BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diera

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Diera globalisasi perkembangan teknologi berkembang sangat pesat, hal
ini berakibat juga dengan perkembangan bisnis yang saat ini sudah tidak
mengenal batas antara negara. Adanya kegiatan bisnis tidak dapat dilepaskan
dengan laporan keuangan, dan semakin kompleks suatu kegiatan bisnis maka
berakibat juga dengan semakin kompleks juga laporan keuangan yang akan
dihasilkan. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan adanya audit laporan keuangan
yang dilakukan oleh akuntan publik menjadi kebutuhan primer perusahaan
sebagai pedoman dalam mengambil suatu kebijakan.
Pada dasarnya profesi seorang akuntan publik merupakan suatu profesi
yang memberikan kepercayaan kepada pengguna jasa akuntansi yaitu klien bahwa
dalam penyajian laporan keuangan telah disajikan secara akurat dan sesuai dengan
aturan yang berlaku atau dalam laporan keuangan tersebut tidak terdapat salah
saji.
Prosedur dalam menganalisa laporan keuangan, seorang auditor dituntut
untuk tidak langsung mempercayai bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh
klien terbebas dari salah saji. Auditor merupakan sebuah profesi yang selalu
dituntut untuk melaksanakan segala penugasan audit sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan dan selalu menjunjung tinggi etika, kaidah moral. Hal tersebut
bertujuan menjaga kualitas audit dan pencitraan profesi seorang akuntan publik.
Dalam proses audit hasil akhir yang diberikan oleh auditor adalah pemberian
opini atas laporan keuangan yang disajikan oleh klien. Opini yang diberikan
merupakan suatu opini akuntan yang diberikan dengan segala keseuaiian yang
telah ditetapkan dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), hal ini
bertujuan agar
laporan audit yang dihasilkan
tidak menyesatkan para
penggunanya. Seorang akuntan publik dalam memberikan sebuah opini audit
harus didukung oleh bukti audit yang kompeten, dimana dalam pengumpulan
bukti audit, seorang auditor atau akuntan publik diwajibkan untuk menggunakan
skeptisme profesionalnya.
Skeptisme profesional merupakan sikap yang meliputi pemikiran seorang
auditor yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi bukti audit secara
kritis. Pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan wajib dimiliki oleh seorang
akuntan publik dalam melaksanakan penugasan audit dengan cermat dan seksama,
dengan tujuan yang baik dan integritas, serta pengumpulan dan penilaiaan bukti
audit secara objektif. Pengumpulan dan penilaiian bukti secara objektif
mengharuskan seorang akuntan publik untuk mempertimbangkan kompetensi dan
kecukupan bukti audit. Oleh sebab itu, bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama
penugasan audit. Dalam melakukan penugasan audit, seorang akuntan publik
harus menggunakan skeptisme profesionalnya agar hasil audit atas laporan
keuangan dapat dipercaya dan dipertanggung jawabakan.
Suraida (2005) memaparkan bahwa pelaksanaan praktik jasa auditing yang
dilakukan oleh Akuntan Publik, sebagian masyarakat masih ada
ada yang
meragukan tingkat skeptisme profesional yang dimiliki oleh para auditor Kantor
Akuntan Publik (KAP) yang selanjutnya berdampak pada keraguan masyarakat
terhadap pemberian opini Akuntan Publik.
Hal ini dibuktikan oleh berbagai
skandal manipulasi laporan keuangan yang telah terjadi.
Skandal akuntansi telah berkembang secara luas, seperti halnya di
Amerika Serikat. USA kecurangan dalam praktek akuntansi yang terjadi di Enron
mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Dampak dari kecurangan tersebut
sangat luas dan merugikan banyak pihak. Skandal akuntansi yang terjadi
diperkirakan menimbulkan kerugian bagi Enron sebesar US$50 miliar, dan
kerugian yang ditanggung oleh investor sebesar US$32 miliar serta kerugian
yang harus ditanggung oleh ribuan pegawai Enron yaitu kehilangan dana pensiun
mereka sekitar US$1 miliar.
Selain USA, Australia juga tidak terlepas dari skandal akuntansi (Brennan
dan McGrath, 2007). Pada kasus HIH yang merupakan salah satu kegagalan bisnis
terbesar dalam sejarah Australia, salah saji pada aset tidak diungkapkan oleh
Arthur Andersen (seorang akutan publik) dalam jurnal penyesuaian akhir tahun,
oleh sebab itu salah saji tersebut tidak dipaparkan dalam penilaian atas kebenaran
dan fairness pada laporan keuangan. Skandal manipulasi laporan keuangan yang
lain terjadi pada National Australia Bank. Skandal ini berawal ketika terdapat
pihak staff yang menyembunyikan adanya kerugian foreign-exchange trading
melalui transaksi yang keliru dan manipulasi sistem yang tidak terdeteksi oleh
auditor eksternal (Akuntan Publik). Hal tersebut berakibat pada laporan keuangan
yang dihasilkan memberikan kontribusi informasi yang menyesatkan.
Indonesia sebagai negara dengan kondisi ekonomi yang belum stabil juga
mendapatkan imbas dari wabah meluasnya kasus skandal akuntasi. Tercatat pada
tahun 2011 skor Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) adalah 3.0
dan menempati posisi 100 dari 183 negara yang diukur tingkat korupsinya
(Transparancy International, 2011). Maraknya skandal kecurangan akuntansi di
Indonesia dibuktikan dengan adanya likuidasi beberapa bank, adanya pengajuan
manajemen BUMN dan swasta ke pengadilan, kasus kejahatan perbankan,
manipulasi pajak, korupsi di komisi penyelenggara pemilu, dan DPRD (Soselisa
dan Mukhlasin, 2008).
Pada tahun 2001, tercatat skandal keuangan di perusahaan publik yang
melibatkan manipulasi laporan keuangan oleh PT Lippo Tbk dan PT Kimia Farma
Tbk (Boediono, 2005). PT Kimia Farma adalah sebuah BUMN yang sahamnya
telah diperdagangkan di bursa sehingga menjadi perusahaan publik. Berdasarkan
indikasi oleh Kementerian BUMN dan pemeriksaan Bapepam (Bapepam, 2002)
ditemukan adanya salah saji dalam laporan keuangan yang mengakibatkan lebih
saji (overstatement) laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001
sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3 % dari penjualan dan 24,7% dari laba
bersih. Salah saji ini terjadi dengan cara melebih sajikan angka penjualan dan
persediaan pada 3 unit usaha, dan dilakukan dengan menggelembungkan harga
persediaan yang telah diotorisasi oleh direktur produksi untuk menentukan nilai
persediaan pada unit distribusi PT Kimia Farma per 31 Desember 2001
(Bapepam, 2002).
Selain itu, manajemen PT Kimia Farma juga melakukan
pencatatan ganda atas penjualan pada 2 unit usaha yang dilakukan pada unit-unit
yang tidak disampling oleh auditor eksternal (Koroy n.d.). Sehingga dilakukan
audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan
kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada
laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56
miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang
dilaporkan.
Hal tersebut sangat mencoreng citra seorang akuntan publik. Hendaknya
seorang akuntan publik dalam melakukan pengumpulan dan penilaiaan bukti audit
harus dilakukan secara objektif dan mempertimbangkan kompetensi dan
kelayakan bukti audit. Standar Profesional Akuntan Publik 2011 Seksi 210
menyatakan bahwa
“Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang
memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.” Standar
umum pertama ini menegaskan bahwa keahlian dan pelatihan teknis sangat
penting bagi auditor. Hal ini diperjelas kembali pada Seksi 130: 1 point a yang
menyatakan bahwa
memelihara pengetahuan dan keahlian profesional yang
dibutuhkan untuk menjamin pemberian jasa profeional yang kompeten kepada
klien atau pemberi kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal,
pelatihan dan kompetensi dalam menilai bukti sangat berpengaruh terhadap sikap
skeptisme profesional seorang akuntan publik. Tingkat skeptisme profesional
seorang auditor ditentukan oleh tingkat kompetensi yang dimiliki oleh auditor.
Semakin tinggi kompetesnsi seorang auditor maka semakin tinggi pula skeptisme
profesional auditor tersebut, dan sebaliknya semakin rendah tingkat kompetensi
seorang auditor maka skeptisme profesional yang diberikan aleh auditor tersebut
juga rendah.
Keahlian seorang auditor dapat diperoleh dari pendidikan secara formal,
melalui pelatihan-pelatihan dan yang tidak kalah penting keahlian seorang auditor
dipengaruhi juga oleh pengalaman auditor itu sendiri. Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 mengatur bahwa untuk menjadi seorang
akuntan publik maka akuntan tersebut harus berpengalaman praktik di bidang
audit umum atas laporan keuangan paling sedikit 1000(seribu) jam dalam 5 (lima)
tahun terakhir dan paling seidkit 500 (lima ratus) jam diantaranya memimpin
dan/atau
mensupervisi
perikatan
audit
umum,
yang
disahkan
oleh
Pemimpin/Pemimpin Rekan KAP. Pengalaman mencerminkan keahlian seorang
akuntan publik, hal ini dijelaskan bahwa auditor yang telah lama dan sering
melakukan penugasan audit maka dapat dipastikan auditor tersebut secara tidak
langsung akan lebih memiliki pengetahuan yang lebih terhadap situasi yang dapat
menyebabkan kecurangan atau kekliruan sehingga menjadikan auditor lebih
waspada terhadap bukti-bukti atas laporan keuangan. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengalaman auditor akan memengaruhi skeptisme auditor
dalam mengevaluasi bukti-bukti audit.
Risiko audit juga menjadi faktor yang memengaruhi auditor untuk
bersikap lebih kritis atau dengan kata lain lebih meningkatkan skeptisme
profesionalnya dalam melaksanakan penugasan audit. Hal ini dijelaskan oleh
Suraida (2005) bahwa risiko audit memiliki pengaruh yang besar terhadap
skeptisme profesional hal ini disebabkan karena auditor nampaknya takut terhadap
risiko audit yang akan ditanggung jika kelak terjadi kesalahan dalam melakukan
audit. Penilaiaan risiko terhadap bukti auidt, dan kecurigaan dari bukti audit dapat
ditingkatkan melalui skeptisme profesional. Risiko audit dapat ditemui dalam
berbagai situasi audit diantaranya: (1) Related party transaction; (2) client
misstate; (3) kualitas komunikasi; (4) initial audit; (5) klien bermasalah.
Quadackers (2008) dalam Setyowati (2011) menyatakan bahwa dianatara
karakteristik skeptikal yang diteliti, interpersonal trust menunjukkan kekuatan
penjelasan yang paling tinggi dalam memprediksi pertimbangan dan keputusan
skeptikal yang dibuat oleh auditor. Sikap kritis seorang auditor yang ditunjukkan
dalam sikap skeptisme profesional merupakan sikap yang berhubungan dengan
tingkat kepercayaan auditor terhadap bukti-bukti yang dikumpulkan selama proses
audit. Interpersonal trust seorang auditor akan berubah seiring jalannya proses
auditor, hal ini tampak kepercayaan auditor dapat bertambah atau dapat berkurang
sejalan dengan proses audit yang dilaksanakan.
Quadackers (2008) dalam Setyowati (2011)
menyatakan bahwa
suspension of judgment merupakan salah satu karakteristik utama dari sikap
skeptis. Suspension of judgment merupakan pengguhan pertimbangan seorang
auditor untuk memberikan opininya sebelum auditor merasa bahwa bukti-bukti
dan segala pendukung pemberian opini telah dirasa cukup. Menurut Quadackers
(2008) dalam Setyowati (2011) menjelaskan bahwa skeptisme profesional auditor
dapat dipengaruhi dengan dua cara. Pertama, skeptisme profesional dapat
meningkatkan penilaiaan auditor terhadap risiko dari salah saji material dan
kepekaan dalam pemilihan sumber bukti serta luas bukti yang diperlukan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skeptisme
profeional sangatlah dibutuhkan dalam melaksanakan tugas audit dengan tujuan
pemberian opini yang berkualitas. Segala hal yang dapat memengaruhi tingkat
skeptisme profesional seorang akuntan publik perlu diperhatikan agar dalam
pelaksanaan audit seorang auditor dapat dengan mudah menyelesaikan tugasnya.
Penelitian ini dilakukan diwilayah Surabaya, hal ini dilakukan atas sebuah
anggapan bahwa kota Surabaya merupakan kota yang representatif sebagai lokasi
penelitian. Surabaya memiliki cukup banyak KAP dan banyak perusahaan
menengah keatas yang menggunakan jasa akuntan publik untuk menilai kualitas
laporan keuangan yang disajikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka
permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah kompetensi berpengaruh terhadap skeptisme professional auditor ?
2. Apakah pengalaman audit berpengaruh terhadap skeptisme professional
auditor?
3. Apakah risiko audit berpengaruh terhadap skeptisme professional auditor ?
4. Apakah interpersonal trust berpengaruh terhadap skeptisme professional
auditor?
5. Apakah suspension of judgment berpengaruh terhadap skeptime professional
auditor ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bukti secara
empiris bahwa kompetensi, pengalaman audit, risiko audit, interpersonal trust dan
suspension of judgment memengaruhi skeptisme professional auditor
1.4 Manfaat Penelitian
1.
Kontribusi Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh auditor, investor dan kreditur
sebagai
gambaran
dan
pengetahuan
mengenai
faktor-faktor
yang
memengaruhi skeptisme professional seorang auditor. Selain itu dapat pula
digunakan oleh auditor sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas audit
untuk selalu meningkatkan skeptisme profesionalnya agar menghasilkan opini
audit yang berkualitas.
2.
Kontribusi Teoretis
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
wawasan
mengenai
perkembangan akuntansi serta hal-hal yang berkaitan dengan skeptisme
professional auditor
3.
Kontribusi Kebijakan
Diharapkan dari penelitian ini, organisasi akuntan publik mendapatkan
manfaat berupa masukan agar dapat meningkatkan skeptisme professional
auditor untuk meningkatkan kualitas opini audit.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Analisa yang dilakukan pada penelitian ini hanya untuk mengetahui
apakah kompetensi, pengalam audit, risiko audit, interpersonal trust, supension of
judgment memengaruhi skeptisme professional auditor. Penelitian ini berkaitan
dengan pembahasan menggunakan variabel penelitian yang kemudian akan
digunakan sebagai dasar dalam analisis tersebut.
Download