politis - fisip universitas jakarta

advertisement
Journal
POLITIS
P o l i t ic s & In te r n a t io n a l S tu d ie s
IMIGRASI DAN DINAMIKA PERDAGANGAN GLOBAL
Tri Adi Dharma*
Abstrak
Perdagangan internasional di sektor jasa merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan
pesat seiring dengan liberalisasi dan kebebasan mobilitas perdagangan barang antar negara. Untuk itu,
Organisasi Perdagangan Dunia WTO telah mengaturnya secara khusus dalam kesepakatan umum di sektor
perdagangan jasa, General Agreement on Trade in Services (GATS). Meski Indonesia telah meratifikasi prinsipprinsip WTO dalam undang-undang terkait dengan perdagangan, seringkali terlupakan bahwa permasalahan
mobilitas tenaga kerja asing dan tenaga ahli dari luar negeri di sektor industri juga berkaitan erat dengan regulasi
keimigrasian. Terkait dengan hal tersebut, artikel ini berupaya menjelaskan bagaimana perkembangan dan
dinamika WTO dari sudut pandang ekonomi politik internasional dalam hubungannya dengan keimigrasian di
Indonesia.
Abstract
International trade in services has grown rapidly in line with the economic liberalization and the
considerable free flow of goods among countries. Hence, World Trade Organization (WTO) has stipulated a
special agreement namely General Agreement on Trade in Services (GATS). Despite Indonesia has mostly
ratified general principles of WTO within national law, it has been frequently neglected that issues of foreign
workers and experts in trade and industry should have also been connected with immigration rules. This article
tries to provide brief explanation how the development of WTO in international political economic perspective
and its correlation with immigration in Indonesia.
Keywords: WTO; trade in services; Indonesian immigration; liberalisasi sektor jasa; regulasi imigrasi.
PENDAHULUAN
Kegiatan politik, ekonomi dan hukum
seringkali berkaitan antara satu dengan
yang lainnya, dalam kenyataannya masingmasing dapat saling mempengaruhi dan
dipengaruhi. Setiap aktivitas politik
dipastikan memiliki dimensi ekonomi, dan
demikian pula sebaliknya setiap aktivitas
ekonomi memiliki dimensi politik
(Kuntjoro-Jakti, 1990: 4-5). Ekonomi dan
politik memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi, di satu sisi, kegiatan
politik secara umum menentukan kerangka
kegiatan ekonomi dan menyalurkannya
kearah
tertentu
demi
memenuhi
kepentingan kelompok yang dominan, di
sisi lain, proses ekonomi cenderung
meredistribusikan kekuasaan dan kekayaan
(Mas’oed, 1989). Kolaborasi erat dan
sukar dipisahkan antara keduanya akan
semakin tampak apabila menyangkut
kepentingan organisasi negara, yang
persoalannya multidimensional dan proses
pengambilan
keputusannya
melalui
pendekatan multidisipliner (Soedarsono,
1980: 86-91; Stretton & Orchard, 1994:
21-22).
Hal demikian juga dapat terjadi dalam
hubungan antara kegiatan ekonomi dan
instrumen hukum. Sebagai contoh,
Hartono (1988) mengatakan pada masa
Revolusi Industri Inggris para pelaku
industri mengeluhkan hambatan industri
dan perdagangan dalam bentuk peraturanperaturan yang dibuat oleh penguasa.
Bahkan, jalur hukum dipandang sebagai
cara menyelesaikan masalah ketika terjadi
*Dean, School of Social and Political Science, University of Jakarta; Dekan FISIP Universitas Jakarta (FISIPUNIJA). The author’s email: [email protected]
P O L I T I S
perselisihan atau sengketa dalam suatu
kegiatan perekonomian (Ali, 2002). Tidak
hanya antara ekonomi dan hukum,
keterkaitan yang relatif erat juga terlihat
antara variabel politik dan variabel hukum.
Secara formal dapat dikatakan bahwa
keseluruhan produk hukum adalah norma
atau ukuran tertentu yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban, kendati demikian
secara material sebenarnya produk hukum
ini merupakan suatu kehendak manusia
berdasarkan suatu kebijakan politik
tertentu
(Kusumohamidjojo,
1985).
