Peningkatan Nilai Moralitas Siswa Melalui Pembelajaran IPS di SD

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
2.1.1 Hakikat IPS
Di dunia pendidikan kita, Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) dikenal dengan istilah “social studies”.
Menurut National Concil For the Social Studies (NCSS)
dalam National Caoncil For the Social Studies (NCSSI)
(Martorella,
1994:
6),
mendefinisikan
Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai, “Social studies is the
integrated study of the social sciences and humanities
to
promote
civic
competence”.
Pendidikan
terintegrasi
dari
pembelajaran
ilmu
humaniora,
untuk
warga
negaranya.
mengembangkan
Dalam
program
sosial
sosial
dan
kemampuan
sekolah
IPS
memberikan koordianasi belajar sistematis dengan
menggunakan
antropologi,
hukum,
beberapa
arkeologi,
filsafat,
ilmu
seperti
ekonomi,
geografi,
sejarah,
politik,
psikologi,
agama,
ilmu
disiplin
sosiologi, maupun isi yang tepat dari humaniora
matematik dan ilmu alam. Tujuan utama dari IPS
adalah
membantu
kemampuan
untuk
pemuda
mengembangkan
menyampaikan
pendapat
dan
mengambil keputusan yang berdasarkan informasi
dan penalaran untuk kebaikan masyarakat sebagai
warga
dari
masyarakat
demokratis
yang
secara
11
kultural berbeda di dalam dunia yang saling bekerja
sama.
Ilmu pengetahuan sosial haruslah bersifat nyata
didalamnya
dirumuskan
suatu
kajian
perilaku
manusia berkaitan dengan berbagai latar belakang
yang melingkupinya secara obyektif, rasional, realistik.
Menurut Ellis, (1997:1) “social studies is the study of
human beings. The purpose of social studies in the
school curriculum is to introduce children to the world of
people. Student enter school with random knowledge
and ideas about people”, ilmu pegetahuan sosial
berkaitan dengan manusia yang menempatinya dan
interaksi mereka antara yang satu dengan yang lain
dan lingkungan mereka berada dan tempat. Dengan
demikian IPS dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu
yang
mempelajari
manusia
sebagai
anggota
masyarakat (Nursid Sumaatmadja, 1980:7).
Craib (M. Zaini Hasan & Salladin. 1996: 10)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu sosial
adalah
pengetahuan
yang
terorganisir
mengenai
manusia dan masyarakat sekelilingnya. Duffy (M. Zaini
Hasan & Salladin. 1996:10) lebih jauh menguraikan
ciri-ciri ilmu sosial, antara lain:
1. Ilmu
sosial
merupakan
pengetahuan
yang
terorganisir yang mengkaji hubungan-hubungan
antar manusia.
2. Pengetahuan di atas yang dimaksud adalah
pengetahuan valid dan dapat diteliti, dalam arti
12
terbuka untuk dikaji ulang dengan metoda yang
sama.
3. Teori serta konsep pengetahuan ini diperoleh
dari kajian ilmiah, melalui tahapan-tahapan
masalah/pertanyaan,
hipotesis,
pengumpulan
data, dan menganalisis data setelah diukur
tingkat validitas maupun reliabilitasnya.
4. Muara dan kegiatan penelitian di atas dapat
digunakan
secara
generalisasi
mendapatkan
teori, konsep, hukum maupun dalil dalam
pengetahuan sosial.
Dengan rumusan pendapat di atas secara umum
dapat
disimpulkan
bahwa
studi
sosial
pada
hakekatnya ialah kajian mengenai manusia dengan
segala aspeknya dalam sistem hidup bermasyarakat.
Kajian ini dilakukan dalam bentuk pengajaran di
sekolah untuk menyiapkan anak didik menjadi warga
Negara yang baik, berdasarkan nilai dan kaidah
kemasyarakatan yang berlaku (Buchari, Alma. 2003
148-149).
2.1.2 Tujuan IPS
Menurut NCSS (2008: 2) tujuan dari social
studies, adalah “….to help young people make informed
and reasoned decisions for the public good as citizens of
a
culturally
diverse,
democratic
society
in
an
interdependent world”. Dari rumusan tersebut dapat
diketahui bahwa tujuan pokok dari pembelajaran IPS
adalah
membentuk
siswa
mengembangkan
13
kemampuan membuat keputusan yang berdasarkan
informasi yang rasional sebagai warga Negara secara
kultural beragam, dan masyarakat demokratis di
dunia yang saling ketergantungan.
Menurut Etin Solihatin (2008: 15) tujuan IPS
adalah
untuk
kemampuan
mendidik
dasar
dan
kepada
memberi
siswa
bekal
untuk
megembangkan diri sesuai dengan bakat, minat,
kemampuan dan lingkungannya, serta berbagai bekal
bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan kejenjang
yang lebih tinggi. Sedangkan menurut Buchari Alma
(2003: 149) memfokuskan tujuan IPS pada penyediaan
pengalaman belajar siswa. Pendapat lain menyebutkan
tujuan utama IPS adalah membantu para siswa selaku
warga Negara mengembangkan kemampuan critical
thingking agar mampu mengambil keputusan secara
rasioanal dengan dasar informasi yang mencukupi,
dan diformulasikan pada permasalahan sosial yang
hasilnya tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan
keluarga tetapi juga berguna bagi masyarakat dan
bangsanya sebagai bentuk tanggungjawab seseorang
warga dalam masyarakat plural dan demokratis.
Menurut Saxe, (1993: 155) dijelaskan bahwa ilmu
sosial merupakan “the original formulators of social
studies hed in mind the when the emphasis area was
intervented in the first two decades of the twentieth
century”. Critical thinking ini juga diperlukan bagi para
siswa agar mampu menjadi pemikir yang bebas,
kreatif, bertanggung jawab, dan dapat memberikan
14
kritik bagi keadaan masyarakat ketika mengambil
suatu kebijakan.
Dengan demikian tujuan pendidikan IPS pada
hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional yaitu megembangkan potensi peserta
didik
agar menjadi manusia yang beriman,bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Serta
dapat
dimanfaatkan
sebagai
pengembangan
pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna
bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
2.1.3 Pembelajaran IPS
Menurut Barth, (1990: 28) “Social studies is the
interdisciplinary
integration
of
social
science
and
humanities concepts for the purpose of practicing
citizenship skills on critical social issues”. Pendidikan
sosial
merupakan
pengintegrasian
secara
interdisipliner dari konsep-konsep ilmu sosial dan
umat
manusia
untuk
tujuan
mempraktekkan
ketrampilan-ketrampilan kewarganegaraan dan isu-isu
sosial kritis lainnya.
Untuk mewujudkan konsep IPS sebagaimana
tersebut di atas maka setiap guru yang mengajar IPS
harus menerapkan prinsip sebagai berikut:
1. Keperluan, artinya konsep tersebut diperlukan
oleh siswa untuk memahami dunia sekitarnya.
