Deteksi keberadaan antibodi anti diare (Escherichia coli dan

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Diare dan Penyebabnya
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, negara-negara
berkembang khususnya di Asia Tenggara perlu lebih memperhatikan kasus diare
dan pneumonia dalam program kesehatan nasional. Diare hingga kini masih
menjadi penyebab utama kematian anak berusia di bawah lima tahun (balita) di
Asia Tenggara. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) (ESP 2009; Persi 2009). Kematian yang
terjadi berhubungan dengan kejadian diare pada anak-anak atau usia lanjut
dikarenakan kesehatan pada usia pasien tersebut rentan terhadap dehidrasi sedang
sampai berat. Frekuensi kejadian diare pada negara-negara berkembang termasuk
Indonesia lebih banyak 2–3 kali dibandingkan dengan negara maju (Tadda 2010).
Diare sesuai dengan definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan
frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek
atau cair (Suharyono 2008). Simadibrata (2006) mendefinisikan diare yaitu buang
air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau
200 ml/24 jam. Definisi ini tidak menunjukkan pada berapa frekuensi diarenya,
tetapi definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar lebih dari tiga
kali dengan konsistensi yang berubah. Diare umumnya disebabkan oleh infeksi
virus, protozoa; (Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica), bakteri; yang
memproduksi enterotoksin (S. aureus, C. perfringen), E. coli, V. cholera, C.
difficile dan yang menimbulkan inflamasi mukosa usus (Shigella sp., Salmonela
sp., Yersinia), iskemia intestinal Inflammatory Bowel Disease (acute on chronic),
dan kolitis radiasi (Djojoningrat 2006) .
Infeksi yang disebabkan oleh virus maupun bakteri pada traktus
intestinalis disebut sebagai enteritis. Infeksi paling luas pada kasus diare terjadi
pada seluruh usus besar dan ujung distal ileum. Dimanapun infeksi terjadi,
mukosa teriritasi secara luas, dan kecepatan sekresinya sangat tinggi. Sebagai
tambahan, motilitas dinding usus biasanya meningkat berlipat ganda. Akibatnya,
sejumlah besar cairan cukup untuk membuat agen infeksius tersapu ke arah anus,
5
dan pada saat yang sama gerakan mendorong yang kuat akan mendorong cairan
ini ke depan. Ini merupakan mekanisme yang penting untuk membersihkan
kotoran traktus intestinalis dari infeksi yang mengganggu (Guyton & Hall 1997).
Diare yang terjadi tanpa adanya kerusakan mukosa usus (noninflamatorik)
umumnya
disebabkan
oleh
toksin
bakteri
(terutama
Enteropathogenic Escherichia coli / EPEC dan Salmonella Enteritidis). Gejala
klinis diare yang disebabkan oleh kedua bakteri ini adalah konsistensi feses sangat
cair, tidak ada darah, nyeri perut terutama daerah umbilikus (karena kelainan
terutama di daerah usus halus), kembung, mual, muntah dan demam ringan
(Djojoningrat 2006).
Agen infeksius yang menyebabkan penyakit dengan gejala diare biasanya
ditularkan melalui jalur fecal-oral terutama karena menelan makanan atau
minuman
yang
terkontaminasi
dan
atau
kontak
dengan
tangan
yang
terkontaminasi. Penularan secara fecal-oral, yaitu kontak dari manusia/hewan ke
manusia dan atau hewan atau kontak orang/hewan dengan alat rumah tangga
(Manggung 2010). Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena
tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut (dehidrasi) (Harianto 2004).
Akan tetapi menurut Djojoningrat (2006) pada umumnya diare akut dapat bersifat
sembuh sendiri dalam 5 hari dengan pengobatan sederhana yang disertai rehidrasi.
Escherichia coli
Escherichia coli merupakan salah satu anggota famili Enterobacteriaceae
yang sering menimbulkan penyakit diare. Bakteri ini ditemukan oleh Theodor
Escherich pada tahun 1885. Secara garis besar klasifikasi bakteri Escherichia coli
berasal dari Filum Proteobacteria, Kelas Gamma Proteobacteria, Ordo
Enterobacteriales, Familia Enterobacteriaceae, Genus Escherichia, Spesies
Escherichia coli. Morfologi Escherichia coli yaitu berbentuk batang pendek,
gemuk, berukuran 2,4 µ x 0,4 sampai 0,7 µ , bersifat gram-negatif, motil dengan
flagella peritrikus dan tidak berspora. Bentuk morfologi Escherichia coli dapat
dilihat pada gambar 1. Bakteri Escherichia coli merupakan organisme penghuni
utama usus besar, hidupnya komensal dalam kolon manusia dan diduga berperan
6
dalam pembentukan vitamin K yang berperan dalam proses pembekuan darah
(Munif 2009).
