BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Asal Bahan Baku
Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan sampel pada
penelitian ini berasal dari 4 (empat) unit pengolahan ikan di Provinsi Gorontalo yaitu
Tilango, Pilohayanga, Gentuma dan Jalan Palma. Metode pengasapan dalam penelitian ada
yang menggunakan asap cair dan ada pula dengan cara pengasapan panas. pengolahan ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis) asap di unit pengolahan ikan (UPI) asap di Pilohayanga
menggunakan bahan bakar kayu lamtoro, di UPI Tilango menggunakan bahan bakar sabut
kelapa, di UPI Palma menggunakan asap cair, dan di UPI Gentuma menggunakan bahan
bakar tempurung kelapa.
Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang digunakan sebagai
sampel merupakan produk ikan asap yang masih baru dan lama penyimpanannya belum
sampai 24 jam. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dari keempat lokasi ini kemudian diuji
di LPPMHP (Laboratorium Pembinaan Dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan) Provinsi
Gorontalo. Uji mutu yang dilakukan meliputi analisis kimia (kadar air dan histamin), uji
organoleptik, dan mikrobiologi (TPC dan E. coli). Pengujian untuk setiap parameter baik itu
analisis kimia, uji organoleptik, maupun mikrobiologi dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
Hasil uji secara laboratorium yang dilakukan merupakan uji untuk mengetahui standar
mutu dari jenis produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan contoh
dalam kajian penelitian yaitu merupakan
produk ikan asap yang dikonsumsi oleh
masyarakat.
4.2 Analisis Organoleptik Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap
Analisis organoleptik dilakukan oleh panelis semi terlatih minimal 15 orang. Penilaian
pada analisis organoleptik ini berdasarkan uji hedonik dengan parameter pengujian
organoleptik meliputi kenampakan, bau, rasa, dan tekstur. Data hasil uji organoleptik
keempat sampel ikan cakalang asap untuk setiap parameter pengujian dapat dilihat pada
Lampiran 2.
4.2.1 Kenampakan
Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter kenampakan dapat
dilihat pada Gambar 4.
Histogram Kenampakan
Nilai Organoleptik
10,00
8,67
8,00
7,40
8,00
6,33
6,00
4,00
2,00
0,00
A
B
C
D
Gambar 4. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter kenampakan
ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
Keterangan:
= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Tilango
= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Pilohayanga
= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Gentuma
= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Palma
Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter penampakan ikan cakalang asap
dari keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik untuk parameter
kenampakan nilai rata-rata tertinggi berada pada ikan cakalang asap A yaitu 8,80, sedangkan
nilai rata-rata terendah berada pada ikan cakalang asap yang berasal dari tempat pengolah D
yaitu 6,13.
Hasil uji organoleptik kenampakan ikan cakalang asap memiliki nilai yang
bervariasi untuk setiap tempat pengolah. Pada UPI Tilango nilai rata-rata yang tertinggi,
menggunakan bahan bakar kayu lamoro, waktu pengasapan selama 4-5 jam pada suhu 80ºC-
90ºC. Hal ini diduga dikarenakan asap yang diserap oleh tubuh ikan sangat bervariasi
(tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan) sehingga memungkinkan warna pada
permukaan ikan yang berbeda. Selain itu jumlah kadar air juga dapat mempengaruhi nilai
kenampakan tersebut, dimana semakin tinggi kadar airnya maka nilai kenampakannya
semakin rendah.
Kayu keras (hard wood) banyak mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa,
contohnya tempurung kelapa, kayu turi, kayu mahoni, jati dan bengkirai. Jenis kayu tersebut
sebagian memang cukup mahal dan banyak digunakan untuk pembuatan industri mebel,
tetapi dalam pengolahan ikan asap dapat digunakan limbah dari jenis kayu tersebut sehingga
harga dapat ditekan. Jenis kayu yang banyak mengandung selulosa adalah yang terbaik
karena menghasilkan mutu asap yang baik dan akan mempengaruhi mutu produknya juga
(BI, 2009).
Pada UPI Palma nilai rata-rata yang terendah, menggunakan asap cair dan bahan bakar
sabut kelapa, waktu pengasapan selama 3 jam pada suhu 70ºC-80ºC. Hal ini disebabkan
karena perendaman asap cair selama 15 menit dan bahan air yang digunakan tidak diganti
sehingga asap kurang meresap ke daging dengan tingkat keaktifan asap cair berkurang. Asap
cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen
kayu yaitu: selulosa, hemiselulosa, ignin, dan fenol. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam
asap telah berhasil diidentifikasikan (Sulistijowati dkk, 2011). Lebih lanjut Moejiharto dkk
(2000) menjelaskan bahwa besarnya kadar fenol berhubungan dengan semakin besarnya
konsentrasi perendaman. Hal ini dapat dijelaskan bahwa difusi asap cair (fenol) dari
permukaan ke pusat sampel berjalan sesuai dengan besarnya konsentrasi yang diberikan.
Proses pengasapan mempengaruhi atribut inderawi dari produk pengasapan karena
terjadinya perubahan-perubahan protein akibat proses penggaraman atau pemanasan.
