BAB III TANGGUNG JAWAB INDIVIDU MENURUT STATUTA ROMA 1998 A. Individu sebagai Subjek Hukum Internasional Prof.Dr. Boer Mauna dalam bukunya HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, halaman satu, mengatakan bahwa : ―Pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.‖ 112 Hukum internasional (international law) atau hukum internasional publik (public international law) merupakan istilah yang lebih populer digunakan saat ini dibandingkan istilah Hukum Bangsa-Bangsa (law of nations), hukum antarnegara (Inter state law). Dua istilah terakhir ini ditinggalkan karena dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Hukum internasional saat ini tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa atau antarnegara saja. Hubungan internasional sudah berkembang pesat sedemikian rupa sehingga subjek-subjek negara tidaklah terbatas pada negara saja sebagaimana di awal perkembangan hukum internasional. Berbagai organisasi internasional, individu, perusahaan transnasional, vatican, belligerency, merupakan contoh –contoh subjek non negara.113 Drs. T. May Rudy, S.H., dalam bukunya Hukum Internasional 1 juga mengatakan bahwa subjek hukum internasional terdiri atas Negara, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, Organisasi Internasional, Individu , Pemberontak dan pihak dalam sengketa ( belligerent ).114 112 Prof.Dr. Boer Mauna, HUKUM INTERNASIONAL : Penegertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT ALUMNI, Bandung, 2011, Hal. 1 113 Sefriani, S.H., M.Hum., HUKUM INTERNASIONAL : SUATU PENGANTAR, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal.2 114 Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., Hukum Internasional 1, PT Refika Aditama, Bandung, 2006, Hal. 2-3 Universitas Sumatera Utara Istilah subjek hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda rechtsubject atau law of subject (Inggris). Secara umum rechtsubject diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban., yaitu manusia dan badan hukum.115 Sebagai subjek hukum, sebagai pembawa hak, manusia mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu tindakan hukum.116 Subjek hukum internasional adalah pemegang (segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional.117 Secara umum subjek hukum adalah pembawa atau pendukung hak dan kewajiban dalam hukum. Dalam hukum internasional, manusia atau individu merupakan salah satu subjek hukum internasional. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia atau individu sebagai subjek hukum internasional memiliki hak dan kewajiban dalam lingkup hukum internasional. Sering orang bertanya apakah individu juga dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Untuk menjawab pertanyaan tersebut terdapat dua konsep yang saling berbeda. Dengan merujuk pada praktek internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Menurut pendapat mereka hanya negaralah yang merupakan subjek hukum internasional dan bukan individu.118 Sebaliknya ada juga yang berpendapat terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum kenamaan dari Prancis bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin ini mendasarkan pandangannya bahwa bukankah tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu dia mendapatkan perlindungan internasional. Suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah 115 Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., HUKUM PERDATA dalam SISTEM HUKUM NASIONAL, Penerbit Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Hal. 40 116 Prof. Drs. C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil, S.H., M.H., PENGANTAR ILMU HUKUM INDONESIA, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2011, Hal.99 117 T. May Rudy, Op. Cit., Hal.2 118 Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669 Universitas Sumatera Utara negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah bebas, tidak lain berarti sebagai pemberian kebebasan kepada individu-individu, para pedagang, pemilik kapal, untuk menggunakan sungai tersebut bagi keperluan usaha mereka. Jadi keseluruhan dari ketentuan internasional mengenai pelayaran menyangkut individuindividu. Ada juga naskah yang mengatur secara langsung keadaan individu seperti konvensikonvensi mengenai tawanan perang (Konvensi-konvensi Den Haag ) yang mengatur perang dan Konvensi-Konvensi Palang Merah yang semuanya mempunyai tema yang sama yaitu perlindungan terhadap individu-individu yang lemah, menderita sakit, tidak bersenjata, dan lain-lainnya. Tidaklah dapat disangkal bahwa perlindungan terhadap individu ini merupakan tema umum dari pengaturan-pengaturan internasional dan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum.119 Dalam hukum internasional, ada pakar atau ahli yang berpendapat bahwa satu-satunya subjek hukum internasional adalah negara. Berlawanan dengan pendapat tersebut, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa subjek hukum internasional hanyalah individu. Hal ini didasarkan pada tujuan akhir dari hukum internasional adalah untuk kepentingan dan perlindungan individu. Perbedaan pendapat tersebut, bukan berarti untuk saling menjatuhkan atau saling menyalahkan pendapat yang lain. Perbedaan pendapat tersebut justru membuat kita dapat saling melihat kelebihan maupun kelemahan pendapat-pendapat tersebut sehingga hukum internasional dapat dikembangkan lebih baik lagi. Pada perkembangan selanjutnya, bahkan bukan hanya negara dan individu saja yang menjadi subjek hukum internasional, namun juga Organisasi Internasional, Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, dan Pemberontak ( belligerent ). Dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh ke-2 abad XX, meningkatnya hubungan kerja sama dan kesalingtergantungan antar negara, 119 Ibid., Hal. 669-670 Universitas Sumatera Utara menjamurnya negara-negara baru dalam jumlah yang banyak sebagai akibat dekolonisasi, munculnya organisasi-organisasi internasional dalam jumlah yang sangat banyak telah menyebabkan ruang lingkup hukum internasional menjadi lebih luas. Selanjutnya hukum internasional bukan saja mengatur hubungan antarnegara, tetapi juga subjek-subjek hukum lainnya seperti organisasi-organisasi internasional, kelompok-kelompok supranasional dan gerakan-gerakan pembebasan nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara.120 Memang benar bahwa banyak ketentuan internasional yang menyangkut individuindividu baik dalam bentuk keuntungan-keuntungan yang diberikan maupun kewajibankewajiban yang harus mereka laksanakan. Namun demikian tidak berarti bahwa individuindividu secara otomatis merupakan subjek hukum internasional karena dalam banyak hal, negara bertindak sebagai layar antara mereka dan hukum internasional. 121 Menyangkut individu, perkembangan menunjukkan bahwa dewasa ini individu merupakan subjek hukum internasional (dalam arti yang terbatas) di samping negara. Sebagai subjek hukum, individu memiliki hak dan kewajiban tertentu dalam hukum internasional. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal bahwa pada saat ini individu dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas tindakan-tindakannya. 122 Hal tersebut menunjukkan bahwa memang individu diakui sebagai subjek hukum internasional, namun dalam artian yang terbatas yaitu sepanjang individu tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban di forum internasional atas tindakan-tindakannya. Kasus pertama menyangkut status individu sebagai subjek atau bukan dalam hukum internasional menurut Alina Kaczorowska adalah Case Concerning Competence of the Courts of Danzig, Advisory opinion dari Permanent Court of International Justice tahun 1928. Dalam 120120 Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit. , Hal. 669 Ibid., Hal. 670-671 122 Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.214 121 Universitas Sumatera Utara kasus ini Danzig dan Polandia membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur persyaaratan pekerjaaan bagi pejabat yang bekerja dalam perkeretaapian Danzig mempunyai hak untuk menuntut penggantian klaim terhadap administrasi perkeretaapian Polandia. Dalam kasus ini mahkamah menyatakan bahwa suatu perkecualian dari prinsip bahwa individu bukan subjek hukum internasional dapat timbul apabila maksud dari para pihak dalam suatu perjanjian adalah memang untuk memberikan hak dan kewajiban pada individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa menurut PJIC, pada dasarnya treaties tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi individu kecuali apabila para pihak perjanjian bermaksud demikian. 123 Hal tersebut menunjukkan bahwa individu sudah diakui sebagai subjek hukum internasional yang memiliki hak dan kewajiban namun hanya sebatas jika para pihak perjanjian dalam hal ini negara yang memang menginginkannya dan menyepakatinya. Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc Nurenberg dan Tokyo dinyatakan bahwa individu memiliki international personality, mampu menyandang hak dan kewajiban yang diberikan hukum internasional padanya. Individu bertanggung jawab secara pribadi, dapat dituntut di pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa dapat berlindung dibalik negaranya. 124 Dampak PD II yang menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan hukum internasional, khususnya di bidang hukum pidana internasional. Di bidang ini muncul prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) bagi individu yang melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kategori kejahatan internasional. Individu yang melakukan kejahatan tersebut dapat dimintai 123 124 Sefriani, S.H., M.Hum.,, Op. Cit. Hal. 146 Ibid., Hal. 147 Universitas Sumatera Utara pertanggungjawaban di forum pengadilan internasional. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional.125 Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya menurut hukum internasional.126 Pengakuan secara terbatas terhadap individu sebagai subjek hukum internasional mengalami perkembangan yang nyata sesudah Perang Dunia II. Dalam kerangka konstruksi regional, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1959, Perjanjian Roma 1957 dan pada tingkat universal dengan diterimanya The International Convenant on Civil and Political Rights (ICPR) dan The International Convenant on Economic Social and Cultural Rights (ICES) di tahun 1966 telah meningkatkan status individu yang bukan hanya sebagai objek tetapi juga dalam hal-hal tertentu sebagai subjek hukum internasional.127 Peningkatan status individu ini makin lama makin bertambah nyata setelah terjadinya pembunuhan massal, perbuatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan pelanggaran-pelanggaarn berat HAM lainnya di berbagai tempat di dunia. Kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan dan perbuatan genosida yang terjadi di negara eks Yugoslavia dari tahun 1992-1999 yang menewaskan sekitar 200.000 orang, kejahatan yang terjadi di Kamboja selama selama rezim Pol Pot dari tahun 1975-1979 yang menelan korban sekitar 125 126 127 Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal.216 Andrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal 15 Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 57-58 Universitas Sumatera Utara 1.700.000 orang dan pada pembantaian suku minoritas Tutsi oleh suku mayoritas Hutu di Rwanda yang menelan korban sekitar 800.000 jiwa di tahun 1994 telah memperkuat tekad masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas dan menghukum para pelaku berbagai kejahatan kemanusiaan tersebut. Untuk itu telah dibentuk Mahkamah Kriminal Yugoslavia, Mahkamah Kriminal Rwanda, Sierra Leone dan Kamboja untuk mengadili dan menghukum para penjahat kemanusiaan tersebut. Lahirnya Mahkamah Pidana Internasional melalui Statuta Roma bulan Juli 1998 yang dapat mengadili para pelaku genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadao kemanusiaan merupakan bukti nyata bahwa pada kasus-kasus tertentu individu-individu pun telah dianggap subjek hukum internasional.128 Dari uraian-uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa individu merupakan subjek hukum internasional dalam artian terbatas. Secara teori, hal ini dapat kita lihat dari adanya konvensi-konvensi internasional yang mengatur dan memberikan perlindungan terhadap individu. Secara praktik, dapat kita lihat dari putusan-putusan pengadilan internasional yang menghukum individu sebagai pelaku kejahatan internasional. Namun, pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional adalah terbatas pada dimungkinkannya individu dituntut di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya. B. Impunity dalam Hukum Internasional Kata ―impunity‖ yang ada dalam bahasa Inggris ternyata tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia resmi, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Beberapa kalangan, terutama para advokat Hak Asasi Manusia (HAM) menggunakan kata impunitas sebagai padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata ini sendiri juga tidak lazim digunakan publik luas dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Kata 128 Prof.Dr. Boer Mauna, Op. Cit., Hal. 58 Universitas