MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL - USU-IR

advertisement
MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO
TESIS
Oleh
MUHARRINA HARAHAP
077009017/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister
Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUHARRINA HARAHAP
077009017/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Judul Tesis
: MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
Program Studi
Konsentrasi
: Muharrina Harahap
: 077009017
: Linguistik
: Analisis Wacana Kesusastraan
KUNTOWIJOYO
Menyetujui,
Komisi Pembimbing,
(Prof. Syaifuddin, M.A., Ph. D.)
Ketua
(Dr. Drs. Eddy Setia, M. Ed. TESP)
Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.)
Direktur,
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)
Tanggal lulus: 27 Juni 2009
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Telah diuji pada
Tanggal 27 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
Anggota
: 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP
2. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.
3. Dr. Asmita Surbakti, M.Hum.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
ABSTRAK
Ketiga novel Kuntowijoyo yang dibahas dalam penelitian ini memiliki
kesamaan tema atau gagasan, yakni menggambarkan realitas budaya Jawa. Ketiga
novel itu adalah Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah
(WdS). Ketiga novel itu diciptakan oleh Kuntowijoyo.
Penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan mitologi,
filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut.
Untuk itu digunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode hermeneutika.
Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa mitologi Jawa dalam novel-novel
Kuntowijoyo terlihat melalui wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa dan
pandangan hidup orang Jawa. Wujud sikap kosmologis itu tercermin melalui upacara
tradisi seperti slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual
sowan dan ruwatan. Pandangan hidup orang Jawa diaktualisasikan pada empat hal
yaitu raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan
numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Kemudian mitologi Jawa tersebut
berkembang menjadi mitos-mitos masa kini yang telah bergeser maknanya seiring
dengan perkembangan zaman.
Sementara itu, filsafat Jawa yang juga merupakan bagian dari mitos terungkap
melalui tiga aspek yakni, metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Kemudian
dijelaskan pula representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo
melalui tokoh-tokohnya yang hidup dan berinteraksi dengan serangkaian mitos dan
realitas.
Simpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa unsur mitologi, filsafat, dan nilai
budaya Jawa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada
akhirnya bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme).
Kata kunci : mitos, kosmologi, dan nilai budaya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
ABSTRACT
Three novels created by Kuntowijoyo which are analysed in this research
have the same themes or ideas, namely to depict Javanese cultural reality. There are
Pasar (P), Mantra Pejinak Ular ( MPU), and also Wasripin dan Satinah ( Wds).
Those are created by Kuntowijoyo.
This research aims to analyse and elaborates mythological, philosophical,
and cultural Javanese representative values in the novels. Therefore, it is used
anthropological and semiotics theories. The method used in this research is
hermeneutics.
The results of the analyses find that mythology in the novels seen passing the
presentation of cosmology attitude from Javanese society and way of life from the
novels. The presentation of cosmology attitude are reflected in traditional ceremony
such as slametan, sesajen, cult the people, naming of children, and also sowan and
ruwatan ritual. The way of life from Javanese society is to actualize at four aspects,
i.e. a king as concentration strength cosmic, a palace as empire numinous central,
Gunung Merapi, and Laut Selatan. Furthermore, the mythology of Javanese expands
become myths today which have shifted it’s meaning through the period of time.
Besides, the philosophy of Javanese is also part of the myth expresses of
passing three aspects namely, metaphysics, epistemology, and axiology. In the next,
the explained cultural of Javanese representative values in the novels through the
actors with a series of mythology and reality.
The conclusion shows that mythological, philosophical, and cultural Javanese
values cannot be separated each other because the ending is about a unity, i.e.
Javanese culture (javanisme).
Keywords : myth, cosmology, and social value.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan
hidayah-Nyalah tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul, Mitologi Jawa dalam
Novel-Novel Kuntowijoyo. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai
derajat magister pada Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Analisis
Wacana Kesusastraan, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa
mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Selama proses pengerjaan tesis ini, penulis memeroleh bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Pembimbing Akademik dan juga
pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Magister, Program
Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Kesabaran
dan ketelatenan beliau dalam membimbing dari penyusunan proposal hingga
selesainya tesis ini juga menimbulkan semangat yang sangat berharga bagi penulis.
Telah banyak arahan, masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis
dalam penyempurnaan tesis ini.
Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Drs. Eddy
Setia M.Ed. TESP, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan penuh
ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi yang sangat
berharga demi kebaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan dorongan semangat
bagi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Dekan Fakultas Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program Magister Linguistik
Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang telah memberikan
peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga
menyelesaikan tesis ini.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak
Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Beliau selalu bersedia membagi waktu untuk
berbincang-bincang tentang banyak hal yang memberikan pelajaran yang sangat
berharga bagi penulis. Pengalaman dan keterbukaan beliau telah membuka wawasan
penulis tentang hidup dan kehidupan. Sikap kebapakan dan pengayoman menjadi
teladan yang baik bagi penulis.
Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga
kepada ayahanda, ibunda, abang-abang, kakak-kakak, adik, ipar-ipar, dan orangorang tersayang di keluarga penulis yang selalu memberikan dorongan dan bantuan
selama penulis kuliah. Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada temanteman satu stambuk di Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik USU,
khususnya personil Komunitas Larukina Gusroma yang baru saja didirikan, yaitu
Kak Lela, Kak Ruly, Kiki, Pak Gustaf, Bu Rosita, dan Bu Erma. Terima kasih juga
penulis ucapkan kepada kepala sekolah, rekan-rekan pengajar, dan siswa-siswi di
SMA Swasta Bandung serta seluruh pihak yang turut membantu yang belum tersebut
namanya pada kesempatan ini.
Medan,
Juni 2009
Penulis,
Muharrina Harahap, S.S.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Muharrina Harahap
Tempat, Tanggal Lahir
: Labuhan Batu, 11 Maret 1983
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jalan Perintis I No. 18 Komp. Veteran Purn. ABRI
Medan Estate 20371
Pendidikan Formal
:
1. SD Negeri No.101776 Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan (Tamat 03 Juni
1995)
2. SLTP Negeri 27 Medan (Tamat 01 Juni 1998)
3. SMU Negeri 11 Medan (Tamat 21 Juni 2001)
4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 25 Juni 2005)
5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007)
Pendidikan Nonformal
:
1. Diklat Jurnalistik Suara USU di Medan (2003)
2. Diklat Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) di Medan (2004)
3. Workshop Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) dan Mengulas
Karya Sastra (LMKS) di Cipayung Bogor (2008)
Pekerjaan
:
1. Staf Pengajar di BT/BS Adzkia Medan (2003-2004)
2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ta’dib Al-Syakirin, Titi
Kuning, Medan (2004-2005)
3. Staf Pengajar di Yayasan Pendidikan Azkiaschool Langsa, NAD (2005-2006)
4. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Bandung, Medan
Tembung (Sejak 2006)
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .............................................................................................................
i
ABSTRACT.............................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP................................................................................................
v
DAFTAR ISI..........................................................................................................
vi
DAFTAR BAGAN ................................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................
x
DAFTAR ISTILAH ..............................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................
8
1.3 Tujuan Penelitian ...............................................................................
8
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................
8
1.3.2 Tujuan Khusus ...........................................................................
9
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................
9
1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................................
9
1.4.2 Manfaat Praktis ..........................................................................
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN ......................................................................
11
2.1 Kajian Pustaka......................................................................................
11
2.2 Konsep ................................................................................................
14
2.2.1 Nilai Budaya ........................................................................
14
2.2.2 Budaya Jawa ........................................................................
16
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2.2.3 Mitologi ................................................................................
19
2.2.4 Kosmologi ............................................................................
22
2.2.5 Filsafat Jawa .........................................................................
24
2.3 Landasan Teori ...................................................................................
28
2.4 Model Penelitian .................................................................................
35
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................
38
3.1 Rancangan Penelitian ..........................................................................
38
3.2 Sumber Data ........................................................................................
43
3.3 Teknik Pengumpulan Data ................................................................
43
3.4 Teknik Analisis Data ...........................................................................
44
BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN
PEMIKIRAN PENGARANG .............................................................
47
4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo .........................................
47
4.1.1 Pasar ..........................................................................................
47
4.1.2 Mantra Pejinak Ular ..................................................................
48
4.1.3 Wasripin dan Satinah .................................................................
51
4.2 Pemikiran Tentang Sastra ..................................................................
55
4.2.1 Sastra Profetik ............................................................................
61
4.2.2 Dialektika Dua Dunia .................................................................
70
BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL
KUNTOWIJOYO .................................................................................
74
5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ...................................................
74
5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ..............................
78
5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa ...................................................
88
5.2 Mitos-Mitos Masa Kini ....................................................................... 107
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB VI FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL
KUNTOWIJOYO ............................................................................... 118
6.1 Metafisika ......................................................................................... 119
6.2 Epistemologi .................................................................................... 123
6.3 Aksiologi .......................................................................................... 127
BAB VII REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVELNOVEL KUNTOWIJOYO ................................................................ 133
7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo ..................... 133
7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan .......................................... 136
7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam ........................................... 147
7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat ................................. 155
7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain ................................ 162
7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri ........................... 164
7.2 Kontekstualisasi ............................................................................... 174
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 176
8.1 Simpulan ......................................................................................... 176
8.2 Saran ................................................................................................. 179
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 180
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
DAFTAR BAGAN
No
1.
Judul
Halaman
Model Penelitian .......................................................................................
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
35
DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul
Halaman
1.
Foto dan Biografi Pengarang......................................................................
185
2.
Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo..........................................................
188
3.
Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo..................................................
212
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
DAFTAR ISTILAH
Abstraksi
: proses/perbuatan memisahkan.
Adikodrati
: alam gaib
Aksiologi
: kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia ; kajian tentang
nilai.
Akal
: daya pikir untuk memahami sesuatu.
Animisme
: kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu,
sungai, gunung, dsb.)
Dialektik
: seni berpikir secara teratur dan logis
Dialektika
: hal berbahasa dan bernalar dengan dialog untuk menyelidiki suatu
masalah.
Ekologi
: ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan
(kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya).
Ekspansif
: dapat/cenderung meluas.
Ekstase
: keadaan di luar kesadaran diri (bersemadi).
Epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar/batas-batas pengetahuan.
Epos
: cerita kepahlawanan.
Filosofis
: berdasarkan filsafat.
Filsafat
: pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab, asal-usul dan hukumnya.
Gaib
: tidak kelihatan ; tersembunyi ; tidak nyata.
Intuisi
: daya atau kemampuan mengetahui/memahami sesuatu tanpa
dipikirkan atau dipelajari ; bisikan hati.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kejawen
: aliran kebatinan masyarakat Jawa ; berasal dari kata ke-jawa-an.
Kosmologi
: ilmu (cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan
hubungan ruang waktu dari alam semesta ; ilmu tentang asal-usul
kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta
hubungan sistem matahari dengan jagad raya ; ilmu (cabang dari
metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang
beraturan.
Kosmos
: jagat raya ; alam semesta.
Magi
: sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan
gaib yang dapat menguasai alam semesta.
Magis
: bersifat magi ; berkaitan dengan hal/perbuatan magi.
Metafisika
: ilmu tentang hal-hal yang tidak kelihatan (metafisik).
Mistik
: hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia.
Mistis
: bersifat mistik.
Mite
: cerita sejarah, dipercaya benar-benar terjadi, suci, dan dewa.
Mitologi
: ilmu tentang sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci
mengenai kehidupan dewa/makhluk halus dalam suatu kebudayaan.
Mitos
: cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu,
mengandung penafsiran tentang asal-usul alam, manusia, bangsa,
tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara
gaib.
Monisme
: pandangan bahwa semesta itu merupakan satu kesatuan tunggal.
Pandangan
: konsep yang dimiliki seseorang/golongan dalam masyarakat yang
bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia
ini.
Patrap
: tata aturan yang mengatur kehidupan masyarakat Jawa.
Pedoman
: kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu
harus dilakukan ; hal-hal pokok yang menjadi dasar.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Penalaran
: pertimbangan tentang baik-buruk ; akal budi.
Priayi
: orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya
dianggap terhormat ; misal golongan pegawai negeri.
Profetik
: konsep sastra yang digagas Kuntowijoyo yang memusatkan
penciptaan karya sastra pada perilaku nabi.
Rasio
: penalaran menurut akal sehat ; akal budi ; nalar.
Ritual
: berkenaan dengan ritus.
Ritus
: tata cara dalam upacara keagamaan
Struktur
: susunan yang memperlihatkan tata hubungan antarunsur pembentuk
karya sastra ; rangkaian yang tersusun terpadu.
Strukturalisme : doktrin/metode yang menganggap objeknya bukan unsur yang
terpisah-pisah, melainkan sebagai gabungan beberapa unsur.
Totem
: benda dan binatang yang dianggap suci dan dipuji.
Totemisme
: sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinial
adalah keturunan dewa-dewa.
Transenden
: di luar segala kesanggupan manusia ; luar biasa.
Transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya
tidaklah begitu sulit jika dilihat dari sudut pandang antropologi, terlebih setelah
munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling
hubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun
pada tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan kuat. Sebagai
sebuah disiplin yang perkembangannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan
dalam bentuk etnografi, tulisan atau karya tulis tentang kebudayaan satu atau
beberapa suku bangsa tertentu, maka antropologi budaya memang tidak akan pernah
terlepas dari sastra, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal
ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu
masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, ataupun sebagai salah satu unsur
kebudayaan yang sedang dipelajari. Lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan
implikasi-implikasi
antropologis
teks-teks
sastra
atau,
singkatnya,
dengan
mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin tidak
cuma bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat
memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan
masyarakat tertentu.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Memang, dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer
seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya
merupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal
yang lumrah apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli
antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar
atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai
sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan sebagai dokumen kultural.
Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsipersepsi pengarang terhadap dunia ─ terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial ─
telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.
Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi
sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe
masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi
analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Tradisi pertama, menelusuri jejakjejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai
ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra.
Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada
umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini
tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Ratna, 2004:354).
Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila
pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk
menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala
sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas
bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu
sendiri.
Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos
pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang
pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan
sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan
begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan
suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat
mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang
telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang
mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos
pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat.
Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan
cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian
alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme,
tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama,
adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak
penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra.
Mitologi Jawa yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya
ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Jawa. Beberapa mite itu
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili
mite tesebut. Mite orang Jawa yang paling menonjol adalah cerita wayang yang
bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Mungkin kalau dilacak lebih jauh
dunia mite orang Jawa berasal dan boleh jadi berakar pada mitologi Hindu yang
membawa tradisi cerita kedua epos tersebut.
Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam
konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi,
konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan
dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra
yang ditulis pada suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma
dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga
masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya merupakan
warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk
menganalisa sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk.
(1989:26) menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam
menganalisa sistem masyarakat.
Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan kembali
kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya, karya sastra dapat
dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi budaya Jawa. Menurut
Suseno (2003:1), salah satu ciri khas kebudayaan Jawa tersebut terletak pada
kemampuan luar biasanya mempertahankan keasliannya di tengah membanjirnya
gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi
kebudayaan Jawa hanya akan menemukan identitasnya. Kebudayaan Jawa, termasuk
filsafat Jawa, merupakan bagian dari kebudayaan luhur masyarakat dan bangsa yang
harus tetap lestari dan berkembang.
Sebagai salah satu aspek kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu apa yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah.
Lalu, Chatman (1978:19) membagi studi terhadap cerita (fiksi) ke dalam dua bagian
pokok. Pertama, studi isi (content) dan kedua, studi wacana (discourse). Baik isi
maupun cara pengarang menyampaikan isi dalam novelnya, secara serempak akan
dilihat dalam satu kesatuan pembahasan.
Menurut Rosidi (1995:119) adalah wajar apabila dalam karya-karya seorang
sastrawan ditemukan latar belakang kehidupan, pendidikan, dan kebudayaan
penulisnya. Dan keragaman latar belakang budaya para penulis Indonesia telah
memberikan warna-warni mozaik yang menyusun keindahan sastra Indonesia.
Dilihat dari segi budaya yang mengasuhnya, Kuntowijoyo hidup dalam dua
budaya besar: Yogyakarta dan Surakarta. Sebagaimana yang dikatakan Wangsitalaja
(Anwar, 2007:9), kedua budaya itu sama-sama berlatar kejawen, tetapi memiliki
sejumlah perbedaan bahkan pertentangan. Budaya Yogyakarta bersifat “serba
seadanya-gagah-maskulin-aktif”, sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes-penuh
bunga-feminin-kontemplatif”. Kedua warna budaya yang kental ini merasuki karyakarya Kuntowijoyo, berdialektika dengan budaya Barat dan peradaban Islam yang
intensif digeluti dan dihidupinya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sastra Indonesia sendiri, yang mula-mula memperlihatkan pengaruh sastra
Belanda yang kuat, seperti nampak pada karya para pengarang Angkatan Balai
Pustaka dan Pujangga Baru, kemudian memperlihatkan kaki-langit yang lebih luas;
sementara pengaruh sastra Islam melalui bahasa Arab ─ meskipun tidak menonjol ─
tetap merupakan nada dasar, kecuali pada beberapa orang pengarang seperti Hamka.
Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam, dengan mudah akan
dijumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka, bahkan juga karya sastra para
sastrawan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu yang lama
keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol, tetapi ia tetap jelas menjadi
latar belakang hampir setiap karya sastra yang ditulis. Pada dua-tiga dasawarsa yang
terakhir ini, nampak bahwa keislaman telah muncul secara lebih sadar dalam
kehidupan sastra Indonesia seperti tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti,
A.A. Navis, dan Kuntowijoyo.
Keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah memperlihatkan
mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman
budaya dan kesenian. Kehidupan masing-masing suku bangsa yang mempunyai adatistiadat yang berlainan, jenis kesenian yang berbeda, memberi kemungkinan untuk
memperkaya keindahan mozaik itu.
Keanekaragaman budaya tersebut ditemukan dalam novel-novel Kuntowijoyo.
Novel-novel Kuntowijoyo ini bukan jenis karya sastra yang meremehkan gagasan
atau pesan yang ingin disampaikan. Gagasan dan pesan bergulir dalam jalinan narasi
realis yang berupaya menggali makna hidup dalam dinamika sejarah dan perubahan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sosial budaya masyarakat. Sebagai tambahan, Anwar (2007:53) mengemukakan
bahwa karya Kuntowijoyo dikatakan sebagai karya di mana “visi menggelindingkan
narasi”.
Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa.
Dilihat dari latar belakang pendidikannya beliau adalah sejarawan. Akan tetapi,
karya-karyanya menunjukkan bahwa beliau juga merupakan cendikiawan, agamawan,
dan budayawan. Gelar tersebut melekat karena ia banyak sekali memberikan
kontribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial, dan pengintegrasian ilmu
agama dan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan
tentang alur pemikiran yang dilontarkan beliau, dapat dibahas dari sastra yang ia
goreskan pada karya-karyanya. Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya
tersebut melalui karya-karyanya yang bercorak transendental (religius) dan profetik
(mengutamakan kebebasan manusia). Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat
dalam novelnya Khotbah di Atas Bukit (1976), Impian Amerika, Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, serta kumpulan puisinya yang
berjudul Suluk Awang-Uwung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik yakni,
Pasar, Mantra Penjinak Ular, Makhrifat Daun Daun Makhrifat, dan yang terakhir
Wasripin dan Satinah. Novel Wasripin dan Satinah ( 2003 ) merupakan karya
terakhir Kuntowijoyo sebelum virus meningo enchepalitis merenggut nyawanya pada
tanggal 22 Februari 2005.
Novel-novel Kuntowijoyo yang akan dianalisis pada kesempatan ini adalah
Pasar (1972, terbit ulang 1994 & 2002), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dan Satinah (2003). Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Jawa dalam karya sastra
tersebut, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti tentang mitologi Jawa
dalam novel-novel Kuntowijoyo.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1. Bagaimanakah mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?
2. Bagaimanakah filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo?
3. Bagaimanakah
representasi
nilai
budaya
Jawa
dalam
novel-novel
Kuntowijoyo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memperkaya khasanah pembicaraan atau kajian sastra dan budaya.
2. Memaparkan keterikatan atau hubungan kebudayaan dengan sastra.
3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan novel-novel Kuntowijoyo secara luas
dan mendalam.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.
2. Menganalisis filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.
3. Menguraikan nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk
merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada
penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat
membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya
Jawa dan novel-novel Kuntowijoyo.
2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah
pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra
Indonesia.
3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian
berikutnya, baik penelitian novel-novel Kuntowijoyo maupun penelitian
karya sastra Indonesia lainnya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya, mitos, dan filsafat
Jawa.
2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan
kebudayaan daerah masing-masing.
3. Memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian
sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku.
Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sabagai berikut.
Tanggapan terhadap karya Kuntowijoyo melalui artikel, dimulai Prihatmi di
Kompas pada tanggal 13 Oktober 1971 lewat “Sorotan Selintas atas Khotbah di Atas
Bukit” dan tahun 1988 beliau juga menulis makalah serupa yaitu, “Karya
Kuntowijoyo: Menolak Ratu Adil dan Gagasan Nietsche Tentang Manusia Agung”.
Kemudian, Mangunwijaya pun menulis artikel dalam Berita Buana pada tanggal 02
Desember 1986 yang berjudul “Roman Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo,
Beberapa Catatan”. Lalu, Pinem menulis di koran yang sama pada tanggal 07
Februari 1989. Artikel itu bertajuk “Suluk Awang-Uwung, Renungan Sufistik
Kuntowijoyo”. Tidak mau ketinggalan, Sumardjo juga menulis “Khotbah di Atas
Bukit
Karya
Kuntowijoyo”
di
Pikiran
Rakyat
tanggal
2
Juli
1976.
Terakhir,Wangsitalaja menulis artikel tentang Kuntowijoyo ini di majalah yang sama
dan waktu yang bersamaan pula. Masing-masing dimuat di Horison dan pada
Februari 2001, berjudul “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dan “Kuntowijoyo:
Bermula dari Sebuah Surau”.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Penulisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Jabrohim yang berjudul Pasar
dalam Perspektif Greimas, terbit tahun 1996. Buku ini merupakan naskah laporan
penelitian beliau yang diformat ulang oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Jabrohim menggunakan pendekatan struktural A.J. Greimas terhadap novel Pasar
karya Kuntowijoyo dengan menggunakan skema aktan dan struktur fungsionalnya.
Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami struktur fungsional novel
Pasar tersebut.
Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten yang juga pengamat
sastra, menulis buku yang berjudul Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya, terbit tahun
2007. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Kuntowijoyo:
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), Khotbah
di Atas Bukit (1971), Pasar (1972), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin dan
Satinah (2003). Juga dibahas tiga kumpulan puisi Kuntowijoyo : Suluk AwangUwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Buku
yang ditulis Anwar ini sangat membantu penulis dalam memahami novel-novel
Kuntowijoyo.
Selanjutnya, Maria A. Sardjono menganalisis paham Jawa lewat bukunya
yang berjudul Menguak Falsafah Hidup Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir
Indonesia, terbit tahun 1995 di Jakarta. Metode pendekatan yang digunakan oleh
Maria A. Sardjono adalah deskripsi fenomenologis dan analisis filosofis. Buku ini
memberi kesimpulam bahwa para pengarang dalam karya-karya itu banyak
menampilkan pribadi-pribadi manusia Jawa yang memandang ke dalam diri mereka
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sendiri, yang lebih asyik mencari jalan keluar dalam menanggulangi kenyataan atau
pengalaman yang dihadapinya daripada mengenai gambaran tentang masalahmasalah sosial yang lebih luas. Sedikit banyaknya penelitian ini akan mengacu pada
buku tersebut, terutama untuk memahami budaya Jawa yang terdapat dalam novelnovel Kuntowijoyo.
Djoko Suryono, tahun 1998 pernah menulis tentang budaya Jawa dalam
disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi
Indonesia. Beliau menggunakan pendekatan sosiokultural dalam memahami nilainilai budaya Jawa. Tesis tersebut menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini,
terutama mengenai sosiokultural masyarakat Jawa.
Sementara itu, pembicaraan tentang mitologi Jawa terhadap karya sastra
sudah dilakukan oleh Zaidan A. Rozak dkk. yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Jakarta tahun 1997. Penelitian itu berjudul Mitologi Jawa
dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Penelitian ini memfokuskan mitologi
pada wayang sebagai kerangka acuan dan arah orientasinya. Penelitian ini dapat
membantu penulis memahami penerapan mitologi Jawa terhadap karya sastra.
Dengan demikian, diketahui bahwa pembicaraan tentang mitologi terhadap
novel-novel Kuntowijoyo, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang mitologi Jawa dalam
novel-novel Kuntowijoyo.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2.2 Konsep
2.2.1
Nilai Budaya
Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat
berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan
karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya
langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan
masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil.
Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu
sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia,
dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia.
Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk
kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya
tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu
rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna
penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak
berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat
dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam
etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem
hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah
tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah
budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya
masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan
sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret,
manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya
orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan,
lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan
bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn, yaitu :
1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia,
2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia,
3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu,
4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya
(Koentjaraningrat, 2002:191).
Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang
sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga
merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep
ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan
warga masyarakatnya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2.2.2
Budaya Jawa
Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak
dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat
bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya
dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’.
Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa.
Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah
antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai
sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama.
Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang
terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa (Javanese) adalah orang
yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian
tengah dan timur Pulau Jawa (Suseno, 2003:15). Kemudian, Geertz (Sani, 2008:7)
membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan,
priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi
sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur
petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya
menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur
birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi
Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat
Jawa.
Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang
Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di
Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah
transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang
dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak
zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah
orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara.
Menurut Partokusumo (Setyodarmodjo, 2007:73), salah seorang pakar budaya
dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu
tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan
Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah
lebih dari 160 juta.
Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan
sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya
regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional
kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan
tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga,
kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994:25).
Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat
pendukungnya berbeda satu sama lain. Semua mempunyai individualitas yang kuat,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang
halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang
bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak
sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2003:31).
Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang
Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat
dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa
hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap
khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa (tepa selira), dan
keselarasan (harmonis). Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami
perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa
menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah
sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada.
Hardjowirogo (1984:7) juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu
berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa
Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam
penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di
tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke
kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang
Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai
pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar,
melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup
yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan
tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan
tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang
teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan (Mulder, 2005:42).
Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat
tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung
maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini,
kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo
tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi
manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya
dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin.
2.2.3
Mitologi
Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie,
yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang
pokok ceritanya sama; studi tentang mitos.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos
(Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan
legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa
lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita
anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos
diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita,
maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai
cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal
yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga
struktur itu sendiri mengandung makna.
Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu
sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa
mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang
membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu
ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat
berlaku hanya karena penganutnya memercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia
akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang
sebenarnya.
Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang
bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang
ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali
ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi
pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat
ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama
atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan
dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan
bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan
tempat tinggalnya.
Antropolog sosial, seperti Malinowski dalam buku William A. Lessa dan
Evon Z. Vogt yang berjudul Reader In Comparative Religion (1979:101) berpendapat
bahwa mitos sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah sematamata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos
merupakan daya aktif dalam kehidupan masyarakat primitif. Atas dasar ‘realitas’
mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada (Minsarwati,
2002:27).
Senada dengan Malinowski, Anderson (2008:10) mendefinisikan mitologi
sebagai seperangkat simbol-simbol nasional atau kultural yang membangkitkan
kesetiaan yang boleh dikatakan seragam pada masyarakat, baik secara horizontal
lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas.
Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut tercermin dalam sebuah karya
sastra. Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai mitos
kedaerahan masing-masing. Kebudayaan Jawa, misalnya penuh dengan mitologisasi
(memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan
pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Hal tersebut terlihat menonjol dalam nama,
kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf.
Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan manusia melalui bentuk
upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti
menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi
masyarakat Jawa, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak
hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model
tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi
kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan.
Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Jawa bukan merupakan pemikiran
intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual
dan mental untuk berhubungan dengan yang Illahi.
2.2.4
Kosmologi
Secara etimologi kosmologi berasal dari istilah Yunani, yaitu kosmos yang
berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Menurut Bakker (1995:27) kosmologi
adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Titik tolak konkret kosmologi
adalah kesatuan manusia dan dunia. Pemahaman antara manusia dan dunia dalam
antropologi ini selanjutnya dikatakan kosmologi yang bersifat metafisik.
Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi
karena setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi, pertama-tama
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
direalisasikan dalam manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi
lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dan pemikiran manusia yang
berkurang. Namun, kosmologi juga berbeda karena secara implisit terkandung
kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam
kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk obyek penyelidikan secara
langsung (Bakker, 1995:38).
Kosmologi selalu berhubungan dengan lingkungan, salah satunya adalah
ekologi. Ekologi yang diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup, merupakan
ilmu majemuk atau disiplin lintas semu (an inter diciplinary study). Ekologi memiliki
keistimewaan di antara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas
berciri normatif. Ekologi bukan hanya mempelajari struktur alam dunia, tetapi juga
menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkan.
Pemahaman antara kosmologi dan ekologi menambah pengertian bahwa
gagasan pengalaman-pengalaman hidup manusia merupakan fungsi dari kualitas alam
lingkungan yang terlihat dari perjuangan antara manusia dengan alam. Melalui sudut
ini akan terlihat bahwa sekalipun kosmologi bukan ilmu praktis yang dapat
menyajikan pemecahan untuk persoalan ekologi, tetapi kosmologi dapat menyediakan
dasar tempat suatu filsafat lingkungan dapat dibangun. Kosmologi menjadi ruang
dialog ekologi dan keduanya bersama-sama memberi pengertian skala besar dan skala
kecil tentang oikos.
Berdasarkan uraian di atas, kerjasama antara kosmologi dengan ekologi,
maupun antropologi ternyata mampu memahami keberadaan alam semesta konkret,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang
ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari
ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran
diri.
Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak,
dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan
lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari
pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang
memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi
kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada
pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti
ada yang mengatur dan mengendalikan.
2.2.5
Filsafat Jawa
Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics (1980:11) berpendapat
bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk
beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan
berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka
hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis
dan teratur.
Anderson (2008:10) juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat
dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan
kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh
orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya
manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi (berkenaan dengan
tubuh) dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan
pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir
dan tumbuh secara bersama-sama.
Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya
dalam
menyampaikan
maksudnya,
manusia
menggunakan
perbandingan-
perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan
proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud
tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan
pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar
di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan
pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu
disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa.
Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157), memberikan pengertian tentang filsafat
Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu
dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini
karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam.
Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157) juga mengartikan filsafat atas tiga
pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang
dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai
pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka
kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu
menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan,
dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang
disebutkan dalam arti pertama dan/atau arti yang kedua.
Di pihak lain, Ciptoprawiro (2000:11) mendefinisikan filsafat sebagai suatu
pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang
bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa
berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik
jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu.
Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang
memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan
bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan
cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’.
Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar
Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1951,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will,
nationale doad (jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional).
Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan
yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang
Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup (filsafat)
dan ilmu (kawruh) Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta
penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan
materi dan menjurus ke suatu dualisme.
Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro (2000:16) bahwa filsafat Barat
mengidentifikasikan aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Dengan
demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya
dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak (distansi) antara manusia
dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan.
Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang
bernalar, Socrates).
Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan
lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka
bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan
kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan cipta-rasakarsa. Filsafat Jawa (Filsafat Timur umumnya) beranggapan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Ciptoprawiro, 2000:15).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan.
Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan
orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi
sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan
dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya
banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra
dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan
antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara
interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang
manusia.
Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia (anthoropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua
macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra
dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang
dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat,
dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk
kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada
kompleks ide.
Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara
kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam
rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra
ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural
suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber
yang sangat penting.
Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu
dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh
pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat,
sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik
Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasardasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian
berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang
secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang
kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern
diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun
emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra
Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk
memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan
spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermainmainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352).
Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan
manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan
sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti
tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua,
meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek
budaya masyarakat.
Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan
karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi,
bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam
determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis
kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan
bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan
karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan
keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus
kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja
kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wallace (1966:70) bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan
yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti
makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung
prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing
mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai
meninggalkan
sebagian
prinsip-prinsip
supraindividual
dalam
kebudayaan
internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru.
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah
hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai
animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului
sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut
teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses
simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran
simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah
awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif.
Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi
sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan
diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem
komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas.
Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch (Ratna, 2004:351), manusia
adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling
memengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan
manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu
tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius.
Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia
dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini
manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan
hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau
pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika
dan pandangan.
Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara,
2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia/orang, (b) artikel tentang
sastra, (c) bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang
peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data
tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami
karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi.
Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan
arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa
lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan
modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng,
fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini
ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang
terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut
menguasai sistem dan budaya masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of
Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual,
dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis
yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur
estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan
psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakantindakan yang berbentuk budaya dan kesenian.
Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga
merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih
lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama
pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap
sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa
manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di
samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang
berlaku dalam masyarakatnya.
Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat
diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan
dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat
dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan,
yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan
agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur
mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos (Sikana,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2008:134). Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori
psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi
sastra dapat mengkajinya dalam
bentuk paparan etnografi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2.4 Model Penelitian
Budaya Jawa
→
←
↓
↨
↓.
