Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer ) Oleh RANO NELSON WILTON INFAINDAN 712008049 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 i LEMBAR PENGESAHAN Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) Oleh, RANO NELSON WILTON INFAINDAN NIM: 712008049 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Disetujui oleh, Pembimbing Utama Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Diketahui oleh, Kaprogdi Pdt. Irene Ludji, MAR Pembimbing Pendamping Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Disahkan oleh, Dekan Pdt. Dr. Retnowati, M.Si FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015 ii PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan NIM : 712008049 Email Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi Judul TA : Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis : [email protected] Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) Pembimbing : 1. Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D 2. Pdt. Dr. Retnowati, M. Si Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya. 2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber penelitian. 3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh pembimbing. 4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 28 September 2015 Rano N. W. Infaindan iii PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan NIM : 712008049 Email Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi Judul TA : Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis : [email protected] Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) Dengan ini saya menyatakan hak non-eksklusif * kepada Perpustakaan Universitas Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai): a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan /atau portal GARUDA b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA** * Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang menyerahkan hak non-eksklusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut. ** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan penjelasan/alasan tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprogdi) Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Salatiga, 28 September 2015 Rano. N. W. Infaindan Mengetahui, Pembimbing I Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Pembimbing II Pdt. Dr. Retnowati, M.Si iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan NIM : 712008049 Program Studi : Teologi Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW Hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) berserta perangkat yang ada (jika perlu). Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih media/mengalih format, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Salatiga, 28 September 2015 Rano N. W. Infaindan Mengetahui, Pembimbing I Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Pembimbing II Pdt. Dr. Retnowati, M. S v KATA PENGANTAR Puji dan syukur dengan penuh kerendahan hati kepada Bapa di Sorga dalam Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaanNya sepanjang hidup penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul; Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya juga bagi mama terkasih yang selalu mendoakan, melakukan dan mengharapkan yang terbaik bagi masa depan penulis. Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya Tuhan selalu memberkati kesehatan mama dalam masa tua dan memberikan umur panjang bagi mama agar penulis bias membalas semua kasih sayang dan kebaikan Tuhan lewat mama terkasih bagi penulis. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis berikan bagi kakak-kakak terkasih kepada penulis yang selalu membantu bukan hanya lewat doa tetapi juga lewat pengorbanan materi yang mereka berikan bagi penulis sebagai adik. Terima kasih kepada kak dr. Rosaline Rumaseuw, kak One, kak Pdta. Samparisna Koibur, kak Rosse dan kak Igo. Terima kasih karena kalian sudah menjadi kakak-kakak terbaik bagi penulis yang benyak membantu penulis, tetapi juga sering merepotkan kalian. Tuhan Yesus kiranya memberkati kalian selalu. Selain itu pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu, diantaranya: 1. Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D dan Pdt. Dr. Retnowati, M. Si sebagai dosen dan pembimbing bagi penulis, yang telah meluangkan waktu dan tempat bagi penulis, dan juga memberikan ide-ide dan masukan bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan sangat baik. 2. Dekan, Kaprogdi dan dosen-dosen serta staff tata usaha Fakultas Fakultas Teologi UKSW. Terutama Kak Caken and Bu Budi yang banyak membantu dalam menyelesaikan studi penulis . vi 3. Sahabat dan saudara terkasih Jery “Konya” dan Felix yang sudah menjadi saudara di tanah rantau dalam berbagai suka dan duka bersama.. Terima kasih juga kepada Christian yang membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir. Kalian adalah sahabat dan saudara bagi saya. 4. Teman-teman PKMST Salatiga; Adit, Anto, Atonk, Uga, Ari, Boni, Jaja, Anas, Hendra, Juna, Bang Shalom, John, Obed, Rixi, Oci, Mardi, Ardin, Oke, James, Naruto, dan teman-teman PKMST Salatiga lainnya yang belum sempat penulis sebutkan. Melalui kalian saya belajar mengenai kekeluargaan dalam perbedaan dan turut menjadi keluarga bagi penulis di tanah rantau. 5. Kak Denis Koibur, Kak Surya Hari Wirawan, dan Kak Demas. R yang sudah menyempatkan waktu dan juga masukan bagi penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini 6. Kak Joan Damista, Mami sastro dan Toni yang telah banyak membantu penulis selama masa studi di Salatiga. 7. Juga bagi Dessy yang telah banyak membantu dan mengajarkan penulis tentang banyak hal dalam dalam relasi pribadi. Tuhan menyertai dan memberkati kau selalu di sana untuk mendapatkan yang terbaik. 8. Teman-teman angkatan seperjuangan dan sependeritaan; Ariel, Timo,Tasya, Lily, Ivona dan teman-teman lainnya. 9. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan Tugas Akhir yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu karena keterbatasan penulis sebagai manusia Akhir kata, semoga kasih Bapa dalam Tuhan Yesus Kristus selalu memberkati dan menaungi semua pihak selama masa studi dan dalam menyelesaikan Tugas Akhir dari penulis. Semoga tulisan ini juga dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan penulis. Tuhan Yesus memberkati. Salatiga, 28 September 2015 Rano Nelson W. Infaindan vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………..….. i HALAMAN PENGESAHAN ………………………………….………........ ii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ……….…………….………......... iii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ………………......... iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………...... v KATA PENGANTAR …………………………………………………….... vii DAFTAR ISI ………………………………………………………………... ix ABSTRAK ……………………………………………………..………….... xi LATAR BELAKANG MASALAH Pendahuluan …………………………………………………………… 1 LANDASAN TEORI Kebudayaan …………………………………………………………… 6 Ritus …………………………………………………………………... 7 Teologi Kontekstuasl …………………………………………………. 