tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah Pesisir
Daerah pantai atau pesisir adalah suatu daratan beserta perairannya dimana
pada daerah tersebut masih dipengaruhi baik oleh aktivitas darat maupun oleh
aktivitas marin. Dengan demikian daerah pantai terdiri dari perairan pantai dan
daratan pantai yang saling mempengaruhi. Di beberapa seminar daerah pantai
sering disebut pula daerah pesisir atau wilayah pesisir. Pantai adalah daerah di
tepi perairan sebatas antara surut terendah dan pasang tertinggi. Daratan pantai
adalah daerah di tepi laut yang masih terpengaruh oleh aktivitas marin. Perairan
pantai adalah perairan yang masih dipengaruhi aktivitas daratan. Sempadan pantai
adalah daerah sepanjang pantai yang diperuntukkan bagi pengamanan dan
pelestarian pantai (Pramudiya, 2008).
Hingga saat ini belum ditemukan definisi yang tepat dan baku untuk
menggambarkan wilayah pesisir. Namun demikian terdapat kesepakatan umum
bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai maka wilayah pesisir mempunyai dua macam
batas yakni sejajar dengan garis pantai dan tegak lurus garis pantai. Namun
demikian batasan tersebut tergantung pula dengan karakteristik lingkungan,
sumberdaya yang ada dan sistem negara bersangkutan (Huda, 2008).
Wilayah pesisir merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut.
Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak
tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang
surut, dan intrusi air laut. Sedangkan batas di laut adalah daerah-daerah yang
dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan, seperti sedimentasi dan
Universitas Sumatera Utara
6
mengalirnya air tawar ke laut, serta yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan
manusia di daratan. Sedangkan menurut kesepakatan bersama dunia internasional,
pantai diartikan sebagai suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila
ditinjau dari garis pantai maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas,
yaitu batas sejajar garis pantai (longshore), dan batas tegak lurus pantai
(crossshore) (Pramudiya, 2008).
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rentan mengalami kerusakan.
Dampaknya akan sangat terasa oleh masyarakat yang menghuni wilayah pesisir
dimana hal ini akan berpengaruh pada kondisi perekonomian masyarakat yang
menggantungkan pada sumber daya pesisir. Salah satu cara yang perlu dilakukan
mengajak seluruh pihak termasuk masyarakat untuk bersama-sama menjaga
lingkungan pesisir. Langkah pemberdayaan masyarakat guna memunculkan
kesadaran perlu diberikan karena akan menjamin terciptanya pengelolaan
lingkungan yang lebih efektif dan berkelanjutan. Langkah konservasi pesisir
dengan melibatkan masyarakat merupakan kunci keberhasilan pelestarian pesisir
yang berkelanjutan yang dapat memberi manfaat ekonomis bagi masyarakat dan
pemerintah daerah (Pinto, 2015).
Dalam menentukan batasan daerah pesisir pantai memerlukan banyak
pertimbangan dari berbagai aspek. Daerah pantai secara umum meliputi estuari,
kepulauan, terumbu karang, rawa pantai, bukit pasir (sand dune) dan lagoon.
Menurut Pramudiya (2008), beberapa batasan yang telah diatur atau ada di
masyarakat, terkait dengan definisi tersebut di atas diantaranya:
a. Undang-undang lingkungan hidup: sempadan pantai diatur sejauh 100 m dari
batas pasang tertinggi.
b. Undang-undang pelayaran: perairan pantai sejauh 3 mil dari garis pantai.
Universitas Sumatera Utara
7
c. Keperluan perikanan: perairan pantai adalah perairan yang digunakan untuk
penangkapan ikan secara tradisional, kurang lebih 3 mil dari garis pantai.
d. Kepentingan rekayasa/teknik pantai: perairan pantai adalah perairan dengan
kedalaman sampai 100 atau 150 m.
e. Batas negara : Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) kurang lebih sejauh 200 mil
dari garis pantai ke arah laut.
f. Tebal buffer zone hutan mangrove yang diperlukan adalah = 130 x P, dimana P
adalah rentang pasang-surut rata-rata di daerah pantai tersebut.
g. Undang-Undang No. 32 tahun 2004, tentang Otonomi Daerah, Perairan pantai
untuk kabupaten/kota sejauh 4 mil garis pantai, sedangkan perairan pantai
untuk provinsi sejauh 12 mil dari garis pantai.