Sumatera Utara ―impunity‖ sendiri berasal dari bahasa Latin ―impunitas‖ yang berasal dari akar kata ―impune‖ yang artinya ‗tanpa hukuman‘ 129 . Kata impunite atau impunity (impunitas, dalam serapan bahasa Indonesia) diasosiasikan dengan situasi pelanggaran berat Hak Asasi Manusia yang diciptakan atau dipelihara oleh negara atau sebagai hasil dari runtuhnya kekuasaan di sebuah negara dan pelbagai institusinya.130 Secara umum impunitas dipahami sebagai ―tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran (hak asasi manusia)‖ atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai ―absence of punishment‖. Dalam perkembangannya istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan suatu proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan.131 Seiring dengan kemajuan sistem hukum dan tata negara, definisi ―impunity‖ dalam kerangka hukum internasional di sini adalah ―ketidakmungkinan –de jure atau de facto- untuk membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya baik dalam proses peradilan kriminal, sipil, administratif atau disipliner karena mereka tidak dapat dijadikan objek pemeriksaan yang dapat memungkinkan terciptanya penuntutan, penahanan, pengadilan dan, apabila dianggap bersalah, penghukuman dengan hukuman yang sesuai, dan untuk melakukan reparasi kepada korbankorban mereka‖.132 Impunity dapat ditemukan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Latin, namun dalam Bahasa Indonesia, impunity dikenal dengan istilah impunitas. Impunity atau impunitas dapat 129 Louis Joinet, MENOLAK IMPUNITAS-Serangkaian Prinsip perlindungan dan pemajuan HAK ASASI MANUSIA Melalui Upaya memerangi Impunitas Prinsip-prinsip hak korban,Edisi Terjemahan, KONTRAS, Jakarta, 2005, Hal. i 130 Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal. 17. Jurnal dapat diakses pada http://download.portalgaruda.org/article.php?article=307209&val=474&title=PENGADILAN%20HAK%20ASA SI%20MANUSIA%20DAN%20PELANGGENGAN%20BUDAYA%20IMPUNITAS 131 Genevieve Jacques Dalam Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran HAM Masa Lalu : Tuntutan Pertanggungjawaban versus Impunitas, Jurnal Dignitas, Vol. 3 (1) (2005), Hal. 8 132 Louis Joinet, Op. Cit., Hal. i Universitas Sumatera Utara kita artikan sebagai peniadaan hukum atau suatu keadaan tidak dihukumnya seseorang atas kejahatan yang diperbuatnya. Kejahatan yang dilakukan dalam impunity biasanya adalah kejahatan pelanggaran HAM dan juga kejahatan perang. Dalam hukum internasional, impunity diartikan sebagai keadaan tidak mampunya negara menangkap, memeriksa, mengadili, bahkan menghukum pelaku pelanggaran HAM untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Terdapat empat faktor yang memelihara kelangsungan impunitas. Yakni, faktor kekuasaan, faktor hukum, faktor budaya, dan faktor hubungan internasional yaitu 133 : 1. Faktor Kekuasaan (power factor) Tidak dihukumnya pelaku kejahatan HAM (impunitas) dapat disebabkan oleh karena yang bersangkutan adalah orang kuat atau dekat penguasa yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat saja disalahgunakan untuk melindungi orang tersebut dari jerat hukum. 2. Faktor Hukum (legal factor) Faktor hukum dapat juga berperan merawat praktek impunitas. Lemahnya penegakan hukum dan tidak adanya peraturan hukum membuat pelaku impunitas enggan untuk diadili dan tidak memiliki dasar hukum untuk diadili. 3. Faktor Budaya Faktor budaya seperti budaya feodal membuat masyarakat tidak kritis, apatis dan pesimis terhadap praktek impunitas. 4. Faktor Hubungan Internasional Kurangnya implementasi perjanjian-perjanjian internasional dan lemahnya tekanan internasional atas sebuah pelanggarana HAM turut menyebabkan lemahnya itikad negara untuk menghukum pelaku pelanggaran HAM tersebut. Diperlukan pengawasan internasional untuk mencegah praktek impunitas. Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat.134 133 Halili, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dan Pelanggengan Budaya Impunitas, JURNAL CIVICS: Media Kajian Kewarganegaraan, Vol 7 No 1, 2010, Hal 11. 134 Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM Vol.2 No.2, November 2004, p.viii Dalam Universitas Sumatera Utara Dapat kita lihat bahwa impunitas telah terjadi sangat lama dan sering dilakukan oleh raja dan juga orang yang dekat dengan raja atau penguasa. Hal ini karena kekuasaan yang mereka miliki sehingga sangat susah menyeret mereka ke pengadilan. Tentu hal ini menyalahi hukum karena semua dihadapan hukum adalah sama (equality before the law), sehingga siapapun yang bersalah harus dihukum terlepas dari apapun status maupun jabatannya. Tidak ada pengistimewaan dalam hukum, siapapun orangnya, baik itu presiden, hakim, pedagang, petani, dan lain sebagainya, dihadapan hkuum adalah sama. C. Pengaturan Tanggung Jawab Individu berdasarkan Statuta Roma 1998 Untuk memerangi impunity atau impunitas, maka dunia internasional membuat pengadilan internasional. Dengan adanya pengadilan internasional, maka lahirlah prinsip tanggung jawab individu untuk memerangi impunity sekaligus penguatan pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional walaupun secara terbatas. Dengan adanya tanggung jawab individu maka pelaku kejahatan internasional siapapun orangnya, walaupun kepala negara atau penguasa, dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui pengadilan internasional. Upaya untuk mengadili para penjahat perang setelah PD II kemudian dinyatakan dalam Perjanjian London (London Agreement) yang dibuat oleh empat negara sekutu (Amerika, Inggris, Prancis dan Uni Soviet) pada tanggal 8 Agustus 1945. Selanjutnya, hal tersebut diwujudkan melalui pembentukan dua Pengadilan Militer Internasional (International http://advokasi.elsam.or.id/assets/2015/09/00000000_Kajian_Ratifikasi-statuta-roma-1998_ELSAM.pdf Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 00:01 WIB. , Universitas Sumatera Utara Military Tribunal) di Nuremberg (1945) dan Tokyo (1946) untuk mengadili penjahat perang yang utama.135 Pengadilan Nuremberg telah menjatuhkan pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa, pidana seumur hidup atas tiga orang terdakwa dan pidana penjara dengan lamanya pidana yang bervariasi atas empat orang terdakwa, dan dibebaskan untuk tiga orang terdakwa. Selain dari itu, menetapkan enam organisasi yang terlibat di dalam PD II sebagai organisasi kejahatan dan membebaskan dua organisasi tuduhan. Adapun pengadilan Tokyo telah menjatuhi pidana mati terhadap tujuh orang terdakwa dan 16 orang terdakwa dijatuhi pidana semumur hidup serta pidana penjara dengan variasi lamanya pidana terhadap dua orang terdakwa. 136 Dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep 137 individual criminal responsibility. Prinsip tanggung jawab individu dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, dapat kita lihat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg 138 . Pasal 6 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah : ―The Tribunal established by the Agreement referred to in Article 1 here of for the trial and punishment of the major war criminals of the European Axis countries shall have the power to try and punish persons who, acting in the interests of the European Axis countries, whether as individuals or as members of organizations, committed any of the following crimes. The following acts, or any of them, are crimes coming within the jurisdiction of the Tribunal for which there shall be individual responsibility: crimes against peace…; war crimes…;crimes against humanity…;. Leaders, organizers, instigators and accomplices participating in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan.‖ Terjemahan Bebas : 135 Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 216 Audrey Sujatmoko, Op. Cit., Hal. 217 137 http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Tentang-Pengadilan-HAM-Internasional.pdf Diakses pada tanggal 1 April 2017, pada pukul 01:21 WIB. 138 Piagam Militer Internasional Nuremberg dapat diunduh pada http://www.jura.unimuenchen.de/fakultaet/lehrstuehle/satzger/materialien/img1945e.pdf 136 Universitas Sumatera Utara Pengadilan didirikan oleh Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 perjanjian untuk melakukan sidang dan memberi hukuman dari para penjahat perang utama dari negara-negara Eropa Axis, yang mana pengadilan akan memiliki kekuatan untuk memeriksa dan menghukum orang-orang yang bertindak dalam Negara-negara Eropa Axis, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, melakukan suatu kejahatan berikut. Semua tindakan-tindakan berikut, atau salah satu dari kejahatan berikut, adalah kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang harus ada tanggung jawab individu: kejahatan terhadap perdamaian…; kejahatan perang…; kejahatan terhadap kemanusiaan…;. Pemimpin, penyelenggara, penghasut dan anak buah yang berpartisipasi dalam perumusan atau pelaksanaan rencana umum atau konspirasi untuk melakukan salah satu kejahatan tersebut bertanggung jawab untuk semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksanaan rencana tersebut. Pasal 7 Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, adalah : ―The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment.‖ Terjemahan Bebas : Posisi resmi terdakwa, apakah sebagai Kepala Negara atau penanggung jawab atau para pejabat di Departemen Pemerintah, tidak akan dianggap sebagai membebaskan mereka dari tanggung jawab atau hukuman yang meringankan. Tanggung jawab individu dapat kita lihat dari pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 6 disebutkan bahwa pelaku kejahatan terhadap tiga jenis kejahatan yaitu kejahatan terhadap perdamaain, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut pertanggungjawabannya melalaui pengadilan internasional yaitu Pengadilan Militer Internasional Nurenberg. Tangggung jawab individu tersebut juga dikuatkan dalam pasal 7 yaitu siapapun orangnya atau apapun jabatan yang diemban individu, baik kepala negara atau pejabat, yang melakukan kejahatan tersebut harus dihukum dan tidak berhak memperoleh keringanan hukuman. Dalam perkembangannya, prinsip tanggung jawab individu diterapkan juga ke dalam berbagai pengadilan internasional. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Universitas Sumatera Utara Former Yugoslavia139 atau ICTY dan Pasal 6 Statuta Pengadilan Pidana Internasional Ad hoc untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda140 atau ICTR, yaitu 1. A person who planned, instigated, ordered, committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in articles 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime. 2. The official position of any accused person, whether as Head of State or Government or as a responsible Government official, shall not relieve such person of criminal responsibility nor mitigate punishment. 3. The fact that any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he knew or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof. 4. The fact that an accused person acted pursuant to an order of a Government or of a superior shall not relieve him of criminal responsibility, but may be considered in mitigation of punishment if the International Tribunal determines that justice so requires. Terjemahan Bebas : 1. Seseorang yang merencanakan, menghasut, memerintahkan, berkomitmen atau membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau pelaksanaan kejahatan dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini, harus secara individu bertanggung jawab atas kejahatan itu. 2. Posisi resmi dari setiap orang yang dituduh, apakah sebagai Kepala Negara atau Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab pidana atau mengurangi hukuman. 3. Fakta bahwa salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam artikel 2 sampai 5 dari Statuta ini dilakukan oleh seorang bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab pidana jika ia tahu atau seharusnya tahu bahwa bawahan itu mau melakukan tindakan seperti atau telah melakukannya dan atasan tidak mengambil tindakan yang diperlukan dan masuk akal untuk mencegah tindakan tersebut atau untuk menghukum pelakunya. 4. Kenyataan bahwa seorang terdakwa bertindak sesuai dengan perintah dari Pemerintah atau dari atasan tidak akan membebaskannya dari tanggung jawab pidana, tetapi dapat dipertimbangkan dalam mitigasi hukuman jika Pengadilan Internasional menentukan bahwa keadilan sehingga membutuhkan. Seperti yang telah disebutkan di latar belakang atau pendahuluan dalam skripsi ini bahwa ICC merupakan pengadilan yang bersifat tetap (permanent) dan didirikan berdasarkan suatu perjanjian internasional (treaty), yaitu Statuta Roma (―The Rome Statute of the 139 Statuta International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia dapat diunduh pada http://www.icty.org/x/file/Legal%20Library/Statute/statute_sept09_en.pdf 140 Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda Dapat diunduh pada http://www.icls.de/dokumente/ictr_statute.pdf Universitas Sumatera Utara International Criminal Court‖) tahun 1998. Statuta ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002 setelah diratifikasi oleh 60 negara. ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda). ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 141 juga dibentuk untuk memutuskan rantai kekebalan hukum atau impunity bagi para pelaku yang melakukan kejahatan berdasarkan statuta ini. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan atau Preumbule Statuta Roma 1998, yaitu ―Determined to put an end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to contribute to the prevention of such crimes,..‖. Dalam memerangi impunity tersebut, ICC berdasarkan Statuta Roma 1998 menganut prinsip tanggung jawab individu agar siapapun pelakunya, baik itu kepala negara maupun pejabat, dapat diadili dan dihukum atas kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi ICC yang dilakukan individu tersebut. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita lihat pada Pasal 25 Statuta Roma 1998. Pasal 25 Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa, : Individual criminal responsibility 1. The Court shall have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute. 2. A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statute. 3. In accordance with this Statute, a person shall be criminally responsible and liable for punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person: (a) Commits such a crime, whether as an individual, jointly with another or through another person, regardless of whether that other person is criminally responsible; (b) Orders, solicits or induces the commission of such a crime which in fact occurs or is attempted; (c) For the purpose of facilitating the commission of such a crime, aids, abets or otherwise assists in its commission or its attempted commission, including providing the means for its commission; (d) In any other way contributes to the commission or attempted commission of such a crime by a group of persons acting with a common purpose. Such contribution shall be intentional and shall either: i. Be made with the aim of furthering the criminal activity or criminal purpose of the group, where such activity or 141 Statuta Roma 1998 dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/nr/rdonlyres/ea9aeff7-5752-4f84be94-0a655eb30e16/0/rome_statute_english.pdf, terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dapat diunduh pada http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/10/Statuta-Roma.pdf Universitas Sumatera Utara purpose involves the commission of a crime within the jurisdiction of the Court; or ii. Be made in the knowledge of the intention of the group to commit the crime; (e) In respect of the crime of genocide, directly and publicly incites others to commit genocide; (f) Attempts to commit such a crime by taking action that commences its execution by means of a substantial step, but the crime does not occur because of circumstances independent of the person's intentions. However, a person who abandons the effort to commit the crime or otherwise prevents the completion of the crime shall not be liable for punishment under this Statute for the attempt to commit that crime if that person completely and voluntarily gave up the criminal purpose. 4. No provision in this Statute relating to individual criminal responsibility shall affect the responsibility of States under international law. Pada Pasal 25 Statuta Roma 1998 dapat kita ketahui bahwa prisip tanggung jawab individu diatur dalam Statuta Roma 1998, yaitu : 1. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 1 dan 4, Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewenangan atau yurisdiksi hanya terhadap individu atau person bukan negara,sehingga dalam hal ini hanya individu yang dapat dikenakan tanggung jawab. Individu tidak dapat berlindung dibalik negara dan tanggung jawab individu tersebut tidak dapat dialihkan menjadi tanggung jawab negara. Individu harus bertanggung jawab secara individual terhadap perbuatannya. 2. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 2, individu hanya dapat dapat dikenakan tanggung jawab dan dihukum atas kejahatan-kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kejahatan-kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat kita lihat pada Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 1998 yaitu, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. 3. Berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Seseorang atau individu yang dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat dihukum atas kejahatan Universitas Sumatera Utara internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, apabila individu tersebut : a) Berdasarkan Huruf a Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Melakukan kejahatan, baik itu sendiri, bersama-sama dengan orang lain, ataupun melalui orang lain. Dalam hal ini individu tersebut harus bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukannya, walaupun individu tersebut melakukannya bersama orang lain ataupun dalam perantaraan melalui orang lain. Mahkamah Pidana Internasional tidak mengenal tanggung jawab kolektif atau bersama dan tanggung jawab individu tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Individu harus bertanggung jawab secara individual atas kejahatan yang diperbuatanya sesuai dengan perannya dalam melakukan kejahatan tersebut. b) Berdasarkan Huruf b Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Memerintahkan, mengusahakan, mendorong dilakukannya kejahatan atau percobaan kejahatan dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dapat dihukum. c) Berdasarkan Huruf c Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Mempermudah terjadinya kejahatan atau percobaan dengan cara membantu, kerja sama atau persengkongkolan, dan juga memberikan sarana dan fasilitas untuk melakukan kejahatan. d) Berdasarkan Huruf d Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Memberikan kontribusi bagi terjadinya kejahatan atau percobaan yang dilakukan oleh sekelompok orang atas tujuan bersama. Kontribusi tersebut harus dilandasi dengan kesengajaan dan dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan kejahatan tersebut sebagai tujuan bersama atau dapat juga Universitas Sumatera Utara karena dilakukan berdasarkan pengetahuan atas niat dari kelompok tersebut untuk melakukan kejahatan. e) Berdasarkan Huruf e Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Khusus untuk kejahatan genosida, secara langsung atau tidak langsung mengahasut atau membujuk orang lain melakukan genosida. f) Berdasarkan Huruf f Pasal 25 Statuta Roma 1998 ayat 3 Walaupun kejahatan tersebut tidak terjadi, individu tersebut tetap dapat dihukum dan dikenakan tanggung jawab individu kecuali individu tersebut benar-benar secara sukarela dan kesadaran menarik diri atau meninggalkan dari tujuan terwujudnya kejahatan tersebut dengan cara mencegah terwujudnya kejahatan tersebut. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dihukum berdasarkan Statuta Roma 1998. Universitas Sumatera Utara BAB IV PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM PENGHANCURAN BENDA BUDAYA SAAT TERJADINYA KONFLIK BERSENJATA DI MALI A. Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Sebagai Kejahatan Perang ―Perang‖ tampaknya sudah menjadi kata yang umum dan lazim dipergunakan secara luas dalam berbagai konteks situasi. Namun, sebagai sebuah terma hukum internasional, ada pemahaman spesifik tentang perang. Meski begitu, sampai saat ini tidak ada defenisi spesifik tentang perang yang diberikan oleh norma hukum internasional. Dengan demikian, sejauh ini defenisi tentang perang lebih banyak bersumber dari pendapat-pendapat akademisi dengan mempertimbangkan praktik negara-negara.142 Oppenheim berpendapat bahwa perang adalah, ―…a contention between two or more States through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases.‖ Seorang ahli hukum internasional yang lain, Dinstein dengan berlandaskan defenisi perang oleh Oppenheim tersebut, berpendapat bahwa perang memiliki unusr-unsur sebagai berikut :143 a. Ada permusuhan di antara setidaknya dua negara; b. Ada penggunaan angkatan bersenjata oleh negara-negara yang terlibat; c. Ada tujuan untuk mengalahkan negara yang menjadi musuh d. Tujuan mengalahkan musuh secara simetris ada pada negara-negara yang terlibat Hal tersebut menunjukkan bahwa pengertian perang belum didefenisikan secara mutlak dalam hukum internasional. Defenisi perang seringkali dimaknai secara sempit, yaitu bahwa perang hanya melibatkan negara-negara dalam konflik bersenjata antar negara. 142 143 Ari Siswanto Op. Cit., Hal. 146 Ibid, Hal. 147 Universitas Sumatera Utara Secara sistematik, konflik bersenjata dapat dibedakan menjadi dua kategori besar, yakni konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional/non-internasional (internal atau domestik). Konflik bersenjata dikatakan bersifat internasional kalau pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut adalah negara berhadapan denngan negara. Konflik bersenjata dikategorikan sebagai konflik non-internasional kalau yang berhadapan dalam konflik itu adalah setidaknya salah satunya adalah kelompok bersenjata bukan negara (non-state armed group).144 Hal tersebut menunjukkan bahwa defenisi perang yang dimaknai secara sempit yaitu konflik bersenjata antara negara melawan dengan negara, adalah salah satu dari wujud konflik bersenjata berupa konflik bersenjata internasional. Secara luas, perang tidak hanya melibatkan antara negara melawan negara. Tetapi perang juga dapat melibatkan antara negara melawan bukan negara, contohnya perang saudara atau perang sipil dan perang negara melawan pemberontak atau kelompok ekstrimis. Perang tersebut dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pemaknaan perang secara luas dapat disebut dengan istilah konflik bersenjata yang terdiri dari konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuanketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya beliau mengatakan, bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional moderen sebagai 144 Ibid, hal 147-148 Universitas Sumatera Utara suatu sistem hukum yang berdiri sendiri di mulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.145 Hukum Humaniter Internasional yang dulu disebut hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia. Atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Umumnya aturan-aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Aturan –aturan ini antara lain terdapat dalam ajaran agama Budha, Konfusius, Yahudi, Kristen dan Islam. Bahkan pada masa 3000-1500 SM ketentuan-ketentuan ini sudah ada pada bangsa Sumeria, Babilonia dan Mesir Kuno. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war).146 Sepanjang sejarah peradaban manusia, manusia selalu berusaha untuk mempertahankan dirinya terhadap konflik dengan sesama manusia lainnya sehingga terjadilah perang. Dikarenakan akibat-akibat perang yang sangat dahsyat dan merugikan umat manusia, manusia lalu membuat pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang untuk meminimalisir akibat perang tersebut. Pembatasan, peraturan dan ketentuan dalam perang menghasilkan hukum perang yang digunakan sebagai pedoman dalam berperang. Dalam perkembangannya, istilah hukum perang mengalami perubahan dari hukum sengketa bersenjata, hingga pada saat ini dikenal sebagai hukum humaniter internasional dan menjadi cabang dari khasanah hukum internasional . Pemaknaan defenisi perang yang luas mengakibatkan hukum humaniter internasional berlaku bagi tiap jenis konflik bersenjata, baik itu konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional. Hukum Humaniter Internasional sebagai cabang dari hukum internasional juga memiliki sumber hukum yang sama dengan hukum internasional. Sumber Hukum Humaniter Internasional dapat kita lihat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional yaitu meliputi : perjanjian internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary 145 Sulaiman Hamid, S.H. dan H. Bachtiar Hamzah, S.H., Hukum Humaniter Internasional, Penerbit USU Press, Medan, 1998, Hal.26 146 Arlina Permanasari dkk., Op. Cit., hal. 1 Universitas Sumatera Utara international law), prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law), yurisprudensi (judicial decisions) dan doktrin (doctrine) atau pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya atau reputasinya (teaching of the most highly qualified publicists).147 Substansi hukum humaniter internasional dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama yang saling berkaitan, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva). Secara substantif, Hukum Den Haag lebih banyak berisi norma tentang perilaku dalam perang dan sarana serta cara yang diperbolehkan dalam perang (conduct of war and permissible means and methods of war). Sementara itu, Hukum Jenewa lebih banyak memuat perlindungan terhadap korban perang yang berada dalam penguasaan musuh (protection of war victims in enemy hands). Secara konsisten, substansi kedua kelompok norma tersebut sejalan dengan tujuan utama hukum humaniter internasional, yakni untuk memanusiawikan perang/konflik bersenjata.148 Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa sumber hukum humaniter internasional terdapat pada Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum humaniter internasional tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yakni kelompok Hukum Den Haag (the Law of the Hague) yang mengatur tentang cara-cara berperang dan kelompok Hukum Jenewa (the Law of Geneva) yang mengatur tentang perlindungan korban perang. Adapaun, Hukum Humaniter Internasional dibuat bukanlah untuk meniadakan perang atau konflik bersenjata melainkan untuk memanusiawikan perang atau meminimalisir korban dan kerugian perang atau konflik bersenjata. Secara sederhana, ―kejahatan perang‖ berpangkal dari tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata. Istilah ―kejahatan perang‖ sendiri sebenarnya agak menyesatkan. Kata ―perang‖ dalam istilah itu bisa mengarahkan orang untuk menganggap bahwa kejahatan perang hanya dapat terjadi dalam kondisi perang yang dimaknai 147 Audrey Sujatmoko, Op. Cit., hal. 169 148 Ari Siswanto, Op. Cit., hal.151-152 Universitas Sumatera Utara secara sempit, yakni konflik bersenjata internasional (antar negara) yang berskala luas. Padahal, konsep ―perang‖ yang tidak mengalami banyak perkembangan berbanding terbalik dengan konsep ―hukum perang‖ yang mengalami banyak perkembangan yang sampai pada akhirnya berkembang menjadi hukum humaniter internasional yang mana tidak hannya mengatur konflik bersenjata internasional saja, tapi juga mengatur konflik bersenjata noninternasional. Sehingga, dengan pemahaman tersebut , istilah ―kejahatan perang‖ lebih tepat dipahami bukan sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perang (dalam arti sempit), melainkan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional.149 Hal tersebut menunjukkan, bahwa kejahatan perang tidak cocok dipahaami hanya sebagai pelanggaran hukum perang dalam arti sempit yang hanya melibatakan negara melawan negara atau konflik bersenjata internasional saja. Kejahatan perang, harus dipahami secara luas, tidak hanya pelanggaran dalam konflik bersenjata internasional, tapi juga pelanggaran dalam konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, pada intinya, dapat dikatakan bahwa kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Kejahatan perang adalah salah satu dari kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi atau kewenangan ICC. Hal ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998 yang menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang menjadi yuridiksi ICC adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998 sebagaimana disebutkan bahwa : 1. Mahkamah mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. 2. Untuk keperluan Statuta ini, ―kejahatan perang‖ berarti: (a) Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak149 Ibid, hal 165-166 Universitas Sumatera Utara milik yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan: (i) Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar; (ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis; (iii) Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan; (iv) Perusakan meluas dan perampasan hak-milik, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan; (v) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan; (vi) Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil; (vii) Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah; (viii) Menahan sandera. (b) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu perbuatan-perbuatan berikut ini: (i) Secara sengaja melancarkan serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu; (ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu, objek yang bukan merupakan sasaran militer; (iii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam suatu bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, sejauh bahwa mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada objek-objek sipil berdasarkan hukum internasional mengenai sengketa bersenjata; (iv) Secara sengaja melancarkan suatu serangan dengan mengetahui bahwa serangan tersebut akan menyebabkan kerugian insidentil terhadap kehidupan atau kerugian terhadap orang-orang sipil atau kerusakan terhadap objek-objek sipil atau kerusakan yang meluas, berjangkapanjang dan berat terhadap lingkungan alam yang jelas-jelas terlalu besar dalam kaitan dengan keunggulan militer keseluruhan secara konkret dan langsung dan yang dapat diantisipasi; (v) Menyerang atau membom, dengan sarana apa pun, kota-kota, desa, perumahan atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan objek militer; (vi) Membunuh atau melukai seorang lawan yang, setelah meletakkan senjata atau tidak mempunyai sarana pertahanan lagi, telah menyerahkan diri atas kemauannya sendiri; (vii) Memanfaatkan secara tidak benar bendera gencatan senjata, atau bendera atau lencana dan seragam militer dari pihak lawan atau milik Perserikatan Bangsa-Bangsa, maupun tanda-tanda khusus dari Konvensi Jenewa, yang menyebabkan kematian atau luka-luka serius pada individu-individu tertentu; Universitas Sumatera Utara (viii) Pemindahan, secara langsung atau tidak langsung, oleh Pasukan Pendudukan terhadap sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya, atau deportasi atau pemindahan semua atau sebagian dari wilayah yang diduduki itu baik di dalam wilayah itu sendiri maupun ke luar wilayah tersebut; (ix) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempattempat di mana orang-orang sakit dan terluka dikumpulkan, sejauh bahwa tempat tersebut bukan objek militer; (x) Membuat orang-orang yang berada dalam kekuasaan suatu pihak yang bermusuhan menjadi sasaran perusakan fisik atau percobaan medis atau ilmiah dari berbagai jenis yang tidak dapat dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun yang dilakukan tidak demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau sangat membahayakan kesehatan orang atau orang-orang tersebut; (xi) Membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang termasuk pada bangsa atau angkatan perang lawan; (xii) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal bagi para tawanan; (xiii) Menghancurkan atau merampas hak-milik lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut dituntut oleh kebutuhan perang yang tak dapat dihindarkan; (xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya dalam suatu pengadilan hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak lawan; (xv) Memaksa warga negara dari pihak yang bemusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang ditujukan terhadap negaranya sendiri, bahkan kalau mereka berada dalam dinas lawan sebelum dimulainya perang; (xvi) Menjarah kota atau tempat, bahkan apabila tempat tersebut dikuasai lewat serangan; (xvii) Menggunakan racun atau senjata yang dibubuhi racun; (xviii) Menggunakan gas yang menyesakkan napas, beracun atau lain-lain dan semua cairan, bahan atau peralatan yang serupa; (xix) Menggunakan peluru yang melebar atau menjadi rata dengan mudah di dalam badan seseorang, seperti misalnya peluru dengan selongsong keras yang tidak seluruhnya menutupi intinya atau yang ditusuk dengan torehan; (xx) Menggunakan senjata, proyektil dan material serta metode peperangan yang merupakan suatu sifat yang dapat menimbulkan kerugian yang luar biasa besar atau penderitaan yang tidak perlu atau yang secara hakiki tidak pandang bulu dengan melanggar hukum internasional mengenai sengketa bersenjata dengan syarat bahwa senjata, proyektil dan material serta metode peperangan tersebut merupakan masalah pokok dari suatu larangan menyeluruh dan dimasukkan dalam lampiran kepada Statuta ini, dan dengan amendemen yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan relevan yang diatur dalam pasal 121 dan 123; Universitas Sumatera Utara (xxi) (xxii) (xxiii) (xxiv) (xxv) (xxvi) Melakukan kebiadaban terhadap martabat pribadi, terutama perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat manusia; Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana didefinisikan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang juga merupakan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa; Memanfaatkan kehadiran seorang sipil dan orang lain yang dilindungi untuk menjadikan beberapa tempat, daerah atau pasukan militer tertentu kebal terhadap operasi militer; Secara sengaja menujukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana yang jelas dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; Secara sengaja memanfaatkan kelaparan orang-orang sipil sebagai suatu metode peperangan dengan memisahkan mereka dari objek-objek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka, termasuk secara sadar menghambat pengiriman bantuan sebagaimana ditetapkan berdasarkan Konvensi Jenewa; Menetapkan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata nasional atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertikaian. (c) Dalam hal suatu sengketa bersenjata yang bukan merupakan suatu persoalan internasional, pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949, yaitu, salah satu dari perbuatan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian aktif dalam pertikaian, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dan orang-orang yang ditempatkan di luar pertempuran karena menderita sakit, luka, ditahan atau suatu sebab lain: (i) Kekerasan terhadap kehidupan dan orang, khususnya pembunuhan dari segala jenis, pemotongan anggota tubuh (mutilasi), perlakuan kejam dan penyiksaan; (ii) Melakukan kebiadaban terhadap martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan dan merendahkan martabat; (iii)Menahan sandera; (iv) Dijatuhkannya hukuman dan dilaksanakannya hukuman mati tanpa keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang ditetapkan secara reguler, yang menanggung semua jaminan hukum yang pada umumnya diakui sebagai tak terelakkan. (d) Ayat 2 (c) berlaku bagi sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi keadaan-keadaan kekacauan dan ketegangan dalamnegeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain yang sama sifatnya. (e) Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, dalam rangka hukum internasional yang ditetapkan, yaitu salah satu dari perbuatan-perbuatan berikut ini: Universitas Sumatera Utara (i) Secara sengaja melakukan serangan terhadap penduduk sipil atau terhadap masing-masing penduduk sipil yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian; (ii) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung, material, satuan dan angkutan serta personil medis yang menggunakan lencana Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional; (iii)Secara sengaja melakukan serangan terhadap personil, instalasi, material, satuan atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan atau misi penjaga perdamaian sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa sepanjang mereka berhak atas perlindungan yang diberikan kepada orangorang dan objek-objek sipil berdasarkan hukum perang; (iv) Secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung-gedung yang digunakan untuk keperluan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di mana orang-orang yang sakit dikumpulkan, dengan syarat bahwa hal-hal tersebut bukan sasaran militer; (v) Menjarah suatu kota atau tempat, sekalipun tempat itu dikuasai lewat serangan; (vi) Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, kehamilan paksa, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7, ayat 2(f), sterilisasi yang dipaksakan, dan suatu bentuk lain kekerasan seksual yang juga merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 yang umum bagi empat Konvensi Jenewa; (vii) Memberlakukan wajib militer atau mendaftar anak-anak di bawah umur lima belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakannya untuk ikut serta secara aktif dalam pertikaian; (viii) Mengatur perpindahan penduduk sipil dengan alasan yang berkaitan dengan sengketa, kecuali kalau keamanan orang-orang sipil tersebut terancam atau alasan militer yang amat penting menuntutnya; (ix) Membunuh atau melukai secara curang seorang lawan tempur; (x) Menyatakan bahwa tidak akan diberikan tempat tinggal kepada tawanan; (xi) Menempatkan orang-orang yang berkuasa dari pihak lain dalam sengketa itu sebagai sasaran mutilasi atau pemotongan anggota tubuh secara fisik atau percobaan medis atau suatu jenis percobaan ilmiah yang tidak dapat dibenarkan oleh perlakuan medis, perawatan gigi atau rumah sakit dari orang yang bersangkutan ataupun tidak melaksanakan demi kepentingannya, dan yang menyebabkan kematian atau menimbulkan bahaya serius terhadap kesehatan dari orang atau orang-orang tersebut; (xii) Menghancurkan atau merampas hak milik dari seorang lawan kecuali kalau penghancuran atau perampasan tersebut sangat dituntut oleh kebutuhan dari sengketa tersebut; (f) Ayat 2(e) berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi-situasi kekacauan dan ketegangan dalam negeri, seperti misalnya huru-hara, tindakan kekerasan secara terpisah dan sporadis atau perbuatan-perbuatan lain dengan sifat yang sama. Ayat ini berlaku terhadap sengketa bersenjata yang berlangung dalam wilayah suatu Negara apabila terjadi sengketa bersenjata yang berkelanjutan antara para pejabat pemerintah dan kelompok bersenjata terorganisasi atau antara kelompok- kelompok semacam itu. Universitas Sumatera Utara 3. Tidak ada dalam ayat 2(c) dan (d) akan mempengaruhi tanggung jawab suatu Pemerintah untuk mempertahankan atau menetapkan kembali hukum dan ketertiban dalam Negara atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas teritorial dari Negara tersebut, dengan semua sarana yang sah. Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998 kita dapat melihat bahwa pengaturan kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 berlaku dalam konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Selain itu secara ringkas kita dapat membagi kejahatan perang dalam Statuta Roma 1998 menjadi 4 bagian atau kriteria yaitu terdiri dari ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional. Dengan kriteria-kriteria tersebut Berdasarkan Pasal 8 Statuta Roma 1998, Statuta Roma 1998 mengenal empat kategori kejahatan perang, sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut150 : TABEL 1.2. Kategori Kejahatan Perang Berdasarkan Statuta ROMA 1998 SENGKETA BERSENJATA INTERNASIONAL SENGKETA BERSENJATA NON- INTERNASIONAL Kategori I Pelanggaran serius terhadap Konvensikonvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf a Statuta Roma 1998) Kategori II Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata internasional (Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998) Secara umum, penghancuran benda Kategori III Pelanggaran serius terhadap common article 3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 (Pasal 8 ayat 2 huruf c Statuta Roma 1998) Kategori IV Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata noninternasional (Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998) budaya dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Seperti yang telah diuraikan dalam bab 2 tentang kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata bahwa berdasarkan Hukum Humaniter Internasional melalui konvensi-konvensi internasional, benda budaya dipersamakan dengan obyek sipil sepanjang tidak dipergunakan untuk kepentingan militer. Oleh karena itulah, 150 Diolah dari Statuta Roma 1998 dalam Arie Siswanto, hal 172 Universitas Sumatera Utara benda budaya dilindungi dan tidak boleh diserang atau dijadikan target serangan dalam konflik bersenjata. Pelanggaran terhadap ketentuan hukum humaniter internasional tersebut adalah merupakan kejahatan perang. Statuta Roma 1998 juga memiliki pengaturan tentang kejahatan perang yang seperti sudah dijelaskan, diatur dalam Pasal 8 Statuta Roma 1998. Secara khusus berdasarkan Statuta Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata juga dikategorikan sebagai kejahatan perang, yaitu : 1. Pasal 8 ayat 2 huruf b Statuta Roma 1998 yaitu Pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata internasional, dimana penghancuran benda budaya dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat kita lihat dari: (a) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ii bahwa kejahatan perang berarti secara sengaja melakukan serangan terhadap objek-objek sipil, yaitu objek yang bukan merupakan sasaran militer. Berdasarkan hukum humaniter internasional, kedudukan benda budaya adalah sebagai objek sipi. Penyerangan secara sengaja yang ditujukan kepada benda budaya yang merupakan objek sipil dapat membuat benda budaya tersebut rusak dan hancur. Sehingga dalam konflik bersenjata internasional, jika benda budaya dalam kedudukannya sebagai objek sipil diserang, maka hal tersebut adalah kejahatan perang. (b) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka iv pada intinya menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan dimana telah diketahui efek serangan tersebut dapat mengakibatkan kerugian-kerugian terhadap orang sipil dan objek sipil. Walaupun serangan tidak ditujukan kepada benda budaya sebagai objek sipil sekalipun, jika efek serangannya sebelumnya sudah diketahui akan mengakibatkan kerugian berupa kerusakan dan kehancuran pada benda budaya dan tidak memberikan efek yang besar bagi kepentingan militer, maka hal Universitas Sumatera Utara tersebut adalah kejahatan perang. Secara ringkas dapat dikatakan penghancuran benda budaya yang disebabkan efek dari serangan yang terlalu besar dan tidak perlu dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. (c) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka v pada intinya menyebutkan bahwa menyerang atau membom dengan sarana apapun, kota-kota, desa perumahan atau gedung yang bukan merupakan objek militer adalah merupakan kejahatan perang. Menyerang dan membom suatu daerah atau gedung yang bukan merupakan objek militer dapat menghancurkan benda budaya yang berada dalam daerah atau gedung tersebut, sehingga tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. (d) Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix pada intinya menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan rumah sakit sepanjang bukan objek milter dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu kejahatan perang. Hal tersebut menjadi penegasan terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata internasional adalah merupakan kejahatan perang. Secara langsug, pasal tersebut menyebutkan sepanjang bukan objek militer, contoh-contoh benda budaya seperti gedung-gedung untuk keagamaan, pendidikan, kesenian dan monumen bersejarah yang diserang secara sengaja dalam konflik bersenjata internasional dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. 2. Pasal 8 ayat 2 huruf e Statuta Roma 1998 yaitu pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan dalam konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata non-internasional dapat dikategorikan sebagai Universitas Sumatera Utara kejahatan perang, yaitu berdasarkan Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998 yang menyebutkan bahwa secara sengaja melakukan serangan terhadap gedung keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah dan rumah sakit sepanjang bukan objek atau sasaran militer dalam konflik bersenjata internasional adalah suatu kejahatan perang. Dapat kita lihat bahwa pasal ini sama persis dengan Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ix Statuta Roma 1998. Hal ini karena memang pasal-pasal tersebut sama-sama mengkategorikan penghancuran benda budaya sebagai kejahatan perang. Walaupun ketentuan penghancuran benda budaya sebagai kejahatan perang dalam konflik bersenjata non-internasional lebih sedikit ketimbang dalam konflik bersenjata internasional, secara substansi efeknya tetap sama, yaitu sebagai upaya untuk melindungi benda budaya dalam konflik bersenjata. Dalam konflik bersenjata non-internasional, menyerang benda-benda budaya seperti gedunggedung yang ditujukan untuk keagamaan, pendidikan, kesenian, monumen bersejarah sepanjang bukan objek atau sasaran militer dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Berdasarkan Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma 1998 tersebut diatas dapat kita ketahui bahwa dalam Statuta Roma 1998, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang yang berlaku pada konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat 2 huruf b angka ii, iv, v, ix Statuta Roma 1998. Sedangkan, penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata non-internasional dikategorikan sebagai kejahatan perang dapat dilihat pada Pasal 8 ayat 2 huruf e angka iv Statuta Roma 1998 . Berdasarkan uraian-urian diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang baik secara Universitas Sumatera Utara umum berdasarkan hukum humaniter internasional maupun secara khusus berdasarkan Statuta Roma 1998. Dengan dikategorikannya penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata sebagai kejahatan perang oleh Statuta Roma 1998, maka pelaku atau individu yang melakukan penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata baik konflik bersenjata internasional maupun konflik bersenjata non-internasional dapat dituntut, diadili dan dihukum oleh Mahkamah Pidana Internasional atau ICC. B. Latar Belakang Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata di Mali Republik Mali (bahasa Perancis: République du Mali) adalah suatu negara beribukota Bamako yang terletak di benua Afrika bagian barat. Negara terbesar kedua di Afrika Barat ini berbatasan dengan Aljazair di sebelah utara, Niger di timur, Burkina Faso dan Pantai Gading di selatan, Guinea di barat daya, serta Mauritania di barat. Perbatasannya di sebelah utara memanjang ke tengah gurun Sahara.151 Republik Mali berdiri pada tanggal 22 September 1960 setelah merdeka dari jajahan negara Perancis. Republik Mali memiliki luas wilayah 1,24 juta km², luas daratan 1,22 juta km², dan luas Perairan 20.000 km². Negara Mali yang memiliki iklim Sub tropis dan tropis ini, terdiri dari 8 wilayah, yaitu Gao, Kayes, Kidal, Koulikoro, Mopti, Segou, Sikasso, dan Timbuktu atau Tombouctou . Negara Mali memiliki jumlah penduduk 12.324.029 jiwa (per Juli 2008) dan dihuni oleh berbagai macam suku atau etnis yang terdiri dari Mande (50% terdiri dari Bambara, Malinke, Soninke), Peul (17%), Voltaic (12%), Songhai (6%), Tuareg dan Moor (10%) dan etnis-etnis lainnya sekitar (5%). Agama yang paling banyak dianut adalah Islam (90%), Kristen (1%) dan kepercayaan setempat (9%). Mali memiliki banyak sumber daya alam yang terdiri dari Emas, fosfat, kaolin, garam, limestone, uranium, hydropower, serta cadangan bauksit, bijih besi, mangaan, timah, tembaga, 151 https://id.wikipedia.org/wiki/Mali diakses pada 7 April 2017, pukul 00:30 WIB Universitas Sumatera Utara gipsum, granit, dan tenaga air. 152 Mali juga memiliki pariwisata-pariwisata yang terkenal seperti pusat Pasar kota Bamako (Bamako), Masjid Agung Djenné (Djenne), Katedral Bamako (Bamako), Masjid Djinguereber (Timbuktu), Masjid Agung Bamako (Bamako), Masjid Sankore (Timbuktu), Masjid Agung Mopti (Mopti ), Masjid Yacouba Guindo (Bamako), Masjid Kombole Kani (Mopti Daerah), dan Masjid Agung Segou (Segou). 153 Mali tidak meletakkan agama sebagai konstitusi dan ideologi negara. Mali mendefinisikan diri sebagai negara sekuler. Kendati demikian, Mali tetap memberikan kebebasan pelaksanaan praktik-praktik keagamaan yang tidak menimbulkan ancaman bagi stabilitas sosial dan perdamaian.154 Dari sudut pandang konstitusi, negara tersebut juga sangat menerapkan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sangat menghargai kegiatan ibadah agama apa pun dan melindungi hak setiap warga negaranya untuk melakukan ibadah. Kekerasan terhadap agama lain tidak bisa ditoleransi oleh undang-undang dasar mereka. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Islam, Mali bukan negara yang berdasarkan agama tertentu. Bahkan, negara tersebut cenderung memilih untuk menjadi sekuler, memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan sosial. Pada pemilihan presiden pada April 2002 yang lalu itulah, pemerintah dan partai politik sepakat untuk menjadikan Mali sebagai negara sekuler.155 Pada dasarnya Mali adalah negara sekuler, namun hal tersebut malah menjadi salah satu penyebab banyak konflik di Mali yang salah satu tujuan konflik tersebut adalah 152 http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/detail-kerjasama-bilateral.aspx?id=116 , diakses pada 7 April 2017, pukul 00:35 WIB 153 Tempat Terkenal di Mali, tripadvisor, https://www.tripadvisor.co.id/Attractions-g293812-Activitiesc47-Mali.html, diakses pada 7 April 2017, pukul 00:38 WIB 154 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/16/12/01/ohhx7g313-muslim-mali-dansekularisasi-negara Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:09 WIB. 155 http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/17/04/01/onq03j313-menelusuri-jejakislam-di-mali Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:19 WIB. Universitas Sumatera Utara menghendaki Mali berubah menjadi negara Islam. Konflik-konflik di Mali juga semakin bertambah banyak disebabkan krisis-krisis yang terjadi di Mali. Mali telah mengalami beberapa krisis secara bersamaan yang menyebabkan mudahnya tumbuh konflik156: 1. Krisis pemerintahan : Pembentukan negara bagi masyarakat Tuareg adalah tujuan jangka panjang dari MNLA, sejak dimulainya pemberontakan pada tahun 1962. MNLA adalah gerakan nasional pembebasan untuk daerah Aswadja di Mali. Selanjutnya, Mali selalu berada dalam kondisi yang sulit untuk mempertahankan wilayahnya. 