9 HASIL PENELITIAN Gambaran Daerah Penelitian ………………………………………….. 13 Mansorandak ...………………………………………………………. 13 ANALISA Mansorandak Dalam Kajian Antropologi ……….............................. 18 viii Mansorandak Dalam Kajian Kontekstual …………………………….. 19 Penutup Kesimpulan ……………………………………………………………... 22 Saran ……………………………………………………………………. 23 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 24 ix TUJUAN DAN MAKNA MANSORANDAK (Studi Antropologis-Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak di Desa Mokmer) Abstrak Kurangnya pemahaman masyarakat Biak terhadap makna dan tujuan tradisi Mansorandak dan prosesinya yang mereka terus lakukan menjadi dasar berpikir untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini kemudian dilakukan di desa Mokmer. Tujuannya untuk mendeskripsikan prosesi, makna dan tujuan dari upacara Mansorandak. Metode yang digunakan yakni deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Masorandak merupakan tradisi penyambutan turun-temurun yang telah diwariskan dari leluhur dalam masyarakat Biak. Upacara ini atau yang sebut sebagai upacara injak piring merupakan suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Biak kepada Manseren atau Tuhan. Orang yang akan dimansorandak di sambut oleh beberapa orang, dan salah satu orang akan mengalungkan bunga kepadanya, kemudian diiringi dengan tarian dan diarahkan oleh para penyambutnya menuju ke tempat di mana piring yang disediakan bagi orang yang dimansorandak itu untuk memasukan kakinya ke dalam piring tersebut. Sebelum kaki dimasukan ke dalam piring yang disediakan, wajah dan kaki dari orang itu haruslah dahulu dibasuh dengan air yang disediakan. Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut berada, kaki dan muka dibasuh terdahulu dengan air. Makna dari pembasuhan ini ialah untuk membersihkan hati dari orang yang disambut itu agar dapat melihat ketulusan dari masyarakat tersebut dan tanahnya. Setelah pembasuhan dilakukan barulah orang tersebut akan memasukan kakinya ke dalam piring tersebut sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam masyarakat tersebut. Tujuan utama dari upacara ini ialah untuk dapat menghadirkan dan menciptakan rasa kebersamaan serta kekeluargaan yang merangkul masyarakat atau warga masyarakat yang datang ke Biak dengan kasih dan sukacita sekaligus melestarikan budaya turun-temurun yang telah diwariskan para leluhur. Kesimpulan dan saran dicantumkan. Keywords: Masorandak, wor, mokmer, ungkapan syukur, upacara dan Manseren. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masyarakat suku Biak memiliki satu tradisi yang disebut Mansorandak. Mansorandak berasal dari tiga susunan kata dalam bahasa biak. Man berarti laki-laki atau orang, so dari kata beso yang artinya ikut, dan randak yang berarti pemula atau pertama kali. Jadi Mansorandak berarti orang yang pertama kali ikut atau hadir, dalam tradisi masyarakat Biak tersebut. Mansorandak merupakan acara adat untuk menyambut/penyambutan bagi seseorang yang baru pulang dari perantauan untuk waktu yang lama, atau orang tersebut baru pertama kali datang atau berkunjung ke tempat tersebut.1 Dengan kata lain Mansorandak adalah tradisi penyambutan dan acara syukuran adat bagi mereka yang bepergian jauh atau merantau, dan bisa juga bagi mereka yang 1 Demas R, budayawan Biak, 11 November 2014. 1 baru pertama kali menginjakan kakinya di tempat Mansorandak itu diadakan setalah sekian waktu lamanya.2 Tradisi ini seringkali dikenal juga dengan upacara injak piring. Karena dalam upacara adat ini orang yang disambut atau dimansorandak diterima secara simbolik dengan memasukan atau meletakan kakinya ke dalam piring porselen antik dari Cina sebagai tanda penyambutan bagi orang tersebut. Setiap tradisi yang ada pada budaya masyarakat di Biak termasuk masorandak, tidak dapat dipisahkan dari peran wor. Wor adalah nyanyian, dan gerak tari yang muncul secara spontanitas dari orang yang membawakan wor tersebut, dan wor itu diyakini sebagai suatu nyanyian sakral yang memiliki arti atau makna sebagai nyanyian spiritual, pembangkit semangat, pesan-pesan moral atau nasehat-nasehat.3 Namun dalam prakteknya dalam masa kini, peran wor sudah mulai berkurang, bahkan menurun drastis. Karena struktur wor yang tidak bisa sembarangan dibuat, serta penggunaan dari Wos Bekwar (bahasa Biak tinggi, atau jika dalam bahasa jawa dikenal dengan kromo inggil) yang sekarang ini perlahan-lahan mulai jarang dijumpai orang-orang yang masih fasih menggunakannya karena perkembangan zaman. Selain itu, wor dikenal bukan saja berisi nyanyian tapi juga berupa puisi atau pantun yang sakral bagi orang Biak sehingga perlahan-lahan wor mulai tidak digunakan saat ini. Alasan masyarakat Biak hanya lebih menampilkan Mansorandak tanpa wor. Karena mereka sekarang lebih melihat dan menekankan pada nilai kekeluargaan-kekerabatan (dalam interaksi sosialnya)4 dan rohani dari Mansorandak sebagai pengucapan syukur kepada Tuhan (Manseren) atas berkat dan keselamatan yang sudah diberikan kepada orang yang sudah kembali dan berkumpul bersama keluarga atau kerabat dalam pesta adat tersebut, dan juga bersyukur kepada Tuhan karena telah mengumpulkan semua sanak saudara dan kerabat untuk berkumpul dan bertemu dalam Mansorandak. Bukan hanya itu, jika dilihat dari asal mulanya sebenarnya sebelum kekristenan masuk tradisi ini juga memang sebagai bentuk syukuran, tetapi ditujukan kepada Dewa di langit (Manseren Ro nanggi). 2 diakses dari http://www.papua.us/2013/04/mansorandak-tradisi-unik-menjaga-ikatan.html, pada tanggal 14 November 2014, pukul 23:31 wib. 3 Surya H. W, tokoh adat Kawasa Biak, Salatiga 11 November 2014 4 Soejono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 45. 2 Berdasarkan perkembangannya kini, upacara adat Mansorandak tidak hanya dilaksanakan atau dilakukan bagi mereka yang berasal dari keluarga besar suku Biak saja yang merantau sekian tahun lamanya atau yang baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di tempat di mana ia datang dan disambut secara adat Mansorandak. Tetapi juga dilaksanakan dan diberikan bagi orang yang bukan berasal dari keluarga besar suku Biak di Papua. Karena ia dianggap pantas atas alasan tertentu sebagai bentuk penyambutan dan penghormatan kepadanya sebagai sesuatu kebiasaan atau budaya masyarakat yang tinggal di Biak. Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang membedakan antara suatu kelompok etnis dan bangsa dari yang satu dengan yang lainnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adatistiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain.5 Mansorandak adalah tradisi dari masyarakat Biak yang mengandung nilai-nilai sosial dan religi. Diturunkan dari generasi ke genarasi sehingga tetap dipelihara sampai saat ini. Setiap kebudayaan terdapat upacara atau ritual atau yang disebut juga ritus. Susanne Langer menunjukkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dan para pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing. Menurutnya, ritual dapat dibedakan dalam empat macam; Pertama Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis, Kedua tindakan religious, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara yang pertama. Ketiga Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. Keempat Ritual faktitif yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok6 5 Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 5. 