Journal POLITIS P o l i t ic s & In te r n a t io n a l S tu d ie s IMIGRASI DAN DINAMIKA PERDAGANGAN GLOBAL Tri Adi Dharma* Abstrak Perdagangan internasional di sektor jasa merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan pesat seiring dengan liberalisasi dan kebebasan mobilitas perdagangan barang antar negara. Untuk itu, Organisasi Perdagangan Dunia WTO telah mengaturnya secara khusus dalam kesepakatan umum di sektor perdagangan jasa, General Agreement on Trade in Services (GATS). Meski Indonesia telah meratifikasi prinsipprinsip WTO dalam undang-undang terkait dengan perdagangan, seringkali terlupakan bahwa permasalahan mobilitas tenaga kerja asing dan tenaga ahli dari luar negeri di sektor industri juga berkaitan erat dengan regulasi keimigrasian. Terkait dengan hal tersebut, artikel ini berupaya menjelaskan bagaimana perkembangan dan dinamika WTO dari sudut pandang ekonomi politik internasional dalam hubungannya dengan keimigrasian di Indonesia. Abstract International trade in services has grown rapidly in line with the economic liberalization and the considerable free flow of goods among countries. Hence, World Trade Organization (WTO) has stipulated a special agreement namely General Agreement on Trade in Services (GATS). Despite Indonesia has mostly ratified general principles of WTO within national law, it has been frequently neglected that issues of foreign workers and experts in trade and industry should have also been connected with immigration rules. This article tries to provide brief explanation how the development of WTO in international political economic perspective and its correlation with immigration in Indonesia. Keywords: WTO; trade in services; Indonesian immigration; liberalisasi sektor jasa; regulasi imigrasi. PENDAHULUAN Kegiatan politik, ekonomi dan hukum seringkali berkaitan antara satu dengan yang lainnya, dalam kenyataannya masingmasing dapat saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Setiap aktivitas politik dipastikan memiliki dimensi ekonomi, dan demikian pula sebaliknya setiap aktivitas ekonomi memiliki dimensi politik (Kuntjoro-Jakti, 1990: 4-5). Ekonomi dan politik memiliki hubungan yang saling mempengaruhi, di satu sisi, kegiatan politik secara umum menentukan kerangka kegiatan ekonomi dan menyalurkannya kearah tertentu demi memenuhi kepentingan kelompok yang dominan, di sisi lain, proses ekonomi cenderung meredistribusikan kekuasaan dan kekayaan (Mas’oed, 1989). Kolaborasi erat dan sukar dipisahkan antara keduanya akan semakin tampak apabila menyangkut kepentingan organisasi negara, yang persoalannya multidimensional dan proses pengambilan keputusannya melalui pendekatan multidisipliner (Soedarsono, 1980: 86-91; Stretton & Orchard, 1994: 21-22). Hal demikian juga dapat terjadi dalam hubungan antara kegiatan ekonomi dan instrumen hukum. Sebagai contoh, Hartono (1988) mengatakan pada masa Revolusi Industri Inggris para pelaku industri mengeluhkan hambatan industri dan perdagangan dalam bentuk peraturanperaturan yang dibuat oleh penguasa. Bahkan, jalur hukum dipandang sebagai cara menyelesaikan masalah ketika terjadi *Dean, School of Social and Political Science, University of Jakarta; Dekan FISIP Universitas Jakarta (FISIPUNIJA). The author’s email: [email protected] P O L I T I S perselisihan atau sengketa dalam suatu kegiatan perekonomian (Ali, 2002). Tidak hanya antara ekonomi dan hukum, keterkaitan yang relatif erat juga terlihat antara variabel politik dan variabel hukum. Secara formal dapat dikatakan bahwa keseluruhan produk hukum adalah norma atau ukuran tertentu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban, kendati demikian secara material sebenarnya produk hukum ini merupakan suatu kehendak manusia berdasarkan suatu kebijakan politik tertentu (Kusumohamidjojo, 1985). Demikian pula sebaliknya, bahwa keseluruhan prosedur politik atau kebijakan publik haruslah dilandasi oleh norma-norma hukum (Ali, 2002). Dalam praktiknya, keseluruhan gambaran tersebut dapat kita temui seharihari dalam aktivitas