BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Lingkungan kerja yang positif merupakan kebutuhan bagi seluruh perusahaan yang ingin terus tumbuh dan berkembang di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat. Lewis (2011) menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang baik adalah lingkungan kerja yang mampu memiliki performa jauh di atas rata-rata, di mana hasil produksi yang ada melebihi ekspektasi sebelumnya. Keberadaan lingkungan kerja yang positif memang sangat terkait dengan adanya peningkatan signifikan pada berbagai aspek performa organisasi (Cameron et al., 2004; Cameron dan Mora, 2008 dalam Lewis, 2011). Lewis (2011) kemudian menggambarkan bahwa lingkungan kerja yang positif dibangun melalui perilaku yang positif dari anggota maupun dari sistem yang dibuat oleh organisasi, yang kemudian memberi efek terhadap kemunculan emosi positif di lingkungan kerja. Performa organisasi yang sangat baik merupakan kondisi yang terutama dibutuhkan pada sektor-sektor usaha yang berperan besar terhadap perekonomian negara secara keseluruhan, seperti sektor usaha berskala UMKM atau Unit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Sejak diresmikan Undang-Undang UMKM pada 2008, sektor ini telah menjadi salah satu fokus pekerjaan pemerintah hingga saat ini. UMKM mampu menyerap lebih dari 97% total tenaga kerja di seluruh Indonesia, dengan kecenderungan peningkatan setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2010). Angka tersebut menunjukkan betapa kritisnya peran UMKM dalam mengatasi pengangguran dan membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun persaingan usaha di seluruh dunia saat ini telah memasuki era persaingan global (Solomon dan Schell, 2009), termasuk di Indonesia. Gempuran unitunit Usaha Besar baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki manajemen lebih maju dan kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tinggi merupakan salah satu potensi ancaman 1 2 yang dapat menekan keberadaan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Sehingga perusahaan-perusahaan berskala UMKM butuh untuk menciptakan dan menjaga performa terbaik agar dapat bertahan dan tumbuh berkembang. Restoran merupakan salah satu sektor yang terdapat dalam UMKM. Sektor restoran memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penyumbang 187 Miliar Rupiah PDB selama 2012 (Badan Pusat Statistik, 2012). Sementara khusus bagi Provinsi DIY, sektor usaha restoran memegang peran signifikan sebagai penyumbang terbesar dari pertumbuhan ekonomi DIY pada 2012 lalu, yaitu sebesar 1,39% dari 5,32% pertumbuhan ekonomi (Badan Pusat Statistik Yogyakarta, 2012). Meskipun berperan penting, di sisi lain sesungguhnya usaha-usaha restoran di DIY sedang berada dalam persaingan yang sangat ketat. Persaingan tersebut membuat banyak usaha restoran yang muncul dan berkembang. Namun masalah yang jauh lebih sulit terlihat adalah, banyaknya usaha restoran di Yogyakarta “jalan di tempat” atau sulit untuk berkembang. Data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2010) menunjukkan pertumbuhan usaha restoran di Yogyakarta sangat lambat, dengan hanya 52 unit usaha restoran berskala menengah, dan pertumbuhan rata-rata 6 restoran berskala menengah saja setiap tahunnya. Jauh dibanding provinsi terdekat seperti Jawa Timur (231 unit usaha, rata-rata 29 pertumbuhan setiap tahun), Jawa Barat (286 unit usaha, rata-rata 51 pertumbuhan), Jakarta (1.359 unit usaha, rata-rata 213 pertumbuhan) dan Bali (225 unit usaha, rata-rata 36 pertumbuhan). Angka ini menunjukkan banyak usaha restoran di Yogyakarta yang tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan berarti. Banyak usaha kecil sulit untuk “naik kelas” menjadi usaha restoran berskala menengah, kemudian besar. Sementara