BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penurunan Angka

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan
Angka Kematian Balita (AKABA) yang terintegrasi dalam upaya peningkatan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan salah satu agenda penting dalam
Millenium Development Goals (MDGs) yaitu pada tujuan keempat dan kelima.
Program KIA secara nasional merupakan salah satu prioritas program dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia (Kemenkes RI, 2010).
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2008), indikator pelaksanaan program
KIA dilihat dari Kunjungan Ibu Hamil Kala Keempat (K4), persentase cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan atau bidan, persentase ibu hamil refsiko
tinggi yang dirujuk, persentase kunjungan neonatus, persentase kunjungan bayi dan
persentase kunjungan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yang ditangani. Hal ini
sejalan dengan target-target yang direkomendasikan dalam Standar Pelayanan
Minimal (SPM) bidang kesehatan.
Program KIA terfokus pada 3 (tiga) pesan kunci Making Pregnancy Safer
(MPS) atau Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman, antara lain (1) setiap
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap komplikasi obstetri dan
neonatal memperoleh pelayanan yang adekuat, dan (3) setiap wanita usia subur
mempunyai akses terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan
komplikasi keguguran (Kemenkes RI, 2010). Keseluruhan pesan tersebut terjabarkan
dalam program KIA yang dimaksudkan untuk menurunkan AKI dan bayi baru lahir,
dan meningkatkan KIA.
Sampai tahun 2013, masalah KIA di Indonesia masih menjadi permasalahan
kesehatan dan masih menjadi kontribusi permasalahan kesehatan dalam mencapai
target MDGs. Secara terus-menerus Indonesia berkomitmen untuk mencapai tujuan
MDGs tersebut di tahun 2015 melalui upaya penurunan AKI dari 359 menjadi 102
per 100.000 kelahiran hidup dan AKB dari 32 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup,
dan kematian balita dari 40 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup.
Hasil analisis Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
menunjukkan bahwa lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi
dalam tahun pertama kehidupan anak dan mayoritas kematian bayi terjadi pada
periode neonatus. Menurut data World Health Organization (WHO) 2003, AKB di
Indonesia sebagian besar terkait dengan faktor nutrisi yaitu sebesar 53%, beberapa
penyakit yang timbul akibat malnutrisi antara lain pneumonia (20%), diare (15%),
dan perinatal (23%) (Kemenkes RI, 2013).
Berbagai penyebab terjadinya kematian ibu di Indonesia, antara lain penyebab
langsung yaitu pendarahan, hipertensi/eklamsia dan infeksi, serta penyebab tidak
langsung yaitu terlambat dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam
memperoleh pelayanan persalinan dari tenaga kesehatan, dan terlambat sampai di
fasilitas kesehatan pada saat dalam keadaan darurat. Kematian ibu didominasi 90%
pada saat persalinan dan segera setelah persalinan yaitu perdarahan (28%), eklamsia
(24%), infeksi (11%), komplikasi puerperium (8%), abortus (5%), trauma obstetrik
(5%), emboli (5%), partus lama/macet (5%), dan lain-lain (11%) termasuk
didalamnya penyebab penyakit non obstetrik (Kemenkes RI, 2011c).
Kondisi objektif permasalahan kematian ibu, bayi dan balita di Indonesia
berimplikasi terhadap pencapaian program KIA secara keseluruhan. Program KIA
menjadi salah satu program wajib di tingkat pelayanan dasar di puskesmas serta
program utama dalam pelayanan rujukan di tingkat rumah sakit. Otorisasi
pelaksanaan program KIA secara umum dilakukan oleh Dinas Kesehatan sebagai
organisasi pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang kesehatan. Implementasi
program KIA akan berjalan dengan baik jika pada level perencanaan benar-benar
dilakukan berdasarkan analisa kebutuhan yang objektif dan terukur.
Permasalahan yang lazim terjadi terhadap pencapaian program kesehatan pada
umumnya adalah adanya disparitas antara perencanaan dengan penganggaran, artinya
kuantitas anggaran dialokasikan tidak sesuai dengan kebutuhan anggaran yang efektif
untuk implementasi program kesehatan yang telah direncanakan. Permasalahan lain,
masih tingginya alokasi anggaran untuk keperluan fisik, dibandingkan pelaksanaan
program-program kesehatan berbasis masyarakat seperti program pemberdayaan
masyarakat dan program peningkatan KIA. Untuk itu perencanaan yang tepat
memegang peranan penting. Menurut Gani (2004), perencanaan yang tepat
diperlukan agar tidak terjadi alokasi anggaran yang salah sasaran.