perdagangan internasional yang terikat dengan sejumlah regulasi dan aturan regional maupun global. Aturan dan regulasi ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai bentuk kompromi dari gesekan kepentingan antar negara-negara yang terlibat dalam negosiasi dan perundingan perdagangan (Ruggie, 1993). Kendati demikian, dalam perkembangan studi hubungan internasional di Indonesia, isu-isu terkait dengan perdagangan internasional (international trade) masih relatif kurang populer dibandingkan dengan isu-isu keamanan internasional (international security). Untuk itu, tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan terkait dengan interaksi faktor-faktor politik, ekonomi dan hukum dalam sektor perdagangan internasional. DINAMIKA PERDAGANGAN INTERNASIONAL Aktivitas perdagangan internasional merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan dinamika dan sejarah politik global. Sebelum Perang Dunia I, perdagangan global diwarnai oleh paham liberalisme yang berkembang sebagai reaksi penolakan terhadap paham 12 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 merkantilisme. Regulasi perdagangan pada masa ini telah menciptakan kondisi antara lain, kebebasan atas lalu lintas alat pembayaran, kebebasan atas lalu lintas modal, kebebasan atas lalu lintas keimigrasian, dan berkembangnya berbagai sektor penunjang perdagangan bebas seperti jasa perbankan, asuransi, pelayaran, dan bursa komoditas. Periode ini dikenal sebagai periode emas perdagangan bebas hingga meletusnya Perang Dunia I pada tahun 1914 yang secara signifikan menggeser pandangan liberalisme (Isaak, 1995). Pasca Perang Dunia I sampai terjadinya Perang Dunia II pada tahun 1941, regulasi dan tatanan perdagangan global cenderung kembali pada paham merkantilisme, termasuk salah satu penyebabnya adalah depresi ekonomi dunia pada tahun 1930. Periode ini dapat disebut sebagai periode disintegrasi sistem perdagangan bebas, karena terdapat kecenderungan proteksionisme dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh masing-masing negara. Regulasi perdagangan berubah menjadi lebih protektif, pembatasan dalam lalu lintas devisa dan lalu lintas modal, serta hambatan-hambatan keimigrasian (Isaak, 1995). Setelah Perang Dunia II, kegiatan perdagangan internasional diwarnai dengan pertentangan antara dua kutub (bipolar) yaitu blok barat dengan paham liberal kapital yang dimotori oleh Amerika Serikat dan blok timur dengan paham sosialis komunis yang dimotori oleh Uni Soviet (Spero, 1985; Mas’oed 1990). Terdapat dua catatan penting selama periode yang dikenal secara luas sebagai Perang Dingin ini. Pertama berkaitan dengan upaya penataan lembaga-lembaga perekonomian global dengan dibentuknya 3 (tiga) pilar perekonomian global, yaitu International Monetary Fund (IMF), International Bank Reconstruction and Development (IBRD atau lebih dikenal dengan Word Bank) dan International Trade Organization (ITO). IMF berperan Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S melalui mekanisme Anggaran Negara, IBRD berperan melalui mekanisme pembiayaan proyek tertentu, dan ITO berperan melalui mekanisme perdagangan. Dalam realisasinya hanya IMF dan IBRD yang sempat berdiri, sedangkan ITO tersendat-sendat dikarenakan tidak munculnya kesepahaman diantara negaranegara yang terlibat didalamnya. Berbagai upaya berupa perundingan terus menerus dilakukan guna melahirkan ITO. Kegagalan memunculkan ITO ini pada akhirnya melahirkan General Agreement on Trade and Tariff (GATT) pada tahun 1947 yang dianggap sebagai kesepakatan sementara untuk memfasilitasi persoalan perdagangan dunia sambil menunggu lahirnya organisasi yang representative. Kedua, negara-negara blok barat mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif signifikan pada tahun 1950 hingga tahun 1973. Pertumbuhan ekonomi berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara blok barat untuk mempercepat pembangunan ekonomi termasuk antara lain adalah membenahi sistem perdagangan dengan mengambil pelajaran dari kehancuran perekonomian dunia pada tahun 1930 (Gilpin, 1987). Pasca Perang Dingin, sebagian negara bagian Uni Soviet satu persatu mulai membuka diri dari ketertutupan dan perlahan-lahan mulai menyesuaikan diri dengan paham liberal kapital yang digagas oleh blok barat. Dengan berakhirnya Perang Dingin, semakin banyak negaranegara di dunia yang bersedia membicarakan sistem perdagangan dunia. Berbagai perundingan terus dilakukan dengan menyertakan banyak negara peserta dengan satu semangat untuk menciptakan tata perdagangan global yang kondusif sehingga dapat menguntungkan semua pihak. Namun demikian proses untuk mewujudkan organisasi perdagangan internasional berdasarkan semangat GATT yang berorientasi paham liberalisme tampaknya tidak dapat dibendung. Sebab, dalam waktu bersamaan secara regional 13 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 telah muncul beberapa kerjasama perdagangan bebas kawasan diantaranya ASEAN Free Trade Area, Asia Pasific Economic Cooperation, European Community. WORLD TRADE ORGANIZATION Kegagalan GATT yang diharapkan dapat menjadi payung kerjasama perdagangan dunia tidak menghentikan semangat liberalisasi ekonomi global. Pada tahun 1994, World Trade Organization (WTO) didirikan sebagai satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan dunia (Mas’oed, 1995). Meski demikian, pembentukan organisasi baru ini tidak menyurutkan tarik-menarik kepentingan antar negara yang terlibat dalam perundingan perdagangan. Menurut Mas’oed (1995), terdapat dua aliran pemikiran yang mempengaruhi secara signifikan perilaku negara-negara dalam sistem perdagangan global yaitu merkantilisme dan liberalisme. Kartadjoemena (1996) menjelaskan beberapa asumsi yang melandasi pemikiran merkantilisme. Pertumbuhan ekonomi dinilai sebagai sesuatu yang statis, kekayaan dunia bersifat terbatas sehingga berbagai ambisi nasional untuk mengembangkan kekayaan diprediksi akan terbentur pada keterbatasan-keterbatasan. Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan ditengah keterbatasan harus dilakukan aktivitas berdasarkan prinsip zero sum game (menang atau kalah). Dominasi State Power dalam pembangunan ekonomi dengan memperkuat dan memantapkan pemerintahan nasional. Keseluruhan kebijakan perekonomian dan perdagangan harus diatur secara tegas oleh negara. Dalam praktiknya, prinsip zero sum game telah diterjemahkan oleh sebagian besar negara-negara merkantilis dengan kepentingan untuk menguasai sebanyak mungkin aspek perdagangan sebelum dikuasai pihak lain. Di dalam negeri, pemerintah dapat memonopoli perdagangan dengan menutup industri- Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S industri tertentu yang hanya diperbolehkan untuk pelaku usaha lokal. Selain itu, pemerintah juga memanfaatkan instrumen kebijakan dalam bentuk regulasi perdagangan dan jasa transportasi untuk mengantisipasi dominasi asing dalam perdagangan nasional. Sebaliknya, paham liberalisme ekonomi berpegang pada prinsip liberalisasi perdagangan yang mengedepankan pembebasan tariff dan hambatan non-tariff. Prinsip mekanisme pasar menempatkan aktivitas perdagangan sebagai suatu proses permintaan dan penawaran. Untuk menjamin keberlangsungan mekanisme ini, maka segala regulasi yang dinilai menghambat proses liberalisasi perdagangan harus dihapuskan untuk meningkatkan mobilitas barang dalam rangka perdagangan antar negara. Secara bersamaan, meningkatnya mobilitas perdagangan barang antar negara juga akan diikuti dengan meningkatnya lalu lintas manusia yang tentunya juga didukung dengan fleksibilitas dalam regulasi keimigrasian (Kartadjoemena, 1996). Berbeda dengan merkantilisme, paham liberalisme berpegang pada prinsip positive sum game atau lebih dikenal dengan prinsip win-win solution. Dengan demikian, aktivitas perdagangan harus diselenggarakan dengan mendatangkan keuntungan bagi para pihak. Adanya perbedaan biaya produksi pada saatnya akan mendorong spesialisasi produksi di masing-masing negara untuk produk atau komoditi yang dinilai secara ekonomi kompetitif dan memiliki keunggulan komparatif (Mas’oed, 1995). Sebelum dibentuknya WTO, proses penataan perdagangan global telah diupayakan melalui pembentukan International Trade Organization (ITO) yang dinilai sebagai satu paket produk organisasi dunia bersama IMF dan IBRD bentukan negara-negara blok barat. Kendati demikian, proses pendirian ITO yang digagas oleh negara-negara Blok Barat ternyata juga terbukti kurang lancar. 