TINJAUAN YURIDIS PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN BERAGAMA YANG BERAKIBAT TINDAK PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN PASAL 175 JO 176 KUHP Oleh Iman Imanuddin 110520090512 Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Komariah E. Sapardjaja, S.H. Somawidjaya, S.H., M.H. TESIS Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh Gelar Magister Hukum Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2014 ABSTRAK Tujuan Negara Indonesia di dalam Pembukaan UUD 1945 sesungguhnya menegaskan adanya kewajiban dari negara untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga masyarakat, termasuk perlindungan terhadap pelanggaran hak asasi warga negara. Namun adanya Keputusan Bersama 2 Menteri dimanfaatkan untuk membatasi hak beribadah dari agama tertentu. Akibat dari adanya instrumen peraturan yang memberikan peluang terjadinya pemasungan kebebasan beragama dan beribadat, maka berkembang pula bentuk diskriminasi terhadap golongan agama tertentu dan tindakan kekerasan (anarkisme) atas nama agama dan atas nama hukum berupa penutupan rumah ibadah, dipersulitnya pengurusan ijin rumah ibadah, bahkan penganiayaan. Oleh karena itu, penulis bermaksud meneliti dampak dari penerapan peraturan bersama menteri agama dalam pendirian rumah ibadah kaitannya dengan tindak pidana yang berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang menyebabkan tindak pidana dan perlindungan kebebasan beragama dihubungkan dengan pasal 175 jo 176 KUHP, serta faktor faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis, guna memperoleh gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai Peraturan Bersama 2 Menteri. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu metode yang menitikberatkan penelitian terhadap data kepustakaan. Metode ini dipergunakan mengingat permasalahan yang diteliti berkisar pada hubungan peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya dan dilengkapi dengan teori-teori hukum serta praktik pelaksanaan Peraturan Bersama 2 Menteri dalam pendirian rumah ibadat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa Peraturan Bersama 2 Menteri berdampak pada adanya perbedaan penerapan Peraturan Bersama 2 Menteri yang dilakukan masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan daerah mengenai penerbitan perizinan yang merupakan salah satu urusan otonomi daerah menurut UU Pemerintah Daerah, sehingga terdapatnya pembatasan dalam mendirikan rumah ibadat, yang juga melegalisasi timbulnya tindak pidana diskriminasi dalam menjalankan ibadah yang dilakukan oleh masyarakat. Perlindungan kebebasan beragama yang berlaku di Indonesia diatur juga dalam KUHP, bahwa merupakan tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, jika merintangi pertemuan/upacara agama (Psl. 175 KUHP), mengganggu pertemuan/upacara keagamaan (Psl.176 KUHP), namun terdapat pembatasan yaitu dengan syarat pertemuan umum agama tersebut tidak dilarang oleh Negara, dalam hal ini pemerintah daerah. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga antara lain adanya kesenjangan sosial, fanatisme agama, pemahaman yang salah atas ajaran agama, provokasi pihak-pihak yang berkepentingan atas adanya konflik, proyek anggaran pemerintah. ABSTRACT The purpose of Indonesia in the preamble of 1945 constitution indeed confirms the obligation of the state to provide protection to all citizens, including the protection of citizen rights. However, the presence of Joint Regulation of 2 Ministers used to restrict the right of worship of a particular religion. Result of the regulatory instruments that provide opportunities for the deprivation of freedom of religion and worship, then develops a form of discrimination against certain religious groups and acts of violence ( anarchism ) in the name of religion and in the name of the legal form for closing worship house which hardly obtaining permission. Therefore, the authors intend to examine the impact of the application of the rules with the minister of religion in relation to the establishment of a worship house with the religious backgrounds criminal acts of discrimination that causes crime and the protection of religious freedom associated with article 175 jo 176 of the Penal Code, and the factors which influence the discrimination behavior of citizens. The method used in this research is descriptive analysis, in order to obtain a thorough and systematic the executions of Joint Regulation of 2 Ministers. The approach used in this research is normative juridical, a method that emphasizes the study of the data library. This method is used considering the researched issue revolves around the connection of legislations and are equipped with the legal theories and practices of Joint Regulation of 2 Ministers in the establishment of worship house. Based on survey, results revealed that Joint Regulation of the 2 Minister impact on the differences in the implementation that performed in each local government in accordance with local policy regarding the issuing of licenses which is one of the affairs of regional autonomy under the Local Government Act, thus establishing the presence of restrictions in the synagogue, which also legalized the incidence of discrimination in carrying out criminal acts committed by public worship. Protection of religious freedom in Indonesia organized applicable also in the Criminal Code, that is a criminal offense relating to religion or religious life, if it impedes meeting / religious ceremony (Art. 175 of the Criminal Code), disrupting a meeting / religious ceremonies (Psl.176 Criminal Code), but there are restrictions on the condition that a general meeting of the religion is not prohibited by the State, in this case the local government. The factors that affect the citizens in their discrimination behavior among these are social inequality, religious fanaticism, wrong understanding of religious teachings, provocation parties concerned over the conflict, the project budget of government. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai Negara hukum mempunyai tugas pokok yang terletak pada penegakan hukum dan mencapai keadilan sosial (sociale gerechtigheid) bagi seluruh rakyat.1 Hal ini sejalan dengan amanah Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat Tujuan Negara yaitu melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, menciptakan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Hak asasi manusia (human rights) yang secara universal diartikan sebagai those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being, perumusan dan pengakuannya telah diperjuangkan dalam kurun waktu yang sangat panjang.2 Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia ditindaklanjuti dengan dua perjanjian internasional The International Covenant on Civil and Political Rights dan The International Covenant on Economical and Social and Cultural Rights yang menjadikan ketentuan Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia mengikat secara hukum, memberikan penjabaran 1 Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm. 71. 2 Muladi, Bagir Manan (ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Sri Soemanti Martosoewignjo, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 113. 1 2 lebih rinci mengenai hak-hak asasi yang dilindungi dan memberikan tata cara pelaksanaan yang harus diikuti negara-negara anggota.3 Indonesia telah meratifikasi The International Covenant on Civil and Political Rights yang berisikan Universal Declaration of Human Rights melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 2 Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights berbunyi : “Each state party undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the covenant, without discrimination of any kind.” Indonesia sebagai pihak dalam kovenan ini berkewajiban untuk menghormati dan menjamin hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun.4 Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 1 Angka 1 UU HAM menyebutkan ; “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di 3 David Weissbrodt, A. Rahman (ed), Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994 4 Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction To The International Protection Of Human Rights, 2nd Revised Edition, Institute For Human Rights, Abo Akademi University, 2004. 