Wilayah pantai merupakan daerah yang sangat intensif dimanfaatkan
untuk kegiatan manusia, seperti kawasan pertambakan, pertanian, perikanan,
pariwisata dan kegiatan lainnya. Adapun kegiatan tersebut akan menimbulkan
berbagai permasalahan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
merugikan nilai guna pantai itu. Faktor-faktor penyebab perubahan pesisir
menjadi dua macam yaitu alami dan manusia. Faktor alami antara lain: gelombang
laut, arus laut, angin, sedimentasi, topografi pesisir, pasang surut, perpindahan
muara sungai, dan tsunami. Sedangkan faktor manusia meliputi: penggalian,
penimbunan atau penambangan pasir, reklamasi lahan, perlindungan pantai,
perusakan vegetasi, pertambakan, dan aktivitas manusia di daerah hulu
(hinterland) (Pariyono, 2006).
Universitas Sumatera Utara
8
Ekosistem Mangrove
Kata mangrove berasal dari gabungan antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut dan juga
untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, sedangkan kata mangal untuk menyatakan komunitas
tumbuhan tersebut. Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa kata
mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi yang digunakan untuk
menerangkan marga Avicennia dan masih digunakan sampai saat ini di Indonesia
bagian timur (Sosia, dkk., 2014).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman yang hidup di
pantai, estuari atau muara sungai dan delta di tempat yang terlindung pada daerah
tropis dan sub tropis. Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu. Jenis
mangrove yang berbeda berdasarkan zonasi disebabkan sifat fisiologis mangrove
yang berbeda-beda untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keanekaragaman
mangrove bukan hanya kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya
tetapi tidak terlepas juga adanya campur tangan manusia untuk memelihara
(Darmadi, dkk., 2012).
Ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam
wilayah pesisir yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sudut sosial,
ekonomi dan ekologis. Fungsi utama sebagai penyeimbang ekosistem dan
penyedia berbagai kebutuhan hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Sumberdaya hutan mangrove, selain dikenal memiliki potensi ekonomi sebagai
penyedia sumberdaya kayu juga sebagai tempat pemijahan (spawning ground),
Universitas Sumatera Utara
9
daerah asuhan (nursery ground) dan juga sebagai daerah untuk mencari makan
(feeding ground) bagi ikan dan biota laut lainnya, juga berfungsi untuk menahan
gelombang laut dan intrusi air laut ke arah darat (Suzana, dkk., 2011).
Ekosistem hutan mangrove Indonesia memiliki biodiversitas yang tinggi di
dunia dengan jumlah total kurang dari 89 spesies, yang terdiri atas 35 spesies
tanaman, 9 spesies liana, 9 spesies perdu, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit.
Vegetasi mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia, antara lain
sebagai berikut: Api-api (Avicennia), Nyrih (Xylocarpus), Bakau (Rhizophora),
Pedada (Sonneratia), Tanjang (Brugueira), Tengar (Ceriops) dan Buta-buta
(Exoecaria) (Suryani, 2006).
Menurut Ningsih (2008), flora mangrove dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori yaitu: 1. Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai
peran ekologi utama dalam formasi mangrove, yakni Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Deris, Acanthus,
Lumnitzera, Scyphiphora, Smythea dan Dolichandrone. 2. Flora mangrove
peripheral (pinggiran), yakni flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam
formasi mangrove tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan
lain, yakni: Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas,
Heritiera littoralis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.
Menurut Suryani (2006), komunitas mangrove Indonesia berdasarkan
komposisi flora serta struktur penampakan umum hutan. Komunitas mangrove
Indonesia tersebut adalah :
1. Komunitas Semak
Komunitas semak dibentuk oleh jenis-jenis pionir dan terdapat di tepi-tepi laut
yang berlumpur lunak. Floranya didominasi oleh Avicennia marina, A. albadan
Universitas Sumatera Utara
10
Sonneratia caseolaris. Semai Ceriops tagal mampu pula tumbuh pada
komunitas ini namun terdapat pada tempat transisi pasang rendah dan pasang
tinggi. Kadang-kadang komunitas ini bercampur dengan tumbuhan non
mangrove seperti Pandanus spp, Glochidion littorale, Ficus retusa, Phragmites
karka.
2. Komunitas Mangrove Muda
Komunitas ini mempunyai satu lapis tajuk hutan yang seragam tingginya dan
tersusun terutama oleh Rhizophora spp. Pada tempat yang terlindung dari
hempasan ombak kuat, Rhizophora spp. berperan pula sebagai pionir. Jenisjenis lain akan berkembang pula seperti kolonisasi jenis Avicennia dan
Sonneratia pada habitat yang tidak baik untuk pertumbuhan Rhizophora. Salah
satu jenis tersebut adalah Avicennia alba, mampu bertahan terus dan dapat
tumbuh hingga mencapai tinggi melampaui tajuk Rhizophora. Pada tingkat
perkembangan lebih lanjut, terjadi percampuran antara jenis-jenis Rhizophora
dan beberapa jenis mangrove lainnya seperti Bruguiera, Xylocarpus dan di
bagian yang jauh dari tepi laut bercampur dengan E. agallocha.