6 Ghazali, A. M, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), 52. 3 Sementara itu Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu; (1) perpisahan, atau separation, manusia melepaskan kedudukannya yang semula (2) peralihan, atau merge, manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial di manapun. Namun mereka perlu dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti. (3) integrasi kembali, atau aggregation, mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta lingkungan sosialnya yang baru.7 Data etnografi dalam buku Van Gennep menunjukan bahwa ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan pengukuhan lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut pertama.8 Berdasarkan penjelasan diatas, terutama mengenai tradisi masorandak yang merupakan bagian dari budaya yang berkaitan dengan ritus khususnya penyambutan maka penulisan Tugas akhir ini diberi judul ; Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi sosio-teologis terhadap tradisi mansorandak dalam masyarakat biak) 1. 2 Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana prosesi tradisi Mansorandak dilakukan? 2. Apa tujuan dan makna (antropologis-teologis) dari Mansorandak? 1.3. Tujuan Penelitian 1. mendeskripsikan prosesi Mansorandak 2. Mendeskripsikan tujuan dan makna Mansorandak 7 8 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-Press, 1980), 76. Ibid., 77. 4 1.4. Signifikansi Penelitian 1. Manfaat Teoretis Memberikan sumbangan informasi atau pengetahuan tentang makna dan tujuan dari tradisi Mansorandak. Juga referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian dalam bidang antropologi dan teologi kontekstual 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi masyarakat suku Biak untuk tetap melestarikan salah satu kebudayaan dari masyarakat suku Biak itu sendiri. Karena, seiring perkembangan zaman sering terjadi pengikisan secara perlahan-lahan, baik budaya dan bahasa Biak, oleh karena itu, tulisan ini merupakan salah satu cara agar budaya di suku Biak dapat dilestarikan oleh penulis maupun masyarakatnya. 1.5. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.9 Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya10 Oleh karena itu penelitian ini mendeskripsikan upacara Mansorandak dari masyarakat Biak. 1.6 Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara Wawancara, merupakan satu proses interaksi dan komnikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Pada saat proses wawancara terjadi hubungan antara dua orang atau lebih, di mana keduanya berperilaku sesuai dengan status dan peranan 9 Lexy J. M, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006),6. Nurul Zuriah, Metodologi dan Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Bumi Aksara: Jakarta, 2006), 92. 10 5 mereka masing-masing.11 Penulis secara langsung mewawancara informan seperti tokoh adat atau juga masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang Mansorandak. 1.7 Sistematika Penulisan Pada bagian I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan metode penelitian yang digunakan. Bagian II, penulis membahas mengenai teori yang akan digunakan untuk mengkaji dan menganalisa upacara Mansorandak. Pada bagian III, berisi kondisi tempat penelitian, dan pembahasan masalah, mengenai prosesi dari mansorandak, makna dan tujuan dari dilakukannya upacara Mansorandak bagi masyarakat suku Biak. Pada Bagian IV, berisi tentang analisa masalah yang mencakup hasil penelitian lapangan dianalisa dengan teori yang digunakan. Bagian terakhir, ke V berisi, kesimpulan, dan saran-saran yang membangun bagi pihak-pihak yang terkait. 2. Landasan Teori 2.1 Kebudayaan Kebudayaan tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat di manapun. Karena melekat dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Bahkan dalam aspek atau bidang yang berkenaan dengan undang-undang atau peraturan seperti hukum, masih harus menyesuaikan dengan budaya setempat. Budaya memiliki nilai, ciri khas dan karakternya masing-masing. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religiuus, dan lain-lain. Demikian pula, Edward B. Tylor berpendapat, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang dari anggota masyarakat.12 11 Ibid., 69. Ghazali, A. M, Antropologi Agama, 32. Bandingkan juga, Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 440. 12 6 Berdasarkan pengertian kebudayaan tersebut maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata. Misalnya polapola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditunjukkan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Jadi kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan system nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut.13 2.2 Ritus Kata ritus diartikan sebagai tata cara di upacara keagamaan dan kata ritual atau rituil sebagai hal ihwal ritus.14 Ritus menjadi salah satu wujud dari kebudayaan, ritual memiliki bentuk yang bermacammacam dan turut menjadi identitas dari suatu budaya atau suatu agama kelompok masyarakat. Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Ia juga bisa dikatakan sebagai tindakan simbolik agama, atau ritual itu merupakan “agama dalam tindakan”. Meskipun hanya iman mungkin merupakan bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas dari pelaksanaan ritual tersebut.15 Fokus penulisan tentang, bukan apa yang terletak dibalik aksi yang dilakukan, akan tetapi penekanannya pada esensinya, dan apa yang memberikan arti kepada aksi tersebut.16 Mengenai hal itu Van Gennep menekankan bahwa gejala turunnya semangat kehidupan sosial biasanya terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, seperti pada musim berburu, menangkap ikan, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian, sewaktu energi manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu 13 Ghazali, A. M, Antropologi Agama , 32. Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990) 588. 15 Ghazali, A. M, Antropologi Agama, 50. 16 Ibid., 51. 14 7 itu. Oleh karena itu, dalam menghadapi tiap musim yang baru masyarakat memerlukan “regenerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya. Van Gennep menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain.17 Fungsinya juga secara langsung untuk menghidupi mitos-mitos masa lalu.18 Susanne Langer berpendapat bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada yang hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing.19 Menurutnya ritual dapat dibedakan dalam empat macam:20 a. Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; b. Tindakan religious, kultur para leluhur, yang juga bekerja dengan cara yang pertama; c. Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; d. Ritual faktiktif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:21 a. “Ritus perpisahan” (separation); manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan; 17 Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 179. Sneijders, Aldelberd, Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas St. Thomas SU. Vol 5.No. 1 Juni, 2007. 19 Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama , 174. 20 Ibid., 177. 21 Ghazali, A. M, Antropologi Agama , 54. 18 8 b. “ritus peralihan” (marge); manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Mereka dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya, diberikan pelajaran adat-istiadat keramat nenek moyangnya, diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, diceritakan ceritacerita mitologi suci, dipelajari sopan-santun, dan sebagainya. c. “ritus integrasi kembali’ (aggregation); upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan lingkungan sosial yang baru, sebagaimana dilakukan pada upacara-upacara inisiasi lainnya, di mana individu yang bersangkutan secara perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosial yang baru. Ritus penerimaan, dijalani melalui tiga tahap, yaitu ”perpisahan, peralihan, dan penggabungan”. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subyek bagi prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.22 Data etnografi dalam buku Van Gennep menunjukan bahwa ritus perpisahan itu, sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara inegrasi dan pengukuhan lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut yang pertama. Berdasarkan fakta itu mungkin dapat dusulkan untuk membedakan dengan seksama antara dua macam upacara religi, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan yang bersifat peralihan, (2) yang bersifat integrasi dan pengukuhan. Mungkin baik juga untuk membedakan kedua macam upacara religi itu dengan dua istilah juga, yaitu “ritus” untuk yang pertama, dan “upacara” untuk yang kedua.23 22 23 Ibid., 55. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 77. 9 2.3 Teologi Kontekstual Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau semboyan melainkan suatu kebutuhan teologis yang dituntut oleh sifat Firman yang telah menjadi daging di dunia. Apakah sifat implikasi istilah ini?24 (Prinsip 1) Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah “pempribumian”, namun lebih dalam daripada itu.Kontekstualisasi berkaitan dengan penilaian manusia terhadap konteks-konteks dalam dunia ketiga. Istilah “pempribumian” cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya tradisional. Sedangkan kontekstualisasi, dengan tidak mengabaikan konteks-konteks budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa dunia ketiga. (Prinsip 2) Harus membeda-bedakan dengan cermat antara bentuk-bentuk kontekstualisasi yang autentik dan yang palsu. Kontekstualisasi palsu menyerah kepada akomodasi (penyesuaian) yang tidak kritis, suatu iman budaya. Kontekstualisasi autentik selalu bersifat kenabian, yang selalu muncul dari suatu pertemuan yang sungguh-sungguh antara Firman Allah dan dunia-Nya, sehingga bergerak maju menuju tujuan untuk menantang dan mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada satu saat historis tertentu. (Prinsip 3) Kontekstualisasi bersifat dinamis bukan statis.Kontekstualisasi mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi sifat manusia dan kemungkinan akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan. (Prinsip 4) Suatu program kontekstualisasi teologi di dunia ketiga akan mempunyai prioritas-prioritasnya sendiri. Mungkin ia harus mengungkapkan tekad untuk menentukan diri sendiri dengan cara terbuka memilih “teologi perubahan” atau dengan mengakui arti-arti teologis yang penting dan jelas dalam masalah seperti keadilan, pembebasan, kuasa ekonomis, dialog dengan orang yang beriman dan berideologi lain, dan lain-lain. 24 Drewes, B. F & Mojau, Julianus, Apa itu Teologi?: Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 156. 10 (Prinsip 5) Namun kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan budaya-budaya.Sementara di dalam masing-masing situasi budaya yang berbeda-beda orang harus bergumul kembali untuk mendapatkan identitas mereka dan menguasai sejarah mereka sendiri namun, masih terdapat kesalingtergantungan konteks dengan demikian kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan pembaruan harus pertama-tama dirasakan pada tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka kesalingtergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masalalu dan masa kini pada kemungkinan-kemungkinan pada masa depan. Akhirnya, kontekstualisasi yang menekankan keprihatinan menurut tempat dan situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan bagi semua orang. Jadi kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang dalam ketaatan dalam Tuhan yang sama.25 Song menjelaskan teologinya dalam tiga bukunya: Christian Missionin Reconstruction: An Asian Attemp,Third-eye Theology: Theology in Formation in Asian Setting, dan The Compassionate God. Buku-buku ini merupakan trilogi teologi, di mana Song membangun kembali misi kristiani dari perspektif asia, mengembangkan suatu teologi dengan segi yang menguntungkan dari mata asia yang bukan-Barat, dan akhirnya menunjuk ke masa yang akan datang dalam arti suatu gerakan dengan Allah yang penuh kasih sayang. Di dalam ketiga bukunya, Song menaruh perhatiannya pada apa yang dia sebut “teologi transposisi”, yaitu teologi Kristen yang dipindahkan dari konteks Barat ke konteks Asia. Menurut Song, ada beberapa segi dari teologi transposisi ini – suatu pergesseran dalam hal tempat dan waktu, suatu alat berkomunikasi, dan yang paling pokok ialah inkarnasi. Langkah terakhir ini menghasilkan suatu teologi yang seluruhnya kontekstual, sebab tidak ada alasan teologi maupun ontologis mengapa teologi Kristen harus dikerjakan di semua tempat dan sepanjang waktu dari perspektif filsafat Barat dengan penggolongan dan pola pikir Barat.26 Pada karangan sebelumnya yang berjudul “From Israel to Asia – A Theological Leap”, Song mempertanyakan mengenai gagasan tradisional bahwa bagaimanapun juga 25 26 Ibid., 156. Daniel, J. A. Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 91. 