1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Lingkungan kerja yang positif merupakan kebutuhan bagi seluruh perusahaan yang
ingin terus tumbuh dan berkembang di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat. Lewis
(2011) menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang baik adalah lingkungan kerja yang mampu
memiliki performa jauh di atas rata-rata, di mana hasil produksi yang ada melebihi ekspektasi
sebelumnya. Keberadaan lingkungan kerja yang positif memang sangat terkait dengan
adanya peningkatan signifikan pada berbagai aspek performa organisasi (Cameron et al.,
2004;
Cameron
dan
Mora,
2008
dalam
Lewis,
2011).
Lewis
(2011)
kemudian
menggambarkan bahwa lingkungan kerja yang positif dibangun melalui perilaku yang positif
dari anggota maupun dari sistem yang dibuat oleh organisasi, yang kemudian memberi efek
terhadap kemunculan emosi positif di lingkungan kerja.
Performa organisasi yang sangat baik merupakan kondisi yang terutama dibutuhkan
pada sektor-sektor usaha yang berperan besar terhadap perekonomian negara secara
keseluruhan, seperti sektor usaha berskala UMKM atau Unit Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Sejak diresmikan Undang-Undang UMKM pada 2008, sektor ini telah menjadi
salah satu fokus pekerjaan pemerintah hingga saat ini. UMKM mampu menyerap lebih dari
97% total tenaga kerja di seluruh Indonesia, dengan kecenderungan peningkatan setiap
tahunnya (Badan Pusat Statistik, 2010). Angka tersebut menunjukkan betapa kritisnya peran
UMKM dalam mengatasi pengangguran dan membantu peningkatan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Namun persaingan usaha di seluruh dunia saat ini telah memasuki
era persaingan global (Solomon dan Schell, 2009), termasuk di Indonesia. Gempuran unitunit Usaha Besar baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki manajemen lebih maju
dan kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tinggi merupakan salah satu potensi ancaman
1
2
yang dapat menekan keberadaan UMKM sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia.
Sehingga perusahaan-perusahaan berskala UMKM butuh untuk menciptakan dan menjaga
performa terbaik agar dapat bertahan dan tumbuh berkembang.
Restoran merupakan salah satu sektor yang terdapat dalam UMKM. Sektor restoran
memiliki peran penting terhadap perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penyumbang 187
Miliar Rupiah PDB selama 2012 (Badan Pusat Statistik, 2012). Sementara khusus bagi
Provinsi DIY, sektor usaha restoran memegang peran signifikan sebagai penyumbang
terbesar dari pertumbuhan ekonomi DIY pada 2012 lalu, yaitu sebesar 1,39% dari 5,32%
pertumbuhan ekonomi (Badan Pusat Statistik Yogyakarta, 2012). Meskipun berperan
penting, di sisi lain sesungguhnya usaha-usaha restoran di DIY sedang berada dalam
persaingan yang sangat ketat. Persaingan tersebut membuat banyak usaha restoran yang
muncul dan berkembang. Namun masalah yang jauh lebih sulit terlihat adalah, banyaknya
usaha restoran di Yogyakarta “jalan di tempat” atau sulit untuk berkembang. Data
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2010) menunjukkan pertumbuhan usaha restoran
di Yogyakarta sangat lambat, dengan hanya 52 unit usaha restoran berskala menengah, dan
pertumbuhan rata-rata 6 restoran berskala menengah saja setiap tahunnya. Jauh dibanding
provinsi terdekat seperti Jawa Timur (231 unit usaha, rata-rata 29 pertumbuhan setiap
tahun), Jawa Barat (286 unit usaha, rata-rata 51 pertumbuhan), Jakarta (1.359 unit usaha,
rata-rata 213 pertumbuhan) dan Bali (225 unit usaha, rata-rata 36 pertumbuhan). Angka ini
menunjukkan banyak usaha restoran di Yogyakarta yang tidak mengalami pertumbuhan dan
perkembangan berarti. Banyak usaha kecil sulit untuk “naik kelas” menjadi usaha restoran
berskala menengah, kemudian besar. Sementara persaingan dari luar daerah, usaha-usaha
restoran berskala menengah dan besar yang memiliki kantor utama di luar Provinsi DIY dan
membuka cabang di DIY, dapat diamati justru semakin ramai. Analisis statistik ekonomi
tersebut dapat menjadi indikasi bahwa usaha-usaha restoran di DIY belum memiliki
lingkungan kerja positif yang dapat membuat performa perusahaan berada di atas rata-rata.