Demikian pula sebaliknya, bahwa
keseluruhan
prosedur
politik
atau
kebijakan publik haruslah dilandasi oleh
norma-norma hukum (Ali, 2002).
Dalam
praktiknya,
keseluruhan
gambaran tersebut dapat kita temui seharihari
dalam
aktivitas
perdagangan
internasional yang terikat dengan sejumlah
regulasi dan aturan regional maupun
global. Aturan dan regulasi ini pada
dasarnya dapat dikatakan sebagai bentuk
kompromi dari gesekan kepentingan antar
negara-negara yang terlibat dalam
negosiasi dan perundingan perdagangan
(Ruggie, 1993). Kendati demikian, dalam
perkembangan
studi
hubungan
internasional di Indonesia, isu-isu terkait
dengan
perdagangan
internasional
(international trade) masih relatif kurang
populer dibandingkan dengan isu-isu
keamanan internasional (international
security). Untuk itu, tulisan ini diharapkan
dapat menambah khazanah pengetahuan
terkait dengan interaksi faktor-faktor
politik, ekonomi dan hukum dalam sektor
perdagangan internasional.
DINAMIKA
PERDAGANGAN
INTERNASIONAL
Aktivitas perdagangan internasional
merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dengan dinamika dan sejarah
politik global. Sebelum Perang Dunia I,
perdagangan global diwarnai oleh paham
liberalisme yang berkembang sebagai
reaksi
penolakan
terhadap
paham
12
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
merkantilisme. Regulasi perdagangan pada
masa ini telah menciptakan kondisi antara
lain, kebebasan atas lalu lintas alat
pembayaran, kebebasan atas lalu lintas
modal, kebebasan atas lalu lintas
keimigrasian,
dan
berkembangnya
berbagai sektor penunjang perdagangan
bebas seperti jasa perbankan, asuransi,
pelayaran, dan bursa komoditas. Periode
ini dikenal sebagai periode emas
perdagangan bebas hingga meletusnya
Perang Dunia I pada tahun 1914 yang
secara signifikan menggeser pandangan
liberalisme (Isaak, 1995).
Pasca Perang Dunia I sampai
terjadinya Perang Dunia II pada tahun
1941, regulasi dan tatanan perdagangan
global cenderung kembali pada paham
merkantilisme, termasuk salah satu
penyebabnya adalah depresi ekonomi
dunia pada tahun 1930. Periode ini dapat
disebut sebagai periode disintegrasi sistem
perdagangan bebas, karena terdapat
kecenderungan proteksionisme dalam
kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh
masing-masing
negara.
Regulasi
perdagangan berubah menjadi lebih
protektif, pembatasan dalam lalu lintas
devisa dan lalu lintas modal, serta
hambatan-hambatan keimigrasian (Isaak,
1995).
Setelah Perang Dunia II, kegiatan
perdagangan
internasional
diwarnai
dengan pertentangan antara dua kutub
(bipolar) yaitu blok barat dengan paham
liberal kapital yang dimotori oleh Amerika
Serikat dan blok timur dengan paham
sosialis komunis yang dimotori oleh Uni
Soviet (Spero, 1985; Mas’oed 1990).
Terdapat dua catatan penting selama
periode yang dikenal secara luas sebagai
Perang Dingin ini. Pertama berkaitan
dengan upaya penataan lembaga-lembaga
perekonomian global dengan dibentuknya
3 (tiga) pilar perekonomian global, yaitu
International Monetary Fund (IMF),
International Bank Reconstruction and
Development (IBRD atau lebih dikenal
dengan Word Bank) dan International
Trade Organization (ITO). IMF berperan
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
melalui mekanisme Anggaran Negara,
IBRD berperan melalui mekanisme
pembiayaan proyek tertentu, dan ITO
berperan melalui mekanisme perdagangan.
Dalam realisasinya hanya IMF dan IBRD
yang sempat berdiri, sedangkan ITO
tersendat-sendat
dikarenakan
tidak
munculnya kesepahaman diantara negaranegara yang terlibat didalamnya. Berbagai
upaya berupa perundingan terus menerus
dilakukan
guna
melahirkan
ITO.
