6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Operasi Jaringan

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Operasi Jaringan Distribusi
Pada umumnya suatu sistem tenaga listrik yang lengkap mengandung
empat unsur Pertama, adanya suatu unsur pembangkit tenaga listrik. Tegangan
yang dihasilkan oleh pusat tenaga listrik itu biasanya merupakan tegangan
menengah (TM). Kedua, suatu sistem transmisi, lengkap dengan gardu induk.
Karena jaraknya yang biasanya jauh, maka diperlukan penggunaan tegangan
tinggi (TT), atau tegangan extra tinggi (TET). Ketiga, adanya saluran distribusi,
yang biasanya terdiri atas saluran distribusi primer dengan tegangan menengah
(TM) dan saluran distribusi sekunder dengan tegangan rendah (TR). Keempat,
adanya unsur pemakaian, yang terdiri atas instalasi pemakaian tenaga listrik.
Instalasi rumah tangga biasanya memakai tegangan rendah, sedangkan pemakai
besar seperti industri mempergunakan tegangan menengah atau tegangan tinggi.
Gambar 2.1 memperlihatkan skema suatu sistem tenaga listrik.
Sumber : Abdul Kadir , 2000
Gambar 2.1 Sistem Tenaga Listrik
6
7
Sistem operasi jaringan distribusi merupakan bagian dari sistem tenaga
listrik secara keseluruhan, sistem distribusi ini berguna untuk menyalurkan tenaga
listrik dari sumber daya besar (Bulk Power Source) sampai ke konsumen. Pada
umumnya sistem distribusi tenaga listrik di Indonesia terdiri atas beberapa bagian,
sebagai berikut :
1. Gardu Induk (GI)
2. Saluran Tegangan Menengah (TM)/ Distribusi Primer
3. Gardu Distribusi (GD)
4. Saluran Tegangan Rendah (TR)/ Distribusi Sekunder
Gardu induk akan menerima daya dari saluran transmisi kemudian
menyalurkannya melalui saluran distribusi primer menuju gardu distribusi. Sistem
jaringan distribusi terdiri dari dua buah bagian yaitu jaringan distribusi primer dan
jaringan distribusi sekunder. Jaringan distribusi primer umumnya bertegangan
menengah 20 kV. Tegangan tersebut kemudian diturunkan oleh transformator
distribusi pada gardu distribusi menjadi tegangan rendah (220/380 volt) untuk
selanjutnya disalurkan kepada konsumen melalui saluran distribusi sekunder.
2.1.1 Gardu induk pada sistem distribusi
Gardu Induk adalah peralatan listrik yang berfungsi untuk (Abdul Kadir, 2000) :
1. Pengukuran, pengawasan operasi serta pengaturan pengamanan dari sistem
tenaga listrik.
2. Pengaturan daya ke gardu - gardu induk lain melalui tegangan tinggi dan
gardu - gardu distribusi melalui feeder tegangan menengah.
3. Peralatan dan fasilitas penting yang menunjang untuk kepentingan pengaturan
distribusi tenaga listrik yang ada di Gardu Induk
2.1.2 Sistem distribusi primer
Sistem distribusi primer merupakan sistem distribusi yang berfungsi untuk
menyalurkan dan mendistribusikan tenaga listrik dari gardu induk ke pusat-pusat
beban. Sistem distribusi primer atau sistem distribusi tegangan menengah tersusun
8
oleh penyulang utama (main feeder) dan penyulang percabangan. Jaringan
distribusi di Indonesia adalah jaringan distribusi bertegangan 20 KV. Berdasarkan
bentuk atau polanya, tipe sistem jaringan distribusi primer dapat dibagi menjadi
empat, yaitu ( Hadi, 1991 ) :
1.
Sistem radial
2.
Sistem lingkar (loop/ring) dan lingkar terbuka (open loop/ring)
3.
Sistem spindel
4.
Sistem gugus (mesh)
Masing-masing tipe sistem jaringan distribusi primer tersebut mempunyai
karakteristik serta keuntungan dan kerugian masing-masing.
Dasar pemilihan suatu tipe sistem jaringan distribusi primer tergantung
dari tingkat kepentingan dan keandalan yang diinginkan, yaitu ( Hadi, 1991 ):
1. Analisa Mengenai Dampak Alam dan Lingkungan (AMDAL)
2. Kualitas daya listrik yang dikehendaki
3. Kontinyuitas pelayanan beban yang dikehendaki
4. Kerapatan beban pada daerah yang dilayani
5. Perkembangan (luas dan penyebaran) rata-rata beban pada waktu tertentu
6. Regulasi tegangan
7. Sistem penyambungan beban
8. Konstruksi jaringan (pertimbangan faktor teknis dan ekonomis)
9. Perencanaan dan besar kapasitas gardu distribusi
Sistem radial
Sistem jaringan distribuisi primer tipe radial memiliki jumlah sumber dan
penyulang hanya satu buah. Bila terjadi gangguan pada salah satunya (baik
sumber ataupun penyulangnya), maka semua beban yang dilayani oleh jaringan
ini akan padam. Oleh karena itu nilai keandalan dari sistem jaringan distribusi
primer tipe radial ini adalah rendah. Sistem ini banyak dipergunakan di daerah
pedesaan dan perkotaan yang tidak membutuhkan nilai keandalan yang tinggi.
Bagan sistem jaringan distribusi primer tipe radial ditunjukkan pada Gambar 2.2.