3
Masalah pengelolaan Sumber Daya Manusia sangat mungkin menjadi faktor yang
signifikan terhadap belum optimal-nya performa restoran-restoran di Yogyakarta. Sumber
daya manusia dan pengelolaannya merupakan salah satu kunci penting yang dapat
mempengaruhi performa dan menciptakan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi
perusahaan (sustainable competitive advantage) (SHRM, 2008; Becker & Gerhart, 1996).
Bagi perusahaan restoran, kepuasan pelanggan (customer satisfaction) melalui pelayanan
pelanggan (customer service) yang terbaik merupakan salah satu aspek dari keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan dan menjadi tolak ukur dari performa sebuah restoran (Smith,
1996). Keunggulan kompetitif yang berkelanjutan tersebut didapatkan melalui penentuan
strategi yang tepat, dan implementasi yang efektif (Schermerhorn Jr., 2011). Pada
perusahaan restoran, serangkaian penelitian berkualitas menunjukkan, performa karyawan
memiliki peran yang sangat signifikan terhadap kepuasan pelanggan secara keseluruhan
melalui pelayanan pelanggan yang diberikan (Susskind, 2002; Andaleeb & Conway, 2006;
Susskind, Kacmar & Borchgrevink, 2007; Wall & Berry, 2007; Kim, Ng & Kim, 2009; Walter,
Edvardsson & Ostrom, 2010; He, Li & Lai, 2011; Markovic, Raspor & Dorcic, 2011; Parsa,
Gregory, Self & Dutta, 2012; Ryu, Lee & Kim, 2012 ). Hal ini berarti dibutuhkan karyawan
yang engaged; yaitu termotivasi, berkomitmen pada performa terbaik, dan berkomitmen pada
pelanggan untuk menciptakan keunggulan kompetitif berkelanjutan melalui pelayanan
pelanggan. Secara singkat, lingkungan kerja yang positif dibutuhkan untuk dapat memiliki
karyawan dengan semangat, dedikasi dan fokus untuk memberikan pelayanan pelanggan
yang selalu prima.
Karyawan yang engaged atau engaged employee adalah karyawan yang memiliki
work engagement: semangat tinggi dalam bekerja, berdedikasi terhadap pekerjaan, dan
mereka bekerja dengan sangat fokus hingga bisa lupa waktu (Bakker dan Demerouti, 2008).
Work engagement merupakan salah satu bentuk penerapan psikologi positif di lingkungan
kerja (Lewis, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang engaged dalam
4
pekerjaannya membawa dampak positif yang signifikan terhadap performa perusahaan
secara langsung. Ini karena secara umum, karyawan yang engaged mengerjakan tugastugasnya dengan sangat baik, dan bekerja ekstra meskipun tidak terkait langsung dengan
perannya dalam perusahaan (Bakker, Demerouti dan Verbeke, 2004).
