BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pasar Modal
Pengertian Pasar Modal menurut undang-undang tentang pasar modal nomor
8 tahun 1995 adalah: “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan
perdagangan
efek,
perusahaan
publik
yang
berkaitan
dengan
efek
yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”.
Seorang pemodal dapat melakukan investasi pada aktiva riil seperti
membangun pabrik, membuat produk baru atau pada financial assets seperti membeli
sertifikat deposito, saham, obligasi, sertifikat reksadana.
Pasar modal adalah pasar untuk berbagai sekuritas jangka panjang yang bisa
diperjualbelikan, baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta.
Pasar modal dijumpai pada banyak negara yang menjalankan fungsi ekonomi dan
keuangan. Dalam menjalankan fungsi ekonominya, pasar modal menyediakan
fasilitas untuk memindahkan dana dari si pemberi pinjaman (investor) ke si peminjam
(emiten). Dengan menginvestasikan kelebihan dana yang dimiliki si pemberi
pinjaman, diharapkan akan memperoleh imbalan dari penyerahan dana tersebut.
Sebaliknya si peminjam dapat melakukan investasi tanpa harus menunggu
tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Fungsi ekonomi dilakukan dengan
menyediakan dana yang diperlukan oleh para peminjam dari si peminjam, tanpa harus
terlibat langsung dalam pemilikan aktiva riil yang diperlukan untuk investasi tersebut.
8
9
Pasar modal adalah bagian alamiah dari teori permintaan dan pengadaan
dana. Disanallah satu sisi, akan ada pihak yang kekurangan dana (perusahaan go
public) dan disisi lain, ada pihak yang kelebihan dana (investor). Mereka bertemu
dalam suatu tempat pertukaran yang disebut pasar modal. Investor akan menyerahkan
dananya untuk mendapatkan bukti kepemilikan perusahaan, dinyatakan lewat
lembaran saham yang diterbitkan oleh perusahaan go public. Sebagai imbalannya,
investor akan dapat menikmati keuntungan perusahaan yang akan dibagikan dalam
bentuk dividen.
Pasar modal sendiri terbagi menjadi dua bagian utama, pasar perdana dan
pasar sekunder. Pada pasar perdana, untuk pertama kalinya dana masyarakat ditarik.
Di pasar perdana inilah sebuah perusahaan yang akan melakukan go public pertama
kali menjual sahamnya (disebut pasar perdana). Masyarakat yang telah membeli
saham perdana ini untuk selanjutnya dapat memilih untuk tetap menjadi pemegang
saham tersebut, atau menjualnya kepada orang lain melalui pasar sekunder. Inilah
pasar yang sesungguhnya, dimana para pialang saham (sebagai wakil dari para
investor), bisa menjual dan / atau membeli saham perusahaan yang terdaftar di bursa.
Pasar sekunder ini dijalankan mirip dengan sebuah sistem lelang. Pembeli dan
penjual dipertemukan secara terus menerus sehingga terjadi transaksi.
2.2
Penjelasan Indeks LQ45
Indeks LQ45 pertama kali diperkenalkan di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada
tanggal 24 Februari 1997. Seperti Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan indeks
10
sektoral yang lebih dulu dibuat, indeks LQ45 ini pun diciptakan untuk menjadi tolak
ukur dalam memantau kecenderungan pasar dan perkembangan harga saham yang
diperdagangkan.
Seperti diketahui, angka indeks dalam notasi statistik dibuat untuk
membandingkan perkembangan suatu kegiatan, apakah itu perkembangan produksi,
harga, jumlah penjualan, termasuk tingkat keuntungan. Demikian pula indeks LQ45
ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembanding.
Indeks ini terdiri dari 45 saham yang dipilih setelah melalui beberapa kriteria
sehingga indeks ini terdiri dari saham-saham yang mempunyai likuiditas yang tinggi
dan juga mempertimbangkan kapitalisasi pasar dari saham-saham tersebut.
Kriteria pemilihan saham indeks LQ45 :
1. Masuk dalam top 60 dari total transaksi saham di pasar reguler (rata-rata nilai
transaksi selama 12 bulan terakhir).
2. Masuk dalam ranking yang didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar (rata-rata
kapitalisasi pasar selama 12 bulan terakhir).
3. Telah tercatat di BEJ sekurang-kurangnya 3 bulan.
4. Kondisi keuangan perusahaan, prospek pertumbuhan perusahan, frekuensi dan
jumlah transaksi di pasar reguler.
Evaluasi Indeks dan Pergantian Saham
BEJ secara terus menerus memantau perkembangan komponen saham yang
masuk dalam perhitungan Indeks LQ45. Setiap 3 bulan, direview pergerakan ranking
saham yang masuk dalam perhitungan indeks LQ45. Pergantian saham akan
11
dilakukan setiap 6 bulan sekali, yaitu pada setiap awal bulan Februari dan Agustus.
Bila ada saham yang tidak memenuhi kriteria, saham tersebut akan dikeluarkan dari
perhitungan indeks dan digantikan dengan saham yang memenuhi kriteria.
Saham-saham yang masuk dalam kriteria ranking 1-35 dikalkulasikan dengan
cepat dalam perhitungan indeks. Sedangkan saham yang masuk pada ranking 36-45
tidak perlu dimasukan dalam perhitungan indeks. Hari Dasar Indeks LQ45 dan Awal
Perhitungan (13 Juli 1994-1996). Indeks LQ45 dihitung mundur hingga tanggal 13
Juli 1994 sebagai Hari Dasar, dengan nilai dasar 100. Untuk seleksi awal digunakan
data pasar Juli 1993-Juni 1994. Hasilnya, ke-45 saham tersebut meliputi 72% total
market kapitalisasi pasar dan 72.5% nilai transaksi di pasar reguler.