9
PL
Load
GI
GD
PBO
SSO
CB
PL
PL
LBS
PL
Load
Load
GD
GD
Gambar 2.2 Sistem Jaringan Distribusi Primer Tipe Radial ( Hadi, 1991 )
Keterangan :
GI
: Gardu Induk
CB
: Circuit Breaker atau Pemutus Tenaga (PMT)
GD : Gardu Distribusi
PBO : Penutup Balik Otomatis (recloser)
PL
: Pelebur (fuse cut out)
LBS : Load Break Switch
SSO: Saklar Seksi Otomatis
Load : beban/konsumen
2.3.2
Sistem lingkar (loop/ring) dan lingkar terbuka (open loop/ring)
Sistem jaringan distribusi primer tipe lingkar (loop/ring) dan lingkar
terbuka (open loop/ring) ini merupakan gabungan/perpaduan dari dua buah sistem
radial. Secara umum operasi normal sistem ini hampir sama seperti sistem radial.
Sistem ini sudah mempunyai tingkat keandalan dan kontinyuitas yang lebih baik
dibandingkan dengan sistem radial. Hal ini dikarenakan jumlah sumber dan
penyulang yang ada pada suatu jaringan adalah lebih dari satu buah.
Bagan sistem jaringan distribusi primer tipe lingkar (loop/ring) diperlihatkan pada
Gambar 2.3.
10
DS1
GD1
GD2
DS2
CB1
GI A
CB2
CB3
GI B
CB4
DS3
GD3
Rel 20 KV
GD4
DS4
Rel 20 KV
Gambar 2.3 Sistem Jaringan Distribusi Primer Tipe Lingkar (Loop/Ring) ( Hadi, 1991 )
Pada umumnya sistem ini banyak dipergunakan secara khusus untuk
menyuplai beban-beban penting misalnya rumah sakit, pusat-pusat pemerintahan
dan instansi penting lainnya.
2.3.3 Sistem spindel
Sistem jaringan distribusi primer tipe spindel merupakan modifikasi dari
sistem lingkar (loop/ring) yang terdiri dari beberapa sistem radial. Sistem ini
terdiri dari beberapa penyulang (maksimum tujuh penyulang), masing-masing
penyulang berpangkal pada satu gardu induk dan ujung-ujungnya akan terhubung
digardu hubung. Penyulang-penyulang tersebut dibagi menjadi dua jenis yaitu
( Hadi, 1991 ):
1. Penyulang kerja/working feeder
Adalah penyulang yang dioperasikan untuk mengalirkan daya listrik dari
sumber pembangkit sampai kepada konsumen, sehingga penyulang ini
dioperasikan dalam keadaan bertegangan dan sudah dibebani. Operasi
normal penyulang ini hampir sama seperti sistem radial.
2. Penyulang cadangan/express feeder
Adalah penyulang yang menghubungkan gardu induk langsung ke gardu
hubung dan tidak dibebani gardu-gardu distribusi. Pada operasi normal,
penyulang ini tidak dialiri arus-arus beban dan hanya berfungsi sebagai
penyulang cadangan untuk menyuplai penyulang tertentu yang mengalami
gangguan melalui gardu hubung.
11
Bagan sistem jaringan distribusi primer tipe spindel seperti terlihat pada
Gambar 2.4.
GD1
GD2
GD3
GD4
CB1
CB3
Gardu Induk
CB5
Express Feeder
CB7
GD5
GD6
CB9
GD7
DS1
CB2
DS2
CB4
DS3
CB6
DS4
CB8
DS5
CB10
GD8
Rel Daya 20 KV
Gardu Hubung
Gambar 2.4 Sistem Jaringan Distribusi Primer Tipe Spindel ( Hadi, 1991 )
2.3.4 Sistem gugus (mesh)
Sistem jaringan distribusi primer tipe gugus (mesh) ini merupakan variasi
dari sistem spindel. Perbedaannya hanyalah terletak pada bagian penyulang
cadangan (express feeder). Pada sistem ini penyulang cadangan diberi beban
seperti halnya penyulang kerja. Sistem ini mempunyai tingkat keandalan dan
kontinyuitas yang lebih baik dibandingkan dengan sistem lingkar (loop/ring)
ataupun radial ( Hadi, 1991 ) .
Sistem ini jarang dipergunakan pada sistem distribusi primer tegangan
menengah. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada sistem transmisi tegangan
tinggi yang sering disebut sebagai sistem interkoneksi. Sistem interkoneksi yang
terdapat di Indonesia adalah Jawa – Medan – Bali.
Bagan sistem jaringan distribusi primer tipe gugus (mesh) dapat dilihat pada
Gambar 2.5.
GD1
Gardu Induk
GD2
GD3
GD4
GD5
CB1
LBS1
CB2
GD6
GD7
GD8
GD9
LBS2
CB3
Rel Daya 20 KV
Gambar 2.5 Sistem Jaringan Distribusi Primer Tipe Gugus (Mesh) ( Hadi, 1991 )
12
2.1.3 Sistem distribusi sekunder
Sistem distribusi sekunder merupakan bagian dari sistem distribusi, yang
bertugas mendistribusikan tenaga listrik secara langsung dari trafo distribusi ke
pelanggan. Tegangan menengah 20 kV diturunkan oleh transformator distribusi
pada gardu distribusi menjadi tegangan rendah (220/380 volt) untuk selanjutnya
disalurkan kepada konsumen melalui saluran distribusi sekunder.
2.2 Pemilihan Sistem Jaringan Distribusi
Bermacam-macam bentuk konfugurasi jaringan yang berbeda diambil
untuk bermacam-macam jaringan transmisi, subtransmisi, dan distribusi, yang
menunjukkan jumlah kebutuhan daya dan keamanan jaringan. Jaringan distribusi
utama membawa daya yang besar untuk banyak konsumen, ini lebih penting dari
pada jaringan distribusi tegangan rendah di jalan, karena bila jaringan utama
mengalami gangguan konsumenlah yang menderita lebih banyak. Karenanya,
biasanya dipakai jaringan loop untuk rangkaian ini. Jaringan ini memberikan
kapasitas siap yang lebih besar dari yang biasanya dipakai untuk distribusi
tegangan rendah untuk mencatu rumah tangga. Sebagai tambahan terhadap aspek
keandalan, konsumen yang banyak.