Pengasapan juga memberikan warna dan citarasa yang menarik terhadap ikan asap. Warna
dari ikan asap tidak hanya tergantung pada perubahan warna pigmen kulit tetapi juga
dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi komponen asap yang terserap serta interaksinya
dengan produk selain itu jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap juga akan
mempengaruhi warna dari produk pengasapan. Komponen fenol yang terkandung dalam asap
merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan citarasa asap dari produk pengasapan
(Sikorski & Sun Pan 1994).
Menurut Afrianto dan Liviawati (1989), zat-zat kimia yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar dalam proses pengasapan dapat memberikan warna kuning
keemasan dan dapat memberikan daya tarik pada konsumen. Lebih lanjut dikatakan
Moeljanto (1992), warna yang dikehendaki oleh konsumen sebagai warna ideal dari ikan
hasil proses pengasapan adalah warana kuning emas kecoklatan. Menurut Soesono (1985),
pengasapan bertujuan untuk memberikan warna serta rasa yang khas pada ikan, sehingga
dapat dinyatakan bahwa semakin lama ikan diasapi maka semakin banyak jumlah zat-zat
dalam asap yang diterima sesuai dengan produk akhir yang diinginkan.
Perubahan warna produk yang diasapi pada umumnya terjadi akibat senyawasenyawa yang terdapat pada ikan mengalami oksidasi. Terjadinya peristiwa oksidasi ini tidak
terlepas dari peran oksigen sehingga membuat kontak yang bebas dengan udara (Hadiwiyoto,
1993). Sehingga perbedaan nilai organoleptik tersebut mempengaruhi tekstur yang tidak
kompak, kenampakan, bau dan rasa yang berbeda, namun secara umum penerimaan
organoleptik menunjukkan bahwa pada semua perlakuan dapat diterima oleh panelis. pada
umumnya tergantung pada warna, karena warna tampil terlebih dahulu (Winarno, 2004).
Potensi pembentukan warna coklat Menurut Ruiter (1979) dalam Prananta (2005),
karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat pada produk
asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal dan metal
glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol
juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap
meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil.
Warna merupakan komponen yang sangat penting untuk menentukan kualitas atau
derajat penerimaan suatu bahan pangan. Suatu bahan pangan meskipun dinilai enak dan
teksturnya sangat baik, tetapi memiliki warna yang kurang sedap dipandang atau memberikan
kesan menyimpang dari warna yang seharusnya, maka tidak layak dikonsumsi. Penentuan
mutu suatu bahan pangan pada umumnya tergantung pada warna, karena warna tampil
terlebih dahulu (Winarno, 2004).
4.2.2 Bau
Hasil uji organoleptik terhadap bau ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang
diperolah dari 4 UPI yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.
Histogram Bau
Nilai Organoleptik
10,00
8,80
8,00
7,13
8,00
6,13
6,00
4,00
2,00
0,00
A
Gambar
5.
B
C
Histogram hasil pengujian organoleptik
cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
D
untuk parameter
Keterangan:
= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Tilango
= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Pilohayanga
= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Gentuma
= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Palma
bau
ikan
Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter bau ikan cakalang asap dari
keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik sampel ikan asap UPI
Tilango nilai rata-ratanya 8,80, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai rata-ratanya 8,00,
sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,13, dan sampel ikan asap UPI Palma nilai
rata-ratanya 6,13.
Nilai rata-rata organoleptik untuk parameter bau tertinggi berada pada ikan cakalang
asap A yaitu 8,80, sedangkan nilai rata-rata terendah berada pada ikan cakalang asap yang
berasal dari tempat pengolah D yaitu 6,13. Histogram tersebut memperlihatkan bahwa ikan
cakalang asap memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap tempat pengolah. Hal ini
kemungkinan dikarenakan asap yang dihasilkan dari bahan bakar dan lama proses
pengasapan sangat bervariasi sehinga memungkinkan bau pada ikan juga berbeda. Selain itu
jumlah kadar air mempangaruhi nilai organoleptik tersebut. Semakin tinggi kadar airnya
maka nilai organoleptiknya semakin rendah.
Pengasapan yang di lakukan pada UPI Tilango merupakan pangasapan panas yang
langsung menggunakan suhu tinggi sehingga waktu pengasapan selama 4-5 jam pada suhu
80ºC-90ºC. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Wibowo (1996) bahwa sebaiknya tidak
mengasap ikan secara langsung pada suhu tinggi sebab daging ikan akan cepat matang, tetapi
teksturnya masih lunak. Akibatnya, pengeringan berjalan lambat dan ikan mudah patah.
Pengasapan dihentikan setelah ikan berwarna. Coklat keemasan, bau yang khas asap dan
cairan yang ada pada ikan tidak terlalu banyak. Produk yang dihasilkan pada unit pengasapan
ini hanya bisa bertahan 2-3 hari.