2.3
Risiko
2.3.1 Definisi Risiko Investasi
Menurut Brigham dan Houston (2004, p170), “Risk is refers to the chance
that some unfavorable event will occur (a hazard, a peril, exposure to loss or injury).
If you invest in speculative stocks (or really, any stock), you are taking a risk in the
hope of making an appreciable return”. Resiko didefinisikan sebagai bahaya, petaka,
kemungkinan mengalami kerugian atau kerusakan. Jadi risiko mengacu pada
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak menguntungkan. Jika investasi
dilakukan dengan membeli saham spekulatif (atau bahkan setiap jenis saham), maka
investor mengambil risiko menderita rugi dengan harapan mendapat untung yang
setimpal.
12
Definisi risiko pada umumnya selalu berkonotasi buruk atau negatif. Tetapi
menurut Damodaran (2001, p150), “In finance, our definition of risk is both different
and broader. Risk, as we see it, refers to the like hood that we will receive a return on
an investment that is different from the return we expected to make. Thus, Risk
includes not only the bad outcomes, that is, returns are lower than expected, but also
good outcomes, that is, returns that are higher than expected”. Risiko tidak selalu
dapat dikaitkan dengan sesuatu yang buruk. Dalam bidang keuangan, risiko memiliki
arti yang berbeda dan lebih luas. Risiko lebih berkaitan dengan kemungkinan untuk
mendapatkan imbalan (return) yang tidak sesuai dengan apa yang investor harapkan.
Ketika investor mendapatkan imbal hasil yang lebih kecil dari yang diharapkan, atau
sebaliknya, maka itulah yang dinamakan risiko.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa risiko merupakan gabungan dari “bahaya“ dan
“peluang” dimana dalam bidang keuangan, kata bahaya diartikan sebagai risiko
sedangkan peluang diartikan sebagai imbal hasil. Berikut adalah petikannya : “Risk is
a mix of danger, and opportunity. In financial terms, we term the danger to be ‘Risk’
and the opportunity to be ‘Expected Return’. So, in any investment, we will convert
the danger into opportunity”.
Dengan demikian, dapat dikatakan secara garis besar bahwa risiko investasi
terkait dengan kemungkinan mendapatkan tingkat imbal hasil yang tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan – semakin besar tingkat pengembalian yang diharapkan,
semakin besar pula risiko yang harus ditanggung.
13
2.3.2 Pengukuran Risiko
Dalam aktivitas investasi, baik investasi pada financial assets seperti saham
dan obligasi, maupun real assets seperti tanah dan bangunan, pada umumnya
mengandung dua hal yang perlu diperitmbangkan , yaitu risiko (risk) dan tingkat
imbal hasil (return).
Bilamana suatu investasi memiliki risiko, berarti bahwa investasi tersebut
tidak dapat memberikan keuntungan yang pasti. Dalam keadaan ini, pemodal
(investor) hanya akan mengharapkan untuk dapat memperoleh suatu tingkat imbal
hasil tertentu. Risiko (risk) merupakan peyimpangan (deviasi) antara tingkat imbal
hasil yang diperoleh terhadap imbal hasil yang diharapkan. Oleh karenanya, dimensi
risiko terbagi menjadi dua, yaitu menyimpang lebih kecil atau menyimpang lebih
besar.
Risiko merupakan variabilitas tingkat imbal hasil realisasi terhadap tingkat
imbal hasil yang diharapkan. Risiko diwujudkan dalam bentuk standar deviasi
(ukuran penyebaran) yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kemungkinan
tingkat imbal hasil yang akan diperoleh menyimpang terhadap tingkat imbal hasil
yang diharapkan.
Rumusan untuk standar deviasi, adalah :
n
σ=
∑ (ri − ri)
i =1
n −1
Dimana :
σ
= standar deviasi
2
14
ri
= tingkat imbal hasil (return) realisasi pada saham i
ri
= tingkat rata-rata imbal hasil (return) realisasi pada saham i
n
= jumlah observasi
2.3.3 Jenis-Jenis Risiko Investasi
Keown, Martin, Petty, Scott (2005, p193), “We can divide the total risk in
two types of risk : (1) firm-specific or company-unique risk and (2) market-related
risk. Company-unique risk might also be called diversifiable risk, because it can be
diversified away. This diversifiable risk is the result f factors that are unique to the
particular firm. Market risk is nondiversifiable risk; it cannot be eliminated, no
matter how much we diversify.” Total risiko dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu :
(1) risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi perusahaan dan (2) risiko yang
berhubungan dengan pasar. Risiko yang tergantung dari jenis dan spesifikasi
perusahaan disebut sebagai risiko yang bisa didiversifikasi. Sedangkan risiko pasar
adalah risiko yang tidak dapat didiversifikasi; risiko pasar tidak dapat dihilangkan.