Sistem distribusi akan lebih efektif bila digunakan bentuk atau tipe sistem
distribusi yang berbeda-beda, mengingat disesuaikan dengan keadaan beban
maupun dengan hal-hal yang mempengaruhi sistem, dan di dalam pemilihan tipe
sistem distribusi tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
sebagai berikut :
1. Kontinuitas pelayanan yang baik, tidak sering terjadi pemutusan.
2. Keandalan yang tinggi, antara lain meliputi :
a. Kapasitas daya yang memenuhi.
b. Tegangan yang selalu konstan dan nominal.
c. Frekuensi yang selalu konstan.
13
3. Penyebaran daerah beban yang seimbang.
4. Fleksibel dalam pengembangan dan perluasan, tidak hanya bertitik tolak
pada kebutuhan beban sesaat tetapi kemungkinan pengembangan beban
yang harus dilayani.
5. Tegangan jatuh yang sekecil mungkin.
6. Pertimbangan ekonomis, menyangkut perhitungan untung rugi baik secara
komersial, maupun dalam rangka penghematan anggaran yang tersedia.
Persyaratan yang harus dimiliki oleh alat pengaman atau sistem pengaman adalah
(Pribadi dan Wahyudi, 2009):
1. Sensitifitas (kepekaan)
Suatu pengaman bertugas mengamankan suatu alat atau bagian tertentu
dari sistem tenaga listrik termasuk dalam jangkauan pengamanannnya
merupakan daerah pengaman, tugas suatu pengaman mendeteksi adanya
gangguan yang terjadi didaerah pengamanannya harus cukup sensitif
untuk mendeteksi dengan nilai minimum dan bila perlu mentripkan PMT
atau Pelebur untuk memisahkan bagian yang terganggu dengan bagian
yang sehat.
2. Selektifitas (ketelitian)
Selektifitas dari pengaman adalah kwalitas kecermatan dalam mengadakan
pengamanan bagian yang terbuka dari suatu sistem oleh karena terjadinya
gangguan diusahakan seminimal mungkin jika dapat tercapai maka
pengamanan demikian disebut pengamanan selektif.
3. Keandalan ( Realibilitas).
Dalam keadaan normal pengaman tidak boleh bekerja, tetapi harus pasti
dapat bekerja bila diperlukan. Pengaman tidak boleh salah bekerja, jadi
susunan alat-alat pengaman harus dapat diandalkan. Keandalan keamanan
tergantung kepada desain, pengerjaan dan perawatannya.
14
4. Kecepatan (Speed)
Makin cepat pengaman bekerja tidak hanya dapat memperkecil kerusakan
tetapi juga dapat memperkecil kemungkinan meluasnya akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh gangguan.
2.3 Gangguan Sistem Distribusi
Gangguan pada sistem distribusi adalah gangguan yamg terjadi pada
sistem tenaga listrik yang menyebabkan bekerjanya pengaman pada penyulang di
gardu induk yang menyebabkan terputusnya suplai tenaga listrik. Hal ini untuk
mengamankan peralatan yang dilalui arus gangguan tersebut dari kerusakan.
Sehingga fungsi dari peralatan pengaman adalah untuk mencegah kerusakan
peralatan dan tidak meniadakan gangguan. Gangguan pada jaringan distribusi
lebih banyak terjadi pada saluran distribusi yang dibentangkan di udara bebas
(SUTM) yang umumnya tidak memakai isolasi dibanding dengan saluran
distribusi yang ditanam dalam tanah (SKTM) dengan menggunakan isolasi
pembungkus.
Suatu sistem jaringan distribusi tidak akan terlepas dari gangguan –
gangguan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar sistem. Gangguan dari
dalam diantaranya adalah : ( SPLN 52 – 3, 1983 )
1. Tegangan dan Arus Abnormal
2. Pemasangan yang kurang baik
3. Penuaan
4. Beban lebih
Gangguan dari luar untuk saluran kabel tegangan menengah (SKTM)
adalah (SPLN 52-3, 1983 ) :
1.
Gangguan mekanis karena pekerjaan galian saluran lain
2.
Kendaraan yang lewat diatasnya
3.
Petir lewat saluran udara
4.
Binatang
15
Sumber gangguan pada sistem distribusi saluran udara sebagian besar
karena pengaruh luar. ( SPLN 52 – 3, 1983 )
1. Angin atau pohon
2. Petir
3. Kegagalan atau kerusakan peralatan dan saluran
4. Hujan dan Cuaca
5. Binatang dan benda – benda asing
Gangguan hubung singkat dapat didefinisikan sebagai gangguan yang
terjadi akibat adanya penurunan kekuatan dasar isolasi ( basic insulation strength)
antara sesama kawat fasa, atau antara kawat fasa dengan tanah yang menyebabkan
kenaikan arus secara berlebihan. Gangguan hubung singkat, dapat terjadi antar
fase (3 fase atau 2 fase) atau 1 fase ketanah seperti pada gambar 2.2.
AWAN
AWAN
RANTING
POHON
PETIR
I (DARI SUMBER)
Sumber : Gesmulyadi , 2010
Gambar 2.6 Penyebab gangguan hubung singkat pada SUTM
16
Menurut sifatnya gangguan tersebut memiliki 2 sifat yaitu gangguan yang
sifatnya temporer atau permanen (SPLN 52-3, 1983) :
1.
Gangguan Temporer :
Gangguan temporer biasanya terjadi karena sambaran petir (penghantar
terkena sambaran petir), dan penghantar tertiup angin yang dapat menimbulkan
gangguan antar fase atau penghantar fase menyentuh pohon yang dapat
menimbulkan gangguan 1 fase ke tanah. Gangguan temporer merupakan
gangguan yang dapat hilang dengan sendirinya atau dengan memutuskan sesaat
bagian yang terganggu dari sumber tegangannya. Jika gangguan yang bersifat
temporer tidak dapat hilang dengan segera, baik hilang dengan sendirinya
maupun bekerjanya alat pengaman recloser, dapat berubah menjadi gangguan
yang bersifat permanen.