Pengarang
Novel-Novel Kuntowijoyo
↔
Peneliti/Pengamat
↔
↓
Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, Wasripin
↓
↓
↔
Mitologi
↔
Filsafat
↓
↓
Representasi Nilai Budaya
↓
- Hubungan manusia dengan Tuhan
- Sikap kosmologis
- Pandangan hidup
- Mitos-mitos masa kini
- Hubungan manusia dengan alam
- Metafisika
↔
- Epistemologi
↔
-Hubungan manusia dengan masyarakat
- Hubungan manusia dengan orang lain
- Aksiologi
- Hubungan manusia dengan diri sendiri
↑
Antropologi Sastra
Bagan 1 : Model Penelitian
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Keterangan:
→
: Hubungan langsung
: Hubungan tidak langsung
Model penelitian merupakan kerangka berpikir dari suatu penelitian.
Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan paradigma budaya yang dikaitkan
dengan budaya Jawa, khususnya mitologi.
Pengarang yang menggunakan budaya Jawa yang berpusat di Solo dan
Yogyakarta sebagai inspirasi untuk menciptakan novel-novel P, MPU, dan WdS
memadukannya dengan keadaan dan situasi soaial, budaya, dan politik.
Peneliti atau pengamat menginterpretasikan novel-novel Kuntowijoyo dalam
bentuk mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya sebagai suatu kajian yang
berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena hubungan realitas budaya Jawa dengan
novel-novel Kuntowijoyo bukanlah hubungan langsung, maka untuk memahami
mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya tersebut dipergunakan teori
antropologi sastra dan semiotika.
Mitologi Jawa yang merupakan struktur dari novel-novel Kuntowijoyo
diamati secara totalitas dan dipadukan pada tokoh Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan
Wasripin, sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu.
Kemudian, tokoh-tokoh tersebut dihubungkan dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga
tergambar sikap kosmologis masyarakat, pandangan hidup, dan mitos-mitos masa
kini. Sementara itu, filsafat Jawa akan diuraikan pada tingkatan metafisika,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
epistemologi, dan aksiologi. Melalui tahapan-tahapan tersebut akan terlihat keutuhan
filsafat Jawa.
Representasi nilai budaya dikaitkan pada lima buah hubungan manusia yang
paling mendasar yakni : hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan
orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika
sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang
terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yamg muncul pada
fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya
filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, taritarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi,
etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80).
Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang
terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia,
melalui pemahaman dan interpretasi. Prinsip hermeneutika menurut Schleimacher
(Kaelan, 2005:80), adalah untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam
objek penelitian. Objective geist dapat pula diartikan sebagai makna yang terdalam,
hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian.
Pada ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah
ditekankan karena tanpa interpretasi pembaca mungkin sulit mengerti dan memahami
jiwa zaman pada saat kesusastraan itu diciptakan (Nasution, 2007:60). Gadamer
(Selden, 1991:122), mengemukakan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha tersebut
untuk memahami sebuah karya akan bergantung pada pertanyaan yang ditimbulkan
oleh lingkungan kebudayaan itu sendiri.
Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Tidak semua
buah pikiran dapat terungkapkan dengan bahasa secara jelas karena bahasa harus
sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Untuk itu diperlukan hermeneutik.
Hermeneutik mencoba membahas, menganalisis, serta mengevaluasi bahasa melalui
media tulis dan karya-karya sastra.
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja
hermeneuein ‘menafsirkan’, dan kata benda hermeneia ‘interpretasi’. Hermeneutik
dapat diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti.
Hermeneutik dalam pandangan klasik Aristoteles, yaitu bahwa bahasa yang kita
ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis
adalah simbol-simbol dari kata-kata yang kita ucapkan.
Menurut Palmer (2003:38), hermeneutik dapat didefinisikan menjadi enam
bentuk yang berbeda, sebagai berikut :
Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi,
khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah
ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2)
metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi
metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan
pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun
iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan
simbol.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Masing-masing definisi ini sekadar merupakan tahapan-tahapan historis,
menunujuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi.
Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari
mana hermeneutika dilihat. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung dibentuk
kembali melalui perubahan sudut pandang ini.
Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat “triadic” (mempunyai segi
yang saling berhubungan). Pada proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang
diarahkan pada objek dalam pikiran penafsir itu sendiri. Orang melakukan interpretasi
harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks
sehingga yang pada mulanya “lain” kini menjadi “aku” penafsir itu sendiri.
Wolf (Djojosuroto, 2007:242) menyatakan bahwa hermeneutik merupakan
seni menemukan makna sebuah teks. Ada tiga jenis hermeneutik atau interpretasi,
yaitu :
(1) Interpretasi gramatikal, yang berhubungan dengan bahasa.
(2) Interpretasi historis, yang berhubungan dengan fakta dan waktu.
(3) Interpretasi retorik, yang mengontrol kedua jenis interpretasi yang
terdahulu, ditambah kefasihan gaya dan seni.
Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir
sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua
metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua
metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya
sendiri atas konteks historis-kultural.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu:
pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai
“totalitas kultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau
masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan
melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial
sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu
pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu
pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik
dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan
pemahaman trans-historis dengan konsep masa lalu dengan masa kininya.
Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks
atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra
dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna
bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra
dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman
makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks
sastra (Djojosuroto, 2007:243).
Sehubungan dengan itu, Ricoeur (Bleicher, 2003:335) mengemukakan
pendapatnya bahwa simbol-simbol dan mitos-mitos mengundang pemikiran tertentu.
Simbol dan mitos memberikan makna sehingga harus diinterpretasikan di ranah
mereka sendiri melalui serangkaian aturan spesifik. Pada tahap ini, Ricoeur
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
membatasi konsep interpretasi menjadi investigasi atas makna yang tersembunyi
dalam makna literal yang tampak.
Menurut Ricoeur (Djojosuroto, 2007:239) juga, salah satu sasaran yang
hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan
distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat
interpretasi dengan baik. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap
peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang
sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut
vorhabe (apa yang dimiliki), voorischt (apa yang dilihat), dan vorgriff (apa yang akan
menjadi konsepnya kemudian).
Di bidang filsafat sendiri, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan
secara
berlebihan.
“interpretasi”dan
Sebab
pada
kenyataannya,
keseluruhan
filsafat
adalah
“pembahasan” seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa
kebijaksanaan manusia (Djojosuroto, 2007:241).
Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan
seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermeneutik merupakan
metode yang dilakukan secara dialektik, artinya peneliti harus bolak-balik dari bagian
ke keseluruhan, dari keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur intrinsik ke
ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke intrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran
yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis.
Pemahaman dan interpretasi terhadap objek merupakan ciri khas metode ini dan lebih
dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Pemahaman dan interpretasi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknnya.
Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian
ini.
3.2 Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tiga novel karya
Kuntowijoyo, yaitu Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan
Satinah (WdS). Dipilih ketiga novel tersebut karena bersifat tematis, yakni
menonjolkan realitas budaya Jawa dalam penceritaannya.
Di samping itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalahmajalah, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain, juga dari diskusi-diskusi, dan
seminar-seminar yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka
(library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis
lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan terhadap
semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau
kejadian (Moeliono, 1990:713).
Metode pengumpulan data secara hermeneutik dimulai dengan membaca
novel-novel Kuntowijoyo tersebut, karena sumber data yang dominan ada pada karya
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sastra itu. Untuk itu, peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah
selanjutnya dapat dilakukan dengan :
1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang
dimiliki, peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan setelititelitinya seluruh sumber data.
2. Membaca sumber data secara berkesinambunganan berulang-ulang sesuai
dengan prinsip dialektik sehingga diperoleh pengertian antara bagian dan
keseluruhan dari objek yang diteliti.
3. Setelah langkah kedua, peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk
memberi tanda bagian-bagian yang diangkat menjadi data yang akan
dianalisis lebih lanjut.
Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh data penghayatan dan
pemahaman arti dan makna tentang karya sastra yang diteliti secara mendalam dan
mencukupi.
Sehubungan dengan itu, peneliti akan mengadakan analisis terhadap data
utama, yaitu novel-novel Kuntowijoyo. Untuk membantu dan melengkapi data utama
tersebut maka dikumpulkan juga buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis
konten (content analysis). Analisis konten digunakan peneliti untuk mengungkap,
memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan
diungkap, baru memasuki karya sastra. Aspek penting dari analisis konten adalah
bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan pada siapa saja (Endraswara,
2008:161).
Pada proses pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Peneliti membaca novel-novel Kuntowijoyo yang menjadi objek penelitian
secara
berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Membaca
hermeneutik berlangsung dalam dua tataran (tingkat). Pertama, membaca
heuristik, yaitu membaca dengan dasar pemahaman pada konvensi bahasa.
Kedua, membaca hermeneutik, yaitu dicari makna tersirat. Penafsiran ini
memerlukan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Jadi, membaca
hermeneutik memungkinkan pemberian makna yang khas, bervariasi, dan
mendalam.
2. Peneliti
mengidentifikasi
dan
mengklasifikasi
seluruh
data
serta
memfokuskan interpretasi pada objek yang berkaitan dengan mitologi,
filsafat, dan nilai budaya Jawa. Analisis data tidak dikerjakan per sumber data,
tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan. Jadi, analisis data dikerjakan
secara utuh-bulat (holistik) dan menyeluruh (komprehensif).
3. Kemudian peneliti menafsirkan kembali seluruh data yang teridentifikasi dan
terklsifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan, dan hubungan antardata
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh-bulat dan menyeluruh tentang
hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB IV
GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN
PEMIKIRAN PENGARANG
4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo
4.1.1 Pasar
Novel P bertemakan perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Tokoh utama
novel ini adalah Pak Mantri yang diceritakan sebagai pemimpin pasar kecamatan di
sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Pak
Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama
Jawa. Karakter Pak Mantri dijelaskan sebagai orang Jawa yang tahu betul sopan
santun dan tata krama Jawa, khususnya tata krama priayi.
Orang-orang mengakui hal ini, termasuk tokoh Pak Camat dan para pegawai
kecamatan lainnya. Perhatikan kutipan berikut.
Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah
dengan Pak Mantri pasar. Sebab tidak seorangpun – kecuali Kasan Ngali –
yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat
dan Pak Kepala Polisi dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri
pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup yang jujur, setia, sopansantun, tahu diri menumpuk pada dirinya (P:1).
Dengan menggunakan alur maju, novel ini dikisahkan dengan hangat dan
lincah yang melibatkan pembaca sehingga sudut pandang “dia”-an berpadu dengan
sudut pandang “aku”-an yang membuat tokoh cerita atau pencerita dapat langsung
bicara pada para pembaca. Penuturan yang hangat dan lincah itu menggambarkan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan
terpelajar.
Kasan Ngali merupakan tokoh protagonis dalam cerita yang ditampilkan
sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan
perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa.
Jabrohim benar ketika mengatakan bahwa novel Pasar kuntowijoyo
mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai budaya Jawa dalam perubahan sosial di
sebuah kota kecamatan (1996:5). Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan
kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman
modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar
yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk
memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai
priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank),
progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan
orang Jawa.
4.1.2 Mantra Pejinak Ular
Dua masalah pokok yang menonjol dalam novel MPU adalah perubahan
sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang
berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan
terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial
budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
(mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol
dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan
etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah.
Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan
politisasi kesenian.
Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari lahir di
tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental
dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput
dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni
Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan), sedangkan Sapar adalah bulan ketika
ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula
peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi
sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan
pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan,
dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun.
Latar cerita digambarkan di kaki Gunung Lawu. Kegitan Abu Kasan dan
masyarakat Jawa pedesaan dipusatkan di kaki gunung tersebut, yakni saat
membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat
memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya
menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Di bawah
komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakangerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo,
dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan
berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari,
meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya,
akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan.
Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting
dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khususnya dalam
konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana
Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian
sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil
tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir
novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat
dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”.
Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak
berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan),
bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan
Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya:
“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan
mantra” (MPU:231).
Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan
mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya
dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo
menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar
ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah).
Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal tokoh lain yakni, seorang perempuan
yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan
perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak
menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat
kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik
yang tidak menyukainya.
Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep
wayang dituturkan dengan alur maju dan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh
bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang
dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan
sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat
Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala
desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru
hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis,
bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.
4.1.3 Wasripin dan Satinah
Novel WdS mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam,
khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila
Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama
pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan tokoh Pak Modin yang dipaksa
penguasa mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan
jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah.
Perhatikan kutipan berikut.
Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak
tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat
yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan
bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan
Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan
dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang
dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku
makar...(WdS:231).
Wasripin merupakan tokoh utama novel ini. Ia lahir di sebuah desa di pantai
utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup
miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima
keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang
dosa dan kenistaan. Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di
Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita
lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai
penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang,
ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang.
Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara,
tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak
angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke
telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk
memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia
menjadi terbiasa (WdS:4).
Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku
kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia
kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia
membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan
mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa
dan kehinaan.
Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan
meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara
Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa
inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara.
Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khususnya MPU, novel ini berpijak
pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel
esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis”
mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari kehidupan dan
kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami
keberadaannya oleh orang-orang miskin itu.
Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan
menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia
bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan
yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama
masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai
tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi
pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi
pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah.
Sama seperti dua novel sebelumnya, novel WdS ini pun dikemas dengan
menggunakan alur maju yang menggambarkan kehidupan Wasripin hidup di sebuah
kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu
(sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU), partai penguasa yang dapat
memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi, tentara) dan para penguasa.
Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia
nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar
ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk
mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan,
penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam.
Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan
jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang
tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar
berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen
(1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa
kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan.
Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka
benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang
kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.
4.2 Pemikiran Tentang Sastra
Pada tahun 80-an, selain bergulir isu sastra kontekstual yang digagas Arief
Budiman, dalam sastra Indonesia bergulir pemikiran yang kemudian dikenal sastra
sufistik dan profetik. Selain identik dengan Abdul Hadi W.M., pemikiran ini melekat
pada diri Kuntowijoyo. Dialah tokoh yang menggagas prinsip penulisan sastra
profetik. Di kemudian hari, bukan hanya sastra profetik yang ia gagas, melainkan
ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi
munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Dalam kerangka itulah manusia dan
masyarakat Islam sepantasnya melakukan aksi kemanusiaan dan kemasyarakatan
sehingga mampu memberikan andil bagi perubahan dan perkembangan peradaban
manusia di bumi ini.
Hadi W.M. (2004:45) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah sastra kesufian
dalam arti karya sastra itu dipengaruhi, diilhami, digenangi wawasan kesufian. Beliau
juga menegaskan bahwa sastra sufistik merupakan sastra yang tampil untuk
mengingatkan manusia kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra
sufistik selalu mengaitkan seni dan penciptaan dengan kehidupan yang lebih luas,
mencoba menyatukan kembali bumi dan langit, dunia lahir dan dunia batin, dimensi
sosial dan dimensi transendental, mikrokosmik dan makrokosmik, manusia dan
Khalik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo mengartikan sastra profetik sebagai sastra
yang melakukan perlawanan terhadap sistem sosial yang menurunkan derajat manusia
ke jurang kekerdilan sehingga menyebabkan dehumanisasi. Sebelum tegas menyebut
istilah “sastra profetik”, Kuntowijoyo menyebut istilah “sastra transendental”. Pada
Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo menandaskan
bahwa sastra Indonesia memerlukan jenis sastra transendental, yakni sastra yang
mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis,
industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra transendental menghasratkan agar
manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi, tetapi makhluk yang lengkap jasmani
maupun rohani, berakar di bumi sekaligus menjangkau langit. Dengan kata lain,
terutama
dalam
kerangka
menyatukan/mendialektiskan
Islam,
dikotomi:
tugas
manusia
hubungan
(sastrawan)
manusia
dengan
adalah
Tuhan
(hablumminaallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas).
Seluruh dasar pikir dan konsep sastra transendental di kemudian hari teruraikan
dalam istilah sastra profetik.
Meskipun umumnya karya-karya bernafas Islam yang ditulis sastrawan Islam
dirujuk sebagai sastra sufistik atau profetik, gagasan Kuntowijoyo dan Abdul Hadi
W.M. tidak sesempit itu. Ketika membicarakan sastra sufistik atau profetik, rujukan
mereka cukup luas meliputi karya-karya sastrawan/intelektual/rohaniawan nonmuslim. Goethe, Hoelderlin, Dostoyevski, T.S. Eliot, Walt Whitman, Tagore, dan
Khalil Gibran misalnya disebut Hadi W.M. sebagai sastrawan yang melahirkan
karya-karya sufistik. Karya-karya mereka, seperti karya sastra keagamaan umumnya,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
mencerminkan gerak merdeka menuju Tuhan, menuju penemuan dan pengenalan
kembali hakikat manusia, karena hanya dengan mengingat Tuhanlah manusia akan
mengingat dirinya dan hanya dengan menyelami dirinya manusia dapat mengenal
Tuhan.
Dalam sebuah wawancara dalam Berita Buana (10 Februari 1987),
Kuntowijoyo mengatakan Serat Kalatida Ronggowarsito dan karya Mohamad Iqbal
adalah sastra profetik karena keduanya mengajak manusia untuk berakar di langit,
selain berakar di bumi. Dengan dua contoh sastrawan itu, ia menandaskan baik sastra
transendental maupun sastra profetik memiliki dimensi dan aspek-aspek sosialnya.
Istilah sastra sufistik/profetik sesungguhnya berdekatan dengan istilah sastra
keagamaan yang mengungkapkan pengalaman dan perasaan manusia dalam melakoni
kehidupan, entah perasaan dosa (guilt feeling), takut (fear to God), dan kebesaran
Tuhan (God’s glory). Perbedaannya, jika pun ada, terletak pada eksplorasi gerak
kehendak merdeka individu dalam mengkritisi sekaligus menempuh perjalanan
menuju hakikat diri. Banyak karya sastra bernapas keagamaan/ketuhanan, khususnya
yang berpijak pada ajaran Islam, tampil amat harfiah dan bersifat doktrinal sehingga
kehendak merdeka individu terbatasi dan karena itu nilai kesufistikannya menjadi
cair. Karya bernapas keagamaan yang mengedepankan dakwah tidak akan mampu
mencapai estetika sufistik/profetik yang mendalam. Dalam kerangka sastra
sufistik/profetik, dakwah menjadi bagian penting yang hadir dengan bagian penting
yang hadir dengan sendirinya, menyatu bersama estetika karya itu sendiri.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Pemikiran
sastra
sufistik/profetik
dalam
khasanah
sastra
Indonesia
sesungguhnya sudah ada sebelum abad ke-20. Kehadiran sastra sufistik/profetik tidak
terlepas dari gerakan tasawuf. Jika melihat sejarah perkembangan tasawuf yang
menjadi dasar gerakan sufistik/profetik, dapatlah dikatakan sastra sufistik/profetik
sudah lama usianya. Hamzah Fansyuri, Syamsuddin Sumatrani, Raja Ali Haji,
Nuruddin Ar-Raniri, K.H. Mustafa, Yasadipura I, dan Ronggowarsito adalah sufi-sufi
yang menulis karya sufistik/profetik. Mereka berjasa dalam pertumbuhan tradisi
sastra dan peradaban tasawuf Islam. Tulisan mereka yang berupa karya sastra (suluk)
dimaksudkan untuk mengekspresikan pengalaman keilahian yang bersifat personal.
Dalam karya-karya sejenis itu, unsur dakwah atau doktrin agama (tasawuf) tidak
mengemuka secara harfiah, sesuatu yang jelas berbeda dengan tulisan yang tegas
dimaksudkan untuk menyebarkan suatu paham atau ajaran keagamaan (ketasawufan).
Dalam hal ini Braginski (Anwar, 2007:13) membagi teks tasawuf ke dalam
dua jenis: teks tasawuf puitik dan teks tasawuf (kitab) doktrinal. Gema tasawuf puitik
terus berlangsung hingga perkembangan sastra Melayu (Malaysia dan Indonesia)
mutakhir. Selain berpijak pada ajaran tasawuf atau mistik Islam, teks tasawuf puitik
dalam sastra Indonesia meliputi pula ajaran “kejawen” atau “kebatinan”. Tidak
seperti teks tasawuf doktrinal, teks tasawuf puitik dalam sastra Malaysia dan
Indonesia belum cukup banyak dilakukan.
Pada abad ke-20, mulai tahun 30-an, hembusan sufistik/profetik terasa dalam
karya Hamka, Sanusi Pane, Achdiat K. Mihardja, dan terutama Amir Hamzah. Sastra
sufistik/profetik menjadi amat ramai dan tumbuh subur sesudah tahun 70-an ketika
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sastra Indonesia “kelelahan” setelah bergumul dengan persoalan-persoalan politik
pada tahun 60-an. Gerakan ini mulai berbarengan dengan tumbuhnya hasrat menggali
akar tradisi dan kearifan lokal. Sastrawan yang dapat disebut menghasilkan karya
sufistik/profetik pada masa itu, antara lain: Abdul Hadi W.M., Kuntowijoyo, Danarto,
Taufiq Ismail, Muhammad Diponegoro, Sutardji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer,
Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Damiri Mahmud, hingga kemudian Emha Ainun
Nadjib, Ahmadun Y. Herfanda, Ahmad Syubanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy,
Acep Zamzam Noor, dan Jamal D. Rahman.
Munculnya kecenderungan menulis sastra sufistik/profetik pada tahun 70-80an disemangati ghiroh untuk menolak nilai-nilai hidup yang terjebak pada
materialistis yang dengan sendirinya mengancam nilai-nilai spiritual manusia.
Gerakan manulis karya bernapas keagamaan atau sufistik/profetik, khususnya dalam
tradisi Islam, tidak hanya terjadi di negeri ini. Menurut Kemala, sastrawan sekaligus
kritikus sastra Malaysia, hal sejenis terjadi pula di Malaysia. Jika pada tahun 50-an
sastrawan Malaysia yang menulis sastra bernapas Islam masih tergolong minoritas,
pada tahun 80-an gejala itu sudah menjadi hal yang biasa (Anwar, 2007:14).
Seperti yang telah disebutkan bahwa gerakan sastra sufistik/profetik tidak
lepas dari gerakan tasawuf. Setiap penganut tasawuf umumnya memiliki hasrat untuk
mengekspresikan
pengalaman
personal
keilahiannya
sekaligus
menyebarkan
pengetahuan dan pengalaman tasawufnya kepada khalayak. Kebutuhan akan
penyebaran itulah yang mendorong kepustakaan sufisme dipenuhi kitab doktrinal
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
(tasawuf kitab), riwayat hidup sufi (agriografi), dan naskah-naskah alegoris (tasawuf
puitik) baik puisi maupun baik puisi maupun prosa artistik.
Kepustakaan sufisme alegoris biasanya berupa karya sastra yang kemudian
disebut sastra sufi atau sastra tasawuf. Sastra sufi atau sastra tasawuf pada dasarnya
berbeda dengan sastra sufistik/profetik. Perbedaan itu menurut Badrun (1996:53)
terletak dalam hal isi dan kedudukan penulisnya. Jika sastra tasawuf isinya
mengungkapkan ajaran-ajaran tasawuf dan penulisnya seorang sufi, sastra sufistik
isinya mengungkapkan pengalaman dan penghayatan tasawuf, tetapi penulisnya
belum tentu seorang sufi.
Tokoh-tokoh yang dapat disebut sebagai penulis sastra tasawuf (sastra sufi),
antara lain adalah Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Qunyawi, Nizami,
Sa’di, Iraqi, Hafiz, dan Muhammad Iqbal. Mereka berperan penting dalam
menghidupkan kembali kebudayaan dan peradaban Islam yang hampir mati di negeri
Iran, Turki, dan Indo-Pakistan. Dilihat dari rumusan yang dikemukakan Badrun,
tentunya karya Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufq Ismail, dan
Abdul hadi W.M. , misalnya lebih tepat dikatakan sastra sufistik/profetik daripada
sastra tasawuf/sufi. Mereka adalah sastrawan yang berupaya mengungkapkan
penghayatan dan pengalaman batinnya ketika bersentuhan dengan kehidupan manusia
dengan pendekatan kesufistikan/keprofetikan. Dengan intuisi dan kesadaran
personalnya sebagai penyair, mereka berusaha menangkap cahaya dalam perjalanan
rohani mereka ke posisi diri yang lebih tinggi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
4.2.1 Sastra Profetik
Anwar (2007:153) menjelaskan bahwa Kuntowijoyo sangat menekankan
perlunya kehadiran sastra transendental dalam sastra Indonesia. Sastra tersebut
merupakan kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi/subhumanisasi sebagai
dampak negatif modernisasi yang menempatkan manusia tidak lebih sebagai mesin
dan instrumental dalam logika pasar industri. Sastra transendental dibutuhkan untuk
mengembalikan keberadaan manusia dalam posisinya sebagai makhluk yang utuh
lahir dan batin. Tujuan akhir sastra transendental adalah manusia, bukan estetika.
Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban kita ingin membuat
dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu.
Apa yang digagas dalam sastra transendental pada dasarnya tidak berbeda
jauh dengan konsep sastra profetik. Atau bisa dikatakan sastra profetik merupakan
penyempurnaan konsep Kuntowijoyo mengenai sastra yang mengupayakan manusia
berpijak di bumi (terlibat dengan masalah-masalah manusia/sosial) sekaligus
menjangkau langit (terkait dengan kesadaran transendensi adanya Tuhan). Dua
prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik adalah kesadaran kemanusiaan
dan kesadaran ketuhanan.
Pada dasawarsa terakhir ini sastra Indonesia diramaikan oleh kahadiran sastra
yang diberi label “sastra Islam” atau “sastra ibadah”. Dalam konteks ini, sastrawan
Helvy Tiana Rosa dan Forum Lingkar Pena merupakan lokomotif gerakan tersebut.
Meski belum ada seorang pun dari mereka yang merumuskan secara konseptual sastra
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang mereka anut, dengan mengamati sejumlah karyanya sedikit banyak akan dapat
dipahami keberadaan dan orientasi sastra Islam atau sastra ibadah itu.
Dengan mengamati karya-karya “sastra Islam’ atau “sastra ibadah” model
Forum Lingkar Pena, agaknya ghirah mereka dimaksudkan untuk merespons
kehidupan yang mengarah pada sekularisme dengan menghadirkan tokoh-tokoh,
peristiwa, dan jalinan plot yang berpijak pada doktrin Islam. Motif ibadah secara
penuh tampak disadari, selain strategi tutur dan orientasi karya mereka berbeda
dengan
sastra
sufistik
yang
digagas
Abdul
Hadi
W.M.
atau
sastra
transendental/profetik yang digagas Kuntowijoyo. Perbedaan terutama pada tekanan
“dakwah” yang membuat karya mereka kurang kuat dalam pergulatan dan
perenungan, selain pola hitam putih (kebenaran dan kejahatan) yang cenderung
eksplisit dan harfiah. Dua hal inilah yang justru secara lahir tidak terlalu kentara
dalam karya-karya sufistik/profetik.
Dalam hal sastra, Kuntowijoyo menginginkan selain sebagai ibadah, sastra
harus pula dipandang sebagai sastra murni belaka. Berikut pernyataan Kuntowijoyo
mengenai hal tersebut.
“Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya,
dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, “objektif”
dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan
sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang tidak lebih.
(Kuntowijoyo, 2005:8).
Pernyataan Kuntowijoyo tentu mewujud dalam karya-karyanya. Karya-karya
beliau diberangkatkan dari proses pergulatan dan penciptaan sastra sebagai sastra atau
“sastra murni” sebagaimana yang dikatakannya. Itulah yang menyebabkan, meski
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
kental dengan gagasan dan pesan tertentu, karya-karyanya tidak tampil sebagai
dakwah. Dakwahnya yang berpijak pada transedensi ketuhanan telah melebur dalam
tubuh karya itu sendiri. Strukturasi pengalaman, imajinasi, dan nilai menyatu dalam
karyanya.
Menurut Kuntowijoyo (2005:8), sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang
memberikan dasar kegiatannya karena ia tidak hanya menyerap, mengekspresikan,
tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik berpijak pada prinsip dialektis
sebagaimana umumnya dianut dalam menulis, baik karya sastra maupun karya
ilmiah. Dengan kata lain, sastra dihadapkan pada realitas untuk melakukan kritik dan
penilaian sosial budaya secara beradab. Itu sebabnya sastra profetik adalah sastra
yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan/kemasyarakatan. Oleh karena itu, sastra
profetik tidak terlepas dari kehidupan.
Kaidah pertama adalah sastra profetik bersandar pada kaidah “strukturalisme
transendental”. Dasar pemikiran strukturalisme transendental itu adalah kitab suci
(misalnya Al-Qur’an). Bagi Kuntowijoyo, semua kitab suci dan agama selalu berupa
struktur sekaligus bersifat transendental. Dengan makna struktur dimaksudkan apa
yang terdapat dalam kitab suci selalu koheren (utuh) ke dalam dan konsisten ke luar,
elemen yang satu tidak bertentangan dengan yang lain karena merupakan satu
kesatuan.
Adapun yang dimaksud dengan transendental tidak lain karena semua kitab
suci merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Transenden. Oleh karena itu, semua
kitab suci melampaui zamannya meskipun sudah tua dan lahir pada suatu zaman,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
kenyataannya masih selalu relevan dengan zaman kapan pun. Jadi, karya sastra
profetik adalah karya sastra yang ketat dalam struktur (ada pergulatan bentuk ucap)
sekaligus memiliki kaitan dengan Yang Maha Abadi. Tidak mengherankan bila karya
sastra yang sebenar-benarnya selalu melampaui zamannya. Hal yang sering berbeda
dengan
produk
seni
atau
budaya
lain,
terutama
yang
tidak
menyadari
ketransendentalannya.
Kaidah kedua adalah sastra sebagai aktivitas ibadah. Jika sastra profetik
bersandar pada prinsip struktur dan transendental, suka tidak suka sastra profrtik
adalah sastra orang-orang beriman. Di tangan orang beriman seluruh kegiatan
manusia akan dipandang sebagai aktivitas ibadah. Oleh karena itu, sastrawan yang
menulis sastra profetik adalah sastrawan yang harus menjalankan agama secara
kaffah (lengkap). Kuntowijoyo mengibaratkan sastrawan yang mendirikan sholat,
menunaikan zakat, berhaji dengan uang halal, berpuasa, akan disebut belum kaffah
jika tidak meniatkan kegiatan sastra sebagai aktivitas ibadah.
Keimanan dan aktivitas ibadah yang kaffah menjadi landasan sastra profetik
karena sastrawan beriman menyadari Tuhan dan itu Maha Segalanya. Pada titik ini
Tuhan bersifat totaliter karena totalitarian memang hak-Nya sebagai Khalik. Akan
tetapi, kekuasaan Tuhan berbeda dengan kekuasaan manusia. Jika kekuasaan manusia
bersifat mengikat, kekuasaan Tuhan bersifat membebaskan.
Kaidah ketiga adalah keterkaitan antarkesadaran. Konsep kaffah dalam Islam
tidak hanya menuju kesadaran keimanan kepada Tuhan saja, tetapi kesadaran
manusia dalam posisinya sebagai manusia. Dengan menyandarkan diri pada prinsip
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablumminallah
(hubungan manusia dengan Tuhan), dalam kaidah ketiga ini Kuntowijoyo
menegaskan adanya keterkaitan antara kesadaran kemanusiaan dengan kesadaran
ketuhanan. Kegiatan ibadah kepada Tuhan (ibadah ritual) sudah selayaknya
sebanding dengan kegiatan ibadah kepada sesama manusia/masyarakat (ibadah
sosial). Ini pulalah yang menjadi dasar pandangan strukturalisme transendental
Kuntowijoyo.
Kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan adalah dua tema besar
dalam sastra....Bandul dua kesadaran itu harus berimbang, tidak bisa salah
satunya dimenagkan. Kesadaran ketuhanan melalui sufisme yang ekstrem,
dengan uzlah (mengasingkan diri), wadat (tidak kawin), dan kerahiban
dilarang dalam Islam. Sebaliknya, perjuangan untuk manusia (kemerdekaan,
demokrasi, HAM) juga harus memperhatikan hak-hak Tuhan. (Kuntowijoyo,
2005:10).
Konsep sastra sufistik Hadi W.M. pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep
sastra profetik Kuntowijoyo. Keduanya menghasratkan sastra, yang selain menggulati
masalah-masalah sosial manusia, juga mengaitkan diri dengan kekuasaan Tuhan.
Akan tetapi, Kuntowijoyo memilih istilah profetik yang berasal dari kati prophet
(Nabi), bukan sufistik yang berasal dari kata sufi. Pilihan itu bukan tanpa alasan.
Dengan mencermati kutipan di atas, praktik sufisme cenderung identik dengan
perilaku yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan istilah
profetik agaknya Kuntowijoyo ingin menegaskan bahwa gagasannya ditekankan pada
perilaku nabi: mengurus dunia (umat) dan menghamba kepada Tuhan. Itulah
selayaknya yang dilakukan manusia, mengikuti sunah nabi, khususnya dalam konteks
aplikasi kegiatan menulis sastra.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kuntowijoyo merumuskan sastra profetik, selain berpijak pada perjalanan
sastra Indonesia, pastilah berpijak pada kenyataan manusia dan masyarakat di zaman
modern ini. Manusia modern yang cenderung ditempatkan sebagai alat, instrumen,
dan mesin di tengah banjir produksi massa (budaya massa) yang digerakkan industri
kapitalisme akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai manusia massa. Sebagai
manusia massa, selain segi pribadi yang lemah, kekuatan modernitas menjadikannya
tidak lebih sebagai eksemplar dari aktivitas kehidupan yang menjelma mesin. Pada
saat itulah kemanusiaan manusia terancam, di samping kesadaran ketuhanannya. Pada
posisi itu sastra profetik tertantang untuk merespons dan menggulatinya.