Bodie, Kane, Marcus (2005, p224), “The risk that remains even after
extensive diversification is called market risk, risk that is attributable to marketwide
risk sources. Such risk is also called systematic risk, or nondiversifiable risk. In
contrast, the risk that can be eliminated by diversification is called unique risk, from
specific risk, non systematic risk, or diversifiable risk.” Risiko yang akan selalu ada
walaupun dengan adanya diversifikasi disebut sebagai risiko pasar yaitu risiko yang
diakibatkan oleh risiko dari pasar. Dengan demikian risiko pasar disebut sebagai
15
risiko sistematis atau risiko yang tidak dapat didiversifikasi. Sedangkan risiko yang
dapat dihilangkan dengan diversifikasi disebut unique risk, disebut juga sebagai
risiko spesifik, risiko tidak sistematis, atau risiko yang bisa didiversifikasi.
2.3.4 Beta Coefficient
Beta menurut Houston and Brigham (2004, p189) “Beta coefficient, a
measure of market risk, which is the extend to which the returns on a given stock
move with the stock market”, jadi beta sebagai alat ukur risiko pasar, dimana tingkat
pengembaliannya berubah bersama dengan perubahan pasar. Atau dalam Scott,
Martin, Petty, and Keown (2005, p199) “Beta, a measure of the relationship between
an investment’s return and the market’s returns. This is a measure of the investment’s
nondiversifiable risk.” Beta, sebagai alat untuk mengukur hubungan antara tingkat
pengembalian investasi dengan tingkat pengembalian pasar, sebagai ukuran risiko
sistematis yang tidak dapat didiversifikasi. Menurut Brigham and Gapenski (1997,
p165) “The tendendcy of a stock to move up and down with the market is reflected in
its beta coefficient, (β)” yang berarti kecenderungan dari naik turunya harga saham
seiring keadaan pasar tercermin dari beta coefficient (β).
Beta digunakan untuk menghitung bagaimana individual stock’s return
dibedakan dari market return. Beta juga mengukur sensitivitas dari individual stock’s
return dengan perubahan pasar yang ada. Pengukuran beta dilakukan dengan
menggunakan analisa regresi. Dimana beta pasar sama dengan 1, maka secara umum
dapat dilihat bahwa :
16
Perusahaan yang memiliki beta = 1 mengindikasikan risiko pasar rata-rata. Harga
sahamnya tidak lebih bergejolak ataupun lebih kecil dari risiko pasar yang ada.
Perusahaan dengan Beta > 1 mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan
dengan risiko pasar (contohnya : perusahaan teknologi).
Perusahaan dengan Beta < 1 mempunyai risiko dibawah risiko pasar (contohnya :
perusahaan utilities).
2.3.4.1
Metode untuk Menghitung Beta
Damodaran (2001, p196-210), Ada tiga pendekatan metode yang dapat
digunakan untuk menghitung Beta. Yang pertama, dengan menggunakan data historis
harga pasar. Yang kedua, dengan menggunakan analisa fundamental dan yang
terakhir, dengan menggunakan data akuntansi. Ketiganya akan dibahas lebih detail
berikut ini :
1. Beta Historis (Historical Market Beta)
Indeks beta dapat dihitung dengan membandingkan fluktuasi indeks saham
individual terhadap fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Garis
regresi harus dicari antara indeks saham individual dengan IHSG. Persamaan
yang digunakan, merupakan persamaan regresi linier sederhana, yang bisa
dipecahkan dengan rumus regresi, seperti berikut :
Rj
= alpha + beta ( R m ) + ะต
Keterangan :
Rj
= Return dari saham individual
17
alpha
= Intercept dari persamaan garis regresi (intercept from the regression)
Beta
= Kemiringan dari persamaan garis regresi (slope of the regression)
Rm
= Return dari saham pasar (IHSG)
e
= Standard error of the beta estimate.
Beta menunjukan kemiringan (slope) garis regresi dan alpha menunjukan
intercept dengan sumbu R m . Semakin besar beta, semakin curam kemiringan
garis regresi. Penyebaran titik-titik pengamatan di sekitar garis regresi,
menunjukan risiko sisi. Semakin menyebar titik-titik tersebut, semakin besar
risiko sisanya.
2. Beta Fundamental (Fundamental Beta)
Dalam metode ini, beta diukur dengan menggunakan variabel fundamental
perusahaan, yaitu :
a. Tipe dari bisnis perusahaan (Type of Business or businesses the firm is in)
Dengan berasumsi bahwa segala sesuatu adalah tidak berubah (other things
remaining equal), perusahaan yang musiman (cyclical firms) akan
mempunyai beta yang lebih tinggi/besar dibandingkan dengan perusahaan
non-cyclical. Misalnya, perusahaan otomotif akan lebih sensitive terhadap
keadaan perekonomian makro. Jika perekonomian sedang membaik, maka
penghasilan perusahaan otomotif akan naik, sebaliknya jika perekonomian
sedang lesu (resesi) maka penghasilan otomotif akan turun lebih tajam (lebih
berisiko) dibanding perusahaan lain yang non-cyclical. Jadi, dapat dikatakan
bahwa sektor bisnis perusahaan juga turut mempengaruhi nilai Beta. “Firms
18
whose products are much discretionary to their customers should have higher
betas than firms whose products are viewed as necessary or less
discretionary”. Perusahaan yang memproduksi barang kebutuhan sehari-hari
dianggap memiliki beta yang lebih kecil, karena lebih bersifat defensive
terhadap perubahan kondisi perekonomian. (Damodaran, 2001, p202).
b. Tingkat Leverage Operasi (The Degree of Operating Leverage of the Firm –
DOL)
Tingkat leverage operasi (DOL) merupakan fungsi dari struktur modal
perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan biaya tetap (fixed cost) dan total
biaya (total cost). “A firm that has fixed costs relative to total costs is said to
have high operating leverage. A firm with high operating leverage will also
have higher variability in operating income than would a firm producing a
similar product with low operating leverage. Other things remaining equal,
the higher variance in operating income will lead to a higher beta for the firm
with the high operating leverage”, Damodaran (2001, p202). Perusahaan yang
mempunyai tingkat leverage operasi yang tinggi menandakan bahwa
persentase
perubahan
laba
operasi
yang
sensitive,
sehingga
akan
meningkatkan nilai Beta.