3 hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Pasal di atas menunjukkan bahwa hak asasi merupakan hak yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Penyataan ini menunjukkan pengakuan negara terhadap nilai-nilai agama, sebagaimana dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kebebasan setiap warga Negara dalam memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya dijamin dalam konstitusi dan berbagai peraturan sebagai pelaksanaan konstitusi.5 Lebih lanjut, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menentukan : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak sipil dan hak politik yang tidak dapat dibatasi sedikitpun. Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) berpendapat bahwa kebebasan beragama dapat dibatasi dalam 3 hal yaitu agama, moral, dan ketertiban umum.6 Ketertiban umum terkait dengan hubungan antar agama atau disebut kerukunan antar agama, kerukunan antar umat beragama dan 5 Ahmad Nur Fuad, Cekli Setya Pratiwi, M. Syaiful Aris, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, LPSHAM Muhammadiyah Jatim dan Madani, Malang, 2010, hlm. 104. 6 Abdusshomad Buchori, “HAM dan Penerapan Syariah dalam Kontek Demokratisasi di Indonesia” disampaikan dalam seminar HAM dan Penerapan Syariah dalam Kontek Demokratisasi di Indonesia pada 21 Maret 2009 diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Malang. 4 kerukunan antar pemeluk agama yang sama menuntut perhatian yang ekstra hati-hati dan kearifan negara, karena potensi konflik antar umat agama bisa jadi muncul seiring dengan percepatan pertumbuhan dan hubungan sosial kemasyarakatan yang semakin individualistik.7 Terkait ketertiban umum, pada tahun 2011, terjadi konflik yang melibatkan masalah keagamaan. Kasus ini berawal dari dibekukannya IMB pendirian Gereja Kristen Indonesia pada tahun 2008, Pembekuan ijin tersebut dikeluarkan setelah muncul sikap keberatan dan protes warga sekitar. Warga setempat mengaku tidak pernah menandatangani pernyataan tidak keberatan atas pembangunan gereja tersebut, sebagai salah satu syarat penerbitan IMB.8 Munir Karta, bekas ketua RT VII/ RW III, dinyatakan bersalah oleh pengadilan dengan melakukan pemalsuan tanda tangan warga dan merekayasa surat pernyataan tidak keberatan dari warga untuk pembangunan gereja GKI Yasmin. Fakta tersebut menjadi dasar pemerintah Kota Bogor membatalkan IMB yang sudah terbit. Keputusan Walikota Bogor didasarkan pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006. Pasal 4 Peraturan Bersama Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 mengatur : 7 Joko Riskiyono, “Jaminan Konstitusional Kebebasan Beragama Terancam”, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/11/30002/jaminan_konstitusional_kebeb asan_beragama_terancam/#.T3hyn3qG2a4 [27/03/2012] 8 Rachmadin Ismail, “Penjelasan Walikota Bogor Tentang Kasus GKI Yasmin” http://us.detiknews.com/read/2011/03/26/053609/1601690/10/penjelasan-walikota-bogortentang-kasus-gki-yasmin [27/03/2012] 5 “Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.” Akibat dari adanya instrumen peraturan yang memberikan peluang terjadinya pemasungan kebebasan beragama dan beribadat, maka berkembang pula bentuk diskriminasi terhadap golongan agama tertentu berupa tindakan kekerasan (anarkisme), penutupan rumah ibadah, dipersulitnya pengurusan ijin rumah ibadah, bahkan penganiayaan. Adanya ketentuan yang mensyaratkan ijin warga menjadi peluang berkembangnya sikap diskriminasi dalam masyarakat. Kasus lain terjadi di Tangerang Selatan yaitu penyegelan gereja St. Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan. Penyegelan juga terjadi di Sumedang. Gereja Pantekosta, yang sudah dilarang beroperasi sejak awal Desember 2013. Di Jepara Jawa Tengah, Pemkab Jepara menghentikan sementara pembangunan Gereja Dermolo. Adapun delik yang berhubungan dengan agama secara tidak langsung bermaksud mencegah terjadinya keresahan dan bentrokan di kalangan umat beragama bermaksud melindungi kerukunan hidup beragama.9 Dalam KUHP saat ini, delik yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama, terdapat di dalam Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP yang meliputi antara lain perbuatan-perbuatan merintangi pertemuan/upacara 9 agama (Psl. 175 KUHP) dan mengganggu Barda Nawawie, “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” Makalah pada Forum Debat Publik Tentang RUU KUHP Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 21 – 22 Nopember 2000, hlm. 4-5. 6 pertemuan/upacara keagamaan (Psl. 176 KUHP). Oleh karena itu, berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan menuangkannya dalam bentuk Penelitian dengan Judul “TINJAUAN YURIDIS PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN BERAGAMA YANG BERAKIBAT TINDAK PIDANA DIHUBUNGKAN DENGAN KETENTUAN PASAL 175 JO 176 KUHP.” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka diidentifikasi masalah hukum sebagai berikut : 1. Bagaimana dampak dari penerapan peraturan bersama menteri agama dalam pendirian rumah ibadah kaitannya dengan tindak pidana yang berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang menyebabkan tindak pidana? 2. Bagaimana perlindungan hukum kebebasan beragama dihubungkan dengan Pasal 175 jo 176 KUHP? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga dalam menjalankan ibadah terhadap pemeluk agama yang berbeda? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dengan diadakannya penelitian ini adalah: 1. Untuk mengkaji dampak dari penerapan peraturan bersama menteri agama dalam pendirian rumah ibadah kaitannya dengan tindak pidana 7 yang berlatar belakang diskriminasi menjalankan ibadah yang menyebabkan tindak pidana. 2. Untuk mengkaji dan memahami perlindungan kebebasan beragama dihubungkan dengan pasal 175 jo 176 KUHP. 3. Untuk mengkaji dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga dalam menjalankan ibadah keagamaan terhadap penganut ajaran agama yang berbeda D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoretis, Penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana pada umumnya dan khususnya dalam penanganan tindak pidana berlatar belakang agama di Indonesia. Beragam keyakinan yang hidup bersinggungan langsung merupakan potensi konflik yang sangat besar. Menemukan faktorfaktor yang mempengaruhi perbuatan diskriminatif warga masyarakat dalam hal kehidupan kerukunan antar umat beragama. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, mahasiswa, dan masyarakat. Pemahaman yang lebih luas tentang kebijakan hukum pidana dalam penanganan tindak pidana berlatar 8 belakang agama, diharapkan agar penyelenggaraan negara dapat menjamin hak-hak warga negaranya. Dengan diketahuinya faktorfaktor penyebab munculnya sikap diskriminatif warga masyarakat maka bagi aparat penegak hukum maupun pemerintah dapat lebih awal mengantisipasi potensi konflik yang ada dalam masyarakat terkait kehidupan kerukunan antar umat beragama. Aparat penegak hukum diharapkan dapat meminimalisasi potensi konflik dengan menekan faktor-faktor penyebab diskriminasi dengan melaksanakan program-program pemerintah berbasis kerukunan hidup antar umat beragama. E. Kerangka Pemikiran Pancasila sebagai landasan filsafat Negara Indonesia, menegaskan bahwa tatanan politik yang dikehendaki untuk mewujudkan negara ini adalah Negara Pancasila.10 Negara Pancasila merupakan negara hukum seperti yang termuat dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Menurut Hans Kelsen, terdapat dua macam hukum, pertama hukum dalam arti bentuknya/hukum formil disebut juga sebagai dan Sollen, yang kedua hukum dalam arti isi (hukum materil) disebut juga sebagai das Sein11. Hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, dan hukum 10 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 46. 11 Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992, hlm. 15 9 materil menyangkut pengertian keadilan di dalamnya. 12 Hukum formil merupakan peraturan perundang-undangan yang menjamin tercapainya suatu kepastian hukum, karena undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis, yaitu menurut logika dan pasti, serta undang-undang itu dibuat berdasarkan realitas hukum, dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.13 Agar hukum dapat berjalan dengan baik, perlu kekuasaan untuk melaksanakannya, namun kekuasaan itulah yang memporakporandakan hukum jika kekuasaan tidak dibatasi ketat oleh hukum.14 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.15 Ini berarti bahwa hukum tidak akan berjalan semestinya, bila tidak ada kekuasaan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem kekuasaan yang mendukung atau kondusif bagi supremasi hukum.16 A.V. Dicey menguraikannya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu Supremacy of Law, Equality before the law, dan Due Process of Law. Pada setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law). Dengan demikian, setiap 12 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hlm. 49 13 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm. 62 14 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 167. 