Laporan Kasus Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif

advertisement
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Laporan Kasus
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal
Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem
Imun
Fokus pada Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal
Pneumonia
Penyusun
Dr. Stevent Sumantri
0806484742
Residen Tahap I
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia – RSUP Cipto Mangunkusumo
Jakarta, Juni 2010
2010, Stevent Sumantri | 1
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Daftar Isi
Pendahuluan ................................................................................................................................... 3
Ilustrasi Kasus .................................................................................................................................. 5
Diskusi kasus ................................................................................................................................. 10
Faktor predisposisi dan etiopatogenesis infeksi pada LES ....................................................... 10
Infeksi fungal pada pasien LES .................................................................................................. 13
Kandidemia dan kandidiasis invasif .......................................................................................... 13
Pneumonia kandida .................................................................................................................. 15
Gambaran radiologis pneumonia fungal, fokus kepada kandida dan aspergilus ..................... 16
Diagnosis kandidemia dan infeksi fungal invasif ...................................................................... 18
Pengenalan faktor risiko untuk mendiagnosis infeksi fungal invasif secara empirik ............... 19
Terapi antifungal untuk kandidemia dan infeksi fungal invasif ................................................ 20
Profilaksis kandidemia dan infeksi fungal invasif ..................................................................... 20
Terapi antifungal empirik .......................................................................................................... 21
Lama terapi antifungal .............................................................................................................. 22
Mortalitas kandidemia dan infeksi fungal invasif ..................................................................... 22
Kesimpulan.................................................................................................................................... 24
Referensi ....................................................................................................................................... 25
2010, Stevent Sumantri | 2
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Pendahuluan
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit kronik yang mempengaruhi
banyak sistem organ dan mempunyai manifestasi klinis serta laboratoris beragam. Secara
klinis LES merupakan penyakit dengan ciri khas rekurensi, sementara pada sekelompok
pasien penyakit ini dapat ringan namun pada kelompok pasien lain dapat berat dan tidak
respons terhadap terapi. Laju kesintasan pasien dengan LES telah membaik secara signifikan
dalam lima dekade terakhir, mulai dari kurang 50% dalam 5 tahun pada 1955 sampai 85%
dalam 10 tahun menurut penelitian-penelitian baru. Perbaikan dalam laju kesintasan SLE
merupakan hasil dari perbaikan terus menerus kesintasan dalam populasi umum, kemajuan
modalitas terapi, penggunaan terapi yang lebih baik terutama steroid dan obat-obatan
sitotoksik serta adanya perubahan dalam faktor prognostik. Namun demikian, meskipun
adanya perbaikan-perbaikan yang menggembirakan, pasien dengan LES tetap mempunyai
tingkat mortalitas yang lebih tinggi 2,4 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
normal.1
Pasien yang terdiagnosis dengan lupus pada usia 20-an tahun mempunyai risiko 1 dalam 6
untuk meninggal pada usia 35 tahun, seringkali disebabkan oleh karena aktivitas lupusnya
sendiri atau oleh karena infeksi. Pada paruh usia selanjutnya, infark miokardial dan stroke
menjadi penyebab kematian yang penting. Pola mortalitas bimodal pada lupus ini telah
dikenali lebih dari 30 tahun yang lalu.2 Suatu studi oleh Bernatsky et al pada tahun 2006
yang melibatkan 9.547 pasien LES dari 23 pusat perawatan menunjukkan, bahwa penyakit
infeksi tetap merupakan penyebab kematian utama pada sepsis dengan risiko mortalitas
standar (SMR-standarized mortality ratio) sebesar 5.0 (95% CI 3.7-6.7), dan pneumonia
merupakan salah satu kausal infeksi terpenting dengan SMR sebesar 2.6 (95% CI 1.6-4.1).3
Seperti telah disebutkan di atas, infeksi merupakan salah satu komplikasi serius dari LES,
namun insidens komplikasi infeksi spesifik pada populasi ini masih belum diketahui. Datadata yang ada menunjukkan bahwa infeksi yang terdokumentasi sebagian besar adalah
infeksi bakterial dan hanya sedikit yang membahas mengenai infeksi fungal. Pada suatu
laporan 30 kasus LES dengan infeksi fungal invasif ditemukan bahwa infeksi tersering adalah
dengan Candida sp. (n=13), diikuti dengan C.neoformans (n=10) dan Aspergillus sp. (n=4).
Faktor predisposisi yang dapat ditemukan adalah penggunaan steroid, obat-obatan
sitotoksik, kecanduan narkoba, luka termal, pembedahan, protesa kardiak dan penggunaan
antibiotika.4, 5
Infeksi fungal invasif merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan disfungsi sistem imun. Prevalensi akurat dari penyakit ini belum diketahui,
namun survei berbasis populasi memperkirakan berkisar antara 12-17 per 100.000 populasi.
Kandidiasis dan aspergilosis, sebagaimana telah disebutkan di atas, tetap merupakan
penyebab yang paling sering. Infeksi kandida invasif paling sering diketemukan pada pasien
yang dirawat di unit rawat intensif (ICU-intensive care unit) dan bayi dengan berat badan
2010, Stevent Sumantri | 3
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
lahir sangat rendah (BBLSR). Mortalitas pasien dengan kandidemia berkisar antara 36%
sampai 63%, walaupun mortalitas pada pasien ICU telah membaik pada tahun-tahun
terakhir dan diduga disebabkan oleh pemberian terapi antifungal yang lebih dini. Diagnosis
tetap didasarkan pada metode kultur tradisional, namun demikian bahkan tanpa
dokumentasi kandidemia, dimungkinkan untuk mengidentifikasi kelompok pasien yang akan
memperoleh keuntungan dari terapi profilaksis atau pre-emptif. Profilaksis antifungal
menyeluruh tidak direkomendasikan dan kemungkinan akan menyebabkan resistensi
antifungal dan perubahan kausal patogen.6, 7
Inisiasi terapi antifungal yang sesuai sangat penting untuk menurunkan mortalitas,
sebagaimana telah disebutkan di paragraf sebelumnya, sehingga diagnosis dini infeksi
sangat penting. Namun demikian diagnosis infeksi fungal invasif tetap sulit dan seringkali
mengalami penundaan. Kultur darah kurang sensitif dalam diagnosis infeksi fungal invasif
(sensitivitas <50%) dan seringkali terlambat menjadi positif. Pengambilan sampel jaringan
invasif seringkali sulit dilakukan pada pasien sakit kritis di ICU dan tanda-tanda radiologis
sering timbul terlambat pada perjalanan penyakit. Semua hal di atas menunjukkan
diperlukannya cara-cara untuk memperbaiki ketepatan klinisi dalam mendiagnosis dan
menstratifikasi risiko pasien-pasien dengan kecenderungan tinggi menderita infeksi fungal
invasif untuk dapat memperbaiki kesintasan pada populasi ini.6-8
Kami mengajukan suatu kasus wanita usia muda dengan LES dan infeksi fungal invasif,
dalam hal ini pneumonia fungal dengan kecurigaan kandidemia, yang dalam perjalanan
penyakitnya mengalami perjalanan klinis yang berat dengan timbulnya sepsis. Pada laporan
kasus ini, kami akan membahas mengenai faktor-faktor predisposisi dan patogenesis
kerentanan pasien LES terhadap infeksi dan terutama infeksi jamur. Kami juga akan
membahas mengenai diagnosis dini infeksi fungal invasif pada pasien-pasien dengan
disfungsi sistem imun beserta dengan tatalaksananya. Harapan kami, dengan pembahasan
laporan kasus ini dapat diperoleh suatu gambaran yang komprehensif mengenai infeksi
fungal invasif pada pasien dengan disfungsi sistem imun, sehingga akan memperbaiki
penanganan terhadap populasi pasien ini.
2010, Stevent Sumantri | 4
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Ilustrasi Kasus
Riwayat Penyakit Sekarang
Wanita usia 28 tahun datang dengan keluhan utama sesak yang memberat sejak 1 minggu
SMRS. Pasien mengeluhkan sejak 3 bulan SMRS mulai merasa sesak, sesak dirasakan
terutama pada saat aktivitas, saat ini dengan aktivitas ringan pasien sesak dan hanya tidak
sesak dengan istirahat, sesak membangunkan dari tidur malam hari, sesak membaik dengan
posisi duduk dan disertai dengan timbulnya bengkak pada kedua kaki dan pinggul yang
makin lama makin membesar. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan
sesak semakin memberat, disertai dengan batuk berdahak berwana putih kekuningan, tidak
disertai dengan darah ataupun dahak kehijauan. Batuk berdahak disertai dengan demam,
demam dirasakan tidak terlalu tinggi, timbul sepanjang waktu dan membaik dengan
pemberian obat penurun panas. Pasien sempat berobat ke RSUD, dikatakan menderita paru
terendam namun karena keterbatasan biaya pasien hanya berobat di rumah saja.
