MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS Oleh MUHARRINA HARAHAP 077009017/LNG SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL - NOVEL KUNTOWIJOYO TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh MUHARRINA HARAHAP 077009017/LNG SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Judul Tesis : MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi Konsentrasi : Muharrina Harahap : 077009017 : Linguistik : Analisis Wacana Kesusastraan KUNTOWIJOYO Menyetujui, Komisi Pembimbing, (Prof. Syaifuddin, M.A., Ph. D.) Ketua (Dr. Drs. Eddy Setia, M. Ed. TESP) Anggota Ketua Program Studi, (Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) Direktur, (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.) Tanggal lulus: 27 Juni 2009 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D. Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP 2. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. 3. Dr. Asmita Surbakti, M.Hum. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ABSTRAK Ketiga novel Kuntowijoyo yang dibahas dalam penelitian ini memiliki kesamaan tema atau gagasan, yakni menggambarkan realitas budaya Jawa. Ketiga novel itu adalah Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah (WdS). Ketiga novel itu diciptakan oleh Kuntowijoyo. Penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut. Untuk itu digunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah metode hermeneutika. Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo terlihat melalui wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa dan pandangan hidup orang Jawa. Wujud sikap kosmologis itu tercermin melalui upacara tradisi seperti slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan ruwatan. Pandangan hidup orang Jawa diaktualisasikan pada empat hal yaitu raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. Kemudian mitologi Jawa tersebut berkembang menjadi mitos-mitos masa kini yang telah bergeser maknanya seiring dengan perkembangan zaman. Sementara itu, filsafat Jawa yang juga merupakan bagian dari mitos terungkap melalui tiga aspek yakni, metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Kemudian dijelaskan pula representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo melalui tokoh-tokohnya yang hidup dan berinteraksi dengan serangkaian mitos dan realitas. Simpulan dari tesis ini menunjukkan bahwa unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada akhirnya bermuara pada satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme). Kata kunci : mitos, kosmologi, dan nilai budaya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ABSTRACT Three novels created by Kuntowijoyo which are analysed in this research have the same themes or ideas, namely to depict Javanese cultural reality. There are Pasar (P), Mantra Pejinak Ular ( MPU), and also Wasripin dan Satinah ( Wds). Those are created by Kuntowijoyo. This research aims to analyse and elaborates mythological, philosophical, and cultural Javanese representative values in the novels. Therefore, it is used anthropological and semiotics theories. The method used in this research is hermeneutics. The results of the analyses find that mythology in the novels seen passing the presentation of cosmology attitude from Javanese society and way of life from the novels. The presentation of cosmology attitude are reflected in traditional ceremony such as slametan, sesajen, cult the people, naming of children, and also sowan and ruwatan ritual. The way of life from Javanese society is to actualize at four aspects, i.e. a king as concentration strength cosmic, a palace as empire numinous central, Gunung Merapi, and Laut Selatan. Furthermore, the mythology of Javanese expands become myths today which have shifted it’s meaning through the period of time. Besides, the philosophy of Javanese is also part of the myth expresses of passing three aspects namely, metaphysics, epistemology, and axiology. In the next, the explained cultural of Javanese representative values in the novels through the actors with a series of mythology and reality. The conclusion shows that mythological, philosophical, and cultural Javanese values cannot be separated each other because the ending is about a unity, i.e. Javanese culture (javanisme). Keywords : myth, cosmology, and social value. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT., karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul, Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat magister pada Program Studi Magister (S2) Linguistik, Konsentrasi Analisis Wacana Kesusastraan, Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tidak lupa mengucapkan salawat dan salam pada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Selama proses pengerjaan tesis ini, penulis memeroleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, selayaknyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D., sebagai Pembimbing Akademik dan juga pembimbing I. Selama penulis menjadi mahasiswa di Program Magister, Program Studi Linguistik beliau telah banyak memberikan pelajaran yang berharga. Kesabaran dan ketelatenan beliau dalam membimbing dari penyusunan proposal hingga selesainya tesis ini juga menimbulkan semangat yang sangat berharga bagi penulis. Telah banyak arahan, masukan, dan motivasi yang diberikan beliau kepada penulis dalam penyempurnaan tesis ini. Terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Drs. Eddy Setia M.Ed. TESP, yang telah bersedia menjadi pembimbing II. Beliau dengan penuh ketelitian dan perhatian memberikan bimbingan, masukan, dan motivasi yang sangat berharga demi kebaikan tesis ini. Perhatian beliau memberikan dorongan semangat bagi penulis untuk sesegera mungkin menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Sastra, serta Ketua dan Sekretaris Program Magister Linguistik Universitas Sumatera Utara, beserta staf dan karyawan, yang telah memberikan peluang dan berbagai kemudahan kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga menyelesaikan tesis ini. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. Beliau selalu bersedia membagi waktu untuk berbincang-bincang tentang banyak hal yang memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi penulis. Pengalaman dan keterbukaan beliau telah membuka wawasan penulis tentang hidup dan kehidupan. Sikap kebapakan dan pengayoman menjadi teladan yang baik bagi penulis. Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda, ibunda, abang-abang, kakak-kakak, adik, ipar-ipar, dan orangorang tersayang di keluarga penulis yang selalu memberikan dorongan dan bantuan selama penulis kuliah. Juga tidak lupa, penulis ucapkan terima kasih kepada temanteman satu stambuk di Sekolah Pascasarjana Program Studi Linguistik USU, khususnya personil Komunitas Larukina Gusroma yang baru saja didirikan, yaitu Kak Lela, Kak Ruly, Kiki, Pak Gustaf, Bu Rosita, dan Bu Erma. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepala sekolah, rekan-rekan pengajar, dan siswa-siswi di SMA Swasta Bandung serta seluruh pihak yang turut membantu yang belum tersebut namanya pada kesempatan ini. Medan, Juni 2009 Penulis, Muharrina Harahap, S.S. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 RIWAYAT HIDUP Nama : Muharrina Harahap Tempat, Tanggal Lahir : Labuhan Batu, 11 Maret 1983 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Alamat : Jalan Perintis I No. 18 Komp. Veteran Purn. ABRI Medan Estate 20371 Pendidikan Formal : 1. SD Negeri No.101776 Sampali Kecamatan Percut Sei Tuan (Tamat 03 Juni 1995) 2. SLTP Negeri 27 Medan (Tamat 01 Juni 1998) 3. SMU Negeri 11 Medan (Tamat 21 Juni 2001) 4. Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan (Tamat 25 Juni 2005) 5. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Sejak 2007) Pendidikan Nonformal : 1. Diklat Jurnalistik Suara USU di Medan (2003) 2. Diklat Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Medan (2004) 3. Workshop Finalis Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP) dan Mengulas Karya Sastra (LMKS) di Cipayung Bogor (2008) Pekerjaan : 1. Staf Pengajar di BT/BS Adzkia Medan (2003-2004) 2. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pesantren Ta’dib Al-Syakirin, Titi Kuning, Medan (2004-2005) 3. Staf Pengajar di Yayasan Pendidikan Azkiaschool Langsa, NAD (2005-2006) 4. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Swasta Bandung, Medan Tembung (Sejak 2006) Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................. i ABSTRACT............................................................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP................................................................................................ v DAFTAR ISI.......................................................................................................... vi DAFTAR BAGAN ................................................................................................ ix DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... x DAFTAR ISTILAH .............................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 8 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................ 8 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................................... 9 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 1.4.1 Manfaat Teoretis ........................................................................ 9 1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................................... 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ...................................................................... 11 2.1 Kajian Pustaka...................................................................................... 11 2.2 Konsep ................................................................................................ 14 2.2.1 Nilai Budaya ........................................................................ 14 2.2.2 Budaya Jawa ........................................................................ 16 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2.2.3 Mitologi ................................................................................ 19 2.2.4 Kosmologi ............................................................................ 22 2.2.5 Filsafat Jawa ......................................................................... 24 2.3 Landasan Teori ................................................................................... 28 2.4 Model Penelitian ................................................................................. 35 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 38 3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 38 3.2 Sumber Data ........................................................................................ 43 3.3 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 43 3.4 Teknik Analisis Data ........................................................................... 44 BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN PENGARANG ............................................................. 47 4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo ......................................... 47 4.1.1 Pasar .......................................................................................... 47 4.1.2 Mantra Pejinak Ular .................................................................. 48 4.1.3 Wasripin dan Satinah ................................................................. 51 4.2 Pemikiran Tentang Sastra .................................................................. 55 4.2.1 Sastra Profetik ............................................................................ 61 4.2.2 Dialektika Dua Dunia ................................................................. 70 BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO ................................................................................. 74 5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa ................................................... 74 5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa .............................. 78 5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa ................................................... 88 5.2 Mitos-Mitos Masa Kini ....................................................................... 107 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB VI FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO ............................................................................... 118 6.1 Metafisika ......................................................................................... 119 6.2 Epistemologi .................................................................................... 123 6.3 Aksiologi .......................................................................................... 127 BAB VII REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVELNOVEL KUNTOWIJOYO ................................................................ 133 7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo ..................... 133 7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan .......................................... 136 7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam ........................................... 147 7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat ................................. 155 7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain ................................ 162 7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri ........................... 164 7.2 Kontekstualisasi ............................................................................... 174 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 176 8.1 Simpulan ......................................................................................... 176 8.2 Saran ................................................................................................. 179 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 180 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 DAFTAR BAGAN No 1. Judul Halaman Model Penelitian ....................................................................................... Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 35 DAFTAR LAMPIRAN No Judul Halaman 1. Foto dan Biografi Pengarang...................................................................... 185 2. Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo.......................................................... 188 3. Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo.................................................. 212 Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 DAFTAR ISTILAH Abstraksi : proses/perbuatan memisahkan. Adikodrati : alam gaib Aksiologi : kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia ; kajian tentang nilai. Akal : daya pikir untuk memahami sesuatu. Animisme : kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb.) Dialektik : seni berpikir secara teratur dan logis Dialektika : hal berbahasa dan bernalar dengan dialog untuk menyelidiki suatu masalah. Ekologi : ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya). Ekspansif : dapat/cenderung meluas. Ekstase : keadaan di luar kesadaran diri (bersemadi). Epistemologi : cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar/batas-batas pengetahuan. Epos : cerita kepahlawanan. Filosofis : berdasarkan filsafat. Filsafat : pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal-usul dan hukumnya. Gaib : tidak kelihatan ; tersembunyi ; tidak nyata. Intuisi : daya atau kemampuan mengetahui/memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari ; bisikan hati. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kejawen : aliran kebatinan masyarakat Jawa ; berasal dari kata ke-jawa-an. Kosmologi : ilmu (cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta ; ilmu tentang asal-usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem matahari, serta hubungan sistem matahari dengan jagad raya ; ilmu (cabang dari metafisika) yang menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan. Kosmos : jagat raya ; alam semesta. Magi : sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib yang dapat menguasai alam semesta. Magis : bersifat magi ; berkaitan dengan hal/perbuatan magi. Metafisika : ilmu tentang hal-hal yang tidak kelihatan (metafisik). Mistik : hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Mistis : bersifat mistik. Mite : cerita sejarah, dipercaya benar-benar terjadi, suci, dan dewa. Mitologi : ilmu tentang sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa/makhluk halus dalam suatu kebudayaan. Mitos : cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul alam, manusia, bangsa, tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Monisme : pandangan bahwa semesta itu merupakan satu kesatuan tunggal. Pandangan : konsep yang dimiliki seseorang/golongan dalam masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini. Patrap : tata aturan yang mengatur kehidupan masyarakat Jawa. Pedoman : kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan ; hal-hal pokok yang menjadi dasar. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Penalaran : pertimbangan tentang baik-buruk ; akal budi. Priayi : orang yang termasuk lapisan masyarakat yang kedudukannya dianggap terhormat ; misal golongan pegawai negeri. Profetik : konsep sastra yang digagas Kuntowijoyo yang memusatkan penciptaan karya sastra pada perilaku nabi. Rasio : penalaran menurut akal sehat ; akal budi ; nalar. Ritual : berkenaan dengan ritus. Ritus : tata cara dalam upacara keagamaan Struktur : susunan yang memperlihatkan tata hubungan antarunsur pembentuk karya sastra ; rangkaian yang tersusun terpadu. Strukturalisme : doktrin/metode yang menganggap objeknya bukan unsur yang terpisah-pisah, melainkan sebagai gabungan beberapa unsur. Totem : benda dan binatang yang dianggap suci dan dipuji. Totemisme : sistem religi yang berkeyakinan bahwa warga kelompok unilinial adalah keturunan dewa-dewa. Transenden : di luar segala kesanggupan manusia ; luar biasa. Transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencari hubungan antara antropologi budaya dan sastra atau sebaliknya tidaklah begitu sulit jika dilihat dari sudut pandang antropologi, terlebih setelah munculnya Strukturalisme Levi-Strauss dan Posmodernisme. Semenjak itu, saling hubungan antara antropologi budaya dan sastra, baik pada tataran teoritis maupun pada tataran kajian fenomena empiris, menjadi semakin jelas dan kuat. Sebagai sebuah disiplin yang perkembangannya sangat ditentukan oleh data yang ditampilkan dalam bentuk etnografi, tulisan atau karya tulis tentang kebudayaan satu atau beberapa suku bangsa tertentu, maka antropologi budaya memang tidak akan pernah terlepas dari sastra, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagaimana halnya sastra lisan, sastra dalam bentuk yang tertulis (dalam hal ini novel) juga dapat diperlakukan sebagai objek material, baik sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan tertentu, ataupun sebagai salah satu unsur kebudayaan yang sedang dipelajari. Lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin tidak cuma bisa ditemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan seputar masalah kebudayaan masyarakat tertentu. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Memang, dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti mitos-mitos, dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum diterima (acceptable). Suatu hal yang lumrah apabila dalam kasus masyarakat yang “melek huruf”, para ahli antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Tidak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsipersepsi pengarang terhadap dunia ─ terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial ─ telah terbentuk oleh lingkungan budayanya. Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua melalui antropologi kultural. Tradisi pertama, menelusuri jejakjejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokoh-tokoh (Ratna, 2004:354). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 itu sendiri. Barthes (2004:152) menyebutkan bahwa mitos adalah tipe wicara, segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. Karya sastra jelas bukan mitos, tetapi sebagai bentuk estetis karya sastra adalah manifestasi mitos itu sendiri. Frye (Junus, 1981:92) membagi mitos atas dua bagian yaitu, mitos pengukuhan (myth of concern) dan mitos pembebasan (myth of freedom). Yang pertama, mempertahankan apa yang terwujud, sedangkan yang kedua menginginkan sesuatu yang baru dengan melepaskan diri dari apa yang telah terwujud. Dengan begitu, karya sastra juga bukan sesuatu yang rasional, yang melihat segalanya dengan suatu pertimbangan yang jernih, segala sesuatu dalam karya sastra dapat bersifat mitos. Kalau karya sastra tersebut merupakan mitos pembebasan, segala sesuatu yang telah terwujud dan mapan akan dilihat sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang mesti dilawan dan ditiadakan. Sebaliknya, bila karya sastra itu merupakan mitos pengukuhan maka segala yang baru akan dianggap tidak baik dan jahat. Lebih lanjut, Sikana (2008:140) mendefinisikan mitologi sebagai himpunan cerita yang mengisahkan asal usul ; termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, penciptaan cakrawala, kisah-kisah fantasi, keajaiban, magik, heroisme, tragedisme, dan juga aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini termasuk agama, adat istiadat, pantang larang, kebiasaan-kebiasaan, amalan budaya, dan corak penganut spiritual. Hal-hal tersebut dapat ditemukan dalam sebuah karya sastra. Mitologi Jawa yang menjadi tumpuan dalam penelitian ini hendaknya ditafsirkan sebagai pengetahuan tentang dunia mite orang Jawa. Beberapa mite itu Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 menjadi mitos bagi kelayakan hidup perseorangan dalam masyarakat yang mewakili mite tesebut. Mite orang Jawa yang paling menonjol adalah cerita wayang yang bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana. Mungkin kalau dilacak lebih jauh dunia mite orang Jawa berasal dan boleh jadi berakar pada mitologi Hindu yang membawa tradisi cerita kedua epos tersebut. Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra terjadi dalam konteks sosial sebagai bagian dari kebudayaan yang menyiratkan masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Hal itu terjadi karena sastrawan dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat (Wellek dan Austin, 1985:120). Sastra yang ditulis pada suatu waktu kurun tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang menggubah karyanya selaku warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga sama-sama dengannya merupakan warga masyarakat tersebut. Sastra pun dipergunakan sebagai sumber untuk menganalisa sistem masyarakat. Ini sesuai dengan pendapat Luxemburg, dkk. (1989:26) menyatakan bahwa sastra dipergunakan sebagai sumber dalam menganalisa sistem masyarakat. Sumardjo (1982:39), pernah menyatakan tentang adanya kebangkitan kembali kebudayaan Jawa dalam kesusastraan Indonesia. Maksudnya, karya sastra dapat dipandang sebagai sumber informasi tentang manifestasi budaya Jawa. Menurut Suseno (2003:1), salah satu ciri khas kebudayaan Jawa tersebut terletak pada kemampuan luar biasanya mempertahankan keasliannya di tengah membanjirnya gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dirangkul, tetapi akhirnya “dijawakan”. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya akan menemukan identitasnya. Kebudayaan Jawa, termasuk filsafat Jawa, merupakan bagian dari kebudayaan luhur masyarakat dan bangsa yang harus tetap lestari dan berkembang. Sebagai salah satu aspek kebudayaan, novel selalu hadir dan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu apa yang dikisahkan dan bagaimana pengarang menuturkan kisah. Lalu, Chatman (1978:19) membagi studi terhadap cerita (fiksi) ke dalam dua bagian pokok. Pertama, studi isi (content) dan kedua, studi wacana (discourse). Baik isi maupun cara pengarang menyampaikan isi dalam novelnya, secara serempak akan dilihat dalam satu kesatuan pembahasan. Menurut Rosidi (1995:119) adalah wajar apabila dalam karya-karya seorang sastrawan ditemukan latar belakang kehidupan, pendidikan, dan kebudayaan penulisnya. Dan keragaman latar belakang budaya para penulis Indonesia telah memberikan warna-warni mozaik yang menyusun keindahan sastra Indonesia. Dilihat dari segi budaya yang mengasuhnya, Kuntowijoyo hidup dalam dua budaya besar: Yogyakarta dan Surakarta. Sebagaimana yang dikatakan Wangsitalaja (Anwar, 2007:9), kedua budaya itu sama-sama berlatar kejawen, tetapi memiliki sejumlah perbedaan bahkan pertentangan. Budaya Yogyakarta bersifat “serba seadanya-gagah-maskulin-aktif”, sedangkan budaya Surakarta bersifat “kenes-penuh bunga-feminin-kontemplatif”. Kedua warna budaya yang kental ini merasuki karyakarya Kuntowijoyo, berdialektika dengan budaya Barat dan peradaban Islam yang intensif digeluti dan dihidupinya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sastra Indonesia sendiri, yang mula-mula memperlihatkan pengaruh sastra Belanda yang kuat, seperti nampak pada karya para pengarang Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru, kemudian memperlihatkan kaki-langit yang lebih luas; sementara pengaruh sastra Islam melalui bahasa Arab ─ meskipun tidak menonjol ─ tetap merupakan nada dasar, kecuali pada beberapa orang pengarang seperti Hamka. Kehidupan, kepercayaan, cita-cita yang terdapat dalam Islam, dengan mudah akan dijumpai dalam berbagai karya sastra Balai Pustaka, bahkan juga karya sastra para sastrawan Pujangga Baru, dan Angkatan ’45. Meskipun untuk waktu yang lama keislaman ini tidak muncul secara sadar dan menonjol, tetapi ia tetap jelas menjadi latar belakang hampir setiap karya sastra yang ditulis. Pada dua-tiga dasawarsa yang terakhir ini, nampak bahwa keislaman telah muncul secara lebih sadar dalam kehidupan sastra Indonesia seperti tampak dalam karya-karya Bahrum Rangkuti, A.A. Navis, dan Kuntowijoyo. Keanekaragaman karya sastra nasional Indonesia tidaklah memperlihatkan mozaik yang berdasarkan agama saja, melainkan juga berdasarkan keanekaragaman budaya dan kesenian. Kehidupan masing-masing suku bangsa yang mempunyai adatistiadat yang berlainan, jenis kesenian yang berbeda, memberi kemungkinan untuk memperkaya keindahan mozaik itu. Keanekaragaman budaya tersebut ditemukan dalam novel-novel Kuntowijoyo. Novel-novel Kuntowijoyo ini bukan jenis karya sastra yang meremehkan gagasan atau pesan yang ingin disampaikan. Gagasan dan pesan bergulir dalam jalinan narasi realis yang berupaya menggali makna hidup dalam dinamika sejarah dan perubahan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sosial budaya masyarakat. Sebagai tambahan, Anwar (2007:53) mengemukakan bahwa karya Kuntowijoyo dikatakan sebagai karya di mana “visi menggelindingkan narasi”. Kuntowijoyo merupakan figur yang menunjukkan realitas budaya Jawa. Dilihat dari latar belakang pendidikannya beliau adalah sejarawan. Akan tetapi, karya-karyanya menunjukkan bahwa beliau juga merupakan cendikiawan, agamawan, dan budayawan. Gelar tersebut melekat karena ia banyak sekali memberikan kontribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial, dan pengintegrasian ilmu agama dan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan tentang alur pemikiran yang dilontarkan beliau, dapat dibahas dari sastra yang ia goreskan pada karya-karyanya. Kuntowijoyo merefleksikan gagasan filosofisnya tersebut melalui karya-karyanya yang bercorak transendental (religius) dan profetik (mengutamakan kebebasan manusia). Sastra yang bercorak transendental dapat dilihat dalam novelnya Khotbah di Atas Bukit (1976), Impian Amerika, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, serta kumpulan puisinya yang berjudul Suluk Awang-Uwung. Sementara itu, sastra yang bersifat profetik yakni, Pasar, Mantra Penjinak Ular, Makhrifat Daun Daun Makhrifat, dan yang terakhir Wasripin dan Satinah. Novel Wasripin dan Satinah ( 2003 ) merupakan karya terakhir Kuntowijoyo sebelum virus meningo enchepalitis merenggut nyawanya pada tanggal 22 Februari 2005. Novel-novel Kuntowijoyo yang akan dianalisis pada kesempatan ini adalah Pasar (1972, terbit ulang 1994 & 2002), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dan Satinah (2003). Kekayaan masalah-masalah kebudayaan Jawa dalam karya sastra tersebut, menimbulkan ketertarikan penulis untuk meneliti tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo? 2. Bagaimanakah filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo? 3. Bagaimanakah representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memperkaya khasanah pembicaraan atau kajian sastra dan budaya. 2. Memaparkan keterikatan atau hubungan kebudayaan dengan sastra. 3. Mengungkapkan dan mendeskripsikan novel-novel Kuntowijoyo secara luas dan mendalam. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 2. Menganalisis filsafat Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 3. Menguraikan nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai salah satu rujukan untuk merangsang penelitian sastra Indonesia yang selama ini berfokus pada penelitian intrinsik dan struktural. Penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan kajian budaya Jawa dan novel-novel Kuntowijoyo. 2. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk menambah khazanah pengetahuan tentang perkembangan sastra Indonesia dan puitika sastra Indonesia. 3. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penelitian-penelitian berikutnya, baik penelitian novel-novel Kuntowijoyo maupun penelitian karya sastra Indonesia lainnya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Membantu masyarakat untuk memahami nilai budaya, mitos, dan filsafat Jawa. 2. Menumbuhkan semangat masyarakat untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan daerah masing-masing. 3. Memperkaya khasanah kesusastraan Indonesia. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pada kajian pustaka ini dilakukan penelusuran atas penelitian-penelitian sebelumnya dan sebagian laporan penelitian itu telah dimuat dalam bentuk buku. Penelusuran penelitian tersebut dijelaskan sabagai berikut. Tanggapan terhadap karya Kuntowijoyo melalui artikel, dimulai Prihatmi di Kompas pada tanggal 13 Oktober 1971 lewat “Sorotan Selintas atas Khotbah di Atas Bukit” dan tahun 1988 beliau juga menulis makalah serupa yaitu, “Karya Kuntowijoyo: Menolak Ratu Adil dan Gagasan Nietsche Tentang Manusia Agung”. Kemudian, Mangunwijaya pun menulis artikel dalam Berita Buana pada tanggal 02 Desember 1986 yang berjudul “Roman Khotbah di Atas Bukit Kuntowijoyo, Beberapa Catatan”. Lalu, Pinem menulis di koran yang sama pada tanggal 07 Februari 1989. Artikel itu bertajuk “Suluk Awang-Uwung, Renungan Sufistik Kuntowijoyo”. Tidak mau ketinggalan, Sumardjo juga menulis “Khotbah di Atas Bukit Karya Kuntowijoyo” di Pikiran Rakyat tanggal 2 Juli 1976. Terakhir,Wangsitalaja menulis artikel tentang Kuntowijoyo ini di majalah yang sama dan waktu yang bersamaan pula. Masing-masing dimuat di Horison dan pada Februari 2001, berjudul “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dan “Kuntowijoyo: Bermula dari Sebuah Surau”. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Penulisan dalam bentuk buku dilakukan oleh Jabrohim yang berjudul Pasar dalam Perspektif Greimas, terbit tahun 1996. Buku ini merupakan naskah laporan penelitian beliau yang diformat ulang oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Jabrohim menggunakan pendekatan struktural A.J. Greimas terhadap novel Pasar karya Kuntowijoyo dengan menggunakan skema aktan dan struktur fungsionalnya. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis dalam memahami struktur fungsional novel Pasar tersebut. Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten yang juga pengamat sastra, menulis buku yang berjudul Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya, terbit tahun 2007. Buku tersebut membicarakan hampir seluruh cerpen dan novel Kuntowijoyo: Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), Hampir Sebuah Subversi (1999), Khotbah di Atas Bukit (1971), Pasar (1972), Mantra Pejinak Ular (2000), serta Wasripin dan Satinah (2003). Juga dibahas tiga kumpulan puisi Kuntowijoyo : Suluk AwangUwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1995). Buku yang ditulis Anwar ini sangat membantu penulis dalam memahami novel-novel Kuntowijoyo. Selanjutnya, Maria A. Sardjono menganalisis paham Jawa lewat bukunya yang berjudul Menguak Falsafah Hidup Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia, terbit tahun 1995 di Jakarta. Metode pendekatan yang digunakan oleh Maria A. Sardjono adalah deskripsi fenomenologis dan analisis filosofis. Buku ini memberi kesimpulam bahwa para pengarang dalam karya-karya itu banyak menampilkan pribadi-pribadi manusia Jawa yang memandang ke dalam diri mereka Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sendiri, yang lebih asyik mencari jalan keluar dalam menanggulangi kenyataan atau pengalaman yang dihadapinya daripada mengenai gambaran tentang masalahmasalah sosial yang lebih luas. Sedikit banyaknya penelitian ini akan mengacu pada buku tersebut, terutama untuk memahami budaya Jawa yang terdapat dalam novelnovel Kuntowijoyo. Djoko Suryono, tahun 1998 pernah menulis tentang budaya Jawa dalam disertasinya yang berjudul Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Prosa Fiksi Indonesia. Beliau menggunakan pendekatan sosiokultural dalam memahami nilainilai budaya Jawa. Tesis tersebut menjadi salah satu acuan dalam penelitian ini, terutama mengenai sosiokultural masyarakat Jawa. Sementara itu, pembicaraan tentang mitologi Jawa terhadap karya sastra sudah dilakukan oleh Zaidan A. Rozak dkk. yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta tahun 1997. Penelitian itu berjudul Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Penelitian ini memfokuskan mitologi pada wayang sebagai kerangka acuan dan arah orientasinya. Penelitian ini dapat membantu penulis memahami penerapan mitologi Jawa terhadap karya sastra. Dengan demikian, diketahui bahwa pembicaraan tentang mitologi terhadap novel-novel Kuntowijoyo, sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melanjutkan penelitian tentang mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2.2 Konsep 2.2.1 Nilai Budaya Sistem kebudayaan terdiri atas nilai-nilai budaya berupa gagasan yang sangat berharga bagi proses kehidupan. Oleh karena itu, nilai budaya dapat menentukan karakteristik suatu lingkungan kebudayaan di mana nilai tersebut dianut. Nilai budaya langsung atau tidak langsung tentu akan diwarnai oleh tindakan-tindakan masyarakatnya serta produk kebudayaan yang bersifat materil. Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia, dan makna-makna kebudayaan itu disampaikan satu sama lain dalam hidup manusia. Nilai budaya ini, juga merupakan suatu bentuk dari kehidupan dan memuat ketentuan-ketentuan mengenai tingkah laku yang menyangkut penilaian baik buruk kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Bisa dikatakan bahwa nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman dalam bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat (2002:190), sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bagian terpadu dalam etika moral, yang dalam manifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Koentjaraningrat (2002:190) juga menambahkan bahwa nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya. Ada lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut Kluckhohn, yaitu : 1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, 2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia, 3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, 4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, 5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (Koentjaraningrat, 2002:191). Dengan demikian, dalam tiap masyarakat baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain saling berkaitan hingga merupakan suatu sistem. Kemudian, sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan dan menjadi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2.2.2 Budaya Jawa Kata ‘kebudayaan’ berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Ada sebagian ahli berpendapat bahwa kata budaya sebagai suatu perkenbangan dari budi-daya, yang berarti ‘daya dari budi’. Oleh karena itu, mereka membedakan ‘budaya’ dengan ‘kebudayaan’. Demikianlah, budaya adalah ‘daya dari budi’ yang berupa cipta, rasa, dan karsa. Sementara itu, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa itu. Dalam istilah antropologi budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata ‘budaya’ di sini hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari ‘kebudayaan’ dengan arti yang sama. Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau yang terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa (Javanese) adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa (Suseno, 2003:15). Kemudian, Geertz (Sani, 2008:7) membagi struktur masyarakat Jawa menjadi tiga bagian, yaitu kaum abangan, priyayi, dan santri. Kaum abangan adalah kelompok yang menitikberatkan segi-segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan unsur-unsur petani di antara penduduk. Lalu, priyayi adalah kelompok yang sikapnya menitikberatkan pada segi-segi Hindu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi, sedangkan kelompok santri mewakili sikap yang menitikberatkan segi-segi Islam dan sinkretisme pada umumnya berhubungan dengan kaum pendatang dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 petani. Klasifikasi masyarakat Jawa ini menjelaskan budaya hierarkis masyarakat Jawa. Manusia Jawa adalah pendukung dan penghayat kebudayaan Jawa. Orang Jawa tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat, di banyak kepulauan Indonesia kini sampai Irian Barat setelah transmigrasi, di semenanjung Malaysia, di Muangthai, Birma, dan Vietnam yang dibawa oleh Jepang sebagai romusha, di Suriname, Kurasao, Kaledonia Baru sejak zaman penjajahan sebagai tenaga perkebunan. Yang amat sedikit diketahui adalah orang Jawa yang ada di Afrika Selatan, Sri Langka, dan Asia Tenggara. Menurut Partokusumo (Setyodarmodjo, 2007:73), salah seorang pakar budaya dari Lembaga Javanologi, jumlah orang Jawa di berbagai tempat di penjuru dunia itu tidak diketahui dengan pasti, kecuali taksiran yang ada di seluruh kepulauan Indonesia ± 60% dari seluruh penduduk di Indonesia yang jumlahnya sekarang sudah lebih dari 160 juta. Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak merupakan sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya keanekaragaman yang sifatnya regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara (Koentjaraningrat, 1994:25). Oleh karena budaya yang tidak homogen tadi, maka sifat tablat pendukungnya berbeda satu sama lain. Semua mempunyai individualitas yang kuat, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tidak ada yang khas ‘Jawa’. Ada yang polos, dan ada yang berbelit-belit, ada yang halus, ada yang kasar, ada yang berterus terang, ada yang malu-malu, ada yang bersikap seenaknya, dan ada yang bekerja fanatik, serta ada yang tidak bertindak sendirian dan yang tidak banyak peduli akan sikap kelompoknya (Suseno, 2003:31). Mengingat kenyataan bahwa kebudayaan Jawa tidak homogen dan sifat orang Jawa berbeda satu sama lain, maka watak dan tingkah laku orang Jawa tidak dapat dipukul rata. Meskipun demikian, kiranya patut dikemukakan sifat-sifat orang Jawa hingga sekarang masih banyak dilestarikan, yakni sifat yang lebih umum namun tetap khas Jawa antara lain : rukun, damai, hormat, ramah, tenggang rasa (tepa selira), dan keselarasan (harmonis). Sifat-sifat ini membangkitkan kemampuan memahami perbedaan, tetapi tetap berpegang pada pendapat dan pendiriannya sendiri tanpa menimbulkan suatu ketegangan. Inilah yang disebut kebijaksanaan. Sifat-sifat itulah sebagai ‘kiblat’ manusia Jawa mengenal asal usulnya di mana pun mereka berada. Hardjowirogo (1984:7) juga menambahkan bahwa semua orang Jawa itu berbudaya satu. Mereka berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan. Dalam penghayatan hidup budaya mereka, baik yang tinggal di Pulau Jawa maupun yang di tempat lain, bahkan yang tinggal di Suriname, orientasi nilai mereka tetap terarah ke kota Solo dan Yogya. Oleh sebab itulah, kesatuan budaya yang dipegang oleh orang Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia ini, mau ataupun tidak, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap budaya Indonesia. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Bagi orang Jawa ‘budaya’ bukanlah konsep antropologi yang samar-samar, melainkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan itu disadari benar. Hidup yang benar adalah hidup sebagai orang Jawa, mengetahui dan memperlihatkan tingkah laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas, mempertahankan tatanan yang ada, manusia dan benda-benda berada di tempat masing-masing yang teratur, dapat diramalkan, dan tanpa gangguan (Mulder, 2005:42). Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya, baik secara langsung maupun tidak langsung serta disadari atau tidak. Dari pengalaman hidup ini, kemudian diperoleh citra lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah definisi yang dituliskan oleh Partokusumo tersebut bahwa kebudayaan Jawa adalah pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum kemauan, cita-citanya, idenya, maupun semangatnya dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin. 2.2.3 Mitologi Mitologi berasal dari bahasa Inggris mytology dan bahasa Prancis mythologie, yang bermakna kumpulan mitos yang berasal dari sumber yang sama, atau yang pokok ceritanya sama; studi tentang mitos. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Mitos juga berasal dari kata myth (Inggris), mythe (Prancis), dan mythos (Yunani). Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan fabel dan legenda. Tetapi dalam pengertian modern, mitos memiliki hubungan dengan masa lampau sebagai citra primordial dan arketipe (Ratna, 2004:67). Mitos adalah cerita anonim yang berakar dalam kebudayaan primitif. Apabila pada awalnya mitos diartikan sebagai imajinasi yang sederhana dan primitif untuk menyusun suatu cerita, maka dalam pengertian modern mitos adalah struktur cerita itu sendiri. Mitos sebagai cerita yang mempunyai struktur berarti mitos dibangun oleh satuan-satuan minimal yang bermakna. Satuan minimal yang membangun struktur cerita mitologis sehingga struktur itu sendiri mengandung makna. Junus (1981:90) mengatakan bahwa hubungan antara mitos dan realitas itu sangat dekat, bergantung pada cara pandang seseorang. Beliau menambahkan bahwa mustahil ada kehidupan tanpa mitos. Manusia itu hidup dengan mitos-mitos yang membatasi segala tindak-tanduknya. Ketakutan dan keberanian terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos-mitos di sekelilingnya. Banyak hal yang sukar dipercayai dapat berlaku hanya karena penganutnya memercayai sebuah mitos. Dan ketakutan manusia akan sesuatu lebih disebabkan ketakutan akan suatu mitos, bukan ketakutan yang sebenarnya. Kehadiran suatu mitos merupakan keharusan terutama pada hal-hal yang bersifat abstrak, sesuatu yang tidak jelas tentang baik dan buruknya, sesuatu yang ambiguous. Suatu mitos dari masa lampau akan tetap berlaku dalam masanya. Sekali ditinggalkan masa itu, ia tak akan berlaku lagi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Mitos bagi masyarakat primitif merupakan suatu sejarah kudus yang terjadi pada waktu permulaan yang menyingkap tentang aktivitas supranatural hingga saat ini. Namun, mitos penciptaannya tidak mengantarkan manusia pada sebab pertama atau dasar eksistensi manusia, melainkan sebagai jaminan eksistensinya. Berkaitan dengan aktivitas yang supranatural mitos dianggap sebagai yang benar, suci, dan bermakna, serta menjadi pedoman berharga bagi yang memercayai dari lingkungan tempat tinggalnya. Antropolog sosial, seperti Malinowski dalam buku William A. Lessa dan Evon Z. Vogt yang berjudul Reader In Comparative Religion (1979:101) berpendapat bahwa mitos sebagaimana ada dalam suatu masyarakat primitif, bukanlah sematamata cerita yang dikisahkan, tetapi juga merupakan kenyataan yang dihayati. Mitos merupakan daya aktif dalam kehidupan masyarakat primitif. Atas dasar ‘realitas’ mitos menjadi penghubung dari institusi-institusi sosial yang ada (Minsarwati, 2002:27). Senada dengan Malinowski, Anderson (2008:10) mendefinisikan mitologi sebagai seperangkat simbol-simbol nasional atau kultural yang membangkitkan kesetiaan yang boleh dikatakan seragam pada masyarakat, baik secara horizontal lintas wilayah maupun secara vertikal lintas kelas. Simbol-simbol nasional dan kultural tersebut tercermin dalam sebuah karya sastra. Karya sastra yang merupakan produk kebudayaan menyimpan berbagai mitos kedaerahan masing-masing. Kebudayaan Jawa, misalnya penuh dengan mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang segala Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan pada orang, tempat, waktu, dan peristiwa. Hal tersebut terlihat menonjol dalam nama, kelahiran, waktu, keberuntungan, angka, dan huruf. Dengan demikian, realitas mitos Jawa diwujudkan manusia melalui bentuk upacara ritual. Pengulangan kembali mitos dalam upacara-upacara ritual berarti menghidupkan kembali dimensi kudus pada waktu permulaan. Sehingga bagi masyarakat Jawa, mengetahui mitos adalah sesuatu yang penting karena mitos tidak hanya mengandung tafsiran tentang dunia dengan segala isinya dan contoh model tentang keberadaannya di dunia, tetapi mereka harus menjalankan dan mengulangi kembali apa yang telah Tuhan dan alam supranatural kerjakan pada waktu permulaan. Jadi, jelaslah bahwa mitos bagi masyarakat Jawa bukan merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, melainkan lebih merupakan orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan yang Illahi. 2.2.4 Kosmologi Secara etimologi kosmologi berasal dari istilah Yunani, yaitu kosmos yang berarti susunan, atau ketersusunan yang baik. Menurut Bakker (1995:27) kosmologi adalah ilmu pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Titik tolak konkret kosmologi adalah kesatuan manusia dan dunia. Pemahaman antara manusia dan dunia dalam antropologi ini selanjutnya dikatakan kosmologi yang bersifat metafisik. Hal itu sebenarnya merupakan kelanjutan dan perluasan dari Antropologi karena setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi, pertama-tama Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 direalisasikan dalam manusia dengan cara paling jelas dan sadar sejauh substansi lainnya (dalam rangka dunia) merupakan bayangan dan pemikiran manusia yang berkurang. Namun, kosmologi juga berbeda karena secara implisit terkandung kesimpulan-kesimpulan tentang substansi-substansi dunia lainnya, tetapi dalam kosmologi substansi-substansi dunia lain itu termasuk obyek penyelidikan secara langsung (Bakker, 1995:38). Kosmologi selalu berhubungan dengan lingkungan, salah satunya adalah ekologi. Ekologi yang diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup, merupakan ilmu majemuk atau disiplin lintas semu (an inter diciplinary study). Ekologi memiliki keistimewaan di antara ilmu-ilmu spesifik, terutama yang eksakta, sebab dengan jelas berciri normatif. Ekologi bukan hanya mempelajari struktur alam dunia, tetapi juga menentukan norma-norma untuk memelihara dan mengembangkan. Pemahaman antara kosmologi dan ekologi menambah pengertian bahwa gagasan pengalaman-pengalaman hidup manusia merupakan fungsi dari kualitas alam lingkungan yang terlihat dari perjuangan antara manusia dengan alam. Melalui sudut ini akan terlihat bahwa sekalipun kosmologi bukan ilmu praktis yang dapat menyajikan pemecahan untuk persoalan ekologi, tetapi kosmologi dapat menyediakan dasar tempat suatu filsafat lingkungan dapat dibangun. Kosmologi menjadi ruang dialog ekologi dan keduanya bersama-sama memberi pengertian skala besar dan skala kecil tentang oikos. Berdasarkan uraian di atas, kerjasama antara kosmologi dengan ekologi, maupun antropologi ternyata mampu memahami keberadaan alam semesta konkret, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 baik itu asal mula, gejala-gejala, substansi-substansi, serta sebab-akibat yang ditimbulkannya, maka sangat relevan sekali apabila kosmologi ini sebagai bagian dari ilmu pengetahuan alam yang berusaha tampil untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tetap mengacu pada manusia makhluk dengan kecerdasan dan kesadaran diri. Sehubungan dengan itu, masyarakat Jawa pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari lingkungan tempat tinggalnya. Baik secara langsung ataupun tidak, dan disadari ataupun tidak ia akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya. Dari pengalaman hidup ini kemudian diperoleh cita lingkungan hidupnya yang memberikan petunjuk mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan demi kebaikan hidupnya. Keberadaan kosmos dengan keteraturannya mengantarkan pada pemahaman yang lebih realistis, bahkan alam dengan gejala-gejala yang muncul pasti ada yang mengatur dan mengendalikan. 2.2.5 Filsafat Jawa Brown dalam bukunya yang berjudul Psycolinguistics (1980:11) berpendapat bahwa salah satu hakikat bahasa adalah dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk beroperasi dalam suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dengan kemampuan berbahasa manusia dapat mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa bahasa maka hilanglah kemampuan manusia untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 generasi berikutnya. Dengan bahasa pula, manusia dapat berpikir secara sistematis dan teratur. Anderson (2008:10) juga menambahkan bahwa bahasa berhubungan erat dengan budaya tempat bahasa itu berada. Kelahiran bahasa itu bergandengan dengan kelahiran budaya. Melalui budaya segala cipta kognisi seseorang dapat dimiliki oleh orang lain dan dapat juga diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sejak adanya manusia, ada dua evolusi yang bersamaan, yaitu evolusi fisiologi (berkenaan dengan tubuh) dan evolusi budaya. Keduanya diikuti pembesaran otak manusia dan perluasan pemakaian bahasa. Jadi, dapat dipastikan bahwa manusia, bahasa, dan budaya lahir dan tumbuh secara bersama-sama. Pada kenyataannya, tidak semua manusia berbahasa secara lugas. Adakalanya dalam menyampaikan maksudnya, manusia menggunakan perbandingan- perbandingan atau simbol-simbol tertentu. Oleh karena itu, manusia memerlukan proses berpikir dan perenungan yang cukup panjang untuk memahami maksud tersebut. Di sinilah, muncul filsafat budaya yang berfungsi sebagai pedoman dan pengarah kebudayaan tertentu. Salah satu pengemban kebudayaan yang cukup besar di Indonesia adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa itu telah mengejawantahkan pemikiran-pemikiran filosofis tersebut dalam kehidupannya. Pemikiran filosofis itu disebut Ciptoprawiro sebagai filsafat Jawa. Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157), memberikan pengertian tentang filsafat Jawa. Menurutnya filsafat Jawa adalah ‘filsafat Sangkan Paraning Dumadi’. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka dapat dialihbahasakan menjadi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ‘filsafat asal dan arahnya yang ada’. Bila disebut pandangan hidup orang Jawa itu dengan kata-kata filsafat, maka kita perlu berhati-hati dalam mengartikannya. Hal ini karena arti kata filsafat itu sendiri bermacam-macam. Koesnoe (Setyodarmodjo, 2007:157) juga mengartikan filsafat atas tiga pengertian. Pertama, filsafat diartikan sebagai suatu pandangan hidup, atau yang dalam bahasa Jerman dinamakan ‘Weltanschauung’. Kedua, filsafat diartikan sebagai pemikiran yang logis, radikal sistematis tentang apa yang ada dalam kerangka kesemestaan atau universalitas. Sebagai contoh, bagaimana filsafat kebenaran itu menurut seorang pemikir. Demikian pula filsafat tentang susila, hukum, kekuasaan, dan seterusnya. Ketiga, filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang filsafat yang disebutkan dalam arti pertama dan/atau arti yang kedua. Di pihak lain, Ciptoprawiro (2000:11) mendefinisikan filsafat sebagai suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena), yang bersifat mendalam dan mendasar. Berfilsafat dalam arti luas, dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani untuk mencapai tujuan itu. Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan tiga komponen pokok yang memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan cipta, rasa, dan karsa, yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘trisakti jiwa’. Kemudian oleh Bung Karno dalam sambutannya pada upacara menerima gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1951, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dijadikan trilogi perjuangan bangsa Indonesia, yaitu : nationale geest, nationale will, nationale doad (jiwa nasional, kemauan nasional, dan perilaku nasional). Pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dan keutuhan itu secara konsekuen dipegang teguh oleh orang Jawa dalam berolah filsafat. Inilah yang memberi ciri khas pandangan hidup (filsafat) dan ilmu (kawruh) Kejawen yang secara diametral berlawanan dengan filsafat serta penerapan ilmu pengetahuan manusia Barat yang cenderung memisahkan jiwa dan materi dan menjurus ke suatu dualisme. Jadi, perbandingan antara filsafat Barat dan filsafat Jawa dapat dirumuskan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ciptoprawiro (2000:16) bahwa filsafat Barat mengidentifikasikan aku (ego) manusia dengan ciptanya (rasio, akal). Dengan demikian, cipta dilepaskan dari hubungan dengan lingkungannya hingga terlepasnya dari hubungan dengan lingkungannya hingga terjadi jarak (distansi) antara manusia dengan lingkungannya. Bagi filsafat Barat, manusia adalah manusia lepas hubungan. Filsafat Barat beranggapan bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang bernalar, Socrates). Sebaliknya, menurut filsafat Jawa manusia itu selalu dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu Tuhan serta Alam Semesta, dan menyadari kesatuannya. Maka bagi filsafat Jawa manusia adalah manusia dalam hubungan. Saat mempergunakan kodrat kemampuannya, manusia Jawa senantiasa mengusahakan kesatuan cipta-rasakarsa. Filsafat Jawa (Filsafat Timur umumnya) beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi (Ciptoprawiro, 2000:15). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dengan demikian, filsafat Jawa menegaskan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Illahi, artinya menyadari kesatuan hubungannya dengan Tuhan. Maka paham Jawa melihat sesuatu yang tidak mudah terjangkau oleh sembarangan orang sebagai gejala metaempiris yang berasal dari wahyu Illahi. 2.3 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra. Penelitian antropologi sastra adalah celah baru penelitian sastra. Penelitian yang mencoba menggabungkan dua disiplin ilmu ini, tampaknya masih jarang diminati. Padahal, sesungguhnya banyak hal yang menarik dan dapat digali dari model ini. Maksudnya, peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Peneliti juga dapat lebih leluasa memadukan kedua bidang itu secara interdisipliner, karena baik sastra maupun antropologi sama-sama berbicara tentang manusia. Secara definitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthoropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti : bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra. Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleks ide, kompleks aktivitas, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dan kompleks benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleks ide. Studi antropologi mulai berkembang awal abad ke-20 pada saat negara-negara kolonial, khususnya Inggris menaruh perhatian terhadap bangsa non-Eropah dalam rangka mengetahui sifat bangsa-bangsa yang dijajah. Dalam hal ini antropologi sastra ada kaitannya dengan studi orientalis. Atas dasar pertimbangan bahwa sistem kultural suatu bangsa tersimpan di dalam bahasa, maka jelas karya sastra merupakan sumber yang sangat penting. Dalam ruang lingkup regional dan nasional jelas antropologi sastra perlu dibina dan dikembangkan. Polemik Kebudayaan tahun 1930-an yang dipicu oleh pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana tidak semata-mata berorientasi ke Barat, sebagaimana ditanggapi oleh kritikus dan budayawan yang lain. Sebaliknya, Polemik Kebudayaan bermaksud untuk menemukan pola-pola kebudayaan nasional, dasardasar berpikir yang dapat digunakan untuk mengembangkan model-model kesenian berikutnya, khususnya kesusastraan. Dengan memanfaatkan bahasa Indonesia yang secara definitif sudah mulai digunakan sejak Kebangkitan Nasional (1908), yang kemudian disahkan dalam Sumpah Pemuda (1928), karya sastra Indonesia modern diharapkan mampu menjadi wadah bagi aspirasi bangsa, baik intelektual maupun emosional. Sastra Indonesia modern yang pada dasarnya merupakan kelanjutan sastra Melayu, bersama-sama dengan sastra daerah lainnya diharapkan mampu untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan teknologi dan perkembangan spritual. Meskipun karya sastra tersebut merupakan hasil imajinasi, tetapi perlu Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 diketahui bahwa justru di dalam imajinasi itulah nilai-nilai antropologis ‘dipermainmainkan’, di situlah lokus penelitian antropologi sastra (Ratna, 2004:352). Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek-aspek etnografi kehidupan manusia dan sebaliknya tidak sedikit karya etnografi yang memuat kiasan-kiasan sastra. Jadi, penelitian sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Menurut Kleden (2004:356), refleksi kebudayaan harus selalu diadakan karena kebudayaan hanya dapat dikembangkan karena direfleksikan. Tanpa refleksi, bukan tidak mungkin bahwa suatu masyarakat akan hanyut dalam semacam determinisme kebudayaan. Dalam pandangan kebudayaan yang deterministis kebudayaan dipandang hanya sebagai norma dan nilai yang tidak boleh digugat, dan bukannya juga produk-produk bersama yang telah dihasilkan dan diciptakan, dan karena itu dapat selalu berubah dan diubah bilamana tidak sesuai lagi dengan keperluan pada saat ini. Sesuai kedudukannya sebagai kata benda kebudayaan harus kita hadapi dan kita terima, tetapi dalam kedudukannya sebagai kata kerja kebudayaan harus digarap dan diolah kembali. Hal ini sesuai dengan pendapat Wallace (1966:70) bahwa salah satu unsur kebudayaan adalah sistem kepercayaan yang merupakan serangkaian pengetahuan manusia mengenai kosmologi, seperti makhluk halus, mitos, serta dunia nyata yang kompleks. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Hoed (2007:122) menjelaskan bahwa setiap lapisan kebudayaan mengandung prinsip-prinsip supraindividual dengan warga masyarakatnya yang masing-masing mempunyai benih otonomi individual. Benih-benih itu menjadi kuat dan mulai meninggalkan sebagian prinsip-prinsip supraindividual dalam kebudayaan internasional atau global untuk membentuk kebudayaan baru. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan antropologi sastra adalah hakikat manusia sebagai animal symbolicum, yang menolak hakikat manusia sebagai animal rationale. Cassirer (1990:65) menyatakan bahwa sistem simbol mendahului sistem berpikir, sebab pada dasarnya pikiran pun dinyatakan melalui simbol. Menurut teori ini, karakteristik yang menandai semua kegiatan manusia adalah proses simbolisme. Sebagaimana dikatakan oleh Eliade (2002:12) bahwa pemikiran simbolik merupakan salah satu bagian mutlak manusia. Pemikiran simbolik adalah awal dari bahasa dan pemikiran deskriptif. Dalam teori kontemporer, dominasi pikiran pun mesti didekonstruksi sehingga sistem simbol, termasuk simbol suku primitif dapat dimanfaatkan dan diartikan. Di satu pihak, simbol tidak seragam, ciri-ciri yang memungkinkan sistem komunikasi dapat berkembang secara tak terbatas. Di pihak lain, sesuai dengan pendapat Bloch (Ratna, 2004:351), manusia adalah entitas historis, keberadaannya ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling memengaruhi, yaitu : a) hubungan manusia dengan alam sekitar, b) hubungan manusia dengan manusia yang lain, c) hubungan manusia dengan struktur dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 institusi sosial, d) hubungan manusia dengan kebudayaan pada ruang dan waktu tertentu, dan f) manusia dan kesadaran religius atau para-religius. Menurut Forde (Minsarwati, 2002:48), hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Melalui kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola untuk perilaku dan berupa pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan. Pada umumnya penelitian antropologi sastra, menurut Bernard (Endraswara, 2008:109) lebih bersumber pada tiga hal, yaitu (a) manusia/orang, (b) artikel tentang sastra, (c) bibliografi. Dari ketiga sumber data ini sering dijadikan pijakan seorang peneliti sastra untuk mengungkap makna di balik karya sastra. Ketiga sumber data tersebut dipandang sebagai documentation resources. Hal ini memang patut dipahami karena karya sastra sebenarnya juga merupakan sumber informasi. Selanjutnya, antropologi sastra ini termasuk juga ke dalam pendekatan arketaipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Warisan budaya tersebut dapat terpantul dalam karya-karya sastra klasik dan modern. Hal tersebut berhubungan dengan unsur-unsur mitos, legenda, dongeng, fantasi, dan sejarah dalam karya sastra. Satu lagi yang menjadi inti pendekatan ini ialah penelitian terhadap konsep kesadaran kolektif dan primordial images yang terungkap dalam karya sastra. Dalam pengaplikasiannya seseorang dituntut menguasai sistem dan budaya masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Scott (Sikana, 2008:137), dalam buku teori klasiknya Five Approaches of Literary Criticism menjelaskan arketaipal menjurus kepada pencarian simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketaipal lebih bertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia dengan tindak-tanduknya daripada mengkaji unsur estetik dan intrinsik karya. Oleh karena itu pendekatan ini berhubungan dengan psikologi manusia, sebab manusia dalam setiap zaman tidak terlepas dari tindakantindakan yang berbentuk budaya dan kesenian. Jung (1875-1961) kelahiran Swiss adalah pelopor teori arketaipal. Jung juga merupakan psikiater. Teori ini merupakan lanjutan falsafah psikologis Jung. Lebih lanjut, Jung (Sikana, 2008:138) mengemukakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indera dan intuisi. Tanpa sadar, penceritaan terhadap sesuatu akan dilakukan secara turun-temurun. Jung juga menyebutkan bahwa manusia mempunyai persamaan pengalaman dan asas serta tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga penyimpangan gaya hidup terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Sangat beralasan jika Sikana mengemukakan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan pada karya-karya yang kaya dengan unsur-unsur mitos. Hal itu sejalan dengan pendapat Frye, yang menegaskan bahwa karya yang paling banyak dapat dihubungkan dengan mitologisme dan arkaisme ini ialah yang bercorak keagamaan, yaitu segala bentuk kepercayaan tradisi; seperti animisme, totemisme, berhala, dan agama Kristiani sendiri. Menurutnya, setiap kepercayaan itu kaya dengan unsur-unsur mitos; malah kelahiran kepercayaan itu sendiri dibina oleh mitos-mitos (Sikana, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2008:134). Mitos ini pula dalam interpretasi yang luas dapat dikaitkan dengan teori psikologi Jung. Dengan demikian, antropologi sastra dapat mengkajinya dalam bentuk paparan etnografi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2.4 Model Penelitian Budaya Jawa → ← ↓ ↨ ↓. Pengarang Novel-Novel Kuntowijoyo ↔ Peneliti/Pengamat ↔ ↓ Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, Wasripin ↓ ↓ ↔ Mitologi ↔ Filsafat ↓ ↓ Representasi Nilai Budaya ↓ - Hubungan manusia dengan Tuhan - Sikap kosmologis - Pandangan hidup - Mitos-mitos masa kini - Hubungan manusia dengan alam - Metafisika ↔ - Epistemologi ↔ -Hubungan manusia dengan masyarakat - Hubungan manusia dengan orang lain - Aksiologi - Hubungan manusia dengan diri sendiri ↑ Antropologi Sastra Bagan 1 : Model Penelitian Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Keterangan: → : Hubungan langsung : Hubungan tidak langsung Model penelitian merupakan kerangka berpikir dari suatu penelitian. Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan paradigma budaya yang dikaitkan dengan budaya Jawa, khususnya mitologi. Pengarang yang menggunakan budaya Jawa yang berpusat di Solo dan Yogyakarta sebagai inspirasi untuk menciptakan novel-novel P, MPU, dan WdS memadukannya dengan keadaan dan situasi soaial, budaya, dan politik. Peneliti atau pengamat menginterpretasikan novel-novel Kuntowijoyo dalam bentuk mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya sebagai suatu kajian yang berkaitan dengan kebudayaan. Oleh karena hubungan realitas budaya Jawa dengan novel-novel Kuntowijoyo bukanlah hubungan langsung, maka untuk memahami mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya tersebut dipergunakan teori antropologi sastra dan semiotika. Mitologi Jawa yang merupakan struktur dari novel-novel Kuntowijoyo diamati secara totalitas dan dipadukan pada tokoh Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin, sehingga tergambarlah kedudukan mereka sebagai pusat dari struktur itu. Kemudian, tokoh-tokoh tersebut dihubungkan dengan tokoh-tokoh lainnya, sehingga tergambar sikap kosmologis masyarakat, pandangan hidup, dan mitos-mitos masa kini. Sementara itu, filsafat Jawa akan diuraikan pada tingkatan metafisika, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 epistemologi, dan aksiologi. Melalui tahapan-tahapan tersebut akan terlihat keutuhan filsafat Jawa. Representasi nilai budaya dikaitkan pada lima buah hubungan manusia yang paling mendasar yakni : hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika. Metode hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan berbagai gejala, peristiwa, simbol, nilai yang terkandung dalam ungkapan bahasa atau kebudayaan lainnya, yamg muncul pada fenomena kehidupan manusia. Fenomena manusia tersebut antara lain berupa karya filsafat, simbol verbal yang berujud bahasa, atau simbol nonverbal, karya seni, taritarian, gamelan, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, candi, etika, dan fenomena dalam kehidupan manusia lainnya (Kaelan, 2005:80). Tujuan hermeneutika adalah untuk mencari dan menemukan makna yang terkandung dalam objek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui pemahaman dan interpretasi. Prinsip hermeneutika menurut Schleimacher (Kaelan, 2005:80), adalah untuk menangkap objective geist, yang terkandung dalam objek penelitian. Objective geist dapat pula diartikan sebagai makna yang terdalam, hakikat nilai yang terkandung dalam objek penelitian. Pada ruang lingkup kesusastraan, kebutuhan tentang hermeneutika sangatlah ditekankan karena tanpa interpretasi pembaca mungkin sulit mengerti dan memahami jiwa zaman pada saat kesusastraan itu diciptakan (Nasution, 2007:60). Gadamer (Selden, 1991:122), mengemukakan bahwa semua tafsiran kesusastraan masa lampau Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 timbul dari sebuah dialog antara masa lampau dan masa sekarang. Usaha tersebut untuk memahami sebuah karya akan bergantung pada pertanyaan yang ditimbulkan oleh lingkungan kebudayaan itu sendiri. Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul” dengan bahasa. Tidak semua buah pikiran dapat terungkapkan dengan bahasa secara jelas karena bahasa harus sesuai dengan aturan tata bahasa yang berlaku. Untuk itu diperlukan hermeneutik. Hermeneutik mencoba membahas, menganalisis, serta mengevaluasi bahasa melalui media tulis dan karya-karya sastra. Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani, dari kata kerja hermeneuein ‘menafsirkan’, dan kata benda hermeneia ‘interpretasi’. Hermeneutik dapat diartikan sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu atau mengerti. Hermeneutik dalam pandangan klasik Aristoteles, yaitu bahwa bahasa yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol-simbol dari kata-kata yang kita ucapkan. Menurut Palmer (2003:38), hermeneutik dapat didefinisikan menjadi enam bentuk yang berbeda, sebagai berikut : Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi secara umum, (3) ilmu pemahaman linguistik, (4) fondasi metodologis geisteswessenshaften, (5) fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sistem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraih makna di balik mitos dan simbol. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Masing-masing definisi ini sekadar merupakan tahapan-tahapan historis, menunujuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi. Secara esensial, masing-masing definisi ini merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat. Muatan hermeneutika itu sendiri cenderung dibentuk kembali melalui perubahan sudut pandang ini. Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat “triadic” (mempunyai segi yang saling berhubungan). Pada proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dalam pikiran penafsir itu sendiri. Orang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya “lain” kini menjadi “aku” penafsir itu sendiri. Wolf (Djojosuroto, 2007:242) menyatakan bahwa hermeneutik merupakan seni menemukan makna sebuah teks. Ada tiga jenis hermeneutik atau interpretasi, yaitu : (1) Interpretasi gramatikal, yang berhubungan dengan bahasa. (2) Interpretasi historis, yang berhubungan dengan fakta dan waktu. (3) Interpretasi retorik, yang mengontrol kedua jenis interpretasi yang terdahulu, ditambah kefasihan gaya dan seni. Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode “tafsir sastra”. Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini, dan kedua metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dengan demikian, ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik, yaitu: pertama, hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas kultural”, keseluruhan yang dasar dan terpadu dari suatu kebudayaan atau masyarakat pada level ideologi fundamental atau pandangan dunia, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran. Kedua, sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dengan hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia. Ketiga, hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep masa lalu dengan masa kininya. Hermeneutik sebenarnya sebuah paradigma yang berusaha menafsirkan teks atas dasar logika linguistik. Logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks sastra (Djojosuroto, 2007:243). Sehubungan dengan itu, Ricoeur (Bleicher, 2003:335) mengemukakan pendapatnya bahwa simbol-simbol dan mitos-mitos mengundang pemikiran tertentu. Simbol dan mitos memberikan makna sehingga harus diinterpretasikan di ranah mereka sendiri melalui serangkaian aturan spesifik. Pada tahap ini, Ricoeur Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 membatasi konsep interpretasi menjadi investigasi atas makna yang tersembunyi dalam makna literal yang tampak. Menurut Ricoeur (Djojosuroto, 2007:239) juga, salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah “perjuangan melawan distansi kultural”, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik. Sebab bila seorang penafsir mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sejarah dan budaya, ia tidak bekerja dengan tangan yang sebelumnya kosong. Ia masih membawa sesuatu yang oleh Heidegger disebut vorhabe (apa yang dimiliki), voorischt (apa yang dilihat), dan vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Di bidang filsafat sendiri, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. “interpretasi”dan Sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “pembahasan” seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia (Djojosuroto, 2007:241). Jadi, hermeneutika adalah metode yang lebih menekankan keterlibatan seorang penafsir terhadap objek yang diteliti. Metode hermeneutik merupakan metode yang dilakukan secara dialektik, artinya peneliti harus bolak-balik dari bagian ke keseluruhan, dari keseluruhan ke bagian, kemudian dari unsur intrinsik ke ekstrinsik dan dari ekstrinsik ke intrinsik. Kesemuanya itu membentuk lingkaran yang berupa spiral, sehingga menghasilkan inti dari apa yang akan dianalisis. Pemahaman dan interpretasi terhadap objek merupakan ciri khas metode ini dan lebih dipentingkan daripada mengambil jarak dari objeknya. Pemahaman dan interpretasi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 objek dilakukan untuk mendapatkan tingkat objektivitas yang sebaik-baiknnya. Dengan demikian, metode hermeneutik tersebut sangat dibutuhkan dalam penelitian ini. 3.2 Sumber Data Sumber data primer dalam penelitian ini adalah tiga novel karya Kuntowijoyo, yaitu Pasar (P), Mantra Pejinak Ular (MPU), serta Wasripin dan Satinah (WdS). Dipilih ketiga novel tersebut karena bersifat tematis, yakni menonjolkan realitas budaya Jawa dalam penceritaannya. Di samping itu, sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalahmajalah, dokumen-dokumen, dan catatan-catatan lain, juga dari diskusi-diskusi, dan seminar-seminar yang berhubungan dengan penelitian ini. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka (library research). Teknik ini digunakan karena sumber data yang bersifat tertulis lebih dominan. Teknik studi pustaka adalah penelitian atau penyelidikan terhadap semua buku, karangan, dan tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian (Moeliono, 1990:713). Metode pengumpulan data secara hermeneutik dimulai dengan membaca novel-novel Kuntowijoyo tersebut, karena sumber data yang dominan ada pada karya Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sastra itu. Untuk itu, peneliti membaca langsung karya sastra tersebut. Langkah selanjutnya dapat dilakukan dengan : 1. Dengan bekal pengetahuan, wawasan, kemampuan, dan kepekaan yang dimiliki, peneliti membaca sekritis-kritisnya, secermat-cermatnya, dan setelititelitinya seluruh sumber data. 2. Membaca sumber data secara berkesinambunganan berulang-ulang sesuai dengan prinsip dialektik sehingga diperoleh pengertian antara bagian dan keseluruhan dari objek yang diteliti. 3. Setelah langkah kedua, peneliti membaca sekali lagi sumber data untuk memberi tanda bagian-bagian yang diangkat menjadi data yang akan dianalisis lebih lanjut. Dengan langkah-langkah tersebut, dapat diperoleh data penghayatan dan pemahaman arti dan makna tentang karya sastra yang diteliti secara mendalam dan mencukupi. Sehubungan dengan itu, peneliti akan mengadakan analisis terhadap data utama, yaitu novel-novel Kuntowijoyo. Untuk membantu dan melengkapi data utama tersebut maka dikumpulkan juga buku-buku yang berhubungan dengan penelitian ini. 3.4 Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul, kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis konten (content analysis). Analisis konten digunakan peneliti untuk mengungkap, memahami, dan menangkap pesan karya sastra. Pemahaman tersebut mengandalkan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tafsir sastra yang rigid. Artinya, peneliti telah membangun konsep yang akan diungkap, baru memasuki karya sastra. Aspek penting dari analisis konten adalah bagaimana hasil analisis tersebut dapat diimplikasikan pada siapa saja (Endraswara, 2008:161). Pada proses pengolahan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Peneliti membaca novel-novel Kuntowijoyo yang menjadi objek penelitian secara berulang-ulang agar diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Membaca hermeneutik berlangsung dalam dua tataran (tingkat). Pertama, membaca heuristik, yaitu membaca dengan dasar pemahaman pada konvensi bahasa. Kedua, membaca hermeneutik, yaitu dicari makna tersirat. Penafsiran ini memerlukan kode bahasa, kode budaya, dan kode sastra. Jadi, membaca hermeneutik memungkinkan pemberian makna yang khas, bervariasi, dan mendalam. 2. Peneliti mengidentifikasi dan mengklasifikasi seluruh data serta memfokuskan interpretasi pada objek yang berkaitan dengan mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa. Analisis data tidak dikerjakan per sumber data, tetapi per butir masalah yang telah dirumuskan. Jadi, analisis data dikerjakan secara utuh-bulat (holistik) dan menyeluruh (komprehensif). 3. Kemudian peneliti menafsirkan kembali seluruh data yang teridentifikasi dan terklsifikasi untuk menemukan kepaduan, kesatuan, dan hubungan antardata Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sehingga diperoleh pengetahuan secara utuh-bulat dan menyeluruh tentang hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB IV GAMBARAN UMUM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO DAN PEMIKIRAN PENGARANG 4.1 Strukturalisme Novel-Novel Kuntowijoyo 4.1.1 Pasar Novel P bertemakan perubahan sosial dalam masyarakat Jawa. Tokoh utama novel ini adalah Pak Mantri yang diceritakan sebagai pemimpin pasar kecamatan di sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama Jawa. Karakter Pak Mantri dijelaskan sebagai orang Jawa yang tahu betul sopan santun dan tata krama Jawa, khususnya tata krama priayi. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk tokoh Pak Camat dan para pegawai kecamatan lainnya. Perhatikan kutipan berikut. Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri pasar. Sebab tidak seorangpun – kecuali Kasan Ngali – yang mengaku orang Jawa tidak memujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat dan Pak Kepala Polisi dan ibu jari mereka akan diacungkan: “Nah, Pak Mantri pasar itu. Begini!” Segala yang baik bagi hidup yang jujur, setia, sopansantun, tahu diri menumpuk pada dirinya (P:1). Dengan menggunakan alur maju, novel ini dikisahkan dengan hangat dan lincah yang melibatkan pembaca sehingga sudut pandang “dia”-an berpadu dengan sudut pandang “aku”-an yang membuat tokoh cerita atau pencerita dapat langsung bicara pada para pembaca. Penuturan yang hangat dan lincah itu menggambarkan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar. Kasan Ngali merupakan tokoh protagonis dalam cerita yang ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa. Jabrohim benar ketika mengatakan bahwa novel Pasar kuntowijoyo mengisahkan proses pewarisan nilai-nilai budaya Jawa dalam perubahan sosial di sebuah kota kecamatan (1996:5). Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa. 4.1.2 Mantra Pejinak Ular Dua masalah pokok yang menonjol dalam novel MPU adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 (mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari. Abu Kasan Sapari lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan), sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun. Latar cerita digambarkan di kaki Gunung Lawu. Kegitan Abu Kasan dan masyarakat Jawa pedesaan dipusatkan di kaki gunung tersebut, yakni saat membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hak-hak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakangerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan. Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khususnya dalam konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”. Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan), bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya: “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan mantra” (MPU:231). Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah). Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal tokoh lain yakni, seorang perempuan yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang tidak menyukainya. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang dituturkan dengan alur maju dan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional. 4.1.3 Wasripin dan Satinah Novel WdS mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan tokoh Pak Modin yang dipaksa penguasa mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah. Perhatikan kutipan berikut. Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...(WdS:231). Wasripin merupakan tokoh utama novel ini. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang dosa dan kenistaan. Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut. Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa (WdS:4). Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa dan kehinaan. Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara. Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khususnya MPU, novel ini berpijak pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis” mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami keberadaannya oleh orang-orang miskin itu. Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah. Sama seperti dua novel sebelumnya, novel WdS ini pun dikemas dengan menggunakan alur maju yang menggambarkan kehidupan Wasripin hidup di sebuah kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu (sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU), partai penguasa yang dapat memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi, tentara) dan para penguasa. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam. Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen (1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan. Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik. 4.2 Pemikiran Tentang Sastra Pada tahun 80-an, selain bergulir isu sastra kontekstual yang digagas Arief Budiman, dalam sastra Indonesia bergulir pemikiran yang kemudian dikenal sastra sufistik dan profetik. Selain identik dengan Abdul Hadi W.M., pemikiran ini melekat pada diri Kuntowijoyo. Dialah tokoh yang menggagas prinsip penulisan sastra profetik. Di kemudian hari, bukan hanya sastra profetik yang ia gagas, melainkan ilmu sosial profetik yang berpijak pada humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Dalam kerangka itulah manusia dan masyarakat Islam sepantasnya melakukan aksi kemanusiaan dan kemasyarakatan sehingga mampu memberikan andil bagi perubahan dan perkembangan peradaban manusia di bumi ini. Hadi W.M. (2004:45) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah sastra kesufian dalam arti karya sastra itu dipengaruhi, diilhami, digenangi wawasan kesufian. Beliau juga menegaskan bahwa sastra sufistik merupakan sastra yang tampil untuk mengingatkan manusia kepada Tuhan dan menghayati petunjuk-petunjuk-Nya. Sastra sufistik selalu mengaitkan seni dan penciptaan dengan kehidupan yang lebih luas, mencoba menyatukan kembali bumi dan langit, dunia lahir dan dunia batin, dimensi sosial dan dimensi transendental, mikrokosmik dan makrokosmik, manusia dan Khalik. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo mengartikan sastra profetik sebagai sastra yang melakukan perlawanan terhadap sistem sosial yang menurunkan derajat manusia ke jurang kekerdilan sehingga menyebabkan dehumanisasi. Sebelum tegas menyebut istilah “sastra profetik”, Kuntowijoyo menyebut istilah “sastra transendental”. Pada Temu Sastra 1982 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kuntowijoyo menandaskan bahwa sastra Indonesia memerlukan jenis sastra transendental, yakni sastra yang mempertanyakan manusia di tengah kehidupan modern yang serba birokratis, industrialis, pasar, dan instrumental. Sastra transendental menghasratkan agar manusia tidak menjadi makhluk satu dimensi, tetapi makhluk yang lengkap jasmani maupun rohani, berakar di bumi sekaligus menjangkau langit. Dengan kata lain, terutama dalam kerangka menyatukan/mendialektiskan Islam, dikotomi: tugas manusia hubungan (sastrawan) manusia dengan adalah Tuhan (hablumminaallah) dan hubungan manusia dengan manusia (hablumminannas). Seluruh dasar pikir dan konsep sastra transendental di kemudian hari teruraikan dalam istilah sastra profetik. Meskipun umumnya karya-karya bernafas Islam yang ditulis sastrawan Islam dirujuk sebagai sastra sufistik atau profetik, gagasan Kuntowijoyo dan Abdul Hadi W.M. tidak sesempit itu. Ketika membicarakan sastra sufistik atau profetik, rujukan mereka cukup luas meliputi karya-karya sastrawan/intelektual/rohaniawan nonmuslim. Goethe, Hoelderlin, Dostoyevski, T.S. Eliot, Walt Whitman, Tagore, dan Khalil Gibran misalnya disebut Hadi W.M. sebagai sastrawan yang melahirkan karya-karya sufistik. Karya-karya mereka, seperti karya sastra keagamaan umumnya, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 mencerminkan gerak merdeka menuju Tuhan, menuju penemuan dan pengenalan kembali hakikat manusia, karena hanya dengan mengingat Tuhanlah manusia akan mengingat dirinya dan hanya dengan menyelami dirinya manusia dapat mengenal Tuhan. Dalam sebuah wawancara dalam Berita Buana (10 Februari 1987), Kuntowijoyo mengatakan Serat Kalatida Ronggowarsito dan karya Mohamad Iqbal adalah sastra profetik karena keduanya mengajak manusia untuk berakar di langit, selain berakar di bumi. Dengan dua contoh sastrawan itu, ia menandaskan baik sastra transendental maupun sastra profetik memiliki dimensi dan aspek-aspek sosialnya. Istilah sastra sufistik/profetik sesungguhnya berdekatan dengan istilah sastra keagamaan yang mengungkapkan pengalaman dan perasaan manusia dalam melakoni kehidupan, entah perasaan dosa (guilt feeling), takut (fear to God), dan kebesaran Tuhan (God’s glory). Perbedaannya, jika pun ada, terletak pada eksplorasi gerak kehendak merdeka individu dalam mengkritisi sekaligus menempuh perjalanan menuju hakikat diri. Banyak karya sastra bernapas keagamaan/ketuhanan, khususnya yang berpijak pada ajaran Islam, tampil amat harfiah dan bersifat doktrinal sehingga kehendak merdeka individu terbatasi dan karena itu nilai kesufistikannya menjadi cair. Karya bernapas keagamaan yang mengedepankan dakwah tidak akan mampu mencapai estetika sufistik/profetik yang mendalam. Dalam kerangka sastra sufistik/profetik, dakwah menjadi bagian penting yang hadir dengan bagian penting yang hadir dengan sendirinya, menyatu bersama estetika karya itu sendiri. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Pemikiran sastra sufistik/profetik dalam khasanah sastra Indonesia sesungguhnya sudah ada sebelum abad ke-20. Kehadiran sastra sufistik/profetik tidak terlepas dari gerakan tasawuf. Jika melihat sejarah perkembangan tasawuf yang menjadi dasar gerakan sufistik/profetik, dapatlah dikatakan sastra sufistik/profetik sudah lama usianya. Hamzah Fansyuri, Syamsuddin Sumatrani, Raja Ali Haji, Nuruddin Ar-Raniri, K.H. Mustafa, Yasadipura I, dan Ronggowarsito adalah sufi-sufi yang menulis karya sufistik/profetik. Mereka berjasa dalam pertumbuhan tradisi sastra dan peradaban tasawuf Islam. Tulisan mereka yang berupa karya sastra (suluk) dimaksudkan untuk mengekspresikan pengalaman keilahian yang bersifat personal. Dalam karya-karya sejenis itu, unsur dakwah atau doktrin agama (tasawuf) tidak mengemuka secara harfiah, sesuatu yang jelas berbeda dengan tulisan yang tegas dimaksudkan untuk menyebarkan suatu paham atau ajaran keagamaan (ketasawufan). Dalam hal ini Braginski (Anwar, 2007:13) membagi teks tasawuf ke dalam dua jenis: teks tasawuf puitik dan teks tasawuf (kitab) doktrinal. Gema tasawuf puitik terus berlangsung hingga perkembangan sastra Melayu (Malaysia dan Indonesia) mutakhir. Selain berpijak pada ajaran tasawuf atau mistik Islam, teks tasawuf puitik dalam sastra Indonesia meliputi pula ajaran “kejawen” atau “kebatinan”. Tidak seperti teks tasawuf doktrinal, teks tasawuf puitik dalam sastra Malaysia dan Indonesia belum cukup banyak dilakukan. Pada abad ke-20, mulai tahun 30-an, hembusan sufistik/profetik terasa dalam karya Hamka, Sanusi Pane, Achdiat K. Mihardja, dan terutama Amir Hamzah. Sastra sufistik/profetik menjadi amat ramai dan tumbuh subur sesudah tahun 70-an ketika Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sastra Indonesia “kelelahan” setelah bergumul dengan persoalan-persoalan politik pada tahun 60-an. Gerakan ini mulai berbarengan dengan tumbuhnya hasrat menggali akar tradisi dan kearifan lokal. Sastrawan yang dapat disebut menghasilkan karya sufistik/profetik pada masa itu, antara lain: Abdul Hadi W.M., Kuntowijoyo, Danarto, Taufiq Ismail, Muhammad Diponegoro, Sutardji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer, Fudoli Zaini, Zawawi Imron, Damiri Mahmud, hingga kemudian Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Y. Herfanda, Ahmad Syubanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy, Acep Zamzam Noor, dan Jamal D. Rahman. Munculnya kecenderungan menulis sastra sufistik/profetik pada tahun 70-80an disemangati ghiroh untuk menolak nilai-nilai hidup yang terjebak pada materialistis yang dengan sendirinya mengancam nilai-nilai spiritual manusia. Gerakan manulis karya bernapas keagamaan atau sufistik/profetik, khususnya dalam tradisi Islam, tidak hanya terjadi di negeri ini. Menurut Kemala, sastrawan sekaligus kritikus sastra Malaysia, hal sejenis terjadi pula di Malaysia. Jika pada tahun 50-an sastrawan Malaysia yang menulis sastra bernapas Islam masih tergolong minoritas, pada tahun 80-an gejala itu sudah menjadi hal yang biasa (Anwar, 2007:14). Seperti yang telah disebutkan bahwa gerakan sastra sufistik/profetik tidak lepas dari gerakan tasawuf. Setiap penganut tasawuf umumnya memiliki hasrat untuk mengekspresikan pengalaman personal keilahiannya sekaligus menyebarkan pengetahuan dan pengalaman tasawufnya kepada khalayak. Kebutuhan akan penyebaran itulah yang mendorong kepustakaan sufisme dipenuhi kitab doktrinal Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 (tasawuf kitab), riwayat hidup sufi (agriografi), dan naskah-naskah alegoris (tasawuf puitik) baik puisi maupun baik puisi maupun prosa artistik. Kepustakaan sufisme alegoris biasanya berupa karya sastra yang kemudian disebut sastra sufi atau sastra tasawuf. Sastra sufi atau sastra tasawuf pada dasarnya berbeda dengan sastra sufistik/profetik. Perbedaan itu menurut Badrun (1996:53) terletak dalam hal isi dan kedudukan penulisnya. Jika sastra tasawuf isinya mengungkapkan ajaran-ajaran tasawuf dan penulisnya seorang sufi, sastra sufistik isinya mengungkapkan pengalaman dan penghayatan tasawuf, tetapi penulisnya belum tentu seorang sufi. Tokoh-tokoh yang dapat disebut sebagai penulis sastra tasawuf (sastra sufi), antara lain adalah Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Qunyawi, Nizami, Sa’di, Iraqi, Hafiz, dan Muhammad Iqbal. Mereka berperan penting dalam menghidupkan kembali kebudayaan dan peradaban Islam yang hampir mati di negeri Iran, Turki, dan Indo-Pakistan. Dilihat dari rumusan yang dikemukakan Badrun, tentunya karya Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufq Ismail, dan Abdul hadi W.M. , misalnya lebih tepat dikatakan sastra sufistik/profetik daripada sastra tasawuf/sufi. Mereka adalah sastrawan yang berupaya mengungkapkan penghayatan dan pengalaman batinnya ketika bersentuhan dengan kehidupan manusia dengan pendekatan kesufistikan/keprofetikan. Dengan intuisi dan kesadaran personalnya sebagai penyair, mereka berusaha menangkap cahaya dalam perjalanan rohani mereka ke posisi diri yang lebih tinggi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 4.2.1 Sastra Profetik Anwar (2007:153) menjelaskan bahwa Kuntowijoyo sangat menekankan perlunya kehadiran sastra transendental dalam sastra Indonesia. Sastra tersebut merupakan kesadaran balik yang melawan arus dehumanisasi/subhumanisasi sebagai dampak negatif modernisasi yang menempatkan manusia tidak lebih sebagai mesin dan instrumental dalam logika pasar industri. Sastra transendental dibutuhkan untuk mengembalikan keberadaan manusia dalam posisinya sebagai makhluk yang utuh lahir dan batin. Tujuan akhir sastra transendental adalah manusia, bukan estetika. Sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap peradaban kita ingin membuat dunia lebih bermakna, dan sastra adalah salah satu dari makna itu. Apa yang digagas dalam sastra transendental pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan konsep sastra profetik. Atau bisa dikatakan sastra profetik merupakan penyempurnaan konsep Kuntowijoyo mengenai sastra yang mengupayakan manusia berpijak di bumi (terlibat dengan masalah-masalah manusia/sosial) sekaligus menjangkau langit (terkait dengan kesadaran transendensi adanya Tuhan). Dua prinsip pokok yang menopang konsep sastra profetik adalah kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan. Pada dasawarsa terakhir ini sastra Indonesia diramaikan oleh kahadiran sastra yang diberi label “sastra Islam” atau “sastra ibadah”. Dalam konteks ini, sastrawan Helvy Tiana Rosa dan Forum Lingkar Pena merupakan lokomotif gerakan tersebut. Meski belum ada seorang pun dari mereka yang merumuskan secara konseptual sastra Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang mereka anut, dengan mengamati sejumlah karyanya sedikit banyak akan dapat dipahami keberadaan dan orientasi sastra Islam atau sastra ibadah itu. Dengan mengamati karya-karya “sastra Islam’ atau “sastra ibadah” model Forum Lingkar Pena, agaknya ghirah mereka dimaksudkan untuk merespons kehidupan yang mengarah pada sekularisme dengan menghadirkan tokoh-tokoh, peristiwa, dan jalinan plot yang berpijak pada doktrin Islam. Motif ibadah secara penuh tampak disadari, selain strategi tutur dan orientasi karya mereka berbeda dengan sastra sufistik yang digagas Abdul Hadi W.M. atau sastra transendental/profetik yang digagas Kuntowijoyo. Perbedaan terutama pada tekanan “dakwah” yang membuat karya mereka kurang kuat dalam pergulatan dan perenungan, selain pola hitam putih (kebenaran dan kejahatan) yang cenderung eksplisit dan harfiah. Dua hal inilah yang justru secara lahir tidak terlalu kentara dalam karya-karya sufistik/profetik. Dalam hal sastra, Kuntowijoyo menginginkan selain sebagai ibadah, sastra harus pula dipandang sebagai sastra murni belaka. Berikut pernyataan Kuntowijoyo mengenai hal tersebut. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas, “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang tidak lebih. (Kuntowijoyo, 2005:8). Pernyataan Kuntowijoyo tentu mewujud dalam karya-karyanya. Karya-karya beliau diberangkatkan dari proses pergulatan dan penciptaan sastra sebagai sastra atau “sastra murni” sebagaimana yang dikatakannya. Itulah yang menyebabkan, meski Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kental dengan gagasan dan pesan tertentu, karya-karyanya tidak tampil sebagai dakwah. Dakwahnya yang berpijak pada transedensi ketuhanan telah melebur dalam tubuh karya itu sendiri. Strukturasi pengalaman, imajinasi, dan nilai menyatu dalam karyanya. Menurut Kuntowijoyo (2005:8), sastra profetik memiliki kaidah-kaidah yang memberikan dasar kegiatannya karena ia tidak hanya menyerap, mengekspresikan, tapi juga memberi arah realitas. Sastra profetik berpijak pada prinsip dialektis sebagaimana umumnya dianut dalam menulis, baik karya sastra maupun karya ilmiah. Dengan kata lain, sastra dihadapkan pada realitas untuk melakukan kritik dan penilaian sosial budaya secara beradab. Itu sebabnya sastra profetik adalah sastra yang terlibat dalam sejarah kemanusiaan/kemasyarakatan. Oleh karena itu, sastra profetik tidak terlepas dari kehidupan. Kaidah pertama adalah sastra profetik bersandar pada kaidah “strukturalisme transendental”. Dasar pemikiran strukturalisme transendental itu adalah kitab suci (misalnya Al-Qur’an). Bagi Kuntowijoyo, semua kitab suci dan agama selalu berupa struktur sekaligus bersifat transendental. Dengan makna struktur dimaksudkan apa yang terdapat dalam kitab suci selalu koheren (utuh) ke dalam dan konsisten ke luar, elemen yang satu tidak bertentangan dengan yang lain karena merupakan satu kesatuan. Adapun yang dimaksud dengan transendental tidak lain karena semua kitab suci merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Transenden. Oleh karena itu, semua kitab suci melampaui zamannya meskipun sudah tua dan lahir pada suatu zaman, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kenyataannya masih selalu relevan dengan zaman kapan pun. Jadi, karya sastra profetik adalah karya sastra yang ketat dalam struktur (ada pergulatan bentuk ucap) sekaligus memiliki kaitan dengan Yang Maha Abadi. Tidak mengherankan bila karya sastra yang sebenar-benarnya selalu melampaui zamannya. Hal yang sering berbeda dengan produk seni atau budaya lain, terutama yang tidak menyadari ketransendentalannya. Kaidah kedua adalah sastra sebagai aktivitas ibadah. Jika sastra profetik bersandar pada prinsip struktur dan transendental, suka tidak suka sastra profrtik adalah sastra orang-orang beriman. Di tangan orang beriman seluruh kegiatan manusia akan dipandang sebagai aktivitas ibadah. Oleh karena itu, sastrawan yang menulis sastra profetik adalah sastrawan yang harus menjalankan agama secara kaffah (lengkap). Kuntowijoyo mengibaratkan sastrawan yang mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji dengan uang halal, berpuasa, akan disebut belum kaffah jika tidak meniatkan kegiatan sastra sebagai aktivitas ibadah. Keimanan dan aktivitas ibadah yang kaffah menjadi landasan sastra profetik karena sastrawan beriman menyadari Tuhan dan itu Maha Segalanya. Pada titik ini Tuhan bersifat totaliter karena totalitarian memang hak-Nya sebagai Khalik. Akan tetapi, kekuasaan Tuhan berbeda dengan kekuasaan manusia. Jika kekuasaan manusia bersifat mengikat, kekuasaan Tuhan bersifat membebaskan. Kaidah ketiga adalah keterkaitan antarkesadaran. Konsep kaffah dalam Islam tidak hanya menuju kesadaran keimanan kepada Tuhan saja, tetapi kesadaran manusia dalam posisinya sebagai manusia. Dengan menyandarkan diri pada prinsip Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) dan hablumminallah (hubungan manusia dengan Tuhan), dalam kaidah ketiga ini Kuntowijoyo menegaskan adanya keterkaitan antara kesadaran kemanusiaan dengan kesadaran ketuhanan. Kegiatan ibadah kepada Tuhan (ibadah ritual) sudah selayaknya sebanding dengan kegiatan ibadah kepada sesama manusia/masyarakat (ibadah sosial). Ini pulalah yang menjadi dasar pandangan strukturalisme transendental Kuntowijoyo. Kesadaran ketuhanan dan kesadaran kemanusiaan adalah dua tema besar dalam sastra....Bandul dua kesadaran itu harus berimbang, tidak bisa salah satunya dimenagkan. Kesadaran ketuhanan melalui sufisme yang ekstrem, dengan uzlah (mengasingkan diri), wadat (tidak kawin), dan kerahiban dilarang dalam Islam. Sebaliknya, perjuangan untuk manusia (kemerdekaan, demokrasi, HAM) juga harus memperhatikan hak-hak Tuhan. (Kuntowijoyo, 2005:10). Konsep sastra sufistik Hadi W.M. pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep sastra profetik Kuntowijoyo. Keduanya menghasratkan sastra, yang selain menggulati masalah-masalah sosial manusia, juga mengaitkan diri dengan kekuasaan Tuhan. Akan tetapi, Kuntowijoyo memilih istilah profetik yang berasal dari kati prophet (Nabi), bukan sufistik yang berasal dari kata sufi. Pilihan itu bukan tanpa alasan. Dengan mencermati kutipan di atas, praktik sufisme cenderung identik dengan perilaku yang menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan istilah profetik agaknya Kuntowijoyo ingin menegaskan bahwa gagasannya ditekankan pada perilaku nabi: mengurus dunia (umat) dan menghamba kepada Tuhan. Itulah selayaknya yang dilakukan manusia, mengikuti sunah nabi, khususnya dalam konteks aplikasi kegiatan menulis sastra. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kuntowijoyo merumuskan sastra profetik, selain berpijak pada perjalanan sastra Indonesia, pastilah berpijak pada kenyataan manusia dan masyarakat di zaman modern ini. Manusia modern yang cenderung ditempatkan sebagai alat, instrumen, dan mesin di tengah banjir produksi massa (budaya massa) yang digerakkan industri kapitalisme akhirnya cenderung menjadikan manusia sebagai manusia massa. Sebagai manusia massa, selain segi pribadi yang lemah, kekuatan modernitas menjadikannya tidak lebih sebagai eksemplar dari aktivitas kehidupan yang menjelma mesin. Pada saat itulah kemanusiaan manusia terancam, di samping kesadaran ketuhanannya. Pada posisi itu sastra profetik tertantang untuk merespons dan menggulatinya. Kemudian Kuntowijoyo merumuskan etika profetik. Sumber etika tersebut tentu saja perilaku nabi (prophet), dalam konteks Islam adalah Nabi Muhammad SAW. Kuntowijoyo meyakini tugas sastrawan pada dasarnya adalah tugas-tugas yang pernah dilakukan nabi. Tugas itu adalah amar ma’ruf (mengajak pada kebenaran), nahyi munkar (mencegah kemunkaran), dan tu’minunabillah (beriman kepada Allah). Dalam bahasa Kuntowijoyo dirumuskan sebagai humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minubillah). Humanisasi dilakukan dalam rangka melawan dan melenyapkan keadaan dehumanisasi yang melanda masyarakat modern sebagai dampak negatif kemajuan industri dan teknologi. Manusia mesin yang hanya memiliki satu dimensi, yang hanya dihitung sebagai angka dalam kalkulasi pasar dengan orientasi material, sepantasnya dikritik dengan mengedepankan semangat humanisasi (pemanusiaan) yang berpijak Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 pada ajaran-ajaran Tuhan. Segala tindak-tanduk manusia yang cenderung merendahkan derajatnya sebagai manusia dalam paradigma Tuhan harus diperbaiki. Oleh karena itu, liberasi perlu dilakukan untuk mencegah dan melawan sebagai bentuk penindasan, penjajahan, penghisapan sekelompok manusia terhadap manusia lainnya. Dalam hal inilah penindasan dilakukan pejabat negara, permainan politik yang kotor, penindasan para pemilik modal dalam kegiatan ekonomi, penindasan laki-laki atau masyarakat terhadap wanita, penindasan etnis atau agama tertentu kepada etnis dan agama lainnya. Tentu saja pencegahan itu dilakukan menurut hukum-hukum yang disepakati dan tidak menyimpang dari ajaran Tuhan. Kedua sikap dan tindakan itu kemudian disempurnkan oleh etika transendensi, yang mengikatkan kembali keberadaan dan perilaku manusia di bumi (antarmanusia dan antramakhluk) dengan keberadaan dan kemahakuasaan Tuhan. Di sinilah bersatupadunya kesadaran ketuhanan membuat keberadaan manusia menjadi lengkap. Dan di sini pulalah tercapai apa yang disebut perilaku kaffah (utuh dan lengkap), yang mana ibadah ritual kepada Allah seimbang dengan ibadah sosial kepada sesama manusia (termasuk menjaga alam dan makhluk Tuhan lainnya). Seperti pernyataan Kuntowijoyo berikut. Bagi saya, sastra saya semua sebenarnya adalah transendensi. Saya menulis karena bagi saya hidup ini adalah misteri yang mengagumkan.... Seorang pengarang mempunyai kewajiban ganda. Sebagai manusia ia harus menjadi saksi eksistensi Tuhan. Dan sebagai pengarang ia harus menjadi saksi rahasia Tuhan....Artinya pengarang adalah saksi kreatif-imajiner “misteri” kehidupan manusia ciptaan-Nya. (Kuntowijoyo, 2005:16). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Jika diamati secara seksama, seluruh karya Kuntowijoyo pada dasarnya mengandung kaidah dan etika profetik sebagaimana dikemukakan di atas. Tentu saja setiap karya Kuntowijoyo menunjukkan tekanan dan kecenderungan yang berbeda untuk setiap kaidah atau etika profetik yang dirumuskannya. Kumpulan puisi Suluk Awang-Uwung (1975) dan novel Khotbah di Atas Bukit (1976), misalnya tampak lebih memberikan penekanan perlunya manusia untuk mengikatkan diri pada kesadaran ketuhanan yang secara fitrah telah bersemayam dalam dirinya. Meski Suluk Awang-Uwung berpijak pada referensi kejawen dan Khotbah di Atas Bukit berpijak pada renungan eksistensi, tetapi kesadaran ketuhanan (Yang Maha Gaib) amat kental terasa. Perlu dicatat, karena kesadaran ketuhanan itu muncul sebagai respons terhadap kehidupan modern yang materialistis, dalam dua karya di atas etika humanisasi dan liberasi juga terasa. Demikian pula dengan novel Mantra Pejinak Ular (2000) dan Wasripin dan Satinah (2003) yang cenderung memberi tekanan pada segi etika liberasi, tetapi etika humanisasi, dan transendensi di beberapa bagian kedua novel itu tetap muncul di permukaan. Tema politisasi kesenian, kebudayaan, dan agama yang hadir dalam novel Mantra Pejinak Ular, selain benar-benar melawan bentuk-bentuk penindasan, juga mengupayakan terciptanya suatu tatanan masyarakat dan negara yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan yang terbebas dari mitos dan syirik. Begitu pula tema mitos pembangkangan rakyat kecil (Islam) yang menindas orang-orang tidak berdaya dalam Wasripin dan Satinah, akhirnya mengusung Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 gagasan untuk memanusiakan hubungan antara mereka yang berkuasa (para pejabat dan pimpinan partai) dan rakyat biasa. Demikian uraian mengenai konsep sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo. Selain rumusannya cukup ketat, koheren, dan konsisten sebagai sebuah struktur ilmu (paradigma) yang berbasis manusia dan Tuhan, seluruh karyanya mendukung keutuhan kaidah dan etika profetik yang digagasnya. Disebabkan Kuntowijoyo menganggap karya sastra adalah strukturisasi pengalaman dan ia mengaku menulis begitu saja apa yang dirasa baik untuk ditulis, boleh jadi rumusan konsep sastra profetik lahir sebagai akibat pergulatannya dengan sastra, ilmu pengetahuan, dan peristiwa-peristiwa empiris di sekitarnya. Itu sebabnya sastra dalam pandangan Kuntowijoyo kurang lebih berusaha menjangkau langit (kesadaran ketuhanan) dengan tetap berpijak di bumi (kesadaran kemanusiaan) (Anwar, 2007:161). Sosok Kuntowijoyo sendiri sebagai sastrawan dan banyak hal mirip dengan tokoh ciptaannya sendiri dalam novel Mantra Pejinak Ular, yakni Abu Kasan Sapari. Sebagai dalang (seniman), sebagimana Kuntowijoyo sendiri, Abu Kasan menempatkan kesenian sebagai wahana untuk mengenali dan memahami kehidupan masyarakat di sekelilingnya, sekaligus sebagai wahana untuk mengenali Sang Pencipta. Oleh karena itu, berbeda dengan kekuasaan yang bersifat memaksa, kesenian dalam keyakinan Kuntowijoyo atau Abu Kasan Sapari adalah wahana atau aktivitas simbolik untuk membujuk (bukan menggurui) masyarakat ke arah yang lebih baik. Dalam prinsip kesenian seperti itulah proyek humanisasi dan liberalisasi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang berbasis transendensi dilangsungkan. Sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo melalui tokoh Abu Kasan Sapari dalam Mantra Pejinak Ular berikut. “Kesenian itu berbeda dengan kekuasaan. Kesenian membujuk, kekuasaan memaksa. Kesenian berbicara dengan lambang, kekuasaan thok-leh. Kesenian itu sinamun ing samudana, tersamar, tidak langsung. Semua ada tempatnya. Orang Jawa itu tanggap Pak. Jangan blak-blakan, jangan menggurui, jangan dikatakan semuanya.”(MPU:83). Dengan demikian, hampir semua novel Kuntowijoyo membersitkan filosofipsikologi manusia dan budaya Jawa, konsep dan gagasan yang berpijak pada pemikiran Islam, realitas dunia kehidupan sehari-hari, mistik yang dihadapkan dengan ilmu sosial dan empiris, untuk akhirnya mengelaborasi spritualitas manusia dan menautkannya pada segi transendensi manusia itu sendiri. Sebagai karya intelektual, karya Kuntowijoyo selalu bertendens pada keyakinan gagasan sebagaimana dikonsepkannya sendiri, termasuk konsepnya mengenai sastra transendental/sastra profetik. 4.2.2. Dialektika Dua Dunia Putra (Anwar, 2007:114) menyebut bahwa novel-novel Kuntowijoyo, kecuali Khotbah di Atas Bukit, dapat dikatakan dongeng etnografis kehidupan manusia dan masyarakat Jawa dalam perubahan sosial dari budaya agraris ke budaya kota. Dengan gaya realisme yang melukiskan manusia di sebuah masyarakat, novel-novel Kuntowijoyo kental dengan informasi etnografis, bahkan informasi kesejarahan. Akan tetapi, sebagai novel pastilah Kuntowijoyo tidak bermaksud menyampaikan informasi etnografis dan unsur kesejarahan, melainkan memandang bagaimana Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perubahan sosial berlangsung di suatu masyarakat yang dengan sendirinya mengubah sistem masyarakat. Perubahan itu sendiri merupakan gerak sejarah yang niscaya dalam pertumbuhan masyarakat. Novel-novel Kuntowijoyo konsen merenungi masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Rujukannya pada realitas tertentu, bahkan peristiwa sosial dan sejarah, tidak terlalu sulit dibuktikan. Novel Kuntowijoyo lebih tepat disebut sebagai novel sosial karena sebagaimana dikonsepkannya, novel sosial dapat menggunakan peristiwa sejarah kontemporer sebagai bahannya. Peristiwa sejarah kontemporer barangkali di zaman pengarang hidup hanya disebut sebagai peristiwa sosial saja. Akan tetapi, pada suatu hari bukan tidak mungkin peristiwa sosial sudah dipahami sebagai peristiwa sejarah. Seperti umumnya cerpen-cerpen Kuntowijoyo, novel-novelnya juga dituturkan dengan gaya realisme. Realisme adalah gaya penulisan yang menurut Lukacs merupakan jalinan lengkap hubungan antara manusia, alam, dan sejarah. Oleh karena itu, tugas seorang penulis realis adalah meluaskan kecenderungan dan kekuatan khusus dalam mewujudkan perasaan dan tindakan individu. Seorang realis senantiasa mengintegrasikan individu ke dalam keseluruhan masyarakat dan menginformasikan setiap kekhususan dalam kehidupan sosial dengan kekuatan “sejarah” atau sebuah pergerakan (Eagleton, 1976:28). Kuntowijoyo tentu bukan seorang Marxis, meski karya-karyanya menggali persoalan masyarakat kecil, miskin, dan terpinggirkan terutama oleh perilaku politik rezim Orde Baru dan kerakusan kapitalisme yang membendakan manusia. Sementara Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 itu, dari bentuk ucap karyanya, khususnya cerpen dan novel, Kuntowijoyo bukan jenis novelis yang amat peduli dengan formalistik suatu bentuk ucap. Isi atau pokok soal (subject matter) sering menjadi perkara yang lebih penting yang kemudian menentukan kehadiran bentuk karya itu sendiri. Dari segi penuturan, hampir semua karya-karya Kuntowijoyo cenderung dituturkan dalam kombinasi narasi telling (ceritaan) dan showing (ragaan). Suatu gaya yang sebenarnya cukup umum dilakukan para pengarang Indonesia, kecuali Budi Darma yang cenderung bergaya telling atau Umar Kayam dan Putu Wijaya yang umumnya bergaya showing. Jika cerita yang menggunakan gaya telling menitikberatkan pada jalinan narasi, maka gaya showing berusaha menghadirkan para tokoh secara langsung, terutama malalui dialog, sehingga seakan langsung melakukan “pertunjukan” di hadapan para pembaca (Boot, 1973:215). Pendek kata, cara bercerita Kuntowijoyo memadukan gaya telling dan showing. Novel-novel Kuntowijoyo menghadirkan dua dunia yang bersebrangan. Dua dunia itu berdialektika yang kemudian memunculkan semacam sintesis. Selain gaya berpadunya penceritaan telling dan showing, unsur-unsur kisah lainnya menunjukkan dua dunia yang berpadu: tokoh tua-muda dan tokoh pria-wanita, sikap kasar-lembut dan jahat-baik, latar kota-desa dan pasar-mesjid, keberadaan yang lahir-yang gaib dan manusia-Tuhan, peristiwa budaya tradisi-modern dan mitos-realitas. Dikotomi itu berhadapan, tetapi hampir tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama penting, saling terkait, dan tidak terelakkan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Pola cerita yang dibangun secara dikotomis itu adakalanya menjadi kisah tampak sekali hitam-putih. Dengan sendirinya, di luar dunia yang dihadapkan masih banyak segi dan masalah yang tidak tergali. Pergulatan bahasa yang digunakan Kuntowijoyo tampak lebih menonjol sifat alegoris dan didaktisnya. Selain karakter tersebut, keyakinan sastra profetik yang digagas Kuntowijoyo turut memengaruhi kecenderungan hitam-putih novel-novel tersebut. Itu sebabnya pesan atau gagasan dalam karya Kuntowijoyo tidak terlalu sulit untuk digali dan dirumuskan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB V MITOLOGI JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO 5.1 Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa Secara etimologi kosmologi berasal dari perkataan “kosmos” yang berarti dunia, aturan, atau alam, dan logos yang berarti rasio atau akal. Jadi, kosmologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang alam (dunia), akan tetapi dikatakan bahwa kosmologi merupakan ajaran atau ulasan tentang dunia (Bertens, 1985:13). Kosmologi juga merupakan telaah mengenai alam semesta skala besar. Istilah kosmologi yang berasal dari bahasa Yunani kosmos diterapkan pertama kali oleh Pythagoras (580-500 SM) untuk menggambarkan keteraturan dan harmoni pergerakan benda-benda langit. Istilah ini dipakai lagi dalam pembagian filsafat Christian Wolf (1679-1754). Dalam pengertian Wolf ini, alam semesta diselidiki menurut menurut inti dan hakikat yang mutlak, yaitu menurut keluasan dan maknanya. Titik tolak kosmologi adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia. Hegel berpendapat bahwa topik pokok kosmologi meliputi persoalanpersoalan contingensi (kemungkinan, hal-hal yang kebetulan), necessity (keharusan), limitations and formal laws of the world (batas-batas formal dalam hukum-hukum Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 formal alam), dan the freedom of man and the origin of evil (kebebasan manusia dan asal mula kejahatan) (Minsarwati, 2002:42). Apabila keempat topik pokok yang dikemukakan Hegel tersebut dihubungkan dengan keberadaan suatu mitos maka terdapat hubungan yang erat antara keduanya, karena dalam tema sentral suatu mitos adalah manusia (antroposentris) dan dunia (kosmogenesis). Kosmologi sebagai suatu kepercayaan dan asumsi orang tentang alam, yaitu makhluk-makhluk dan kekuasaan yang mengandaikannya, bagaimana organisasi alam semesta itu, apa peranan dan tempat manusia di dalam alam, jawaban yang diberikan bisa berupa suatu kemungkinan ataupun suatu keharusan yang terjadi pada mitos. Ternyata antara manusia dan alam mempunyai hubungan yang erat sebab manusia secara obyektif tidak hanya merupakan bagian dunia saja, tetapi juga menguasai diri dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia. Ini berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh merupakan refleksi atas dunia. Jadi, manusia dan dunia saling mengimplikasikan. Peranan mitos dalam diri manusia terungkap pula dalam antropologi budaya, karena mitos sebagai suatu cerita suci berbentuk simbolis, yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal-usul dan perubahanperubahan alam raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrat manusia, pahlawan dan masyarakat, sebagai suatu semantik budaya khas, cerita sakral tentang keadaan purba masa lampau yang membahas hal-hal yang tidak dikehendaki dan mencoba menjawab sebagai masalah dasar. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Menurut Syaifuddin (2005:79) kajian kosmologi selalu bertolak dari kisahkisah yang diistilahkan dengan mitos yang berasaskan tradisi lisan yang merupakan sebagian dari budaya rakyat. Hal ini tampak misalnya pada keterkaitan hubungan sifat bahasa, sistem kepercayaan, agama, dan adat dengan kosmologi budaya masyarakat Melayu Pesisir Timur. Pada masyarakat Melayu ini, sifat manusia, alam semesta, alam gaib, kehidupan manusia dan magik lebih kentara. Keterkaitan hubungan ini sekaligus menunjukkan kepercayaan mereka terhadap kebudayaannya. Hubungan antara manusia dan alam dalam pandangan filsafat Jawa pun ini sangat erat kaitannya, karena secara kosmologis kehidupan di dunia merupakan bagian dari kesatuan yang meliputi segalanya. Dalam kesatuan itu, semua gejala mempunyai tempat dan berada dalam hubungan-hubungan yang saling melengkapi dan terkoordinasi satu sama lain. Kesatuan eksistensi itu mendapatkan titik puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya, pada Yang Maha Satu (Hyang Suksma), yaitu hidup (urip). Darimana suksma eksistensi itu berasal dan kepada siapa harus kembali (Mulder, 1985:17-18). Pemikiran mitologis pertamakali diruntuhkan ketika muncul pemahaman kosmologi pada zaman Yunani kuno dengan dimulai suatu pertanyaan: apakah asal mula dari kehidupan itu atau apa penyusun dasar dari kehidupan? Cetusan itu pertamakali muncul pada filsuf Thales yang mengatakan bahwa alam semesta terbentuk dari air, kemudian Anaximenes berpendapat bahwa awal mula kehidupan dari udara, sedangkan Anaximander mengatakan bahwa awal mula kehidupan dari apeiron, dan Heroklitos meyakini bahwa awal mula kehidupan berasal dari api Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 (Bertens, 1984:26). Ketiga komponen penyusun kehidupan ini berupa air, udara, dan api merupakan substansi penyusun dasar alam semesta, dan ketiga substansi itu semua ada pada diri manusia karena manusia hidup memerlukan air, udara, dan api. Sedang dalam alam semesta tidak didapatkan unsur manusia. Jadi, di sini manusia memerlukan sekali kehadiran alam sehingga terjadi hubungan yang erat antara manusia dan alam. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Strauss (Minsarwati, 2002:46) bahwa alam menjadi suatu pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia bukanlah makhluk di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan sebagai bagian dari alam; manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang menentukan hidup dan pikirannya. Manusia bukan subyek bebas, otonom, sadar, yang mahakuasa, melainkan ia memainkan peranan sebagai sarana dalam proses pemekaran diri alam itu. Manusia juga sering menggunakan segi-segi yang lembut dalam alam raya untuk menggambarkan kelembutan manusia dan menggunakan sifat-sifat alam yang perkasa untuk menggambarkan seorang prajurit yang sedang maju perang. Berdasarkan uraian di atas, terlihatlah bahwa manusia Jawa dalam novelnovel Kuntowijoyo berkedudukan sebagai makrokosmos (jagad besar) karena di dalam tubuh manusia terdapat unsur air, udara, dan api. Sedangkan pasar dan pedesaan yang merupakan salah satu bagian dari lingkungan alam berlaku sebagai mikrokosmos (jagad kecil). Keduanya ternyata mempunyai hubungan yang erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya merupakan satu kesatuan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dengan kata lain, manusia tanpa dunia adalah tidak mungkin, sebaliknya dunia tanpa manusia bukanlah dunia manusia. Kemanunggalan alam dan semua makhluknya yang ada di dalam itu merupakan unsur pokok dalam pikiran orang Jawa. Jadi, dapat dikatakan bahwa filsafat Jawa bertendensi monistik. Semua berasal dari Tuhan sebagai pencipta alam dan akhirnya kembali pada-Nya. 5.1.1 Wujud Sikap Kosmologis Masyarakat Jawa Salah satu mitos yang bercorak kosmologis tercermin pada masyarakat pedesaan yang diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara tradisi. Masyarakat Jawa memahami benar anugerah yang diberikan Yang Maha Kuasa, untuk itu mereka melakukan upacara atau selamatan secara turun temurun yang dimaksudkan untuk memeroleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan-gangguan makhluk halus. Masyarakat Jawa meyakini bahwa selain manusia sebuah desa juga dihuni oleh makhluk halus. Keyakinan adanya makhluk halus ini pun dirasakan oleh Abu Kasan Sapari dalam novel MPU, berikut cuplikannya. Orang Jawa bilang jim untuk jin...Jin adalah makhluk alamiah, seperti halnya batu, bukit, dan langit...Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya jin ialah Nyi Lara Kidul (MPU:36-37). Sebagai wujud penghargaan kepada makhluk halus tersebut, masyarakat Jawa memberikan upeti, yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan. Menurut Koentjaraningrat (2002:84) bahwa tindakan kehidupan keagamaan orang Jawa Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan keramat. Mengenai selamatan dikenal ada bermacammacam bentuk. Hal tersebut selalu berkaitan dengan kelahiran, kematian, dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi slametan, sesajen, pengkultusan orang, penamaan anak, dan ritual sowan dan ruwatan yang dijelaskan sebagai berikut. a. Slametan Hal yang menonjol dari masyarakat Jawa adalah kuatnya ikatan solideritas sosial dan hubungan pertalian darah. Dalam masyarakat Jawa, pendewaan dan pemitosan terhadap roh nenek moyang melahirkan penyembahan terhadap roh tersebut (ancestor worship) yang pada akhirnya melahirkan hukum adat dan relasirelasi pendukungnya. Dengan upacara-upacara selamatan roh nenek moyang menjadi sebentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup. Ritus ritual sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen, adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana; semua tetangga harus diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Pada acara ini terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Sekaligus menimbulkan perasaan kuat bahwa semua warga desa adalah sama derajatnya satu sama lain, kecuali ada yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Ritus selamatan sebagai sebuah awal kerja besar pada hakikatnya merupakan manifestasi pengakuan pada permohonan dan pemuliaan terhadap Yang Menciptakan Jagad. Pengakuan dan permohonan sampai pemuliaan tersebut, sesuai dengan tradisi kuno nenek moyang, akhirnya merupakan penjelmaan simbol konkretisasi tindakan. Oleh karena itu, ritus selamatan ibarat surat ijin formal. Ritus selamatan itu pula, dalam berbagai bentuk dan tujuan, dilakukan oleh banyak anggota etnik di Indonesia – kelahiran, pernikahan, kematian, yang masingmasing dianggap tidak cukup hanya diselamati satu dua kali – pada gilirannya menyematkan identitas dan predikat bahwa bangsa Indonesia diasuh dan ditayang oleh tradisi budaya magis-mistis. Sedangkan preparasi yang dipakai ritus pastilah bervariasi ragam dan modelnya, bergantung pada tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun. Langkanya usaha melakukan riset, transkripsi, dan penerbitan cetak pada era transformasi budaya tradisional dan modern akhir abad 20 mengakibatkan masalah yang berkaitan erat dengan budaya upacara hanya dihafal oleh para pemuka komunitas etnik atau para lokal jenius dan cendikiawan setempat. Itulah sebabnya pada konteks kehidupan urban masa kini seluk-beluk yang menyangkut tradisi ritual komunitas etnik tetap bernasib serba lisan. Tradisi slametan berakar dari budaya Jawa asli. Slametan berasal dari kata slamet ( Arab : salamah ) yang berarti selamat, bahagia, dan sentosa. Slametan adalah kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (tolak bala). Menurut Pamberton (Mulder, 2005:89), praktik yang sarat dengan makna slametan tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan roh penunggu desa ( dhanyang ). Hal ini pun terlihat jelas dalam novel P, meskipun sudah berpikiran modern masyarakat Jawa masih saja memercayai tradisi tersebut. Perhatikan kutipan berikut. Selamatan pasar baru! Dan dia datang untuk itu! Ikut bersenang bersama keruntuhan pekerjaannya! Macam-macam pikirannya waktu makan...Setelah selesai makan. Paijo baru sadar sungguh, ia orang asing di situ dan selamatan itu juga ditujukan untuk menyelamati bangkrutnya pasarnya (P:57). Novel P menggambarkan Kasan Ngali sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara demi memuaskan nafsunya. Ia mendirikan pasar baru di depan rumahnya untuk menyaingi pasar pemerintah yang dipimpin oleh Pak Mantri, yang pada akhirnya pasar saingannya itu bangkrut. Untuk merayakan berdirinya pasar baru miliknya sekaligus merayakan kebangkrutan pasar pemerintah itu, Kasan Ngali mengadakan selamatan. Ia mengundang warga setempat, termasuk Paijo. Padahal Paijo adalah pegawai pasar pemerintah dan orang kepercayaan Pak Mantri. Di dalam novel ini terjadi pergeseran fungsi dan pemahaman pada masyarakat Jawa tentang selamatan. Selamatan yang awalnya ditujukan untuk niat yang baik dan untuk keselarasan seluruh makhluk di bumi berubah maknanya bagi orang-orang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tertentu. Orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut, selamatan dijadikan sebagai alat untuk melancarkan usahanya semata. b. Sesajen Tradisi sesajen (sajen) dijadikan sebagai sarana ritual keagamaan untuk memohon restu nenek moyang. Dalam ritual ini, fungsi roh nenek moyang dianggap sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup. Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang dipersonifikasikan dalam bentuk ‘punakawan’. Agama asli mereka adalah apa yang oleh antropolog disebut ‘religion magic’ dan merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Sajian terdiri dari berbagai jenis makanan dalam jumlah yang sangat kecil, yang antara lain terdiri dari nasi tumpeng, berbagai jenis panganan, rempah-rempah, bermacam-macam benda kecil yang diatur di atas sebuah pinggan kecil yang terbuat dari sebuah bambu (acak). Orang-orang desa selalu meletakkan sajen di sudut-sudut petak sawah pada saat-saat kritis dalam siklus pertanian ; para keluarga petani di desa maupun orang kota meletakkannya di berbagai tempat di sekitar rumah, di halaman, dan di persimpangan jalan, pada tiap hari Kamis malam (malem Jemuwah). Perhatikan kutipan berikut. Wasripin juga dikenal orang luar desa. Di sebuah desa ada rombongan penari jatilan alias kuda lumping. Sebelum bermain ketua rombongan …harus ada restu danyang kuburan...Tapi restu bersyarat : danyang minta sajen…kembang menyan setiap malem Jum’at (WdS:112). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan. Oleh karena itu, Smith (Sani, 2008:2) menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi, yang dimaksudkan tidak hanya untuk berbakti kepada dewa ataupun mencari kepuasan batin yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial. c. Penamaan Anak Orang Jawa dalam mengungkapkan tentang suatu kepercayaan juga selalu memperhitungkan hari-hari baik. Orang Jawa mengenal adanya perputaran musim yaitu, waktu selama lima hari yang disebut hari pasaran. Hari pasaran tersebut yakni, Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Kemudian perputaran waktu selama tujuh hari yang disebut Saptawaca yaitu: Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu. Sistem yang dipergunakan dalam pasaran atau disebut Pancakara, berhubungan dengan mitologi Hindu yang mengatakan bahwa Batara Guru sewaktu memerintah dunia untuk pertamakalinya telah membagi dunia menjadi lima bagian yaitu: Timur, Barat, Utara, Selatan, dan Tengah. Bagi orang Jawa hari Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon dianggap sebagai hari sakral karena pada hari-hari itu banyak makhluk halus yang keluar mencari makan atau sesaji yang disediakan manusia. Realitas budaya Jawa saat pemberian nama pada anak tergambar melalui tokoh Satinah. Orang tua Satinah berulang-ulang mengganti nama anaknya karena Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dianggap kurang serasi memakai nama tertentu. Ada kepercayaan bahwa nama menentukan nasib si anak kelak. Mistifikasi nama akan berpengaruh pada pemilihan jodoh karena huruf pertama dari nama diyakini dapat menentukan jodoh-tidaknya pasangan. Mistifikasi kelahiran dapat dilihat pada perhitungan soal neptu. Kalau laki-laki namanya Walino, kalau perempuan Waliyem…Wali artinya orang suci, penyebar agama Islam di Jawa…Pekerjaan paling sulit, memilih nama itu pun selesai…nama Waliyem terlalu berat untuk orang gunung seperti dia…karenanya nama harus serba baik. Sati itu bahasa Hindu, artinya setia (WdS:42-43). Kecenderungan sikap tersebut disebabkan karena masyarakat Jawa sebagian besar adalah petani pedesaan (rural peasant) yang memiliki ketergantungan dan kedekatan dengan alam. Oleh masyarakat tradisional mengakibatkan munculnya anggapan bahwa perubahan harus dapat diamati dengan jelas. Perubahan harus melalui siklus yang telah mapan, di luar siklus itu perubahan bisa berakibat terjadinya ketidakselarasan (disharmoni) dan ketidaksinambungan (diskontiniusitas) kosmos, yakni kosmos yang dicita-citakan (das sollen), bila kenyataan memang belum mencapai keadaan yang diinginkan adalah perkara lain. Untuk itu diperlukan mitos sebagai upaya legitimasi terhadap keadaan berkeseimbangan yang tidak berubah (status quo), dan mungkin sebagai apologi kegagalan mereka mencapai keadaan yang dicita-citakan. Mitos pada dasarnya merupakan sikap pandang yang terbentuk secara empiris, terhadap berbagai fenomena kehidupan dan alam. Mitos merupakan media yang mengakomodasikan harapan (das sollen) dan kenyataan ( das sein ), sekaligus sebagai pengatur (regulator) perilaku masyarakat dan anggotanya. Terkait dengan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perubahan, masyarakat Jawa bisa menerima dengan perlahan, tanpa paksaan dan berbenturan dengan nilai-nilai paling esensi. d. Pengkultusan Orang Mitologisasi orang yang diyakini masyarakat Jawa hingga sekarang yaitu mitos tentang Walisongo. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga. Sebelum menjadi penyebar agama Islam di Jawa, konon Sang Wali bertemu dengan Nabi Khidir sehingga memiliki kesaktian tertentu yang tidak dimiliki orang kebanyakan. Para Wali Sanga (Sembilan Wali) inilah yang berhasil mengubah suatu sistem hierarki kedewaan yang menempatkan dewa-dewa itu sebagai pelaksana perintah Tuhan YME saja dan bukan sebagai Tuhan. Hal serupa pun diyakini masyarakat dialami tokoh Wasripin dalam novel WdS. Wasripin diyakini masyarakat di Perkampungan Nelayan pernah didatangi Nabi Khidir dan memiliki kesaktian. Tokoh Wasripin direfleksikan sebagai perwujudan sikap baik yang setara dengan Nabi Khidir yang membawa keberuntungan pada siapa pun. Akibatnya apa yang dilakukan Wasripin akan dilakukan juga masyarakat tersebut. Kabar bahwa Wasripin telah kedatangan Nabi Hidhir itu telah menular pada semua orang (WdS:29). … Para nelayan melaut dengan foto Wasripin di perahunya…perolehan nelayan selalu besar…bahwa foto Wasripin membawa keberuntungan…(WdS:101) … Saya tidak dapat menangkap seekor ikan pun, saya sebut nama Wasripin, ikan-ikan seperti ditumpahkan dari langit. Anak saya demam, saya sebut nama Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Wasripin… sembuh. Suami saya pegel…Wasripin datang memijat…paginya ia bekerja…Istri saya bengek…sembuh. (WdS:242-243) Penanaman watak pengkultusan ini direpresentasikan melalui media jual beli. Penduduk yang notabene nelayan menularkan kepercayaan itu pada orang-orang di pasar. Orang-orang di pasar menyampaikan pada keluarganya. Para nelayan dan orang pasar menyebarkan berita itu ke seluruh desa dan kecamatan. Terkait dengan perilaku mitos dan perilaku kejawen, masyarakat Jawa menciptakan simbol-simbol, sekalipun tidak semua simbol memiliki kadar kekayaan makna yang sama. Pembentukan simbol berjalan terus, di masa lampau tradisi besar Islam yang rasional dan historis ternyata tidak mampu membendung pembentukan mitologi Islam, termasuk di Jawa. Cerita para wali misalnya, adalah lebih merupakan mitos daripada sejarah. e. Ritual Sowan dan Ruwatan Hukum adat sebagai norma yang mengikat kehidupan orang Jawa begitu kuat sehingga masyarakatnya bersifat statis dan konservatif. Akibatnya, memunculkan budaya sowan dan ruwatan pada masyarakat sebagai ritual buang sial. Mereka memutuskan untuk melaksanakan ritual tersebut karena telah mengakar sejak lama. Memang anak itu berangsur-angsur menjadi baik. Bahkan, setelah lulus SD tubuhnya menjadi bongsor. Tetapi kesialan pada ayah-ibunya malahan bertambah... Mereka memutuskan untuk sowan orang pintar dan minta nama baru lagi …Seorang sukerto (kotor) harus diruwat, sebab kalau tidak diruwat dia akan dimakan Batara Kala (WdS:43-45). Orang tua Satinah dalam novel WdS melakukan ritual sowan dan ruwatan untuk melindungi putrinya karena Satinah merupakan anak tunggal dalam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 keluarganya. Upacara ruwatan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bhatara Kala, yakni Dewa Kehancuran. Berbagai jenis kombinasi dalam satu keluarga yang dianggap berbahaya, menyebabkan bahwa anak-anak tersebut mudah terkena bahaya, penyakit, dan kematian karena mereka menjadi mangsa Bathara Kala itu. Berbagai kombinasi anak yang berbahaya adalah: 1. Anak tunggal (ontang-anting). 2. Anak pria dengan beberapa adik wanita (pancuran piniring sendhang). 3. Anak wanita dengan beberapa adik pria (sendhang piniring pancuran). 4. Dua bersaudara : seorang pria dan seorang wanita (kedhana-kedhini). 5. Empat bersaudara : dua pria dan dua wanita (sekar sepasang). 6. Anak kembar (putra kembar). 7. Anak pria dengan seorang kakak dan seorang adik wanita (pancuran kapit sendhang). 8. Anak wanita dengan seorang kakak pria dan adik pria (sendhang kapit pancuran). 9. Anak pria di antara tiga saudara wanita (uger-uger lawang). 10. Anak wanita di antara tiga saudara pria (upit-upit). 11. Empat anak yang semuanya pria (putra sarombe). 12. Empat anak wanita yang semuanya wanita (putra sarimpi). 13. Lima anak yang semuanya pria (putra pandhawa). 14. Lima anak yang semuanya wanita (putra pandhawa padangan). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Ritual ruwatan juga perlu diadakan bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu penggiling rempah-rempah (gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi, jatuh atau pecah. Apabila orang memutuskan untuk mengadakan ritual ruwatan maka seorang dhukun petangen dimintai pertolongan untuk memilih hari baik untuk menyelenggarakan upacara tersebut. Pemahaman masyarakat tentang sowan dan ruwatan ini berasal dari pengaruh agama Hindu di Jawa. Tradisi itu mengakar melalui dongeng-dongeng yang disampaikan masyarakatnya secara turun-temurun. Menurut Danandjaja (2002:50), cerita-cerita seperti itu digolongkan pada jenis mite (myth). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite menceritakan tokoh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau dunia yang bukan kita kenal seperti sekarang ini. 5.1.2 Pandangan Hidup Orang Jawa Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan ini terbentuk oleh suatu cara berpikir dan merasakan tentang nilai-nilai, organisasi sosial, perilaku, peristiwa-peristiwa, dan segi-segi lain dari pengalaman. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman itu dan pada gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap hidup. Pandangan hidup orang Jawa berakar pada adat-istiadat (tradisi) agama, kepercayaan, dan kebudayaan. Pandangan hidup tersebut pada dasarnya menekankan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 keselarasan dan keseimbangan, baik terhadap diri sendiri, alam, maupun Tuhan. Sikap hidup seperti ini sudah diatur dalam macam-macam peraturan seperti kaidahkaidah, etika Jawa (tata krama) yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan, dan kaidahkaidah moral yang menekankan sikap dan perbuatan moral. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mulder (2005:20) bahwa javanisme yaitu agama beserta pandangan hidup orang Jawa, menekankan ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan, sikap “nrimo” terhadap segala peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta. Hakikat hidup yang benar adalah hidup berselaras dengan diri sendiri, masyarakat, dan Tuhan. Pada hakikatnya sistem kepercayaan orang Jawa bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup. Dengan demikian, dalam sistem kepercayaan Jawa terdapat serangkaian pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan serta cara-cara mencapai sesuatu yang sebaik-baiknya. Bermacam-macam pengetahuan, petunjuk, perintah, resep, dan strategi-satrategi adalah untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Dengan demikian, di sini dijumpai berbagai aturan dan ukuran untuk menilai tujuan-tujuan hidup dan menentukan mana yang lebih lama dan berharga, serta beragam cara ini juga mengidentifikasi bahaya yang mengancam dan bagaimana cara mengatasinya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Serangkaian pengetahuan tersebut dipenuhi oleh kompleksitas nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan sang pencipta serta alam adikodrati. Oleh karena itu masyarakat pedesaan Jawa dalam menghadapi sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbanganpertimbangan rasional, akan tetapi juga melibatkan emosi, sehingga seolah-olah telah menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan yang dijadikan pedoman hidupnya. Orang Jawa percaya terhadap dunia gaib, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan. Menurut kepercayaan mereka dunia ini dihuni oleh berbagai makhluk halus dan kekuatan-kekuatan gaib. Pandangan hidup dan kejadian-kejadian yang dialami berkaitan dengan alam gaib (adikodrati) tersebut. Melalui bersemedi atau bertapa, orang akan dapat memeroleh kekuatan sakti. Kekuatan itu dapat dipakai untuk mengabdi pada masyarakat dan bisa juga dipergunakan untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan orang lain. Orang Jawa tidak membedakan antara sifat religius dan bukan religius. Interaksi sosial sekaligus dinyatakan sebagai sikap terhadap alam yang mempunyai relevansi sosial. Pandangan terhadap orang bersifat keseluruhan, artinya tidak ada pemisahan secara tegas antara individu dengan lingkungan, golongan, zaman, maupun dengan alam adikodrati. Oleh sebab itu, dengan sendirinya orang Jawa tidak mampu memisahkan urusan dunia sini (empirik) dengan dunia sana (metaempirik) (Suseno, 2003:82). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Apabila diperhatikan, dalam pandangan hidup maupun kepercayaan orang Jawa, akan tampak secara khusus alam pikiran orang Jawa yang memercayai hal-hal gaib. Untuk menggambarkannya maka orang Jawa mengenal apa yang disebut dengan simbol dan mitos. Dunia Jawa adalah dunia yang penuh dengan simbol, karena itu untuk memahami orang Jawa kita harus memahami simbol-simbol yang melingkupinya. Pandangan hidup orang Jawa, khususnya masyarakat pedesaan percaya pada hal-hal yang bersifat mitis. Banyak cerita-cerita atau gugon tuhon yang muncul dalam berbagai versi tentang mitos terjadinya sebuah desa atau kerajaan di Jawa. Penduduk tersebut mengenal pendiri desa atau kerajaan melalui cerita-cerita secara turuntemurun. Asal-usul tokoh itu selalu dihubungkan dengan cerita-cerita yang terdapat dalam pertunjukan wayang atau ketoprak, yaitu para ksatria keraton yang memiliki kesaktian dan pengikut. Kuburan atau peninggalan para tokoh dianggap keramat dan dipercayai bahwa roh-roh mereka masih tinggal di sekitar desa sehingga dapat dimintai pertolongan. Masyarakat Jawa juga memercayai bahwa cerita-cerita yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, mereka percaya bahwa Yudhistira, salah satu tokoh Pandawa dalam epos Mahabrata dimakamkan di pekarangan mesjid Demak, Jawa Tengah, dan makam itu berukuran 3 meter. Mereka juga percaya bahwa negeri Amartapura, tempat para Pandawa tinggal adalah Pulau Jawa. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sedemikian besar penghayatan mereka pada mitologi Jawa yang berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata sehingga mereka memandang bahwa hidup ini sebagai peperangan antara kekuatan khaos (kekacauan) dan kekuatan ordo (ketertiban) (Sardjono, 1992:22). Dalam Mahabrata, pihak Kurawa melambangkan kekuatan khaos dan pihak Pandawa melambangkan kekuatan ordo. Peranan tokoh pewayangan ini sangat besar dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tidaklah berlebihan jika Sardjono (1992:24) mengatakan bahwa wayang merupakan identitas utama manusia Jawa. Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh dari pihak Pandawa, dan menghindari pengidentifikasian dengan tokoh-tokoh Kurawa. Dengan kata lain, tokoh-tokoh tersebut menyimbolkan watak dan perilaku manusia untuk mencapai tujuan hidup. Berikut penjelasan tentang halhal yang dijadikan pandangan hidup masyarakat Jawa, yaitu: raja sebagai pemusatan kekuatan kosmis, keraton sebagai pusat kerajaan numinus, Gunung Merapi, dan Laut Selatan. 1. Raja sebagai Pemusatan Kekuatan Kosmis Raja merupakan orang yang memusatkan suatu takaran kekuatan kosmis yang besar dalam dirinya sendiri, sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya. Raja bisa dianggap sebagai pintu air yang menampung seluruh air sungai dan bagi tanah yang lebih rendah merupakan satu-satunya sumber air dan kesuburan. Atau sebagai lensa pembakar yang memusatkan cahaya matahari dan mengarahkannya ke bawah. Kesakten sang raja diukur pada besar kecilnya monopoli kekuasaan yang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dipegangnya. Semakin besar kekuasaan raja, semakin luas pula wilayah kekuasaannya. Perhatikan kutipan berikut. Raja itu mempunyai tiga macam wahyu. Wahyu nurbuwat, artinya raja mempunyai kekuasaan, raja dapat menentukan abang-birunya kerajaan, kalau sekarang ya hijau-kuning-merahnya wilayah. Kedua, wahyu hukumah artinya wewenang mengadili, yang sekarang ada pada pengadilan. Ketiga, wahyu wilayah, artinya ia adalah wali Tuhan, harus menjadi contoh bagi masyarakatnya (MPU:79). Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari seorang raja yang berkuasa mengalirlah ketenangan dan kesejahteraan ke daerah sekelilingnya. Kekuasaan raja juga tampak dalam kesuburan tanah dan apabila tidak terjadi bencana-bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Disebabkan semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama yang dipusatkan dalam diri raja, maka tidak mungkin ada kekuatan-kekuatan, termasuk kekuatan alam, yang bisa bergerak. Oleh karena itu, kekuasaan raja kentara semuanya tentram, panen yang berlimpah ruah, atau yang disebut orang Jawa sebagai adil makmur. Masyarakat semacam itu merealisasikan cita-cita Jawa tentang keadaan yang tata tentrem karta raharja. Apabila sesorang sudah menjadi raja, ia akan berusaha untuk terus memperbesar kekuasaannya. Demi tujuan itu ia akan mengumpulkan semua potensi magis yang terdapat dalam wilayah kekuasaannya, misalnya benda-benda keramat, terutama pusaka-pusaka kerajaan, seperti keris, tombak, dan gamelan. Ia ingin dikelilingi oleh manusia-manusia yang dianggap keramat, menarik dukun-dukun dan resi-resi termasyhur ke keratonnya, tetapi juga orang-orang aneh seperti orang-orang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 cacat, bule dan eksot-eksot lain. Kecuali itu, secara teratur raja mengunjungi candicandi dan tempat-tempat ziarah dalam kerajaannya, terutama makam-makam raja-raja dahulu. Dengan mengunjungi mereka, raja yang hidup mewarisi kekuasaan adikodrati. Sebagaimana kekuasaan merupakan hasil kemampuan untuk memusatkan kekuatan kosmis dalam dirinya sendiri, begitu pula seorang raja dapat kehilangan kekuasaan apabila ia kehilangan kemampuan pemusatan itu. Tanda bahwa kekuasaannya mulai runtuh ialah kekacauan-kekacauan, pemberontakan- pemberontakan, rasa tidak puas rakyat, kebejatan moral yang semakin merajalela, serta bencana-bencana alam dan panen yang gagal. Sebagai utusan keruntuhan yang akan datang muncullah para resi, begawan, dan ajar. Tetapi bukan mereka yang sudah tetap tinggal di keraton dan oleh karena itu barangkali terkena korupsi. Melainkan orang-orang keramat yang hidup menyepi jauh dari masyarakat di gunung-gunung dan di hutan-hutan, dikelilingi oleh murid-muridnya. Apabila mereka meninggalkan padepokan-padepokan mereka untuk muncul di keraton dan menyuarakan kemerosotan yang semakin meluas serta untuk memperingatkan bahwa dinasti yang berkuasa akan jatuh. Maka penguasa sudah berada dalam situasi yang kritis baginya. Reaksi yang biasanya kasar dan penuh kekerasan hanya membuktikan bahwa ia memang tidak lagi dapat mengontrol keadaan, karena andaikata ia masih berkuasa maka tdaka perlu memakai cara-cara yang kasar, bahkan tidak perlu menghiraukan para pengkritik. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menuruti hawa nafsu pribadinya, mengumpulkan kekayaan, dan mencari hidup yang enak-enak saja, sebenarnya menyiapkan keruntuhannya sendiri. Ia memboroskan energi batin, menjadi kasar, dan semakin tergantung dari luar. Menurut Anderson (2003:70) pertentangan antara yang baik dan buruk alam wayang harus dipahami sebagai pertentangan antara mereka yang bebas dari pamrih dan mereka yang membiarkan kekuasaan menguap karena berpamrih, dan oleh karena itu akhirnya juga dikalahkan. Begitu pula dengan kiseh pewayangan, misalnya Rahwana yang sedemikian sakti sehingga para dewa pun gemetar, dalam Ramayana dapat dikalahkan oleh Rama, karena ia menuruti hawa nafsunya dan menculik Sinta, istri Rama. Jadi, bahaya terbesar bagi kedudukan penguasa tidak datang dari luar, melainkan dari batin penguasa sendiri. Kekuatan-kekuatan dari luar tidak dapat berbuat apa-apa selama ia dapat memusatkan segala energi kosmis dari dalam dirinya, tetapi ia kehilangan kekebalannya apabila ia membiarkan kekuatannya menguap dengan mengejar kepentingan-kepentingan egoisnya. Perilaku penguasa (Orde Baru) yang irasional dan sewenang-wenang demi mempertahankan kekuasaan tampak pula dalam novel-novel Kuntowijoyo, khususnya dalam novel MPU dan WdS. Abu Kasan Sapari, Wasripin, dan Pak Modin dituduh sebagai anti-negara dan anti-Pancasila. Perhatikan kutipan berikut. Ketua Partai Randu Desa yang meliputi perkampungan nelayan sekali menemui Wasripin. “Ini rahasia. Saya dapat bocoran penghargaan itu tidak akan diberikan. Pusat yang melarangnya, macam-macam yang anehlah. Di antaranya, KTP tidak ada. penduduk gelap. Kau dituduh PKI atau DI/TII...”(WdS:188). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 pagi-pagi informasi alasannya Jadi kau Begitulah rezim penguasa Orde Baru sekian lama mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk menuduh warga negaranya secara serampangan. Perilaku para politikus dan pejabat pemerintah dan tindak-tanduknya semata-mata memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan dikisahkan pula pada tokoh Abu Kasan Sapari berikut. Abu Kasan Sapari diperiksa polisi untuk menyusun BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Ia disuruh menyebutkan nama, pekerjaan, nama-nama orang tua, paman, dan saudara-saudaranya, serta pekerjaan mereka. Terlibat perkara polisi? Tidak seorang pun. Apakah ada di antara mereka semua yang terlibat G30S/PKI? Tidak seorang pun. Ekstrem kanan, tidak seorang pun. “Apa Saudara tahu mengapa ditahan?” tanya polisi. Abu menggeleng. Tidak ada barang bukti, tidak ada kesaksian, tidak ada laporan tertulis. Polisi pemeriksa geleng-geleng. Pemeriksa lapor bahwa tidak ditemukam tanda-tanda kriminalitas, juga tanda-tanda ekstrem kiri dan ekstrem kanan (MPU:157). Sebagai seniman yang akrab dengan masyarakat, mendalang merupakan aktivitas efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyrakat. Meski kisah dalam wayang bersifat simbolis, masyarakat Jawa pada dasarnya cepat tanggap dalam memahami simbol. Namun, kegiatan mendalang itulah yang membuat Abu Kasan harus menghadapi nerbagai kendala, terlibat dalam konflik, terutama ketika mesin politik (Golkar) merasa tersinggung karena kegiatan mendalang Abu Kasan tidak sejalur dengan kebijakan mesin politik. Setelah camat “teladan” dipindahtugaskan, tidak lama Abu Kasan pun dipindahtugaskan. Begitulah, melalui novel ini Kuntowijoyo menunjukkan bahwa orang yang berkarakter “jati” (Abu Kasan dan camat baru yang bersih dan visioner) tidak bertahan lama karena disingkirkan mesin politik yang mendukung gerakan-garakan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Partai Randu. Program “jatinisasi” harus dipandang sebagai simbol karena budaya Jawa, seperti juga dunia wayang kental dengan permainan simbol. Abu Kasan hidup di zaman Orde Baru. Seperti dikatakan Budiman dalam Anwar (2007:94) bahwa demokrasi di zaman Orde Baru seperti “gelang karet” atau seperti melepas kucing tetapi kakinya diikat. Demikianlah jika masyarakat sejahtera secara ekonomi, tidak ada kekurangan pasokan pangan, tidak gagal panen, kekangan terhadap politik dilonggarkan (dalam kondisi semacam itu Abu Kasan bisa leluasa bekerja dan mendalang). Namun, jika kesejahteraan masyarakat tersendat, ada bencana, gagal panen, pasokan panen berkurang, dan rakyat mulai berkumpulkumpul dan bicara, kendali terhadap politik dikencangkan. Abu Kasan, khususnya dalam kegiatan mendalang bisa terkena kekangannya. Di zaman Orde Baru, seperti tampak dalam novel ini semua orang harus bergerak untuk pembangunan. Akan tetapi, definisi dan makna pembangunan sudah dirumuskan mesin politik yang memiliki tiga alat utama: partai, birokrasi, dan militer. Dalam novel ini Partai Randu, Lurah-Camat-Bupati, dan Koramil. Jika keluar dari irama pembangunan, termasuk dalam kegitan mendalang, akan dicap subversif atau anti-Pancasila. Demikianlah, Abu Kasan berada dalam pusaran pembangunan Orde Baru dan kekuatan mesin politik. Itulah gambaran hubungan kekuasaan antara birokrasi (pejabat kekuasaan) dengan mesin politik. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 2. Keraton sebagai Pusat Kerajaan Numinus Bagi masyarakat Jawa, keraton itu bukan hanya suatu pusat politik dan budaya, melainkan juga merupakan pusat keramat kerajaan. Keraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan. Paham ini terungkap dengan sangat jelas dalam gelar para penguasa keempat kerajaan di Jawa Tengah hasil perpecahan Kerajaan Mataram II, dua ratus tahun yang lalu. Kedua penguasa Jogjakarta menyebut diri Hamengku Buwana (yang memangku jagad raya) dan Paku Alam , para penguasa Surakarta bernama Paku Buwana (Paku jagad raya) dan Mangkunagara (yang memangku negara). Di zaman pra-Islam, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa (raja-dewa) atau sebagai berasal dari dewa. Biasanya Siwa dianggap menjelma dalam raja, tetapi ada juga raja-raja yang dianggap sebagai penjelmaaan Wisnu. Raja Kertarajasa (meninggal tahun 1316 M), pendiri Kerajaan Majapahit diabadikan dalam sebuah patung yang memperlihatkannya sebagai hari-hara, sebagai campuran Wisnu dan Siwa. Walaupun agam Islam yang antara abad XV dan XVIII meresapi seluruh Pulau Jawa dan menolak gagasan raja-dewa, namun itu paham lama itu tetap bertahan. Tentang Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram II di dekat Jogjakarta (meninggal tahun 1601), diceritakan bahwa ia sedemikian penuh kekuatan mistik sehingga kawin dengan dewi penguasa Laut Selatan Nyai Roro Kidul. Sampai sekarang pusaka sultan Jogjakarta, khususnya kereta kencana dan perangkat gamelan, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 oleh rakyat dianggap sebagai pemberi kesuburan. Apabila setiap tahun pada perayaan Grebeg Mulud, kereta kencana dicuci, masyarakat berdesak-desakan untuk dapat membawa pulang sedikit air cucian itu. Pandangan tentang keraton sebagai pusat keramat kerajaan menentukan paham negara Jawa. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat di pusat, di dekat raja, di keraton. Keraton dikelilingi oleh ibukota bagaikan cincin, di mana keluarga-keluarga sekelompok bawahan tinggal yang langsung atau tidak langsung hidup dari pengabdiannya atau pekerjaannya di keraton. Dari ibu kota kekuatan raja memancar sampai ke desa-desa. Apabila seorang raja dengan kesaktian yang ampuh menaiki tahta maka pancaran kekuatannya diperkuat dan batas-batas kerajaan meluas sehingga lebih banyak desa masuk ke dalam wilayah penyinaran raja itu. Dalam konsepsi Jawa, batas-batas tidak mempunyai fungsi, kenegaraan kerajaan terwujud terutama dalam ibukota yang juga terungkap dalam kata ‘negara” yang sekaligus berarti ibukota dan negara. Pandangan tentang kenegaraan sebagai wilayah penguasaan kekuatan gaib raja ini mempunyai akibat bahwa dalam paham politik Jawa, gagasan pluralitas kekuasaan tidak pernah muncul (suatu perspektif yang dalam tahun lima puluhan abad ini dalam Republik Indonesia muda dengan sekian banyak suku bangsa yang bangga atas kepribadiannya sendiri menimbulkan ketegangan-ketegangan yang berat). Segala kekuasaan dan hukum berasal dari pribadi raja. Secara khusus, ide suatu hukum yang berada di atas pribadi penguasa tidak dikenal dalam filsafat politik Jawa. Memang, apabila kekuasaan politik dipahami sebagai aliran kekuatan yang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hampir fisik sifatnya, yang berasal dari pribadi raja, tidak ada tempat bagi paham hukum sebagai syarat legitimitas kekuasaan dan pembatasan pemakaiannya. Raja adalah sumber kedaulatannya, maka dalam kepustakaan Jawa tidak terdapat apa pun yang dapat dibandingkan dengan dalam filsafat Yunani kuno tentang penguasa yang terbaik lawan kekuasaan hukum. Hampir tidak perlu ditambah bahwa gagasan suatu undang-undang dasar sebagai dasar hukum bagi kegiatan Negara sama sekali tidak cocok dengan pandangan Jawa. Keraton Jogjakarta merupakan simbolisasi dari sang pemimpin yang bergelar Ngarso-Dalem Sampeyan-Dalem Ingkang Sinuhun-Kanjen Sultan Hamengkubuwono Ing Ngalogo Ngabdulrrakhman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Ing Ngayogyakatra Hadiningrat, mengandung arti pemimpin yang senantiasa di depan sebagai teladan, mempersatukan dengan kekuasaan, ngrengkuh, sengguh ora mingguh mempersatukan, mengutamakan, dan melindungi rakyatnya (makna Hamengku, Hamangku, Hamengkoni), karena sebagai panglima perang harus mampu menghalau musuh manusia yang berwujud kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan, akibat ulah nafsu duniawi, dalam kapasitas dirinya sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk akan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pemimpin di tengah rakyatnya, mendorong menuju tujuan serta mewujudkan kesejahteraan dengan keteguhan keyakinan hanya karena Allah. Di dalam novel MPU pun, keagungan keraton itu tersirat dalam praktik pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh Abu Kasan Sapari. Berikut kutipannya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kita harus memelihara lingkungan kita, jangan malah merusak. Umpamanya, kita jangan menebangi pohon seenaknya. Jaman dulu Gunungkidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia, sekali lagi, karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya (MPU:55). Keraton Yogya sebagai pusat pemerintahan kerajaan diyakini masyarakat Jawa memiliki nilai lebih yang masih diagungkan keberadaannya. Keraton memiliki nilai sakral yang mampu mengarahkan masyarakat untuk berbuat baik terhadap alam dan lingkungannya. 3. Gunung Merapi Gunung Merapi dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai keraton makhluk halus tempat tinggal para roh leluhur, danyang, dan lelembut. Merapi juga dianggap sebagai surga pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama ini hidupnya banyak berbuat kebaikan. Sistem kepercayaan terhadap Merapi erat kaitannya dengan alam adikodrati. Merapi digunakan penduduk setempat sebagai kerangka landasan untuk beradaptasi dan berinteraksi serta mendayagunakan sumber daya Merapi. Kepercayaan ini diyakini pula oleh Keraton Jogjakarta yang diwujudkan dalam bentuk upacara labuhan Gunung Merapi (Minsarwati, 2002:36). Upacara labuhan adalah salah satu bentuk upacara religius yang mempunyai makna kosmologis karena di sini terjalin hubungan yang harmonis antara kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos yaitu, hubungan antara Gunung Merapi-Keraton Jogjakarta-Laut Selatan. Sesungguhnya Gunung Merapi adalah sebuah keraton yang dibangun dengan hierarki yang sama dengan yang terdapat di Keraton Jogjakarta Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang terlatak 20 km arah selatan. Gunung Merapi ini sebagai bagian dari alam yang diwujudkan dalam bentuk simbol api. Api mempunyai sifat panas, tidak kenal kompromi, dan mampu membakar apa saja tanpa membeda-bedakan satu sama lainnya. Kemudian, keberadaan Keraton Jogjakarta yang terletak persis di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan mempunyai simbol sebagai udara yang mengisi kekosongan yang ada, keraton ini sebagai perpaduan antara api dan air yang dipahami sebagai setubuh dan sejiwa. Selanjutnya, Laut Selatan yang mempunyai simbol air mempunyai sifat rata permukaan, luas, dan selalu mengalir ke bawah. Hubungan semacam itu juga diceritakan dalam mitos bagaimana Senopati sebagai sultan pertama dari Kerajaan Mataram di pusat Pulau Jawa suatu hari melakukan semedi dengan khusuk, sehingga Gunung Merapi bergetar dan menjulurjulurkan lidah apinya, lalu laut pun bergelora dan ribuan makhluk halus bergulingguling di tanah dan dipukuli sampai pingsan oleh kekuatan semedi itu. Roh Kanjeng Ratu Kidul akhirnya keluar dari lautan dan menampakkan diri di depan sultan. Sang ratu pun lalu jatuh hati dan mengucap sumpah di hadapan Senopati untuk menjadi kekasih selamanya bahkan untuk sultan-sultan berikutnya, asalkan Senopati bersedia makan Endhog Jagad yang diberikannya. Namun, karena merasa telur itu akan mengubahnya menjadi jiwa tanpa raga, maka sultan pun memberikan pada tukang kebun istana. Tukang kebun itu pun berubah menjadi roh yang menyeramkan. Disebabkan buruk rupa maka Ki Juru Taman lalu pergi dan bersembunyi di kedalaman perut Gunung Merapi, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Sapu Jagad, penjaga Keraton Mataram. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sejak itu, para sultan turun-temurun pada hari ulang tahunnya membuat sesaji dengan mengirimkan makanan dan pakaian-pakaian kepada Kyai Sapu Jagad. Itulah asal mula cerita sesaji di Gunung Merapi. Demikian juga sesaji dilakukan di Laut Selatan untuk menghormati Kanjeng Ratu Kidul. Dan upacara ini sampai sekarang masih dilakukan yang dikenal dengan upacara labuhan. Sebagian masyarakat Jawa percaya bahwa terjadinya letusan Gunung Merapi dikarenakan sebagai pertanda perkawinan antara dewa laki-laki yaitu Kyai Sapu Jagad dan perempuannya Nyai Roro Kidul. Peristiwa letusan itu terjadi karena Kyai Sapu Jagad bersama Nyai Roro Kidul sedang mencari korban manusia yang rohnya dijadikan bala tentara mereka yaitu berupa keluarnya lahar (sebagai aspek primer) yang memang kadang-kadang membawa korban manusia (sebagai aspek sekunder). Hal ini juga serupa dengan keyakinan orang Jawa bahwa “gunung” dilambangkan sebagai kekuatan laki-laki dan “laut” melambangkan perempuan. Peristiwa letusan yang ditandai dengan keluarnya benih laki-laki pada saat persetubuhan, tanda persetubuhan laki-laki dan perempuan. Perpaduan muntahan Gunung Merapi menuju ke laut melambangkan wiji (sperma) calon raja Senopati. Konsepsi perpaduan itu bermakna kesuburan yang akan menurunkan berkah. Interpretasi ini didasarkan atas pemahaman kejawen, bahwa gunung yang diasosiasikan dengan Yoni simbol dari istri Siwa yaitu Umo. Seperti halnya perkawinan yang seolah-olah tidak bisa dicegah, tetapi bisa ditata, maka “perkawinan dua kekuatan alam” atau letusan Gunung Merapi juga tidak bisa dicegah dan perlu ditata. Oleh karena itu, untuk mendapatkan selamat, penduduk Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tidak bisa menolak Nyai Roro Kidul berhubungan dengan Merapi, tetapi mereka meminta agar jika Nyai Roro Kidul mengutus atau menginginkan sesuatu dari Gunung Merapi (yaitu benih laki-laki) jangan melalui desa mereka, tetapi cukup di kiri-kanan desa saja. Untuk itu mereka memberikan sesaji kepada kekuatan-kekuatan gaib tersebut agar hubungan baik dengan kekuatan-kekuatan itu terjalin sehingga mereka bisa dijauhkan dari bencana Merapi. Perhatikan kutipan berikut. Gunung Lawu itu dulu dianggap keramat. Ditunggui raja jin bernama Sunan Lawu. Sekarang, entah ke mana raja jin itu bersembunyi, tetapi orang dengan membayar seribu rupiah dapat melewati puncaknya (MPU:32) ... Di sekitar Gunung Merapi, terdapat batu-batu. Dari mana batu-batu untuk Candi Borobudur, Mendut, Kalasan, Prambanan, dan Sewu kalau tidak dari batu-batu Gunung Merapi? Demikian juga orang Jawa dikubur di bawah batu. Mungkin orang berpikir kalau sudah berlindung di bawah batu itu aman dari siksa kubur (MPU:34). Segala mitos tentang Gunung Merapi tidak boleh dilecehkan oleh masyarakat Jawa. Mitologi letusan Gunung Merapi tersebut dipakai dalam konseptual nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan pencipta hidup serta alam kodrati. Masyarakat di pedesaan Jawa dalam menghayati sistem kepercayaan tersebut tidak hanya mengandalkan pertimbangan-pertimbangan rasional akal, tetapi melibatkan perasaan dan emosi, sehingga seolah-olah untuk menyerahkan jiwa raganya kepada sistem kepercayaan Jawa atau agama. Intinya didasarkan pada prinsip-prinsip utama yang menyangkut konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di alam semesta beserta segala isinya, seperti berbagai kegiatan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan konsep wadah dan isi, serta equilibrium dan ketidaktentuan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah. 4. Laut Selatan Laut selatan mengandung kekayaan alam yang tidak terhingga. Deburan ombak yang berharmoni menunjukkan kekuasaan “sang pemimpin”. Nyai Roro Kidul, yang diyakini sebagai penguasa Laut Selatan memiliki kuasa atas kebaikan dan keburukan yang dirasakan oleh penduduk setempat. Jika kehidupan masyarakat sentosa dan tentram, itu karena sang penguasa bermurah hati. Sebaliknya, jika kehidupan masyarakat sekitar mengalami musibah atau bencana, maka dipahami bahwa sang ratu sedang murka. Eksistensi Laut Selatan sebagai salah satu wujud sikap kosmologis masyarakat Jawa, sampai saat ini masih memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan warga di sekitarnya. Seperti yang terlihat pada novel MPU berikut ini. Singkatnya jin nakal itu dibuang ke Laut Selatan, tempat kerajaan jin. Jin itu hanya jadi pembantu di tempat yang baru. Sebab, di sana banyak jin bangsawan, jin jagoan, jin priyayi, dan tentu jin biasa-biasa saja. Dan rajanya ialah Nyi Lara Kidul (MPU:37). Meskipun berbentuk mitos, sampai saat ini Laut Selatan tetap dipandang masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang sakral. Berdasarkan uraian di atas, tiga makna simbol dari Gunung Merapi, Keraton Jogjakarta, dan Laut Selatan dapat disimpulkan tentang makna kosmologi yang ada pada mitos letusan Gunung Merapi, yaitu terjadinya “dua kekuatan alam”yaitu Gunung Merapi sebagai kekuatan api dan Laut Selatan sebagai kekuatan air. Hasil Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 perpaduan dari dua kekuatan ini berupa calon raja Senopati yang berada di Keraton Jogjakarta, yaitu berupa keraton sebagai unsur udara. Ketiga unsur kekuatan alam yang menyatu berupa api-udara-air itu merupakan salah satu bagian dari kosmos. Sedang kosmos selalu berhubungan dengan manusia, padahal dalam tubuh manusia selalu terdapat unsur-unsur yang dimiliki oleh kosmos. Hal ini disebabkan karena dalam hidupnya manusia memerlukan makan, minum, bernafas, serta bertenaga, yang kesemuanya itu diperoleh dari kosmos (alam), yaitu bisa dari Gunung Merapi, Keraton Jogjakarta, ataupun Laut Selatan. Manusia ternyata bukan hanya realitas fisik atau hanya sekedar ekspresi fisik dari tatanan hidup, tetapi manusia adalah makhluk yang “pinunjul”, yang memiliki jiwa dan memiliki penghayatan pada yang gaib seperti keberadaan Gunung Merapi dan Laut Selatan yang dipahami mempunyai kekuatan gaib. Mulder (2005:32) mengatakan bahwa dalam batin manusia membawa percikan dalam hakikat hidup yang menjiwai kosmos, secara mistik ia adalah suatu mikrokosmos. Mitos pada dasarnya akan menjelaskan agar manusia selalu menjaga keselarasan kosmos, mengusahakan dan memelihara keberadaan antara lingkungan alam dan manusia. Ketika di dunia Barat mitologi mulai ditinggalkan, beberapa pertanyaan radikal mengenai unsur pembentuk jagad raya muncul dan menimbulkan tiga alternatif jawaban: bahwa unsur itu adalah air (menurut Thales), udara (menurut Anaximenes), dan apeiron “api” (menurut Anaximander). Dunia Timur juga menanyakan hal serupa bahwa ketiga unsur itu sudah lama dikenal sebagai Trimurti Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 AUM: agni (api), udara (angin), dan maruta (air). Hanya saja kalau di Barat tingkatan pemikiran masih berlanjut, di Timur agaknya masih berupa mitologi. Masyarakat Jawa, terutama di daerah rawan bencana, sangat mempercayai hal yang berbau mitos. Namun, karena mitos selalu berhubungan dengan yang sakral (alam adikodrati) maka perlu jawaban yang tentu saja bisa diterima oleh akal. Oleh karena itu, peristiwa-peristiwa empiris selalu berkaitan dengan peristiwa-peristiwa metaempiris. Seperti ungkapan gugon tuhon yang disampaikan oleh juru kunci atau sesepuh desa, yaitu tidak boleh mencari rumput atau kayu bakar di tempat-tempat angker, memindahkan batu atau menebang pohon mendirikan rumah menghadap kea rah gunung, berburu binatang di hutan, dsb. Dibalik larangan-larangan (tabu) itu sebenarnya tersimpan kearifan ekologi penduduk terhadap lingkungan alam Gunung Merapi dan selalu berhubungan dengan pelestarian lingkungannya (ekosistem). 