Kemudian Kuntowijoyo merumuskan etika profetik. Sumber etika tersebut
tentu saja perilaku nabi (prophet), dalam konteks Islam adalah Nabi Muhammad
SAW. Kuntowijoyo meyakini tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang
pernah dilakukan nabi. Tugas itu adalah amar ma’ruf (mengajak pada kebenaran),
nahyi munkar (mencegah kemunkaran), dan tu’minunabillah (beriman kepada Allah).
Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai humanisasi (amar ma’ruf), liberasi
(nahyi munkar), dan transendensi (tu’minubillah).
Humanisasi dilakukan dalam rangka melawan dan melenyapkan keadaan
dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak negatif kemajuan
industri dan teknologi. Manusia mesin yang hanya memiliki satu dimensi, yang hanya
dihitung sebagai angka dalam kalkulasi pasar dengan orientasi material, sepantasnya
dikritik dengan mengedepankan semangat humanisasi (pemanusiaan) yang berpijak
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pada ajaran-ajaran Tuhan. Segala tindak-tanduk manusia yang cenderung
merendahkan derajatnya sebagai manusia dalam paradigma Tuhan harus diperbaiki.
Oleh karena itu, liberasi perlu dilakukan untuk mencegah dan melawan
sebagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan sekelompok manusia terhadap
manusia lainnya. Dalam hal inilah penindasan dilakukan pejabat negara, permainan
politik yang kotor, penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi,
penindasan laki-laki atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama
tertentu kepada etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan
menurut hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan.
Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnkan oleh etika transendensi,
yang mengikatkan kembali keberadaan dan perilaku manusia di bumi (antarmanusia
dan antramakhluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Di sinilah
bersatupadunya kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap.
Dan di sini pulalah tercapai apa yang disebut perilaku kaffah (utuh dan lengkap),
yang mana ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama
manusia (termasuk menjaga alam dan makhluk Tuhan lainnya). Seperti pernyataan
Kuntowijoyo berikut.
Bagi saya, sastra saya semua sebenarnya adalah transendensi. Saya menulis
karena bagi saya hidup ini adalah misteri yang mengagumkan....
Seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia ia harus
menjadi saksi eksistensi Tuhan. Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi
rahasia Tuhan....Artinya pengarang adalah saksi kreatif-imajiner “misteri”
kehidupan manusia ciptaan-Nya. (Kuntowijoyo, 2005:16).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Jika diamati secara seksama, seluruh karya Kuntowijoyo pada dasarnya
mengandung kaidah dan etika profetik sebagaimana dikemukakan di atas. Tentu saja
setiap karya Kuntowijoyo menunjukkan tekanan dan kecenderungan yang berbeda
untuk setiap kaidah atau etika profetik yang dirumuskannya. Kumpulan puisi Suluk
Awang-Uwung (1975) dan novel Khotbah di Atas Bukit (1976), misalnya tampak
lebih memberikan penekanan perlunya manusia untuk mengikatkan diri pada
kesadaran ketuhanan yang secara fitrah telah bersemayam dalam dirinya. Meski Suluk
Awang-Uwung berpijak pada referensi kejawen dan Khotbah di Atas Bukit berpijak
pada renungan eksistensi, tetapi kesadaran ketuhanan (Yang Maha Gaib) amat kental
terasa. Perlu dicatat, karena kesadaran ketuhanan itu muncul sebagai respons terhadap
kehidupan modern yang materialistis, dalam dua karya di atas etika humanisasi dan
liberasi juga terasa.
Demikian pula dengan novel Mantra Pejinak Ular (2000) dan Wasripin dan
Satinah (2003) yang cenderung memberi tekanan pada segi etika liberasi, tetapi etika
humanisasi, dan transendensi di beberapa bagian kedua novel itu tetap muncul di
permukaan. Tema politisasi kesenian, kebudayaan, dan agama yang hadir dalam
novel Mantra Pejinak Ular, selain benar-benar melawan bentuk-bentuk penindasan,
juga mengupayakan terciptanya suatu tatanan masyarakat dan negara yang
menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan yang terbebas dari mitos dan
syirik. Begitu pula tema mitos pembangkangan rakyat kecil (Islam) yang menindas
orang-orang tidak berdaya dalam Wasripin dan Satinah, akhirnya mengusung
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
gagasan untuk memanusiakan hubungan antara mereka yang berkuasa (para pejabat
dan pimpinan partai) dan rakyat biasa.
Demikian uraian mengenai konsep sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo.
Selain rumusannya cukup ketat, koheren, dan konsisten sebagai sebuah struktur ilmu
(paradigma) yang berbasis manusia dan Tuhan, seluruh karyanya mendukung
keutuhan kaidah dan etika profetik yang digagasnya. Disebabkan Kuntowijoyo
menganggap karya sastra adalah strukturisasi pengalaman dan ia mengaku menulis
begitu saja apa yang dirasa baik untuk ditulis, boleh jadi rumusan konsep sastra
profetik lahir sebagai akibat pergulatannya dengan sastra, ilmu pengetahuan, dan
peristiwa-peristiwa empiris di sekitarnya. Itu sebabnya sastra dalam pandangan
Kuntowijoyo kurang lebih berusaha menjangkau langit (kesadaran ketuhanan) dengan
tetap berpijak di bumi (kesadaran kemanusiaan) (Anwar, 2007:161).
Sosok Kuntowijoyo sendiri sebagai sastrawan dan banyak hal mirip dengan
tokoh ciptaannya sendiri dalam novel Mantra Pejinak Ular, yakni Abu Kasan Sapari.
Sebagai
dalang
(seniman),
sebagimana
Kuntowijoyo
sendiri,
Abu
Kasan
menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan memahami kehidupan
masyarakat di sekelilingnya, sekaligus sebagai wahana untuk mengenali Sang
Pencipta. Oleh karena itu, berbeda dengan kekuasaan yang bersifat memaksa,
kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah wahana atau
aktivitas simbolik untuk membujuk (bukan menggurui) masyarakat ke arah yang
lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah proyek humanisasi dan liberalisasi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang berbasis transendensi dilangsungkan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo
melalui tokoh Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular berikut.
“Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan
memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian
itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya.
Orang Jawa itu tanggap Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan
dikatakan semuanya.”(MPU:83).
Dengan demikian, hampir semua novel Kuntowijoyo membersitkan filosofipsikologi manusia dan budaya Jawa, konsep dan gagasan yang berpijak pada
pemikiran Islam, realitas dunia kehidupan sehari-hari, mistik yang dihadapkan
dengan ilmu sosial dan empiris, untuk akhirnya mengelaborasi spritualitas manusia
dan menautkannya pada segi transendensi manusia itu sendiri. Sebagai karya
intelektual, karya Kuntowijoyo selalu bertendens pada keyakinan gagasan
sebagaimana dikonsepkannya sendiri, termasuk konsepnya mengenai sastra
transendental/sastra profetik.
4.2.2. Dialektika Dua Dunia
Putra (Anwar, 2007:114) menyebut bahwa novel-novel Kuntowijoyo, kecuali
Khotbah di Atas Bukit, dapat dikatakan dongeng etnografis kehidupan manusia dan
masyarakat Jawa dalam perubahan sosial dari budaya agraris ke budaya kota. Dengan
gaya realisme yang melukiskan manusia di sebuah masyarakat, novel-novel
Kuntowijoyo kental dengan informasi etnografis, bahkan informasi kesejarahan.
Akan tetapi, sebagai novel pastilah Kuntowijoyo tidak bermaksud menyampaikan
informasi etnografis dan unsur kesejarahan, melainkan memandang bagaimana
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
perubahan sosial berlangsung di suatu masyarakat yang dengan sendirinya mengubah
sistem masyarakat. Perubahan itu sendiri merupakan gerak sejarah yang niscaya
dalam pertumbuhan masyarakat.
Novel-novel Kuntowijoyo konsen merenungi masalah-masalah kemanusiaan
dan kemasyarakatan. Rujukannya pada realitas tertentu, bahkan peristiwa sosial dan
sejarah, tidak terlalu sulit dibuktikan. Novel Kuntowijoyo lebih tepat disebut sebagai
novel sosial karena sebagaimana dikonsepkannya, novel sosial dapat menggunakan
peristiwa sejarah kontemporer sebagai bahannya. Peristiwa sejarah kontemporer
barangkali di zaman pengarang hidup hanya disebut sebagai peristiwa sosial saja.
Akan tetapi, pada suatu hari bukan tidak mungkin peristiwa sosial sudah dipahami
sebagai peristiwa sejarah.
Seperti
umumnya
cerpen-cerpen
Kuntowijoyo,
novel-novelnya
juga
dituturkan dengan gaya realisme. Realisme adalah gaya penulisan yang menurut
Lukacs merupakan jalinan lengkap hubungan antara manusia, alam, dan sejarah. Oleh
karena itu, tugas seorang penulis realis adalah meluaskan kecenderungan dan
kekuatan khusus dalam mewujudkan perasaan dan tindakan individu. Seorang realis
senantiasa mengintegrasikan individu ke dalam keseluruhan masyarakat dan
menginformasikan setiap kekhususan dalam kehidupan sosial dengan kekuatan
“sejarah” atau sebuah pergerakan (Eagleton, 1976:28).
Kuntowijoyo tentu bukan seorang Marxis, meski karya-karyanya menggali
persoalan masyarakat kecil, miskin, dan terpinggirkan terutama oleh perilaku politik
rezim Orde Baru dan kerakusan kapitalisme yang membendakan manusia. Sementara
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
itu, dari bentuk ucap karyanya, khususnya cerpen dan novel, Kuntowijoyo bukan
jenis novelis yang amat peduli dengan formalistik suatu bentuk ucap. Isi atau pokok
soal (subject matter) sering menjadi perkara yang lebih penting yang kemudian
menentukan kehadiran bentuk karya itu sendiri.
Dari segi penuturan, hampir semua karya-karya Kuntowijoyo cenderung
dituturkan dalam kombinasi narasi telling (ceritaan) dan showing (ragaan). Suatu
gaya yang sebenarnya cukup umum dilakukan para pengarang Indonesia, kecuali
Budi Darma yang cenderung bergaya telling atau Umar Kayam dan Putu Wijaya yang
umumnya bergaya showing. Jika cerita yang menggunakan gaya telling
menitikberatkan pada jalinan narasi, maka gaya showing berusaha menghadirkan para
tokoh secara langsung, terutama malalui dialog, sehingga seakan langsung melakukan
“pertunjukan” di hadapan para pembaca (Boot, 1973:215). Pendek kata, cara bercerita
Kuntowijoyo memadukan gaya telling dan showing.
Novel-novel Kuntowijoyo menghadirkan dua dunia yang bersebrangan. Dua
dunia itu berdialektika yang kemudian memunculkan semacam sintesis. Selain gaya
berpadunya penceritaan telling dan showing, unsur-unsur kisah lainnya menunjukkan
dua dunia yang berpadu: tokoh tua-muda dan tokoh pria-wanita, sikap kasar-lembut
dan jahat-baik, latar kota-desa dan pasar-mesjid, keberadaan yang lahir-yang gaib dan
manusia-Tuhan, peristiwa budaya tradisi-modern dan mitos-realitas. Dikotomi itu
berhadapan, tetapi hampir tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama penting, saling
terkait, dan tidak terelakkan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Pola cerita yang dibangun secara dikotomis itu adakalanya menjadi kisah
tampak sekali hitam-putih. Dengan sendirinya, di luar dunia yang dihadapkan masih
banyak segi dan masalah yang tidak tergali. Pergulatan bahasa yang digunakan
Kuntowijoyo tampak lebih menonjol sifat alegoris dan didaktisnya. Selain karakter
tersebut, keyakinan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo turut memengaruhi
kecenderungan hitam-putih novel-novel tersebut. Itu sebabnya pesan atau gagasan
dalam karya Kuntowijoyo tidak terlalu sulit untuk digali dan dirumuskan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB V
MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO
5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa
Secara etimologi kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang berarti
dunia, aturan, atau alam, dan logos yang berarti rasio atau akal. Jadi, kosmologi dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia), akan tetapi
dikatakan bahwa kosmologi merupakan ajaran atau ulasan tentang dunia (Bertens,
1985:13).
Kosmologi juga merupakan telaah mengenai alam semesta skala besar. Istilah
kosmologi yang berasal dari bahasa Yunani kosmos diterapkan pertama kali oleh
Pythagoras (580-500 SM) untuk menggambarkan keteraturan dan harmoni
pergerakan benda-benda langit. Istilah ini dipakai lagi dalam pembagian filsafat
Christian Wolf (1679-1754). Dalam pengertian Wolf ini, alam semesta diselidiki
menurut menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan
maknanya. Titik tolak kosmologi adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta
dunia yang dialami manusia.
Hegel berpendapat bahwa topik pokok kosmologi meliputi persoalanpersoalan contingensi (kemungkinan, hal-hal yang kebetulan), necessity (keharusan),
limitations and formal laws of the world (batas-batas formal dalam hukum-hukum
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
formal alam), dan the freedom of man and the origin of evil (kebebasan manusia dan
asal mula kejahatan) (Minsarwati, 2002:42).
Apabila keempat topik pokok yang dikemukakan Hegel tersebut dihubungkan
dengan keberadaan suatu mitos maka terdapat hubungan yang erat antara keduanya,
karena dalam tema sentral suatu mitos adalah manusia (antroposentris) dan dunia
(kosmogenesis).
Kosmologi sebagai suatu kepercayaan dan asumsi orang tentang alam, yaitu
makhluk-makhluk dan kekuasaan yang mengandaikannya, bagaimana organisasi
alam semesta itu, apa peranan dan tempat manusia di dalam alam, jawaban yang
diberikan bisa berupa suatu kemungkinan ataupun suatu keharusan yang terjadi pada
mitos. Ternyata antara manusia dan alam mempunyai hubungan yang erat sebab
manusia secara obyektif tidak hanya merupakan bagian dunia saja, tetapi juga
menguasai diri dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia. Ini
berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh
merupakan refleksi atas dunia. Jadi, manusia dan dunia saling mengimplikasikan.
Peranan mitos dalam diri manusia terungkap pula dalam antropologi budaya,
karena mitos sebagai suatu cerita suci berbentuk simbolis, yang mengisahkan
serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahanperubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrat manusia,
pahlawan dan masyarakat, sebagai suatu semantik budaya khas, cerita sakral tentang
keadaan purba masa lampau yang membahas hal-hal yang tidak dikehendaki dan
mencoba menjawab sebagai masalah dasar.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Menurut Syaifuddin (2005:79) kajian kosmologi selalu bertolak dari kisahkisah yang diistilahkan dengan mitos yang berasaskan tradisi lisan yang merupakan
sebagian dari budaya rakyat. Hal ini tampak misalnya pada keterkaitan hubungan
sifat bahasa, sistem kepercayaan, agama, dan adat dengan kosmologi budaya
masyarakat Melayu Pesisir Timur. Pada masyarakat Melayu ini, sifat manusia, alam
semesta, alam gaib, kehidupan manusia dan magik lebih kentara. Keterkaitan
hubungan ini sekaligus menunjukkan kepercayaan mereka terhadap kebudayaannya.
Hubungan antara manusia dan alam dalam pandangan filsafat Jawa pun ini
sangat erat kaitannya, karena secara kosmologis kehidupan di dunia merupakan
bagian dari kesatuan yang meliputi segalanya. Dalam kesatuan itu, semua gejala
mempunyai tempat dan berada dalam hubungan-hubungan yang saling melengkapi
dan terkoordinasi satu sama lain. Kesatuan eksistensi itu mendapatkan titik
puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya, pada Yang Maha Satu (Hyang
Suksma), yaitu hidup (urip). Darimana suksma eksistensi itu berasal dan kepada siapa
harus kembali (Mulder, 1985:17-18).
Pemikiran mitologis pertamakali diruntuhkan ketika muncul pemahaman
kosmologi pada zaman Yunani kuno dengan dimulai suatu pertanyaan: apakah asal
mula dari kehidupan itu atau apa penyusun dasar dari kehidupan? Cetusan itu
pertamakali muncul pada filsuf Thales yang mengatakan bahwa alam semesta
terbentuk dari air, kemudian Anaximenes berpendapat bahwa awal mula kehidupan
dari udara, sedangkan Anaximander mengatakan bahwa awal mula kehidupan dari
apeiron, dan Heroklitos meyakini bahwa awal mula kehidupan berasal dari api
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
(Bertens, 1984:26). Ketiga komponen penyusun kehidupan ini berupa air, udara, dan
api merupakan substansi penyusun dasar alam semesta, dan ketiga substansi itu
semua ada pada diri manusia karena manusia hidup memerlukan air, udara, dan api.
Sedang dalam alam semesta tidak didapatkan unsur manusia. Jadi, di sini manusia
memerlukan sekali kehadiran alam sehingga terjadi hubungan yang erat antara
manusia dan alam.
Pendapat ini sesuai dengan pendapat Strauss (Minsarwati, 2002:46) bahwa
alam menjadi suatu pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia
bukanlah makhluk di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan
sebagai bagian dari alam; manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang
menentukan hidup dan pikirannya. Manusia bukan subyek bebas, otonom, sadar,
yang mahakuasa, melainkan ia memainkan peranan sebagai sarana dalam proses
pemekaran diri alam itu.
Manusia juga sering menggunakan segi-segi yang lembut dalam alam raya
untuk menggambarkan kelembutan manusia dan menggunakan sifat-sifat alam yang
perkasa untuk menggambarkan seorang prajurit yang sedang maju perang.
Berdasarkan uraian di atas, terlihatlah bahwa manusia Jawa dalam novelnovel Kuntowijoyo berkedudukan sebagai makrokosmos (jagad besar) karena di
dalam tubuh manusia terdapat unsur air, udara, dan api. Sedangkan
pasar dan
pedesaan yang merupakan salah satu bagian dari lingkungan alam berlaku sebagai
mikrokosmos (jagad kecil). Keduanya ternyata mempunyai hubungan yang erat yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan satu kesatuan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dengan kata lain, manusia tanpa dunia adalah tidak mungkin, sebaliknya dunia tanpa
manusia bukanlah dunia manusia. Kemanunggalan alam dan semua makhluknya yang
ada di dalam itu merupakan unsur pokok dalam pikiran orang Jawa. Jadi, dapat
dikatakan bahwa filsafat Jawa bertendensi monistik. Semua berasal dari Tuhan
sebagai pencipta alam dan akhirnya kembali pada-Nya.
5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa
Salah satu mitos yang bercorak kosmologis tercermin pada masyarakat
pedesaan yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara tradisi. Masyarakat Jawa
memahami benar anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa, untuk itu mereka
melakukan upacara atau selamatan secara turun temurun yang dimaksudkan untuk
memeroleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan-gangguan makhluk halus.
Masyarakat Jawa meyakini bahwa selain manusia sebuah desa juga dihuni oleh
makhluk halus.
Keyakinan adanya makhluk halus ini pun dirasakan oleh Abu Kasan Sapari
dalam novel MPU, berikut cuplikannya.
Orang Jawa bilang jim untuk jin...Jin adalah makhluk alamiah, seperti halnya
batu, bukit, dan langit...Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan,
tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab,
di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa
saja. Dan rajanya jin ialah Nyi Lara Kidul (MPU:36-37).
Sebagai wujud penghargaan kepada makhluk halus tersebut, masyarakat Jawa
memberikan upeti, yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Menurut
Koentjaraningrat (2002:84) bahwa tindakan kehidupan keagamaan orang Jawa
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara
keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacammacam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan
pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.
Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi
slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan
ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Slametan
Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas
sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan
pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh
tersebut (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasirelasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi
sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan,
suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan
keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara
ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai
kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat
bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan
manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan
Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi
kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan.
Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal.
Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh
banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masingmasing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya
menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang
oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah
bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan
secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan
cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20
mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal
oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat.
Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang
menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan.
Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata
slamet ( Arab : salamah ) yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah
kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara
di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti
(upacara menginjak tanah), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan
penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk
menahan kekuatan kekacauan (tolak bala). Menurut Pamberton (Mulder, 2005:89),
praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar
dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu
desa ( dhanyang ).
Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern
masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut.
Selamatan pasar baru! Dan dia datang untuk itu! Ikut bersenang bersama
keruntuhan pekerjaannya! Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah
selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan
itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya (P:57).
Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan
segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya
untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada
akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru
miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali
mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal
Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri.
Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat
Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan
untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai
alat untuk melancarkan usahanya semata.
b. Sesajen
Tradisi sesajen (sajen) dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk
memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap
sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon
wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama
asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan
sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat Jawa.
Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil,
yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah,
bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat
dari sebuah bambu (acak).
Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada
saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang
kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di
persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam (malem Jemuwah).
Perhatikan kutipan berikut.
Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari
jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada
restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang
menyan setiap malem Jum’at (WdS:112).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang
dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith
(Sani, 2008:2) menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat
pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk
berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja,
tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian
dari kewajiban sosial.
c. Penamaan Anak
Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu
memperhitungkan hari-hari baik. Orang Jawa mengenal adanya perputaran musim
yaitu, waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran. Hari pasaran tersebut yakni,
Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kemudian perputaran waktu selama tujuh hari
yang disebut Saptawaca yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan
Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut Pancakara,
berhubungan dengan mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu
memerintah dunia untuk pertamakalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian
yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasa Kliwon
dan Jum’at Kliwon dianggap sebagai hari sakral karena pada hari-hari itu banyak
makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia.
Realitas budaya Jawa saat pemberian nama pada anak tergambar melalui
tokoh Satinah. Orang tua Satinah berulang-ulang mengganti nama anaknya karena
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dianggap kurang serasi memakai nama tertentu. Ada kepercayaan bahwa nama
menentukan nasib si anak kelak. Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan
jodoh karena huruf pertama dari nama diyakini dapat menentukan jodoh-tidaknya
pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu.
Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem…Wali artinya
orang suci, penyebar agama Islam di Jawa…Pekerjaan paling sulit, memilih
nama itu pun selesai…nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung
seperti dia…karenanya nama harus serba baik. Sati itu bahasa Hindu, artinya
setia (WdS:42-43).
Kecenderungan sikap tersebut disebabkan karena masyarakat Jawa sebagian
besar adalah petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan
kedekatan dengan alam. Oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya
anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus
melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya
ketidakselarasan (disharmoni) dan ketidaksinambungan (diskontiniusitas) kosmos,
yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum
mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos
sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah
(status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang
dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara
empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media
yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan ( das sein ), sekaligus
sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
perubahan, masyarakat Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan
berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi.
d. Pengkultusan Orang
Mitologisasi orang yang diyakini masyarakat Jawa hingga sekarang yaitu
mitos tentang Walisongo. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga. Sebelum menjadi
penyebar agama Islam di Jawa, konon Sang Wali bertemu dengan Nabi Khidir
sehingga memiliki kesaktian tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Para
Wali Sanga (Sembilan Wali) inilah yang berhasil mengubah suatu sistem hierarki
kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan YME
saja dan bukan sebagai Tuhan.
Hal serupa pun diyakini masyarakat dialami tokoh Wasripin dalam novel
WdS. Wasripin diyakini masyarakat di Perkampungan Nelayan pernah didatangi Nabi
Khidir dan memiliki kesaktian. Tokoh Wasripin direfleksikan sebagai perwujudan
sikap baik yang setara dengan Nabi Khidir yang membawa keberuntungan pada siapa
pun. Akibatnya apa yang dilakukan Wasripin akan dilakukan juga masyarakat
tersebut.
Kabar bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu telah menular pada
semua orang (WdS:29).
…
Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya…perolehan nelayan
selalu besar…bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan…(WdS:101)
…
Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama Wasripin,
ikan-ikan seperti ditumpahkan dari langit. Anak saya demam, saya sebut nama
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Wasripin… sembuh. Suami saya pegel…Wasripin datang memijat…paginya
ia bekerja…Istri saya bengek…sembuh. (WdS:242-243)
Penanaman watak pengkultusan ini direpresentasikan melalui media jual beli.
Penduduk yang notabene nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang-orang di
pasar. Orang-orang di pasar menyampaikan pada keluarganya. Para nelayan dan
orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh desa dan kecamatan.
Terkait dengan perilaku mitos dan perilaku kejawen, masyarakat Jawa
menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol memiliki kadar kekayaan
makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar
Islam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan
mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih merupakan
mitos daripada sejarah.
e. Ritual Sowan dan Ruwatan
Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan orang Jawa begitu kuat
sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Akibatnya, memunculkan
budaya sowan dan ruwatan pada masyarakat sebagai ritual buang sial. Mereka
memutuskan untuk melaksanakan ritual tersebut karena telah mengakar sejak lama.
Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus SD
tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi kesialan pada ayah-ibunya malahan
bertambah... Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar dan minta nama
baru lagi …Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat
dia akan dimakan Batara Kala (WdS:43-45).
Orang tua Satinah dalam novel WdS melakukan ritual sowan dan ruwatan
untuk melindungi putrinya karena Satinah merupakan anak tunggal dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
keluarganya. Upacara ruwatan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap
bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bhatara Kala, yakni Dewa
Kehancuran. Berbagai jenis kombinasi dalam satu keluarga yang dianggap berbahaya,
menyebabkan bahwa anak-anak tersebut mudah terkena bahaya, penyakit, dan
kematian karena mereka menjadi mangsa Bathara Kala itu. Berbagai kombinasi anak
yang berbahaya adalah:
1. Anak tunggal (ontang-anting).
2. Anak pria dengan beberapa adik wanita (pancuran piniring sendhang).
3. Anak wanita dengan beberapa adik pria (sendhang piniring pancuran).
4. Dua bersaudara : seorang pria dan seorang wanita (kedhana-kedhini).
5. Empat bersaudara : dua pria dan dua wanita (sekar sepasang).
6. Anak kembar (putra kembar).
7. Anak pria dengan seorang kakak dan seorang adik wanita (pancuran kapit
sendhang).
8. Anak wanita dengan seorang kakak pria dan adik pria (sendhang kapit
pancuran).
9. Anak pria di antara tiga saudara wanita (uger-uger lawang).
10. Anak wanita di antara tiga saudara pria (upit-upit).
11. Empat anak yang semuanya pria (putra sarombe).
12. Empat anak wanita yang semuanya wanita (putra sarimpi).
13. Lima anak yang semuanya pria (putra pandhawa).
14. Lima anak yang semuanya wanita (putra pandhawa padangan).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Ritual ruwatan juga perlu diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat
menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu penggiling rempah-rempah
(gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi, jatuh atau pecah. Apabila
orang memutuskan untuk mengadakan ritual ruwatan maka seorang dhukun petangen
dimintai pertolongan untuk memilih hari baik untuk menyelenggarakan upacara
tersebut.
Pemahaman masyarakat tentang sowan dan ruwatan ini berasal dari pengaruh
agama Hindu di Jawa. Tradisi itu mengakar melalui dongeng-dongeng yang
disampaikan masyarakatnya secara turun-temurun. Menurut Danandjaja (2002:50),
cerita-cerita seperti itu digolongkan pada jenis mite (myth). Mite adalah cerita prosa
rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya
cerita. Mite menceritakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa
terjadi di dunia lain, atau dunia yang bukan kita kenal seperti sekarang ini.
5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa
Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup.
Pandangan ini terbentuk oleh suatu cara berpikir dan merasakan tentang nilai-nilai,
organisasi sosial, perilaku, peristiwa-peristiwa, dan segi-segi lain dari pengalaman.
Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman itu dan pada
gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Pandangan hidup orang Jawa berakar pada adat-istiadat (tradisi) agama,
kepercayaan, dan kebudayaan. Pandangan hidup tersebut pada dasarnya menekankan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
keselarasan dan keseimbangan, baik terhadap diri sendiri, alam, maupun Tuhan.
Sikap hidup seperti ini sudah diatur dalam macam-macam peraturan seperti kaidahkaidah, etika Jawa (tata krama) yang mengatur keselarasan dalam masyarakat,
peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan, dan kaidahkaidah moral yang menekankan sikap dan perbuatan moral. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Mulder (2005:20) bahwa javanisme yaitu agama beserta
pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan
keseimbangan, sikap “nrimo” terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil
menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta.
Hakikat hidup yang benar adalah hidup berselaras dengan diri sendiri, masyarakat,
dan Tuhan.
Pada hakikatnya sistem kepercayaan orang Jawa bersumber pada sistem etika
dan pandangan hidup. Dengan demikian, dalam sistem kepercayaan Jawa terdapat
serangkaian pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan serta cara-cara
mencapai sesuatu yang sebaik-baiknya. Bermacam-macam pengetahuan, petunjuk,
perintah, resep, dan strategi-satrategi adalah untuk menyesuaikan diri dan
membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan
pandangan hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, di sini dijumpai berbagai
aturan dan ukuran untuk menilai tujuan-tujuan hidup dan menentukan mana yang
lebih lama dan berharga, serta beragam cara ini juga mengidentifikasi bahaya yang
mengancam dan bagaimana cara mengatasinya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Serangkaian pengetahuan tersebut dipenuhi oleh kompleksitas nilai yang
mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan sang
pencipta serta alam adikodrati. Oleh karena itu masyarakat pedesaan Jawa dalam
menghadapi sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbanganpertimbangan rasional, akan tetapi juga melibatkan emosi, sehingga seolah-olah telah
menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan yang dijadikan pedoman
hidupnya.
Orang Jawa percaya terhadap dunia gaib, khususnya yang tinggal di daerah
pedesaan. Menurut kepercayaan mereka dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk halus
dan kekuatan-kekuatan gaib. Pandangan hidup dan kejadian-kejadian yang dialami
berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Melalui bersemedi atau bertapa,
orang akan dapat memeroleh kekuatan sakti. Kekuatan itu dapat dipakai untuk
mengabdi pada masyarakat dan bisa juga dipergunakan untuk kepentingan pribadi
yang dapat merugikan orang lain.
Orang Jawa tidak membedakan antara sifat religius dan bukan religius.
Interaksi sosial sekaligus dinyatakan sebagai sikap terhadap alam yang mempunyai
relevansi sosial. Pandangan terhadap orang bersifat keseluruhan, artinya tidak ada
pemisahan secara tegas antara individu dengan lingkungan, golongan, zaman,
maupun dengan alam adikodrati. Oleh sebab itu, dengan sendirinya orang Jawa tidak
mampu memisahkan urusan dunia sini (empirik) dengan dunia sana (metaempirik)
(Suseno, 2003:82).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Apabila diperhatikan, dalam pandangan hidup maupun kepercayaan orang
Jawa, akan tampak secara khusus alam pikiran orang Jawa yang memercayai hal-hal
gaib. Untuk menggambarkannya maka orang Jawa mengenal apa yang disebut
dengan simbol dan mitos. Dunia Jawa adalah dunia yang penuh dengan simbol,
karena itu untuk memahami orang Jawa kita harus memahami simbol-simbol yang
melingkupinya.
Pandangan hidup orang Jawa, khususnya masyarakat pedesaan percaya pada
hal-hal yang bersifat mitis. Banyak cerita-cerita atau gugon tuhon yang muncul dalam
berbagai versi tentang mitos terjadinya sebuah desa atau kerajaan di Jawa. Penduduk
tersebut mengenal pendiri desa atau kerajaan melalui cerita-cerita secara turuntemurun. Asal-usul tokoh itu selalu dihubungkan dengan cerita-cerita yang terdapat
dalam pertunjukan wayang atau ketoprak, yaitu para ksatria keraton yang memiliki
kesaktian dan pengikut. Kuburan atau peninggalan para tokoh dianggap keramat dan
dipercayai bahwa roh-roh mereka masih tinggal di sekitar desa sehingga dapat
dimintai pertolongan.
Masyarakat Jawa juga memercayai bahwa cerita-cerita yang berasal dari epos
Ramayana dan Mahabrata terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, mereka percaya
bahwa Yudhistira, salah satu tokoh Pandawa dalam epos Mahabrata dimakamkan di
pekarangan mesjid Demak, Jawa Tengah, dan makam itu berukuran 3 meter. Mereka
juga percaya bahwa negeri Amartapura, tempat para Pandawa tinggal adalah Pulau
Jawa.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sedemikian besar penghayatan mereka pada mitologi Jawa yang berasal dari
epos Ramayana dan Mahabrata sehingga mereka memandang bahwa hidup ini
sebagai peperangan antara kekuatan khaos (kekacauan) dan kekuatan ordo
(ketertiban) (Sardjono, 1992:22). Dalam Mahabrata, pihak Kurawa melambangkan
kekuatan khaos dan pihak Pandawa melambangkan kekuatan ordo.
Peranan tokoh pewayangan ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat
Jawa. Tidaklah berlebihan jika Sardjono (1992:24) mengatakan bahwa wayang
merupakan identitas utama manusia Jawa. Mereka mengidentifikasikan dirinya
dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa, dan menghindari pengidentifikasian dengan
tokoh-tokoh Kurawa. Dengan kata lain, tokoh-tokoh tersebut menyimbolkan watak
dan perilaku manusia untuk mencapai tujuan hidup. Berikut penjelasan tentang halhal yang dijadikan pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu: raja sebagai pemusatan
kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut
Selatan.
1. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis
Raja merupakan orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang
besar dalam dirinya sendiri, sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya. Raja bisa
dianggap sebagai pintu air yang menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang
lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan. Atau sebagai lensa
pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya ke bawah.
Kesakten sang
raja diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dipegangnya. Semakin besar kekuasaan raja, semakin luas pula wilayah
kekuasaannya. Perhatikan kutipan berikut.
Raja itu mempunyai tiga macam wahyu. Wahyu nurbuwat, artinya raja
mempunyai kekuasaan, raja dapat menentukan abang-birunya kerajaan, kalau
sekarang ya hijau-kuning-merahnya wilayah. Kedua, wahyu hukumah artinya
wewenang mengadili, yang sekarang ada pada pengadilan. Ketiga, wahyu
wilayah, artinya ia adalah wali Tuhan, harus menjadi contoh bagi
masyarakatnya (MPU:79).
Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari seorang raja yang
berkuasa mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekelilingnya.
Kekuasaan raja juga tampak dalam kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi
bencana-bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi.
Disebabkan semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama yang
dipusatkan dalam diri raja, maka tidak mungkin ada kekuatan-kekuatan, termasuk
kekuatan alam, yang bisa bergerak. Oleh karena itu, kekuasaan raja kentara semuanya
tentram, panen yang berlimpah ruah, atau yang disebut orang Jawa sebagai adil
makmur. Masyarakat semacam itu merealisasikan cita-cita Jawa tentang keadaan
yang tata tentrem karta raharja.
Apabila sesorang sudah menjadi raja, ia akan berusaha untuk terus
memperbesar kekuasaannya. Demi tujuan itu ia akan mengumpulkan semua potensi
magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya, misalnya benda-benda keramat,
terutama pusaka-pusaka kerajaan, seperti keris, tombak, dan gamelan. Ia ingin
dikelilingi oleh manusia-manusia yang dianggap keramat, menarik dukun-dukun dan
resi-resi termasyhur ke keratonnya, tetapi juga orang-orang aneh seperti orang-orang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
cacat, bule dan eksot-eksot lain. Kecuali itu, secara teratur raja mengunjungi candicandi dan tempat-tempat ziarah dalam kerajaannya, terutama makam-makam raja-raja
dahulu. Dengan mengunjungi mereka, raja yang hidup mewarisi kekuasaan
adikodrati.
Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan
kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri, begitu pula seorang raja dapat kehilangan
kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda bahwa
kekuasaannya
mulai
runtuh
ialah
kekacauan-kekacauan,
pemberontakan-
pemberontakan, rasa tidak puas rakyat, kebejatan moral yang semakin merajalela,
serta bencana-bencana alam dan panen yang gagal. Sebagai utusan keruntuhan yang
akan datang muncullah para resi, begawan, dan ajar. Tetapi bukan mereka yang sudah
tetap tinggal di keraton dan oleh karena itu barangkali terkena korupsi. Melainkan
orang-orang keramat yang hidup menyepi jauh dari masyarakat di gunung-gunung
dan di hutan-hutan, dikelilingi oleh murid-muridnya. Apabila mereka meninggalkan
padepokan-padepokan mereka untuk muncul di keraton dan menyuarakan
kemerosotan yang semakin meluas serta untuk memperingatkan bahwa dinasti yang
berkuasa akan jatuh. Maka penguasa sudah berada dalam situasi yang kritis baginya.
Reaksi yang biasanya kasar dan penuh kekerasan hanya membuktikan bahwa ia
memang tidak lagi dapat mengontrol keadaan, karena andaikata ia masih berkuasa
maka tdaka perlu memakai cara-cara yang kasar, bahkan tidak perlu menghiraukan
para pengkritik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti
hawa nafsu pribadinya, mengumpulkan kekayaan, dan mencari hidup yang enak-enak
saja, sebenarnya menyiapkan keruntuhannya sendiri. Ia memboroskan energi batin,
menjadi kasar, dan semakin tergantung dari luar. Menurut Anderson (2003:70)
pertentangan antara yang baik dan buruk alam wayang harus dipahami sebagai
pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang membiarkan
kekuasaan menguap karena berpamrih, dan oleh karena itu akhirnya juga dikalahkan.
Begitu pula dengan kiseh pewayangan, misalnya Rahwana yang sedemikian sakti
sehingga para dewa pun gemetar, dalam Ramayana dapat dikalahkan oleh Rama,
karena ia menuruti hawa nafsunya dan menculik Sinta, istri Rama.
Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar,
melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat
berbuat apa-apa selama ia dapat memusatkan segala energi kosmis dari dalam
dirinya, tetapi ia kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya
menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egoisnya.
Perilaku penguasa (Orde Baru) yang irasional dan sewenang-wenang demi
mempertahankan kekuasaan tampak pula dalam novel-novel Kuntowijoyo, khususnya
dalam novel MPU dan WdS. Abu Kasan Sapari, Wasripin, dan Pak Modin dituduh
sebagai anti-negara dan anti-Pancasila. Perhatikan kutipan berikut.
Ketua Partai Randu Desa yang meliputi perkampungan nelayan
sekali menemui Wasripin. “Ini rahasia. Saya dapat bocoran
penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya,
macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada.
penduduk gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII...”(WdS:188).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pagi-pagi
informasi
alasannya
Jadi kau
Begitulah rezim penguasa Orde Baru sekian lama mempertahankan kekuasaan
dengan berbagai cara, termasuk menuduh warga negaranya secara serampangan.
Perilaku para politikus dan pejabat pemerintah dan tindak-tanduknya semata-mata
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dikisahkan pula pada tokoh Abu
Kasan Sapari berikut.
Abu Kasan Sapari diperiksa polisi untuk menyusun BAP (Berita Acara
Pemeriksaan). Ia disuruh menyebutkan nama, pekerjaan, nama-nama orang
tua, paman, dan saudara-saudaranya, serta pekerjaan mereka. Terlibat perkara
polisi? Tidak seorang pun. Apakah ada di antara mereka semua yang terlibat
G30S/PKI? Tidak seorang pun. Ekstrem kanan, tidak seorang pun. “Apa
Saudara tahu mengapa ditahan?” tanya polisi. Abu menggeleng. Tidak ada
barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. Polisi pemeriksa
geleng-geleng. Pemeriksa lapor bahwa tidak ditemukam tanda-tanda
kriminalitas, juga tanda-tanda ekstrem kiri dan ekstrem kanan (MPU:157).
Sebagai seniman yang akrab dengan masyarakat, mendalang merupakan
aktivitas efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyrakat. Meski kisah
dalam wayang bersifat simbolis, masyarakat Jawa pada dasarnya cepat tanggap dalam
memahami simbol. Namun, kegiatan mendalang itulah yang membuat Abu Kasan
harus menghadapi nerbagai kendala, terlibat dalam konflik, terutama ketika mesin
politik (Golkar) merasa tersinggung karena kegiatan mendalang Abu Kasan tidak
sejalur dengan kebijakan mesin politik. Setelah camat “teladan” dipindahtugaskan,
tidak lama Abu Kasan pun dipindahtugaskan.
Begitulah, melalui novel ini Kuntowijoyo menunjukkan bahwa orang yang
berkarakter “jati” (Abu Kasan dan camat baru yang bersih dan visioner) tidak
bertahan lama karena disingkirkan mesin politik yang mendukung gerakan-garakan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Partai Randu. Program “jatinisasi” harus dipandang sebagai simbol karena budaya
Jawa, seperti juga dunia wayang kental dengan permainan simbol.
Abu Kasan hidup di zaman Orde Baru. Seperti dikatakan Budiman dalam
Anwar (2007:94) bahwa demokrasi di zaman Orde Baru seperti “gelang karet” atau
seperti melepas kucing tetapi kakinya diikat. Demikianlah jika masyarakat sejahtera
secara ekonomi, tidak ada kekurangan pasokan pangan, tidak gagal panen, kekangan
terhadap politik dilonggarkan (dalam kondisi semacam itu Abu Kasan bisa leluasa
bekerja dan mendalang). Namun, jika kesejahteraan masyarakat tersendat, ada
bencana, gagal panen, pasokan panen berkurang, dan rakyat mulai berkumpulkumpul dan bicara, kendali terhadap politik dikencangkan. Abu Kasan, khususnya
dalam kegiatan mendalang bisa terkena kekangannya.
Di zaman Orde Baru, seperti tampak dalam novel ini semua orang harus
bergerak untuk pembangunan. Akan tetapi, definisi dan makna pembangunan sudah
dirumuskan mesin politik yang memiliki tiga alat utama: partai, birokrasi, dan militer.
Dalam novel ini Partai Randu, Lurah-Camat-Bupati, dan Koramil. Jika keluar dari
irama pembangunan, termasuk dalam kegitan mendalang, akan dicap subversif atau
anti-Pancasila.
Demikianlah, Abu Kasan berada dalam pusaran pembangunan Orde Baru dan
kekuatan mesin politik. Itulah gambaran hubungan kekuasaan antara birokrasi
(pejabat kekuasaan) dengan mesin politik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
2. Keraton sebagai Pusat Kerajaan Numinus
Bagi masyarakat Jawa, keraton itu bukan hanya suatu pusat politik dan
budaya, melainkan juga merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat
raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang
mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan. Paham ini
terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat kerajaan di Jawa
Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus tahun yang lalu. Kedua
penguasa Jogjakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku jagad raya)
dan Paku Alam , para penguasa Surakarta bernama Paku Buwana (Paku jagad raya)
dan Mangkunagara (yang memangku negara).
Di zaman pra-Islam, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa (raja-dewa)
atau sebagai berasal dari dewa. Biasanya Siwa dianggap menjelma dalam raja, tetapi
ada juga raja-raja yang dianggap sebagai penjelmaaan Wisnu. Raja Kertarajasa
(meninggal tahun 1316 M), pendiri Kerajaan Majapahit diabadikan dalam sebuah
patung yang memperlihatkannya sebagai hari-hara, sebagai campuran Wisnu dan
Siwa. Walaupun agam Islam yang antara abad XV dan XVIII meresapi seluruh Pulau
Jawa dan menolak gagasan raja-dewa, namun itu paham lama itu tetap bertahan.
Tentang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram II di dekat Jogjakarta
(meninggal tahun 1601), diceritakan bahwa ia sedemikian penuh kekuatan mistik
sehingga kawin dengan dewi penguasa Laut Selatan Nyai Roro Kidul. Sampai
sekarang pusaka sultan Jogjakarta, khususnya kereta kencana dan perangkat gamelan,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
oleh rakyat dianggap sebagai pemberi kesuburan. Apabila setiap tahun pada perayaan
Grebeg Mulud, kereta kencana dicuci, masyarakat berdesak-desakan untuk dapat
membawa pulang sedikit air cucian itu.
Pandangan tentang keraton sebagai pusat keramat kerajaan menentukan
paham negara Jawa. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, di
dekat raja, di keraton. Keraton dikelilingi oleh ibukota bagaikan cincin, di mana
keluarga-keluarga sekelompok bawahan tinggal yang langsung atau tidak langsung
hidup dari pengabdiannya atau pekerjaannya di keraton. Dari ibu kota kekuatan raja
memancar sampai ke desa-desa. Apabila seorang raja dengan kesaktian yang ampuh
menaiki tahta maka pancaran kekuatannya diperkuat dan batas-batas kerajaan meluas
sehingga lebih banyak desa masuk ke dalam wilayah penyinaran raja itu. Dalam
konsepsi Jawa, batas-batas tidak mempunyai fungsi, kenegaraan kerajaan terwujud
terutama dalam ibukota yang juga terungkap dalam kata ‘negara” yang sekaligus
berarti ibukota dan negara.
Pandangan tentang kenegaraan sebagai wilayah penguasaan kekuatan gaib
raja ini mempunyai akibat bahwa dalam paham politik Jawa, gagasan pluralitas
kekuasaan tidak pernah muncul (suatu perspektif yang dalam tahun lima puluhan
abad ini dalam Republik Indonesia muda dengan sekian banyak suku bangsa yang
bangga atas kepribadiannya sendiri menimbulkan ketegangan-ketegangan yang
berat). Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi raja. Secara khusus, ide
suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam filsafat politik
Jawa. Memang, apabila kekuasaan politik dipahami sebagai aliran kekuatan yang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hampir fisik sifatnya, yang berasal dari pribadi raja, tidak ada tempat bagi paham
hukum sebagai syarat legitimitas kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya. Raja
adalah sumber kedaulatannya, maka dalam kepustakaan Jawa tidak terdapat apa pun
yang dapat dibandingkan dengan dalam filsafat Yunani kuno tentang penguasa yang
terbaik lawan kekuasaan hukum. Hampir tidak perlu ditambah bahwa gagasan suatu
undang-undang dasar sebagai dasar hukum bagi kegiatan Negara sama sekali tidak
cocok dengan pandangan Jawa.
Keraton Jogjakarta merupakan simbolisasi dari sang pemimpin yang bergelar
Ngarso-Dalem Sampeyan-Dalem Ingkang Sinuhun-Kanjen Sultan Hamengkubuwono
Ing Ngalogo Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng
Ing Ngayogyakatra Hadiningrat, mengandung arti pemimpin yang senantiasa di
depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan, ngrengkuh, sengguh ora
mingguh mempersatukan, mengutamakan, dan melindungi rakyatnya (makna
Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai panglima perang harus mampu
menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan, dan
kemiskinan, akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah
yang senantiasa tunduk akan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pemimpin di
tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan kesejahteraan dengan
keteguhan keyakinan hanya karena Allah.
Di dalam novel MPU pun, keagungan keraton itu tersirat dalam praktik
pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Berikut kutipannya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak. Umpamanya,
kita jangan menebangi pohon seenaknya. Jaman dulu Gunungkidul itu
tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah
manusia, sekali lagi, karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul,
sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk
minum saja harus dikirim dari Yogya (MPU:55).
Keraton Yogya sebagai pusat pemerintahan kerajaan diyakini masyarakat
Jawa memiliki nilai lebih yang masih diagungkan keberadaannya. Keraton memiliki
nilai sakral yang mampu mengarahkan masyarakat untuk berbuat baik terhadap alam
dan lingkungannya.
3. Gunung Merapi
Gunung Merapi dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai keraton makhluk
halus tempat tinggal para roh leluhur, danyang, dan lelembut. Merapi juga dianggap
sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya
banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap Merapi erat kaitannya dengan
alam adikodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan
untuk beradaptasi dan berinteraksi serta mendayagunakan sumber daya Merapi.
Kepercayaan ini diyakini pula oleh Keraton Jogjakarta yang diwujudkan dalam
bentuk upacara labuhan Gunung Merapi (Minsarwati, 2002:36).
Upacara labuhan adalah salah satu bentuk upacara religius yang mempunyai
makna kosmologis karena di sini terjalin hubungan yang harmonis antara kesatuan
makrokosmos dan mikrokosmos yaitu, hubungan antara Gunung Merapi-Keraton
Jogjakarta-Laut Selatan. Sesungguhnya Gunung Merapi adalah sebuah keraton yang
dibangun dengan hierarki yang sama dengan yang terdapat di Keraton Jogjakarta
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang terlatak 20 km arah selatan. Gunung Merapi ini sebagai bagian dari alam yang
diwujudkan dalam bentuk simbol api. Api mempunyai sifat panas, tidak kenal
kompromi, dan mampu membakar apa saja tanpa membeda-bedakan satu sama
lainnya. Kemudian, keberadaan Keraton Jogjakarta yang terletak persis di antara
Gunung Merapi dan Laut Selatan mempunyai simbol sebagai udara yang mengisi
kekosongan yang ada, keraton ini sebagai perpaduan antara api dan air yang dipahami
sebagai setubuh dan sejiwa. Selanjutnya, Laut Selatan yang mempunyai simbol air
mempunyai sifat rata permukaan, luas, dan selalu mengalir ke bawah.
Hubungan semacam itu juga diceritakan dalam mitos bagaimana Senopati
sebagai sultan pertama dari Kerajaan Mataram di pusat Pulau Jawa suatu hari
melakukan semedi dengan khusuk, sehingga Gunung Merapi bergetar dan menjulurjulurkan lidah apinya, lalu laut pun bergelora dan ribuan makhluk halus bergulingguling di tanah dan dipukuli sampai pingsan oleh kekuatan semedi itu. Roh Kanjeng
Ratu Kidul akhirnya keluar dari lautan dan menampakkan diri di depan sultan. Sang
ratu pun lalu jatuh hati dan mengucap sumpah di hadapan Senopati untuk menjadi
kekasih selamanya bahkan untuk sultan-sultan berikutnya, asalkan Senopati bersedia
makan Endhog Jagad yang diberikannya. Namun, karena merasa telur itu akan
mengubahnya menjadi jiwa tanpa raga, maka sultan pun memberikan pada tukang
kebun istana. Tukang kebun itu pun berubah menjadi roh yang menyeramkan.
Disebabkan buruk rupa maka Ki Juru Taman lalu pergi dan bersembunyi di
kedalaman perut Gunung Merapi, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Sapu
Jagad, penjaga Keraton Mataram.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sejak itu, para sultan turun-temurun pada hari ulang tahunnya membuat sesaji
dengan mengirimkan makanan dan pakaian-pakaian kepada Kyai Sapu Jagad. Itulah
asal mula cerita sesaji di Gunung Merapi. Demikian juga sesaji dilakukan di Laut
Selatan untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul. Dan upacara ini sampai sekarang
masih dilakukan yang dikenal dengan upacara labuhan.
Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa terjadinya letusan Gunung Merapi
dikarenakan sebagai pertanda perkawinan antara dewa laki-laki yaitu Kyai Sapu
Jagad dan perempuannya Nyai Roro Kidul. Peristiwa letusan itu terjadi karena Kyai
Sapu Jagad bersama Nyai Roro Kidul sedang mencari korban manusia yang rohnya
dijadikan bala tentara mereka yaitu berupa keluarnya lahar (sebagai aspek primer)
yang memang kadang-kadang membawa korban manusia (sebagai aspek sekunder).
Hal ini juga serupa dengan keyakinan orang Jawa bahwa “gunung” dilambangkan
sebagai kekuatan laki-laki dan “laut” melambangkan perempuan. Peristiwa letusan
yang ditandai dengan keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda
persetubuhan laki-laki dan perempuan. Perpaduan muntahan Gunung Merapi menuju
ke laut melambangkan wiji (sperma) calon raja Senopati. Konsepsi perpaduan itu
bermakna kesuburan yang akan menurunkan berkah. Interpretasi ini didasarkan atas
pemahaman kejawen, bahwa gunung yang diasosiasikan dengan Yoni simbol dari
istri Siwa yaitu Umo.
Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah tidak bisa dicegah, tetapi bisa
ditata, maka “perkawinan dua kekuatan alam” atau letusan Gunung Merapi juga tidak
bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu, untuk mendapatkan selamat, penduduk
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tidak bisa menolak Nyai Roro Kidul berhubungan dengan Merapi, tetapi mereka
meminta agar jika Nyai Roro Kidul mengutus atau menginginkan sesuatu dari
Gunung Merapi (yaitu benih laki-laki) jangan melalui desa mereka, tetapi cukup di
kiri-kanan desa saja. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada kekuatan-kekuatan
gaib tersebut agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin sehingga
mereka bisa dijauhkan dari bencana Merapi.
Perhatikan kutipan berikut.
Gunung Lawu itu dulu dianggap keramat. Ditunggui raja jin bernama Sunan
Lawu. Sekarang, entah ke mana raja jin itu bersembunyi, tetapi orang dengan
membayar seribu rupiah dapat melewati puncaknya (MPU:32)
...
Di sekitar Gunung Merapi, terdapat batu-batu. Dari mana batu-batu untuk
Candi Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan, dan Sewu kalau tidak dari
batu-batu Gunung Merapi? Demikian juga orang Jawa dikubur di bawah batu.
Mungkin orang berpikir kalau sudah berlindung di bawah batu itu aman dari
siksa kubur (MPU:34).
Segala mitos tentang Gunung Merapi tidak boleh dilecehkan oleh masyarakat
Jawa. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai dalam konseptual nilai-nilai
yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan
pencipta hidup serta alam kodrati. Masyarakat di pedesaan Jawa dalam menghayati
sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbangan-pertimbangan
rasional akal, tetapi melibatkan perasaan dan emosi, sehingga seolah-olah untuk
menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan Jawa atau agama. Intinya
didasarkan pada prinsip-prinsip utama yang menyangkut konsep mengenai eksistensi
dan tempat manusia di alam semesta beserta segala isinya, seperti berbagai kegiatan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konsep wadah dan isi, serta equilibrium
dan ketidaktentuan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah.
4. Laut Selatan
Laut selatan mengandung kekayaan alam yang tidak terhingga. Deburan
ombak yang berharmoni menunjukkan kekuasaan “sang pemimpin”. Nyai Roro
Kidul, yang diyakini sebagai penguasa Laut Selatan memiliki kuasa atas kebaikan
dan keburukan yang dirasakan oleh penduduk setempat. Jika kehidupan masyarakat
sentosa dan tentram, itu karena sang penguasa bermurah hati. Sebaliknya, jika
kehidupan masyarakat sekitar mengalami musibah atau bencana, maka dipahami
bahwa sang ratu sedang murka.
Eksistensi Laut Selatan sebagai salah satu wujud sikap kosmologis
masyarakat Jawa, sampai saat ini masih memiliki pengaruh yang besar bagi
kehidupan warga di sekitarnya. Seperti yang terlihat pada novel MPU berikut ini.
Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu
hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin
bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya
ialah Nyi Lara Kidul (MPU:37).
Meskipun berbentuk mitos, sampai saat ini Laut Selatan tetap dipandang
masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang sakral.
Berdasarkan uraian di atas, tiga makna simbol dari Gunung Merapi, Keraton
Jogjakarta, dan Laut Selatan dapat disimpulkan tentang makna kosmologi yang ada
pada mitos letusan Gunung Merapi, yaitu terjadinya “dua kekuatan alam”yaitu
Gunung Merapi sebagai kekuatan api dan Laut Selatan sebagai kekuatan air. Hasil
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
perpaduan dari dua kekuatan ini berupa calon raja Senopati yang berada di Keraton
Jogjakarta, yaitu berupa keraton sebagai unsur udara.
Ketiga unsur kekuatan alam yang menyatu berupa api-udara-air itu merupakan
salah satu bagian dari kosmos. Sedang kosmos selalu berhubungan dengan manusia,
padahal dalam tubuh manusia selalu terdapat unsur-unsur yang dimiliki oleh kosmos.
Hal ini disebabkan karena dalam hidupnya manusia memerlukan makan, minum,
bernafas, serta bertenaga, yang kesemuanya itu diperoleh dari kosmos (alam), yaitu
bisa dari Gunung Merapi, Keraton Jogjakarta, ataupun Laut Selatan. Manusia ternyata
bukan hanya realitas fisik atau hanya sekedar ekspresi fisik dari tatanan hidup, tetapi
manusia adalah makhluk yang “pinunjul”, yang memiliki jiwa dan memiliki
penghayatan pada yang gaib seperti keberadaan Gunung Merapi dan Laut Selatan
yang dipahami mempunyai kekuatan gaib. Mulder (2005:32) mengatakan bahwa
dalam batin manusia membawa percikan dalam hakikat hidup yang menjiwai
kosmos, secara mistik ia adalah suatu mikrokosmos.
Mitos pada dasarnya akan menjelaskan agar manusia selalu menjaga
keselarasan kosmos, mengusahakan dan memelihara keberadaan antara lingkungan
alam dan manusia. Ketika di dunia Barat mitologi mulai ditinggalkan, beberapa
pertanyaan radikal mengenai unsur pembentuk jagad raya muncul dan menimbulkan
tiga alternatif jawaban: bahwa unsur itu adalah air (menurut Thales), udara (menurut
Anaximenes), dan apeiron “api” (menurut Anaximander). Dunia Timur juga
menanyakan hal serupa bahwa ketiga unsur itu sudah lama dikenal sebagai Trimurti
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
AUM: agni (api), udara (angin), dan maruta (air). Hanya saja kalau di Barat tingkatan
pemikiran masih berlanjut, di Timur agaknya masih berupa mitologi.
Masyarakat Jawa, terutama di daerah rawan bencana, sangat mempercayai hal
yang berbau mitos. Namun, karena mitos selalu berhubungan dengan yang sakral
(alam adikodrati) maka perlu jawaban yang tentu saja bisa diterima oleh akal. Oleh
karena itu, peristiwa-peristiwa empiris selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
metaempiris. Seperti ungkapan gugon tuhon yang disampaikan oleh juru kunci atau
sesepuh desa, yaitu tidak boleh mencari rumput atau kayu bakar di tempat-tempat
angker, memindahkan batu atau menebang pohon mendirikan rumah menghadap kea
rah gunung, berburu binatang di hutan, dsb. Dibalik larangan-larangan (tabu) itu
sebenarnya tersimpan kearifan ekologi penduduk terhadap lingkungan alam Gunung
Merapi dan selalu berhubungan dengan pelestarian lingkungannya (ekosistem).
5.2 Mitos-Mitos Masa Kini
Barthes mengemukakan teori tentang mitos dengan mengetengahkan konsep
konotasi, yakni pengembangan segi signifie (petanda ‘makna’) oleh pemakai bahasa.
Pada saat konotasi menjadi mantap, ia menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi
mantap, ia menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh
masyarakat sebagai hasil konotasi.
Menurut Barthes (1995:89) sebuah ekspresi bisa memiliki beberapa isi atau
konten yang terhubung melalui sebuah relasi tertentu. Ekspresi ditandai dengan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
makna denotasi yang kemudian berkembang menjadi beberapa isi (konten) yang
disebut sebagai makna konotasi.
Masyarakat Indonesia, baik masa lalu maupun masa kini, mengenal mitos
dalam pengertian Barthes di atas. Mitos masa kini yang dimaksud penulis adalah
berkaitan dengan makna mitos tersebut. Artinya, makna mitos tersebut yang baru
(masa kini), bukan mitos itu yang baru. Ada beberapa fenomena budaya masa kini
yang diberi konotasi oleh masyarakat luas, dan yang sudah mantap menjadi mitos.
Fenomena tersebut antara lain: gotong royong, aja dumeh, reformasi, ramah tamah,
dan mahasiswa sebagai kekuatan moral.
1. Gotong Royong
Gotong royong dianggap merupakan bagian dari tradisi masyarakat Jawa
bahkan rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Dalam pemakaiannya mempunyai
denotasi ‘bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya
untuk sesuatu yang bermakna secara sosial, seperti pembangunan mesjid, pembuatan
jalan desa, atau pemadaman kebakaran.
Perhatikan kutipan berikut.
Kita mesti sanggup berbuat. Asal perbuatan baik, Jo. Kita mesti kuatkan jiwa
kita. Hidup ini hanya sebentar, engkau dalam perjalanan jauh, dan hidup ialah
sekadar mampir minum, sebentar saja...Korbankanlah dirimu untuk tujuan
yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekadar kesenanganmu
(P:201).
Pak Mantri mewariskan budaya gotong royong pada Paijo dengan
meyakinkannya bahwa kepentingan umum lebih penting di atas kepentingan pribadi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sikap rela berkorban ini menjadi cikal bakal lahirnya budaya gotong royong dalam
masyarakat di Indonesia. Melalui kutipan tersebut, gotong royong merupakan sebuah
ekspresi yang dimaknai oleh Pak Mantri dan Paijo sebagai ‘perbuatan baik’ (makna
denotasi).
Pada kondisi sekarang, gotong royong sebagai ekspresi (expression)
memperoleh isi (content) beberapa konotasi sesuai dengan pengalaman masyarakat.
Ada dua konotasi yang penting, yaitu (1) kewajiban membantu tetangga yang sedang
kesusahan dan (2) kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa. Intinya,
konotasi dasarnya adalah “kewajiban”. Sebagai masyarakat yang kehidupannya masih
komunal, kewajiban ini tidak dirasakan memberatkan (kewajiban yang berterima),
khususnya bila tujuan gotong royong adalah membantu tetangga yang sedang berada
dalam kesulitan. Di samping itu, relasi yang menghubungkan antara ekspresi dan isi
tersebut adalah kondisi masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat memengaruhi
pemaknaan terhadap gotong royong itu sendiri.
Pada sekelompok orang, misalnya di kota gotong royong sudah mempunyai
konotasi ‘kewajiban yang memberatkan’ karena setiap orang sudah lebih banyak
mempunyai kewajiban sendiri yang berbeda-beda. Dengan cara mengupas makna
konotatifnya, telah terjadi pembongkaran semiologis (demontage semiologique).
Di dalam hal gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”, dapat
dilihat di sebuah desa atau kota bahwa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka
yang tidak ikut bergotong royong memperbaiki jalan, misalnya gotong royong tidak
jarang dimaknai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pengucilan dan penghukuman. Mereka yang memaknai gotong royong sebagai
“kewajiban berat” menghindari gotong royong dengan misalnya, pura-pura sakit atau
bepergian dari lingkungannya.
Gotong royong telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang
dilandasi nilai solideritas sosial. Ia telah mengalami pembongkaran semiologis dan
dekonstruksi untuk memperoleh makna lain dan baru, sehingga mungkin menjadi
mitos baru yang tidak menyenangkan. Masyarakat telah mengalami perubahan istilah
gotong royong telah mengalami diversifikasi makna.
2. Aja Dumeh
Aja dumeh ‘jangan mentang-mentang’ adalah ajaran yang berkembang dalam
tradisi lisan. Makna denotatifnya adalah ‘jangan suka mentang-mentang’ dan ‘jangan
sombong’. Ini sudah menjadi mitos dalam masyarakat karena sudah dipandang
sebagai cara yang baik dalam masyarakat. Namun, mitos ini sedang mengalami
perubahan dalam kalangan tertentu. Para eksekutif muda dan para yupies banyak
yang mempelajari mitos lain, yakni justru ‘harus berani menonjolkan kemampuan
diri’ dan ‘harus memiliki kebanggaan akan diri sendiri (self system)’. Ini merupakan
mitos lain dalam hal bersikap dalam masyarakat tertentu, yang merupakan mitos yang
bersikap datang dari kebudayaan industri Barat. Bagi kalangan yang masih
memegang mitos aja dumeh, mitos di kalangan para eksekutif muda dan yupies ini
dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Sebaliknya, aja dumeh dipandang sebagai hal
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang tidak mendorong kemajuan oleh para eksekutif muda dan yupies. Dua mitos itu
bersama-sama hidup dalam masyarakat kita.
Di dalam novel MPU mitos ini juga hidup dalam diri tokohnya. Perhatikan
kutipan berikut.
Pelajaran dari cerita ini ialah orang itu ojo dumeh, jangan mumpung. Jangan
mumpung berkuasa, lalu sewenang-wenang. Jangan mumpung kaya, lalu
menghambur-hamburkan uang (MPU:37).
...
Jangan dumeh sudah jadi orang besar. Maksudnya dielu-elukan orang banyak.
Jangan mentang-mentang jadi dalang kondang. Mentang-mentang dekat koran
ucapan-ucapan yang tak akan keluar dari mulut orang-orang yang kenal dia.
Kata-kata yang diucapkan dengan penuh dendam, seolah-olah tak ada
kebaikannya sama sekali. Terdengar jelas di telinga Abu (MPU:236).
Aja dumeh merupakan ekspresi (expression) yang dimaknai Abu Kasan Sapari
memiliki beberapa isi (content) yang bermakna konotasi. Makna denotasi aja dumeh
‘jangan mentang-mentang’ berkembang menjadi ‘jangan mentang-mentang kaya’,
‘jangan mumpung berkuasa’, jangan mentang-mentang terkenal’, dan sebagainya
menjadi makna konotasi akibat perkembangan pola pikir manusia. Perubahan makna
tersebut terjadi karena ada relasi waktu yang menghubungkan keduanya. Mitos ini
hidup dan berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun terjadi
pergeseran-pergeseran makna pada mitos tersebut, namun tetap saja mitos ini masih
memberikan nilai yang positif bagi setiap individu.
Generasi baru di kota kalangan bisnis sedang mendekonstruksi aja dumeh
yang memberi makna ‘tidak boleh maju’ dan ‘tidak boleh menonjolkan diri’. Ini
merupakan hal yang menyebabkan aja dumeh menjadi tidak berterima karena
menghambat kemajuan dalam masyarakat perkotaan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
3. Reformasi
Kata reformasi menjadi bagian dari tradisi lisan baru meskipun memasuki
kosa kata bahasa Indonesia melalui buku-buku Barat yang dibaca oleh para
cendikiawan. Reformasi mempunyai denotasi ‘perubahan radikal untuk perbaikan di
bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat atau negara’. Dalam
sejarah politik kita, reformasi terjadi pada bulan Mei 1998 dimulai dengan jatuhnya
kekuasaan Presiden Soeharto. Setelah itu, berbagai perubahan kebiasaan dan bahkan
perubahan nilai terjadi. Reformasi menjadi kata yang frekuensi pemakaiannya sangat
tinggi. Ia menjadi bagian dari tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan
hidup
masyarakat
Indonesia.
Namun,
berbagai
peristiwa
yang
terjadi
memperlihatkan bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan sosial
tidak dirasakan sebagai “perbaikan-perbaikan” oleh masyarakat awam. Reformasi
akhirnya dewasa ini memperoleh konotasi ‘tindakan mengutuk Orde Baru’,
‘pergantian kekuasaan’, ‘perubahan kebijakan’, ‘boleh berbuat sesukanya’, ‘boleh
mengkritik atasan, pemerintah, dan aparat’, serta ‘melakukan pembalasan terhadap
pejabat dari zaman Orde Baru’.
Perubahan serupa juga dijelaskan Kuntowijoyo dalam novel MPU. Perhatikan
kutipan kutipan berikut.
Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang
mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang
berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis. Abu berpikir untuk
mengubah MPU jadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan)...Orang
Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja dikatakan, dengan isyarat
pula...Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya (MPU:214).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Melalui kutipan tersebut dapat dimengerti bahwa tokoh Abu Kasan Sapari
tanggap akan perubahan yang sedang berlangsung di zamannya. Ketika terjadi
perubahan situasi politik di daerahnya maka ia pun mengadakan perubahan dengan
mengganti nama organisasi MPU (Masyarakat Penggemar Ular) yang dipimpinnya
menjadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan). Menurutnya orang Jawa harus
cepat tanggap terhadap perubahan meskipun perubahan itu berupa isyarat sekalipun.
Artinya reformasi pun harus berlaku pada masyarakat Jawa. Reformasi (ekspresi)
dimaknai Abu Kasan Sapari sebagai makna konotasi, yaitu ‘cepat tanggap’(isi) yang
terealisasi melalui relasi perubahan zaman.
