Gambaran Kebahagiaan pada Imam Biarawan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebahagiaan adalah perkara yang selalu dicari oleh
setiap orang. Sebuah cita-cita yang selalu berusaha diraih
oleh setiap manusia. Tidak ada seorang pun yang ingin hidup
sengsara. Akan tetapi persepsi manusia tentang kebahagiaan
ini berbeda-beda, sehingga berbeda pula cara untuk
mewujudkan kebahagiaan tersebut. Kebahagiaan seringkali
dianggap sebagai suatu emosi atau perasaan, khususnya
perasaan gembira. Kegembiraan atau kenikmatan seringkali
dihubungkan dengan kebahagiaan, misalnya “Saya senang
bertemu denganmu”, “Saya gembira berada di rumah lagi”
juga “Saya bahagia dengan pekerjaan saya saat ini”. Hampir
semua bentuk kenikmatan sepertinya dapat membuat
seseorang bahagia (Franklin, 2010). Kenikmatan seperti yang
dicontohkan tersebut disebut kenikmatan ragawi.
Jenis kenikmatan ragawi ini diantaranya terpenuhinya
kebutuhan pangan, memiliki harta dan tempat berteduh
(rumah), dapat menikmati minuman beralkohol, dan seks.
Franklin mengungkapkan bahwa kenikmatan ragawi adalah
sesuatu
yang
menyenangkan
dan
beberapa
orang
beranggapan hal tersebut adalah kunci menuju kebahagiaan.
Hal ini dipertegas oleh Epikuros (dalam Mardani, 2010),
1
2
seorang
filsuf
Yunani
yang
mengungkapkan
bahwa
kebahagiaan hidup manusia adalah kenikmatan. Kenikmatan
adalah satu-satunya hal yang baik, serta menjadi awal dan
tujuan hidup yang bahagia.
Kenikmatan ragawi yang lebih sering dicari oleh
kebanyakan orang adalah uang. Uang diyakini dapat
membawa kebahagiaan dan pandangan ini tidak hanya
berlaku bagi beberapa individu saja akan tetapi beberapa dari
institusi sosial penting yang ada di lingkungan juga ikut serta
dalam upaya menghimpun kekayaan. Hal ini tentu saja
menjadi sedikit menimbulkan kontroversi dimana jika dilihat
lebih dalam, dasar rancangan kerja sebuah institusi sosial
yang mana seharusnya lebih kepada berjalan untuk sesuatu
tanpa menitikberatkan pada seberapa besar keuntungan yang
akan didapat atau bisa dikatakan layaknya sebuah pemberian.
Apa yang terjadi saat ini cenderung bertolak belakang karena
institusi-institusi sosial seperti pengadilan, kesehatan, politik
dan pendidikan, lebih mengedepankansisi “mendapatkan”,
atau bisa dikatakan dengan money oriented, sebagai suatu
pencapaian yang utama daripada “memberi” itu sendiri
(Franklin, 2010). Hal ini diperkuat dalam penelitian yang
dilakukan
oleh
Frank
(dalam
Myers,
2004)
yang
mengungkapkan bahwa orang berusaha untuk memperoleh
lebih banyak uang yang akan digunakannya untuk membeli
barang-barang mewah sehingga membuatnya menjadi lebih
bahagia.
Wilson
(dalam
Seligman,
2005)
juga
3
mengungkapkan hal yang sama dalam risetnya mengenai
kebahagiaan dan menghasilkan suatu temuan bahwa salah
satu orang-orang yang dikategorikan bahagia adalah orang
yang berpenghasilan besar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa uang adalah unsur
yang penting dalam kesejahteraan manusia, dan juga untuk
kelangsungan hidup berbagai macam institusi yang ada.
