1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Adanya wacana pembedaan agama yang diakui dan tidak diakui
mengakibatkan terjadinya berbagai diskriminasi di Indonesia. Enam agama yang
resmi diakui Negara seperti yang tersirat dalam UU No.1/PNPS/1965 tentang
Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama menunjukkan
intervensi Negara yang amat besar terhadap kehidupan keagamaan. Hanya ada
enam agama yang diakui di Indonesia dengan mendapatkan jaminan dan bantuan
finansial dari Negara, antara lain: Hindu, Budha, Khonghucu, Islam, Katolik dan
Protestan. Sedangkan agama-agama minoritas seperti Yahudi, Taoism, Shinto
tidak dilarang keberadaannya. Namun, bagi aliran kepercayaan, mereka dianggap
bertentangan dengan hukum dan membahayakan bagi agama-agama di Indonesia
sehingga pengikutnya harus diarahkan pada pandangan yang sehat atau agama
induknya. Pernyataan tersebut jelas mendiskriminasikan aliran kepercayaan
maupun agama lokal lainnya (Suhadi 2008). Undang-undang tersebut bisa
dikatakan sebagai akar dari berbagai permasalahan diskriminatif terhadap aliran
kepercayaan maupun agama lokal yang merupakan agama asli Indonesia
(Subagya 1981). Dalam undang-undang tersebut, Negara menggolongkan agama
secara sempit dan sangat politis, terlebih berupaya menyingkirkan aliran
kepercayaan sebagai ‘belum beragama’ (Bagir 2011). Polemik terhadap UU
No.1/PNPS/1965 mewarnai gejolak dan perwujudan kebebasan beragama di
Indonesia. Undang-undang tersebut hingga sekarang masih dipertahankan dengan
2
ditolaknya uji materiil UU No.1/PNPS/1965 pada tahun 2010 (Koban 2011). Uji
materiil UU No.1/PNPS/1965 oleh Mahkamah konstitusi berlangsung mulai
Desember 2009 hingga April 2010 (Bagir 2011).
Melalui TAP MPR No.IV/MPR/1978 tentang GBHN, disini tertulis bahwa
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah termasuk agama. Sejak
inilah pemerintah Orde Baru mulai menegaskan dirinya tentang kedudukan aliran
kepercayaan di Indonesia. Namun dalam penjelasannya tidak ada definisi yang
jelas baik agama maupun kepercayaan yang dimaksud. Dalam pasal 29 ayat 2
UUD 1945 disebutkan tentang hak kebebasan beragama bagi setiap warga
Indonesia, baik agama maupun kepercayaan, namun kenyataanya, dalam praktek
maupun kebijakan Negara banyak yang tidak selaras dengan landasan konstitusi
tersebut.
Konsepsi istilah agama di Indonesia yang dibuat oleh Departemen Agama
mensyaratkan adanya wahyu Tuhan, memiliki nabi, kitab suci, dan pengakuan
berskala internasional (Saidi et al 2004) (Kholiludin 2009). Terlihat bahwa
definisi tersebut sangat politis, sempit dan Abrahamik (Bagir 2011). Jane Monnig
Atkinson menambahkan satu syarat lagi yakni bahwa agama akan membawa ke
arah yang progresif menuju modernisme (Atkinson 1978). Ditegaskan lagi bahwa
definisi tersebut sangat didominasi perspektif agama Kristen dan Islam yang
mensyaratkan adanya wahyu tuhan yang tertulis dalam kitab suci, adanya
pedoman hukum bagi umatnya, adanya jemaat dan keyakinan pada Tuhan Yang
Maha Esa (Picard dan Madinier 2011). Padahal jika mengacu pada kriteria
3
tersebut, kerokhanian Sapta Darma telah memenuhi semua itu untuk bisa disebut
sebagai agama. Kerokhanian Sapta Darma mengajarkan kepercayaan kepada
Tuhan YME, memiliki wewarah tujuh sebagai pedoman, Hardjosapuro sebagai
penerima wahyu, pemimpin ajarannya disebut Tuntunan Agung sedangkan
penganutnya disebut warga.
Namun sebaliknya, fakta yang terjadi mereka tidak mendapat pengakuan
untuk itu dan harus puas dengan label aliran kepercayaan (Suhadi 2008).
Kenyataan di Indonesia banyak sekali dijumpai agama-agama lokal yang
jumlahnya ratusan. Hal ini termasuk bentuk diskriminasi kepada mereka yang
tidak memeluk agama besar dunia terlebih agama yang berlabel resmi. Padahal
banyak aliran-aliran keagamaan muncul namun karena masih berada dalam
payung agama resmi sehingga tidak dipandang sebagaimana aliran kepercayaan
(Howell 2005). Harapan besar dari penghayat aliran kepercayaan untuk bisa
mendapatkan pengakuan dari Negara dan sejajar dengan agama-agama lainnya.
Pengakuan ini dalam politik rekognisi tidak sebatas membiarkan orang lain
melakukan kewajibannya, akan tetapi juga menghargai mereka dengan segala
perbedaannya (Bagir 2011). Pengakuan sangat diperlukan dalam menghadapi
kemajemukan yang ada di kehidupan bermasyarakat seperti di Negara ini.
Menurut penuturan salah seorang warga kerokhanian Sapta Darma, dengan tidak
diakuinya aliran kepercayaan sebagai agama, sangatlah memungkinkan ancaman
bagi mereka diintimidasi, perlakuan kekerasan, diskriminatif, bahkan diklaim
4
sesat.1 Bahkan walaupun mereka diperbolehkan hidup di Indonesia, namun
Negara tidak memberi perlindungan yang sama maupun jaminan finansial
layaknya enam agama resmi lainnya (Banawiratma, et al 2010).