Salah satu temuan manfaat dari work engagement yang paling awal, menunjukkan
bahwa engagement berperan besar menekan job demands, yang merupakan faktor utama
burnout (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004; Schaufeli, Salanova,
Gonzales – Nova, Bakker, 2002). Fungsi mediasi ini merupakan salah satu yang paling
populer, sebab burnout memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap performa karyawan
dan organisasi, seperti penurunan kualitas kesehatan fisik dan emosi karyawan. Dampak
engagement lainnya yaitu memiliki korelasi negatif terhadap intensi karyawan untuk keluar
dari organisasi (Schaufeli & Bakker, 2004). Studi oleh Saks (2006) menemukan bahwa
engagement menjadi prediktor adanya kepuasan kerja (satisfaction), komitmen terhadap
organisasi (organizational commitment), organizational citizenship behavior, serta memiliki
korelasi negatif terhadap intensi karyawan untuk keluar dari organisasi. Studi lainnya oleh
Babcock-Roberson & Strickland (2010) memperkuat temuan Saks (2006) yang menunjukkan
bahwa engagement berperan sebagai prediktor meningkatnya organizational citizenship
behavior. Organizational citizenship behavior memberi pengaruh positif terhadap performa
organisasi karena berfungsi sebagai penjaga kestabilan sistem sosial dalam organisasi
(Organ, 1997 dalam Babcock-Roberson & Strickland, 2010). Salah satu temuan paling
terbaru oleh Chugtai & Buckley (2011) menunjukkan bahwa work engagement meningkatkan
learning goal orientation, yang akan membuat karyawan bekerja dengan orientasi untuk
mendapatkan pembelajaran agar dapat meningkatkan kompetensi mereka. Learning goal
orientation kemudian meningkatkan in-role job performance dan menstimulasi perilaku kerja
inovatif (innovative work behavior) karyawan. Mereka juga berorientasi pada pembelajaran
goal perusahaan, inovatif, berkomitmen terhadap perusahaan dan memanfaatkan waktu
5
dengan produktif (Chugtai dan Buckley, 2011; Babcock-Roberson dan Strickland, 2010; Ellis
dan Sorensen, 2007).
Mungkin yang paling menarik untuk diamati adalah studi-studi yang dilakukan oleh
Harter, Schmidt & Hayes (2002), serta studi oleh beberapa organisasi konsultan bisnis dan
SDM berskala global, yaitu Towers Perrin (kini Towers Watson, 2003) dan Sibson Consulting
(Ellis & Sorensen, 2007). Selain studi yang mereka lakukan melibatkan karyawan dalam
skala yang sangat besar, mereka tidak hanya melihat dampak langsung engagement pada
tingkatan individu karyawan, namun hingga pada tingkatan unit bisnis. Studi Harter, dkk.
(2002) melibatkan 198.514 karyawan dalam 7.939 unit bisnis. Mereka menemukan bahwa
unit-unit bisnis yang tersusun dari karyawan yang engaged akan memberi peningkatan
signifikan terhadap tingkat kepuasan dan loyalitas konsumen, angka penjualan dan
produktifitas, sementara di sisi lain mempengaruhi penurunan tingkat turnover dan angka
kecelakaan kerja. Studi lainnya oleh Towers Perrin (2003) menemukan bahwa engagement
secara eksklusif memberi pengaruh terhadap komponen-komponen kunci yang menentukan
kesehatan finansial organisasi, yaitu (1) revenue growth atau pertumbuhan pendapatan, (2)
cost of goods sold (COGS) atau biaya produksi, dan (3) sales, general and administrative
expenses (SG&A). Sebelumnya, engagement berpengaruh signifikan terhadap customer
focus, yang berarti semakin engaged karyawan, semakin mereka akan menempatkan
pelayanan dan kepuasan konsumen sebagai fokus utama dari pekerjaan.
Temuan lain oleh Towers Perrin (2003) juga memperkuat adanya hubungan negatif
antara engagement dengan turnover. Menariknya, Towers Perrin (2003) menemukan bahwa
sekitar 50% karyawan yang berada pada tingkatan moderately engaged dan disengaged
menyatakan “I am not looking for another job, but would consider the right opportunity” yang
berarti karyawan tersebut tidak secara aktif mencari pekerjaan lain, namun akan
memanfaatkan jika ada kesempatan yang datang. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebagian organisasi sedang mempertahankan karyawan-karyawan yang tidak produktif,
6
memiliki sikap dan perilaku yang buruk terhadap organisasi. Studi yang lebih baru oleh
Sibson (Ellis & Sorensen, 2007) ikut memperkuat temuan sebelumnya tentang hubungan
negatif antara engagement dan turnover. Kemudian mereka juga menemukan bahwa
engagement dapat mendorong produktifitas, melalui data yang memperlihatkan bahwa
karyawan yang engaged memanfaatkan lebih dari 75% waktu kerjanya untuk melakukan halhal yang produktif. Temuan-temuan tersebut di atas semakin memperjelas peran work
engagement terhadap peningkatan performa yang nyata bagi perusahaan, termasuk
restoran.
