sejarah kemunculan dan perkembangan tasawuf

advertisement
1
SEJARAH KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGAN
TASAWUF
Umar Sulaiman
Abstract: In essence, Sufism leads to one point, reaching degree as close to Allah, the
essence here is like a beautiful garden in which there are trees that shade, and every Sufi
shelter under trees in park it. While the historical development of Sufism experienced
several phases. The first phase is called the phase asceticism, which appears on the first
and second century Hijrah. At that time there have been some people who concentrate on
worship and run the ascetic conception of life, which is not concerned with food, clothing
and shelter. Instead, they are more charitable and perform deeds pertaining to the
Hereafter.
Key Words: Mysticism, History, Phase of development.
Pendahuluan
Tasawuf memiliki pengaruh sangat besar terhadap dunia Islam, karena ajaran dan
pemahamannya berdampak kepada sikap benci atau menjauhi kehidupan duniawi dan
menjadikan seseorang tidak menggunakan kesempatannya sebagai umat manusia
pada umumnya. Dengan begitu, maka manusia menjadi lemah, tidak mampu
mengorbankan dan bersedekah dengan harta, karena kekayaan duniawi telah
dibencinya.1 Apabila mereka mencari kekayaan, maka lambang pencari kesenangan
duniawi akan melekat di keningnya.
Maka tidak jarang, beberapa kalangan terlebih lagi kalangan modernis
beranggapan bahwa tasawuf adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam. Hal
ini disebabkan adanya asumsi bahwa tasawuf telah mengajarkan sifat-sifat kepasifan
dan kelemahan vitalitas. Ia menekankan pada kesalehan individual sebagai tujuan
tertinggi dari kehidupan, sehingga melahirkan sikap apatis terhadap keberadaan
manusia di dunia ini dan mendorong orang untuk melupakan kodratnya sebagai
makhluk sosial.2

Dosen
tetap
Sekolah
Tinggi
Agama
Islam
Negeri
Sorong.
Email:
[email protected].
1Bahkan kelemahan mereka akhirnya menyeret pada kenistaan, menjadi peminta dan pengemis
dengan mengenakan baju yang penuh tambalan di sana-sini. Lebih jelasnya lihat Annemarie Schimmel,
Dimensi Mistik dalam Islam, terj.Sapardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 15-17.
2Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2000),
h. 7.
2
Berbeda pada abad modern ini, kehidupan banyak bertumpu pada rasionalitas,
professional, spesialis, dan tehnikal, sehingga hubungan antara fisik material dan
mental spiritual seakan terputus. Akibatnya, kehidupan bermasyarakat berlangsung
begitu keras dan penuh kompetisi, yang tidak saja tidak sehat tetapi cenderung
semakin ganas, seolah yang punya kekuatan yang dapat bertahan hidup, sedangkan
yang lainnya seakan tersingkir, karena yang diutamakan adalah kepentingan. Dimana
ada kepentingan, disitu ada daya tarik ikatan. Yang dimaksud dengan kepentingan ini
adalah tolak ukurnya bersifat materi atau ekonomi.3
Karena kehidupan manusia lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan yang
bersifat materi atau ekonomi, maka tampak sekali kehidupan ini diwarnai oleh aspek
materi dan mengesampingkan kehidupan rohani atau kehidupan spiritual.
Kebanyakan orang yang lebih mengedepankan duniawi yang bersifat jasmaniah,
akibatnya berlomba mengejar materi dan kemewahan hidup, namun lupa akan
hakekat dan tujuan hidupnya yang hakiki, yakni pendekatan diri kepada Tuhan. Oleh
sebab itu, maka tasawuf yang sesungguhnya adalah keseimbangan antara jasmani dan
rohani, lahiriyah dan batihiyah, material dan spiritual. Islam mengajak kepada
pemenuhan kebutuhan hidup, baik material maupun spiritual, kemajuan dimensi
spiritual hanya bisa dicapai melalui hidup yang soleh di tengah-tengah hiruk pikuk
kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan di dunia.4
Pengertian dan Asal Kata Tasawuf
Ketika menelusuri berbagai literatur, akan banyak dijumpai pengertian tasawuf
yang sangat variatif dengan keragaman pencetus dan penggagasnya.5 Keragaman
varian ini tentu saja bukan menunjukkan kontradiksi antar pengertian tasawuf itu
sendiri. Hal itu disebabkan tasawuf pada hakikatnya merupakan pengalaman pribadi
seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga kecenderungan dan pengamalan spiritual
individu tentu saja berbeda-beda sesuai dengan maqam tasawufnya. Oleh karena itu,
wajar apabila setiap orang dalam menjelaskan arti atau definisi tasawuf dalam konteks
pemikiran pengalaman keberagamaannya berdasarkan intuisi masing-masing individu
Dimana kemunculan istilah tasawuf, dan setiap sufi pun memiliki cara yang berbeda
dalam mengekspresikan kondisi pengalaman yang dialaminya.
Beberapa pengertian atas tasawuf dapat kita simak dari beberapa gagasan tokoh
sufi berdasarkan pemahaman dan pengalamannya, antara lain yang digagas oleh
Junaid al-Baghdadi, baginya tasawuf adalah an takuna ma'a Allah bila 'alaqah, yaitu
hendaknya engkau bersama-sama dengan Allah tanpa adanya relasi. Lebih lanjut,
Junaid menjelaskan bahwa tasawuf adalah mengambil segala sifat yang mulia dan
meninggalkan segala sifat yang buruk. Tasawuf tidak bisa dicapai hanya dengan
3Nasaruddiin Umar dalam H.M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), VII sebagaimana dikutip oleh Noorthaibah, Ajaran Tasawuf KH. Dja’far
Sabran (Samarinda: Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Samarinda, 2010), h. 2.
