PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN MENURUT UNDANG

advertisement
PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN
MENURUT UNDANG-UNDANG
KEIMIGRASIAN
AHMAD YULIANTO IHSAN
ABSTRAK
Di dalam Pasal 105 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
menyatakan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian diberi wewenang
sebagai penyidik tindak pidana Keimigrasian yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan masalah
yuridis normatif, yakni pendekatan yang bertumpu pada penelitian data sekunder yang
bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum imigrasi yang terkait dengan pelanggaran
keimigrasian yang ditangani Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat
Jenderal Imigrasi. Hasil penelitian ini adalah pertama, penegakan hukum keimigrasian
dilakukan salah satunya dengan penyidikan terhadap pelaku pelanggaran Undang-Undang
Imigrasi. Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam KUHAP sebagai lex generalis dan Undang-Undang
Keimigrasian sebagai lex specialis, seperti dalam penegakan hukum kasus yang ada dalam
penelitian ini yaitu kasus tindak pidana turut serta memperdagangkan blangko dokumen
perjalanan keimigrasian/Paspor palsu dengan cara memberikan data yang tidak sah atau
keterangan yang tidak benar kepada petugas Imigrasi untuk memperoleh dokumen
perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri. Kedua, dalam melaksanakan fungsi
penegakan hukum keimigrasian masih ada kendala-kendala yang dihadapi PPNS
Keimigrasian diantaranya masih rendahnya pengetahuan, minimnya dana operasional,
kurangnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan keberadaan orang asing di
lingkungannya, lemahnya koordinasi dengan aparat hukum lainnya serta hambatan yang
bersumber dari faktor hukumnya sendiri.
Keyword : Penegakan Hukum, Imigrasi, Undang-undang
2
PENDAHULUAN
Teknologi informasi dan transportasi yang semakin meningkat dewasa ini
menimbulkan terjadinya peningkatan arus migrasi antar negara yang dapat memberikan
dampak positif dan negatif. Dampak positif antara lain seperti modernisasi masyarakat
serta mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, dampak negatif arus migrasi
adalah munculnya tindak pidana keimigrasian seperti penyelundupan orang, pemalsuan
dokumen keimigrasian dan penyalahgunaan ijin keimigrasian, bahkan dewasa ini
kejahatan di bidang keimigrasian sudah lebih berkembang dari yang tidak terorganisasi
menjadi yang terorganisasi (organized crime).1 Dalam kaitannya memaksimalkan
dampak positif dan meminimalkan dampak negatif dari arus migrasi ke dan dari wilayah
Indonesia diperlukan suatu penegakan hukum keimigrasian yang baik dan mampu
memberikan efek jera bagi para pelaku tindak pidana keimigrasian sehingga
mengurangi dampak negatif arus migrasi.
Akhir-akhir ini media massa sering menyuguhkan pemberitaan mengenai
maraknya penyelundupan orang, penjualan bayi keluar negeri, pemalsuan paspor dan
visa, masalah kewarganegaraan, penyalahgunaan ijin keimigrasian dan berbagai macam
kejahatan lintas negara yang kesemuanya itu tergolong ke dalam tindak pidana
keimigrasian. Pada kantor imigrasi Klas I Soekarno-Hatta sebagai Tempat Pemeriksaan
Imigrasi (TPI), sering ditemukan pelanggaran dan tindak kejahatan di bidang
keimigrasian, namun sayangnya masih banyak kasus-kasus yang muncul yang tidak
dapat diangkat ke tingkat pengadilan. Secara garis besar, hal ini disebabkan tingginya
pilihan terhadap proses tindakan administrasi struktur organisasi yang belum
mendukung dalam melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian dan kurang
koordinasi antara penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang
Keimigrasian, sehingga tindakan pro yustisia sebagai penegakan hukum di bidang
keimigrasian masih tidak menjadi pilihan meskipun Undang-Udang Nomor 6 tahun
2011 telah mengatur ketentuan pidana dan penegakan hukum pidana dengan merujuk
pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 105 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian,
menyatakan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian diberi
wewenang sebagai penyidik tindak pidana keimigrasian yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini. PPNS diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian. Sesuai
ketentuan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian bahwa
dalam melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian berkoordinasi dengan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, bentuk koordinasi dan pengawasan tersebut
disebutkan dalam Pasal 107 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Hukum Acara Pidana, yaitu
:
1
M.Imam Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional,
Jakarta;UI Press, 2004, hlm. 2
3
Pasal 107 ayat (1)
Untuk kepentingan penyidikan, Penyidik Kepolisian Republik Indonesia
memberikan petunjuk kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan memberikan
bantuan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107 ayat (2)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil melaporkan kepada Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika
dari penyidikan itu oleh Pegawai Negeri Sipil ditemukan bukti yang kuat untuk
mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum.
Pasal 107 ayat (3)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil jika telah selesai melakukan penyidikan,
hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum melalui
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam melakukan penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi
bertanggung jawab secara yuridis atas tindakan penyidikan yang dilakukannya sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku sedangkan tanggung jawab kedinasan
dilaksanakan secara hierarki dalam hal ini Direktur Jenderal Imigrasi dapat memberikan
petunjuk, pengarahan, dan mendukung kegiatan penyidikan dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana keimigrasian. PPNS Imigrasi juga diharuskan
melakukan koordinasi dengan instansi dan badan pemerintah yang terkait dalam hal
pelaksanaan tugas pengawasan terhadap kegiatan dan keberadaan warganegara asing
yang dilakukannya, diantaranya dengan Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam
Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Tenaga Kerja, Kejaksaan
Agung dan bahkan dengan Badan Intelijen Negara (BIN).2
Ketentuan penegakan hukum pidana di bidang keimigrasian terdapat dua cara
penyelesaian tindak pidana keimigrasian yaitu melalui tindakan keimigrasian dan
melalui pro yustisia. Pelanggaran dan kejahatan di bidang keimigrasian haruslah dapat
dicegah dan diberantas melalui penegakan hukum di bidang keimigrasian. Secara
yuridis formal tindak pidana keimigrasian adalah setiap perbuatan yang melanggar
peraturan keimigrasian berupa kejahatan dan pelanggaran yang diancam hukuman
pidana sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian yang menjelaskan ketentuan-ketentuan tindak pidana keimigrasian yang
berupa kejahatan dan tindak pidana keimigrasian yang berupa pelanggaran, yaitu untuk
tindak pidana keimigrasian yang diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 136 UU
Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Sebagai bagian dari institusi penegak hukum, maka dasar pemikiran Pegawai
Negeri Sipil untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M-05.PW.07.03 tahun
2
Romli Atmasasmita, Aspek Hukum Kerjasama Regional Internasional dalam Rangka Mengatasi
Peningkatan Imigran Gelap”, Laporan Tahap III Penelitian, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman RI, 1997-1998, hlm. 61
4
1984 tentang Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri
Sipil seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 yaitu :3
a. Pegawai negeri sipil berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda Tingkat
1 (golongan II/b) yang bertugas dalam bidang penyidikan sesuai dengan UndangUndang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
b. Berpendidikan serendah-rendahnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau
berpendidikan khusus dibidang penyidikan atau khusus dibidang teknis operasional
atau berpengalaman minimal 2 (dua) tahun pada bidang tehnis operasional. Dalam
pengangkatan tersebut diutamakan bagi pegawai negeri sipil yang mengikuti
pendidikan khusus dibidang penyidikan.
c. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (DP3) untuk
selama 2 (dua) tahun berturut-turut harus terisi dengan nilai baik dan berbadan sehat
yang dinyatakan dengan keterangan dokter.