Pasien juga mengeluhkan adanya kerontokan pada rambut, jumlah meningkat dibandingkan
biasanya, nyeri pada sendi-sendi pasien terutama pada sendi kecil, timbul sariawan dalam
jumlah beberapa di mulut dan lidah terdapat bercak keputihan namun tidak disertai dengan
nyeri menelan. Pasien juga mengeluhkan mudah merasa lemah bila terkena sinar matahari
dan timbul bercak-bercak berwarna kemerahan terutama pada wajah didaerah sekitar
hidung. Penurunan berat badan dirasakan sebesar 6 kg dalam waktu 3 bulan terakhir, suka
merasakan demam sumeng-sumeng terutama pada malam hari, keringat malam disangkal
dan riwayat batuk-batuk lama disangkal. Kontak terhadap penderita flek paru disangkal,
kontak penderita DBD disangkal, riwayat bepergian ke daerah malaria disangkal. Buang air
besar tidak ada keluhan, buang air kecil terkadang dikeluhkan pasien suka timbul busa, BAK
keruh disangkal, BAK berpasir dan nyeri disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat operasi disangkal, riwayat sakit ginjal disangkal, riwayat sakit jantung disangkal,
riwayat sakit asma atau alergi disangkal, riwayat hipertensi atau diabetes mellitus disangkal,
riwayat keganasan disangkal. Riwayat keluarga untuk penyakit autoimun disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menunjukkan wanita dengan penampilan sesuai usia, nampak sakit
sedang dan sesak pada aktivitas ringan, posisi nyaman setengah duduk, kesadaran compos
mentis. Pasien takipneik dengan laju napas 26 kali/menit, subfebris 37,8°C, takikardia 120
kali/menit dan tekanan darah dalam batas normal 120/80 mmHg. Rambut pasien nampak
kusam dan mudah dicabut, konjungtiva nampak pucat, sklera tidak ikterik, ditemukan malar
rash pada wajah pasien. Pemeriksaan rongga mulut menunjukkan adanya ulkus aftosa
multipel dengan ukuran 0,5 sampai 1 cm di palatum dan sisi bukal bilateral disertai dengan
2010, Stevent Sumantri | 5
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
oral thrush pada lidah pasien. Pemeriksaan leher menunjukkan JVP 5 + 2 cmH2O, tiroid tidak
teraba membesar, KGB servikal tidak teraba membesar.
Pemeriksaan thoraks menunjukkan thoraks simetris dalam keadaan statis dan dinamis, stem
fremitus simetris bilateral, perkusi sonor pada kedua lapang paru dan redup pada basal paru
kanan. Auskultasi paru menunjukkan suaran napas vesikular menurun pada basal baru
kanan, ditemukan ronki bilateral tanpa adanya wheezing. Pemeriksaan jantung
menunjukkan iktus kordis terlihat dan teraba pada ICS VI 1 jari lateral linea midklavikularis
sinistra, teraba adanya lifting dan heaving pada iktus kordis, batas kanan dan kiri jantung
melebar disertai hilangnya pinggang jantung pada perkusi. Auskultasi jantung menunjukkan
A2<P2, S2>S1 pada katup pulmonal, murmur sistolik pada semua katup 3/6, dan ditemukan
gallop S3.
Pemeriksaan abdomen menunjukkan abdomen nampak buncit, venektasi tidak ada, spider
naevi tidak ada, supel pada perabaan, tidak ditemukan nyeri tekan dangkal dan dalam,
hepar dan lien tidak teraba membesar. Pada perkusi tidak ditemukan adanya shifting
dullness dan auskultasi bising usus dalam batas normal. Pemeriksaan ekstremitas tidak
ditemukan adanya inflamasi sendi, terdapat edema pitting tungkai bilateral, akral teraba
hangat dan capillary refill time <3 detik. Pada kedua ekstremitas juga diamati adanya
bercak-bercak pustular dengan dasar eritematous, berwarna pucat saat ditekan dengan
ukuran 0,1-0,2 mm.
Pemeriksaan rontgen thoraks awal menunjukkan adanya kardiomegali dengan hilangnya
pinggang jantung, infiltrat bilateral pada paru dan efusi pleura dekstra setinggi ICS 7 dan 8.
Pada bagian basal paru kanan juga terlihat konsolidasi berbentuk bulat dengan ukuran
diameter 5 cm, dengan bagian tengah nampak lebih hitam dibandingkan luar dan air
bronkogram (+), tidak nampak adanya radiolusensi pada batas terluar konsolidasi.
Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan irama sinus ritmis dengan rate 120x/menit
dan left axis deviation, P wave (+) normal, PR interval 0,16 s, low voltage qrs pada semua
lead, ST changes (-), T wave inversion (-), hipertrofi ventrikel (-), bundle branch block (-).
Echocardiography menunjukkan adanya regurgitasi mitral moderate-severe, regurgitasi
trikuspidal mild, pericardial efusion trivial, fungsi sistolik LV baik dan hipertensi pulmonal
moderate.
Pemeriksaan laboratorium awal menunjukkan hemoglobin 4,8 g/dL; hematokrit 16%;
leukosit 8.200 sel/mcL; trombosit 110.000 sel/mcL; MCV 82; MCH 25 dan MCHC 30.
Pemeriksaan kreatinin 0,9 mg/dL; SGPT 12 IU/dL; GDS 94 g/dL; natrium 139; kalium 3,0,
klorida 107, bilirubin total 1,2 g/dL, bilirubin direk 0,3 g/dL dan indirek 0,9 g/dL. Urinalisis
menunjukkan leukosituria (10-12 sel/LPB); hematuria (18-22 sel/LPB); protein 2(+);
hemoglobin 2(+); berat jenis 1.025 dan pH 5,0. Pemeriksaan analisa gas darah pH 7,580;
pCO2 34,3; pO2 113,1; sO2% 99,1% dan HCO3 32,5. Pemeriksaan kadar C3 24,9 mg/dL; C4 2
mg/dL; Ana positif titer 1/320 pola speckled dan titer lebih dari sama dengan 1/10.000 pola
homogen dan anti ds-DNA 1.524 IU/mL. Pemeriksaan Coomb’s menunjukkan adanya
2010, Stevent Sumantri | 6
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
inkompatibilitas minor dengan kompatibilitas mayor pada medium Lis Coomb’s, adanya
auto-alloantibody, dan dalam serum ditemukan adanya reguler dan irreguler antibody
dengan spesifikasi tidak dapat ditentukan. Pemeriksaan kadar CD4+ menunjukkan angka 134
sel/mcL. Pemeriksaan ACA IgM menunjukkan hasil 82,4 (high positive) dan ACA IgG 42,8 ( to
medium positive).
Diagnosis dan tatalaksana
Pasien pada saat awal perawatan ditegakkan diagnosis dengan CHF fc. III ec. Anemia Heart
Disease dan Hipertensi Pulmonar; SLE dengan keterlibatan hematologik (anemia MH dan
trombositopenia), ginjal (proteinuria) dan mukokutan (malar rash dan stomatitis aftosa),
hipokalemi dan ISK asimtomatik. Pasien kemudian diterapi dengan O2 3 liter/menit nasal
kanul, IVFD NS 500cc/24 jam, Diet jantung 1700 kkal 0,8 g/kg BB protein, UMU BC (-) 300
cc/24 jam, restriksi cairan 600 cc/24 jam, inhalasi ventolin:bisolvon:NS = 1:1:1/8 jam, lasix 2
x 40 mg IV, ciprofloxacin 2 x 400mg IV, KSR 3 x 1 tab, methylprednisolon 2 x 250 mgIV dan
cellcept 2 x 500mg PO.