Kegagalan memunculkan ITO ini pada
akhirnya melahirkan General Agreement
on Trade and Tariff (GATT) pada tahun
1947 yang dianggap sebagai kesepakatan
sementara untuk memfasilitasi persoalan
perdagangan dunia sambil menunggu
lahirnya organisasi yang representative.
Kedua,
negara-negara
blok
barat
mengalami pertumbuhan ekonomi yang
relatif signifikan pada tahun 1950 hingga
tahun 1973. Pertumbuhan ekonomi
berhasil dimanfaatkan oleh negara-negara
blok
barat
untuk
mempercepat
pembangunan ekonomi termasuk antara
lain
adalah
membenahi
sistem
perdagangan dengan mengambil pelajaran
dari kehancuran perekonomian dunia pada
tahun 1930 (Gilpin, 1987).
Pasca Perang Dingin, sebagian negara
bagian Uni Soviet satu persatu mulai
membuka diri dari ketertutupan dan
perlahan-lahan mulai menyesuaikan diri
dengan paham liberal kapital yang digagas
oleh blok barat. Dengan berakhirnya
Perang Dingin, semakin banyak negaranegara
di
dunia
yang
bersedia
membicarakan sistem perdagangan dunia.
Berbagai perundingan terus dilakukan
dengan menyertakan banyak negara
peserta dengan satu semangat untuk
menciptakan tata perdagangan global yang
kondusif sehingga dapat menguntungkan
semua pihak.
Namun demikian proses untuk
mewujudkan organisasi perdagangan
internasional berdasarkan semangat GATT
yang berorientasi paham liberalisme
tampaknya tidak dapat dibendung. Sebab,
dalam waktu bersamaan secara regional
13
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
telah
muncul
beberapa
kerjasama
perdagangan bebas kawasan diantaranya
ASEAN Free Trade Area, Asia Pasific
Economic
Cooperation,
European
Community.
WORLD TRADE ORGANIZATION
Kegagalan GATT yang diharapkan
dapat
menjadi
payung
kerjasama
perdagangan dunia tidak menghentikan
semangat liberalisasi ekonomi global. Pada
tahun 1994, World Trade Organization
(WTO) didirikan sebagai satu-satunya
organisasi internasional yang mengatur
perdagangan dunia (Mas’oed, 1995).
Meski demikian, pembentukan organisasi
baru ini tidak menyurutkan tarik-menarik
kepentingan antar negara yang terlibat
dalam perundingan perdagangan. Menurut
Mas’oed (1995), terdapat dua aliran
pemikiran yang mempengaruhi secara
signifikan perilaku negara-negara dalam
sistem
perdagangan
global
yaitu
merkantilisme dan liberalisme.
Kartadjoemena (1996) menjelaskan
beberapa
asumsi
yang
melandasi
pemikiran merkantilisme. Pertumbuhan
ekonomi dinilai sebagai sesuatu yang
statis, kekayaan dunia bersifat terbatas
sehingga berbagai ambisi nasional untuk
mengembangkan kekayaan diprediksi akan
terbentur pada keterbatasan-keterbatasan.
Oleh karenanya, untuk
memenuhi
kebutuhan ditengah keterbatasan harus
dilakukan aktivitas berdasarkan prinsip
zero sum game (menang atau kalah).
Dominasi
State
Power
dalam
pembangunan
ekonomi
dengan
memperkuat
dan
memantapkan
pemerintahan
nasional.
Keseluruhan
kebijakan perekonomian dan perdagangan
harus diatur secara tegas oleh negara.
Dalam praktiknya, prinsip zero sum
game telah diterjemahkan oleh sebagian
besar negara-negara merkantilis dengan
kepentingan untuk menguasai sebanyak
mungkin aspek perdagangan sebelum
dikuasai pihak lain. Di dalam negeri,
pemerintah
dapat
memonopoli
perdagangan dengan menutup industri-
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
industri tertentu yang hanya diperbolehkan
untuk pelaku usaha lokal. Selain itu,
pemerintah juga memanfaatkan instrumen
kebijakan
dalam
bentuk
regulasi
perdagangan dan jasa transportasi untuk
mengantisipasi dominasi asing dalam
perdagangan nasional.