Gambar 1 Escherichia coli (Todar 2008)
Escherichia coli memiliki sejumlah antigen yaitu O, K, dan H. Antigen
(serotipe) ini penting untuk membedakan strain Escherichia coli yang
menyebabkan penyakit. Lebih dari 700 jenis antigen Escherichia coli yang
teridentifikasi, hanya sebagian kecil bersifat patogen, misalnya strain O157:H7
(EPEC). Antigen O mengacu pada antigen somatik, H mengacu pada antigen
flagellar (Todar 2008).
Sebagian besar Escherichia coli merupakan flora normal usus kecil dan
usus besar yang umumnya tidak menyebabkan penyakit (non-patogenik). Namun
demikian, non-patogenik Escherichia coli dapat menyebabkan penyakit jika
berada di luar usus misalnya, ke dalam saluran kemih (infeksi kandung kemih atau
ginjal), maupun ke dalam aliran darah (sepsis). Strain Escherichia coli yang lain
(enterovirulent Escherichia coli strain atau EEC termasuk EPEC) menyebabkan
keracunan atau diare meskipun berada di dalam usus dengan memproduksi racun
mengakibatkan peradangan pada usus (Davis 2009).
Masa inkubasi Escherichia coli sekitar 3–5 hari dengan gejala awal mual,
muntah, kram perut, diare dapat disertai darah, seringkali di ikuti demam (37,7–
38,3ºC) (Davis 2009). Umumnya Escherichia coli masuk ke dalam tubuh melalui
rute oral dari makanan atau benda yang tercemar bakteri ini.
Salmonella Enteritidis
Salmonella termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, bakteri ini
merupakan
kausa
utama
dari
penyakit
enterik
bakterial.
Infeksi
7
Salmonella enterica subspesies enterika (Salmonella Enteritidis) merupakan satu
dari enam subspesies Salmonella yang memiliki tingkat insidensi tinggi sebagai
pencemar makanan (foodborne salmonellosis) (Lesmana 2006).
Gambar 2 Salmonella Enteritidis (Anonim(3) 2010)
Salmonella Enteritidis merupakan bakteri yang bersifat gram negatif,
berbentuk batang, tidak berspora, tidak berkapsul, motil dengan flagella peritrikus,
dan dapat hidup secara aerob atau fakultatif anaerob (Lesmana 2006). Bentuk
bakteri ini terlihat pada gambar 2. Salmonella Enteritidis dapat tumbuh optimum
pada suhu 35–37oC dan pH 6,5–7,5. Bakteri ini dalam kondisi lingkungan yang
memungkinkan dapat hidup selama berbulan-bulan. Namun Salmonella rentan
terhadap
panas,
sinar
matahari,
dan
kebanyakan
jenis
desinfektan
(Schnurrenberger & Hubbert 1991).
Menurut WHO (2010) bakteri ini umumnya ditularkan ke manusia melalui
konsumsi makanan yang terkontaminasi yang berasal dari hewan, terutama
daging, unggas, telur, dan susu. Gejala infeksi Salmonella biasanya muncul 12–72
jam setelah infeksi dengan gejala klinis termasuk demam, sakit perut, diare, mual,
dan kadang-kadang muntah. Penyakit ini biasanya berlangsung 4–7 hari dan
kebanyakan orang sembuh tanpa pengobatan. Namun, pada anak-anak dan orang
tua, ketika bakteri memasuki aliran darah, diperlukan pula pengobatan
menggunakan antibiotik.
Reservoir utama untuk Salmonella Enteritidis adalah hewan termasuk
didalamnya hewan ternak dan ternak unggas, burung, dan hewan peliharaan, serta
produk-produk asal hewan. Transmisi organisme ini pada manusia dapat terjadi
melalui makanan atau minuman yang tercemar melalui rute fecal-oral maupun
melalui kontak antara manusia dan hewan yang terinfeksi Salmonella. Telur
8
merupakan sumber infeksi yang paling umum. Ayam yang terinfeksi oleh
Salmonella dapat menyebabkan inkorporasi bakteri ini ke dalam telur pada saat
proses pembentukannya, ketika kulit telur belum mengalami proses kalsifikasi
secara lengkap. Atau mungkin terjadi kontaminasi permukaan telur oleh feses
(Lesmana 2006).