persaingan dari luar daerah, usaha-usaha restoran berskala menengah dan besar yang memiliki kantor utama di luar Provinsi DIY dan membuka cabang di DIY, dapat diamati justru semakin ramai. Analisis statistik ekonomi tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha-usaha restoran di DIY belum memiliki lingkungan kerja positif yang dapat membuat performa perusahaan berada di atas rata-rata. 3 Masalah pengelolaan Sumber Daya Manusia sangat mungkin menjadi faktor yang signifikan terhadap belum optimal-nya performa restoran-restoran di Yogyakarta. Sumber daya manusia dan pengelolaannya merupakan salah satu kunci penting yang dapat mempengaruhi performa dan menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi perusahaan (sustainable competitive advantage) (SHRM, 2008; Becker & Gerhart, 1996). Bagi perusahaan restoran, kepuasan pelanggan (customer satisfaction) melalui pelayanan pelanggan (customer service) yang terbaik merupakan salah satu aspek dari keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan menjadi tolak ukur dari performa sebuah restoran (Smith, 1996). Keunggulan kompetitif yang berkelanjutan tersebut didapatkan melalui penentuan strategi yang tepat, dan implementasi yang efektif (Schermerhorn Jr., 2011). Pada perusahaan restoran, serangkaian penelitian berkualitas menunjukkan, performa karyawan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap kepuasan pelanggan secara keseluruhan melalui pelayanan pelanggan yang diberikan (Susskind, 2002; Andaleeb & Conway, 2006; Susskind, Kacmar & Borchgrevink, 2007; Wall & Berry, 2007; Kim, Ng & Kim, 2009; Walter, Edvardsson & Ostrom, 2010; He, Li & Lai, 2011; Markovic, Raspor & Dorcic, 2011; Parsa, Gregory, Self & Dutta, 2012; Ryu, Lee & Kim, 2012 ). Hal ini berarti dibutuhkan karyawan yang engaged; yaitu termotivasi, berkomitmen pada performa terbaik, dan berkomitmen pada pelanggan untuk menciptakan keunggulan kompetitif berkelanjutan melalui pelayanan pelanggan. Secara singkat, lingkungan kerja yang positif dibutuhkan untuk dapat memiliki karyawan dengan semangat, dedikasi dan fokus untuk memberikan pelayanan pelanggan yang selalu prima. Karyawan yang engaged atau engaged employee adalah karyawan yang memiliki work engagement: semangat tinggi dalam bekerja, berdedikasi terhadap pekerjaan, dan mereka bekerja dengan sangat fokus hingga bisa lupa waktu (Bakker dan Demerouti, 2008). Work engagement merupakan salah satu bentuk penerapan psikologi positif di lingkungan kerja (Lewis, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged dalam 4 pekerjaannya membawa dampak positif yang signifikan terhadap performa perusahaan secara langsung. Ini karena secara umum, karyawan yang engaged mengerjakan tugastugasnya dengan sangat baik, dan bekerja ekstra meskipun tidak terkait langsung dengan perannya dalam perusahaan (Bakker, Demerouti dan Verbeke, 2004). Salah satu temuan manfaat dari work engagement yang paling awal, menunjukkan bahwa engagement berperan besar menekan job demands, yang merupakan faktor utama burnout (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004; Schaufeli, Salanova, Gonzales – Nova, Bakker, 2002). Fungsi mediasi ini merupakan salah satu yang paling populer, sebab burnout memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap performa karyawan dan organisasi, seperti penurunan kualitas kesehatan fisik dan emosi karyawan. Dampak engagement lainnya yaitu memiliki korelasi negatif terhadap intensi karyawan untuk keluar dari organisasi (Schaufeli & Bakker, 2004). Studi oleh Saks (2006) menemukan bahwa engagement menjadi prediktor adanya kepuasan kerja (satisfaction), komitmen terhadap organisasi (organizational commitment), organizational citizenship behavior, serta memiliki korelasi negatif terhadap