PALASTRèN - psg

advertisement
Jurnal Studi Gender
PALASTRèN
hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang
volume 2, nomor 2, Desember 2009
Jurnal Studi Gender
PALASTRèN
Volume 2, Nomor 1, Desember 2009
Pelindung:
Ketua STAIN Kudus
Penanggung Jawab:
Pembantu Ketua I STAIN Kudus
Mitra Bestari
Prof. Dr. Irwan Abdullah (Universitas Gajah Mada Yogyakarta)
Prof. Dr. Saedah Siraj (University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia)
Prof. Dr. M. Ridwan Lubis (UIN Syarief Hidayatullah Jakarta)
Nurkholis Setiawan, P.Hd. (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA. (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Pemimpin Umum
Siti Malaiha Dewi, M.Si. (Ketua PSG STAIN Kudus)
Pemimpin Redaksi
Nur Said, M.Ag., M.A.
Sekretaris Redaksi
Rini Dwi Susanti, M.Ag.
Dewan Redaksi
Primi Rohimi, S.Sos
Penyunting Pelaksana
Hj. Umma Farida, Lc. M.A.
Tata Usaha
Setyoningsih, S.S.
Penerbit
Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus
Alamat Redaksi
PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO Box 51
Telp (0291) 432677, Fax (0291) 441613 Kudus 59322
Email: [email protected], Website: www.psgstainkudus.multiply.com
Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli
dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait
dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi
persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki
susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Jurnal Studi Gender
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
Arab
Indonesia
tidak
dilambangkan
r
f
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
z
s
sy
sh
dl
th
dh
...‘...
g
‫ﻫ‬
‫ء‬
q
k
l
m
n
w
h
...’...
y
Bunyi madd :
ā ( )
Ī ( ! )
ū ( )
Bunyi diftong :
ay ( " )
aw ( " )
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
iv
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kehadirat Allah swt dengan ucapan
alhamdulliah akhirnya Jurnal PALASTReN Vol. 2,
No. 2, Desember 2009 menyapa pembaca dengan 8
(delapan) gagasan cemerlang dan 2 (dua) tinjauan buku yang
mencerahkan.
Rubrik IDE UTAMA memuat empat paper meliputi;
Pertama ditulis oleh Siti Muflichah dengan judul “Female
Genital Mutilation; a Barbaric Tradition?”. Paper
ini merupakan pertanyaan kritis atas tradisi yang sudah
mengakar di kalangan Islam termasuk di Jawa terkait khitan
perempuan. Dia bahkan secara implisit mengajak untuk
berpikir ulang bahwa tradisi khitan perempuan itu janganjangan adalah tradisi barbar (tak beradap) yang masih tersisa
dalam era yang mestinya sudah beradab. Selanjutnya Imam
Machali melalui papernya; “Poligami dalam Perdebatan,
Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks
Suci” juga tak kalah menarik menguak selubung tradisi
poligami dari Kitab Suci. Paper ini akan bisa memposisikan
pilihan poligami secara lebih proporsional dalam relasi gender.
Sedangkan Mas’udi melalui papernya; “Perempuan,
Sejarah Berliku dan Terpinggirkan, Analisa terhadap
Argumen Kesetaraan Gender” dengan kepekaan
antropologinya mencoba “membaca” positioning perempuan
dalam lintas sejarah yang menurutnya cukup kelam, karenanya
perlu gerakan pencerahan di tengah tantangan globalisasi.
Selanjutnya di tengah libido sex manusia yang semakin
terbuka, tulisan Jamal Ma’mur Asmani dengan judul;
”Kontroversi Nikah Mut’ah dan Nikah Mu’aqqod”,
cukup relefan untuk dijadikan renungan, terutama dalam
Jurnal Studi Gender
Pengantar Redaksi
menghadapi budaya hedonisme yang menjadikan perempuan
sebagai obyek seks belaka?
Rubrik RISET mengetengahkan empat fenomena
perempuan dalam realitas sosial dan empirik. Pertama melalui
paper Dewi Ulya Mailasari dengan judul ; “The Quest Of
American Women for Self Identity as Reflected in Edith
Wharton’s The House Of Mirth” cukup jeli menelaah
problem budaya Barat dalam memposisikan wanita. Dilemma
yang dihadapi wanita Amerika sekitar awal abad 20 dalam
memperoleh identitas diri sebagai pribadi yang utuh begitu
cukup menarik diungkap melalui paper ini. Selanjutnya Arif
Hidayat dengan papernya; “Pemberdayaan Perempuan
Dalam Pembangunan Hukum Berkeadilan Gender;
Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita
di Kabupaten Magelang” mengetengahkan kemungkinankemungkinan action research untuk transformasi sosial
yang adil gender di kalangan buruh perempuan di Magelang.