4Ibid., h. 2-3.
5Bahkan mungkin kalau dihitung jumlahnya akan mencapai ratusan definisi. Nicholson mencatat
sebanyak 78 Definisi. Sementara al-Suhrawadi menyatakan bahwa definisi tasawuf jumlahnya lebih dari
seribu. Lebih lanjut lihat Muhammad Zaki Ibrahim, Tasawuf Salafi; Menyucikan Tasawuf Dari Noda-Noda,
terj.Abdul Syakur dkk.(Jakarta: Hikmah, 2002), h. 7.
3
banyak berdoa dan puasa, tetapi lebih dari itu, aspek keamanan hati dan
kedermawanan jiwa dengan menjauhi segala sebab-sebab sekunder, lewat kekuatan
ruh dan pada akhirnya tinggal bersama Tuhan.6
Pengertian senada dapat dilihat dari gagasan Amin al-Kurdi bahwa tasawuf
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kebaikan dan keburukan jiwa, bagaimana
cara membersihkan sifat-sifat buruk dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji, serta
bagaimana jalan menuju keridaan Allah. Sementara Sammun berpendirian bahwa
tasawuf adalah an la tamlika shay'an wa la yamlikuka shay'un, yaitu hendaknya engkau
merasa tidak memiliki sesuatu dan sesuatu itupun tidak menguasaimu. Pengertian
dengan menekankan aspek kehidupan yang hakiki datang dari Ma'ruf al-Karkhi,
baginya tasawuf adalah mengambil yang hakikat dengan mengabaikan segala
kenyataan yang ada pada selain Allah, dan barang siapa yang mampu merealisasikan
hidup miskin maka ia mampu dalam bertasawuf. Ibnu Jala' berpandangan bahwa
tasawuf adalah apa yang menjadi esensi dan tidak ada suatu formalitas apapun
baginya.7
Pengertian dengan menekankan aspek filosofis dan menjadikan moralitas sebagai
pijakannya telah dipaparkan oleh Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, bahwa
tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia untuk
merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakikat realitas dan
kebahagiaan rohani. Tegasnya, tasawuf adalah ajaran moral.8 Dan tasawuf sebagai
fitrah manusia untuk menyempurnakan kediriannya tertuang dalam pengertian
Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, baginya tasawuf adalah fitrah manusia untuk
ma'rifat dan menyempurnakan diri dengan cara mukasyafah atau ilmu yaqin yang
muncul melalui pengilhaman Tuhan, penalaran, riyadah, atau bukti-bukti lainnya.9
Demikianlah beberapa sufi di atas yang secara sepintas tampak adanya perbedaan
pendapat dalam memberikan pengertian tentang tasawuf, walaupun pada hakikatnya
adalah mengarah ke satu titik yakni mencapai derajat sedekat-dekatnya kepada Allah.
Dalam hal ini, Zaki Ibrahim menjelaskan tentang hakikat sufi ibarat sebuah taman
indah yang di dalamnya terdapat banyak pohon. Setiap sufi tersebut berteduh di
bawah masing-masing pohon di dalam taman itu, kemudian masing-masing sufi
memberikan gambaran sifat pohon yang menjadi tempat berteduhnya.10 Dalam
konteks itu, secara esensi keragaman pengertian di atas bersifat saling melengkapi dan
dengan jelas tidak ada kontroversi antara satu pendapat dengan lainnya.
Selain yang tersebut di atas, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim berkebangsaan
Mesir, telah memberikan pengertian tentang tasawuf (setelah mengemukakan 40
definisi tasawuf termasuk beberapa definisi yang telah dipaparkan di atas) dengan
mengkategorikannya pada tiga hal: Pertama, kategori al-bidayah, yaitu pengertian yang
mencerminkan tasawuf pada tingkat permulaan. Kategori ini sebagaimana yang
6Al-Kalabadzi,
Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III (Bandung: Mizan, 1993), h. 112.
dari Ibrahim, Tasawuf, Ibid.
8Lebih lanjut lihat Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad
Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1985), h. 1 & 10.
9Mahmud Abu al-Faidh al-Manuni, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami (t.tp: tp, tt.), h. 9.
10Ibrahim, Tasawuf, h. 7.
7Dikutip
4
dikemukakan al-Karkhi di atas, menekankan kecenderungan jiwa yang dimiliki oleh
setiap manusia. Dalam fitrah inilah manusia berbeda dengan binatang.
Kedua, kategori al-mujahadah, yakni pengertian yang membatasi tasawuf pada
pengamalan yang didasarkan atas kesungguhan. Pengertian semacam ini, muncul
dalam definisi-definisi yang diberikan oleh Amin al-Kurdi, Abu Yazid al-Bustami, dan
Sammun, yang cenderung menonjolkan akhlak dan amal dalam mendekatkan diri
kepada Allah. Dalam hal ini, seorang sufi dituntut bersungguh-sungguh dan berjuang
keras dengan mencurahkan segenap tenaga yang ada dalam menempuh jalan sufi. Hal
itu terjadi karena dalam dirinya telah muncul kesadaran akan adanya jarak rohani
antara makhluk dengan Dzat Yang Maha Mutlak. Dalam hal ini seorang sufi berusaha
semaksimal mungkin untuk menghiasi dirinya dengan akhlaq yang tepuji (khair). Pada
fase ini disebut dengan tahap perjuangan dalam bertasawuf.