15
2. Ketepatan, Rumusannya harus tepat, sehingga
tidak memberi peluang bagi penafsiran yang
salah (salah konsep).
3. Mudah dipelajari, artinya harus dapat disajikan
dengan mudah, fakta dan contohnya harus
terdapat dilingkungan hidup siswa.
4. Kegunaan, konsep tersebut haru benar-benar
berguna bagi kehidupan dalam masyarakat.
(Buchari Alma, 2003: 155)
Menurut para ahli ada beberapa cara untuk
mempelajari konsep, khususnya konsep IPS yaitu,
dengan menggunakan strategi pembelajaran terpadu,
yaitu dengan memadukan berbagai disiplin ilmu mulai
dari geografi, ekonomi, antropologi, politik, psikologi
sosial, dan sejarah, kedalam suatu tubuh yang
dinamakan IPS.
2.1.4 Ruang Lingkup IPS
Menurut Depdiknas (2006: 575) ruang lingkup
mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai
berikut: 1) Manusia, tempat dan lingkungan.2) Waktu,
keberlanjutan, dan perubahan. 3) Sistem sosial dan
budaya, serta 4) Perilaku, ekonomi, dan kesejahteraan.
Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan kajian ilmu
yang
potensial
bagi
pengembangan
tugas-tugas
pembelajaran yang kaya nilai. Karakteristik ilmu yang
erat
kaitannya
dengan
kehidupan
manusia
dan
banyak membahas tentang bagaimana manusia dapat
menjalin
16
hubungan
harmonis
dengan
sesama,
lingkungan dan Tuhan, membuat kajian ini sangat
kaya dengan sikap, nilai, moral, etika, dan perilaku.
Penyadaran nilai melalui IPS sering dihadapkan pada
persoalan
dinamika
dan
probabilitas
nilai
yang
berubah-ubah, oleh karena itu mata pelajaran IPS
dirancang
untuk
pemahaman
mengembangkan
dan
kemampuan
pengetahuan,
analisis
terhadap
kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan
bermasyarakat yang dinamis (Depdiknas. 2006: 575)
Ilmu
mengkaji
sosial
merupakan
perilaku
disiplin
manusia
ilmu
dalam
yang
beragam
bentuknya. Disiplin ilmu ini meliputi sejumlah cabang
disiplin ilmu seperti: psikologi, geografi, ekonomi,
politik sosiologi dan antropologi. Sedangkan ilmu
pendidikan sebagai disiplin ilmu yang mengambil
keunggulan (per excellence)
merupakan
bagian
yang
dari enam ilmu sosial
tidak
terpisahkan
dari
kerajinan ilmu sosial itu sendiri.
2.2 Pendidikan Nilai Moralitas
Peran pendidikan sebagai sumber nilai perlu
diperhatikan
oleh
berbagai
kalangan.
Karena
pentingnya nilai dalam bermasyarakat dan berbangsa,
harus
diwujudkan
pembelajaran
agar
mengembangkan
suasana
belajar
dan
peserta
didik
secara
potensi
dirinya
untuk
proses
aktif
memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian
kecerdasan,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
17
bangsa
dan
negara
pendidikan
nilai
Indonesia
yang
bagi
dalam
mencerminkan
masyarakat
urgensi
dan
bangsa
mentransformasikan
dan
menanamkan nilai-nilai tersebut. Pendidikan berperan
penting dalam penanaman nilai-nilai moral sebagai
fondasi untuk kegiatan kemasyarakatan seperti dialog
budaya dan agama dari berbagai. Kelompok. Peran
dunia pendidikan dalam proses penanaman nilai
bukan
sekedar
kerangka
teoritis
tetapi
lebih
diharapkan sebagai aktivitas praktis yang nyata. Hal
ini dipandang sebagai filosofi pendidikan nilai dalam
penyelenggaran pendidikan formal. Konsep pendidikan
nilai tersebut teritegrasi ke dalam beberapa hal yang
sebagaimana
yang
dikatakan
oleh
beberapa
ahli
berikut.
2.2.1 Batasan Nilai Moralitas
Menurut
I
Wayan
Koyan
(2000:
12)
nilai
mempunyai sebuah elemen konsepsi yang berharga,
dimana didalamnya dibedakan menjadi nilai-nilai ideal
dan nilai-nilai aktual, yang dimaksudkan nilai ideal
adalah nilai yang menjadi cita-cita setiap orang,
sedangkan
nilai-nilai
aktual
adalah
nilai
yang
diekspresikan dalam perilaku sehari-hari. Di samping
itu I Wayan Koyan juga membedakan nilai menjadi: 1)
nilai logika, yaitu nilai yang berkenaan dengan “bernar
atau
salah”,
2)
nilai
estetika,
yaitu
nilai
yang
berkenaan dengan “indah atau buruk” , 3) nilai etika,
yaitu nilai yang berkanaan dengan ilmiah “adil atau
18
tidak adil”, 4) nilai agama atau nilai religius, yaitu nilai
yang berkenaan dengan “sah dan absah”.
Batasan lainnya nilai juga dianggap sebagai
konsepsi, keyakin atau standar tingkah laku yang
berfungsi untuk mempertimbangkan semua tindakan.
Menurut pandangan ini, nilai berarti value yang
merupakan pedoman bagi seseorang untuk bertindak
atau melakukan sesuatu perbuatan. Di mana nilai
secara normatif dapat mempengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan
yang alternatf (Rohmad Mulyana, 2004: 9).
Dalam sebuah laporan yang ditulis oleh A Club
of Rome (Rohmad Mulyana, 2004: 8), nilai
diuraikan
dalam
dua
gagasan
yang
saling
berseberangan. Di satu sisi, nilai dibiasakan
sebagai nilai ekonomi yang disandarkan pada
nilai produk, kesejahteraan dan harga, dengan
penghargaan yang demikian tinggi pada hal yang
bersifat material. Sementara di lain hal, nilai
diwakili untuk mewakili gagasan atau makna
yang abstrak dan tak terukur dengan jelas. Nilai
yang abstrak dan sulit diukur itu antara lain
keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian dan
perasamaan. Dikemukakan pula, sistim nilai
merupakan kelompok nilai yang berkaitan satu
dengan yang lainnya dalam sebuah sistem yang
saling menguatkan dan tidak terpisahkan. Nilainilai itu bersumber dari agama maupun dari
tradisi humanisitik. Karena itu perlu dibedakan
19
secara tegas antara nilai sebagai kata benda
abstrak dengan cara perolehan nilai.
Nilai ada dua jenis: nilai moral dan tidak moral.
Nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
kejujuran untuk menepati janji. Kami harus meras
kewajiban untuk menepati suatu janji, membayar
hutang menjaga anak-anak dan adil dalam perjanjian
dengan orang lain. Nilai moral mengajarkan kita
kepada tentang apa yang harus kita lakukan. Kita
harus patuh dengan hal tersebut walau kita tidak
merasa.