Pengalaman ini tentu bisa memberi inspirasi di daerah lain
sehingga kalau perlu mengadopsi atau mengadaptasinya.
Kemudian Irzum Farihah dengan perspektif sosiologisnya
cukup jeli memetakan sumber daya perempuan yang memiliki
etos kerja cukup tinggi di daerah nelayan. Namun bagaimana
sistem pengambilan keputusan dalam keluarga bisa dicermati
dalam papernya dengan judul; “Perempuan, Etos Kerja
dan Pengambilan Keputusan dalam Keluarga
Nelayan” . Bahkan dunia pendidikan juga tak lepas dari
isu gender sebagaimana diungkap oleh Ahmad Falah
melalui papernya; “Pendidikan Perempuan di Timur
Tengah”. Bila ingin memahami bagaimana perempuan
terlibat dalam dunia pendidikan di Timur Tengah paper ini
sangat membantu untuk memahaminya.
Rubrik BEDAH BUKU memperlengkap sajian
gagasan dalam edisi ini karena memuat dua ulasan buku terbaru
karya pegiat gender yakni pertama tulisan Siti Mu’arifah
mengulas buku karya Siti Malaiha Dewi; “Orientasi Politik
Perempuan Marginal”. Menurut perspektifnya buku ini
cukup membantu menangkap sikap dan kiprah perempuan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
v
vi
di akar rumput dalam pesta demokrasi tahunan. Sedangkan
Moh. Rosyid dengan cukup sabar mengetengahkan intisari
buku karyanya sendiri “Perempuan Sami; Dehumanisasi
Sistemik di Tengah Benturan Budaya Dominan”.
Kedua buku tersebut menjadi menarik karena di tengah
banyak orang berbicara politik perempuan pada tingkat
elite, namun ternyata di bawah fenomena perempuan yang
terpinggirkan masih begitu menonjol di tengah hegemone
kultur dan struktur yang masih bias gender ini sebagaimana
diungkap dalam kedua buku ini.
Tim redaksi sangat berapresisasi kepada semua penulis
yang telah berkontribusi menyumbangkan gagasan dan
idenya demi perjuangan kemanusiaan berbasis pada keadilan
gender. Gagasan-gagasan saudara akan menjadi saksi sejarah
bagi transformasi sosial yang adil gender, namun tetap
berbasiskan pada nilai-nilai Islam.
Akhirnya tim redaksi menyadari, meskipun proses
editing, desain dan tata letak sudah diusahakan secara
maksimal, namun tentu masih bisa ditemukan kesalahan atau
ketidaksesuain sehingga mengganggu estetika dan daya tarik
jurnal ini. Maka tim redaksi berharap masukan kepada para
pembaca yang budiman, demi kesempurnaan lebih lanjut.
Selamat membaca.
Redaktur
Jurnal Studi Gender
DAFTAR ISI
IDE UTAMA
FEMALE GENITAL MUTILATION:
A BARBARIC TRADITION?
Siti Muflichah
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN;
Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami
dalam Teks Suci
Imam Machali
1
13
PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN
37
TERPINGGIRKAN
(Analisa terhadap Argumen Kesetaraan Gender)
Mas’udi
KONTROVERSI NIKAH MUT’AH
DAN NIKAH MU’AQQOD
Jamal Ma’mur Asmani
RISET
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN
FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED
IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE
OF MIRTH
Dewi Ulya Mailasari
55
79
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
115
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
BERKEADILAN GENDER
(Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita)
Arif Hidayat
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
viii
PEREMPUAN, ETOS KERJA
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM
KELUARGA NELAYAN
Irzum Farihah
143
PENDIDIKAN PEREMPUAN
DI TIMUR TENGAH
Ahmad Falah
161
BEDAH BUKU
KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA
Siti Mu’arifah
PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK
Moh. Rosyid
Jurnal Studi Gender
179
183
Ide Utama
FEMALE GENITAL MUTILATION:
A BARBARIC TRADITION?