Follow up
Pada hari perawatan ke 7, keadaan pasien bertambah berat dengan hemodinamik stabil,
takikardia 120 kali/menit, takipnea 32 kali/menit dan demam subfebris 37,6°C. Pada
pemeriksaan leher JVP masih ditemukan meningkat 5+2 cmH2O, pada paru terdapat ronki
basah kasar bilateral dan pada ekstremitas terdapat edema pitting bilateral. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hemoglobin 8,6; kematokrit 25%; leukosit 41.500 dengan hitung
jenis 0/0/0/93/5/2; trombosit 142.000; laju endap darah 16; prokalsitonin 0,5; natrium 150;
kalium 4,33; klorida 109,8; ureum 108; kreatinin 1,4; albumin 2,2; PT 14/11,7; APTT
43,3/37,8; analisa gas darah 7,410/47,7/86,3/30,2/96,5%; D-dimer 2.400 dan fibrinogen
152. Pemeriksaan ACA IgG dan IgM menunjukkan hasil positif kuat.
Pasien dikaji ulang dengan Sepsis ec. pneumonia jamur dengan DIC dan Acute Kidney Injury
serta pneumonida komunitas ec jamur dd/bakterial, TB paru infeksi sekunder. Konsolidasi
sirkular pada paru kanan dinilai sebagai infeksi jamur dan terapi dengan flukonazole 2 x
200mg IV. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT scan thorax, namun karena
keadaan umum belum memadai pemeriksaan ditunda. Terapi pasien juga ditambahkan
dengan ceftazidime 3x1g IV; levofloxacin 1x500mg IV; heparinisasi full dose dengan target
APTT/K 1,5-2,5 kali; Cavit D3® 2 x 1; asam folat 1 x 3 tablet dan cellcept dinaikkan menjadi 3
x 500mg.
Oleh karena sesak yang semakin memberat, pasien kemudian dialih rawat ke high care unit
pada hari perawatan ke-8. Pada saat di HCU pasien dikaji dengan masalah gagal napas tipe II
(pCO2 53,8) dan diputuskan untuk dilakukan pemasangan ventilator dan central venous
catheter. Direncanakan juga pemeriksaan kultur sputum MOR, BTA 3x melalui aspirasi
endotrakeal. Hasil pewarnaan gram sputum memperlihatkan adanya jamur namun tidak
2010, Stevent Sumantri | 7
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
dilakukan pemeriksaan spesies jamur dan hasil kultur memperlihatkan infeksi dengan
S.epidermidis yang dicurigai merupakan kuman komensal. Terapi ditambahkan dengan
omeprazole 1 x 40mg IV.
Selama perawatan di HCU parameter sepsis seperti leukosit mempunyai kecenderungan
untuk turun dengan kadar leukosit dari titik tertinggi 41.500 terus mengalami penurunan
hingga 9.000 pada hari ke 12 perawatan, ronki basah kasar membaik dan juga gambaran
konsolidasi Sedangkan hasil kultur darah menunjukkan hasil negatif, baik untuk bakteri
maupun jamur. Nodul sirkuler pada rontgen dada yang mengalami perbaikan dan kemudian
menghilang. Namun demikian kegagalan organ terus menerus terjadi perburukan dengan
acute kidney injury memburuk (ureum dan kreatinin terus meningkat menjadi 221/2,0), DIC
(PT 2,08 kali kontrol, APTT 1,5 kali kontrol dan D-dimer 2000) dan fungsi pernapasan yang
terus didukung dengan penggunaan ventilator. Pasien direncanakan untuk dilakukan
hemodialisis untuk memperbaiki keadaan uremia yang disebabkan oleh karena AKI.
Ilustrasi Radiologik. Konsolidasi sirkular pada basal paru kanan mulai dari masa padat pada rontgen pertama,
mengalami atenuasi sentral pada rontgen kedua dan menghilang sempurna setelah terapi dengan flukonazol
intravena.
Pada hari ke 14 perawatan, pasien timbul demam 38°C disertai dengan takikardia 120
kali/menit, ronki basah kasar memberat dan disertai dengan peningkatan leukosit menjadi
30.000 dan prokalsitonin yang positif 1,0. Pasien dicurigai mengalami pneumonia terkait
2010, Stevent Sumantri | 8
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
ventilator (VAP) yang dikomplikasikan dengan perburukan dari sepsis, direncanakan untuk
dilakukan pemeriksaan kultur sputum, urin dan darah ulang. Pada hari ke 15 perawatan
keadaan hemodinamik pasien mengalami perburukan, pasien dikaji ulang dengan syok
sepsis ec VAP dengan sindrom disfungsi organ multipel (MODS). Setelah dilakukan resusitasi
cairan dan pemberian vasopressor keadaan pasien terus memburuk dan tidak mengalami
respons. Pasien kemudian mengalami henti napas dan jantung, resusitasi jantung dan paru
dilakukan namun tidak memberikan respons. Pasien akhirnya dinyatakan meninggal dengan
penyebab kematian gagal sirkulasi oleh karena syok sepsis ireversibel dengan sindrom
disfungsi organ multipel.
2010, Stevent Sumantri | 9
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Diskusi kasus
Faktor predisposisi dan etiopatogenesis infeksi pada LES
Banyak peneliti telah mengamati faktor-faktor risiko yang mempredisposisi infeksi pada
pasien SLE, sebagian besar setuju bahwa terapi dengan kortikosteroid dan juga manifestasi
SLE aktif berkaitan erat dengan risiko infeksi. Studi oleh Staples et al menemukan bahwa laju
infeksi pada pasien rawat inap meningkat dari 0,43 menjadi 1,63 per 100 hari rawat inap
dengan peningkatan dosis steroid dari 0 menjadi lebih dari 50mg/hari. 9 Sedangkan studi
Downstate menunjukkan adanya peningkatan lima kali lipat dari frekuensi semua tipe
infeksi, dari 35 menjadi 179 per 100 tahun-pasien seiring dengan peningkatan dosis steroid
dari 0 menjadi lebih dari 40 mg/hari. Tren yang serupa dapat diamati pada infeksi bakterial
(dari 10/100 tahun-pasien menjadi 87/100 tahun pasien) ataupun infeksi oportunistik
seperti infeksi jamur (142/100 tahun-pasien).10
Studi oleh Noel pada 87 pasien dengan LES yang diikuti dari tahun 1960 sampai 1997,
menunjukkan 35 diantaranya menderita paling tidak satu episode infeksi. Faktor risiko yang
diamati pada studi ini adalah aktivitas penyakit berat, glomerulonefritis, kortikosteroid,
siklofosfamid dan plasmaferesis.11 Sedangkan studi oleh Ruiz-Irastorza pada tahun 2009,
dengan mengikuti 249 pasien secara prospektif dalam kohort Lupus-Cruces, menemukan
adanya 83 episode infeksi mayor. Kausal tersering adalah infeksi umum seperti E.coli,
S.aureus, M.tuberculosis dan S.pneumoniae. Sedangkan infeksi kandida menempati porsi
yang cukup signifikan dengan 3 episode (7%) dari keseluruhan infeksi mayor. Studi ini
mengungkapkan beberapa faktor risiko, diantaranya adalah adanya antibodi antifosfolipid,
yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Tabel regresi logistik dari faktor-faktor independen terkait dengan infeksi mayor
pada pasien dengan LES.12
Sebagaimana telah ditunjukkan di atas, pasien kami memiliki berbagai macam faktor risiko
yang menempatkan dirinya pada risiko yang besar untuk mengalami infeksi. Aktivitas
penyakit, sebagaimana ditunjukkan oleh skor SLEDAI, cukup tinggi pada pasien kami yakni
menunjukkan skor 21 yang berkorelasi dengan aktivitas penyakit berat. Selain itu pasien
kami juga memiliki manifestasi glomerulonefritis dan keterlibatan paru pada saat diagnosis,
2010, Stevent Sumantri | 10
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
hasil dari pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan adanya hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal telah ditunjukkan sebagai manifestasi penyakit autoimun, salah satunya LES,
sebagai akibat dari keterlibatan endotel dan jaringan interstitial paru dalam proses
inflamasi.10
Satu faktor yang menarik dari studi yang dilakukan oleh Ruiz-Irastorza adalah adanya
antibodi antikardiolipin. Antibodi antikardiolipin pada banyak studi juga dikaitkan dengan
infeksi sistemik yang berat, baik oleh karena bakterial ataupun fungal. Hal ini mungkin
disebabkan oleh peranan kardiolipin sebagai komponen membran sel, di mana dengan
adanya antibodi antikardiolipin maka integritas membran sel akan terganggu dan ini akan
mempredisposisi pasien terhadap infeksi berat. Paru sebagai tempat di mana endotel
memainkan peranan sangat penting sebagai salah satu pelindung terhadap infeksi, baik
translokasi maupun infiltrasi sistemik, sangat terpengaruh oleh karena adanya antibodi
antikardiolipin. Kerusakan endotel yang disebabkan oleh karena antibodi antikardiolipin
akan membuat infeksi paru merupakan salah satu penyebab penting mortalitas pada pasien
LES. Berdasarkan bukti di atas, nampaknya pasien kami memiliki risiko tinggi untuk
mengalami infeksi paru, dan kemudian dengan adanya kerusakan endotel mempunyai risiko
tinggi untuk diseminasi dari fokus infeksi ke dalam aliran darah.