15 Mochtar Kusumaatdja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 199. 16 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 71. 10 perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels).17 Pengertian Toleransi dalam bahasa Arab dapat diartikan “tasamuh” yang artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleransi berarti bersikap atau bersifat menenggang pendirian yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya. WJS. Poerwadarminta mengartikan kata “toleransi” dengan kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan keyakinan orang lain. Dari beberapa pengertian tentang toleransi, maka dapat dipahami bahwa toleransi memberikan pembelajaran kepada kita bahwa hendaknya kita mempunyai sifat-sifat yang lapang dada, berjiwa besar, memiliki pemahaman yang luas, mempunyai sifat yang pandai menahan diri, tidak memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain, memberikan ruang yang berbeda kepada orang lain walaupun perbedaan itu bertentangan dengan keyakinan kita. Pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang selalu mampu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern.18 Hukum pidana (Penal Policy) menurut Marc Ancel, didefinisikan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan 17 Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”,<htpp://konsep_hukumdocudesk.com>[10/06/2011] 18 Otje Salman Soemadiningrat, Eddy Damian (ed), Hukum dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 5. 11 praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik.19 Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau merumuskan suatu peraturan perundangundangan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.20 Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 merupakan jaminan perlindungan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang melekat kewajiban dasar bagi manusia lainnya. Hanya ada 6 agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Hindu, Budha, Katolik, dan Konghucu. Menurut Menteri Dalam Negeri Indonesia Gamawan Fauzi, agama atau kepercayaan di luar 6 agama resmi yang diakui pemerintah itu kini masih dalam kajian Kementerian Agama.21 Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.22 19 Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm.23. 20 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 7. 21 M. Iqbal, “Hanya 6 Agama Yang Boleh Ditulis Di E-ktp”, http://news.detik.com/read/2013/11/26/200449/2424439/10/hanya-6-agama-yang-bolehditulis-di-e-ktp [20/6/2014] 22 Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” <http: jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf> [27/3/2014] 12 Ditinjau dari subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.23 Penegakan hukum ditinjau dari objeknya mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup nilainilai keadilan yang terkandung dalam aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.24 Penegakan hukum dalam arti luas menuntut peran serta seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikan hukum sebagai dasar dalam setiap tindakan. Penegakan hukum dalam arti sempit lebih terkonsentrasi pada aparat penegak hukum dan praktisi hukum, melihat norma hukum sesuai dengan yang tercantum dalam hukum positif dan prosedur hukum pada tataran ceremonial saja. Adapun penegakan hukum atas Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk membatasi kebebasan beribadat penduduknya apabila kebebasan beribadat itu menyebabkan sebagian masyarakat yang lain terganggu dan tergerak untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana yang berlatar belakang agama. Penegakan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 ini yang seyogyanya dalam rangka 23 24 Ibid. Ibid. 13 memberikan perlindungan kepada umat beragama dapat menjalankan ibadah dan menjalankan keyakinannya dalam pelaksanaannya dapat bergesar menjadi bentuk lain dari model diskrimnasi terhadap kelompok agama minoritas yang terlegalisasi. Berkaitan dengan ketertiban umum, kejahatan terhadap kehidupan beragama diatur dalam delik-delik Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Maka pada dasarnya agama atau kehidupan beragama dalam KUHP merupakan pelarangan atas perbuatan tersebut karena sangat berpotensi mengganggu ketertiban umum. Perbuatan yang menghalangi kegiatan orang dalam menjalankan ajaran sesuai dengan agama dan keyakinannya berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban umum. Oleh karena itulah maka negara melalui perundang-undangannya menjamin perlindungan hak keagamaan warga negaranya melalui hukum positif. F. Metode Penelitian Di dalam penyusunan penelitian Tesis ini, langkah-langkah penelitiannya telah di susun sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut bahan sekunder, berupa peraturan perundangundangan, berbagai macam literatur, dan internet dengan didukung oleh penelitian lapangan yang merupakan data primer. Perpaduan hasil penelitian lapangan sebagai data primer dengan penelitian 14 bahan pustaka sebagai data sekunder menghasilkan analisis yang tajam dan faktual. Norma-norma kaidah hukum yang normatif menjadi pendekatan dalam menganalisis data penelitian lapangan. 2. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat Deskriptif Yuridis Analistis dalam rangka mengkaji bahan-bahan yang bersumber dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum untuk menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta secara sistematis, faktual, logis dan memiliki landasan pemikiran yang jelas dasar dan sumbernya sehingga diperoleh alternatif pemecahan sesuai dengan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku. 3. Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan oleh penulis meliputi tahap kepustakaan, yaitu meliputi : a. Bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundangundangan b. Bahan-bahan hukum lainnya yang merupakan bahan hukun sekunder dan bahan hukum tertier. 4. Teknik Pengumpulan Data Data penelitian yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik studi dokumen, wawancara dan pengamatan partisipatif. Studi dokumen dalam rangka memperoleh landasan teoritis dan informasi dalam bentuk ketentuan formal. Wawancara bertujuan 15 untuk mendapatkan informasi mengenai tindak pidana berlatar belakang agama dan faktor-faktor penyebab diskriminasi yang timbul dalam kehidupan beragama yang heterogen. Pengamatan partisipatif dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang kondisi di lapangan secara sistematis terhadap fenomena yang diselidiki.25 5. Metode Analisis Data Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif. Normatif karena dalam penarikan kesimpulan selalu berdasar pada hukum positif yang berlaku. Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal dari informasi-informasi hasil wawancara dan dokumen yang ditemukan penulis selama melakukan penelitian. 25 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Kualitatif dan Kuantitaif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian edisi III revisi, Rake Sarasin, Bandung, 2006, hlm. 125. BAB II KEBEBASAN BERAGAMA DAN TINDAK PIDANA SERTA PENGATURANNYA A. Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia Prinsip kebebasan beragama di Indonesia mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, konstitusi dan sejumlah Undangundang. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, UndangUndang Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang perlindungan Anak, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Jaminan terhadap kebebasan beragama pada dasarnya telah diakui dan diberikan, yang secara eksplisit dituliskan dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 E ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 45 telah tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama. Pasal 28 I ayat (1) UUD 45 menyatakan bahwa hak beragama adalah bagian dari hak yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan dalam keadaan apapun (non derogable rights). Kebebasan beragama di Indonesia dijamin oleh konstitusi bukanlah berarti kebebasan tanpa batas yang tidak menghormati dan menghargai kebebasan pemeluk agama yang lainnya. 