Secara umum diketahui bahwa alokasi anggaran bidang kesehatan sesuai
Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan adalah 10% dari total anggaran,
dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran tersebut di luar gaji. Namun
secara aktual persentase anggaran bidang kesehatan di beberapa daerah di Indonesia
masih di bawah 10%. Demikian halnya dengan provinsi Sumatera Utara, sebagian
besar masih berkisar antara 5-9%, apalagi alokasi anggaran untuk program-program
kesehatan berbasis masyarakat juga masih sangat rendah. Hal ini tentunya berkaitan
dengan perencanaan program kesehatan yang dirumuskan oleh Dinas Kesehatan
kabupaten/kota.
Perencanaan sebagai suatu proses berkesinambungan yang mencakup
pengambilan keputusan atau pilihan mengenai bagaimana memanfaatkan sumber
daya yang ada semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau
kenyataan-kenyataan yang ada dimasa datang. Perencanaan program yang baik
seharusnya berbasis bukti/data (evidence based). Pada kenyataanya, perencanaan
program kesehatan banyak yang belum dijalankan dengan baik, dan bentuk kegiatan
yang direncanakan hanya menyesuaikan atas program dan kegiatan pada tahun
sebelumnya (Arsyad, 2002).
Proses penyusunan anggaran dimulai dari analisis situasi yang mencakup
review kinerja tahun lalu dan analisis situasi dan kebijakan kesehatan. Langkah
selanjutnya adalah dilakukan rapat kerja perencanaan tahap pertama, musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) desa/kelurahan, unit-unit di Dinas
Kesehatan menyusun perencanaan dan penganggaran terpadu, kemudian dilanjutkan
dengan musrenbang kecamatan, rapat kerja perencanaan tahap kedua, dan dilakukan
pemaparan dalam forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan dihadiri oleh
unsur Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), selanjutnya dilakukan
musrenbang kabupaten. Langkah berikutnya adalah kebijakan umum anggaran dan
asistensi anggaran serta keputusan angggaran yang melibatkan Dinas Kesehatan,
Bappeda dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Anggaran yang telah
disahkan berupa Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD menjadi dasar bagi
eksekutif untuk melaksanakan aktivitasnya dalam pemberian pelayanan publik dan
acuan bagi legislatif untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penilaian kinerja
eksekutif dalam hal pertanggungjawaban kepala daerah. Secara skematis dapat dilihat
pada Gambar 1.1. berikut ini (Depkes RI, 2007).
6. Raker Perencanaan II
7. Forum SKPD
5. Musrenbang Kecamatan
8. Musrenbang Kabupaten
9. Kebijakan Umum & Anggaran
4. Puskesmas dan Unit-unit di Dinas
Kesehatan menyusun PKT
10. Asistensi Anggaran
3. Musrenbang Desa/Kelurahan
11. Keputusan Anggaran
2. Raker Perencanaan I
1.
Analisis Situasi
Keterangan :
PKT = Perencanaan Kerja Tahunan
Raker = Rapat kerja
Gambar 1.1. Siklus Perencanaan dan Penganggaran Tahunan
Menurut WHO (2009), ada variasi alokasi anggaran untuk peningkatan KIA.
Alokasi anggaran untuk KIA di negara-negara di Asia Selatan seperti Bangladesh,
India, Nepal dan Pakistan rata-rata sebesar US$1,21-2,97 per kapita pertahun.
Alokasi anggaran program KIA untuk wilayah Asia Tenggara seperti China, India,
Myanmar, Papua Nugini dan Timor Leste rata-rata berkisar antara US$0,61-0,83 per
kapita pertahun. Artinya bahwa investasi anggaran untuk program KIA seperti di
Indonesia
cenderung
sangat
sedikit
untuk
menanggulangi
permasalahan-
permasalahan KIA.
Penelitian Vincente, et all., (2013) menjelaskan bahwa keberhasilan program
KIA di Philipina sangat didukung oleh proporsi anggaran yang disediakan dengan
program kesehatan lainnya. Pendekatan perencanaan berbasis bukti dan alokasi
anggaran secara proporsional dapat menurunkan permasalahan KIA di Philipina.