Ketiga, kategori al-mazaqah, yaitu pengertian yang cenderung membatasi tasawuf
dengan pengalaman spiritual dan perasaan keberagamaan, terutama dalam mendekati
Dzat Yang Maha Mutlak. Tatkala seorang sufi telah berhasil melampaui dua fase
sebelumnya (al-bidayah dan al-mujahadah), maka dia mampu berada sedekat mungkin
dengan-Nya, yang pada gilirannya akan merasakan kelezatan spiritual yang
didambakan. Pengertian seperti ini dapat dijumpai pada definisi yang diungkapkan
oleh Junaid al-Baghdadi dan Ibnu Jala', yang cenderung memposisikan tasawuf
sebagai pengalaman batin atau pengetahuan esoteris.11
Berdasarkan keragaman pengertian tasawuf di atas, maka dapat dipahami bahwa
lapangan kerja tasawuf adalah aspek spiritual Islam atau aspek esoteris yang ada di
dalam ajaran Islam. Oleh karenanya kadang-kadang oleh sebagian pengamat, para sufi
tersebut dikatakan sebagai ahl al-bawatin (kaum kebatinan), dengan alasan bahwa
mereka berorientasi berat ke arah paham keagamaan yang lebih mengutamakan usaha
menangkap "makna dalam" (batin atau spirit) dari suatu teks ajaran agama. Sementara
lawan dari aspek esoteris adalah aspek eksoteris (lahiriah). Adapun yang menangani
aspek eksoteris ini adalah ilmu fiqih, yakni ilmu yang tekanan orientasinya sangat
eksoterik, sehingga ilmu fiqih itu lebih dikenal dengan ilmu yang membidangi hal-hal
yang bersifat lahiriah, yakni mengenai segi-segi formal peribadatan dan hukum.
Sebagai ilmu yang sangat memperhatikan aspek-aspek esoteris, tentunya tasawuf
menempati posisi yang sangat signifikan dalam ajaran Islam. Sebab di dalam ilmu
tasawuf inilah manusia dapat menemukan ajaran yang mendalami aspek esensi dari
sebuah tuntunan agama dan teks-teks suci. Sebagai akibatnya, ilmu tasawuf menuntut
pemahaman yang lebih luas dan mendalam, tidak sekedar formal ritualnya saja.
Dalam rangka itulah, maka menurut pandangan tasawuf, tazkiyah al-nafss
(pembersihan jiwa) bagi seorang hamba adalah sangat penting untuk mengawali
segala macam bentuk ibadah, baik yang terkait dengan habl min Allah maupun habl min
al-nas. Hal ini karena jika jiwa seseorang sudah bersih dari berbagai penyakit yang
mengotorinya, tentu dari dalam "diri manusia" itu akan terpancar sebuah sikap
sempurna, baik ketika berhubungan dengan Allah swt maupun ketika bersosialisasi
dengan sesama manusia. Dengan begitu, akhirnya dengan mudah dia menjadi seorang
11Yunasril Ali, Tasawuf Dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4 (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2002), h. 140.
5
sufi, seorang hamba yang berkualitas yang di dalam kehidupannya selalu dihiasi
dengan nilai-nilai moral yang terpuji, kapanpun dan dimanapun dia berada. Untuk
itulah, maka bidang tazkiyah al-nafs ini menjadi lahan garapan tasawuf yang amat
urgen.
Sedangkan asal kata tasawuf itu sendiri, belum ada kesepakatan di antara ulama'
dalam mengidentifikasinya. Sebagian besar ahli tasawuf berpendapat bahwa sufi dan
tasawuf berasal dari kata-kata yang dikaitkan dengan arti suci, antara lain dari katakata: Shafa berarti suci, istilah ini mengindikasikan bahwa seorang sufi adalah orang
yang disucikan dan kaum sufi merupakan orang-orang yang berusaha untuk
menyucikan dirinya melalui ketekunan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti
shalat dengan khusu', membaca al-Qur'an dengan disertai perenungan atas makna
yang dikandung, selalu berbuat kebajikan, dan lain sebagainya. Kata berikutnya adalah
Ahl Shuffah, yaitu para sahabat yang ikut hijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah
dengan meninggalkan seluruh kekayaannya di Makkah. Mereka ini hidup sebagai
orang miskin di Madinah, tinggal di serambi masjid Nabi saw dan tidur di atas
bangku batu dengan memakai pelana (Suffaah) sebagai bantal. Ahl Shuffah, walaupun
tidak memiliki harta sediki-pun tapi mereka berhati baik dan mulia, tidak mau
meminta-minta karena memang tidak mementingkan kehidupan duniawi.
Kata Shaf yang artinya baris, merujuk pada barisan pertama dalam shalat di
masjid. Barisan pertama itu ditempati orang-orang yang terlebih dahulu datang ke
masjid dan mereka banyak membaca ayat al-Qur'an serta diiringi lantunan dzikir
sebelum waktu shalat tiba. Orang-orang demikian itulah yang berusaha untuk
membersihkan dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Kata sufi juga merujuk pada
istilah asing, yaitu Theosophy (Theo= Tuhan, Shopos= hikmah), istilah ini berasal dari
bahasa Yunani yang masuk ke dalam term filsafat Islam yang kemudian oleh bangsa
Arab kata itu diadopsi dan diucapkan dengan kalimat tasawuf. Karena kaum sufi
adalah orang yang banyak mengetahui tentang hikmah atau kearifan Tuhan, maka ia
diklaim sebagai asal akar kata tasawuf. Namun pendapat ini banyak yang menolak,
karena kata Shopos yang masuk ke dalam falsafah Islam dan bahasa Arab
ditransliterasikan dengan huruf sin bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam
kata tasawuf.