Sebaliknya,
paham
liberalisme
ekonomi
berpegang
pada
prinsip
liberalisasi
perdagangan
yang
mengedepankan pembebasan tariff dan
hambatan non-tariff. Prinsip mekanisme
pasar menempatkan aktivitas perdagangan
sebagai suatu proses permintaan dan
penawaran.
Untuk
menjamin
keberlangsungan mekanisme ini, maka
segala regulasi yang dinilai menghambat
proses liberalisasi perdagangan harus
dihapuskan untuk meningkatkan mobilitas
barang dalam rangka perdagangan antar
negara. Secara bersamaan, meningkatnya
mobilitas perdagangan barang antar negara
juga akan diikuti dengan meningkatnya
lalu lintas manusia yang tentunya juga
didukung dengan fleksibilitas dalam
regulasi keimigrasian (Kartadjoemena,
1996).
Berbeda dengan merkantilisme, paham
liberalisme berpegang pada prinsip
positive sum game atau lebih dikenal
dengan prinsip win-win solution. Dengan
demikian, aktivitas perdagangan harus
diselenggarakan dengan mendatangkan
keuntungan bagi para pihak. Adanya
perbedaan biaya produksi pada saatnya
akan mendorong spesialisasi produksi di
masing-masing negara untuk produk atau
komoditi yang dinilai secara ekonomi
kompetitif dan memiliki keunggulan
komparatif (Mas’oed, 1995).
Sebelum dibentuknya WTO, proses
penataan perdagangan global telah
diupayakan
melalui
pembentukan
International Trade Organization (ITO)
yang dinilai sebagai satu paket produk
organisasi dunia bersama IMF dan IBRD
bentukan negara-negara blok barat.
Kendati demikian, proses pendirian ITO
yang digagas oleh negara-negara Blok
Barat ternyata juga terbukti kurang lancar.
14
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
Berdasarkan beberapa konferensi yang
diselenggarakan, akan terlihat secara jelas
posisi ITO ditengah kontroversi yang pada
akhirnya tidak pernah terwujud, atau
diwujudkan dalam bentuk lain. Didalam
beberapa konferensi tersebut sekaligus
akan terlihat posisi GATT yang
sebenarnya dimaksudkan hanya sebagai
perjanjian multilateral yang bersifat
sementara. Konferensi Jenewa 1947
dilakukan untuk merumuskan Piagam ITO
yang akan diserahkan pada Konferensi
Havana. Pada pertemuan tersebut dibahas
pula tentang penurunan tariff perdagangan
dalam
suatu
kesepakatan
General
Agreement on Trade and Tarif atau GATT.
Berdasarkan kenyataan ini menjadi jelas
bahwa substansi dari Konferensi Jenewa
1947 adalah merumuskan Regulasi ITO
sebagai organisasi perdagangan dunia, dan
perundingan GATT sebagai perjanjian
multilateral dan bukan sebagai suatu
organisasi (Nopirin, 1995).
Pada Konferensi Havana 1948, Piagam
ITO pada akhirnya berhasil dirumuskan.
Namun muncul permasalahan karena
Kongres Amerika Serikat menolak
ratifikasi Piagam ITO yang diajukan oleh
pemerintah Amerika Serikat. Akibatnya
Presiden Amerika Serikat Harry Truman
membatalkan usulan ratifikasi Piagam
Havana. Kegagalan ITO yang disebabkan
oleh pertentangan antara eksekutif dan
legislatif
Amerika
Serikat,
telah
memunculkan sikap hati-hati dari negaranegara lain akan kesungguhan Amerika
Serikat untuk mendirikan ITO. Kegagalan
melahirkan
ITO
pada
akhirnya
memunculkan sikap komprimistis pada
sebagian negara-negara untuk sementara
waktu berkonsentrasi pada GATT. Silang
perdebatan terjadi diantara negara-negara
dikarenakan
GATT
tidak
pernah
dipersiapkan sebagai organisasi, tetapi
semata-mata dipersiapkan sebagai bagian
dari Regulasi ITO.