Siti Muflichah
Dosen STAIN Kudus
Abstrak: Tulisan ini mengulas pemotongan organ seks
perempuan, atau yang dalam bahasa luasnya dikenal
dengan sunat perempuan serta pro dan kontra di
kalangan feminis barat dan feminis Afrika. Feminist barat
mengklaim bahwa sunat perempuan adalah tindakan
brutal dan tidak manusiawi, sementara feminis Afrika
mengatakan bahwa klaim itu tidak benar karena sunat
perempuan mempunyai beberapa makna kultur yang
penting. Pelaku sunat perempuan juga menolak klaim
feminis barat tersebut. Ada solusi yang ditawarkan untuk
mengatasi hal ini, yaitu melihat persoalan ini dengan
menggunakan a cultural relativism dan a relational
approach. Pendekatan ini mencoba melihat sunat
perempuan dari sisi kultur serta membandingkan antara
sunat perempuan dengan operasi plastik yang banyak
dilakukan oleh perempuan barat.
Kata-kata Kunci: sunat perempuan, seks, tradisi
A.
Introduction
Female Genital Mutilation (FGM) has been known
worldwide. It has been practiced by young and adult women
in traditional cultures, particularly prevalent in Africa. There
are various forms of practice, ranging from prick to infibulate
women’s genital organ. The reasons vary from maintaining
womanhood to controlling women’s sexualities. Some
evidences show that FGM ends up with tear and other adverse
side effects.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
2
FEMALE GENITAL MUTILATION
The United Nations (UN) has adopted resolutions
to eradicate FGM since it is as harmful tradition and
discrimination to women’s reproductive rights. Furthermore,
some Western feminists in particular, and the West in
general, condemn it as a barbaric culture and propose steps
to abandon it. They argued that FGM is practiced to fulfill
men’s need in sexual activity and women do not have the
same sexual rights.
However, some black feminists argue that FGM has
unique history and value. It is based on deeply cultural values
and traditions. Therefore, it is not permissible to change their
cultural practices and beliefs.
This paper covers both debates. By using feminist
theorists, it tries to give balanced views on FGM. It covers from
definition of FGM, why some female should be circumcised,
where it is held, to how FGM has been controversy to some
feminists.
B.
Discussion
Rahman and Toubia (2001, p. 9), define FGM as:
“The collective name given to several different traditional
practices that involve the cutting of female genitals”
There are terminologies which have been used for FGM.
Some feminists maintain that female genital mutilation should
be distinguished from female circumcision, since it is not an
appropriate description, especially to explain infibulations
and clitoridectomy. The first one is one kind of FGM that is
sewing vaginal opening while the last one is removing part or
the entire clitoris (Momoh, 2005; Skaine, 2005).
There is critique for the term female circumcision as it
is regarded as same as male circumcision which removes the
foreskin of penis only (Njambi, 2004). According to feminists
who reject FGM, male circumcision does not damage the
male reproductive organ, while female circumcision damages
Jurnal Studi Gender
Siti Muflichah
physically and psychologically. Furthermore, male circumcision
maintains manhood, whereas female circumcision has aim to
limit their sexual activities (Momoh, 2005).
The term female genital mutilation is used by women’s
health practitioners and human right activists to define all
kinds of genital surgeries that remove a healthy organ which
cannot be remediable (Wangila, 2007).
Another term is genital mutilation which is rejected by
community which practices FGM as it is “offensive, alienating,
criminalizing and shocking”. It connotes evil intention which is
contrary to the aim of parents who circumcise their daughters
(Gruenbaum, 2001, p. 3-4).
Furthermore, FGM is rejected because the bias
associated with it. Western human right activists prefer to use
that term, but they are not critical to the body modification
such as piercing, labiaplasty, breast enlargement, bulimia
and anorexia (Jeffreys, 2005). Those things happen in
western countries which actually are not different form FGM.
Those who reject genital mutilation maintain that all kinds
of mutilation in every culture should be critiques similarly
(Gruenbaum, 2001).
There is a solution proposed. The new terminologies
are used such as female genital surgery and ritual genital
surgery, female genital alteration, female genital excision,
or sex mutilation which offered by Isabelle Gunning, Hope
Lewis and Carla Obermeyer. They said the terms have a value
neutral (Obermeyer, 1999, p. 79-106).
There are reasons vary why women undergone FGM.
In Egypt, it purposes to reduce women sexual desire and
behavior because of the size of the clitoris. (Momoh, 2005).
Some commentators suggest that in Roman, it was to protect
female slaves to be pregnant and in Russia, it was to ensure
virginity. In Africa, it is to gain social status in women’s group.
For girls, it is as a requirement for marriage (Kalev, 2004).
It is also to prepare to initiation into womanhood (Njambi,
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
3
4
FEMALE GENITAL MUTILATION
2004), preparation for pain in giving birth, and control for
women adultery by cutting female sexual desires (Mukoro,
2004). For the elders, it is believed to establish identity of
gender, and the rite is believed as an important to societal
survives. Furthermore, it is to show women bravery by keep
silent during the operation which usually without anesthetic
(James & Robertson, 2002).