Gambar 1. Jalur aktiviasi komplemen. CP, jalur klasik; LP, MBL atau jalur lectin; AP, jalur alternatif.
Banyak kelainan, termasuk defisiensi imunoglobulin, defisiensi komplemen, gangguan
kemotaksis, aktivitas fagositik dan hipersensitivitas tipe lambat dapat menyebabkan
meningkatnya kerentanan pasien LES terhadap infeksi. Aktivasi dan konsumsi komplemen
telah digambarkan secara jelas pada LES, dan peranan komplemen spesifik telah
didefinisikan. Sebagai contoh, fiksasi C3 terhadap dinding sel bakterial dan fungal sangat
penting untuk fagositosis dan pencernaan lanjut mikro-organisme. Komplemen C3b, yang
merupakan produk teraktivasi C3 sangat penting untuk opsonisasi patogen sebelum
fagositosis (gambar 1). Individu-individu dengan defisiensi komplemen C3 rentan untuk
mengalami infeksi bakterial/fungal diseminata dan atau rekuren. Lebih lanjut lagi infeksi
paru rekuren pada pasien lupus juga telah dikaitkan dengan defisiensi total C4 terkait
antigen leukosit manusia (HLA-human leukocyte antigen).10, 13
2010, Stevent Sumantri | 11
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Abnormalitas imunitas selular pada pasien dengan LES nampak berkontribusi terhadap risiko
infeksi oportunistik. Limfopenia merupakan salah satu predisposisi terhadap infeksi yang
banyak dikenal, terutama pada pasien dengan infeksi terhadap virus HIV dan pasien-pasien
dengan limfositopenia sel T CD4 idiopatik. Pasien dengan hitung sel CD4 kurang dari 200
sel/mcL mempunyai risiko peningkatan insidensi infeksi oportunistik seperti kandidiasis,
pneumonia Pneumocystis carinii dan tuberkulosis.10, 14 Sel T pada pasien dengan LES
menunjukkan fenotip memori dengan jumlah sel T naif dan supressor-inducer yang
menurun, lebih lanjut lagi sel T regulator juga berkurang jumlahnya.15 Mekanisme
limfopenia pada LES masih belum jelas, namun limfopenia sering timbul pada pasien LES
selama masa aktif dan dikaitkan dengan fiksasi komplemen reaktif suhu dingin dan antibodi
antilimfosit sitotoksik. Mekanisme potensial lainnya dari limfopenia adalah peningkatan
apoptosis sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan ekspresi antigen Fas pada sel T. 14
Gambar 2. Probabilitas kumulatif kesintasan bebas infeksi selama masa pemantauan pada pasien LES dengan
14
atau tanpa limfopenia (≤1000/mcL) pada saat presentasi (n=82).
Pasien kami, setelah mempunyai risiko tinggi terhadap infeksi paru dan diseminasi fokus
infeksi ke dalam aliran darah, nampaknya juga mempunyai gangguan dalam sistem
imunitasnya yang membuat infeksi dapat bermanifestasi secara berat. Sebagaimana pasien
LES pada umumnya, gangguan komplemen yang juga terjadi pada pasien kami membuat
bersihan patogen dari dalam pembuluh darah menjadi sulit. Selain itu gangguan dalam
fungsi sel limfosit T, terutama sel CD4 akan membuat infeksi oportunistik menjadi
predominan. Limfopenia tidak selalu diamati pada pasien dengan LES, terlebih lagi adanya
penurunan jumlah dari sel CD4, namun keberadaan limfopenia dan jumlah sel CD4 yang
rendah akan membuat pasien LES sangat rentan terhadap infeksi berat. Kesemua hal di atas
membuat insidens, derajat keberatan dan lamanya sepsis pada pasien LES (termasuk pasien
kami) menjadi meningkat. Dalam titik etiopatogenesis ini jelas pasien kami mempunyai
banyak faktor risiko untuk infeksi dan bahkan sepsis berat, yakni: aktivitas penyakit berat
2010, Stevent Sumantri | 12
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
sesuai dengan SLEDAI (21), keterlibatan paru, glomerulonefritis, limfopenia dengan sel CD4
rendah, antibodi antikardiolipin positif dan kadar komplemen yang sangat rendah.
Tabel 2. Infeksi fungal pada pasien LES, rangkuman dari beberapa penelitian.4, 5
Infeksi fungal pada pasien LES
Infeksi kandida berat merupakan infeksi fungal oportunistik yang paling banyak dijumpai
pada beberapa penelitian pada pasien LES (tabel 2). Perawatan rumah sakit yang
berkepanjangan terutama di unit rawat intensif, pemasangan kateter vena sentral,
penggunaan steroid berkepanjangan dan juga bakteremia berulang merupakan
karakterisitik umum dari pasien-pasien ini. Walaupun terdapat perbaikan dari pemberian
obat-obatan antifungal, mortalitas tetap tinggi dan dapat terjadi dalam beberapa hari pada
saat instabilitas hemodinamik terjadi. Inhalasi spora aspergilus, meskipun sangat sering
djumpai, namun jarang menyebabkan penyakit klinis. Invasi terhadap jaringan paru biasanya
terbatas pada pasien-pasien dengan imunosupresi. Spesies Kriptokokkus, sebagaimana
ditunjukkan oleh studi oleh Chen et al4, merupakan patogen paling letal dalam semua kasus
mortalitas dan mempunyai perjalanan klinis yang progresif cepat. Pada studi ini 6 dari 7
kematian (7 kematian dari 15 kasus, 46,7%) yang disebabkan oleh infeksi jamur oportunistik
disebabkan oleh infeksi Cryptococcus neoformans.4, 5
Kandidemia dan kandidiasis invasif
Kandidemia merujuk kepada adanya Candida species di dalam darah. Pejamu dengan
defisiensi sistem imun dan pasien rawat intensif merupakan populasi dengan risiko tinggi
mengalami kandidemia. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari demam minimal sampai
kepada sindrom sepsis berat yang tidak dapat dibedakan dari infeksi bakterial berat.
Kandidiasis diseminata atau invasif akut dapat timbul pada saat lokasi-lokasi viseral
terinfeksi sebagai akibat dari penyebaran hematogen ataupun inokulasi dari traktus
gastrointestinal.16-18
2010, Stevent Sumantri | 13
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Petunjuk klinis akan adanya penyebaran hematogen Candida termasuk lesi mata
karakteristik, lesi kulit dan abses otot yang jarang ditemukan. Lesi kulit cenderung untuk
muncul tiba-tiba sebagai kelompok pustul tak nyeri dengan dasar eritematosa, mereka
dapat timbul pada bagian tubuh manapun. Lesi-lesi ini dapat bervariasi mulai dari pustul
yang dapat mudah dilewatkan sampai ke ukuran beberapa sentimeter serta dapat pula
nampak mempunyai inti yang nekrotik (gambar 3). Pada pasien dengan netropenia berat,
lesi dapat lebih makular dibandingkan pustular. Materi yang diambil dengan kerokan dasar
pustul dengan pisau bedah dapat menunjukkan adanya khamir pada pemeriksaan Gram,
dan bila cukup untuk dilakukan kultur maka akan menunjukkan adanya Candida species.
Sebagai tambahan dari lokasi keterlibatan perifer ini, tanda-tanda adanya kegagalan
multiorgan dapat dijumpai. Pemeriksaan otopsi dapat menunjukkan adanya penyebaran
mikroabses viseral yang terutama dapat dijumpai di ginjal, hati, hepar, limpa, paru, mata
dan otak.16, 19
Gambar 3. Lesi pustular oleh karena adanya diseminasi hematogen Candida albicans yang dapati ditemukan
pada pasien dengan tanda-tanda sepsis.
Pasien kami mempunyai gambaran sepsis berat pada saat perawatan di rumah sakit,
ditandai dengan takikardia, takipnea, demam subfebril dan juga adanya kecurigaan fokus
infeksi di paru. Patut di catat, pada pasien ini pada awalnya tidak nampak adanya tandatanda leukositosis sehingga diagnosis sepsis pada pasien ini mengalami keterlambatan.
Leukositosis baru timbul jauh di masa perawatan, pada saat keadaan pasien mulai
memburuk dan hal ini menyebabkan pemberian terapi antibiotika spektrum luas dan
antifungal empirik menjadi terlambat pada pasien ini. Adanya pustul-pustul dengan dasar
eritematosa juga seharusnya dapat menjadi pertanda akan adanya kandidemia pada pasien
kami, namun karena ukuran yang kecil hal ini menjadi terlewatkan pada saat penilaian awal
pasien.