Kata Shuf (kain yang terbuat dari wol), artinya sepanjang sejarah tasawuf, seorang
yang ingin meniti jalan tasawuf akan meninggalkan pakaian mewah yang biasa
dipakainya dan menggantinya dengan pakaian wol, yaitu kain yang terbuat dari bulu
domba yang ditenun secara sederhana dan kasar. Pakaian itu melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan duniawi.12 Kata Shafwah (yang terpilih atau yang
terbaik), artinya seorang sufi adalah orang yang terpilih di antara hamba Allah swt
karena ketulusan amal mereka kepada-Nya. Makna tersebut memang sesuai dengan
tabi'at kaum sufi, tetapi dari segi kebahasaan kata sufi tidak dapat dipisahkan dengan
kata safwah ini. Dan kata Shaufanah, yang berarti sejenis buah-buahan kecil berbulu
yang banyak terdapat di padang pasir Jazirah Arabia. Nama itu diambil karena orang12Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 56-61.
Bahkan Muhammad Kamal telah menisbatkan pemakaian kata suf ini pada seorang sufi yang bernama
Hasan al-Bashri. Lebih lanjut lihat Muhammad Kamal Ibrahim Ja’far, al-Tasawwuf Tariqan wa Tajribatan
wa Mazhaban (Kairo: Kulliyah Dar al-‘Ulum, 1978), h. 1. Lihat juga al-Taftazani, Sufi, h. 21.
6
orang sufi banyak memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.
Mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur dalam kehidupan spiritualnya.
Namun kata tersebut, apabila dilihat secara kebahasaan, tidak mempunyai konteks
sama sekali dengan kata sufi.13
Dari beberapa teori tentang asal usul akar kata tasawuf di atas, para pakar nyaris
sepakat bahwa kata Shuf itulah yang mendekati kebenaran. Sebab apabila ditinjau dari
sudut kebahasaan, penisbatan kata sufi kepada Suf sudah dipandang tepat. Menurut
kaidah ilmu shorof, kata tasawwafa yang berarti memakai baju wol sepadan dengan kata
taqammasa yang berarti memakai kemeja. Dan memakai pakaian sederhana yang
terdiri dari wol kasar juga merupakan kebiasaan para nabi dan orang-orang saleh
sebelum Nabi Muhammad saw. Namun sebagian pengamat berkomentar bahwa
kendatipun dari sudut bahasa dan kebiasaan orang-orang yang saleh kata sufi dapat
dinisbahkan kepada suf, tetapi tidak semua orang yang berpakaian wol kasar adalah
seorang sufi. Dengan demikian, bisa jadi pakaian yang terdiri dari bulu domba yang
kasar selain menjadi identitas para sufi juga sebagai wujud kesederhanaan bagi orangorang yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan dapat
diindikasikan sebagai protes sosial yang dilakukan oleh sekelompok muslim yang
saleh terhadap sikap hura-hura dan kemewahan masyarakat setempat pada saat itu.14
Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Tasawuf
Sejarah kemunculan tasawuf dalam Islam secara mendetail sulit dijabarkan,
karena telah terjadi kontroversi yang cukup panjang. Hal ini disebabkan adanya
tuduhan dari kalangan yang tidak simpati pada ajaran tasawuf. Menurut mereka,
tasawuf dalam agama Islam tidak lebih hanya merupakan pengaruh dari budaya lokal
atau bahkan merupakan pengaruh dari agama non Islam. Beberapa teori yang
menjelaskan tentang sejarah kemunculan tasawuf dalam agama Islam datang dari
pandangan agama-agama lain, seperti di bawah ini:
Pertama, berasal dari pengaruh ajaran kristen dengan faham kerahibannya (suatu
paham yang menjauhi kehidupan dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biarabiara). Dalam literatur Arab ditemukan data-data tentang pengasingan diri di padang
pasir Arabia. Mereka memasang lampu pada waktu malam hari supaya menjadi
petunjuk jalan bagi kafilah yang berlalu, sementara kemahnya yang sederhana dapat
menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang kemalaman, dan dengan
kemurahan hati mereka, juga menjadi tempat memperoleh makan minum bagi
musafir yang membutuhkannya.15
Di antara ilmuan yang memiliki paham seperti ini adalah Goldziher. Ia membagi
tasawuf kedalam dua bagian; 1). Asketisme (zuhud), menurutnya sekalipun
dipengaruhi oleh kependetaan Kristen, asketisme lebih mengakar pada semangat
ajaran Islam. 2). Tasawuf dalam arti luas seperti ma’rifah, hal, wijdan, dan dzauq
13Ali,
Ensiklopedi, h. 141.
Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), h. 8-9.
15Nasution, Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. Kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata dengan asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
14Amin
7
terpengaruh oleh agama Hindu dan neo-Platonisme. Sedangkan menurut Taftazani,
ilmuan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsure Kristen antara lain;
Von Kreamer, Goldziher, Nicholson, Asin Pacsion, O’leary. Menurut Von Kreamer,
kezuhudan dalam Islam muncul karena adanya pengaruh kezuhudan Kristen,
sedangkan tasawuf di dalamnya terdapat dua unsur, yaitu Kristen dan India (Budha).
Ia juga berpendapat bahwa kehidupan zuhud telah dipengaruhi oleh Kristen yang ada
sebelum kedatangan Islam tepatnya di gurun pasir Syiria dan Sinai.16
Kedua, berasal dari pengaruh filsafat mistik Phytagoras yang memiliki faham roh
manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Sedangkan jasmani
merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam
samawi. Untuk memperoleh hidup senang di alam samawi itulah, maka manusia
harus membersihkan roh dengan cara meninggalkan kehidupan materi dan
dilanjutkan dengan berkontemplasi.17
Budaya Yunani ini secara nyata masuk ke dalam dunia Islam semenjak terjadinya
penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada masa Bani Abbasiyah. Para
penerjemah tidak hanya berasal dari kalangan muslim tapi juga non muslim. Dari
penerjemahan ini, banyak buku-buku filsafat yang ditelaah oleh orang-orang Islam.