Pada UPI Palma proses pengasapan menggunakn asap cair. Perendaman asap cair yang
begitu lama selama 15 menit dan bahan asap cairannya tidak diganti sehingga asap kurang
meresap kedaging kemudian tingkat keaktifannya berkurang. Menurut Sulistijowati dkk,
2011, dalam proses pengasapan cair aroma asap yang dihasilkan pada proses pengasapan
didapat tanpa melalui proses pengasapan, melainkan melalui penambahan cairan bahan
pengasap ke dalam produk. Bahan baku ikan direndam dalam asap cair, yang didapat dari
hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang ditambahi pewangi
kayu, yang hampir sama dengan aroma pengasapan, setelah itu ikan dikeringkan dan menjadi
produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke dalam ikan, dapat dilakukan melalui
penuangan langsung, pengasapan, pengolesan atau penyemprotan. Melalui proses ini tidak
diperlukan lagi ruang tempat pengasapan atau alat pengasapan yang menjadi keuntungan dari
proses ini, namun aroma produk yang dihasilkan jauh dibawah dari aroma produk yang
dilakukan dengan proses pengasapan sesungguhnya.
Menurut Randal dan Bratzler (1970) dalam Kapoh (1995), zat-zat yang mendominasi
pembentukan bau adalah komponen-komponen asap yang melekat pada produk seperti
fenol. Wibowo (2000) menyatakan bahwa kriteria mutu bau untuk ikan asap adalah bau asap
yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing,
tanpa bau asam dan tanpa bau apek.
Aroma Menurut Kartika, dkk (1988) menyatakan bahwa aroma dapat didefinisikan
sebagai hasil dari respon indera pencium yang diakibatkan oleh menguapnya zat-zat sedikit
larut dalam lemak pada suatu produk makanan ke udara sehingga dapat direspon oleh indera
pencium, yaitu hidung, dan kemudian dikenali oleh sistem tubuh sebagai aroma tertentu. Di
dalam industri pangan, pengujian terhadap bau atau aroma dianggap penting karena dengan
cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya
produk tersebut. Selain itu, aroma juga dapat digunakan sebagai indikator terjadinya
kerusakan pada produk.
Nilai kesukaan terendah terhadap aroma terdapat pada asap cair. Hal ini disebabkan
karena bau asap makin menyengat sehingga kurang disukai panelis semakin pekatnya asap
cair yang digunakan sebagai perendam, maka komponen asap yang menempel atau meresap
ke dalam ikan cakalang asap semakin banyak. Bau khas tersebut adalah fenol yaitu senyawa
utama pembentuk aroma asap (Dwiyitno dkk, 2006; Soeparno, 2005). Lebih lanjut
Moejiharto dkk (2000) menjelaskan bahwa besarnya kadar fenol berhubungan dengan
semakin besarnya konsentrasi perendaman. Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif
serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda.
Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang berlainan.
Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap.
4.2.3 Rasa
Rasa merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai di indera
pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asin, asam, dan pahit (Meilgaard et
al. 2000). Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter rasa dapat
dilihat pada Gambar 6.
Histogram Rasa
7,00
7,00
7,00
Nilai Organoleptik
7,00
6,13
6,50
6,00
5,50
5,00
4,50
4,00
A
Gambar
6.
B
C
D
Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter
cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
Keterangan:
= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Tilango
= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Pilohayanga
= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Gentuma
= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Palma
rasa ikan
Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter rasa ikan cakalang asap dari
keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik sampel ikan asap UPI
Tilango nilai rata-ratanya 7,00, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai rata-ratanya 7,00,
sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,00, dan sampel ikan asap UPI Palma nilai
rata-ratanya 6,13.
Hasil pengujian organoleptik rasa ikan cakalang asap memiliki nilai yang bervariasi
untuk setiap tempat pengolah. Hal ini kemungkinan dikarenakan asap yang diserap oleh
tubuh ikan sangat bervariasi sehingga memungkinkan rasa pada permukaan ikan juga
berbeda. Selain itu jumlah kadar air mempengaruhi nilai rasa tersebut, dimana semakin tinggi
kadar airnya maka nilai rasa semakin rendah. Hal ini kemungkinan karena semakin rendah
kadar air maka kandungan asap dalam produk semakin terkonsentrasi.
Kayu yang digunakan pada proses pengasapan berasal dari berbagai jenis kayu.
Menurut Sullivan (2009) kombinasi kayu yang berbeda dapat dilakukan untuk menciptakan
aroma asap yang khas. Sabut kelapa memiliki bau dan flavor yang baik. Pencampuran jenis
kayu dapat mengoptimalkan atribut-atribut inderawi dari produk ikan asap yang dihasilkan.
Menurut Maga (1987), pada beberapa makanan asap tertentu, akan terbentuk suatu kombinasi
kompleks dari beberapa atribut inderawi akibat dari pencampuran beberapa jenis kayu
sebagai sumber asap.
4.2.4 Tekstur
Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter tekstur dapat
dilihat pada Gambar 7.