Pendekatan analisa perencanaan berbasis bukti adalah dengan mengidentifikasi data
dan informasi yang objektif tentang keadaan kesehatan ibu dan anak di semua
wilayah seperti data proporsi jumlah fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk, dan
jumlah kemampuan ekonomi daerah.
Komitmen pemerintah di bidang kesehatan, khususnya KIA, dapat dinilai
dengan melihat kecenderungan alokasi anggaran untuk kesehatan secara umum.
Selama periode 2006-2013, kecenderungan keseluruhan alokasi anggaran pemerintah
Indonesia untuk sektor kesehatan mengalami peningkatan secara nominal. Namun,
meskipun kecenderungan peningkatan nilai nominal, nilai faktual sebenarnya
mengalami penurunan. Artinya ada kesenjangan antara alokasi anggaran yang real
dibutuhkan untuk menjalankan program-program kesehatan dibandingkan dengan
besaran alokasi anggaran yang telah ditetapkan, dan tidak disesuaikan dengan
pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan kata lain bahwa pemerintah Indonesia
berada pada posisi di luar komitmen dalam upayanya untuk memenuhi komitmen
kesehatan ibu sebagaimana terindikasi bahwa pemerintah gagal mempertahankan
kecenderungan peningkatan nilai riil alokasi anggaran kesehatan (Dwicaksono dan
Donny, 2013).
Penelitian Faulia, dkk., (2009) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
menemukan bahwa porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
program KIA selama kurun waktu 2007-2008 cenderung menurun dari 0,7% menjadi
0,6%, dan di tahun 2009 menurun menjadi 0,4% dari alokasi belanja langsung, dan
dari sejumlah anggaran tersebut salah satu alokasi anggaran terendah justru pada
kegiatan dan upaya penurunan kasus kematian ibu dan anak. Hal ini disebabkan
karena alokasi anggaran untuk program KIA cenderung lebih didukung oleh sumber
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seperti dana dekonsentrasi dan
dana bersumber dari bantuan lembaga donor seperti United Nation International
Children’s Emergency Fund (UNICEF) dan United States Agency for International
Development (USAID).
Penelitian Iswarno, dkk., (2013), menunjukkan bahwa komitmen pemerintah
di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu terhadap program KIA masih rendah.
Hal ini terbukti dengan minimnya alokasi anggaran program KIA pada tahun 2008
yang hanya 2 % dari total anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Kepahiang.
Penelitian Erpan, dkk., (2012) di Kabupaten Lombok Tengah, mendeskripsikan
bahwa alokasi anggaran program KIA tahun 2010 sebesar 4,2% dari belanja langsung
Dinas Kesehatan, dan dari sejumlah anggaran KIA tersebut 81,9% diperuntukkan
untuk jaminan persalinan gratis, namun pada tahun 2011 menurun drastis menjadi
0,8% dari belanja langsung Dinas Kesehatan. Hal ini disebabkan adanya sharing dana
dari APBN berupa program Jampersal.
Kondisi disparitas proporsi anggaran KIA juga terjadi di Kabupaten Sabu
Raijua Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian Dodo, dkk., (2012), bahwa
alokasi anggaran KIA tahun 2010 hanya 0,8% dari belanja langsung yang bersumber
APBD Dinas Kesehatan, sedangkan alokasi anggaran KIA dari APBD Propinsi NTT
sebesar 11,9%, dan bersumber dari pemerintah pusat berupa dana BOK, dan
Jampersal sebesar 45,93%. Permasalahan yang dihadapi dalam perencanaan program
KIA adalah adanya porsi anggaran yang lebih besar dari pemerintah pusat, sehingga
alokasi anggaran diarahkan kepada pemenuhan sarana dan prasarana.
Fenomena perencanaan kesehatan di Provinsi Sumatera Utara juga masih
menjadi permasalahan awal terhadap pencapaian seluruh indikator program-program
kesehatan, termasuk program KIA. Data profil kesehatan Provinsi Sumatera Utara
tahun 2012 menunjukkan bahwa capaian K4 secara umum sudah mencapai 85,92%,
namun masih dibawah 95%, cakupan kunjungan neonatus 89,97% dan cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan masih mencapai 88,78%, masingmasing mendekati target sebesar 90%. Hal ini karena semakin membaiknya kondisi
distribusi tenaga bidan diseluruh daerah di Provinsi Sumatera Utara dengan adanya
program bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT). Namun kondisi objektif tersebut jika
dilihat secara parsial masih ada beberapa daerah yang memiliki permasalahan KIA
baik dilihat dari AKI, AKB, AKABA dan masalah KIA lainnya seperti balita dengan
gizi buruk.
Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang masih memiliki
permasalahan KIA adalah Kabupaten Deli Serdang. Profil Kesehatan Kabupaten Deli
Serdang (2012) menunjukkan bahwa kematian ibu, bayi dan balita mengalami
penurunan sepanjang tahun 2008 sampai 2012. Namun masih adanya kasus kematian
menunjukkan permasalahan KIA masih menjadi masalah program kesehatan, dan
perlu ada peningkatan upaya strategis guna mencapai indikator program KIA
sebagaimana diharapkan. Adapun jumlah kematian ibu, bayi dan balita di Kabupaten
Deli Serdang dapat dilihat di tabel 1.1.
Tabel 1.1. Jumlah Kematian Ibu, Bayi dan Balita di Kabupaten Deli Serdang
Tahun 2008-2012
Jumlah Kematian
2008
2009
2010
2011
1.
Ibu
32
21
20
20
2.
Bayi
126
134
98
97
3.
Balita
151
171
135
133
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014
No.
Indikator
2012
15
74
96
Pencapaian SPM untuk program KIA di Kabupaten Deli Serdang selama
kurun waktu 2009-2013 cenderung bervariatif setiap tahunnya. Secara aktual,
persentase secara keseluruhan pencapaian program KIA sudah memenuhi target yang
diharapkan. Namun dilihat secara komprehensif, dampak dari pencapaian program
KIA tersebut masih belum mampu mereduksi masalah KIA seperti kematian ibu,
bayi, balita, balita dengan status gizi buruk, dan masih ada ibu melahirkan dengan
komplikasi. Hal ini disebabkan karena masih ada sebagian ibu melahirkan yang tidak
melakukan pemeriksaan kehamilan secara terus-menerus sampai empat kali. Data
tahun 2013 menunjukkan terdapat 42.423 sasaran ibu hamil, namun yang melakukan
kunjungan K4 sebanyak 40.969 ibu hamil, artinya masih terdapat 1.454 ibu hamil
tidak mendapatkan pemeriksaan kehamilan sampai dengan selesai, sehingga dapat
menyebabkan tidak dapat dimonitoring perkembangan dan keadaan kehamilan ibu
menjelang waktu melahirkan, dan keadaan ini dapat juga menyebabkan kematian bayi
saat dilahirkan. Adapun hasil pencapaian program KIA dapat dilihat pada tabel 1.2.
berikut ini:
Tabel 1.2. Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Program KIA Dinas
Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009-2013
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kegiatan
Cakupan kunjungan ibu hamil (K4)
Cakupan komplikasi kebidanan
yang Ditangani
Cakupan pertolongan persalinan
oleh
nakes
yang
memiliki
kompetensi kebidanan
Cakupan pelayanan nifas
Cakupan
neonatus
dengan
komplikasi yang ditangani
Cakupan kunjungan bayi
Cakupan desa/kelurahan Universal
Child Immunization (UCI)
Cakupan pelayanan anak
Cakupan pemberian makanan
pendamping ASI anak usia 6 - 24
bulan
Cakupan
balita
gizi
buruk
mendapat perawatan
Pencapaian SPM (%)
2009 2010 2011 2012 2013
93,13 96,01 96,06 95,91 96,2
100
100
100
100
100
Target
(%)
95
80
99,72 99,54 95,29 98,41 96,65
90
97,5
99,7
93,45 95,38 93,43
90
100
100
95,35
90,1
80
98,18 94,64 94,76 94,39 90,83
90
89,85 96,95 82,99 96,45
96,7
100
89,95 96,95 82,99 96,45 85,59
90
85,02 76,56 84,76 84,96
100
100
100
100
100
Sumber: Dinas Kesehatan Deli Serdang, 2014
100
100
100
100
Data tahun 2013 menunjukkan di Kabupaten Deli Serdang terdapat 8.486 ibu
hamil komplikasi yang ditangani tenaga terlatih (bidan), dan masih ada 7 (tujuh)
balita dengan gizi buruk, demikian juga dengan kuantitas neonatus yang komplikasi
ada sebanyak 5.786 kasus. Hal ini menunjukkan peran puskesmas dalam upaya
menurunkan kematian ibu, bayi dan balita belum maksimal yang diindikasikan dari
rendahnya jumlah puskesmas yang melakukan PONED yaitu 21 puskesmas dari 34
puskesmas yang ada, dan dari 21 puskesmas yang dinyatakan PONED hanya 16
puskesmas saja (76,2%) efektif melaksanakannya.
Berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang
dalam menurunkan kematian ibu dan anak yaitu melalui penguatan program KIA
seperti pelatihan Asuhan Persalinan Normal (APN) bagi bidan desa, distribusi tenaga
bidan keseluruhan wilayah di Kabupaten Deli Serdang, pembangunan poskesdes, dan
peningkatan jumlah puskesmas rawatan, serta penetapan Puskesmas Penanganan
Obstetri Neonatal Emergency Dasar (PONED). Hal ini berkontribusi terhadap
pencapaian program yang dapat dilihat dalam SPM.
Berdasarkan alokasi anggaran APBD Pemerintah Daerah Kabupaten Deli
Serdang diketahui bahwa proporsi anggaran bidang kesehatan (Dinas Kesehatan,
Rumah Sakit, dan Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan)
berfluktuasi selama tahun 2012-2014. Tahun 2012 dan 2013 proporsi anggaran
kesehatan di Kabupaten Deli Serdang belum memenuhi ketentuan yang telah
ditetapkan pemerintah. Tahun 2012 masih sebesar 7,66 % dan tahun 2013 menurun
menjadi 6,05%. Namun tahun 2014 sudah memenuhi ketentuan dengan proporsi
sebesar 14,67%. Deskripsi alokasi anggaran di Kabupaten Deli Serdang secara umum
dapat dilihat pada tabel 1.3.
Tabel 1.3. Distribusi Alokasi Anggaran Bersumber Dana APBD Bidang
Kesehatan di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014
Alokasi Anggaran
2012
Rp dan %
Tahun Anggaran
2013
Rp dan %
2014
Rp dan %
APBD Kabupaten
Belanja Tidak
Langsung
Belanja Langsung
996.070.906.671
1.112.719.894.437
1.408.323.516.820
(49,33%)
(49,73%)
(49,97%)
1.023.034.033.947
1.124.731.745.137
1.409.948.532.807
(50,67%)
(50,27%)
(50,03%)
Total
2.019.104.940.618
2.237.451.639.574
2.818.272.049.627
(100%)
(100%)
(100%)
APBD Bidang Kesehatan
Belanja Tidak
124.370.331.227
132.211.031.253
138.973.196.057
Langsung
(61,23%)
(66,03%)
(40,19%)
Belanja Langsung
78.733.359.400
68.030.565.300
206.811.401.750
(38,77%)
(33,97%)
(59,81%)
Total
203.103.690.627
200.241.596.553
345.784.597.807
(100%)
(100%)
(100%)
Persentase anggaran*
7,66%
6,05%
14,67%
*) Persentase belanja langsung APBD bidang kesehatan dibandingkan dengan belanja
langsung APBD kabupaten
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang,2014
Alokasi anggaran untuk Dinas Kesehatan tahun 2012-2014 menunjukkan
lebih dominan untuk belanja tidak langsung, dan dari sejumlah belanja langsung
hanya 9,73% di tahun 2012 berkontribusi terhadap peningkatan program KIA. Tahun
2013 menurun menjadi 3,72 % dan 3,73 % di tahun 2014. Anggaran untuk program
KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang selain bersumber dari APBD
Pemerintah Kabupaten Deli Serdang juga bersumber dari dana APBN berupa
Jampersal, BOK dan JKN. Adapun distribusi alokasi anggaran untuk program KIA
dapat dilihat pada Tabel 1.4.