Menurut Gordon (Rohmad Mulyana, 2004: 9)
nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang
bertindak atas dasar pilihannya. Definisi ini memiliki
tekanan utama pada norma sebagai faktor eksternal
yang
mempengaruhi
memandang
terpenting
norma
dari
perilaku
sebagai
kehidupan
manusia.
salah
sosial,
Gordon
satu
bagian
sebab
dengan
penegakan norma seseorang justru dapat merasa
tenang dan terbebas dari segala tuduhan masyarakat
yang akan merugikan dirinya. Oleh sebab itu, salah
satu bagian terpenting dalam proses pertimbangan
nilai (value judgement) adalah perlibatan nilai-nilai
normatif yang berlaku di masyarakat.
Menurut Rohmad Mulyana (2003: 35-36), nilai
agama merupakan nilai yang dimiliki dasar kebenaran
yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai
lainnya. Nilai ini bersumber dari kebebasan tertinggi
yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainya pun
20
lebih luas. Struktul mental manusia dan kebenaran
yang merupakan dua sisi unggul dalam nilai agama.
Karena
itu,
nilai
tertinggi
yang
dicapai
adalah
kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan
semua unsur kehidupan antara kehendak manusia
dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan,
atau antara itikad dengan perbuatan dalam kesatuan
filsafat
hidup,
diantara
kelompok
manusia
yang
memiliki orientasi kuat terhadap nilai seperti para
nabi, imam, atau orang-orang yang shaleh.
Nilai yang terdapat pada nilai sosial adalah
kasih sayang antar manusia yang satu dengan yang
lain. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang
kehidupan yang idividualistik dengan alturistik. Sikap
untuk tidak berpraduga jelek terhadap orang lain,
sosiabilitas, keramahan, dan perasaan simpati dan
empati
merupakan
perilaku
yang
menjadi
kunci
keberhasilan dalam meraih nilai sosial.
Dalam psikologi sosial, nilai sosial yang paling
ideal
dapat
dicapai
dalam
konteks
hubungan
interpersonal, yakni ketika seseorang dengan yang
lainnya saling memahami. Sebaliknya, jika manusia
tidak memiliki perasaan kasih sayang dan pemahaman
terhadap semuanya, maka secara mental ia hidup
tidak sehat. Nilai sosial banyak dijadikan pegangan
hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma,
dan cinta sesama manusia atau yang dikenal ssebagai
sosok filantropik, yaitu sosok orang yang suka berbuat
kebajikan kepada sesamanya. Kebiasaan berderma,
21
menolong orang lain, dan bersikap kasih sayang
terhadap
sesama
merupakan
hal
yang
tidak
tepisahkan dari kehidupan (Rohmad Mulyana, 2003:
34-35).
2.2.2 Konsep Moralitas
Kata moral menurut Bettens (1997: 5) berasal
dari bahsa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga:
kebiasaan, adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak
bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores
masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi, secara
etimologi kata “etika” sama dengan etimilogi kata
“moral”, karena keduanya berasal dari kata yang
berarti
adat
kebiasaan.
Hanya
bahasa
asalnya
berbeda: yang pertama berasal dari bahasa Yunani,
sedang yang kedua dari bahasa Latin. Sedangkan
Lubis, Mawardi (2008: 10) mejelaskan, bahwa:
Moral
berasal
berhubungan
dari
dengan
kata
mores
kebiasaan
(Latin),
(adat)
yang
sesuatu
kelompok manusia. Mores mengandung kaidahkaidah
yang
masyarakat
sudah
sebagai
diterima
pedoman
oleh
kelompok
tingkah
laku
anggotanya dan harus dipatuhi (Schuman, 1993).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), kata
moral diartikan sebagai ajaran baik buruk yang
diterima
umum
mengenai
perbuatan,
sikap,
kewajiban dan sebagainya. Akhlak, budi pekerti,
susila juga diartikan sebagai kondisi mental yang
membuat orang tetap berani, semangat, bergairah,
berdisiplin dari isi hati, atau keadaan sebagaimana
terungkap dalam perbuatan dan ajaran yang dapat
diukurdari suatu cerita. Dalam kamus al-Munawwir
22
Arab-Indonesia, kata “akhlak” berasal dari bahasa
Arab klaihiq (jamak: Akhlak), artinya tabiat, budi
perketi.
Menurut pakar Perkembangan Moral secara
Kognitif (Cognitive Moral Development), Kohlberg, (I
Wayang Koyan, 2000: 11) pendidikan moral adalah
pendidikan mengenai prinsip-prinsip umum tentang
moralitas dengan menggunakan metode pertimbangan
moral
atau
moral
atau
cara-cara
memberi
pertimbangan moral. Prinsip-prinsip moralitas adalah
prinsip mengenai pilihan. Tujuan utama pendidikan
moral adalah kegiatan untuk membantu peserta didik
menuju ke arah yang sesuai dengan kesiapan mereka,
dan
tidak
memaksakan
pola-pola
eksternal
terhadapnya. Dalam pendidikan moral senantiasa
melibatkan stimulasi perkembangan melalui tahaptahap, dan tidak sekedar mengerjakan kebenarankebenaran yang sudah baku. Dalam hubungan ini,
peranan guru adalah memperkenalkan kepada anak
dengan masalah-masalah konflik moral yang realistik.
Untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan moral,
maka pendidikan tersebut harus dilakukan dalam
lingkungan sekolah yang pantas dan adil. Selanjutnya
dijelaskan, bahwa pendidikan mengenai nilai-nilai
moral memerlukan rekayasa dan upaya pendidikan
yang khusus, yakni proses pelakonan nilai-nilai moral.
Dengan demikian, maka nilai-nilai moral dan normanorma normatif yang semula bersifat keharusan akan
23
berubah menjadi kelayakan dan mempribadi menjadi
keyakinan.
Keyakinan
terhadap
nilai-nilai
moral
akan
tampak pada perilaku individu. Dalam kaitan ini,
Bentham (Henry Hazliit, 2003: 109) menjelaskan
bahwa moralitas merupakan seni memaksimumkan
kebahagiaan: ia yang memberi kode hukum yang
dengan
kode
membuahkan
itu
perilaku
hasil,
yang
seluruh
dilakukan
eksistensi
akan
manusia
diperhitungkan dengan jumlah berkat yang terbesar.
Dari konsep tersebut seseorang dapat dikatakan
secara terdidik moral, dapat dilihat dari perilakunya
yang
tampak
sasaran
moralitas
dan
yang
juga
ingin
akan
pada
dicapai.
melibatkan
alasan-alasan
dan
Dengan
demikian,
pengujian
terhadap
berbagai sikap, perasaan, dan disposisi-disposisi yang
dimiliki.