Kemudian setelah Pegawai Negeri Sipil tersebut diangkat menjadi Penyidik Pegawai
Negeri Sipil ditugaskan untuk menegakkan peraturan-peraturan hukum pidana yang
mencakup :4
a. Perintah dan larangan yang atas pelanggaran terhadapnya oleh organ-organ
yang dinyatakan berwenang oleh undang-undang dikaitkan (ancaman) pidana; normanorma yang harus ditaati oleh siapapun juga;
b. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan sarana-sarana apa yang dapat
didayagunakan sebagai reaksi terhadap pelanggaran norma-norma hukum penitensier
atau lebih luas yaitu hukum tentang sanksi dan aturan-aturan yang secara temporal atau
dalam jangka waktu tertentu menetapkan batas ruang lingkup kerja dari norma-norma.
Dengan begitu, hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum
dan melindungi masyarakat hukum.
Proses penyidikan dugaan tindak pidana keimigrasian merupakan
serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat terang tentang dugaan tindak pidana keimigrasian yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.5 Kewenangan untuk
melakukan penyidikan dugaan tindak pidana keimigrasian ini selain dilakukan oleh
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Imigrasi yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
3
Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M-05.PW.07.03 Tahun 1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, 1984.
4
Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia,
PT.Gramedia Utama; Jakarta; 2003, hlm. 1
5
Direktur Jenderal Imigrasi, Petunjuk Pelaksana Dirjen Imigrasi, No. F-337.IL.02.01 Tahun 1995
tentang Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian, Jakarta;1995.
5
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing.6 Ditambah lagi pemahaman masyarakat tentang
tindak pidana keimigrasian masih kurang. Selama ini pemahaman tindak pidana
keimigrasian belum memasyarakat, kalaupun tindak pidana keimigrasian
merupakan hal yang sudah lama dikenal di Indonesia, terutama pada masa akhir
Perang Dunia II, pada waktu itu kehidupan ekonomi sosial sangat parah, dimanamana terjadi kelaparan, kekurangan pangan, perumahan dan kesehatan yang
mengakibatkan timbulnya migrasi ilegal dan penjualan manusia. Untuk keadaan
pada waktu itu, dapat dipahami bila terjadi kejahatan keimigrasian yang disebabkan
keadaan sosial ekonomi yang sangat buruk disatu sisi; dan tuntutan kehidupan yang
layak yang harus dipenuhi di sisi yang lain.
Namun masalah menjadi agak lain bila sampai saat ini, dimana reformasi
sedang dilakukan dan proses penuntasan praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan
pelanggaran hukum lainnya sedang menjadi fenomena yang dinantikan
masyarakat, dengan keadaan dilapangan banyaknya tindakan kejahatan
keimigrasian kian marak terjadi.
Tindakan untuk memberantas tindak pidana keimigrasian telah dilakukan
oleh pemerintah bertahun-tahun termasuk mengubah dan menambah peraturan
mengenai delik keimigrasian. Akan tetapi semua usaha yang dilakukan masih
kurang berhasil seperti yang diharapkan. Dipandang dari sudut kesadaran hukum
masyarakat pada saat ini kesadaran hukum masyarakat untuk menaati atau
mematuhi peraturan hukum di bidang keimigrasian masih lemah. Dari segi hukum
pidana, tugas memberantas tindak pidana keimigrasian merupakan tugas para
penegak hukum yang memakai sarana undang-undang, kewenangan untuk
melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian sebelumnya dilakukan oleh
pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) namun demikian tindak pidana
keimigrasian masih berlangsung terus.
Kekurangpahaman akan tindak pidana keimigrasian membawa dampak
negatif terhadap penerapan peraturan tentang tindak pidana keimigrasian, sehingga
dalam pelaksanaan masih ditemukan kesenjangan dimana dalam pelaksanaan
penyidikan tindak pidana keimigrasian dimungkinkan terjadi tiga penyelesaian
penyidikan yaitu :
1.
Tindak pidana keimigrasian ditangani oleh dua penyidik sehingga terdapat
dua berkas perkara untuk kasus yang sama.
2.
Tindak pidana keimigrasian ditangani oleh salah satu penyidik.
3.
Tindak pidana keimigrasian tidak ditangani karena masing-masing penyidik
lepas tangan.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi adalah penyidik yang berwenang untuk
melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian menurut Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Sebagai Penyidik yang berwenang
menangani tindak pidana keimigrasian mempunyai tugas yang berat untuk dapat
menangani tindak pidana keimigrasian hal ini dikarenakan adanya dualisme
6
Pasal 6 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
6
pemahaman yang dikandung dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian, mengenai penyidik yang berwenang menangani tindak pidana
keimigrasian, ditambah pemahaman masyarakat tentang tindak pidana
keimigrasian yang masih kurang sehingga menuntut peningkatan kemampuan dan
profesionalisme dari para Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi. PPNS Imigrasi
dalam melaksanakan tugasnya beracara di bidang Keimigrasian selain tunduk pada
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian juga tunduk pada
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu diperlukan adanya sinkronisasi
dalam menegakkan hukum secara pidana di dalam sistem peradilan pidana
Indonesia. Sinkronisasi yang dimaksud menurut Muladi adalah Singkronisasi atau
keserempakan dalam hal struktural (Struktural Syncronization), substansial
(substantial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (Cultural
syncronization).7
Dalam konsep yang sama, Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa
efektif dan berhasil tidaknya pemidanaan sangat tergantung kepada realitas
penegakan hukumnya. Hal ini sangat berkaitan dengan unsur hukum yakni
struktural hukum (structure of the law), materi hukum (substance of the law), dan
budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat. Struktur hukum menyangkut
aparat penegak hukum, kemudian materi hukum meliputi perangkat peraturan
perundang-undangan, dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living
law) yang dianut dalam suatu masyarakat, tentang struktur hukum Friedman
menjelaskan :8
To begin with, the legal system has the structure of a legal system
consist of elemens of the kind, the number and size of court; their
jurisdiction...., structure. Also means how the legislative is organized..., what
procedures the police departemen follow, and go on, structure is a way is a
kind of cross section of a legal system... a kind of still photograph, with free
theaction.
Artinya struktur dari sistem hukum terdiri unsur berikut ini, jumlah dan
ukuran pengadilan, yurisdiksinya (termasuk jenis kasus yang mereka periksa),
dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga
berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh kepolisian dan
sebagainya. Jadi struktur hukum terdiri dari lembaga hukum yang ada
dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Pemahaman
tentang substansi hukum adalah berikut :
Another aspect of the system is this substance. By this means the actual
rules, norms behavioral patterns of people inside the system ... the stress here
is on living law not just rules in law goods.9
7
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang;Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995, hlm. 1
8
Lawrence M. Friedman, American Law, New York, W.W. Norton And Company, 1984, hlm. 5-6.