Tabel 1.4. Distribusi Alokasi Anggaran Program KIA Bersumber APBD di
Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2012-2014
Alokasi Anggaran
APBD Dinas Kesehatan
Belanja Tidak Langsung
Belanja Langsung
Total
Program KIA*
2012
Rp dan %
97.098.701.290
(71,38%)
38.930.050.000
(28,62%)
136.028.751.290
(100%)
3.789.662.000
(9,73%)
Tahun Anggaran
2013
Rp dan %
2014
Rp dan %
103.039.036.954 108.395.886.308
(76,46%)
(51,15%)
31.727.214.000 103.536.121.550
(23,54%)
(48,85%)
134.766.250.954 211.932.007.858
(100%)
(100%)
1.180.704.500
3.858.345.500
(3,72%)
(3,73%)
APBN Program KIA
Jampersal
6.835.340.000
2.490.268.000
0
BOK
2.871.920.000
2.905.000.000
3.193.150.000
JKN
0
0 22.500.000.000
Total
9.707.260.000
5.395.268.000
25.693.150.000
*) Persentase program KIA dibandingkan dengan belanja langsung APBD Dinas Kesehatan
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2014
Tabel 1.4 juga menunjukkan bahwa secara kuantitatif total anggaran
Jampersal, BOK dan JKN tahun 2012-2014 lebih besar (2-7 kali) dibandingkan
program KIA bersumber dana APBD Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menunjukkan
bahwa pemerintah pusat memiliki keseriusan dan perhatian yang lebih dalam
program KIA dibandingkan pemerintah daerah. Dengan demikian dapat diasumsikan
bahwa daerah memiliki komitmen yang kurang terhadap program KIA.
Hasil penelitian Trisnantoro, dkk., (2012) di 4 (empat) kabupaten/kota
(Merauke, Sikka, Tasikmalaya, dan Pontianak), menjelaskan bahwa dalam 5 (lima)
tahun terakhir ini, ada indikasi bahwa pendanaan program KIA mengalami
penurunan, yang disebabkan oleh adanya realokasi dana bagi penjaminan kesehatan
masyarakat miskin melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Hasil analisa bahwa kontribusi pembiayaan KIA yang terbesar di tingkat daerah,
masih bersumber dari pembiayaan pemerintah pusat seperti Dana Kementrian
Kesehatan (DKK), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Dekonsentrasi (Dekon).
Secara rata-rata, untuk sumber pembiayaan, APBN pusat mempunyai kontribusi
sebesar 57%, ditambahkan dana pusat yang didaerahkan (DAK dan dekonsentrasi)
sebesar 13%. Kontribusi lokal melalui APBD sebagai dana pendamping hanya 7%,
dan alokasi APBD untuk program inisiatif KIA di daerah sebesar 14%, selain itu juga
ada beberapa daerah yang menerima donor dari luar untuk kegiatan program 9%.
Apabila dibandingkan dengan pembiayaan kesehatan lokal (total APBD kesehatan),
proporsi untuk kegiatan KIA hanya sekitar 2% dari APBD kesehatan atau sekitar
18% jika termasuk gaji dan pembiayaan rutin terkait dengan program KIA.
Kondisi ini diasumsikan karena proses perencanaan anggaran program KIA
maupun program kesehatan lainnya belum didasarkan pada kebutuhan yang objektif
dan belum didasarkan pada data yang real, dan masih pada pemenuhan pagu anggaran
saja. Perencanaan juga diasumsikan belum optimal dalam melibatkan sektor
pelayanan dasar seperti puskesmas dan stakeholder bidang kesehatan lainnya,
sehingga berimplikasi terhadap implementasi program KIA guna mencapai indikator
program KIA.
Berdasarkan hasil wawancara singkat dengan Kepala Bidang Kesehatan
Keluarga pada tanggal 04 Januari 2014 menjelaskan bahwa anggaran untuk KIA
sangat kecil dibandingkan dengan bidang lain, karena program KIA masih dianggap
belum prioritas dibandingkan dengan upaya percepatan pembangunan fisik, selain itu
juga karena adanya pembatasan anggaran, sehingga sulit memilah prioritas program
yang bisa diajukan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti proses perencanaan dan penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan
Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
1.2. Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses
perencanaan dan penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli
Serdang tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis proses perencanaan dan
penganggaran program KIA di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dalam
merumuskan rencana kegiatan dan anggaran dalam rangka peningkatan pelayanan
KIA di wilayah kerjanya.
2. Menjadi masukan bagi Puskesmas di seluruh Kabupaten Deli Serdang dalam
merumuskan jenis kegiatan yang terintegrasi dalam program KIA berdasarkan
analisa kebutuhan yang sesuai.
3. Menjadi masukan untuk pengembangan pengetahuan dan rujukan penelitian
berikutnya.
Download