BAB IV RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIK Konsep awal Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran adalah konsep awal yang disajikan di dalam Naskah Akademik, sebagai dasar untuk menyusun pasal-pasal yang akan dituangkan di dalam draf Rancangan Undang-Undang. Adapun sistematika konsep awal lingkup Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang terdiri dari : 1. Konsiderans Memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Rancangan Undang-Undang, yang memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis, yang terdiri dari: a. Unsur filosofis. Pendidikan kedokteran sebagai salah satu unsur dari Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Unsur sosiologis. Untuk menghadapi tantangan dalam era globalisasi dan tuntutan perubahan lokal serta nasional, perlu dilakukan peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan kedokteran melalui pembaharuan pendidikan kedokteran secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, yang diarahkan untuk menghasilkan dokter yang baik dan bermutu, kompeten, profesional, bertanggungjawab, memiliki etika dan moral dengan memadukan pendekatan humanistik terhadap pasien dan berjiwa sosial. c. Unsur yuridis. Belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai pendidikan kedokteran. 2. Dasar Hukum Dasar hukum pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran adalah Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 31 dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Ketentuan umum a. Pengertian atau Definisi Dalam Naskah Akademik ini ketentuan umum yang dituangkan merupakan pengertian atau definisi yang bersifat pokok dan penting dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran. Ada berbagai definisi umum: 1. Pendidikan Kedokteran adalah pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh fakultas kedokteran dan terakreditasi untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik dan/atau profesi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi. 2. Peserta didik Pendidikan Kedokteran, selanjutnya disebut mahasiswa kedokteran, adalah peserta didik yang mengikuti proses pendidikan akademik, profesi, residensi, untuk mencapai kompetensi dokter atau dokter spesialis yang disyaratkan. 3. Sarjana Kedokteran adalah mahasiswa kedokteran yang telah menyelesaikan program pendidikan akademik di bidang kedokteran baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. 4. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan Pendidikan Kedokteran baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia. 5. Pendidik Pendidikan Kedokteran, selanjutnya disebut Pendidik, adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya pada bidang ilmu kedokteran dan/atau bidang ilmu tertentu yang bertugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarkan teknologi di bidang kedokteran melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat termasuk pelayanan kesehatan. 6. Tenaga Kependidikan Pendidikan Kedokteran, selanjutnya disebut Tenaga Kependidikan, adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya mengabdikan diri untuk menunjang penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran. 7. Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari standar nasional pendidikan tinggi yang merupakan kriteria minimal dan harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran. 8. Standar Kompetensi Dokter adalah kompetensi minimal yang harus dicapai dalam Pendidikan Kedokteran. 9. Kurikulum Pendidikan Kedokteran, selanjutnya disebut kurikulum, adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran. 10. Rumah Sakit Pendidikan adalah rumah sakit yang mempunyai fungsi sebagai tempat pelayanan kesehatan, pendidikan, dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan kedokteran, pedidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan lainnya secara multiprofesi. 11. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 12. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, dan walikota, serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan. 13. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pendidikan nasional. b. Asas dan Tujuan Asas merupakan landasan yang digunakan dalam pelaksanaan pendidikan kedokteran. Sedangkan tujuan dari pendidikan kedokteran adalah untuk menghasilkan sarjana kedokteran, dokter, dan dokter spesialis yang bermutu dan beretika, berdedikasi tinggi dan profesional, serta berorientasi pada kebutuhan masyarakat, dan untuk menata pendidikan kedokteran yang komprehensif. Asas dan tujuan undang-undang yang akan dibuat berupa nilai-nilai dasar yang akan mengilhami norma pengaturan selanjutnya. Dengan demikian ruang lingkup pengaturan peraturan perundang-undangan yang akan disusun tidak terlepas dari asas dan tujuan dari peraturan perundang-undangan itu sendiri. Asas dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran meliputi: a. asas manfaat, yaitu penyelenggaraan pendidikan kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan perkembangan ilmu kedokteran dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. b. asas kemanusiaan, yaitu penyelenggaraan pendidikan kedokteran tetap memperhatikan keselamatan manusia. c. asas keseimbangan, yaitu dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran tetap menjaga keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat. d. Asas tanggung jawab yaitu dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran dilandasi oleh upaya untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, berkompetensi, profesional, beretika, bermoral, humanistik, dan berjiwa sosial dalam menghadapi tantangan perubahan lokal, nasional, dan global. e. asas kesetaraaan yaitu kesetaraan mutu lulusan antarfakultas. f. asas kesesuaian kurikulum yaitu kurikulum pendidikan kedokteran harus disusun dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan berbagai daerah. g. asas afirmasi yaitu penyelenggaraan pendidikan kedokteran dilakukan dengan mempertimbangkan adanya kuota bagi daerah sulit, kesempatan yang sama untuk gender, dan masyarakat yang secara ekonomi kurang mampu. 4. Materi pokok yang akan diatur (dalam bentuk kebijakan-kebijakan) Kebijakan Pemerintah di Dokter Umum Berbagai kebijakan yang terkait dengan pendidikan dokter umum berada dalam berbagai konteks menarik. Pertama kesulitan memasukkan lulusan SMA dari daerah sulit ke FK negeri, kebutuhan daerah akan dokter, dan eforia desentralisasi mendorong berbagai pemerintah daerah mendirikan FK dengan modal keuangan dan SDM yang terbatas. Akibatnya mutu pendidikan kedokteran di berbagai fakultas dipertanyakan. Kedua, kurikulum pendidikan dokter di Indonesia terlihat berusaha mengejar kemajuan teknologi sementara itu kesesuaian dengan kebutuhan lokal terlihat kurang diperhatikan. Dalam suasana permintaan tinggi lulusan SMA untuk menjadi peserta pendidikan kedokteran, berdampak pada situasi FK yang menghasilkan pendapatan besar untuk perguruan tinggi. Terjadi peningkatan tarif ataupun sumbangan dari mahasiswa termasuk mahasiswa asing. Terjadi fenomena buruk yang tidak dapat dielakkan, fakultas Kedokteran di berbagai universitas negeri dan swasta menjadi penyumbang untuk pendidikan di fakultas lain. Di sisi pendidikan profesi selama bertahun-tahun terjadi ketidak jelasan domain rumah sakit pendidikan apakah berada di Kementerian Kesehatan atau Kementerian Pendidikan Nasional dengan konsekuensi sumber anggarannya. Kementerian Kesehatan merupakan pemilik sebagian besar Rumah Sakit Pendidikan yang tidak mempunyai anggaran khusus untuk pendidikan dokter umum. Kebijakan pemerintah di Dokter Spesialis Jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahun sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan kebutuhannya. Hal ini disebabkan karena pendidikan kedokteran spesialis hanya ada di perguruan tinggi negeri. Data yang ada menunjukkan fakta bahwa pertumbuhan tenaga dokter spesialis sangat lambat dibandingkan dengan deret ukur terhadap kenaikan jumlah penduduk. Oleh karena itu, perlu dirancang sistem pendidikan spesialis dengan harapan, jumlah dan mutu spesialis segera dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Salahsatu inovasi adalah perlu memberi kesempatan ke sistem pendidikan yang berdasarkan rumah sakit (hospital based) pemerintah dan swasta dengan ujian nasional untuk standarisasi kompetensi mereka. Dalam konteks ini kebijakan