Secara umum, prinsip dan aturan
perdagangan multilateral dalam GATT
terdiri dari tiga hal pokok yaitu prinsip
resiprositas atau timbal balik yaitu
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
perlakuan yang diberikan oleh suatu
negara kepada negara lain, harus
diimbangi pula dengan perlakuan yang
sama dari negara lain ke mitra dagangnya
tersebut. Kedua, prinsip non-diskriminasi
atau perlakuan yang sama. Prinsip ini
dikenal pula dengan sebutan Most
Favoured Nation (MFN), yang maknanya
adalah apabila kita mengistimewakan
suatu negara, maka keistimewaan itu juga
harus diberikan ke negara lain. Ketiga,
prinsip transparency atau kejelasan dan
keterbukaan artinya perlakuan dan
kebijakan yang dilakukan suatu negara
harus jelas dan terbuka dengan cara
memberikan laporan kepada sekretariat
GATT yang ada di Geneva mengenai
kebijaksanaan
dan
perubahan
kebijaksanaan tersebut, sehingga semua
anggota mengetahui dan negara yang
bersangkutan harus melayaninya.
Dibentuknya Interim Commision on
the ITO (ICITO) dalam Konferensi
Havana
1948,
yang
sebenarnya
dipersiapkan sebagai embrio sekretariat
ITO, pada akhirnya diarahkan guna
menunjang kebutuhan GATT. Dengan
demikian sekretariat ITO secara de facto
menjadi sekretariat GATT. Beberapa
konferensi telah diselenggarakan untuk
mencari kesepakatan dan menghilangkan
sikap proteksi dari negara-negara dalam
perdagangan yang diwujudkan dalam
bentuk kebijakan “non tarif”. Putaran ini
berupaya agar dapat ditetapkan besaran
tarif dalam lalu lintas perdagangan
berdasarkan kesepakatan multilateral.
Konferensi Tokyo (1973-1979) dinilai
tidak berhasil karena gagal meyakinkan
negara-negara berkembang untuk berperan
secara aktif. Dilanjutkan dengan Putaran
Uruguay (Uruguay Round) yang diadakan
pertama kalinya pada 20 September 1986
di Punta del Este, Uruguay. Target
pembahasan dalam Putaran Uruguay
antara lain meningkatkan GATT dan
memperbaiki
sistem
perdagangan
multilateral berdasarkan prinsip-prinsip
dan ketentuan-ketentuan GATT serta
15
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
memperluas cakupan produk perdagangan
dunia.
Konferensi Putaran Uruguay 1986 –
1994 menghasilkan perkembangan yang
signifikan terutama tentang kesepahaman
negara-negara peserta untuk Word Trade
Organization atau WTO sebagai penerus
GATT. WTO akan memiliki wewenang
yang lebih luas daripada GATT dan
merupakan organisasi internasional secara
penuh.
Kesepakatan
negara-negara
anggota untuk menurunkan tingkat bea
masuk rata-rata 33% dari tingkat semula,
terutama dalam bidang manufaktur.
Kesepakatan untuk secara bertahap
menghilangkan proteksi dalam bentuk non
tarif atas mata dagangan pertanian dan
tekstil. Kesepakatan untuk membuat
regulasi umum dalam bidang perdagangan
jasa. Kesepakatan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak atas kekayaan
intelektual. Kesepakatan untuk melakukan
penyempurnaan peraturan GATT yang
bersifat teknis, seperti: anti dumping,
langkah pengamanan darurat, dampak
negatif dari subsidi, dan prosedur
penyelesaian sengketa.