intensi karyawan untuk keluar dari organisasi. Studi lainnya oleh Babcock-Roberson & Strickland (2010) memperkuat temuan Saks (2006) yang menunjukkan bahwa engagement berperan sebagai prediktor meningkatnya organizational citizenship behavior. Organizational citizenship behavior memberi pengaruh positif terhadap performa organisasi karena berfungsi sebagai penjaga kestabilan sistem sosial dalam organisasi (Organ, 1997 dalam Babcock-Roberson & Strickland, 2010). Salah satu temuan paling terbaru oleh Chugtai & Buckley (2011) menunjukkan bahwa work engagement meningkatkan learning goal orientation, yang akan membuat karyawan bekerja dengan orientasi untuk mendapatkan pembelajaran agar dapat meningkatkan kompetensi mereka. Learning goal orientation kemudian meningkatkan in-role job performance dan menstimulasi perilaku kerja inovatif (innovative work behavior) karyawan. Mereka juga berorientasi pada pembelajaran goal perusahaan, inovatif, berkomitmen terhadap perusahaan dan memanfaatkan waktu 5 dengan produktif (Chugtai dan Buckley, 2011; Babcock-Roberson dan Strickland, 2010; Ellis dan Sorensen, 2007). Mungkin yang paling menarik untuk diamati adalah studi-studi yang dilakukan oleh Harter, Schmidt & Hayes (2002), serta studi oleh beberapa organisasi konsultan bisnis dan SDM berskala global, yaitu Towers Perrin (kini Towers Watson, 2003) dan Sibson Consulting (Ellis & Sorensen, 2007). Selain studi yang mereka lakukan melibatkan karyawan dalam skala yang sangat besar, mereka tidak hanya melihat dampak langsung engagement pada tingkatan individu karyawan, namun hingga pada tingkatan unit bisnis. Studi Harter, dkk. (2002) melibatkan 198.514 karyawan dalam 7.939 unit bisnis. Mereka menemukan bahwa unit-unit bisnis yang tersusun dari karyawan yang engaged akan memberi peningkatan signifikan terhadap tingkat kepuasan dan loyalitas konsumen, angka penjualan dan produktifitas, sementara di sisi lain mempengaruhi penurunan tingkat turnover dan angka kecelakaan kerja. Studi lainnya oleh Towers Perrin (2003) menemukan bahwa engagement secara eksklusif memberi pengaruh terhadap komponen-komponen kunci yang menentukan kesehatan finansial organisasi, yaitu (1) revenue growth atau pertumbuhan pendapatan, (2) cost of goods sold (COGS) atau biaya produksi, dan (3) sales, general and administrative expenses (SG&A). Sebelumnya, engagement berpengaruh signifikan terhadap customer focus, yang berarti semakin engaged karyawan, semakin mereka akan menempatkan pelayanan dan kepuasan konsumen sebagai fokus utama dari pekerjaan. Temuan lain oleh Towers Perrin (2003) juga memperkuat adanya hubungan negatif antara engagement dengan turnover. Menariknya, Towers Perrin (2003) menemukan bahwa sekitar 50% karyawan yang berada pada tingkatan moderately engaged dan disengaged menyatakan “I am not looking for another job, but would consider the right opportunity” yang berarti karyawan tersebut tidak secara aktif mencari pekerjaan lain, namun akan memanfaatkan jika ada kesempatan yang datang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian organisasi sedang mempertahankan karyawan-karyawan yang tidak produktif, 6 memiliki sikap dan perilaku yang buruk terhadap organisasi. Studi yang lebih baru oleh Sibson (Ellis & Sorensen, 2007) ikut memperkuat temuan sebelumnya tentang hubungan negatif antara engagement dan turnover. Kemudian mereka juga menemukan bahwa engagement dapat mendorong produktifitas, melalui data yang memperlihatkan bahwa karyawan yang engaged memanfaatkan lebih dari 75% waktu kerjanya untuk melakukan halhal yang produktif. Temuan-temuan tersebut di atas semakin memperjelas peran work engagement terhadap peningkatan performa yang nyata bagi perusahaan, termasuk restoran. Sementara langkah wawancara yang penulis lakukan