terhadap peserta pendidikan dokter spesialis perlu diubah. Peserta pendidikan (residen) adalah bukan hanya peserta didik, namun juga merupakan pemberi pelayanan di rumahsakit yang mempunyai hak dan kewajiban, termasuk menerima pendapatan dari kegiatannya di rumahsakit. Secara lebih spesifik ada berbagai isu kebijakan lainnya diantaranya: 1. Rumah Sakit Pendidikan (Teaching Hospital atau University Hospital). Pemilik Rumah Sakit Pendidikan saat ini adalah: (1) Kementerian Kesehatan; (2) Pemerintah Daerah seperti Propinsi Jawa Timur. Mulai tahun 2007-2010, Ditjen Dikti Kemdiknas memiliki program pengembangan 19 (sembilan belas) Rumah Sakit Pendidikan di berbagai perguruan tinggi. Di masa depan dimungkinkan pula Rumah Sakit Swasta menjadi Rumah Sakit Pendidikan. Dalam konteks kepemilikan ada beberapa tipe: (1) Fakultas Kedokteran memiliki Rumah Sakit Pendidikan Utama sendiri, dengan manajemen yang terpadu; (2) FK bekerjasama dengan RS Pendidikan Utama milik Kementerian Kesehatan/Pemerintah Daerah dan berbagai RS jaringan; dan (3) kombinasi keduanya. Implikasi dualisme manajerial RS di kelompok (2) di atas adalah Rumah Sakit Pendidikan tersebut lebih banyak sebagai pelayanan kesehatan dibandingkan dengan pendidikan kesehatan. Anggaran pendidikan dokter maupun spesialis tidak masuk dalam anggaran pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu ada kebijakan nasional untuk menjamin adanya anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional untuk RS-RS milik Kementerian Kesehatan/Pemerintah Daerah untuk pendanaanya. Kebijakan nasional yang harus diputuskan adalah apakah setiap FK harus mempunyai RS pendidikan. Alternatif lain adalah tidak mempunyai FK sendiri, namun bekerja erat dengan rumahsakit yang berbeda lembaganya. Model ini dikembangkan dengan sangat baik di Harvard University. Kebijakan lainnya adalah apakah boleh sebuah RS Pendidikan menerima lebih dari satu fakultas kedokteran dalam kerjasamanya. 2. Rekrutmen dan Seleksi Mahasiswa Kedokteran Keterbatasan sarana pendidikan kedokteran di universitas negeri, memicu tingginya jumlah peminat peserta didik yang ingin belajar pada pendidikan kedokteran di Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Akibatnya persaingan sangat ketat. Sulit sekali bagi lulusan SMA di daerah sulit untuk lolos tes akademik. Dengan model tes berbasis kemampuan akademik dan pembayaran, tanpa kuota bagi daerah sulit maka mahasiswa fakultas kedokteran banyak berasal dari kalangan mampu. Daerah-daerah sulit yang kekurangan dokter menghadapi masalah berat untuk mengirimkan lulusan SMA terbaik ke FK-FK negeri. Sampai saat ini belum ada kebijakan nasional yang menjamin mahasiswa dari daerah sulit untuk mendapat tempat pendidikan di fakultas negeri. Berbagai usaha, misalnya kerjasama antar fakultas kedokteran negeri dengan pemerintah daerah telah dilakukan, tapi masih belum ada kebijakan nasional. 3. Kurikulum Kebijakan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi Profesi dokter yang disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia adalah kurikulum dengan mengikuti WFME (World Federation Medical Education) supaya pendidikan kedokteran diakui juga oleh Internasional. Selama sepuluh tahun terakhir, terjadi beberapa pergantian kurikulum. Penggantian kurikulum ini kelihatannya tidak melalui suatu evaluasi yang baik. Perubahan dilakukan karena tantangan situasional, belum berdasarkan kebutuhan nasional dan daerah. Kepemilikan kurikulum oleh Kemdiknas yang terkait dengan penyediaan anggaran untuk pelaksanaan terlihat lemah. Hal ini dapat dimengerti karena Dirjen Dikti Kemdiknas yang mengelola lebih dari 3103 Perguruan Tinggi (PT) baik swasta maupun negeri (Data ESBED 2010) tidak mempunyai suatu Direktorat yang menangani secara khusus pendidikan dokter. Kurikulum disahkan oleh KKI namun tanpa penetapan oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Selama ini terlihat belum ada hubungan antara kurikulum dengan anggaran pendidikan. Masih banyak fakultas kedokteran yang kesulitan menjalankan kurikulum secara baik untuk mencapai kompetensi dokter. Peran pemerintah yang belum siap menangani pendidikan dokter terjadi ketika mereka yang telah lulus belum dapat terjun langsung untuk berpraktik sebagai dokter, sebelum melalui proses internship (magang). Jangka waktu internship yang dibutuhkan adalah 6 bulan s/d 1 tahun. Problemnya adalah pengelolaan magang dan pihak yang memberi gaji terhadap dokter baru tersebut masih belum jelas. 