DOL =
% Perubahan Laba Operasi % Change in Operating Pr ofit
=
% Perubahan Penjualan
% Change in sales
c. Tingkat Leverage Keuangan (The Firm’s Financial Leverage)
Perusahaan yang menggunakan hutang adalah perusahaan yang mempunyai
financial leverage. Semakin besar proporsi hutang semakin besar financial
19
leverage, semakin besar Beta Equity. Berikut merupakan kutipan yang
diambil dari Damodaran (2001, p2003), Other things remaining equal, an
increase in financial leverage will increase the beta of the equity in a firm.
Intuitively, we would expect that the fixed interest payments on debt to result
in high net income in good times and negative net income and makes equity
investment in the firm riskier”. Rumus matematiknya dinyatakan seperi
berikut :
Levered Beta = Unlevered Beta x [1 + (1 − tax rate)( Debt / Equity )]
Unlevered Beta =
Current Beta
1 + (1 − tax rate)( Average Debt / Equity )
Unlevered Beta suatu perusahaan ditentukan oleh sektor dimana bisnis
perusahaan beroperasi dan juga ditentukan oleh tingkat operating leverage.
Karena unlevered beta ditentukan oleh aset perusahaan, maka seringkali
disebut juga Assets Beta. Sedangkan, Levered Beta seringkali disebut juga
sebagai Equity Beta, karena levered beta ditentukan oleh risiko dimana
perusahaan beroperasi dan juga tingkat financial leverage.
3. Beta Akuntansi (Accounting Beta).
Jika beta historis mencari garis regresi linier antara indeks saham individual
dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maka Beta Akuntansi mencari
garis regresi linier antara laba akuntasi perusahaan (accounting earnings) dengan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Beta akuntansi memfokuskan kepada
perubahan laba akuntansi (changes in earnings at a division or a firm) yang
terjadi di setiap divisi atau di perusahaan, baik secara triwulanan atau tahunan,
20
lalu dibandingkan dengan perubahan pendapatan (changes in earning for market)
yang terjadi di pasar pada periode yang sama. Jadi, beta akuntansi tidak
membandingkan indeks saham individual, tetapi membandingkan laba akuntansi.
“Accounting Beta is used to estimate the market risk parameters from accounting
earnings rather than from traded prices”, Damodaran (2001, p209)
2.4
Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Dalam Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p205) “The capital asset
pricing model is an equation that equates the expected rate of return on a stock to the
risk-free rate plus a risk premium for the stock’s systematic risk.” CAPM merupakan
sebuah persamaan yang menyamakan tingkat imbal hasil yang diharapkan dari
sebuah saham dengan risk-free rate ditambah dengan risk premium dari risiko
sistematis saham. CAPM memberikan pendekatan intuitif bagi pemikiran tentang
imbal hasil yang seharusnya diperoleh investor dari sebuah investasi, dengan melihat
risiko sistematis atau risiko pasar dari aset.
Persamaan
:
Keterangan
:
kj
CAPM : k j = k rf + β j ( k m - k rf )
= tingkat imbal hasil yang diperlukan untuk sekuritas j (required rate of return
for the j security)
k rf
= risk-free rate
km
= imbal hasil yang diharapkan pasar (expected return for the market)
β
= risiko sistematis dari asset
21
2.4.1 Hubungan antara Risiko dan Imbal Hasil Berdasarkan
CAPM
Menurut Fardiansyah (2002, p48) beta diartikan sebagai suatu ukuran
kepekaan sebuah saham terhadap risiko pasar atau besarnya kontribusi risiko sebuah
saham terhadap risiko pada portofolio pasar. Kalau beta sebuah saham adalah nol
artinya saham tersebut bebas risiko (tingkat imbal hasil yang diperoleh sebesar riskfree rate). Walaupun indeks mengalami penurunan, maka saham dengan beta sama
dengan nol tidak akan mengalami perubahan harga, dengan kata lain tidak
terpengaruh dengan risiko pasar. Jika beta adalah satu, artinya, harga saham tersebut
akan naik dan turun sebanding dengan naik turunnya indeks. Dan kalau beta adalah
negatif, artinya pergerakan harga saham tersebut akan berlawanan dengan pergerakan
indeks. Makin besar beta suatu saham akan semakin besar risiko saham tersebut, dan
semakin besar premi risiko yang diharapkan oleh investor yang akhirnya akan
memperbesar tingkat imbal hasil, sebaliknya semakin kecil beta akan semakin kecil
risiko sebuah saham. Misalkan sebuah saham dengan beta 1.5 artinya jika indeks naik
sebesar 10% maka harga saham tersebut akan naik 15% dan kalau indeks turun 10%
harga saham tersebut akan turun 15%.