11 semua bangsa dan budaya harus dicakup dalam satu sejarah keselamatan. Song tidak melihat satu alasanpun, mengapa tidak boleh ada banyak sejarah keselamatan dan mengapa Allah tidak dapat bekerja dalam budaya-budaya bangsa lain sebagaimana yang Allah perbuat dalam sejarah dan budaya Israel. Namun Song tidak lagi memakai gagasan sejarah keselamatan; melainkan menggantikannya dengan memakai motif-motif alkitabiah mengenai penciptaan dan pembebasan. Ia memahami penciptaan dan pembebasan sebagai yang bersama-sama menempatkan semua budaya dan agama pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi anugerah dan kasih sayang Allah. Song melanjutkan pengembangan teologinya dengan tidak hanya berbicara mengenai penciptaan dan pembebasan, tetapi juga mengenai penciptaan ulang, di mana orang Kristen dilibatkan dalam karya Allah yang terus berlangsung, yaitu menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru. 27 Makna teologi kontekstual pada umumnya dan dalam teologi Song pada khususnya adalah bahwa teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks sejarah dan budaya dimana seseorang hidup dan berkarya. Tidak hanya ada jawaban teologis yang tradisional dan dipahami dengan cara yang berbeda, melainkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang juga berbeda-beda dalam setiap budaya. Artinya, teologi kontekstual mempunyai tugas rangkap, yaitu menafsir dan membangun.28 Iman Kristen yang datang ke Asia, sebagai contoh, melalui kurun waktu 2000 tahun dari sejarah gereja, harus ditafsir ulang dengan mata orang Asia, dan pertanyaanpertanyaan teologis harus diajukan yang timbul dari interaksi antara penafsiran ulang iman Kristen dengan suatu konteks budaya dan sejarah. Song telah memusatkan perhatiannya pada kedua bagian dari tugas ini – pada tugas penafsiran dalam Christian Mission in Reconstruction dan tugas membangun dalam Third-Eye Theology dan The Compassionate God.Dalam menangani keseluruhan tugas kontekstual teologi, Song menampilkan suatu contoh yang kreatif dan terkenal mengenai bagaimana teologi dapat dan harus dilaksanakan dalam konteks Asia.29 27 Ibid, 92. Ibid., 29 Ibid., 28 12 Lebih lanjut ide tersebut diperkuat secara langsung oleh Stephen Bevans dengan menyimpulkan bahwa suatu teologi akan disebut kontekstual apabila mempertimbangkan empat aspek30, yaitu berita rohaniah tentang Injil, tradisi orang-orang Kristen, kebudayaan bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan social dalam kebudayaan tersebut sejalan dengan kemajuan teknologi serta perjuangan demi keadilan dan kebebasan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi sebagai suatu pendekatan teologis seharusnya bersifat kompherensif.31 3. Hasil Penelitian 3.1 Gambaran Daerah Penelitian Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua, Dengan Letak kabupaten yang strategis, di bagian utara Pulau Yapen di Teluk Cenderawasih. Biak Numfor semula dikenal sebagai satu-satunya kabupaten kepulauan di antara 14 kabupaten/kota di Provinsi Papua, namun kini tidak lagi setelah ada pemekaran menjadi 28 kabupaten/kota.Tiga pulau besar dan 62 pulau-pulau kecil di kawasan Biak Numfor yang sangat mengandalkan pelabuhan laut dan bandara bagi lalu lintas perekonomiannya. Letak pelabuhan lautnya dapat mengakses langsung ke kawasan Asia Pasifik, Australia dan Amerika, begitu juga dengan bandara udara yang ada.32 Mokmer adalah salah satu kampung terbesar di Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor dan sampai saat ini sudah dimekarkan menjadi lima kampung, yakni Kampung Parai, Anggraidi, Manggandisapi, Sanumi dan Mokmer sebagai desa induk.33 Penduduk dari desa Mokmer bermata pencaharian sebagai nelayan ikan laut, dikarenakan desanya yang terletak pesisir pantai. Selain itu ada juga yang bercocok tanam, sepeti sayur-sayuran dan ubi-ubian. 3.2 Mansorandak Upacara ini melambangkan siklus hidup masyarakat setempat. Dilaksanakan apabila ada anak-anak atau anggota dalam suatu keluarga pergi keluar dari kampung atau pulau tempat 30 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 1- 29. Partonadi, S. S, Komunitas Sadrakh dan Akar Kontekstualnya: Suatu ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), 5. 32 Surya H. W, tokoh adat Kawasa Biak, Salatiga 11 November 2014 33 Diakses dari http://tabloidjubi.com/2014/09/05/kampung-mokmer-biak-sosialisasi-uu-desa/, pada tanggal 4 Juli, pada pukul 00:00 31 13 tinggalnya ke tempat yang baru atau asing baginya. Selain itu, upacara ini juga dilakukan orang setempat terhadap saudara, anak atau kerabat, bahkan tamu mereka yang baru datang. Karena upacara ini dilakukan apabila ada anggota keluarga atau orang baru keluar atau datang, sehingga upacara ini bersifat insidentil. Mansorandak seringkali dikenal juga dengan upacara injak piring, karena dalam upacara adat ini orang yang disambut atau dimansorandak diterima secara simbolik dengan memasukan atau meletakan kakinya ke dalam piring porselen antik dari China sebagai tanda penyambutan bagi orang tersebut.34 Mansorandak memiliki dua bentuk: Pertama upacara yang dilakukan oleh keluarga bagi sanak saudara atau kerabat mereka yang akan melakukan suatu perjalanan keluar dari tempat atau kampung mereka. Upacara yang dilakukan merestui keberangkatan seorang saudara atau anak-anak mereka yang pergi adalah untuk meminta pertolongan dari Nanggi atau Langit dan arwah-arwah nenek moyang mereka agar menjaga, melindungi mereka dari bahaya-bahaya yang mengancam saudara dan anak-anak. Upacara ini dilakukan selama berada di dalam perjalanan, yaitu sejak saudara atau anak-anak berangkat, orang tua maupun kerabat-kerabatnya pergi ke pantai untuk mengambil air laut. Air laut ini disimpan dalam bambu atau botol di rumah sehingga airnya tenang. Ketenangan air laut ini (war bemasen) merupakan simbol dari ketenangan alam (angin, hujan) sehingga mereka akan tiba dengan selamat pada tempat tujuan. Setelah seminggu, mereka anggap bahwa saudara atau anak-anak mereka sudah tiba ditempat tujuan, maka mereka pun melakukan suatu upacara. Dalam upacara tersebut akan disajikan makanan yang dimasak air laut yang mereka timba pada seminggu lalu. Dalam upacara tersebut mereka menyanyikan nyanyian adat/tradisional yang juga di kenal dengan wor. Kedua upacara yang dilakukan oleh penduduk setempat untuk menyambut anak, saudara atau kerabat, atau juga tamu yang baru datang. Upacara ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada para penghuni wilayah baru bahwa yang datang adalah saudara mereka, sehingga alam dan penguasa-penguasa lainnya dapat menerima orang tersebut dengan baik. Sebagai orang baru, mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan suguhan atau persembahan. Bisa berupa kakes atau pinang kepada roh-roh dan juga kepada manusia yang ada di tempat yang baru. 34 Hasil wawancara dengan Demas R, Budayawan Biak, 11 November 2014. 