FGM has been practiced in traditional cultures which
patriarchal society exists. It is common to see this practice
in some countries in Africa, Asia and Middle East. However,
according to Chase (2002), it has been found that in the
nineteenth century, FGM was practiced in the UK and the USA
to solve problem of women such as nymphomania, insanity,
and masturbation by gynecologists.
Some research encourage that FGM has several
drawbacks to women and children who perform it. Physically,
it may create bleeding, swollen vagina, and even death. The
causes might from the unhealthy knives or pins, used by the
circumciser. Children who have no choices may suffer from
psychological damage because of being forced to perform FGM
(Momoh, 2005). A research by Mukoro (2004) indicates that
many women suffer from FGM practice, such as dyspareunia,
frigidity, and lower sexual satisfaction. It is reported that
most respondents suffered from severe pains, then followed
by hemorrhage experience. Mukoro claims even though it
was not found significant less satisfaction when have sex after
performing FGM, sixty five percent of respondents wish that
they never had experienced of FGM and they wanted to stop
that practice.
Evidences were very clear from this research that gives
us a real report from women who practiced the FGM that there
were more suffer than happiness of FGM practice. Therefore,
western feminists argue, that FGM should be eradicated since
it violates the reproductive rights of women and girls, and it
is very dangerous to children as it is commonly perform upon
girls between four to twelve, or even 7day babies. “It violates
Jurnal Studi Gender
Siti Muflichah
the right to non-discrimination, health and bodily integrity”
(Momoh, 2005, p. foreword).
Walker and Parmar (1993) argue that FGM is sexist and
oppressive since it is a cultural practice to control women’s
pleasure on sexuality. It is torturous, barbaric and destroyed.
Most of feminists claim FGM as a universal oppression to
women by men and clearly shows it is male dominates social
structure.
The UN has released CEDAW (Convention on
Elimination of all forms of Discrimination Against Women) in
1981. This is described as a bill of rights for women. This is also
as a reference to abandon traditional practice that is based on
the idea of having more power to other sex. This convention
recommends that every nation should have effective actions
to eradicate dangerous traditional practices such as FGM. The
UN Declaration on the elimination of violence against women
in 1993 also focuses on violence that is based on gender
differences in public as well as in domestic area. In September
1995, Amnesty International (AI) includes FGM issue to the
forth UN World Conference on Women in Beijing. Since in
March 2004, AI has campaigned work against FGM globally
(UNICEF, 2003).
However, there are some counter arguments from
black feminists especially who had experience of FGM.
For example, Njambi (2004) claims that female genital
mutilation term is western construct. It does not cover that
the cultural practice that involves female genital modification
in Africa has a unique history, meaning, and high values, so
other states should stay away of FGM discussion. Based on
her own experience as a circumcised African woman, Njambi
explains that actually FGM gives African women access to
social, political and economic power in patriarchal society
and gives them a chance an important responsibility as local
history maintainers. Moreover, FGM practice is held in form
of a social activity, where most people gather, dance and share
happiness.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
5
6
FEMALE GENITAL MUTILATION
Obiora (1997) and Ahmadu (2000) reject that FGM is
a patriarchal control. They say that it is a shallow assumption
and misinterpret reality. It is practiced because of social culture
values such as fertility, solidarity among women, members of
tribe and social survive. Obiora (1997) adds that patriarchal
society has existed before FGM is practiced. Also, mentioning
that FGM is control to women’s sexuality is offensive to African
women as FGM is undergone for African values.
To defense FGM practice, Gosselin (2000) suggests
us to use cultural relativism. Its proponents believe that
the Western people should not interfere to FGM since those
who try to abandon FGM do not know much the current
situation where FGM is performed. Hale (1994, p. 34) is one
of the cultural realist before Gosselin. She is a researcher in
Sudan and Eritrea who claims that Westeners who campaign
to eradicate FGM have ‘arrogant perception’. It is a term to
describe how Western feminists emphasize that rescuing
such women from such traditions (like FGM) can be done
by abandoning women’s own religion, customs and culture,
and adopt those of the West. According to Leila Ahmed cited
in James (1998), it is a form of arrogant perception that is
supportive of colonialism and its institution. It is not about
what we know about FGM, but what we do with the knowledge
of FGM. Gunning (1994) supports Hale’s idea about this, that
approach to FGM is not by presenting the negative things of
FGM, especially in Africa, but by giving more attention to the
struggle of those women to overcome their problems.