3. Komunitas Mangrove Tua
Tipe ini merupakan komunitas yang sudah mencapai perkembangannya
(klimaks). Sering didominasi jenis-jenis Rhizophora dan Bruguiera yang
pohonnya besar dan tinggi. Rhizophora mucronata dan R. apiculata
mendominasi habitat lumpur lunak. R. stylosa habitat pasir dan Bruguiera spp.
Lumpur padat. Pada keadaan klimaks ini keseimbangan telah tercapai, tetapi
tidak stabil. Pohon-pohon mangrove penyusun tipe komunitas ini dapat
mencapai diameter 50 cm.
Universitas Sumatera Utara
11
4. Komunitas Nipah
Pada komunitas ini tumbuhan nipah (Nypa fructican) tumbuh melimpah dan
merupakan jenis utama, bahkan sering pula nipah berkembang menjadi
komunitas murni yang luas. Dalam komunitas nipah beberapa jenis pohon
mangrove tumbuh tersebar tidak merata seperti Lumnitzera spp., Excoecaria
agallocha, Heritiera littoralis, Intsia bijuga, C. manghas.
Keanekaragaman jenis dan pertumbuhan mangrove di antaranya
dipengaruhi oleh suplai air tawar dari sungai yang bermuara ke laut serta
kesesuaian habitat setiap jenis terhadap iklim dan kondisi geografis pesisir.
Keberadaan strata semai sangat mempengaruhi keberlanjutan proses suksesi dan
proses dinamika ekologi mangrove ke depannya. Mangrove mampu tumbuh
dengan baik pada muara sungai besar atau delta melalui proses sedimentasi
sehingga membantu kolonisasi mangrove baru (Mukhlisi, dkk., 2013).
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang
mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya
peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis
hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon
mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut
(Huda, 2008).
Menurut Elhaq dan Satria (2011), fungsi ekologi mangrove, yaitu: (1)
Melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut, dan angin topan; (2)
Mempercepat pembentukan tanah; (3) Mengendalikan banjir; (4) Menstabilkan
tanah dengan menangkap dan memerangkap endapan material dari darat yang
Universitas Sumatera Utara
12
terbawa air sungai ke laut; (5) Sebagai plasma nutfah dan habitat berbagai
organisme lain; (6) Feeding ground, nursery ground, spawning ground, berbagai
hewan terutama larva ikan dan udang. Fungsi sosial ekonomi mangrove, yaitu: (1)
Hasil kayu-kayu bernilai ekonomi seperti untuk kayu bangunan dan tannin; (2)
Bahan baku pembuatan kertas; (3) Sarana rekreasi; (4) Tempat pemijahan ikan
dan udang.
Menurut Setiawan (2013), fungsi hutan mangrove secara ekologis sebagai
tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan
tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan
biota laut lainnya, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung dan
reptil. Bagi beberapa jenis burung, vegetasi mangrove dimanfaatkan sebagai
tempat istirahat, tidur bahkan bersarang. Selain itu, mangrove juga bermanfaat
bagi beberapa jenis burung migran sebagai lokasi antara (stop over area) dan
tempat mencari makan, karena ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang
kaya sehingga dapat menjamin ketersediaan pakan selama musim migrasi.
Vegetasi mangrove juga memiliki kemampuan untuk memelihara kualitas air
karena vegetasi ini memiliki kemampuan luar biasa untuk menyerap polutan
(logam berat Pb, Cd dan Cu), di Evergaldes negara bagian California Amerika
Serikat, mangrove adalah komponen utama dalam menyaring polutan sebelum
dilepas ke laut bebas.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang
merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove.
Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme
diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan
makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang
Universitas Sumatera Utara
13
kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan,
udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut menjadi
makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk
menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang
berguna bagi kepentingan manusia (Huda, 2008).
Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk
dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, di
antaranya kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit,
obat-obatan dan perikanan. Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat
dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat
bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya. Contohnya, perikanan
pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk
yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desadesa nelayan. Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat
untuk kayu bakar dan bangunan telah berlangsung sejak lama. Bahkan
pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk
tanin) dan arang juga memiliki sejarah yang panjang (Sosia, dkk., 2014).