Dalam sejarahnya, pembinaan bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa berada dalam wewenang Departemen Agama sebelum
dikeluarkannya GBHN tahun 1978. Karena dalam GBHN tersebut disebutkan
bahwa aliran kepercayaan bukan merupakan agama, maka wewenang tersebut
dialihkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Direktorat Pembinaan
Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 1982). Paska Reformasi
urusan aliran kepercayaan diserahkan kepada Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda, dan Olahraga (KPPO) (Suhadi 2010). Kini di bawah naungan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka diberi wadah yang bernama
Majelis Luhur Kepercayaan Tuhan Yang Esa yang dibentuk pada tahun 2014.
Ada 78 aliran kepercayaan pada tahun 1950 di seluruh Indonesia, lalu
meningkat menjadi 300 pada tahun 1964. Karena adanya peristiwa G30S pada
tahun 1965 mereka dilarang, dibekukan, dan dibubarkan maka jumlah tersebut
berkurang drastis antara tahun 1964 hingga 1971. Pada tahun 1972 terdaftar 644
aliran pada sekretariat Kerjasama Kepercayaan di tingkat pusat maupun cabang
(Djoko Dwiyanto dan Saksono 2011). Keberadaan aliran kepercayaan di Negara
ini tidak dalam posisi menguntungkan karena begitu banyak hambatan baik
berupa kebijakan Negara yang menyudutkan, desakan dari agama resmi maupun
1
Komunikasi personal, 29 Oktober 2014 di sanggar candi Sapta Rengga jl. Taman Siswa
Surokarsan Mg.II Yogyakarta.
5
stigmatisasi negatif dari masyarakat sekitar. Namun di sisi lain, bangkitnya aliran
kepercayaan yang merupakan regenerasi agama asli Indonesia merupakan reaksi
melawan serangan modernisasi yang berguna sebagai filter yang hendak
menyebabkan kemerosotan moral bangsa. Menurut Subagya, penghayat
kepercayaan mengembangkan kepribadian asli dalam menghadapi segala
pengasingan (Djoko Dwiyanto dan Saksono 2011). Bagi penghayat kepercayaan,
mereka yakin bahwa ajaran tersebut akan memberi kontribusi besar terhadap
pembangunan nasional yang berupa pembentukan budi luhur yang akhir-akhir ini
sering terabaikan. Namun sayangnya niat baik tersebut tidak disambut baik oleh
beberapa pihak. Terbukti dengan adanya tindak diskriminasi yang sering
merugikan mereka.
Praktek diskriminasi banyak dijumpai dalam kehidupan beragama di negara
ini. Kebijakan Negara pun terkadang bersifat diskriminatif di satu sisi untuk satu
pihak, namun netral untuk pihak lain. Misalnya saja kebijakan Negara yang
mengharuskan semua warganya untuk memiliki satu agama, hal ini mengundang
protes bagi warga yang bukan penganut agama yang diakui Negara. Mereka
mengalami kesulitan dalam memperoleh pelayanan hak sipilnya, misalnya
pengurusan KTP kolom agama dikosongkan yang terkadang menuai protes dari
aparat Negara, selain itu dalam hal perkawinan dan pencatatan kelahiran pun
demikian. Sejak undang-undang Sistem administrasi Kependudukan (Adminduk)
No.23 tahun 2006 disahkan, hal ini cukup memberi peluang bagi penghayat
kepercayaan, namun praktek di lapangan belum maksimal. Hal ini disebabkan
6
karena aparat Negara tidak serius menjalankan pelayanan yang adil kepada
seluruh warga negara dengan dalih sosialisasi yang kurang.
Lembaga keagamaan Negara pun belum berperan maksimal dalam
pemenuhan hak warganya. Sekalipun agama Khonghucu sudah diakui resmi oleh
Negara, namun hingga saat ini Kementerian Agama belum siap menyediakan
Bimas Khonghucu di lembaga tersebut.2 Selama ini pelayanan umat Khonghucu
ditangani oleh umat Muslim melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di
Kementerian Agama. Seharusnya ada perwakilan umat Khonghucu yang berada di
jajaran Kementerian Agama untuk mengurusi umatnya, bukan dilimpahkan pada
umat agama lain.3 Lebih jauh lagi, agama-agama lokal bukanlah menjadi
tanggung jawab Kementerian Agama, namun diserahkan kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Ini merupakan contoh diskriminasi yang dilakukan
Negara dan membentuk stigma negatif masyarakat terhadap penghayat
kepercayaan. Selain itu, tindak diskriminatif juga muncul dari masyarakat sekitar
atau pihak tertentu. Menurut pengakuan seorang warga kerokhanian Sapta Darma,
dalam pendirian sanggar (tempat sujud warga kerokhanian Sapta Darma)
seringkali dipersoalkan pihak tertentu. Awalnya masyarakat sekitar menyetujui
pendirian sanggar di Kecamatan Sukoreno Kabupaten Jember Jawa Timur, namun
karena adanya provokasi seseorang yang tidak suka dengan keberadaan
2
http://infopublik.id/read/67703/presiden-sby-janji-bentuk-ditjen-bimas-khonghucukemenag-ri.html. Diakses pada 27 Mei 2015.
3
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/matakin-agama-khonghucu-sama-di-matahukum-indonesia. Diakses pada 27 mei 2015.