Pasien dengan infeksi jamur seringkali datang dengan kadar leukosit yang normal, meskipun
infeksi tersebut telah mengarah kepada sepsis, satu-satunya petunjuk adalah adanya
eosinofilia yang tidak muncul pada pasien kami. Pasien kami tidak mengalami eosinofilia,
kemungkinan terkait dengan gangguan pada sistem imunitas tubuh yang disebabkan oleh
LES. Prokalsitonin, salah satu marker yang cukup spesifik untuk sepsis juga tidak meningkat
2010, Stevent Sumantri | 14
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
pada pasien kami, kemungkinan disebabkan oleh karena sepsis fungal namun bisa juga
karena kegagalan mobilisasi makrofag dan limfosit oleh karena LES. Jelas pada pasien LES
terdapat banyak faktor yang dapat mengganggu gambaran umum sepsis yang biasanya kita
jumpai, sehingga diperlukan suatu pengenalan gejala klinis dan juga stratifikasi faktor risiko
untuk pasien LES dengan kecurigaan infeksi fungal invasif khususnya pneumonia.
Pneumonia kandida
Pneumonia primer oleh karena Candida spesies dahulu sempat diduga jarang ditemukan,
namun bukti-bukti terbaru menunjukkan insidens yang meningkat, kemungkinan
disebabkan oleh karena pengenalan dan kewaspadaan yang semakin tinggi akan entitas
infeksi ini. Candida species memasuki paru melalui jalan aspirasi kolonisasi di traktus
gastrointestinal atau melalui penyebaran hematogen. Sebagaimana dengan infeksi
oportunistik lainnya, respons jaringan tergantung kepada rute infeksi, status imun pejamu,
adanya patogen intrapulmonar tambahan dan aspirasi isi lambung. Penyebaran jamur
melalui saluran napas akan menyebabkan pneumonia akut atau nodul-nodul pulmonar
multipel dengan batas iregular, terkadang timbul tanda-tanda nekrosis. Sedangkan
penyebaran melalui jalur hematogen akan menyebabkan gambaran miliar dan atau nodulnodul pulmonar multipel dengan batas tidak tegas berisi koloni organisme disekeliling
pembuluh darah.16, 19, 20
Pneumonia kandida sendiri tetap sulit untuk didefinisikan sebagai entitas klinis, sebagian
besar oleh karena kultur sendiri tidak dapat membedakan antara kolonisasi dengan
kontaminasi sampel dengan isi orofaringeal. Namun demikian terdapat beberapa gambaran
klinis dan stratifikasi faktor risiko yang dapat membantu kita dalam mendiagnosis
pneumonia kandida.21
Studi yang dilakukan oleh Chen et al, melibatkan 140 pasien dengan pneumonia fungal
menemukan bahwa 94 kasus (67%) disebabkan oleh infeksi komunitas. Dengan etiologi
tersering adalah Aspergillus species (57%) diikuti oleh Cryptococcus species (21%) dan
Candida species (14%). Pada studi ini juga ditemukan 72 kasus dengan infeksi fungal invasif
akut, dengan laju mortalitas tercatat 67%. Analisis multivariat menunjukkan infeksi
nosokomial (p=0,014) dan gagal napas p<0,001) secara signifikan dan independen dikaitkan
dengan kematian oleh karena infeksi fungal invasif akut. Proporsi infeksi fungal paru yang
sebagian besar diperoleh di komunitas (68%) menunjukkan, bahwa sebagai tambahan
terhadap infeksi nosokomial, infeksi fungal komunitas juga menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan (gambar 4). Suatu studi berbasiskan populasi untuk infeksi fungal
invasif menunjukkan bahwa infeksi dengan Candida species (72,8 per juta tahun) merupakan
patogen yang paling sering, diikuti oleh Cryptococcus species (65,5 per juta tahun),
Coccidioides species (15,3 per juta tahun), Aspergillus species (12,4 per juta tahun) dan
Histoplasma species (7,1 per juta tahun). Sedangkan untuk infeksi fungal paru, Aspergillus
species dianggap sebagai penyebab utama dari pneumonia fungal nosokomial.4, 20
2010, Stevent Sumantri | 15
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Gambar 4. Insidens annual infeksi fungal paru selama pemantauan 10 tahun di Rumah Sakit Nasional Taiwan.
Gambaran radiologis pneumonia fungal, fokus kepada kandida dan aspergilus
Rontgen dada mungkin normal atau menunjukkan adanya lesi nodular, infiltrat berbercak
atau lesi kavitas. Pada suatu penelitian dengan sejumlah besar pasien, hanya 10% pasien
menunjukkan rontgen dada normal. Pemeriksaan CT-scan dapat menunjukkan lesi pada
pasien dengan rontgen normal, pada pasien dengan rontgen abnormal pemeriksaan CT-scan
akan menunjukkan area infeksi yang lebih luas. Pencitraan CT secara khusus berguna pada
infeksi aspergilosis paru invasif fase awal, dimana terdapat nodul yang dikelilingi oleh
gambaran “pasir kaca” yang disebut sebagai halo sign. Gambaran ini menunjukkan adanya
perdarahan pada jaringan yang mengelilingi daerah invasi fungal. Sedangkan pada
pneumonia fungal invasif oleh karena Candida species gambaran radiologis yang cukup khas
adalah konsolidasi sirkuler yang dapat soliter ataupun multipel dengan/tanpa gambaran
kavitasi pada daerah inti (gambar 5). Namun demikian manifestasi CT scan kandidasis
pulmonar dapat serupa dengan yang digambarkan oleh infeksi oportunistik lainnya,
terutama aspergilosis invasif dan mucormycosis.22, 23
Gambar 5. Manifestasi CT scan kandidiasis pulmonar invasif, perhatikan konsolidasi sirkular pada CT-scan
23
(panel kiri) dan kaitannya dengan gambaran histopatologis (panel kanan).
2010, Stevent Sumantri | 16
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Gambaran radiografik paling sering pada pasien dengan infeksi fungal paru adalah lesi
nodular tunggal (n=74; 53%), diikuti dengan konsolidasi (n=43; 32%), lesi nodular multipel
(n=14; 10%) dan pola interstitial (n=7; 5%). Tujuh puluh dua pasien (51%) mempunyai lesi
kavitasi, termasuk 6 pasien dengan pembentukan abses yang dikonfirmasi dengan aspirasi
perkutaneus. Tiga puluh empat pasien (24%) mempunyai efusi pleura, dan terdapat 99
pasien dengan lesi unilateral dan 41 dengan lesi bilateral. Untuk pasien dengan keterlibatan
infeksi paru unilateral, lobus atas (lobus kanan atas 21% dan kiri atas 12%) merupakan
distribusi yang paling sering, diikuti oleh lobus bawah (kanan bawah 15%, gambar 6 panel
kanan dan kiri bawah 9%). Gambaran radiologik paling sering untuk infeksi Aspergillus
adalah dengan tipe nodular (n=60; 74,1%) diikuti dengan konsolidasi (n=21; 25,9%).
Sedangkan untuk pasien dengan infeksi Candida, konsolidasi merupakan pola yang paling
sering dijumpai (n=17; 87%, gambar 5 panel kiri) diikuti dengan pola nodular (n=1; 5%) dan
pola interstitial (n=2; 10%).4, 20
Pasien kami datang dengan kolonisasi kandida pada mukosa rongga mulut dalam bentuk
kandidiasis oral. Kolonisasi kandida pada traktus gastronitestinal sering menjadi rute
masuknya kandida ke dalam jaringan paru melalui aspirasi, terutama terjadi pada pasien
dengan disfungsi sistem imun. Pada pasien kami, beberapa faktor yang telah dijelaskan di
atas membuat dirinya rentan terhadap invasi kandida ke dalam jaringan paru. Beberapa
gambaran klinis dan radiologis di atas merupakan salah satu petunjuk akan adanya
pneumonia kandidal, di mana tingkat kecurigaan klinis yang tinggi harus diterapkan oleh
karena tidak khasnya manifestasi klinis pada pneumonia kandidal. Pasien kami mempunyai
gambaran yang khas untuk suatu pneumonia fungal, yakni adanya konsolidasi
nodular/sirkular unilateral pada paru. Kolonisasi kandida pada rongga mulut kemudian lebih
mengarahkan kemungkinan etiologi pneumonia fungal pada pasien kami adalah Candida
species.