9
Ibid
7
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud
dengan substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Jadi substansi hukum (Legal substantion)
menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki
kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.
Selain perlu ada sinkronisasinya dalam segi struktural dan substansial antara
penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik Polri, dalam melakukan penyidikan
perlu juga adanya koordinasi.
Koordinasi, menurut Ricky W. Griffin10, menyebutkan arti pada koordinasi
adalag “coordination is the process thingking the activities of the various
departements of organization” (koordinasi adalah suatu proses menghubungkan
kegiatan-kegiatan dari bermacam-macam instansi organisasi). Pada penulisan ini
penulis membatasi penelitian pada :
1. Penegakan hukum di bidang keimigrasian menurut Undang-Undang Nomor 6
tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana dilihat dalam aspek yuridis normatif, dan ;
2. Penegakan hukum di bidang keimigrasian dengan melihat aspek yuridis empiris
terhadap struktur penegakan hukum keimigrasian dan budaya penegakan
hukum keimigrasian.
Tindak pidana keimigrasian terus berlangsung dan dapat mengganggu
stabilitas keamanan dan ketertiban, walaupun telah diterbitkan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, kekurangpahaman masyarakat akan
pengertian tindak pidana keimigrasian menjadi tantangan tersendiri bagi PPNS
Imigrasi dalam menegakkan hukum dan memberantas tindak pidana keimigrasian.
Hakikat keimigrasian sendiri, merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam
pemberian pelayanan dan penegakan hukum serta pengamanan terhadap lalu lintas
keluar masuknya orang dari dan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia,
serta pengawasan terhadap keberadaan warga negara asing di wilayah Negara
Republik Indonesia, maka secara operasional peran keimigrasian dapat
diterjemahkan ke dalam konsep Tri Fungsi Imigrasi. Konsep ini hendak
menyatakan bahwa sistem keimigrasian, baik ditinjau dari budaya hukum
keimigrasian, materi hukum (peraturan hukum) keimigrasian, sarana dan prasarana
hukum keimigrasian, dalam operasionalisasinya harus selalu mengandung Tri
Fungsi yaitu :
1. Fungsi pelayanan masyarakat ; salah satu fungsi keimigrasian adalah fungsi
penyelenggaraan pemerintahan atau administrasi negara yang mencerminkan
aspek pelayanan, dari aspek itu imigrasi dituntut memberikan pelayanan yang
prima di bidang keimigrasian baik terhadap WNI maupun WNA.
2. Fungsi penegakan hukum; dalam pelaksanaan tugas keimigrasian, keseluruhan
aturan hukum keimigrasian itu ditegakkan kepada setiap orang yang berada di
wilayah hukum Indonesia baik WNI atau WNA. Secara operasional penegakan
10
Ricky W. Griffin, Management: Second Edition, Boston;Houghton Company, 1987, hlm. 311
8
hukum yang dilaksanakan oleh institusi Imigrasi juga mencakup penolakan
pemberian izin masuk, izin bertolak, izin keimigrasian, semua itu merupakan
bentuk penegakan hukum yang bersifat proyustisia yaitu kewenangan
melakukan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
3. Fungsi keamanan; Imigrasi berfungsi sebagai penjaga pintu gerbang negara,
dikatakan demikian karena Imigrasi merupakan institusi pertama dan terakhir
dalam menyaring kedatangan dan keberangkatan orang masuk dan keluar
wilayah Indonesia. Pelaksanaan fungsi keamanan yang ditujukan kepada WNA
adalah :
1) Melakukan seleksi terhadap setiap maksud kedatangan orang asing melalui
pemeriksaan permohonan visa;
2) Melakukan kerjasama dengan aparatur keamanan negara lainnya, khususnya
memberikan supervisi perihal penegakan hukum keimigrasian;
3) Melakukan operasi intelejen bagi kepentingan keamanan negara;
4) Melaksanakan pencegahan dan penangkalan.
Di dalam perkembangannya, Tri Fungsi Imigrasi dapat dikatakan
mengalami pergeseran bahwa pengertian fungsi keamanan dan penegakan hukum
merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan karena penerapan penegakan hukum
dibidang keimigrasian berarti sama atau identik dengan menciptakan kondisi
keamanan yang kondusif maupun sebaliknya didalam rangka memelihara kondisi
keamanan yang kondusif secara otomatis fungsi penegakan hukum keimigrasian
harus dilaksanakan secara terus menerus dan konsekuen. Sedangkan fungsi baru
yaitu sebagai fasilitator pembangunan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan fungsi keimigrasian lainnya.11
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada Kantor Imigrasi mempunyai
tugas dan peranan yang sangat penting dalam upaya penanganan tindak pidana
keimigrasian yang terjadi yang bertujuan untuk memberantas tindak pidana
keimigrasian. Namun tugas dan kewenangan ini dalam pelaksanaannya seringkali
menemui kendala baik dari peraturan hukum yang mengatur mengenai tindak
pidana keimigrasian maupun sering kali kewenangan tersebut bertabrakan dengan
kewenangan yang dimiliki oleh instansi penegak hukum semisal penyidik Polri.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penulis membatasi pertanyaan
penelitian adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana penyidikan terhadap pelaku pelanggaran Undang-Undang
Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil pada Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat?
2.
Kendala-kendala apakah yang dialami oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian dalam melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap
pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian dan bagaimana upaya mengatasi
hal tersebut ?