7
kerokhanian Sapta Darma, hal ini menimbulkan ketegangan dan pencegahan
pendirian sanggar tersebut, padahal semua material sudah disiapkan.4
Dewasa ini, kesempatan untuk berpendapat di ruang publik semakin terbuka
lebar. Sayangnya, kesempatan ini digunakan dengan tidak benar oleh pihak
tertentu guna menyerang pihak lain. Banyak konflik keagamaan muncul,
walaupun kenyataannya sumber konflik seringkali adalah faktor politik, ekonomi
maupun sosial. Hal yang sering terjadi hingga saat ini adalah adanya intimidasi
yang diterima oleh warga kerokhanian Sapta Darma, seringkali mereka dianggap
penganut aliran sesat sehingga mereka tidak berani mengaku atau menunjukkan di
depan publik bahwa mereka adalah warga kerokhanian Sapta Darma.5 Di
Indramayu Jawa Barat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat Kecamatan
dengan mudahnya mengeluarkan surat edaran bahwa kerokhanian Sapta Darma
termasuk aliran sesat.6 MUI yang merupakan organisasi masyarakat yang
menaungi agama Islam seharusnya tidak ikut campur dalam hal tersebut.
Persoalan klaim sesat sangat banyak terjadi di Indonesia. Sangat disayangkan hal
ini terjadi di negara ini yang mengaku menghargai kemajemukan. Selain
permasalahan yang disebut di atas, masih banyak lagi permasalahan diskriminasi
yang dihadapi oleh warga kerokhanian Sapta Darma.
4
Komunikasi personal, 30 Januari 2015 di sanggar candi Sapta Rengga jl. Taman Siswa
Surokarsan Mg.II Yogyakarta.
5
Komunikasi personal, 29 Oktober 2014 di sanggar candi Sapta Rengga jl. Taman Siswa
Surokarsan Mg.II Yogyakarta.
6
Komunikasi personal, 9 Februari 2015 di sanggar candi Sapta Rengga jl. Taman Siswa
Surokarsan Mg.II Yogyakarta.
8
Kerokhanian Sapta Darma7 merupakan salah satu aliran kepercayaan
terbesar di Indonesia di samping Susila Budi Darma (SUBUD) (1932), Pangestu
(1932) dan Sumarah (1935). Keempatnya telah diakui secara legal di Indonesia
dan mempunyai keanggotaan baik nasional maupun level internasional (Utama
2007). Dahulu nama Sapta Darma pernah didahului dengan nama Agama, namun
setelah adanhya sidang umum MPR tahun 1978 yang menyatakan bahwa aliran
kepercayaan bukan merupakan suatu agama, maka sejak itu diganti dengan nama
Kerokhanian Sapta Darma. Kerokhanian adalah sebutan kelompok masyarakat
atau individu yang berusaha ingin mempersatukan roh insani dengan roh ilahi
tanpa kehilangan kepribadiannya dengan cara semadi atau olah rasa (Ilyas dan
Imam 1988). Sedangkan menurut Rachmat Subagya, kerokhanian lebih
menekankan aspek mistisisme, artinya bagaimana mencapai kontak langsung
anatara roh manusia dengan roh yang mutlak. Cirinya tampak pengaruh teosofi
timur dan tashawuf Muslim (Subagya 1981). Pada tahun 1980, kerokhanian Sapta
Darma resmi terdaftar sebagai organisasi penghayat dari Direktorat Pembinaan
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dirjen Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan nomor inventaris
I.135/F.3/N.1.1/1980 (Perwira 2011). Aliran yang lahir pada tahun 1952 ini
memiliki struktur lembaga yang lengkap mulai tingkat pusat hingga kecamatan,
masih merasakan dampak diskriminasi baik yang dilakukan oleh Negara, maupun
pihak tertentu di masyarakat. Secara resmi mereka telah mendapatkan pengakuan,
namun praktek di lapangan menunjukkan sebaliknya.
7
Lihat Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,
1981), 256.
9
1.2 Rumusan Masalah
Terkait dengan permasalahan yang kami uraikan di atas, maka penelitian ini
akan fokus pada beberapa pertanyaan kami rumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana relasi Negara dan kerokhanian Sapta Darma?
b. Bagaimana pengalaman warga kerokhanian Sapta Darma dalam
bermasyarakat dan bernegara?
c. Bagaimana solusi atas permasalahan tersebut?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, pertama untuk mengetahui relasi
antara Negara dan kerokhanian Sapta Darma sebagai aliran kepercayaan dan
kelompok minoritas di Indonesia. Tujuan kedua adalah untuk mengetahui
pengalaman warga kerokhanian Sapta Darma dalam bermasyarakat dan bernegara
sehingga mengarah pada tujuan ketiga yakni mengetahui solusi yang digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap
kajian religious studies terkait permasalahan yang dialami oleh penghayat
kepercayaan. Terlebih penelitian ini diharapkan mampu mendokumentasikan dan
memberikan solusi beberapa tindak diskriminatif yang akhir-akhir ini sering
nampak mengenai relasi Negara terhadap penghayat kepercayaan maupun sikap
warga masyarakat terhadap eksistensi warga kerokhanian Sapta Darma sebagai
minoritas.
10
1.4 Kajian Pustaka
Kajian mengenai diskriminasi dan aliran kepercayaan sudah banyak
dilakukan. Untuk kepentingan teoritis, literatur yang ada, kami bagi menjadi tiga
kategori; pertama literatur yang membahas tentang kerokhanian Sapta Darma,
kedua adalah literatur yang membahas mengenai perkembangan aliran
kepercayaan di Indonesia, dan yang terakhir adalah literatur yang fokus pada
pembahasan diskriminasi.