2.
Gangguan Permanen :
Gangguan yang dimana untuk membebaskannya diperlukan tindakan
perbaikan atau menyingkirkan penyebab gangguan tersebut. Peralatan yang
terganggu tersebut, baru bisa dioperasikan kembali setelah bagian yang rusak
diperbaiki atau diganti.
2..3.1 Perhitungan arus gangguan hubung singkat
2.3.1.1 Impedansi jaringan distribusi
Perhitungan impedansi jaringan distribusi 20 kV adalah impedansi
(ohm/km) yang diperoleh, besarnya tergantung luas penampang, nilai impedansi
dalam ohm tergantung dari panjang kawat.
Misal: suatu jaringan distribusi mempunyai Z = 0,250 + j 0,345 ohm/km,
dimana nilai 0,250 adalah besar resistansi (R) dalam ohm/km dan j 0,345 adalah
nilai reaktansi (XL) dalam ohm/km. Karena dalam hitungan untuk memperoleh
arus gangguan, dimana titik gangguan terjadi di jaringan 20 kV, maka impedansi
ini dikalikan dengan panjang penyulang.
17
2.3.1.2 Arus hubung singkat
Analisa hubung singkat adalah besarnya kontribusi arus gangguan
hubung singkat, disamping itu perlu diketahuinya juga besar tegangan pada setiap
node. Besar arus atau tegangan hasil analisa inilah yang diperlukan oleh engineer
proteksi untuk penyetelan proteksi. Dalam hal ini kita perlu menghitung besarnya
arus gangguan hubung singkat, sehingga bila gangguan hubung singkat itu benarbenar terjadi didalam sistem, dapat di ketahui dahulu besar arus gangguannya dan
arus gangguan yang dihitung dapat juga dipergunakan untuk setting peralatan
proteksi (Pribadi dan Wahyudi, 2009). Gangguan hubung singkat terdiri dari :
1. Gangguan 3 fase.
2. Gangguan 2 fase
3. Gangguan 2 fase atau 1 fase ke tanah.
Arus gangguan hubung singkat 3 fase, 2 fase, 2 fase ketanah atau 1 fase
ketanah, arus gangguannya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
umum (HUKUM OHM), yaitu:
..........................................................................................(1)
Dimana :
I = Arus yang mengalir pada hambatan Z (Amp)
E = Tegangan sumber (volt)
Z = Impedansi jaringan, nilai equivalent dari seluruh impedansi didalam jaringan
dari sumber tegangan sampai titik gangguan (ohm).
Dengan mengetahui besarnya tegangan sumber dan nilai impedansi tiap
komponen jaringan, serta bentuk konfigurasi didalam sistem, maka besarnya arus
gangguan hubung singkat dapat dihitung. Lebih lanjut besarnya arus yang
mengalir pada tiap komponen jaringan juga dapat dihitung dengan bantuan rumus
tersebut. Yang membedakan antara gangguan hubung singkat 3 fase, 2 fase, 1 fase
18
ketanah adalah impedansi yang terbentuk sesuai dengan macam gangguan hubung
singkat, seperti berikut ini:
If3 =
.................................................................................................(2)
Dimana:
If3
= Arus gangguan 3 fase yang dicari (Amp)
Eph
= Tegangan fase netral sistem 20 kV = 20.000/
Z1eq
= Impedansi equivalent urutan positif
Busbar GI
R
S
Gangguan
Sisi sekunder
Trafo
NGR
T
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.7 Gangguan hubun singkat 3 fasa
Dengan mempergunakan persamaan dibawah ini dapat dihitung besarnya
arus gangguan hubung singkat 2 fase sebagai berikut :
If2 =
.....................................................................................(3)
Dimana:
If2
= Arus gangguan 2fase yang dicari (Amp)
Eph-ph = Tegangan fase-fase sistem 20 kV = 20.000volt
Z1eq
= Impedansi equivalent urutan positif
19
Busbar GI
R
S
Sisi sekunder
Trafo
Gangguan
NGR
T
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.8 Gangguan hubun singkat 2 fasa
Dengan mempergunakan persamaan dibawah dapat dihitung besarnya arus
gangguan hubung singkat 1 fase ketanah, sebagai berikut:
If1 =
, karena Z1eq = Z2eq
maka :
If1 =
........................................................................(4)
Dimana:
If1 = arus gangguan 1 fase ketanah yang dicari (Amp)
Eph = tegangan fase-netral sistem 20 kV = 20.000/
Z1eq = Impedansi equivalent urutan positif
Z2eq = Impedansi equivalent urutan negatif
volt
20
Z0eq = Impedansi equivalent urutan nol
Busbar GI
R
S
Sisi sekunder
Trafo
NGR
T
Gangguan
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.9 Gangguan hubung singkan 1 fasa ke tanah
1 fasa ketanah
2.4 Sistem Pengaman pada Sistem Jaringan Distribusi
Sistem pengaman bertujuan untuk mencegah atau membatasi kerusakan
pada jaringan beserta peralatannya, dan meningkatkan kelangsungan pelayanan
pada konsumen. Agar suatu sistem distribusi dapat berfungsi secara baik,
gangguan-gangguan yang terjadi pada tiap bagian harus dapat dideteksi dan
dipisahkan dari sistem lainnya dalam waktu yang secepatnya. Keberhasilan
berfungsinya proteksi memerlukan adanya suatu koordinasi antara berbagai alat
proteksi yang dipakai. Adapun fungsi sistem pengaman adalah :
1. Melokalisir gangguan untuk membebaskan perlatan dari gangguan.
2. Memberi petunjuk atau indikasi atas lokasi serta macam dari kegagalan
3. Untuk dapat memberikan pelayanan listrik dengan keandalan yang tinggi.
4. Untuk mengamankan keselamatan manusia terutama terhadap bahaya yang
ditimbulkan listrik.