14 Sedangkan masyarakat setempat menjemput anak, saudara, kerabat atau tamu mereka itu dengan menggunakan benda atau harta untuk membasuh kaki/mban wemin dan muka/mban mgamor35 Tradisi atau upacara Mansorandak ini sudah dilaksanakan sebelum kekristenan masuk di Biak. Mansorandak juga memiliki nilai sakral, karena terdapat unsur pengorbanan dan penghargaan sehingga dalam ritual tersebut seharusnya dimaknai dengan penuh penghayatan dan perasaan dalam pelaksanaannya. Sebab, seluruh budaya, adat-istiadat dan ritual yang ada di dalam masyarakat Biak, tidak bisa dilepaskan dari mite Swandibru atau mitos tentang asal mula laut di Biak. Dari mitos inilah asal mula nenek moyang orang Biak dengan segala adat-istiadat, budaya, contohnya mitos Koreri yang disampaikan oleh Manarmakeri, sebenarnya dimulai dari mite ini. 36 Nilai teologis lainnya dari upacara Mansorandak adalah sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan atas berkat dan penyertaan bagi orang yang disambut. Sebelum kekristenan masuk ke dalam masyarakat Biak, upacara ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk ungkapan syukur masyarakat kepada Manseren ro nanggi (Dewa di langit) atas penyertaan dan kasih sayangnya sehingga saudara, anak atau kerabat yang di sambut bisa tiba di tempat itu dengan selamat. Tetapi, ketika kekristenan masuk ke dalam kehidupan masyarakat Biak sapaan Manseren ro nanggi yang dahulu diperuntukan bagi Dewa dalam kepercayaan masyarakat Biak pra-Kristen kini digantikan dengan menurut iman Kristen kepada Yesus ataupun Allah Bapa.37 Jadi semua bentuk adat-istiadat, budaya dan ritual atau upacara yang dilakukan oleh masyarakat Biak dalam pelaksanaannya, adalah bukan saja sebagai bentuk pemahaman mereka terhadap adat-istiadat atau sebagai bentuk pemeliharaan dan pelestarian budaya, tetapi itu merupakan bentuk penghormatan terhadap Sinan Bepon atau Roh Leluhur. Selain Mansorandak itu dilaksanakan sebagai bentuk penyambutan dan penghargaan terhadap seseorang yang merupakan kerabat dari suatu keret atau marga, ataupun ia seorang asing atau seorang tamu ke dalam masyarakat atau komunitas tersebut untuk pertama kalinya, hal ini sifatnya adalah penghormatan. Jadi, dalam seni, budaya dan adat-istiadat dengan bentuk-bentuknya masing- 35 Hasil wawancara dengan Surya W. R, Budayawan Biak, 1 Juni 2015 Ibid., 37 Hasil wawancara dengan Denis Koibur, Budayawan Biak, 29 Juni 2015. 36 15 masing dalam masyarakat Biak semuanya merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap Sinan Bepon, di sinilah bentuk dari kesakralannya masing-masing, termasuk Mansorandak.38 Piring merupakan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan acara ini terutama pada saat prosesi dari upacara Mansorandak. Sebutan lain bagi tradisi Mansorandak ini adalah tradisi injak piring, sebab dalam acara ini piring porselen atau piring antik sebagai sarana penting bagi acara ini. Sebab, jika tidak ada piring antik tersebut maka acara tersebut seharusnya tidak bisa dilaksanakan. Meskipun benda hanya merupakan simbol, tetapi turut menyertakan makna penting di dalam acara tersebut. Piring antik atau piring keramik yang digunakan untuk acara tersebut juga sebenarnya tidaklah sembarang piring keramik atau piring antik, tetapi piring yang bermotif naga dan merupakan warisan dalam sebuah keluarga, bukan nilai jual atau harga dari piring tersebut yang menjadi masalah tapi nilai warisan dari generasi ke generasi tersebut yang menjadi makna pengorbanan dan penghargaan dari piring tersebut.39 Bila ada kerabat, atau tamu yang akan dimansorandak, seharusnya menggunakan piring keramik yang merupakan warisan dari keluarga yang telah bersepakat untuk menentukan piring yang akan digunakan, dan merupakan warisan dari generasi ke generasi yang bisa berusia ratusan tahun. Namun, dalam pelaksanaannya ada orang-orang Biak sendiri yang tidak memaknai makna dari piring tersebut, sehingga hanya asal-asalan melihat bentuk dan harga. Misalkan saja, akan ada kerabat atau tamu yang datang dan keluarganya bersepakat membeli sebuah piring antik atau piring keramik yang baru karena beranggapan bahwa, piring yang lama dalam generasi mereka tidak layak digunakan, atau bisa juga dengan alasan gengsi untuk menunjukan bahwa mereka mampu membeli sebuah piring antik atau piring cina yang harganya bisa puluhan juta untuk menaikan gengsi atau status. Hal-hal seperti ini sebenarnya melanggar adat dan tidak memaknai makna sebenarnya dari piring tersebut, meskipun piring tersebut hanya sebagai simbol saja dalam ritual tersebut. Hal ini juga bisa dibilang menghina adat, dan tidak menghormati Sinan Bepon, atau Roh Leluhur yang mewariskan adat-istiadat dan budaya dari orang Biak.40 Pada saat prosesinya berlangsung, orang yang akan Mansorandak, akan disambut oleh beberapa orang dan diantara para penyambut itu, ada seorang yang bertugas mengalungkan 38 Ibid., Hasil wawancara dengan Surya W. R, Budayawan Biak, 1 Juni 2015 40 Ibid., 39 16 bunga sebagai tanda sambutan, dan orang yang disambut tersebut akan dituntun ke tempat di mana ia akan mencelupkan, atau memasukan kakinya ke dalam piring tersebut, dan dalam proses pengiringannya ia diantar dengan nyanyian dan tarian menuju ke tempat piring tersebut disediakan. Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut, kaki dan muka orang tersebut akan dibasuh terdahulu dengan air. Pembasuhan ini bermakna, pembersihan hati untuk menapak dan memandang kembali ketulusan dari masyarakat tersebut dan tanahnya. Setelah pembasuhan dilakukan barulah orang tersebut akan memasukan kakinya ke dalam piring tersebut sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam masyarakat tersebut. Sedangkan piring tersebut sebagai simbol penerimaan dari keret/marga atau warga yang melaksanakan upacara Mansorandak. Adapun makna dari orang tersebut memasukan kakinya ke dalam piring itu adalah, bahwa dalam perjalanan pulang dan perginya orang tersebut dalam perlindungan dan penyertaan Yang Kuasa di langit, sehingga ia bisa hadir di tengah-tengah warga. 41 Perkembangan saat ini kebudayaan masyarakat Biak secara perlahan mulai kehilangan rohnya. Artinya, dalam pelaksanaan kegiatan adat-istiadat, bisa dikatakan bahwa ada beberapa kelompok masyarakat Biak yang melakukan atau mengadakan misalnya, upacara Mansorandak hanya dilakukan begitu saja, tanpa memaknai atau menghayati kesakralan dari upacara tersebut. Di sinilah acara itu kehilangan rohnya. 42 Selain kurangnya pemahaman dan pemaknaan terhadap kesakralan Mansorandak, terdapat pelanggaran adat dalam upacara Mansorandak, juga terdapat pelanggaran adat dalam upacara Mandorandak, yaitu ada yang melaksanakan upacara ini dengan memangkas secara materi untuk pelaksanaan acara ini, bahkan ada yang juga melaksanakan acara ini dengan maksud menunjukan gengsi kepada pihak keluarga lainnya. Padahal seharusnya Mansorandak harus dilakukan dan terjadi dengan ketulusan hati, bukan dengan terpaksa ataupun gengsi dari pihak pelaksana. Selain hal-hal tersebut, faktor lain yang menjadi tantangan dalam ritual Mansorandak adalah Wor.43 Wor adalah bentuk nyanyian spontanitas yang menjadi unsur penting dalam setiap proses acara adat dalam masyarakat Biak. Dalam Wor yang dibawakan, terdapat doa-doa, harapan, 41 Ibid., Ibid., 43 Ibid., 42 17 puisi, kata-kata pembangkit semangat/motivasi, nasehat-nasehat dan lain sebagainya. Tetapi, dalam prakteknya saat ini, unsur Wor jarang, bahkan sudah tidak di jumpai lagi dalam penyertaannya ke dalam ritual Mansorandak. Hal ini dikarenakan, struktur Wor yang tidak bisa sembarangan dibuat, serta penggunaan dari Wos Bekwar (bahasa Biak tinggi, atau jika dalam bahasa jawa dikenal dengan kromo inggil) yang sekarang ini perlahan-lahan mulai jarang dijumpai orang yang masih fasih menggunakannya karena perkembangan zaman, sebab wor bukan saja nyanyian tapi juga berupa puisi atau pantun yang sakral bagi orang Biak.44 4. Analisa 4.1 Mansorandak Dalam Kajian Antropologi