Gambar 6. Gambaran radiologis pasien dengan infeksi fungal paru. Gambar kiri pasien dengan konsolidasi
lobar pada regio kanan atas, hasil biopsi perkutan menunjukkan infeksi dengan Candida albicans. Gambar
kanan pasien dengan lesi kavitasi nodular dengan air crescent pada regio kanan bawah, reseksi paru
20
menunjukkan adanya infeksi dengan Aspergillus species.
2010, Stevent Sumantri | 17
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Diagnosis kandidemia dan infeksi fungal invasif
Baku emas untuk diagnosis kandidemia dan infeksi kandida invasif adalah dengan kultur
positif; kultur harus selalu diambil pada semua pasien dengan kecurigaan terhadap infeksi
kandida invasif dan kandidemia. Pada pasien dengan lesi fokal, maka dapat dilakukan
dengan biopsi kemudian dilakukan pewarnaan, kultur dan evaluasi histopatologi. Namun
demikian, klinisi seringkali harus bergantung kepada penilaian klinis mengenai probabilitas
kandidemia sebagai penjelasan tanda dan gejala pasien sambil menunggu hasil kultur darah.
Beberapa temuan klinis pada pemeriksaan fisis, terutama adanya lesi kulit atau mata
sugestif dapat mengingatkan klinisi mengenai kemungkinan infeksi kandida. Meskipun
demikian, banyak pasien tidak mempunyai tanda jelas mengenai adanya kandidiasis,
tergantung kepada kegawatan dan penyakit mendasar pada pasien, terapi empirik dengan
obat antifungal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang sesuai.16, 18
Kultur darah darah sendiri merupakan teknik yang kurang sensitif, penelitian-penelitian
terdahulu mengungkapkan kultur darah hanya positif pada kurang dari 50% pasien yang
ditemukan menderita kandidiasis diseminata pada otopsi. Kekurangan dari sistem kultur
darah juga waktu yang diperlukan cukup lama untuk mendapatkan hasil kultur, yang
memerlukan waktu sampai satu minggu untuk hasilnya diketahui. Untuk pasien-pasien sakit
berat, beberapa pemeriksaan yang lebih cepat dan sensitif penting untuk didapatkan.
Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menurunkan waktu identifikasi spesies Candida
yang umum ditemui saat kultur darah menunjukkan pertumbuhan dan khamir ditemukan
pada hapusan isi botol. Dengan mewarnai sampel kultur darah positif menggunakan metode
peptic nucleic acid fluorescence in situ hybridization (PNA-FISH), C.albicans dan C.glabrata
dapat diidentifikasi dalam hitungan jam pada saat kultur positif.16, 18
Usaha juga telah dilakukan untuk mengarahkan pengembangan ke metode-metode non
kultur untuk mendiagnosis kandidemia. Beberapa metode yang dikembangkan seperti
pemeriksaan antibodi dan antigen memiliki keterbatasan dalam hal sensitivitas dan
spesifisitas, sehingga belum dapat digunakan untuk mendiagnosis kandidemia. Pemeriksaan
yang menjanjikan saat ini adalah dengan deteksi beta-D-glucan, yang terdapat pada dinding
sel banyak jamur, sehingga pemeriksaan ini tidak spesifik untuk kandida. Pada suatu studi
163 pasien dengan infeksi fungal invasif proven atau probable dan 170 pasien tanpa infeksi
fungal invasif, 107 pasien terbukti mempunyai kandidiasis. Tergantung pada nilai potong
yang dipilih sebagai positif, antara 78% sampai 81% dari pasien dengan kandidiasis terbukti
mempunyai hasil positif untuk pemeriksaan beta-D-glucan. Dengan memakai nilai potong 60
picogram/mL, nilai prediksi positif pemeriksaan ini ditemukan 70% dengan nilai prediksi
negatif 98%.16, 18
Fokus terkini metode non-kultur adalah pada pengembangan pemeriksaan polymerase
chain reaction (PCR) untuk kandidemia. Sensitivitas PCR mendekati kultur darah, dan pada
kasus-kasus tertentu telah membantu untuk menegakkan diagnosis pada saat hasil kultur
2010, Stevent Sumantri | 18
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
negatif. Diagnosis segera memerlukan kesediaan pemeriksaan laboratorium on-site dan
pengolahan sampel yang sering. Sampai saat ini, belum tersedia pemeriksaan PCR komersial
untuk mendeteksi Candida species.
Pengenalan faktor risiko untuk mendiagnosis infeksi fungal invasif secara
empirik
Dua faktor risiko utama untuk infeksi dengan Candida species adalah kolonisasi kulit dan
membran mukosa dengan Candida dan gangguan terhadap pelindung alamiah pejamu (luka,
pembedahan dan pemasangan kateter urin serta intravaskular). Traktus gastrointestinalis,
kulit dan traktus urinarius merupakan jalan masuk utama untuk infeksi Candida. Kolonisasi
dengan Candida species telah dikenali sebagai faktor risiko utama untuk kandidiasis invasif.
Bersamaan dengan kolonisasi kandida yang diinduksi oleh perubahan flora endogen oleh
karena pemberian antibiotika spektrum luas berkepanjangan dan kehilangan integritas kulit
dan pelindung mukosa, pembedahan (terutama kompartemen abdominal), nutrisi
parenteral total, gagal ginjal akut, hemodialisis dan terapi dengan obat-obatan
imunosupresan merupakan faktor risiko utama untuk infeksi dengan Candida spp. Penyakit
dasar berat, status sakit kritis (dengan skoring APACHE II tinggi), antasida dan ventilasi
mekanis juga telah dikaitkan dengan kandidiasis invasif. Lama tinggal di ICU juga sering
dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi kandida, yang meningkat tajam setelah lama
rawat 7 sampai 10 hari.6, 7, 21
Beberapa aturan prediksi dan skoring untuk identifikasi pasien-pasien sakit kritis dengan
risiko kandidiasis invasif telah dijelaskan. Baru-baru ini suatu sistem skoring yang
dikembangkan melalui penelitian prospektif pada 73 ICU di Spanyol dikembangkan dengan
nama “Candida score” untuk menentukan inisiasi terapi antifungal dini. Model logit
disesuaikan mengindikasikan bahwa pembedahan pada saat awal masuk ICU (skor 1), nutrisi
parenteral total (skor 1), kolonisasi pada berbagai lokasi dengan Candida (skor 1) dan sepsis
berat (skor 2) dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi Candida terbukti. Pasien dengan
skor kandida, yang dihitung dengan menggunakan variabel-variabel ini, ≥2,5 mempunyai
risiko 7,5 kali lebih tinggi untuk infeksi Candida dibandingkan pasien dengan skor ≤2,5.
Skoring ini mempunyai sensitivitas sebesar 81% dan spesifisitas 74% untuk mendeteksi
adanya infeksi fungal invasif.7, 11, 21, 24, 25
Diagnosis kandidemia dan infeksi fungal invasif pada saat ini masih belum dapat ditegakkan
dengan cepat dan pasti, sehingga beberapa prediktor klinis harus dipergunakan
sebagaimana di atas. Pada pasien kami dengan menggunakan Candida score, nampak
bahwa pasien ini mempunyai faktor risiko tinggi untuk infeksi kandida invasif (nilai skor 3,
dari kolonisasi dan sepsis berat). Adanya gambaran lesi pustular multipel dengan dasar
eritematosa, kandidiasis oral, gambaran radiologis khas untuk infeksi fungal dan juga
gambaran sepsis tanpa leukositosis dan peningkatan prokalsitonin mengarahkan diagnosis
pasien ini kepada sepsis oleh karena kandidemia. Oleh karena pertimbangan di atas maka
2010, Stevent Sumantri | 19
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
pada pasien ini kami mulai terapi dengan antifungal sistemik, dalam hal ini pilihan jatuh ke
flukonazol.
Terapi antifungal untuk kandidemia dan infeksi fungal invasif
Pada saat memilih terapi antifungal pada pasien dengan kecurigaan candidemia, penting
untuk menentukan risiko infeksi dengan isolat Candida resisten terhadap flukonazol, seperti
C.glabrata dan C.krusei. Gambaran persentasi frekuensi untuk setiap spesies Candida dapat
dilihat pada tabel 3.26 Untuk pasien non-neutropenik dengan kandidemia yang stabil secara
klinis, tidak ada riwayat terapi azol sebelumnya dan yang berada pada institusi di mana
C.glabrata dan C.krusei tidak bayak ditemukan, terapi dengan flukonazol disarankan. Dosis
flukonazol disarankan sebagai berikut; 800mg (12mg/kg) dosis awal dan kemudian diikuti
dengan 400 mg(6 mg/kg) per hari.