Pada kategori pertama, beberapa peneliti membahas tentang kerokhanian
Sapta Darma dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Chandra Utama dalam
tesisnya Memayu-hayu Bagya Bawana: Sejarah Gerakan Sapta Darma di
Indonesia 1952-2006 menggali lebih dalam tentang dimensi sejarah kerokhanian
Sapta Darma mulai dari pewahyuan hingga perkembangan praktek spiritual di
kalangan warganya. Tulisan ini fokus pada hubungan kerokhanian Sapta Darma
dengan sisi budaya, kemasyarakatan dan negara, selain itu juga membahas
sepintas tentang diskriminasi yang dilakukan Negara dan pihak tertentu.
Skripsi Willy Budimansyah berjudul Interaksi Sosial di Kalangan
Penghayat Kerokhanian Sapta Darma suatu analisis deskriptif tentang tiga pola
interaksi sosial warga kerokhanian Sapta Darma yakni di interaksi internal
kalangan warga, interaksi sosial dengan pemerintah, dan juga interaksi sosial
dengan masyarakat. Berbeda dengan skripsi Indah Setyo Tri Wahyuni yang
berjudul Dinamika Umat Islam Penganut Ajaran Sapta Darma di gaten
Metroyudan Magelang tahun 1959-1970 fokus pada peristiwa G30S dengan
11
melihat dinamika yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa tersebut. Selain itu
juga tertulis tentang kebijakan pemerintah dan dakwah yang dilakukan oleh umat
Islam paska peristiwa bersejarah itu. Skripsi Muhammad Yusuf berjudul Agama
Islam dalam Kerokhanian Sapta Darma membahas tentang unsur-unsur agama
Islam yang ada dalam ajaran Sapta Darma. Sedangkan Sri Munawaroh dalam
karyanya Manusia manurut Ajaran Kerokhanian Sapta Darma fokus pada
pandangan Sapta Darma terhadap kedudukan manusia khususnya peran
perempuan yang menempati status second sex di bawah laki-laki dari segi
kebatinan. Dari beberapa penelitian yang membahas kerokhanian Sapta Darma,
belum saya temukan penelitian yang fokus pada tindak diskriminatif yang terjadi
di kalangan warga kerokhanian Sapta Darma.
Pada kategori kedua ada beberapa tokoh yang membahas aliran kepercayaan
dan perkembangannya di Indonesia, antara lain Agama Asli Indonesia karya
Rachmat Subagya menjelaskan pandangan kepercayaan asli Indonesia tentang
konsep ketuhanan, jiwa manusia dan alam dunia serta deskripsi bagaimana cara
ibadah dan upacara serta etika dalam kepercayaan asli. Selain itu, penulis
memaparkan tentang tantangan agama asli yang tergeser oleh agama-agama impor
sehingga membentuk pertahanan berupa aliran kebatinan/ kepercayaan yang eksis
hingga saat ini. Dalam bukunya disebutkan bahwa “agama asli sepanjang sejarah
berulang
kali
mengalami
krisis
eksistensi,
puncaknya
adalah
zaman
penjajahan…agama asli menjadi korban penjajahan dan diskriminasi (Subagya
1981)”. Walaupun penulis menyebutkan kata diskriminasi dalam bukunya, namun
hal ini tidak dijelaskan secara mendalam. Ini memberi peluang untuk melakukan
12
penelitian lebih lanjut dan fokus pada diskriminasi di kalangan penghayat
kepercayaan.
Karya yang mirip dengan penulis sebelumnya adalah Bangkitnya Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan YME karya Djoko Dwiyanto mengelaborasi kaitan
agama asli dengan aliran kepercayaan di Indonesia. Penulis menyebutkan bahwa
“bangkitnya penghayat kepercayaan bukan hanya reaksi melawan modernisasi,
melainkan juga sebagai usaha aktif untuk mencari identitas kultural yang
mewarnai pergulatan orang Jawa dalam menghadapi masa kini”. Ia menambahkan
bahwa “kuatnya kebudayaan asli Indonesia/ Jawa memaksa kebudayaan dan
agama asing melakukan kompromi budaya (sinkretisme)” (Djoko Dwiyanto dan
Saksono 2011). Ia menyatakan bahwa aliran kepercayaan yang tengah
berkembang merupakan regenerasi dari agama asli Indoensia. Selain itu, ia juga
menjabarkan secara singkat beberapa aliran kepercayaan, namun fokus tulisan ini
adalah hanya pada aliran kepercayaan yang ada di DIY. Di akhir tulisan ia
melampirkan daftar aliran kepercayaan yang masih aktif dan terdaftar di DIY serta
kronik singkat aliran kepercayaan di Indonesia.
Mutholib Ilyas dan Ghofur Imam dalam karyanya Aliran Kepercayaan dan
Kebatinan di Indonesia berisi tentang definisi kepercayaan, kebatinan dan
kerokhanian disertai penjelasan tentang beberapa aliran kepercayaan di Indonesia
secara garis besar Selain itu mereka juga membahas alur kehidupan kepercayaan
di Indonesia dimulai dengan kepercayaan animisme hingga monotheisme.
Kronologi turunnya wahyu dan pergantian nama kerokhanian Sapta Darma juga
13
dijelaskan secara rinci dalam buku ini. Dalam bab terakhir dijelaskan tentang
beberapa pandangan penghayat kepercayaan terhadap agama dan juga sebaliknya,
Ditinjau dari perspektif penghayat, “agama dianggap tidak bisa membawa
ketenangan batin dan ketentraman hidup” (Ilyas dan Imam 1988). Buku tersebut
diakhiri dengan menyebutkan daftar organisasi penghayat kepercayaan terhadap
Tuhan YME di Indonesia.