Dalam usaha menjaga kontinuitas pelayanan tenaga listrik dan menjaga
agar peralatan pada jaringan primer 20 kV tidak mengalami kerusakan total akibat
gangguan, maka diperlukan peralatan pengaman. Adapun peralatan pengaman
yang digunakan pada jaringan tegangan menengah 20 kV terbagi menjadi :
1. Peralatan pemisah atau penghubung
21
2. Peralatan pengaman arus lebih
3. Peralatan pengaman tegangan lebih
2.4.1 Peralatan pemutus dan pemisah
Fungsi dari pemutus beban atau pemutus daya (PMT) adalah untuk
mempermudah dalam membuka dan menutup suatu saluran yang menghubungkan
sumber dengan beban baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan
gangguan. Jenis pemutus dan pemisah yang digunakan pada gardu adalah :
a. Circuit Breaker (Pemutus Tenaga)
b. Disconnecting Switch (DS)
2.4.1.1 Circuit breaker (Pemutus tenaga)
Circuit Breaker merupakan saklar otomatis yang dapat memisahkan arus
gangguan, dimana untuk mengerjakan atau mengoperasikan Circuit Breaker
dalam keadaan tidak normal ini umumnya digunakan suatu rangkaian trip yang
mendapat signal dari suatu rangkaian relay pengaman. Circuit Breaker dapat
diopperasikan
secara
otomatis
maupun
secara
manual
dengan
waktu
pemutusan/penyambungan yang tetap sama, sebab faktor ini ditentukan oleh
struktur mekanismenya yang menggunakan pegas-pegas. Karena itu Circuit
Breaker dapat dioperasikan untuk memutus maupun menghubungkan rangkaian
dalam keadaan dilalui arus beban atau tidak, yang dilengkapi dengan alat
pemadam busur api. Busur api yang terjadi pada waktu pemisahan kontak akan
dapat dipadamkan oleh suatu media isolasi yang dipakai oleh Circuit Breaker
tersebut.
2.4.1.2 Disconecting switch (Saklar pemisah)
Disconnecting
Switch
merupakan
alat
pemisah
rangkaian
yang
dioperasikan secara manual, karena waktu pemutusan terjadi sangat subyektif,
tergantung pada subyek operatornya. Hal ini merupakan alasan utama, mengapa
Disconnecting Switch tidak boleh dioperasikan pada saat rangkaian dalam
keadaan dilalui arus beban. Saklar pemisah merupakan suatu peralatan yang
merupakan pasangan circuit breaker. Fungsi saklar pemisah yaitu memisahkan
22
suatu bagian beban dari sumbernya pada keadaan tidak berarus, sehingga dapat
dilihat atau dipisahkan dengan pasti bagian yang hidup dengan bagian yang tidak.
Hubungan rangkaian pemutus daya dan saklar pemisah adalah
menempatkan pemutus daya diantara dua buah saklar pemisah. Beberapa fungsi
saklar pemisah dalam gardu induk adalah :
1. Untuk mengisolir pemutus daya pada saat dilakukan pemeliharaan
pemutus daya.
2. Untuk memutuskan dan menghubungkan rel daya dan transformatos daya
dalam keadaan tanpa beban.
2.4.2 Peralatan pengaman arus lebih
Fungsi dari peralatan pengaman arus lebih adalah untuk mengatasi
gangguan arus lebih pada sistem distribusi sebelum gangguan tersebut meluas
keseluruh sistem. Peralatan yang digunakan pada jaringan distribusi adalah :
1. Fuse Cut Out
2. Rele Arus Lebih
3. Recloser (Pemutus Balik Otomatis)
2.4.2.1 Fuse cut out
Fuse merupakan kombinasi alat pelindung dan pemutus rangkaian, yang
mempunyai prinsip melebur (expulsion) atau mengamankan gangguan permanen
antara fasa ke tanah, apalagi dilewati arus yang besarnya melebihi rating arusnya.
Apabila terjadi gangguan maka elemen pelebur yang terletak pada tabung fiber
akan meleleh dan terjadi busur api yang akan mengenai tabung fiber sehingga
menghasilkan gas yang dapat segera mematikan busur api.
2.4.2.2 Rele arus lebih
Relai merupakan peralatan pengaman yang dipasang pada peralatan yang
berfungsi untuk melindungi peralatan listrik dari gangguan yang mungkin terjadi.
Tujuan dipasang relai pengaman adalah :
23
a. Menghindari atau mengurangi kerusakan yang terjadi akibat gangguan pada
alat yang dilalui arus gangguan.
b. Menyelamatkan sistem atau bagian sistem lainnya yang tidak terganggu
supaya tetap dapat bekerja terus, dengan cara melepaskan bagian sistem
yang terganggu sehingga gangguan tersebut tidak memberikan akibat
negative yang lebih luas terhadap keseluruhan sistem yang ada.
Peralatan proteksi harus dirancang sedemikian rupa sehingga gangguan
dapat dengan segera diputuskan atau dihilangkan. Suatu gangguan yang serius
dapat menyebabkan pemutusan yang cepat dan dapat menyebabkan kerusakan
pada peralatan. Gangguan yang terjadi secara tidak langsung harus diketahui oleh
operator sehingga peralatan dapat dioperasikan di luar daerah kritis. Kejadian kejadian yang sangat berbahaya bagi operasi transformator adalah hubung singkat,
gangguan ke tanah, arus lebih dan panas berlebihan. Bila terjadi gangguan baik
arus, tegangan, frekuensi dan daya, relay pengaman akan mendeteksi dan
memutus bagian yang mengalami gangguan dari sistem. Selanjutnya akan
mengembalikan ke keadaan normal atau membangkitkan sinyal peringatan kepada
operator. Relay ini memberikan reaksi terhadap besarnya arus masukan, dan
bekerja untuk memutuskan (trip) bilamana besarnya arus melebihi nilai tertentu
yang dapat diatur. Relay arus lebih akan menutup kontak – kontak untuk
menggerakkan rangkaian yang menyebabkan saklar daya membuka atau menutup
bilamana arus mencapai suatu nilai yang telah ditentukan terdahulu.