Pada pasien dengan infeksi moderat sampai berat atau pasien dengan risiko meningkat
untuk C.glabrata atau C.krusei maka disarankan penggunaan golongan echinocandin
(caspofungin, micafungin atau anidulafungin). Formulasi amfoterisin merupakan terapi
alternatif untuk pasien-pasien yang tidak dapat menoleransi terapi antifungal yang
disarankan di atas. Vorikonazol disarankan sebagai terapi sulih oral untuk pasien dengan
C.krusei atau C.glabrata yang sensitif terhadap vorikonazol. Sedangkan untuk isolat lain,
penggunaan vorikonazol tidak mempunyai keuntungan signifikan dibandingkan dengan
flukonazol. Terdapat beberapa pertimbangan penting terkait dengan terapi kandidemia
pada pasien neutropenik. Sebagian besar pasien dengan kandidemia harus diterapi baik
dengan echinocandin atau amfoterisin B. Apabila amfoterisin B digunakan, makan formulasi
lipid lebih disarankan. Flukonazol harus dibatasi untuk pasien stabil secara klinis yang belum
menerima terapi profilaksis dengan derivat azol. 7, 25, 27
Tabel 4. Isolasi khamir pada pasien dengan kandidemia26
Profilaksis kandidemia dan infeksi fungal invasif
Beberapa studi terkini mengindikasikan pasien-pasien sakit kritis dapat memperoleh
keuntungan dari terapi antifungal profilaksis. Profilaksis flukonazol ditemukan dapat
2010, Stevent Sumantri | 20
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
mencegah infeksi kandidiasis abdominal pada pasien bedah ririsko tinggi dengan perforasi
gastrointestinal berulang atau kebocoran anastomosis. Risiko untuk kandidiasis intraabdominal diturunkan sebesar 8 kali lipat pada pasien yang menerima flukonazol profilaksis
(400 mg/hari). Pada studi lain, dengan metode acak tersamar ganda dan dengan kontrol
plasebo pada pasien ICU yang menerima ventilasi mekanis minimal 48 jam dan diperkirakan
akan tinggal di ICU selama 72 jam berikutnya, profilaksis flukonazol (100mg/hari)
memberikan efek protektif sedang terhadap kolonisasi kandida. Walupun tidak mencegah
terjadinya infeksi Candida berat, pemberian profilaksis terbukti mengurangi jumlah episode
kandidemia.6-8, 25
Secara umum, hasil studi-studi di atas menyarankan pemberian profilaksis azol mempunyai
kemampuan untuk menurunkan insidens kandidiasis invasif pada pasien bedah dan ICU.
Namun demikian, hal penting yang harus dipahami adalah bagaimana cara untuk
mengidentifikasi pasien yang akan menerima keuntungan dari terapi profilaksis tanpa
berlebihan memberikan terapi pada pasien yang tidak membutuhkan terapi antifungal.
Suatu metaanalisis Cochrane mengenai penggunaan terapi antifungal untuk mencegah
infeksi fungal pada pasien sakit kritis non-neutropenik, jumlah pasien yang harus diterapi
dengan flukonazol untuk mencegah satu infeksi Candida adalah 94. Perkiraan ini merujuk
insidens infeksi fungal invasif adalah 2%, dan berkisar dari 9 pada pasien risiko tinggi sampai
188 untuk pasien risiko rendah. Namun demikian, metaanalisis ini menunjukkan bahwa
profilaksis memang berguna utnuk menurunkan mortalitas keseluruhan pada pasien sakit
kritis non-neutropenik. Hanya, sesuai dengan panduan Infectious Disease Society of America
(IDSA), pemberian profilaksis hanya diperuntukkan bagi pasien dengan risiko tinggi yang
sudah dipilih secara hati-hati.6, 7, 28
Terapi antifungal empirik
Pendekatan lain terhadap tatalaksana infeksi fungal invasif adalah terapi antifungal empirik
yang didasarkan kembali kepada status pejamu. Pasien yang mempunyai demam persisten
atau hipotensi yang tidak dapat dijelaskan walaupun sudah diterapi dengan antibiotika
spektrum luas, mungkin mempunyai kandidemia atau kandidiasis invasif. Studi di Amerika
Serikat pada pasien rawat inap antara 1995 sampai 2002, menunjukkan bahwa Candida
merupakan penyebab infeksi aliran darah nosokomial nomor empat tersering.29
Panduan IDSA tahun 2009 merekomendasikan bahwa terapi empirik dengan antifungal
harus dipertimbangkan pada pasien sakit kritis yang mempunyai risiko untuk kandidiasis
invasif dan mempunyai demam persisten meskipun dengan terapi antibakterial adekuat. 25
Kriteria untuk terapi antifungal empirik masih belum didefinisikan secara baik dan harus
terdiri dari penilaian klinis mengenai faktor risiko, marker serologik untuk kandidiasis invasif
dan apabila tersedia data kultur mengenai kolonisasi kandida pada lokasi-lokasi non-steril.
Pada pasien-pasien dengan risiko tinggi, dapat disarankan penggunaan echinocandin atau
flukonazol, tergantung dari risiko infeksi dengan Candida species resisten.
2010, Stevent Sumantri | 21
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Pada pasien kami terapi antifungal terpilih adalah echinocandin, hal ini disebabkan oleh
karena sepsis berat yang dialami oleh pasien. Namun oleh karena keterbatasan kesediaan
obat, kami menggunakan flukonazol sebagai pilihan terapi pertama, di mana sediaan
amfoterisin B yang seharusnya menjadi pilihan kedua juga tidak tersedia sedangkan
vorikonazol terhambat biaya. Respons terhadap terapi antifungal ini dapat terlihat dari
berkurangnya konsolidasi paru sampai akhirnya menghilang pada terapi flukonazol hari ke6. Flukonazol pada pasien kami digunakan dengan regimen 2 x 200 mg IV selama tiga hari,
kemudian diikuti dengan 1 x 200 mg IV. Kultur darah tidak menunjukkan adanya patogen,
terkait dengan rendahnya sensitivitas untuk kultur jamur maka saat ini kultur darah masih
belum bisa digunakan sebagai panduan terapi yang baik.
Lama terapi antifungal
Lama terapi dengan antifungal masih belum diteliti secara baik, namun terapi selama
minimal dua minggu setelah hasil kultur darah menjadi negatif dan direkomendasikan pula
oleh panduan IDSA 2009.25 Sebagai tambahan, semua pasien harus mempunyai tanda-tanda
perbaikan gejala terkait kandidemia DAN perbaikan neutropenia sebelum penghentian
terapi antifungal. Terapi yang lebih panjang dan konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi
diindikasikan pada pasien dengan kandidemia yang mempunyai fokus infeksi metastatik
(misal mata, tulang dan jantung).16, 25, 27 Pada pasien kami, oleh karena tidak adanya kultur
darah, maka lama terapi dapat dipertimbangkan dari resolusi manifestasi klinis terkait
kandidemia.
Mortalitas kandidemia dan infeksi fungal invasif
Penundaan terapi dapat meningkatkan mortalitas. Pada suatu kohort retrospektif yang
terdiri dari 230 pasien dengan kandidemia, jumlah hari terlewati dari tanda-tanda kultur
positif untuk khamir sampai inisiasi terapi flukonazol terkait dengan peningkatan laju
mortalitas sebagai berikut; hari 0 (15%); hari 1 (24%); hari 2 (37%); hari 3 (41%).26
Gambar 7. Hubungan antara mortalitas rumah sakit dengan jumlah hari untuk inisiasi terapi flukonazol
(p=0,009).
2010, Stevent Sumantri | 22
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Faktor-faktor lain yang dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pasien rawat inap baik di
dalam ataupun di luar unit rawat intensif dengan kandidemia adalah skor APACHE II lebih
tinggi, dosis flukonazol inadekuat dan retensi kateter vena sentral. Pada pasien ICU,
diabetes mellitus, imunosupresi dan ventilasi mekanis telah dikaitkan dengan kematian,
sedangkan pada pasien non-ICU, penggunaan glukokortikoid pada saat kultur darah positif
dikaitkan dengan mortalitas meningkat.16, 27
Pasien kami pada akhirnya meninggal oleh karena syok sepsis refrakter, yang kemungkinan
disebabkan oleh karena adanya penundaan dalam pemberian antifungal sistemik sampai 6
hari. Studi di atas oleh Garey et al menunjukkan penundaan selama 3 hari saja sudah
meningkatkan mortalitas sampai lebih dari 40%. Namun demikian, pasien kami juga
mempunyai risiko mortalitas tinggi dengan skor APACHE II tinggi, penggunaan ventilasi
mekanis, timbulnya diabetes oleh karena penggunaan steroid dan juga penekanan sistem
imun. Steroid menjadi isu penting pada pasien ini, karena di satu sisi steroid dibutuhkan
untuk mengendalikan gejala LES yang juga merupakan penyebab kematian tertinggi.