HAMKA dalam bukunya Perkembangan kebatinan di Indonesia membahas
kebatinan dilihat dari sudut pandang Islam. Asal mula tumbuhnya gerakan
kebatinan, sebab-sebab timbulnya kebatinan semua dikaitkan dengan latar
belakang penulis sebagai pemikir Islam, sehingga ada beberapa bagian yang
berbeda dengan literatur lain yang kami temukan.
Kamil Kartapradja dalam bukunya Aliran kebatinan dan Kepercayaan di
Indonesia menulis tentang kepercayaan masyarakat Indonesia mulai dari
animisme, monotheisme, dan sejarah singkat masuknya agama-agama besar.
Selain itu, ia membahas beberapa aliran kepercayaan secara garis besar. Ia
mendeskripsikan kerokhanian Sapta Darma dengan cara berbeda. Kami
menemukan kesan bahwa penulis tidak mendukung adanya aliran kepercayaan
berkembang di Indonesia “..banyak gerakan mistik yang menamakan dirinya
sebagai agama sehingga minta diakui sebagai agama oleh pemerintah, ini betulbetul merepotkan pemerintah terutama Departemen Agama..”(Kartapradja 1985).
Di akhir buku, ia membandingkan perspektif agama dan aliran kepercayaan
tentang konsepsi ketuhanan, alam, hubungan Tuhan dengan manusia serta
14
perbuatan luar biasa. Buku ini menjelaskan fokus ajaran kerokhanian Sapta Darma
adalah pengobatan karena adanya kepandaian semacam magnetisme yang dinamai
atom berjiwa dalam pengobatan mereka.
Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia karya El Hafidy
diawali dengan deskripsi yang sangat singkat tentang beberapa aliran kebatinan di
Indoensia serta pengertian agama, kepercayaan, kebatinan, dan filsafat sebagai
kerangka berpikir. Ia menyinggung tentang landasan hukum aliran kepercayaan di
Indonesia serta konsepsi agama dan kepercayaan dalam GBHN. Selanjutnya ia
menegaskan pendapat yang sangat bias bahwa “..aliran kepercayaan merupakan
sesuatu yang dirasakan ‘mengganjal dan meresahkan’ umat beragama, khususnya
Islam, jika aliran tersebut dicampuradukkan dengan agama” (El Hafidy 1977). Ia
juga menjelaskan beberapa sebab timbulnya aliran baru dalam kepercayaan,
mistik dan kebatinan yang sangat memojokkan mereka. Di akhir tulisan ia
menambahkan lampiran yang berisi artikel-artikel terkait yang tidak sepakat
dengan eksistensi aliran kebatinan di Indonesia.
Tashawwuf dan Aliran Kebatinan: Perbandingan antara Aspek-aspek
Mistikisme Islam dengan Aspek-aspek Mistikisme Jawa karya Romdon
menjelaskan mistikisme dan tashawwuf dengan perspektif Islamnya. Selajutnya ia
memberi gambaran umum beberapa aliran kebatinan di Indonesia. Namun buku
ini fokus mendeskripsikan tentang konsepsi manusia dalam beberapa aliran
kebatinan. Dari hasil tulisannya tersebut terlihat ia membandingkan mistikisme
dalam Islam dengan aliran kebatinan. Kami temukan argumen penulis bahwa “ada
15
kemiripan-kemiripan, jika dalam mistikisme Islam Ibn al’ Arabi ada ajaran Nur
Muhammad sebagai perantara Tuhan dan makhluknya, sedangkan dalam Pangestu
ada Suksma Sejati sebagai aspek Tri Purusa Tuhan” (Romdon 1993). Dalam buku
ini, kami temukan deskripsi lengkap kerokhanian Sapta Darma khususnya ajaran
Sapta Darma tentang konsepsi manusia. Penulis mengatakan bahwa inti pusat
manusia adalah Hyang Maha Suci yang berasal dari Sinar Cahya Tuhan. Karya ini
akan membantu untuk menjelaskan kerokhanian Sapta Darma secara lengkap.
Rachmat Subagya dalam Kepercayaan, Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan
dan Agama mengawali bukunya dengan pemaparan masalah-masalah yang ada di
dalam kebatinan dihadapkan dengan perkembangan zaman. Rahmat Subagya
melemparkan pertanyaan, “apakah perbedaan antara kebatinan dan agama,
khususnya agama-agama besar? Apakah kebatinan berhak atas pengakuan dan
penegasan resmi setingkat dengan agama-agama resmi, bahkan perlindungan dan
bantuan dari negara?” Selain itu, penulis juga menyebutkan sifat-sifat kebatinan
secara rinci, hubungan antara kebatinan dan agama, dan ditutup dengan kronik
kebatinan. Buku ini tidak memaparkan tentang diskrimisnasi namun tulisan ini
akan sangat bermanfaat untuk pijakan mengeksplorasi permasalahan yang ada di
sekitar kebatinan dewasa ini.
Niels Mulder dalam Ruang Batin Masyarakat Indonesia menyebutkan
“..aliran-aliran yang lebih tertata semacam Pangestu dan kerokhanian Sapta
Darma situasinya tidak begitu banyak berubah, tetapi secara umum kehidupan
aliran kebatinan tidak lagi semarak” (Mulder 2001). Buku ini merupakan hasil
16
penelitian antropologis tentang pergeseran dan perubahan budaya dan nilai-nilai
khususnya di Yogyakarta sebagai representasi masyarakat Jawa dan Indonesia.
Selain itu, ia juga mendiskusikan tentang Jawanisasi kebudayaan di Indonesia
dilihat dari gejala praktek kepemimpinan dan kekuasaan yang menghegemoni.