Dalam membentuk portofolio saham tentunya investor bisa memilih sahamsaham sesuai dengan posisi preferensinya terhadap risiko. Logikanya, semakin besar
risiko akan semakin tinggi tingkat imbal hasil yang diharapkan. Semakin berani
investor menanggung risiko tentunya saham-saham yang dipilihnya adalah saham
dengan beta yang besar, yang akan dikompensasi dengan tingkat imbal hasil yang
22
besar pula dan sebaliknya investor bisa memilih saham dengan beta yang kecil jika
semakin takut menanggung risiko, tetapi tentunya dengan tingkat imbal hasil yang
lebih kecil.
2.5
Struktur Modal
Secara umum, perusahaan dapat memilih dari begitu banyak kombinasi
struktur modal guna memaksimalkan nilai perusahaan, mulai dari menerbitkan saham
preferen dengan bunga mengambang, obligasi, warrants, convertible bonds, dan lainlain. Namun kombinasi dari struktur modal tersebut jarang terjadi pada pasar modal
Indonesia sehingga struktur modal yang kita fokuskan hanyalah kombinasi antara
hutang dan saham.
2.5.1 Teori Struktur Modal
Teori-teori struktur modal seperti yang diungkapkan oleh Brigham dan
Houston (2003, pp 498), terbagi atas :
1. Modigliani and Miller’s ; Theory 1
Teori struktur modal modern yang dicetuskan oleh Modiglani and Miller
(disingkat MM), terkenal sebagai salah satu teori struktur modal yang paling
berpengaruh pada dunia keuangan. MM mengungkapkan bahwa dibawah
beberapa asumsi, nilai perusahaan tidak berpengaruh oleh struktur modal yang
dimilikinya. MM juga mengatakan bahwa walau bagaimanapun perusahaan
membiayai operasionalnya, hal itu tidak akan mempengaruhi struktur modalnya.
23
Asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM pada teori pertamanya ini adalah
sebagai berikut :
•
Tidak ada biaya perantara (brokerage costs)
•
Tidak ada pajak (taxes)
•
Tidak ada biaya kebangkrutan (bankruptcy cost)
•
Semua investor mempunyai informasi yang sama tentang peluang investasi
perusahaan dimasa yang akan datang.
•
Pendapatan operasional (EBIT) tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah
hutang yang digunakan perusahaan dalam struktur modalnya.
Terlepas dari tidak realistiknya asumsi-asumsi yang diungkapkan oleh MM
diatas, perlu diakui bahwa hasil yang didapat (walaupun tidak realistik) adalah
penting, karena dengan tidak realistiknya teori struktur modal diungkapkan oleh
MM, malah memberikan petunjuk tentang apa saja yang dibutuhkan agar struktur
modal menjadi relevan sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi nilai
perusahaan.
2. Modigliani and Miller’s ; Theory 2 – The Effects of Taxes
Pada tahun 1963, MM mulai menyadari bahwa tidak adanya pajak perusahaan
(Corporate taxes) adalah tidak mungkin, sehingga pada revisi teorinya yang
pertama, MM mulai menghilangkan asumsi tersebut. Pengeluaran bunga sebagai
faktor pengurang dari pendapatan operasional yang menyebabkan berkurangnya
pajak yang dibayarkan perusahaan mendorong perusahaan untuk lebih banyak
menggunakan hutang dibandingkan dengan menerbitkan saham karena dengan
24
menerbitkan saham, perusahaan harus membayarkan dividen, dan karena dividen
tidak bisa menjadi faktor pengurang dari pendapatan operasional, maka
seberapapun dividen yang dibayarkan perusahaan tidak akan mempengaruhi
jumlah pajak yang harus dibayarkan perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, MM
mengungkapkan bahwa asumsi pada teori pertama (tidak termasuk pajak
perusahaan) struktur modal perusahaan yang optimal adalah 100% hutang.
Namun, kembali beberapa tahun kemudian, teori MM disempurnakan oleh
Merton Miller (yang kali ini tanpa Prof. Modigliani), dimana dia mengungkapkan
bahwa pajak individu (Personal Taxes) juga berpengaruh terhadap struktur modal
suatu perusahaan. Miller juga mengungkapkaan bahwa dengan kondisi pajak yang
terjadi pada saat itu, para investor relatif akan bersedia menerima imbal hasil
sebelum pajak (before-tax-returns) pada saham dibandingkan dengan imbal hasil
sebelum pajak pada hutang. Sehingga Miller mengungkapkan dua poin penting
pada revisi teori struktur modalnya sebagai berikut :
•
Pembayaran bunga yang dapat mengurangi pajak yang harus dibayarkan
perusahaan membuat pembiayaan melalui hutang adalah yang lebih baik.
•
Pengenaan pajak yang rendah pada penerbitan saham berbanding dengan
pajak pada hutang menyebabkan rendahnya imbal hasil yang diinginkan oleh
para pemegang saham membuat pembiayaan melalui penerbitan saham
menjadi lebih baik.
3. The Effect of Potential Bankruptcy Theory
25
Hasil yang tidak relevan sebagai akibat dari asumsi yang juga tidak relevan,
dimana MM mengungkapkan bahwa perusahaan tidak akan mengalami
kebangkrutan, sehingga MM tidak memperhitungkan biaya kebangkrutan
(Bankruptcy Cost). Pada kenyataannya, biaya kebangkrutan ternyata memang ada
dan terkadang bisa jadi biaya yang sangat mahal.