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove secara ideal seharusnya
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat narnun tidak menganggu keberadaan
dari sumberdaya tersebut. Dalam upaya ini Departemen Kehutanan telah
memperkenalkan suatu pola pemanfaatan yang disebut "silvofishery" dengan
bentuk tumpangsari. Pola ini adalah kombinasi antara tambak/empang dengan
tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfaatan ekosistem
mangrove saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat
Universitas Sumatera Utara
14
ditingkatkan sedangkan ekosistem mangrove masih tetap terjamin kelestariannya
(Huda, 2008).
Strategi pelestarian yang melibatkan masyarakat lokal dipandang lebih
efektif dibandingkan dengan pelestarian satu arah yang hanya melibatkan
pemerintah. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi
pelestarian dalam suatu kawasan, akan dapat memelihara fungsi keseimbangan
ekosistem dan fungsi ekonomi kawasan tersebut bagi masyarakat setempat,
sehingga dengan adanya keseimbangan ekosistem lingkungan tersebut diharapkan
tercapai
optimalisasi
dan
keberlanjutan
pengelolaan
wilayah
tersebut
(Erwiantono, 2006).
PenyebabKerusakan Ekosistem Mangrove
Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik
maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau
rusak yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Tingkat pemanfaatan
hutan mangrove yangdilakukan oleh penduduk pada bagian tumbuhan sangat
tinggi yaitu bagian pohon (kayu,buah, biji, dan akar) sebanyak 93,36% dan
pemanfaatan biota sebayak 6,64%. Hubungannya dengan kerusakan ekosistem
hutan mangrove adalah semakinberkurangnyan spesies pohon mangrove akibat
pemanfaatan yang dilakukan oleh penduduk lambat laun semakin habis
(Rahman, 2013).
Penduduk juga memberikan sumbangan terhadap penurunan luas
mangrove di Indonesia. Seperti diketahui, penduduk setempat telah memanfaatkan
mangrove dalam kurun waktu yang lama, namun diyakini bahwa kegiatan mereka
tidak sampai menimbulkan kerusakan yang berarti pada ekosistem ini. Akan
Universitas Sumatera Utara
15
tetapi, hal tersebut telah berubah dalam dekade terakhir ini seiring dengan adanya
pertambahan populasi penduduk, baik karena pertambahan alami maupun
perpindahan dari luar. Kegiatan masyarakat yang menyebabkan hilangnya
mangrove ini terutama adalah pemanfaatan areal mangrove untuk pembangunan
tambak. Reklamasi untuk keperluan budidaya perikanan dan pertanian tampaknya
saat ini dianggap sebagai suatu kegiatan pembangunan utama yang berlangsung di
areal mangrove. Kegiatan reklamasi tersebut sebenarnya berbiaya tinggi dan
acapkali tidak berkelanjutan, serta sering menimbulkan dampak yang kurang baik
terhadap lingkungan. Keuntungan yang dihasilkan sebagian besar diraup oleh
mereka yang datang dari luar, dan hanya sebagian kecil saja yang dinikmati oleh
penduduk setempat, berupa hasil penangkapan ikan dan pengumpulan hasil hutan
yang dilaksanakan secara tradisional. Adanya pembangunan budidaya perikanan
berkaitan dengan konversi lahan mangrove yang terjadi di Malaysia, baik secara
ekonomis maupun secara ekologis (Noor, dkk., 2012).
Kegiatan manusia, pola pemanfaatan sumberdaya alam dan pola
pembangunan dituding sebagai faktor penyebab penting yang terjadinya
kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti membuka lahan
untuk tambak yang melampaui batas daya dukung, maupun memanfaatkan
tanaman
mangrove
secara
berlebih
tanpa
melakukan
rehabilitasi
akan
menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem hutan mangrove. Pola pemanfaatan
lahan yang bersifat tidak ramah lingkungan juga akan mengancam keberadaan
ekosistem hutan mangrove. Demikian pula pola pembangunan yang dijalankan di
daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan mangrove (Gumilar,
2012).
Universitas Sumatera Utara
16
Kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang kebijakan
kepesisiran, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, watak masyarakat, serta
tekanan biaya hidup menyebabkan masyarakat pesisir sering melakukan
perusakan lingkungan pesisir. Hal ini diperkuat bahwa kerusakan pesisir lebih
dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia. Tingkat pendidikan, persepsi dan
pendapatan mempengaruhi kepentingan terhadap pemanfaatan wilayah pesisir.
Pengaruh pendapat masyarakat terhadap lingkungan merupakan bagian dari
mekanisme yang menghasilkan perilaku yang nyata dari masyarakat itu sendiri
dalam menciptakan perubahan dalam lingkungan mereka. Adanya interaksi antara
manusia dengan alam juga menyebabkan degradasi eksosistem (Pinto, 2015).
Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove
Besarnya manfaat yang ada pada ekosistem hutan mangrove, memberikan
konsekuensi bagi ekosistem hutan mangrove itu sendiri, yaitu dengan semakin
tingginya tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang tidak jarang berakhir pada
degradasi lingkungan yang cukup parah. Sebagai contoh adalah berkurangnya
luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun. Hal ini tidak terlepas dari ulah
manusia yang kurang paham akan pentingnya kelestarian ekosistem hutan
mangrove di kemudian hari. Masyarakat hanya menilai hutan mangrove dari segi
ekonominya saja, tanpa memperhatikan manfaat-manfaat fisik dan juga biologi
yang ditimbulkan (Suzana, dkk., 2011).
Beberapa dampak dari aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove
dapat dilihat pada Tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
17
Tabel 1. Dampak dari Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove
Kegiatan
Tebang habis
Pengalihan aliran air
tawar, misalnya pada
pembangunan irigasi
Konversi menjadi lahan
pertanian, perikanan
Pembuangan
cair (Sewage)
sampah
Dampak Potensial
Berubahnya komposisi tumbuhan: pohon-pohon
mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies
yang nilai komersialnya rendah dan hutan
mangrove yang ditebang habis ini tidak lagi
berfungsi sebagai daerah mencari makan (feeding
ground) dan daerah pengasuhan (nursery ground)
yang optimal bagi bermacam ikan dan udang
stadium muda yang komersial penting.
Peningkatan salinitas hutan rawa mangrove
menyebabkan dominasi dari spesies-spesies yang
lebih toleran terhadap air yang menjadi lebih asin,
ikan dan udang dalam stadium larva dan juvenil
mungkin tak dapat mentoleransi peningkatan
salinitas, karena mereka lebih sensitif terhadap
perubahan lingkungan.
Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove
karena pasokan zat-zat hara melalui aliran air
tawar berkurang.
Mengancam stok ikan dan udang diperairan,
pertanian dan perikanan lepas pantai yang
memerlukan hutan rawa mangrove sebagai
nursery ground larva dan/ atau stadium muda ikan
dan udang.
Pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar
yang sebelum hutan mangrove dikonversi dapat
diikat oleh substrat hutan mangrove.
Pendangkalan
perairan
pantai
karena
pengendapan sedimen yang sebelum hutan
mangrove dikonversi mengendap dihutan
mangrove.
Intruksi garam melalui saluran-saluran alam yang
bertahan keberadaaanya atau melalui saluransaluran buatan manusia yang bermuara di laut.
Erosi garis pantai yang sebelumnya ditumbuhi
mangrove.
Penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air,
bahkan dapat terjadi karena anoksik dalam air
sehingga bahan organik yang terdapat dalam
sampah cair mengalami dekomposisi anaerobik
yang antara lain menghasilkan hidrogen sulfida
(H2S) dan amonia (NH3) yang keduanya
merupakan racun bagi organisme hewani dalam
air. Bau H2S seperti telur busuk yang dapat
dijadikan indikasi berlangsungnya dekomposisi
anaerobik.
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 1. Lanjutan
Kegiatan
Pembuangan sampah
padat
Pencemaran
minyak
akibat
terjadinya
tumpahan
minyak
dalam jumlah besardan
ekstrasi mineral
Di daratan sekitar hutan
mangrove
Dampak Potensial
Kemungkinan
terlapisnya
pnuematofora
dengan sampah yang akan mengakibatkan
kematian pohon- pohon mangrove.
Perembesan bahan-bahan pencemar dalam
sampah padat yang kemudian larut dalam air ke
perairan disekitar pembuangan sampah.
Kematian pohon-pohon mangrove akibat
terlapisnya pnuematofora oleh minyak.
Kerusakan total ekosistem hutan mangrove di
lokasi penambangan dan ekstaksi mineral yang
dapat mengakibatkan musnahnya daerah
asuhan (nursery ground) dapat mengakibatkan
musnahnya daerah asuhan bagi larva dan
bentuk-bentuk juvenil ikan dan udang yang
berkomersial penting di lepas pantai, dan
dengan demikian mengancam regenerasi ikan
dan udang tersebut.
Pengendapan sedimen yang berlebihan yang
dapat mengakibatkan terlapisnya pnuematofora
oleh sedimen yang pada akhirnya dapat
mematikan pohon mangrove.
Sumber : Dahuri, dkk., 2004.
Universitas Sumatera Utara
Download