Sedangkan di sisi lain steroid meningkatkan risiko mortalitas pasien dengan infeksi fungal
invasif oleh karena penekanan sistem imun. Nampaknya untuk meminimalisir laju mortalitas
pada pasien LES dengan infeksi fungal sistemik, waktu pemberian antifungal sistemik pada
saat adanya kecurigaan kuat ke arah infeksi merupakan salah satu faktor penentu
terpenting untuk keberhasilan terapi.
2010, Stevent Sumantri | 23
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Kesimpulan
Pasien dengan LES mempunyai berbagai faktor risiko untuk menderita infeksi berat, di mana
infeksi tetap merupakan penyebab mortalitas terpenting pada populasi ini. Infeksi fungal
sistemik, khususnya kandidemia dan infeksi kandida invasif, merupakan salah satu infeksi
dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tertinggi pada pasien LES. Beberapa faktor
etiopatogenesis seperti: hipokomplemen, antibodi antifosfolipid positif, limfopenia dan
gangguan fungsi limfosit memainkan peranan penting dalam infeksi fungal invasif pada
pasien LES.
Pneumonia fungal yang dulu dianggap jarang ditemukan, kini semakin menjadi faktor infeksi
penting seiring dengan pengenalan lebih baik akan entitas ini. Diagnosis tetap merupakan
permasalahan utama dalam infeksi fungal invasif, terlebih lagi diagnosis dini yang akan
menentukan keberhasilan terapi dan tingkat mortalitas pada pasien-pasien ini. Pengenalan
akan pola radiologis dan manifestasi klinis sangat penting untuk menemukan kasus-kasus
pneumonia fungal dan infeksi kandida sistemik yang kalau tidak akan terlewatkan.
Penggunaan sistem stratifikasi risiko seperti Candida score dapat menentukan apakah
seorang pasien mempunyai risiko tinggi untuk kandidemia dan infeksi kandida invasif.
Terapi empirik dengan flukonazol untuk pasien-pasien stabil secara klinis merupakan pilihan
utama terapi antifungal, sedangkan untuk pasien-pasien kritis maka pilihan jatuh ke
echinocandin. Keterbatasan kesediaan golongan echinocandin dapat diatasi dengan
penggunaan amfoterisin B atau vorikonazol, terutama untuk spesies kandida yang sesuai.
Waktu pemberian antifungal sangat penting untuk diperhatikan, dengan penundaan
pemberian akan meningkatkan mortalitas sampai berkali-kali lipat.
2010, Stevent Sumantri | 24
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
Referensi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Abu-Shakra M. Do improved survival rates of patients with systemic lupus erythematosus reflect a
global trend? J Rheumatol 2008;35:1906-8.
Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39.
Bernatsky S, Boivin JF, Joseph L, et al. Mortality in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
2006;54:2550-7.
Chen HS, Tsai WP, Leu HS, Ho HH, Liou LB. Invasive fungal infection in systemic lupus erythematosus:
an analysis of 15 cases and a literature review. Rheumatology (Oxford) 2007;46:539-44.
Kim HJ, Park YJ, Kim WU, Park SH, Cho CS. Invasive fungal infections in patients with systemic lupus
erythematosus: experience from affiliated hospitals of Catholic University of Korea. Lupus
2009;18:661-6.
Barnes RA. Early diagnosis of fungal infection in immunocompromised patients. J Antimicrob
Chemother 2008;61 Suppl 1:i3-6.
Mean M, Marchetti O, Calandra T. Bench-to-bedside review: Candida infections in the intensive care
unit. Crit Care 2008;12:204.
Warnock DW. Trends in the epidemiology of invasive fungal infections. Nippon Ishinkin Gakkai Zasshi
2007;48:1-12.
Staples PJ, Gerding DN, Decker JL, Gordon RS, Jr. Incidence of infection in systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum 1974;17:1-10.
Dubois EL, Hahn BH, Wallace DJ. Dubois' Lupus erythematosus [print]. 7th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
Noel V, Lortholary O, Casassus P, et al. Risk factors and prognostic influence of infection in a single
cohort of 87 adults with systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 2001;60:1141-4.
Ruiz-Irastorza G, Olivares N, Ruiz-Arruza I, Martinez-Berriotxoa A, Egurbide MV, Aguirre C. Predictors
of major infections in systemic lupus erythematosus. Arthritis Res Ther 2009;11:R109.
Sturfelt G, Truedsson L. Complement and its breakdown products in SLE. Rheumatology (Oxford)
2005;44:1227-32.
Ng WL, Chu CM, Wu AK, Cheng VC, Yuen KY. Lymphopenia at presentation is associated with
increased risk of infections in patients with systemic lupus erythematosus. QJM 2006;99:37-47.
Tenbrock K, Juang YT, Kyttaris VC, Tsokos GC. Altered signal transduction in SLE T cells. Rheumatology
(Oxford) 2007;46:1525-30.
Kauffman CA. Clinical manifestations and diagnosis of candidemia and invasive candidiasis in adults.
In: Marr KA, Thorner AR, eds. UpToDate. Massachusets: Waltham; 2009.
Kauffman CA. Epidemiology and pathogenesis of candidemia in adults. In: Marr KA, Thorner AR, eds.
UpToDate. Massachusets: Waltham; 2009.
Kauffman CA. Overview of Candida infections. In: Marr KA, Thorner AR, eds. UpToDate. Massachusets:
Waltham; 2009.
Kauffman CA. Candida infections of the abdomen and thorax. In: Marr KA, Thorner AR, eds.
UpToDate. Massachusets: Waltham; 2009.
Chen KY, Ko SC, Hsueh PR, Luh KT, Yang PC. Pulmonary fungal infection: emphasis on microbiological
spectra, patient outcome, and prognostic factors. Chest 2001;120:177-84.
Ascioglu S, Rex JH, de Pauw B, et al. Defining opportunistic invasive fungal infections in
immunocompromised patients with cancer and hematopoietic stem cell transplants: an international
consensus. Clin Infect Dis 2002;34:7-14.
Althoff Souza C, Muller NL, Marchiori E, Escuissato DL, Franquet T. Pulmonary invasive aspergillosis
and candidiasis in immunocompromised patients: a comparative study of the high-resolution CT
findings. J Thorac Imaging 2006;21:184-9.
Franquet T, Muller NL, Lee KS, Oikonomou A, Flint JD. Pulmonary candidiasis after hematopoietic
stem cell transplantation: thin-section CT findings. Radiology 2005;236:332-7.
Leon C, Ruiz-Santana S, Saavedra P, et al. A bedside scoring system ("Candida score") for early
antifungal treatment in nonneutropenic critically ill patients with Candida colonization. Crit Care Med
2006;34:730-7.
Pappas PG, Kauffman CA, Andes D, et al. Clinical practice guidelines for the management of
candidiasis: 2009 update by the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis 2009;48:503-35.
2010, Stevent Sumantri | 25
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
26.
27.
28.
29.
Garey KW, Rege M, Pai MP, et al. Time to initiation of fluconazole therapy impacts mortality in
patients with candidemia: a multi-institutional study. Clin Infect Dis 2006;43:25-31.
Kauffman CA. Treatment of candidemia and invasive candidiasis in adults. In: Marr KA, Thorner AR,
eds. UpToDate. Massachusets: Waltham; 2009.
Playford EG, Webster AC, Sorrell TC, Craig JC. Antifungal agents for preventing fungal infections in
non-neutropenic critically ill and surgical patients: systematic review and meta-analysis of randomized
clinical trials. J Antimicrob Chemother 2006;57:628-38.
Wisplinghoff H, Bischoff T, Tallent SM, Seifert H, Wenzel RP, Edmond MB. Nosocomial bloodstream
infections in US hospitals: analysis of 24,179 cases from a prospective nationwide surveillance study.
Clin Infect Dis 2004;39:309-17.
2010, Stevent Sumantri | 26
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
2010, Stevent Sumantri | 27
Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Fungal Invasif pada Pasien dengan Disfungsi Sistem Imun: Fokus pada
Lupus Eritematosus Sistemik dan Fungal Pneumonia
2010, Stevent Sumantri | 28
Download