Perusahaan yang mengalami kebangkrutan akan mengalami banyak legal and
accounting expenses, dan yang paling penting adalah berapa banyak biaya yang
harus dikeluarkan seiring dengan hilangnya kepercayaan dari konsumen, supplier
dan bahkan dari karyawannya sendiri. Terlebih lagi, kebangkrutan seringkali
memaksa perusahaan untuk melikuidasi atau menjual aktiva yan dimilikinya
daripada meneruskan operasional perusahaan.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan kebangkrutan seringkali muncul
apabila perusahaan lebih banyak menggunakan hutang pada struktur modalnya.
Oleh karena itu, biaya kebangkrutan akan membuat perusahaan menurunkan
tingkat penggunaan hutang hingga pada level yang wajar.
Biaya kebangkrutan sendiri mempunyai dua komponen yaitu :
•
Kemungkinan terjadinya kebangkrutan itu sendiri.
•
Biaya yang harus dikeluarkan apabila timbulnya financial distress.
4. Trade Off Theory of Leverage
Teori yang diungkapkan oleh Stuart Myers ini menjelaskan bagaimana
perusahaan dapat melakukan trade off keuntungan-keuntungan dari penggunaan
hutang terhadap tingginya pengeluaran bunga dan biaya kebangkrutan.
26
Observasi yang dilakukan oleh para pencetus teori ini mengungkapkan hal-hal
seperti dibawah ini :
•
Pengeluaran bunga yang menyebabkan penggunaan hutang lebih murah
daripada menerbitkan saham baik saham biasa atau saham preferen, karena
dengan penggunaan hutang, perusahaan mempunyai tax benefit. Semakin
besarnya hutang yang digunakan dalam struktur modal perusahaan, akan
semakin besar pula pendapatan bersih yang dimiliki perusahaan yang dapat
dinikmati oleh para investor, yang secara otomatis akan meningkatkan nilai
saham perusahaan tersebut.
•
Di dunia nyata, perusahaan jarang sekali menggunakan 100% hutang dalam
struktur modalnya dengan alasan utama yaitu agar dapat menekan jumlah
biaya kebangkrutan yang akan ditimbulkan apabila menggunakan hutang
terlalu besar.
•
Adanya ambang batas dalam penggunaan hutang.
5. Signaling Theory
Kembali, berdasarkan asumsi yang diungkapkan oleh MM bahwa para investor
mempunyai informasi yang sama seperti yang dimiliki oleh para manajer
(Symmetric
Information)
adalah
tidak
demikian
adanya,
karena
pada
kenyataannya para manajer mempunyai informasi yang lebih baik daripada
informasi yang dimiliki oleh para investor, sehingga terjadi apa yang disebut
Asymmetric Information, dan informasi seperti ini mempunyai pengaruh yang
sangat penting pada struktur modal yang optimal.
27
Seorang yang mempunyai informasi mengenai prospek yang positif akan
cenderung berusaha menghindari penjualan saham sehingga secara tidak langsung
memaksa perusahaan menggunakan hutang melebihi dari target normal dalam
struktur modalnya. Begitu juga sebaliknya, apabila prospek sebuah perusahaan
tersebut akan go public dengan melakukan stock offering, seringkali dianggap
sebagai signal bahwa prospek kinerja perusahaan ke depan cenderung negatif.
Bagaimana implikasi teori ini terhadap struktur modal sebuah perusahaan ?.
Seperti diungkapkan diatas bahwa stock offering dianggap sebagai negatif signal
dan cenderung akan menurunkan harga saham (walaupun sebenarnya tidak
selamanya kinerja perusahaan akan buruk) maka perusahaan pada masa-masa
normal harus mempertahankan Reserver Borrowing Capacity, yaitu kemampuan
meminjam uang dengan harga yang wajar pada saat munculnya peluang
berinvestasi.
Perusahaan dalam kondisi normal akan menggunakan lebih sedikit hutang dari
apa yang diungkapkan oleh MM dalam teori optimal capital structure-nya
sebagai cadangan bahwa perusahaan masih bisa menggunakan tambahan hutang
tanpa menyebabkan timbulnya a cost of financial distress karena menggunakan
hutang secara berlebihan.
2.5.2 Batas Penggunaan Hutang
Penggunaan hutang yang mempunyai keuntungan pajak membuat biaya
struktur modal (cost of capital) menjadi lebih murah apabila dibandingkan dengan
28
pembiayaan struktur modal melalui penerbitan saham. Namun dengan penggunaan
hutang yang berlebihan akan menyebabkan ketakutan dari para investor, apakah
perusahaan mampu membayar hutang-hutangnya tersebut (cost of financial distress)
dan juga para investor akan beranggapan bahwa perusahaan mempunyai kinerja yang
buruk lambat laun akan mengalami kebangkrutan. Kehilangan kepercayaan ini akan
mendorong para investor untuk melakukan aksi jual saham yang dimilikinya sehingga
akan menurunkan harga saham yang berarti juga menurunkan nilai perusahaan.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan penggunaan hutang pada
level tertentu akan membuat biaya modal menjadi lebih murah namun apabila hutang
digunakan melebihi batas wajar, malah akan menyebabkan menurunya nilai
perusahaan.
Menurut Ross, Westerfield, Randolph (2002, p425), ada beberapa cost of
financial distress yang harus dikeluarkan perusahaan apabila perusahaan mempunyai
hutang yang berlebihan yaitu :
1. Direct Cost of Financial Distress : Legal and Administrative Cost of
Liquidation or Reorganization.