Perkiraan jumlah inokulum yang diperlukan untuk terjadinya infeksi pada
seorang individu dewasa adalah sekitar 105–106 organisme, tetapi pada bayi dan
anak-anak diperkirakan jumlah inokulum ini lebih kecil (Lesmana 2006). Vought
dan Tatini (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di Inggris telah
terjadi pada orang dewasa akibat mengkonsumsi es krim yang terkontaminasi
Salmonella Enteritidis sebanyak ≥ 107 CFU. Pada orang dewasa yang
mengkonsumsi makanan terkontaminasi bakteri tersebut sebanyak 105–106 CFU
dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa sejumlah kecil Salmonella Enteritidis dalam makanan (≤105
CFU) telah dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk
makanan tersebut mengandung banyak lipid dan atau gula yang dapat melindungi
Salmonella dari barrier lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut
dapat mencapai usus halus dan menimbulkan gejala penyakit.
Flu Burung (H5N1)
Avian Influenza (AI) adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh
virus influenza subtipe A dari famili Orthomixoviridae. Virus influenza memiliki
tiga tipe antigenik yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Virus influenza mempunyai
selubung/simpai yang terdiri dari kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini
mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk menempel pada reseptor yang
spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel (gambar 3). Terdapat 2
jenis
spikes
yaitu
mengandung
hemaglutinin
(HA)
dan
mengandung
neuraminidase (NA) yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto &
Kawaoka 2001). Virus influenza tipe A dapat dibagi menjadi subtipe dan varian
berdasarkan hemaglutinin (HA), terdiri dari H1–H15, dan neuraminidase (NA),
terdiri dari N1–N9. Variasi antigen H dan N ini dapat menghasilkan 135
kemungkinan subtipe virus muncul diantaranya adalah : H1N1, H1N2, H3N3,
9
H5N1, H7N7, H9N1 (Soejoedono & Ekowati 2005) Akibat dari kombinasi ini
penyakit yang disebabkan oleh virus AI dapat muncul dalam beberapa bentuk
yang berbeda, yaitu tanda-tanda klinis yang umum dan parah atau Highly
Pathogenic (HPAI), tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan atau Low
Pathogenic (LPAI), dan tanpa tanda-tanda klinis (VSF-CICDA 2005).
Virus influenza pada unggas mempunyai sifat dapat bertahan hidup di air
sampai 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC. Di dalam tinja
unggas dan di dalam tubuh unggas sakit dapat hidup lebih lama, tetapi mati pada
pemanasan 60oC selama 30 menit atau 56oC selama 3 jam dan pemanasan 80oC
selama 1 menit. Virus akan mati dengan detergen, desinfektan misalnya formalin,
cairan yang mengandung iodine dan alkohol 70% (Nainggolan 2006).
Gambar 3 Virus Influenza (Todar 2008)
Salah satu ciri penting dari virus influenza adalah kemampuannya untuk
mengubah antigen permukaan (H dan N) baik secara cepat/mendadak maupun
lambat (bertahun-tahun). Peristiwa terjadinya perubahan besar dari struktur
antigen permukaan yang terjadi secara singkat disebut antigenic shift. Bila
perubahan antigen permukaan yang terjadi hanya sedikit disebut antigenic drift.
Antigenic shift hanya terjadi pada virus influenza A sedangkan antigenic drift
terjadi pada virus influenza B dan virus influenza C relatif stabil. Teori yang
mendasari terjadinya antigenic shift adalah adanya penyusunan kembali dari gengen pada H dan N diantara manusia dan virus influenza melalui perantara host
ketiga. Proses antigenic shift akan memungkinkan terbentuknya virus baru yang
lebih ganas sehingga keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sistemik
yang berat kerena sistem imun inang baik seluler maupun humoral belum sempat
terbentuk (Nainggolan 2006).
10
Penularan penyakit yang disebabkan oleh virus flu burung dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langsung adalah
penularan dengan cara kontak langsung antara hewan penderita flu burung dengan
hewan lain yang peka maupun manusia. Hewan yang terinfeksi mengeluarkan
virus melalui saluran pernafasan, mata, dan feses. Penularan secara tidak langsung
dapat terjadi melalui udara yang tercemar meterial atau debu yang mengandung
virus avian influenza dengan semua barang yang pernah mengalami kontak
dengan penderita (Yuliarti 2006).
