans,
Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Avicennia alba, Sonneratia sp., dan
Bruguiera sp. dan Fauna non bentik terdapat 17 jenis dari 4 kelas yaitu:
Gastropoda 7 jenis (Natica sp., Achatina sp., Melanopsis sp., Littorina sp.,
Bedeva sp., Hastula sp., dan Strombus sp.), Bivalvia 1 jenis (Argopecten sp),
Malacostraca 2 jenis (Hemigrapsus sp. dan Dorippe sp.) dan Aves 7 jenis
(Butoridies striatus, Ardeola speciosa, Sterna hirundo, Egretta alba, Egretta
sacra, Actitis hypolecos, dan Nycticorax caledonicus).
b. Indeks keanekaragaman yang di peroleh dalam kategori rendah, keseragaman
dalam kategori komunitas tertekan dan komunitas labil dan indeks dominansi
dalam kategori rendah.
c. Hubungan antara kerapatan mangrove dengan kelimpahan fauna non bentik
berkorelasi positif tetapi lemah dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,173.
B. Saran
Sebaiknya keberadaan mangrove pada daerah
Sungai Tallo
tetap
dipertahankan dan dilakukan rehabilitasi guna menambah luasan wilayah hutan
mangrove
untuk
meningkatkan
biodiversitas/keanekaragaman
fauna
pada
ekosistem mangrove tersebut dan juga diperlukan perhatian khusus dari pemerintah
untuk lebih serius menangani persoalan di daerah Sungai Tallo.
47
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. M. P., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Badan Lingkungan Hidup Daerah Kota Makassar. 2014. Industri yang berlokasi di
DPS Sungai Tallo dan Jeneberang Wilayah Kota Makassar, (online),
(http://blhdmakassar.info/industri-yang-berlokasi-di-dps-sungai-tallo-dan
jeneberang-wilayah-kota-makassar/, diakses pada 10 juli 2016).
Beddu S. 2011. Bantaran Sungai Sebagai Konservasi Lansekap Alami (Studi Kasus:
Bantaran Sungai Tallo Makassar). Prosiding Hasil Penelitian Teknik.ISBN :
978 - 979 - 127255-0-6.
Bengen, D.G., 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.Pusat
Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bengen, D.G., 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Brower, J.E., Zar JH.,& CN. von Ende. 1989. Field and Laboratory methods for
general ecology. 3rd edition.Wm. C. Brown Publishers. Dubuque, IA.
Burhanuddin, A.I. 2011. The Sleeping Giant.Potensi dan Permasalahan Kelautan.
Brilian Internasional, Surabaya.
Coates, B.J., dan K.D. Bishop. 1997. A Guide to The Birds of Wallacea. Dove
Publications, Alderley.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Djuwantono, S.Pudyatmoko, A.Setiawan, DW.Purnomo, S.Nurvianto, FY. Laksono,
YCW. Kusuma. 2013. Studi keanekaragaman jenis burung terkait dengan
suksesi ekologi di Suaka Margasatwa Paliyan da Hutan Pendidikan
Wanagama, Kabupaten Gunung Kidul. http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/
2695_MU.11100001.pdf. Diakses 29-9-2015
Effendi, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Fahriansyah, dan Yoswaty, D. 2012.Pembangunan Ekowisata di Kecamatan
Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara: Faktor Ekologis Hutan Mangrove.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. Unri, Pekanbaru.
48
Gitayan, A. 2011.Seri Buku Informasi dan Potensi Burung Air – Taman Nasional
Alas Purwo. Banyuwangi.
Harahab, N. 2010.Penilaian Ekonomi Ekosistem HUtan Mangrove dan Aplikasi
dalam Perencanaan Wilayah Pesisir.cetakan pertama, Graha Ilmu,
Yogyakarta.
Hawkes, H. A., 1978 River Zonation and Classification in River Ecology, ed. By. B.
A. Whitten. Blackwell Scientific Publication. Oxford.
Hernowo, JB. 1989. Suatu Tinjauan terhadap Keanekaragaman Jenis Burung dan
Peranannya di Hutan Lindung Bukit Suharto, Kalimantan Timur. Media
Konservasi. Vol.II (2), Januari 1989. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan,
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Hogarth, P.J. 1999. The Biology of Mangrove. Oxford University Press, inc. New
York.
Holmes, D., Nash, S.,1999. Burung-burung di Jawa dan Bali.Prima Centra.
Jakarta
Irwanto. 2006. “Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove”, Yogyakarta.
Jonathan, L.R. 1979. Dimensions of Ecology. Oxford University Press. NewYork.536
p.
Kordi, H.G.M., 2012, Ekosistme Mangrove : Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan,
Rineka Cipta, Jakarta
Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributions and
Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers. 654 p.
Kristanto, A., Momberg,F., 2008. Alam Jakarta Panduan Keanekaragaman Hayati
Yang Tersisa di Jakarta,.PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove, IPB Press, Bogor.
Kutilang Indonesia, www.kutilang.org, diakses pada 3 Mei 2016
Levinton, J. S. 1982. Marine Biology.Prentice Hall Inc. New Jersey. USA. 526 p.
Noortiningsih,
Jalip.I.K,
dan
S.
Handayani.
2008.
Keanekaragaman
Makrozoobenthos, Meiofauna Dan Foraminifera Di Pantai Pasir Putih Barat
Dan MuaraSungai Cikamal Pangandaran, Jawa Barat.1(1).
Nontji,A.1987.Laut Nusantara.Djambatan.Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta. (Diterjemahkan oleh M. Eidman et. al.)459 hlm.
49
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi.Edisi ketiga .Gajah mada University Press.
Jogjakarta. H. 134-162.
Pescod, M. D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for
Tropical Countries. A.I.T. Bangkok, 59 pp
Pemerintah Kota Makassar. 2015. Geografis Kota Makassar. http://makassar
kota.go.id/110-geografiskotamakassar.html
Ramdhani.
2008.
Burung dan Dasar-Dasar Birdwatching.
(Online)
http://www.deriramdhani’s.weblog.comdiakses tanggal 29 september 2015.
Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Beberapa
Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat.
Skripsi. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Risawati, D. 2002. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalva) serta
Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove Kawasan Muara Sungai
Bengawan Solo. Ujung Pangkah Gresik, Jawa Timur. Skripsi. Program
Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - Institut
Pertanian Bogor, Bogor. 69 hal
Saru, A. 2013.Mengungkap Potensi Emas Hijau di Wilayah Pesisir. Masagena
Press, Makassar.
.
.2006. Analisis ekosistem mangrove dengan pendekatan model ekologi di
Kabupaten
Barru
Provinsi
Sulawesi
Selatan.jurnal
penelitian
perikanan.volume 9 nomor 1. Malang: Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya.
Teknik
perencanaan transportasi, 2014. https://www.google.co.id/#q=teknik+
perencanaan+transportasi+makassar diakses pada tanggal 17 juni 2016.
Wilhm, J.L., and T.C. Doris.1986. Biologycal Parameter for water quality Criteria.Bio.
Science: 18.
50
Download