Biaya yang dikeluarkan untuk membayar pengacara yang terlibat pada tahap
sebelum dan selama proses kebangkrutan serta biaya-biaya administrasi
lainnya.
2. Indirect Cost of Financial Distress
Sulitnya mengembalikan kepercayaan investor dan supplier adalah biaya yang
paling besar yang harus dibayarkan secara tidak langsung oleh perusahaan,
29
karena biasanya penjualan akan menurun drastis akibat dari ketidakpercayaan
tersebut.
3. Agency Cost
Penggunaan hutang juga akan memicu conflicts of interest antara stockholders
dan bondholders, dimana masing-masing pihak akan berusaha untuk
mendahulukan kepentingannya sendiri-sendiri apabila terjadi financial
distress.
2.6
Rasio Keuangan
Rasio keuangan untuk mengidentifikasi tolak ukur kinerja sebuah perusahaan.
2.6.1 Debt to Total Asset Ratio
Menurut Keown, Martin, John (2004, pp80)
Debt to Total Asset Ratio =
Total Debt
Total Asset
Rasio ini mengukur sejauh mana pembelian atau investasi atas aktiva
perusahaan didanai dengan hutang. Sedangkan menurut Eugene, Gapenski (1997,
p50), rasio total hutang dan total assets sering disebut sebagai debt ratio, mengukur
persentase dari pembiayaan yang disediakan oleh kreditur. Total hutang meliputi
hutang lancar (current liabilities) dan hutang jangka panjang (long-term debt).
Kreditur lebih menyukai debt ratio yang rendah, karena makin rendah rasio, makin
besar perlindungan terhadap risiko kerugian bagi kreditor dalam hubungannya
30
dengan likuidasi. Di lain pihak, pemegang saham mendapatkan keuntungan dari
leverage karena penggunaan hutang memperbesar earning.
2.6.2 Debt to Equity Ratio
Menurut Ross, Stephen, Westerfield, Randolph (2002, p35) Debt to Equity
Ratio adalah sebagai berikut :
Debt to Equity Ratio =
Total Debt
Total Equity
Debt to Equity Ratio dapat digunakan sebagai alat ukur dalam menghitung
seberapa besar leverage yang digunakan oleh perusahaan. Sebuah perusahaan yang
mempunyai Debt to Equity Ratio yang besar dapat memberikan imbal hasil yang
lebih besar kepada shareholder seiring dengan tingginya risiko yang dihadapi bila
dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai Debt to Equity Ratio yang lebih
kecil.
Menurut Werner, Jones (2004. p 480), Debt to Equity Ratio menunjukkan proporsi
hubungan antara hutang dan modal. Pihak keuangan menyebut rasio ini sebagai rasio
total hutang terhadap nilai bersih. Makin rendah nilai Debt to Equity Ratio, makin
rendah total hutang relatif terhadap total modal. Debt to Equity Ratio seuatu
perusahaan harus dievaluasi dipandang dari sudut perusahaan-perusahaan sejenis
dalam industri, kemapanan suatu perusahaan (the maturity of the company) dengan
kecenderungan bisnis baru mempunyai lebih banyak hutang relatif terhadap modal,
dan filsafat manajemen yang memperhatikan keseimbangan yang tepat antara
31
pembiayaan dengan hutang (debt financing) dan pembiayaan dengan modal (equity
financing). Sedangkan menurut Palepu, Healy, Bernard (2004, p5) Debt to Equity
Ratio merupakan sebuah indikasi berapa banyak dolar dari pembiayaan oleh hutang
yang digunakan oleh perusahaan untuk tiap dolar yang diinvestasikan oleh pemegang
sahamnya.
2.6.3 Profit Margin Ratio
Rasio profitabilitas merupakan salah satu rasio keuangan yang menunjukkan
perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tersebut.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa rasio profitabilitas ialah kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba selama periode tertentu.
Rasio profitabilitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Profit Margin
Ratio (PM). Rasio ini merupakan rasio antara laba usaha dengan penjualan yang
mengukur laba usaha yang dihasilkan dari setiap rupiah penjualan. Profit margin
digunakan untuk menghitung sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan
laba usaha pada tingkat penjualan tertentu.
PM =
2.7
laba usaha
penjualan
Leverage
Sesuai dengan CAPM, the required return hanya bergantung dari risiko yang
sistematis dari investasi. Dimana risiko yang sistematis dapat dibedakan menjadi dua.
Pertama, yang biasa disebut dengan risiko bisnis (business risk), atau operating risk.
32
Kedua, menunjuk pada risiko keuangan (financial risk). Sangatlah penting untuk
membedakan kedua tipe risiko ini, karena memberikan pengaruh pada require return
yang berbeda.
Sudah menjadi sifat dari investasi, bahwa perusahaan tidak dapat
mengendalikan risiko binisnya. Sebaliknya, risiko keuangan perusahaan ditentukan
oleh jumlah debt yang dimiliki perusahaan, yang disebut dengan financial leverage.
Lebih banyak leverage akan menaikan risiko. Financial leverage mengijinkan para
pemegang saham untuk mengendalikan lebih banyak aset dari yang dimungkinkan
jika mereka hanya memakai modal mereka. Lebih lanjut dari financial leverage, ada
tipe kedua dari leverage, yang disebut dengan operating leverage.