Koentjaraningrat membagi dan membedakan dua macam upacara religi dari data etnografi Van Gennep mengenai ritus. Koentjaraningrat membedakannya dengan istilah “ritus” untuk yang berkaitan dengan perpisahan yang menjadi satu dengan peralihan sedangkan, “upacara” untuk yang berkaitan dengan yang bersifat integrasi dan pengukuhan. Jadi, untuk membedakan Mansorandak dan mengenal sifatnya, maka Mansorandak masuk ke dalam tipe Upacara dari model-model ritus yang telah dibagi oleh Koentjaraningrat berdasarkan model ritus dari Van Gennep. Karena, berdasarkan sifat ritus, Mansorandak adalah upacara integrasi dan pengukuhan. Van Gennep membagi ritus dan upacara ke dalam tiga bagian, yaitu; (1) ritus perpisahan (sepparation); yang acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan melepaskan kekuasaan. (2) ritus peralihan (marge); di mana para anak muda dipersiapkan untuk menjadi manusia yang baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya, mereka diberikan pelajaran mengenai adat-istiadat keramat nenek moyangnya, diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, dan lain sebagainya. (3) ritus integrasi kembali (aggregation) upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan sosial yang baru. Di mana individu yang bersangkutan secara perlambang seakan-akan dilahirkan kembali dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialnya yang baru. 44 Ibid., 18 Berdasarkan model-model ritus dan upacara dari Van Gennep, yang paling terkait dengan Mansorandak, adalah model ritus integrasi kembali (aggregation). Karena upacara Mansorandak, sebagaimana konsep individu yang dimaksud oleh Van Gennep atau pihak yang dimansorandak dilahirkan kembali dan diperlambangkan dengan upacara Mansorandak. Individu tersebut seolah-olah atau memang dia adalah orang yang baru bagi masyarakat yang mengadakan upacara Mansorandak sebagai wujud penghargaan dan penyambutan bagi si individu tersebut. Proses selama upacara itu berlangsung merupakan perlambang bagi si individu yang di sambut sebagai tanda bahwa seolah-olah ia belum termasuk ke dalam komunitas yang melaksanakan upacara Mansorandak bagi individu tersebut. Pengukuhan status sebagai bagian dari komunitas masyarakat tersebut selesai dan ditandai dengan individu yang dimansorandak membasuh kaki dan mukanya dengan air yang telah disiapkan. setelah itu individu tersebut mencelupkan atau memasukan kakinya ke dalam piring tersebut menunjukkan statusnya sebagai bagian dari masyarakat, telah dikukuhkan dan turut menjadi bagian dari keluarga besar masyarakat tersebut di manapun ia berada. Menariknya bahwa Piring kemudian berperan membentuk makna simbolis.45 4.2 Mansorandak Dalam Kajian Teologi Kontekstual Upacara Mansorandak merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat suku Biak. Di mulai sebelum kekristenan hadir dan hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Biak turun temurun. Sebelum kekristenan hadir dalam masyarakat Biak upacara Mansorandak bukan hanya dilakukan sebagai upacara penyambutan di dalam masyarakat. Namun sebagai bentuk ungakapan syukur masyarakat Biak kepada Manseren ro Nanggi (Dewa di Langit) karena anak atau pihak keluarga yang telah kembali dengan selamat ke dalam masyarakat atau warga, dan juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang (Sinan Bepon) yang mewariskan upacara Mansorandak. Song tidak lagi memakai gagasan sejarah keselamatan; melainkan menggantikannya dengan memakai motif-motif alkitabiah mengenai penciptaan dan pembebasan. Ia memahami penciptaan dan pembebasan sebagai yang bersama-sama menempatkan semua budaya dan agama 45 Sneijders. Aldelberd, Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas St. Thomas SU. Vol 5.No. 1 Juni, 2007. 19 pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi anugerah dan kasih sayang Allah.Mansorandak adalah salah satu kekayaan yang ada dalam budaya masyarakat Biak. Saat ini, upacara ini memang bukan lagi diidentikkan sebagai bagian dalam kepercayaan nenek moyang orang Biak yang melakukan upacara ini sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Manseren yang dahulu berperan sebagai dewa bagi orang Biak pra-kristen. Namun, ungkapan atau sapaan Manseren ro Nanggi saat ini identik dan kental dengan kekristenan dalam masyarakat Biak bagi panggilan yang ditujukkan kepada Tuhan dalam iman kepercayaan Kristen. Alasannya dilihat dari perspektif teologi kontekstual maka kondisi dan situasi yang dihasilkan dari budaya, setempat dapat dikontekstualkan secara langsung.46 Karena Bevans berpandangan bahwa suatu teologi akan disebut kontekstual apabila mempertimbangkan empat aspek, yaitu berita rohaniah tentang Injil, tradisi orang-orang Kristen, kebudayaan bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan sosial dalam kebudayaan tersebut sejalan dengan kemajuan teknologi serta perjuangan demi keadilan dan kebebasan.selain itu jika dipahami dari ide Song bahwa budaya adalah anugerah Allah maka secara otomatis Mansorandak saat ini telah dialamatkan kepada Yesus dengan makna yang baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi sebagai suatu pendekatan teologis bersifat komprhensif. Upacara Mansorandak dalam pengertian makna telah mampu mengkomprehensifkan keempat aspek tersebut yang disebutkan oleh Bevans. Aspek pertama, bahwa upacara mansorandak yang dahulu dilakukan pada zaman pra-kristen oleh masyarakat Biak juga dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur bahwa salah satu sanak keluarga atau kerabat yang telah selamat dalam perlindungan Manseren ro Nanggi sebagai dewa tertinggi disamping menyembah roh para leluhur. Namun, dalam konteks pasca-Kristen, upacara ini juga sebagai suatu bukan hanya sebatas upacara sambutan saja, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat atau warga kepada Tuhan Yesus dalam iman Kristen, yang dapat 46 Budaya atau dalam hal ini adat sejak dahulu bukanlah suatu hal yang tidak dapat berubah. Hal ini telah disadari oleh para Zending sehingga mereka dapat membawa pembaharuan dalam adat atau suatu tradisi dengan pendekatan yang kontekstual. Lothar Schreiner, Adat dan Injil Perjumpaan adat dan Injil di Tanah Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), hal 5. 