11
M.Iman Santoso, Op.Cit, hlm. 14
9
TINJAUAN LITERATUR
Menurut kajian normatif penegakan hukum adalah suatu tindakan yang pasti
yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat diibaratkan menarik
garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu hukum cara seperti itu disebut sebagai model
mesin otomatis dan pekerjaan menegakan hukum menjadi aktivitas subsumsi
otomat. Disini hukum dilihat sebagai variabel yang jelas dan pasti dan terlihat sangat
sederhana.12 Dalam kenyataannya tidak sesederhana itu melainkan yang terjadi
penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena
dihadapkan kepada kenyataan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif
kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empirik
sama sekali tidak dapat mengabaikannya.13
Menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa secara konseptual, inti dan
arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Selanjutnya menurut
Soerjono Soekanto, agar suatu penegakan hukum dapat berjalan paling sedikit
empat faktor harus dipenuhi.14
1) Kaedah hukum atau peraturan itu sendiri,
2) Petugas yang menerapkan atau menegakan,
3) Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum,
4) Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Keempat faktor tersebut harus mempunyai hubungan yang serasi,
kepincangan salah satu unsur akan mengakibatkan bahwa seluruh sistem akan
terkena dampak negatifnya. Selanjutnya Satjipto Raharjo berpendapat bahwa unsurunsur yang terlibat dalam proses penegakan hukum dibagi dalam dua golongan
besar, yaitu unsur-unsur yang mempunyai tingkat keterlibatan yang agak jauh dan
yang dekat. Sebagai contoh unsur yang mempunyai keterlibatan yang dekat dengan
proses penegakan hukum adalah legislatif atau pembuat Undang-Undang dan polisi,
sedang unsur pribadi dan sosial mempunyai keterlibatan yang jauh. 15 Hal ini dapat
dipahami karena legislatif adalah badan yang memproduksi peraturan, sedang polisi
adalah badan yang melaksanakan peraturan sehingga mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan proses penegakan hukum, sedang polisi adalah badan yang
melaksanakan peraturan sehingga mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan
proses penegakan hukum, sedang masyarakat adalah obyek yang terkena peraturan
sehingga wajar apabila keterlibatannya dengan proses penegakan hukum terlihat
lebih jauh. Oleh karena itu menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum adalah suatu
12
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Muhammadiyah
University Press, Surakarta;Tahun 2002, hlm. 173
13
Loc. Cit
14
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit;CV. Rajawali, Jakarta, Tahun
1980, hlm. 23
15
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung, hlm. 24
10
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang
disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini adalah pikiran-pikiran badan
pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Keberhasilan dari proses penegakan hukum itu sangat tergantung oleh para
pejabat penegak hukum itu sendiri.16 Penegakan hukum dilihat dari kacamata
normatif memang merupakan permasalahan yang sangat sederhana, tetapi bila dilihat
dari kacamata sosiologis maka penegakan hukum merupakan proses yang panjang
dan merupakan suatu perjuangan, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief, bahwa penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses yang
cukup panjang dan dapat melibatkan berbagai kewenangan instansi aparat penegak
hukum lainnya (di bidang penegakan hukum pidana melibatkan aparat
penyidik/kepolisian, aparat penuntut umum kejaksaan, aparat pengadilan, dan aparat
pelaksana pidana.17
Selanjutnya Leden Marpaung mengatakan18 penegakan hukum tidak
berlangsung dalam suasana vakum atau kekosongan sosial. Yang dimaksud dengan
kekosongan sosial adalag tiadanya proses-proses di luar hukum yang secara
bersamaan berlangsung dalam masyarakat. Proses-proses tersebut adalah seperti
ekonomi dan politik. Penegakan hukum berlangsung di tengah-tengah berjalannya
proses-proses tersebut. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang misalnya maka
tidak seketika itu segalanya menjadi persis seperti dikehendaki oleh Undang-Undang
itu. Hubungan kompetitif, tarik menarik dan dorong mendorong antara hukum dan
bidang serta proses lain di luarnya tetap saja terjadi.
Menurut Marc Galanter dalam Satjipto Raharjo,19 bahwa penegakan hukum
tidak sesederhana yang kita duga, melainkan bahwa penegakan hukum itu
mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karena diharapkan kepada kenyataan
kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas itu diabaikan, sedangkan
sebagai ilmu yang empirik tidak dapat mengabaikannya. Sosiologi hukum berangkat
dari kenyataan di lapangan, yaitu melihat berbagai kenyataan, kompleksitas, yang
ada dalam masyarakat dan bagaimana kenyataan itu membentuk maksud dengan
melihat hukum dari “ujung yang lain dari teleskop”. Oleh karena memasukan
kompleksitas tersebut ke dalam pemahaman dan analisisnya, maka dalam sosiologi
hukum, penegakan hukum itu tidak bersifat logis universal, melainkan variabel.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penegakan hukum
mengandung pilihan dan kemungkinan, oleh karenanya dihadapkan pada masalah
yang kompleks, baik pada tahap aplikasinya maupun pada tahap formulasi. Karena
kondisinya tidak steril maka dalam proses penegakannya juga dapat dihinggapi
berbagai permasalahan baik yang positif maupun negatif, dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan baik kepentingan pembuat undang-undang, kepentingan pelaksana
undang-undang, dan kepentingan masyarakat yang terkena undang-undang.
16
Loc.Cit
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 2
18
Leden Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Penerbit Sinar
Grafika;Jakarta, tahun 1997, hlm. 22.
19
Satjipto Raharjo, Op.Cit, hlm. 1
17
11
Faktor kepentingan dari unsur-unsur yang terdapat di dalam proses
penegakan hukum tampaknya memegang peran dominan, sebagaimana penelitian
Stewart Macaulay tentang penegakan hukum kontrak yang telah dibuat sendiri oleh
para pelaku justru banyak yang dikesampingkan, hubungan bisnis antara para pelaku
tidak selalu didasarkan pada kontrak yang telah dibuat sendiri. Hubungan-hubungan
yang seharusnya bersifat kontraktual tetapi ternyata telah menjadi non kontraktual,
karena ternyata yang bersifat non kontraktual lebih menguntungkan bagi kedua belah
pihak dalam melakukan hubungan bisnis.20
Selanjutnya menurut Muladi penegakan hukum sebagai suatu usaha untuk
menegakkan norma-norma dan sekaligus nilai-nilai yang ada di belakang norma
tersebut. Untuk itu, para penegak hukum harus memahami betul semangat hukum
yang mendasari dibuatnya peraturan hukum yang hendak ditegakkan itu.21 Aparat
penegak hukum harus menyadari bahwa penegakan hukum sebagai sub sistem dari
sistem yang lebih luas, rentan terhadap pengaruh lingkungan, seperti pengaruh
perkembangan politik, ekonomi, pendidikan, globalisasi. Karena itu, pemahaman ata
perlunya kebersamaan dan kerjasama antar komponen yang digambarkan sebagai
pendekatan sistem dalam sistem peradilan pidana sudah seharusnya terimplementasi
dalam tiap komponen atau aparat penegak hukum. Sistem peradilan pidana adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Komponen-komponen dalam sistem peradilan pidana itu diharapkan bekerjasama
untuk membentuk apa yang dikenal dengan nama integrated criminal justice
administration.22
Menurut Romli Atmasasmita sistem peradilan pidana, yang berarti
interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi terkait dalam proses peradilan
pidana. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana, di dalamnya terkandung gerak
sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya (sebagaimana telah dikemukakan
di atas), yang secara keseluruhan berusaha mentransformasikan masukan (input)
menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana, yaitu tujuan
jangka pendek berupa resosialisasi pelaku, jangka menengah adalah pencegahan, dan
jangka panjang adalah kesejahteraan sosial.23
Menurut Muladi untuk mencapai tujuan tersebut, sistem peradilan pidana
sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan
manusia. Karena itu, sistem peradilan pidana dalam geraknya akan selalu mengalami
interaksi, interkoneksi, dan interdepedensi dengan lingkungannya dalam bidang
ekonomi, politik, pendidikan, teknologi, dan subsistem-subsistem dari sistem
peradilan pidana.24
20
Ibid, hlm. 179
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP, UNDIP, Semarang, Tahun 1995, hlm. 69
22
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, Tahun 1994, hlm. 85
23
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, Tahun 1996, hlm. 14
24
Ibid. Hlm. 2-3
21
12
METODE PENELITIAN
Penulisan jurnal yang berjudul “Penegakan Hukum Keimigrasian Menurut
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian” ini membutuhkan data
yang akurat yang dititik beratkan pada data sekunder yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan yuridis normatif,25 yang mencakup penelitian-penelitian yang didasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas hukum dan sejarah hukum
keimigrasian di Indonesia.26 Penelitian ini bersifat deskriptif dan analisis karena secara
spesifik penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai penegakan hukum
keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau keluar wilayah Indonesia yang
juga merupakan hak dan wewenang Negara Republik Indonesia serta merupakan salah
satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Data penelitian hukum ini menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder.