Sebagai organisasi internasional di
bidang perdagangan, WTO mengelola
ketentuan dan regulasi internasional di
empat bidang yaitu kegiatan perdagangan
internasional yang meliputi produk
menufaktur tekstil, garmen dan produk
pertanian, kegiatan jasa-jasa yang terkait
dengan perdagangan (General Agreement
on Trade in Services), serta aspek sosial
yang terkait dengan perdagangan seperti
HAM, Hak Kekayaan Intelektual. Dalam
pelaksanaannya, terdapat beberapa prinsip
pokok yang diharus dipatuhi oleh negaranegara anggota yang meliputi prinsip nondiskriminasi
bahwa
perdagangan
internasional diantara negara anggota
harus dilakukan secara nondiskriminatif,
prinsip
national
treatment
bahwa
perdagangan internasional diantara negara
anggota harus diperlakukan secara sama
dengan tidak memberlakukan barang
impor secara lebih buruk daripada barang
produksi dalam negeri. Tarif sebagai
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
instrumen
tunggal,
perdagangan
internasional diantara negara anggota
hanya mengenal instrumen tarif sebagai
mekanisme proteksi barang hasil dalam
negeri.
Tariff
Binding,
perdagangan
internasional diantara negara anggota
harus berdasarkan komitmen yang
mengikat untuk tidak meningkatkan bea
masuk terhadap barang impor setelah
masuk dalam daftar. Fair competition,
perdagangan internasional diantara negara
anggota dilakukan secara adil dengan tidak
menerapkan harga dumping dan subsidi
ekspor.
Quantitive
restriction,
perdagangan internasional diantara negara
anggota harus dilakukan tanpa adanya
restriksi kuantitatif sebagaimana kuota.
Pengecualian dapat diberikan dalam hal
negara berkembang menghadapi persoalan
dalam neraca pembayaran.
Gambaran umum tentang substansi dan
prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh
Organisasi Perdagangan Dunia WTO pada
prinsipnya berlandaskan pada paham
liberalisme ekonomi untuk menciptakan
perdagangan
yang
terbuka
dan
menguntungkan semua pihak. Untuk itu,
WTO harus menjamin kebebasan terhadap
lalu lintas modal tanpa adanya hambatan
administratif
yang
berlebihan,
meningkatkan mobilitas dan arus tenaga
kerja, baik dalam tataran buruh maupun
tenaga ahli tanpa resistensi yang
berlebihan,
memberikan
kebebasan
terhadap lalu lintas teknologi tanpa
hambatan berlebihan, baik dari perusahaan
pemilik
teknologi
maupun
dari
pemerintah.
GENERAL AGREEMENT ON TRADE
IN
SERVICES
(GATS)
&
KEIMIGRASIAN INDONESIA
Dalam rangka meningkatkan mobilitas
tenaga kerja dan tenaga ahli di bidang
industri
perdagangan,
negara-negara
anggota
WTO
telah
menyepakati
perjanjian umum di bidang perdagangan
jasa yang dikenal dengan General
Agreement on Trade in Services (GATS).
16
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO
memiliki kewajiban untuk menerapkan
secara konsisten prinsip-prinsip WTO
dalam peraturan perundang-undangan
nasional Indonesia, terutama berkaitan
dengan keberadaan orang asing karena
adanya perdagangan ketrampilan dan
keahlian. Masalah perdagangan jasa
merupakan bidang baru yang selama ini
tidak pernah ditangani oleh GATT. Jasa
dalam konteks perdagangan internasional
ini meliputi setiap jasa di semua sektor
kecuali jasa yang dipasok untuk
pelaksanaan fungsi pemerintahan.
Tidak berbeda jauh dengan prinsipprinsip dalam GATT, konsep dan prinsip
dalam
masalah
perdagangan
jasa
mencakup prinsip transparansi, liberalisasi
yang progresif, national treatment, most
favoured nation atau nondiscrimination,
market access, safe guards and exception
(Saleh, 2005). Dari beberapa prinsip dasar
ini, terdapat dua prinsip utama yang selalu
harus diperhatikan oleh semua negara
anggota yaitu Most Favoured Nation
(MFN) dan National Treatment (NT)
(Adolf, 2005). MFN merupakan asas yang
pada intinya mengharuskan suatu negara
anggota
WTO
untuk
memberikan
perlakuan yang sama terhadap seluruh
anggota WTO, sedangkan NT merupakan
asas yang pada intinya melarang
pemberian perlakuan istimewa diantara
pelaku bisnis hanya karena adanya
perbedaan antara asing dan bukan asing.