Telur Ayam dan Pemanasan/ Perebusan Telur
Telur merupakan sumber protein hewani yang baik, bergizi tinggi, lezat,
dan mudah didapatkan. Telur ayam banyak mengandung berbagai jenis protein
berkualitas tinggi termasuk mengandung semua jenis asam amino esensial bagi
kebutuhan manusia. Telur terdiri dari protein 13%, lemak 12%, serta vitamin, dan
mineral. Vitamin dan mineral yang terkandung dalam telur diantaranya vitamin A,
riboflavin, asam folat, vitamin B6, vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor,
dan potasium. Kandungan vitamin A, D, dan E terdapat dalam kuning telur. Kadar
proteinnya sekitar 14%, sehingga dari tiap butir telur akan diperoleh sekitar 8
gram protein (PoultryIndonesia 2002; Muchtadi 2005).
Adanya mitos di masyarakat bahwa telur mentah ataupun setengah matang
memiliki khasiat lebih tinggi dibandingkan dengan telur matang masih perlu
diteliti lebih lanjut. Mencampur telur mentah dalam minuman seperti jamu,
minuman energi, atau makanan dipercaya cukup higienis dan aman dikonsumsi
sudah menjadi kebiasaan sejumlah orang. Berdasarkan penelitian tentang
kandungan nilai gizi dari perlakuan konsumsi telur baik mentah, setengah matang,
dan matang, menunjukkan hasil yang tidak jauh beda. Mengkonsumsi telur
mentah akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama daripada mengkonsumsi
telur matang. Telur mentah memiliki daya cerna yang lebih rendah sehingga lebih
lama berada dalam saluran pencernaan manusia dalam keadaan utuh. Keawetan
membuat kenyang inilah yang menyebabkan telur mentah dianggap lebih bergizi
(Pramita 2009).
11
Menurut Poultry Indonesia (2002) telur mentah hanya mengandung 51%
zat gizi biologis sementara telur yang sudah dimasak mengandung hampir 91%
zat gizi biologis. Kandungan protein dalam telur matang hampir dua kali lipat
dapat diserap tubuh dibandingkan dengan telur mentah. Mengkonsumsi telur
mentah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya adanya bakteri
(Salmonella) dan zat-zat yang mengganggu proses penyerapan nutrisi dalam tubuh
seperti avidin dan ovomucoid yang hanya dapat inaktif dengan proses pemanasan
(Pramita 2009). Faktor yang penting dalam proses pemanasan/perebusan adalah
waktu dan suhu perebusan telur. Menurut berbagai sumber untuk membuat telur
rebus setengah matang diperlukan waktu 5–8 menit dengan suhu 70–80oC
(Wikipedia 2010; Anonim(1) 2009).
Selain sebagai bahan pangan bermanfaat telur dapat pula dijadikan media
untuk memproduksi antibodi. Penggunaan telur sebagai sumber antibodi untuk
kepentingan preventif dan imunoterapi dilakukan untuk mendongkrak konsumsi
telur masyarakat Indonesia (Mustopa 1999). Penggunaan telur ayam sebagai
pabrik biologis sangat menjanjikan karena telur dapat dengan mudah diproduksi
secara massal, relatif murah, dan mudah didapat. Antibodi spesifik dalam kuning
telur dapat diberikan dan disajikan dalam bentuk nutriceutical food atau antibodi
(IgY) dimurnikan dari kuning telur menggunakan metode yang sederhana dengan
jumlah yang cukup banyak. Ayam biasanya bertelur 5 sampai 6 butir per minggu
dan sebutir kuning telur yang mempunyai volume 15 ml, rata-rata mengandung
50–100 mg IgY, dengan kandungan antibodi spesifik 2% sampai 10% (Wibawan
et al. 1999).
Menurut Mustopa (2004) keuntungan penggunaan telur sebagai sumber
antibodi dibandingkan dengan mamalia adalah (1) satu butir telur menghasilkan
IgY setara dengan IgG yang diambil dari 40 ml darah kelinci, (2) cara panenya
sederhana, (3) pengambilan tidak invasif dan tidak menyakiti hewan, (4)
merupakan
alternatif
yang
paling
menjanjikan
sebagai
pengganti
cara
memproduksi IgG konvensional, (5) dapat dipanen setiap hari terus menerus, (6)
tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan mamalia, karena
jarak filogenik antara unggas dan mamalia sangat jauh, (7) telur dapat disimpan
dengan mudah dalam jangka waktu yang relatif lama, (8) menghasilkan respon
12
imun yang lebih spesifik, dan (9) tidak memiliki efek samping, karena tidak
bereaksi dengan IgG mamalia dan reseptor.