2. Krisis makanan: Mali juga dirusak oleh krisis pangan yang serius, disebabkan oleh sejumlah catatan kekeringan tahun ini (mengurangi sumber daya tenaga air air dan membatasi tanaman). Untuk sebagian besar, ekonomi Mali hidup pada dukungan luar negeri, dengan ketergantungan pada sumbangan luar negeri. Selain itu, banyaknya konflik yang terjadi menyebabkan ECOWAS (Economic Community of West African States) memutuskan blokade makaan untuk menundukkan junta militer. Krisis pangan saat ini, bersama dengan bentrokan dengan Turareg, menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah. Puluhan ribu orang mengungsi, kamp-kamp pengungsi, dan kekurangan gizi kronis Mali, baik perempuan dan anak-anak. 3. Krisis politik: Pemberontakan yang menyebabkan turunnya presiden dari jabatannya. Pada 22 Maret 2012, Presiden Amadou Toumani Touré dilengserkan dalam 156 http://marcfonbaustier.tumblr.com/post/25158046866/mali-a-case-study-of-a-complex-african-crisis Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:23 WIB. Universitas Sumatera Utara kudeta terkait kegagalan penanganan krisis yang dilakukan olehnya, tepat sebulan sebelum pelaksanaan pemilihan presiden.157 4. Krisis keamanan : Mali juga mengalami krisis keamanan. Menjamurnya kelompok- kelompok ekstrimis atau organisasi teroris yang menghendaki penerapan hukum syariah dan menjadikan Mali sebagai negara Islam membuat negara Mali tidak aman dan selalu dihantui teror yang seringkali berujung konflik. Kelompok-kelompok ekstrimis atau organisasi teroris tersebut adalah Ansar Dine, Al-Queda, Boko Haram dan lain-lain. Krisis-krisis yang dialami Mali, membuat negara tersebut sangat rawan terjadinya konflik. Puncaknya, akibat dari konflik-konflik yang terjadi dan krisis-krisis di Negara Mali, terjadilah Perang Mali. Perang Mali sendiri terjadi antara Pemerintah Mali dan pihak pemberontak sehinggga dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional. Perang Mali adalah konflik bersenjata yang dimulai dari 16 Januari 2012 – 20 Februari 2015 yang terjadi pada Mali bagian utara. Presiden Amadou Toumani Touré dilengserkan dalam kudeta pada 22 Maret 2012. Tentara pemberontak, yang menyebut dirinya sebagai Komite Nasional untuk Pemulihan Demokrasi dan Negara (CNRDR), mengambil kontrol dan menangguhkan konstitusi dari Mali. Sebagai akibat dari ketidakstabilan setelah terjadinya kudeta, tiga kota terbesar di utara Mali, yaitu Kidal, Gao dan Timbuktu berhasil dikuasai oleh pemberontak selama tiga hari berturut-turut.158 Mali Utara berkeinginan untuk memisahkan diri dengan dimotori oleh MNLA ( National Movement for the Liberation of Azawad) yang bertujuan membentuk negara Azawad di wilayah luas Mali Utara. Gerakan MNLA tersebut didukung oleh Ansar Dine dan juga Al-Qaeda in the Islamic Maghreb 157 http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/03/201232251320110970.html Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:23 WIB. 158 Wikipedia Perang Mali, https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Mali_Utara#cite_note-boston-114 Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:27 WIB. Universitas Sumatera Utara (AQIM). Gerakan tersebut berhasil merebut wilayah yang luas dan membuat pasukan Mali mundur. Namun , setelah beberapa lama karena perbedaan pandangan atau visi-misi, kongsi MNLA dan Ansar Dine + AQIM bubar dan wilayah wilayah yang berhasil direbut sebelumnya sebagian besar diambil alih oleh Ansar Dine + AQIM. 159 Dapat kita lihat bahwa konflik yang terjadi di Mali adalah konflik antara pemerintah dengan para pemberontak. Para pemberontak yang terdiri dari gerakan pembebasan dan kelompok-kelompok ekstremis atau kelompok teroris bersatu untuk melawan pemerintah Mali. Dengan kata lain konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik bersenjata non internasional. Ketika sebagian besar wilayah di Mali bagian Utara telah berhasil dikuasai para pemberontak, para pemberontak tersebut lalu pecah kongsi karena perbedaan pandangan dan visi-misi. Pada akhirnya, para pemberontak tersebut saling serang dan wilayah Mali Utara jatuh ketangan kelompok ekstremis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine dan Al-Qaeda in the Islamic Maghreb (AQIM). Ansar Dine, yang secara kasar diterjemahkan menjadi ―pembela iman,‖ adalah kelompok pemberontak yang muncul di Mali pada Maret 2012 yang berupaya menerapkan secara ketat hukum syariah. Ansar Dine dipimpin oleh Iyad Ag Ghaly, mantan komandan senior kelompok militer pemberontak di Mali pada 1990-an. Tujuan kelompok adalah untuk diberlakukannya hukum syariah yang ketat di seluruh Mali. Setelah menguasai tiga kota besar di utara, termasuk Kidal, Timbuktu, dan untuk sebagian besar Gao. Ansar Dine lalu melarang alkohol, merokok, kunjungan ke pemakaman, menonton sepak bola, dan wanita sekarang diwajibkan memakai cadar. 160 Ansar Dine dilaporkan bertanggung jawab atas pembakaran makam 159 http://kazmckelvey.blogspot.co.id/2016/01/konflik-mali.html Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:38 WIB. 160 http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/08/14/who-are-ansar-dine/ , Michael Lambert and Jason Warner Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:45 WIB. Universitas Sumatera Utara seorang Sufi suci, sebuah situs Warisan Dunia UNESCO. Pada musim panas 2012, anggota Ansar Dine mendobrak pintu-pintu masjid Yahya Sidi , yang, menurut legenda, tidak akan dibuka sampai hari terakhir atau akhir zaman . Mereka mengklaim bahwa penghormatan untuk situs budaya itu adalah penghormatan berhala.161 Ansar Dine adalah pemain kekuatan baru di Mali utara, dan Amerika Serikat khawatir. Kelompok pemberontak Islamis, yang pada bulan Juni menguasai sebagian besar wilayah Sahara, telah menarik perhatian negara-negara di seluruh dunia karena menghancurkan Situs Warisan Dunia UNESCO di Timbuktu. Ancaman tersebut menimbulkan perhatian dari Amerika Serikat dan keamanan global, dan juga ditambah dengan krisis kemanusiaan yang menimbulkan sekitar 420.000 pengungsi. 162 Tandina dan saksi lain mengatakan Ansar Dine telah menghancurkan tiga makam suci lokal yaitu Sidi Mahmoud, Sidi El Mokhtar dan Alfa Moya dan juga setidaknya tujuh makam lainnya.163 Dengan dikuasainya Mali Utara oleh kelompok ekstremis atau kelompok teroris yaitu Ansara Dine, kelompok tersebut menjadi punya kuasa atas daerah tersebut. Namun, sangat disayangkan, kelompok yang ingin menerapkan hukum syariah di seluruh wilayah Mali tersebut malah melakukan penyerangan dan penghancuran benda budaya di wilayah yang juga merupakan situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO yaitu Timbuktu. Benda-benda budaya yang dihancurkan di daerah Timbuktu tersebut adalah makam-makam suci dan Masjid Agung yang memiliki nilai sejarah dan menjadi identitas khas peradaban dari masyarakat 161 Wikipedia Ansar Dine, https://en.wikipedia.org/wiki/Ansar_Dine Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:52 WIB. 162 Michael Lambert dan Jason Warner, http://globalpublicsquare.blogs.cnn.com/2012/08/14/who-areansar-dine/ Diakses pada tanggal 7 April 2017, pukul 08.54 WIB. 163 Mark John in Dakar; and John Irish , Mali Islamists destroy holy Timbuktu sites, http://www.reuters.com/article/us-mali-crisis-idUSBRE85T04E20120630 Diakses pada tanggal 7 April 2017, pukul 08.56 WIB. Universitas Sumatera Utara Mali. Ansar Dine berdalih bahwa benda-benda budaya tersebut adalah berhala sehingga layak untuk diserang dan dihancurkan. Salah satu daerah yang terkenal sebagai pusat peradaban Islam di Mali pada abad ke-12 M adalah Timbuktu. Pada abad itu, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang masyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi pusat perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera dan makmur. Secara gemilang, sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. ―Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat belajar,‖ tutur Africanus.164 Timbuktu menjadi daerah yang memiliki sejarah yang sangat penting dalam perkembangan budaya maupun perkembangan penyebaran agama Islam di Afrika bahkan dunia. Oleh karena itulah Timbuktu menjadi situs atau daerah yang ditetapkan UNESCO sebagai situs budaya dari warisan dunia.165 Hal ini juga karena di Timbuktu terdapat bendabenda budaya yang menjadi ciri khas atau identitas kemajuan peradaban masyarakat Mali pada masa lalu. Berikut adalah benda-benda budaya di Timbuktu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, yaitu166: 164 Menelusuri Jejak Islam di Mali, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamdigest/17/04/01/onq03j313-menelusuri-jejak-islam-di-mali Diakses pada 7 April 2017 pukul 08:58 WIB. 165 http://whc.unesco.org/en/list/119, http://whc.unesco.org/en/list/ , Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:23 WIB. 166 http://whc.unesco.org/en/list/119 Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:02 WIB. Universitas Sumatera Utara 1. Masjid Djingareyber, dibangun oleh Sultan Kankan Moussa, setelah kembali dari ziarah ke Mekah, dibangun kembali dan diperbesar antara 1570 dan 1583 oleh Imam Al Aqib, Qadhi dari Timbuktu. Masjid Djingareyber adalah salah satu landmark yang paling terkenal dari lanskap perkotaan Timbuktu. Masjid Sankore, dibangun pada abad ke-14, sama seperti Masjid Djingareyber, 2. Masjid Sankore dibangun kembali oleh Imam Al Aqib antara 1578 dan 1582. Dia membangun masjid tersebut sesuai dengan dimensi Ka'bah dari Mekah. 3. Masjid Sidi Yahia, terletak di sebelah selatan Masjid Sankore, dibangun sekitar tahun 1400 oleh Marabout Sheik El Moktar Hamalla dalam mengantisipasi orang suci yang muncul empat puluh tahun kemudian dalam pribadi Cherif Sidi Yahia, yang kemudian terpilih sebagai Imam. Masjid juga direnovasi pada tahun 15771578 oleh Imam Al Aqib. Tiga Masjid besar yaitu Djingareyber, Sankore dan Sidi Yahia, enam belas makam dan tempat umum suci, menjadi penanda sejarah atau saksi masa lalu dari kejayaan Mali. Masjidmasjid adalah contoh luar biasa dari arsitektur tanah dan teknik pemeliharaan tradisional yang terus diterapkan sampai saat ini.167 Dengan hadirnya benda-benda budaya tersebut di daerah Timbuktu, membuat Timbuktu dapat memenuhi syarat menjadi situs budaya dari warisan dunia. Hal ini karena untuk dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia, situs budaya harus mengandung nilai universal yang luar biasa dan memenuhi setidaknya satu dari sepuluh kriteria seleksi. Timbuktu sendiri memiliki 3 kriteria seleksi yang diakui oleh UNESCO yaitu kriteria seleksi ii, iv, dan v. Kriteria seleksi pada Timbuktu yang diakui oleh UNESCO tersebut adalah168 : 167 168 http://whc.unesco.org/en/list/119 Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:09 WIB. http://whc.unesco.org/en/list/119, Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:18 WIB. Universitas Sumatera Utara 1. Kriteria (ii): Masjid-masjid dan tempat-tempat suci di Timbuktu telah memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Afrika pada periode awal. 2. Kriteria (iv): Tiga masjid besar Timbuktu, dipulihkan oleh Qadhi Al Aqib di abad ke16, menjadi saksi zaman keemasan atau kejayaan intelektual dan spiritual pada akhir dinasti Askia. 3. Kriteria (v): Tiga masjid dan makam adalah saksi yang luar biasa untuk pembentukan kota Timbuktu, peran penting dari pusat komersial, spiritual dan budaya pada rute perdagangan selatan trans-Sahara, dan teknik konstruksi karakteristik tradisional lingkungan mereka. Dapat kita lihat bahwa Timbuktu merupakan daerah yang sangat kaya akan benda budaya. Timbuktu menjadi salah satu pusat peradaban masyarakat Mali pada masa kejayaannya. Timbuktu menjadi pusat teknologi baik teknolgi arsitektur maupun perkotaan, pusat pendidikan atau intelektual dan juga pusat pendalaman agama Islam tidak hanya di Mali bahkan seluruh Afrika dan menjadi perhatian dunia internasional pada masa itu. Namun sangat disayangkan, akibat konflik berkepanjangan mengakibatkan Timbuktu jatuh ketangan ekstrimis atau teroris yang mengahncurkan benda-benda budaya. Benda-benda budaya tersebut dihancurkan karena dianggap sebagai berhala yang dapat menjauhkan umat dari agama. Akibat dari konflik berkepanjangan tersebut membuat keberadaan benda-benda budaya di Timbuktu terancam sehingga UNESCO menetapkan Timbuktu sebagai daftar warisan dunia yang terancam bahaya.169 Berdasarkan Decision : 36 COM 7B.106 Mali World Heritage properties (Mali) menyebutkan bahwa ―…6. Decides to inscribe Timbuktu (Mali) on the List of World Heritage in Danger…‖. Berdasarkan Keputusan Komite Warisan Dunia 169 http://whc.unesco.org/en/danger/ Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:22 WIB. Universitas Sumatera Utara UNESCO, pada sesi 36 di Saint Saint Petersburg, Rusia yang diadakan pada tanggal 24 Juni sampai 6 Juli 2012 menetapkan Timbuktu kedalam daftar warisan dunia yang terancam bahaya.170 Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita simpulkan bahwa penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali dilatarbelakangi oleh dianggapnya benda budaya sebagai berhala oleh kelompok ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine. Konflik yang terjadi pada tahun 2012 antara pemerintah Mali dengan para pemberontak membuat Mali bagian Utara jatuh ketangan para pemberontak. Lalu para pemberontak yaitu gerakan pembebasan dan kelompok ekstrimis karena perbedaan visi-misi membuat mereka menjadi saling serang dan terlibat konflik. Akhirnya, Mali Utara menjadi daerah kekuasaan kelompok ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Ansar Dine. Ansar Dine dengan kekuasaannya menghancurkan benda-benda budaya di wilayah Timbuktu yang merupakan situs budaya dari warisan dunia karena menganggap benda budaya sebagai berhala. Bendabenda budaya di Timbuktu seperti Masjid dan makam suci banyak yang diserang dan dihancurkan oleh Ansar Dine. Hal ini turut membuat UNESCO menetapkan Timbuktu sebagai warisan dunia yang ternacam bahaya. C. Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam Penghancuran Benda Budaya saat terjadinya Konflik Bersenjata di MALI Berdasarkan pembahasan sebelumnya kita dapat mengetahui bahwa sejak Juni 2012 telah terjadi penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali tepatnya di daerah Timbuktu yang dilatarbelakangi dianggapnya benda budaya sebagai berhala oleh para 170 WORLD HERITAGE COMMITTEE, Decision : 36 COM 7B.106 Mali World Heritage properties (Mali), UNESCO, Page 147. Dokumen dapat diunduh pada http://whc.unesco.org/archive/2012/whc12-36com19e.pdf Universitas Sumatera Utara ekstrimis atau kelompok Teroris yaitu Ansar Dine. Sebelumnya juga, sejak Perang Mali pada Januari 2012 telah terjadi banyak kejahatan yang dilakukan oleh para pemberontak yaitu MNLA (National Movement for the Liberation of Azawad), AQIM (Al Qaeda-Maghreb Islam) dan Ansar Dine terutama di tiga wilayah Mali yaitu Kidal, Gao dan Timbuktu. Pengadilan Nasional di Mali tidak dapat mengatasi hal tersebut sehingga pada 30 Mei 2012 Pemerintah Mali melalui Kabinet Mali atau Dewan Pemerintah Mali sepakat untuk menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk berbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya. 171 Hal ini berarti termasuk juga atas kejahatan yang dilakukan setelah kesepakatan Kabinet Mali, yaitu kejahatan penghancuran benda budaya pada Juni hingga Juli 2012 di Timbuktu Konflik bersenjata yang terjadi di Mali juga sudah diperhatikan oleh ICC sejak konflik bersenjata meletus pada Januari 2012.172 Atas hal tersebut, pada 1 Juli 2012, Kantor ICC mengeluarkan pernyataan publik yang megatakan bahwa melakukan serangan secara sengaja terhadap bangunan suci umat Islam di Kota Timbuktu merupakan kejahatan perang yang dimungkinkan dapat menjadi yurisdiksi ICC berdasarkan Statuta Roma 1998.173 Dikarenakan konflik bersenjata yang terjadi, kesepakaatan Kabinet Mali dan juga pernyataaan publik oleh ICC, maka Pemerintah Mali menyerahkan yurisdiksi atau kewenangan kepada ICC untuk melakukan penyelidikan dan pengadilan untuk berbagai kejahatan yang dilakukan para pemberontak sejak Januari 2012 sampai sesudahnya dengan melalui status ―Situasi‖174 yang diajukan dalam Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral 171 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 17, Page 7 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 15 Page 6 173 https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/B8B506C8-E2DE-4FF5-A843 B0687C28AA6C/284735/OTPBriefing20June3July2012.pdf Diakses pada 7 April 2017 pukul 09:28 WIB. 174 Pasal 14 ayat 1 Statuta Roma 1998 menjelaskan bahwa Situasi atau dalam Bahasa Inggris disebut ―Situation” adalah keadaan dimana suatu negara pihak menyerahkan kepada ICC suatu peristiwa yang dapat dijadikan status Situasi karena mengandung kejahatan dalam yurisdiksi ICC sehingga dapat meminta ICC untuk 172 Universitas Sumatera Utara Letter Mali No. 0076/MJ-SG. 175 Dalam surat resmi tersebut, Pemerintah Mali menyatakan bahwa karena Pengadilan Nasional Mali tidak mampu melakukan penuntutan dan pengadilan terhadap pelaku kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012 maka dengan Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali mengajukan status Situasi dan memberikan izin kepada ICC untuk melakukan penyelidikan atau investigasi terhadap kejahatan-kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012. Berdasarkan status Situasi yang diajukan Pihak Pemerintah Mali, ICC lalu mengirim 2 misi pada agustus dan oktober 2012 ke Mali untuk menilai dan memverifikasi permintaan status situasi yang diajukan Pemerintah Mali.176 Hasilnya adalah berdasarkan Laporan Hasil Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report177, Situasi yang diajukan Pihak Mali diterima oleh ICC. Hal-hal yang mendasari diterimanya situasai yang diajukan Pemerintah Mali kepada ICC adalah178: yurisdiksi, alasan penerimaan dan kepentingan keadilan .Sebagaimana yang dijelaskan berikut ini : 1. Yurisdiksi179 : A. Yurisdiksi ratione temporis: Mali menandatangani Statuta Roma pada tanggal 17 Juli tahun 1998, dan meratifikasinya pada tanggal 16 Agustus 2000. Dengan demikian, Pengadilan ICC memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida yang dilakukan di wilayah Mali atau melakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang statusnya ingin dijadikan Situasi atau Situation tersebut oleh ICC. 175 Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/A245A47F-BFD1-45B6-891C3BCB5B173F57/0/ReferralLetterMali130712.pdf 176 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 22, Page 8 177 Laporan Hasil Situasi Mali atau Situation in Mali Article 53(1) Report Dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/itemsDocuments/SASMaliArticle53_1PublicReportENG16Jan2013.pdf 178 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 1, Page 4. 179 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 5,6,7,8, Page 5 Universitas Sumatera Utara dengan warga negaranya dari 1 Juli 2002 dan seterusnya. Pada tanggal 18 Juli 2012, pihak berwenang Mali menyatakan ―Situasi‖ di Mali ke ICC sehubungan dengan dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata sejak Januari 2012 hingga seterusnya. B. Yurisdiksi ratione loci / yurisdiksi ratione personae: Pengadilan ICC memiliki yurisdiksi wilayah berdasarkan Pasal 12 (2) (a) Statuta Roma 1998. Dalam Surat Resmi Pemerintah Mali atau Referral Letter Mali No. 0076/MJ-SG, Pemerintah Mali mengajukan status ―Situasi‖ kepada ICC. Karena itu, ICC dimungkinkan untuk dapat menyelidiki kejahatan yang dilakukan di seluruh wilayah Mali jika diperlukan. C. Yurisdiksi ratione materiae: Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa ada dasar memadai untuk percaya bahwa kejahatan perang telah dilakukan di Mali sejak Januari 2012, yaitu: (1) pembunuhan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 (2) (c) (i) Statuta Roma 1998; (2) lewat kalimat langsung dan juga tertulis untuk eksekusi tanpa proses pengadilan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 (2) (c) (iv) Statuta Roma 1998; (3) mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan merupakan kejahatan perang menurut Pasal 8 (2) (c) (i) Statuta Roma 1998; (4) sengaja mengarahkan serangan terhadap objek yang dilindungi merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (iv) Statuta Roma 1998; (5) penjarahan harta benda dalam konflik bersenjata merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (v) Statuta Roma 1998; dan (6) pemerkosaan merupakan kejahatan perang berdasarkan Pasal 8 (2) (e) (vi) Statuta Roma 1998. 2. Alasan penerimaan180 : 180 Situation in Mali Article 53(1) Report, No. 9,10,11,12, Page 6 Universitas Sumatera Utara A. Informasi yang tersedia memberikan indikasi kepada orang-orang dan kelompok-kelompok yang terlibat untuk memikul tanggung jawab terhadap kejahatan yang dituduhkan. B. Pelengkap yaitu pada tahap ini tidak ada proses pengadilan nasional yang mampu di Mali atau di Negara lainnya terhadap individu yang harus menanggung tanggung jawab untuk kejahatan yang diperbuatnya dalam konflik bersenjata di Mali. Atas dasar tersebut, sesuai dengan prinsip yang dianut oleh ICC yaitu prinsip pelengkap maka ICC dapat mengaktifkan yurisdiksi atau kewenangannya sehingga dapat mengirim jaksanya untuk melakukan penyelidikan. 3. Kepentingan Keadilan181 yaitu Berdasarkan informasi yang tersedia, tidak ada alasan substansial untuk percaya bahwa pembukaan penyelidikan Situasi di Mali tidak dalam kepentingan keadilan. Sehingga, pembukaan penyelidikan oleh ICC perlu dilakukan untuk tercapainya keadilan. Berdasarkan hal-hal tersebut ICC menyatakan menerima status Situasi yang diajukan Mali sehingga Jaksa ICC setelah mengevaluasi informasi yang tersedia, telah memutuskan untuk memulai penyelidikan terhadap Situasi di Mali atas kejahatan-kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012.182 Dengan diterimanya Situasi Mali oleh ICC, maka berdasarkan Situation in Mali Article 53(1) Report, ICC membuka penyelidikan atau investigasi pada Januari 2013 atas dugaan kejahatan dalam konflik bersenjata di Mali yang terjadi sejak Januari 2012.183 Setelah dilakukan penyelidikan oleh Fatou Bensouda dan James Stewart sebagai Jaksa dari ICC , ICC lalu menetapkan Ahmad Al Faqi sebagai tersangka yang melakukan penghancuran 181 Situation in Mali Article 53(1) Report, No.13, Page 6 Situation in Mali Article 53(1) Report, No.14, Page 6 183 https://www.icc-cpi.int/mali Diakses pada 8 April 2017 pukul 10:78 WIB. 182 Universitas Sumatera Utara benda budaya di Mali tepatnya di daerah Timbuktu dengan surat perintah penangkapan No. ICC-01/12-01/15 yang dikeluarkan pada 18 September 2015 dan dipublikasikan kepada publik pada 28 September 2015.184 Berdasarkan surat perintah penangkapan No. ICC-01/1201/15, dapat diketahui bahwa : 1. Bahwa telah terjadi konflik bersenjata yaitu konflik bersenjata non-internasional yang dimulai sejak Januari 2012 di Mali, mengakibatkan Timbuktu (wilayah Mali bagian utara) diduga telah terjadi kejahatan yang dilakukan oleh ekstrimis atau kelompok teroris yaitu Al Qaeda-Maghreb Islam ( AQIM) dan Ansar Dine pada sekitar 30 Juni 2012 hingga 10 Juli 2012. 2. Ahmad Al Faqi Al Mahdi (dengan pengucapan atau ejaan bervariasi: Ahmad AL FAQI, Ag Ahmadou Al-Fiqi Ahmed AL iFAQ Ahmad EL iFAQ atau Alphaqque) alias atau yang dijuluki Abu Tourab, jenis kelamin laki-laki, lahir di Agoune, 100 kilometer barat dari Timbuktu, Mali, Suku Tuareg, Anggota Kelompok Ansar Dine, dengan perkiraan usia sekitar tiga puluh tahun. 3. Ahmad Al Faqi sebagai "orang yang dianggap ahli" dalam urusan agama, adalah salah satu tokoh masyarakat dan aktif terlibat dalam pendudukan kota Timbuktu yang dilakukan ekstremis atau kelompok teroris Ansar Dine . Sebagai anggota dari Ansar Dine, Ahmad Al Faqi diangkat oleh Ansar Dine sebagai ―Hesbah‖ semacam kepala keamanan wilayah dan aktif berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan keputusan dan juga aktif secara langsung dalam menyerang benda budaya berupa bangunan suci dan monumen bersejarah. 4. Menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi diduga "Bertanggung jawab secara individu untuk melakukan baik secara individu dan atau bersama-sama dengan orang lain dan untuk memfasilitasi atau memberikan kontribusi dalam kejahatan perang di daerah 184 https://www.icc-cpi.int/CourtRecords/CR2015_18211.PDF Universitas Sumatera Utara Timbuktu sekitar 30 Juni 2012 sampai 10 Juli 2012, yaitu serangan secara sengaja yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama dan / atau monumen bersejarah, yaitu: 1) makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2) makam Cheick Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh Sidi Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5) makam Cheick Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El Micky, 7) makam Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9) makam Bahaber Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia, Hal tersebut dapat merupakan dikategorikan sebagai kejahatan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 pada Pasal 8 (2) (e) (iv) tentang kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan Pasal 25 (3) (a), Pasal 25 (3) (c) dan Pasal 25 (3) (d) tentang tanggung jawab individu. 