Meskipun reformasi ‘lahir’ pada tahun 1998, namun telah lama terpendam di
bawah permukaan kehidupan sosial politik bangsa kita. Reformasi sering
berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif
‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan
demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian
melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan civil society yang juga telah
memasuki tradisi lisan karena banyak dibicarakan orang san memeroleh konotasi
‘masyarakat yang tidak dikuasai militer’, ‘masyarakat yang dikuasai oleh sipil’, ‘sipil
menguasai militer’, dan ‘militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan
pemerintah sipil’. Meskipun baru beberapa tahun, kedua kata itu – yang lahir dari
lahirnya reformasi – sudah berkembang menjadi mitos. Sejumlah cendikiawan
berusaha melakukan pembongkaran semiologis dengan mengetengahkan makna
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sebenarnya, yakni denotasinya. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa upaya itu tidak –
atau belum? – berhasil sejauh ini.
Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna ‘perbaikan’
dan ‘sama rasa sama rata’ serta ‘kepatuhan terhadap etika dan hukum’ dapat
menggantikan mitos buruk yang berkembang ke notasi salah kaprah itu.
4. Ramah Tamah
Tradisi lisan mengenal kata ramah-tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa
Indonesia. Ia juga merupakan bagian dari tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan
sudah menjadi mitos. Dalam diri orang Jawa, ramah tamah ini sudah merupakan
suatu ‘kewajiban’ dalam berinteraksi dalam masyarakat. Seperti kutipan berikut ini.
Maksud untuk sekadar menghabiskan waktu itu mengecewakan Zaitun.
Mantri Pasar itu malahan menuduhnya. Hasil kunjungan ramah tamah yang
istimewa (P:22).
Kunjungan yang dikakukan Siti Zaitun pada Pak Mantri merupakan cerminan
ramah tamah orang Jawa yang menjadi ciri khasnya. Lazimnya, sikap tersebut
dimulai oleh orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau bawahan
terhadap atasannya. Meskipun kadang-kadang sikap itu berpotensi untuk disambut
dengan sikap sebaliknya, tetap saja sikap itu masih dipertahankan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ramah tamah sebagai ekspresi (expression) dimaknai Pak Mantri dengan
‘sikap berpura-pura’. Sikap berpura-pura ini merupakan makna konotasi yang juga isi
(content) yang terealisasi melalui relasi sikap atau tindakan Siti Zaitun.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Khususnya setelah reformasi, terjadi banyak peristiwa yang membuat mitos
ini menjadi luntur. Terlepas dari apa penyebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia telah kehilangan sifat ramah tamahnya. Bentrokan antaragama,
antarsuku, terjadi di berbagai bagian negeri kita. Tawuran sudah menjadi bagian dari
tradisi lisan baru. Tawuran terjadi di kalangan pelajar dan bahkan mahasiswa. Dalam
bertetangga kita masih melihat keramahtamahan sebagian bangsa kita. Akan tetapi,
begitu seseorang berada dalam kemudi mobil atau motor, ia menjadi orang lain yang
sama sekali tidak ramah tamah. Mitos bangsa yang ramah tamah menjadi pudar dan
sedang berproses menjadi mitos baru; ‘bangsa yang suka berkelahi’. Perkembangan
budaya masyarakat memperlihatkan ingroupness menjadi menonjol.
Sikap ramah tamah terhadap bangsa asing juga pernah merupakan mitos
dalam masyarakat kita. Mitos ini pun sudah memudar di berbagai tempat, kita
mengamati terjadinya sikap tidak ramah terhadap kehadiran orang asing sehingga
berpotensi merugikan peristiwa dan investasi asing. Mitos ini termasuk juga pudar
karena berbagai peristiwa di tanah air yang tidak menunjukkan bahwa bangsa kita
adalah bangsa yang ramah tamah.
5. Mahasiswa Kekuatan Moral
Mahasiswa kekuatan moral dan harapan bangsa merupakan bagian dari
tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan menjadi mitos. Namun, pengamatan
memperlihatkan bahwa mitos ini terancam pudar. Perilaku mahasiswa sudah banyak
berubah dan sering terbawa oleh arus permainan politik. Banyak di antara mereka
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang sudah terkena kebiasaan menggunakan narkoba dan terlibat dalam tawuran
hanya akibat persoalan sepele. Perhatikan tawuran antarkampus dan bahkan
antarfakultas dalam suatu kampus yang masih selalu terjadi. Makna mitis ‘generasi
penerus dan calon pemimpin’ sedang terancam berubah menjadi ‘lost generation’
yang tidak lagi mempunyai kekuatan moral dan tidak menjadi harapan bangsa.
Menurut Hoed (2007:158) faktor di luar langage de culture de masse ‘bahasa
kebudayaan massa’ dapat mengubah atau menggeser makna sebuah mitos. Faktor luar
itu adalah kehidupan politik yang makin memberikan kemungkinan untuk melakukan
banyak hal yang hampir tanpa batas. Di samping itu, kehidupan ekonomi yang
mengacu pada individualisme dan cenderung mendorong berkembangnya hedonisme
merupakan faktor luar yang mengubah makna mitos-mitos tersebut.
Akan tetapi, dalam novel MPU mitos ini belum bergeser. Kuntowijoyo masih
memegang mitos bahwa mahasiswa adalah kekuatan moral dan harapan bangsa. Hal
itu tergambar melalui tokohnya, yakni Abu Kasan Sapari.
Untuk jerih payah membuat uraian teoretik dan praktik mendalang Abu Kasan
Sapari dinyatakan lulus. Sebenarnya, dia bisa cum laude, tapi tidak bisa
karena tahun kuliah sudah melonjak...Hari wisuda datang. Orang tua Abu
datang berdua. Setelah upacara selesai, seorang tukang foto mendekat dan
mengambil gambar mereka di depan sekolah Tinggi (MPU:222-223).
Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mahasiswa tetap
memiliki kelebihan yang khusus dibanding pemuda biasa yang tidak mengenyam
pendidikan tinggi. Predikat cum laude masih menjadi kebanggaan seorang mahasiswa
dalam menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ekspresi (expression) mahasiswa
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sebagai kekuatan moral masih dipegang teguh oleh Abu Kasan Sapari sebagai makna
denotasi (content) dengan relasi perilaku mahasiswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa mitologi Jawa dalam novelnovel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokoh-tokohnya, antara lain Pak Mantri,
Abu Kasan Sapari, dan Wasripin. Mitologi tersebut terwujud melalui serangkaian
upacara tradisi dan ritual-ritual khusus yang terangkum pada sikap kosmologis dan
pandangan hidup masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi dalam
kehidupan masyarakat Jawa (bangsa Indonesia) seiring dengan perkembangan zaman.
Perubahan pola hidup masyarakat dewasa ini menyebabkan perubahan makna mitos
yang lama menjadi mitos-mitos masa kini.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB VI
FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO
Filsafat Jawa menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berpikir
dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam kaitannya
dengan Tuhan. Dimensi ini adalah karakteristik yang dominan dan tidak dapat
dilepaskan dengan kecenderungan hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran
manusia Jawa merupakan suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup. Oleh
karena itu, intuisi memegang peranan penting.
Pada prinsipnya antara pemikiran Barat dan Jawa itu memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengenal diri. Namun, cara pencapaian dan pengembangannya berbeda.
Di samping pandangan tentang hubungan antara manusia dan alam serta manusia dan
Tuhan juga berbeda.
Perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’ yang berarti cinta
kebijaksanaan (the love of wisdom). Bagi filsafat Jawa pengetahuan (filsafat)
senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa
tidak mempertanyakan apakah manusia dan apakah Tuhan? Eksistensi manusia
diasumsikan sebagai kenyataan. Dari kenyataan itu dipertanyakan darimana asalnya
dan kemana tujuan akhirnya. Adapun perumusan ketiga bidang filsafat Jawa tersebut
adalah metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Akan dijelaskan sebagai berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
6.1 Metafisika
Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta), Tuhan, dan manusia,
dapat dianggap sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau
penghayatan manusia. Hasil pemikiran itu dinyatakan berupa penuturan dengan kata
(verbal) dan tersusun secara sistematis, maka disebut sebagai filsafat dalam arti
sempit. Ciri- ciri dasarnya adalah: (1) Tuhan adalah ada Semesta atau Ada Mutlak;
(2) Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan; dan (3) Alam semesta dan
manusia merupakan satu kesatuan, yang biasanya disebut makrokosmos dan
mikrokosmos (Ciptoprawiro, 2000:22).
Pemikiran filsafat bertitik tolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia
sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Bukan dasar awal
yang dicari dan dipertanyakan seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani,
melainkan darimana dan kemana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran:
-
sangkan paraning dumadi: awal-akhir alam semesta
-
sangkan paraning manungsa: awal-akhir manusia
-
dumadining manungsa: penciptaan manusia
Pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh, atau mengerti
sangkan paran. Filsafat Jawa sepanjang masa tetap berkesimpulan bahwa Tuhan
merupakan Sangkan Paraning Dumadi dan Manungsa, artinya Awal berarti berasal
dari Tuhan dan Akhir berarti kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali
pada asalnya atau Tuhan dilakukan dengan baik, baik jasmani maupun rohani atau
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
jalan lahir dan jalan batin. Jalan batin ini umumnya didapatkan pula pada kehidupan
budaya bangsa lain dan biasanya disebut mistik atau mistisisme.
Penggambaran Tuhan, manusia, dan alam semesta dapat dirinci secara
metafisik, sebagai berikut.
a. Tuhan
Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun (dat kang tan kena
kinayangapa), dekat namun tidak bersentuhan (cedhak tanpa senggolan), dan jauh
tetapi tidak ada batasan (adoh tanpa wangenan). Rumusan Barat: ImanenTransenden. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya
menggambarkan sifat-Nya, seperti sang Hyang Taya (tiada), Wenang, Tunggal, dsb.
Tuhan mengibaratkan jiwa yang mati jadi hidup berkat siraman agama, seperti
hujan yang turun dari langit dan membuat pohon-pohon di bumi menggeliat.
Kalimat thayibah digambarkan seperti pohon yang akarnya menghunjam ke
bumi dan cabang-cabangnya menggapai langit. Juga disebutkan dalam agama
langit berlapis tujuh, ada yang menghubungkannya dengan jumlah planet, ada
yang menghubungkannya dengan perbedaan tekanan udara (MPU:36).
Pengakuan akan kekuasaan Tuhan dalam novel-novel Kuntowijoyo ini terlihat
melalui pengakuan agama yang dianut tokoh-tokohnya. Agama menjadi sarana
mendekatkan diri pada Sang Pencipta tersebut. Meskipun kadang-kadang agama yang
dianutnya bercampur dengan budaya Jawa yang berasal dari agama Hindu.
b. Manusia
Manusia digambarkan atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur
jasmani meliputi pancaindra, sedangkan rohani meliputi nafsu, kemampuan cipta,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
rasa, dan karsa. Penggambaran
manusia secara khusus dijelaskan Kuntowijoyo
dalam novel MPU berikut.
Manusia. Ketika selesai menciptakan manusia yang bernama Adam, Tuhan
memerintahkan malaikat untuk menghormat dengan bersujud. Ah, alangkah
mulianya manusia! Tapi iblis membantah perintah Tuhan itu. Katanya:
“Bagaimana mungkin kami menghormatnya, dia engkau jadikan dari tanah,
sedangkan kami dari api?” Ada orang yang tak bisa mempertahankan
kemuliaan itu, lalu jadi leletheking jagad. Bahwa manusia dibuat dari tanah
itu betul...Manusia memang makhluk istimewa. Waktu masih bayi ia lemah,
tapi waktu sudah dewasa ia kuat bukan main, penuh kemungkinan (MPU:38).
Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan atas tiga komponen pokok yang
memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan
bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan
dengan cipta, rasa, dan karsa. Berkat cipta-rasa-karsanya itu manusia mampu hidup
mandiri dan menentukan pola hidup sesuai dengan kepribadiannya. Pola hidup
melahirkan tiga perilaku manusia yang didasarkan atas kesadaran paling dalam,
dalam dirinya, yaitu pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup. Orang hanya
melihat sosok manusia Jawa dari aspek ‘patrap hidupnya’ belaka terlepas dari
kesatuan kaitannya dengan ‘pandangan hidup’ dan ‘sikap hidupnya’.
Manusia-manusia Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo ini pun memiliki
sikap serupa, mereka masih memegang tiga ciri khas manusia tersebut yang diakui
sebagai kelebihan yang diberikan Tuhan pada masyarakat Jawa. Pak Mantri, Abu
Kasan Sapari, dan Wasripin merupakan cerminan masyarakat Jawa yang mengemban
tugas sebagai manusia Jawa seutuhnya dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Alam semesta (Dunia)
Penuturan tentang penciptaan dunia (kosmogoni) dan gambaran dunia
(kosmologi) beraneka ragam dengan bentuk unsur-unsur budaya Hindu, Budha, dan
Islam. Yang sangat menonjol adalah susunan hierarki (hierarchical order) di
dalamnya. Perhatikan kutipan berikut.
Alam...Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Al-Quran kebanyakan
merujuk ke alam. Alam adalah hasil karya-Nya. Ia berkata “kun fayakun”
maka jadilah alam ini. Tidak ada satu surat pun dari 114 surat dalam Al-Quran
yang merujuk ke teknologi, misalnya “demi sepeda motor”. Kata dosen
filsafat saya, manusia mempunyai peradaban justru karena berjuang
menundukkan alam. Saya pikir “menundukkan” itu langkah yang salah. Itu
semacam kesombongan, arogansi manusia. Yang benar ialah manusia harus
berdamai dengan alam. Sebelum ada sekolahan, manusia berguru pada
alam...Jadi alam itu bukan hanya obyek ilmu, tapi juga obyek seni. Orang
dapat mencari ilmu di bulan. Tapi para penyair, pelukis, dan pemusik yang
melukiskan bulan harus dianggap sebagai mengagungkan Nama Tuhan
(MPU:31-32).
Dapat dipahami mengapa Abu Kasan Sapari begitu mengagungkan
keberadaan alam berikut isinya. Alam diyakini masyarakat Jawa sebagai pusat dari
kosmologi yang mengatur kehidupan makhluknya. Jika manusia dapat bersahabat
dengan alam maka kehidupan yang harmonis dapat tercipta dengan baik.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa alam pikir filsafat Jawa selalu
bermuara pada titik akhir, yakni Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang
disebut Sangkan Paraning Dumadi. Tuhan tidak pernah menjadi persoalan, asumsi
dasarnya bahwa Tuhan ada. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia
harus menunjukkan citra harmonis. Sementara itu, kesempurnaan manusia akan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
terwujud bilamana telah melepaskan diri dari ke-akuan-nya dan tidak terbelenggu
dengan dunia yang kasar.
6.2 Epistemologi
Epistemologi mempelajari proses untuk memeroleh pengetahuan (knowledge).
Ada dua jalan atau metode untuk memeroleh pengetahuan dengan mempergunakan
kodrat kemampuan manusia, yaitu penalaran, akal, rasio, abstraksi (Aristoteles) dan
intuisi (Plato). Epistemologi Jawa adalah bagaimana mencapai tahap ekstase sehingga
diperoleh tahap “widya”. Rumusan ini terdiri atas empat tahapan yang dikenal dengan
catur sembah (sembah empat) yaitu, sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan
sembah rasa. Akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Sembah Raga
Sembah raga tampak pada perbuatan lahir. Dalam mencapai kebenaran mutlak
atau kenyataan diawali dengan mengusahakan dengan jalan yang wajar dan rasional.
Langkah pertama adalah menguasai ilmu dasar (syariat), langkah selanjutnya
menjalankan apa saja yang telah diperintahkan dalam ilmu syariat itu tanpa
mempertanyakan mengapa harus demikian.
Perhatikan kutipan berikut.
Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin
sembahyang menanti-nantinya...Wasripin yang tidur di emperan surau itu
ternyata telah menjadi bagian dari mereka. Di surau mereka masih berkumpul
lama setelah sembahyang selesai (WdS:20).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Melalui kutipan tersebut tergambar keadaan masyarakat tempat tinggal
Wasripin. Mereka masih melaksanakan syariat Islam dengan melaksanakan solat
secara berjamaah.
Sembah raga itu terwujud dalam bentuk kepatuhan untuk
menjalankan secara tertib dan kontiniu syariat itu, yang mengandung maksud untuk
melatih segi jasmani manusia. Artinya, bahwa manusia dibiasakan menjaga
kebersihan jasmani, dan latihan dasar untuk mengendalikan hawa nafsu. Apabila
sembah raga ini dijalankan dengan tekun, tertib, dan teratur maka akan mengantarkan
pada langkah sembah berikutnya.
b. Sembah Cipta
Sembah cipta merupakan tataran kedua dari sembah empat. Untuk mencapai
pengetahuan yang sesungguhnya, sembah cipta atau sering disebut sembah kalbu
adalah paduan antara sembah raga dengan ditambahkan dengan proses konsentrasi,
dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, mengekang hawa nafsu, dan
bertindak serta berkata-kata dengan waspada. Mencurahkan konsentrasinya untuk
mengingat Tuhan.
Sembah cipta ini pun terlihat dalam novel WdS yang juga terpusat pada tokoh
Wasripin. Emak angkat Wasripin sekaligus sebagai induk semangnya mengajarkan
tentang pentingnya tataran sembah cipta dalam kehidupan manusia. Apabila sembah
cipta ini dilakukan seseorang, maka hal itu merupakan salah satu wujud berterima
kasih kepada Allah.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Wasripin melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia tahu
tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa mandi dan
berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri, menipu,
memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan, kata emak
angkatnya, ‘’Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” dan
‘’Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada dirimu
bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah
(WdS:6-7).
Melalui kutipan itu terlihat bahwa pengekangan hawa nafsu untuk tidak
mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang merupakan peraturan
yang tertuang pada tingkatan sembah cipta.
c. Sembah Jiwa
Adapun sembah jiwa itu merupakan yang sebenarnya dipersembahkan kepada
Tuhan, yakni dengan jalan selalu memelihara kehidupan rohani, selalu waspada
dalam perbuatan, selalu ingat dengan hari kemudian (akhirat), sehingga semakin
bertambah rasa “pasrah” berserah diri (sumarah) kepada Tuhan Yang Mahakuasa.
Jiwa yang berpandangan menyeluruh, bahwa kehidupan dunia masih
berkelanjutan dengan kehidupan yang akan datang dan menyesuaikan diri dalam
perbuatan, itulah jiwa yang dimaksud dengan sembah jiwa. Jiwa yang berpandangan
seperti itu senantiasa akan terjaga kesuciannya karena akan ingat setiap saat pada
kekuasaan Tuhan.
Pada novel MPU sembah jiwa ini terpusat pada tokoh Abu Kasan Sapari.
Praktik sembah jiwa ini diwujudkan Abu Kasan dalam menjaga lingkungan.
Pelestarian alam perlu dilakukan dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hal ini, Abu Kasan menjadikan ular sebagai simbol lingkungan yang senantiasa harus
dijaga kelestariannya.
Seperti sulap, rupanya berita tentang ular dan pelestarian lingkungan itu telah
sampai di Jakarta. Akibatnya, peringatan Hari Lingkungan akan dipusatkan di
Kemuning...Pada waktu itu akan berkumpul para pemenang (I, II, dan III)
lomba Darling (Sadar Lingkungan) dari tiga propinsi, yaitu pabrik-pabrik
yang mengelola limbah dengan baik (MPU:58).
Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Abu Kasan Sapari melakukan
perbuatan yang memelihara kelestarian alam demi kelangsungan hidup manusia di
dunia.
d. Sembah Rasa
Di dalam sembah rasa ini, tidak lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat
aktivitas melainkan semua gerak anggota badan, semua langkah kaki, semua kegiatan
hidup, serasa mendapat rasa “pasrah” (berserah diri) dalam menunaikan kewajiban,
tidak lagi was-was dan ragu-ragu serta penuh harap bahwa perbuatan itu
diperuntukkan untuk kedamaian hidup.
Di dalam novel P, Pak Mantri adalah tokoh yang mampu mencapai tingkatan
terakhir pada sembah empat ini. Dia benar-benar memahami dan mempraktikkan
tujuan akhir kehidupan manusia dengan berusaha terus-menerus memperbaiki setiap
kesalahan yang dilakukannya. Perhatikan kutipan berikut.
Hidup kita pusatnya di sini, Pak Mantri menunjuk jantungnya. Hati. Yaitu
bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk
mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi
hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang
penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
peredaran darahmu...Rasa selalu terjaga. Ia adalah milik kita yang abadi.
Bahkan ia akan kita bawa sesudah mati (P:116-117).
Melalui rasa hidup menjadi lebih bersemangat, perasaan menjadi halus, dan
rohani menjadi bersih. Keadaan rohani itu memancar keluar sebagai suatu pribadi
yang berwibawa.
Dari keempat sembah itu dapat dipahami bahwa untuk mencapai pengetahuan
yang sungguh tentang Tuhan memerlukan tahap-tahap. Puncak pengetahuan adalah
terbukanya tabir kenyataan ‘ada’ sehingga manusia dapat menghayati hidupnya
dengan ringan, yakni dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan. Dimensi arti
pragmatis inilah yang menjadi ke-khas-an epistemologi Jawa.
Tataran sembah empat ini pun diamalkan Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan
Wasripin dalam kehidupannya. Terbukti, pada akhirnya mereka benar-benar mampu
melepaskan segala nafsu duniawi dan menyatu dengan Yang Illahi dengan menjadi
manusia panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Inilah yang dituju manusia dalam
filsafat sangkan paraning dumadi, baik awal dan akhirnya. Mereka terlahir sebagai
bayi yang suci dan berakhir (meninggal) dalam keadaan yang baik pula.
6.3 Aksiologi
a. Estetika
Estetika (keindahan) pada zaman Jawa-Hindu selalu dianggap sebagai
pengejawantahan dari yang Mutlak. Oleh karena itu, semua keindahan adalah satu.
Sementara itu, pada zaman Jawa-Islam, dalam kesusastraan Suluk diperpadat seluruh
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
20 sifat dan nama-nama indah (asma’ul husna) Allah menjadi 4 sifat, yaitu keindahan
dikategorikan menjadi:
1. Agung (jalal)
2. Elok (jamal, indah)
3. Wisesa (kahar, kuasa)
4. Sempurna (kamal)
Novel Kuntowijoyo ini pun berpijak pada filosofi, tradisi, dan budaya Jawa,
khususnya ditonjolkan melalui seni pewayangan. Seperti halnya wayang,
Kuntowijoyo dalam novel MPU ini berperan sebagai dalang. Sebagai dalang, ia
tampak begitu bebas bercerita, termasuk ketika memasukkan unsur nyanyian dan
“goro-goro” dalam novelnya. Bagaimana lakon, wayang dimainkan Abu Kasan
Sapari dengan geguritan atau sajak-sajak cinta untuk Lastri, renungan-renungan Abu
Kasan Sapari tentang alam dan lingkungan, digambarkan dengan penuh keindahan.
Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang
maka harus dituturkan dengan bahasa sederhana, lugas, dan santai.
(Abu Kasan Sapari menulis geguritan – puisi bebas bahasa Jawa – dalam
tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh
cintanya pada Lastri, dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu
akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan
Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya...Terjemahan
kata demi kata tidak selancar aslinya, tetapi biarlah demikian. Aneh, tidak ada
bau sel tahanan, dendam politik, dan tipu-daya Randu (MPU:163).
...
Beberapa hari Abu menatah wayang. Kali ini Limbuk, istri Petruk, dan
Cangik, biyung alias ibu Limbuk. Setelah jadi, sehabis Isya’ ia memegang
wayang-wayang itu di tangannya. Disandarkannya wayang-wayang di dinding
tembok kotangan. Cangik adalah suara Abu, sedangkan Limbuk suara Lastri
(MPU:224).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Di dasari atas empat sifat Allah itu, Abu Kasan menjelaskan seni sebagai
sesuatu yang penting dalam rangka menjaga keselarasan hubungan makhluk di dunia,
termasuk dalam urusan percintaan.
b. Etika
Etika (kesusilaan) mempermasalahkan adanya baik buruk (good-evil) yang
memengaruhi perilaku manusia yang juga berhubungan dengan adanya Tuhan
(Theodice). Dalam filsafat Jawa, baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi
manusia yang terjelma dalam empat sifat nafsu, yaitu mutmainnah, amarah,
lawwamah, dan supiah.
Keinginan baik (mutmainnah) akan selalu berhadapan dengan keinginan
buruk (amarah, lawwamah, supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Tujuan
hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, yang menjelmakan sifat Illahi dengan
mencapai “manunggaling kawula gusti”, maka pertentangan baik buruk akan diatasi
dengan peningkatan kesadaran yang disebut juga kedewasaan jiwa manusia atau
manusia yang bijaksana.
Bagaimana konsep-konsep Islam ini masuk ke dalam novel ini melalui suara
Pak Mantri, perhatikan kutipan berikut.
“Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah, ialah hak membuatmu angkara,
mendorong ke perbuatan jahat. Nafsu lawamah, ialah memberi pertimbangan,
berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah
ialah yang menuntunmu pada kebaikan. Orang yang sempurna ialah orang
yang menguasai nafsu amarahnya, menuruti pertimbangan baik dari nafsu
lawamah. Kita mesti mempunyai nafsu mutmainah. Dan manusia sempurna
ialah manusia sejati, ialah nafsu mutmainah, ialah insan kamil, ialah cahaya
sebesar lidi yang memancar di tengah angkasa (P:223).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Pengetahuan sebagaimana digambarkan di atas, akhirnya betul-betul
diwujudkan Pak Mantri. Pengetahuan, keyakinan, dan penghayatan ke-Jawa-annya
mampu menuntun merealisasikan konsep nafsu sebagaimana dikutip di atas. Dengan
kemampuan merasakan rasa, mawas diri, dan menguasai ketiga nafsu itu, Pak Mantri
legowo menyerahkan jabatan kepala pasar kepada Paijo.
Novel Kuntowijoyo ini menghadapkan berbagai etika dan nilai yang
berkembang di sebuah masyarakat yang perlahan tapi pasti mengalami perubahan.
Sosok kepala pasar yang di satu sisi merupakan agen pemerintah dan di sisi lain
berurusan langsung dengan masyarakat merupakan titik pusat pergulatan nilai-nilai.
Pergulatan itu semakin intansif manakala kepala pasar berhadapan dengan
profesionalitas kerja modern (bank), progresivitas kalangan swasta (Kasan Ngali),
dan tuntutan masyarakat.
Sosok kepala pasar yang berada dalam lingkaran “suksesi” yang berjalan
damai dan menimbulkan keharmonisan di semua elemen masyarakat. Di tangan
Paijo-lah pasar akan berdenyut meningkahi gerak zaman kehidupan alam modern.
Paijo jelas orang Jawa, tetapi Jawa yang sudah kompleks dan karena itu Jawa
yang menerima dan mengkritisi perubahan zaman. Jika orang Jawa tidak siap
menerima dan mentransformasikan Jawa ke dalam gerak perubahan kehidupan
sekarang, jika tidak ada yang konsen “memelihara” Jawa dalam konteks transformasi,
bukan tidak mungkin manusia dan budaya Jawa, juga manusia dan budaya etnik lain
di negeri ini, akan lenyap terbawa arus zaman yang digerakkan manusia dan
kebudayaan yang berkuasa. Itu sebabnya Kuntowijoyo menutup novel ini dengan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dialog Pak Mantri dan Paijo yang merupakan perpaduan nada getir, bangga, berharap,
bahkan bercanda.
“Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak.”
Mereka berjalan lagi.
“Yang mementingkan budi, lebih daripada ini.”Pak Mantri menggeserkan
empu jarinya dengan telunjuk, “Yang mementingkan martabat lebih dari
pangkat.” (P:270).
Dengan demikian, kesusilaan tidak terlepas dari perilaku dalam perjalanan
menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang
akan menentukan laku susilanya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang
dengan watak-watak pendeta, pandita ratu, satria, dituyaksa, dan cendala. Tingkat
kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri
sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahir. Jadi, ada pengakuan tentang
innate ideas dalam hal watak dan bakat, yang tampak dalam ungkapan “kacang ora
ninggalno lanjaran”. Dari pandangan inilah kemudian terbentuknya adanya perbedaan
ungkapan antara budaya wong cilik dan priayi.
Demikianlah gambaran bagi orang yang tidak mengenal kenyataan “ada”
dengan tidak menjalankan atau mencari pengetahuan, maka dari segi etikanya orang
akan memiliki budi pekerti rendah.
Dengan demikian, berfilsafat dalam arti luas dalam kebudayaan Jawa berarti
ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani
maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu merupakan satu kesatuan,
kebulatan. Jadi, jelaslah bahwa antara metafisika, epistemologi, dan aksiologi dalam
filsafat Jawa masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Ketiga bidang itu merupakan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan.
Dapatlah dirumuskan, dengan memakai analogi filosofi Yunani, filsafat Jawa berarti
cinta kesempurnaan (the love of perfection).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB VII
REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVEL-NOVEL
KUNTOWIJOYO
7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo
Honigmann
dalam
Koentjaraningrat
(2002:186),
membedakan
tiga
kebudayaan atas tiga wujud, yaitu : (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma, peraturan, dsb.; (2) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat ; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak
dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau dalam alam pikiran warga
masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat
tadi menyatakan gagasan mereka melalui tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal
sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis. Sekarang
kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip koleksi microfilm dan
microfish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer.
Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu
masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada
lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli
antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya (cultural system).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang tepat untuk menyebut wujud
ideal dari kebudayaan ini yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system,
mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul,
satu dengan lain dari waktu ke waktu selalu menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam
suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret terjadi di sekeliling kita seharihari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Wujud ini tidak
memerlukan banyak penjelasan karena berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret
karena berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud dari kebudayaan yang terurai di atas, dalam kenyataan
kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan
adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik
pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan
benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
lingkungan alamiahnya sehingga memengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan
juga cara berpikirnya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketiga wujud masingmasing tadi. Seperti apa yang telah tersebut di atas dalam rangka tiap kebudayaan,
adat-istiadat itu secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan
cita-cita norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan.
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak
dari adat-istadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga
sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan
penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi
arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam
masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu sangat bersifat umum,
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara
rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret
itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional
dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan.
Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang
hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar
dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan
tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat,
dengan cara mendiskusikannya secara rasional.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada
sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu
sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan
memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2002:191), tiap sistem nilai budaya
dalam kebudayaan itu terdapat lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima
masalah dasar tersebut digambarkan dengan jelas dalam novel-novel Kuntowijoyo
sebagai berikut.
7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan
Pada umumnya orang Jawa tidak banyak meminati tindakan-tindakan religius
intensif seperi mencintai Allah, memuji-Nya, dan mempersembahkan diri kepadaNya. Mereka jarang menganggap diri sebagai hamba yang tidak pantas di hadapan
Allah atau pantas dikutuk. Kata dosa dalam kesadaran religius Jawa – sejauh tidak
ditanamkan di dalamnya agama Islam atau agama Kristiani – tidak tampak
memainkan peranan penting. Begitu pula kehidupan sesudah kematian, juga tidak
menimbulkan banyak perhatian (yang penting hanyalah kewajiban mereka yang
masih hidup untuk menjamin penguburan sesuai dengan adat kebiasaan agar tidak
menimbulkan kemarahan arwahnya).
Hubungan orang Jawa dengan Allah bersifat tenang. Kesadaran akan Yang
Ilahi lebih merupakan semacam latar belakang yang hanya dieksplisitkan apabila ada
alasan-alasan khusus. Sebelum peristiwa-peristiwa kehidupan penting atau dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
keadaan terdesak diucapkan doa-doa, barangkali dengan berziarah ke tempat keramat
atau naik ke Gunung Merapi untuk berdoa dan menawarkan sesajen. Kecuali itu,
perhatian orang Jawa diarahkan pada kehidupan sehari-hari.
Pada akhir abad XVIII hampir seluruh Pulau Jawa secara resmi beragama
Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda. Pusat Islam yang paling sadar
adalah kota-kota di pesisir utara. Di situlah titik berat kebudayaan santri. Juga dalam
semua kota di pedalaman Jawa terdapat kampung-kampung santri. Kebudayaan santri
itu berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Walaupun, keratonkeraton secara resmi memeluk agama Islam, namun tradisi Hindu-Jawa lebih
menonjol. Keraton menjadi pusat kebudayaan Jawa klasik dengan tari-tarian dan
pertunjukan wayang, dengan gamelan dan dengan suatu ritual keagamaan yang
memang diadakan pada hari-hari besar Islam, tetapi yang isinya berasal dari zaman
Hindu-Jawa. Agama Islam dianggap sebagai salah satu persiapan untuk memperoleh
kesatuan dengan Illahi, dan apabila kesatuan itu telah tercapai bentuk persiapan itu
dianggap tidak begitu penting lagi. Di keraton-keraton, khususnya di Surakarta
berkembanglah kesusastraan mistik yang sangat dipengaruhi oleh mistik Islam,
namun pada hakikatnya bersifat heterodoks.
Potret gambaran tentang perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan sampai
meninggal dunia, diilustrasikan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat; yakni
dari tembang Mijil sampai Pucung. Bahkan, para pujangga bukan sekadar memotret
fase-fase penting dalam perjalanan hidup manusia, tetapi juga memberikan solusi atau
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi; baik mengenai makna, hikmah
serta penyikapannya (solusi) yang semuanya dikemas secara simbolik (metafor).
Refleksi perjalanan manusia dalam novel-novel Kuntowijoyo yang terekam
dalam macapat tersebut, yakni sebagai berikut.
1. Mijil
Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yang baru lahir dari gua garba (rahim ibu).