Dalam perkembangannya, bacaan tersebut mempengaruhi orang-orang Islam
khususnya di bidang Filsafat termasuk Tasawuf Falsafi dengan tokoh-tokohnya,
seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi dan sebagainya. Salah satu
contoh yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah pemikiran sebagian sufi dari
unsur Yunani adalah filsafat mistik Phytagoras. Filsafat ini berpandangan bahwa roh
manusia bersifat kekal dan berada di dunia ini sebagai orang asing. Jasmani
merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh hakiki dialami pada alam samawi. Agar
mencapai tujuan tersebut, manusia harus meninggalkan hidup materi seperti zuhud
kemudian melakukan kontemplasi.18
Menurut Taftazani sebagaimana dikutip oleh Sahri, bahawa para ilmuwan
orientalis yang menyatakan hal seperti di atas sangat banyak dan salah satunya adalah
O’leary. Para ilmuwan orientalis hanya menyatakan bahwa pengaruh Yunani terhadap
tasawuf terjadi pada satu model tasawuf saja, yaitu tasawuf ketuhanan (theosophical
mysticism) yang muncul pada kurun ke 3 H di yangan Dzunnun al-Misri (w. 245 H).
Sekalipun filsafat Yunani secara umum atau neoplatonisme secara khusus
mempengaruhi tasawuf, namun hal tersebut tidak sepenuhnya tasawuf dapat
dikembalikan secara utuh pada sumber Yunani. Sebab sufi-sufi tertama tidak
memperhatikan filsafat Yunani, seperti ulama kalam atau filosof sendiri. Bahkan
disebutkan pula bahwa sebagian sufi tidak menerima filsafat sebagai meanstream
ketasawufan.19
Ketiga, berasal dari pengaruh filsafat emanasi Plotinus yang berfahamkan bahwa
segala yang wujud ini memancar dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, tetapi dengan masuknya ke alam materi
(jasad), maka roh menjadi kotor. Oleh karenanya, agar dapat kembali ke tempat
16Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf (Cet. 5; Ciputat: Sentra Media, 2011), h. 24.
Filsafat, h. 58-59. Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10.
18Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
19Ibid., h. 27.
17Nasution,
8
asalnya (Tuhan), roh terlebih dahulu harus dibersihkan atau disucikan. Penyucian roh
itu dengan cara meninggalkan kehidupan yang bersifat duniawi dan mendekatkan diri
secara maksimal terhadap Tuhannya, bahkan kalau bisa bersatu dengan-Nya.
Keempat, berasal dari ajaran Budha dengan faham nirwananya. Menurut faham
ini, untuk mencapai nirwana manusia harus meninggalkan kehidupan duniawi dan
memasuki hidup kontemplasi. Faham ini hampir serupa dengan faham fana' yang ada
dalam sufisme.
Kelima, berasal dari ajaran Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk
meninggalkan kehidupan duniawi dan mendekatkan diri kepada Tuhan supaya
mencapai persatuan dengan Atman dan Brahman.20
Di antara ilmuwan yang berpendapat bahwa tasawuf dipengaruhi oleh unsur
Hindu dan Budha atau India adalah Horton dan Hartmann. Horton yang
menganalisis pemikiran al-Hallaj, al-Busthami dan Junaid mengatakan bahwa tasawuf
pada kurun ke 3-H dipengaruh dengan pemikiran-pemikiran India seperti yang
tampak pada tasawuf al-Hallaj. Dan ia juga mengatakan bahwa tasawuf tak lain
merupakan aliran Vedanta dari India. Sementara Hartmann mengatakan bahwa
sumber tasawuf adalah India dengan alasan: 1) mayoritas sufi bukan orang Arab, 2)
tasawuf muncul pertama kali di Khurasan, 3) Turkistan adalah pusat persinggungan
banyak agama dan setelah penduduknya memeluk Islam, mereka mewarnainya
dengan tasawuf klasik, 4) orang Islam sendiri mengakui keberadaan India, dan 5)
zuhud Islam ber-menstrem-kan India. Ridha (kerelaan) adalah asli pemikiran India
seperti juga khalwat (menyepi) dan bertasbih juga merupakan adat India. Namun
pendapat ini terbantahkan dengan pendapat Nicholson bahwasanya keserupaan
antara aliran A dan aliran B tidak lantas menandakan bahwa salah satu di antara
keduanya mengambil lainnya. Intinya pengaruh-pengaruh India tidak muncul pada
diri sufi-sufi falsafi Islam kecuali pada kurun ke 7, yaitu setelah tasawuf Islam telah
sempurna pondasi-pondasinya pada abad keenam sebelumnya.21
Sedang yang keenam, berasal dari agama Islam sendiri. Dalam al-Qur'an, Nabi
Muhammad saw digambarkan sebagai ummi, seorang Nabi yang buta huruf dan
bodoh. Disebutkan bahwa Allah swt menyatakan diri-Nya lewat kata dalam al-Qur'an
bahwa Nabi Muhammad saw meskipun sebagai ummi harus menjadi wahana yang
tidak terkotori oleh pengetahuan intelektual, kata dan tulisan agar bisa menyebarkan
sabda Allah swt semurni-murninya22 tanpa tereduksi dan rekayasa.
Demikianlah beberapa faham atau ajaran yang menurut teorinya memiliki
pengaruh cukup kuat dalam mendorong munculnya ajaran tasawuf di dalam agama
Islam. Akan tetapi, tentu saja faham-faham di atas dibantah oleh kalangan
cendekiawan muslim, sebab argumen yang mereka kemukakan sangat sulit untuk
dibuktikan. Dengan argumentasi bahwa tanpa pengaruh dari faham lain pun ajaran
20Nasution,
Filsafat, h. 58-59. Bandingkan dengan Ja’far, al-Tasawwuf, h. 9-10. kenyataan ini
dibantah oleh Abuddin Nata asumsi adanya kesamaan dari masing-masing ajaran. Lihat Abuddin Nata,
Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 185-190.
21Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 26.
22Schimmel, Dimensi, h. 31. Bandingkan dengan Abd al-Hafiz Farghali Ali al-Qarni, al-Tasawwuf
wa al-Hajah al-'Asriyah (Kairo: al-Hai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984), h. 45.
9
tasawuf tetap akan muncul berdasarkan teks-teks suci yang terdapat di dalam agama
Islam itu sendiri.
Memang secara tersurat, kata sufi, tasawuf, atau sufiyyah tidak ada di dalam alQur'an maupun sunnah. Akan tetapi satu hal yang perlu dipahami, tidak setiap nama
atau istilah yang tidak terdapat di dalam kedua sumber hukum Islam tersebut akan
menjadi haram untuk digunakan, atau bahkan dapat dikatakan sebagai hukum murni
dari ajaran Islam. Sementara jika kita cermati secara mendalam, walaupun kalimat
tasawuf tidak terdapat di dalam al-Qur'an, namun pada hakikatnya materi-materi yang
diajarkan dalam tasawuf ada dalam al-Qur'an dan sunnah, sebagaimana halnya juga
dialami oleh disiplin-disiplin ilmu keislaman yang lain, dimana penamaannya justru
muncul pada masa belakangan.23
Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf secara tekstual tidak
termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam keduanya sarat dengan
tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan yang mengarahkan tujuan
hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu ilmu tasawuf memiliki dasardasar normatif yang jelas di dalam Al-Qur'an ataupun hadis.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an yang mendorong umat manusia untuk bersikap
sufi, seperti ayat yang memerintahkan agar manusia selalu menyucikan jiwanya (QS.
Al-Shams [91] : 9; al-A'la [87] : 14; 'Abasa [80] : 3 & 7), memandang rendah
kehidupan duniawi dan menjelaskan bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik (QS. alAn'am [6] : 32 & 70; al-ankabut [29] : 64; Muhammad [47] : 36; al-Duha [93] : 4).
Selain itu al-Qur'an juga mendeskripsikan sifat-sifat orang wara' dan taqwa (QS. AlAhzab [33] : 35), posisi mulia bagi yang melaksanakan salat tahajjud (QS. Al-Israa'
[17] : 79) dan lain sebagainya. Ajaran-ajaran yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas
merupakan esensi seorang muslim dalam pengamalan tasawuf. Dengan demikian,
kirannya tidak berlebihan jika ada pernyataan bahwa jika seseorang tidak
melaksanakan amalan-amalan tasawuf sebagaimana yang tersebut belum dapat
disebut sebagai seorang muslim sejati.
Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase sebagaimana
berikut ini:
Pertama, fase pembentukan dan disebut juga fase asketisme. Pada masa itu
sudah terdapat beberapa orang yang memusatkan diri pada ibadah dan menjalankan
konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian
mapun tempat tinggal. Sebaliknya, mereka lebih banyak beramal dan melakukan
perbuatan yang berkaitan dengan akhirat.24 Banyak sahabat yang menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi, berpuasa di siang hari dan bershalat dan membaca Qur’an di
malam hari. Seperti Abdullah bin Umar dan Abu Dzar al-Ghifari, Bahlul bin Suaib,
dan Kahmas al-Hilali. Abad pertama hijriyah bagian kedua lahirlah Hasan al-Bashri,
seorang sahid pertama dan termasyhur dalam sejarah tasawuf. Ia lahir di Madinah
642-728 M. Ia dikenal sebagai pengusung khauf dan raja’. Pada akhir abad kedua
hijriyah, muncullah Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal
23Ibrahim, Tasawuf, h. 102. Mengenai hal ini, al-Taftazani mensinyalir bahwa kata tasawuf baru
dikenal seteah generasi sahabat dan tabi’in. Lebih lanjut lihat al-Taftazani, Sufi, h. 21.
24Al-Taftazani, Sufi, h. 16.
10
dengan ajaran cintanya (hub al-Ilah). Abad kedua tasawuf tidak banyak berbeda
dengan abad pertama. Abu al-Wafa menyimpulkan bahwa zuhud Islam abad I dan II
mempunyai karakter: 1) menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada
nash agama, yang dilatarbelakangi oleh sosio politik, coraknya bersifat sederhana,
praktis bertujuan untuk meningkatkan moral; 2) masih bersifat praktis dan para
pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas
kezuhudannya itu; 3) motif zuhudnya adalah rasa takut. Pada masa Rabiah muncul
konsep cinta yang bebas dari rasa takut; 4) akhir abad II, zahid khususnya di
Khurasan dan Rabi’ah al-Adawiyah ditandai dengan kedalaman membuat analisa yang
bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf.25
Kedua, fase pengembangan. Abad III dan IV berbeda coraknya dengan abad
sebelumnya. Bercorak kefanaan, menjurus kepada kesatuan hamba dan khaliq.
Seperti Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj. Tasawuf abad III dan IV lebih
mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya lebih diarahkan kepada moral
serta tingkat laku. Adanya ungkapan syatahat, namun tidak termasuk kategori teori
filsafat tentang metafisika. Pada abad III dan IV ini terdapat aliran besar, yaitu
tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi. Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang
memagari dirinya dengan al-Qur’an dan Hadis secara ketat, serta mengaitkan ahwal
(keadaan) dan maqamat (tingkatan ruhaniyah) mereka kepada kedua sumber tersebut.