Gruenbaum (2001) adds that FGM becomes popular
since people who are not from the culture, called outsiders,
have concluded carelessly that FGM practices violate value
of humanity. Therefore, they want to change this practice.
Unfortunately, these outsiders view the culture from their
own perspectives and those views create wrong concepts
and negative judgment which lead to prejudice. If there is no
understanding the view of insiders, change would not happen.
Furthermore, she asks if these practices are based on cultural
beliefs, why outsiders want to change them. She emphasizes
Jurnal Studi Gender
Siti Muflichah
that it is forbidden to try to change other cultural practices. If
it is permissible, there is no guarantee it would happen.
This misunderstanding is also found by some
anthropologists such as Shweder (2002) who finds outsiders’
misconception about what they see in the field of FGM and
what they read in academic literatures. Another anthropologist
is Obermeyer (1999) who claims that campaign of anti-FGM
is exaggerated and does not reflects reality. She says that
its publication shows no evidence of the adverse effect and
it is not accurate. As an illustration, a research by Gosselin,
Lightford-Klein and Gruenbaum reveals that in Mali, women
who undergone FGM experience sexual satisfaction (Gosselin,
2000). However, Toubia and Rahman (2001), African
feminists who oppose FGM claim that bad effect of FGM
cannot be denied, even though FGM adverse consequences
sometimes are misreported.
More interestingly, Shweder (2002) points out that
FGM is not a harmful cultural practice. It is like a cultural
group affiliation. Therefore, FGM is not a kind of patriarchal
domination. FGM is not enough example of gender inequality
as in Africa FGM is a way to treat girls equal to boys, because
boys are circumcised as well.
This is contradictory to ideas of feminist theorists such
as Bordo (1993), who maintains that woman’s body is placed
in term how woman’s sexuality is appropriate for domestic
activities. It is also as a source of sexual pleasure and in social
order, it is a gendered body. The body is in service to male
ideology, so essentially, woman’s body is the sexual body while
man’s body is neutral. The body itself is the object of modern
sexuality social construction which dominated by patriarchal
ideology (Jaggar & Bordo, 1989). Furthermore, Foucault
(1979) and Bourdieu (1977) suggest that the body is a place to
put control, where a male domination is produced. To analyze
male dominates over female, Foucault’s concept of power must
be used. Power is a wide concept, it is a function of continuing
forces, which is not held, but members of group have different
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
7
8
FEMALE GENITAL MUTILATION
position in the power. In case of FGM, the power means that
men have more power over women to decide about all women’s
role in society includes how to serve men in sexual activities,
by making their bodies are in danger. Furthermore, Foucault
adds that body as metaphor of war field. According to him,
the body is to describe difficulties to empower difference. To
explain this metaphor, Bordo (1993) states that the body in
the modern time as an object to be changed by diet, exercise
and plastic surgery. She introduces that notion of plasticity is
as a postmodern paradigm to improve and correct mortality
and materiality of the body. In the Sociology field, feminist
sociologists have shown that women’s bodies are reduced to
their genitalia, how women’s bodies are ‘objects of a male
gaze’, and as targets of violence (Lafrance, 2007, p. 264).
In FGM, it can be seen clearly that women’s bodies
are oppressed in cultural context. FGM is expression of
male dominance as a consequence of patriarchal dominance
perpetrated by men on women. According to Hosken (1993),
in certain cultures, African women as inferior group to African
men believe that marriage means stability and security.
To maintain those things, married women should satisfy
husbands’ sexuality. One of the ways is by undergone FGM.
Because it is believed that ugly female genitalia can be made
to be beautiful through infibulation. Furthermore, it is also
believed that uncircumcised women mean unmarriageable
ones. In addition, security and stability might not be achieved
by the women because the rare of employment opportunities.
However, when Bordo mentions body change through
plasticity, FGM should be distinguish from cosmetic surgery
crazes in the West. There are distinctions between of them.
FGM is culturally ordained that sometimes practiced upon
four year old girls who have no choices. It has severe risks and
it is life threatening, while body modification is usually done
by adults who have choices, and medically ordained (Njambi,
2004). However, Jeffreys (2005) argues that both FGM and
body modification in the West are as dangerous cultural
practices, because use women or girls as the agents who have
Jurnal Studi Gender
Siti Muflichah
less power. She criticizes why these practices become more
prevalent, especially the body modification such as piercing
and tattooing (Jeffreys, 2000). Davis (2002, p. 27) puts
her position in the middle and she understands that there
are complex issues dealing with African FGM and Western
cosmetic surgery, and it represents women as ‘undifferentiated
victims’.