14 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 Berdasarkan beberapa konferensi yang diselenggarakan, akan terlihat secara jelas posisi ITO ditengah kontroversi yang pada akhirnya tidak pernah terwujud, atau diwujudkan dalam bentuk lain. Didalam beberapa konferensi tersebut sekaligus akan terlihat posisi GATT yang sebenarnya dimaksudkan hanya sebagai perjanjian multilateral yang bersifat sementara. Konferensi Jenewa 1947 dilakukan untuk merumuskan Piagam ITO yang akan diserahkan pada Konferensi Havana. Pada pertemuan tersebut dibahas pula tentang penurunan tariff perdagangan dalam suatu kesepakatan General Agreement on Trade and Tarif atau GATT. Berdasarkan kenyataan ini menjadi jelas bahwa substansi dari Konferensi Jenewa 1947 adalah merumuskan Regulasi ITO sebagai organisasi perdagangan dunia, dan perundingan GATT sebagai perjanjian multilateral dan bukan sebagai suatu organisasi (Nopirin, 1995). Pada Konferensi Havana 1948, Piagam ITO pada akhirnya berhasil dirumuskan. Namun muncul permasalahan karena Kongres Amerika Serikat menolak ratifikasi Piagam ITO yang diajukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Akibatnya Presiden Amerika Serikat Harry Truman membatalkan usulan ratifikasi Piagam Havana. Kegagalan ITO yang disebabkan oleh pertentangan antara eksekutif dan legislatif Amerika Serikat, telah memunculkan sikap hati-hati dari negaranegara lain akan kesungguhan Amerika Serikat untuk mendirikan ITO. Kegagalan melahirkan ITO pada akhirnya memunculkan sikap komprimistis pada sebagian negara-negara untuk sementara waktu berkonsentrasi pada GATT. Silang perdebatan terjadi diantara negara-negara dikarenakan GATT tidak pernah dipersiapkan sebagai organisasi, tetapi semata-mata dipersiapkan sebagai bagian dari Regulasi ITO. Secara umum, prinsip dan aturan perdagangan multilateral dalam GATT terdiri dari tiga hal pokok yaitu prinsip resiprositas atau timbal balik yaitu Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S perlakuan yang diberikan oleh suatu negara kepada negara lain, harus diimbangi pula dengan perlakuan yang sama dari negara lain ke mitra dagangnya tersebut. Kedua, prinsip non-diskriminasi atau perlakuan yang sama. Prinsip ini dikenal pula dengan sebutan Most Favoured Nation (MFN), yang maknanya adalah apabila kita mengistimewakan suatu negara, maka keistimewaan itu juga harus diberikan ke negara lain. Ketiga, prinsip transparency atau kejelasan dan keterbukaan artinya perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus jelas dan terbuka dengan cara memberikan laporan kepada sekretariat GATT yang ada di Geneva mengenai kebijaksanaan dan perubahan kebijaksanaan tersebut, sehingga semua anggota mengetahui dan negara yang bersangkutan harus melayaninya. Dibentuknya Interim Commision on the ITO (ICITO) dalam Konferensi Havana 1948, yang sebenarnya dipersiapkan sebagai embrio sekretariat ITO, pada akhirnya diarahkan guna menunjang kebutuhan GATT. Dengan demikian sekretariat ITO secara de facto menjadi sekretariat GATT. Beberapa konferensi telah diselenggarakan untuk mencari kesepakatan dan menghilangkan sikap proteksi dari negara-negara dalam perdagangan yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan “non tarif”. Putaran ini berupaya agar dapat ditetapkan besaran tarif dalam lalu lintas perdagangan berdasarkan kesepakatan multilateral. Konferensi Tokyo (1973-1979) dinilai tidak berhasil karena gagal meyakinkan negara-negara berkembang untuk berperan secara aktif. Dilanjutkan dengan Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang diadakan pertama kalinya pada 20 September 1986 di Punta del Este, Uruguay. Target pembahasan dalam Putaran Uruguay antara lain meningkatkan GATT dan memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan GATT serta 15 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 memperluas cakupan produk perdagangan dunia. Konferensi Putaran Uruguay 1986 – 1994 menghasilkan perkembangan yang signifikan terutama tentang kesepahaman negara-negara peserta untuk Word Trade Organization atau WTO sebagai penerus GATT. WTO akan memiliki wewenang yang lebih luas daripada GATT dan merupakan organisasi internasional secara penuh. Kesepakatan negara-negara anggota untuk menurunkan tingkat bea masuk rata-rata 33% dari tingkat semula, terutama dalam bidang manufaktur. Kesepakatan untuk secara bertahap menghilangkan proteksi dalam bentuk non tarif atas mata dagangan pertanian dan tekstil. Kesepakatan untuk membuat regulasi umum dalam bidang perdagangan jasa. Kesepakatan untuk memberikan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual. Kesepakatan untuk melakukan penyempurnaan peraturan GATT yang bersifat teknis, seperti: anti dumping, langkah pengamanan darurat, dampak negatif dari subsidi, dan prosedur penyelesaian sengketa. Sebagai organisasi internasional di bidang perdagangan, WTO mengelola ketentuan dan regulasi internasional di empat bidang yaitu kegiatan perdagangan internasional yang meliputi produk menufaktur tekstil, garmen dan produk pertanian, kegiatan jasa-jasa yang terkait dengan perdagangan (General Agreement on Trade in Services), serta aspek sosial yang terkait dengan perdagangan seperti HAM, Hak Kekayaan Intelektual. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa prinsip pokok yang diharus dipatuhi oleh negaranegara anggota yang meliputi prinsip nondiskriminasi bahwa perdagangan internasional diantara negara anggota harus dilakukan secara nondiskriminatif, prinsip national treatment bahwa perdagangan internasional diantara negara anggota harus diperlakukan secara sama dengan tidak memberlakukan barang impor secara lebih buruk daripada barang produksi dalam negeri. Tarif sebagai Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S instrumen tunggal, perdagangan internasional diantara negara anggota hanya mengenal instrumen tarif sebagai mekanisme proteksi barang hasil dalam negeri. Tariff Binding, perdagangan internasional diantara negara anggota harus berdasarkan komitmen yang mengikat untuk tidak meningkatkan bea masuk terhadap barang impor setelah masuk dalam daftar. Fair competition, perdagangan internasional diantara negara anggota dilakukan secara adil dengan tidak menerapkan harga dumping dan subsidi ekspor. Quantitive restriction, perdagangan internasional diantara negara anggota harus dilakukan tanpa adanya restriksi kuantitatif sebagaimana kuota. Pengecualian dapat diberikan dalam hal negara berkembang menghadapi persoalan dalam neraca pembayaran. Gambaran umum tentang substansi dan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia WTO pada prinsipnya berlandaskan pada paham liberalisme ekonomi untuk menciptakan perdagangan yang terbuka dan menguntungkan semua pihak. Untuk itu, WTO harus menjamin kebebasan terhadap lalu lintas modal tanpa adanya hambatan administratif yang berlebihan, meningkatkan mobilitas dan arus tenaga kerja, baik dalam tataran buruh maupun tenaga ahli tanpa resistensi yang berlebihan, memberikan kebebasan terhadap lalu lintas teknologi tanpa hambatan berlebihan, baik dari perusahaan pemilik teknologi maupun dari pemerintah. GENERAL AGREEMENT ON TRADE IN SERVICES (GATS) & KEIMIGRASIAN INDONESIA Dalam rangka meningkatkan mobilitas tenaga kerja dan tenaga ahli di bidang industri perdagangan, negara-negara anggota WTO telah menyepakati perjanjian umum di bidang perdagangan jasa yang dikenal dengan General Agreement on Trade in Services (GATS). 