2.4.2.3 AVS (automatic vacuum switch)
AVS (automatic vacuum swicth) berfungsi sebagai SSO (sistem saklar otomatis).
AVS (automatic vacuum swicth) hanya bekerja/berfungsi hanya pada saat ada
tegangan sesaat (auto reclose). AVS (automatic vacuum swicth) hana mempunyai
sensor tegangan, sehingga tidak mampu berfungsi sebagai switch untuk
memanuver beban penyulang lain sehingga beban masih banyak padam pada saat
terjadi gangguan permanent.
24
2.4.2.4 Recloser
Recloser adalah sebuah alat yang diperlukan untuk mengindera arus lebih ,
mengatur waktu dan memutus arus lebih serta untuk meutup balik secara otomatis
dan memberikan tegangan kembali pada saluran (SPLN 52-3, 1983). Desain dari
recloser memungkinkan untuk dapat membuka kontak-kontaknya secara tetap dan
terkunci / lock out. Sebelum dinyatakan gangguan tersebut adalah gangguan
permanen biasanya recloser akan menguji secara berulang-ulang untuk
menetapkan bahwa gangguan sudah hilang, biasanya recloser akan membuka dan
menutup berturut-turut sampai 2-3 kali, jika sudah 2-3 kali pengujian gangguan
masih ada maka dapat diasumsikan gangguan tersebut adalah gangguan permanen
dan recloser akan mengunci (lockout).
Sumber : Lokakarya Proteksi, 2010
Gambar 2.10 Perangkat proteksi
Pada gambar 2.3 dapat dilihat relai proteksi dalam recloser berisikan relai
OCR/GFR dan relay penutup balik (RPB) dimana fungsi relai OCR/GFR adalah
memberikan perintah pada tripping coil untuk membuka pemutus (PMT) dan
fungsi dari relay RPB sendiri berfungsi memberikan perintah pada tripping coil
untuk menutup kembali PMT. Relay proteksi memerlukan supply energi untuk
25
dapat bekerja, supply dari relay proteksi bersumber pada PT (potensio) dan dari
batere. Potensio mengubah tegangan 20 kV menjadi 220/380 V dan disalurkan
pada relay proteksi untuk dijadikan sebagai sumber energi.
Sumber : PT PLN (Persero) Distribusi Bali, 2010
Gambar 2.11 Kerja recloser terhadap gangguan temporer
Pada gangguan yang bersifat sementara (temporer), recloser akan
membuka dan menutup kembali bila gangguan telah hilang. Pada Gambar 2.4
dapat dilihat waktu dead time dimana waktu dead time merupakan selang waktu
dari PMT open sampai close kembali, fungsinya adalah untuk memadamkan
busur api gangguan atau menghilangkan gangguan temporer. Untuk fungsi
blocking time sendiri adalah memberikan kesempatan pada jaringan untuk
memulihkan tenaganya setelah melakukan siklus reclosing.
Sumber : PT PLN (Persero) Distribusi Bali, 2010
Gambar 2.12 Kerja recloser terhadap gangguan permanen
Untuk gangguan bersifat tetap / permanen, maka recloser akan membuka
kontak kontaknya secara tetap dan terkunci / lock out. Pada gambar 2.5 dapat
26
dilihat bila terjadi gangguan permanen recloser akan mencoba untuk menutup
PMT kembali, dan jika dirasa masih terdapat gangguan maka recloser akan
membuka kontak kontaknya secara terkunci / lock out. Apabila gangguan telah
dihilangkan, maka recloser dapat ditutup kembali. Recloser biasanya dipasang
pada sebuah atau lebih cabang pada jaringan sehingga gangguan yang terjadi tidak
mempengaruhi seluruh jaringan. Recloser dapat dipakai pada :
1. Gardu induk sebagai pengaman utama penyulang distribusi
2. Jaringan yang panjang untuk membagi daerah pengaman dan
mencegah terjadinya gangguan pada seluruh bagian jaringan oleh
gangguan diujung penyulang
3. Cabang penyulang untuk mencegah jaringan utama dari gangguan
cabang penyulang (disebut dengan recloser tie)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat pemasangan recloser
adalah :
1.
Tegangan sistem dan arus beban yang terbesar
2.
Arus gangguan terbesar yang diperbolehkan melalui recloser, dan
3.
Koordinasi recloser dengan peralatan pengaman lainnya.
2.4.2.5 cara kerja Loop Scheme
Pada gambar 2.6 Adalah skema jaringan distribusi konfigurasi loop
otomatis yang dirancang untuk memulihkan pasokan tenaga listrik kepada
pelanggan dalam waktu sesingkat mungkin. Konfigurasi ini menggunakan
3 buah recloser yaitu 1 buah recloser ditempatkan pada masing-masing
penyulang/feeder yang dinamakan dengan recloser feeder dan 1 buah
recloser tie ditempatkan pada titik pertemuan kedua penyulang.
27
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.13 Loop Scheem dengan recloser tie dengan kondisi normal
Loop scheme adalah suatu sistem automatis back-up power dengan
beberapa pemutus beban pada lokasi yang berbeda dalam satu loop
jaringan yang terdiri dari dua penyulang. Tujuannya adalah untuk
mempercepat pemulihan tegangan dan diharapkan bisa dilakukan dengan
hanya ±20 detik saja.
Dalam perencanaan sistem ini diharapkan jaringan dimana terpasang
loop scheme akan mempunyai perilaku sebagai berikut :
Kasus I : Sumber/ Gardu Induk (S1) Hilang Tegangan/ Padam.