Sebagai bentuk aplikasi baik untuk pencegahan maupun pengobatan
terhadap penyakit diare dan flu burung pada individu terinfeksi, antibodi dalam
telur ayam dapat diberikan secara oral, yaitu dengan mengkonsumsi telur yang
mengandung antibodi. Untuk dapat diberikan secara oral antibodi dalam telur
harus melewati beberapa tahapan yang dapat menurunkan aktivitas antibodi anti
diare dan anti flu burung seperti denaturasi akibat pemanasan saat telur direbus,
pH asam lambung yang rendah (asam), dan pH usus yang basa. Antibodi juga
melewati aktivitas enzim pencernaan seperti pepsin (asam lambung) dan tripsin
(enzim dalam usus) (Carlender 2002).
Proses pemanasan atau perebusan telur akan mengakibatkan terjadinya
denaturasi protein. IgY sebagaimana protein lainnya akan mengalami kerusakan
akibat suhu yang tinggi. Hatta et al. (1992) menyatakan bahwa IgY mulai
terdenaturasi pada suhu 73,9ºC. Pemanasan protein dapat memutus ikatan
nonkovalen sehingga molekulnya akan terdenaturasi (Whitaker 1994). Kerusakan
dari struktur IgY akibat panas dapat menyebabkan menurunnya kemampuan
antibodi. Oleh karena itu informasi tentang stabilitas IgY sangat diperlukan saat
digunakan sebagai reagen imunodiagnostik maupun imunoterapi (Shimizu et al.
1992).
Sistem Imun dan Imunoglobulin Y pada Ayam
Ayam mempunyai kandungan antibodi yang mampu melawan berbagai
serangan infeksi. Sistem pertahanan tubuh dalam kuning telur adalah antibodi
humoral utama pada anak ayam. Antibodi dalam telur pertama kali dipublikasikan
oleh Klemperer pada tahun 1893, yang menggambarkan adanya kekebalan pasif
terhadap toksin tetanus yang diturunkan dari induk ke anak ayam. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya induk ayam adalah produsen antibodi yang
sangat potensial (Carlender 2002). Secara umum untuk memproduksi antibodi di
dalam telur dapat dilakukan dengan menyuntik ayam menggunakan antigen
tertentu yang dikehendaki (vaksin, bakterin, toksoid, atau bahan biologis lain).
13
Cara penyuntikan dapat dilakukan secara intravena, intramuskular, atau subkutan
tergantung dari preparasi antigen yang dikehendaki (Wibawan 2008).
Sistem kekebalan pada unggas merupakan suatu mekanisme yang
digunakan dalam tubuh unggas sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan dan sekitarnya (Poultry Indonesia 2009).
Sistem kekebalan tubuh yang terpapar oleh suatu zat yang dianggap asing, maka
tubuh akan mengalami dua jenis respon, yaitu respon kebal non-spesifik dan
respon kebal spesifik. Kekebalan non-spesifik merupakan sistem kebal bawaan
dan respon kebal spesifik merupakan respon kebal dapatan (Roitt 1994). Respon
kebal non-spesifik biasanya berupa kekebalan tubuh yang bersifat fisik dan terdiri
dari berbagai macam fungsi yang berperan sebagai garis pertahanan pertama
terhadap infeksi. Respon kebal spesifik dimulai dengan pengenalan zat yang
dianggap asing sampai dengan menyingkiran zat tersebut.
Menurut Roitt dan Delves (2001) komponen-komponen yang mendasar di
dalam mekanisme respon kekebalan antigen spesifik (adaptive defense) adalah
limfosit B dan limfosit T sedangkan kekebalan non-spesifik (innate defense)
diperankan oleh sel-sel neutrofil, monosit (di dalam jaringan disebut makrofag),
eosinofil, dan basofil. Semua komponen dasar yang berperan pada mekanisme
kekebalan tersebut berasal dari stem sel. Limfosit (sel B) bertanggung jawab
terhadap produksi antibodi. Limfosit (sel T) bertanggung jawab terhadap respons
sitotoksik, dan sel T helper (Th) bertanggung jawab terhadap sel B dan sel T
sitotoksik.
Pemeliharaan
(maintenance)
sistem
kekebalan
membutuhkan
komunikasi interseluler yang memperantarai hubungan sel ke sel (misalnya
melalui produksi sitokin) dan sel-sel pelengkap (misalnya sel fibroblast dan sel
endotel).
Pemaparan antigen ke dalam tubuh induk ayam akan menghasilkan reaksi
kebal yang terdiri dari respon kekebalan humoral dan respon kekebalan seluler.