a) Bahan hukum primer, antara lain :
1)
2)
3)
4)
5)
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 tahun 1958
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1958 Nomor 127.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Peraturan-peraturan yang terkait dengan keimigrasian.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari buku-buku
(literatur), website, artikel/makalah, maupun pendapat para ahli (doktrin) yang berkaitan
dengan masalah yang diteliti.
c) Bahan hukum tersier antara lain ;
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2. Kamus hukum.
Analisis Data data yang terkumpul melalui kegiatan tersebut diproses melalui
pengolahan dan penyajian data dengan melakukan editing dimana data yang diperoleh
diperiksa dan diteliti kembali tentang kelengkapan, kejelasan, dan kebenarannya. Dengan
cara tersebut akan terhindak dari kekurangan dan kesalahan kemudian dilakukan evaluasi
dengan memeriksa ulang dan meneliti kembali data yang telah diperoleh, baik mengenai
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 13
26
Lihat” Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Kencana, 2005.Jakarta, hlm. 93: “Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan penelitian yang sedang ditangani.”
13
kelengkapan maupun kejelasan atas jawaban permasalahan yang ada. Selanjutnya penulis
menganalisis data secara kualitatif yang dipakai untuk mengkaji secara normatif tentang
pemberian remisi kepada narapidana melalui metode yang bersifat deskriptif analitis.
Metode ini dilakukan dengan cara menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan
menghubungkannya satu sama lain untuk mendapatkan kesimpulan dari permasalahan yang
diteliti.
HASIL KAJIAN
Penyidikan Terhadap Pelaku Pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Keimigrasian Oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian
Fungsi Direktorat Jenderal Imigrasi
Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia
mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di
bidang Imigrasi. Dalam menyelenggarakan tugas Direktorat Jenderal Imigrasi mempunyai
fungsi :
1) Penyiapan rumusan kebijakan Departemen di bidang Keimigrasian;
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3) Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria, dan prosedur dibidang keimigrasian;
4) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi;
5) Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat Jenderal;
6) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengamanan teknis operasional di
bidang keimigrasian;
7) Pengawasan teknis atas pelaksanaan tugas di bidang keimigrasian;
8) Pembinaan dan pengelolaan sumber daya manusia, keuangan, perlengkapan, sistem
dan metode di bidang keimigrasian dan pelayanan teknis di bidang keimigrasian.
Dari delapan fungsi di atas, dapat dirumuskan dalam tri fungsi Imigrasi, yaitu sebagai
aparatur pelayanan masyarakat dan pengamanan negara, penegakan hukum keimigrasian.
a.
Kedudukan, Tanggung Jawab, dan Wewenang Subdit Penyidikan
Dalam Keputusan Menteri Hukum dan Ham Republik Indonesia No. M.04.PR.07.10
tanggal 7 Desember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan Ham
Republik Indonesia, bahwa Subdit Penyidikan berada di bawah Direktorat Penyidikan dan
Penindakan Keimigrasian yang berada dalam lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi,
Subdit penyidikan sendiri membawahi tiga seksi, yaitu ; 1. Seksi Penyelidikan Wilayah I, 2.
Seksi Penyidikan Wilayah II, 3. Seksi Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi.
Subdit penyidikan dipimpin oleh seorang Kepala, yang setinggak dengan eselon III (III/a)
dan untuk seksi-seksinya dipimpin oleh Kepala yang setingkat dengan Eselon IV (IV/a).
Dalam pelaksanaan tugas kepala-kepala seksi bertanggung jawab kepada Kepala Subdit
Penyidikan Keimigrasian. Sedangkan Kapala Subdit Penyidikan bertanggungjawab
langsung kepada Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang memimpin
14
Direktorat Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian yang memimpin Direktorat Penyidikan
dan Penindakan Keimigrasian dimana kedudukannya setingkat dengan Eselon II (II/a).
Sedangkan kewenangan Subdit Penyidikan Keimigrasian adalah berkaitan dengan
penyiapan bahan penyusunan rancangan kebijakan, melakukan pembinaan dan bimbingan
teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Keimigrasian, serta melakukan penyidikan. Mengenai syarat kepangkatan dan
pengangkatan PPNS, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP. Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah tersebut menentukan
penyidik adalah : “PPNS tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda
Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu”. Pada ayah (5) ditentukan bahwa
PPNS diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM atas usul dari departemen yang membawahi
pegawai negeri tersebut.
Tugas pokok dan fungsi Subdit Penyidikan Keimigrasian berdasarkan pasal 610
Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, No. M.03.PR.07.10 tanggal 7
Desember 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM Republik
Indonesia, tertulis dengan jelas tugas pokok Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian. Tugas
pokok Sub Direktorat Penyidikan Keimigrasian itu sendiri adalah :
(1) Melaksanakan penyiapan penyusunan rancangan kebijakan,
(2) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang Penyidikan tindak pidana keimigrasian,
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang keimigrasian,
(4) Pelaksanaan penyidikan tindak pidana keimigrasian.
Dalam pelaksanaan tugas pokok tersebut di atas, Sub Direktorar Penyidikan
keimigrasian menyelenggarakan fungsi :
a) Pembinaan dan bimbingan teknis di bidang penyidikan tindak pidana keimigrasian dan
PPNS keimigrasian;
b) Penyidikan;
c) Penyiapan bahan pembuatan penyusunan rancangan kebijakan.
b. Pelaksanaan Penyidikan oleh Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam Perkara
Pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian dengan Tersangka KOU TSUNG
TENG
a. Cara Diketahui Adanya Pelanggaran Keimigrasian
Berdasarkan teori, maka ada beberapa cara penyidik mengetahui adanya tindak pidana,
yaitu antara lain :
1) Laporan
2) Pengaduan
3) Diketahui Sendiri oleh Penyidik
4) Pemberitaan Media
Dalam perkara pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian dengan pelaku Kou Tsung
Teng, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Keimigrasian mengetahui adanya pelanggaran
Undang-Undang Keimigrasian.
b.
