Sinopsis Bulan Juli di Bombay “Vella, sudah satu tahun aku mengenalmu, sudah satu tahun pula rasa ini terpendam,” ucapanku berhenti sebentar, aku berpikir kalimat apa yang tepat untuk menyatakannya, kenapa dengan penuturan lidah tak sepandai ketika aku merangkai kata-kata yang kutumpahkan dalam cerpen-cerpenku. “Bolehkah aku meminta izin ke walimu untuk segera melamarmu?” ucapku gugup. Vella termenung mendengar pertanyaanku. Diam tanpa jawaban. Ia menyeruput cappucinonya. Aku termenung menunggu jawabannya, sampai akhirnya… lampu tiba-tiba padam dan terdengar suara dentuman keras dari radius beberapa meter dari café ini. Sebuah suara ledakan. “Dhemmm…,” diikuti suara “pyaaarrr,” suara kaca-kaca pecah dan teriakanteriakan manusia. Café ini turut bergetar keras terguncang, pengunjung di café ini juga turut berteriak. Ada apa ini? Aku begitu panik. Suasana gelap di café ini membuatku tak bisa melihat Vella dan Pasha di depanku, aku juga tak bisa melihat suasana di sekelilingku, hanya teriakan orang-orang di sekitarku. “Oh my god,” teriakan-teriakan di dalam café begitu jelas kudengar. “Allah Allah Allah, ada apa ini,” seru Vella panik. Aku bisa merasakan meja depan kami bergetar bahkan celanaku ketumpahan cappuccino yang masih panas, aku sempat merasa kepanasan. “Allah, help me please,” seru Pasha. Aku berkali-kali juga menyebut nama Allah. “La haula wala kuwwata illa billah, Ya Robb, lindungilah kami dari bencana ini,” ucapku lirih dalam doa. “Vella pegang tangan Pasha, jangan terlalu panik,” kataku pada Vella. Aku terjebak di dalam café, sulit bagiku untuk keluar karena ruangan ini begitu gelap. “Ah…, Allah,” Pasha berteriak. Aku makin panik. “Kenapa dengan Pasha Vel?” tanyaku dengan suara ngos-ngosan. “Sepertinya Pasha pingsan terkena jatuhan benda dari atap, ya Tuhan sepertinya kening Pasha berdarah,” Vella berkata tak kalah panik. “Vel, bersembunyi di bawah meja ini,” teriakku. Vella menuruti sambil membawa tubuh Pasha yang pingsan ke kolong meja. Aku menyalakan senter di hpku, aku melihat wajah pucat Vella dan Pasha yang pingsan dengan keningnya yang berdarah. Bahkan aku melihat beberapa orang yang pingsan dan terjatuh di lantai dan beberapa orang yang juga bersembunyi di kolong meja. Getaran masih terus berlanjut, gelas-gelas pecah jatuh dari meja kulihat, Vella berkali-kali menutup wajahnya agar tidak terlempar pecahan kaca. Sepertinya ini bukan gempa, sepertinya ini efek getaran dari suara ledakan di luar sana. Ada apa ini? Suara-suara ledakan dan kaca pecah serta teriakan-teriakan manusia jelas terdengar di luar sana. Aku terus menyebut nama Allah meminta perlindungan kepada-Nya dari tragedi ini. Aku mengangkat tubuh Pasha yang pingsan dibantu beberapa orang dari dalam café ketika getaran itu berhenti. Vella berjalan di sampingku sambil memegang senter hp, memberikan penyinaran untuk langkah kami. Teriakan dan tangisan panik terdengar dari berbagai sudut. Sirine pemadam kebakaran, sirine mobil polisi dan sirine ambulance terdengar bersahutan. Puluhan mobil tersebut bergerak cepat menolong para korban. Semua panik, aku memasukkan tubuh Pasha ke dalam ambulance, aku dan Vella turut serta masuk di dalam ambulance, membawa Pasha ke rumah sakit. Aku melihat di kejauhan, bangunan megah yang akhirnya luluh lantak dan dilalap kobaran api. Para pemadam kebakaran sibuk di sana. Mobil ambulance yang kutumpangi nampaknya juga agak kesulitan untuk berjalan, suasana ruwet jalanan membuat badan jalan sulit untuk dilewati. Aku menatap wajah Vella yang juga pucat. “Putar arah, putar arah,” teriak seorang polisi berbadan gendut. Aku sangat kesal, kenapa mobil ambulance pun harus putar arah, tidak tahukah dengan kondisi genting ini? “Sungguh biadab teroris, pasti ulah orang Islam yang berjihad,” teriak polisi itu, aku mendengarnya dari dalam mobil. Astaghfirullah, miris sekali aku mendengarnya. Aku segera meremas botol air mineral yang kupegang dan hendak kulempar dari jendela agar mengenai muka polisi itu. “Jangan Kak Zumar,” Vella menahan tanganku yang sudah memegang remasan botol tersebut. “Bukan dengan cara seperti itu Kak kita melampiaskan kemarahan kita, masalah tidak akan selesai,” kata Vella. “Tapi dia menghina Islam Vella, agama kita dituduh teroris,” aku berkata sangat emosi. “Iya Kak, Vella paham, tapi tidak dengan cara seperti itu kita melampiaskan kemarahan, yang ada kita justru semakin dijudge agama yang identik dengan kekerasan, tebarkanlah kebaikan sebagai ciri khas agama Islam, agar mereka tahu Islam agama yang damai, polisi itu berkata seperti itu karena mungkin dia belum tahu saja Kak,” jelas Vella menatapku. Emosiku luluh seketika mendengar penjelasannya. Mungkin Vella benar, aku harus menunjukkan kebaikan kepada sesama, terutama di negeri minoritas muslim ini bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. “Maaf Vella, mungkin aku terlalu emosi,” kataku lirih menatapnya. Hari ini Bombay berduka, sumber ledakan itu ternyata dari Zaveri Bazaar, sebuah pusat perdagangan permata dan perhiasan di Bombay, jarak café dan Zaveri Bazaar sangat dekat, kurang dari 1 km, sehingga getaran begitu terasa. Ambulance melaju kencang, beberapa ambulance juga saling menyalip. Juliku di Bombay, diwarnai kehidupan indah tentangnya, tentang harapanku pada gadis bermata indah Vella Sufa. Juliku di bombay adalah cerita indahku bersama kawan-kawan PPI India di Danau Vihar, Rajabai Clock Tower dan Pantai Konkan. Bulan Juli di Bombay adalah warna-warni kehidupan, cinta dan persahabatan. Bagaimana kita membangun mimpi, harapan dan bagaimana kita memahami setiap perbedaan. Menjadi minoritas adalah pembelajaran bagiku untuk menampakkkan Islam yang indah, damai dan rahmatan lil alamin.