16 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 Indonesia sebagai salah satu anggota WTO memiliki kewajiban untuk menerapkan secara konsisten prinsip-prinsip WTO dalam peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, terutama berkaitan dengan keberadaan orang asing karena adanya perdagangan ketrampilan dan keahlian. Masalah perdagangan jasa merupakan bidang baru yang selama ini tidak pernah ditangani oleh GATT. Jasa dalam konteks perdagangan internasional ini meliputi setiap jasa di semua sektor kecuali jasa yang dipasok untuk pelaksanaan fungsi pemerintahan. Tidak berbeda jauh dengan prinsipprinsip dalam GATT, konsep dan prinsip dalam masalah perdagangan jasa mencakup prinsip transparansi, liberalisasi yang progresif, national treatment, most favoured nation atau nondiscrimination, market access, safe guards and exception (Saleh, 2005). Dari beberapa prinsip dasar ini, terdapat dua prinsip utama yang selalu harus diperhatikan oleh semua negara anggota yaitu Most Favoured Nation (MFN) dan National Treatment (NT) (Adolf, 2005). MFN merupakan asas yang pada intinya mengharuskan suatu negara anggota WTO untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota WTO, sedangkan NT merupakan asas yang pada intinya melarang pemberian perlakuan istimewa diantara pelaku bisnis hanya karena adanya perbedaan antara asing dan bukan asing. Disamping itu GATS juga mewajibkan semua negara anggota untuk menerapkan asas transparansi atau keterbukaan yaitu setiap negara anggota WTO berkewajiban untuk melaporkan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bila peraturan tersebut berdampak kepada perberlakuan GATS. Soal mobilitas tenaga kerja dan tenaga ahli dalam skala global pada dasarnya sangat erat hubungannya dengan bidang keimigrasian. Konferensi Internasional tentang Emigrasi dan Imigrasi di Roma pada tahun 1924 memberikan suatu pemahaman dasar terkait imigrasi sebagai Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S suatu proses gerak pindah manusia memasuki suatu negeri dengan niat untuk mencari nafkah dan menetap di sana. Berdasarkan pemahaman konferensi Roma tersebut, maka pada hakikatnya keimigrasian memiliki bobot politik dimana suatu negara memiliki kepentingan untuk mengatur arus masuk orang asing ke dalam negerinya. Dalam konteks Indonesia, kegiatan imigrasi meliputi pemberian pelayanan dan penegakan hukum serta pengamanan terhadap lalu lintas keluar masuknya setiap orang dari dan ke dalam wilayah Republik Indonesia, serta pengawasan terhadap keberadaan warga negara asing di wilayah negara Republik Indonesia (Santoso, 2004). Dalam pelaksanaannya, pemahaman keimigrasian tersebut secara konsep dijabarkan dalam bentuk Trifungsi Imigrasi yang secara singkat terdiri dari: a. Pelayanan Masyarakat, sebagai bentuk dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan atau administrasi negara yang mencerminkan aspek pelayanan. b. Penegakan Hukum dan Keamanan, sebagai bentuk dari fungsi penegakan aturan hukum baik terhadap warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan penjaga pintu gerbang negara kesatuan Republik Indonesia, yang merupakan institusi pertama dan terakhir dalam perijinan dan pengawasan. c. Fasilitator Pembangunan Ekonomi, sebagai bentuk dari fungsi peran pemerintah dalam membuka akses warga negaranya untuk berpatisipasi dalam perekonomian global demi peningkatan pembangunan ekonomi. Kendati demikian, perspektif keimigrasian berdasarkan paradigma lama yang lebih menitikberatkan pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan orang asing atau negara asing, didalam perkembangan dunia sekarang ini telah 17 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 berubah sehingga harus dapat berfungsi secara multidimensional. Oleh karena itu keimigrasian pada era kekinian, yakni pada era liberalisasi dan globalisasi dalam segala bidang, memiliki fungsi pada bidang-bidang sebagai berikut: a. Bidang Politik: fungsi keimigrasian ditempatkan pada hubungan internasional, dimana keimigrasian harus mampu memfasilitasi hak seseorang melintasi batas-batas negara sebagai cerminan penghormatan terhadap prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia. b. Bidang Ekonomi: fungsi keimigrasian ditempatkan pada kerangka kebijakan politik perekonomian negara, terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan perekonomian global yang dicirikan dengan