Buku ini juga penting untuk dijadikan pijakan untuk melihat deskripsi umum kota
Yogyakarta beserta persoalan yang terjadi di masa lampau sebagai pusat
perkembangan kerokhanian Sapta Darma.
Kategori terakhir fokus pada wacana diskriminasi agama yang ada di
Indonesia. Suhadi (ed) dalam Diskriminasi di Sekeliling Kita: Negara, Politik
Diskriminasi, dan Multikulralisme merupakan antologi tulisan dari berbagai
penulis yang fokus pada kajian multikiulturalisme. Berangkat dari tulisan Elga
Joan Sarapung, “Negara mendapat legitimasi untuk mengatakan bahwa Negara
berkewajiban melindungi dan membina umat beragama. Hal yang esensi tertera
dalam Undang-Undang dasar 1945 tentang kebebasan beragama dan kewajiban
negara terhadap warga negara tetapi secara transparan dilanggar dan tidak
dijalankan oleh Negara secara baik dan benar”. Buku ini membahas berbagai
bentuk diskriminasi agama dan multikulturalisme di Indonesia. Tesis kami
nantinya akan fokus pada diskriminasi yang terjadi di kalangan penghayat
kepercayaan khususnya kerokhanian Sapta Darma.
Resonansi Dialog Dialog Agama dan Budaya: Kebebasan Beragama,
Pendidikan Multikultural, Sampai RUU Anti Pornografi yang diterbitkan oleh
CRCS UGM merupakan kumpulan rekam dialog tentang kebebasan beragama,
17
hak sipil warga, konflik dan perdamaian seta pendidikan multikulturalisme di
Indonesia melalui media nasional dan lokal. Melalui narasi Komunikasi yang
tertulis dalam buku tersebut, kami menemukan beberapa permasalahan terkait
dengan tindak diskriminatif yang ada dewasa ini.
Tesis Hasse J yang berjudul Dsikriminasi terhadap Agama Minoritas: Studi
terhadap Eksistensi Komunitas Tolotang di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe
Kabupaten Sidenreng Rappang Sulawesi Selatan, membahas tentang diskriminasi
komunitas tersebut. Bentuk diskriminasi datang dari masyarakat terutama
kelompok mayoritas dan juga Negara berupa regulasi yang membatasi ruang
gerak komunitas Tolotang. Tolotang dikategorikan penulisnya sebagai agama
lokal karena eksistensinya yang hanya ada di daerah tersebut. Objek yang kami
teliti hampir mirip karena sama-sama sebagai agama minoritas, namun
Kerokhanian Sapta Darma yang akan kami teliti dalam tesis ini merupakan aliran
kepercayaan yang berkembang di berbagai daerah di Indonesia.
Menekuk Agama, Membangun Tahta: Kebijakan Agama Orde Baru karya
Anas Saidi dkk mengupas tentang bagaimana istilah agama di Indonesia
dikonstruksi dan dipolitisasi oleh penguasa Negara. Selain itu, buku tersebut
menjelaskan tentang relasi agama dan Negara serta kebijakan agama ditinjau dari
persepktif historis sebagai kerangka pembahasan selanjutnya. Fokus buku tersebut
adalah pasa kebijakan agama masa Orde Baru dan Orde Lama dan diakhiri dengan
kasus diskriminasi agama yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sehingga
18
buku tersebut sangat penting untuk melihat diskriminasi agama secara umum dan
diterapkan pada penelitian kami.
Tedi Kholiludin dalam bukunya Kuasa Negara atas Agama: Pengakuan,
Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil membahas tentang
diskriminasi hak sipil dan peran negara dalam mengkonstruksi agama resmi di
Indonesia. Buku tersebut diawali penjabaran konsep hak sipil secara detail dan
kaitannya dengan HAM. Kemudian dalam analisis bukunya, Tedi mengangkat isu
jaminan kebebasan beragama dihadapkan dengan kepentingan pemerintah melalui
intervensinya terhadap agama. Penulis juga mengkritik pembedaan antara agama
dan kepercayaan. Buku serupa diterbitkan oleh eLSA berjudul Jalan Sunyi
Pewaris Tradisi yang merupakan hasil penelitian Tedi bersama rekan-rekannya
tentang
masalah
hak
sipil
penghayat
kepercayaan
di
Jawa
Tengah.
Pembahasannya tidak jauh berbeda dengan buku pertama yakni pendekatan HAM
digunakan untuk menangani masalah layanan publik. Dalam penelitian yang akan
dilakukan, kami menemukan adanya kemiripan bahwa hak sipil warga
kerokhanian Sapta Darma tidak dipenuhi oleh Negara, namun skop penelitian
kami lebih kecil dan fokus pada pengalaman beragama warga dari sebuah aliran
kepercayaan.
Penelitian-penelitian di atas cukup penting menjadi rujukan atas kajian
pengalaman diskriminatif warga kerokhanian Sapta Darma. Penelitian yang kami
lakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya karena fokus pada persoalan
19
diskriminasi baik yang dilakukan oleh Negara maupun pihak tertentu di
masyarakat terhadap warga kerokhanian Sapta Darma khususnya di Yogyakarta.