16 17 Secara kolektif tidak ada istilah mayoritas dan minoritas dalam menjalankan haknya sebagai pemeluk ajaran agama, tidak dikenal prioritas dalam hal keyakinan namun semua memiliki hak yang sama. Banyak terminologi yang mendefinisikan agama sesuai dengan pandangan pengetahuan yang ada. Adapun agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.26 Menurut H.M. Amin Abdullah, pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan Beribadah di tanah air, setidaknya ada 3 pemasalahan. Pertama, Permasalahan perundang‐undangan. Kedua, peran aparat negara dalam penegakan hukum. Ketiga, pemahaman tentang negara‐bangsa (nation‐states) oleh masyarakat atau warga negara penganut agama‐agama, pemangku adat dan anggota ras atau etnis. Ketiganya saling berkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dan lainnya.27 Perundang-undangan yang mengatur tentang kehidupan beragama masih banyak memberikan peluang adanya pelanggaran hak asasi menjalankan ibadah agama, kesimpangsiuran peraturan yang mengatur membuat banyak celah hukum terjadinya pelanggaran hukum. Ada dua sumber hukum yang ada di tanah air untuk menangani dan menyelesaikan 26 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional edisi ketiga, Jakarta, 2002, hlm. 74. 27 H.M.Amin Abdullah, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam Prinsip Kemanusiaan Universal,Agama-Agama, Dan Keindonesiaan. (Yogyakarta, 2011), hal 16 18 perselisihan pelaksanaan Hak Kebebasan Beragama dan beribadah. Pertama, adalah Undang‐undang Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Disebutkan dalam Laporan Pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) di Indonesia salah satu penyebab “kematian” 517 aliran kepercayaan sejak tahun 1949 hingga tahun 1992 adalah UU No. 1/PNPS/1965. Padahal menurut Pasal 27 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri. B. Pengertian Umum Tindak Pidana Hukum pidana yang berlaku di Indonesia ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dari aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang yang dinamakan Kitab UndangUndang Hukum Pidana. Asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).28 Asas legalitas adalah sebagai pijakan dalam penegakan hukum karena tidak satupun perbuatan manusia yang dapat dipidana apabila belum ada ketentuan yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang tersebut beserta ancaman pidananya atas pelanggaran terhadap perbuatan yang diatur tersebut. 28 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 23. 19 Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.29 Perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai perbuatan atau tindakan dapat dihukum.30 Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.31 Patut tidak suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pidana dan dapat dipidana tergantung dari ketentuan yang mengatur tentang perbuatan dan pidana itu sendiri. Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana berasal dari kata strafbaar feit. Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.32 29 Ibid., hlm. 54 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 4. 31 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2009, hlm. 49. 32 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 56. 30 20 Moeljatno mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.33 Komariah E. Sapardjaja menggunakan istilah Tindak Pidana dalam menerjemahkan strafbaar feit. Menurutnya bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.34 Perbedaan pendapat mengenai strafbaar feit terbagi dalam dua aliran, yaitu aliran monistis dan aliran dualistis. Menurut Moeljatno, pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Sedangkan pandangan dualistis membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya orangnya. Moeljatno memisahkan antar pengertian perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, oleh karena dipisahkan, maka pengertian perbuatan pidana tidak meliputi pertanggungjawaban pidana.35 Selanjutnya menurut Moeljatno, syarat formil itu harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul pada Pasal 1 KUHP. Syarat materiil harus juga ada. 36 33 Moeljatno, op.cit. hlm. 54 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 27. 35 Ibid., hlm. 36. 36 Ibid., hlm. 42. 34 21 C. Tindak Pidana Berlatar Belakang Agama Berdasarkan KUHP Menurut Koentjaraningrat, agama merupakan suatu sistem yang terdiri atas empat komponen:37 a. emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius; b. sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, wujud alam gaib, serta segala nilai, norma, dan ajaran dari religi yang bersangkutan; c. sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib; d. umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut butir b, dan yang melakukan sistem ritus dan upacara tersebut butir c. Keempat komponen di atas terjalin erat satu sama lain sehingga menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara utuh. Kepentingan agama menyangkut kepentingan mengenai emosi keagamaan, sistem keyakinan, sistem ritus dan umat yang merupakan satu kesatuan. Hal inilah yang menyebabkan diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap agama atau kepentingan agama.38 37 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 144-145. 38 Ibid. 22 Adapun pengertian tindak pidana agama dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kriteria, yaitu: 39 a. tindak pidana menurut agama; b. tindak pidana terhadap agama; c. tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama. Selama ini, di dalam KUHP (WvS) tidak ada pengaturan khusus mengenai delik agama, walaupun ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai delik agama dalam ketiga pengertian diatas. Delik-delik tindak pidana menurut agama di dalam KUHP itu belum tentu sama dan tidak mencakup semua perbuatan dosa/terlarang/tercela menurut ajaran atau norma-norma hukum agama.40 Delik agama dalam pengertian tindak pidana terhadap agama terlihat terutama dalam Pasal 156a KUHP maupun Pasal 156-157 KUHP. Adapun delik agama dalam pengertian tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama, tersebar antara lain di dalam Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP Pada praktiknya pelaksanaan dari unsur delik yang berhubungan dengan penodaan agama sangat sulit untuk ditegakan karena belum adanya kesadaran masyarakat dalam memahami penghormatan antar umat beragama. 39 Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, BP UNDIP, Semarang, 2010, hlm. 1. 40 Barda Nawawie, “Tindak Pidana Terhadap Agama”, Op.Cit., hlm. 5. BAB III TINDAK PIDANA BERLATAR BELAKANG AGAMA DI INDONESIA A. Toleransi Antar Umat Beragama di Indonesia Indonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dari sisi budaya, etnis, bahasa, suku bangsa dan agama. Di negara ini hidup berbagai agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Keyakinan yang hidup dan berkembang di masyarakat jumlahnya sangat banyak dan hampir tidak dapat teridentifikasi.. Suku bangsa dan bahasa daerah yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia merupakan kekayaan Negara Indonesia yang perlu mendapatkan penanganan secara komprehensif dan berkelanjutan. Sejalan dengan potensi heterogenitas yang cukup besar juga menyimpan potensi konflik yang besar pula sebagai akibat adanya perbedaan, potensi konflik ini apabila tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan konflik yang nyata. Pada sensus tahun 2000, religious demography di Indonesia menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama yang berbeda dengan komposisi 88.2% pemeluk Islam, 5.9% Kristen, 3.1% Katolik, 1.8% Hindu, 0.8% Buddha, dan 0.2% agama serta kepercayaan lainnya. Pada Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 juga masih menunjukkan angka yang hamper sama, yaitu pemeluk Islam (88.58%), Kristen (5.79%), 23 24 Katolik (3.08%), Hindu (1.73%), Buddha (0.60%), Khonghucu (0.10%), dan lainnya (0.12%).41 Masyarakat Indonesia, dalam menjalankan kehidupan sosialnya terkadang tidak bisa menghindari gesekan-gesekan yang dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama. Oleh karena itu, untuk menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai. Masyarakat dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara yang satu dengan yang lainnya. Ketegangan antar individu dalam rangka memperjuangkan kepentingannya dapat di reduksi dengan sikap saling menghormati dan menghargai kepentingan pihak lain. Penanaman nilainilai moral yang baik harus senantiasa ditanamkan dalam setiap hubungan dalam masyarakat. Dengan adanya kesadaran dari setiap individu dalam masyarakat untuk menghormati orang lain beserta hak dan kepentingannya maka potensi konflik yang ada dalam masyarakat akan dapat diredam. Toleransi hak dan kewajiban dalam umat beragama telah tertanam dalam nilai-nilai yang ada pada pancasila. Semangat persatuan dan kesatuan bangsa seyogyanya menjadi tatanan mendasar yang harus dipegang teguh oleh setiap warga negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap saling hormat menghormati seharusnya tidak memandang 41 mayoritas dan minoritas karena sebenarnya Bahari (ed), “Tolerasnsi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri)”, Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010, hlm. 1 25 menghormati sesama manusia tidak didasarkan pada jumlah namun pada kesetaraan sesama manusia itu sendiri. Apabila mengacu pada pasal 29 UUD 1945, maka sudah secara nyata disebutkan bahwa negara menjamin setiap warga negaranya untuk memilih, meyakini, memeluk dan menjalankan agama beserta ajarannya secara bebas dan merdeka. Kebebasan beragama merupakan dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia, sedangkan toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Semua umat beragama mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjalankan ajaran agamanya. Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. Masingmasing umat beragama harus memegang prinsip-prinsip mendasar dari ajaran masing-masing agama yang diyakininya, namun dalam pelaksanaan pemegangan prinsip-prinsip keagamaan tersebut harus tumbuh bersamaan dengan kelapangan jiwa dan hati untuk menghormati prinsip-prinsip keagamaan orang lain juga. Toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.42 Setiap agama mengajarkan kedamaian dan kerukunan hidup sesama manusia, hal ini merupakan pembelajaran nilai-nilai toleransi. 42 H.M. Daud Ali, dkk., Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 80. 26 Toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama yang didasarkan pada tiap-tiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri, mempunyai bentuk ibadah (ritual) dengan sistem dan cara tersendiri yang dibebankan serta menjadi tanggung jawab orang yang memeluknya atas dasar itu.43 Sikap toleran dari setiap pemeluk agama adalah tanggungjawab bathin dari pemeluk agama itu sendiri, karena pada dasarnya tidak ada satupun agama yang mengajarkan sikap permusuhan dan intoleran. Masalah yang menyebabkan timbulnya benturan dan konflik agama ialah Double Standart atau standar ganda. Standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya. Lewat standar ganda, muncul prasangkaprasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, sedangkan terhadap agama lain, mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realitas historis, adalah suatu kondisi berlakunya standar ganda.44 Ada beberapa hal yang bisa menjadi penyebab rusaknya hubungan antar umat beragama dan yang bisa menjadi penyebab terjadinya radikalisasi pengamalan ajaran agama yang mengarah kepada disintegrasi bangsa, yang harus diwaspadai. Pendirian tempat ibadah yang tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi 43 Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta, hlm. 14 44 Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Pelajar, Bandung, 2004, hlm. 201. 27 lingkungan umat beragama setempat. Banyak konflik umat beragama berawal dari pendirian rumah ibadah. Konflik akibat perilaku intoleransi antar umat beragama telah menyita perhatian pemerintah, masyarakat maupun pihak asing. Hal ini berpengaruh terhadap kredibilitas bangsa dan negara kita yang sedang gencar mengkampanyekan HAM. Penyiaran agama yang dilakukan tanpa menghormati nilai-nilai agama lain, tidak mengindahkan etika dan estetika penyampaian nilai agama serta tidak taat pada undang-undang yang berlaku dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Fanatisme yang sempit yang menanamkan nilai-nilai yang menjunjung tinggi ajaran agamanya dengan merendahkan ajaran agama lain dapat menjadi pemicu permusuhan. Penistaan terhadap ajaran-ajaran, penistaan terhadap pembawa ajaran yaitu nabi dan rosul, penghinaan terhadap firman-firman Tuhan dari masingmasing agama yang berbeda adalah salah satu pemicu atas konflik. Perilaku tidak arif dari para penyampai ajaran agama merupakan faktor yang cukup efektif dan provokatif guna menumbuhkan benih-benih permusuhan antar umat beragama. Budaya masyarakat Indonesia yang masih menjunjung tinggi guru telah mengakar dalam jiwa dan keseharian, sehingga apa yang disampaikan oleh guru, ustad, ulama, kyai, pendeta, pastor merupakan doktrin dan pengetahuan yang tidak terbantahkan oleh umatnya bahkan kadang tidak memperhatikan kebenarannya menurut norma yang berlaku dalam masyarakat. Umat yang sudah terdoktrin menganggap kebenaran 28 yang disampaikan oleh penyebar ajaran agama tidak boleh diganggu gugat sehingga pada akhirnya kondisi ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sikap diskriminatif dari para pemeluk agama. Kearifan para pemeluk dan pemuka agama dalam menjalankan ajaran agama dan merayakan hari besar keagamaan sangat diperlukan. Sikap saling menghormati dari pemeluk agama yang menjalankan perayaan dengan masyarakat sekitar yang menjadi lingkungan dimana perayaan tersebut dilaksanakan sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga kamtibmas dan tata kerukunan antar umat beragama. B. Tindak Pidana yang Terjadi Terkait Pendirian Rumah Ibadah Hak untuk beribadah dan menjalankan kepercayaan memang telah mendapat jaminan hukum melalui konstitusi dan dasar negara. Namun begitu, dalam pelaksanaannya kebebasan umat beragama untuk mendirikan rumah ibadah sebagai wujud nyata jaminan konstitusi masih sering dihalang-halangi. Keinginan untuk menjalankan ajaran agama dan beribadah sesuai dengan agamanya dari para pemeluk minoritas suatu agama seringkali mendapat pelarangan dari masyarakat yang jumlah pemeluknya lebih banyak disuatu daerah. Kesetaraan kesempatan beribadah dari setiap pemeluk agama yang seharunya memiliki kesempatan yang sama menjadi tidak seimbang karena ada pembatasan dari warga masyarakat lain yang memiliki keyakinan atau agama yang berbeda. Walaupun negara sudah menjamin melalui konstitusi namun kesadaran masyarakat yang masih rendah 29 memerlukan upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat oleh pemerintah dari pemerintah pusat hingga daerah. Kesenjangan sosial juga dapat menjadi pemicu larangan-larangan yang terjadi. Misalnya pada suatu daerah dimana masyarakatnya hidup dalam kesederhanaan tiba-tiba di daerah tersebut akan dibangun sarana ibadah yang megah dengan hiruk pikuk kemegahan jemaahnya, maka sudah dapat dipastikan akan memunculkan kecemburuan sosial dalam lingkungan tersebut. Dampak dari konflik membuat banyak tindak pidana yang terjadi. Munculnya dugaan-dugaan tindak pidana merupakan ekses konflik antar pemeluk agama yang berawal dari adanya sikap diskriminasi warga masyarakat kepada pemeluk agama lainnya. Para tokoh agama kedua pihak yang tidak saling meredakan kemarahan jemaah dan warganya bahkan cenderung provokatif juga menjadi penyulut kemarahan yang terus berkepanjangan. Campur tangan pihak-pihak diluar kelompok yang bersengketa karena didorong oleh kesamaan keyakinan juga semakin memperkeruh suasana kebatinan para pihak yang sedang berkonflik. Banyak kasus pidana terjadi berawal dari adanya konflik antar pemeluk agama yang berbeda seperti halnya konflik antara masyarakat desa Curugmekar Kota Bogor dengan jemaah Gereja GKI Yasmin. Kasus lain terjadi di Sumedang, yaitu kasus Gereja GPdI Mekargalih dan Penahanan Pendeta Bernard Maukar di Lapas Sumedang. Ditempat lain seperti di Ciketing Bekasi juga terjadi konflik antar pemeluk agama yang 30 berbeda bahkan mereka yang bersengketa memanfaatkan Pidana sebagai upaya melakukan penekanan kepada pihak yang mereka anggap lawannya. Hal ini menjadi preseden buruk bagi proses penegakan hukum sehingga membutuhkan kejelasan yang dilindungi dan didasari oleh undang-undang yang ada untuk melindungi semua hak warga Negara. Hak untuk beribadah terlindungi oleh negara namun dalam menjalankan haknya juga tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan pidana. Negara menjamin umat bergama untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Upaya jemaat dalam mengajukan perijinan harus direspon oleh aparat negara dengan segera memberi kepastian apabila semua prosedur pengajuan ijin sudah terpenuhi. Jemaat juga harus taat hukum, apabila selama proses pengajuan ijin belum mendapatkan ijin dari instansi yang berwenang maka tidak boleh melakukan kegiatan peribadatan. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban memberikan penyuluhan kerukunan umat beragama dan penyuluhan kepada masyarakat tentang toleransi antar umat beragama. Keberpihakan pemerintah daerah kepada salah satu umat beragama merupakan preseden buruk dalam pelayanan kesetaraan terhadap warga masyarakat yang secara jelas dijamin oleh undang-undang dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. BAB IV PERLAKUAN DISKRIMINASI KEBEBASAN BERAGAMA YANG BERAKIBAT TINDAK PIDANA A. Dampak Penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama Dalam Pendirian Rumah Ibadah Kaitannya Dengan Tindak Pidana Yang Berlatar Belakang Diskriminasi Menjalankan Ibadah Yang Menyebabkan Tindak Pidana Tujuan pembuatan undang-undang adalah ketertiban dan legitimasi yang juga mempertimbangkan kompetensi.45 Pada kajian ilmu hukum paling tidak ada 3 faktor yang menjadi parameter sebuah undang-undang dapat berlaku secara baik, yakni: mempunyai dasar keberlakuan Yuridis, Sosiologis, dan Filosofis.46 Keberlakuan yuridis dari kaidah hukum oleh Bagir Manan diperinci dalam syarat-syarat:47 1. Undang-undang dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang membuat undang-undang. 