Pedwell (2008, p. 89) offers a relational approach to
bridge these differences. It is a cross cultural comparison and
as an alternative for feminists to reveal the essential binaries
between two cultures, ethnics and morals that totally different.
In case of FGM and cosmetic surgery, these practices should
not be seen as essentially different but as cultural ‘analogues’.
Davis (2002) supports this idea, that women who perform
FGM are not same but analogues to western women who
practice plastic surgery which according to Jeffreys (2005) are
more brutal such as breast augmentation and labiaplasty. The
last one is almost same as FGM, as it is an operation on female
genitalia to make it more beautiful.
Conclusion
Create better understanding of FGM controversy is
more advantageous agreement among African-Westeners and
African feminists who oppose FGM.
To promote FGM eradication, the best knowledge is by
respecting local culture and by learning the context to avoid
overgeneralization. A culture should be valued with its own
context, not by other judgment. Condemnation in media is
not helpful.
To make women choosing to work against FGM,
it needs to improve women’s status. This can be achieved
through change some family law which regarded as hazard
women’s equality. It might be law relates to marriage, divorce,
and custody of children. It needs also support from local and
religious leaders, health practitioners and academic.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
9
10
FEMALE GENITAL MUTILATION
Jurnal Studi Gender
Siti Muflichah
References
Ahmadu, F. (2000). Rites and wrong: An insider/outsider reflections
on power and excision. In B.S. Duncan & Y. Herlund (eds.).
Female circumcision in Africa: Culture, controversy and
change. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers
Bordo, S. (1993). Unbearable weight, feminism, western culture and the
body. Berkeley, CA: University of California Press.
Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice. Cambridge, UK:
Cambridge University Press
Chase, C. (2002). “Cultural practices” or “reconstructive surgery”? U.S genital
cutting, the intersex movement, and medical double standard.
In S. M. James & C. C. Robertson, (eds.) Genital cutting and
transnational sisterhood: Disputing U.S. polemics. Chicago:
University of Illinois
Davis, S. W. (2002). Loose lips sink ships. Feminist Studies, 28 (1): 7-35
Foucault, M. (1979). Discipline and punish. New York: Vintage
Gosselin, C. (2000). Feminism, Anthropology and the politics of excision
in Mali: Global and local debates in a postcolonial world.
Anthropologica XLII: 43-60
Gruenbaum, E. (2001). The female circumcision controversy: An
Anthropological perspective. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press
Hale, S. (1994). A question of subjects: The female circumcision controversy
and politics of knowledge. Ufahamu. 22(3): 34
Hosken F. P. (1993). The Hosken report: Genital and sexual mutilation of
females. Lexington: Women’s International Network News
Jaggar, A., & Bordo, S. (1989). Gender/body/knowledge. New Brunswick,
NJ: Rutgers University Press
James, S. M., & Robertson, C. C. (eds.). (2002). Genital cutting and
transnational sisterhood: Disputing U.S. polemics. Chicago:
University of Illinois
James, S. M. (1998). Shades of othering: Reflection on female circumcision/
genital mutilation. Signs, 23(4): 1031-1048
Jeffreys, S. (2000). ‘Body art’ and social status: Cutting, tattooing, and
piercing from a feminist perspective. Feminism Psychology,
10(4): 409-429
Jeffreys, S. (2005). Beauty and misogyny: Harmful cultural practices in
the west. London, New York: Routledge
Kavlev, H. D. (2004). Cultural rights or human rights: The case of female
genital mutilation. Sex Roles, 51(5/6): 339-348
Lafrance, M. (2007). Embodying the subject: Feminist theory and
contemporary clinical psychoanalysis. Feminist Theory, 8:
263-278
Momoh, C. (Ed.). (2005). Female genital mutilation. Oxford, Seattle:
Radcliffe Publishing.
Mukoro, U. J. (2004). A survey on psychosexual implications of female
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
11
12
genital mutilation on Urhobo women of the Niger delta
Communities of Nigeria. Journal of Hum. Ecol., 16 (2), 147150
Njambi, W. N. (2004). Dualism and female bodies in representations of
African female circumcision: A feminist critique. Feminist
Theory, 5, 281-303
Obermeyer, C. M. (1999). Female genital surgeries: The known, the unknown,
and the unknowable. Medical Anthropology Quarterly, 13: 79106
Obiora, L. A. (1997). Bridges and barricades: Rethinking polemics and
intransigence in the campaign against female circumcision.