Menurut Mead (I Wayan Koyan, 2000: 20-21),
bahwa perkembangan moral anak adalah merupakan
konstruksi sosial, yang menekankan pada proses
sosialisasi dengan sistem nilai-nilai yang dianut oleh
orang tua, dengan penekanan pada konstruksi kognitif
dana
konsep
moral
anak
tentang
keadilan
dan
kewajiban (justice and obligate). Melalui proses sosial
seperti
yang
membimbing
dikemukakan
individu
untuk
oleh
Mead,
mengenal
akan
nilai-nilai
moral dan nilai-nilai budaya. Teori ini bertolak dari
teori Jean Piaget tentang perkembangan nilai moral
anak, yaitu melalui dukungan interpersonal antara
24
anak dengan orang tua dan dengan teman sejawat. Hal
ini mendasari pengetahuan dan moralitas anak dalam
melaksanakan interaksi sosial, dan memiliki implikasi
pada terjadinya hubungan antara individu dengan
masyarakat atau kebudayaan. Dalam pembentukan
norma-norma
moral
seseorang
melihat
saling
ketergantungan dengan teman-temannya.
Dalam kajian teori konstruksi sosial ini, ada dua
teori yang membahas proses perkembangan moral
anak.
Teori
pertama
menekankan
pada
proses
sosialisasi antara anak dengan sistem nilai-nilai pada
orang dewasa, yang selanjutnya berkembang menjadi
teori konstruksi sosial untuk pekembangan moral
anak. Dalam kaitan ini, terjadi keseimbangan antara
aktivitas
konstruktif
sumbangannya
anak-anak
kepada
itu
sendiri
lingkungan
dan
sosialnya.
Perspektif atau orientasi tersebut menjadikan konsepsi
tentang perubahan perkembangan moral anak secara
nyata dan berlaku secara universal.
Pengembangan Pendidikan nilai moral yang
terintegrasi dengan IPS memiliki arti penting bagi
peningkatan
kualitas
pendidikan.
Menurut
Asri
Budiningsih (2004: 26) tujuan dari pendidikan moral
adalah kematangan moral yang harus dikembangkan
oleh para guru. Secara operasional, pengembangan
nilai moral dalam IPS selalu melibatkan tiga tahapan
yang
berbeda.
pengenalan
Tahap
fakta-fakta
pertama
berkisar
lingkungan,
tahap
pada
kedua
merupakan tahap pembentukan konsep-konsep, dan
25
tahapan ketiga adalah tahapan pertimbangan tentang
nilai yang terintegrasi. Atas dasar tahapan ini, maka
tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar IPS
dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalistik;
atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan
diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai etika dan
sikap anak dalam menerima berbagai isu sosial yang
muncul dewasa ini.
Nilai moral yang terintegrasi dalam pelajaran IPS
dapat
berupa
intrinsik
seperti
obyektivitas,
rasionalitas, dan kejujuran ilmiah, atau dapat pula
nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap orang
lain, empati, dan kebaikan sosial lainnya. Semua nilai
itu penting dalam merancang prioritas penelaahan IPS
dalam kehidupan. Untuk itu, nilai-nilai dasar moral
yang muncul secara humanistik harus terintegrasi
dalam keseluruhan kurikulum IPS, terutama ketika
para pendidik berkepentingan untuk menjelaskan
nilai-nilai
intrinsik.
Nilai
dasar
moral,
kebaikan,
kepedulian, dan keindahan yang terdapat dalam
ajaran
agama.
Pada
sebagian
negara
yang
mengembangkan sistem pendidikan sekuler, dimana
urusan keagamaan terpisah dari urusan pemerintah,
nilai-nilai serupa juga dikembangkan, tetapi dasar
rujukannya hanya sampai pada pertimbangan nilai
kebenaran dan keutamaan humanistik.
Imam Al Ghazali (Kosasih, A. Djahiri, 1996:22)
menyatakan bahwa keberadaan nilai moral ini dalam
“lubuk hati” (Al-Qolbu) serta menyatu/bersatu raga
26
didalammnya dan hati nurani (the conscience of man)
di mana dia merupakan sesuatu yang berharga yang
dianggap bernilai, adil, baik benar dan indah serta
menjadi pedoman dan pegangan diri. Hal ini senada
dengan dasar pemikiran yang melandasi pentingnya
pendidikan IPS bagi penyadaran nilai dan etika.
Menurut I Wayan Koyan (2000: 14), nilai-nilai yang
berhubungan
dengan
“baik
atau
buruk”
adalah
merupakan obyek etika.
Kegiatan proses pembelajaran di sekolah akan
berlangsung dengan baik jika semua komponen yang
terkait dengan pendidikan di lingkungan sekolah
mengikuti
aturan-aturan
sesuai
dengan
tujuan
pendidikan. Adapun komponen-komponen yang terkait
dalam proses pembelajaran tersebut secara umum
meliputi, komponen guru, siswa/anak didik, kepala
sekolah, tenaga administrasi atau karyawan, dan
serana-sarana pendukung, serta keadaan lingkungan
sekolah. Makna utama dari proses pembelajaran pada
hakekatnya
adalah
terjadinya
proses
perubahan
tingkah laku siswa, yang bersifat langsung maupun
yang
baru
dapat
dilihat
dalam
jangka
panjang.
Perubahan siswa yang langsung dicapai pada proses
pembelajaran antara lain seperti, pengetahuan, sikap
dan nilai, serta keterampilan. Sedangkan perubahan
siswa dalam jangka panjang misalnya antara lain di
lihat
indikatornya
seperti,
kepribadian,
dan
keterampilan profesional atau jabatan.
27
Pendidikan nilai moral dalam kaitannya dengan
proses pembelajaran tersebut, tentu saja mempunyai
arti
yang
sangat
penting
khususnya
di
dalam
pembinaan perilaku siswa yaitu agar peserta didik
atau siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar
mendapatkan hasil sebagai manusia yang berkualitas
dan berperilaku positif atau berniali baik. Di dalam
proses pendidikan nilai, peranan guru, dan keadaan
sekolah serta masyarakat akan mempengaruhi tingkah
laku guru dan siswa di dalam pencapaian tujuan
pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu ditinjau dari
misi pendidikan nilai moral siswa agar mencapai hasil
yang baik, maka unsur kepribadian yang dimiliki oleh
guru
dan
komponen
yang
terkait
lainnya
perlu
mendapatkan perhatian yang utama. Dalam hal ini
sekolah
perlu
memperhatikan
aspek-aspek
penanaman nilai-nilai moralitas di dalam proses
belajar siswa, baik melalui kegiatan kurikuler dengan
cara memasukkan nilai-nilai moral dalam setiap mata
pelajaran, maupun melalui kegiatan ekstra-kurikuler
seperti ceramah agama, diskusi, dan sejenisnya yang
mendukung keberhasilan pendidikan nilai siswa di
sekolah.
2.2.3 Tahap Perkembangan Moral
Menurut Piaget (I Wayan Koyan, 2009: 25),
tahapan
bagian,
tahapan
28
perkembangan
yaitu:
tahap
aoutonomous
moral
dibagi
heterenomous
morality.
dalam
dua
morality
dan
Pada
tahapan
heterenomous morality, anak cenderung menerima
begitu saja aturan-aturan yang diberikan oleh orangorang
yang
berkompeten
dan
aturan-aturan
itu
dipandang tidak bisa diubah. Oleh karena itu, pada
setiap tahap ini disebut juga masa realisme moral.