2. Ada kesesuaian dari setiap undang-undang yang berlaku. 3. Mengikuti tata cara tertentu.. 45 Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 37. 46 Sirajuddin Dkk, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA, Jakarta, 2008, hlm. 11. 47 Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001,hal. 229 31 32 4. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Mengenai keberlakuan yuridis, Hans Kelsen, sebagaimana yang dikutip Soerjono Soekanto mengemukakan pendapat bahwa setiap kaidah hukum harus berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. 48Adapun menurut W. Zevenbergen, setiap kaidah hukum harus memenuhi syaratsyarat pembentukannya. Sementara itu menurut Logemann, suatu kaidah hukum itu berlaku secara yuridis apabila di dalam kaidah hukum tersebut terdapat hubungan sebab akibat atau kondisi dan konsekuensi.49 Berdasarkan penjelasan di atas, hukum yang sah adalah apabila ditentukan oleh suatu instansi yang berwenang dan ditentukan menurut kriteria yang berlaku.Berkenaan dengan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 Dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (Peraturan Bersama 2 Menteri), dapat dilihat dari pembentukannya. Pembentukan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 dilakukan sudah melalui poses dan prosedur yang ditetapkan sebagai mekanisme pembentukan peraturan bersama. Dibentuk oleh lembaga atau instansi yang berwenang membuat dengan mengacu pada uandang-undang yang ada diatasnya maka peraturan 48 Soerjono Soekanto Dkk, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 88-89 49 Ibid. 33 bersama memiliki kekuatan hukum yang jelas. Pembentukan Peraturan Bersama 2 Menteri berdasarkan kewenangannya tidak dilarang dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Perundang- Undangan diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 merupakan pedoman bagi seluruh umat beragama yang ada di Indonesia demi kerukunan umat beragama. Menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006, pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif yang berlaku di daerah di mana rumah ibadat tersebut akan dibangun. Persyaratan administrasi yang harus dipenuhi untuk membangun rumah ibadat adalah perizinan. Urusan penerbitan perizinan merupakan salah satu urusan otonomi daerah. Pendirian-pendirian gereja sebagai tempat ibadah yang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat sekitar dapat menyebabkan aksi protes masyarakat itu sendiri yang kemudian memunculkan kekerasan. Adanya organisasi masyarakat yang ikut dalam aksi protes, adanya penggunaan kekerasan, penyegelen sepihak menyebabkan kepala daerah sebagai pelaksana pemeliharaan kerukunan umat beragama, yang berpedoman pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 tahun 2006 harus mengambil sikap dan keputusan. Adapun tindakan masyarakat yang mengarah pada perbuatan pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan 34 beragama menurut KUHP, yaitu merintangi pertemuan/upacara agama (Pasal 175 KUHP), mengganggu pertemuan/upacara keagamaan (Pasal 176 KUHP), dan membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (Pasal 503 ke-2 KUHP). Dalam menyikapi permasalahan pendirian rumah ibadah yang kemudian memunculkan konflik horizontal antar pemeluk agama menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dalam praktiknya, pendirian rumah ibadah yang tidak mendapat dukungan mayoritas masyarakat sekitar, memicu konflik dengan tindak kekerasan, intimidasi sehingga berakibat pada terjadi tindak pidana yang mengatasnamakan agama dalam hal pendirian rumah ibadah pada akhirnya jemaat juga mensiasati dengan memenuhi persyaratan melalui sebuah perbuatan pidana juga. Namun hal ini tidak dapat mengurangi keberlakuan yuridis dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, dengan bentuk dan proses pembuatan yang telah ditetapkan serta tidak memuat materi yang bertentangan dengan peraturan diatasnya. Para tokoh agama ataupun tokoh masyarakat yang kurang bijak bahkan cenderung provokatif menjadi pendorong tersendiri konflik yang terjadi di masyarakat. Faktor ketidak tegasan pemerintah daerah dalam melakukan penegakan aturan dan penyelesaian konflik diakibatkan juga oleh kepentingan pemerintah yang tidak mau dikatakan tidak demokratis sehingga memunculkan sikap dan langkah yang disebut sebagai posisi aman atau tidak 35 mau mengambil resiko. Akibat dari sikap itulah sehingga pada akhirnya konflik yang terjadi terus berkepanjangan dan tidak kunjung berakhir. Konflik yang melibatkan masyarakat akan dapat segera terselesaikan jika ada ketegasan dari pemerintah baik pusat maupun daerah dalam hal ini ketegasan pimpinan/kepala dari pemerintahan sesuai dengan levelnya. Ketegasan itu akan muncul apabila pejabat publiknya dapat melepaskan kepentingan politik dan kepentingan pencitraan, belenggu lumbung suara dalam mengambil keputusan untuk kepentingan penegakan aturan. Termasuk didalamnya penegakan aturan SKB 2 Menteri. Berkaitan dengan banyaknya kasus pendirian rumah ibadah yang ditentang masyarakat sekitar, penegak hukum tidak boleh berpihak. Hak untuk beribadat sesuai agama dan kepercayaan merupakan non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun), maka siapapun tidak dapat menuntut secara hukum orang lain karena beribadat sesuai agama dan kepercayaannya tersebut. Tapi, jika ada perselisihan terkait pendirian rumah ibadat, maka perselisihan tersebut diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006. B. Perlindungan Hukum Kebebasan Beragama Dihubungkan Dengan Pasal 175 jo 176 KUHP Salah satu ciri dari Negara hukum atau the rule of law adalah adanya jaminan perlindungan HAM oleh Negara kepada warga negara. Makna jaminan perlindungan disini adalah bahwa negara memiliki kewajiban untuk 36 mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), menjamin (to guarantee), memenuhi (to fulfil), memastikan (to ensure) HAM.50 Adapun salah satu tujuan nasional Indonesia yang ada pada Pembukaan UUD 1945 ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak setiap warga negara Indonesia dari segala bentuk tindakan melanggar hak warga Negara tersebut. Berkaitan dengan kebebasan beragama, sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan, pemerintah sempat mengeluarkan beberapa kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia. Seiring dengan perubahan UUD 1945 maka kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang dianut semakin dikukuhkan. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 70 UU HAM, dalam menjalankan ibadah dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, pemerintah dapat mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui peraturan perundang-undangan. 50 Ahmad Nur Fuad, Cekli Setya Pratiwi, M. Syaiful Aris, Op.Cit., hlm. 3. 37 Revisi KUHP diharapkan dapat mengakomodasi masyarakat Indonesia yang semakin demokratis dan sekaligus mengalami problem moral dan kriminal yang sangat merusak, seperti tindak kekerasan fisik yang dilakukan terhadap pendirian tempat ibadah agama lain. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius dan posisi agama tercermin dalam ideologi dan konstitusi negara, yakni sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, meskipun Negara Indonesia bukan negara agama. Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terdapat tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau kehidupan beragama menurut KUHP, yaitu merintangi pertemuan/upacara agama (Psl. 175 KUHP), mengganggu pertemuan/upacara keagamaan (Psl.176 KUHP). Bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat dengan Pasal 175 KUHP. Mengenai Pasal 175 dan 176 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan: 51 (1) “pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan kebaktian agama; (2) “upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di gereja, mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu; 51 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1980, hlm. 134. 38 (3) “upacara penguburan mayat” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada diperjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur. Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh Negara. Delik agama dalam RUU KUHP merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945 sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap agama, kehidupan beragama, simbol-simbol agama, dan rumah ibadah; diatur sebagai delik formil (tidak mensyaratkan pembuktian adanya akibat dari delik/perbuatan pidana tersebut); serta untuk mencegah aksi main hakim sendiri dari masyarakat. Orientasi Utama Pasal 341-348 RUU KUHP adalah untuk melindungi eksistensi Agama dan kebebasan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu melalui sarana hukum pidana.52 C. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Diskriminatif Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi warga antara lain : 1. Adanya kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial mengakibatkan munculnya sikap-sikap cemburu yang dapat menjadi pemicu konflik. 52 Dian, “Tindak Pidana Terkait Agama Dalam RUU KUHP”, dikutip dari situs http://www.indonesia.go.id/in/penjelasan-umum/12784-tindak-pidana-terkait-agamadalam-ruu-kuhp [1/5/2014] 39 2. Fanatisme agama. Fanatisme terhadap agama yang sempit dan berlebihan dapat mengakibatkan sikap mau benar sendiri dan tidak mengindahkan norma-norma toleransi. 3. Pemahaman yang salah atas ajaran agama. Pemahaman ajaran agama yang sempit menjadi salah satu faktor yang ikut mewabahnya faham radikalisme yang destruktif melahirkan para pelaku teror yang kebanyakan adalah generasi muda. 4. Provokasi pihak-pihak yang berkepentingan atas adanya konflik. Konflik yang terjadi di Indonesia bukan merupakan konflik agama namun agama dijadikan pemicu untuk terjadinya perpecahan oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan baik dari politik maupun kelompok tertentu. 5. Proyek anggaran pemerintah. Adanya konflik menyebabkan adanya anggaran penyelesaian Negara konflik yang sehingga pemeliharaan konflik yang ada. dialokasikan berpotensi untuk adanya BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya,bahwa kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan yang diakui secara legal oleh negara telah dijamin oleh negara dengan berbagai ketentuan perundang-undangan serta peraturan peraturan pemerintah lainnya. Perilaku-perilaku diskriminasi yang terjadi di masyarakat sebagai akibat dari adanya kesenjangan antar pemeluk agama yang satu dengan penganut agama yang lain disertai dengan fanatisme sempit sebagian pemeluk agama yang berbeda, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Dengan adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan nomor 9 tahun 2006 maka pemerintah telah menjamin hak setiap pemeluk agama terlindung dari perlakuan diskriminatif pemeluk agama lain, namun syaratnya bahwa pemeluk agama yang akan melakukan kegiatan agama atau pendirian rumah ibadah juga harus mentaati peraturan yang sesuai dengan undang-undang. Terbitnya peraturan bersama tersebut bukan merupakan bentuk diskriminasi atau menyuburkan prilaku diskriminatif dalam masyarakat namun keberadaan peraturan bersama adalah untuk menjaga keseimbangan serta terjaminnya hak 40 41 dan kewajiban pemeluk agama. Dalam menjalankan haknya setiap warga negara wajib mentaati ketentuan perundangundangan lainnya yang mengatur tentang kerukunan hidup beragama maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia 2. Pasal 175 dan 176 KUHP merupakan bentuk perlindungan negara kepada setiap warga negara yang akan melakukan kegiatan keagamaan atau sedang melakukan kegiatan keagamaan, supaya tidak ada gangguan dalam melaksanakan kegiatan keagamaan tersebut dengan syarat bahwa kegiatan keagamaan yang diselenggarakan harus sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Negara sudah mengakui adanya agama yang berbeda-beda dalam masyarakat, dengan demikian maka negara juga harus menciptakan suasana yang aman dan saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda. Bentuk upaya negara memberikan jaminan dan penciptaan kondisi saling menghormati dapat dilihat dari berbagai peraturan baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah atau pemerintah Daerah. Apabila terdapat warga negara menghalangi kegiatan pemeluk agama lain untuk melakukan peribadatan agamanya maka dapat dikenakan sanksi pidana. 42 3. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi adalah kesenjangan sosial, fanatisme agama yang sempit, pemahaman yang salah atas suatu ajaran agama, provokasi dari pihak yang berkepentingan atas adanya konflik dan proyek anggaran pemerintah. Sikap diskriminasi yang timbul dalam kehidupan kerukunan umat beragama tidak serta merta muncul dalam masyarakat walaupun sikap diskriminasi itu sendiri merupakan situasi alamiah ketika dihadapkan pada keadaan mayoritas dan minoritas. Kelompok mayoritas pada umumnya akan merasa superior terhadap kelompok minoritas sehingga kelompok yang merasa mayoritas menganggap kepentinganyalah kelompok yang minoritas harus selalu didahulukan merasa begitupun terpinggirkan kepentingannya walaupun sudah diakomodir. Keadaan yang timbul diantara dua kelompok inilah yang kemudian menjadi sumber konflik yang terjadi dengan adanya provokasi dari pihak yang menghendaki konflik terjadi termasuk didalamnya dalam rangka penyerapan anggaran pemerintah, dengan faktor-faktor tersebut diatas sebagai katalisator atas perilaku diskrimansi dalam masyarakat. Ketika kelima faktor yang mempengaruhi sikap diskriminasi dibiarkan tumbuh dalam masyarakat maka sikap-sikap diskriminasi dalam masayarakat yang intoleran dapat tumbuh subur. 43 B. Saran 1. Untuk memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan yang akan menjalankan ajaran agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya maka Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 hendaknya diterapkan oleh pemerintah daerah dengan tujuan menjaga ketertiban masyarakat dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Ketegasan pemerintah dalam menjalankan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2006 sangat diperlukan. Tidak memberikan kebijakan-kebijakan yang melonggarkan peraturan dan ketentuan perundangan yang mengaturnya. Sikap permisif kepada pihak pemeluk agama manapun untuk memunculkan memberikan dan kebijaksanaan menumbuhkan perasaan hanya akan diskriminasi. Penegakan hukum juga seharusnya disertai dengan pemberian pemahaman kepada para pemeluk agama yang berbeda. Pemenuhan hak harus sejalan dengan pemenuhan kewajiban guna memperoleh keseimbangan dalam hal penegakan hak dan kewajiban masyarakat menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. 44 2. Agar pemerintah daerah memasukan pembangunan rumah ibadah kedalam suatu rancangan tata kota. Resistensi yang timbul pada umunya berawal dari adanya perbedaan keyakinan. Pada saat gereja dibangun ditengah pemukiman umat Muslim yang padat maka potensi penolakannya akan sangat besar begitupun sebaliknya ketika mesjid dibangun ditengah pemukiman umat Nasrani yang padat maka akan terjadi resistensi yang cukup besar, walaupun itu bukan merupakan sebuah kepastian namun untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Daerah hendaknya memasukan pembangunan rumah ibadat ke dalam suatu rancangan tata kota, sehingga setiap pembangunan rumah ibadat sesuai dengan daerah dan lokasi peruntukannya untuk mencegah terjadinya konflik dengan masyarakat sekitar. Penataan kota yang baik sesuai dengan peruntukannya menjadi salah satu solusi menekan konflik sara yang akan terjadi akibat sikap diskriminasi dalam masyarakat. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan sistem zona atau cluster untuk daerah-daerah tertentu guna menampung pemeluk agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya pada zona tersebut dibuatkan rumah ibadah sesuai dengan kebeutuhan pemeluk agamanya. Pemerintah daerah memerlukan garis kebijakan yang jelas dalam hal melakukan penataan kota terkait pembangunan rumah ibadah yang 45 disesuaikan dengan kebutuhan umat beragama dengan memperhatikan rasio pemeluk umat beragama dengan jumlah rumah ibadah, karena ketidakseimbangan rasio antara pemeluk umat beragama dengan jumlah rumah ibadah akan menimbulkan ancaman gangguan kamtibmas juga. Ketidakseimbangan rasio juga bisa mengganggu efektivitas fungsi rumah ibadah, oleh karena itu pemerintah daerah harus benar-benar mempunyai kebijakan yang jelas mengenai pembangunan kehidupan beragama masyarakatnya. 