Uang sangat penting dalam penyediaan barang-barang yang
esensial seperti makanan, pakaian dan sebagainya. Uang juga
memberikan rasa aman, status dan kemampuan untuk
membeli barang-barang yang disukai. Bagi institusi, uang
digunakan untuk membayar gaji karyawan, membeli
peralatan dan perlengkapan kerja dan memungkinkan para
pekerjanya
mengerjakan
pekerjaannya
dengan
baik
(Franklin, 2010). Pada banyak negara, khususnya negara
miskin, individu yang memiliki banyak uang biasanya lebih
bahagia daripada mereka yang berjuang untuk mencukupi
kebutuhan dasar hidupnya (Diener & Biswas-Diener, 2009;
Howell & Howell, 2008; Lucas & Schimmack, 2009).
Individu yang tinggal di negara kaya juga memiliki
kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan individu yang
tinggal di negara miskin (Diener et al., 2009; Inglehart,
2008).
Selain
hubungannya
uang,
dengan
pernikahan
kebahagiaan
juga
sangat
(Seligman,
erat
2005).
4
Terdapat
dua
penjelasan
mengenai
hubungan
antara
kebahagiaan dengan pernikahan. Penjelasan yang pertama
yaitu orang yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan
daripada yang tidak bahagia. Sedangkan yang kedua adalah
pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat
membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis
dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan
peran sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas
dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Menurut Myers
(dalam Carr, 2004), individu yang menikah lebih bahagia
daripada individu yang tidak menikah, mereka yang bercerai,
berpisah atau tidak pernah menikah. Hal ini diperkuat dengan
penelitian dari Pusat Riset Opini Nasional Amerika Serikat
menyurvei 35.000 warga Amerika selama 30 terakhir ; 40 %
dari orang yang menikah mengatakan mereka “sangat
bahagia”, sedangkan hanya 24 % dari orang yang tidak
menikah, bercerai, berpisah dan ditinggal mati pasangannya
yang mengatakan hal ini (Seligman, 2005).
Relasi
antar
individu
yang
memengaruhi
kebahagiaan, menurut Carr (2004), tidak hanya dalam bentuk
suami-isteri atau dengan kata lain relasi dalam suatu ikatan
pernikahan, akan tetapi relasi antara orangtua-anak, antar
saudara kandung, antar anggota keluarga besar, dan anggota
grup sosial. Memelihara komunikasi dengan anggota
keluarga meningkatkan dukungan sosial. Hal ini tidak hanya
5
membawa kebahagiaan tetapi juga meningkatkan fungsi
sistem kekebalan tubuh manusia (Carr, 2004). Individu yang
berhubungan dekat
dengan kelompok sosialnya juga
dikatakan lebih bahagia, dikarenakan orang yang bahagia
lebih atraktif dan menarik untuk dipilih sebagai teman dan
sahabat (Carr, 2004).
Individu yang bahagia lebih puas dengan kehidupan
mereka, puas dengan hubungan percintaan, persahabatan,
puas akan kesehatan jasmani dan psikis mereka, pendidikan
dan pekerjaan yang mereka kerjakan. Penelitian psikologi
baru-baru ini melaporkan bahwa individu yang secara
konsisten
mempunyai
tingkat
kebahagiaan
tinggi
memperoleh keuntungan atau manfaat dalam berbagai
bidang. Kebahagiaan berkorelasi positif pada hasil akhir
yang berhasil dalam banyak dimensi utama kehidupan
(Lyubomirsky, King & Diener, 2005; Myers, 1993; and
Seligman, 2003). Mereka yang melaporkan bahwa dirinya
bahagia, dalam kesehariannya lebih sering menunjukkan
emosi yang positif. Dibandingkan dengan individu yang
tidak bahagia, mereka lebih fokus, cenderung tidak
menunjukkan sifat bermusuhan dan juga tidak bersikap
kasar. Selain itu, mereka juga lebih bersikap mencintai,
mudah memaafkan dan menolong orang lain, cenderung
lebih mudah untuk memercayai sesuatu, lebih enerjik,
6
kreatif, mudah bersosialisasi, dan lebih tegas menentukan
pilihannya (Myers et al, 2000).