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.14 Sistem jaringan normal
28
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.15 Sumber/GI (S1) Hilang Tegangan/Padam
Sumber/ Gardu Induk (S1) hilang tegangan/padam, maka recloser
feeder 1 (Fdr-1) mulai bekerja dan menghitung waktu, Penyulang dari S1
sampai recloser tie tidak ada tegangan/padam.
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.16 Recloser feeder 1 (Fdr-1) Posisi Terbuka
Setelah 15 detik penyulang S1 masih tidak ada tegangan/ padam,
maka recloser feeder 1 (Fdr-1) akan terbuka. Recloser Tie mulai bekerja
menghitung waktu, penyulang S1 sampai recloser tie masih tetap tidak ada
tegangan/ padam.
29
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.17 Recloser tie posisi tertutup
Recloser tie akan bekerja menutup setelah 20 detik sumber tegangan
(S1) tidak ada/padam. Sehingga sebagian penyulang S1 dari recloser
feeder 1 (Fdr-1) sampai recloser tie mendapat pasokan tegangan dari S2.
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.18 Penyulang S1 dalam kondisi normal
Apabila sumber (S1) telah diperbaiki / kembali normal, maka
penyulang S1 sampai di recloser feeder 1 (Fdr-1) akan mendapat pasokan
dari S1, sedangkan dari recloser feeder (Fdr-1) sampai recloser tie masih
mendapat pasokan dari S2.
30
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.19 Recloser feeder 1 dalam posisi tertutup
Setelah sumber (S1) normal , maka recloser feeder 1 (Fdr-1) ditutup
secara manual kemudian recloser tie dibuka dan direset secara manual
juga sehingga sistem akan normal kembali seperti gambar 2.6.
Kasus II : Gangguan (F1) terletak diantara Fdr-1 dan Tie
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.20 Gangguan diantara Fdr-1 dan recloser tie
31
Jika gangguan (F1) berada diantara recloser feeder 1 (Fdr-1) dan
recloser tie maka penyulang S1 hanya mengalir sampai pada recloser
feeder 1 (Fdr-1) saja sedangkan dari recloser feeder 1 sampai recloser tie
akan padam. Recloser feeder 1 akan locout setelah beberapa kali reclose,
kemudian recloser tie mulai bekerja menghitung waktu ( penyulang S1
sampai Fdr-1 masih mendapat pasokan dari S1). Penyulang recloser feeder
1 sampai recloser tie tidak ada tegangan/padam
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.21 Gangguan F1 tidak permanen
Setelah batas setting waktu 20 detik maka recloser tie menutup.
Apabila gangguannya tidak permanen maka dari recloser feeder 1 sampai
recloser tie akan mendapat pasokan dari S2.
32
(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali, 2010)
Gambar 2.22 Gangguan F1 Permanen
Apabila pada F1 gangguannya bersifat permanen recloser tie akan
mencoba 1 kali operasi dan jika tidak berhasil akan lockout, sehingga
penyulang Fdr-1 sampai recloser tie kembali padam dan sumber S1
sampai recloser feeder 1 masih hidup.
Jika gangguan F1 telah dihilangkan maka recloser feeder 1 ditutup
secara manual, sedangkan recloser tie direset secara manual sehingga
sistem akan normal kembali.
2.5 Perhitungan Setting Arus Lebih dan Tms (Time Multiple setting)
Hasil perhitungan arus gangguan hubung singkat, dipergunakan untuk
menentukan nilai setelan arus lebih, terutama nilai setelan TMS ( Time Multiple
Setting ), dari relai arus lebih dengan karakteristik jenis invers. Disamping itu
setelah nilai setelan relai diperoleh, nilai-nilai arus gangguan hubung singkat pada
setiap lokasi gangguan yang diasumsikan, dipakai untuk memeriksa relai arus
lebih itu, apakah masih dapat dinilai selektif atau nilai setelan harus dirubah ke
nilai lain yang memberikan kerja relai yang lebih selektif, atau didapatkan kerja
selektifitas yang optimum (relai bekerja tidak terlalu lama tetapi menghasilkan
33
selektifitas yang baik ). Sedangkan untuk setelan arus dari relai arus lebih dihitung
berdasarkan arus beban, yang mengalir di penyulang atau incoming feeder, artinya
a. Untuk Relai arus lebih yang terpasang di Penyulang keluar (outgoing
feeder), dihitung berdasarkan arus beban maksimum (beban puncak) yang
mengalir di penyulang tersebut.
b. Untuk Relai arus lebih yang terpasang di penyulang masuk (Incoming
feeder), dihitung berdasarkan arus nominal Transformator tenaga.
Persyaratan yang harus dipenuhi adalah penyetelan waktu minimum dari
relai arus lebih ( terutama di penyulang ) tidak lebih kecil dari 0,3 detik.
Pertimbangan ini diambil agar relai tidak sampai trip lagi, sewaktu PMT
penyulang tersebut di operasikan.
Penyetelan Ground Fault Relay (GFR) dapat di setel mulai 6% s/d 12% x
arus gangguan hubung singkat 1 fase terjauh/terkecil) atau = 6% s/d 12% x IF1
fase terkecil , nilai ini untuk mengantisipasi jika penghantar tersentuh pohon,
dimana tahanan pohon besar (sesuai standard 26 Ohm) yang dapat memperkecil
besarnya arus gangguan hubung singkat 1 fase ketanah.
2.5.1 Setting arus lebih
Untuk perhitungan setting arus lebih antara penyulang masuk dan
penyulang keluar berbeda, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan
dibawah.