20 menyatukan47 dan mempererat relasi antar anggota masyarakat termasuk gereja dalam sudut pandang sebagai tubuh Kristus. Aspek kedua yang berkaitan dengan tradisi orang Kristen pada prosesi masorandak adalah simbol dari kasih, dalam bentuk upacara penerimaan dan penyambutan. Bahkan mansorandak memberi arti mendalam terhadap konsep kasih dalam iman kristen.48 Karena secara konkrit tidak dilakukan bagi sanak keluarga atau kerabat saja. melainkan juga bagi orang asing mereka diberi kebebasan untuk dapat melakukan tradisi ini. Berkaitan dengan itu, aspek ketiga dan keempat terkait budaya bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan sosial yang dimaksud Bevans adalah tujuan bagi siapa upacara Mansorandak ini dilakukan menjadi terkait secara konkrit dalam tradisi. Lebih lanjut dilihat dari kronologinya awalnya, upacara ini dilaksanakan bagi anak, saudara atau kerabat keluarga yang baru datang dari luar. Tetapi juga dilakukan bagi orang yang merupakan orang baru di daerah tersebut atau seorang tamu yang berasal dari daerah luar Biak. Turut menerima atau dimansorandak. Selain itu, upacara Mansorandak juga menjadi tempat atau acara serta kesempatan untuk berkumpulnya bagi keluarga untuk memperat tali kekeluargaan. Sehingga telah terjadi wujud teologi yang universal secara langsung maupun tidak langsung Secara teologis Mansorandak jika dipahami dari sudut pandang sempit mungkin akan tidak sesuai pada tempatnya. Pada contohnya perspektif dogmatika kristen maka akan kurang relevan apalagi jika dipermasalahkan asal-usulnya. Karena akarnya berasal dari warisan budaya dan kepercayaan nenek moyang orang Biak. Oleh karena itu sudah sangat tepat jika perlu dipahami dari teologi kontekstual. Song secara langsung membuka alam berpikir yang cukup berkesinambungan sehingga penciptaan dan pembebasan sebagai yang bersama-sama telah menempatkan semua budaya dan agama pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi 47 Schmidt, “ekklēsia” Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume III. (Michigan: Eerdmans, 1965), 501-536. 48 Pemahaman tersebut merujuk pada pemahaman bahwa Gereja terdiri dari umat yang berkelana dimana dalam berkelana itu yang dihadirkan adalah ekspresi ungkapan syukur dalam pengalaman gembira.... David J. Hesselgrave dan Edward Rommen. Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) , 67. 21 anugerah dan kasih sayang Allah sehingga menjadi suatu keyakinan religius yang kuat49 pada diri masyarakat Biak berdasarkan pengalaman tradisinya maupun kepercayaan iman kristen. Ritual atau upacara masorandak yang dilakukan pada intinya harus dimengerti dari nilainya yang universal seperti konsep kasih, dan persaudaraan sehingga Gereja tidak perlu kuatir bagi upacara Mansorandak yang masih dipertahankan dan berakar dari warisan nenek moyang masyarakat Biak yang menganut kepercayaan animisme. Tetapi upacara Mansorandak saat ini lebih sebagai salah satu bagian dari identitas teologi kontekstual dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat di Biak yang bergerak terus ke masa depan berdasarkan konteks50 perkembangannya. 5. Penutup 5.1 Kesimpulan Upacara Mansorandak merupakan suatu upacara yang sudah ada sebelum kekristenan masuk ke Biak. Hingga saat ini, upacara ini masih tetap dilakukan turun-temurun hingga menjadi salah satu identitas budaya dan teologi kontekstual bagi masyarakat Biak. Pada waktu upacara Mansorandak dilakukan, orang yang akan dimansorandak di sambut oleh beberapa orang, dan salah satu orang akan mengalungkan bunga kepada orang tersebut. Orang tersebut kemudian diiringi dengan tarian dan diarahkan oleh para penyambutnya menuju ke tempat di mana piring yang disediakan bagi orang yang dimansorandak itu untuk memasukan kakinya ke dalam piring tersebut. Sebelum kaki orang tersebut dimasukan ke dalam piring yang disediakan, wajah dan kaki dari orang itu haruslah dahulu dibasuh dengan air yang disediakan. Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut tersedia, kaki dan muka orang tersebut akan dibasuh terdahulu dengan air. Makna dari pembasuhan ini ialah, untuk membersihkan hati dari orang yang disambut itu agar dapat melihat ketulusan dari masyarakat tersebut dan tanahnya. Setelah pembasuhan dilakukan barulah orang tersebut akan memasukan 49 R.Stark And C.Y. Glock, American Piety : The Nature of Religious Commitment, (University of California Press, 1968). Hal 256. 50 Emanuel G.Singgih, Mengatisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) 58, 324. 22 kakinya ke dalam piring tersebut sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam masyarakat tersebut. Piring tersebut sebagai simbol yang mewakili rasa penerimaan dari keret/marga dan masyarakat Biak yang melakukan upacara penyambutan itu. Sedangkan makna menginjak atau memasukan kaki oleh orang yang disambut adalah, orang tersebut telah memperoleh perkenaan dan perlindungan dari Manseren atau Tuhan untuk bisa datang kembali berkumpul ditengahtengah warga masyarakat. Prosesi Mansorandak seperti yang dijelaskan tersebut bukan hanya sekedar upacara penyambutan saja. Tetapi lebih daripada itu merupakan suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Biak kepada Manseren atau Tuhan yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Oleh karenanya makna dan tujuan utama dari upacara ini ialah untuk dapat menghadirkan dan menciptakan rasa kebersamaan serta kekeluargaan yang merangkul masyarakat atau warga. Karena, melalui upacara ini mereka bisa berkumpul dengan kasih dan sukacita dalam menyambut orang yang dimansorandak dan mengucap syukur atas kedatangan orang yang dimansorandak itu karena telah datang dengan keadaan selamat di tengah-tengah masyarakat, dan tidak hanya terbatas pada masyarakat lokal namun juga dapat berlaku bagi pendatang baru di lingkungan masyarakat Biak. 5.2 Saran 1. Bagi gereja-gereja di Biak. Agar dapat melestarikan budaya masorandak sebagai saran berteologi kontekstual. 2. Warga masyakat Agar dapat terus menjaga dan mewariskan budaya ini sebagai identitas, masyarakat Biak yang memiliki ikatan-ikatan kekeluargaan yang kuat, dan membuka diri bagi orang-orang yang baru. 23 DAFTAR PUSTAKA Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010. Bevans, S. B., Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002). Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius, 1995. Drewes, B. F & Mojau, Julianus. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ghazali, A. M. Antropologi Agama. Bandung : Alfabeta, 2011. Hesselgrave, J. D, dan Rommen, E. Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Kittel, G. Theological Dictionary of the New Testament. Volume III. Michigan: Eerdmans, 1965. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI-Press, 1980. Moleong, J. L. Metode Penelitian Kualitatif Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006. Partonadi, S. S. Komunitas Sadrakh dan Akar Kontekstualnya: Suatu ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001. Ratna, N. K. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Schreiner, L. Adat dan Injil Perjumpaan adat dan Injil di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008. Singgih, E. G., Mengatisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Sneijders, A. Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas Khatolik St. Thomas Sumatra Utara. Vol 5.No. 1 Juni, 2007. Soekanto, S. Kamus Sosiologi, Jakarta: CV.Rajawali, 1985. Stark, R. and Glock, C.Y. American Piety: The Nature of Religious Commitment, (University of California Press, 1968. Zuriah, N. Metodologi dan Penelitian Sosial dan Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta, 2006. Website Papua Untuk Semua, 2013 Manorandak, Tradisi Unik Menjaga Ikatan Persaudaraan, http://www.papua.us/ Arjuna Pademe, 2014, Kampung Mokmer Biak Sosialisasi UU Desa, tabloidjubi.com/ 24