Bayi yang baru saja dilahirkan, tentu dalam keadaan fitrah, suci, atau murni dan tanpa
dosa; ibaratnya seperti kertas putih. Pada dasarnya usia 0-15 tahun, seorang anak
memiliki kecenderungan pada boneka (doll). Pengertian boneka di sini, yakni
mainan; segala sesuatu yang bersifat materi.
Dalam tuntunan agama Islam, Allah SWT ─ sebagaimana dinyatakan dalam
Alqur’an ─ telah menyatakan bahwa bayi yang fitrah; apakah ia akan beragama
Islam, Nasrani, atau Yahudi maka orang tua yang bertanggungjawab sebab mereka
yang mendidik anaknya sejak lahir.
Di sinilah peran penting orang tua dalam mengasuh anaknya. Secara sederhana,
kewajiban orang tua dalam mengasuh anak, antara lain sebagai berikut.
a. Memberikan nama yang baik kepada anaknya. Nama yang baik tadi
merupakan doa dan harapan orang tua sehingga si anak kelak setelah dewasa
menjadi orang, sesuai harapan orang tuanya.
b. Memberikan kebutuhan si anak, baik menyangkut sandang, pangan, dan
papan (tempat tinggal) sehingga terjalin suasana yang baik dalam
keluarganya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Memberikan pengajaran, pendidikan, atau menyekolahkan dalam rangka
menuntut ilmu. Kebutuhan yang azasi bagi seorang manusia adalah menuntut
ilmu. Itulah yang terdeteksi dari proses perjalanan nabi Adam as, saat
mendapatkan pengajaran yang baik oleh Allah SWT ketika berada di surga.
d. Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW pernah menganjurkan agar orang tua
memberikan tiga pelatihan kepada anak-anaknya; 1) melatihnya memanah
dengan anak panah; 2) melatih berenang; dan 3) melatih menunggang kuda.
e. Dari kelahiran si jabang bayi sebagai ungkapan syukur, diharapkan orang
tuanya menyembelih kambing yang diniatkan untuk aqiqah ─ dimaksudkan
sebagai ‘penebusan’ hawa nafsu si bayi yang telah tergadaikan ─ yang
dagingnya diberikan kepada fakir miskin atau tetangganya.
f. Setelah besar atau kira-kira berusia 7-12 tahun, si anak (laki-laki) dikhitankan.
Dalam persfektif kejawen, khitan tadi diistilahkan sebagai ‘mengislamkan’ si
anak.
g. Orang tua diharapkan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan
melindungi, menjaga, dan merawatnya dengan baik.
h. Orang tua diharapkan bisa mendidik anak-anaknya secara baik, yakni dengan
konsep pengajaran Jawa, yakni dengan mulat (mengetahui), milolo
(mendorong), miluta (membimbing), palidarma (memaafkan kepada anakanak).
Tradisi macapat ini muncul pada masa Jawa-Islam yang dibawa oleh
walisongo saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Tembang ini diyakini dapat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
berpengaruh baik pada kehidupan seorang anak yang baru lahir. Macapat ini
dinyanyikan dengan iringan gamelan yang bertujuan untuk mendoakan si anak agar
menjadi orang yang berguna kelak. Perhatikan kutipan berikut.
Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan
gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya
diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu
Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan
kedua orang tuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada
jabang bayi yang baru lahir. Kemudian dengan suara serak seseorang tua
melagukan Dandanggula, peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa
keselamatan:
Ana kidung rumeksa ing wengi
(Ada nyanyian menjaga malam
teguh ayu luputa ing lara
aman sentosa tidak terkena penyakit
kalisa bilai kabeh
luput dari semua penderitaan
jim setan datan purun
jin dan setan tidak mau mengganggu
paneluhan tan ana wani
santet tidak berani mendekat
miwah panggawe ala
dan semua perbuatan jahat
gunaning wong luput
guna-guna dari orang salah
agni atemahan tirta
api menjadi air
maling adoh tan ana ngarah mring mami pencuri jauh tidak menuju saya
tuju dudu pan sirna
maksud jahat akan musnah)
Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh
modin desa (MPU:2-3).
Mijil atau lahir, secara maknawi bisa saja dikontekstualkan sebagai lahirnya
gagasan, ide, intuisi batin atau semacam uneg-uneg dan sebagainya. Bahkan, dalam
kepribadian pun seseorang bisa ‘dilahirkan’ kembali setelah hijrah dari kegelapan
menuju terang-benderang. Begitu pula dengan ‘kelahiran baru’, ‘semangat baru’,
‘motivasi baru’, ‘rencana baru’ dan seterusnya.
Seorang tokoh sufi besar, Imam Hasan al-Bashri saat berumur 70 tahun
pernah merefleksikan kesuksesan Simeon ketika meninggal dunia pada usia 70 tahun
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
setelah bersyahadat (membaca syahadat). Padahal sebelumnya Simeon selama 70
tahun adalah seorang penyembah api (beragama Majusi).
Peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa meski usia Simeon telah 70 tahun
tetapi sebenarnya ia baru saja mengalami proses ‘kelahirannya kembali’ setelah
membaca syahadat dengan meninggalkan keyakinan yang telah digelutinya selama 70
tahun.
2. Asmarandana
Asmarandana artinya fase atau masa di mana seseorang telah berhubungan
dengan asmara atau cinta terhadap lawan jenis. Begitulah tema tentang cinta atau
percintaan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘tema abadi’ dari zaman Nabi
Adam hingga kiamat. Tema tentang cinta dianggap oleh banyak orang merupakn
peristiwa manusia dari bagian hidup yang teramat penting (dari tiga hal penting;
yakni, kelahiran, perkawinan, dan kematian). Orang yang terlibat cinta misalnya
seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan cantik, bisa menimbulkan
semangat dan gairah hidup. Sebaliknya, orang yang mengalami kegagalan cinta bisa
mengalami patah hati, frustasi hingga tega melakukan bunuh diri, sebagaimana yang
terekspresikan dalam kisah cinta Romeo dan Juliet.
Pada fase ini, biasanya usia belasan tahun (17 tahun), seseorang sudah
mengenal cinta pertama alias ‘cinta monyet’. Tentu, ini masih berada dalam tahap
yang masih awal dalam fase percintaan yang sesungguhnya (cinta sejati). Setelah
berusia 25 tahun bagi laki-laki dan 22 tahun bagi perempuan, biasanya mereka telah
mulai matang (dewasa) yang sebenarnya untuk memasuki masa perkawinan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Purwadi dalam Susetya (2007:11) menyatakan masalah percintaan (asmara)
yang disalurkan sesuai dengan moral agama akan membuahkan sesuatu yang baik,
menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika
seseorang bermain-main dalam urusan percintaan, maka akan menyebabkan problem
solving dalam urusan sosial kemasyarakatan.
Dalam budaya Jawa sering diungkapkan ‘witing tresna jalaran suka kulina’
(cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulan atau
persahabatan antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan masalah
percintaan, namun lama-kelamaan akan bisa menumbuhkan cinta di antara mereka;
lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Mungkin kebiasaan karena seringnya bertemu
satu dengan lainnya. Bisa saja karena terjadi interaksi dengan saling membantu di
antara mereka, atau karena sama-sama bekerja di instansi yang sama, sehingga sering
bertemu dan bertegur-sapa, hingga lahirlah cinta dari lubuk hatinya.
Namun, dalam Islam sama sekali tidak mengenal istilah pacaran karena bukan
muhrim-nya, antara laki-laki dan perempuan dilarang saling pandang, bergaul secara
bebas, duduk dan bepergian berduaan, dst. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mengantisipasi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan sebab betapa banyaknya lakilaki atau perempuan telah terseret arus pergaulan bebas.
Pada novel MPU, Abu Kasan banyak membuat geguritan asmaradana untuk
kekasihnya Lastri. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Di Rumpun Bambu Burung Kecil
Pada suatu kali dalam perjalanan
Di suatu rumpun bambu kutemukan
Sebuah sarang dan di dalamnya
Seekor burung kecil yang manis
Burung kecilku yang manis
Senyum di wajahnya
Menyambut pengembara
Lagu didendangkan
Aku pun berhenti
...
Cinta pengembara yang gairah
Cinta pengembara yang gelisah
Burung kecilku yang manis
Katakan cintamu padaku
Cintamu air bening sahara
Cintamu penghapus duka
....
(MPU:163-164)
3. Kinanthi
Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga
memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya yakni kehidupan berumah
tangga. Pujangga Jawa, dalam rambu-rambu perkawinan, telah memberikan
nasihatnya melalui senandung tembang, yang jika diperhatikan oleh masyarakat Jawa
akan sangat bermanfaat, sebagai berikut :
Gegarane wong akrami
dudu bandha dudu rupa
amung ati pawitane
luput pisan kena pisan
yen angel angel kelangkung
tan kena tinumbas arta
(rambu-rambu dalam perkawinan)
(bukan karena harta, bukan karena wajah)
(hanya hati modalnya)
(gagal sekali, tepat sekali)
(jika terlanjur sulit, sulit sekali)
(jika benar/tepat ibaratnya tidak bisa dibeli
harta)
(WdS:19)
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Barangkali makna tembang tersebut menafsirkan ajaran dalam agama Islam
bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi
seseorang dalam kedewasaan keyakinannya. Ini artinya seseorang tadi telah memiliki
modal kuat dalam hati dan kepribadiannya berkaitan dengan agamanya. Nabi SAW
memang memberikan alternatif sebagai rambu-rambu dalam perkawinan, di
antaranya menikah karena: 1) agamanya; 2) memiliki nashab/ keturunan yang baik
atau mulia; 3) kecantikan/ketampanan wajahnya; dan 4) hartanya.
Setelah memasuki perkawinan, biasanya para sesepuh, ulama, orang tua
masing-masing mendoakan agar dalam kehidupan perkawinannya, pasangan suamiisteri dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah; yakni
kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Allah SWT.
4. Dhandhanggula
Dhandhanggula sebenarnya terdiri dari dua kata; dhandhang yang artinya pait
(pahit) dan gula yang berarti manis. Jadi, dhandhanggula berarti gambaran pahitmanis alias suka-duka dalam kehidupan terutama setelah seseorang memasuki
kehidupan berumah tangga. Pada fase ini, pasangan suami isteri, di samping
mengalami kenikmatan dan kebahagiaan hidup, misalnya telah mendapatkan
momongan (anak) dari perkawinannya serta penghasilan yang cukup, tetapi mereka
juga makin memiliki tanggung jawab yang besar sehingga mereka harus menjalani
kehidupannya dengan lara lapa (prihatin).
Makna dhandhanggula menurut Purwadi (dalam Susetya, 2007:17), yakni
rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, lebih cerah, dan lebih gemilang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
harus melewati masa pahit terlebih dahulu. Oleh karena itu, masa depan yang cerah
dan baik harus dilewati dengan agenda hidup yang lebih jelas dan tertata rapi,
lumampah anut wirama (berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku).
Pada novel WdS tembang dhandanggula ini dilantunkan oleh Satinah, seperti
terlihat dalam kutipan berikut.
Setelah selesai, katanya, Saya akan menyanyikan ‘Dandanggula Tanah
Merindukan Hujan...yang penting tembang ini jujur. Mulai, ya?”
(Aduh Tuhan, hujan tidak datang
tanah-tanah sudah tidak tahan
gerimis saja betapa senang)
Adhuh Gusti, tan jawah puniki
Lemah-lemah selak padha bengkah
Grimis we mendah senenge
...
Mengko neka keduwung
Yen ana sing andhisiki
Nyiram banyu tawa
Wong selak pikun
(nanti kalau menyesal
jika ada yangmendahului
menyiram air tawar
sebab keburu pikun)
Aywa suwe-suwe to
Anggonmu mikir kuwi
Wong butuh tenan kakang
(jangan terlalu lama
kau memikirkan
soalnya saya membutuhkan,
kakang)
(WdS:192-193)
5. Megatruh
Megatruth berarti
megat (memutuskan), sedang ruh (roh), sehingga
memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia. Ini adalah fase terakhir manusia,
yakni mengahadapi kematian. Purwadi dalam Susetya (2007:23) menyatakan bahwa
pada tingkat megatruh ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir
batin sehingga mencapai ‘mati sajroning urip’hingga mencapai akhir hidup yang baik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Pada novel MPU tembang ini menceritakan menceritakan perjalanan Jaka
Tingkir melewati Bengawan Solo yang masa itu dikenal sebagai sungai yang banyak
buayanya. Perhatikan kutipan berikut.
Dengan tembang Megatruh, diceritakan perjalanan Jaka Tingkir alias Mas
Karebet dari Padepokan Banyubiru ke Demak lewat Bengawan Solo. Pada
abad ke-16 Bengawan Solo pasti masih banyak buayanya.
Sigra milir
Sang gethek sinangga bajul
Kawan dasa kang jageni
Ing ngarsa miwahing pungkur
Tinepi ing kanan kering
Sang gethek lampahnya alon
(segera hanyut
rakit didukung buaya
empat puluh buaya yang menjaga
di muka dan di belakang
di tepi kanan dan kiri
rakit berjalan perlahan-lahan)
(WdS:41-42)
Megatruh ini dinyanyikan orang Jawa ketika mereka merasa ajalnya sudah
dekat. Ini juga merupakan tembang perpisahan kepada dunia beserta isinya.
Sementara itu, tembang macapat yang tergolong pada sinom, maskumambang,
durma, pangkur, gambuh, dan pucung tidak terdapat dalam novel-novel
Kuntowijoyo. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis tidak menjelaskannya.
Selanjutnya, salah satu yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya
Jawa adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh
Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa
yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah
melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga
terhadap sistem agama.
Cerita Ajisaka yang datang ke Pulau Jawa kemudian mengubah huruf India ke
dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses
transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana
dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena golongan
cendikiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka
golongan cendikiawan Jawa menjadi kaum bangsawan (priyayi), yang pada akhirnya
ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi.
Kuntowijoyo mentransmisikan sosiohistoris tersebut pada tokoh ‘Ayah
Satiyem’. Tokoh tersebut berpandangan bahwa agama apapun seorang baik itu Islam,
Kristen, Hindu, ataupun Budha harus tetap mempertahankan budayanya. Agaknya ini
juga merupakan pemikiran Kuntowijoyo selaku budayawan yang tersirat melalui
novel tersebut.
Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja : Islam-KristenBudha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup (WdS:45).
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat
terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu
baik, maka sangat wajarlah jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot
atau serba memuat).
7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam
Alam bukan lagi lingkungan yang asing bagi manusia karena dalam
memperoleh pemahaman, keduanya merupakan jalinan kesatuan. Untuk memahami
tentang alam, ada dua komponen yang tergabung di sini yaitu, alam sebagai alam dan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
alam sebagai budaya. Alam sebagai alam adalah sebagaimana ditentukan dalam
pengalaman langsung, alam yang telah menghadirkan dan mendahului pemahaman.
Namun, alam yang masuk ke dalam pemahaman itu adalah alam sebagaimana tertepis
oleh cakrawala yang terikat pada sejarah kehadiran pemahaman itu sendiri, dan
membentuk alam sebagai budaya.
Alam sebagai budaya adalah alam sebagai kumpulan gagasan yang
menunjukkan
proses
penyelidikan
terus-menerus
bagi
landasan
tindakan
pengetahuan. Alam ini adalah hasil upaya manusia untuk menghubungkan berbagai
makna dalam pengalaman, dalam cara meneguhkan pengalaman-pengalaman yang
bernilai serta dengan melakukan penyelidikan dan pengujian untuk menentukan apa
yang terbukti yang akan terus bernilai (Leksono dalam Minsarwati, 2002:45).
Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia
dan kodrat alam senantiasa saling memengaruhi, sekaligus bahwa manusia harus
sanggup melawan kodrat untuk dapat mewujudkan kehendaknya, cita-citanya,
ataupun fantasi hidupnya agar selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil
perjuangan (melawan kodrat) berarti kemajuan atau pengetahuan bagi lingkungan
atau masyarakatnya, maka terjalinlah kebersamaan yang disebut gotong-royong,
hormat-menghormati, tenggang rasa (tepaselira), rukun, dan damai hingga mawas
diri.
Menurut Minsarwati (2002:41) titik tolak hubungan manusia dan alam adalah
kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia, yang disebut
sebagai kosmologi. Menurut Bakker dalam Minsarwati (2002:43) manusia secara
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui
dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia ini. Ini berarti
bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh
merupakan pula refleksi atas dunia. Jadi, dunia tidak dapat dipakai tanpa manusia.
Demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasikan.
a. Manusia yang Bersatu dengan Alam
Berhadapan dengan alam, manusia berusaha untuk sedapatnya membebaskan
diri daripadanya dengan merohanikan atau menghaluskannya. Alam pada dirinya
sendiri sejauh berada dalam keasliannya termasuk alam kasar. Alam asli bagi orang
Jawa adalah angker, mengerikan, dan menakutkan, tempat kebuasan, kekacauan,
penuh bahaya, dan penuh roh-roh yang tidak dikenal. Bagi orang yang mencari
kesaktian, alam merupakan tempat tinggal sementara dan tempat untuk membuktikan
diri.
Hubungan antara manusia dan alam sekelilingnya tidak bersifat eksploitatif
agar dapat diperoleh keuntungan. Hubungan ini lebih bersifat saling menjaga
sehingga terciptanya keselarasan. Masyarakat Jawa percaya bahwa siapa yang
melanggar interaksi tersebut akan terkena hukuman baik dari warga maupun
kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dan berasal dari alam adikodrati.
Hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola
kebudayaan. Dengan kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan
lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola kompleks nilai yang bersumber dari etika
dan pandangan (Minsarwati, 2002:48).
Sikap kosmologis masyarakat Jawa terhadap lingkungan alam ini tercermin
pada saat terjadinya letusan tanggal 22 November 1994 baik itu terjadi di Desa
Purwobinangun, Turgo, Kepoharjo, Kaliadem,Umbulharjo, dan Kinahrejo. Di sini,
tampak sekali bagaimana manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam
Gunung Merapi. Mereka tidak mau meninggalkan daerahnya yang tertimpa bencana
walaupun daerah itu sudah hancur lebur dilalap awan panas dan dijadikan sebagai
daerah terlarang yang tidak layak huni. Kenyataan ini bisa dipahami sebagai sebuah
sikap hidup atau sebuah kearifan atau kebijaksanaan hidup terhadap lingkungan alam
dan budayanya yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang berjiwa. Terjadinya
letusan itu lebih dipaham sebagai sebuah takdir.
Keengganan masyarakat untuk meninggalkan daerah menurut pandangan
masyarakat umum di Yogyakarta lebih didasari oleh kewajaran. Hal ini menyangkut
eksistensinya sebagai masyarakat lereng Merapi yang berbudaya yang mampu hidup
berdampingan secara serasi dan harmonis dengan alam.
Keberadaan Merapi tetap dipandang sebagai anugerah. Manusia selalu tunduk
dan dikuasai oleh Gunung Merapi, hal ini bisa dilihat betapa masyarakat tidak berani
menebang pohon seenaknya, berburu binatang di hutan, memindahkan batu-batu
besar di tempat-tempat tertentu, mendirikan rumah menghadap ke arah Gunung
Merapi, apalagi punya keberanian untuk membakar hutan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Makna kosmologis ini tentunya bermanfaat besar dalam meningkatkan
martabat manusia pada tingkat pertama, sampai yang terakhir karena setelah itu maka
ada tugas manusia adalah memayu hayuning bawana. Konsep ini dipandang sebagai
etika kosmologis. Artinya, berupa ajakan moral yang implisit dalam hukum alam.
Manusia harus membuat seluruh isi alam menjadi tenteram dan damai, untuk itu
manusia harus menyadarinya dengan cara menaati tatanan yang berlaku dan hidup
harmonis dan selaras. Oleh karena itu, manusia harus menciptakan keharmonisan
terhadap alam dengan berlaku hidup selaras, serasi, dan seimbang.
b. Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam
Strauss (Minsarwati, 2002:46) menyatakan bahwa alam menjadi suatu
pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia bukanlah makhluk
di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan sebagai bagian dari alam;
manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang menentukan hidup dan pikirannya.
Manusia bukan subyek bebas, otonom, dan sadar, yang maha kuasa, melainkan ia
memainkan peranan sebagai sarana dalam proses pemekaran diri alam itu.
Bagi orang Jawa alam adalah wilayah yang dibabat untuk memperoleh tanah
yang memberi berkat bagi manusia. Hutan yang sebelumnya adalah tempat roh-roh
dan binatang-binatang buas, kemudian dijadikan pemukiman bagi manusia. Dalam
berhubungan dengan alam, orang Jawa berusaha menghaluskannya. Itu dilakukan
melalui seni. Obyek penghalusan itu pertama-tama dari segi alamiah manusia itu
sendiri, yaitu tubuhnya. Tubuh dihaluskan terutama melalui seni tari. Di situ termasuk
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
juga berbagai bentuk wayang, khususnya wayang kulit yang diukir indah dengan
wujud berabstraksi tinggi. Termasuk juga orkes gamelan yang musiknya tidak pernah
kehilangan sifatnya yang tenang. Seni batik pun termasuk di sini.
Pengaturan hubungan manusia dengan alam lahir membuka jalan untuk turun
ke dalam batin sendiri, semakin dalam penghayatan tersebut akan menimbulkan
kesadaran peersatuan dengan semua makhluk.
Tatanan kehidupan manusia modern sekarang ini, cenderung bangga bila
menaklukkan dan menguasai alam. Tindakan tersebut bisa mengarah pada hal yang
bersifat positif dan negatif. Pemanfaatan sumber daya alam dengan cara
mempertahankan kelestarian alam maka manusia tidak akan mengalami kerugian.
Sebaliknya, apabila pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan dengan caracara yang merusak maka hal itu akan menimbulkan kerugian pada manusia itu
sendiri.
Pada novel MPU digambarkan juga tokoh Abu Kasan yang berpendidikan dan
berkebudayaan modern, tetapi basis perasaan dan pemikirannya adalah alam dan
lingkungan (agraris). Dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an, melalui suara Abu
Kasan, Kuntowijoyo menunjukkan bahwa pada surat 114 dalam Al-Qur’an semuanya
merujuk kepada alam. Abu Kasan menolak paham orang Barat yang mengatakan
bahwa peradaban manusia menundukkan alam. Bagi Abu Kasan “menundukkan”
alam itu langkah yang salah. Malah itu sejenis kesombongan sebab yang benar
manusia harus “berdamai” dengan alam. Di sini terlihat prinsip keselarasan (harmoni)
yang dianut orang Jawa menjadi landasan berpikir Abu Kasan Sapari.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Melalui Abu Kasan, Kuntowijoyo mengungkapkan bukit, batu, langit, jin,
manusia, kuda, angin, buaya, rempah-rempah, tebu, dan logam, yang tidak lain adalah
alam itu sendiri, khususnya tentang bukit dan alam umumnya. Perhatikan kutipan
berikut.
Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa manusia
diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya dengan sumpah kepada
buah Tin, pohon Zaitun, bukit Tursina, dan daerah yang penuh berkah. Nabi
Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan menerima “Ten Commandment” di
atas bukit. “Khotbah di Atas Bukit” Nabi Isa juga dikenang umat manusia
(MPU:33).
Dapatlah kiranya ditegaskan bahwa posisi bukit (alam) menduduki tempat
penting dalam renungan-renungan Abu Kasan Sapari yang agaknya tidak lain refleksi
pandangan Kuntowijoyo sendiri.
Dengan berpijak pada sejarah, melalui renungan-renungan Abu Kasan,
Kuntowijoyo ingin menunjukkan bahwa rempah-rempah (alam) dulu pernah menjadi
amat penting di negeri ini sehingga orang-orang Eropa datang dan kemudian
menjajah. Demikian pula dengan revolusi industri di Indonesia yang dimulai dari
berdirinya pabrik-pabrik tebu (alam). Itulah yang membuat Indonesia mejadi bagian
penting dalam perekonomian dunia. Kita dapat saja menambahkan apa saja yang
disampaikan novel itu, mengingat hingga hari ini negeri kita merupakan negeri yang
kaya dengan kekayaan alamnya (aneka tambang, ikan, minyak, gas, kayu, dan lainlain). Tidak mengherankan bila Abu Kasan (Kuntowijoyo) berfilsafat tentang alam,
tidak lain untuk menyadarkan semua orang bahwa alam amatlah penting; oleh karena
itu, manusia harus menjaga dan berdamai bukan menundukkan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Alam dan lingkungan menjadi tema pagelaran wayang Abu Kasan pada
akhirnya, dan ular bagi Abu Kasan adalah simbol alam dan lingkungan. Oleh karena
itu, ular seperti alam dan lingkungan, harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh,
apalagi dijadikan sebagai abon ular untuk obat kuat sekaligus obat penyakit kulit.. ia
melawan orang-orang yang suka membunuh dan memperjualbelikan ular. Cinta ular
berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu Kasan. Betapa pentingnya
lingkungan, lihat kutipan berikut yang mengacu pada sejarah.
“....Zaman dahulu Gunung Kidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada
kekeringan. Tetapi karena ulah manusia sekali lagi karena ulah manusia,
Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap
musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya. Bukan
tidak mungkin cucu-cucu kita akan mengalami hal yang sama. Prinsip
melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di tempatnya“ (MPU:55).
Abu Kasan berhasil mengajak camat, lurah, dan masyarakat akan kesadaran
pada alam dan lingkungan, juga pada ular. Maka dilukiskanlah seorang anak yang
bermain-main di sawah dengan ular, orang-orang bertetangga dengan ular, bahkan
ada ular bercanda dengan orang dengan cara mengambil topi yang sedang dijemur
atau ular-ular nongkrong di pohon menyaksikan permainan sepak bola di lapangan
kecamatan. Pelukisan ini memang agak tidak masuk akal, sedikit aneh, kocak, bahkan
luar biasa, tidak lain karena ular oleh Abu Kasan Sapari dan pengarang ditempatkan
sebagai sesuatu yang penting, tidak kalah penting dengan kedudukan manusia sendiri.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
7.1.3
Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Menurut Geertz (Suseno, 2003:38), ada dua kaidah yang paling menentukan
pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama, mengatakan bahwa dalam
setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai
menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam berbicara dan
membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan
derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan dan
kaidah kedua disebut sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka
normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi. Tuntutan dua
prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa agar kelakuannya selalu sesuai dengan
prinsip itu. Kedua prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Prinsip Kerukunan
Prinsip kerukunan ini terbagi atas tiga, yakni rukun, gotong royong, dan
musyawarah. Di dalam mencapai prinsip itu, ketiganya tidak bisa dipisahkan satu
sama lain karena saling berkaitan dalam pelaksanaannya pada masyarakat. Berikut
penjelasannya.
1. Rukun
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam
keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada
dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”,
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
bersatu dalam maksud saling membantu. Rukun adalah keadaan ideal yang
diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial.
Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan
keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu.
Namun, berbagai kepentingan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang
mengarah ke konflik dan mengancam prinsip kerukunan itu. Oleh karena itu,
masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan
dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau
sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi tersebut pecah
secara terbuka. Norma-norma itu dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri
dan menguasai emosi-emosi.
Orang Jawa terutama harus berhati-hati dalam situasi di mana kepentingankepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Suatu permintaan atau tawaran
tidak boleh langsung ditolak. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa
adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar secara tidak
langsung. Perhatikan kutipan berikut.
Orang-orang tua dulu berbicara dengan lambang-lambang, tidak thok leh alias
to the point. Tapi orang sering salah menafsirkan lambang-lambang itu,
kadang orang hanya menangkap secara letterlijk, padahal hanya lambang.
Misalnya, di Bayat, Klaten, di bukit Jabalkad, di makam Sunan Pandan Arang
ada sebuah tempat air dari tembikar yang berlobang-lobang. Orang yang
hanya menangkap yang lahir akan bilang, “Wah tempayan yang demikian,
bagaimana mengisinya!” Memang itu hanya perlambang. Arti yang ada di
balik tempayan itu ialah bahwa otak itu tidak akan penuh meskipun
menampung banyak ilmu (MPU:43).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk
berpura-pura. Orang Jawa bicara tentang ethok-ethok. Kemampuan untuk ber-ethokethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa di
luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaannya yang
sebenarnya. Itu terutama berlaku tentang perasaan-perasaan yang negatif.
Orang Jawa telah membatinkan dalam dirinya bahwa kesejahteraannya,
bahkan eksistensinya tergantung dari kesatuan dengan kelompoknya. Menentang
kehendak orang lain secara langsung atau menunjukkan permusuhan sangat
bertentangan dengan perasaannya. Oleh karena itu, setiap kelakuan yang
menyimpang dari prinsip kerukunan akan berhadapan dengan perlawanan psikis yang
kuat. Secara psikologis, keadaan rukun diterjemahkan dalam keadaan di mana tidak
terdapat perasaan-perasaan negatif suatu keadaan yang aman dan tentram.
2. Gotong Royong
Praktik gotong-royong pun mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong
dimaksudkan dapat saling membantu dan melakukan pekerjaan demi kepentingan
bersama. Menurut Koentjaraningrat (2002:65), ada tiga nilai yang disadari orang desa
dalam melakukan gotong-royong: pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam
hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia
harus selalu berupaya untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua,
orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
conform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk
menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya.
Kerukunan masyarakat Jawa dalam novel WdS tampak ketika masyarakat
mengadakan upacara-upacara besar. Gotong royong sangat dibutuhkan dalam
menjaga kerukunan dalam masyarakat. Masing-masing pihak telah mengetahui fungsi
dan perannya masing-masing.
Wasripin juga diberitahu di mana duduk, tempat duduk teman-teman yang
mengantar, dan kapan dia dipanggil maju untuk menerima. Sesudah upacara,
kapolri berkenan omong-omong sebentar dengan Wasripin dan lima orang
teman di pendopo kabupaten. Undangan itu hanya sedikit mengubah rencana.
Sesudah akad nikah mereka kan datang di stadion, tempat upacara. Mereka
bergerombol dan mencoba menebak-nebak makna dari undangan. Para
nelayan menafsirkannya sebagai “kerjasama penguasa dan masyarakat”,
“peranserta masyarakat”, “kepercayaan pada masyarakat”, dan “ada
perubahan di atas sana” (WdS:212-213).
Orang Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya nampak juga
dalam cara bergotong-royong. Bentuk gotong-royong yang spontan, misalnya
membantu dalam kasus kematian (layat) dan melaksanakan proyek-proyek tertentu
demi kepentingan seluruh kampung (gugur gunung). Sementara itu, memenuhi
undangan pesta merupakan suatu kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan
sejumlah uang untuk tuan rumah (njurung). Besarnya sumbangan itu diingat oleh
kedua belah pihak dan si pemberi boleh berharap akan menerima sumbangan serupa
apabila mengadakan perayaan yang sama. Dalam segala macam bentuk gotongrotong itu, orang Jawa tahu persis jumlah waktu kerja atau jumlah uang berapa yang
masih harus dikembalikannya dan berapa yang masih berhak dituntut orang lain.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Jadi, prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai
kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial
untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok.
3. Musyawarah
Usaha untuk menjaga kerukunan mendasari juga kebiasaan musyawarah, yaitu
proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Secara ideal,
bermusyawarah adalah prosedur di mana semua suara dan pendapat didengarkan.
Semua suara dan pendapat dianggap sama benar dan membantu untuk memecahkan
masalah. Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan
pendapat, yang bisa juga diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan
dan pendapat para partisipan.
Pada novel MPU pun musyawarah digambarkan dalam keluarga Abu Kasan
Sapari saat mengambil keputusan. Musyawarah menjadi sebuah tradisi yang harus
dilakukan masyarakat Jawa meskipun pada akhirnya keputusan tersebut tetap
berpusat pada orang yang lebih dominan. Perhatikan kutipan berikut.
Musyawarah antara kakek-nenek dan orang tuanya hanya menghasilkan
bahwa segalanya terserah Abu sendiri. Dan ia mengatakan akan sembahyang
istikharah, maneges kersaning Allah, menanyakan kehendak Tuhan. Pagi
harinya ia menyatakan ‘ya’, setelah bermimpi naik trap-trapan memasuki
suatu gedung (MPU:13).
Pengambilan keputusan melalui musyawarah yang dilakukan keluarga Abu
Kasan Sapari pun masih diwarnai mitos. Mimpi Abu Kasan diyakini sebagai jawaban
atas sembahyang istikharah yang dilakukannya. Mitos mimpi Abu Kasan melahirkan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
kebulatan tekad untuk mengambil sebuah keputusan. Kebulatan itu merupakan
jaminan kebenaran den ketepatan keputusan yang hendak dicapai, karena kebenaran
termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok yang bermusyawarah. Orang Jawa
lebih mengunggulkan musyawarah dalam mengambil keputusan dibandingkan
dengan cara pemungutan suara. Tujuan musyawarah itu diharapkan agar setiap orang
bisa mengemukakan pendapatnya.
b. Prinsip Hormat
Kaidah kedua yang berperan penting dalam mengatur interaksi dalam
masyarakat Jawa ialah prinsip hormat. Prinsip ini menekankan bahwa setiap orang
dalam berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Apabila dua orang bertemu,
terutama dua orang Jawa, bahasa dan sikapnya harus mengungkapkan suatu
pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial
yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama
yang sesuai dengan mengambil sikap hormat yang tepat.
Perhatikan kutipan berikut.
Sekali ini benar-benar tontonan jarang. Agak canggung rasanya bagi Pak
Mantri. Ia malu, harus berurusan dengan orang-orang. Kikuklah. Tidak
seorang pun dari kerumunan itu melerai. Tentu, mereka takut pada Pak
Mantri. Bagi Pak Mantri sungguh aib besar, bertarik-tarikan dengan orang
pasar itu. Lagipula ia sadar kalau orang-orang itu benar-benar melawannya ia
akan terseret. Kewibawaanlah yang menolongnya. Tidak, ia tak mundur.