2.5.1.1 Nilai setting arus relai penyulang keluar (outgoing feeder)
Relai arus lebih yang digunakan adalah dengan karakteristik normal
(standard inverse). Setelan relai arus lebih dapat dihitung, sebagai berikut:
Iset (pri) = 1,05 * Ibeban …………………………………………………(5)
Nilai setelan ini adalah nilai primer, untuk memperoleh nilai setelan
sekunder yang akan disetkan pada relai arus lebih, maka harus dihitung dengan
menggunakan data ratio trafo arus yang terpasang di Penyulang tersebut:
34
……………………………………………(6)
Iset (sec) = Iset (pri) *
2.5.1.2 Nilai setelan relai penyulang masuk dari transformator
Untuk menentukan nilai setelan Relai Arus lebih disisi penyulang masuk
Transformator tenaga, perlu dihitung terlebih dahulu arus nominal, sebagai
berikut:
IN(sisi20kV) =
…………………………………………….(7)
Iset (pri) = 1,05* IN(sisi20kV) ………………………………………………...(8)
Nilai setelan tersebut diatas adalah nilai primer, untuk memperoleh nilai
setelan sekunder yang dapat disetkan pada relai arus lebih, maka harus dihitung
dengan menggunakan data ratio trafo arus yang terpasang di incoming 20 kV
tersebut, yaitu sebagai berikut :
…………………………………………..(9)
Iset (sec) = Iset (pri) *
2.5.2 Time multiple setting ( TMS )
Time multiple setting (Tms) dan setelan waktu relai pada jaringan
distribusi mempergunakan standard invers, yang dihitung mempergunakan rumus
kurva waktu Vs arus, dalam hal ini juga diambil persamaan kurva arus waktu dari
standard British, sebagai berikut :
Tms =
……………………………………………..(10)
Dan
t=
................................................................................(11)
35
Dimana:
t
= Waktu trip (detik).
Tms
= Time multiple setting (tanpa satuan)
IFAULT = Besarnya arus gangguan hubung singkat (amp)
- Setelan over current relay (inverse), diambil arus gangguan hubung
singkat terbesar.
- Setelan ground fault relay (inverse) diambil arus gangguan hubung
singkat terkecil.
ISET = Besarnya arus setting sisi primer (Amp)
- Setelan over current relay (Inverse) diambil (BS) 1,05 s/d 1,3 x Ibeban
- Setelan ground fault relay (inverse) diambil 6% s/d 12% x arus gangguan
hubung singkat 1 fase terkecil.
α ,β = Konstanta (Faktor α dan β tergantung pada kurva arus vs waktu)
Tabel 2.1:Konstanta
α dan β :
Nama Kurva
α
β
Standard Inverse
0,02
0,14
Very Inverse
1
13,2
Extremely Inverse
2
80
Long Inverse
1
120
Sumber : K.Pribadi dan Wahyudi, 2009
2.5 Penyulang Penebel
Pada penyulang Penebel terdapat dua buah recloser yaitu recloser celagi
dan recloser banana(lampiran 1).
36
Data jumlah pelanggan dan titik beban terdapat pada table I dibawah ini :
Tabel 2.2 jumlah pelanggan penyulang penebel(Sumber : PT.PLN Distribusi Bali,
2010).
Load
Kapasitas
Jumlah
Point
(KVA)
Pelanggan
PB4
50
121
PB78
50
13
PB83
160
55
PB13
100
424
PB63
160
67
PB14
50
168
PB59
25
96
PB74
50
11
PB62
25
13
PB75
50
23
PB64
160
74
PB67
50
104
PB73
50
33
PB61
50
83
PB68
50
56
PB72
50
77
PB16
100
196
PB53
50
30
PB54
50
137
PB55
160
123
PB15
50
206
PB23
100
586
PB84
100
55
PB66
50
10
37
MI93
250
2
KD17
100
1
KD4
100
341
KD51
50
177
KD36
100
295
KD61
100
164
KD11
160
223
MA44
100
223
KD81
50
61
KD58
100
199
TB12
50
308
TB52
50
49
2.6 System Average Interruption Frequency Index (SAIFI)
SAIFI didefinisikan sebagai jumlah rata-rata kegagalan yang terjadi per
pelanggan yang dilayani oleh sistem per satuan waktu (umumnya per tahun).
Perumusan SAIFI diekspresikan sebagai berikut (Roger C. Dugan, 2004) :
SAIFI =
JUMLAH KOSUMEN TERGANGGU
JUMLAH TOTAL KONSUMEN TERLAYANI
Atau
SAIFI =
= Laju kegagalan(failure rate) masing masing komponen.
= Jumlah pelanggan pada load point K.
M = Total pelanggan pada system jaringan distribusi.
2.7 System Average Interruption Duration Index (SAIDI)
SAIDI didefinisikan sebagai nilai rata-rata dari lamanya kegagalan untuk
setiap konsumen dalam selang waktu satu tahun. Indeks ini dinyatakan
sebagai hasil pembagian dari jumlah total durasi kegagalan secara terusmenerus untuk semua pelanggan selama periode waktu yang telah
38
ditentukan dengan jumlah total pelanggan yang dilayani selama periode tsb.
Bentuk perumusan matematis SAIDI diekspresikan sebagai berikut(Roger C.
Dugan, 2004; PT. PLN (Persero) JasaPendidikan dan Pelatihan, 2005) :
SAIDI = Jumlah Total Durasi Gangguan Konsumen
Jumlah Total Konsumen Terlayani
Atau
SAIDI =
: Durasi terputusnya pasokan listrik tahunan rata rata.
: Jumlah pelanggan pada load point k.
M : Total pelanggan pada system jaringan distribusi.
Indeks durasi terputusnya pasokan listrik tahunan rata-rata (U) adalah tiap-tiap
load point berbeda sesuai nilai repair time/switching time yang ditentukan sesuai
daerah yang mengalami gangguan. Indeks durasi terputusnya pasokan listrik
tahunan rata-rata merupakan perkalian antara indeks angka kegagalan (λ) dengan
nilai repair time/switching time (r) di tiap-tiap load point.
Download