Sedangkan
pada
tahap
otonomi
anak
sudah
menyadari bahwa aturan-aturan itu dibuat oleh orang
dan dapat dimodifikasi sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada atas dasar kesepakatan bersama
dalam kelompok.
Pembagian
tahap
perkembangan
moral
itu
bersumber pada sikap yang dinyatakan oleh anakanak yang berbeda usia terhadap sumber aturan,
kebenaran, perubahan aturan-aturan dalam pemainan
kelereng. Di samping itu, juga dari anggapan anakanak
terhadap
cerita-cerita
yang
telah
diketahui
dengan baik, dan anak-anak diminta untuk menilai,
siapa yang lebih nakal. Misalnya, seorang anak lakilaki yang secara kebetulan memecahkan beberapa
cangkir, dan seorang laki-laki yang memecahkan satu
cangkir.
Pertama tahap heterenomous morality. Pada
tahap hateronomi atau realisme moral, anak-anak
merasa wajib mengikuti aturan-aturan, karena aturan
itu adalah suci seperti undang-undang dewa, dan tak
dapat
diubah.
Mereka
cenderung
memandang
peraturan-peraturan itu secara total adalah benar
atau
salah,
dan
mengira
bahwa
setiap
orang
memandang aturan-aturan itu dengan cara yang
29
sama. Mereka memutuskan kesalahan atau kebenaran
suatu tindakan atas dasar besar-kecilnya akibatakibat yang ditimbulkannya, dan apakah tindakantindakan itu akan dihukum atau tidak. Mereka
percaya bahwa keadilan akan lekas datang, seperti
misalnya pelanggaran terhadap norma-norma sosial
yang
diikuti
oleh
kecelakaan
fisik
atau
ketidak
beruntungan yang dikehendaki oleh Tuhan atau oleh
suatu objek yang tidak berjiwa.
Kedua tahap, aoutonomous morality. Bagi anak
berada
pada
tingkat
yang
lebih
maju,
disebut
moralitas otonom atau moralitas bekerjasama, di
mana aturan-aturan dipandang sebagai persetujuan
bersama,
tepelihara
dengan
mantap
melalui
peersetujuan sosial secara timbal balik, serta dapat
diubah atau dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan
bersama. Mereka mengakui bahwa dalam hal ini
kemungkinan ada perbedaan pandangan. Keputusan
anak mengenai “benar dan salah”, ditekankan pada
akibat-akibat
yang
ditimbulkan.
Mereka
percaya
bahwa hukuman hendaknya berlaku secara timbal
balik, dan dikaitkan dengan suatu tindakan tertentu.
Misalnya, dengan pembayaran kembali atas tindakan
yang dilakukan. Tugas dan kewajiban tidak selamanya
dipandang sebagai keputusan terhadap penguasa,
tetapi dilihat dari kesesuaian dengan harapan-harapan
teman sejawat, dan mempertimbangkan kesejahteraan
orang-orang lain, serta menyatakan rasa terima kasih
atas
30
dukungan-dukungannya
di
masa
lalu,
dan
menempatkan
diri
di
antara
orang-orang
lain.
Selanjutnya, apa yang dapat dilakukan oleh orang tua
atau pendidik untuk memberi kemungkinan bagi
perkembangan moral dari heterenomi ke otonomi
dalam peraturan-peraturan moral? Heteronomi dan
menjadi
berkurang
ketika
pengalaman-pengalaman
memiliki
rasa
saling
anak
dalam
mendapat
lingkungan
yang
hormat-menghormati.
Rasa
hormat timbal balik ini, sukar diciptakan dalam
keluarga, karena adanya hubungan-hubungan yang
bersifat positif dan negatif. Dalam hal ini harus
ditekankan bahwa keluarga adalah merupakan suatu
kelompok
kooperatif,
yang
secara
timbal
balik
menetapkan peraturan-peraturan demi keteraturan di
dalam
keluarga,
yang
secara
timbal
balik
berkepentingan, dan terkena sanksi apabila perturan
itu
dilanggar.
kesalahan,
bersama
Apabila
hendaknya
anak
dan
ada
orang
pelanggaran
tua
duduk
membicarakan
atau
tenang
akibat-akibat
tindakannya, dan hal ini akan memancing timbulnya
empati. Hal ini sangat esensial bagi perkembangannya
rasa hormat yang bersifat timbal balik, dan esensial
bagi perkembangan ke arah tahap-tahap yang lebih
tinggi dalam perkembangan moral anak.
Dalam
perkembangan
moral
anak,
perlu
diusahakan penghentian sifat egosentris dan realisme,
dan kemudian mengembangkan konsep diri mereka.
Perubahan tersebut terjadi melalui proses interaksi
anak dengan teman sejawat, yang dapat terjadi dengan
31
dua cara, yaitu: (1) Dalam perkembangan ke arah yang
lebih tua, anak itu memiliki kesamaan pandangan
yang relatif sama dengan orang-orang dewasa. Anakanak yang lebih tua akan mengurangi rasa hormatnya,
kepada mereka yang lebih muda, dan berlangsung
sepihak saja, dan memberikan anak itu keyakinan
untuk berpartisipasi dengan teman-teman sejawat
dalam hal pengambilan keputusan-keputusan tentang
perubahan dan aplikasi aturan-aturan atas dasar
kemauan timbal balik.
Cara berinteraksi seperti itu akan memberikan
konsepsi permulaan kepada anak, bahwa aturanaturan lama tidak bisa dipertahankan. Aturan-aturan
lama yang dipandang pada masa lalu sebagai aturan
yang tidak terbatas, dan bersumber dari Tuhan atau
orang dewasa, tetapi sekarang aturan-aturan itu
adalah hasil dari kerjasama dan atas persetujuan
bersama, dan bisa diubah atas dasar persetujuan
bersama. (2) Berinteraksi dengan teman-teman sejawat
sering memerlukan pengambilan peran yang saling
bergantian dan timbal baik di antara mereka, dan hal
ini akan membangkitkan kesadaran bahwa seseorang
dikoordinasikan oleh orang-orang lain dan bereaksi
terhadap situasi-situasi yang sama dengan cara yang
sama. Demikian juga akibat-akibat dari tindakan
seseorang pada, teman sejawat dan tindakan mereka
pada, dirinya, adalah sama. Anak itu akan menjadi
peka terhadap keadaan-keadaaan internal, serta dapat
memperhatikan
32
dukungan
atau
pertimbangan-
pertimbangan orang lain. Kesalahan, hendaknya orang
tua duduk tenang bersama anak dan membicarakan
akibat-akibat
tindakannya,
dan
hal
ini
akan
memancing timbulnya empati. Hal ini sangat esensial
bagi perkembangannya rasa hormat yang bersifat
timbal balik, dan esensial bagi perkembangan ke arah
tahap-tahap yang lebih tinggi dalam perkembangan
moral.