Orang-orang yang bahagia memiliki karakteristik
tertentu, yaitu (1) menghargai diri sendiri berarti orang
tersebut cenderung menyukai dirinya sendiri dan memiliki
kepercayaandiri yang cukup tinggi, (2) optimis berarti orang
tersebut percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab
permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga
orang tersebut berusaha lebih keras pada setiap kesempatan
agar dapat mengalami peristiwa baik, (3) terbuka yang berarti
orang tersebut mudah bersosialisasi dengan orang lain serta
membantu orang lain yang membutuhkan serta (4) mampu
mengendalikan diri berarti orang tersebut memiliki kontrol
diri pada hidupnya serta memiliki kekuatan atau kelebihan
pada hidupnya (Myers, 2004).
Dari banyak penelitian yang sudah dilakukan,
sebagian besar memiliki hasil akhir yang menyatakan bahwa
memiliki uang dapat meningkatkan rasa aman dan status
sosial seseorang. Begitu pula dengan pernikahan yang sangat
berhubungan
dengan
menguatkan
pengaruh
kebahagiaan.
kenikmatan
Hal
ini
ragawi
semakin
terhadap
kebahagiaan. Akan tetapi, pada Survei Indonesian Happiness
Index (IHI) yang dilakukan oleh Frontier Consultan Group
pada tahun 2007, menunjukkan bahwa kota Semarang yang
mana
tingkat
penghasilan
penduduknya
lebih
kecil
7
dibandingkan dengan penduduk kota Jakarta, memiliki
tingkat kebahagiaan mencapai 48,75 dari skala 1-100. Nilai
ini lebih besar dibandingkan dengan lima kota besar yang
ada di Indonesia yaitu Makassar (47,95), Bandung (47,85),
Surabaya (47,19), Jakarta (46,20) dan Medan (46,12)
(Murwani, 2007). Menurut Irawan (dalam Murwani 2007),
orang Semarang paling tinggi kebahagiaannya kemungkinan
karena tidak memiliki harapan yang tinggi. Selain itu,
ditambahkan bahwa sikap nrima khas orang Jawa yang
melekat pada penduduk Semarang membuat mereka lebih
tenang dengan segala kondisi yang ada, sehingga hidup
mereka lebih rileks dan dapat menikmati apa yang mereka
miliki.
Hasil
penelitian
penelitian
sebelumnya
ini
yang
diperkuat
dengan
adanya
mengungkapkan
bahwa
kebahagiaan orang Indonesia lebih tinggi dibandingkan
dengan negara Eropa, seperti Spanyol, Italia dan Jerman.
Indonesia menempati urutan ke-40 dari 97 negara dalam
tingkat kebahagiaan penduduknya. Selain itu, berdasarkan
peta kebahagiaan dunia yang dikemukakan oleh seorang
pakar psikologi dari Universitas Leicester Inggris, tingkat
kebahagiaan Indonesia berada di urutan 64 dari 178 negara di
dunia. Nation SWLS Score dari penelitian tersebut
memperlihatkan peringkat Indonesia berada di atas negaranegara Asia lainnya, seperti Taiwan (68), Cina (82), dan
8
Jepang (90) (Sutanto, 2006). Begitu pula dengan data survey
tingkat nasional di Amerika yang dikemukakan oleh Glenn
and Weaver memperlihatkan bahwa di awal tahun 70-an
sampai 1986 terdapat penurunan hubungan yang positif
antara menikah dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan.
Walaupun pada tahun 1972 hanya sekitar 15 persen dari
orang yang tidak menikah mengatakan bahwa mereka sangat
bahagia, sedangkan hampir 40 persen orang yang menikah
mengatakan mereka sangat bahagia. Akan tetapi di tahun
1986, persentase dari orang yang tidak menikah yang
mengatakan mereka sangat bahagia mencapai hampir 30
persen. Selain itu, jumlah orang yang menikah yang
mengatakan bahwa mereka sangat bahagia mengalami
penurunan sampai hanya 30 persen (dalam Lamana and
Riedmann, 1994). Hasil dari beberapa survey di atas
menunjukkan bahwa ternyata penghasilan atau pendapatan
individu yang tinggi serta pernikahan bukan menjadi jaminan
seseorang dapat memperoleh kebahagiaan.