Sel-sel sistem kekebalan humoral yaitu limfosit B memberikan respon terhadap
rangsangan
antigenik
dengan
jalan
menghasilkan
dan
mengeluarkan
imunoglobulin khusus yang disebut antibodi (Fenner et al. 1995). Antibodi di
dalam telur memiliki spesifisitas antibodi yang tinggi terhadap antigen yang telah
disuntikkan (Rollier et al. 2000). Antibodi induk yang ditransfer secara pasif oleh
14
induk kepada anaknya sebagai immunoglobulin yolk (IgY) berfungsi sebagai
pertahanan terhadap benda asing ketika sistem imun anak belum sempurna.
Menurut Stowell (2002) Imunoglobulin tersusun atas 2 rantai berat dan 2
rantai ringan (heavy and light chain) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida
sehingga membentuk struktur Y (gambar 4). Secara morfologi IgY pada ayam
berbeda dengan IgG mamalia, hal ini terlihat dari H (heavy chain) yang lebih
besar dan secara antigenik berbeda dengan H chain pada IgG mamalia.
Konsentrasi IgY pada kuning telur cenderung konstan sesuai dengan tingkat
kematangan oocyte, dan pada kuning telur yang telah siap (mature) ditemukan
10–20 mg/ml IgY. Ayam dapat digunakan untuk memproduksi antibodi selama
masa produksi telurnya. Ayam yang telah digunakan untuk memproduksi antibodi
selama 3 bulan harus diberikan imunisasi booster setiap bulan berikutnya untuk
memastikan titer antibodi yang tetap tinggi. Bila diasumsikan satu ekor induk
ayam mampu untuk menghasilkan 20 butir telur per bulan, maka lebih dari 2 gram
IgY kuning telur dapat diisolasi per bulan. Konsentrasi IgY pada serum ayam
berkisar antara 5–7 mg/ml. Oleh karena itu 2 gram IgY kuning telur sama dengan
kandungan IgY pada 300 ml serum atau 600 ml darah (Carlender 2002 ; Falkhi
2008).
Gambar 4 Struktur imunoglobulin (Stowell 2002)
Fraksi imunoglobulin pada ayam yang terbanyak dikenal dengan
immunoglubulin Yolk (IgY) dan banyak ditemukan pada serum serta telur (Szabo
et al. 1998). Menurut Warr et al. (1995) IgY memiliki fungsi yang sama dengan
IgG mamalia. Imunoglobulin Y yang terdapat dalam telur merupakan maternal
antibody pada kuning telur ayam akibat adanya transpor antibodi dari serum induk
ayam kepada anaknya. Transfer antibodi terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap
15
pertama IgY ditransfer dari serum ke kuning telur sebagaimana transfer plasenta
mamalia. Keberadaan reseptor IgY pada oosit akan mendorong kejadian
pengikatan dan pemindahan seluruh populasi IgY pada`serum ayam ke telur.
Kemudian tahap kedua adalah tranfer Ig Y dari kantung kuning telur ke telur yang
berembrio (Gassman et al. 1990).
Transfer IgY secara transovarial berlangsung kurang lebih 3–6 hari,
tergantung dari jumlah sel telur yang ada di dalam tubuh ayam (Patterson et al.
1962; Wooley et al. 1995). IgY ditansfer dari serum melewati oolemma ke dalam
oosit yang telah matang dalam folikel ovari (Rose dan Orland 1981). Transfer ini
terjadi melalui reseptor spesifik di permukaan membran kantung kuning telur
(Tressler dan Roth 1987). Tingginya kadar IgY di dalam darah tidak selalu sama
dengan dengan kadar IgY di dalam kuning telur karena transfer IgY ke dalam
kuning telur diketahui terjadi dalam 2 tahap. Setiap tahap memerlukan waktu
tertentu (Wibawan 2008).
Dilihat dari sifat transfer antibodi tersebut maka ayam petelur memiliki
potensi efektif sebagai produsen antibodi. Antibodi spesifik yang dihasilkan oleh
ayam menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan dengan antibodi yang
dihasilkan mamalia. Antibodi dalam sebutir telur sama dengan antibodi yang
dihasilkan sekali pemanenan darah kelinci (Poetri 2006). Selain itu ayam memiliki
sensitifitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing sehingga sistem imun
ayam sangat responsif dan persisten untuk produksi IgY (Hau & Hendriksen
2005).
Hal penting yang membedakan IgG dengan IgY yaitu Imunoglobulin Y
(IgY) memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan IgG (gambar 5),
lebih resisten terhadap suhu dan pH dibandingkan dengan IgG (Szabo et al. 1998).