Kemudian Pak Mantri beranjak. Memang begitulah sopan santunnya, harus
Pak Mantri yang meninggalkan pedagang kambing, bukan sebaliknya. Ada
kemenangan di pihaknya (P:66).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Prinsip hormat berdasarkan pendapat dilihat dari hubungan dalam masyarakat
yang teratur secara hierarkis. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak
meresapi seluruh kehidupan masyarakat Jawa. Masyarakat biasa dalam novel P
tersebut sangat menjaga sikap hormat terhadap Pak Mantri, yang mereka pandang
lebih tinggi strata sosialnya. Dalam bahasa Jawa, tidak ada kemungkinan untuk
menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan
bagaimana menaksirkan kedudukan sosialnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam
prinsip kerukunan, orang Jawa dalam menyapa seseorang mempergunakan istilahistilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan dalam
menunjukkan kedudukan yunior-senior.
Perhatikan juga kutipan berikut.
“Belum datang juga Pak Camat?”
“Belum Pak.”
“Polisi?”
“Belum.”
“Selamat siang, Ning.”
“Selamat siang, Pak.” Uh!
Aduh biyung! Gadis itu memanggilnya ‘pak’(P:92 & 133).
...
Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yangn segera menarik
tangannya.
”Anggap saja Yu Lastri ini anakmu, kalau dia mau,” kelakar Abu (MPU:155).
...
Waduh, Paklik. Ada GPL. “ Satinah membelokkan motor, mau kembali.
“Jangan terus saja...Terus saja,” kata Paman Satinah (WdS:122).
Melalui kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa apabila lawan bicara
memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi, dipergunakan istilah senior. Sebaliknya
apabila kedudukannya lebih rendah maka digunakan istilah yunior. Seorang lelaki
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
yang lebih tua biasa disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya
atau lebih muda disebut kak atau kang, yang jauh lebih muda disebut dhik; seorang
wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang sama umurnya disebut
mbakyu (kakak perempuan), yang lebih muda dhik. Penggunaan istilah-istilah itu
masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial; makin tinggi kedudukan seseorang,
makin tua dia dalam sebutan, dan sebaliknya. Dan apabila mereka itu betul-betul
masih keluarga, maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus
dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai dengan hubungan generasi.
7.1.4
Hubungan Manusia dengan Orang Lain
Tepa Sarira
Dalam sejarah budaya Jawa, secara tradisi dan turun-temurun para leluhur
Jawa dulu telah banyak mewariskan peninggalan adiluhung mengenai tepa sarira
(tepa selira), yakni seseorang mau dan mampu memahami perasaan orang lain. Sri
Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama-nya juga mengilustrasikan mengenai
praktik tepa serira seperti yang dicontohkan kepribadian Panembahan Senapati di
Mataram, yakni sebagai: “Karyenak tyase sesama” (membuat enak, senang, dan
damai perasaan sesama manusia).
Lebih dari sikap itu, orang yang ber-tepa serira sangat jauh dari sifat jail atau
usil kepada orang lain. Secara khas, orang yang ber-tepa serira selalu memiliki
empati dan kepedulian terhadap penderitaan, beban hidup, dan kesulitan yang
dihadapi orang lain.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Hardjowirogo (1983:54) juga menambahkan bahwa orang yang ber-tepa
serira terkait erat dengan aplikasi hukum; asas praduga tidak bersalah. Dalam
mengambil keputusan harus berhati-hati dan tidak mau apriori terhadap segala
sesuatu yang dihadapinya. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
merupakan salah satu patokan hukum yang penting. Berdasarkan patokan ini
seseorang baru dianggap bersalah bila hakim telah memutuskan bahwa seseorang itu
bersalah. Suatu patokan yang selain dapat menyelamatkan orang dari pernyataan
salah selagi perkaranya belum diputuskan oleh hakim, tentu dapat lebih menjamin
adanya peradilan yang adil terhadap diri tertuduh.
Permasalahan tentang tepa serira dapat dilihat dalam cuplikan novel P
sebagai berikut.
“Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. ‘’Tiga ekor burung dara
telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung.
Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang
mengangguk-angguk (P:26).
Melalui kutipan tersebut terlihat bahwa praktik tepa serira tidak di jalankan
oleh Pak Mantri. Selaku pemimpin yang baik seharusnya Pak Mantri lebih peka pada
pedagang yang berjualan di pasar yang dipimpinnya. Burung-burung dara peliharaan
Pak Mantri sangat menyusahkan para pedagang.
Akhirnya, Pak Mantri menyadari bahwa tepa serira lebih penting dalam
menjaga keharmonisan dengan orang lain dibanding sekadar hobi memelihara burung
dara. Hal itu terlihat melalui kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
‘’Ketahuilah, orang itu tidak hidup sendiri, tetapi bersama orang lain. Kita
mesti mengenal hak-hak dan kewajiban. Ada hak kita, ada hak orang. Ada
kewajiban kita, ada kewajiban orang. Masing-masing ada tempatnya” (P:119).
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat praktik tepa serira yang dipahami Pak
Mantri dan sesuai dengan pendapat Hardjowirogo (1983:55) yang mengatakan bahwa
tepa serira berarti berusaha menempatkan diri dalam keadaan orang lain hingga dapat
mengerti perasaan yang dialami orang lain. Orang yang memiliki tepa serira dalam
kesehariannya tidak mudah menyalahkan orang lain, termasuk ketika melakukan
tindak pidana sekalipun. Orang yang ber-tepa serira berusaha mencari informasi
mengenai latar belakang keterlibatan orang saat melakukan suatu tindakan tertentu.
Dengan demikian, watak dan sifat orang yang ber-tepa serira sangat menjauhi sikap
grasa-grusu atau gegabah dan menyalahkan orang lain.
7.1.5
Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Usaha pengenalan diri biasanya dilakukan orang Jawa dengan lima lelaku
utama, yakni rila, nrima, sabar, temen, dan budi luhur. Rila merupakan kesanggupan
untuk melepaskan hak milik dan kemampuan serta hasil-hasil pekerjaan sendiri
apabila sudah menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Hal ini harus dipahami
sebagai keutamaan positif.
Nrima berarti menerima segala sesuatu tanpa protes dan pemberontakan. Hal
ini termasuk sikap Jawa yang paling sering dikritik karena disalahpahami sebagai
kesediaan untuk menerima segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrima itu sikap
hidup yang positif. Orang yang dalam kekecewaan dan kesulitan dapat bereaksi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
rasional dengan tidak berputus asa terhadap masalah yang dialaminya. Nrima ini
menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan dengan tidak
membiarkan diri dihancurkan oleh keadaan. Sikap ini juga memberi daya tahan
menghadapi segala hal terburuk yang dihadapi manusia.
Orang Jawa juga bersikap sabar. Sabar merupakan tanda seseorang itu adalah
pemimpin yang baik. Sabar diyakini akan memberikan nasib yang baik pada manusia
pada waktunya. Orang yang sabar akan memunculkan sikap-sikap positif lainnya
dalam diri manusia sehubungan dengan interaksi terhadap sesamanya.
Selanjutnya, orang Jawa dituntut hendaknya selalu jujur (temen). Orang yang
jujur dapat diandalkan janjinya dan akan bersikap adil. Orang Jawa percaya bahwa
menepati janji merupakan prasyarat untuk bisa bertemu dengan Allah. Dengan
demikian, orang Jawa itu harus bersikap sederhana (prasaja), bersedia untuk
menganggap diri lebih rendah daripada orang lain (andhapasor), dan sadar akan
batas-batas dalam berbuat (tepa selira).
Penerapan sifat-sifat tersebut akan mewujudkan sikap budi luhur. Sikap budi
luhur ini merupakan rangkuman dari segala apa yang dianggap watak utama oleh
orang Jawa. Orang yang berbudi luhur seakan-akan menyinarkan kehadiran Allah
dalam diri manusia terhadap lingkungannya. Budi luhur sekaligus memuat sikap yang
paling terpuji terhadap sesama. Orang yang berbudi luhur mengetahui bagaimana cara
bersikap terhadap orang lain dengan, baik orang yang baik maupun orang yang jahat
sekalipun.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Orang Jawa tidak menganggap bahwa sesama manusia sebagai obyek yang
dipakai untuk memuaskan segala kebutuhannya, melainkan bahwa sesama merupakan
suatu kebutuhan penting terhadap kelanjutan hidupnya. Dengan kata lain,
kebersamaan itu adalah tujuan dari setiap diri manusia. Kenyataan ini sesuai dengan
pepatah Jawa yang berbunyi : mangan ora mangan asal ngumpul (makan atau tidak
makan, pokoknya kita
bersama).Setiap masyarakat Jawa merasa berkepentingan
untuk melindungi keselarasan dan keharmonisan dalam lingkungannya. Untuk itu,
segenap pihak dituntut agar mampu menguasai diri, menjaga kerukunan, dan
menyadari kedudukan masing-masing. Tuntutan itu sudah ditanamkan sejak kecil
oleh masing-masing individu. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi konflik dan
menjaga keselarasan dalam masyarakat. Untuk menjaga keselarasan itu, maka dalam
diri setiap individu dituntut untuk bersikap mawas diri. Akan dijelaskan sebagai
berikut.
Mawas Diri
Soedjatmoko dalam Susetya (2007:25) mengungkapkan bahwa mawas diri
(introspeksi) dapat diangkat dari tingkat moralisme ke tingkat pengertian psikologis
dan historis perilaku manusia. Hal itu disebabkan moralitas termasuk rangkaian besar
kebudayaan manusia yang harus diperjuangkan ke arah pengalamannya secara
optimal. Terlebih dengan perkembangan zaman yang makin mengglobal maka proses
dinamisasi, inovasi, emansipasi, serta humanisasi memerlukan proses mawas diri
tersebut dalam masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Terlepas apakah mawas diri akan menjadi inti pokok kebudayaan atau tidak,
tetapi yang jelas mawas diri merupakan bagian moralisme yang bisa dipahami
sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidup manusia dalam
kehidupannya. Dalam masyarakat Jawa, tema-tema instropeksi diri ini berkaitan
dengan komunikasi antarsesama manusia dan lingkungan hidupnya serta perilakunya
terhadap sesamanya tersebut. Proses interaksi manusia dengan sesamanya memakai
aturan-aturan yang terdapat dalam budaya. Untuk mendukung interaksi yang baik
dengan orang lain dibutuhkan pengkajian diri dalam diri setiap individu demi
mencapai keharmonisan dalam kehidupan.
Pada novel P dapat dilihat hubungan ini, yaitu melalui tokoh Pak Mantri. Pak
Mantri digambarkan sebagai orang Jawa ideal yang mengetahui tata krama, filosofi,
dan psikologi orang Jawa. Pak Mantri sering mengkritik dan mengutuk dalam hatinya
karena sering melihat sikap dan perilaku Pak Camat dan Kepala Polisi yang tidak
sesuai dengan tata krama priyayi Jawa. Dalam pandangannya, seorang pemimpin
harus bermental priayi yang mampu mawas diri dalam segala tindakan yang
diambilnya.
Perhatikan kutipan berikut.
Orang bijaksana mesti tahu diri, kalau hatimu sedang risau jangan mengurus
sesuatu yang sangat penting... Tetapi jangan berburuk sangka, itu tidak boleh.
Usahakan menenangkan pikiran sebelum bertindak, memerlukan ketenangan
jiwa. Sebab, bukankah Ciptoning, pikiran jernih juga, yang mengalahkan
raksasa? Hanya hati yang bening mengalahkan si pemurka (P:41).
Akan tetapi, Pak Mantri bukan manusia sempurna. Sejak awal hal itu sudah
dikabarkan pengarang, bahkan dianggap wajar. Pada bagian-bagian awal agaknya
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kuntowijoyo tengah melakukan semacam kritik halus terhadap perilaku priyayi (Pak
Mantri) yang luput dari pengamatan dan kesadaran dirinya sendiri. Pak Mantri suka
mengajari orang agar bersikap sopan, berpijak pada “rasa”, mawas diri, dengan penuh
wibawa dan martabat. Ia rajin mengajari dan mengingatkan tindak-tanduk Paijo yang
menurut tatakrama Jawa tidak pantas dilakukan. Ia mencela habis-habisan sikap dan
perilaku Kasan Ngali, seorang pedagang yang sama sekali jauh dari tata krama
kepriyayian. Diibaratkannya Kasan Ngali sebagai tikus yang bila dikasih daging tetap
saja mencuri daging lainnya. Sayangnya, mawas diri Pak Mantri tidak terjadi pada
dirinya, ia alpa mengoreksi sebagian sikap dan perilakunya sendiri. Inilah pangkal
mula Pak Mantri menghadapi masalah dalam mengelola pasar.
Pak Mantri masih belum mampu mawas diri dan mengoreksi dirinya.
Kematian burung-burung masih ditimpakan semata-mata pada kesalahan orang lain.
Padahal burung-burung miliknyalah yang membuat pasar menjadi sepi. Burungburungnyalah yang membuat bank pasar tidak menerima tabungan karena para
pedagang pasar tidak memiliki uang. Sebuah kritik halus Kuntowijoyo bagi priayi
yang tidak mampu mawas diri kepriayiannya, sesuatu yang sering dibanggakan para
priayi.
Pak Mantri akhirnya menyerah dan meyadari keadaan. Meski kesadaran itu
datangnya agak tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada
siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar
dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa
khas priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk
dilepaskan lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya.
Kesadaran Pak Mantri telah mencapai apa yang dalam psikologi dan filosofi
Jawa dikenal dengan “rasa” dan “mawas diri”. Rasa mengacu pada pengecapan
(taste), perasaan (cinta), takut, marah, gelisah, dan sebagainya), sifat dasar
(character), suara suci kodrat Illahi, kenikmatan terdalam (delight), halus dan
mendalam yang merupakan “air”, atau “sari” buah-buahan dan tumbuhan. Sementara
itu, mawas diri adalah kemampuan meneliti kenyataan-kenyataan diri sendiri yang
akan membawa manusia pada pemahaman, penyerahan, dan penyadaran diri (Jatman,
1997:26 & 35).
Tentang “rasa”, Pak Mantri berkhotbah sekaligus upaya mewariskan nilai dan
filosofi Jawa kepada Paijo yang akan menggantikannya sebagai kepala pasar, sebagai
berikut.
“Hidup kita pusatnya di sini, “Pak Mantri menunjuk jantungnya. “Hati. Yaitu
bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk
mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi
hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang
penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat
peredaran darahmu. Kalau kau takut engkau gemetar, di situlah rasa. Kalau
kau senang engkau berdebar, sebab di ditulah rasa. Kebahagiaan adalah rasa
itu. Bukan akal...”(P:157).
Masalah pentingnya mawas diri dan “rasa” bertebaran dalam berbagai
peristiwa di novel ini. Rasa itu diyakini orang Jawa, sebagaimana tertulis dalam novel
ini, lebih ampuh dan sekaligus mampu mengatasi akal. Bagi Pak Mantri akal harus
tunduk kepada rasa dan orang akan bahagia.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Hal ini sejalan dengan pendapat Stange (1998:11) yang menyatakan bahwa
rasa itu sebuah alat atau unsur psikologi manusia, dalam makna yang sama sebagai
sebuah alat atau unsur psikologi. Rasa adalah alat yang digunakan untuk menangkap
kebenaran-kebenaran alam batiniah.
Di dalam novel P , Pak Mantri mampu mengendalikan rasa yang dimilikinya.
Dia mengakui bahwa tindakannya memelihara burung dara di pasar itu merupakan
satu kesalahan. Untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya, akhirnya dia
memutuskan untuk melepaskan burung-burung itu dan menyerahkan jabatan mantri
pasar kepada Paijo. Hal itu dilakukannya karena rasa yang dimilikinya mampu
mengendalikan pikirannya selama ini. Perhatikan kutipan berikut.
Paijo senang mendengar keputusan Pak Mantri. Perhitungannya bahwa
dengan habisnya burung-burung dara pekerjaannya akan lancar memberi
harapan baru baginya. Sayang Pak Mantri harus mengorbankan begitu
banyak. Itulah yang menyedihkannya. Pak Mantri menjadi makhluk lain di
matanya. Ternyata laki-laki tua benar mulia jiwanya. Begitu banyak yang
dikorbankannya (P:200).
Rasa yang terbina dalam diri Pak Mantri memberi keuntungan bagi orang
terdekatnya, yakni Paijo. Paijo merasa memiliki harapan baru dengan keputusan Pak
Mantri, meskipun untuk itu Pak Mantri harus berkorban banyak. Pengorbanan Pak
Mantri itu dipandang Paijo sebagai sesuatu perbuatan yang mulia.
Sementara itu, mawas diri dalam wilayah psikologi merupakan kegiatan
manusia untuk menembus ke dataran religius etis (Jatman, 1997:61). Mawas diri
dimulai dengan meneliti rasa senang dan susahnya sendiri yakni rasa orang dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hubungannya dengan benda, orang lain, dan gagasan. Dengan demikian, praktik
mawas diri mencoba memahami keadaan diri dengan sejujurnya.
Jatman (1997:62) menambahkan bahwa dalam diri manusia memang terdiri
dari ‘dua aku’; yaitu ‘aku tidak tetap’ dan ‘aku tetap’. ‘Aku tidak tetap ini
menghadirkan diri sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan kenyataan di luar.
Jatman kemudian memberikan istilah bahwa ‘ aku tidak tetap’ ini sebagai ‘aku
kontekstual’, yang dalam bahasa Jawa disebut kradamangsa individual, artinya yang
memusatkan pengalaman pada diri sendiri dan untuk diri sendiri. Dengan kata lain,
seseorang tersebut merupakan ‘abdi keinginannya’. Sedangkan ‘aku tetap’ adalah
‘aku yang universal’, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri, bahkan bisa
mengawasi diri sendiri.
Di lain pihak, Hardjowirogo (1983:58) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mawas diri ialah meninjau ke dalam, ke hati nurani guna mengetahui benar
tidaknya suatu tindakan yang telah dilakukan. Secara teknis-psikologis, usaha
tersebut dinamakan juga instropeksi. Pada
dasarnya berarti pencarian tanggung
jawab ke dalam hati nurani seseorang mengenai suatu perbuatan.
Bagi orang Jawa, karena ungkapan mawas diri berasal dari bahasa Jawa maka
tidak begitu sulit dalam mempraktikkannya. Terlebih, ungkapan mawas diri tadi
sudah dipakai dalam khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Biasanya bagi
orang Jawa, mawas diri tadi diterapkan untuk mendapatkan jawaban atas persoalan
yang dihadapi. Apakah suatu perbuatan yang dilakukan atau tindakan yang diambil
dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Hal itu dilakukan dengan cara menelaah
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hati nurani. Praktik mawas diri begitu mendalam dihayati oleh orang Jawa hingga
dimasukkan dalam kancah perspektif kebatinan dalam kebudayaan Jawa (kejawen),
sebab di dalamnya mengandung nilai-nilai kerohanian yang mendalam pula.
Meski mawas diri merupakan persoalan yang amat penting, tetapi sayangnya
tidak dapat dilihat secara konkret bagaimana hasil dari praktik mawas diri tersebut.
Hal ini cenderung terkesan hanya bersifat formalitas sosial. Untuk itu, seorang
pemimpin harus dituntut untuk mengajak anak buahnya agar melakukan mawas diri
atau berintrospeksi disertai dengan praktik nyata dalam kehidupan. Salah satu aplikasi
mawas diri menurut Susetya (2007:34), yakni dengan mengendalikan diri. Orang
yang berusaha mngendalikan dirinya akan selalu menjaga sikap agar tidak menyakiti
perasaan orang lain.
Di dalam novel P praktik mawas diri ini diyakini pak Mantri sebagai sebaikbaik perbuatan manusia. Proses interaksi antarmanusia dan makhluk hidup lainnya
akan selaras jika sikap itu benar-benar dilakukan manusia dalam kehidupannya.
Pemahaman mawas diri itu dimulai dari diri sendiri, barulah dapat ditularkan kepada
orang lain.
Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela nafas,
duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja...Mungkin Paijo
biasa saja, hanya dia sendirilah yang mengira ada perubahan-perubahan pada
orang. Sebaik-baik perbuatan ialah melihat diri sendiri, mawas diri (P:7).
Pentingnya mawas diri pada Pak Mantri (selaku atasan dan orang yang lebih
tua) sangat dibutuhkan untuk menjaga kerukunan dengan Paijo. Di samping masih
muda, Paijo juga adalah bawahan dalam struktur jabatan pekerjaan, yang pengalaman
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
hidupnya masih sedikit bila dibandingkan dengan Pak Mantri. Jadi, tidak salah jika
Pak Mantri harus lebih mawas diri dalam menghadapi sikap Paijo.
Mawas diri merupakan dasar yang harus dimiliki pribadi setiap individu agar
tercipta keselarasan. Keselarasan akan terlaksana jika mawas diri dimulai dari diri
sendiri terlebih dahulu. Agar keselarasan tersebut dapat tercapai, ada dua keutamaan
dasar etika Jawa yang harus ditanamkan dalam diri setiap individu. Keutamaan itu
adalah untuk membatasi diri (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi
kewajiban masing-masing dengan setia (rame ing gawe). Dua keutamaan ini
mempunyai ciri teoretis yang cukup menarik. Keutamaan-keutamaan itu bersifat
formal dan negatif. Artinya, tidak dikatakan sikap mana yang dituntut, akan tetapi
sikap mana yang harus dicegah. Yang dituntut adalah suatu kesediaan hati pada
umumnya, bukan suatu sikap tertentu.
Dua keutamaan sikap ini menjadi landasan utama bagi Pak Mantri, Abu
Kasan Sapari, dan Wasripin dalam membina hubungannya dengan Tuhan, alam,
masyarakat, dan dengan orang lain. Ketiganya pada akhirnya memahami bahwa
kedua sikap tersebut benar-benar dibutuhkan dalam mencapai kehidupan yang
sempurna.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa
representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo menghasilkan sikap
hidup positif yang didasarkan pada logika standar (standart logic) dan bukan logika
standar (non standart logic) dalam diri manusia dalam menjaga hubungan dengan
Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, dan dengan diri sendiri.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
7.2 Kontekstualisasi
Penelitian terhadap novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
Satinah karya Kuntowijoyo pada hakikatnya bersifat melengkapi dan memberi
temuan baru pada penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan tidak terdapat penelitian
yang sama dengan penelitian ini. Demikian juga tidak ditemukan penelitian yang
menggunakan teori antropologi sastra serta teori semiotik secara bersamaan dalam
menganalisis ketiga novel karya Kuntowijoyo tersebut.
Sebelumnya, penelitian terhadap ketiga novel tersebut dilakukan secara
terpisah. Novel Pasar pernah diteliti oleh Jabrohim (1996) dengan memusatkan
perhatian pada perspektif Greimas. Jabrohim menemukan kenyataan bahwa skema
aktan dan struktur fungsional novel tersebut mampu membuktikan bahwa sebuah
novel dapat dianalisis dengan pendekatan structural A.J. Greimas. Analisis tersebut
ditulis oleh Jabrohim dalam sebuah laporan penelitian.
Penelitian terhadap novel-novel Kuntowijoyo dalam lingkup yang lebih luas
dan memiliki hubungan yang kontekstual dengan penelitian ini dilakukan oleh Wan
Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten (2007). Penelitian tersebut
menggunakan teori strukturalisme dalam menganalisis hampir semua karya
Kuntowijoyo. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan metode
sosiologi sastra dengan mengutamakan biografi pengarang dan struktur novel.
Sebaliknya, penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode sosial historis
dengan mengutamakan deskripsi mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa dalam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
novel-novel Kuntowijoyo. Mitologi Jawa berupa wujud sikap kosmologis dan
pandangan hidup orang Jawa. Filsafat Jawa terangkum melalui tiga aspek, yaitu
metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Terakhir, representasi nilai budaya dikaitkan
dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan orang lain,
hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan
manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Dari kedua hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini memiliki
kontekstualitas yang bersifat melengkapi dan memberi temuan baru. Bersifat
melengkapi karena penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra dalam
menganalisis tiga buah novel karya Kuntowijoyo tersebut. Kemudian, bersifat
memberi temuan baru karena penelitian ini menunjukkan adanya pergeseran makna
mitos dalam masyarakat yang cikal bakalnya berasal dari mitologi Jawa. Temuan
baru tersebut memberi isyarat bahwa sebuah mitos tidak akan pernah mati, akan
tetapi masih berkembang dalam masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Di dalam alam kehidupan mitologis tidak terlihat garis pemisah yang tegas
antara manusia dan alam atau antara subjek dan objek, bahkan adakalanya manusia
belum dapat disebut subjek.
Terbentuknya mitos bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima
begitu saja fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Oleh
karena dorongan naluri yang amat kuat, pikiran manusia itu ingin mencari sesuatu
yang dianggap lebih konkret daripada kenyataan duniawi. Namun, dalam usaha
menemukan yang lebih nyata dan kekal itu, seseorang atau sekelompok masyarakat
tertentu cenderung membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri. Itulah
cikal bakal lahirnya mitos.
Mitos bersifat mendidik, irasional, dan intuitif, bukan uraian filosofis yang
sistematis. Istilah ini mengacu pada wilayah makna yang berkaitan dengan
kepercayaan, folklor, antropologi, sosiologi, psikologi, dan karya seni, termasuk seni
sastra. Penghormatan kepada leluhur, kepercayaan pada pohon kehidupan,
kekaguman pada keteraturan tata surya, misalnya dapat menjadi awal lahirnya mitos.
Mitos itu dapat juga dikatakan cerita anonim mengenai asal mula alam semesta serta
tujuan hidup. Selain itu, mitos tidak hanya bertujuan untuk mengenang peristiwa
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk menghargai dan menyikapi keadaan masa
kini dan masa yang akan datang.
Sebab pada prinsipnya ada masyarakat yang lebih tanggap pada masa lampau,
masa sekarang, atau masa yang akan datang. Mitos itu bersifat ganda, sekaligus
berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Jadi, mitos dapat berubah sesuai
dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakat atau individu dalam masyarakat
yang memiliki mitos.
Novel-novel Kuntowijoyo secara garis besar digambarkan dengan bahasa
yang baik dan mudah dipahami. Watak masing-masing tokoh juga digambarkan
terikat erat dengan adat-istiadat budaya Jawa. Kesetiaan pada kebudayaannya inilah
yang kemudian menimbulkan sikap memercayai mitos-mitos yang ada dalam
masyarakat. Mitos-mitos tersebut termasuk pada sikap kosmologis masyarakat Jawa
dan pandangan hidup orang Jawa, yang kemudian menurunkan filsafat Jawa dalam
kehidupannya.
Salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa adalah adanya kekuatan
kosmologi antara Keraton Jogjakarta - Gunung Merapi - Laut Selatan, yang sangat
memengaruhi baik buruk kehidupan masyarakat bahkan kondisi negeri itu sendiri.
Untuk itu dilakukan berbagai penghormatan kepada alam adikodrati (alam gaib)
berupa acara slametan, sesajen, upacara labuhan, dsb. yang bertujuan untuk
memeroleh kehidupan yang aman dan tentram.
Masalah filsafat juga ditekankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
pedoman hidup manusia Jawa. Filsafat ini yang mengarahkan manusia agar dapat
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
bersatu pada Yang Illahi pada akhir hidupnya, yang dikenal dengan istilah Sangkan
Paraning Dumadi, artinya manusia pada awal dan akhir hidupnya harus berakhir
dengan baik (ngudi kasampurnaan).
Unsur mitologi dan filsafat Jawa ini, pada akhirnya bermuara pada
representasi nilai budaya yang berlaku pada masyarakat Jawa, yang meliputi lima hal
yaitu:
a. Hubungan manusia dengan Tuhan
b. Hubungan manusia dengan alam semesta
c. Hubungan manusia dengan masyarakat (sosial)
d. Hubungan manusia dengan orang lain (sesama manusia)
e. Hubungan manusia dengan diri sendiri.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa
simpulan sebagai berikut :
1. Mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokohtokohnya dan terwujud melalui serangkaian upacara tradisi dan ritual-ritual
khusus, yang terangkum pada sikap kosmologis dan pandangan hidup
masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi seiring perkembangan
zaman.
2. Ketiga aspek dalam filsafat Jawa yang terdiri dari ; metafisika, epistemologi,
dan aksiologi merupakan segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha
manusia menuju kesempurnaan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
3. Representasi
nilai
budaya
Jawa
dalam
novel-novel
Kuntowijoyo
menghasilkan sikap hidup positif bergantung pada logika standar (standart
logic) atau bukan logika standar (non standart logic) dalam diri manusia
dalam menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang
lain, dan dirinya sendiri.
8.2 Saran
Penelitian ini sudah menjelaskan tiga novel yang memiliki kesatuan tema.
penelitian lebih lanjut penting dilakukan dengan sudut pandang yang berbeda, baik
teori maupun metode. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya karya sastra,
sehingga tidak menutup kemungkinan penafsiran lain terhadap novel-novel
Kuntowijoyo ini dan tidak menutup kemungkinan pemberian makna lain bagi
penelitian ini.
Penelitian sastra yang dikaitkan dengan budaya merupakan hal yang sangat
baik untuk pengembangan bidang sastra, terutama bidang ilmu sastra. Karya sastra
tidak akan pernah lepas dari proses budaya dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu,
penelitian sastra haruslah menyangkut bidang budaya.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O’G. 2008. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Terj.
Revianto B.
Santoso dan Luthfi Wulandari. Yogyakarta : Jejak.
Anwar, Wan. 2007. Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya. Jakarta : Grasindo.
Badrun, Ahmad. 1996. Makna Ketasawufan dalam Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M.
Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia.
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi : Filsafat Tentang Kosmos Sebagai
Rumahtangga Manusia. Yogyakarta : Kanisius.
Barthes, Roland. 1985. Elements of Semiology. Translated from the French by
Annette Lavers and Colin Smith. New York : Hill and Wang.
____________. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata
Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru.
Boot, Wayne C. 1873. The Rhetoric of Fiction. Cetakan X. Chicago & London: The
University of Chicago Press.
Brown, R. 1980. Psycolinguistics. New York : The Free Press.
Bruinessen, Martin van. 1999. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Cetakan Kedua.
Yogyakarta: Bentang.
Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia.
Terj.
Alois A. Nugroho. Jakarta : Gramedia.
Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse : Narrative Structure in Fiction and
Film. Ithaca & London : Cornel University Press.
Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Dananjdaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Cet. VI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Dewan Redaksi. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung : Titian Ilmu.
Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
Eagleton, Terry. 1976. Marxism and Literary Criticism. Cetakan Pertama. London:
Mathuen & Co.Ltd.
Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah.
Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model,
Teori,dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Pressindo.
Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra
Sufistik dan Seni Rupa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Matahari.
Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta : Idayu Press.
Hoed, Benny H. 2007. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Jatman, Darmanto. 1997. Psikologi Jawa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.
Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis &
Fundamentalis.Cetakan Pertama. Magelang: Indonesiatera.
Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai-Esai Sastra
dan Budaya. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
_____________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kuntowijoyo. 1982. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sastra Transendental”, Temu
Sastra 1982, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
___________. 2002. Pasar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
___________. 2002. Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-Esai
Budaya dan Politik. Cetakan Pertama. Bandung: Mizan Pustaka.
___________. 2003. Mantra Pejinak Ular. Cetakan Kedua. Jakarta: Kompas.
___________. 2003. Wasripin dan Satinah. Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas.
___________. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”,
Horison, Mei.
Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta :
Gramedia.
Malinowski. 1979. “The Function of Religion in Human Society”, dalam William A.
Lessa & Ivon Z. Vogt, Reader In Comparative Religion. New York : Harper &
Row.
Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Ekologi : Menguak Bahasa
Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta :
Kreasi Wacana.
Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Sikap Hidup Sehari-Hari Orang Jawa :
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Gramedia.
_________________. 2005. Mysticism in Java : Ideology in Indonesia. Yogyakarta :
Kanisius.
Nasution, Ikhwanuddin. 2000. Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad
Tohari. Denpasar : Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Nurelide. 2006. “Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigalegale”
dalam Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Vol 5/2006 hal 46-61.
Medan : Balai Bahasa.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
__________________. 2007. Dwilogi Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami :
Perspektif Kajian Budaya. Denpasar : Program Studi Kajian Budaya.
__________________. 2003. ‘’Hermeneutik : Sebuah Metode Penelitian Sastra”
dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 4/2003 hal 311317.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra : dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________________. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
__________________. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
__________________. 2008. Postkolonialisme Indonesia : Relevansi Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner : Menyandingkan Sastra dan
Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta : Qalam.
Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya : Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta
: Pustaka Jaya.
Rosliani. 2006. Citra Manusia Indonesia : Mitologi Suku Asli Sumatera Utara :
Laporan Penelitian. Medan : Balai Bahasa.
Sani. 2008. “Sastra Profetik : Mengenal Sastra Kuntowijoyo”. Dalam Tulisan Sani,
Jakarta.
Sardjono, Maria A. 1995. Paham Jawa : Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa
Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan.
Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Setyodarmodjo, Soenarko. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta :
Prestasi Pustaka.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Sikana, Mana. 2008. Teori Sastera Kontemporari. Selangor : Pustaka Karya.
Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian : Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta :
LKIS.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Populer Indonesia. yogyakarta : Nurcahaya.
Suryadi AG, Linus. 1993. Regol Megal Megol : Fenomena Kosmogoni Jawa.
Yogyakarta : Andi Offset.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia.
Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen: Tradisi Jawa Melepaskan
Keduniawian Menggapai Kemanunggalan. Yogyakarta: Narasi.
Syaifuddin Hj. Wan Mahzim. 2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat
Melayu Pesisir di Sumatera Utara: Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-Nilai
Budaya. Malaysia:Universiti Sains Malaysia.