2.7.1 The Degree of Operating Leverage
Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko bisnis suatu perusahaan bisa
dilihat dari seberapa besar biaya tetap dalam struktur biaya perusahaan, yang
digunakan dalam operasi perusahaannya. Jika biaya tetap yang digunakan cukup
besar, maka bila terdapat sedikit perubahan yang besar pada penjualan maka akan
berdampak pada perubahan yang besar pada Return on Equity (ROE), begitu juga
sebaliknya, seperti dalam Houston and Brigham (2004, p482), ”In business
terminology, a high degree of operating leverage, other factors held constant, implies
that a relatively small changes in sales results in a large change in ROE.”
Brigham and Gapenski (1997, p573), “In business terminology, a high degree
of operating leverage, other factors held constant, implies thar a relatively small
33
change in sales result in a large change in ROE. We can calculate the breakeven
quantity by recognizing that breakeven occurs when ROE = 0, and hence, when
earnings before interest and taxes (EBIT) = 0.”
EBIT = 0 = PQ –VQ –E
Emery and Finnerty (2004, p318), “Operating leverage is the relative mix of
fixed and variable cost required to produce a product or service”. Operating
leverage berhubungan dengan kombinasi antara biaya tetap dengan biaya variabel
yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produksi barang dan jasa.
Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p519), “Operating leverage is the
responsiveness of the firm’s EBIT to fluctuations in sales”. Operating leverage
bertanggung jawab pada besarnya EBIT, dalam hubungannya dengan perubahan
pernjualan. Persamaan DOL berdasarkan penjualan :
Change in EBIT
% Change in EBIT
EBIT
DOLs =
=
% Change in Sales Change in Sales
Sales
Jika dimiliki data dari biaya, maka dapat digunakan formula :
DOLs =
Sales − Variable Cost
Q (P − V)
=
EBIT
Q (P − V) − F
Dalam menggunakan persamaan diatas, diperlukan data biaya untuk
mengetahui operating leverage. Tetapi bila hanya terdapat income statement, maka
dapat menggunakan persamaan :
DOLs =
Revenue Before Fixed Cost
S − VC
=
EBIT
S − VC − F
34
Dalam Scott, Martin, Petty and Keown (2005, p 522), ” The three versions of
the operating leverage measure all produce the same result. Data availability will
sometimes dictate which formulation can be applied. The crucial consideration,
though, is the you grasp what the measurement tells you.”
2.7.2 The Degree of Financial Leverage
Emery and Finnerty (2004, p320), “Operating risk depends principally on the
nature of the investment and to a lesser extend on the firm’s choice of operating
leverage. In contrast, financial risk depends mostly on financial leverage. When a
firm has some debt financing, the debt portion of its financing cost is fixed rather
than variable. Although we would exect a larger return to shareholders than ti
debtholders, shareholder return can vary from one period to the next without
affecting the operation of the firm. However, failure to make required debt payments
can result in bankruptcy. We could say, then, that financial leverage substitutes fixed
payments to debtholders for variable payments to shareholders.”
Scott, Martin, Petty, and Keown (2005, p524), “ Financial leverage as the
practice of financing a portion of the firm’s assets with securities bearing a fixed rate
of return in hope of increasing the ultimate return to the common shareholders.”
Financial leverage dapat difokuskan pada hubungan perubahan antara earning per
share dengan EBIT perusahaan. Tingkat pengembalian dari common shareholder
dapat dipusatkan pada earning per share, tetapi earning per share juga bukan
merupakan kriteria yang tepat untuk semua keputusan keuangan. Penggunaan
35
financial leverage dapat menghasilkan pengaruh pada keputusan-keputusan tertentu
saja. Untuk mengukur hubungan antara earnings per share dengan naik turunnya
EBIT, dapat dilihat dari persamaan :
Change In EPS
% Change In EPS
EPS
DFL =
=
Change In EBIT
% Change In Ebit
EBIT
Atau dapat juga menggunakan persamaan :
DFL =
EBIT
EBIT − I
Menurut Keown, John (2005, p525), Perusahaan dikatakan mempunyai
financial leverage ketika asetnya didanai dengan surat berharga bependapatan tetap
(fixed rate of return) atau dengan kata lain, kehadiran hutang dan atau saham preferen
sebagai sumber pendanaan aset dapat berarti perusahaan sedang menggunakan
financial leverage. Rasio ini mengukur tingkat sensitivitas laba per lembar saham
(positif atau negatif) terhadap perubahan laba operasional (EBIT). Berdasarkan hasil
pengamatan, semakin besar degree of financial leverage, akan semakin besar
fluktuasi pendapatan per lembar saham (earning per share).
Berdasarkan Eugene, Gapenski (1997, p48), perluasaan dari penggunaan
pembiayaan oleh hutang atau financial leverage, mempunyai tiga dampak penting :
(1) Dengan meningkatkan pendanaan melalui hutang, pemegang saham dapat
mengontrol perusahaan dengan investasi yang terbatas. (2) Kreditur melihat ke
modal, atau pendanaan oleh pemilik, untuk menetapkan batas aman (margin of
safety), Jadi jika pemegang saham hanya memberikan sedikit proporsi dari total
36
pembiayaan, sebagian besar risiko dari perusahaan akan ditanggung oleh kreditur. (3)
Jika perusahaan memperoleh lebih banyak pendanaan melalui investasi dengan
meminjam dana dan membayar bunga, tingkat pengembalian pada modal pemilik
diperbesar, atau ”leverage”.
Download