3. Pemerintah supaya memaksimalkan peran penyebar ajaran agama untuk mengikis sikap intoleran dan fanatisme sempit serta menyebarkan semangat toleransi. Pemerintah hendaknya memberikan pendidikan toleransi kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh faktor-faktor luar yang dapat memecah persatuan antar umat beragama di Indonesia. Melakukan pembinaan-pembinaan kepada ormas-ormas keagamaan maupun majelis-majelis keagamaan atau pertemuanpertemuan peribadatan perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menyampaikan pesan-pesan ketertiban masyarakat. Memberdayakan para penyebar ajaran agama seperti ustadz, kyai, ulama, pendeta dan tokoh-tokoh agama lainnya juga perlu dimaksimalkan oleh pemerintah karena para tokoh agama inilah yang akan sangat berpengaruh dalam mentransfer ilmu 46 pengetahuan keagamaan sebagai proses pembangunan karakter kedamaian. Para tokoh agama tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses penyampaian pesan perdamaian dan ketertiban masyarakat. 4. Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) hendaknya didayagunakan secara maksimal sebagai wadah pembinaan kerukunan antar umat beragama bukan hanya sebatas seremonial belaka. Forum Komunikasi Umat Beragama apabila berjalan dengan baik dapat menjadi wadah dalam mencari penyelesaian masalah yang muncul akibat adanya singgungan kepentingan yang melibatkan umat beragama. Komunikasikomunikasi intensif dan koordinasi antar tokoh-tokoh agama yang difasilitasi oleh pemerintah daerah bukan hanya pada saat ada masalah saja namun pada keadaan biasapun kegiatan yang menciptakan kerukunan antar umat beragama harus tetap dijalankan dalam kapasitas melakukan pencegahan. Program penyuluhan-penyuluhan mengenai keberagaman, kebersamaan dan toleransi perlu dilakukan secara bersama oleh tokoh-tokoh agama dan pemerintah. Keberadaan FKUB ditengah-tengah heterogenitas keyakinan dan ajaran agama sangat penting guna mencari solusi atas perbedaan-perbedaan maupun gesekangesekan yang terjadi di masyarakat bukan hanya sebagai pemadam kebakaran ketika konflik sudah terjadi namun juga 47 difungsikan sebagai media pencegah dan peredam potensi konflik antar umat beragama. 5. Agar pemerintah melakukan penindakan hukum yang tegas terhadap ormas atau kelompok masa yang mengatasnamakan agama namun berperilaku destruktif, tidak memberikan ruang yang bebas kepada organisasi masa yang mengatasnamakan agama dalam pergerakannya namun pada pelaksanaan kegiatannya selalu membawa kekacauan dan kerusuhan. Penindakan dan penegakan hukum secara tegas harus dilakukan kepada siapa saja yang sudah mengganggu ketertiban umum di masyarakat tanpa pandang bulu. Apapun alasannya, bagaimanapun kemasannya ketika perbuatan yang dilakukan sudah melanggar hukum maka pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum tidak boleh bersikaf permisif. Sikap tegas dari aparat penegak hukum seharusnya juga mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, awak media maupun para pengamat sosial. Pemerintah tidak boleh ragu-ragu dalam bertindak selama berdasar dan demi kepentingan masyarakat yang lebih luas walaupun dihadapkan pada isu arogansi maupun demokratisasi 6. Agar pemerintah memaksimalkan peran lembaga agama untuk menekan faktor-faktor penyebab diskriminasi dengan pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan sumbangan keagamaan 48 lainnya secara benar maka akan memperkecil kesenjangan yang terjadi, melakukan pendekatan dan memberikan pelatihan kepada tokoh agama untuk menanamkan semangat toleransi dan meluruskan ajaran-ajaran agama yang disalah artikan sebagai program penguatan umat beragama agar tidak mudah terprovokasi. Dengan adanya ketegasan dari pemerintah dalam hal penegakan hukum, penganggaran pembinaan ketertiban masyarakat, kesepahaman dari semua elemen masyarakat dalam melakukan pembinaan kerukunan antar umat beragama, penanaman ajaran agama yang membawa kedamaian serta pemberian pelajaran sikap toleransi antar umat beragama yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda maka wujud perlindungan hak asasi manusia dalam memeluk dan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masyarakat akan dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional bangsa Indonesia. Program-program pemerintah untuk mengikis kesenjangan sosial antar pemeluk agama dengan memaksimalkan peran lembaga kesejahteraan umat, upaya pemerintah melalui kegiatan forum komunikasi antar umat beragama dengan kampanye kerukunan umat beragama serta mengoptimalkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda diharapkan dapat mengikis sikap fanatisme sempit dan menangkal provokasi yang bertujuan memecah belah umat beragama. Upaya-upaya dimaksud diimbangi dengan ketegasan dalam penegakan hukum sehingga tercipta masyarakat yang tertib dan berkeadilan hidup dalam suasana kerukunan antar umat beragama. DAFTAR PUSTAKA A. Buku A. Rahman (ed), Hak-Hak Asasi Manusia, Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994. Adeng Muchtar Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Pelajar, Bandung, 2004. Ahmad Nur Fuad, Cekli Setya Pratiwi, M. Syaiful Aris, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, LPSHAM Muhammadiyah Jatim dan Madani, Malang, 2010 B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Bagir Manan (ed), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Guna Menghormati Sri Soemanti Martosoewignjo, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996. Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UII Press, Yogyakarta, 2005. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2009. Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) Di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, BP UNDIP, Semarang, 2010. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2008. E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962. E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1983. 49 50 Otje Salman Soemadiningrat, Eddy Damian Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. (ed), Hukum dan H.M. Daud Ali, dkk., Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1989. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1985. Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar Grafika, Jakarta, 1991 Mochtar Kusumaatdja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Muchsan, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Kualitatif dan Kuantitaif untuk Pengembangan Ilmu dan Penelitian edisi III revisi, Rake Sarasin, Bandung, 2006. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1992. R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor, 1980. Raija Hanski and Markku Suksi, An Introduction To The International Protection Of Human Rights, 2nd Revised Edition, Institute For Human Rights, Abo Akademi University, 2004. Sabian Utsman, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Penerbit Ciputat Press, Jakarta Sirajuddin Dkk, Legislatif Drafting, Cetakan Ketiga, Penerbit Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA, Jakarta, 2008. Soerjono Soekanto dkk, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. 51 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981. Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008. B. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Menyampaikan pendapat di Muka Umum Tentang Kebebasan Undang-Undang Nomr 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum, Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. C. Sumber Lain : Abdusshomad Buchori, “HAM dan Penerapan Syariah dalam Kontek Demokratisasi di Indonesia” disampaikan dalam seminar HAM dan Penerapan Syariah dalam Kontek Demokratisasi di Indonesia pada 21 Maret 2009 diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Malang. Bahari (ed), “Tolerasnsi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi 52 Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri)”, Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta, 2010. Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001. Barda Nawawie, “Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama” Makalah pada Forum Debat Publik Tentang RUU KUHP Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 21 – 22 Nopember 2000. Dian, “Tindak Pidana Terkait Agama Dalam RUU KUHP”, http://www.indonesia.go.id/in/penjelasan-umum/12784-tindakpidana-terkait-agama-dalam-ruu-kuhp Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Negara Indonesia”,<htpp://konsep_hukumdocudesk.com> Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum” jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf> Joko Riskiyono, “Jaminan Konstitusional Kebebasan Beragama Terancam”, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/01/11/30002/jaminan _konstitusional_kebebasan_beragama_terancam/#.T3hyn3qG2a4 Hukum <http: Rachmadin Ismail, “Penjelasan Walikota Bogor Tentang Kasus GKI Yasmin” <http://us.detiknews.com/read/2011/03/26/053609/1601690/10/pen jelasan-walikota-bogor-tentang-kasus-gki-yasmin>