Aliran tasawuf semi falsafi adalah suatu aliran dimana para pengikutnya cenderung
kepada ungkapan-ungkapan ganjil (gkatan ruhaniyah) mereka kepada kedua sumber
tersebut. Aliran tasawuf semi falsafi adalah suatu aliran dimana para pengikutnya
cenderung kepada ungkapan-ungkapan ganjil (syatahat) serta bertolak dari keadaan
fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan (ittihad/hulul).26 Pada fase kedua
ini, bermunculan tariqat-tariqat sufi dengan para murid yang menempuh pelajaran
dasar secara formal dalam suatu majlis. Dalam tariqat itu, mereka mempelajari tata
tertib tasawuf baiuk ilmu ataupun prakteknya.27
Ketiga, fase konsolidasi. Abad kelima adalah masa konsolidasi. Abad ini ditandai
kompetisi sunni dan semi falsafi. Sunni menang dan berkembang, sementara aliran
semi falsafi kalah dan terkubur namun muncul kembali pada abad VI dengan wajah
baru. Menurut Annimari Schimmel, periode konsolidasi yakni periode pemantapan
dan pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis. Tokoh al-Qusyairi (378465 H), al-Harawi (396 H), al-Ghazali (450-505 H).28 Tasawuf pada abad ini banyak
dilakoni oleh al-Ghazali, sebagai seorang sufi sunni. Selanjutnya pada abad keenam
hijriyah pengaruh tasawuf sunni semakin meluas sehingga memberi peluang bagi sufisufi junior dalam mengembangkan tariqat-tariqat barunya. Taruhlah semisal Sayyid
Ahmad al-Rifa’i (w. 570 H) dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani (w. 651 H).29
Keempat, fase tasawuf falsafi. Ketika tasawuf semi falsafi mendapat rintangan
dari tasawuf sunni, maka pada abad VI tampil tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat
25Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf, h. 31-32.
h. 32.
27Al-Taftazani, Sufi, h. 17.
28 Sahri, Studi Ilmu Tasawuf, h. 32.
29Al-Taftazani, Sufi, h. 18.
26Ibid.,
11
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya
menyimpulkan bahwa tasawuf falsafi memiliki empat objek utama, dan menurut Abu
Wafa bisa dijadikan karakter sufi filsafat, yaitu: 1) latihan ruhaniyah dengan rasa,
intuisi serta introspeksi yang timbul darinya; 2) iluminasi atau ajaran yang tersingkap
dari alam ghaib; 3) peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh
terhadap berbagai bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan; 4) penciptaan ungkapanungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syatahat). Tokoh-tokohnya
antara lain Ibnu Arabi dengan teori wahdatul wujud, Suhrawardi al-Maqtul dengan teori
isyraqiyah-nya (pancaran), Ibnu Sabi’in dengan teori ittihad, Ibnu Fadir dengan teori
cinta, fana dan wahdatu syuhudnya.30
Kelima, fase pemulihan. Masa Ibn Arabi, Farid dan Rumi adalah masa keemasan
tasawuf secata teoritis dan praktis. Maka pada abad kedelapan hijriyah, akhirnya
tasawuf mengalami masa kemundurannya. Tokoh sufi pada masa ini cenderung
hanya memberi komentar dan ikhtisar pada karya-karya pendahulunya bahkan lebih
menekankan perhatian pada berbagai bentuk ritus dan formalisme yang terkadang
membuat mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri.31 Kemudian
pengaruh dan praktek-praktek keagamaan kian tersebar, sehingga tasawuf pada waktu
itu ditandai dengan bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan
terhadap ilmu pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini
kemudian muncullah Ibn Taimiyah yang kritis terhadap mereka. Ia lebih cenderung
bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni menghayati ajaran
Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap melibatkan diri dalam
kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.32
Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase. Fase
pertama disebut fase asketisme, yang muncul pada abad pertama dan kedua hijriyah.
Pada masa itu sudah terdapat beberapa orang yang memusatkan diri pada ibadah dan
menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan,
pakaian mapun tempat tinggal. Sebaliknya, mereka lebih banyak beramal dan
melakukan perbuatan yang berkaitan dengan akhirat. Tokoh pada fase ini seperti
Hasan al-Bashri dan Rabi’a al-Adawiyah.
Pada abad-abad ketiga dan keempat hijriyah bermunculan tariqat-tariqat sufi
dengan para murid yang menempuh pelajaran dasar secara formal dalam suatu majlis.
Dalam tariqat itu, mereka mempelajari tata tertib tasawuf, baik ilmu ataupun
prakteknya. Pada abad ini pula muncul konsep hulul yang dimotori oleh al-Hallaj.
Pada abad kelima muncul tasawuf yang berlandaskan al-Qur'an dan sunnah,
namun masih bersifat asketis, hidup sederhana, dengan pelurusan jiwa, dan
pembinaan moral. Tasawuf pada abad ini banyak dilakoni oleh al-Ghazali sebagai
seorang sufi sunni. Selanjutnya pada abad keenam hijriyah, pengaruh tasawuf sunni
semakin meluas sehingga memberi peluang bagi sufi-sufi junior dalam
mengembangkan tariqat-tariqat barunya. Taruhlah semisal Sayyid Ahmad al-Rifa’I (w.
570 H) dan Sayyid Abdul Qadir al-Jailani (w. 651 H).
30Sahri,
Studi Ilmu Tasawuf, h. 33.
Sufi, h. 20.
31Al-Taftazani,
32Ibid.
12
Pada abad ketujuh hijriyah, muncul tokoh-tokoh sufi lainnya, namun mereka
masih tetap pada haluan sebelumnya. Sufi yang paling terkenal pada masa itu seperti
Abu al-Syazili (w. 656 H), Abu al-Abbas al-Mursyidi (w. 686 H), dan sebagainya. Pada
abad kedelapan hijriyah, akhirnya tasawuf mengalami masa kemundurannya. Tokoh
sufi pada masa ini cenderung hanya memberi komentar dan ikhtisar pada karya-karya
pendahulunya, bahkan lebih menekankan perhatian pada berbagai bentuk ritus dan
formalisme yang terkadang membuat mereka menyimpang dari substansi ajarannya
sendiri.33
Walaupun demikian, secara historis Nabi Muhammad saw telah memberikan
teladan secara konkrit dalam mengaplikasikan kehidupan sufi sebagaimana yang
diajarkan oleh al-Qur'an tersebut. Seperti kesederhanaan beliau dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan dalam salah satu hadisnya beliau menganjurkan agar para
sahabatnya untuk makan dikala lapar saja dan berhenti makan sebelum kenyang.