1.5 Kerangka Teori
Adapun kata diskriminasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah merujuk
pada konsep diskriminasi menurut Liliweri yaitu sikap yang muncul akibat adanya
prasangka terhadap seseorang atau komunitas yang kemudian membentuk
perilaku yang berupa menyingkirkan, menjauhi, mencemooh baik bersifat fisik
maupun sosial dengan kelompok tertentu (Liliweri 2003). Lebih jauh Rose
sepakat dengan konsep Liliweri bahwa prasangka merupakan sumber dari tindak
diskriminasi. Menurutnya diskriminasi merupakan perlakuan berbeda terhadap
seseorang dengan melihat asal kelompok atau kategori lainnya (Rose 1964). Ia
mengklasifikasi beberapa bentuk diskriminasi antara lain: menghina dan
menyakiti, menolak keberadaan seseorang atau komunitas, dan penyerangan yang
berupa kekerasan (Rose 1964).
Untuk menganalisis kajian ini diperlukan strategi untuk mencapai keadilan
dan penghargaan terhadap keberagaman, yakni politik rekognisi, politik
representasi, dan politik redistribusi sumber daya. Adapun yang dimaksud dengan
politik rekognisi adalah pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman yang mana
tidak sebatas membiarkan orang lain melakukan kewajibannya, akan tetapi juga
menghargai mereka dengan segala perbedaannya dalam hidup bersosialisasi.
Prakteknya tidak terbatas dalam konteks hak-hak sipil dan politik, tetapi juga pada
hak-hak sosial, ekonomi, identitas dan kultural. Pengakuan tersebut bisa
berdampak pada terpenuhinya hak-hak yang tersebut di atas (Bagir 2011).
20
Strategi yang kedua adalah politik representasi, yaitu adanya keterwakilan
dari suatu komunitas untuk berpartisipasi dalam ranah publik. Setidaknya ada 4
model representasi, yakni: pertama, representasi formalistik, prakteknya di
Indoneisa seringkali merujuk pada fungsi lembaga formal saja. Kedua,
representasi
simbolik,
meliputi
keterwakilan
budaya,
kepercayaan
dan
identifikasi. Fokus representasi simbolik adalah pada cara bagaimana seorang
wakil dapat diterima sebagai wakil dari kelompok yang diwakilinya. Tingkat
keterwakilanya dapat dilihat sebagai tingkat penerimaan dari orang atau kelompok
yang diwakilinya. Ketiga adalah representasi deskriptif, yaitu tingkat kemiripan
antara yang mewakili dengan yang diwakili. Kemiripan yang dimaksud meliputi
kesamaan berdasarkan wilayah, komunitas, kelompok dan gender. Keempat
adalah representasi substantif, yaitu menyampaikan pesan komunitas yang
diwakili dalam ranah publik dengan berbagai cara yang membawa kemaslahatan.
Tingkat keterwakilan dapat diukur dari sejauh mana wakil tersebut dapat
memperjuangkan kepentingan yang diwakili (Bagir 2011). Strategi representasi
tersebut bisa dilakukan secara langsung ataupun diwakilkan melalui lembaga
masyarakat sipil, lembaga politik, tokoh agama dan sebagainya.
Strategi terakhir adalah politik redistribusi dimana strategi ini fokus pada
pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Negara sebagai pihak yang bertanggungjawab
memainkan sektor ekonomi rakyatnya, apakah berpihak pada golongan tertentu
dalam
mendistribusikan
kebutuhan
ekonomi
mereka?
Apakah
muncul
permasalahan ekonomi terkait identitas keagamaan? (Bagir 2011). Disamping
ketiga konsep pluralisme kewargaan tersebut, kami akan mengelaborasi beberapa
21
upaya advokasi yang telah dilakukan oleh pakar maupun aktivis, yaitu pendekatan
berbasis kuasa, pendekatan berbasis hak dan pendekatan berbasis kepentingan
(Panggabean 2014) yang berguna untuk menganalisis permasalahan yang dialami
oleh warga kerokhanian Sapta Darma.
Selain konsep di atas, kami juga menggunakan konsep scaling up untuk
menganalisis permasalahan warga. Scaling up diartikan sebagai proses
mengadopsi pengalaman baik yang sudah berjalan digunakan sebagai contoh
untuk diterapkan di tempat/ kasus yang berbeda agar mampu menghasilkan
dampak yang baik sebagai pemecahan masalah (McDonald et al 2006) (Uvin
1995). Hal ini bermaksud menularkan dampak positif dari satu kasus ke kasus
yang lain. Konsep ini dikembangkan pertama kali dari pengalaman pakar yang
mampu mereplika mesin kimia lebih dari satu abad yang lalu (McDonald et al
2006). Ada beberapa model scaling up (Uvin 1995) yang sudah berhasil
dikembangkan.
Pertama,
kuantitatif,
artinya
tujuan
proses
ini
adalah
memperbanyak jumlah anggota; kedua, fungsional, artinya menambah fungsi
aktivitas tertentu agar hasilnya lebih baik; ketiga, politik, yang artinya
memperluas keterlibatan sosial untuk menambah relasi; keempat, organisasi,
bermaksud untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi suatu hal agar mampu
bertahan lebih lama seperti peningkatan mutu sebuah lembaga melalui
manajemennya.