Sementara langkah wawancara yang penulis lakukan terhadap tiga manajemen
restoran, yaitu Waroeng SS, Pelem Golek dan Waroeng Steak and Shake, menemukan
bahwa turnover menjadi salah satu masalah utama yang menjadi tolak ukur work
engagement pada karyawan restoran. Perwakilan manajemen restoran Waroeng SS
mengakui, tingkat perputaran karyawan pada setiap cabang Waroeng SS tergolong tinggi.
Setiap bulannya selalu ada karyawan restoran yang mengundurkan diri dari pekerjaan,
terutama karyawan-karyawan dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Hal ini membuat
kegiatan rekrutmen dan seleksi menjadi proses yang sangat aktif dilakukan oleh departemen
SDM setiap bulannya. Menurut perwakilan manajemen Waroeng SS, di tengah program
ekspansi besar yang sedang dilaksanakan serta tingginya tingkat okupansi restoran setiap
harinya, jumlah tenaga kerja yang mencukupi merupakan satu kondisi ideal yang sangat
dibutuhkan. Sementara proses rekrutmen, seleksi serta pelatihan terus mengeluarkan biaya
yang dianggap cukup tinggi.
Manajemen restoran Pelem Golek dan Waroeng Steak and Shake pun menyatakan
hal yang serupa. Pada restoran Pelem Golek, fenomena turnover pernah menjadi masalah
yang sangat merugikan pada beberapa bulan yang lalu, meskipun kini dirasa cukup
membaik. Namun Kepala Bagian Operasional, Lya Wagner, menyatakan bahwa penurunan
performa dan motivasi karyawan menjadi masalah baru yang sedang dihadapi oleh restoran
7
Pelem Golek saat ini. Masalah ini menjadi salah satu penghambat di tengah rencana
ekspansi dan peningkatan “kelas” restoran yang sedang dicanangkan. Begitu pun dengan
Waroeng Steak and Shake, Kepala Departemen HRD Bapak Syamsuri mengakui, tingkat
keluar – masuk karyawan setiap bulannya dianggap sangat tinggi. Proses rekrutmen yang
dilakukan secara tertutup juga membutuhkan biaya tinggi karena manajemen secara aktif
bergerak mencari calon karyawan, bukan sebaliknya. Namun proses tersebut akan terus
dipertahankan karena sudah menjadi bagian dari visi dan misi Waroeng Steak and Shake.
Hasil wawancara terbuka terhadap tiga manajemen restoran tersebut dapat menjadi indikasi
rendahnya tingkat work engagement pada karyawan restoran, dan kondisi tersebut butuh
untuk dicermati secara lebih mendalam.
Karyawan yang engaged dalam pekerjaannya dipengaruhi oleh dua aspek utama,
yaitu job resources dan personal resources. Job resources merupakan aspek-aspek fisik,
sosial atau organisasional dari pekerjaan yang bisa mengurangi beban yang dibutuhkan
untuk bekerja (job demands), baik beban fisiologis maupun mental; berfungsi sebagai alat
untuk mencapai tujuan pekerjaan (goal) dan mampu menstimulasi proses belajar dan
pengembangan diri bagi karyawan (Bakker & Demerouti, 2007; Schaufeli & Bakker, 2004).
Sementara personal resources adalah aspek-aspek yang berasal dari karakter individu.
Hobfoll (2003, dalam Bakker dan Demerouti, 2008) mendefinisikan personal resources
sebagai perasaan mampu seseorang untuk dapat mengontrol dan memberi dampak
terhadap lingkungan mereka yang di dapat melalui evaluasi diri yang positif, seperti selfefficacy atau evaluasi terhadap kemampuan diri untuk melakukan sesuatu (Bandura, 1997).
Sehingga untuk dapat meningkatkan engagement karyawan dalam pekerjaannya, dapat
dikembangkan melalui dua aspek yang saling terkait tersebut.