peningkatan arus investasi, lapangan kerja, teknologi, yang selalu diikuti oleh arus perpindahan manusia. c. Bidang Sosial Budaya: fungsi keimigrasian ditempatkan pada kerangka untuk berperan serta menjaga kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat agar pengaruh luar tidak merusak struktur sosial budaya masyarakat. d. Bidang Keamanan: fungsi keimigrasian ditempatkan pada kerangka interaksi antara aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang sangat berpotensi memiliki pengaruh kuat pada stabilitas keamanan negara. e. Bidang Kependudukan: fungsi keimigrasian ditempatkan pada konsep ketahanan nasional, dimana struktur dan komposisi penduduk negara memiliki hubungan yang sangat erat dengan kondisi politis, ekonomis, sosial, budaya, dan keamanan nasional. Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global P O L I T I S PENUTUP Bentuk kelembagaan yang memfasilitasi persoalan ekonomi politik dalam perdagangan internasional dalam bentuk WTO yang sekarang ini kita kenal, dapat dikatakan sebagai bentuk ikhtiar terbaik untuk menjembatani berbagai pertentangan konsep, paradigma, maupun praktek-praktek internasional yang telah lama berlangsung terutama dalam bidang perdagangan. Bahwa liberalisasi perdagangan yang berarti membebaskan atau mengurangi bentuk-bentuk proteksi dan diskriminasi dalam praktek perdagangan, didalam norma WTO secara akumulatif dan simultan telah berupaya mengadopsi berbagai perspektif atau paradigma ekonomi-politik yang selama ini selalu bertentangan. Prinsip-prinsip WTO sebagai pengejawantahan liberalisasi perdagangan internasional telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk undang-undang sehingga berlaku mengikat bagi seluruh warga negara Indonesia. Sementara itu, terkait dengan perdagangan di sektor jasa, Indonesia telah mengatur soal mobilitas warga negara asing dalam dalam UndangUndang tentang Keimigrasian. Namun demikian, seyogyanya prinsip dan normanorma dalam regulasi keimigrasian disesuaikan dengan perkembangan ekonomi politik global sekarang ini yang cenderung multidimensional. DAFTAR REFERENSI Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Pendekatan Politik Ekonomi (Political Economy): Jembatan diantara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik, Jakarta: Jurnal Ilmu Politik No. 8, Gramedia Pustaka Utama, 1990 Harry Heriawan Saleh, Persaingan Tenaga Kerja Dalam Era Globalisasi (Antara Perdagangan dan Migrasi), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, Cetakan Pertama 2005 18 Volume 1, Nomor 1, Juli 2017 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasinal, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke-2. 1998 Iman Santoso, M. Perspektif Imigrasi: Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Jakarta: UIPress, 2004 Joan Edelman Spero, The Politics of International Economic Relations, New York: St. Martin’s Press, Third Edition, 1985 Joewono Soedarsono, Teori Pembangunan: Sebuah Himbauan untuk Pendekatan Ekonomi Politik, Jakarta: Prisma No. 1, Januari 1980 Kartadjoemena, HS. GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Jakarta: Universitas Indonesia, Cet. Ke-1, 1996 Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 – 1971, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1989 Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik Internasional, Yogyakarta: PAUStudi Sosial UGM, Cet. ke-1,1990. Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politk Internasional dan Pembangunan, Yogyakarta: Pusataka Pelajar, Cet.Ke-2, 2003 Nopirin, Ekonomi Internasional, Yogyakarta: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Yogyakarta, Cet. ke-1. 1995. Robert Gilpin, The Political Economy of International Relations, New Jersey: Princeton University Press, 1987. Robert A. Isaak, Ekonomi Politik Internasional, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, Cet. Ke-1, 1995 Sunaryati Hartono, CFG. Hukum Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Jakarta: Bina Cipta, 1988. Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global