terhadap tiga manajemen restoran, yaitu Waroeng SS, Pelem Golek dan Waroeng Steak and Shake, menemukan bahwa turnover menjadi salah satu masalah utama yang menjadi tolak ukur work engagement pada karyawan restoran. Perwakilan manajemen restoran Waroeng SS mengakui, tingkat perputaran karyawan pada setiap cabang Waroeng SS tergolong tinggi. Setiap bulannya selalu ada karyawan restoran yang mengundurkan diri dari pekerjaan, terutama karyawan-karyawan dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Hal ini membuat kegiatan rekrutmen dan seleksi menjadi proses yang sangat aktif dilakukan oleh departemen SDM setiap bulannya. Menurut perwakilan manajemen Waroeng SS, di tengah program ekspansi besar yang sedang dilaksanakan serta tingginya tingkat okupansi restoran setiap harinya, jumlah tenaga kerja yang mencukupi merupakan satu kondisi ideal yang sangat dibutuhkan. Sementara proses rekrutmen, seleksi serta pelatihan terus mengeluarkan biaya yang dianggap cukup tinggi. Manajemen restoran Pelem Golek dan Waroeng Steak and Shake pun menyatakan hal yang serupa. Pada restoran Pelem Golek, fenomena turnover pernah menjadi masalah yang sangat merugikan pada beberapa bulan yang lalu, meskipun kini dirasa cukup membaik. Namun Kepala Bagian Operasional, Lya Wagner, menyatakan bahwa penurunan performa dan motivasi karyawan menjadi masalah baru yang sedang dihadapi oleh restoran 7 Pelem Golek saat ini. Masalah ini menjadi salah satu penghambat di tengah rencana ekspansi dan peningkatan “kelas” restoran yang sedang dicanangkan. Begitu pun dengan Waroeng Steak and Shake, Kepala Departemen HRD Bapak Syamsuri mengakui, tingkat keluar – masuk karyawan setiap bulannya dianggap sangat tinggi. Proses rekrutmen yang dilakukan secara tertutup juga membutuhkan biaya tinggi karena manajemen secara aktif bergerak mencari calon karyawan, bukan sebaliknya. Namun proses tersebut akan terus dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari visi dan misi Waroeng Steak and Shake. Hasil wawancara terbuka terhadap tiga manajemen restoran tersebut dapat menjadi indikasi rendahnya tingkat work engagement pada karyawan restoran, dan kondisi tersebut butuh untuk dicermati secara lebih mendalam. Karyawan yang engaged dalam pekerjaannya dipengaruhi oleh dua aspek utama, yaitu job resources dan personal resources. Job resources merupakan aspek-aspek fisik, sosial atau organisasional dari pekerjaan yang bisa mengurangi beban yang dibutuhkan untuk bekerja (job demands), baik beban fisiologis maupun mental; berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pekerjaan (goal) dan mampu menstimulasi proses belajar dan pengembangan diri bagi karyawan (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004). Sementara personal resources adalah aspek-aspek yang berasal dari karakter individu. Hobfoll (2003, dalam Bakker dan Demerouti, 2008) mendefinisikan personal resources sebagai perasaan mampu seseorang untuk dapat mengontrol dan memberi dampak terhadap lingkungan mereka yang di dapat melalui evaluasi diri yang positif, seperti selfefficacy atau evaluasi terhadap kemampuan diri untuk melakukan sesuatu (Bandura, 1997). Sehingga untuk dapat meningkatkan engagement karyawan dalam pekerjaannya, dapat dikembangkan melalui dua aspek yang saling terkait tersebut. Meskipun karyawan yang engaged bisa memegang peran positif bagi restoran, faktanya, untuk membuat karyawan engaged bagi restoran berskala UMKM bukan perkara mudah. Sebab tidak hanya restoran, namun pada umumnya usaha berskala kecil dan 8 menengah memiliki keterbatasan pada sisi keuangan dan manajemen (Megginson, Byrd dan Megginson, 2006). Tidak semua restoran berskala UMKM dapat memiliki manajemen yang profesional. Selain struktur organisasinya yang tidak luas, keberadaan