Mill (1952) berpendapat bahwa kenikmatan ragawi
lebih pantas untuk hewan, sedangkan manusia selain
kenikmatan ragawi juga mencari kepuasan yang lebih mulia,
yang mana hal ini dianggap sebagai “higher pleasure” atau
dapat dikatakan sebagai kenikmatan yang lebih tinggi,
sebuah kegembiraan yang berasal dari seni, musik, filosofi,
agama, dan sebagainya (dalam Franklin, 2010). Konsep
9
“higher pleasure” yang dikemukakan oleh Mill, didukung
oleh pendapat Seligman (2005) mengenai kebahagiaan, yang
sebenarnya mengacu pada emosi positif yang dirasakan oleh
individu (seperti ketika menggunakan ekstasi) serta aktivitas
positif yang tidak mempunyai komponen perasaan sama
sekali (seperti keterlibatan individu secara menyeluruh pada
kegiatan yang disukainya).
Seligman memberikan gambaran individu yang
mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu
individu yang telah dapat mengidentifikasikan dan mengolah
atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan
keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada
kehidupan
sehari-hari,
baik
dalam
pekerjaan,
cinta,
permainan, dan pengasuhan. Peterson dan Seligman (2004)
mendefinisikan kekuatan (strength) sebagai proses atau
mekanisme psikologis yang membentuk keutamaan (virtue)
individu. Sedangkan keutamaan (virtue) adalah karakteristik
inti yang dihargai oleh para filsuf dan agamawan. Dengan
demikian kebahagiaan adalah suatu keadaan dimana individu
berada dalam afek positif (perasaan yang positif) dan untuk
mencapai kebahagiaan yang autentik, individu harus dapat
mengidentifikasikan,
mengolah,
dan
melatih
serta
menggunakan kekuatan (strength) serta keutamaan (virtue)
yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.
10
Penjelasan mengenai kebahagiaan sejati yang telah
dijelaskan oleh Seligman (2005) mengubah cara pandang
menggapai
kebahagiaan
melalui
mengumpulkan
uang
sebanyak-banyaknya dan memenuhi kebutuhan biologis
menjadi mengidentifikasikan dan mengolah atau melatih
kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan keutamaan) yang
dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan seharihari. Akan tetapi memiliki banyak uang, pernikahan,
pemenuhan kebutuhan biologis bukanlah faktor utama dalam
keberhasilan seseorang mencapai kebahagiaan.
Tuhan sepertinya menjadi lebih penting dalam
kebahagiaan seseorang daripada uang (Franklin, 2010).
Myers (dalam Franklin, 2010) telah mengamati bahwa Tuhan
atau agama menyediakan beberapa elemen penting dalam
kehidupan manusia. Pertama, manusia adalah makhluk sosial
dan sejalan dengan bekerjasama dengan individu lain,
seseorang akan menemukan dirinya berada dalam komunitas
yang besar, nyaman, dan saling melindungi. Kedua, agama
memaparkan mengenai tujuan hidup dan memberikan arti
bagi eksistensisebagai manusia (Franklin, 2010). Myers
berpendapat bahwa manusia butuh percaya pada sesuatu
yang kekuatannya melebihi kekuatan manusia. Di dalam
Tuhan, individu menemukan penerimaan yang tak bersyarat
dan rasa aman. Agama memberikan pemahaman bahwa
manusia di dunia ini tidak sendirian dan dapat percaya pada
11
sesuatu yang amat hebat, kuat dan menjaga serta melindungi
umat manusia. Kebahagiaan tidak dapat ditemukan pada
barang-barang duniawi atau kenikmatan fisik tetapi lebih
kepada memahami Tuhan. Hanya Tuhan dan agama dapat
membawa kebahagiaan yang sejati (Franklin, 2010).