Uraian singkat kasus
Pada hari Senin tanggal 21 November 2011, dimana Kou Tsung Teng telah mengajukan
permohonan penerbitan paspor atas nama sendiri, dengan melampirkan data-data sebagai
syarat kelengkapan administrasi berupa KTP, Kartu keluarga, Akta Kelahiran atas nama
Herry, serta Akte Perkawinan atas nama Willi dan Marshanda. Berdasarkan hal tersebut di
15
atas, penyidik merasa curiga atas keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan Kou Tsung
Teng, selanjutnya penyidik melakukan pemerikasaan lebih intensif terhadap Kou Tsung
Teng, dan dalam pemeriksaaan tersebut ditemukan fakta bahwa Kou Tsung Teng adalah
seorang warga negara asing yaitu warga negara Taiwan yang dibuktikan dengan paspor
Kebangsaan Taiwan Nomor : 303672531 yang ditunjukkan Kou Tsung Teng kepada pihak
Imigrasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, oleh karena dokumen-dukumen yang diajukan
Kou Tsung Teng tersebut diduga palsu atau dipalsukan, sedangkan Kou Tsung Teng masih
memegang paspor, maka kepada Kou Tsung Teng dikenakan tindakan administratif
keimigrasian, dalam hal ini adalah pendeportasian terhadap Kou Tsung Teng. Dan
sementara menunggu proses pendeportasian terhadap Kou Tsung Teng, maka Kantor
Imigrasi Jakarta Pusat menempatkan Kou Tsung Teng di ruang Detensi Kantor Imigrasi
Kelas I Jakarta Pusat berdasarkan Surat Perintah Pendetensian Nomor :
W7.FC.GR.01.02.04-12.412 tanggal 21 November 2011 dan Berita Acara Pendetensian
tanggal 21 November 2011.
Bahwa selanjutnya oleh karena pelaksanaan pemulangan/pengusiran (deportasi) Kou
Tsung Teng ke negara asalnya akan dilakukan, maka Kantor Imigrasi telah mengeluarkan
Kou Tsung Teng dari ruang Detensi berdasarkan Surat Perintah Pengeluaran Terdetensi
Nomor : W7.FC.GR.01.02.10.4 tanggal 25 November 2011 dan Berita Acara Pengeluaran
dari ruang Detensi tanggal 25 November 2011. Selanjutnya Kou Tsung Teng telah
dikeluarkan dari ruang Detensi pada tanggal 25 November 2011, akan tetapi berdasarkan
pemeriksaan yang intensif terhadap Kou Tsung Teng yang diduga keras telah melakukan
perbuatan pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut ketentuan Pasal 126
huruf c UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo Pasal 55 KUHP, maka guna
kepentingan pemeriksaan lebih lanjut, dikeluarkanlah Surat Perintah Penyidikan Nomor :
01/SPP/IX/ 2011/DIKKIM tanggal 25 November 2011, dan untuk selanjutnya Kantor
Imigrasi telah melakukan penangkapan terhadap Kou Tsung Teng berdasarkan Surat
Perintah Penangkapan Nomor : 02/SPKAP/ XI/2011/DIKKIM tanggal 25 November 2011.
Bahwa oleh karena dalam pemeriksaan terhadap Kou Tsung Teng, Imigrasi telah
menemukan beberapa barang bukti surat-surat yang diduga palsu atau dipalsukan antara lain
berupa KTP, kartu keluarga, akte kelahiran atas nama Herry, serta akte perkawinan atas
nama Willi dan Marshanda, serta benda yang berhubungan langsung dengan tindak pidana
yang diduga dilakukan oleh Kou Tsung Teng berupa paspor Kebangsaan Taiwan Nomor :
303672531 atas nama Kou Tsung Teng, sehingga patut diduga bahwa Kou Tsung Teng telah
melakukan perbuatan pidana keimigrasian berdasarkan ketentuan Pasal 126 huruf c UU No.
6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo. Pasal 55 KUHP, oleh karenanya Imigrasi telah
melakukan penyitaan terhadap barang-barang bukti tersebut yaitu berdasarkan Surat
Perintah Penyitaan Nomor : SP2B2/01/XI/2011/DIKKIM tanggal 25 November 2011
dengan Berita Acara Penyitaan tanggal 25 November 2011.
Bahwa selain uraian tersebut di atas seiring proses pemeriksaan, ditemukan pula fakta
bahwa izin tinggal Kou Tsung Teng telah habis masa berlakunya, sementara pada saat yang
sama, Kou Tsung Teng telah diduga keras melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur
dan diancam pidana menurut ketentuan Pasal 126 huruf c UU No. 6 tahun 2011 tentang
Keimigrasian Jo. Pasal 55 KUHP.
Bahwa berdasarkan Surat Perpanjangan Penahanan dari Turut Termohon Nomor B25/0.1.10/E.p.2/01/2012 tertanggal 09 Januari 2012 ditemukan uraian singkat perkara yang
menyatakan “Pada hari Senin 21 November 2011 bertempat di Kantor Imigrasi Kelas I
16
Jakarta Pusat, tersangka KUO TSUNG TENG melakukan tindak pidana turut serta
memperdagangkan blangko dokumen perjalanan keimigrasian/Paspor palsu dengan cara
memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh
dokumen perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri, melanggar Pasal 126 huruf c,
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dan Kantor Imigrasi Jakarta
Pusat telah mengajukan beberapa bukti surat-surat (terlampir). Dari perihal tersebut di atas
tersangka KUO TSUNG TENG mengajukan pra peradilan namun majelis hakim telah
memutuskan atau mengadili :
1) Menolak permohonan KUO TSUNG TENG (pemohon) untuk seluruhnya;
2) Menyatakan penangkapan terhadap KUO TSUNG TENG (pemohon) berdasarkan
surat perintah penangkapan No. 02/SPKAP/XI/2011 tanggal 25 Nopember 2011
adalah sah menurut hukum;
3) Menyatakan penahanan terhadap KUO TSUNG TENG berdasarkan surat perintah
penahanan No. 01/SPH AN/XII/2011/DIKKIM tertanggal 20 Desember 2011 dan
surat perpanjangan penahanan Nomor : B-2/0.1.10/Ep.2/01/2012 tanggal 9 Januari
2012, adalah sah menurut hukum;
4) Menyatakan surat penyitaan No. SP2B2/01/XI/2011/DIKKIM tanggal 25 Nopember
2011 adalah sah menurut hukum;
5) Membebankan KUO TSUNG TENG membayar biaya perkara sebesar NIHIL;
Untuk kepentingan supremasi dan penegakan hukum serta menjaga kewibawaan
negara, termasuk wibawa aparat pintu gerbang Negara, maka terhadap orang asing yang
menyalahgunakan ijin keimigrasian dikenakan tindakan hukum berupa :
a) Tindakan hukum pidana, melalui serangkaian tindakan penyidikan dalam proses sistem
peradilan pidana, kemudian setelah selesai menjalani pidana, diikuti tindakan deportasi
ke negara asal dan penangkalan tidak diijinkan masuk ke wilayah Indonesia dalam batas
waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Seperti dalam kasus dalam penelitian ini
bahwa tersangka KUO TSUNG TENG yang mengajukan praperadilan dan tetap
terbukti melakukan tindak pidana keimigrasian maka sangatlah tepat yang telah
dilakukan oleh Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat untuk menahan dan mendeportasi
orang tersebut.
b) Tindakan hukum administratif, terhadap pelanggaran hukum tersebut tidak dilakukan
tindakan penyelidikan, melainkan langsung dikenakan tindakan administratif di bidang
keimigrasian, yang disebut tindakan keimigrasian berupa pengkarantinaan, deportasi
dan penangkalan.