departemen yang berfungsi sebagai pengembangan sumber daya manusia atau HR membutuhkan biaya yang tidak murah. Tidak jarang jika pada berbagai restoran berskala kecil – menengah, posisi manager dan owner masih dipegang oleh orang yang sama. Hal tersebut membuat perusahaan rentan terhadap pengambilan keputusan yang buruk (Megginson, Byrd dan Megginson, 2006). Sementara itu, keterbatasan juga mempengaruhi proses rekrutmen dan seleksi karyawan restoran. Sangat mungkin jika tidak seluruh restoran mampu untuk melakukan rekrutmen dan seleksi dengan langkah yang tepat untuk dapat menyaring caloncalon karyawan dengan kualitas terbaik, terutama pada restoran berskala menengah ke bawah. Jika ditinjau dari pekerjaan karyawan garis depan restoran, wawancara yang penulis lakukan terhadap perwakilan dari 3 manajemen restoran menjelaskan bahwa karyawan garis depan restoran secara teknis bertanggungjawab terhadap seluruh proses interaksi dengan pelanggan. Mulai dari pelanggan pertama kali datang, memesan makanan, makan, hingga meninggalkan restoran. Namun lebih dari itu, karyawan garis depan juga bertanggungjawab terhadap standar yang ditetapkan restoran untuk menciptakan kesan yang baik kepada pelanggan mereka. Seperti menjaga standar Senyum, Salam, Sapa (3S), menjaga kebersihan diri dan lingkungan kerja, serta menjadi karyawan yang aktif memperhatikan kebutuhan pelanggan. Terlebih pada restoran Pelem Golek, menjaga tanggungjawab utama dengan sangat baik menjadi tujuan yang sangat diutamakan, karena restoran sering kedatangan pelanggan-pelanggan penting seperti pejabat pemerintahan hingga manajemen perusahaan besar. Hal tersebut membuat kesan yang diciptakan karyawan restoran terhadap pelanggan menjadi nilai yang sangat penting. Bagi manajemen restoran, syarat-syarat umum seperti tingkat pendidikan dan pengalaman masih menjadi tolak ukur dalam mengiklankan 9 lowongan pekerjaan karyawan restoran. Namun lebih jauh, karyawan dengan keinginan belajar yang tinggi, berani bekerja keras, jujur dan adaptif merupakan karakter kunci yang dianggap manajemen restoran akan mampu untuk menjalankan seluruh tanggungjawab pelayanan pelanggan dengan baik, bahkan lebih baik. Tanggungjawab terhadap kualitas pelayanan pelanggan tidak hanya kewajiban bagi satu orang karyawan, namun menjadi tugas bagi keseluruhan tim karyawan garis depan restoran. Hasil wawancara penulis terhadap 3 manajemen restoran tentang kerja tim menyebutkan bahwa tim karyawan garis depan yang kompak merupakan kunci untuk membuat tugas pelayanan pelanggan dapat dikerjakan dengan mudah. Pekerjaan pelayanan pelanggan tersusun dari banyak sekali aktivitas dalam waktu yang hampir bersamaan. Menurut perwakilan manajemen Waroeng Spesial Sambal, sangat sulit untuk melayani berbagai permintaan pelanggan jika tim waiter/waitress tidak dapat berkomunikasi dengan baik, serta berbagi tanggungjawab secara adil. Tim kerja yang memiliki hubungan erat baik secara pribadi maupun profesional sangat dibutuhkan. Perwakilan manajemen Waroeng Spesial Sambal menyebutnya sebagai iklim kerjasama yang “kekeluargaan”. Hasil wawancara terhadap 3 manajemen restoran tersebut di atas menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja keras, serta kerjasama tim yang baik menjadi hal yang bisa sangat menentukan kualitas pelayanan pelanggan restoran. Karyawan yang bekerja keras menjaga tujuan mereka dalam bekerja merupakan ciri dari karyawan dengan evaluasi diri yang positif (Judge, dkk., 2005). Mereka merupakan salah satu bentuk sumber daya pribadi (personal resources). Sementara kerjasama tim yang baik merupakan indikator keluaran adanya tim dengan anggota yang mampu saling mendukung dalam menjalankan tanggungjawab pekerjaan. Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk lingkungan kerja yang fasilitatif. Jika Bakker & Demerouti (2008) menyatakan bahwa, dibutuhkan lingkungan kerja yang fasilitatif (job resources) dan orang-orang dengan kemampuan evaluasi diri positif yang baik (personal resources) untuk mendorong semangat, dedikasi dan fokus karyawan 10 dalam bekerja (work engagement), maka dapat disimpulkan bahwa saat ini usaha restoran berskala kecil – menengah di Yogyakarta tidak memiliki cukup sumber daya: job dan personal resources, untuk dapat memiliki lingkungan kerja yang positif, kemudian performa restoran yang menguntungkan. Bagaimanapun, kesimpulan tersebut di atas belum dapat dipertanggungjawabkan secara empirik. Untuk itu, penelitian ini akan mencoba untuk memahami bagaimana kemampuan evaluasi diri seseorang (efikasi diri) sebagai personal resources, dapat mempengaruhi terciptanya work engagement. Hal ini karena karyawan yang memiliki evaluasi diri positif terhadap kemampuan dirinya dalam menjaga performa pelayanan pelanggan di restoran memegang peran penting terhadap kualitas pelayanan pelanggan itu sendiri. Kemudian penulis akan memahami bagaimana dukungan rekan kerja, sebagai salah satu job resources, dapat mempengaruhi work engagement. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa karyawan restoran selalu bekerja dalam tim, atau setidaknya terdapat banyak orang pada posisi yang sama dengan tanggungjawab yang sama, yang secara logis menunjukkan bahwa diperlukan tim karyawan yang saling mendukung untuk menciptakan performa pelayanan restoran yang prima. Penelitian ini bisa menempati posisi yang sangat strategis. Sebab, penelitian ini akan melengkapi berbagai penelitian tentang work engagement yang masih cukup sedikit, namun sedang giat berkembang. Hal yang lebih penting adalah, penelitian ini akan memberi gambaran mengenai kondisi karyawan di salah satu industri yang paling berperan besar bagi perekonomian Yogyakarta, yaitu industri restoran. Sehingga dapat menyumbang informasi penting yang dibutuhkan oleh pemerintah, maupun pengusaha, dalam mengambil keputusan terkait strategi bisnis dan pengelolaan sumber daya manusia restoran di Yogyakarta 11 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah efikasi diri dan dukungan rekan kerja dapat memiliki kontribusi terhadap work engagement pada karyawan restoran di Yogyakarta, dan kemudian memahami seberapa besar peran efikasi diri dan dukungan rekan kerja mampu menjadi faktor pendorong work engagement karyawan restoran. C. Manfaat Penelitian Secara garis besar penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat dalam dua hal, yaitu 1. Manfaat Teoritik. Yaitu penelitian ini diharapkan akan memberi sumbangan penting terhadap ilmu Psikologi, bertema psikologi positif dalam bidang Industri/Organisasi, terutama mengenai topik work engagement yang sedang berkembang pesat saat ini. Penelitian ini diharapkan akan menambah pemahaman mengenai faktor-faktor work engagement, khususnya pada industri-industri pelayanan seperti restoran. Kemudian yang sangat penting adalah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi model untuk penelitian-penelitian selanjutnya dalam memahami work engagement, sebab topik ini memiliki manfaat yang sangat besar tidak hanya bagi organisasi, namun para anggotanya sebagai manusia. 2. Manfaat Praktis. Yaitu penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang berguna bagi pemerintah, Kementrian Budaya dan Pariwisata, Instansi pengelola Sumber Daya Manusia, dan yang terpenting yaitu bagi para pengusaha restoran di Yogyakarta. Temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak tersebut di atas dalam mengambil keputusan strategis terkait pengembangan ekonomi di Indonesia, khususnya dalam strategi bisnis dan pengelolaan sumber daya manusia usaha restoran di Yogyakarta.