Disamping itu GATS juga mewajibkan
semua negara anggota untuk menerapkan
asas transparansi atau keterbukaan yaitu
setiap negara anggota WTO berkewajiban
untuk melaporkan peraturan-peraturan dari
pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, bila peraturan tersebut berdampak
kepada perberlakuan GATS.
Soal mobilitas tenaga kerja dan tenaga
ahli dalam skala global pada dasarnya
sangat erat hubungannya dengan bidang
keimigrasian. Konferensi Internasional
tentang Emigrasi dan Imigrasi di Roma
pada tahun 1924 memberikan suatu
pemahaman dasar terkait imigrasi sebagai
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
suatu proses gerak pindah manusia
memasuki suatu negeri dengan niat untuk
mencari nafkah dan menetap di sana.
Berdasarkan pemahaman konferensi Roma
tersebut,
maka
pada
hakikatnya
keimigrasian memiliki bobot politik
dimana suatu negara memiliki kepentingan
untuk mengatur arus masuk orang asing ke
dalam
negerinya.
Dalam
konteks
Indonesia, kegiatan imigrasi meliputi
pemberian pelayanan dan penegakan
hukum serta pengamanan terhadap lalu
lintas keluar masuknya setiap orang dari
dan ke dalam wilayah Republik Indonesia,
serta pengawasan terhadap keberadaan
warga negara asing di wilayah negara
Republik Indonesia (Santoso, 2004).
Dalam pelaksanaannya, pemahaman
keimigrasian tersebut secara konsep
dijabarkan dalam bentuk Trifungsi
Imigrasi yang secara singkat terdiri dari:
a. Pelayanan Masyarakat, sebagai bentuk
dari
fungsi
penyelenggaraan
pemerintahan atau administrasi negara
yang mencerminkan aspek pelayanan.
b. Penegakan Hukum dan Keamanan,
sebagai bentuk dari fungsi penegakan
aturan hukum baik terhadap warga
negara Indonesia maupun warga
negara asing dan penjaga pintu
gerbang negara kesatuan Republik
Indonesia, yang merupakan institusi
pertama dan terakhir dalam perijinan
dan pengawasan.
c. Fasilitator Pembangunan Ekonomi,
sebagai bentuk dari fungsi peran
pemerintah dalam membuka akses
warga negaranya untuk berpatisipasi
dalam perekonomian global demi
peningkatan pembangunan ekonomi.
Kendati
demikian,
perspektif
keimigrasian berdasarkan paradigma lama
yang
lebih
menitikberatkan
pada
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
orang asing atau negara asing, didalam
perkembangan dunia sekarang ini telah
17
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
berubah sehingga harus dapat berfungsi
secara multidimensional. Oleh karena itu
keimigrasian pada era kekinian, yakni
pada era liberalisasi dan globalisasi dalam
segala bidang, memiliki fungsi pada
bidang-bidang sebagai berikut:
a. Bidang Politik: fungsi keimigrasian
ditempatkan
pada
hubungan
internasional, dimana keimigrasian
harus mampu memfasilitasi hak
seseorang melintasi batas-batas negara
sebagai
cerminan
penghormatan
terhadap prinsip-prinsip universal Hak
Asasi Manusia.
b. Bidang Ekonomi: fungsi keimigrasian
ditempatkan pada kerangka kebijakan
politik perekonomian negara, terutama
yang berkaitan dengan pertumbuhan
dan perkembangan perekonomian
global
yang
dicirikan
dengan
peningkatan arus investasi, lapangan
kerja, teknologi, yang selalu diikuti
oleh arus perpindahan manusia.
c. Bidang
Sosial
Budaya:
fungsi
keimigrasian
ditempatkan
pada
kerangka untuk berperan serta menjaga
kondisi sosial dan budaya dalam
masyarakat agar pengaruh luar tidak
merusak struktur sosial budaya
masyarakat.
d. Bidang
Keamanan:
fungsi
keimigrasian
ditempatkan
pada
kerangka interaksi antara aspek politik,
ekonomi,
sosial
dan
budaya
masyarakat yang sangat berpotensi
memiliki pengaruh kuat pada stabilitas
keamanan negara.
e. Bidang
Kependudukan:
fungsi
keimigrasian ditempatkan pada konsep
ketahanan nasional, dimana struktur
dan komposisi penduduk negara
memiliki hubungan yang sangat erat
dengan kondisi politis, ekonomis,
sosial, budaya, dan keamanan nasional.