Case Western Reverse Law Review, 47 (2): 275-378
Pedwell, C. (2008). Weaving relational webs: Theorizing cultural difference
and embodied practices. Feminist Theory, 9: 87-107
Rahman, A., & Toubia, N. (2001). Female Genital Mutilation: A practical
guide to laws and policies worldwide. New York: Zed Books
Shweder, R. A. (2002). What about FGM? And why understanding
culture matters in the first place. In R. Shweder, M. Minov,
and H. Markus (eds.). Engaging cultural differences: The
multicultural challenge in liberal democracies. New York:
Russel Sage Foundation Press
UNICEF. (2003). FGM: Section 1 & 2. UNICEF
Walker, A., & Parmar, P. (1993). Warrior marks: Female genital mutilation
and the sexual blinding of women. San Diego: Harcourt Brace
and Co.
Wangila, M. N. (2007). Female circumcision: The interplay of religion,
culture, and gender in Kenya. Maryknoll, New York: Orbis
Books
Jurnal Studi Gender
Ide Utama
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN;
Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks Suci
Imam Machali*
Abstract: Discourse of polygamy in Islamic thought
has been being controvertion and interested in
discussed. Each arguments base on the same of Quranic
text are sura An Nisa; 3 and traditions. Discourse of
polygamy can be divided in the three opinions. The first,
polygamy absolutely was allowed in Islamic low, the
second polygamy was allowed by difficult conditions
and specific context. The third polygamy absolutely was
forbidden, because the principle of Islamic marriage is
monogamy.
In Indonesian context, the polygamy can be divided to
the four opinions. The first is opinion that polygamy
as syaria order, the second is opinion that polygamy
substantively is not Islamic precept, but Islam gradually
change polygamy practice in Jahiliyyah era to the
monogamy. The third is opinion that polygamy is not
only religious problem, but also socio-cultural problem,
and the fourth is opinion that polygamy can be practiced
to the orphan and widow with aim to covering for
them.
Key Word: Poligami, berlaku adil
A.
Pendahuluan
Sampai saat ini poligami sebagai salah satu bentuk
perkawinan dalam Islam masih menjadi perdebatan.
Petanyaan
seputur
apakah
poligami
benar-benar
*
Deputy Penelitian dan Pendidikan pada Lembaga Analisis Sosial dan
Penguatan Masyarakat (LANSKAP) Yogyakarta. Pengajar di Sekolah Tinggi
Ilmu Al Qur’an (STIQ) An Nur Yogyakarta, sedang menyelesaikan studi
program Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
14
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
diperbolehkan, dibenarkan dan sah di dalam ajaran Islam?.
Sebab dilihat dari dzahirul ayat (tekstualitas ayat, surat
An Nisa; 3) memperkenankan seorang laki-laki menikah
lebih dari satu istri dengan batas maksimal empat, atau
apakah poligami sebagai bentuk perkawinan, secara gradual
(berangsur-angsur) telah dihapuskan dalam Islam?. Karena
poligami dipandang sebagai perkawinan model jahiliyah yang
sampai saat Islam turun masih men-tradisi di masyarakat
Arab, sehingga prinsip pernikahan yang benar dan sah dalam
Islam adalah monogami?. Perdebatan semacam ini tidak
mendapatkan titik temu karena masing-masing pendapat
mendasarkan argumennya dengan ayat al-Qur’an dan hadist
nabi, sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Yang
menarik dari silang pendapat ini adalah ayat dan hadist yang
digunakan adalah sama yaitu surat An Nisa/ 4: 3, 129 dan
beberapa hadist nabi.
Di tanah air—Indonesia—debat tentang poligami
semakin mengemuka dan menarik perhatian ketika praktik
poligami secara terang-terangan dilakukan oleh para
publik fugur mulai dari pengusaha, politisi, ulama, sampai
pelawak. Poligami kemudian menjadi bahan diskusi dan
perdebatan yang mewarnai wacana publik kita. Perdebatan
tentang poligami di Indonesia setidaknya dapat dipetakan
dalam empat kelompok pandangan. Pertama, kelompok
yang menempatkan poligami sebagai perintah dari syari’at.
Poligami adalah ajaran dan perintah Islam. Kelompok ini
menganggap mereka yang menolak poligami adalah menolak
syari’at Islam. Atas legitimasi tafsir teks versinya, poligami
kemudian dipraktekkan, baik secara terang-terangan dan
mengumumkan ke publik, atau secara sembunyi-sembunyi.