Histogram Tekstur
Nilai Organoleptik
10,00
8,80
8,00
7,13
8,00
6,13
6,00
4,00
2,00
0,00
A
B
C
D
Gambar 7. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter tekstur ikan
cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
Keterangan:
= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Tilango
= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Pilohayanga
= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Gentuma
= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Palma
Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter tekstur ikan cakalang asap dari
keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik untuk parameter tekstur
sampel ikan asap UPI Tilango nilai rata-ratanya 8,80, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai
rata-ratanya 8,00, sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,13, dan sampel ikan
asap UPI Palma nilai rata-ratanya 6,13.
Hasil pengujian organoleptik tekstur ikan asap dari keempat unit pengolahan ikan asap
diperoleh hasil yang berbeda-beda. Perbedaan nilai untuk setiap tempat pengolah sangat
berkaitan erat dengan jumlah kadar air dari bahan/produk tersebut. Nilai tekstur berbanding
terbalik dengan nilai kadar air, artinya bahwa jika jumlah kadar air dari ikan cakalang asap
menurun maka nilai teksturnya akan semakin meningkat. Demikian juga sebaliknya jika
jumlah kadar air meningkat maka nilai teksturnya akan semakin menurun. Dari hasil
penelitian Enampato (2011) menyatakan bahwa semakin rendah jumlah kadar air dari ikan
asap maka nilai teksturnya semakin tinggi. Hal ini dikarenakan daging ikan semakin padat
atau keras seiring menurunnya kadar air dari tubuh ikan.
Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan menggunakan mulut
(pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan), ataupun dengan perabaan dengan jari (Kartika
dkk, 1988). Untuk dapat merasakan tekstur suatu produk digunakan indera peraba. Indera
peraba yang biasa digunakan untuk makanan biasanya di dalam mulut dengan menggunakan
lidah dan bagian-bagian di dalam mulut, dapat juga dengan menggunakan tangan sehingga
dapat merasakan tekstur suatu produk makanan. Tekstur juga menjadi salah satu faktor
penentu kualitas yang perlu diperhatikan.
Kataren (1986), menambahkan bahwa mikroba dapat merusak bahan pangan dan
menghasilkan cita rasa yang tidak enak disamping menimbulkan perubahan warna dan
tekstur. Hal ini didukung oleh pendapat Fardiaz (1992), yang menyatakan bahwa
mikroorganisme mempunyai berbagai enzim yang dapat memecah komponen makanan
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang dapat menyebabkan perubahan pada
warna, tekstur, bau dan rasa.
4.3 Analisis Kadar Air Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi
tekstur, penampakan, dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut
menentukkan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air mempunyai peran
yang penting dalam menentukkan daya awet dari bahan pangan karena dapat mempengaruhi
sifat fisik, perubahan-perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis
(Buckle et al, 1987).
Hasil pengujian kadar air ikan cakalang asap (Katsuwonus pelamis) dari keempat lokasi
pengolahan ikan berbeda dan perbandingannya dapat digambarkan dalam bentuk histogram.
Adapun histogram hasil uji kadar air ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap dapat dilihat
pada Gambar 8.
Histogram Kadar Air
73,65
72,51
Kadar air (%)
80
60
64,15
43,52
40
20
0
A
B
C
Gambar
8.
Histogram
hasil
pengujian
(Katsuwonus pelamis) asap
Keterangan:
D
kadar
air
ikan
cakalang
= Kadar air ikan asap UPI Tilango
= Kadar air ikan asap UPI Pilohayanga
= Kadar air ikan asap UPI Gentuma
= Kadar air ikan asap UPI Palma
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa masing-masing tempat pengolahan ikan
cakalang asap memiliki nilai kadar air yang berbeda-beda. Hal ini kemungkinan dipengaruhi
oleh suhu dan lamanya waktu pengasapan. Kadar air tertinggi terdapat pada jenis UPI
Pilohayanga karena bahan bakar yang digunakan yaitu kayu lamtoro, dengan suhu
pengasapan yang dihasilkan 80ºC-90 ºC. Taib (1987) menyebutkan bahwa semakin besar
perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula
kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan
lebih banyak dan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi proses pengasapan ikan
cakalang asap dapat menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih rendah, dibandingkan
dengan penggunaan satu proses pengawetan. Perubahan kadar air pada proses pengasapan
diakibatkan karena panas dan penarikan air dari jaringan tubuh ikan oleh penyerapan
berbagai senyawa kimia dari asap (Wibowo, 2000). Harikedua (1992) menyatakan bahwa
suhu dan lama pengasapan mempengaruhi nilai kadar air. Hal ini dikarenakan selama proses
pengasapan berlangsung terjadi penguapan molekul-molekul air dari produk yang diasapi.
Lebih lanjut Morintoh (2004) menyatakan bahwa semakin lama waktu pengasapan yang
dilakukan maka akan semakin rendah kandungan air dalam produk tersebut.