______________________. 2007. “Mitos dan Ritual dalam Pemikiran” dalam Jurnal
Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 12/2007 hal 179-191.
Thomson, Jhon B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Terj. Abdullah K.
Affandi. Surabaya : Visi Humanika.
Umri, Shafwan Hady. 2006. “Mitos-Realitas dalam Novel Janji Gintamini” dalam
Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Nomor 3/2006
hal 43-47. Medan : Balai Bahasa.
Wallace, A. 1966. Religion : An Anthropological View. New York : Random House.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta.
Jakarta : Gramedia.
Zaidan, A. Rozak. 1997. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970.
Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monisme
dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta : Gramedia.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Lampiran 1
Foto dan Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia. Sebagai
intelektual dan akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah kritis terhadap
berbagai masalah sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian terhadap sejarah, sosial, dan
budaya terlihat dari buku-bukunya yang banyak beredar di masyarakat. Buku-buku
tersebut antara lain; Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan
Masyarakat (1987), Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi
dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Pengantar Ilmu
Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat
Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani : Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000),
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Raja, Priyayi, dan Kawula : Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan Sejarah
(2008).
Semasa hidupnya, ia mengajar di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
(sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah Mada. Peraih gelar doktor dari
Universitas Colombia, dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society :
Madura 1850-1940, ini banyak menerima penghargaan atas karya-karyanya di bidang
sastra.
Karya sastra Kuntowijoyo antara lain terkumpul dalam buku Suluk AwangUwung (kumpulan sajak, 1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (kumpulan sajak,
1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir Sebuah
Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel,
1996), Pasar (novel, mendapat hadiah Hari Buku 1972), Khotbah di Atas Bukit
(novel, 1976), Mantra Pejinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003),
Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma,
Barda, dan Cartas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya tersebar pula
dalam berbagai antologi.
Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara lain Hadiah
Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulisan
Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk Buku Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen Terbaik
Kompas (1995,1996, 1997, dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997),
Satyalencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan Sea Write
Award dari Pemerintah Thailand (1999).
Sastrawan kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 ini adalah
alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa mahasiswa, Kuntowijoyo mendirikan
Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama
Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya,
Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.). Kematangannya sebagai sastrawan dan
intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia
menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut, 1974) dan S-3 (Columbia
University, 1980) di Amerika Serikat.
Tidak banyak sastrawan Indonesia yang sukses sebagai sastrawan sekaligus
sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis
karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang
sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam. Baik dalam sastra (khususnya prosa)
maupun dalam dunia intelektual/akademisi, Kuntowijoyo menduduki posisi penting
dan terhormat. Dua aktivitas itu dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan
penekanan yang seimbang.
Kuntowijoyo wafat pada tanggal 22 Februari 2005 disebabkan penyakit
meningo enchepalitis yang telah dideritanya selama bertahun-tahun. Meskipun
menderita penyakit parah, beliau masih saja menulis beberapa buku yang baru terbit
setelah kepergiannya menghadap Illahi.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Lampiran 2
Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo
a. Pasar
Novel Pasar mengisahkan lika-liku perjalanan kehidupan Pak Mantri dalam
memimpin pasar kecamatan, sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan
sosial dan kebudayaan. Sebagai kepala pasar, Pak Mantri harus mengelola kehidupan
pasar, mulai dari menarik orang agar melakukan kegiatan jual beli di pasar, membina
hubungan dengan aparatur pemerintah (camat dan polisi), bekerjasama dengan dunia
usaha, baik yang profesional (bank) maupun para pedagang. Untuk menjalankan
tugas operasionalnya, Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawai/penarik karcis
bernama Paijo.
Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan
tata krama Jawa. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk Pak Camat dan para
pegawai kecamatan lainnya.
Penuturan yang hangat dan lincah dari pengarang menggambarkan kepada
pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar.
Namun, Pak Mantri tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kesusahan bagi
para pedagang pasar. Burung-burung dara milik Pak Mantri, selain mengotori pasar
dan mengganggu pengunjung pasar, juga merugikan para pedagang beras , jagung,
gaplek, dsb. Bukannya menyadari kesalahannya, malahan Pak Mantri menyalahkan
orang-orang yang menolak kehadiran burung tersebut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Orang berbudi adalah orang yang bertanggungjawab. Memelihara burung itu
adalah amanat. Itu tanggung jawab kita terhadap yang Mencipta burung.
Meskipun tidak ada undang-undangnya. Ialah hukum yang tak tertulis. Siapa
menyiakan makhluk lain, ia akan disia-siakan pula, suatu kali. Dan tahukah
kau, bahwa hidup itu lebih dari hanya makan untuk diri sendiri? (P:8).
Burung itu peliharaan penting dan spiritual dalam budaya Jawa. Selain simbol
amanat Yang Mencipta sebagaimana yang diyakini Pak Mantri, memelihara burung
juga merupakan bentuk kehalusan dan mencintai keindahan. Tidak ada orang Jawa
yang benar-benar orang Jawa tidak mencintai rasa halus dan keindahan. Masalahnya,
cara Pak Mantri memelihara burung merugikan orang lain, bahkan merugikan negara.
Selain burung itu mengganggu pengunjung dan merugikan pedagang, burung juga
menyita waktu kerja Paijo yang seorang abdi negara. Pak Mantri mencampuradukkan
antara kepentingan sebagai kepala pasar dan kepentingan pribadi dalam urusan
burung ketika memakai tenaga Paijo. Hal ini merupakan gaya khas Kuntowijoyo
yang menggambarkan tokoh Pak Mantri yang seorang priayi terpelajar, tetapi di sisi
lain merugikan orang lain. Pak Mantri bicara tata krama dan mawas diri gaya Jawa,
namun ia sendiri tidak mawas diri.
Hari demi hari burung dara di atap kantor bank pasar semakin bertambah
jumlahnya. Burung-burung bebas beterbangan ke sana kemari, mengganggu lalu
lalang orang-orang di pasar, bahkan mematuki barang-barang dagangan yang dijual
di pasar. Akibatnya, para pedagang tidak betah berjualan. Mula-mula mereka pindah
ke luar pagar pasar sehingga memacetkan jalan umum. Kasan Ngali sebagai
pengusaha kecamatan melihat peluang ini. Dibukalah pasar swasta di halaman
rumahnya, tidak jauh dari pasar Pak Mantri. Berpindahlah para pedagang ke pasar
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kasan Ngali, apalagi pasar Kasan Ngali tidak memungut bayaran sebagaimana pasar
kecamatan yang dipimpin Pak Mantri.
Melihat pasarnya ditinggalkan orang, Pak Mantri tersinggung bukan kepalang.
Namun, ia berusaha menahan diri. Sebagai priayi tidak baik mengumbar kemarahan.
Begitu keyakinannya. Namun, ketika pasar nyaris bangkrut ia merasa harus bertindak.
Ia melapor kepada camat perihal “pembangkangan” pedagang pasar dan keberadaan
pasar tidak resmi milik Kasan Ngali. Camat menerima Pak Mantri dengan sopan,
tetapi tidak ada realisasi atas laporan itu. Meski di hadapan Pak Camat selalu sopan,
hati Pak Mantri mengutuk-ngutuk dan mengatakan camat tidak tahu aturan, tidak
mengerti kepriayian. Demikianlah orang Jawa, segala sesuatu disimpan dalam hati
dan karena itu dalam beberapa hal jadi munafik.
Motif Kasan Ngali mendirikan pasar di halaman rumahnya tidak semata-mata
karena alasan ekonomi. Itu sebabnya ia tidak memungut bayaran. Motif yang paling
penting, seperti kemudian ia juga membuka bank swasta, adalah unjuk diri dan
kekayaan kepada Siti Zaitun, pegawai bank pasar, yang diam-diam disukainya.
Sebagai lelaki kaya yang doyan perempuan, ia tidak bisa mencegah dirinya untuk
menyukai Siti Zaitun.
Memang pasar dan bank milik Kasan Ngali tidak banyak memberikan
keuntungan ekonomi baginya. Keuntungan diperolehnya lebih banyak dari usahanya
memborong gaplek dan hasil tani di musim panen untuk dikeluarkan pada musim
paceklik dengan harga amat mahal. Atau meminjamkan uang kepada banyak orang di
musim paceklik untuk membayar gaplek atau hasil tani lainnya di musim panen.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kasan Ngali adalah tengkulak dan begitulah umumnya watak tengkulak di mana pun.
Ini semakin menimbulkan kebencian Pak Mantri terhadapnya, apalagi Pak Mantri
tahu bahwa Kasan Ngali mengincar Siti Zaitun. Pak Mantri sendiri, sebagai bujangan
tua, meski dipendam dalam hati, diam-diam menyukai Siti Zaitun. Ia pun secara
terang-terangan mengutuk Kasan Ngali di hadapan Paijo.
Puncak kemarahan Pak Mantri adalah ketika mendapati burung-burungnya
mati bergeletakan di halaman pasar. Kemarahan semakin telak manakala menyadari
hadiah daging yang diberikan Siti Zaitun kepadanya adalah daging burung
peliharaannya sendiri. Ia marah dan melapor kepada polisi, tetapi tindak lanjut polisi
tidak juga menggembirakan.
Pak Mantri akhirnya menyerah dan menyadari keadaan. Meski kesadaran itu
datangnya tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa
saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar.
Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas
priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk ketika
Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan
lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Sekali lagi Kasan Ngali yang
bermental tengkulak memamerkan kekayaan, tidak lain tidak bukan dalam rangka
memikat hati Siti Zaitun dan mengejek Pak Mantri yang priayi itu. Kasan Ngali
ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer
kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi
priayi Jawa.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi
kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat
“Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan
sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai
nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai
profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali,
wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa.
b. Mantra Pejinak Ular
Masalah pokok yang menonjol dalam novel Mantra Pejinak Ular adalah
perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan
agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu
menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses
perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika
kelompok politik dominan (mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang
akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya,
selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu
adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan
sosial budaya dan politisasi kesenian.
Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari, orang udik yang sempat
mengecap pendidikan (mula-mula SMA, lalu STSI Solo). Kemudian menjadi
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
pegawai negeri yang pandai mendalang. Oleh karena itu, ia terlibat dalam proses
pembangunan, perubahan sosial budaya, dan akhirnya secara tidak sengaja tercebur
ke dalam dinamika politik. Ia lahir di desa, dari seorang ayah yang kurang pendidikan
dan seorang ibu keturunan priayi di pedesaan. Dari pihak ibu, konon leluhur Abu
Kasan Sapari masih ada pertalian darah dengan pujangga besar Ronggowarsito. Oleh
karena itu, kakek dan nenek Abu Kasan Sapari dari pihak ibu, sejak kecil
mengasuhnya dalam tata krama seorang priayi. Sebagai orang yang tergolong kaya di
desanya, kakek-nenek Abu Kasan Sapari berharap suatu hari cucunya menjadi priayi
yang antara lain
mengetahui dan menghayati kesenian Jawa, khususnya dunia
wayang dan dalang.
Abu Kasan Sapari hidup serba cukup dalam asuhan kakek-neneknya dari
pihak ibu, bahkan ketika kakek-neneknya bangkrut karena pabrik-pabrik tekstil
modern di negeri ini mengahancurkan industri tenun tradisional yang digelutinya.
Menginjak masa SMA, selepas dari pengasuhan kakek-neneknya, Abu Kasan
dipungut menjadi anak angkat Ki Lebdocarito, seorang dalang di Palar yang masih
memiliki garis silsilah keturunan dengan Ronggowarsito. Di rumah Ki Lebdocarito
itulah Abu Kasan memperdalam pengetahuan dan kemampuan menjadi pegawai
negeri, ditempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.
Sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, Abu Kasan sudah diziarahkan ke
makam Ronggowarsito oleh kakeknya, ngalap berkah (meminta restu), karena
kakeknya punya firasat Abu Kasan akan menjadi seorang pujangga. Perhatikan
kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus
kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu.
Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya,
“ Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan menjadi pujangga. Aku
mendapat firasat ketika aku keluar dari makam ada rombongan yang
membarang, menyayi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan
telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (MPU:2)
Abu Kasan kecil lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan
tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam.
Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang
mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan),
sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan
tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan
dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah
catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris
dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi
budaya turun-temurun.
Di tengah dominasi budaya agraris itulah perlahan-lahan budaya modern
(kota) masuk ke desa Abu Kasan. Bangkrutnya perusahaan tenun tradisional
kakeknya tidak lain oleh munculnya pabrik-pabrik tekstil dengan budaya dan
teknologi modern. Demikian pula dengan dibangunnya sekolah-sekolah di luar
sekolah agama (madrasah) dan sekolah gamelan (belajar mendalang). Perkenalan
ayah dan ibu Abu Kasan pun sudah terpengaruh perkenalan tokoh-tokoh dalam filmfilm modern yang diputar di bioskop kota kabupaten. Sementara Abu Kasan sendiri
mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
membangun desa (agar modern tentunya), yang artinya bersentuhan erat dengan
kebudayaan modern. Pada zaman itu hampir di seluruh tempat di Indonesia sedang
berlangsung modernisasi, terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa.
Abu Kasan Sapari menjadi pegawai kecamatan dan oleh karena itu dia harus
membangun desa. Berbekal kursus-kursus modern, Abu Kasan berhasil mengajak
masyarakat di kaki Gunung Lawu untuk membangun desa: membuat saluran air,
membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan,
membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hakhak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya
ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-gerakan penataran P-4, perpustakaan
masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa (penyuluhan cara
beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan
mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada
modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan
dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi
pembangunan.
Di sela-sela kesibukannya membangun desa, tepatnya pada sebuah pesta pasar
malam, Abu Kasan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal. Di tengah keramaian
pasar malam, ia didatangi seseorang yang tidak dikenal, memakai ikat kepala lepasan,
baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak, yang mewariskan “mantra pejinak ular”.
Peristiwa ini adalah bukti bahwa masyarakat tempat Abu Kasan masih berada dalam
transisi tradisi Jawa-Islam dan modernisasi. Perhatikan kutipan berikut.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
“Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar, “kata orang itu. Di
kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut.
“Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang
tepat”.
“Apa itu?”
“Mantra pejinak ular”.
Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah
kalimat.
“Paham?”
Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu.
“Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah
itu setiap kali kau menghadapi ular.”
“Mantranya kok bahasa Arab, ya?”
“Ya, ini semua dari Al-Qur’an...”(MPU:19).
Setelah Abu Kasan mampu melafalkan mantra itu dan lelaki tua yang
misterius memintanya agar puasa mutih (hanya makan nasi putih sekepal) selama
tujuh hari tujuh malam. Kemudian orang itu pun menghilang. Abu Kasan yang telah
memasuki alam pikiran dan dunia modern tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari
tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik (mitos).
Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting
dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khusunya dalam
konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana
Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian
sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil
tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir
novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat
dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”.
Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan),
bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan
Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya:
“Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan
mantra” (MPU:231).
Atau kata-kata Haji Syamsudin kepada Abu Kasan yang bimbang karena
mantra pejinak ular hanya bisa dibuang kalau ia sudah menemukan orang yang tepat
untuk mewarisinya.
Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya
malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern,
bukan zamannya mantra lagi (MPU:233).
Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan
mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya
dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan
diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo
menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar
ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah).
Abu Kasan, pegawai kecamatan yang cerdas, terampil, jujur, dan yang lebih
penting lagi pandai mendalang sehingga pandai dikenal dan dekat dengan
masyarakat. Kecamatan tempat Abu Kasan bekerja dapat dibilang sukses
menjalankan program pembangunan. Oleh karena itu, camat senang sekali dan sering
memuji Abu Kasan. Begitu pula dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Selain sebagai pegawai kecamatan dan pawang ular, Abu Kasan adalah
dalang. Ia mencoba memadukan ular sebagai simbol lingkungan dengan dalang,
bersama kelompok Masyarakat Penggemar Ular (MPU) dan Pengurus Kebon
Binatang, Abu Kasan mendalang tentang lingkungan dengan lakon “Perjamuan Ular”,
lakon di luar pakem yang menimbulkan prokontra di masyarakat.
Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal seorang perempuan yang akan
dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias
pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong
kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada
Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang
tidak menyukainya.
Sebagai
pegawai
kecamatan,
Abu
Kasan
berada
dalam
struktur
negara/pemerintahan. Akan tetapi, karena ia berada di luar jaringan mesin politik
(Partai Randu), ia berada di luar sistem. Inilah yang merepotkan Abu Kasan. Berkalikali ia ditawari menjadi calon legislatif oleh Partai Randu dan ia menolak. Ia malah
mendirikan kelompok “Paguyuban Pedalangan Independen” yang segera dipahami
mesin politik sebagai dalang non-pemerintah, lalu berubah menjadi dalang antiPancasila, subversif, dan sejenisnya. Ia dilaporkan mesin politik, ditangkap polisi,
meski kemudian dilepaskan karena tidak ada bukti unsur subversif. Tentang kesenian
dan politik, termasuk sikap Abu Kasan tentang seni dan politik, berikut jawabannya
yang diberikan pada seorang wartawan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan
dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan
mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam
rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal
kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga
negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan
orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk
baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri
tidak akan mengerjakan hal kedua itu (MPU:137).
AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjolbenjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau
ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS
berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung
mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya
sebagai seni....(MPU:153).
Sikap Abu Kasan jelas. Meski akan menerangi masyarakat, ia tidak akan
menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Namun, karena ia menolak tawaran
mesin politik, ia dipandang lain. Inilah yang membuat Abu Kasan diawasi Partai
Randu yang berkuasa di bawah komando mesin politik, hingga kemudian ditangkap
dan dituduh yang aneh-aneh.
Akan tetapi, siapakah sesungguhnya yang berpandangan dan menggunakan
kesenian sebagai alat politik. Kuntowijoyo menjawabnya bahwa pemerintahlah yang
justru memperlakukan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi,
Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi
dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang amat jelas kentara
politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan
dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde
Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya (Anwar, 2007:97-98).
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Demikianlah, Abu Kasan sebagai sosok seniman yang berpijak pada alam
(seni seperti air), yang dengan jernih mampu membedakan mana bagian kesenian dan
mana bagian politik, termasuk dalam dirinya sendiri. Ia mampu membedakan
pegawai negeri sebagai abdi negara dengan pegawai negeri yang menyerahkan
seluruh sikap dan tindak-tanduknya bagi kepentingan mesin politik. Dalam novel ini
sikap Abu Kasan banyak mendapat dukungan, termasuk ketika ia ditangkap orangorang banyak yang protes. Ia termasuk sedikit dari pegawai negeri yang lolos dari
jerat mesin politik. Ia telah mengalami suka duka menjadi pegawai sekaligus seniman
di zaman Orde Baru, hingga kemudian Orde Baru runtuh dan datanglah zaman
reformasi. Abu Kasan telah berperan dalam hal ini, melalui konsep seni sebagai air
yang meratakan benjol-benjol dalam masyarakat.
Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep
wayang dituturkan dengan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel
bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini
merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai
dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki
Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai
persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga
keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan
klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional.
Pada bagian akhir ditampilkan seorang tokoh bernama Kismo Kengser
(artinya “tanah tergusur”) yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser
meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di
mana-mana. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tapi maling
betulan,
maling
berdasi,
maling
berbintang,
dan
maling
berpendidikan.
Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Partai Randu dalam rangka
memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon besar
tumbang.
Orang sekitar terminal mendengar suara, “Rak-rak-reketeg! Brrruuk!” Suara
itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosok hujan dan angin
ribut. Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke
terminal. Beringin itu tumbang! (MPU:193).
Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Abu Kasan
lulus dari STSI Solo dan ia jadi sarjana. Ki Lebdocarito, ayah angkat Abu Kasan,
meninggal dunia dan menunjuk Abu Kasan sebagai ahli waris seluruh perlengkapan
gamelan wayang miliknya. Ki Lebdocarito adalah dalang yang setia pada pakem,
sedangkan Abu Kasan dalang yang inovatif, yang sudah bersilaturahmi dengan dunia
modern. Maka mantra ular yang dimiliki Abu Kasan (mitos-mitos) segera dibuang,
selain mengarah kepada syirik (membahayakan tauhid Islam), tidak sesuai pula
dengan dunia modern yang berpijak pada realitas, ilmu, dan teknologi. Abu Kasan
memberikan ular peliharaannya ke kebun binatang, kemudian berencana menikahi
Lastri, dan menjalani hidup sebagai seorang sarjana dalang.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Wasripin dan Satinah
Novel Wasripin dan Satinah mengungkapkan bagaimana penguasa fobia
dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos
yang para penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan
bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama
pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan Pak Modin yang dipaksa penguasa
mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan jahat
penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah.
Demikianlah Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal
kehidupan manusia dan seluruh organisasi, dengan berbagai cara menyingkirkan
siapa saja yang dianggap subversif dan “anti-Pancasila”, sebuah cap yang sepenuhnya
dirumuskan oleh kacamata penguasa. Pancasila menjadi ideologi yang terus-menerus
didoktrinkan untuk melanggengkan kepentingan politik para penguasa Orde Baru. Di
tengah suasana politik seperti inilah Wasripin, Pak Modin, Satinah, dan Paman
Satinah hidup, yang akhirnya merampas kahidupan dan masa depan mereka. Dengan
segala tipu daya, kebohongan, fitnah yang keji, dan manipulasi yang rapi, penguasa
Orde Baru dapat dengan gampang menangkap dan mendiskreditkan seseorang,
sebagaimana dialami Wasripin.
Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak
tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat
yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan
bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan
Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan
dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku
makar...(WdS:231).
Manipulasi dan fitnah yang sempurna. Dengan cara seperti itu penguasa
berharap, mereka yang membangkang atau ada indikasi membangkang, baik atas
nama “ekstrim kanan” (Islam) maupun “ekstrim kiri” (PKI), akan miris dengan berita
sejenis itu. Tentu saja penguasa tidak terlalu peduli, apakah ekstrim kanan atau kiri
itu ada atau tidak, apakah Wasripin itu benar bersalah atau tidak. Rekayasa
merupakan strategi Orde Baru untuk menutupi segala kebusukan sekaligus dalam
rangka
melanggengkan
kekuasaan.
Islamofobia
(istilah
Taufik
Abdullah)
sebagaimana diuraikan Kamaruzzaman (2001:131-132) sesungguhnya sudah muncul
sejak republik ini lahir. Pada masa Orde Baru, Islamofobia dibentuk oleh pemerintah
dengan jargon ekstrim kanan tidak lain sebagai bagian rekayasa rezim Orde Baru
untuk melanggengkan kekuasaan.
Akan tetapi, siapakah Wasripin? Betulkah ia komandan DI/TII dan
berkeinginan mendirikan negara Islam? Betulkah ia bersama Pak Modin
memanfaatkan surau untuk memperkuat basis pembangkangan? Novel ini
membuktikan bahwa itu semua tidak benar.
Wasripin adalah orang miskin. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon
dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup miskin, amat
meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk
keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang dosa dan kenistaan.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita
lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai
penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang,
ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang.
Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara,
tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak
angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke
telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk
memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang
terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia
menjadi terbiasa (WdS:4).
Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku
kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia
kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia
membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan
mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa
dan kehinaan.
Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan
meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara
Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa
inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara.
Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khusunya Mantra Pejinak Ular, novel
ini berpijak pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain
sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan
etnografis” mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah
dipahami keberadaannya oleh orang-orang miskin itu.
Kehadiran Wasripin di perkampungan nelayan di pantai utara diterima dengan
baik, bahkan menjadi orang yang sangat dibutuhkan, karena Wasripin memancarkan
harapan bagi para nelayan yang sekian lama hidup miskin dan tidak pernah lepas dari
masalah. Di tengah warga nelayan Wasripin dianggap sebagai pemimpin, sesuatu
yang nyaris tidak dapat dipahami oleh Wasripin sendiri yang cuma orang miskin
lulusan SD. Ia dibutuhkan warga karena ternyata Wasripin “orang yang cerdas”. Ia
bisa memijit, bahkan mengobati orang sakit menahun dengan pijitannya itu. Ia bisa
menduga dan menafsirkan kejadian-kejadian. Ia bisa mengusir jin yang mengganggu
masyarakat. Singkat kata, kehadirannya membawa keberuntungan.
Pangkal semua itu adalah tidur selama tiga hari tiga malam, begitu ia tiba di
surau di perkampungan nelayan. Ini peristiwa aneh, menggemparkan, membuat
Wasripin secepat kilat terkenal di kampung itu. Ia dianggap sebagai Nabi Khaidir,
simbol pengetahuan dan pertolongan. Dan memang dalam tidur selama tiga hari itu ia
bermimpi bertemu lelaki tua yang mengajarinya banyak hal, meski tidak sepenuhnya
dipahami Wasripin.
Kehadiran Wasripin di kampung nelayan mirip kehadiran “Ratu Adil” di
sebuah masyarakat yang sudah sekian lama menantikannya. Di titik ini Kuntowijoyo
sedang memotret sebuah masyarakat yang berada dalam ketidakberdayaan: miskin,
menderita,
terbelenggu,
merasa
terancam
oleh
kesewenang-wenangan
dan
ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa tiran. Bagi orang Jawa, Indonesia
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
umumnya, Ratu Adil adalah simbol pembebasan yang dinanti-nantikan kehadirannya.
Di tengah masyarakat semacam itu, mitos dan hal-hal yang tidak rasional mewarnai
sikap dan tindak-tanduk mereka. Perhatikan tanggapan penduduk kampung nelayan
berikut.
“Jangan-jangan Nabi Hidhir.”
“Ya, jangan-jangan Sang Nabi.”
“Pasti. Baunya harum!”
“Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita.”
“Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!”
“Tak sudi lagi dipaksa-paksa!”
“Kita perlu pemimpin!”
“Yang muda!”
“Pemberani!” (WdS:20-21).
Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan
menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia
bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan
yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama
masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja
menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai
tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi
pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi
pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Wasripin diterima penduduk
nelayan dengan sukacita. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari menjadi
pegawai oleh seorang pedagang. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari
pengurus beberapa partai. Namun, ia memilih tawaran kepala TPI menjadi satpam
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
TPI. Di tempat inilah Wasripin tiba-tiba bisa menaklukkan jin yang suka
mengganggu lokasi TPI.
Wasripin semakin terkenal dan disukai masyarakat. Kehadiran Wasripin
memang membawa keberuntungan. Jika ia ikut melaut maka nelayan akan
mendapatkan ikan banyak. Jika ia duduk dekat seorang pedagang maka dagangan
orang itu akan laku. Jika sekelompok nelayan diterjang badai di lautan, dengan
menyebut nama Wasripin badai akan menghilang. Maka potret-potret Wasripin
beredar dibawa orang ke mana-mana, termasuk ketika melaut, karena diyakini
membawa keberuntungan. Wasripin nyaris dikultuskan menjadi mitos di tengah
kehidupan nelayan. Akan tetapi, karena itu pulalah ia dicurigai pemimpin partai,
tentara, polisi, intel, dan semua penguasa. Itu pulalah yang kemudian menyeret
Wasripin berurusan dengan polisi, tentara, intel, para penguasa, hingga ujungnya ia
difitnah, dijebak, dituduh, kemudian dibunuh.
Wasripin hidup di sebuah kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik,
terutama permainan Partai Randu (sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU),
partai penguasa yang dapat memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi,
tentara) dan para penguasa. Maka tidak mengherankan ketika Pak Modin
memenangkan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), atas intruksi pusat Pak Modin tidak
dilantik. Ketika rakyat protes, penguasa malah memanggil Pak Modin untuk
diperiksa.
Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan, organisasi
sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi tentang ia
sendiri: orang tuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakan-
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
keponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya
ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak raguragu.
“Anakmu masuk CGMI, ya?” (WdS:89).
Dan yang terjadi adalah Pak Modin dibatalkan untuk menjadi Kepala Desa
oleh Bupati, tidak lain semata-mata demi keberlangsungan Partai Randu (Golkar).
Begitulah kebusukan penguasa semakin menjadi. Tidak ada lagi keadilan. Tidak ada
lagi moral. Bahkan ketua partai menanggung aib besar karena menghamili seorang
guru yang diangkat jadi pengurus Partai Randu. Tidak ada yang bisa menyelesaikan
dampak dari aib itu, kecuali Wasripin. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak
pandang bulu. Itu sebabnya ia nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya
Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang
tidak lain alat penguasa untuk mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama.
Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama,
khususnya agama Islam.
Wasripin diawasi terus-menerus oleh intel, berkali-kali dipanggil, diinterogasi
dan diintimidasi, meski penguasa tidak pernah punya bukti untuk menahan dan
menghukumnya. Hingga pada suatu hari Wasripin lagi-lagi ditangkap dengan
tuduhan pemimpin Gerakan Pemuda Liar (GPL). Namun, Wasripin lagi-lagi tidak
bisa dijerat, termasuk tuduhan berikutnya berkaitan dengan ramainya peristiwa
“pembunuhan” dukun santet. Dengan alasan Wasripin orang yang pandai, penguasa
menuduh pastilah Wasripin yang membunuh dukun santet. Akan tetapi, Wasripin
tidak dapat dijerat. Ia tidak terbukti dan karena itu dilepaskan. Wasripin dituduh
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
golput, tetapi tidak dapat dibuktikan. Wasripin dituduh PKI karena tidak punya KTP,
tetapi masih dapat dielakkan.
Berbagai cara terus dilakukan Partai Randu (penguasa) untuk meringkus
Wasripin dan pak Modin. Sementara Wasripin dan Pak Modin semakin populer di
masyarakat, strategi pun diubah. Partai Randu mencoba merayu Wasripin agar mau
jadi pengurus atau calon anggota DPR, tetapi Wasripin menolaknya. Hingga pada
suatu hari, Wasripin dikabarkan akan mendapat Anugerah “Adhikarta” dari Mabes di
Jakarta. Pemimpin Partai Randu gerah. Segala persiapan dilakukan. Namun,
menjelang hari-H, tiba-tiba ada berita pemberian anugerah dibatalkan. Semua itu atas
usaha keras Partai Randu Kabupaten yang menelepon Ketua Umum Pusat agar minta
petunjuk Ketua Dewan Pembina Partai Randu.
Partai Randu memang lihai memanipulasi dan memaksakan keinginan.
Berbagai lobi dan upaya selalu dilakukan demi kemajuan Partai Randu, termasuk
memolitisasi agama. Ketika DPRD sepakat aklamasi untuk menetapkan K.H. Rifa’i
Kalisasak sebagai Pahlawan Nasional, Partai Randu kelabakan. Mereka beranggapan
para pengikut tarekat aliran Rifaiyah kebanyakan golput, jadi penobatan K.H. Rifa’i
sebagai Pahlawan Nasional akan merepotkan Partai Randu. Partai Randu berupaya
dengan berbagai cara. Akan tetapi, karena masyarakat terus mendesak, akhirnya
K.H.Rifa’i dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Di sini tampak bagaimana
politisasi agama berlangsung, termasuk di tubuh Badan Pengawas Agama yang
menjadi antek Partai Randu.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Akan tetapi, seperti telah dikemukakan, Partai Randu terus-menerus bekerja
keras menyingkirkan orang-orang yang akan menghalangi langkahnya dalam
mempertahankan kekuasaan. Maka inilah rekayasa yang berhasil melumpuhkan
Wasripin hingga ia ditahan dan kemudian dilenyapkan. Wasripin ditangkap dengan
tuduhan menyimpan seonggok senapan dengan granat di bawah dipan tempat
tidurnya. Senjata dan granat itu sengaja disimpan intel di kamar Wasripin.
Penangkapan Wasripin sudah diatur sedemikian rupa, termasuk mengajak kru televisi
dan wartawan koran. Maka tamatlah riwayat Wasripin.
Hal yang menimpa Wasripin, menimpa Pak Modin pula. Dengan alasan yang
tidak masuk akal, Pak Modin dipaksa mengakui bahwa ia adalah Presiden NII.
Bagaimana keras dan kejamnya intimidasi itu hingga pada suatu hari Pak Modin
dipulangkan secara liar ke kampung nelayan dalam kondisi menyedihkan. Perhatikan
kutipan berikut.
Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang
berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong
bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak
memungut bambu itu...
“Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.”
“Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.”
“Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan
dua kopral, bersenjata lengkap.
“Tidak, Pak.” (WdS:255).
Pak Modin dipapah memasuki kampung dalam keadaan trauma di tengah
penduduk kampung yang amat mencintainya.
Sepeninggal Wasripin, kampung nelayan terus-menerus mengalami keributan.
Penduduk memasang bendera setengah tiang atas hilangnya Wasripin. Polisi dan
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
tentara mengintimidasi dan menegaskan bahwa itu merupakan pembangkangan. Para
nelayan tidak mau melaut, tetapi polisi dan tentara memaksa. Kerusuhan tidak
terhindarkan hingga pada suatu hari Ketua Partai Randu di desa nelayan itu
mengundurkan diri dan membubarkan partai. Oleh karena nelayan tetap mogok,
penguasa dengan sewenang-wenang menaikkan pajak sehingga terpaksalah para
nelayan melaut seraya memanggil-manggil nama Wasripin.
Adapun Satinah kembali ke desanya setelah pamannya meninggal dunia dan
Wasripin menghilang tidak tahu rimbanya. Pada suatu hari, emak angkat Wasripin
tiba di kampung nelayan itu, bermaksud meminta maaf kepada Wasripin dan kepada
Paman Satinah yang tidak lain suami emak angkat Wasripin.
Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan
jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang
tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar
berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen
(1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa
kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan.
Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka
benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah
anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang
kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik.
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Lampiran 3
Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo
a. Pasar
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
b. Mantra Pejinak Ular
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
c. Wasripin dan Satinah
Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009
Download