KENDALA-KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM KEIMIGRASIAN
Dalam melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011
tentang Keimigrasian, yang dilakukan oleh PPNS Imigrasi tidak selalu berjalan lancar dan
kadang menemui berbagai hambatan. Hambatan-hambatan inilah yang membuat penyidik
kesulitan dalam mengungkap suatu kasus atau membuat jelas suatu perkara pidana.
Hambatan-hambatan itu bisa datang dari dalam (intern) maupun dari luar (Ekstern) ;
17
1. Hambatan Intern, yaitu hambatan yang dihadapi oleh penyidik dari dalam Lembaga
Imigrasi itu sendiri.
Adapun hambatan intern ini berupa :
a. Selama ini PPNS Keimigrasian masih merupakan suatu pekerjaan yang dilekatkan pada
bidang atau kegiatan yang ada, sehingga tugas penyidikan yang menjadi tanggung jawab
PPNS belum sepenuhnya dapat ditangani. Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai
tugas penyidikan yang memerlukan konsentrasi tinggi dan sangat spesifik, namun juga
dibebani tugas-tugas administratif, bahkan tugas-tugas lain yang sama sekali tidak
terkait dengan penegakan hukum, sehingga tugas-tugas penyidikan belum tersentuh
dengan baik.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan penentuan skala prioritas dalam
pelaksanaan tugas penyidikan oleh PPNS Keimigrasian.
b. Terbatasnya personel PPNS Keimigrasian menyebabkan penanganan pelanggaran
Undang-Undang Keimigrasian seringkali berjalan kurang cepat.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka kepada PPNS Keimigrasian selalu diberi motivasi
untuk bekerja secara optimal dengan segala keterbatasan yang ada, baik menyangkut
jumlah personil atau anggaran.
c. Hal lain yang berkaitan dengan kondisi PPNS adalah bahwa kualitas sumber daya PPNS
masih belum memadai. Sampai saat ini belum ada standar tentang Pendidikan PPNS,
baik menyangkut kurikulum, jangka waktu pendidikan maupun penyelenggaraan
pendidikan.
Oleh karena itu perlu ada standar pendidikan PPNS yang komprehensif dalam rangka
meningkatkan kualitas, kemampuan dan integritas PPNS.
2. Hambatan Ekstern, merupakan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik dari
luar lembaga Imigrasi.
a. Masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam melaporkan
keberadaan orang asing yang mencurigakan di sekitar lingkungannya.
Untuk mengatasi hambatan ini maka dilakukan sosialisasi tentang masalah keimigrasian
dengan bekerja sama dengan instansi terkait.
b. Masih terjadinya miskomunikasi atau perbedaan persepsi antara kepolisian dan
kejaksaan dalam menilai kelengkapan suatu berkas perkara.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi hambatan ini ada;ah dengan selalu
melakukan koordinasi horizontal dengan sesama instansi penegak hukum.
c. Kurang kehati-hatian atau kecermatan dari instansi yang berwenang dalam
mengeluarkan dokumentasi kependudukan terhadap seseorang yang patut dicurigai.
d. Permasalahan atau kesulitan yang muncul dalam penanganan kasus-kasus limpahan
adalah kesulitan yang berkaitan dengan persoalan locus delicti perkara. Penyidik
Imigrasi pada Subdit Penyidikan pernah menangani perkara-perkara yang locus
delictinya ada di wilayah Jakarta, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Cirebon dan
sebagainya. Dalam penanganan perkara-perkara tersebut, penyidik imigrasi pada subdit
penyidikan mengalami kesulitas dan pengumpulan bukti-bukti dan saksi-saksi serta
koordinasi. Apalagi jika tidak didukung dengan dana operasional langsung. Hasilnya
bisa dilihat dari proses penyelesaian penyidikan yang dapat berjalan selama berbulanbulan.
18
Aspek-aspek Kegiatan yang Dilakukan oleh PPNS Imigrasi
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Imigrasi mempunyai wewenang sesuai dengan undangundang yang menjadi landasan hukum dan di dalam tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik Polri. Tindakan keimigrasian, meliputi empat aspek kegiatan,
yaitu :
1. Pengolahan hasil pengawasan dan atau penyidikan
Temuan adanya perbuatan melanggar hukum hasil pengawasan dan bukti penyidikan,
dilakukan pengolahan dan pemilahan sesuai sifat dan jenis pelanggaran, untuk
menentukan tindakan keimigrasian yang tepat dikenakan terhadap di pelanggar hukum.
2. Pemeriksaan
Melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, sanksi dan barang bukti hasil pengawasan
dengan dibuatkan berita acara. Sedangkan hasil penyidikan dan perkara yang sudah
mendapatkan putusan serta berkekuatan hukum tetap, tidak perlu lagi pemeriksaan,
hanya diperlukan identifikasi terhadap bekas terpidana dengan merujuk surat perjalanan.
Surat atau dokumen lain serta putusan hakim, sehingga tidak keliru dalam pelaksanaan
tindakan keimigrasian.
3. Penindakan
Melakukan suatu tindakan hukum administrasi terhadap orang yang tidak mentaati
peraturan dan atau melakukan kegiatan yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban
umum, terdiri dari :
a) Warga Negara Indonesia, berupa cekal, penolakan keluar wilayah Indonesia, pencabutan
dan hal lain yang berkenaan dengan surat perjalanan Republik Indonesia;
b) Orang asing, berupa cekal, penolakan keluar dan masuk wilayah Indonesia, biaya beban,
deportasi, pengkarantinaan, pembatasan/pembatalan/perubahan ijin keberadaan,
larangan berada di suatu atau beberapa tempat, keharusan bertempat tinggal di tempat
tertentu;
c) Penanggung jawab alat angkut, berupa : biaya beban, membawa kembali orang asing
yang tidak diberi ijin masuk, orang asing yang tidak diberi ijin masuk untuk tetap tinggal
atau diisolasi di alat angkut.
4. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses
penyidikan tindak pidana keimigrasian. Sebagai dasar pertimbangan penyelesaian dan
penyerahan berkas perkara adalah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi ahli serta
kelengkapannya sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana keimigrasian. Kegiatan
penyelesaian berkas perkara terdiri dari :
a) Pembuatan resume. Pembuatan resume merupakan kegiatan PPNS Imigrasi untuk
menyusun ikhtisar dan kesimpulan berdasarkan hasil penyidikan suatu tindak pidana
keimigrasian yang terjadi.
b) Penyusunan isi berkas perkara.
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis
dapat merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Proses penyidikan terhadap pelaku pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian oleh
PPNS Keimigrasian yang dilakukan oleh Kuo Tsung Teng yang telah melakukan tindak
pidana turut serta memperdagangkan blangko dokumen perjalanan keimigrasian/Paspor
palsu dengan cara memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar
19
2.
a.
b.
c.
d.
e.
untuk memperoleh dokumen perjalanan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri, proses
penyidikannya mengalami kendala karena tersangka adalah warga negara asing yang
masih memiliki paspor negara Taiwan, sedangkan saksi tidak ada yang mengetahui
tindakan penangkapan dan penahanan tersangka di Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta
Pusat.