Dalam
kepada
hubungan
peraturan,
diperhatikan,
rasa
ada
yaitu:
(1)
hormat
beberapa
Anak
anak-anak
hal
perlu
mengembangkan
pengertian mengenai tujuan dan asa-usul peraturan
itu melalui aktivitas kerjasama. Pada saat anak mulai
turut serta dengan teman-temannya dalam permainan
yang
bersifat
kooperatif,
ia
mulai
mengalami
hubungan-hubungan yang mengandung rasa saling
menghormati,
ia
melihat
bahwa
teman-teman
sepermainannya itu sama seperti dirinya sendiri, dan
ia mengalami bahwa anak lain menaruh hormat
kepada dirinya. Sebelumnya, ia hanya mengenal rasa
hormat yang unilateral, yaitu rasa hormat yang harus
diberikan kepada otoritas orang dewasa. Karena orang
itu lebih besar dan lebih kuat, maka anak tidak
mengalami
adanya
unsur
timbal
balik
dalam
mengontrol,
dia
dapat
hubungan itu.
Orang
dewasa
mengizinkan atau melarangnya, menghukum atau
memberi ganjaran. Anak tidak mempunyai persamaan
rasa dengan orang dewasa. Justru hubungan rasa
33
hormat unilateral atau pembatasan dari orang dewasa
inilah
yang
mengabadikan
tahap
heteronomi.
Peraturan dianggap berasal dari orang-orang dewasa
dan dipaksakan oleh mereka, dan hubungan antara
anak dengan orang dewasa adalah hubungan rasa
hormat, maka dari itu ia patuh. Dalam hubungan
dengan teman-teman sejawat, unsur rasa hormat
unilateral sudah tidak ada, dan anak-anak berkumpul
sebagai sesama.
Hal
ini
memberi
permainan
kooperatif,
peraturan
berdasarkan
suasana
dan
sosial
untuk
kesepakatan,
untuk
membentuk
dan
untuk
mengembangkan otonomi. (2)
Anak pada usia tujuh
atau
menganggap
delapan
tahun
sudah
sepantasnyalah taat dengan pasrah kepada semua
peraturan yang mengatur hidup mereka. (3) Anak
heteronom, sementara masih menaruh hormat kepada
peraturan, belum mempunyai pengertian dan motivasi
yang
memadai
untuk
bersikap
konsisten
dalam
melaksanakan peraturan. (4) Hanya pada waktu anak
sudah pada tahap otonomi dalam peraturan tertentu,
maka
pengertian
dan
hormat
pada
peraturan
mendekati pelaksanaan peraturan.
Adapun
tahap-tahap
perkembangan
moral
menurut Lawrence Kohlberg (Mawardi Lubis, 2008:
13-15). Di mana dia membagi tahapan tersebut atas
tiga kelompok yaitu Preconventional Level, Conventional
Level, Post-conventional Level.
34
Tingkat pertama, prakonvesional level. Anak
pada tingkat perkembangan moral ini mulai tanggap
terhadap
aturan-aturan
ungkapan-ungkapan
budaya
budaya
dan
mengenai
terhadap
baik
dan
buruk, benar dan salah. Namun, hal ini masih
ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan
perbuatan. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap,
yaitu (1) orientasi hukuman dan kepatuhan dan (2)
orientasi relativitas instrumental.
Tingkat kedua, konvensional level. Pada tingkat
ini
anak
hanya
menuruti
harapan
keluarganya,
kelompok atau bangsa dan dipandang sebagai hal
yang
bernilai
mengindahkan
dari
dalam
akibat
dirinya
yang
sendiri,
segera
dan
tanpa
nyata.
Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan
pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal
terhadapnya
dan
secara
aktif
mempertahankan,
mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu
serta mengidentifikasi diri dengan orang tua atau
kelompok yang terlibat.
Tingkat kedua ini mempunyai dua tahap sebagai
kelanjutan tahap awal, yaitu, (3) orientasi kesepakatan
antara pribadi atau orientasi, dan (4) orientasi hukum
dan ketertiban. Pada tahap orientasi kesepakatan ini,
anak memahami bahwa perilaku yang baik adalah
menyenangkan dan membantu orang lain serta yang
disetujui oleh mereka. Selanjutnya pada orientasi
hukum dan ketertiban, anak memandang bahwa
perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan
35
kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga
tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dari
dalam dirinya.
Tingkat ketiga, pascakonvensional. Pada tingkat
ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan
nilai-nilai dan prinsip moral, yang memiliki keabsahan
dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok
atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip dan
terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan
kelompok tersebut.
Tingkat ketiga ini memiliki dua tahap, yaitu (5)
orientasi kontrak sosial legalitas dan (6) orientasi
prinsip etika universal. Pada tahap orientasi kontrak
sosial
legalitas,
dirumuskan
perbuatan
dalam
yang
kerangka
baik
hak
cenderung
dan
ukuran
individual umum yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh seluruh masyarakat. Selain itu
terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme
nilai dan pendapat pribadi bersesuaian dengannya,
dan terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural
untuk mencapai kesepakatan.
2.2.3 Pendekatan Pendidikan Nilai Moral
Ada beberapa pendekatan dalam pendidikan
moral yang telah dikemukakan oleh para ahli yang
memiliki perhatian terhadap pendidikan nilai. Pada
umumnya dalam teori perkembangan nilai terdapat
bahwa
individu
36
dalam
dapat
proses
perkembangan
memahami,
seseorang,
menghayati
dan
mengamalkan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Di
samping itu juga dapat pula melalui peningkatan
kesadaran akan nilai pribadi individu sendiri yang
akhirnya kesadaran moral akan muncul pada dirinya.
Asumsi yang mendasar pendekatan ini adalah bahwa
dalam diri setiap individu terdapat perkembangan
kesadaran nilai-nilai yang dapat dibantu melalui
penyajian konflik-konflik nilai dialog. Nilai individu
harus lebih dikendalikan oleh prinsip etis universal
bukan oleh nilai-nilai masyarakat atau nilai individu
itu sendiri.
Dari beberapa klasifikasi nilai menurut para ahli
di
atas,
dapat
disimpulkan
beberapa
pendekatan
pendidikan
nilai
yaitu
tradisional,
pedekatan
kebebasan,
macam
pendekatan
pendekatan
memberi contoh dan pendekatan klasifikasi nilai.
Pertama pendekatan tradisional ialah pendekatan
penanaman dan pembentukan nilai-nilai dengan jalan
memberikan nasehat atau indoktrinasi. Tekanan dari
pendekatan ini lebih bersifat kognitif, sedangkan segi
efektifnya
kurang
dikembangkan.
Dalam
hal
ini,
pendidik telah meyakini adanya nilai-nilai baik/luhur
yang dianutnya dan karena itu menghendaki agar
anak
didiknya
juga
memiliki
nilai-nilai
tersebut.