Menurut Ninoek et al. (1991) menerangkan bahwa bahan pangan yang berkadar air
tinggi akan lebih mudah rusak, sedangkan yang berkadar air rendah akan lebih awet. Hal ini
terjadi karena dalam proses enzimatis dan kimiawi serta pertumbuhan bakteri diperlukan
sejumlah air. Turunnya kadar air pada bahan akibat penguapan yang menyebabkan
berkurangnya penyediaan air yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan kehidupan
semua mikroorganisme.
Menurut Adawyah (2007), pengasapan yang terlalu lama akan menghilangkan
kelezatan ikan karena terlalu banyak air yang hilang. Demikian pula, pemakaian asap yang
terlalu panas. Suhu yang digunakan untuk pengasapan panas cukup tinggi sehingga daging
ikan menjadi matang. Moeljanto (1992) menyatakan bahwa batas kadar air yang diperlukan
setelah proses pengeringan kira-kira sebesar 30% atau setidak-tidaknya 40%, supaya
perkembangan jasad-jasad pembusuk dapat terhenti atau terhambat.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya pemakaian bahan bakar untuk
pengasapan antara lain adalah: lamanya pengasapan, kapasitas ruang pengasapan atau jumlah
dan ukuran ikan yang diasap, serta kadar air akhir ikan asap yang dikehendaki. Dengan
demikian, pemanfaatan asap dan panas yang dihasilkan oleh setiap satuan bahan bakar
menjadi lebih efisien bila digunakan untuk pengasapan.
Kadar air yang cukup tinggi pada produk ikan asap menyebabkan produk ikan asap
tidak tahan lama untuk disimpan. Selain itu, Sanitasi alat dan tempat pengasapan yang
tidak baik akan mengakibatkan kontaminasi pada produk ikan asap yang dihasilkan.
Semua masalah ini dapat rnenyebabkan industri pengolahan tradisional ikan cakalang asap
kurang berkembang sehingga perlu adanya jerobosan untuk proses pengolahan yang lebih
baik. Selain itu, faktor yang memengaruhi ikan asap di antaranya berkurang kadar air sampai
di bawah 40% adanya senyawa-senyawa di dalam asap kayu yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk, dan terjadi koagulasi protein pada permukaan ikan yang
mengakibatakn jaringan pengikat menjadi lebih kuat dan kompak sehingga tahan terhadap
serangan bakteri (Saparinto 2010). Proses pengasapan menyebabkan turunnya kadar air
tertinggalnya bahan-bahan pembentuk asap pada permukaan ikan, sementera asap yang
mudah menguap menurunkan pH pada permukaan ikan dan memperlambat pertumbuhan
bakteri. Suhu tinggi selama pengasapan juga bersifat antibakteri. Hal ini yang mempengaruhi
jumlah pertumbuhan bakteri dalam proses pengasapan ikan (Marassebesy, 2011).
Perbedaan kadar air keempat unit diduga karena perbedaan suhu dan lamanya proses
pengasapan. Menurut Wibowo (2000), dijelaskan bahwa pada bahan pangan yang
dipanaskan, total air/cairan yang keluar dari produk, akan semakin meningkat, dengan
semakin meningkatnya temperatur dan lama proses pengasapan. Peningkatan kehilangan
cairan akan semakin besar pada suhu pemanasan di atas 80-900C dan peningkatan waktu
lebih dari 3 jam. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada perlakuan pada semua perlakuan
dengan lama pengasapan yang berbeda. Semakin tinggi waktu pengasapan maka kadar air
yang terkandung dalam daging ikan semakin berkurang.
Nilai kadar air ini dipengaruhi oleh faktor-faktor selama proses pengasapan, seperti
suhu pengasapan, kelembaban udara, jenis dan kondisi bahan bakar, jumlah asap, ketebalan
asap serta kecepatan aliran asap di dalam alat pengasapan. Faktor-faktor tersebut
mempengaruhi banyaknya asap yang kontak dengan ikan sehingga berpengaruh pula terhadap
panas yang diberikan dan banyaknya air yang hilang dari produk Afrianto dan
Liviawaty(1989) dalam Himawati (2010).
Perbedaan nilai kadar air terjadi karena diduga akibat proses pengolahan antara tiap
produsen ikan asap berbeda-beda. Perbedaan tersebut diantaranya adalah lama waktu
pengasapan, banyaknya bahan pengasap yang digunakan serta ruang pengasapan. Semakin
lama waktu pengasapan dan makin banyak jumlah bahan pengasap yang digunakan diduga
akan meningkatkan suhu ruang pengasapan. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada
pengurangan kadar air produk akibat panas yang ditimbulkan. Berkurangnya kadar air produk
dapat menyebabkan komponen protein, lemak dan abu menjadi meningkat, hal ini diduga
karena komponen tersebut masih terikat dalam air (Ahmed et al, 2010)
Pengasapan dilakukan dengan cara pengasapan panas dan dapat pula dilakukan
dengan menggunakan asap cair. Penggunaan asap cair dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud, 2000; Rorvik, 2000 dalam Zuraida, 2008).