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di pusat kerokhanian Sapta Darma sebagai
representasi aliran kepercayaan yang ada di Yogyakarta. Kerokhanian Sapta
22
Darma mempunyai struktur lembaga yang lengkap dan terorganisir jika
dibandingkan dengan aliran kepercayaan yang lain, sehingga memudahkan untuk
diteliti. Selain itu, kerokhanian Sapta Darma termasuk dari lima aliran
kepercayaan terbesar di Indonesia dan terdaftar di pemerintah. Adapun sanggar
pusatnya beralamat di jalan Taman Siswa Surokarsan mg.II/472 Yogyakarta.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.8 Karena
kami ingin mendalami dan memahami objek secara keseluruhan dengan
pendekatan antropologis, sehingga mengharuskan kami untuk bertemu langsung
dengan warga kerokhanian Sapta Darma melalui penelitian partisipatif.9 Hal
tersebut akan memudahkan dalam mengumpulkan data melalui dokumendokumen yang beredar, pengamatan, maupun Komunikasi dan dokumentasi
secara langsung. Wawancara dilakukan secara semi-struktural10 dengan beberapa
narasumber melalui metode snowballing atau chain sampling.11 Strategi
pemilihan narasumber adalah berdasarkan jenis kelamin, usia, latar belakang
pendidikan, warga kerokhanian Sapta Darma sejak lama, maupun warga yang
8
Denzin dan Lincoln mendefinisikan ini sebagai seperangkat penafsiran, praktek
kebendaan yang mampu membuat objek nampak. Praktek-prakteknya meliputi catatan lapangan,
wawancara, percakapan, fotografi, rekaman, dan catatn kecil. Penelitian kualitatif meliputi
penafsiran, pendekatan alami terhadap suatu objek. Lihat N.K.Denzin, Y.S. Lincoln (eds),
Handbook of Qualitative Research, 2nd edition, (Thousand Oaks, CA: Sage, 2000).
9
Penelitian partisipatif adalah metode dimana peneliti terlibat dalam aktivitas sehari-hari,
ritual, interaksi, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama warga sebagai cara mempelajari
hal-hal yang terlihat maupun tidak dalam rutinitas kehidupan dan budaya mereka. Lihat Russel
Bernard.H, Research Methods in Anthropology: Qualitative and Quantitative Approaches,
(Oxford: Altamira Press, 2006).
10
Dalam wawancara semi struktural, biasanya ada beberapa daftar pertanyaan untuk
membantu melakukan wawancara. Cara ini digunakan ketika waktu kita terbatas dan focus pada
objek tertentu. Hal ini juga memudahkan narasumber secara bebas mengekspresikan pendapatnya
dan mengikuti alur percakapan.
11
Menanyai narasumber yang telah kita wawancarai tentang narasumber yang lain sesuai
kriteriayang kita tentukan. Ini merupakan pendekatan yang tepat untuk objek yang terbatas. Lihat
Jane Ritchie, Jane Lewis, eds., Qualitative Research Practice. A Guide for Social Science Students
and Reseachers, (New York: Sage Publications, 2003), 94.
23
berpindah keyakinan. Kami mendapatkan 16 narasumber yang terdiri dari 6
pengurus dan 10 orang warga biasa. Kami menghimpun informasi dari para
narasumber tersebut dengan menggunakan metode life story12 sehingga
memudahkan untuk menggali informasi lebih dalam tentang pengalaman mereka
dalam bermasyarakat dan bernegara.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan dokumen-dokumen internal dan
referensi-referensi sekunder yang keduanya saling melengkapi, informasiinformasi lisan dari para warga kerokhanian Sapta Darma dan juga kegiatan
sanggaran mereka. Selain itu juga menghimpun dokumen internal yang digunakan
adalah buku-buku yang diterbitkan oleh pengurus kerokhanian Sapta Darma.
Sumber informasi yang terhimpun, seperti kumpulan data hasil penelusuran media
online, dokumentasi, pengamatan maupun wawancara serta penelusuran life story
tentang pengalaman warga Kerokhanian Sapta Darma dalam hal diskriminasi
ditulis dalam catatan lapangan yang selanjutnya akan diklasifikasi dan dianalisis
berdasarkan teori yang mapan.
12
Life story adalah cerita seseorang tentang kehidupannya yang disampaikan secara
lengkap dan sejujur mungkin apa saja yang diingatnya dan apa yang ingin diberitahukan orang
tersebut pada orang lain, biasanya merupakan hasil dari wawancara terarah oleh orang lain. Lihat
lebih lanjut Robert Atkinson, The Life Story Interview (California: Sage Publication, 1998), 8. Ada
perbedaan antara life story dan life history. Life story adalah cerita yang disampaikan oleh
narasumber atau orang yang mengalami sedangkan life history adalah hasil interpretasi cerita
tersebut oleh peneliti. Lihat Annica Ojermark, Presenting Life Histories (CPRC, 2007), 4. Dalam
wawancara life story ada 3 tahap yang harus dilakukan: perencanaan wawancara termasuk
bagaimana teknik wawancara dan mengetahui apa pentingnya life story, melakukan wawancara,
dan terakhir adalah mentranskrip dan menganalisis hasil wawancara. Robert Atkinson, The Life
Story Interview, (California: Sage Publication, 1998), 26.
24
1.7 Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mendapatkan paparan yang sistematis, maka paparan dalam
penelitian ini dibagi dalam lima bagian. Berikut penjelasan masing-masing
bagian:
Bab I : persoalan-persoalan yang terkait dengan arah dan acuan penulisan tesis,
yang meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab II : pembahasan tentang kerokhanian Sapta Darma ditinjau dari sejarah,
ajaran, kedudukannya dengan aliran kepercayaan yang lain, relasi dengan Negara
serta lembaga organisasinya.
Bab III : klasifikasi pengalaman beragama warga kerokhanian Sapta Darma yang
meliputi tiga bagian besar, yakni: pengalaman diskriminasi, pengalaman negosiasi
dan pengalaman sinkretik mereka.
Bab IV: berisi analisis masalah yang dialami warga kerokhanian Sapta Darma
dalam bermasyarakat dan bernegara serta solusi alternatif yang ditawarkan untuk
mengatasinya.
Perspektif
pluralisme
kewargaan
digunakan
menganalisisnya disertai pendekatan berbasis kuasa, hak dan kepentingan.
Bab V : Penutup.
dalam
Download