4. Dosen atau Dokter Pendidik Tenaga pendidik di fakultas kedokteran dapat dibagi dua, yaitu pendidik basic medical science dan clinical science. Jumlah tenaga dosen atau dokter pendidik di fakultas kedokteran sekarang sudah menurun sekali (minus growth), sehingga dosen atau dokter pendidik yang ada menjadi ajang perebutan banyak universitas yang mempunyai fakultas kedokteran. Dikhawatirkan pada beberapa tahun mendatang, banyak universitas akan kekurangan tenaga pengajar untuk pendidikan kedokteran. Universitas Negeri/FKN maupun swasta biasanya merekrut tenaga pengajar sebagai dosen atau dokter pendidik luar biasa dari Kemenkes atau dokter pemerintah daerah yang bekerja di Rumah Sakit yang pengangkatannya melalui Surat Keputusan (SK) Rektor. Pengangkatan ini menimbulkan masalah dalam hal jabatan fungsional di akademik. Di sini juga perlu dipertanyakan kompetensi tenaga yang direkrut, apakah sesuai dan memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pengajar. Selain itu, dosen atau dokter pendidik yang diangkat dari tenaga Kemenkes menginginkan kesetaraan sebagai dosen sebagaimana dosen yang diangkat dari Kementerian Pendidikan Nasional terutama kesempatan diangkat menjadi guru besar dalam bidang ilmu kedokteran. Dalam konteks tersebut, perlu ada kebijakan mengenai penyetaraan apakah pendidik klinik yang sudah menjadi konsultan (Sp2) dapat dimungkinkan menjadi Professor Klinik, sebuah sebutan yang membedakan dengan Professor yang saat ini ada. Kebijakan yang berlaku saat ini adalah pengajar perguruan tinggi hanya dapat menjadi Professor kalau mempunyai gelar S3. Apakah dimungkinkan adanya Doktor profesi? Salah satu hal penting adalah bagaimana kerjasama antara FK dengan FK atau badan lain di luar negeri untuk mendatangkan pengajar asing agar terjadi transfer teknologi dan peningkatan mutu pengajaran secara sistematis. Diperlukan kebijakan nasional untuk mengatur tata kelola kerjasama dengan lembaga asing untuk meningkatkan kemajuan fakultas kedokteran dan rumahsakit pendidikan. 5. Unit cost, subsidi, dan mekanisme pasar Berdasarkan kebutuhan mencapai standar isi dan kompetensi, pendidikan kedokteran memerlukan biaya besar. Unit cost pendidikan kedokteran adalah termahal dibandingkan dengan pendidikan sarjana dan profesi lainnya, yaitu mencapai Rp 50 juta sampai dengan Rp 80 juta per tahun per mahasiswa. Sementara, biaya SPP yang dipungut di fakultas kedokteran negeri hanya berkisar Rp 1.500.000,- sampai dengan Rp 2.500.000,- persemester permahasiswa. Untuk menutup biaya tersebut, universitas membuka beberapa jalur di antaranya adalah: SPMB, SNMPTN, jalur prestasi, jalur khusus dan jalur mahasiswa asing. Untuk jalur khusus dan jalur mahasiswa asing dipungut SPP lebih besar dibandingkan dengan jalur SPMB dan SNMPTN maupun jalur prestasi. SPP untuk jalur khusus dapat mencapai Rp 175 juta per tahun dan untuk mahasiswa asing mencapai US$ 3,000 per tahun. Akibat dibukanya jalur khusus, telah mengakibatkan berkurangnya mahasiswa yang masuk melalui jalur biasa, karena kursi mereka diisi oleh orang yang mampu mengikuti dan memenuhi persyaratan jalur khusus tersebut. Akibatnya, terjadi marjinalisasi kelompok yang kurang mampu untuk masuk FKN. Oleh karena itu, peran Pemerintah dan pemerintah daerah diperlukan untuk mengatasi kesenjangan kesempatan memperoleh akses pendidikan kedokteran dan dapat menjaga kebutuhan pendidikan bagi kelompok yang termajinalkan akibat sistem penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus tersebut. Peran pemerintah adalah dalam bentuk: (1) menyediakan dana investasi dan dana operasional untuk FK negeri/swasta; dan (2) memberikan beasiswa kepada mahasiswa/peserta pendidikan; dan (3) menjamin quota untuk calon mahasiswa dari daerah tidak mampu. Peran pemerintah yang pertama adalah subsidi untuk lembaga pemberi pendidikan sedangkan yang kedua adalah subsidi ke mahasiswanya. Konsekuensinya adalah, mahasiswa yang mendapat beasiswa dan lulus menjadi dokter umum dan dokter spesialis harus melakukan wajib kerja praktik dokter di daerah. 