Gomez-Guillen et al. (2003) dalam Zuraida (2008) menyatakan bahwa tingkat keasaman asap
cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air
dari daging ikan. Berdasarkan pernyataan ini dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya kadar
air pada ikan asap dapat dipengaruhi oleh tingkat keasaman asap cair yang digunakan. Untuk
itu, penggunaan konsentrasi asap cair perlu untuk diperhatikan karena sangat menentukan
jumlah kadar air pada produk ikan asap.
Menurut Buckle et al. (1987) bahwa pengaruh kadar air sangat penting sekali dalam
menentukan daya awet suatu bahan pangan karena kadar air mempengaruhi sifat–sifat fisik
(organoleptik), sifat kimia, dan kebusukan oleh mikroorganisme.
4.4 Analisis Kadar Histamin Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap
Hasil pengujian kadar histamin pada setiap sampel berbeda dan perbedaannya dapat
Kadar Histamin (µg/g)
digambarkan dalam bentuk histogram Gambar 9.
Histogram Kadar Histamin
89,76
100,00
72,37
80,00
59,88
47,48
60,00
40,00
20,00
0,00
A
Gambar
9.
B
C
Histogram hasil pengujian
(Katsuwonus pelamis) asap
D
kadar
histamin
ikan
cakalang
Keterangan:
= Kadar histamin ikan asap UPI Tilango
= Kadar histamin ikan asap UPI Pilohayanga
= Kadar histamin ikan asap UPI Gentuma
= Kadar histamin ikan asap UPI Palma
Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap, kadar histamin maksimal yang
terkandung dalam produk ikan asap untuk SNI 2360-10:2009 adalah sebesar 100 mg/kg atau
sebesar 100 µg/g. Sesuai dengan SNI kadar histamin untuk ikan asap, maka keempat sampel
ikan asap (UPI Tilango, UPI Pilohayanga, UPI Gentuma, dan UPI Palma) masih memenuhi
syarat dan aman untuk dikonsumsi karena hasil pengujian kadar histaminnya masih dibawah
100 µg/g. Kadar histamin pada unit pengolahan ikan memiliki nilai yang bervariasi untuk
setiap tempat pengolah. Hal ini diduga karena penanganan sebelum melakukan proses
pengolahan ikan cakalang dengan menggunakan media pendingin es yang disimpan dalam
box. Menurut Junianto (2003) penanganan ikan segar harus menggunakan suhu rendah
(dingin/beku) sehingga proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang
mengarah kepada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat, selain itu pada suhu rendah
pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat sehingga kesegaran
ikan akan semakin lama dipertahankan.
Histamin merupakan indikator utama keracunan scombrotoxin. Scombrotoxin adalah
toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan famili Scombroidae seperti tuna, cakalang,
tongkol, marlin, mackerel, dan sejenisnya (Lehane dan Olley 2000). Ikan-ikan golongan
scombroid biasanya memiliki kandungan histidin dengan level tinggi yang akan diubah
menjadi histamin oleh bakteri pembentuk histamin yang memiliki enzim histidin
dekarboksilase jika kondisi penyimpanan tidak dapat mengontrol pertumbuhan bakteri
(McLauchlin et al. 2005).
Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kandungan histidin dalam
daging ikan yang secara alami terdapat di dalam jaringan ikan yang akan didekarboksilasi
oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase menjadi histamin. Aktivitas bakteri
penghasil enzim histidin dekarboksilase dapat meningkat jika penanganan ikan kurang baik,
misalnya kurang efektifnya penerapan rantai dingin serta kurang diperhatikannya aspek
sanitasi dan higiene. Menurut Sims (1992), ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu
histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Namun demikian, hanya histidin bebas yang
dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin. Dalam hal ini yang memegang peranan
penting dalam pembentukan histidin bebas dari jaringan protein menjadi histamin adalah
aktivitas bakteri dan proteolisis selama proses autolisis. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu, temperatur, jenis dan banyaknya
mikroflora bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.
Kecepatan penguraian zat-zat dalam tubuh ikan tergantung dari sifat daging ikan. Ikan
yang banyak mengandung histidin akan cenderung lebih cepat rusak dibandingkan ikan yang
tidak banyak mengandung histidin (Zaitsev et al. 1969). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa
histidin merupakan senyawa yang dibutuhkan oleh tubuh, namun keberadaan senyawa
tersebut juga dapat berdampak pada timbulnya histamin terutama pada bahan pangan yang
mengandung protein seperti ikan. Permasalahan lainnya adalah histamin tahan terhadap
pemanasan. Sehingga, proses pengasapan ikan dengan suhu panas yang tinggi tidak dapat
menghilangkan atau menurunkan kadar histamin pada ikan. Untuk itu, kualitas ikan mentah
yang digunakan sebagai bahan baku ikan asap sangat penting untuk diperhatikan terutama
ditinjau dari kadar histaminnya.
Faktor pemanasan dapat berpengaruh pada kandungan histidin yang terukur pada ikan
cakalang karena reaksi proteolisis saat pemanasan dapat meningkatkan kandungan asam
amino bebas (Liu et al. 2009). Keempat UPI ini memiliki bahan baku yang sama tetapi bahan
bakar dan waktu pengasapan yang berbeda. Histidin dapat berkurang kandungannya karena
oksidasi lemak (Bligh et al. 1988) sedangkan asap memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi (Doe 1998).