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
P O L I T I S
PENUTUP
Bentuk
kelembagaan
yang
memfasilitasi persoalan ekonomi politik
dalam perdagangan internasional dalam
bentuk WTO yang sekarang ini kita kenal,
dapat dikatakan sebagai bentuk ikhtiar
terbaik untuk menjembatani berbagai
pertentangan konsep, paradigma, maupun
praktek-praktek internasional yang telah
lama berlangsung terutama dalam bidang
perdagangan.
Bahwa
liberalisasi
perdagangan yang berarti membebaskan
atau mengurangi bentuk-bentuk proteksi
dan
diskriminasi
dalam
praktek
perdagangan, didalam norma WTO secara
akumulatif dan simultan telah berupaya
mengadopsi berbagai perspektif atau
paradigma ekonomi-politik yang selama
ini selalu bertentangan.
Prinsip-prinsip
WTO
sebagai
pengejawantahan liberalisasi perdagangan
internasional telah diratifikasi oleh
Indonesia dalam bentuk undang-undang
sehingga berlaku mengikat bagi seluruh
warga negara Indonesia. Sementara itu,
terkait dengan perdagangan di sektor jasa,
Indonesia telah mengatur soal mobilitas
warga negara asing dalam dalam UndangUndang tentang Keimigrasian. Namun
demikian, seyogyanya prinsip dan normanorma dalam regulasi keimigrasian
disesuaikan
dengan
perkembangan
ekonomi politik global sekarang ini yang
cenderung multidimensional.
DAFTAR REFERENSI
Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Pendekatan
Politik
Ekonomi
(Political
Economy): Jembatan diantara Ilmu
Ekonomi dan Ilmu Politik, Jakarta:
Jurnal Ilmu Politik No. 8,
Gramedia Pustaka Utama, 1990
Harry Heriawan Saleh, Persaingan Tenaga
Kerja Dalam Era Globalisasi
(Antara Perdagangan dan Migrasi),
Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
Cetakan Pertama 2005
18
Volume 1, Nomor 1, Juli 2017
Huala
Adolf,
Hukum
Ekonomi
Internasinal, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. Ke-2. 1998
Iman Santoso, M. Perspektif Imigrasi:
Dalam Pembangunan Ekonomi dan
Ketahanan Nasional, Jakarta: UIPress, 2004
Joan Edelman Spero, The Politics of
International Economic Relations,
New York: St. Martin’s Press,
Third Edition, 1985
Joewono
Soedarsono,
Teori
Pembangunan: Sebuah Himbauan
untuk Pendekatan Ekonomi Politik,
Jakarta: Prisma No. 1, Januari 1980
Kartadjoemena, HS. GATT dan WTO:
Sistem, Forum dan Lembaga
Internasional
di
Bidang
Perdagangan, Jakarta: Universitas
Indonesia, Cet. Ke-1, 1996
Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur
Politik Orde Baru 1966 – 1971,
Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-1, 1989
Mohtar Mas’oed, Ekonomi Politik
Internasional, Yogyakarta: PAUStudi Sosial UGM, Cet. ke-1,1990.
Mohtar
Mas’oed,
Ekonomi
Politk
Internasional dan Pembangunan,
Yogyakarta: Pusataka Pelajar,
Cet.Ke-2, 2003
Nopirin,
Ekonomi
Internasional,
Yogyakarta:
Badan
Penerbit
Fakultas Ekonomi, Yogyakarta,
Cet. ke-1. 1995.
Robert Gilpin, The Political Economy of
International
Relations,
New
Jersey: Princeton University Press,
1987.
Robert A. Isaak, Ekonomi Politik
Internasional, Yogyakarta: PT
Tiara Wacana Yogya, Cet. Ke-1,
1995
Sunaryati Hartono, CFG. Hukum Ekonomi
dan Pembangunan Indonesia,
Jakarta: Bina Cipta, 1988.
Tri Adi Dharma, Imigrasi dan Dinamika Perdagangan Global
Download