IgY dapat mengenali lebih banyak epitop antigenik dibandingkan dengan antibodi
yang diproduksi mamalia. IgY bersifat lebih asam dan memiliki kerapatan
molekul lebih rendah (Higgins 1995) dibandingkan dengan IgG mamalia. IgY
tidak berikatan dengan faktor komplemen, protein A, protein G, dan reseptor Fc
bakteri (Jensenius et al. 1981). Tidak berikatan dengan faktor rheumatoid dalam
darah, tidak mengaktifkan faktor komplemen mamalia sehingga tidak merangsang
timbulnya efek samping, tidak berikatan dengan reseptor Fc pada permukaan sel,
16
dan kemampuan mengikat antibodi sekunder 3 hingga 5 kali lebih kuat (Poetri
2006).
Gambar 5 Struktur IgG dan IgY (Szabo et al. 1998)
Secara keseluruhan struktur IgY menyerupai IgG mamalia, dengan dua
rantai ringan dan rantai berat. Molekul ini memiliki masa 167.259 Da, sedikit
lebih besar dari IgG ( 160 kDa) (Carlender 2002). Cara penyimpanan IgY dapat
dilakukan seperti cara penyimpanan IgG, yaitu disimpan dalam refrigerator yang
dilengkapi dengan kelengkapan penghambat pertumbuhan bakteri. (Carlender
2002).
Imunoglobulin Y relatif stabil untuk dipertahankan aktivitasnya jika
disimpan dalam kondisi ruang (normal). Aktivitas IgY dapat dipertahankan
dengan baik jika disimpan pada suhu 37°C untuk jangka waktu satu bulan atau
pada suhu kamar untuk jangka waktu 6 bulan dan aktivitas IgY dapat
dipertahankan selama 10 tahun jika disimpan pada suhu 4°C (Larsson et al. 1993).
Shin et al. (2002) menyatakan bahwa IgY stabil pada suhu 40°C, dan hanya
kehilangan 20% aktivitasnya pada pemanasan dengan suhu 60°C selama 10 menit
serta stabil pada pH 4–8.
Imunodifusi (Agar Gel Presipitation Test / AGPT)
Teknik imunodifusi merupakan salah satu cara untuk menganalisa
keberadaan antibodi. Salah satu tekniknya adalah Agar Gel Presipitation Test
(AGPT). Uji ini menggunakan teknik presipitasi (pengendapan) antigen oleh
antibodi yang sesuai. Uji ini bersifat kualitatif yaitu dapat mengetahui keberadaan
antibodi spesifik antigen atau tidak. Interaksi antigen-antibodi invitro yang
17
merupakan dasar imunokimia terdiri dari kategori primer dan katekori sekunder.
Interaksi antibodi-antigen sekunder dapat mengakibatkan presipitasi, sehingga
Agar Gel Presipitation Test (AGPT) termasuk dalam kategori ini. AGPT
merupakan teknik imunopresipitasi yang banyak dipakai untuk mengukur titer
antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibandingkan dengan uji
pengikatan primer, namun relatif mudah dilakukan (Anonim(4) 2010).
Uji ini menggunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian
kedalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan serum
atau kuning telur yang mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan
merembes, berdifusi disekitar sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi
dengan antibodi spesifik, akan terbentuk kompleks antigen antibodi yang besar
sehingga kompleks mengendap dan terjadi presipitasi yang membentuk garis
putih (homolog). Garis presipitasi yang terbentuk dapat terlihat seperti pada
gambar 6. Tetapi bila tidak ada kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis
presipitasi tidak akan terbentuk (heterolog). Jika positif akan terlihat garis putih
yang terletak di antara antigen dan antibodi begitu pun sebaliknya (Medion 2009).
Antibodi umumnya adalah bivalen dan karenanya hanya mampu berikatan silang
dengan dua determinan antigen dalam satu waktu, tetapi antigen umumnya
bersifat multivalen yang mempunyai determinan antigen yang relatif sangat besar
(Tizard 1988).
Gambar 6 Terbentuknya garis putih (garis presipitat) mengelilingi lubang
menunjukkan hasil positif (Medion 2009)
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam
reaksi presipitasi. Pembentukan presipitat terjadi apabila antara konsentrasi
antigen dan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan
mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk, sedangkan antibodi
berlebihan mengakibatkan komplek antigen-antibodi tetap ada dalam larutan. Hal
18
pertama disebut postzone effect dan yang kedua disebut prozone effect (Anonim(4)
2010).
Metode uji serologis ini termasuk metode yang sederhana untuk
mendeteksi antibodi terhadap berbagai virus berdasarkan reaksi positif (+) atau
negatif (-) (Medion 2008). Reaksi positif ditandai dengan adanya garis presipitasi
antara serum dan antigen homolog. Keberadaan antibodi spesifik E.coli dan
S.Enteritidis dalam kuning telur dikonfirmasi dengan uji imunodifusi/Agar Gel
Precipitation Test (AGPT). Teknik ini dipilih karena nilai positif pada AGPT
mencerminkan kandungan antibodi yang cukup besar pada material (kuning telur).