Langkah yang ditempuh pendidik dalam pendekatan
ini adalah memberitahukan secara langsung nilai-nilai
mana yang baik dan yang kurang baik. Kelemahan
pendekatan ini ialah anak sekedar tahu hafal jenisjenis nilai tertentu yang baik dan kurang baik, tetapi
37
belum bentuk melaksanakannya. Kedua, pendekatan
bebas yaitu proses pembentukan nilai-nilai dengan
jalan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
anak untuk memilih dan menetukan sendiri nilai-nilai
yang akan diambilnya. Hal ini ditempuh karena
adanya suatu anggapan bahwa belum tentu nilai yang
dianggap baik bagi seseorang, baik pula bagi orang
lain. Dengan demikian anak didik dibiarkan memilih
nilai yang sesuai untuk dianut dan diyakini oleh
dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi atau campur
tangan pendidik. Kelemahan pendekatan ini adalah
anak menjadi bingung, sehingga sukar menentukan
mana nilai yang baik dan yang tidak baik. Ketiga,
pendekatan memberi contoh, ialah pendekatan dimana
pendidik yang telah meyakini benar nilai-nilai yang
dianutnya akan bertingkah laku sesuai dengan nilainilai tersebut.
Ada dua teknik dalam pendekatan ini, yaitu: (1)
memberi contoh dalam tingkah laku yang sesuai
dengan
nilai-nilai
mengajarkan
yang
nilai-nilai,
dianutnya,
sehingga
dan
anak
(2)
dapat
membedakan nilai-nilai yang harus dianut maupun
yang dilarang. Keempat, pendekatan klarifikasi nilai,
ialah suatu pendekatan yang merupakan salah satu
usaha untuk membantu anak dalam menentukan
nilai-nilai yang dipilihnya, juga merupakan pelengkap
dari pendekatan memberi contoh. Dengan pendekatan
ini
pendidik
menyadari,
38
diharapkan
selanjutnya
dapat
dapat
membantu
digunakan
siswa
untuk
menentukan nilai yang dipilihnya. Pendekatan ini
bukan nilai-nilai mana yang dianggap baik, melainkan
dititik beratkan pada proses pengambilan nilai.
2.3 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian
yang
mengungkapkan
secara
spesifik tentang implementasi pendidikan nilai siswa
dan mempunyai keterkaitan dengan pendidikan nilai,
serta penanaman nilai moral, diantaranya adalah
sebagai berikut:
Penelitian Darmiyati Zuchdi, dkk (2006) yang
berjudul “Pengembangan Model Pendidikan Karakter
Komprehensif
di
Sekolah
Pembelajaran
Bahasa
Dasar
Terpadu
Indonesia,
IPA
dengan
Dan
IPS
Yogyakarta”. (Proyek Penelitian). Menyimpulkan bahwa
konteks
institusional
sekolah
wilayah
Yogyakarta
masih belum secara optimal mendukung pelaksanaan
pendidikan karakter karena masih ada sekolah yang
suasananya kurang tertib, tidak ada kebebasan,
menakutkan,
kompetitif
(tidak
kooperatif),
individualistic, saling iri, tertutup, berorientasi pada
prestise bukan prestasi, membuat warga sekolah tidak
betah
berada
membosankan,
kepemimpinan
di
sekolah,
mekanistik
otoriter,
dan
kurang
(kurang
mandiri,
manusiawi),
menyebabkan
warga
sekolah ingin pindah. Bedasarkan hasil penelitian
tersebut, juga dikatakan bahwa pola pendidikan
karakter
yang
diharapkan
berhasil
adalah
yang
diintegrasikan dalam kegiatan intrakulilkuler dan
39
ekstrakurikuler, menggunakan startegi komprehensif,
dan melalui pembiasaan. Hasil penelitian tersebut
dapat dijadikan salah satu referensi tentang kondisi
yang ada di beberapa sekolah di Yogyakarta, kota yang
sama dimana lokasi penelitian dalam penelitian ini
dilakukan. Salah satu pola pendidikan karakter yang
diharapkan berhasil adalah yang diintegrasikan dalam
kegiatan intrakulikuler. Hal terebut juga berkaitan
dengan pola pendidikan nilai yang digunakan dalam
penelitian ini, yakni dengan cara mengintegrasikan
pendidikan nilai kejujuran, kesabaran, dan ketaatan
beribadah dalam proses pembelajaran IPS.
Penelitian
Herprawati
(1996)
yang
berjudul
Penanaman Nilai Moral pada PBM di Sekolah Dasar
Pakem IV Sleman Yogyakarta (Tesis), berkesimpulan
bahwa guru yang diterima oleh anak selama proses
belajar mengajar terutama dikarenakan sikap dan
perilaku guru yang simpati dan penuh wibawa, sedang
yang tidak diterima karena dalam dalam menajalan
komunikasi
dan
memperlakukan
anak
tidak
manusiawi. Semua yang menyampaikan pelajaran
kepada anak kelas V di sekolah ini berpandangan
bahwa, semua anak didik selain harus berprestasi
juga harus berperilaku dengan baik.
Penelitian yang dilakukan Siti Johariyah (2002)
berjudul Nilai Moral dalam Interaksi Belajar Mengajar
Sejarah Kebudayaan Islam di MTsN 1 Yogyakarta
(Tesis), bekesimpulan bahwa hasil pengajaran SKI
yang dirasakan para siswa berkaitan dengan nilai-nilai
40
moral yang sengaja ditanamkan oleh guru adalah
kejujuran,
kedermawaan,
keberanian,
dan
kasih
sayang. Hasil pengajaran yang dirasakan oleh para
siswa tersebut didukung oleh taraf kemampuan,
semangat, dan motivasi yang dimiliki para siswa,
disamping keluarga seperti, ibu, bapak, kakek atau
nenek. Lebih lanjut disebutkan bahwa implikasi dari
kesimpulan hasil penelitian ini menunjukan suatu
keadaan
bahwa
guru
SKI
telah
merencanakan
penanaman nilai-nilai norma dalam sutuan pelajaran
yang dibuatnya. Guru menyadari tugasnya selain
menyampaikan ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan SKI, juga menanamkan nilai-nilai moral yang
tekandung
di
dalamnya.
Meskipun
demikian
realisasinya dalam proses belajar mengajar, ternyata
guru tidak selalu memunculkan aktivitas penanaman
nilai-nilai
moral
dimunculkan
tersebut.
oleh
guru
Nilai-nilai
terbatas
moral
pada
yang
sifat-sifat
dominan yang dimiliki oleh Khalifah Abu Bakar Siddik,
Umar bin Khottob, Utsman bin Affan maupun Ali bin
Abu
Thalib,
seperti
kejujuran,
kedermawaan,
keberanian, dan kasih sayang.
Penelitian Tutuk Ningsih (2003) yang berjudul
Pola Pembinaan Moral Siswa Madrasah Aliyah Negeri
(MAN)
Paiton
Probolinggo
Jawa
Timur
(Tesis),
bekesimpulan bahwa, pola pembinaan moral siswa
yang dilakukan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN)
Paiton,
sangat
mendukung
keberhasilan
tujuan
pendidikan dalam proses pemeblajaran di sekolah.