4.5 Analisis Escherichia Coli Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap
Data hasil analisis Escherichia coli sampel ikan cakalang asap dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8. Data Hasil Pengujian Coliform Ikan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) Asap
Kode
Sampel
A
B
C
D
Ulangan Ke
1
2
1
2
1
2
1
2
Jumlah Coliform
(Apm/g)
<3
<3
<3
<3
<3
<3
<3
<3
Berdasarkan data hasil uji Escherichia Coli ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
dapat dijelaskan bahwa hasil uji mikrobiologi baik sampel UPI Pilohayanga, UPI Tilango,
UPI Palma dan UPI Gentuma, jumlah cemaran mikroba Escherichia Coli pada ulangan
pertama dan ulangan kedua adalah tidak ditemukan adanya bakteri Escherichia Coli.
Kehadiran bakteri E.coli sebagai parameter ada tidaknya bakteri ditandai dengan adanya
kekeruhan dan gelembung gas yang terdapat dalam tabung durham. Setelah ikan cakalang
asap di inkubasi selama 48 jam pada suhu 35ºC tidak terlihat adanya gas atau kekeruhan pada
tabung LTB. Lauryl Tryptose Broth fungsinya adalah untuk mendeteksi adanya Coliform,
jadi tidak di lanjutkan kepengujia E.coli karena pada tabung LTB tidak terlihat adanya gas.
Hal ini dikarenakan pada saat proses pengasapan E.coli sudah tidak ada dan setelah
pengasapan tidak terjadi kontaminasi. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan persyaratan
mutu dan keamanan pangan ikan asap (SNI 01-2332.2006), jumlah cemaran mikroba
Escherichia Coli pada produk ikan asap adalah maksimal < 3 (Apm/g) sedangkan hasil
penelitian tidak ditemukan adanya bakteri E.coli. Sehingga semua sampel ikan cakalang asap
yang diuji masih memenuhi syarat dan aman untuk dikonsumsi.
Menurut Wahjuningsih (2001), bahwa uji pendugaan ini memperkirakan ada/tidaknya
bakteri E.coli di dalam sampel. Suatu seri pengenceran sampel ditumbuhkan dalam media
Lactosa Broth (Lauryl Tryptose Broth) pada suhu 35°C. Uji dinyatakan positif bila terbentuk
gas hasil hidrolisa laktosa oleh enzim bakteri dari kelompok E.coli. Menurut Lukman dan
Purnawarman (2008), E.coli merupakan mikroorganisme yang lebih disukai untuk digunakan
sebagai indikator sanitasi. Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator sanitasi dalam
pengolahan makanan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam saluran pencernaan
manusia maupun hewan.
Hasil pengamatan pada tabung pengenceran (3 tabung seri) tidak menunjukkan
adanya kekeruhan dan pembentukan gas dalam tabung durham sehingga uji penegasan E.
coli tidak dapat dilanjutkan. Kemungkinan lain E. coli tidak dapat tumbuh bisa diduga bahwa
air pencucian dan peralatan yang digunakan selama penanganan dan pengolahan ikan bersih
dan tidak tercemari oleh E. coli. Menurut Moehyi (1992), E. coli dapat tumbuh di dalam
bahan baku, peralatan yang digunakan, air pencuci maupun pekerja selama pengolahan yang
tidak bersih dan sehat. Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan diberi disinfektan untuk
mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan,
penyimpanan, karena peralatan dapur seperti alat pemotong, talenan dan alat saji merupakan
sumber kontaminan potensial bagi makanan (Purnawijayanti 2001).
Bakteri coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu hidup dalam
saluran pencernaan manusia. Bakteri coliform merupakan bakteri indikator keberadaan
bakteri patogenik dan masuk dalam golongan mikroorganisme yang lazim digunakan
sebagai indikator, di mana bakteri ini dapat menjadi sinyal untuk menentukan suatu sumber
air telah terkontaminasi oleh patogen atau tidak. Bakteri coliform ini menghasilkan zat
etionin
yang dapat menyebabkan kanker. Selain
itu bakteri pembusuk
ini
juga
memproduksi bermacam-macam racun seperti indol dan skatol yang dapat menimbulkan
penyakit bila jumlahnya berlebih didalam tubuh. Bakteri coliform dapat digunakan
sebagai indikator karena densitasnya berbanding lurus dengan tingkat pencemaran air.
4.6 Analisis
Angka
Lempeng
(Katsuwonus pelamis) Asap
Total
(ALT)
Ikan
Cakalang
Adapun histogram hasil pengujian Angka Lempeng Total (ALT) ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) asap dapat dilihat pada Gambar 10.