Meskipun karyawan yang engaged bisa memegang peran positif bagi restoran,
faktanya, untuk membuat karyawan engaged bagi restoran berskala UMKM bukan perkara
mudah. Sebab tidak hanya restoran, namun pada umumnya usaha berskala kecil dan
8
menengah memiliki keterbatasan pada sisi keuangan dan manajemen (Megginson, Byrd dan
Megginson, 2006). Tidak semua restoran berskala UMKM dapat memiliki manajemen yang
profesional. Selain struktur organisasinya yang tidak luas, keberadaan departemen yang
berfungsi sebagai pengembangan sumber daya manusia atau HR membutuhkan biaya yang
tidak murah. Tidak jarang jika pada berbagai restoran berskala kecil – menengah, posisi
manager dan owner masih dipegang oleh orang yang sama. Hal tersebut membuat
perusahaan rentan terhadap pengambilan keputusan yang buruk (Megginson, Byrd dan
Megginson, 2006). Sementara itu, keterbatasan juga mempengaruhi proses rekrutmen dan
seleksi karyawan restoran. Sangat mungkin jika tidak seluruh restoran mampu untuk
melakukan rekrutmen dan seleksi dengan langkah yang tepat untuk dapat menyaring caloncalon karyawan dengan kualitas terbaik, terutama pada restoran berskala menengah ke
bawah.
Jika ditinjau dari pekerjaan karyawan garis depan restoran, wawancara yang penulis
lakukan terhadap perwakilan dari 3 manajemen restoran menjelaskan bahwa karyawan garis
depan restoran secara teknis bertanggungjawab terhadap seluruh proses interaksi dengan
pelanggan. Mulai dari pelanggan pertama kali datang, memesan makanan, makan, hingga
meninggalkan restoran. Namun lebih dari itu, karyawan garis depan juga bertanggungjawab
terhadap standar yang ditetapkan restoran untuk menciptakan kesan yang baik kepada
pelanggan mereka. Seperti menjaga standar Senyum, Salam, Sapa (3S), menjaga
kebersihan diri dan lingkungan kerja, serta menjadi karyawan yang aktif memperhatikan
kebutuhan pelanggan. Terlebih pada restoran Pelem Golek, menjaga tanggungjawab utama
dengan sangat baik menjadi tujuan yang sangat diutamakan, karena restoran sering
kedatangan pelanggan-pelanggan penting seperti pejabat pemerintahan hingga manajemen
perusahaan besar. Hal tersebut membuat kesan yang diciptakan karyawan restoran terhadap
pelanggan menjadi nilai yang sangat penting. Bagi manajemen restoran, syarat-syarat umum
seperti tingkat pendidikan dan pengalaman masih menjadi tolak ukur dalam mengiklankan
9
lowongan pekerjaan karyawan restoran. Namun lebih jauh, karyawan dengan keinginan
belajar yang tinggi, berani bekerja keras, jujur dan adaptif merupakan karakter kunci yang
dianggap manajemen restoran akan mampu untuk menjalankan seluruh tanggungjawab
pelayanan pelanggan dengan baik, bahkan lebih baik.
Tanggungjawab terhadap kualitas pelayanan pelanggan tidak hanya kewajiban bagi
satu orang karyawan, namun menjadi tugas bagi keseluruhan tim karyawan garis depan
restoran. Hasil wawancara penulis terhadap 3 manajemen restoran tentang kerja tim
menyebutkan bahwa tim karyawan garis depan yang kompak merupakan kunci untuk
membuat tugas pelayanan pelanggan dapat dikerjakan dengan mudah. Pekerjaan pelayanan
pelanggan tersusun dari banyak sekali aktivitas dalam waktu yang hampir bersamaan.
Menurut perwakilan manajemen Waroeng Spesial Sambal, sangat sulit untuk melayani
berbagai permintaan pelanggan jika tim waiter/waitress tidak dapat berkomunikasi dengan
baik, serta berbagi tanggungjawab secara adil. Tim kerja yang memiliki hubungan erat baik
secara pribadi maupun profesional sangat dibutuhkan. Perwakilan manajemen Waroeng
Spesial Sambal menyebutnya sebagai iklim kerjasama yang “kekeluargaan”.