41
Pola pembinaan moral siswa melibatkan berbagai
komponen yang terkait dalam proses pembelajaran
tersebut secara umum yang meliputi, komponen guru,
siswa, kepala sekolah, tenaga administrasi karyawan
dan
komponen,
keadaan
sarana-sarana
lingkungan
sekolah.
pendukung
serta
Pembinaan
moral
mempunyai arti yang sangat penting khususnya dalam
pembinaan
sumber
perilaku
daya
siswa
manusia
untuk
yang
menghasilkan
berkualitas
dan
berperilaku positif atau bermoral baik.
Dilihat dari latar belakang permasalahan dan
tujuan penelitian yang dikaji dalam penelitian di atas,
dapat
disimpulkan
tersebut
jelas
bahwa
berbeda,
penelitian-penelitian
meskipun
paradigmanya
mempunyai kesamaan, yaitu dengan menggunakan
paradigma
dalam
penelitian
kaitannya
kualitatif.
dengan
Namun
penelitian
demikian
yang
sedang
dilakukan, sehingga dapat memberikan pandangan
tentang
suatu
kajian
pendidikan
nilai
secara
mendalam dari beberapa aspek atau fokus penelitian.
Persoalannya sekarang, adalah pendidikan nilai
yang
bagaimana
yang
diterapkan
di
Sekolah
Dasar/Madrasah dan apakah pola yang diterapkan
tersebut telah memberikan kontribusi optimal dalam
kaitannya dengan pendidikan nilai siswa, atau dengan
kata lain apakah perilaku siswa tersebut sudah
menunjukan kualitas yang baik. Tolok ukur baiktidaknya perilaku siswa yang dimaksud dalam hal ini
adalah nilai moral sesuai dengan akhlak agama islam,
42
jadi bukan nilai-nilai yang berlaku sesuai dengan etika
masyarakat dikebanyakan.
Sementara etika lebih merupakan kesempatan
masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Bila suatu masyarakat bercorak religius, maka etika
yang dikembangkan pada masyarakat tentu akan
bercorak
religius
masyarakat
pula,
bercorak
akan
tetapi
sekuler,
bila
etika
suatu
yang
dikembangkannya tentu merupakan konkritisasi dari
jiwa sekuler. Dengan demikian, etika dapat disamakan
dengan akhlak manakala sumber atapun produk
budaya sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak. Akan
tetapi moral dan etika bisa juga bertentangan dengan
akhlak manakala produk budaya itu menyimpang dari
fitrah agama yang suci.
2.4 Kerangka Pikir
Penanaman
nilai-nilai
moral
melalui
pembelajaran IPS terpadu dimaksudkan agar supaya
siswa menjadi manusia berkualitas dan unggul, baik
bidang
akademik
maupun
unggul
dalam
bidang
moralitasnya. Untuk menjadikan siswa yang memiliki
kualitas tersebut diperlukan suatu proses dan sistem
pendidikan nilai yang tepat, sesuai dengan kondisi
sekolah dan lingkungannya. Pendidikan nilai dapat
dilakukan melalui kegiatan intrkurikuler dan kegiatan
ekstrakurikuler.
Melalui
kegiatan
intrakurikuler
berarti kegiatan pendidikan nilai dilakukan dengan
cara mengintegrasikan materi nilai-nilai moral ke
43
dalam
proses
pembelajaran
pada
semua
mata
pelajaran, sedangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler
dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai
moral kedalam semua kegiatan ekstrakurikuler.
Pengintegrasian
pembelajaran
IPS
nilai
moral
merupakan
ke
dalam
keharusan
karena
definisi IPS menyebutkan bahwa IPS merupakan studi
terintegrasi dari berbagai disiplin ilmu, agama, politik
dan juga nilai moral. Tujuan umum IPS adalah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar peka
terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
memiliki sikap atau mental positif terhadap perbaikan
segala
ketimpangan
yang
terjadi,
dan
terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa
masyarakat.
Pengintegrasian
dengan
cara
tersebut
mengembangkan
dapat
dilakukan
masalah-masalah
amoral yang terjadi di masyarakat kemudian siswa
diminta
menuliskan
atau
menarasikan
secara
kelompok atau klasikal yang dipandu oleh guru.
Masalah-masalah
amoral
dapat
dirumuskan
oleh
siswa atau guru. Dengan cara ini diharapkan siswa
menjadi
lebih
sadar
terhadap
tindakan-tindakan
amoral yang harus dihindari.
Implementasi penanaman nilai moral dalam
proses belajar mengajar di kelas terintegrasi dalam
beberapa mata pelajaran. Nilai moral yang ingin
diimplementasikan
44
adalah
nilai
keagamaan
yang
meliputi ubudiyah dan muamallah serta nilai sosial
(kemasyarakatan).
Implementasi
tersebut
sangat
ditentukan oleh peran guru yang dapat dilihat dari
pengatahuan, pengalaman, kepribadian, motivasi dan
penampilan mengajar.
Pendekatan
implementasi
yang
digunakan
penanaman
nilai
dalam
moral
adalah
pendekatan kualitatif dengan materi tentang pola
pendidikan
nilai
yang
digunakan
adalah
nilai
keagamaan dan nilai sosial dalam pembelajaran IPS.
Implementasi pendidikan nilai moral melalui kegiatan
ekstra kurikuler dalam IPS dapat dilakukan di luar
kelas
melalui
kegiatan-kegiatan,
seperti
ceramah
agama, diskusi, bakti sosial dan kegiatan latihan
pramuka,
PMR
implementasi
serta
kesenian.
pendidikan
nilai
Di
samping
melalui
itu
kegiatan
ekstrakurikuler dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah
dan amaliah siswa di sekolah atau di rumah. Pada
akhirnya melalui proses implementasi pendidikan nilai
dengan
peran
lingkungan
kepala
sekolah
pendukung
dan
guru
diharapkan
serta
dapat
mewujudkan perilaku siswa yang baik sehingga hasil
belajar berupa pendidikan nilai keagamaan dan sosial
diwujudkan. Di samping itu juga dapat dilihat dari
perubahan perilaku siswa, seperti cita-citanya, sikap
dan pola pikirannya. Sedangkan hasil belajar siswa
secara akademik dapat dilihat dari nilai raport. Dari
segi
moralitas
hasil
belajar
siswa
dilihat
dari
45
kepribadian dan perilaku sesuai dengan ajaran moral
agama (Islam).
2.5 Hipotesis Tindakan
1. Melalui pembelajaran IPS nilai moralitas siswa kelas
V tahun 2010/2011 di SD Negeri Sidomukti 03
Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang dapat
meningkat.
2. Melalui aktivitas individual, kelompok dan klasikal
setelah pembelajaran IPS nilai moralitas siswa kelas
V tahun 2010/2011 SD Sidomukti 03 Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang dapat meningkat
46
Download