Uji Serologis Hemaglutinasi Inhibisi
Beberapa virus memiliki virus-coded protein pada permukaannya yang
mampu berikatan dengan sel darah merah. Hal tersebut memungkinkan beberapa
virus dapat menghubungkan beberapa sel darah merah menjadi satu gumpalan
(lattice). Fenomena ini dinamakan hemaglutinasi, pertamakali dijelaskan oleh
Hirst tahun 1941 (Fenner et al. 1974) yang selanjutnya melakukan analisa
terhadap mekanisme hemaglutinasi virus influenza. Pada virus influenza protein
hemaglutinin tersebut adalah glikoprotein. Virus ini menempel pada sel darah
merah yang memiliki reseptor komplemen berupa glikoprotein dengan bentuk
yang berbeda (Fenner et al. 1974).
Virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah itu antara lain ortho- dan
paramyxovirus; alfa-, flavi-, dan bunyavirus; serta adeno-, reo-, parvo-, dan
coronavirus (Tizard 1988). Hemaglutinasi yang diakibatkan oleh virus influenza
dan paramoxovirus berbeda dengan virus lain kerana disertai dengan enzim
(neuraminidase). Neuraminidase ini yang menghancurkan reseptor glikoprotein
dengan bentuk yang berbeda (Fenner et al. 1974).
Antibodi yang berfungsi melawan virus tersebut menghambat terjadinya
hemaglutinasi. Deteksi virus berdasarkan kemampuannya mengaglutinasi darah
digunakan sebagai uji praeliminasi ketika akan mengidentifikasi virus. Sedangkan
reaksi inhibisi oleh antibodi yang biasa disebut hemaglutinasi inhibisi test (HI),
digunakan untuk mengidentifikasi virus spesifik dan untuk menghitung level
antibodi dalam serum (Tizard 1988). Uji HI menghambat aglutinasi sel darah
19
merah oleh virus dengan cara virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga
tidak dapat melekat pada reseptor membran sel darah merah. Dengan demikian
aglutinasi sel darah merah tidak terjadi.
Uji ini dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode α dan metode β.
Metode α digunakan untuk menguji jenis antigen. Pada metode ini jumlah serum
yang dimasukkan ke dalam setiap tabung uji tetap, sedangkan jumlah antigen
yang diujikan diencerkan secara berseri. Sedangkan metode β digunakan untuk
menguji atau mengidentifikasi antibodi dan menghitung titer antibodinya serta
menguji jenis antigen. Pada metode ini yang diencerkan secara seri adalah serum.
Apabila ingin melakukan pengujian anigen dengan metode ini maka harus
melakukan uji Heaglutinasi (HA) terlebih dahulu untuk membuat virus
standarnya (Tizard 1988).
Zat haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus atau bakteri tersebut
bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi
yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan menghambat terjadinya aglutinasi
darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus. Uji HI menggunakan reaksi
hambatan haemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa
penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer
antibodi). Prinsip kerja dari uji HI adalah mereaksikan antigen dan serum dengan
pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa
antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi
eritrosit. Uji HI merupakan metode uji serologis yang mudah dilakukan dan
hasilnya dapat diketahui dengan cepat (Kusumawardhani 2008).
Gambar 7 Interpretasi hasil HI test
ditunjukkan dari ada tidaknya proses aglutinasi.
(A = tidak terjadi aglutinasi dan B = terjadi aglutinasi) (Medion 2008)
Interpretasi hasil titer HI ditunjukkan pada pengenceran serum tertinggi
yang masih memberikan hambatan (inhibisi) pada antigen 4 HAU. Inhibisi
20
ditetapkan dengan mengamati sel darah merah pada lubang-lubang cawan mikro
dengan dasar berbentuk “V”, bila cawan dimiringkan akan terlihat tetesan air mata
(Indriani et al. 2004). Gambar 7 memperlihatkan terjadinya reaksi antara antibodi,
antigen, dan sel darah merah. Hambatan aglutinasi terlihat dengan tidak adanya
massa menggumpal pada sumur (sel darah merah tidak teraglutinasi). Uji HI
mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis
antigen tertentu dengan mereaksikannya terhadap antibodi homolog yang telah
diketahui. Kedua adalah untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan
cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen
standar yang telah diketahui (Kusumawardhani 2008).
Download