Kendala-kendala yang dialami oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian dalam
melaksanakan tugas penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang
Keimigrasian dan cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Pada umumnya PPNS tidak saja mempunyai tugas penyidikan yang memerlukan
konsentrasi tinggi dan sangat spesifik, namun juga dibebani tugas-tugas administratif,
bahkan tugas-tugas lain yang sama sekali tidak terkait dengan penegakan hukum,
sehingga tugas-tugas penyidikan belum tersentuh dengan baik.
Adanya perbedaan persepsi antara kepolisian dan kejaksaan dalam menilai kelengkapan
suatu berkas perkara.
Kurangnya kecermatan dari instansi yang berwenang dalam mengeluarkan dokumentasi
kependudukan terhadap seseorang yang patut dicurigai.
Hal lain yang berkaitan dengan kondisi PPNS adalah bahwa kualitas sumber daya PPNS
masih belum memadai.
Kurangnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan keberadaan orang asing di
lingkungan sekitarnya.
Saran
Adapun saran yang terkait dengan rumusan permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Kualitas SDM PPNS Keimigrasian harus senantiasa ditingkatkan dengan memberikan
pelatihan secara berkala.
2. Para aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan harus selalu
melakukan koordinasi fungsional yang bersifat horizontal, agar penegakan hukum
terhadap pelanggaran UU Keimigrasian dapat dilakukan secara optimal, berdaya guna
dan berhasil guna.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdullah Sjahriful, Memperkenalkan Hukum Keimigrasian, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1992
Amir Syamsudin dan Nurhasyim Ilyas, Perilaku Aparat Hukum Dalam Menegakan
Supremasi Hukum di Indonesia, Jurnal Keadilan, Vol. 1 November 2000
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
----------,Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam Kaitannya Dengan Pembaharuan
Kejaksaan, Makalah pada Forum Dengar Pendapat Publik;Pembaharuan Kejaksaan,
diselenggarakan oleh KHN, Kejaksaan Agung dan Partnership for Governance
Reform in Indonesia, Jakarta, 24-25 Juni 2003.
Direktur Jenderal Imigrasi, Petunjuk Pelaksana Dirjen Imigrasi, No. F-337.IL.02.01 Tahun
1995 tentang Tata Cara Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian, Jakarta;1995.
20
Hamrad Hamid, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Jakarta;Rineka Cipta
Hans Nawaiasky, mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara itu menjadi
empat kelompok besar yang terdiri atas : Kelompok I ; staatsfundamentalnorm
(Norma fundamental negara), Kelompok II; staasgrundgesetz (Aturan dasar/pokok
negara), Kelompok III; formel gesetz (undang-undang formal), Kelompok IV;
verordnung & autonome satzung (Aturan pelaksanaan & aturan otonom) kelompokkelompok norma hukum tersebut hampir selalu ada dalam tata susunan norma
hukum setiap negara walaupun mempunyai istilah yang berbeda-beda ataupun
jumlah norma hukum yang berbeda dalam tiap kelompoknya.
Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia, PT.Gramedia Utama; Jakarta; 2003
Leden Marpaung, Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya, Penerbit
Sinar Grafika;Jakarta, tahun 1997.
Lawrence M. Friedman, American Law, New York, W.W. Norton And Company, 1984
M.Imam Santoso, Perspektif Imigrasi dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan
Nasional, Jakarta;UI Press, 2004
Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M-05.PW.07.03 Tahun 1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian Penyidik Pegawai
Negeri Sipil, Jakarta, 1984.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, Tahun 1994
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Dasar-dasar dan
Pembentukannya, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1998
Moh. Arif, Komentar Undang-Undang Keimigrasian Beserta Peraturan Pemerintah, Pusat
Pendidikan Latihan Pegawai Dapartemen Kehakiman, Jakarta, 1997
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang;Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995
Nukthoh Arfawie Kurde, Editor : Muryid, Telaah Kritis Teori Negara Hukum. Konstitusi
dan Demokrasi dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Berdasarkan UUD 1945, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru;Bandung, 1997
Pemikiran mengapa seseorang berhubungan dengan hukum baik dengan mematuhi hukum
ataupun tidak mematuhi hukum, dapat dilihat dari pendapat A.O. Germann, dimana:
Why do people commit crime? ... Lihat A.O. Germann, Frank D. Day, dan Robert
R.J. Gallati, Introduction to Law Enforcement And Criminal Justice, Illnois, Charles
C Thomas Publisher, Twenty-ninth Printing, 1981
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Kencana, 2005.Jakarta, hlm. 93: “Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan penelitian yang sedang ditangani.”
Ricky W. Griffin, Management: Second Edition, Boston;Houghton Company, 1987
R. Soesilo, Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil, Bogor;Politea, 1980
Romli Atmasasmita, Aspek Hukum Kerjasama Regional Internasional dalam Rangka
Mengatasi Peningkatan Imigran Gelap”, Laporan Tahap III Penelitian, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1997-1998
21
-----------,Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme),
PT.Bina Cipta Bandung, 1996
Satjipto Raharjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Muhammadiyah University Press, Surakarta;Tahun 2002
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Penerbit;CV. Rajawali, Jakarta,
Tahun 1980
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni;Bandung, 2002
B.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, Jakarta,
2011.
Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksana Direktur Jenderal Imigrasi, Nomor F-337.IL.02.01
Tahun 1995 tentang Tatacara Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian, Jakarta, 1995
Repiblik Indonesia, Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M-05.PW.07.03 tahun 1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengusulan Pengangkatan dan Pemberhentian Penyidik
Pegawai Negeri Sipil, Jakarta, 1984.
Republik Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi, Nomor : F337.IL.02.01 tahun 1995 tentang Tatacara Penyidikan Tindak Pidana Keimigrasian, Jakarta,
1995.
C.
Artikel dan Majalah/Media
Dalam artinya yang praktis dan umum, Hukum adalah peraturan yang menentukan
bagaimana seharusnya ditingkah laku seseorang dalam masyarakat. Dalam arti ini
hukum sama artinya dengan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh
manusia (misalnya Dewan Perwakilan Rakyat atau Kepala Negara) dan yang
pelaksanaannya atau pelanggaran atasnya dituntut dan ditindak oleh penguasa yang
sah (misalnya Pemerintah). Inilah hukum positif atau norma yang ditetapkan atau
positum (latin) secara sah. Lihat, E.Fernando M Manullang, Menggapai Hukum
Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta;Penerbit Buku
Kompas, Januari 2007, hlm. XVII
22
Harahap M. Yahya, Citra Penegakan Hukum, dalam Varia Peradilan Tahun X Nomor 117,
Juni 1995.
---------------, Pengadilan Tak Efektif Selesaikan Perkara, Dalam Kompas, 16 Juli 1999.
Download