5. Semua bangunan dan monumen yang diserang berada di bawah perlindungan UNESCO, yang sebagian besar juga merupakan benda budaya yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia. Secara khusus, daerah Timbuktu adalah situs budaya yang terdaftar dalam Daftar Warisan Dunia yang terancam bahaya pada tanggal 28 Juni 2012. Karena serangan tersebut, benda-benda budaya berupa bangunan-bangunan suci dan monumen bersejarah , berdasarkan beberapa dokumen resmi dari lembagalembaga internasional (termasuk UNESCO) , media pers atau surat kabar setempat, artikel dan laporan-laporan lainnya, mengalami kerusakan serius dan dalam beberapa kasus telah benar-benar hancur. Perkembangan berikutnya setelah surat penangkapan dikeluarkan adalah berdasarkan pernyataan ICC atau press release ICC tertanggal 26 September 2015, pada 26 September 2015 Ahmad Al Mahdi Al Faqi (alias Abu Tourab) telah menyerahkan diri kepada Pengadilan Universitas Sumatera Utara Kriminal Internasional (ICC) melalui otoritas Niger dan tiba di Pusat Mahkamah Pengadilan Internasional (ICC) di Belanda.185 Sidang lalu digelar dari 22 sampai 24 Agustus 2016. Tuan Al Mahdi membuat pengakuan bersalah pada hari pertama sidang. Pada hari pertama sidang, didampingi oleh Penasihat Hukumnya Mohamed Aouini, Tuan Ahmad Al Faqi Al Mahdi menegaskan bahwa ia186: (i) Mengetahui dan memahami bahwa sifat dari tuduhan terhadap dirinya, dan konsekuensi dari pengakuan bersalah; (ii) Telah membuat pengakuan bersalah secara sukarela, setelah berkonsultasi dengan penasihat hukumnya; (iii) Diberikan hak untuk: (a) mengaku tidak bersalah dan membutuhkan Penuntutan untuk membuktikan tuduhan tanpa keraguan di pengadilan penuh; (b) tidak mengaku bersalah dan untuk tetap diam; (c) meningkatkan pertahanan dan alasan untuk tidak dikenakan tanggung jawab pidana atau tanggung jawab individu, dan untuk menyajikan bukti yang dapat diterima di pengadilan penuh; (d) memeriksa saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta pemeriksaan nama saksi di pengadilan penuh; dan (e) banding keyakinan atau kalimat, asalkan kalimat tidak lebih dari kisaran hukuman yang direkomendasikan; (iv) Menerima tanggung jawab pidana individual 185 https://www.icc-cpi.int/Pages/item.aspx?name=pr1154 , lihat juga Report on activities and programme performance of the International Criminal Court for the year 2015, Page 17, 14 September 2016 dalam https://asp.icc-cpi.int/iccdocs/asp_docs/ASP15/ICC-ASP-15-3-ENG.pdf 186 ICC,Summary of the Judgment and Sentence in the case of The Prosecutor v.Ahmad Al Faqi Al Mahdi, Page 1, 27 September 2016 Dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/itemsDocuments/160926AlMahdiSummary.pdf Universitas Sumatera Utara ICC lalu melakukan pembacaan putusan terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Trial Chamber VIII yang terdiri dari Hakim Raul C. Pangalangan sebagai Hakim Ketua, Hakim Antoine Kesia-Mbe Mindua sebagai Hakim Anggota dan Hakim Bertram Schmitt sebagai Hakim Anggota yang dalam putusannya menetapkan Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan bertanggung jawab secara individu terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali sehingga dihukum 9 tahun penjara.187 Dalam Putusan ICC 188 disebutkan bahwa Pengadilan ICC mengadili Al Mahdi dengan mempertimbangkan tuduhan dari Jaksa ICC yaitu sesuai dengan Pasal 25 (3) (a) (perbuatan individu dan atau perbuatan bersama); Pasal 25 (3) (b) (meminta, memerintahkan); Pasal 25 (3) (c) (membantu, bersekongkol atau mempermudah) atau Pasal 25 (3) (d) (kontribusi dengan cara lain) bertanggung jawab secara individu terhadap kejahatan perang yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut mengenai mengarahkan serangan secara sengaja terhadap bangunan-banguna berikut: 1. makam Sidi mahamoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2. makam Sheikh Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3. makam Sheikh Sidi Mokhtar Ben Sidi Muhammad Ben Sheikh Alkabir, 4. makam Alpha Moya, 5. makam Sheikh Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6. makam Sheikh Muhammad El Mikki, 7. makam Sheikh Abdoul Kassim Attouaty, 8. makam Ahmed Fulane, 9. makam Bahaber Babadié, 187 ICC, Case Information Sheet, Page 1, No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Updated: 07 October 2016 188 Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng Dapat diunduh pada https://www.icc-cpi.int/mali/almahdi/documents/almahdieng.pdf Universitas Sumatera Utara 10. Masjid Sidi Yahia (pintu). Tuduhan tersebut menyangkut kejahatan yang diduga dilakukan di Timbuktu antara sekitar tanggal 30 bulan Juni 2012 sampai 11 Juli 2012. Dalam putusan ICC tersebut, Ahmad Al Faqi Al Mahdi disebutkan merupakan anggota dari Ansar Dine dan diangkat oleh Ansar Dine sebagai ―Hesbah‖, semacam kepala keamanan wilayah. Dengan kekuasaanya sebagai Hesbah, Ahmad Al Faqi Al Mahdi disebutkan aktif berpartisipasi dalam berbagai pelaksanaan keputusan dan juga aktif secara langsung dalam mengarahkan serangan terhadap benda-benda budaya berupa bangunan suci dan monumen bersejarah. Benda budaya berupa bangunan suci dan monumen bersejarah yang ditargetkan untuk diserang tersebut adalah benda budaya yang dilindungi dan dianggap sebagai bagian penting dari warisan budaya Timbuktu dan Mali serta bukan merupakan sasaran militer. Sebagai konsekuensi dari serangan tersebut, benda-benda budaya benar-benar mengalami kehancuran dan juga rusak parah. Kehancuran tersebut dianggap sebagai hal yang serius dan sangat disesalkan oleh penduduk setempat.189 Majelis Hakim dalam Trial Chamber VIII menerima pertimbangan-pertimbangan tersebut dan secara bulat menetapkan Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan bertanggung jawab secara individu terhadap penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata di Mali yang dikategorikan sebagai kejahatan perang berupa serangan secara sengaja yang diarahkan pada monumen bersejarah dan bangunan yang didedikasikan untuk agama, termasuk sembilan makam dan satu Masjid di Timbuktu, Mali, pada bulan Juni dan Juli 2012. Atas hal tersebut, maka pada tanggal 27 September 2016, Majelis Hakim dalam putusannya memberikan hukuman sembilan tahun penjara kepada Ahmad Al Faqi Al Mahdi.190 Dapat kita lihat bahwa Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 mengandung pengaturan tentang tanggung jawab individu yang terdapat pada Pasal 25 (3) (a) 189 Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 1 190 Putusan ICC terhadap Ahmad Al Faqi pada 27 September 2016 dalam Case Information Sheet No. ICC-PIDS-CIS-MAL-01-08/16_Eng, Page 2 Universitas Sumatera Utara Statuta Roma 1998, Pasal 25 (3) (b) Statuta Roma 1998, Pasal 25 (3) (c) Statuta Roma 1998 dan Pasal 25 (3) (d) Statuta Roma 1998 dan juga mengandung pengaturan tentang kejahatan perang berupa mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda budaya dalam konflik bersenjata yang terdapat pada Pasal 8 (2) (e) (iv) Statuta Roma 1998. Hal tersebut menunjukkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi dibebankan tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya yang diperbuatanya saat terjadinya konflik bersenjata yang pada akhrinya membuatnya dihukum 9 tahun penjara. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali adalah dengan dibebankannya tanggung jawab individu dan dihukumnya Ahmad Al Faqi Al Mahdi selama 9 tahun penjara atas perbuatannya mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda-benda budaya yang diakui berupa 9 makam suci dan 1 Masjid di Timbuktu yang berakibat pada kehancuran dan kerusakan parah benda-benda budaya tersebut. Patut diapresiasi kerja sama dan pengakuan bersalah dari Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam persidangan sehingga proses pengadilan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Dihukumnya Ahmad Al Faqi Al Mahdi dapat dijadikan momentum bagi ICC untuk mengadili dan mengenakan tanggung jawab individu terhadap pelaku-pelaku lainnya yang melakukan penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Hal ini karena kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan kasus penghancuran benda budaya yang pertama 191 kali disidangkan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Selain itu, kasus tersebut juga memberikan perkembangan yang cukup besar terhadap khazanah Hukum Internasional. 191 Daftar kasus yang ditangani ICC dapat dilihat pada https://www.icc-cpi.int/Pages/cases.aspx# , yang mana terakhir dicek penulis pada 13 April 2017 pada pukul 16.48 WIB belum ada kasus tentang penghancuran benda budaya yang ditangani oleh ICC, kecuali kasus penghancuran benda budaya oleh Ahmad al-Faqi al-Mahdi Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Berdasarkan hukum humaniter internasional dengan melalui konvensi-konvensi internasional, kedudukan benda budaya dalam konflik bersenjata adalah sebagai obyek sipil. Benda budaya sebagai obyek sipil wajib dilindungi dan tidak boleh dijadikan target serangan atau obyek militer. Namun, berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I Tahun 1977, kedudukan benda budaya sebagai obyek sipil dapat berubah menjadi obyek militer apabila sifat, lokasi, tujuan, atau penggunaannya benda budaya tersebut memang benar-benar dapat menunjukkan kepentingan militer oleh pihak musuh atau telah memberikan kontribusi efektif bagi tindakan militer pihak musuh. Contohnya adalah ketika demi kepentingan militer pihak musuh, benda budaya seperti gereja dijadikan pihak musuh sebagai tempat persembunyian dan juga tempat untuk melakukan penyerangan diam-diam yang menghasilkan kontribusi efektif bagi tindakan pihak militer musuh, maka benda budaya tersebut pada saat itu juga otomatis berubah kedudukannya menjadi obyek militer. Sehingga, karena kedudukannya sudah berubah, benda budaya tersebut dapat diserang namun harus menghasilkan keuntungan militer yang pasti yaitu kemenangan militer atau keberhasilan misi dengan mengusahakan seminimal mungkin kerugian obyek sipil dan korban sipil yang jatuh. 2. Individu merupakan subjek hukum internasional dalam artian terbatas yaitu hanya pada dimungkinkannya individu dituntut di hadapan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara pribadi atas nama diri sendiri terhadap kejahatan internasional yang dilakukannya. Tanggung jawab individu dalam hukum internasional adalah tanggung jawab yang dikenakan kepada individu yang melakukan kejahatan Universitas Sumatera Utara internasional. Pengaturan tanggung jawab individu dalam Statuta Roma 1998 dapat kita temukan dalam Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang pada intinya menyatakan bahwa siapapun yang dengan salah satu atau lebih dari cara-cara berikut: melakukan; memerintahkan; membantu; bekerja sama; memberikan fasilitas dan atau menghasut; baik secara pribadi maupun berkelompok; pada kejahatan internasional yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yaitu kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, dapat dikenakan tanggung jawab individu dan dihukum berdasarkan Statuta Roma 1998. 3. Dalam persidangan yang digelar oleh ICC pada 22 sampai 24 Agustus 2016 di Pengadilan ICC Belanda, Jaksa ICC menuduhkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi bertanggung jawab secara individu dalam kejahatan perang di Timbuktu wilayah Mali sekitar 30 Juni 2012 sampai 10 Juli 2012 saat terjadinya konflik bersenjata di Mali, yaitu serangan secara sengaja yang diarahkan terhadap bangunan yang didedikasikan untuk agama atau monumen bersejarah, yaitu: 1) makam Sidi Mahmoud Ben Omar Mohamed Aquit, 2) makam Cheick Mohamed Mahmoud Al Arawani, 3) makam Sidi Mokhtar Ben Cheikh Sidi Muhammad Ben Cheick Alkabir, 4) Alpha Moya makam, 5) makam Cheick Sidi Ahmed Ben Amar Arragadi, 6) makam Cheick mouhamad El Micky, 7) makam Cheick Abdoul Kassim Attouaty, 8) makam Ahamed Fulane, 9) makam Bahaber Babadié 10) dan Masjid Sidi Yahia. ICC lalu melakukan pembacaan putusan terhadap Ahmad Al Faqi Al Mahdi pada 27 September 2016 dalam Trial Chamber VIII yang terdiri dari Hakim Raul C. Pangalangan sebagai Hakim Ketua, Hakim Antoine Kesia-Mbe Mindua sebagai Hakim Anggota dan Hakim Bertram Schmitt sebagai Hakim Anggota yang dalam putusannya No. ICC-PIDS-CIS-MAL01-08/16_Eng secara bulat dengan berdasarkan tuduhan jaksa juga fakta-fakta persidangan menetapkan bahwa Ahmad Al Faqi Al Mahdi bersalah dan bertanggung Universitas Sumatera Utara jawab secara individu terhadap kejahatan perang yang dilakukannya berupa penghancuran benda budaya pada bulan Juni dan Juli 2012 dalam konflik bersenjata di Mali sehingga dihukum 9 tahun penjara. Putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam penghancuran benda budaya saat terjadinya konflik bersenjata di Mali adalah dengan dibebankannya tanggung jawab individu dan dihukumnya Ahmad Al Faqi Al Mahdi selama 9 tahun penjara atas perbuatannya mengarahkan serangan secara sengaja terhadap benda-benda budaya berupa 9 makam suci dan 1 Masjid di Timbuktu saat terjadinya konflik bersenjata di Mali sesuai dengan Pasal 8 (2) (e) (iv) Statuta Roma 1998 tentang kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dan Pasal 25 (3) (a), (c), (d) Statuta Roma 1998 tentang tanggung jawab individu. B. Saran 1. Tiap-tiap negara harus lebih aktif lagi dalam memberikan perlindungan terhadap benda budaya untuk mengantisipasi terjadainya konflik bersenjata yang dapat menimbulkan kerugian bagi benda budaya. 2. Pengaturan mengenai perlindungan benda budaya dan kejahatan perang berupa penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata memang sudah diatur dan dirumuskan dalam konvensi-konvensi internasional, namun belum ada konvensi-konvensi internasional yang mengatur secara tegas hukuman yang dapat diberikan kepada pelaku yang melakukan penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Sangat disarankan untuk membuat aturan yang tegas mengenai hukuman atas penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata agar menjamin kepastian hukum dan sebagai alat pencegah kejahatan penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Universitas Sumatera Utara 3. Kasus Ahmad Al Faqi Al Mahdi merupakan kasus penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata yang pertama kali disidangkan di hadapan Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC). Dihukumnya Ahmad Al Faqi Al Mahdi dalam persidangan ICC dapat dijadikan momentum bagi ICC untuk lebih aktif lagi mengadili dan mengenakan tanggung jawab individu terhadap pelaku-pelaku lainnya yang melakukan penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Namun, dibutuhkan juga kerjasama internasional antara ICC dengan negara-negara serta organisasi-organisasi internasional untuk bersama-sama aktif berpartisipasi dalam menagkap dan mengadili pelaku penghancuran benda budaya dalam konflik bersenjata. Universitas Sumatera Utara