Histogram Log Sel
Log Sel (Koloni/g)
10,00
9,18
8,00
6,00
4,00
3,55
3,79
3,49
A
B
C
2,00
0,00
D
Gambar
10. Histogram hasil pengujian Angka
Cakalang (Katsuwonus pelamis) asap
Keterangan:
Lempeng
Total
(ALT)
ikan
= Nilai Log Sel ikan asap UPI Tilango
= Nilai Log Sel ikan asap UPI Pilohayanga
= Nilai Log Sel ikan asap UPI Gentuma
= Nilai Log Sel ikan asap UPI Palma
Berdasarkan Gambar 10 terlihat hasil uji
ALT
produk ikan cakalang asap hasil
penelitian pada perlakuan A, B dan C diperoleh jumlah nilai ALT masih berada di bawah
jumlah standar (1 x 105 koloni/g), namun pada perlakuan D mempunyai nilai ALT yang
lebih besar dari standar ikan asap. Menurut Buckle et al. (1987), nilai TPC dipengaruhi oleh
faktor ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dan cara penanganan dan penyimpanan produk.
Intensitas bakteri tergantung pada jumlah bakteri mula–mula, ketika tindakan sanitasi dan
higiene yang dilakukan selama penanganan dan penyimpanan. Cara penanganan, pengolahan,
dan penyimpanan yang tidak higiene terhadap bahan mentah maupun produk olahan, dapat
menyebabkan kontaminasi bahan mentah/produk olahan dengan mikroba yang berasal dari
lingkungan pengolahan dan penyimpanan (Moeljanto, 1992).
Analisis kandungan mikroba pada bahan pangan penting dilakukan untuk mengetahui
mutu bahan pangan dan menghitung proses pengawetan yang akan diterapkan pada bahan
pangan tersebut. Jumlah dan jenis jasad renik pada makanan yang telah diolah selain
dipengaruhi oleh sifat bahan pangan juga dipengaruhi oleh ketahanan mikroorganisme
terhadap proses pengolahan yang diterapkan terhadap makanan tersebut (Fardiaz 1992).
Tingginya jumlah bakteri pada ikan asap kemungkinan disebabkan telah terjadi
kontaminasi dari; lingkungan, pekerja, peralatan dan wadah yang digunakan selama proses
penanganan ikan sebelum pengasapan dan sesudah pengolahan ikan asap. Meskipun
demikian setelah proses pengasapan, asap yang terkandung pada daging ikan asap dapat
menekan pertumbuhan jumlah bakteri TPC. Hal ini disebabkan karena kandungan yang ada
pada asap yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Pszczola (1995),
kombinasi antara komponen fungsional fenol dan kandungan asam organik yang cukup tinggi
bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba. Kandungan kadar
asam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikrobia karena mikrobia hanya bisa
tumbuh pada kadar asam yang rendah.
Girrard (1992) bahwa potensi asap dapat memperpanjang masa simpan produk dengan
mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk dan patogen. Senyawa yang
mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair adalah senyawa fenol dan asam.
Berdasarkan kedua pernyataan yang dikemukakan, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya
komponen fungsional fenol dan kandungan asam organik pada asap dapat jumlah bakteri
TPC pada produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap ini sangat bergantung pada
proses pengasapan. Jumlah tersebut masih dalam batas yang aman sesuai SNI TPC.
Penurunan jumlah tersebut kemungkinan karena waktu pengasapan. Suhu asap dari proses
pengasapan seperti pada keempat UPI
di Propinsi Gorontalo dapat mencapai 80-90°C.
Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap (SNI 01-2332.3-2006 untuk ALT ikan
asap), jumlah ALT pada produk adalah maksimal 1,0 x 105 koloni/g yang apabila diubah
dalam bentuk bilangan logaritma menjadi 5 koloni/g.
Faktor lain yang sangat penting dalam mernpengaruhi terjadinya kontaminasi bakteri
ke dalam ikan asap adalah praktek higiene produsen dan penjual. Praktek higiene yang buruk
seperti pemakaian alat-alat yang tidak bersih, tangan yang tidak dicuci, kuku yang kotor dan
tidak dipotong
atau membiarkan makanan terlalu lama dipengaruhi lingkungan dapat
menjadi media yang sangat efektif' dalam penyebaran kuman. Keadaan lingkungan sekitar
yang kotor juga dapat rnemungkinkan adanya kontaminasi oleh kuman yang terbawa oleh
partikel-partikel udara yang kotor. Jumlah bakteri bertambah seiring dengan waktu
penyimpanan. Kebersihan
lingkungan seperti menumpuknya sampah di sekitar tempat
produksi dan tempat penjualan dapat menyebabkan kontaminasi mikroba, karena sampah
adalah media yang sangat baik bagi perkembangan kehidupan lalat, serangga, tikus dan
dapat menimbulkan bau.
Berdasarkan hasil observasi di masing-masing UPI sanitasinya baik dan proses
penanganannya memperhatikan aspek higienitas seperti penggunaan air bersih, adanya
fasilitas pencucian bahan baku, jarak dengan toilet cukup jauh, adanya tempat cuci tangan,
adanya saluran pembuangan air, tempat pembuangan sampah yang tertutup dan sering
dibersihkan, suasana ruang kerja yang bersih, penanganan limbah dengan menggunakan
wadah khusus dan tertutup.
Download