Beliau juga menggambarkan pembagian dunia menjadi tiga, sepertiga dimakan maka
akan hancur, sepertiga dipakai maka akan rusak, dan sepertiga diberikan (diinfakkan)
maka hasilnya akan dipetik di kemudian hari. Selain itu akan sirna dan ditinggalkan
oleh manusia. Pada kesempatan yang lain, Nabi Muhammad saw seringkali berpuasa
sunnat, senantiasa melaksanakan salat tahajjud, rumah dan pakaiannya sangat
sederhana, bahkan pernah menahan makan dengan cara melilitkan batu diperutnya.
Jika beliau mempunyai kelebihan harta, tidak segan-segan beliau menginfakkannya di
jalan Allah swt. Demikian bersahajanya penampilan seorang nabi, sehingga
membuatnya sangat dicintai oleh para pengikutnya dan disegani sekaligus dikagumi
oleh lawan-lawannya.
Dengan begitu, maka dasar-dasar tasawuf dalam ajaran Islam secara gamblang
telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah. Kemudian diimplementasikan oleh
generasi sesudahnya, yakni para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in serta segenap umat
Islam berikutnya, sampai sekarang. Dalam menerapkan ajaran tasawuf ini, terkadang
mereka mengalami kemajuan dan terkadang mengalami kemunduran sebagaimana
sejarah yang telah digambarkan di atas.
Penutup
Tasawuf sebagai sebuah pandangan filosofis kehidupan yang bertujuan
mengembangkan moralitas jiwa manusia, dapat direalisasikan melalui latihan-latihan
praktis sehingga mengakibatkan hanyutnya perasaan dalam hakikat transendental
dengan pendekatan intuisi, yang pada akhirnya menghasilkan kebahagiaan spiritual.
Tasawuf pada hakikatnya mengarah ke satu titik, yakni mencapai derajat yang
sedekat-dekatnya kepada Allah Swt. Hakikat di sini diibaratkan sebuah taman yang
indah yang di dalamnya terdapat pohon-pohon yang rindang, dan setiap sufi tersebut
berteduh dibawah pohon-pohon di taman itu.
Kendati terdapat beberapa teori yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari
ajaran Kristen, Hindu-Budha, Yunani, Plotinus, Persia, dan sebagainya, namun teori
ini dibantah oleh teori keenam yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari Islam
sendiri yang ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah. Dalam hal ini, secara
33Al-Taftazani,
Sufi, h. 16-20.
13
tekstual tasawuf tidak termaktub dalam Al-Qur'an maupun sunah, namun di dalam
keduanya sarat dengan tuntunan dan ajaran-ajaran moral yang memberi bimbingan
yang mengarahkan tujuan hidup manusia. Dalam konteks itu, sudah barang tentu
ilmu tasawuf memiliki dasar-dasar normatif yang jelas di dalam Al-Qur'an ataupun
hadis.
Sedangkan sejarah perkembangan tasawuf mengalami lima fase, yaitu: pertama,
fase pembentukan yang terjadi pada awal abad I dan II dengan corak asketis dalam
kehidupan, tidak mementingkan makanan, pakaian maupun tempat tinggal atau lebih
dikenal dengan istilah zuhud; kedua, fase pengembangan yang terjadi pada abad III
dan IV dengan corak kefanaan, menjurus kepada kesatuan hamba dan khaliq; ketiga,
fase konsolidasi yang terjadi pada abad V dan VI, yakni periode pemantapan dan
pengembalian tasawuf ke landasan al-Qur’an dan Hadis; keempat, fase tasawuf falsafi,
yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian
term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf; dan kelima, fase
pemulihan dari bid’ah, khurafat, mengabaikan syariat, hukum, moral, penghinaan
terhadap ilmu pengetahuan, dan menampilkan amalan yang irrasional. Pada fase ini,
ajaran tasawuf dikembalikan sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Rasul, yakni
menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti aliran thariqah tertentu, dan tetap
melibatkan diri dalam kegiatan sosial sebagaimana manusia pada umumnya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis: Dunia Islam, Jil. 4, Jakarta: Ikhtiar
Baru Van Hoeve, 2002.
Damami, Mohammad. Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar
Pustaka, 2000.
Ibrahim, Muhammad Zaki. Tasawuf Salafi; Menyucikan Tasawuf Dari Noda-Noda, terj.
Abdul Syakur dkk., Jakarta: Hikmah, 2002.
Ja’far, Muhammad Kamal Ibrahim. al-Tasawwuf Tariqan wa Tajribatan wa Mazhaban,
Kairo: Kulliyah Dar al-‘Ulum, 1978.
Al-Kalabadzi. Ajaran Kaum Sufi, terj. Rahmani Astuti, cet. III, Bandung: Mizan, 1993.
al-Manuni. Mahmud Abu al-Faidh, al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami, t.tp: tp, tt.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf,Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Al-Qarni, Abd al-Hafiz Farghali Ali. al-Tasawwuf wa al-Hajah al-'Asriyah, Kairo: alHai'ah al-'Ammah al-Syu'un al-Tabi' al-Amirah, 1984.
Sahri. Studi Ilmu Tasawuf, cet V. Ciputat: Sentra Media, 2011.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk.,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.
Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung jawab Sosial Abad 21,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’
Utsmani, Bandung: Pustaka, 1985.
Download