Hasil wawancara terhadap 3 manajemen restoran tersebut di atas menunjukkan
bahwa karyawan yang bekerja keras, serta kerjasama tim yang baik menjadi hal yang bisa
sangat menentukan kualitas pelayanan pelanggan restoran. Karyawan yang bekerja keras
menjaga tujuan mereka dalam bekerja merupakan ciri dari karyawan dengan evaluasi diri
yang positif (Judge, dkk., 2005). Mereka merupakan salah satu bentuk sumber daya pribadi
(personal resources). Sementara kerjasama tim yang baik merupakan indikator keluaran
adanya tim dengan anggota yang mampu saling mendukung dalam menjalankan
tanggungjawab pekerjaan. Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk lingkungan kerja
yang fasilitatif. Jika Bakker & Demerouti (2008) menyatakan bahwa, dibutuhkan lingkungan
kerja yang fasilitatif (job resources) dan orang-orang dengan kemampuan evaluasi diri positif
yang baik (personal resources) untuk mendorong semangat, dedikasi dan fokus karyawan
10
dalam bekerja (work engagement), maka dapat disimpulkan bahwa saat ini usaha restoran
berskala kecil – menengah di Yogyakarta tidak memiliki cukup sumber daya: job dan
personal resources, untuk dapat memiliki lingkungan kerja yang positif, kemudian performa
restoran yang menguntungkan.
Bagaimanapun, kesimpulan tersebut di atas belum dapat dipertanggungjawabkan
secara empirik. Untuk itu, penelitian ini akan mencoba untuk memahami bagaimana
kemampuan evaluasi diri seseorang (efikasi diri) sebagai personal resources, dapat
mempengaruhi terciptanya work engagement. Hal ini karena karyawan yang memiliki
evaluasi diri positif terhadap kemampuan dirinya dalam menjaga performa pelayanan
pelanggan di restoran memegang peran penting terhadap kualitas pelayanan pelanggan itu
sendiri. Kemudian penulis akan memahami bagaimana dukungan rekan kerja, sebagai salah
satu job resources, dapat mempengaruhi work engagement. Hal ini tidak terlepas dari
kenyataan bahwa karyawan restoran selalu bekerja dalam tim, atau setidaknya terdapat
banyak orang pada posisi yang sama dengan tanggungjawab yang sama, yang secara logis
menunjukkan bahwa diperlukan tim karyawan yang saling mendukung untuk menciptakan
performa pelayanan restoran yang prima.
Penelitian ini bisa menempati posisi yang sangat strategis. Sebab, penelitian ini akan
melengkapi berbagai penelitian tentang work engagement yang masih cukup sedikit, namun
sedang giat berkembang. Hal yang lebih penting adalah, penelitian ini akan memberi
gambaran mengenai kondisi karyawan di salah satu industri yang paling berperan besar bagi
perekonomian Yogyakarta, yaitu industri restoran. Sehingga dapat menyumbang informasi
penting yang dibutuhkan oleh pemerintah, maupun pengusaha, dalam mengambil keputusan
terkait strategi bisnis dan pengelolaan sumber daya manusia restoran di Yogyakarta
11
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah efikasi diri dan dukungan rekan kerja
dapat memiliki kontribusi terhadap work engagement pada karyawan restoran di Yogyakarta,
dan kemudian memahami seberapa besar peran efikasi diri dan dukungan rekan kerja
mampu menjadi faktor pendorong work engagement karyawan restoran.
C. Manfaat Penelitian
Secara garis besar penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat dalam dua hal,
yaitu
1.
Manfaat Teoritik. Yaitu penelitian ini diharapkan akan memberi sumbangan penting
terhadap ilmu Psikologi, bertema psikologi positif dalam bidang Industri/Organisasi,
terutama mengenai topik work engagement yang sedang berkembang pesat saat ini.
Penelitian ini diharapkan akan menambah pemahaman mengenai faktor-faktor work
engagement, khususnya pada industri-industri pelayanan seperti restoran. Kemudian
yang sangat penting adalah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi model untuk
penelitian-penelitian selanjutnya dalam memahami work engagement, sebab topik ini
memiliki manfaat yang sangat besar tidak hanya bagi organisasi, namun para
anggotanya sebagai manusia.
2.
Manfaat Praktis. Yaitu penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi yang
berguna bagi pemerintah, Kementrian Budaya dan Pariwisata, Instansi pengelola
Sumber Daya Manusia, dan yang terpenting yaitu bagi para pengusaha restoran di
Yogyakarta. Temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak
tersebut di atas dalam mengambil keputusan strategis terkait pengembangan ekonomi di
Indonesia, khususnya dalam strategi bisnis dan pengelolaan sumber daya manusia
usaha restoran di Yogyakarta.
Download