5.2 Mitos-Mitos Masa Kini Barthes mengemukakan teori tentang mitos dengan mengetengahkan konsep konotasi, yakni pengembangan segi signifie (petanda ‘makna’) oleh pemakai bahasa. Pada saat konotasi menjadi mantap, ia menjadi mitos, dan ketika mitos menjadi mantap, ia menjadi ideologi. Akibatnya, suatu makna tidak lagi dirasakan oleh masyarakat sebagai hasil konotasi. Menurut Barthes (1995:89) sebuah ekspresi bisa memiliki beberapa isi atau konten yang terhubung melalui sebuah relasi tertentu. Ekspresi ditandai dengan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 makna denotasi yang kemudian berkembang menjadi beberapa isi (konten) yang disebut sebagai makna konotasi. Masyarakat Indonesia, baik masa lalu maupun masa kini, mengenal mitos dalam pengertian Barthes di atas. Mitos masa kini yang dimaksud penulis adalah berkaitan dengan makna mitos tersebut. Artinya, makna mitos tersebut yang baru (masa kini), bukan mitos itu yang baru. Ada beberapa fenomena budaya masa kini yang diberi konotasi oleh masyarakat luas, dan yang sudah mantap menjadi mitos. Fenomena tersebut antara lain: gotong royong, aja dumeh, reformasi, ramah tamah, dan mahasiswa sebagai kekuatan moral. 1. Gotong Royong Gotong royong dianggap merupakan bagian dari tradisi masyarakat Jawa bahkan rakyat Indonesia selama bertahun-tahun. Dalam pemakaiannya mempunyai denotasi ‘bekerjasama dan saling membantu untuk mengerjakan sesuatu, khususnya untuk sesuatu yang bermakna secara sosial, seperti pembangunan mesjid, pembuatan jalan desa, atau pemadaman kebakaran. Perhatikan kutipan berikut. Kita mesti sanggup berbuat. Asal perbuatan baik, Jo. Kita mesti kuatkan jiwa kita. Hidup ini hanya sebentar, engkau dalam perjalanan jauh, dan hidup ialah sekadar mampir minum, sebentar saja...Korbankanlah dirimu untuk tujuan yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekadar kesenanganmu (P:201). Pak Mantri mewariskan budaya gotong royong pada Paijo dengan meyakinkannya bahwa kepentingan umum lebih penting di atas kepentingan pribadi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sikap rela berkorban ini menjadi cikal bakal lahirnya budaya gotong royong dalam masyarakat di Indonesia. Melalui kutipan tersebut, gotong royong merupakan sebuah ekspresi yang dimaknai oleh Pak Mantri dan Paijo sebagai ‘perbuatan baik’ (makna denotasi). Pada kondisi sekarang, gotong royong sebagai ekspresi (expression) memperoleh isi (content) beberapa konotasi sesuai dengan pengalaman masyarakat. Ada dua konotasi yang penting, yaitu (1) kewajiban membantu tetangga yang sedang kesusahan dan (2) kewajiban bekerja untuk memperbaiki prasarana di desa. Intinya, konotasi dasarnya adalah “kewajiban”. Sebagai masyarakat yang kehidupannya masih komunal, kewajiban ini tidak dirasakan memberatkan (kewajiban yang berterima), khususnya bila tujuan gotong royong adalah membantu tetangga yang sedang berada dalam kesulitan. Di samping itu, relasi yang menghubungkan antara ekspresi dan isi tersebut adalah kondisi masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat memengaruhi pemaknaan terhadap gotong royong itu sendiri. Pada sekelompok orang, misalnya di kota gotong royong sudah mempunyai konotasi ‘kewajiban yang memberatkan’ karena setiap orang sudah lebih banyak mempunyai kewajiban sendiri yang berbeda-beda. Dengan cara mengupas makna konotatifnya, telah terjadi pembongkaran semiologis (demontage semiologique). Di dalam hal gotong royong dimaknai sebagai “kewajiban berterima”, dapat dilihat di sebuah desa atau kota bahwa ada pembayaran uang pengganti untuk mereka yang tidak ikut bergotong royong memperbaiki jalan, misalnya gotong royong tidak jarang dimaknai semacam “kerja paksa” yang kalau dilanggar dapat memberi akibat Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 pengucilan dan penghukuman. Mereka yang memaknai gotong royong sebagai “kewajiban berat” menghindari gotong royong dengan misalnya, pura-pura sakit atau bepergian dari lingkungannya. Gotong royong telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang dilandasi nilai solideritas sosial. Ia telah mengalami pembongkaran semiologis dan dekonstruksi untuk memperoleh makna lain dan baru, sehingga mungkin menjadi mitos baru yang tidak menyenangkan. Masyarakat telah mengalami perubahan istilah gotong royong telah mengalami diversifikasi makna. 2. Aja Dumeh Aja dumeh ‘jangan mentang-mentang’ adalah ajaran yang berkembang dalam tradisi lisan. Makna denotatifnya adalah ‘jangan suka mentang-mentang’ dan ‘jangan sombong’. Ini sudah menjadi mitos dalam masyarakat karena sudah dipandang sebagai cara yang baik dalam masyarakat. Namun, mitos ini sedang mengalami perubahan dalam kalangan tertentu. Para eksekutif muda dan para yupies banyak yang mempelajari mitos lain, yakni justru ‘harus berani menonjolkan kemampuan diri’ dan ‘harus memiliki kebanggaan akan diri sendiri (self system)’. Ini merupakan mitos lain dalam hal bersikap dalam masyarakat tertentu, yang merupakan mitos yang bersikap datang dari kebudayaan industri Barat. Bagi kalangan yang masih memegang mitos aja dumeh, mitos di kalangan para eksekutif muda dan yupies ini dipandang sebagai sesuatu yang buruk. Sebaliknya, aja dumeh dipandang sebagai hal Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang tidak mendorong kemajuan oleh para eksekutif muda dan yupies. Dua mitos itu bersama-sama hidup dalam masyarakat kita. Di dalam novel MPU mitos ini juga hidup dalam diri tokohnya. Perhatikan kutipan berikut. Pelajaran dari cerita ini ialah orang itu ojo dumeh, jangan mumpung. Jangan mumpung berkuasa, lalu sewenang-wenang. Jangan mumpung kaya, lalu menghambur-hamburkan uang (MPU:37). ... Jangan dumeh sudah jadi orang besar. Maksudnya dielu-elukan orang banyak. Jangan mentang-mentang jadi dalang kondang. Mentang-mentang dekat koran ucapan-ucapan yang tak akan keluar dari mulut orang-orang yang kenal dia. Kata-kata yang diucapkan dengan penuh dendam, seolah-olah tak ada kebaikannya sama sekali. Terdengar jelas di telinga Abu (MPU:236). Aja dumeh merupakan ekspresi (expression) yang dimaknai Abu Kasan Sapari memiliki beberapa isi (content) yang bermakna konotasi. Makna denotasi aja dumeh ‘jangan mentang-mentang’ berkembang menjadi ‘jangan mentang-mentang kaya’, ‘jangan mumpung berkuasa’, jangan mentang-mentang terkenal’, dan sebagainya menjadi makna konotasi akibat perkembangan pola pikir manusia. Perubahan makna tersebut terjadi karena ada relasi waktu yang menghubungkan keduanya. Mitos ini hidup dan berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman. Meskipun terjadi pergeseran-pergeseran makna pada mitos tersebut, namun tetap saja mitos ini masih memberikan nilai yang positif bagi setiap individu. Generasi baru di kota kalangan bisnis sedang mendekonstruksi aja dumeh yang memberi makna ‘tidak boleh maju’ dan ‘tidak boleh menonjolkan diri’. Ini merupakan hal yang menyebabkan aja dumeh menjadi tidak berterima karena menghambat kemajuan dalam masyarakat perkotaan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 3. Reformasi Kata reformasi menjadi bagian dari tradisi lisan baru meskipun memasuki kosa kata bahasa Indonesia melalui buku-buku Barat yang dibaca oleh para cendikiawan. Reformasi mempunyai denotasi ‘perubahan radikal untuk perbaikan di bidang sosial, politik, ekonomi, atau agama di suatu masyarakat atau negara’. Dalam sejarah politik kita, reformasi terjadi pada bulan Mei 1998 dimulai dengan jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto. Setelah itu, berbagai perubahan kebiasaan dan bahkan perubahan nilai terjadi. Reformasi menjadi kata yang frekuensi pemakaiannya sangat tinggi. Ia menjadi bagian dari tradisi lisan “baru” dan pegangan moral dan harapan hidup masyarakat Indonesia. Namun, berbagai peristiwa yang terjadi memperlihatkan bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik, hukum, dan sosial tidak dirasakan sebagai “perbaikan-perbaikan” oleh masyarakat awam. Reformasi akhirnya dewasa ini memperoleh konotasi ‘tindakan mengutuk Orde Baru’, ‘pergantian kekuasaan’, ‘perubahan kebijakan’, ‘boleh berbuat sesukanya’, ‘boleh mengkritik atasan, pemerintah, dan aparat’, serta ‘melakukan pembalasan terhadap pejabat dari zaman Orde Baru’. Perubahan serupa juga dijelaskan Kuntowijoyo dalam novel MPU. Perhatikan kutipan kutipan berikut. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan. Sejarah sudah berubah. Dulu orang mencoba melupakan bahwa secara politis kita tertindas. Sekarang orang berusaha bagaimana bisa bertahan hidup di masa krisis. Abu berpikir untuk mengubah MPU jadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan)...Orang Jawa harus cepat mengerti meski sedikit saja dikatakan, dengan isyarat pula...Yang berubah itu zamannya, bukan orangnya (MPU:214). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Melalui kutipan tersebut dapat dimengerti bahwa tokoh Abu Kasan Sapari tanggap akan perubahan yang sedang berlangsung di zamannya. Ketika terjadi perubahan situasi politik di daerahnya maka ia pun mengadakan perubahan dengan mengganti nama organisasi MPU (Masyarakat Penggemar Ular) yang dipimpinnya menjadi MPL (Masyarakat Penggemar Lingkungan). Menurutnya orang Jawa harus cepat tanggap terhadap perubahan meskipun perubahan itu berupa isyarat sekalipun. Artinya reformasi pun harus berlaku pada masyarakat Jawa. Reformasi (ekspresi) dimaknai Abu Kasan Sapari sebagai makna konotasi, yaitu ‘cepat tanggap’(isi) yang terealisasi melalui relasi perubahan zaman. Meskipun reformasi ‘lahir’ pada tahun 1998, namun telah lama terpendam di bawah permukaan kehidupan sosial politik bangsa kita. Reformasi sering berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan demokrasi yang juga mengalami pemaknaan konotatif ‘kebebasan’ dan ‘keberanian melawan kekuasaan’. Ia juga sering berpasangan dengan civil society yang juga telah memasuki tradisi lisan karena banyak dibicarakan orang san memeroleh konotasi ‘masyarakat yang tidak dikuasai militer’, ‘masyarakat yang dikuasai oleh sipil’, ‘sipil menguasai militer’, dan ‘militer hanya alat negara dan berada di bawah kekuasaan pemerintah sipil’. Meskipun baru beberapa tahun, kedua kata itu – yang lahir dari lahirnya reformasi – sudah berkembang menjadi mitos. Sejumlah cendikiawan berusaha melakukan pembongkaran semiologis dengan mengetengahkan makna Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sebenarnya, yakni denotasinya. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa upaya itu tidak – atau belum? – berhasil sejauh ini. Dekonstruksi atas mitos tersebut banyak dilakukan agar makna ‘perbaikan’ dan ‘sama rasa sama rata’ serta ‘kepatuhan terhadap etika dan hukum’ dapat menggantikan mitos buruk yang berkembang ke notasi salah kaprah itu. 4. Ramah Tamah Tradisi lisan mengenal kata ramah-tamah yang dilekatkan pada sifat bangsa Indonesia. Ia juga merupakan bagian dari tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan sudah menjadi mitos. Dalam diri orang Jawa, ramah tamah ini sudah merupakan suatu ‘kewajiban’ dalam berinteraksi dalam masyarakat. Seperti kutipan berikut ini. Maksud untuk sekadar menghabiskan waktu itu mengecewakan Zaitun. Mantri Pasar itu malahan menuduhnya. Hasil kunjungan ramah tamah yang istimewa (P:22). Kunjungan yang dikakukan Siti Zaitun pada Pak Mantri merupakan cerminan ramah tamah orang Jawa yang menjadi ciri khasnya. Lazimnya, sikap tersebut dimulai oleh orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua atau bawahan terhadap atasannya. Meskipun kadang-kadang sikap itu berpotensi untuk disambut dengan sikap sebaliknya, tetap saja sikap itu masih dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Ramah tamah sebagai ekspresi (expression) dimaknai Pak Mantri dengan ‘sikap berpura-pura’. Sikap berpura-pura ini merupakan makna konotasi yang juga isi (content) yang terealisasi melalui relasi sikap atau tindakan Siti Zaitun. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Khususnya setelah reformasi, terjadi banyak peristiwa yang membuat mitos ini menjadi luntur. Terlepas dari apa penyebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan sifat ramah tamahnya. Bentrokan antaragama, antarsuku, terjadi di berbagai bagian negeri kita. Tawuran sudah menjadi bagian dari tradisi lisan baru. Tawuran terjadi di kalangan pelajar dan bahkan mahasiswa. Dalam bertetangga kita masih melihat keramahtamahan sebagian bangsa kita. Akan tetapi, begitu seseorang berada dalam kemudi mobil atau motor, ia menjadi orang lain yang sama sekali tidak ramah tamah. Mitos bangsa yang ramah tamah menjadi pudar dan sedang berproses menjadi mitos baru; ‘bangsa yang suka berkelahi’. Perkembangan budaya masyarakat memperlihatkan ingroupness menjadi menonjol. Sikap ramah tamah terhadap bangsa asing juga pernah merupakan mitos dalam masyarakat kita. Mitos ini pun sudah memudar di berbagai tempat, kita mengamati terjadinya sikap tidak ramah terhadap kehadiran orang asing sehingga berpotensi merugikan peristiwa dan investasi asing. Mitos ini termasuk juga pudar karena berbagai peristiwa di tanah air yang tidak menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah tamah. 5. Mahasiswa Kekuatan Moral Mahasiswa kekuatan moral dan harapan bangsa merupakan bagian dari tradisi lisan dalam masyarakat. Ini bahkan menjadi mitos. Namun, pengamatan memperlihatkan bahwa mitos ini terancam pudar. Perilaku mahasiswa sudah banyak berubah dan sering terbawa oleh arus permainan politik. Banyak di antara mereka Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang sudah terkena kebiasaan menggunakan narkoba dan terlibat dalam tawuran hanya akibat persoalan sepele. Perhatikan tawuran antarkampus dan bahkan antarfakultas dalam suatu kampus yang masih selalu terjadi. Makna mitis ‘generasi penerus dan calon pemimpin’ sedang terancam berubah menjadi ‘lost generation’ yang tidak lagi mempunyai kekuatan moral dan tidak menjadi harapan bangsa. Menurut Hoed (2007:158) faktor di luar langage de culture de masse ‘bahasa kebudayaan massa’ dapat mengubah atau menggeser makna sebuah mitos. Faktor luar itu adalah kehidupan politik yang makin memberikan kemungkinan untuk melakukan banyak hal yang hampir tanpa batas. Di samping itu, kehidupan ekonomi yang mengacu pada individualisme dan cenderung mendorong berkembangnya hedonisme merupakan faktor luar yang mengubah makna mitos-mitos tersebut. Akan tetapi, dalam novel MPU mitos ini belum bergeser. Kuntowijoyo masih memegang mitos bahwa mahasiswa adalah kekuatan moral dan harapan bangsa. Hal itu tergambar melalui tokohnya, yakni Abu Kasan Sapari. Untuk jerih payah membuat uraian teoretik dan praktik mendalang Abu Kasan Sapari dinyatakan lulus. Sebenarnya, dia bisa cum laude, tapi tidak bisa karena tahun kuliah sudah melonjak...Hari wisuda datang. Orang tua Abu datang berdua. Setelah upacara selesai, seorang tukang foto mendekat dan mengambil gambar mereka di depan sekolah Tinggi (MPU:222-223). Melalui kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang mahasiswa tetap memiliki kelebihan yang khusus dibanding pemuda biasa yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Predikat cum laude masih menjadi kebanggaan seorang mahasiswa dalam menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ekspresi (expression) mahasiswa Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sebagai kekuatan moral masih dipegang teguh oleh Abu Kasan Sapari sebagai makna denotasi (content) dengan relasi perilaku mahasiswa. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa mitologi Jawa dalam novelnovel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokoh-tokohnya, antara lain Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin. Mitologi tersebut terwujud melalui serangkaian upacara tradisi dan ritual-ritual khusus yang terangkum pada sikap kosmologis dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi dalam kehidupan masyarakat Jawa (bangsa Indonesia) seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan pola hidup masyarakat dewasa ini menyebabkan perubahan makna mitos yang lama menjadi mitos-mitos masa kini. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB VI FILSAFAT JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO Filsafat Jawa menekankan pentingnya kesempurnaan hidup. Manusia berpikir dan merenungi dirinya dalam rangka menemukan integritas dirinya dalam kaitannya dengan Tuhan. Dimensi ini adalah karakteristik yang dominan dan tidak dapat dilepaskan dengan kecenderungan hidup manusia Jawa. Pemikiran-pemikiran manusia Jawa merupakan suatu usaha untuk mencapai kesempurnaan hidup. Oleh karena itu, intuisi memegang peranan penting. Pada prinsipnya antara pemikiran Barat dan Jawa itu memiliki tujuan yang sama, yaitu mengenal diri. Namun, cara pencapaian dan pengembangannya berbeda. Di samping pandangan tentang hubungan antara manusia dan alam serta manusia dan Tuhan juga berbeda. Perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani ‘philosophia’ yang berarti cinta kebijaksanaan (the love of wisdom). Bagi filsafat Jawa pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan. Filsafat Jawa tidak mempertanyakan apakah manusia dan apakah Tuhan? Eksistensi manusia diasumsikan sebagai kenyataan. Dari kenyataan itu dipertanyakan darimana asalnya dan kemana tujuan akhirnya. Adapun perumusan ketiga bidang filsafat Jawa tersebut adalah metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Akan dijelaskan sebagai berikut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 6.1 Metafisika Ungkapan tentang ada (Ada semesta, Alam semesta), Tuhan, dan manusia, dapat dianggap sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Hasil pemikiran itu dinyatakan berupa penuturan dengan kata (verbal) dan tersusun secara sistematis, maka disebut sebagai filsafat dalam arti sempit. Ciri- ciri dasarnya adalah: (1) Tuhan adalah ada Semesta atau Ada Mutlak; (2) Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan; dan (3) Alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan, yang biasanya disebut makrokosmos dan mikrokosmos (Ciptoprawiro, 2000:22). Pemikiran filsafat bertitik tolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan pancaindra. Bukan dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan darimana dan kemana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran: - sangkan paraning dumadi: awal-akhir alam semesta - sangkan paraning manungsa: awal-akhir manusia - dumadining manungsa: penciptaan manusia Pencarian manusia akan berakhir dengan wikan, weruh, atau mengerti sangkan paran. Filsafat Jawa sepanjang masa tetap berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan Sangkan Paraning Dumadi dan Manungsa, artinya Awal berarti berasal dari Tuhan dan Akhir berarti kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali pada asalnya atau Tuhan dilakukan dengan baik, baik jasmani maupun rohani atau Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 jalan lahir dan jalan batin. Jalan batin ini umumnya didapatkan pula pada kehidupan budaya bangsa lain dan biasanya disebut mistik atau mistisisme. Penggambaran Tuhan, manusia, dan alam semesta dapat dirinci secara metafisik, sebagai berikut. a. Tuhan Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun (dat kang tan kena kinayangapa), dekat namun tidak bersentuhan (cedhak tanpa senggolan), dan jauh tetapi tidak ada batasan (adoh tanpa wangenan). Rumusan Barat: ImanenTransenden. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya menggambarkan sifat-Nya, seperti sang Hyang Taya (tiada), Wenang, Tunggal, dsb. Tuhan mengibaratkan jiwa yang mati jadi hidup berkat siraman agama, seperti hujan yang turun dari langit dan membuat pohon-pohon di bumi menggeliat. Kalimat thayibah digambarkan seperti pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan cabang-cabangnya menggapai langit. Juga disebutkan dalam agama langit berlapis tujuh, ada yang menghubungkannya dengan jumlah planet, ada yang menghubungkannya dengan perbedaan tekanan udara (MPU:36). Pengakuan akan kekuasaan Tuhan dalam novel-novel Kuntowijoyo ini terlihat melalui pengakuan agama yang dianut tokoh-tokohnya. Agama menjadi sarana mendekatkan diri pada Sang Pencipta tersebut. Meskipun kadang-kadang agama yang dianutnya bercampur dengan budaya Jawa yang berasal dari agama Hindu. b. Manusia Manusia digambarkan atas dua unsur, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani meliputi pancaindra, sedangkan rohani meliputi nafsu, kemampuan cipta, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 rasa, dan karsa. Penggambaran manusia secara khusus dijelaskan Kuntowijoyo dalam novel MPU berikut. Manusia. Ketika selesai menciptakan manusia yang bernama Adam, Tuhan memerintahkan malaikat untuk menghormat dengan bersujud. Ah, alangkah mulianya manusia! Tapi iblis membantah perintah Tuhan itu. Katanya: “Bagaimana mungkin kami menghormatnya, dia engkau jadikan dari tanah, sedangkan kami dari api?” Ada orang yang tak bisa mempertahankan kemuliaan itu, lalu jadi leletheking jagad. Bahwa manusia dibuat dari tanah itu betul...Manusia memang makhluk istimewa. Waktu masih bayi ia lemah, tapi waktu sudah dewasa ia kuat bukan main, penuh kemungkinan (MPU:38). Eksistensi manusia di dunia dibekali Tuhan atas tiga komponen pokok yang memberinya ciri khas sebagai makhluk yang paling sempurna di atas permukaan bumi, yaitu akal pikiran, perasaan, dan kemauan. Dalam bahasa Jawa diistilahkan dengan cipta, rasa, dan karsa. Berkat cipta-rasa-karsanya itu manusia mampu hidup mandiri dan menentukan pola hidup sesuai dengan kepribadiannya. Pola hidup melahirkan tiga perilaku manusia yang didasarkan atas kesadaran paling dalam, dalam dirinya, yaitu pandangan hidup, sikap hidup, dan patrap hidup. Orang hanya melihat sosok manusia Jawa dari aspek ‘patrap hidupnya’ belaka terlepas dari kesatuan kaitannya dengan ‘pandangan hidup’ dan ‘sikap hidupnya’. Manusia-manusia Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo ini pun memiliki sikap serupa, mereka masih memegang tiga ciri khas manusia tersebut yang diakui sebagai kelebihan yang diberikan Tuhan pada masyarakat Jawa. Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin merupakan cerminan masyarakat Jawa yang mengemban tugas sebagai manusia Jawa seutuhnya dalam novel-novel Kuntowijoyo tersebut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 c. Alam semesta (Dunia) Penuturan tentang penciptaan dunia (kosmogoni) dan gambaran dunia (kosmologi) beraneka ragam dengan bentuk unsur-unsur budaya Hindu, Budha, dan Islam. Yang sangat menonjol adalah susunan hierarki (hierarchical order) di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut. Alam...Tuhan memanjakan alam. Surat-surat dalam Al-Quran kebanyakan merujuk ke alam. Alam adalah hasil karya-Nya. Ia berkata “kun fayakun” maka jadilah alam ini. Tidak ada satu surat pun dari 114 surat dalam Al-Quran yang merujuk ke teknologi, misalnya “demi sepeda motor”. Kata dosen filsafat saya, manusia mempunyai peradaban justru karena berjuang menundukkan alam. Saya pikir “menundukkan” itu langkah yang salah. Itu semacam kesombongan, arogansi manusia. Yang benar ialah manusia harus berdamai dengan alam. Sebelum ada sekolahan, manusia berguru pada alam...Jadi alam itu bukan hanya obyek ilmu, tapi juga obyek seni. Orang dapat mencari ilmu di bulan. Tapi para penyair, pelukis, dan pemusik yang melukiskan bulan harus dianggap sebagai mengagungkan Nama Tuhan (MPU:31-32). Dapat dipahami mengapa Abu Kasan Sapari begitu mengagungkan keberadaan alam berikut isinya. Alam diyakini masyarakat Jawa sebagai pusat dari kosmologi yang mengatur kehidupan makhluknya. Jika manusia dapat bersahabat dengan alam maka kehidupan yang harmonis dapat tercipta dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa alam pikir filsafat Jawa selalu bermuara pada titik akhir, yakni Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang disebut Sangkan Paraning Dumadi. Tuhan tidak pernah menjadi persoalan, asumsi dasarnya bahwa Tuhan ada. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia harus menunjukkan citra harmonis. Sementara itu, kesempurnaan manusia akan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 terwujud bilamana telah melepaskan diri dari ke-akuan-nya dan tidak terbelenggu dengan dunia yang kasar. 6.2 Epistemologi Epistemologi mempelajari proses untuk memeroleh pengetahuan (knowledge). Ada dua jalan atau metode untuk memeroleh pengetahuan dengan mempergunakan kodrat kemampuan manusia, yaitu penalaran, akal, rasio, abstraksi (Aristoteles) dan intuisi (Plato). Epistemologi Jawa adalah bagaimana mencapai tahap ekstase sehingga diperoleh tahap “widya”. Rumusan ini terdiri atas empat tahapan yang dikenal dengan catur sembah (sembah empat) yaitu, sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Akan dijelaskan sebagai berikut. a. Sembah Raga Sembah raga tampak pada perbuatan lahir. Dalam mencapai kebenaran mutlak atau kenyataan diawali dengan mengusahakan dengan jalan yang wajar dan rasional. Langkah pertama adalah menguasai ilmu dasar (syariat), langkah selanjutnya menjalankan apa saja yang telah diperintahkan dalam ilmu syariat itu tanpa mempertanyakan mengapa harus demikian. Perhatikan kutipan berikut. Orang-orang di surau kehilangan Wasripin. Pak Modin yang memimpin sembahyang menanti-nantinya...Wasripin yang tidur di emperan surau itu ternyata telah menjadi bagian dari mereka. Di surau mereka masih berkumpul lama setelah sembahyang selesai (WdS:20). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Melalui kutipan tersebut tergambar keadaan masyarakat tempat tinggal Wasripin. Mereka masih melaksanakan syariat Islam dengan melaksanakan solat secara berjamaah. Sembah raga itu terwujud dalam bentuk kepatuhan untuk menjalankan secara tertib dan kontiniu syariat itu, yang mengandung maksud untuk melatih segi jasmani manusia. Artinya, bahwa manusia dibiasakan menjaga kebersihan jasmani, dan latihan dasar untuk mengendalikan hawa nafsu. Apabila sembah raga ini dijalankan dengan tekun, tertib, dan teratur maka akan mengantarkan pada langkah sembah berikutnya. b. Sembah Cipta Sembah cipta merupakan tataran kedua dari sembah empat. Untuk mencapai pengetahuan yang sesungguhnya, sembah cipta atau sering disebut sembah kalbu adalah paduan antara sembah raga dengan ditambahkan dengan proses konsentrasi, dengan mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, mengekang hawa nafsu, dan bertindak serta berkata-kata dengan waspada. Mencurahkan konsentrasinya untuk mengingat Tuhan. Sembah cipta ini pun terlihat dalam novel WdS yang juga terpusat pada tokoh Wasripin. Emak angkat Wasripin sekaligus sebagai induk semangnya mengajarkan tentang pentingnya tataran sembah cipta dalam kehidupan manusia. Apabila sembah cipta ini dilakukan seseorang, maka hal itu merupakan salah satu wujud berterima kasih kepada Allah. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Wasripin melangkah pasti. Makan dan tidur tidak jadi persoalan. Ia tahu tempat yang murah untuk makan, ia bisa tidur di mana saja. Ia bisa mandi dan berak di sungai. Induk semangnya mengajari untuk tidak mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang. Tentang kekayaan, kata emak angkatnya, ‘’Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” dan ‘’Tentang rezeki jangan lihat ke atas, lihatlah ke bawah. Katakan pada dirimu bahwa kau beruntung. Begitulah cara berterima kasih pada Gusti Allah (WdS:6-7). Melalui kutipan itu terlihat bahwa pengekangan hawa nafsu untuk tidak mencuri, menipu, memperkosa, mengemis, dan menyakiti orang merupakan peraturan yang tertuang pada tingkatan sembah cipta. c. Sembah Jiwa Adapun sembah jiwa itu merupakan yang sebenarnya dipersembahkan kepada Tuhan, yakni dengan jalan selalu memelihara kehidupan rohani, selalu waspada dalam perbuatan, selalu ingat dengan hari kemudian (akhirat), sehingga semakin bertambah rasa “pasrah” berserah diri (sumarah) kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Jiwa yang berpandangan menyeluruh, bahwa kehidupan dunia masih berkelanjutan dengan kehidupan yang akan datang dan menyesuaikan diri dalam perbuatan, itulah jiwa yang dimaksud dengan sembah jiwa. Jiwa yang berpandangan seperti itu senantiasa akan terjaga kesuciannya karena akan ingat setiap saat pada kekuasaan Tuhan. Pada novel MPU sembah jiwa ini terpusat pada tokoh Abu Kasan Sapari. Praktik sembah jiwa ini diwujudkan Abu Kasan dalam menjaga lingkungan. Pelestarian alam perlu dilakukan dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Dalam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hal ini, Abu Kasan menjadikan ular sebagai simbol lingkungan yang senantiasa harus dijaga kelestariannya. Seperti sulap, rupanya berita tentang ular dan pelestarian lingkungan itu telah sampai di Jakarta. Akibatnya, peringatan Hari Lingkungan akan dipusatkan di Kemuning...Pada waktu itu akan berkumpul para pemenang (I, II, dan III) lomba Darling (Sadar Lingkungan) dari tiga propinsi, yaitu pabrik-pabrik yang mengelola limbah dengan baik (MPU:58). Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa Abu Kasan Sapari melakukan perbuatan yang memelihara kelestarian alam demi kelangsungan hidup manusia di dunia. d. Sembah Rasa Di dalam sembah rasa ini, tidak lagi kegiatan ritual yang menjadi titik pusat aktivitas melainkan semua gerak anggota badan, semua langkah kaki, semua kegiatan hidup, serasa mendapat rasa “pasrah” (berserah diri) dalam menunaikan kewajiban, tidak lagi was-was dan ragu-ragu serta penuh harap bahwa perbuatan itu diperuntukkan untuk kedamaian hidup. Di dalam novel P, Pak Mantri adalah tokoh yang mampu mencapai tingkatan terakhir pada sembah empat ini. Dia benar-benar memahami dan mempraktikkan tujuan akhir kehidupan manusia dengan berusaha terus-menerus memperbaiki setiap kesalahan yang dilakukannya. Perhatikan kutipan berikut. Hidup kita pusatnya di sini, Pak Mantri menunjuk jantungnya. Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 peredaran darahmu...Rasa selalu terjaga. Ia adalah milik kita yang abadi. Bahkan ia akan kita bawa sesudah mati (P:116-117). Melalui rasa hidup menjadi lebih bersemangat, perasaan menjadi halus, dan rohani menjadi bersih. Keadaan rohani itu memancar keluar sebagai suatu pribadi yang berwibawa. Dari keempat sembah itu dapat dipahami bahwa untuk mencapai pengetahuan yang sungguh tentang Tuhan memerlukan tahap-tahap. Puncak pengetahuan adalah terbukanya tabir kenyataan ‘ada’ sehingga manusia dapat menghayati hidupnya dengan ringan, yakni dengan penuh ketentraman dan kebahagiaan. Dimensi arti pragmatis inilah yang menjadi ke-khas-an epistemologi Jawa. Tataran sembah empat ini pun diamalkan Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin dalam kehidupannya. Terbukti, pada akhirnya mereka benar-benar mampu melepaskan segala nafsu duniawi dan menyatu dengan Yang Illahi dengan menjadi manusia panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Inilah yang dituju manusia dalam filsafat sangkan paraning dumadi, baik awal dan akhirnya. Mereka terlahir sebagai bayi yang suci dan berakhir (meninggal) dalam keadaan yang baik pula. 6.3 Aksiologi a. Estetika Estetika (keindahan) pada zaman Jawa-Hindu selalu dianggap sebagai pengejawantahan dari yang Mutlak. Oleh karena itu, semua keindahan adalah satu. Sementara itu, pada zaman Jawa-Islam, dalam kesusastraan Suluk diperpadat seluruh Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 20 sifat dan nama-nama indah (asma’ul husna) Allah menjadi 4 sifat, yaitu keindahan dikategorikan menjadi: 1. Agung (jalal) 2. Elok (jamal, indah) 3. Wisesa (kahar, kuasa) 4. Sempurna (kamal) Novel Kuntowijoyo ini pun berpijak pada filosofi, tradisi, dan budaya Jawa, khususnya ditonjolkan melalui seni pewayangan. Seperti halnya wayang, Kuntowijoyo dalam novel MPU ini berperan sebagai dalang. Sebagai dalang, ia tampak begitu bebas bercerita, termasuk ketika memasukkan unsur nyanyian dan “goro-goro” dalam novelnya. Bagaimana lakon, wayang dimainkan Abu Kasan Sapari dengan geguritan atau sajak-sajak cinta untuk Lastri, renungan-renungan Abu Kasan Sapari tentang alam dan lingkungan, digambarkan dengan penuh keindahan. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang maka harus dituturkan dengan bahasa sederhana, lugas, dan santai. (Abu Kasan Sapari menulis geguritan – puisi bebas bahasa Jawa – dalam tahanan Mapolres. Sebagai tampak dalam puisi ini ia tambah-tambah jatuh cintanya pada Lastri, dapat dikatakan mabuk kepayang. Kumpulan sajak itu akan dijilidnya dengan sampul merah jambu dan diberinya nama Geguritan Asmaradana. Akan diserahkan pada Lastri ketika tiba waktunya...Terjemahan kata demi kata tidak selancar aslinya, tetapi biarlah demikian. Aneh, tidak ada bau sel tahanan, dendam politik, dan tipu-daya Randu (MPU:163). ... Beberapa hari Abu menatah wayang. Kali ini Limbuk, istri Petruk, dan Cangik, biyung alias ibu Limbuk. Setelah jadi, sehabis Isya’ ia memegang wayang-wayang itu di tangannya. Disandarkannya wayang-wayang di dinding tembok kotangan. Cangik adalah suara Abu, sedangkan Limbuk suara Lastri (MPU:224). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Di dasari atas empat sifat Allah itu, Abu Kasan menjelaskan seni sebagai sesuatu yang penting dalam rangka menjaga keselarasan hubungan makhluk di dunia, termasuk dalam urusan percintaan. b. Etika Etika (kesusilaan) mempermasalahkan adanya baik buruk (good-evil) yang memengaruhi perilaku manusia yang juga berhubungan dengan adanya Tuhan (Theodice). Dalam filsafat Jawa, baik buruk dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma dalam empat sifat nafsu, yaitu mutmainnah, amarah, lawwamah, dan supiah. Keinginan baik (mutmainnah) akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk (amarah, lawwamah, supiah) untuk menjelmakan perilaku manusia. Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, yang menjelmakan sifat Illahi dengan mencapai “manunggaling kawula gusti”, maka pertentangan baik buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran yang disebut juga kedewasaan jiwa manusia atau manusia yang bijaksana. Bagaimana konsep-konsep Islam ini masuk ke dalam novel ini melalui suara Pak Mantri, perhatikan kutipan berikut. “Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah, ialah hak membuatmu angkara, mendorong ke perbuatan jahat. Nafsu lawamah, ialah memberi pertimbangan, berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah ialah yang menuntunmu pada kebaikan. Orang yang sempurna ialah orang yang menguasai nafsu amarahnya, menuruti pertimbangan baik dari nafsu lawamah. Kita mesti mempunyai nafsu mutmainah. Dan manusia sempurna ialah manusia sejati, ialah nafsu mutmainah, ialah insan kamil, ialah cahaya sebesar lidi yang memancar di tengah angkasa (P:223). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Pengetahuan sebagaimana digambarkan di atas, akhirnya betul-betul diwujudkan Pak Mantri. Pengetahuan, keyakinan, dan penghayatan ke-Jawa-annya mampu menuntun merealisasikan konsep nafsu sebagaimana dikutip di atas. Dengan kemampuan merasakan rasa, mawas diri, dan menguasai ketiga nafsu itu, Pak Mantri legowo menyerahkan jabatan kepala pasar kepada Paijo. Novel Kuntowijoyo ini menghadapkan berbagai etika dan nilai yang berkembang di sebuah masyarakat yang perlahan tapi pasti mengalami perubahan. Sosok kepala pasar yang di satu sisi merupakan agen pemerintah dan di sisi lain berurusan langsung dengan masyarakat merupakan titik pusat pergulatan nilai-nilai. Pergulatan itu semakin intansif manakala kepala pasar berhadapan dengan profesionalitas kerja modern (bank), progresivitas kalangan swasta (Kasan Ngali), dan tuntutan masyarakat. Sosok kepala pasar yang berada dalam lingkaran “suksesi” yang berjalan damai dan menimbulkan keharmonisan di semua elemen masyarakat. Di tangan Paijo-lah pasar akan berdenyut meningkahi gerak zaman kehidupan alam modern. Paijo jelas orang Jawa, tetapi Jawa yang sudah kompleks dan karena itu Jawa yang menerima dan mengkritisi perubahan zaman. Jika orang Jawa tidak siap menerima dan mentransformasikan Jawa ke dalam gerak perubahan kehidupan sekarang, jika tidak ada yang konsen “memelihara” Jawa dalam konteks transformasi, bukan tidak mungkin manusia dan budaya Jawa, juga manusia dan budaya etnik lain di negeri ini, akan lenyap terbawa arus zaman yang digerakkan manusia dan kebudayaan yang berkuasa. Itu sebabnya Kuntowijoyo menutup novel ini dengan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dialog Pak Mantri dan Paijo yang merupakan perpaduan nada getir, bangga, berharap, bahkan bercanda. “Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak.” Mereka berjalan lagi. “Yang mementingkan budi, lebih daripada ini.”Pak Mantri menggeserkan empu jarinya dengan telunjuk, “Yang mementingkan martabat lebih dari pangkat.” (P:270). Dengan demikian, kesusilaan tidak terlepas dari perilaku dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang akan menentukan laku susilanya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan watak-watak pendeta, pandita ratu, satria, dituyaksa, dan cendala. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaktu hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahir. Jadi, ada pengakuan tentang innate ideas dalam hal watak dan bakat, yang tampak dalam ungkapan “kacang ora ninggalno lanjaran”. Dari pandangan inilah kemudian terbentuknya adanya perbedaan ungkapan antara budaya wong cilik dan priayi. Demikianlah gambaran bagi orang yang tidak mengenal kenyataan “ada” dengan tidak menjalankan atau mencari pengetahuan, maka dari segi etikanya orang akan memiliki budi pekerti rendah. Dengan demikian, berfilsafat dalam arti luas dalam kebudayaan Jawa berarti ngudi kasampurnaan. Manusia mencurahkan seluruh eksistensinya, baik jasmani maupun rohani, untuk mencapai tujuan itu. Usaha itu merupakan satu kesatuan, kebulatan. Jadi, jelaslah bahwa antara metafisika, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat Jawa masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Ketiga bidang itu merupakan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan. Dapatlah dirumuskan, dengan memakai analogi filosofi Yunani, filsafat Jawa berarti cinta kesempurnaan (the love of perfection). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB VII REPRESENTASI NILAI BUDAYA JAWA DALAM NOVEL-NOVEL KUNTOWIJOYO 7.1 Nilai Budaya Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo Honigmann dalam Koentjaraningrat (2002:186), membedakan tiga kebudayaan atas tiga wujud, yaitu : (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai norma-norma, peraturan, dsb.; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat ; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka melalui tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis. Sekarang kebudayaan ideal juga banyak tersimpan dalam disk, arsip koleksi microfilm dan microfish, kartu komputer, silinder, dan pita komputer. Ide-ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan-gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain, melainkan selalu berkaitan, menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut sistem ini sistem budaya (cultural system). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dalam bahasa Indonesia terdapat juga istilah lain yang tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini yaitu adat, atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya. Wujud kedua dari kebudayaan yang disebut sistem sosial atau social system, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul, satu dengan lain dari waktu ke waktu selalu menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat konkret terjadi di sekeliling kita seharihari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Wujud ini tidak memerlukan banyak penjelasan karena berupa seluruh total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret karena berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Ketiga wujud dari kebudayaan yang terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga memengaruhi pula pola-pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Semua unsur kebudayaan dapat dipandang dari sudut ketiga wujud masingmasing tadi. Seperti apa yang telah tersebut di atas dalam rangka tiap kebudayaan, adat-istiadat itu secara khusus terdiri dari nilai-nilai budaya, pandangan hidup, dan cita-cita norma-norma dan hukum, pengetahuan dan keyakinan. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsepkonsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu sangat bersifat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya. Menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2002:191), tiap sistem nilai budaya dalam kebudayaan itu terdapat lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Kelima masalah dasar tersebut digambarkan dengan jelas dalam novel-novel Kuntowijoyo sebagai berikut. 7.1.1 Hubungan Manusia dengan Tuhan Pada umumnya orang Jawa tidak banyak meminati tindakan-tindakan religius intensif seperi mencintai Allah, memuji-Nya, dan mempersembahkan diri kepadaNya. Mereka jarang menganggap diri sebagai hamba yang tidak pantas di hadapan Allah atau pantas dikutuk. Kata dosa dalam kesadaran religius Jawa – sejauh tidak ditanamkan di dalamnya agama Islam atau agama Kristiani – tidak tampak memainkan peranan penting. Begitu pula kehidupan sesudah kematian, juga tidak menimbulkan banyak perhatian (yang penting hanyalah kewajiban mereka yang masih hidup untuk menjamin penguburan sesuai dengan adat kebiasaan agar tidak menimbulkan kemarahan arwahnya). Hubungan orang Jawa dengan Allah bersifat tenang. Kesadaran akan Yang Ilahi lebih merupakan semacam latar belakang yang hanya dieksplisitkan apabila ada alasan-alasan khusus. Sebelum peristiwa-peristiwa kehidupan penting atau dalam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 keadaan terdesak diucapkan doa-doa, barangkali dengan berziarah ke tempat keramat atau naik ke Gunung Merapi untuk berdoa dan menawarkan sesajen. Kecuali itu, perhatian orang Jawa diarahkan pada kehidupan sehari-hari. Pada akhir abad XVIII hampir seluruh Pulau Jawa secara resmi beragama Islam, tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda. Pusat Islam yang paling sadar adalah kota-kota di pesisir utara. Di situlah titik berat kebudayaan santri. Juga dalam semua kota di pedalaman Jawa terdapat kampung-kampung santri. Kebudayaan santri itu berhadapan dengan kebudayaan keraton dan pedalaman Jawa. Walaupun, keratonkeraton secara resmi memeluk agama Islam, namun tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol. Keraton menjadi pusat kebudayaan Jawa klasik dengan tari-tarian dan pertunjukan wayang, dengan gamelan dan dengan suatu ritual keagamaan yang memang diadakan pada hari-hari besar Islam, tetapi yang isinya berasal dari zaman Hindu-Jawa. Agama Islam dianggap sebagai salah satu persiapan untuk memperoleh kesatuan dengan Illahi, dan apabila kesatuan itu telah tercapai bentuk persiapan itu dianggap tidak begitu penting lagi. Di keraton-keraton, khususnya di Surakarta berkembanglah kesusastraan mistik yang sangat dipengaruhi oleh mistik Islam, namun pada hakikatnya bersifat heterodoks. Potret gambaran tentang perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan sampai meninggal dunia, diilustrasikan secara apik oleh leluhur Jawa dalam macapat; yakni dari tembang Mijil sampai Pucung. Bahkan, para pujangga bukan sekadar memotret fase-fase penting dalam perjalanan hidup manusia, tetapi juga memberikan solusi atau Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 jalan keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi; baik mengenai makna, hikmah serta penyikapannya (solusi) yang semuanya dikemas secara simbolik (metafor). Refleksi perjalanan manusia dalam novel-novel Kuntowijoyo yang terekam dalam macapat tersebut, yakni sebagai berikut. 1. Mijil Mijil berarti keluar atau lahir, bayi yang baru lahir dari gua garba (rahim ibu). Bayi yang baru saja dilahirkan, tentu dalam keadaan fitrah, suci, atau murni dan tanpa dosa; ibaratnya seperti kertas putih. Pada dasarnya usia 0-15 tahun, seorang anak memiliki kecenderungan pada boneka (doll). Pengertian boneka di sini, yakni mainan; segala sesuatu yang bersifat materi. Dalam tuntunan agama Islam, Allah SWT ─ sebagaimana dinyatakan dalam Alqur’an ─ telah menyatakan bahwa bayi yang fitrah; apakah ia akan beragama Islam, Nasrani, atau Yahudi maka orang tua yang bertanggungjawab sebab mereka yang mendidik anaknya sejak lahir. Di sinilah peran penting orang tua dalam mengasuh anaknya. Secara sederhana, kewajiban orang tua dalam mengasuh anak, antara lain sebagai berikut. a. Memberikan nama yang baik kepada anaknya. Nama yang baik tadi merupakan doa dan harapan orang tua sehingga si anak kelak setelah dewasa menjadi orang, sesuai harapan orang tuanya. b. Memberikan kebutuhan si anak, baik menyangkut sandang, pangan, dan papan (tempat tinggal) sehingga terjalin suasana yang baik dalam keluarganya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 c. Memberikan pengajaran, pendidikan, atau menyekolahkan dalam rangka menuntut ilmu. Kebutuhan yang azasi bagi seorang manusia adalah menuntut ilmu. Itulah yang terdeteksi dari proses perjalanan nabi Adam as, saat mendapatkan pengajaran yang baik oleh Allah SWT ketika berada di surga. d. Dalam ajaran Islam, Rasulullah SAW pernah menganjurkan agar orang tua memberikan tiga pelatihan kepada anak-anaknya; 1) melatihnya memanah dengan anak panah; 2) melatih berenang; dan 3) melatih menunggang kuda. e. Dari kelahiran si jabang bayi sebagai ungkapan syukur, diharapkan orang tuanya menyembelih kambing yang diniatkan untuk aqiqah ─ dimaksudkan sebagai ‘penebusan’ hawa nafsu si bayi yang telah tergadaikan ─ yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin atau tetangganya. f. Setelah besar atau kira-kira berusia 7-12 tahun, si anak (laki-laki) dikhitankan. Dalam persfektif kejawen, khitan tadi diistilahkan sebagai ‘mengislamkan’ si anak. g. Orang tua diharapkan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya dengan melindungi, menjaga, dan merawatnya dengan baik. h. Orang tua diharapkan bisa mendidik anak-anaknya secara baik, yakni dengan konsep pengajaran Jawa, yakni dengan mulat (mengetahui), milolo (mendorong), miluta (membimbing), palidarma (memaafkan kepada anakanak). Tradisi macapat ini muncul pada masa Jawa-Islam yang dibawa oleh walisongo saat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Tembang ini diyakini dapat Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 berpengaruh baik pada kehidupan seorang anak yang baru lahir. Macapat ini dinyanyikan dengan iringan gamelan yang bertujuan untuk mendoakan si anak agar menjadi orang yang berguna kelak. Perhatikan kutipan berikut. Pada hari kelima, diadakan sepasaran dengan mengundang macapatan dan gamelan sederhana. Dengan bangga kakek itu mengumumkan bahwa cucunya diberi nama Abu Kasan Sapari. Abu diambil dari nama sahabat Nabi Abu Bakar, Kasan adalah nama cucu Nabi, dan Sapar adalah bulan perkawinan kedua orang tuanya. Diharapkannya bahwa nama itu ada pengaruhnya pada jabang bayi yang baru lahir. Kemudian dengan suara serak seseorang tua melagukan Dandanggula, peninggalan Sunan Kalijaga yang berisi doa keselamatan: Ana kidung rumeksa ing wengi (Ada nyanyian menjaga malam teguh ayu luputa ing lara aman sentosa tidak terkena penyakit kalisa bilai kabeh luput dari semua penderitaan jim setan datan purun jin dan setan tidak mau mengganggu paneluhan tan ana wani santet tidak berani mendekat miwah panggawe ala dan semua perbuatan jahat gunaning wong luput guna-guna dari orang salah agni atemahan tirta api menjadi air maling adoh tan ana ngarah mring mami pencuri jauh tidak menuju saya tuju dudu pan sirna maksud jahat akan musnah) Pembacaan macapat itu ditutup dengan kenduri dan doa yang dipimpin oleh modin desa (MPU:2-3). Mijil atau lahir, secara maknawi bisa saja dikontekstualkan sebagai lahirnya gagasan, ide, intuisi batin atau semacam uneg-uneg dan sebagainya. Bahkan, dalam kepribadian pun seseorang bisa ‘dilahirkan’ kembali setelah hijrah dari kegelapan menuju terang-benderang. Begitu pula dengan ‘kelahiran baru’, ‘semangat baru’, ‘motivasi baru’, ‘rencana baru’ dan seterusnya. Seorang tokoh sufi besar, Imam Hasan al-Bashri saat berumur 70 tahun pernah merefleksikan kesuksesan Simeon ketika meninggal dunia pada usia 70 tahun Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 setelah bersyahadat (membaca syahadat). Padahal sebelumnya Simeon selama 70 tahun adalah seorang penyembah api (beragama Majusi). Peristiwa di atas mengisyaratkan bahwa meski usia Simeon telah 70 tahun tetapi sebenarnya ia baru saja mengalami proses ‘kelahirannya kembali’ setelah membaca syahadat dengan meninggalkan keyakinan yang telah digelutinya selama 70 tahun. 2. Asmarandana Asmarandana artinya fase atau masa di mana seseorang telah berhubungan dengan asmara atau cinta terhadap lawan jenis. Begitulah tema tentang cinta atau percintaan antara laki-laki dan perempuan merupakan ‘tema abadi’ dari zaman Nabi Adam hingga kiamat. Tema tentang cinta dianggap oleh banyak orang merupakn peristiwa manusia dari bagian hidup yang teramat penting (dari tiga hal penting; yakni, kelahiran, perkawinan, dan kematian). Orang yang terlibat cinta misalnya seorang lelaki yang mencintai seorang perempuan cantik, bisa menimbulkan semangat dan gairah hidup. Sebaliknya, orang yang mengalami kegagalan cinta bisa mengalami patah hati, frustasi hingga tega melakukan bunuh diri, sebagaimana yang terekspresikan dalam kisah cinta Romeo dan Juliet. Pada fase ini, biasanya usia belasan tahun (17 tahun), seseorang sudah mengenal cinta pertama alias ‘cinta monyet’. Tentu, ini masih berada dalam tahap yang masih awal dalam fase percintaan yang sesungguhnya (cinta sejati). Setelah berusia 25 tahun bagi laki-laki dan 22 tahun bagi perempuan, biasanya mereka telah mulai matang (dewasa) yang sebenarnya untuk memasuki masa perkawinan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Purwadi dalam Susetya (2007:11) menyatakan masalah percintaan (asmara) yang disalurkan sesuai dengan moral agama akan membuahkan sesuatu yang baik, menyelamatkan, kehormatan, kemuliaan, dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika seseorang bermain-main dalam urusan percintaan, maka akan menyebabkan problem solving dalam urusan sosial kemasyarakatan. Dalam budaya Jawa sering diungkapkan ‘witing tresna jalaran suka kulina’ (cinta bisa tumbuh dan berkembang karena kebiasaan). Artinya, dalam pergaulan atau persahabatan antara pria dan wanita yang pada awalnya tidak memikirkan masalah percintaan, namun lama-kelamaan akan bisa menumbuhkan cinta di antara mereka; lantaran kulina (kebiasaan sehari-hari). Mungkin kebiasaan karena seringnya bertemu satu dengan lainnya. Bisa saja karena terjadi interaksi dengan saling membantu di antara mereka, atau karena sama-sama bekerja di instansi yang sama, sehingga sering bertemu dan bertegur-sapa, hingga lahirlah cinta dari lubuk hatinya. Namun, dalam Islam sama sekali tidak mengenal istilah pacaran karena bukan muhrim-nya, antara laki-laki dan perempuan dilarang saling pandang, bergaul secara bebas, duduk dan bepergian berduaan, dst. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan sebab betapa banyaknya lakilaki atau perempuan telah terseret arus pergaulan bebas. Pada novel MPU, Abu Kasan banyak membuat geguritan asmaradana untuk kekasihnya Lastri. Salah satunya dapat dilihat pada kutipan berikut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Di Rumpun Bambu Burung Kecil Pada suatu kali dalam perjalanan Di suatu rumpun bambu kutemukan Sebuah sarang dan di dalamnya Seekor burung kecil yang manis Burung kecilku yang manis Senyum di wajahnya Menyambut pengembara Lagu didendangkan Aku pun berhenti ... Cinta pengembara yang gairah Cinta pengembara yang gelisah Burung kecilku yang manis Katakan cintamu padaku Cintamu air bening sahara Cintamu penghapus duka .... (MPU:163-164) 3. Kinanthi Kinanthi adalah fase setelah seseorang melakukan perkawinan sehingga memasuki babak baru dalam menjalani kehidupannya yakni kehidupan berumah tangga. Pujangga Jawa, dalam rambu-rambu perkawinan, telah memberikan nasihatnya melalui senandung tembang, yang jika diperhatikan oleh masyarakat Jawa akan sangat bermanfaat, sebagai berikut : Gegarane wong akrami dudu bandha dudu rupa amung ati pawitane luput pisan kena pisan yen angel angel kelangkung tan kena tinumbas arta (rambu-rambu dalam perkawinan) (bukan karena harta, bukan karena wajah) (hanya hati modalnya) (gagal sekali, tepat sekali) (jika terlanjur sulit, sulit sekali) (jika benar/tepat ibaratnya tidak bisa dibeli harta) (WdS:19) Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Barangkali makna tembang tersebut menafsirkan ajaran dalam agama Islam bahwa yang harus diutamakan dalam menentukan perkawinan adalah kualitas pribadi seseorang dalam kedewasaan keyakinannya. Ini artinya seseorang tadi telah memiliki modal kuat dalam hati dan kepribadiannya berkaitan dengan agamanya. Nabi SAW memang memberikan alternatif sebagai rambu-rambu dalam perkawinan, di antaranya menikah karena: 1) agamanya; 2) memiliki nashab/ keturunan yang baik atau mulia; 3) kecantikan/ketampanan wajahnya; dan 4) hartanya. Setelah memasuki perkawinan, biasanya para sesepuh, ulama, orang tua masing-masing mendoakan agar dalam kehidupan perkawinannya, pasangan suamiisteri dapat mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah; yakni kehidupan yang bahagia saling mencintai dalam naungan rahmat Allah SWT. 4. Dhandhanggula Dhandhanggula sebenarnya terdiri dari dua kata; dhandhang yang artinya pait (pahit) dan gula yang berarti manis. Jadi, dhandhanggula berarti gambaran pahitmanis alias suka-duka dalam kehidupan terutama setelah seseorang memasuki kehidupan berumah tangga. Pada fase ini, pasangan suami isteri, di samping mengalami kenikmatan dan kebahagiaan hidup, misalnya telah mendapatkan momongan (anak) dari perkawinannya serta penghasilan yang cukup, tetapi mereka juga makin memiliki tanggung jawab yang besar sehingga mereka harus menjalani kehidupannya dengan lara lapa (prihatin). Makna dhandhanggula menurut Purwadi (dalam Susetya, 2007:17), yakni rasa optimis terhadap masa depan yang lebih manis, lebih cerah, dan lebih gemilang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 harus melewati masa pahit terlebih dahulu. Oleh karena itu, masa depan yang cerah dan baik harus dilewati dengan agenda hidup yang lebih jelas dan tertata rapi, lumampah anut wirama (berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku). Pada novel WdS tembang dhandanggula ini dilantunkan oleh Satinah, seperti terlihat dalam kutipan berikut. Setelah selesai, katanya, Saya akan menyanyikan ‘Dandanggula Tanah Merindukan Hujan...yang penting tembang ini jujur. Mulai, ya?” (Aduh Tuhan, hujan tidak datang tanah-tanah sudah tidak tahan gerimis saja betapa senang) Adhuh Gusti, tan jawah puniki Lemah-lemah selak padha bengkah Grimis we mendah senenge ... Mengko neka keduwung Yen ana sing andhisiki Nyiram banyu tawa Wong selak pikun (nanti kalau menyesal jika ada yangmendahului menyiram air tawar sebab keburu pikun) Aywa suwe-suwe to Anggonmu mikir kuwi Wong butuh tenan kakang (jangan terlalu lama kau memikirkan soalnya saya membutuhkan, kakang) (WdS:192-193) 5. Megatruh Megatruth berarti megat (memutuskan), sedang ruh (roh), sehingga memutuskan atau terlepasnya roh seorang manusia. Ini adalah fase terakhir manusia, yakni mengahadapi kematian. Purwadi dalam Susetya (2007:23) menyatakan bahwa pada tingkat megatruh ini identik dengan tingkatan makrifat yang sudah ikhlas lahir batin sehingga mencapai ‘mati sajroning urip’hingga mencapai akhir hidup yang baik. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Pada novel MPU tembang ini menceritakan menceritakan perjalanan Jaka Tingkir melewati Bengawan Solo yang masa itu dikenal sebagai sungai yang banyak buayanya. Perhatikan kutipan berikut. Dengan tembang Megatruh, diceritakan perjalanan Jaka Tingkir alias Mas Karebet dari Padepokan Banyubiru ke Demak lewat Bengawan Solo. Pada abad ke-16 Bengawan Solo pasti masih banyak buayanya. Sigra milir Sang gethek sinangga bajul Kawan dasa kang jageni Ing ngarsa miwahing pungkur Tinepi ing kanan kering Sang gethek lampahnya alon (segera hanyut rakit didukung buaya empat puluh buaya yang menjaga di muka dan di belakang di tepi kanan dan kiri rakit berjalan perlahan-lahan) (WdS:41-42) Megatruh ini dinyanyikan orang Jawa ketika mereka merasa ajalnya sudah dekat. Ini juga merupakan tembang perpisahan kepada dunia beserta isinya. Sementara itu, tembang macapat yang tergolong pada sinom, maskumambang, durma, pangkur, gambuh, dan pucung tidak terdapat dalam novel-novel Kuntowijoyo. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis tidak menjelaskannya. Selanjutnya, salah satu yang patut dicatat dalam proses perkembangan budaya Jawa adalah adanya pengaruh yang kuat dari budaya India (Hindu-Budha). Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga terhadap sistem agama. Cerita Ajisaka yang datang ke Pulau Jawa kemudian mengubah huruf India ke dalam huruf Jawa dan pemanfaatan tahun Saka untuk mencatat peristiwa-peristiwa Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sejarah Jawa. Perkembangan ini pada gilirannya membuka jalan bagi proses transformasi budaya melalui gerakan penerjemahan kitab Mahabrata dan Ramayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Oleh karena golongan cendikiawan sendiri yang aktif dalam penyebaran unsur-unsur Hinduisme, maka golongan cendikiawan Jawa menjadi kaum bangsawan (priyayi), yang pada akhirnya ajaran Hindu-Budha mengalami proses Jawanisasi. Kuntowijoyo mentransmisikan sosiohistoris tersebut pada tokoh ‘Ayah Satiyem’. Tokoh tersebut berpandangan bahwa agama apapun seorang baik itu Islam, Kristen, Hindu, ataupun Budha harus tetap mempertahankan budayanya. Agaknya ini juga merupakan pemikiran Kuntowijoyo selaku budayawan yang tersirat melalui novel tersebut. Ayahnya berpendapat bahwa orang bisa beragama apa saja : Islam-KristenBudha, tetapi jangan lupa Jawanya. Jowo berarti tahu makna hidup (WdS:45). Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu baik, maka sangat wajarlah jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat). 7.1.2 Hubungan Manusia dengan Alam Alam bukan lagi lingkungan yang asing bagi manusia karena dalam memperoleh pemahaman, keduanya merupakan jalinan kesatuan. Untuk memahami tentang alam, ada dua komponen yang tergabung di sini yaitu, alam sebagai alam dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 alam sebagai budaya. Alam sebagai alam adalah sebagaimana ditentukan dalam pengalaman langsung, alam yang telah menghadirkan dan mendahului pemahaman. Namun, alam yang masuk ke dalam pemahaman itu adalah alam sebagaimana tertepis oleh cakrawala yang terikat pada sejarah kehadiran pemahaman itu sendiri, dan membentuk alam sebagai budaya. Alam sebagai budaya adalah alam sebagai kumpulan gagasan yang menunjukkan proses penyelidikan terus-menerus bagi landasan tindakan pengetahuan. Alam ini adalah hasil upaya manusia untuk menghubungkan berbagai makna dalam pengalaman, dalam cara meneguhkan pengalaman-pengalaman yang bernilai serta dengan melakukan penyelidikan dan pengujian untuk menentukan apa yang terbukti yang akan terus bernilai (Leksono dalam Minsarwati, 2002:45). Orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan kodrat alam senantiasa saling memengaruhi, sekaligus bahwa manusia harus sanggup melawan kodrat untuk dapat mewujudkan kehendaknya, cita-citanya, ataupun fantasi hidupnya agar selamat sejahtera dan bahagia lahir batin. Hasil perjuangan (melawan kodrat) berarti kemajuan atau pengetahuan bagi lingkungan atau masyarakatnya, maka terjalinlah kebersamaan yang disebut gotong-royong, hormat-menghormati, tenggang rasa (tepaselira), rukun, dan damai hingga mawas diri. Menurut Minsarwati (2002:41) titik tolak hubungan manusia dan alam adalah kesatuan manusia dan alam semesta serta dunia yang dialami manusia, yang disebut sebagai kosmologi. Menurut Bakker dalam Minsarwati (2002:43) manusia secara Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 objektif tidak hanya merupakan bagian dari dunia saja, tetapi manusia mengetahui dirinya dan korelasinya dengan yang lain yang dihayati dalam dunia ini. Ini berarti bahwa refleksi manusia atas dirinya sendiri secara konkret dan menyeluruh merupakan pula refleksi atas dunia. Jadi, dunia tidak dapat dipakai tanpa manusia. Demikian juga sebaliknya, manusia dan dunia dapat saling mengimplikasikan. a. Manusia yang Bersatu dengan Alam Berhadapan dengan alam, manusia berusaha untuk sedapatnya membebaskan diri daripadanya dengan merohanikan atau menghaluskannya. Alam pada dirinya sendiri sejauh berada dalam keasliannya termasuk alam kasar. Alam asli bagi orang Jawa adalah angker, mengerikan, dan menakutkan, tempat kebuasan, kekacauan, penuh bahaya, dan penuh roh-roh yang tidak dikenal. Bagi orang yang mencari kesaktian, alam merupakan tempat tinggal sementara dan tempat untuk membuktikan diri. Hubungan antara manusia dan alam sekelilingnya tidak bersifat eksploitatif agar dapat diperoleh keuntungan. Hubungan ini lebih bersifat saling menjaga sehingga terciptanya keselarasan. Masyarakat Jawa percaya bahwa siapa yang melanggar interaksi tersebut akan terkena hukuman baik dari warga maupun kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dan berasal dari alam adikodrati. Hubungan antara aktivitas manusia dengan alam dijembatani oleh pola-pola kebudayaan. Dengan kebudayaan ini manusia menyesuaikan diri dan memanfaatkan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Dalam hal ini kebudayaan ditempatkan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 sebagai sistem aturan-aturan atau pola-pola kompleks nilai yang bersumber dari etika dan pandangan (Minsarwati, 2002:48). Sikap kosmologis masyarakat Jawa terhadap lingkungan alam ini tercermin pada saat terjadinya letusan tanggal 22 November 1994 baik itu terjadi di Desa Purwobinangun, Turgo, Kepoharjo, Kaliadem,Umbulharjo, dan Kinahrejo. Di sini, tampak sekali bagaimana manusia selalu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam Gunung Merapi. Mereka tidak mau meninggalkan daerahnya yang tertimpa bencana walaupun daerah itu sudah hancur lebur dilalap awan panas dan dijadikan sebagai daerah terlarang yang tidak layak huni. Kenyataan ini bisa dipahami sebagai sebuah sikap hidup atau sebuah kearifan atau kebijaksanaan hidup terhadap lingkungan alam dan budayanya yang selama ini dirasakan sebagai sesuatu yang berjiwa. Terjadinya letusan itu lebih dipaham sebagai sebuah takdir. Keengganan masyarakat untuk meninggalkan daerah menurut pandangan masyarakat umum di Yogyakarta lebih didasari oleh kewajaran. Hal ini menyangkut eksistensinya sebagai masyarakat lereng Merapi yang berbudaya yang mampu hidup berdampingan secara serasi dan harmonis dengan alam. Keberadaan Merapi tetap dipandang sebagai anugerah. Manusia selalu tunduk dan dikuasai oleh Gunung Merapi, hal ini bisa dilihat betapa masyarakat tidak berani menebang pohon seenaknya, berburu binatang di hutan, memindahkan batu-batu besar di tempat-tempat tertentu, mendirikan rumah menghadap ke arah Gunung Merapi, apalagi punya keberanian untuk membakar hutan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Makna kosmologis ini tentunya bermanfaat besar dalam meningkatkan martabat manusia pada tingkat pertama, sampai yang terakhir karena setelah itu maka ada tugas manusia adalah memayu hayuning bawana. Konsep ini dipandang sebagai etika kosmologis. Artinya, berupa ajakan moral yang implisit dalam hukum alam. Manusia harus membuat seluruh isi alam menjadi tenteram dan damai, untuk itu manusia harus menyadarinya dengan cara menaati tatanan yang berlaku dan hidup harmonis dan selaras. Oleh karena itu, manusia harus menciptakan keharmonisan terhadap alam dengan berlaku hidup selaras, serasi, dan seimbang. b. Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam Strauss (Minsarwati, 2002:46) menyatakan bahwa alam menjadi suatu pengalaman yang menentukan hidup. Ia meyakini bahwa manusia bukanlah makhluk di luar alam dan makhluk agresif terhadap alam, melainkan sebagai bagian dari alam; manusia sebenarnya bersahabat dengan alam yang menentukan hidup dan pikirannya. Manusia bukan subyek bebas, otonom, dan sadar, yang maha kuasa, melainkan ia memainkan peranan sebagai sarana dalam proses pemekaran diri alam itu. Bagi orang Jawa alam adalah wilayah yang dibabat untuk memperoleh tanah yang memberi berkat bagi manusia. Hutan yang sebelumnya adalah tempat roh-roh dan binatang-binatang buas, kemudian dijadikan pemukiman bagi manusia. Dalam berhubungan dengan alam, orang Jawa berusaha menghaluskannya. Itu dilakukan melalui seni. Obyek penghalusan itu pertama-tama dari segi alamiah manusia itu sendiri, yaitu tubuhnya. Tubuh dihaluskan terutama melalui seni tari. Di situ termasuk Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 juga berbagai bentuk wayang, khususnya wayang kulit yang diukir indah dengan wujud berabstraksi tinggi. Termasuk juga orkes gamelan yang musiknya tidak pernah kehilangan sifatnya yang tenang. Seni batik pun termasuk di sini. Pengaturan hubungan manusia dengan alam lahir membuka jalan untuk turun ke dalam batin sendiri, semakin dalam penghayatan tersebut akan menimbulkan kesadaran peersatuan dengan semua makhluk. Tatanan kehidupan manusia modern sekarang ini, cenderung bangga bila menaklukkan dan menguasai alam. Tindakan tersebut bisa mengarah pada hal yang bersifat positif dan negatif. Pemanfaatan sumber daya alam dengan cara mempertahankan kelestarian alam maka manusia tidak akan mengalami kerugian. Sebaliknya, apabila pemanfaatan sumber daya alam tersebut dilakukan dengan caracara yang merusak maka hal itu akan menimbulkan kerugian pada manusia itu sendiri. Pada novel MPU digambarkan juga tokoh Abu Kasan yang berpendidikan dan berkebudayaan modern, tetapi basis perasaan dan pemikirannya adalah alam dan lingkungan (agraris). Dengan mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an, melalui suara Abu Kasan, Kuntowijoyo menunjukkan bahwa pada surat 114 dalam Al-Qur’an semuanya merujuk kepada alam. Abu Kasan menolak paham orang Barat yang mengatakan bahwa peradaban manusia menundukkan alam. Bagi Abu Kasan “menundukkan” alam itu langkah yang salah. Malah itu sejenis kesombongan sebab yang benar manusia harus “berdamai” dengan alam. Di sini terlihat prinsip keselarasan (harmoni) yang dianut orang Jawa menjadi landasan berpikir Abu Kasan Sapari. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Melalui Abu Kasan, Kuntowijoyo mengungkapkan bukit, batu, langit, jin, manusia, kuda, angin, buaya, rempah-rempah, tebu, dan logam, yang tidak lain adalah alam itu sendiri, khususnya tentang bukit dan alam umumnya. Perhatikan kutipan berikut. Tuhan memuliakan bukit. Ketika Tuhan akan menyebutkan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya didahuluinya dengan sumpah kepada buah Tin, pohon Zaitun, bukit Tursina, dan daerah yang penuh berkah. Nabi Musa ditunjukkan kekuasaan Tuhan dan menerima “Ten Commandment” di atas bukit. “Khotbah di Atas Bukit” Nabi Isa juga dikenang umat manusia (MPU:33). Dapatlah kiranya ditegaskan bahwa posisi bukit (alam) menduduki tempat penting dalam renungan-renungan Abu Kasan Sapari yang agaknya tidak lain refleksi pandangan Kuntowijoyo sendiri. Dengan berpijak pada sejarah, melalui renungan-renungan Abu Kasan, Kuntowijoyo ingin menunjukkan bahwa rempah-rempah (alam) dulu pernah menjadi amat penting di negeri ini sehingga orang-orang Eropa datang dan kemudian menjajah. Demikian pula dengan revolusi industri di Indonesia yang dimulai dari berdirinya pabrik-pabrik tebu (alam). Itulah yang membuat Indonesia mejadi bagian penting dalam perekonomian dunia. Kita dapat saja menambahkan apa saja yang disampaikan novel itu, mengingat hingga hari ini negeri kita merupakan negeri yang kaya dengan kekayaan alamnya (aneka tambang, ikan, minyak, gas, kayu, dan lainlain). Tidak mengherankan bila Abu Kasan (Kuntowijoyo) berfilsafat tentang alam, tidak lain untuk menyadarkan semua orang bahwa alam amatlah penting; oleh karena itu, manusia harus menjaga dan berdamai bukan menundukkan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Alam dan lingkungan menjadi tema pagelaran wayang Abu Kasan pada akhirnya, dan ular bagi Abu Kasan adalah simbol alam dan lingkungan. Oleh karena itu, ular seperti alam dan lingkungan, harus dijaga dan dilestarikan, bukan dibunuh, apalagi dijadikan sebagai abon ular untuk obat kuat sekaligus obat penyakit kulit.. ia melawan orang-orang yang suka membunuh dan memperjualbelikan ular. Cinta ular berarti cinta lingkungan, begitu pandangan Abu Kasan. Betapa pentingnya lingkungan, lihat kutipan berikut yang mengacu pada sejarah. “....Zaman dahulu Gunung Kidul itu tertutup hutan. Air melimpah, tidak ada kekeringan. Tetapi karena ulah manusia sekali lagi karena ulah manusia, Gunungkidul menjadi gundul, sendang habis, sungai-sungai kering. Setiap musim kering sekarang untuk minum saja harus dikirim dari Yogya. Bukan tidak mungkin cucu-cucu kita akan mengalami hal yang sama. Prinsip melestarikan lingkungan ialah membiarkan sesuatu di tempatnya“ (MPU:55). Abu Kasan berhasil mengajak camat, lurah, dan masyarakat akan kesadaran pada alam dan lingkungan, juga pada ular. Maka dilukiskanlah seorang anak yang bermain-main di sawah dengan ular, orang-orang bertetangga dengan ular, bahkan ada ular bercanda dengan orang dengan cara mengambil topi yang sedang dijemur atau ular-ular nongkrong di pohon menyaksikan permainan sepak bola di lapangan kecamatan. Pelukisan ini memang agak tidak masuk akal, sedikit aneh, kocak, bahkan luar biasa, tidak lain karena ular oleh Abu Kasan Sapari dan pengarang ditempatkan sebagai sesuatu yang penting, tidak kalah penting dengan kedudukan manusia sendiri. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 7.1.3 Hubungan Manusia dengan Masyarakat Menurut Geertz (Suseno, 2003:38), ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama, mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam berbicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kaidah pertama disebut sebagai prinsip kerukunan dan kaidah kedua disebut sebagai prinsip hormat. Kedua prinsip ini merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi. Tuntutan dua prinsip itu selalu disadari oleh orang Jawa agar kelakuannya selalu sesuai dengan prinsip itu. Kedua prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. a. Prinsip Kerukunan Prinsip kerukunan ini terbagi atas tiga, yakni rukun, gotong royong, dan musyawarah. Di dalam mencapai prinsip itu, ketiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena saling berkaitan dalam pelaksanaannya pada masyarakat. Berikut penjelasannya. 1. Rukun Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 bersatu dalam maksud saling membantu. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu. Namun, berbagai kepentingan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang mengarah ke konflik dan mengancam prinsip kerukunan itu. Oleh karena itu, masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik atau sekurang-kurangnya dapat mencegah jangan sampai emosi-emosi tersebut pecah secara terbuka. Norma-norma itu dirangkum dalam tuntutan untuk selalu mawas diri dan menguasai emosi-emosi. Orang Jawa terutama harus berhati-hati dalam situasi di mana kepentingankepentingan yang berlawanan saling berhadapan. Suatu permintaan atau tawaran tidak boleh langsung ditolak. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak didengar secara tidak langsung. Perhatikan kutipan berikut. Orang-orang tua dulu berbicara dengan lambang-lambang, tidak thok leh alias to the point. Tapi orang sering salah menafsirkan lambang-lambang itu, kadang orang hanya menangkap secara letterlijk, padahal hanya lambang. Misalnya, di Bayat, Klaten, di bukit Jabalkad, di makam Sunan Pandan Arang ada sebuah tempat air dari tembikar yang berlobang-lobang. Orang yang hanya menangkap yang lahir akan bilang, “Wah tempayan yang demikian, bagaimana mengisinya!” Memang itu hanya perlambang. Arti yang ada di balik tempayan itu ialah bahwa otak itu tidak akan penuh meskipun menampung banyak ilmu (MPU:43). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Suatu teknik lain untuk menghindari kekecewaan adalah kebiasaan untuk berpura-pura. Orang Jawa bicara tentang ethok-ethok. Kemampuan untuk ber-ethokethok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif. Ethok-ethok berarti bahwa di luar lingkungan keluarga inti orang tidak akan memperlihatkan perasaannya yang sebenarnya. Itu terutama berlaku tentang perasaan-perasaan yang negatif. Orang Jawa telah membatinkan dalam dirinya bahwa kesejahteraannya, bahkan eksistensinya tergantung dari kesatuan dengan kelompoknya. Menentang kehendak orang lain secara langsung atau menunjukkan permusuhan sangat bertentangan dengan perasaannya. Oleh karena itu, setiap kelakuan yang menyimpang dari prinsip kerukunan akan berhadapan dengan perlawanan psikis yang kuat. Secara psikologis, keadaan rukun diterjemahkan dalam keadaan di mana tidak terdapat perasaan-perasaan negatif suatu keadaan yang aman dan tentram. 2. Gotong Royong Praktik gotong-royong pun mewujudkan kerukunan. Dengan gotong-royong dimaksudkan dapat saling membantu dan melakukan pekerjaan demi kepentingan bersama. Menurut Koentjaraningrat (2002:65), ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong-royong: pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berupaya untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 conform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya. Kerukunan masyarakat Jawa dalam novel WdS tampak ketika masyarakat mengadakan upacara-upacara besar. Gotong royong sangat dibutuhkan dalam menjaga kerukunan dalam masyarakat. Masing-masing pihak telah mengetahui fungsi dan perannya masing-masing. Wasripin juga diberitahu di mana duduk, tempat duduk teman-teman yang mengantar, dan kapan dia dipanggil maju untuk menerima. Sesudah upacara, kapolri berkenan omong-omong sebentar dengan Wasripin dan lima orang teman di pendopo kabupaten. Undangan itu hanya sedikit mengubah rencana. Sesudah akad nikah mereka kan datang di stadion, tempat upacara. Mereka bergerombol dan mencoba menebak-nebak makna dari undangan. Para nelayan menafsirkannya sebagai “kerjasama penguasa dan masyarakat”, “peranserta masyarakat”, “kepercayaan pada masyarakat”, dan “ada perubahan di atas sana” (WdS:212-213). Orang Jawa sepenuhnya menyadari kepentingan individualnya nampak juga dalam cara bergotong-royong. Bentuk gotong-royong yang spontan, misalnya membantu dalam kasus kematian (layat) dan melaksanakan proyek-proyek tertentu demi kepentingan seluruh kampung (gugur gunung). Sementara itu, memenuhi undangan pesta merupakan suatu kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan sejumlah uang untuk tuan rumah (njurung). Besarnya sumbangan itu diingat oleh kedua belah pihak dan si pemberi boleh berharap akan menerima sumbangan serupa apabila mengadakan perayaan yang sama. Dalam segala macam bentuk gotongrotong itu, orang Jawa tahu persis jumlah waktu kerja atau jumlah uang berapa yang masih harus dikembalikannya dan berapa yang masih berhak dituntut orang lain. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Jadi, prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan merupakan suatu mekanisme sosial untuk mengintegrasikan kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok. 3. Musyawarah Usaha untuk menjaga kerukunan mendasari juga kebiasaan musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling berkonsultasi. Secara ideal, bermusyawarah adalah prosedur di mana semua suara dan pendapat didengarkan. Semua suara dan pendapat dianggap sama benar dan membantu untuk memecahkan masalah. Musyawarah berusaha untuk mencapai kebulatan kehendak atau kebulatan pendapat, yang bisa juga diterjemahkan sebagai keseluruhan atau kebulatan keinginan dan pendapat para partisipan. Pada novel MPU pun musyawarah digambarkan dalam keluarga Abu Kasan Sapari saat mengambil keputusan. Musyawarah menjadi sebuah tradisi yang harus dilakukan masyarakat Jawa meskipun pada akhirnya keputusan tersebut tetap berpusat pada orang yang lebih dominan. Perhatikan kutipan berikut. Musyawarah antara kakek-nenek dan orang tuanya hanya menghasilkan bahwa segalanya terserah Abu sendiri. Dan ia mengatakan akan sembahyang istikharah, maneges kersaning Allah, menanyakan kehendak Tuhan. Pagi harinya ia menyatakan ‘ya’, setelah bermimpi naik trap-trapan memasuki suatu gedung (MPU:13). Pengambilan keputusan melalui musyawarah yang dilakukan keluarga Abu Kasan Sapari pun masih diwarnai mitos. Mimpi Abu Kasan diyakini sebagai jawaban atas sembahyang istikharah yang dilakukannya. Mitos mimpi Abu Kasan melahirkan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kebulatan tekad untuk mengambil sebuah keputusan. Kebulatan itu merupakan jaminan kebenaran den ketepatan keputusan yang hendak dicapai, karena kebenaran termuat dalam kesatuan dan keselarasan kelompok yang bermusyawarah. Orang Jawa lebih mengunggulkan musyawarah dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan cara pemungutan suara. Tujuan musyawarah itu diharapkan agar setiap orang bisa mengemukakan pendapatnya. b. Prinsip Hormat Kaidah kedua yang berperan penting dalam mengatur interaksi dalam masyarakat Jawa ialah prinsip hormat. Prinsip ini menekankan bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa dan sikapnya harus mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat yang tepat. Perhatikan kutipan berikut. Sekali ini benar-benar tontonan jarang. Agak canggung rasanya bagi Pak Mantri. Ia malu, harus berurusan dengan orang-orang. Kikuklah. Tidak seorang pun dari kerumunan itu melerai. Tentu, mereka takut pada Pak Mantri. Bagi Pak Mantri sungguh aib besar, bertarik-tarikan dengan orang pasar itu. Lagipula ia sadar kalau orang-orang itu benar-benar melawannya ia akan terseret. Kewibawaanlah yang menolongnya. Tidak, ia tak mundur. Kemudian Pak Mantri beranjak. Memang begitulah sopan santunnya, harus Pak Mantri yang meninggalkan pedagang kambing, bukan sebaliknya. Ada kemenangan di pihaknya (P:66). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Prinsip hormat berdasarkan pendapat dilihat dari hubungan dalam masyarakat yang teratur secara hierarkis. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan masyarakat Jawa. Masyarakat biasa dalam novel P tersebut sangat menjaga sikap hormat terhadap Pak Mantri, yang mereka pandang lebih tinggi strata sosialnya. Dalam bahasa Jawa, tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus memperlihatkan bagaimana menaksirkan kedudukan sosialnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam prinsip kerukunan, orang Jawa dalam menyapa seseorang mempergunakan istilahistilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan dalam menunjukkan kedudukan yunior-senior. Perhatikan juga kutipan berikut. “Belum datang juga Pak Camat?” “Belum Pak.” “Polisi?” “Belum.” “Selamat siang, Ning.” “Selamat siang, Pak.” Uh! Aduh biyung! Gadis itu memanggilnya ‘pak’(P:92 & 133). ... Lastri mengulurkan tangan, mencium tangan Ibu, yangn segera menarik tangannya. ”Anggap saja Yu Lastri ini anakmu, kalau dia mau,” kelakar Abu (MPU:155). ... Waduh, Paklik. Ada GPL. “ Satinah membelokkan motor, mau kembali. “Jangan terus saja...Terus saja,” kata Paman Satinah (WdS:122). Melalui kutipan-kutipan di atas, dapat diketahui bahwa apabila lawan bicara memiliki pangkat sosial yang lebih tinggi, dipergunakan istilah senior. Sebaliknya apabila kedudukannya lebih rendah maka digunakan istilah yunior. Seorang lelaki Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 yang lebih tua biasa disebut mbah (kakek) atau pak, laki-laki yang sama umurnya atau lebih muda disebut kak atau kang, yang jauh lebih muda disebut dhik; seorang wanita yang lebih tua disebut mbah atau mbok, wanita yang sama umurnya disebut mbakyu (kakak perempuan), yang lebih muda dhik. Penggunaan istilah-istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial; makin tinggi kedudukan seseorang, makin tua dia dalam sebutan, dan sebaliknya. Dan apabila mereka itu betul-betul masih keluarga, maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai dengan hubungan generasi. 7.1.4 Hubungan Manusia dengan Orang Lain Tepa Sarira Dalam sejarah budaya Jawa, secara tradisi dan turun-temurun para leluhur Jawa dulu telah banyak mewariskan peninggalan adiluhung mengenai tepa sarira (tepa selira), yakni seseorang mau dan mampu memahami perasaan orang lain. Sri Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama-nya juga mengilustrasikan mengenai praktik tepa serira seperti yang dicontohkan kepribadian Panembahan Senapati di Mataram, yakni sebagai: “Karyenak tyase sesama” (membuat enak, senang, dan damai perasaan sesama manusia). Lebih dari sikap itu, orang yang ber-tepa serira sangat jauh dari sifat jail atau usil kepada orang lain. Secara khas, orang yang ber-tepa serira selalu memiliki empati dan kepedulian terhadap penderitaan, beban hidup, dan kesulitan yang dihadapi orang lain. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Hardjowirogo (1983:54) juga menambahkan bahwa orang yang ber-tepa serira terkait erat dengan aplikasi hukum; asas praduga tidak bersalah. Dalam mengambil keputusan harus berhati-hati dan tidak mau apriori terhadap segala sesuatu yang dihadapinya. Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) merupakan salah satu patokan hukum yang penting. Berdasarkan patokan ini seseorang baru dianggap bersalah bila hakim telah memutuskan bahwa seseorang itu bersalah. Suatu patokan yang selain dapat menyelamatkan orang dari pernyataan salah selagi perkaranya belum diputuskan oleh hakim, tentu dapat lebih menjamin adanya peradilan yang adil terhadap diri tertuduh. Permasalahan tentang tepa serira dapat dilihat dalam cuplikan novel P sebagai berikut. “Hitunglah, Pak, “kata perempuan itu pada polisi. ‘’Tiga ekor burung dara telah mencocok berasku. Berapa harus dibayar, kalau aku mau menghitung. Masih diminta karcis pasar lagi! Mestinya aku minta ganti rugi!” Orang mengangguk-angguk (P:26). Melalui kutipan tersebut terlihat bahwa praktik tepa serira tidak di jalankan oleh Pak Mantri. Selaku pemimpin yang baik seharusnya Pak Mantri lebih peka pada pedagang yang berjualan di pasar yang dipimpinnya. Burung-burung dara peliharaan Pak Mantri sangat menyusahkan para pedagang. Akhirnya, Pak Mantri menyadari bahwa tepa serira lebih penting dalam menjaga keharmonisan dengan orang lain dibanding sekadar hobi memelihara burung dara. Hal itu terlihat melalui kutipan berikut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ‘’Ketahuilah, orang itu tidak hidup sendiri, tetapi bersama orang lain. Kita mesti mengenal hak-hak dan kewajiban. Ada hak kita, ada hak orang. Ada kewajiban kita, ada kewajiban orang. Masing-masing ada tempatnya” (P:119). Berdasarkan kutipan di atas, terlihat praktik tepa serira yang dipahami Pak Mantri dan sesuai dengan pendapat Hardjowirogo (1983:55) yang mengatakan bahwa tepa serira berarti berusaha menempatkan diri dalam keadaan orang lain hingga dapat mengerti perasaan yang dialami orang lain. Orang yang memiliki tepa serira dalam kesehariannya tidak mudah menyalahkan orang lain, termasuk ketika melakukan tindak pidana sekalipun. Orang yang ber-tepa serira berusaha mencari informasi mengenai latar belakang keterlibatan orang saat melakukan suatu tindakan tertentu. Dengan demikian, watak dan sifat orang yang ber-tepa serira sangat menjauhi sikap grasa-grusu atau gegabah dan menyalahkan orang lain. 7.1.5 Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri Usaha pengenalan diri biasanya dilakukan orang Jawa dengan lima lelaku utama, yakni rila, nrima, sabar, temen, dan budi luhur. Rila merupakan kesanggupan untuk melepaskan hak milik dan kemampuan serta hasil-hasil pekerjaan sendiri apabila sudah menjadi tuntutan tanggung jawab atau nasib. Hal ini harus dipahami sebagai keutamaan positif. Nrima berarti menerima segala sesuatu tanpa protes dan pemberontakan. Hal ini termasuk sikap Jawa yang paling sering dikritik karena disalahpahami sebagai kesediaan untuk menerima segala-galanya secara apatis. Sebenarnya nrima itu sikap hidup yang positif. Orang yang dalam kekecewaan dan kesulitan dapat bereaksi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 rasional dengan tidak berputus asa terhadap masalah yang dialaminya. Nrima ini menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan dengan tidak membiarkan diri dihancurkan oleh keadaan. Sikap ini juga memberi daya tahan menghadapi segala hal terburuk yang dihadapi manusia. Orang Jawa juga bersikap sabar. Sabar merupakan tanda seseorang itu adalah pemimpin yang baik. Sabar diyakini akan memberikan nasib yang baik pada manusia pada waktunya. Orang yang sabar akan memunculkan sikap-sikap positif lainnya dalam diri manusia sehubungan dengan interaksi terhadap sesamanya. Selanjutnya, orang Jawa dituntut hendaknya selalu jujur (temen). Orang yang jujur dapat diandalkan janjinya dan akan bersikap adil. Orang Jawa percaya bahwa menepati janji merupakan prasyarat untuk bisa bertemu dengan Allah. Dengan demikian, orang Jawa itu harus bersikap sederhana (prasaja), bersedia untuk menganggap diri lebih rendah daripada orang lain (andhapasor), dan sadar akan batas-batas dalam berbuat (tepa selira). Penerapan sifat-sifat tersebut akan mewujudkan sikap budi luhur. Sikap budi luhur ini merupakan rangkuman dari segala apa yang dianggap watak utama oleh orang Jawa. Orang yang berbudi luhur seakan-akan menyinarkan kehadiran Allah dalam diri manusia terhadap lingkungannya. Budi luhur sekaligus memuat sikap yang paling terpuji terhadap sesama. Orang yang berbudi luhur mengetahui bagaimana cara bersikap terhadap orang lain dengan, baik orang yang baik maupun orang yang jahat sekalipun. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Orang Jawa tidak menganggap bahwa sesama manusia sebagai obyek yang dipakai untuk memuaskan segala kebutuhannya, melainkan bahwa sesama merupakan suatu kebutuhan penting terhadap kelanjutan hidupnya. Dengan kata lain, kebersamaan itu adalah tujuan dari setiap diri manusia. Kenyataan ini sesuai dengan pepatah Jawa yang berbunyi : mangan ora mangan asal ngumpul (makan atau tidak makan, pokoknya kita bersama).Setiap masyarakat Jawa merasa berkepentingan untuk melindungi keselarasan dan keharmonisan dalam lingkungannya. Untuk itu, segenap pihak dituntut agar mampu menguasai diri, menjaga kerukunan, dan menyadari kedudukan masing-masing. Tuntutan itu sudah ditanamkan sejak kecil oleh masing-masing individu. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi konflik dan menjaga keselarasan dalam masyarakat. Untuk menjaga keselarasan itu, maka dalam diri setiap individu dituntut untuk bersikap mawas diri. Akan dijelaskan sebagai berikut. Mawas Diri Soedjatmoko dalam Susetya (2007:25) mengungkapkan bahwa mawas diri (introspeksi) dapat diangkat dari tingkat moralisme ke tingkat pengertian psikologis dan historis perilaku manusia. Hal itu disebabkan moralitas termasuk rangkaian besar kebudayaan manusia yang harus diperjuangkan ke arah pengalamannya secara optimal. Terlebih dengan perkembangan zaman yang makin mengglobal maka proses dinamisasi, inovasi, emansipasi, serta humanisasi memerlukan proses mawas diri tersebut dalam masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Terlepas apakah mawas diri akan menjadi inti pokok kebudayaan atau tidak, tetapi yang jelas mawas diri merupakan bagian moralisme yang bisa dipahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidup manusia dalam kehidupannya. Dalam masyarakat Jawa, tema-tema instropeksi diri ini berkaitan dengan komunikasi antarsesama manusia dan lingkungan hidupnya serta perilakunya terhadap sesamanya tersebut. Proses interaksi manusia dengan sesamanya memakai aturan-aturan yang terdapat dalam budaya. Untuk mendukung interaksi yang baik dengan orang lain dibutuhkan pengkajian diri dalam diri setiap individu demi mencapai keharmonisan dalam kehidupan. Pada novel P dapat dilihat hubungan ini, yaitu melalui tokoh Pak Mantri. Pak Mantri digambarkan sebagai orang Jawa ideal yang mengetahui tata krama, filosofi, dan psikologi orang Jawa. Pak Mantri sering mengkritik dan mengutuk dalam hatinya karena sering melihat sikap dan perilaku Pak Camat dan Kepala Polisi yang tidak sesuai dengan tata krama priyayi Jawa. Dalam pandangannya, seorang pemimpin harus bermental priayi yang mampu mawas diri dalam segala tindakan yang diambilnya. Perhatikan kutipan berikut. Orang bijaksana mesti tahu diri, kalau hatimu sedang risau jangan mengurus sesuatu yang sangat penting... Tetapi jangan berburuk sangka, itu tidak boleh. Usahakan menenangkan pikiran sebelum bertindak, memerlukan ketenangan jiwa. Sebab, bukankah Ciptoning, pikiran jernih juga, yang mengalahkan raksasa? Hanya hati yang bening mengalahkan si pemurka (P:41). Akan tetapi, Pak Mantri bukan manusia sempurna. Sejak awal hal itu sudah dikabarkan pengarang, bahkan dianggap wajar. Pada bagian-bagian awal agaknya Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kuntowijoyo tengah melakukan semacam kritik halus terhadap perilaku priyayi (Pak Mantri) yang luput dari pengamatan dan kesadaran dirinya sendiri. Pak Mantri suka mengajari orang agar bersikap sopan, berpijak pada “rasa”, mawas diri, dengan penuh wibawa dan martabat. Ia rajin mengajari dan mengingatkan tindak-tanduk Paijo yang menurut tatakrama Jawa tidak pantas dilakukan. Ia mencela habis-habisan sikap dan perilaku Kasan Ngali, seorang pedagang yang sama sekali jauh dari tata krama kepriyayian. Diibaratkannya Kasan Ngali sebagai tikus yang bila dikasih daging tetap saja mencuri daging lainnya. Sayangnya, mawas diri Pak Mantri tidak terjadi pada dirinya, ia alpa mengoreksi sebagian sikap dan perilakunya sendiri. Inilah pangkal mula Pak Mantri menghadapi masalah dalam mengelola pasar. Pak Mantri masih belum mampu mawas diri dan mengoreksi dirinya. Kematian burung-burung masih ditimpakan semata-mata pada kesalahan orang lain. Padahal burung-burung miliknyalah yang membuat pasar menjadi sepi. Burungburungnyalah yang membuat bank pasar tidak menerima tabungan karena para pedagang pasar tidak memiliki uang. Sebuah kritik halus Kuntowijoyo bagi priayi yang tidak mampu mawas diri kepriayiannya, sesuatu yang sering dibanggakan para priayi. Pak Mantri akhirnya menyerah dan meyadari keadaan. Meski kesadaran itu datangnya agak tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Kesadaran Pak Mantri telah mencapai apa yang dalam psikologi dan filosofi Jawa dikenal dengan “rasa” dan “mawas diri”. Rasa mengacu pada pengecapan (taste), perasaan (cinta), takut, marah, gelisah, dan sebagainya), sifat dasar (character), suara suci kodrat Illahi, kenikmatan terdalam (delight), halus dan mendalam yang merupakan “air”, atau “sari” buah-buahan dan tumbuhan. Sementara itu, mawas diri adalah kemampuan meneliti kenyataan-kenyataan diri sendiri yang akan membawa manusia pada pemahaman, penyerahan, dan penyadaran diri (Jatman, 1997:26 & 35). Tentang “rasa”, Pak Mantri berkhotbah sekaligus upaya mewariskan nilai dan filosofi Jawa kepada Paijo yang akan menggantikannya sebagai kepala pasar, sebagai berikut. “Hidup kita pusatnya di sini, “Pak Mantri menunjuk jantungnya. “Hati. Yaitu bagaimana engkau memahami. Kita punya akal. Kita gunakan akal untuk mencari uang, untuk mencari pangkat. Tetapi ketahuilah itu baru syarat bagi hidup. Jangan campuradukkan antara pelengkap hidup dan hakikatnya. Yang penting ialah rasa. Rasa itu di sini letaknya. Pusat engkau bernafas. Pusat peredaran darahmu. Kalau kau takut engkau gemetar, di situlah rasa. Kalau kau senang engkau berdebar, sebab di ditulah rasa. Kebahagiaan adalah rasa itu. Bukan akal...”(P:157). Masalah pentingnya mawas diri dan “rasa” bertebaran dalam berbagai peristiwa di novel ini. Rasa itu diyakini orang Jawa, sebagaimana tertulis dalam novel ini, lebih ampuh dan sekaligus mampu mengatasi akal. Bagi Pak Mantri akal harus tunduk kepada rasa dan orang akan bahagia. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Hal ini sejalan dengan pendapat Stange (1998:11) yang menyatakan bahwa rasa itu sebuah alat atau unsur psikologi manusia, dalam makna yang sama sebagai sebuah alat atau unsur psikologi. Rasa adalah alat yang digunakan untuk menangkap kebenaran-kebenaran alam batiniah. Di dalam novel P , Pak Mantri mampu mengendalikan rasa yang dimilikinya. Dia mengakui bahwa tindakannya memelihara burung dara di pasar itu merupakan satu kesalahan. Untuk memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya, akhirnya dia memutuskan untuk melepaskan burung-burung itu dan menyerahkan jabatan mantri pasar kepada Paijo. Hal itu dilakukannya karena rasa yang dimilikinya mampu mengendalikan pikirannya selama ini. Perhatikan kutipan berikut. Paijo senang mendengar keputusan Pak Mantri. Perhitungannya bahwa dengan habisnya burung-burung dara pekerjaannya akan lancar memberi harapan baru baginya. Sayang Pak Mantri harus mengorbankan begitu banyak. Itulah yang menyedihkannya. Pak Mantri menjadi makhluk lain di matanya. Ternyata laki-laki tua benar mulia jiwanya. Begitu banyak yang dikorbankannya (P:200). Rasa yang terbina dalam diri Pak Mantri memberi keuntungan bagi orang terdekatnya, yakni Paijo. Paijo merasa memiliki harapan baru dengan keputusan Pak Mantri, meskipun untuk itu Pak Mantri harus berkorban banyak. Pengorbanan Pak Mantri itu dipandang Paijo sebagai sesuatu perbuatan yang mulia. Sementara itu, mawas diri dalam wilayah psikologi merupakan kegiatan manusia untuk menembus ke dataran religius etis (Jatman, 1997:61). Mawas diri dimulai dengan meneliti rasa senang dan susahnya sendiri yakni rasa orang dalam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hubungannya dengan benda, orang lain, dan gagasan. Dengan demikian, praktik mawas diri mencoba memahami keadaan diri dengan sejujurnya. Jatman (1997:62) menambahkan bahwa dalam diri manusia memang terdiri dari ‘dua aku’; yaitu ‘aku tidak tetap’ dan ‘aku tetap’. ‘Aku tidak tetap ini menghadirkan diri sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan kenyataan di luar. Jatman kemudian memberikan istilah bahwa ‘ aku tidak tetap’ ini sebagai ‘aku kontekstual’, yang dalam bahasa Jawa disebut kradamangsa individual, artinya yang memusatkan pengalaman pada diri sendiri dan untuk diri sendiri. Dengan kata lain, seseorang tersebut merupakan ‘abdi keinginannya’. Sedangkan ‘aku tetap’ adalah ‘aku yang universal’, yang telah bebas dari catatan-catatannya sendiri, bahkan bisa mengawasi diri sendiri. Di lain pihak, Hardjowirogo (1983:58) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mawas diri ialah meninjau ke dalam, ke hati nurani guna mengetahui benar tidaknya suatu tindakan yang telah dilakukan. Secara teknis-psikologis, usaha tersebut dinamakan juga instropeksi. Pada dasarnya berarti pencarian tanggung jawab ke dalam hati nurani seseorang mengenai suatu perbuatan. Bagi orang Jawa, karena ungkapan mawas diri berasal dari bahasa Jawa maka tidak begitu sulit dalam mempraktikkannya. Terlebih, ungkapan mawas diri tadi sudah dipakai dalam khasanah perbendaharaan bahasa Indonesia. Biasanya bagi orang Jawa, mawas diri tadi diterapkan untuk mendapatkan jawaban atas persoalan yang dihadapi. Apakah suatu perbuatan yang dilakukan atau tindakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Hal itu dilakukan dengan cara menelaah Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hati nurani. Praktik mawas diri begitu mendalam dihayati oleh orang Jawa hingga dimasukkan dalam kancah perspektif kebatinan dalam kebudayaan Jawa (kejawen), sebab di dalamnya mengandung nilai-nilai kerohanian yang mendalam pula. Meski mawas diri merupakan persoalan yang amat penting, tetapi sayangnya tidak dapat dilihat secara konkret bagaimana hasil dari praktik mawas diri tersebut. Hal ini cenderung terkesan hanya bersifat formalitas sosial. Untuk itu, seorang pemimpin harus dituntut untuk mengajak anak buahnya agar melakukan mawas diri atau berintrospeksi disertai dengan praktik nyata dalam kehidupan. Salah satu aplikasi mawas diri menurut Susetya (2007:34), yakni dengan mengendalikan diri. Orang yang berusaha mngendalikan dirinya akan selalu menjaga sikap agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Di dalam novel P praktik mawas diri ini diyakini pak Mantri sebagai sebaikbaik perbuatan manusia. Proses interaksi antarmanusia dan makhluk hidup lainnya akan selaras jika sikap itu benar-benar dilakukan manusia dalam kehidupannya. Pemahaman mawas diri itu dimulai dari diri sendiri, barulah dapat ditularkan kepada orang lain. Paijo telah membuka pintu dan jendela. Pak Mantri masuk, menghela nafas, duduk di kursi sambil melemparkan tas dan topi di meja...Mungkin Paijo biasa saja, hanya dia sendirilah yang mengira ada perubahan-perubahan pada orang. Sebaik-baik perbuatan ialah melihat diri sendiri, mawas diri (P:7). Pentingnya mawas diri pada Pak Mantri (selaku atasan dan orang yang lebih tua) sangat dibutuhkan untuk menjaga kerukunan dengan Paijo. Di samping masih muda, Paijo juga adalah bawahan dalam struktur jabatan pekerjaan, yang pengalaman Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 hidupnya masih sedikit bila dibandingkan dengan Pak Mantri. Jadi, tidak salah jika Pak Mantri harus lebih mawas diri dalam menghadapi sikap Paijo. Mawas diri merupakan dasar yang harus dimiliki pribadi setiap individu agar tercipta keselarasan. Keselarasan akan terlaksana jika mawas diri dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Agar keselarasan tersebut dapat tercapai, ada dua keutamaan dasar etika Jawa yang harus ditanamkan dalam diri setiap individu. Keutamaan itu adalah untuk membatasi diri (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajiban masing-masing dengan setia (rame ing gawe). Dua keutamaan ini mempunyai ciri teoretis yang cukup menarik. Keutamaan-keutamaan itu bersifat formal dan negatif. Artinya, tidak dikatakan sikap mana yang dituntut, akan tetapi sikap mana yang harus dicegah. Yang dituntut adalah suatu kesediaan hati pada umumnya, bukan suatu sikap tertentu. Dua keutamaan sikap ini menjadi landasan utama bagi Pak Mantri, Abu Kasan Sapari, dan Wasripin dalam membina hubungannya dengan Tuhan, alam, masyarakat, dan dengan orang lain. Ketiganya pada akhirnya memahami bahwa kedua sikap tersebut benar-benar dibutuhkan dalam mencapai kehidupan yang sempurna. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo menghasilkan sikap hidup positif yang didasarkan pada logika standar (standart logic) dan bukan logika standar (non standart logic) dalam diri manusia dalam menjaga hubungan dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, dan dengan diri sendiri. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 7.2 Kontekstualisasi Penelitian terhadap novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo pada hakikatnya bersifat melengkapi dan memberi temuan baru pada penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan tidak terdapat penelitian yang sama dengan penelitian ini. Demikian juga tidak ditemukan penelitian yang menggunakan teori antropologi sastra serta teori semiotik secara bersamaan dalam menganalisis ketiga novel karya Kuntowijoyo tersebut. Sebelumnya, penelitian terhadap ketiga novel tersebut dilakukan secara terpisah. Novel Pasar pernah diteliti oleh Jabrohim (1996) dengan memusatkan perhatian pada perspektif Greimas. Jabrohim menemukan kenyataan bahwa skema aktan dan struktur fungsional novel tersebut mampu membuktikan bahwa sebuah novel dapat dianalisis dengan pendekatan structural A.J. Greimas. Analisis tersebut ditulis oleh Jabrohim dalam sebuah laporan penelitian. Penelitian terhadap novel-novel Kuntowijoyo dalam lingkup yang lebih luas dan memiliki hubungan yang kontekstual dengan penelitian ini dilakukan oleh Wan Anwar, dosen FKIP Universitas Tirtayasa Banten (2007). Penelitian tersebut menggunakan teori strukturalisme dalam menganalisis hampir semua karya Kuntowijoyo. Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut menggunakan metode sosiologi sastra dengan mengutamakan biografi pengarang dan struktur novel. Sebaliknya, penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode sosial historis dengan mengutamakan deskripsi mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa dalam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 novel-novel Kuntowijoyo. Mitologi Jawa berupa wujud sikap kosmologis dan pandangan hidup orang Jawa. Filsafat Jawa terangkum melalui tiga aspek, yaitu metafisika, epistemologi, dan aksiologi. Terakhir, representasi nilai budaya dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan orang lain, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan masyarakat, hubungan manusia dengan orang lain, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dari kedua hasil penelitian tersebut, maka penelitian ini memiliki kontekstualitas yang bersifat melengkapi dan memberi temuan baru. Bersifat melengkapi karena penelitian ini menggunakan teori antropologi sastra dalam menganalisis tiga buah novel karya Kuntowijoyo tersebut. Kemudian, bersifat memberi temuan baru karena penelitian ini menunjukkan adanya pergeseran makna mitos dalam masyarakat yang cikal bakalnya berasal dari mitologi Jawa. Temuan baru tersebut memberi isyarat bahwa sebuah mitos tidak akan pernah mati, akan tetapi masih berkembang dalam masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Di dalam alam kehidupan mitologis tidak terlihat garis pemisah yang tegas antara manusia dan alam atau antara subjek dan objek, bahkan adakalanya manusia belum dapat disebut subjek. Terbentuknya mitos bermula dari pikiran manusia yang tidak mau menerima begitu saja fenomena alam yang ditangkap dengan akal dan pancaindranya. Oleh karena dorongan naluri yang amat kuat, pikiran manusia itu ingin mencari sesuatu yang dianggap lebih konkret daripada kenyataan duniawi. Namun, dalam usaha menemukan yang lebih nyata dan kekal itu, seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu cenderung membayangkan sesuatu dengan dunia angannya sendiri. Itulah cikal bakal lahirnya mitos. Mitos bersifat mendidik, irasional, dan intuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis. Istilah ini mengacu pada wilayah makna yang berkaitan dengan kepercayaan, folklor, antropologi, sosiologi, psikologi, dan karya seni, termasuk seni sastra. Penghormatan kepada leluhur, kepercayaan pada pohon kehidupan, kekaguman pada keteraturan tata surya, misalnya dapat menjadi awal lahirnya mitos. Mitos itu dapat juga dikatakan cerita anonim mengenai asal mula alam semesta serta tujuan hidup. Selain itu, mitos tidak hanya bertujuan untuk mengenang peristiwa Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 masa lalu, tetapi juga mengajak kita untuk menghargai dan menyikapi keadaan masa kini dan masa yang akan datang. Sebab pada prinsipnya ada masyarakat yang lebih tanggap pada masa lampau, masa sekarang, atau masa yang akan datang. Mitos itu bersifat ganda, sekaligus berhubungan dan tidak berhubungan dengan sejarah. Jadi, mitos dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kerangka acuan masyarakat atau individu dalam masyarakat yang memiliki mitos. Novel-novel Kuntowijoyo secara garis besar digambarkan dengan bahasa yang baik dan mudah dipahami. Watak masing-masing tokoh juga digambarkan terikat erat dengan adat-istiadat budaya Jawa. Kesetiaan pada kebudayaannya inilah yang kemudian menimbulkan sikap memercayai mitos-mitos yang ada dalam masyarakat. Mitos-mitos tersebut termasuk pada sikap kosmologis masyarakat Jawa dan pandangan hidup orang Jawa, yang kemudian menurunkan filsafat Jawa dalam kehidupannya. Salah satu mitos yang diyakini masyarakat Jawa adalah adanya kekuatan kosmologi antara Keraton Jogjakarta - Gunung Merapi - Laut Selatan, yang sangat memengaruhi baik buruk kehidupan masyarakat bahkan kondisi negeri itu sendiri. Untuk itu dilakukan berbagai penghormatan kepada alam adikodrati (alam gaib) berupa acara slametan, sesajen, upacara labuhan, dsb. yang bertujuan untuk memeroleh kehidupan yang aman dan tentram. Masalah filsafat juga ditekankan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman hidup manusia Jawa. Filsafat ini yang mengarahkan manusia agar dapat Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 bersatu pada Yang Illahi pada akhir hidupnya, yang dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi, artinya manusia pada awal dan akhir hidupnya harus berakhir dengan baik (ngudi kasampurnaan). Unsur mitologi dan filsafat Jawa ini, pada akhirnya bermuara pada representasi nilai budaya yang berlaku pada masyarakat Jawa, yang meliputi lima hal yaitu: a. Hubungan manusia dengan Tuhan b. Hubungan manusia dengan alam semesta c. Hubungan manusia dengan masyarakat (sosial) d. Hubungan manusia dengan orang lain (sesama manusia) e. Hubungan manusia dengan diri sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Mitologi Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo tercermin dalam diri tokohtokohnya dan terwujud melalui serangkaian upacara tradisi dan ritual-ritual khusus, yang terangkum pada sikap kosmologis dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Pergeseran makna mitos juga terjadi seiring perkembangan zaman. 2. Ketiga aspek dalam filsafat Jawa yang terdiri dari ; metafisika, epistemologi, dan aksiologi merupakan segi yang tidak terpisahkan dalam gerak usaha manusia menuju kesempurnaan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 3. Representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel Kuntowijoyo menghasilkan sikap hidup positif bergantung pada logika standar (standart logic) atau bukan logika standar (non standart logic) dalam diri manusia dalam menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat, orang lain, dan dirinya sendiri. 8.2 Saran Penelitian ini sudah menjelaskan tiga novel yang memiliki kesatuan tema. penelitian lebih lanjut penting dilakukan dengan sudut pandang yang berbeda, baik teori maupun metode. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya karya sastra, sehingga tidak menutup kemungkinan penafsiran lain terhadap novel-novel Kuntowijoyo ini dan tidak menutup kemungkinan pemberian makna lain bagi penelitian ini. Penelitian sastra yang dikaitkan dengan budaya merupakan hal yang sangat baik untuk pengembangan bidang sastra, terutama bidang ilmu sastra. Karya sastra tidak akan pernah lepas dari proses budaya dari sebuah masyarakat. Oleh karena itu, penelitian sastra haruslah menyangkut bidang budaya. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 DAFTAR PUSTAKA Anderson, Benedict R.O’G. 2008. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Terj. Revianto B. Santoso dan Luthfi Wulandari. Yogyakarta : Jejak. Anwar, Wan. 2007. Kuntowijoyo : Karya dan Dunianya. Jakarta : Grasindo. Badrun, Ahmad. 1996. Makna Ketasawufan dalam Puisi-Puisi Abdul Hadi W.M. Jakarta: Pascasarjana Universitas Indonesia. Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi : Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta : Kanisius. Barthes, Roland. 1985. Elements of Semiology. Translated from the French by Annette Lavers and Colin Smith. New York : Hill and Wang. ____________. 2004. Mitologi. Terj. Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Bertens, K. 1996. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Bleicher, Josef. 2003. Hermeneutika Kontemporer. Terj. Ahmad Norma Permata Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru. Boot, Wayne C. 1873. The Rhetoric of Fiction. Cetakan X. Chicago & London: The University of Chicago Press. Brown, R. 1980. Psycolinguistics. New York : The Free Press. Bruinessen, Martin van. 1999. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Bentang. Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei Tentang Manusia. Terj. Alois A. Nugroho. Jakarta : Gramedia. Chatman, Seymour. 1978. Story and Discourse : Narrative Structure in Fiction and Film. Ithaca & London : Cornel University Press. Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Dananjdaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Cet. VI. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Dewan Redaksi. 2004. Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung : Titian Ilmu. Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher. Eagleton, Terry. 1976. Marxism and Literary Criticism. Cetakan Pertama. London: Mathuen & Co.Ltd. Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi: Kosmos dan Sejarah. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra : Epistemologi, Model, Teori,dan Aplikasi. Yogyakarta : Media Pressindo. Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas: Esai-Esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Matahari. Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta : Idayu Press. Hoed, Benny H. 2007. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jatman, Darmanto. 1997. Psikologi Jawa. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma. Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis & Fundamentalis.Cetakan Pertama. Magelang: Indonesiatera. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan : Esai-Esai Sastra dan Budaya. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. _____________. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kuntowijoyo. 1982. “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sastra Transendental”, Temu Sastra 1982, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki. ___________. 2002. Pasar. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. ___________. 2002. Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas: Esai-Esai Budaya dan Politik. Cetakan Pertama. Bandung: Mizan Pustaka. ___________. 2003. Mantra Pejinak Ular. Cetakan Kedua. Jakarta: Kompas. ___________. 2003. Wasripin dan Satinah. Cetakan Pertama. Jakarta: Kompas. ___________. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, Horison, Mei. Luxemburg, Jan van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terj. Dick Hartoko. Jakarta : Gramedia. Malinowski. 1979. “The Function of Religion in Human Society”, dalam William A. Lessa & Ivon Z. Vogt, Reader In Comparative Religion. New York : Harper & Row. Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Ekologi : Menguak Bahasa Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Sikap Hidup Sehari-Hari Orang Jawa : Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Gramedia. _________________. 2005. Mysticism in Java : Ideology in Indonesia. Yogyakarta : Kanisius. Nasution, Ikhwanuddin. 2000. Estetika Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Denpasar : Program Pascasarjana Universitas Udayana. Nurelide. 2006. “Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigalegale” dalam Jurnal Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Vol 5/2006 hal 46-61. Medan : Balai Bahasa. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 __________________. 2007. Dwilogi Novel Saman dan Larung Karya Ayu Utami : Perspektif Kajian Budaya. Denpasar : Program Studi Kajian Budaya. __________________. 2003. ‘’Hermeneutik : Sebuah Metode Penelitian Sastra” dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 4/2003 hal 311317. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika : Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra : dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________________. 2005. Sastra dan Cultural Studies : Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________________. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. __________________. 2008. Postkolonialisme Indonesia : Relevansi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Rokhman, Muh. Arif. 2003. Sastra Interdisipliner : Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial. Yogyakarta : Qalam. Rosidi, Ajip. 1995. Sastera dan Budaya : Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Jakarta : Pustaka Jaya. Rosliani. 2006. Citra Manusia Indonesia : Mitologi Suku Asli Sumatera Utara : Laporan Penelitian. Medan : Balai Bahasa. Sani. 2008. “Sastra Profetik : Mengenal Sastra Kuntowijoyo”. Dalam Tulisan Sani, Jakarta. Sardjono, Maria A. 1995. Paham Jawa : Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan. Selden, Raman. 1991. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Setyodarmodjo, Soenarko. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta : Prestasi Pustaka. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Sikana, Mana. 2008. Teori Sastera Kontemporari. Selangor : Pustaka Karya. Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian : Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : LKIS. Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Populer Indonesia. yogyakarta : Nurcahaya. Suryadi AG, Linus. 1993. Regol Megal Megol : Fenomena Kosmogoni Jawa. Yogyakarta : Andi Offset. Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia. Susetya, Wawan. 2007. Ngelmu Makrifat Kejawen: Tradisi Jawa Melepaskan Keduniawian Menggapai Kemanunggalan. Yogyakarta: Narasi. Syaifuddin Hj. Wan Mahzim. 2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir di Sumatera Utara: Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-Nilai Budaya. Malaysia:Universiti Sains Malaysia. ______________________. 2007. “Mitos dan Ritual dalam Pemikiran” dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Budaya Studia Kultura. Nomor 12/2007 hal 179-191. Thomson, Jhon B. 2005. Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. Terj. Abdullah K. Affandi. Surabaya : Visi Humanika. Umri, Shafwan Hady. 2006. “Mitos-Realitas dalam Novel Janji Gintamini” dalam Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan Medan Makna. Nomor 3/2006 hal 43-47. Medan : Balai Bahasa. Wallace, A. 1966. Religion : An Anthropological View. New York : Random House. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta : Gramedia. Zaidan, A. Rozak. 1997. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia Modern 1950-1970. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti : Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta : Gramedia. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Lampiran 1 Foto dan Biografi Kuntowijoyo Kuntowijoyo adalah sejarawan, budayawan, dan sastrawan Indonesia. Sebagai intelektual dan akademisi beliau banyak menghasilkan telaah-telaah kritis terhadap berbagai masalah sosial, budaya, dan sejarah. Perhatian terhadap sejarah, sosial, dan budaya terlihat dari buku-bukunya yang banyak beredar di masyarakat. Buku-buku tersebut antara lain; Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi (1991), Demokrasi dan Budaya Birokrasi (1994), Identitas Politik Umat Islam (1997), Pengantar Ilmu Sejarah (2001), Muslim Tanpa Masjid (2001), Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas (2002), Radikalisasi Petani : Esai-Esai Sejarah Kuntowijoyo (2000), Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Raja, Priyayi, dan Kawula : Surakarta 1900-1915 (2004), dan Penjelasan Sejarah (2008). Semasa hidupnya, ia mengajar di jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (sebelumnya Fakultas Sastra) Universitas Gadjah Mada. Peraih gelar doktor dari Universitas Colombia, dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society : Madura 1850-1940, ini banyak menerima penghargaan atas karya-karyanya di bidang sastra. Karya sastra Kuntowijoyo antara lain terkumpul dalam buku Suluk AwangUwung (kumpulan sajak, 1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (kumpulan sajak, 1995), Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen, 1992), Hampir Sebuah Subversi (kumpulan cerpen, 1999), Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1996), Pasar (novel, mendapat hadiah Hari Buku 1972), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976), Mantra Pejinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003), Rumput-Rumput Danau Bento (drama, 1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (drama, 1972), dan Topeng Kayu (1973). Karyanya tersebar pula dalam berbagai antologi. Sebagai sastrawan beliau banyak menerima penghargaan, antara lain Hadiah Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986), Penghargaan Penulisan Sastra Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk Buku Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994), Penghargaan Kebudayaan dari ICMI (1995), Cerpen Terbaik Kompas (1995,1996, 1997, dan 2005), ASEAN Award on Culture (1997), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), Mizan Award (1998), Penghargaan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999), dan Sea Write Award dari Pemerintah Thailand (1999). Sastrawan kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943 ini adalah alumni Universitas Gadjah Mada. Semasa mahasiswa, Kuntowijoyo mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seniman Islam (Leksi) dan Studi Grup Mantika (bersama Dawam Rahardjo, Sju’bah Asa, Chaerul Umam, Arifin C. Noer, Amri Yahya, Ikranegara, dan Abdul Hadi W.M.). Kematangannya sebagai sastrawan dan intelektual semakin terbukti dengan beberapa karya semasa dan setelah ia menyelesaikan studi S-2 (University of Connecticut, 1974) dan S-3 (Columbia University, 1980) di Amerika Serikat. Tidak banyak sastrawan Indonesia yang sukses sebagai sastrawan sekaligus sebagai intelektual dan akademisi. Kualitas dan produktivitas Kuntowijoyo menulis karya sastra sebanding dengan kekuatannya menulis karya ilmiah dalam bidang sejarah atau pemikiran sosial berbasis Islam. Baik dalam sastra (khususnya prosa) maupun dalam dunia intelektual/akademisi, Kuntowijoyo menduduki posisi penting dan terhormat. Dua aktivitas itu dijalaninya dengan khusyuk, dengan perhatian dan penekanan yang seimbang. Kuntowijoyo wafat pada tanggal 22 Februari 2005 disebabkan penyakit meningo enchepalitis yang telah dideritanya selama bertahun-tahun. Meskipun menderita penyakit parah, beliau masih saja menulis beberapa buku yang baru terbit setelah kepergiannya menghadap Illahi. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Lampiran 2 Sinopsis Novel-Novel Kuntowijoyo a. Pasar Novel Pasar mengisahkan lika-liku perjalanan kehidupan Pak Mantri dalam memimpin pasar kecamatan, sebuah kota kecil yang berada dalam transisi perubahan sosial dan kebudayaan. Sebagai kepala pasar, Pak Mantri harus mengelola kehidupan pasar, mulai dari menarik orang agar melakukan kegiatan jual beli di pasar, membina hubungan dengan aparatur pemerintah (camat dan polisi), bekerjasama dengan dunia usaha, baik yang profesional (bank) maupun para pedagang. Untuk menjalankan tugas operasionalnya, Pak Mantri dibantu oleh seorang pegawai/penarik karcis bernama Paijo. Pak Mantri adalah orang Jawa terpelajar dan priayi yang tahu betul adat dan tata krama Jawa. Orang-orang mengakui hal ini, termasuk Pak Camat dan para pegawai kecamatan lainnya. Penuturan yang hangat dan lincah dari pengarang menggambarkan kepada pembaca bahwa Pak Mantri adalah priayi Jawa yang sopan, tahu diri, dan terpelajar. Namun, Pak Mantri tidak menyadari bahwa dirinya menimbulkan kesusahan bagi para pedagang pasar. Burung-burung dara milik Pak Mantri, selain mengotori pasar dan mengganggu pengunjung pasar, juga merugikan para pedagang beras , jagung, gaplek, dsb. Bukannya menyadari kesalahannya, malahan Pak Mantri menyalahkan orang-orang yang menolak kehadiran burung tersebut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Orang berbudi adalah orang yang bertanggungjawab. Memelihara burung itu adalah amanat. Itu tanggung jawab kita terhadap yang Mencipta burung. Meskipun tidak ada undang-undangnya. Ialah hukum yang tak tertulis. Siapa menyiakan makhluk lain, ia akan disia-siakan pula, suatu kali. Dan tahukah kau, bahwa hidup itu lebih dari hanya makan untuk diri sendiri? (P:8). Burung itu peliharaan penting dan spiritual dalam budaya Jawa. Selain simbol amanat Yang Mencipta sebagaimana yang diyakini Pak Mantri, memelihara burung juga merupakan bentuk kehalusan dan mencintai keindahan. Tidak ada orang Jawa yang benar-benar orang Jawa tidak mencintai rasa halus dan keindahan. Masalahnya, cara Pak Mantri memelihara burung merugikan orang lain, bahkan merugikan negara. Selain burung itu mengganggu pengunjung dan merugikan pedagang, burung juga menyita waktu kerja Paijo yang seorang abdi negara. Pak Mantri mencampuradukkan antara kepentingan sebagai kepala pasar dan kepentingan pribadi dalam urusan burung ketika memakai tenaga Paijo. Hal ini merupakan gaya khas Kuntowijoyo yang menggambarkan tokoh Pak Mantri yang seorang priayi terpelajar, tetapi di sisi lain merugikan orang lain. Pak Mantri bicara tata krama dan mawas diri gaya Jawa, namun ia sendiri tidak mawas diri. Hari demi hari burung dara di atap kantor bank pasar semakin bertambah jumlahnya. Burung-burung bebas beterbangan ke sana kemari, mengganggu lalu lalang orang-orang di pasar, bahkan mematuki barang-barang dagangan yang dijual di pasar. Akibatnya, para pedagang tidak betah berjualan. Mula-mula mereka pindah ke luar pagar pasar sehingga memacetkan jalan umum. Kasan Ngali sebagai pengusaha kecamatan melihat peluang ini. Dibukalah pasar swasta di halaman rumahnya, tidak jauh dari pasar Pak Mantri. Berpindahlah para pedagang ke pasar Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kasan Ngali, apalagi pasar Kasan Ngali tidak memungut bayaran sebagaimana pasar kecamatan yang dipimpin Pak Mantri. Melihat pasarnya ditinggalkan orang, Pak Mantri tersinggung bukan kepalang. Namun, ia berusaha menahan diri. Sebagai priayi tidak baik mengumbar kemarahan. Begitu keyakinannya. Namun, ketika pasar nyaris bangkrut ia merasa harus bertindak. Ia melapor kepada camat perihal “pembangkangan” pedagang pasar dan keberadaan pasar tidak resmi milik Kasan Ngali. Camat menerima Pak Mantri dengan sopan, tetapi tidak ada realisasi atas laporan itu. Meski di hadapan Pak Camat selalu sopan, hati Pak Mantri mengutuk-ngutuk dan mengatakan camat tidak tahu aturan, tidak mengerti kepriayian. Demikianlah orang Jawa, segala sesuatu disimpan dalam hati dan karena itu dalam beberapa hal jadi munafik. Motif Kasan Ngali mendirikan pasar di halaman rumahnya tidak semata-mata karena alasan ekonomi. Itu sebabnya ia tidak memungut bayaran. Motif yang paling penting, seperti kemudian ia juga membuka bank swasta, adalah unjuk diri dan kekayaan kepada Siti Zaitun, pegawai bank pasar, yang diam-diam disukainya. Sebagai lelaki kaya yang doyan perempuan, ia tidak bisa mencegah dirinya untuk menyukai Siti Zaitun. Memang pasar dan bank milik Kasan Ngali tidak banyak memberikan keuntungan ekonomi baginya. Keuntungan diperolehnya lebih banyak dari usahanya memborong gaplek dan hasil tani di musim panen untuk dikeluarkan pada musim paceklik dengan harga amat mahal. Atau meminjamkan uang kepada banyak orang di musim paceklik untuk membayar gaplek atau hasil tani lainnya di musim panen. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kasan Ngali adalah tengkulak dan begitulah umumnya watak tengkulak di mana pun. Ini semakin menimbulkan kebencian Pak Mantri terhadapnya, apalagi Pak Mantri tahu bahwa Kasan Ngali mengincar Siti Zaitun. Pak Mantri sendiri, sebagai bujangan tua, meski dipendam dalam hati, diam-diam menyukai Siti Zaitun. Ia pun secara terang-terangan mengutuk Kasan Ngali di hadapan Paijo. Puncak kemarahan Pak Mantri adalah ketika mendapati burung-burungnya mati bergeletakan di halaman pasar. Kemarahan semakin telak manakala menyadari hadiah daging yang diberikan Siti Zaitun kepadanya adalah daging burung peliharaannya sendiri. Ia marah dan melapor kepada polisi, tetapi tindak lanjut polisi tidak juga menggembirakan. Pak Mantri akhirnya menyerah dan menyadari keadaan. Meski kesadaran itu datangnya tiba-tiba, Pak Mantri rela menyedekahkan semua burungnya kepada siapa saja yang berhasil menangkapnya. Kandang-kandang burung di pasar dibongkar. Orang-orang menangkapi burung-burung itu. Dengan sikap penuh wibawa khas priayi, Pak Mantri bersukacita dengan kesadaran dan tindakannya, termasuk ketika Kasan Ngali membeli burung-burung hasil tangkapan orang-orang untuk dilepaskan lagi setelah diberi tanda cat pada bulu-bulunya. Sekali lagi Kasan Ngali yang bermental tengkulak memamerkan kekayaan, tidak lain tidak bukan dalam rangka memikat hati Siti Zaitun dan mengejek Pak Mantri yang priayi itu. Kasan Ngali ditampilkan sebagai sosok makhluk pengumpul harta, lintah darat, suka pamer kekayaan, doyan perempuan, dan tidak mengenal kedalaman budaya Jawa, apalagi priayi Jawa. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Di bagian akhir cerita, Paijo menggantikan kedudukan Pak Mantri menjadi kepala pasar. Selain faktor usia, tentu di zaman modern sosok Pak Mantri yang amat “Jawa” tidak cocok lagi untuk memimpin pasar yang bergerak bersama perubahan sosial di sekitarnya. Paijo lah yang cocok untuk memimpin pasar, di mana berbagai nilai bersilangan di dalam dirinya, baik nilai-nilai priayi (Pak Mantri), nilai-nilai profesionalitas modern (Siti Zaitun, pegawai bank), progresivitas usaha (Kasan Ngali, wirausaha), dan nilai-nilai wong cilik kebanyakan orang Jawa. b. Mantra Pejinak Ular Masalah pokok yang menonjol dalam novel Mantra Pejinak Ular adalah perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Bergulirnya sejarah dari kehidupan agraris yang berpijak pada mitos menuju kehidupan kota yang berpijak pada ilmu menyebabkan terjadinya perubahan sosial budaya. Sementara itu, di dalam proses perubahan sosial budaya terjadi pula dialektika politik, khususnya dinamika kelompok politik dominan (mayoritas Orde Baru) dengan kelompok minoritas yang akhirnya sanggup menjebol dan meruntuhkan kelompok dominan itu. Itu sebabnya, selain semacam “catatan etnografis”, novel Kuntowijoyo ini dalam kadar tertentu adalah novel sejarah. Tepatnya, catatan etnografis dan sejarah mengenai perubahan sosial budaya dan politisasi kesenian. Tokoh utama novel ini adalah Abu Kasan Sapari, orang udik yang sempat mengecap pendidikan (mula-mula SMA, lalu STSI Solo). Kemudian menjadi Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 pegawai negeri yang pandai mendalang. Oleh karena itu, ia terlibat dalam proses pembangunan, perubahan sosial budaya, dan akhirnya secara tidak sengaja tercebur ke dalam dinamika politik. Ia lahir di desa, dari seorang ayah yang kurang pendidikan dan seorang ibu keturunan priayi di pedesaan. Dari pihak ibu, konon leluhur Abu Kasan Sapari masih ada pertalian darah dengan pujangga besar Ronggowarsito. Oleh karena itu, kakek dan nenek Abu Kasan Sapari dari pihak ibu, sejak kecil mengasuhnya dalam tata krama seorang priayi. Sebagai orang yang tergolong kaya di desanya, kakek-nenek Abu Kasan Sapari berharap suatu hari cucunya menjadi priayi yang antara lain mengetahui dan menghayati kesenian Jawa, khususnya dunia wayang dan dalang. Abu Kasan Sapari hidup serba cukup dalam asuhan kakek-neneknya dari pihak ibu, bahkan ketika kakek-neneknya bangkrut karena pabrik-pabrik tekstil modern di negeri ini mengahancurkan industri tenun tradisional yang digelutinya. Menginjak masa SMA, selepas dari pengasuhan kakek-neneknya, Abu Kasan dipungut menjadi anak angkat Ki Lebdocarito, seorang dalang di Palar yang masih memiliki garis silsilah keturunan dengan Ronggowarsito. Di rumah Ki Lebdocarito itulah Abu Kasan memperdalam pengetahuan dan kemampuan menjadi pegawai negeri, ditempatkan di Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu. Sejak kecil, bahkan ketika masih bayi, Abu Kasan sudah diziarahkan ke makam Ronggowarsito oleh kakeknya, ngalap berkah (meminta restu), karena kakeknya punya firasat Abu Kasan akan menjadi seorang pujangga. Perhatikan kutipan berikut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kemudian, kakek meminta bayi itu. Dibawanya bayi merah yang terbungkus kain batik ke kuburan Ronggowarsito untuk ngalap berkah, meminta restu. Sambil menyerahkan kembali bayi itu dikatakannya kepada dua orang tuanya, “ Hati-hati memelihara anak ini. Besok dia akan menjadi pujangga. Aku mendapat firasat ketika aku keluar dari makam ada rombongan yang membarang, menyayi, dan menabuh gamelan. Anak itu memiringkan telinganya, seperti mendengar sinden dan klenengan.” (MPU:2) Abu Kasan kecil lahir di tengah masyarakat agraris yang seluruh sikap dan tindak–tanduknya masih kental dengan berbagai mitos dalam tradisi Jawa-Islam. Nama Abu Kasan sendiri tidak luput dari pertimbangan mitos dalam tradisi, yang mengacu pada Abu (sahabat nabi, yakni Abu Bakar), Kasan (cucu nabi, alias Hasan), sedangkan Sapar adalah bulan ketika ayah-ibu Abu Kasan menikah. Macapat dan tembang Jawa, misalnya Dhandanggula peninggalan Sunan Kalijaga, shalawatan dari buku barzanji, sejak Abu Kasan bayi sudah merasuk ke dalam jiwanya. Inilah catatan etnografis yang memperlihatkan pernak-pernik kehidupan masyarakat agraris dengan segala rupa mitos, keyakinan, dimana agama sering bercampur dengan tradisi budaya turun-temurun. Di tengah dominasi budaya agraris itulah perlahan-lahan budaya modern (kota) masuk ke desa Abu Kasan. Bangkrutnya perusahaan tenun tradisional kakeknya tidak lain oleh munculnya pabrik-pabrik tekstil dengan budaya dan teknologi modern. Demikian pula dengan dibangunnya sekolah-sekolah di luar sekolah agama (madrasah) dan sekolah gamelan (belajar mendalang). Perkenalan ayah dan ibu Abu Kasan pun sudah terpengaruh perkenalan tokoh-tokoh dalam filmfilm modern yang diputar di bioskop kota kabupaten. Sementara Abu Kasan sendiri mengenyam pendidikan SMA, menjadi pegawai negeri, mengikuti kursus cara-cara Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 membangun desa (agar modern tentunya), yang artinya bersentuhan erat dengan kebudayaan modern. Pada zaman itu hampir di seluruh tempat di Indonesia sedang berlangsung modernisasi, terutama setelah Orde Baru tampil berkuasa. Abu Kasan Sapari menjadi pegawai kecamatan dan oleh karena itu dia harus membangun desa. Berbekal kursus-kursus modern, Abu Kasan berhasil mengajak masyarakat di kaki Gunung Lawu untuk membangun desa: membuat saluran air, membangun MCK, mengajak masyarakat memelihara kebersihan lingkungan, membuat pagar rumah, termasuk pada akhirnya menyadarkan masyarakat akan hakhak politik sebagai warga negara. Di bawah komando camat, bupati, dan seterusnya ke atas, Abu Kasan terlibat dalam gerakan-gerakan penataran P-4, perpustakaan masuk desa, kursus baca tulis, dan gerakan perekonomian desa (penyuluhan cara beternak, bertani, membuat emping melinjo, dan sebagainya). Ia bekerjasama dengan mahasiswa UNS yang KKN, menyiapkan berbagai perlombaan yang mengarah pada modernisasi pedesaan. Abu Kasan Sapari, meski berbasis tradisi Jawa-Islam dan dididik secara priayi oleh kakek-neneknya, akhirnya menjadi agen modernisasi pembangunan. Di sela-sela kesibukannya membangun desa, tepatnya pada sebuah pesta pasar malam, Abu Kasan mengalami peristiwa yang tidak masuk akal. Di tengah keramaian pasar malam, ia didatangi seseorang yang tidak dikenal, memakai ikat kepala lepasan, baju surjan lurik, dan sarung kotak-kotak, yang mewariskan “mantra pejinak ular”. Peristiwa ini adalah bukti bahwa masyarakat tempat Abu Kasan masih berada dalam transisi tradisi Jawa-Islam dan modernisasi. Perhatikan kutipan berikut. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 “Ini rahasia. Daun dan rumput tak boleh mendengar, “kata orang itu. Di kejauhan terdengar pengeras suara dengan musik dangdut. “Kau tidak boleh meninggal sebelum mengajarkan ilmu ini pada orang yang tepat”. “Apa itu?” “Mantra pejinak ular”. Kemudian orang itu mencari telinga kanan Abu, dan membisikkan sebuah kalimat. “Paham?” Kemudian orang itu kembali berbisik di telinga kanan Abu. “Sudah, ya?” Abu mengangguk. “Mantra itu tidak boleh salah ucap. Bacalah itu setiap kali kau menghadapi ular.” “Mantranya kok bahasa Arab, ya?” “Ya, ini semua dari Al-Qur’an...”(MPU:19). Setelah Abu Kasan mampu melafalkan mantra itu dan lelaki tua yang misterius memintanya agar puasa mutih (hanya makan nasi putih sekepal) selama tujuh hari tujuh malam. Kemudian orang itu pun menghilang. Abu Kasan yang telah memasuki alam pikiran dan dunia modern tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari tradisi Jawa-Islam yang berbau mistik (mitos). Judul novel ini “Mantra Pejinak Ular” tentu saja memegang peranan penting dalam menggulirkan peristiwa demi peristiwa dalam novel ini, khusunya dalam konteks perubahan sosial budaya. Pada bagian akhir novel akan terlihat bagaimana Abu Kasan harus meninggalkan ular-ular dan membuang mantra kemudian sepenuhnya memasuki kehidupan realitas (kawin dengan Lastri, mendalang, sambil tetap menjadi pegawai negeri). Dalam bahasa esai Kuntowijoyo sendiri, bagian akhir novel ketika mengisahkan Abu Kasan berpisah dengan ular dan mantranya, dapat dianggap sebagai peristiwa “ selamat tinggal mitos, selamat datang realitas”. Demikianlah Kuntowijoyo menegaskan bahwa hidup sekarang ini tidak bisa tidak Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 berpijak pada realitas, berpegang pada ilmu, percaya pada yang transenden (Tuhan), bukan berpijak pada mitos, berpegangan pada klenik, apalagi syirik menjamakkan Tuhan. Simaklah kata-kata eyang (leluhur) Abu Kasan yang hadir dalam mimpinya: “Buang saja mantra itu, yang kau perlukan ialah ilmu. Teknologi, dan doa, bukan mantra” (MPU:231). Atau kata-kata Haji Syamsudin kepada Abu Kasan yang bimbang karena mantra pejinak ular hanya bisa dibuang kalau ia sudah menemukan orang yang tepat untuk mewarisinya. Jangan percaya! Itu gombal, itu sampah. Kau orang beriman. Karenanya malah kau wajib memutuskan mata rantai sirik itu. Sekarang zaman modern, bukan zamannya mantra lagi (MPU:233). Melalui novel ini Kuntowijoyo mengajak masyarakat untuk meninggalkan mantra-mantra yang berbasis mitos, mistik, dan klenik. Kemudian, menggantinya dengan ilmu yang berpijak pada realitas dan doa yang langsung mentransendensikan diri kepada Tuhan. Dalam berbagai esai dan artikelnya, berkali-kali Kuntowijoyo menegaskan bahwa ilmu dalam paradigma Islam berpijak pada emansipasi (amar ma’ruf), liberasi (nahyi munkar), dan transendensi (tu’minunabillah). Abu Kasan, pegawai kecamatan yang cerdas, terampil, jujur, dan yang lebih penting lagi pandai mendalang sehingga pandai dikenal dan dekat dengan masyarakat. Kecamatan tempat Abu Kasan bekerja dapat dibilang sukses menjalankan program pembangunan. Oleh karena itu, camat senang sekali dan sering memuji Abu Kasan. Begitu pula dengan tokoh-tokoh masyarakat. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Selain sebagai pegawai kecamatan dan pawang ular, Abu Kasan adalah dalang. Ia mencoba memadukan ular sebagai simbol lingkungan dengan dalang, bersama kelompok Masyarakat Penggemar Ular (MPU) dan Pengurus Kebon Binatang, Abu Kasan mendalang tentang lingkungan dengan lakon “Perjamuan Ular”, lakon di luar pakem yang menimbulkan prokontra di masyarakat. Di Tegalpandan Abu Kasan mengenal seorang perempuan yang akan dinikahinya, seorang janda, penjahit pakaian, sekaligus penyanyi dan perias pengantin. Di Tegalpandanlah cinta bersemi dan Lastri-lah yang banyak menolong kesulitan Abu Kasan dalam masyarakat, baik dalam hal protes masyarakat kepada Abu Kasan karena memelihara ular maupun intrik politik dari mesin politik yang tidak menyukainya. Sebagai pegawai kecamatan, Abu Kasan berada dalam struktur negara/pemerintahan. Akan tetapi, karena ia berada di luar jaringan mesin politik (Partai Randu), ia berada di luar sistem. Inilah yang merepotkan Abu Kasan. Berkalikali ia ditawari menjadi calon legislatif oleh Partai Randu dan ia menolak. Ia malah mendirikan kelompok “Paguyuban Pedalangan Independen” yang segera dipahami mesin politik sebagai dalang non-pemerintah, lalu berubah menjadi dalang antiPancasila, subversif, dan sejenisnya. Ia dilaporkan mesin politik, ditangkap polisi, meski kemudian dilepaskan karena tidak ada bukti unsur subversif. Tentang kesenian dan politik, termasuk sikap Abu Kasan tentang seni dan politik, berikut jawabannya yang diberikan pada seorang wartawan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Kita mesti membedakan dua hal, yaitu dalang dengan seni pedalangan dan dalang sebagai pribadi. Dalam hal pertama, para dalang jangan mempergunakan seni untuk kepentingan politik, artinya mendalang dalam rangka kampanye suatu parpol tidak boleh secara mutlak. Tetapi dalam hal kedua, diam-diam seorang dalang boleh menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menjadi pendukung parpol. Hanya saja kalau sampai ketahuan orang lain itu berarti cacat budaya yang dapat mempunyai akibat-akibat buruk baginya, seperti tersingkir dari komunitas dalang. Karenanya saya sendiri tidak akan mengerjakan hal kedua itu (MPU:137). AKS berpendapat bahwa seni itu seperti air. Artinya kalau ada yang benjolbenjol dalam masyarakat seni akan menutupinya, menjadikannya datar. Kalau ada api seni akan menyiramnya. Mengutip ajaran Sunan Drajat, AKS berpendapat seni memberi air mereka yang kehausan, memberi payung mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan. Sebaliknya, seni yang hanya menjadi antek politik akan mengingkari tugasnya sebagai seni....(MPU:153). Sikap Abu Kasan jelas. Meski akan menerangi masyarakat, ia tidak akan menggunakan dalang untuk kepentingan politik. Namun, karena ia menolak tawaran mesin politik, ia dipandang lain. Inilah yang membuat Abu Kasan diawasi Partai Randu yang berkuasa di bawah komando mesin politik, hingga kemudian ditangkap dan dituduh yang aneh-aneh. Akan tetapi, siapakah sesungguhnya yang berpandangan dan menggunakan kesenian sebagai alat politik. Kuntowijoyo menjawabnya bahwa pemerintahlah yang justru memperlakukan kesenian sebagai alat politik. Dalam esai “Politisasi, Komersialisasi, dan Otonomi Budaya”, Kuntowijoyo menegaskan bahwa politisasi dihadirkan dalam bentuk vulgarisasi kebudayaan. Di antara yang amat jelas kentara politisasi budaya itu adalah dunia pewayangan dan media massa. Pedalangan dijadikan alat untuk menggandakan kepentingan politik tertentu, pada zaman Orde Baru apalagi kalau bukan untuk Golongan Karya (Anwar, 2007:97-98). Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Demikianlah, Abu Kasan sebagai sosok seniman yang berpijak pada alam (seni seperti air), yang dengan jernih mampu membedakan mana bagian kesenian dan mana bagian politik, termasuk dalam dirinya sendiri. Ia mampu membedakan pegawai negeri sebagai abdi negara dengan pegawai negeri yang menyerahkan seluruh sikap dan tindak-tanduknya bagi kepentingan mesin politik. Dalam novel ini sikap Abu Kasan banyak mendapat dukungan, termasuk ketika ia ditangkap orangorang banyak yang protes. Ia termasuk sedikit dari pegawai negeri yang lolos dari jerat mesin politik. Ia telah mengalami suka duka menjadi pegawai sekaligus seniman di zaman Orde Baru, hingga kemudian Orde Baru runtuh dan datanglah zaman reformasi. Abu Kasan telah berperan dalam hal ini, melalui konsep seni sebagai air yang meratakan benjol-benjol dalam masyarakat. Sebagai novel yang berpijak pada budaya Jawa-Islam, khususnya konsep wayang dituturkan dengan bahasa yang lugas, santai, hampir di seluruh bagian novel bertaburan simbol-simbol yang bagi orang Jawa akan gampang dipahami. Novel ini merupakan semacam “catatan etnografis” sekaligus penuturan sejarah yang dimulai dari hal-hal kecil, baik itu tokoh Abu Kasan Sapari, masyarakat Kemuning di kaki Gunung Lawu, kota-kota kecamatan, serba-serbi pemilihan kepala desa, sampai persoalan besar mengenai politik dan jaringan kekuasaan Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejumlah peristiwa dalam novel ini berbau mitos, mistis, bahkan klenik yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan akal rasional. Pada bagian akhir ditampilkan seorang tokoh bernama Kismo Kengser (artinya “tanah tergusur”) yang mengutuk dan menggugat segala macam kebusukan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 politik dan kekuasaan Soeharto di zaman Orde Baru. Oleh karena itu, Kismo Kengser meramalkan Orde Baru akan segera jatuh karena ketidakadilan sudah merajalela di mana-mana. Menurut Kismo, para pengusaha bukan lagi pamong, tapi maling betulan, maling berdasi, maling berbintang, dan maling berpendidikan. Persekongkolan penguasa, pengusaha, tentara, dan Partai Randu dalam rangka memeras rakyat. Dan pada akhirnya ada pertanda bahwa sebuah pohon besar tumbang. Orang sekitar terminal mendengar suara, “Rak-rak-reketeg! Brrruuk!” Suara itu sebenarnya cukup keras, tapi tertutup oleh gemerosok hujan dan angin ribut. Lhadalah! Pagi hari, hujan dan angin reda. Orang-orang keluar ke terminal. Beringin itu tumbang! (MPU:193). Pohon beringin itu merupakan petanda bahwa Orde Baru runtuh. Abu Kasan lulus dari STSI Solo dan ia jadi sarjana. Ki Lebdocarito, ayah angkat Abu Kasan, meninggal dunia dan menunjuk Abu Kasan sebagai ahli waris seluruh perlengkapan gamelan wayang miliknya. Ki Lebdocarito adalah dalang yang setia pada pakem, sedangkan Abu Kasan dalang yang inovatif, yang sudah bersilaturahmi dengan dunia modern. Maka mantra ular yang dimiliki Abu Kasan (mitos-mitos) segera dibuang, selain mengarah kepada syirik (membahayakan tauhid Islam), tidak sesuai pula dengan dunia modern yang berpijak pada realitas, ilmu, dan teknologi. Abu Kasan memberikan ular peliharaannya ke kebun binatang, kemudian berencana menikahi Lastri, dan menjalani hidup sebagai seorang sarjana dalang. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 c. Wasripin dan Satinah Novel Wasripin dan Satinah mengungkapkan bagaimana penguasa fobia dengan agama Islam, khususnya penguasa Orde Baru. Islam dipandang sebagai mitos yang para penganutnya menyimpan “ideologi” pembangkangan. Tidak mengherankan bila Wasripin, tokoh utama novel ini, dilenyapkan para penguasa atas nama pembangkangan tersebut. Begitu pula dengan Pak Modin yang dipaksa penguasa mengaku sebagai komandan NII (Negara Islam Indonesia), sebagai alasan jahat penguasa untuk meredam “suara-suara” yang tidak seragam dengan pemerintah. Demikianlah Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan manusia dan seluruh organisasi, dengan berbagai cara menyingkirkan siapa saja yang dianggap subversif dan “anti-Pancasila”, sebuah cap yang sepenuhnya dirumuskan oleh kacamata penguasa. Pancasila menjadi ideologi yang terus-menerus didoktrinkan untuk melanggengkan kepentingan politik para penguasa Orde Baru. Di tengah suasana politik seperti inilah Wasripin, Pak Modin, Satinah, dan Paman Satinah hidup, yang akhirnya merampas kahidupan dan masa depan mereka. Dengan segala tipu daya, kebohongan, fitnah yang keji, dan manipulasi yang rapi, penguasa Orde Baru dapat dengan gampang menangkap dan mendiskreditkan seseorang, sebagaimana dialami Wasripin. Pagi TVRI dan koran-koran memberitakan bahwa Wasripin mati ditembak tentara waktu berusaha merebut senjata. Mayatnya dikuburkan di suatu tempat yang dirahasiakan karena dapat meimbulkan syirik. Kemudian juga dikatakan bahwa dia Komandan DI/TII Pantura, anti-Pancasila, dan ingin mendirikan Negara Islam dengan kekuatan senjata. Gambar-gambar setumpuk senapan dan seonggok granat tangan di bawah dipan dipajang...Kata para pejabat yang Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 dikutip koran ialah bahwa pemerintah akan menindak tegas pelaku-pelaku makar...(WdS:231). Manipulasi dan fitnah yang sempurna. Dengan cara seperti itu penguasa berharap, mereka yang membangkang atau ada indikasi membangkang, baik atas nama “ekstrim kanan” (Islam) maupun “ekstrim kiri” (PKI), akan miris dengan berita sejenis itu. Tentu saja penguasa tidak terlalu peduli, apakah ekstrim kanan atau kiri itu ada atau tidak, apakah Wasripin itu benar bersalah atau tidak. Rekayasa merupakan strategi Orde Baru untuk menutupi segala kebusukan sekaligus dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Islamofobia (istilah Taufik Abdullah) sebagaimana diuraikan Kamaruzzaman (2001:131-132) sesungguhnya sudah muncul sejak republik ini lahir. Pada masa Orde Baru, Islamofobia dibentuk oleh pemerintah dengan jargon ekstrim kanan tidak lain sebagai bagian rekayasa rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Akan tetapi, siapakah Wasripin? Betulkah ia komandan DI/TII dan berkeinginan mendirikan negara Islam? Betulkah ia bersama Pak Modin memanfaatkan surau untuk memperkuat basis pembangkangan? Novel ini membuktikan bahwa itu semua tidak benar. Wasripin adalah orang miskin. Ia lahir di sebuah desa di pantai utara Cirebon dan Semarang. Kemudian merantau ke Jakarta, menjalani hidup miskin, amat meyakinkan karena kemiskinannya telah memaksa ia menerima keadaan, termasuk keadaan yang hina dina, tanpa masa depan, bahkan bergelimang dosa dan kenistaan. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Gambaran kehidupan Wasripin yang miskin dan “bejat” di Jakarta dapat dilihat pada kutipan berikut. Ia tidur dengan emak angkatnya, berdesakan satu kamar dengan dua wanita lain yang masih bersaudara dengan emek angkatnya dan bekerja sebagai penyapu jalan. Mereka berdua mendapat satu dipan. Kalau ada lelaki datang, ia tidur dengan dua wanita itu, sementara penyekat dari kain kusam dipasang. Mereka hanya menghadap ke arah lain. Ia sepertinya mendengar suara-suara, tetapi waktu itu tidak tahu artinya...Umur enam belas atau tujuh belas emak angkatnya meraba-raba sarungnya dan berbisik, sangat dekat ke telinganya.“Engkau laki-laki dewasa!”....Dan emak angkatnya lalu sibuk memasang kain penyekat. Mula-mula ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun kemudian tahulah ia. Kejadian itu berjalan lama, sampai ia menjadi terbiasa (WdS:4). Tidak ada moral di situ, apalagi yang dimaksud moral adalah tingkah laku kelas menengah dan kaya yang bermental “borjuis”. Wasripin hanya tamatan SD. Ia kemudian menjadi pemuas nafsu para wanita di kampung kumuh Jakarta. Ia membantu emak angkatnya berjualan ketoprak. Ia tidak pernah sembahyang dan mengenal peribadatan. Kemiskinan sebagai urban menyeretnya ke jurang penuh dosa dan kehinaan. Tetapi, ia bertekad ingin mengubah nasib dengan memutuskan meninggalkan sudut Jakarta yang kumuh, menuju suatu desa di pantai utara antara Cirebon-Semarang, desa tempat dulu ibunya melahirkan dirinya. Dari peristiwa inilah, latar cerita berpindah ke perkampungan di pantai utara. Seperti novel Kuntowijoyo yang lain, khusunya Mantra Pejinak Ular, novel ini berpijak pada latar sejarah dan sosial di zaman Orde Baru. Itu sebabnya, selain sebagai novel esai atau gagasan, novel Wds dapat dipandang pula sebagai “catatan etnografis” mengenai pahit-getirnya kehidupan wong cilik yang tersingkir dari Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 kehidupan dan kemudian dilenyapkan sebuah rezim yang sama sekali tidak pernah dipahami keberadaannya oleh orang-orang miskin itu. Kehadiran Wasripin di perkampungan nelayan di pantai utara diterima dengan baik, bahkan menjadi orang yang sangat dibutuhkan, karena Wasripin memancarkan harapan bagi para nelayan yang sekian lama hidup miskin dan tidak pernah lepas dari masalah. Di tengah warga nelayan Wasripin dianggap sebagai pemimpin, sesuatu yang nyaris tidak dapat dipahami oleh Wasripin sendiri yang cuma orang miskin lulusan SD. Ia dibutuhkan warga karena ternyata Wasripin “orang yang cerdas”. Ia bisa memijit, bahkan mengobati orang sakit menahun dengan pijitannya itu. Ia bisa menduga dan menafsirkan kejadian-kejadian. Ia bisa mengusir jin yang mengganggu masyarakat. Singkat kata, kehadirannya membawa keberuntungan. Pangkal semua itu adalah tidur selama tiga hari tiga malam, begitu ia tiba di surau di perkampungan nelayan. Ini peristiwa aneh, menggemparkan, membuat Wasripin secepat kilat terkenal di kampung itu. Ia dianggap sebagai Nabi Khaidir, simbol pengetahuan dan pertolongan. Dan memang dalam tidur selama tiga hari itu ia bermimpi bertemu lelaki tua yang mengajarinya banyak hal, meski tidak sepenuhnya dipahami Wasripin. Kehadiran Wasripin di kampung nelayan mirip kehadiran “Ratu Adil” di sebuah masyarakat yang sudah sekian lama menantikannya. Di titik ini Kuntowijoyo sedang memotret sebuah masyarakat yang berada dalam ketidakberdayaan: miskin, menderita, terbelenggu, merasa terancam oleh kesewenang-wenangan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa tiran. Bagi orang Jawa, Indonesia Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 umumnya, Ratu Adil adalah simbol pembebasan yang dinanti-nantikan kehadirannya. Di tengah masyarakat semacam itu, mitos dan hal-hal yang tidak rasional mewarnai sikap dan tindak-tanduk mereka. Perhatikan tanggapan penduduk kampung nelayan berikut. “Jangan-jangan Nabi Hidhir.” “Ya, jangan-jangan Sang Nabi.” “Pasti. Baunya harum!” “Kalau begitu, akhirnya Dia mengabulkan doa kita.” “Tak sudi lagi ada yang sewenang-wenang!” “Tak sudi lagi dipaksa-paksa!” “Kita perlu pemimpin!” “Yang muda!” “Pemberani!” (WdS:20-21). Di kampung nelayan itulah hidup Wasripin berubah. Ia tidak lagi susah dan menderita seperti waktu di Jakarta. Ia kini terhormat dan dibutuhkan banyak orang. Ia bisa belajar agama dan sholat kepada Pak Modin. Ia berkenalan dengan perempuan yang kelak jadi calon mempelainya: Satinah yang datang dari sebuah desa, bersama masa lalu yang kelam dan menyakitkan. Satinah bersama pamannya, selain kerja menjahit, menjadi penyanyi di pasar, di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), di berbagai tempat di kampung nelayan itu. Satinah yang miskin menolak lamaran untuk menjadi pelacur. Ia memilih hidup bersama pamannya yang dulu “memerkosanya”, tetapi pamannya mencongkel mata sehingga buta dan berjanji menjadi “budak” Satinah. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Wasripin diterima penduduk nelayan dengan sukacita. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari menjadi pegawai oleh seorang pedagang. Ia ditawari menjadi pegawai kelurahan. Ia ditawari pengurus beberapa partai. Namun, ia memilih tawaran kepala TPI menjadi satpam Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 TPI. Di tempat inilah Wasripin tiba-tiba bisa menaklukkan jin yang suka mengganggu lokasi TPI. Wasripin semakin terkenal dan disukai masyarakat. Kehadiran Wasripin memang membawa keberuntungan. Jika ia ikut melaut maka nelayan akan mendapatkan ikan banyak. Jika ia duduk dekat seorang pedagang maka dagangan orang itu akan laku. Jika sekelompok nelayan diterjang badai di lautan, dengan menyebut nama Wasripin badai akan menghilang. Maka potret-potret Wasripin beredar dibawa orang ke mana-mana, termasuk ketika melaut, karena diyakini membawa keberuntungan. Wasripin nyaris dikultuskan menjadi mitos di tengah kehidupan nelayan. Akan tetapi, karena itu pulalah ia dicurigai pemimpin partai, tentara, polisi, intel, dan semua penguasa. Itu pulalah yang kemudian menyeret Wasripin berurusan dengan polisi, tentara, intel, para penguasa, hingga ujungnya ia difitnah, dijebak, dituduh, kemudian dibunuh. Wasripin hidup di sebuah kampung yang tidak pernah lepas dari intrik politik, terutama permainan Partai Randu (sama dengan “Partai Randu” dalam novel MPU), partai penguasa yang dapat memanfaatkan seluruh jaringan birokrasi (camat, polisi, tentara) dan para penguasa. Maka tidak mengherankan ketika Pak Modin memenangkan Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), atas intruksi pusat Pak Modin tidak dilantik. Ketika rakyat protes, penguasa malah memanggil Pak Modin untuk diperiksa. Pak Modin diminta mengisi formulir, semuanya tentang pekerjaan, organisasi sosial, kegiatan politik, dan kondisi keuangan. Ia harus mengisi tentang ia sendiri: orang tuanya, mertuanya, paman-pamannya, keponakan- Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 keponakannya. Semua tinggal mencoretnya, tidak punya siapa-siapa. Hanya ketika harus mengisi soal anak, nampak matanya berkaca-kaca, agak raguragu. “Anakmu masuk CGMI, ya?” (WdS:89). Dan yang terjadi adalah Pak Modin dibatalkan untuk menjadi Kepala Desa oleh Bupati, tidak lain semata-mata demi keberlangsungan Partai Randu (Golkar). Begitulah kebusukan penguasa semakin menjadi. Tidak ada lagi keadilan. Tidak ada lagi moral. Bahkan ketua partai menanggung aib besar karena menghamili seorang guru yang diangkat jadi pengurus Partai Randu. Tidak ada yang bisa menyelesaikan dampak dari aib itu, kecuali Wasripin. Wasripin suka menolong siapa saja, tidak pandang bulu. Itu sebabnya ia nyaris dikultuskan penduduk, hingga akhirnya Wasripin dituduh sebagai penyebar ajaran sesat oleh Badan Pengawas Agama yang tidak lain alat penguasa untuk mengawasi gerakan masyarakat dalam bidang agama. Sekali lagi harus ditegaskan, penguasa Orde Baru amat fobia dengan agama, khususnya agama Islam. Wasripin diawasi terus-menerus oleh intel, berkali-kali dipanggil, diinterogasi dan diintimidasi, meski penguasa tidak pernah punya bukti untuk menahan dan menghukumnya. Hingga pada suatu hari Wasripin lagi-lagi ditangkap dengan tuduhan pemimpin Gerakan Pemuda Liar (GPL). Namun, Wasripin lagi-lagi tidak bisa dijerat, termasuk tuduhan berikutnya berkaitan dengan ramainya peristiwa “pembunuhan” dukun santet. Dengan alasan Wasripin orang yang pandai, penguasa menuduh pastilah Wasripin yang membunuh dukun santet. Akan tetapi, Wasripin tidak dapat dijerat. Ia tidak terbukti dan karena itu dilepaskan. Wasripin dituduh Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 golput, tetapi tidak dapat dibuktikan. Wasripin dituduh PKI karena tidak punya KTP, tetapi masih dapat dielakkan. Berbagai cara terus dilakukan Partai Randu (penguasa) untuk meringkus Wasripin dan pak Modin. Sementara Wasripin dan Pak Modin semakin populer di masyarakat, strategi pun diubah. Partai Randu mencoba merayu Wasripin agar mau jadi pengurus atau calon anggota DPR, tetapi Wasripin menolaknya. Hingga pada suatu hari, Wasripin dikabarkan akan mendapat Anugerah “Adhikarta” dari Mabes di Jakarta. Pemimpin Partai Randu gerah. Segala persiapan dilakukan. Namun, menjelang hari-H, tiba-tiba ada berita pemberian anugerah dibatalkan. Semua itu atas usaha keras Partai Randu Kabupaten yang menelepon Ketua Umum Pusat agar minta petunjuk Ketua Dewan Pembina Partai Randu. Partai Randu memang lihai memanipulasi dan memaksakan keinginan. Berbagai lobi dan upaya selalu dilakukan demi kemajuan Partai Randu, termasuk memolitisasi agama. Ketika DPRD sepakat aklamasi untuk menetapkan K.H. Rifa’i Kalisasak sebagai Pahlawan Nasional, Partai Randu kelabakan. Mereka beranggapan para pengikut tarekat aliran Rifaiyah kebanyakan golput, jadi penobatan K.H. Rifa’i sebagai Pahlawan Nasional akan merepotkan Partai Randu. Partai Randu berupaya dengan berbagai cara. Akan tetapi, karena masyarakat terus mendesak, akhirnya K.H.Rifa’i dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Di sini tampak bagaimana politisasi agama berlangsung, termasuk di tubuh Badan Pengawas Agama yang menjadi antek Partai Randu. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Akan tetapi, seperti telah dikemukakan, Partai Randu terus-menerus bekerja keras menyingkirkan orang-orang yang akan menghalangi langkahnya dalam mempertahankan kekuasaan. Maka inilah rekayasa yang berhasil melumpuhkan Wasripin hingga ia ditahan dan kemudian dilenyapkan. Wasripin ditangkap dengan tuduhan menyimpan seonggok senapan dengan granat di bawah dipan tempat tidurnya. Senjata dan granat itu sengaja disimpan intel di kamar Wasripin. Penangkapan Wasripin sudah diatur sedemikian rupa, termasuk mengajak kru televisi dan wartawan koran. Maka tamatlah riwayat Wasripin. Hal yang menimpa Wasripin, menimpa Pak Modin pula. Dengan alasan yang tidak masuk akal, Pak Modin dipaksa mengakui bahwa ia adalah Presiden NII. Bagaimana keras dan kejamnya intimidasi itu hingga pada suatu hari Pak Modin dipulangkan secara liar ke kampung nelayan dalam kondisi menyedihkan. Perhatikan kutipan berikut. Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama yang lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu... “Kenalkan saya Mister Mudin, Presiden NII.” “Bukan. Tapi Pak Modin, imam surau TPI.” “Saya berani sumpah. Pengangkatan sudah saya tanda tangani. Disaksikan dua kopral, bersenjata lengkap. “Tidak, Pak.” (WdS:255). Pak Modin dipapah memasuki kampung dalam keadaan trauma di tengah penduduk kampung yang amat mencintainya. Sepeninggal Wasripin, kampung nelayan terus-menerus mengalami keributan. Penduduk memasang bendera setengah tiang atas hilangnya Wasripin. Polisi dan Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 tentara mengintimidasi dan menegaskan bahwa itu merupakan pembangkangan. Para nelayan tidak mau melaut, tetapi polisi dan tentara memaksa. Kerusuhan tidak terhindarkan hingga pada suatu hari Ketua Partai Randu di desa nelayan itu mengundurkan diri dan membubarkan partai. Oleh karena nelayan tetap mogok, penguasa dengan sewenang-wenang menaikkan pajak sehingga terpaksalah para nelayan melaut seraya memanggil-manggil nama Wasripin. Adapun Satinah kembali ke desanya setelah pamannya meninggal dunia dan Wasripin menghilang tidak tahu rimbanya. Pada suatu hari, emak angkat Wasripin tiba di kampung nelayan itu, bermaksud meminta maaf kepada Wasripin dan kepada Paman Satinah yang tidak lain suami emak angkat Wasripin. Demikianlah, perilaku para penguasa di zaman Orde Baru, dengan bantuan jaringan birokrasi, dengan serampangan menuduh dan membunuh masyarakat yang tidak pernah jelas dan terbukti kesalahannya, termasuk gerakan-gerakan makar berbasis agama sebagaimana yang dituduhkan penguasa. Dalam kata-kata Bruinessen (1999:301), pada tahun 80-an pemerintah Orde Baru mensinyalir adanya beberapa kelompok yang dituduh sedang mempersiapkan negara Islam melalui jalan kekerasan. Akan tetapi, sulit memastikan seberapa murni gerakan itu dan sejauh mana mereka benar-benar terlibat dalam apa yang dituduhkan kepada mereka. Kecilnya jumlah anggota yang berhasil mereka rekrut menunjukkan bahwa di kalangan muslim yang kecewa sekalipun tidak ada kecenderungan kuat pada kekerasan fisik. Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 Lampiran 3 Kulit Sampul Novel-Novel Kuntowijoyo a. Pasar Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 b. Mantra Pejinak Ular Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009 c. Wasripin dan Satinah Muharrina Harahap : Mitologi Jawa Dalam Novel-Novel Kuntowijoyo, 2009