Dalam memahami Tuhan dan agama, terdapat
beberapa individu yang mendalami ajaran-ajaran agama
tertentu dan menghayati serta menghidupi aturan-aturan dan
kehendak-kehendak Tuhan. Individu tersebut biasanya
menolak beberapa faktor kebahagiaan yang bersifat duniawi
atau kenikmatan ragawi. Imam biarawan adalah salah satu
biarawan yang terpanggil untuk mencapai kepenuhan hidup
kristiani dan kesempurnaan cinta kasih. Mereka berupaya
untuk menerima dapat mengikuti jejak Kristus dan
menyerupai citra-Nya, dengan segenap jiwa membaktikan
diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap
sesama (Darminta, 2006).
Di dalam biara, kehidupan para imam biarawan diikat
oleh peraturan yang ketat yaitu „kaul‟. Kaul tersebut terdiri
dari janji untuk hidup dalam kemiskinan, kemurnian dan
ketaatan (Aleksander,2007). Dalam Aleksander (2007)
dengan janji untuk hidup dalam kemiskinan, biarawan akan
menyalurkan apa yang ia dapatkan kepada umat baik berupa
pemberian materi seperti barang-barang berharga dan uang
ataupun spiritual seperti nasehat dan doa. Hal tersebut
12
merupakan perwujudan kaul kemiskinan yang diikrarkan
ketika melaksanakan tugas perutusannya.
Pada kaul ketaatan, biarawan mengikrarkan ketaatan
dengan mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah
pedoman dan konstitusi mereka (Hardawiryana, 1992). Akan
tetapi, ketaatan tidak berarti mengikat diri kepada satu orang
atau kepada peraturan tertentu. Ketaatan berarti kerelaan
untuk mengabdikan diri kepada masyarakat dalam rangka
dan menurut tujuan suatu kumpulan religius tertentu (Jacobs,
1987). Oleh karena itu dikatakan bahwa seorang biarawan
tidak bisa mencari dan melaksanakan kehendaknya sendiri
tetapi kehendak Tuhan, mereka juga tidak bisa menentukan
akan berkarya dimana dan dengan siapa dikarenakan hal
seperti itu ditentukan oleh pemimpin mereka. Dengan kaul
ketaatan mereka harus mengikuti instruksi atau perintah
pemimpin mereka (Tarigan, 2007).
Dalam
kaul
kemurnian,
biarawan
tidak
diperkenankan untuk memiliki pasangan hidup. Sesuai
dengan kaul kemurnian yang diucapkannya. Kaul kemurnian
ini harus dihargai sebagai karunia rahmat yang sangat luhur
demi “kerajaan sorga” (Hardawiryana, 1992). Ditambahkan
pula oleh Hardawiryana (1992) bahwa kaul kemurnian ini
secara istimewa membebaskan hati manusia supaya lebih
berkobar cinta kasihnya terhadap Tuhan dan juga pada semua
orang.
13
Rev Tim Meares adalah seorang imam dari gereja
Katolik di Rocky Mount. Ia berusia 27 tahun saat ditahbiskan
sebagai seorang imam dan saat ini telah berusia 41 tahun.
Keputusannya untuk menjadi seorang imam tidak pernah ia
sesali bahkan ia mencintai kesehariannya sebagai imam. Ia
berkata bahwa ia sangat suka menjadi pendeta. Ia tidak
pernah memilih untuk menjadi seorang pendeta, tetapi Tuhan
yang memilihnya (Mc Farland, 2009). Sependapat dengan
apa yang dikatakan oleh imam Rev Tim Meares, Romo
Surya yang mana merupakan imam biarawan dari salah satu
gereja katolik di Salatiga, dalam wawancaranya dengan
peneliti mengatakan bahwa menjadi seorang Imam adalah
sebuah panggilan dan tidak ada perasaan menyesal menjadi
seorang Imam biarawan. Hal ini juga diperjelas dalamJacobs
(1987) bahwa arti dari hidup religius terletak dalam
panggilan, dan hanya dalam panggilan. Dalam hidup religius
justru menjadi kentara arti panggilan bagi semua orang
Kristiani. Berikut ini adalah kutipan wawancara dengan
pastor
tersebut,
beberapa
waktu
lalu
dimana
ia
mengungkapkan kehidupannya dalam menjalankan perannya
sebagai seorang imam:
“…….menjadi pastor adalah suatu panggilan
hidup saya. Banyak pastor-pastor muda yang
bertanya pada saya, bagaimana caranya agar bisa
setia menjadi seorang pastor sampai usia lanjut
seperti saya. Saya meyakini bahwa apabila kita
sadar akan status kita sebagai pastor, kita akan
lebih yakin dan mantap dengan pilihan kita.
14
Banyak orang yang tidak sadar, sehingga ia
gampang tergoda dengan lingkungan sekitar.
Ucapan Bunda Maria ketika dipilih oleh Tuhan
untuk menjadi alat Tuhan dalam melahirkan
wujud Tuhan sebagai manusia yang membuat saya
terus yakin dan mantap adalah “Terjadilah aku
atas kehendak – Mu Tuhan”
(Komunikasi Personal, 18 April 2012)
Pendapat dari kedua pastor di atas memberikan suatu
pandangan bahwa menjadi seorang pastor merupakan suatu
hal yang sungguh disyukuri. Walaupun harus menggeluti
hidup yang serba sederhana, mereka tidak pernah menyesali
keputusan yang telah diambil.
Hal ini cukup kontradiktif dimana hasil riset oleh
Pusat Riset Terapan di Apostolate, sebuah pusat riset
nonprofit yang memimpin studi-studi di gereja Katolik
menerangkan di dalam websitenya bahwa justru jumlah
jumlah laki-laki yang masuk dunia kependetaan di Amerika
Serikat telah menurun secara signifikan dalam 3 dekade
terakhir. Jumlah totalnya turun dari 58,909 di tahun 1975
menjadi 40, 580 di tahun 2008 (McFarland, 2009). Beberapa
hal yang kontradiktif mengenai kehidupan seorang imam
biarawan menyebabkan peneliti ingin mengetahui bagaimana
proses perjalanan seorang imam dari awal ditahbiskan sampai
saat ini ia masih menggeluti pekerjaannya. Selain itu
bagaimana konsep kebahagiaan yang diinginkan dan dialami
oleh seorang imam biarawan. Oleh karena itu peneliti merasa
15
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul Gambaran
Kebahagiaan Pada Imam Biarawan.
B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan
masalah apa yangmenjadi fokus dalam penelitian ini. Dalam hal
ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam
bentuk pertanyaan penelitian, yaitu bagaimanakah gambaran
kebahagiaan pada Imam biarawan ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat gambaran
kebahagiaan pada Imam biarawan serta mengidentifikasikan
emosi positif dari masing-masing imam biarawan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan
sumbangan
ilmupengetahuan
dalam
bidang psikologi
perkembangan dan bidang psikologi positif. Selain itu, dapat
pula berkontribusi dalam kajian ilmu teologi dengan tujuan
menambah pemahaman mengenai gambaran kebahagiaan
pada Imam biarawan.
16
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Imam Biarawan
Dapat menjadi masukan bagi para imam
biarawan dalam menilai kehidupannya apakah termasuk
ke dalam individu yang bahagia atau tidak. Selain itu,
penelitian ini dapat membantu Imam biarawan dalam
memahami aspek apa saja yang dapat meningkatkan
kebahagiaan sehingga diharapkan Imam biarawan dapat
mengoptimalkan potensinya untuk mencapai kebahagian
sesuai dengan apa yang diharapkannya.
b. Bagi Gereja dan Lembaga Pendidikan bagi
Imam Biarawan
Dengan mengetahui gambaran kebahagian pada
Imam biarawan, diharapkan gereja maupun praktisi yang
bekerja
pada
sekolah
seminari
dapat
membantu
mengoptimalkan potensi pastor biarawan sehingga
mereka
maksimal.
dapat
memperoleh
kebahagiaan
secara
Download