6. Pendanaan Pemerintah untuk Lembaga Pendidikan Kedokteran dan RS Pendidikan Disamping memberikan beasiswa, peran pemerintah untuk menjaga kualitas pendidikan kedokteran adalah menyediakan dana investasi dan operasional untuk pendidikan kedokteran strata satu dan untuk pendidikan kedokteran spesialis. Anggaran dari Kemdiknas untuk mahasiswa kedokteran pertahun sekitar Rp10.000.000,-. Jumlah ini sangat minim dibandingkan dengan jumlah hitungan unit cost pertahunnya sejumlah Rp25 juta sampai dengan Rp 80 juta per mahasiswa. Oleh karena itu anggaran pemerintah perlu dinaikkan. Sementara itu bagi mahasiswa yang mampu, dapat membayar penuh atau hampir penuh. Dengan demikian terjadi keadilan. Untuk pendidikan dokter spesialis (residensi), sebaiknya ada aturan bahwa ada pendapatan dari jasa pelayanan yang diterima sehingga tidak memberatkan peserta didik. Peserta didik residensi bukan mahasiswa biasa, lebih berfungsi sebagai staf dokter yang memberikan pelayanan. Pendanaan pendidikan kedokteran spesialis selama ini tidak pernah masuk dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan tidak pernah masuk di dalam renstra pendidikan, sehingga ke depan perlu mendapat perhatian oleh pemangku kepentingan. Bagi Fakultas Kedokteran Swasta (FKS) ada beberapa masalah yang perlu diangkat, yaitu hubungan kerja operasional sehari-hari antara yayasan dan fakultas kedokteran. Dalam hal dana masuk, sering tidak sejalan antara kebijakan universitas dan keinginan pihak yayasan. Dana yang masuk tersebut menimbulkan pertanyaan, menjadi milik yayasan ataukah milik universitas/fakultas kedokteran? Dalam hal dana, perlu diperhatikan pula bagaimana masalah pengaliran dana masuk ke FK yang dipergunakan untuk membantu fakultas lain. Sampai seberapa jauh aliran dana ini diperbolehkan yang tidak mengurangi mutu pendidikan. Saat ini pendanaan untuk RS Pendidikan masih bermasalah. Tidak ada anggaran dari Kementerian Kesehatan untuk pembiayaan pendidikan kedokteran, karena Kementerian Kesehatan lebih mengutamakan pelayanan kesehatan dibandingkan dengan pendidikan kedokteran. Sementara itu Kementerian Pendidikan Nasional belum menganggarkan. 5. Ketentuan Peralihan Memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan mulai berlaku, agar peraturan perundang- undangan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum dikemudian hari1. Ketentuan peralihan pada Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran, memuat peralihan tentang Rumah sakit pendidikan dan rumah sakit sebagai lahan pendidikan yang telah ada, harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang – Undang ini, paling lambat 2 (dua) tahun sejak UndangUndang ini diundangkan. Dan Perguruan tinggi yang sudah ada sebelum Undang-undang ini diundangkan harus menyesuaikan ketentuan perundang-undangan paling lambat 7 (tujuh) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. Kemudian peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan kedokteran, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini. 6. Ketentuan Penutup Ketentuan Penutup yang akan dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran yaitu bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan perampasan aset hasil korupsi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. 7. Sistematika RUU Berikut ini Sistematika RUU Pendidikan Kedokteran adalah: BAB I Ketentuan Umum. BAB II Pembukaan dan Penutupan BAB III Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran Bagian Kesatu Sumber Daya Manusia Paragraf 1 Calon Mahasiswa Kedokteran Paragraf 2 Mahasiswa Kedokteran Paragraf 3 Hak dan Kewajiban Mahasiswa Paragraf 4 Pendidik Paragraf 5 Tenaga Kependidikan Bagian Kedua Kurikulum Bagian Ketiga Jenjang Pendidikan Kedokteran Bagian Keempat Rumah Sakit Pendidikan Bagian Kelima Kerja sama Bagian Keenam Lulusan Bagian Ketujuh Beasiswa dan Bantuan Biaya Pendidikan BAB IV Pendanaan BAB V Pemerintah dan Pemerintah Daerah BAB VI Peran Masyarakat BAB VII Ketentuan Peralihan BAB VIII Ketentuan Penutup 1 Lampiran nomor 100 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan.