BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasar Modal Pengertian Pasar Modal menurut undang-undang tentang pasar modal nomor 8 tahun 1995 adalah: “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Seorang pemodal dapat melakukan investasi pada aktiva riil seperti membangun pabrik, membuat produk baru atau pada financial assets seperti membeli sertifikat deposito, saham, obligasi, sertifikat reksadana. Pasar modal adalah pasar untuk berbagai sekuritas jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Pasar modal dijumpai pada banyak negara yang menjalankan fungsi ekonomi dan keuangan. Dalam menjalankan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari si pemberi pinjaman (investor) ke si peminjam (emiten). Dengan menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki si pemberi pinjaman, diharapkan akan memperoleh imbalan dari penyerahan dana tersebut. Sebaliknya si peminjam dapat melakukan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Fungsi ekonomi dilakukan dengan menyediakan dana yang diperlukan oleh para peminjam dari si peminjam, tanpa harus terlibat langsung dalam pemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut. 8 9 Pasar modal adalah bagian alamiah dari teori permintaan dan pengadaan dana. Disanallah satu sisi, akan ada pihak yang kekurangan dana (perusahaan go public) dan disisi lain, ada pihak yang kelebihan dana (investor). Mereka bertemu dalam suatu tempat pertukaran yang disebut pasar modal. Investor akan menyerahkan dananya untuk mendapatkan bukti kepemilikan perusahaan, dinyatakan lewat lembaran saham yang diterbitkan oleh perusahaan go public. Sebagai imbalannya, investor akan dapat menikmati keuntungan perusahaan yang akan dibagikan dalam bentuk dividen. Pasar modal sendiri terbagi menjadi dua bagian utama, pasar perdana dan pasar sekunder. Pada pasar perdana, untuk pertama kalinya dana masyarakat ditarik. Di pasar perdana inilah sebuah perusahaan yang akan melakukan go public pertama kali menjual sahamnya (disebut pasar perdana). Masyarakat yang telah membeli saham perdana ini untuk selanjutnya dapat memilih untuk tetap menjadi pemegang saham tersebut, atau menjualnya kepada orang lain melalui pasar sekunder. Inilah pasar yang sesungguhnya, dimana para pialang saham (sebagai wakil dari para investor), bisa menjual dan / atau membeli saham perusahaan yang terdaftar di bursa. Pasar sekunder ini dijalankan mirip dengan sebuah sistem lelang. Pembeli dan penjual dipertemukan secara terus menerus sehingga terjadi transaksi. 2.2 Penjelasan Indeks LQ45 Indeks LQ45 pertama kali diperkenalkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 24 Februari 1997. Seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan indeks 10 sektoral yang lebih dulu dibuat, indeks LQ45 ini pun diciptakan untuk menjadi tolak ukur dalam memantau kecenderungan pasar dan perkembangan harga saham yang diperdagangkan. Seperti diketahui, angka indeks dalam notasi statistik dibuat untuk membandingkan perkembangan suatu kegiatan, apakah itu perkembangan produksi, harga, jumlah penjualan, termasuk tingkat keuntungan. Demikian pula indeks LQ45 ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembanding. Indeks ini terdiri dari 45 saham yang dipilih setelah melalui beberapa kriteria sehingga indeks ini terdiri dari saham-saham yang mempunyai likuiditas yang tinggi dan juga mempertimbangkan kapitalisasi pasar dari saham-saham tersebut. Kriteria pemilihan saham indeks LQ45 : 1. Masuk dalam top 60 dari total transaksi saham di pasar reguler (rata-rata nilai transaksi selama 12 bulan terakhir). 2. Masuk dalam ranking yang didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar (rata-rata kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir). 3. Telah tercatat di BEJ sekurang-kurangnya 3 bulan. 4. Kondisi keuangan perusahaan, prospek pertumbuhan perusahan, frekuensi dan jumlah transaksi di pasar reguler. Evaluasi Indeks dan Pergantian Saham BEJ secara terus menerus memantau perkembangan komponen saham yang masuk dalam perhitungan Indeks LQ45. Setiap 3 bulan, direview pergerakan ranking saham yang masuk dalam perhitungan indeks LQ45. Pergantian saham akan 11 dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu pada setiap awal bulan Februari dan Agustus. Bila ada saham yang tidak memenuhi kriteria, saham tersebut akan dikeluarkan dari perhitungan indeks dan digantikan dengan saham yang memenuhi kriteria. Saham-saham yang masuk dalam kriteria ranking 1-35 dikalkulasikan dengan cepat dalam perhitungan indeks. Sedangkan saham yang masuk pada ranking 36-45 tidak perlu dimasukan dalam perhitungan indeks. Hari Dasar Indeks LQ45 dan Awal Perhitungan (13 Juli 1994-1996). Indeks LQ45 dihitung mundur hingga tanggal 13 Juli 1994 sebagai Hari Dasar, dengan nilai dasar 100. Untuk seleksi awal digunakan data pasar Juli 1993-Juni 1994. Hasilnya, ke-45 saham tersebut meliputi 72% total market kapitalisasi pasar dan 72.5% nilai transaksi di pasar reguler. 2.3 Risiko 2.3.1 Definisi Risiko Investasi Menurut Brigham dan Houston (2004, p170), “Risk is refers to the chance that some unfavorable event will occur (a hazard, a peril, exposure to loss or injury). If you invest in speculative stocks (or really, any stock), you are taking a risk in the hope of making an appreciable return”. Resiko didefinisikan sebagai bahaya, petaka, kemungkinan mengalami kerugian atau kerusakan. Jadi risiko mengacu pada kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak menguntungkan. Jika investasi dilakukan dengan membeli saham spekulatif (atau bahkan setiap jenis saham), maka investor mengambil risiko menderita rugi dengan harapan mendapat untung yang setimpal. 12 Definisi risiko pada umumnya selalu berkonotasi buruk atau negatif. Tetapi menurut Damodaran (2001, p150), “In finance, our definition of risk is both different and broader. Risk, as we see it, refers to the like hood that we will receive a return on an investment that is different from the return we expected to make. Thus, Risk includes not only the bad outcomes, that is, returns are lower than expected, but also good outcomes, that is, returns that are higher than expected”. Risiko tidak selalu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Dalam bidang keuangan, risiko memiliki arti yang berbeda dan lebih luas. Risiko lebih berkaitan dengan kemungkinan untuk mendapatkan imbalan (return) yang tidak sesuai dengan apa yang investor harapkan. Ketika investor mendapatkan imbal hasil yang lebih kecil dari yang diharapkan, atau sebaliknya, maka itulah yang dinamakan risiko. Lebih lanjut dijelaskan bahwa risiko merupakan gabungan dari “bahaya“ dan “peluang” dimana dalam bidang keuangan, kata bahaya diartikan sebagai risiko sedangkan peluang diartikan sebagai imbal hasil. Berikut adalah petikannya : “Risk is a mix of danger, and opportunity. In financial terms, we term the danger to be ‘Risk’ and the opportunity to be ‘Expected Return’. So, in any investment, we will convert the danger into opportunity”. Dengan demikian, dapat dikatakan secara garis besar bahwa risiko investasi terkait dengan kemungkinan mendapatkan tingkat imbal hasil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan – semakin besar tingkat pengembalian yang diharapkan, semakin besar pula risiko yang harus ditanggung. 13 2.3.2 Pengukuran Risiko Dalam aktivitas investasi, baik investasi pada financial assets seperti saham dan obligasi, maupun real assets seperti tanah dan bangunan, pada umumnya mengandung dua hal yang perlu diperitmbangkan , yaitu risiko (risk) dan tingkat imbal hasil (return). Bilamana suatu investasi memiliki risiko, berarti bahwa investasi tersebut tidak dapat memberikan keuntungan yang pasti. Dalam keadaan ini, pemodal (investor) hanya akan mengharapkan untuk dapat memperoleh suatu tingkat imbal hasil tertentu. Risiko (risk) merupakan peyimpangan (deviasi) antara tingkat imbal hasil yang diperoleh terhadap imbal hasil yang diharapkan. Oleh karenanya, dimensi risiko terbagi menjadi dua, yaitu menyimpang lebih kecil atau menyimpang lebih besar. Risiko merupakan variabilitas tingkat imbal hasil realisasi terhadap tingkat imbal hasil yang diharapkan. Risiko diwujudkan dalam bentuk standar deviasi (ukuran penyebaran) yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kemungkinan tingkat imbal hasil yang akan diperoleh menyimpang terhadap tingkat imbal hasil yang diharapkan. Rumusan untuk standar deviasi, adalah : n σ= ∑ (ri − ri) i =1 n −1 Dimana : σ = standar deviasi 2 14 ri = tingkat imbal hasil (return) realisasi pada saham i ri = tingkat rata-rata imbal hasil (return) realisasi pada saham i n = jumlah observasi 2.3.3 Jenis-Jenis Risiko Investasi Keown, Martin, Petty, Scott (2005, p193), “We can divide the total risk in two types of risk : (1) firm-specific or company-unique risk and (2) market-related risk. Company-unique risk might also be called diversifiable risk, because it can be diversified away. This diversifiable risk is the result f factors that are unique to the particular firm. Market risk is nondiversifiable risk; it cannot be eliminated, no matter how much we diversify.” Total risiko dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu : (1) risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi perusahaan dan (2) risiko yang berhubungan dengan pasar. Risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi perusahaan disebut sebagai risiko yang bisa didiversifikasi. Sedangkan risiko pasar adalah risiko yang tidak dapat didiversifikasi; risiko pasar tidak dapat dihilangkan. Bodie, Kane, Marcus (2005, p224), “The risk that remains even after extensive diversification is called market risk, risk that is attributable to marketwide risk sources. Such risk is also called systematic risk, or nondiversifiable risk. In contrast, the risk that can be eliminated by diversification is called unique risk, from specific risk, non systematic risk, or diversifiable risk.” Risiko yang akan selalu ada walaupun dengan adanya diversifikasi disebut sebagai risiko pasar yaitu risiko yang diakibatkan oleh risiko dari pasar. Dengan demikian risiko pasar disebut sebagai 15 risiko sistematis atau risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Sedangkan risiko yang dapat dihilangkan dengan diversifikasi disebut unique risk, disebut juga sebagai risiko spesifik, risiko tidak sistematis, atau risiko yang bisa didiversifikasi. 2.3.4 Beta Coefficient Beta menurut Houston and Brigham (2004, p189) “Beta coefficient, a measure of market risk, which is the extend to which the returns on a given stock move with the stock market”, jadi beta sebagai alat ukur risiko pasar, dimana tingkat pengembaliannya berubah bersama dengan perubahan pasar. Atau dalam Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p199) “Beta, a measure of the relationship between an investment’s return and the market’s returns. This is a measure of the investment’s nondiversifiable risk.” Beta, sebagai alat untuk mengukur hubungan antara tingkat pengembalian investasi dengan tingkat pengembalian pasar, sebagai ukuran risiko sistematis yang tidak dapat didiversifikasi. Menurut Brigham and Gapenski (1997, p165) “The tendendcy of a stock to move up and down with the market is reflected in its beta coefficient, (β)” yang berarti kecenderungan dari naik turunya harga saham seiring keadaan pasar tercermin dari beta coefficient (β). Beta digunakan untuk menghitung bagaimana individual stock’s return dibedakan dari market return. Beta juga mengukur sensitivitas dari individual stock’s return dengan perubahan pasar yang ada. Pengukuran beta dilakukan dengan menggunakan analisa regresi. Dimana beta pasar sama dengan 1, maka secara umum dapat dilihat bahwa : 16 Perusahaan yang memiliki beta = 1 mengindikasikan risiko pasar rata-rata. Harga sahamnya tidak lebih bergejolak ataupun lebih kecil dari risiko pasar yang ada. Perusahaan dengan Beta > 1 mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan dengan risiko pasar (contohnya : perusahaan teknologi). Perusahaan dengan Beta < 1 mempunyai risiko dibawah risiko pasar (contohnya : perusahaan utilities). 2.3.4.1 Metode untuk Menghitung Beta Damodaran (2001, p196-210), Ada tiga pendekatan metode yang dapat digunakan untuk menghitung Beta. Yang pertama, dengan menggunakan data historis harga pasar. Yang kedua, dengan menggunakan analisa fundamental dan yang terakhir, dengan menggunakan data akuntansi. Ketiganya akan dibahas lebih detail berikut ini : 1. Beta Historis (Historical Market Beta) Indeks beta dapat dihitung dengan membandingkan fluktuasi indeks saham individual terhadap fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Garis regresi harus dicari antara indeks saham individual dengan IHSG. Persamaan yang digunakan, merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa dipecahkan dengan rumus regresi, seperti berikut : Rj = alpha + beta ( R m ) + ะต Keterangan : Rj = Return dari saham individual 17 alpha = Intercept dari persamaan garis regresi (intercept from the regression) Beta = Kemiringan dari persamaan garis regresi (slope of the regression) Rm = Return dari saham pasar (IHSG) e = Standard error of the beta estimate. Beta menunjukan kemiringan (slope) garis regresi dan alpha menunjukan intercept dengan sumbu R m . Semakin besar beta, semakin curam kemiringan garis regresi. Penyebaran titik-titik pengamatan di sekitar garis regresi, menunjukan risiko sisi. Semakin menyebar titik-titik tersebut, semakin besar risiko sisanya. 2. Beta Fundamental (Fundamental Beta) Dalam metode ini, beta diukur dengan menggunakan variabel fundamental perusahaan, yaitu : a. Tipe dari bisnis perusahaan (Type of Business or businesses the firm is in) Dengan berasumsi bahwa segala sesuatu adalah tidak berubah (other things remaining equal), perusahaan yang musiman (cyclical firms) akan mempunyai beta yang lebih tinggi/besar dibandingkan dengan perusahaan non-cyclical. Misalnya, perusahaan otomotif akan lebih sensitive terhadap keadaan perekonomian makro. Jika perekonomian sedang membaik, maka penghasilan perusahaan otomotif akan naik, sebaliknya jika perekonomian sedang lesu (resesi) maka penghasilan otomotif akan turun lebih tajam (lebih berisiko) dibanding perusahaan lain yang non-cyclical. Jadi, dapat dikatakan bahwa sektor bisnis perusahaan juga turut mempengaruhi nilai Beta. “Firms 18 whose products are much discretionary to their customers should have higher betas than firms whose products are viewed as necessary or less discretionary”. Perusahaan yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari dianggap memiliki beta yang lebih kecil, karena lebih bersifat defensive terhadap perubahan kondisi perekonomian. (Damodaran, 2001, p202). b. Tingkat Leverage Operasi (The Degree of Operating Leverage of the Firm – DOL) Tingkat leverage operasi (DOL) merupakan fungsi dari struktur modal perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan biaya tetap (fixed cost) dan total biaya (total cost). “A firm that has fixed costs relative to total costs is said to have high operating leverage. A firm with high operating leverage will also have higher variability in operating income than would a firm producing a similar product with low operating leverage. Other things remaining equal, the higher variance in operating income will lead to a higher beta for the firm with the high operating leverage”, Damodaran (2001, p202). Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage operasi yang tinggi menandakan bahwa persentase perubahan laba operasi yang sensitive, sehingga akan meningkatkan nilai Beta. DOL = % Perubahan Laba Operasi % Change in Operating Pr ofit = % Perubahan Penjualan % Change in sales c. Tingkat Leverage Keuangan (The Firm’s Financial Leverage) Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai financial leverage. Semakin besar proporsi hutang semakin besar financial 19 leverage, semakin besar Beta Equity. Berikut merupakan kutipan yang diambil dari Damodaran (2001, p2003), Other things remaining equal, an increase in financial leverage will increase the beta of the equity in a firm. Intuitively, we would expect that the fixed interest payments on debt to result in high net income in good times and negative net income and makes equity investment in the firm riskier”. Rumus matematiknya dinyatakan seperi berikut : Levered Beta = Unlevered Beta x [1 + (1 − tax rate)( Debt / Equity )] Unlevered Beta = Current Beta 1 + (1 − tax rate)( Average Debt / Equity ) Unlevered Beta suatu perusahaan ditentukan oleh sektor dimana bisnis perusahaan beroperasi dan juga ditentukan oleh tingkat operating leverage. Karena unlevered beta ditentukan oleh aset perusahaan, maka seringkali disebut juga Assets Beta. Sedangkan, Levered Beta seringkali disebut juga sebagai Equity Beta, karena levered beta ditentukan oleh risiko dimana perusahaan beroperasi dan juga tingkat financial leverage. 3. Beta Akuntansi (Accounting Beta). Jika beta historis mencari garis regresi linier antara indeks saham individual dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maka Beta Akuntansi mencari garis regresi linier antara laba akuntasi perusahaan (accounting earnings) dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Beta akuntansi memfokuskan kepada perubahan laba akuntansi (changes in earnings at a division or a firm) yang terjadi di setiap divisi atau di perusahaan, baik secara triwulanan atau tahunan, 20 lalu dibandingkan dengan perubahan pendapatan (changes in earning for market) yang terjadi di pasar pada periode yang sama. Jadi, beta akuntansi tidak membandingkan indeks saham individual, tetapi membandingkan laba akuntansi. “Accounting Beta is used to estimate the market risk parameters from accounting earnings rather than from traded prices”, Damodaran (2001, p209) 2.4 Capital Asset Pricing Model (CAPM) Dalam Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p205) “The capital asset pricing model is an equation that equates the expected rate of return on a stock to the risk-free rate plus a risk premium for the stock’s systematic risk.” CAPM merupakan sebuah persamaan yang menyamakan tingkat imbal hasil yang diharapkan dari sebuah saham dengan risk-free rate ditambah dengan risk premium dari risiko sistematis saham. CAPM memberikan pendekatan intuitif bagi pemikiran tentang imbal hasil yang seharusnya diperoleh investor dari sebuah investasi, dengan melihat risiko sistematis atau risiko pasar dari aset. Persamaan : Keterangan : kj CAPM : k j = k rf + β j ( k m - k rf ) = tingkat imbal hasil yang diperlukan untuk sekuritas j (required rate of return for the j security) k rf = risk-free rate km = imbal hasil yang diharapkan pasar (expected return for the market) β = risiko sistematis dari asset 21 2.4.1 Hubungan antara Risiko dan Imbal Hasil Berdasarkan CAPM Menurut Fardiansyah (2002, p48) beta diartikan sebagai suatu ukuran kepekaan sebuah saham terhadap risiko pasar atau besarnya kontribusi risiko sebuah saham terhadap risiko pada portofolio pasar. Kalau beta sebuah saham adalah nol artinya saham tersebut bebas risiko (tingkat imbal hasil yang diperoleh sebesar riskfree rate). Walaupun indeks mengalami penurunan, maka saham dengan beta sama dengan nol tidak akan mengalami perubahan harga, dengan kata lain tidak terpengaruh dengan risiko pasar. Jika beta adalah satu, artinya, harga saham tersebut akan naik dan turun sebanding dengan naik turunnya indeks. Dan kalau beta adalah negatif, artinya pergerakan harga saham tersebut akan berlawanan dengan pergerakan indeks. Makin besar beta suatu saham akan semakin besar risiko saham tersebut, dan semakin besar premi risiko yang diharapkan oleh investor yang akhirnya akan memperbesar tingkat imbal hasil, sebaliknya semakin kecil beta akan semakin kecil risiko sebuah saham. Misalkan sebuah saham dengan beta 1.5 artinya jika indeks naik sebesar 10% maka harga saham tersebut akan naik 15% dan kalau indeks turun 10% harga saham tersebut akan turun 15%. Dalam membentuk portofolio saham tentunya investor bisa memilih sahamsaham sesuai dengan posisi preferensinya terhadap risiko. Logikanya, semakin besar risiko akan semakin tinggi tingkat imbal hasil yang diharapkan. Semakin berani investor menanggung risiko tentunya saham-saham yang dipilihnya adalah saham dengan beta yang besar, yang akan dikompensasi dengan tingkat imbal hasil yang 22 besar pula dan sebaliknya investor bisa memilih saham dengan beta yang kecil jika semakin takut menanggung risiko, tetapi tentunya dengan tingkat imbal hasil yang lebih kecil. 2.5 Struktur Modal Secara umum, perusahaan dapat memilih dari begitu banyak kombinasi struktur modal guna memaksimalkan nilai perusahaan, mulai dari menerbitkan saham preferen dengan bunga mengambang, obligasi, warrants, convertible bonds, dan lainlain. Namun kombinasi dari struktur modal tersebut jarang terjadi pada pasar modal Indonesia sehingga struktur modal yang kita fokuskan hanyalah kombinasi antara hutang dan saham. 2.5.1 Teori Struktur Modal Teori-teori struktur modal seperti yang diungkapkan oleh Brigham dan Houston (2003, pp 498), terbagi atas : 1. Modigliani and Miller’s ; Theory 1 Teori struktur modal modern yang dicetuskan oleh Modiglani and Miller (disingkat MM), terkenal sebagai salah satu teori struktur modal yang paling berpengaruh pada dunia keuangan. MM mengungkapkan bahwa dibawah beberapa asumsi, nilai perusahaan tidak berpengaruh oleh struktur modal yang dimilikinya. MM juga mengatakan bahwa walau bagaimanapun perusahaan membiayai operasionalnya, hal itu tidak akan mempengaruhi struktur modalnya. 23 Asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM pada teori pertamanya ini adalah sebagai berikut : • Tidak ada biaya perantara (brokerage costs) • Tidak ada pajak (taxes) • Tidak ada biaya kebangkrutan (bankruptcy cost) • Semua investor mempunyai informasi yang sama tentang peluang investasi perusahaan dimasa yang akan datang. • Pendapatan operasional (EBIT) tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah hutang yang digunakan perusahaan dalam struktur modalnya. Terlepas dari tidak realistiknya asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM diatas, perlu diakui bahwa hasil yang didapat (walaupun tidak realistik) adalah penting, karena dengan tidak realistiknya teori struktur modal diungkapkan oleh MM, malah memberikan petunjuk tentang apa saja yang dibutuhkan agar struktur modal menjadi relevan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi nilai perusahaan. 2. Modigliani and Miller’s ; Theory 2 – The Effects of Taxes Pada tahun 1963, MM mulai menyadari bahwa tidak adanya pajak perusahaan (Corporate taxes) adalah tidak mungkin, sehingga pada revisi teorinya yang pertama, MM mulai menghilangkan asumsi tersebut. Pengeluaran bunga sebagai faktor pengurang dari pendapatan operasional yang menyebabkan berkurangnya pajak yang dibayarkan perusahaan mendorong perusahaan untuk lebih banyak menggunakan hutang dibandingkan dengan menerbitkan saham karena dengan 24 menerbitkan saham, perusahaan harus membayarkan dividen, dan karena dividen tidak bisa menjadi faktor pengurang dari pendapatan operasional, maka seberapapun dividen yang dibayarkan perusahaan tidak akan mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, MM mengungkapkan bahwa asumsi pada teori pertama (tidak termasuk pajak perusahaan) struktur modal perusahaan yang optimal adalah 100% hutang. Namun, kembali beberapa tahun kemudian, teori MM disempurnakan oleh Merton Miller (yang kali ini tanpa Prof. Modigliani), dimana dia mengungkapkan bahwa pajak individu (Personal Taxes) juga berpengaruh terhadap struktur modal suatu perusahaan. Miller juga mengungkapkaan bahwa dengan kondisi pajak yang terjadi pada saat itu, para investor relatif akan bersedia menerima imbal hasil sebelum pajak (before-tax-returns) pada saham dibandingkan dengan imbal hasil sebelum pajak pada hutang. Sehingga Miller mengungkapkan dua poin penting pada revisi teori struktur modalnya sebagai berikut : • Pembayaran bunga yang dapat mengurangi pajak yang harus dibayarkan perusahaan membuat pembiayaan melalui hutang adalah yang lebih baik. • Pengenaan pajak yang rendah pada penerbitan saham berbanding dengan pajak pada hutang menyebabkan rendahnya imbal hasil yang diinginkan oleh para pemegang saham membuat pembiayaan melalui penerbitan saham menjadi lebih baik. 3. The Effect of Potential Bankruptcy Theory 25 Hasil yang tidak relevan sebagai akibat dari asumsi yang juga tidak relevan, dimana MM mengungkapkan bahwa perusahaan tidak akan mengalami kebangkrutan, sehingga MM tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan (Bankruptcy Cost). Pada kenyataannya, biaya kebangkrutan ternyata memang ada dan terkadang bisa jadi biaya yang sangat mahal. Perusahaan yang mengalami kebangkrutan akan mengalami banyak legal and accounting expenses, dan yang paling penting adalah berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan seiring dengan hilangnya kepercayaan dari konsumen, supplier dan bahkan dari karyawannya sendiri. Terlebih lagi, kebangkrutan seringkali memaksa perusahaan untuk melikuidasi atau menjual aktiva yan dimilikinya daripada meneruskan operasional perusahaan. Masalah-masalah yang berhubungan dengan kebangkrutan seringkali muncul apabila perusahaan lebih banyak menggunakan hutang pada struktur modalnya. Oleh karena itu, biaya kebangkrutan akan membuat perusahaan menurunkan tingkat penggunaan hutang hingga pada level yang wajar. Biaya kebangkrutan sendiri mempunyai dua komponen yaitu : • Kemungkinan terjadinya kebangkrutan itu sendiri. • Biaya yang harus dikeluarkan apabila timbulnya financial distress. 4. Trade Off Theory of Leverage Teori yang diungkapkan oleh Stuart Myers ini menjelaskan bagaimana perusahaan dapat melakukan trade off keuntungan-keuntungan dari penggunaan hutang terhadap tingginya pengeluaran bunga dan biaya kebangkrutan. 26 Observasi yang dilakukan oleh para pencetus teori ini mengungkapkan hal-hal seperti dibawah ini : • Pengeluaran bunga yang menyebabkan penggunaan hutang lebih murah daripada menerbitkan saham baik saham biasa atau saham preferen, karena dengan penggunaan hutang, perusahaan mempunyai tax benefit. Semakin besarnya hutang yang digunakan dalam struktur modal perusahaan, akan semakin besar pula pendapatan bersih yang dimiliki perusahaan yang dapat dinikmati oleh para investor, yang secara otomatis akan meningkatkan nilai saham perusahaan tersebut. • Di dunia nyata, perusahaan jarang sekali menggunakan 100% hutang dalam struktur modalnya dengan alasan utama yaitu agar dapat menekan jumlah biaya kebangkrutan yang akan ditimbulkan apabila menggunakan hutang terlalu besar. • Adanya ambang batas dalam penggunaan hutang. 5. Signaling Theory Kembali, berdasarkan asumsi yang diungkapkan oleh MM bahwa para investor mempunyai informasi yang sama seperti yang dimiliki oleh para manajer (Symmetric Information) adalah tidak demikian adanya, karena pada kenyataannya para manajer mempunyai informasi yang lebih baik daripada informasi yang dimiliki oleh para investor, sehingga terjadi apa yang disebut Asymmetric Information, dan informasi seperti ini mempunyai pengaruh yang sangat penting pada struktur modal yang optimal. 27 Seorang yang mempunyai informasi mengenai prospek yang positif akan cenderung berusaha menghindari penjualan saham sehingga secara tidak langsung memaksa perusahaan menggunakan hutang melebihi dari target normal dalam struktur modalnya. Begitu juga sebaliknya, apabila prospek sebuah perusahaan tersebut akan go public dengan melakukan stock offering, seringkali dianggap sebagai signal bahwa prospek kinerja perusahaan ke depan cenderung negatif. Bagaimana implikasi teori ini terhadap struktur modal sebuah perusahaan ?. Seperti diungkapkan diatas bahwa stock offering dianggap sebagai negatif signal dan cenderung akan menurunkan harga saham (walaupun sebenarnya tidak selamanya kinerja perusahaan akan buruk) maka perusahaan pada masa-masa normal harus mempertahankan Reserver Borrowing Capacity, yaitu kemampuan meminjam uang dengan harga yang wajar pada saat munculnya peluang berinvestasi. Perusahaan dalam kondisi normal akan menggunakan lebih sedikit hutang dari apa yang diungkapkan oleh MM dalam teori optimal capital structure-nya sebagai cadangan bahwa perusahaan masih bisa menggunakan tambahan hutang tanpa menyebabkan timbulnya a cost of financial distress karena menggunakan hutang secara berlebihan. 2.5.2 Batas Penggunaan Hutang Penggunaan hutang yang mempunyai keuntungan pajak membuat biaya struktur modal (cost of capital) menjadi lebih murah apabila dibandingkan dengan 28 pembiayaan struktur modal melalui penerbitan saham. Namun dengan penggunaan hutang yang berlebihan akan menyebabkan ketakutan dari para investor, apakah perusahaan mampu membayar hutang-hutangnya tersebut (cost of financial distress) dan juga para investor akan beranggapan bahwa perusahaan mempunyai kinerja yang buruk lambat laun akan mengalami kebangkrutan. Kehilangan kepercayaan ini akan mendorong para investor untuk melakukan aksi jual saham yang dimilikinya sehingga akan menurunkan harga saham yang berarti juga menurunkan nilai perusahaan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan hutang pada level tertentu akan membuat biaya modal menjadi lebih murah namun apabila hutang digunakan melebihi batas wajar, malah akan menyebabkan menurunya nilai perusahaan. Menurut Ross, Westerfield, Randolph (2002, p425), ada beberapa cost of financial distress yang harus dikeluarkan perusahaan apabila perusahaan mempunyai hutang yang berlebihan yaitu : 1. Direct Cost of Financial Distress : Legal and Administrative Cost of Liquidation or Reorganization. Biaya yang dikeluarkan untuk membayar pengacara yang terlibat pada tahap sebelum dan selama proses kebangkrutan serta biaya-biaya administrasi lainnya. 2. Indirect Cost of Financial Distress Sulitnya mengembalikan kepercayaan investor dan supplier adalah biaya yang paling besar yang harus dibayarkan secara tidak langsung oleh perusahaan, 29 karena biasanya penjualan akan menurun drastis akibat dari ketidakpercayaan tersebut. 3. Agency Cost Penggunaan hutang juga akan memicu conflicts of interest antara stockholders dan bondholders, dimana masing-masing pihak akan berusaha untuk mendahulukan kepentingannya sendiri-sendiri apabila terjadi financial distress. 2.6 Rasio Keuangan Rasio keuangan untuk mengidentifikasi tolak ukur kinerja sebuah perusahaan. 2.6.1 Debt to Total Asset Ratio Menurut Keown, Martin, John (2004, pp80) Debt to Total Asset Ratio = Total Debt Total Asset Rasio ini mengukur sejauh mana pembelian atau investasi atas aktiva perusahaan didanai dengan hutang. Sedangkan menurut Eugene, Gapenski (1997, p50), rasio total hutang dan total assets sering disebut sebagai debt ratio, mengukur persentase dari pembiayaan yang disediakan oleh kreditur. Total hutang meliputi hutang lancar (current liabilities) dan hutang jangka panjang (long-term debt). Kreditur lebih menyukai debt ratio yang rendah, karena makin rendah rasio, makin besar perlindungan terhadap risiko kerugian bagi kreditor dalam hubungannya 30 dengan likuidasi. Di lain pihak, pemegang saham mendapatkan keuntungan dari leverage karena penggunaan hutang memperbesar earning. 2.6.2 Debt to Equity Ratio Menurut Ross, Stephen, Westerfield, Randolph (2002, p35) Debt to Equity Ratio adalah sebagai berikut : Debt to Equity Ratio = Total Debt Total Equity Debt to Equity Ratio dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menghitung seberapa besar leverage yang digunakan oleh perusahaan. Sebuah perusahaan yang mempunyai Debt to Equity Ratio yang besar dapat memberikan imbal hasil yang lebih besar kepada shareholder seiring dengan tingginya risiko yang dihadapi bila dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai Debt to Equity Ratio yang lebih kecil. Menurut Werner, Jones (2004. p 480), Debt to Equity Ratio menunjukkan proporsi hubungan antara hutang dan modal. Pihak keuangan menyebut rasio ini sebagai rasio total hutang terhadap nilai bersih. Makin rendah nilai Debt to Equity Ratio, makin rendah total hutang relatif terhadap total modal. Debt to Equity Ratio seuatu perusahaan harus dievaluasi dipandang dari sudut perusahaan-perusahaan sejenis dalam industri, kemapanan suatu perusahaan (the maturity of the company) dengan kecenderungan bisnis baru mempunyai lebih banyak hutang relatif terhadap modal, dan filsafat manajemen yang memperhatikan keseimbangan yang tepat antara 31 pembiayaan dengan hutang (debt financing) dan pembiayaan dengan modal (equity financing). Sedangkan menurut Palepu, Healy, Bernard (2004, p5) Debt to Equity Ratio merupakan sebuah indikasi berapa banyak dolar dari pembiayaan oleh hutang yang digunakan oleh perusahaan untuk tiap dolar yang diinvestasikan oleh pemegang sahamnya. 2.6.3 Profit Margin Ratio Rasio profitabilitas merupakan salah satu rasio keuangan yang menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut. Jadi dapat disimpulkan, bahwa rasio profitabilitas ialah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rasio profitabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Profit Margin Ratio (PM). Rasio ini merupakan rasio antara laba usaha dengan penjualan yang mengukur laba usaha yang dihasilkan dari setiap rupiah penjualan. Profit margin digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba usaha pada tingkat penjualan tertentu. PM = 2.7 laba usaha penjualan Leverage Sesuai dengan CAPM, the required return hanya bergantung dari risiko yang sistematis dari investasi. Dimana risiko yang sistematis dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, yang biasa disebut dengan risiko bisnis (business risk), atau operating risk. 32 Kedua, menunjuk pada risiko keuangan (financial risk). Sangatlah penting untuk membedakan kedua tipe risiko ini, karena memberikan pengaruh pada require return yang berbeda. Sudah menjadi sifat dari investasi, bahwa perusahaan tidak dapat mengendalikan risiko binisnya. Sebaliknya, risiko keuangan perusahaan ditentukan oleh jumlah debt yang dimiliki perusahaan, yang disebut dengan financial leverage. Lebih banyak leverage akan menaikan risiko. Financial leverage mengijinkan para pemegang saham untuk mengendalikan lebih banyak aset dari yang dimungkinkan jika mereka hanya memakai modal mereka. Lebih lanjut dari financial leverage, ada tipe kedua dari leverage, yang disebut dengan operating leverage. 2.7.1 The Degree of Operating Leverage Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko bisnis suatu perusahaan bisa dilihat dari seberapa besar biaya tetap dalam struktur biaya perusahaan, yang digunakan dalam operasi perusahaannya. Jika biaya tetap yang digunakan cukup besar, maka bila terdapat sedikit perubahan yang besar pada penjualan maka akan berdampak pada perubahan yang besar pada Return on Equity (ROE), begitu juga sebaliknya, seperti dalam Houston and Brigham (2004, p482), ”In business terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies that a relatively small changes in sales results in a large change in ROE.” Brigham and Gapenski (1997, p573), “In business terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies thar a relatively small 33 change in sales result in a large change in ROE. We can calculate the breakeven quantity by recognizing that breakeven occurs when ROE = 0, and hence, when earnings before interest and taxes (EBIT) = 0.” EBIT = 0 = PQ –VQ –E Emery and Finnerty (2004, p318), “Operating leverage is the relative mix of fixed and variable cost required to produce a product or service”. Operating leverage berhubungan dengan kombinasi antara biaya tetap dengan biaya variabel yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produksi barang dan jasa. Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p519), “Operating leverage is the responsiveness of the firm’s EBIT to fluctuations in sales”. Operating leverage bertanggung jawab pada besarnya EBIT, dalam hubungannya dengan perubahan pernjualan. Persamaan DOL berdasarkan penjualan : Change in EBIT % Change in EBIT EBIT DOLs = = % Change in Sales Change in Sales Sales Jika dimiliki data dari biaya, maka dapat digunakan formula : DOLs = Sales − Variable Cost Q (P − V) = EBIT Q (P − V) − F Dalam menggunakan persamaan diatas, diperlukan data biaya untuk mengetahui operating leverage. Tetapi bila hanya terdapat income statement, maka dapat menggunakan persamaan : DOLs = Revenue Before Fixed Cost S − VC = EBIT S − VC − F 34 Dalam Scott, Martin, Petty and Keown (2005, p 522), ” The three versions of the operating leverage measure all produce the same result. Data availability will sometimes dictate which formulation can be applied. The crucial consideration, though, is the you grasp what the measurement tells you.” 2.7.2 The Degree of Financial Leverage Emery and Finnerty (2004, p320), “Operating risk depends principally on the nature of the investment and to a lesser extend on the firm’s choice of operating leverage. In contrast, financial risk depends mostly on financial leverage. When a firm has some debt financing, the debt portion of its financing cost is fixed rather than variable. Although we would exect a larger return to shareholders than ti debtholders, shareholder return can vary from one period to the next without affecting the operation of the firm. However, failure to make required debt payments can result in bankruptcy. We could say, then, that financial leverage substitutes fixed payments to debtholders for variable payments to shareholders.” Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p524), “ Financial leverage as the practice of financing a portion of the firm’s assets with securities bearing a fixed rate of return in hope of increasing the ultimate return to the common shareholders.” Financial leverage dapat difokuskan pada hubungan perubahan antara earning per share dengan EBIT perusahaan. Tingkat pengembalian dari common shareholder dapat dipusatkan pada earning per share, tetapi earning per share juga bukan merupakan kriteria yang tepat untuk semua keputusan keuangan. Penggunaan 35 financial leverage dapat menghasilkan pengaruh pada keputusan-keputusan tertentu saja. Untuk mengukur hubungan antara earnings per share dengan naik turunnya EBIT, dapat dilihat dari persamaan : Change In EPS % Change In EPS EPS DFL = = Change In EBIT % Change In Ebit EBIT Atau dapat juga menggunakan persamaan : DFL = EBIT EBIT − I Menurut Keown, John (2005, p525), Perusahaan dikatakan mempunyai financial leverage ketika asetnya didanai dengan surat berharga bependapatan tetap (fixed rate of return) atau dengan kata lain, kehadiran hutang dan atau saham preferen sebagai sumber pendanaan aset dapat berarti perusahaan sedang menggunakan financial leverage. Rasio ini mengukur tingkat sensitivitas laba per lembar saham (positif atau negatif) terhadap perubahan laba operasional (EBIT). Berdasarkan hasil pengamatan, semakin besar degree of financial leverage, akan semakin besar fluktuasi pendapatan per lembar saham (earning per share). Berdasarkan Eugene, Gapenski (1997, p48), perluasaan dari penggunaan pembiayaan oleh hutang atau financial leverage, mempunyai tiga dampak penting : (1) Dengan meningkatkan pendanaan melalui hutang, pemegang saham dapat mengontrol perusahaan dengan investasi yang terbatas. (2) Kreditur melihat ke modal, atau pendanaan oleh pemilik, untuk menetapkan batas aman (margin of safety), Jadi jika pemegang saham hanya memberikan sedikit proporsi dari total 36 pembiayaan, sebagian besar risiko dari perusahaan akan ditanggung oleh kreditur. (3) Jika perusahaan memperoleh lebih banyak pendanaan melalui investasi dengan meminjam dana dan membayar bunga, tingkat pengembalian pada modal pemilik diperbesar, atau ”leverage”.