Kedua, kelompok yang menempatkan poligami bukan
sebuah ajaran dari Islam, tetapi Islam memberi ruang untuk
mengubahnya dengan gradual, sampai akhirnya umat Islam
bisa memahami hingga tahap tertentu bahwa poligami pada
dasarnya bukan berasal dari Islam, dan bukan dicetuskan
oleh Islam. Islam mengakui hanya sebagai strategi gradual
agar Islam bisa diterima di Arab. Selebihnya Islam yang
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
paling jelas adalah membawa ide besar keadilan terhadap
perempuan, mengakui perempuan sebagai manusia yang
wajar, tidak tersubbordinasi oleh laki-laki.1
Ketiga, kelompok yang memahami poligami sebagai
praktek yang tidak bisa ditinjau semata dari kacamata
agama. Ada dimensi-dimensi hubungan sosial-masyarakat,
sebab menyangkut banyak hal seperti personal, suami istri,
anak-anak, dan berbagai keluarga. Hal ini mempengaruhi
tatanan sosial masyarakat. Dari sini maka berkembang
bahwa poligami adalah persoalan sosial, bukan persoalan
individu. Dengan begitu, dalam konteks Indonesia, negara
harus campur tangan untuk memberikan regulasi yang bisa
memberikan rasa keadilan terhadap perempuan yang selama
ini tersubbordinasi oleh sistem patriarki.
Keempat, kelompok yang berpandangan bahwa
poligami hanya bisa dilakukan terhadap anak yatim dan
janda, bukan terhadap gadis, yaitu untuk melindungi mereka.
Menurut pandangan ini poligami dengan seorang gadis
atau perempuan yang bukan yatim dan bukan janda adalah
kekeliruan mendasar.
Tulisan ini bermaksud mengungkapkan perdebatan
dan perbedaan argumentasi dalam memahami poligami
dalam Islam. Pembahasan didasarkan pada argumentasi teks
yang menjadi pedoman dan rujukan umat Islam.
B.
Poligami
Poligami2 adalah perkawinan yang salah satu pihak
(suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan,
artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami—
tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya. Orang yang
melakukan ini disebut bersifat poligam. Selain poligami juga
dikenal istlah poliandri. Poliandri adalah bentuk perkawinan
yang salah satu pihak (istri) memiliki lebih dari satu suami
pada waktu yang bersamaan. Dibandingkan dengan poliandri,
praktek poligami lebih banyak dipraktekkan dalam kehidupan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
15
16
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Poliandri hanya dapat ditemukan pada suku-suku tertentu
saja, seperti pada suku Tuda dan beberapa suku di tibet.
Kebalikan dari bentuk perkawinana poligami adalah
monogami. Monogami adalah bentuk perkawinan yang hanya
memperbolehkan suami mempunyai satu istri. Perkawinan
model monogami ini dalam realitasnya lebih banyak
diparaktekkan dalam kehidupan, karena dirasakan paling
sesuai dengan tabiat manusia.3
Perselisihan pendapat mengenai poligami yang
merujuk pada argumentasi teks suci—al-Qur’an dan hadits—
paling tidak dapat dikelompokkan menjadi tiga bagain
pertama, kelompok yang memperbolehkan poligami secara
mutlak. Kedua, kelompok yang memperbolehkan poligami
dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan dalam kondisi
tertentu. Ketiga kelompok yang melarang poligami secara
mutlak, dengan alasan bahwa prinsip pernikahan di dalam
Islam adalah monogami. Ketiga argumentasi tersebut akan
diulas sebagai berikut.
C.
Poligami Diperbolehkan Secara Mutlak
Mayoritas ulama atau pemikir klasik dan pertengahan
membolehkan praktek poligami yaitu laki-laki mempunyai
istri lebih dari satu dengan batas maksimal empat istri. Imam
mazhab dalam karya-karyanya4 membolehkan poligami
dengan syarat pertama, harus mampu mencukupi nafkah
keluarga dan kedua, harus mampu berbuat adil terhadap istriistrinya. Dipersyaratakanya adil di sini adalah meliputi adil
dalam pembagian materi atau nafkah, waris mewarisi, dan
medatangi (menggilir) para istri yang menjadi bagiannya.
Keadilan di sini lebih pada keadilan lahiriyah atau fisik
bukan keadilan bathiniyah, sebagaimana perilaku nabi dalam
berbuat adil kepada para istrinya, yaitu dengan mendatangi
giliran malamnya dan nafkahnya, lantas nabi berdo’a
“Ya Allah, ini lah bagian (keadilan) yang berada dalam
kemampuanku, maka janganlah tuntut aku menyangkut
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
(keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku” (HR.
Ahmad, An Nasa’i dan Abu Daud.)
Alasan pembolehan poligami ini didasarkan pada surat
an Nisa/ 4: 3
‫ ﺧﻔﺘﻢ ﻻ ﺗﻘﺴﻄﻮ ﻓﻲ ﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮ ﻣﺎ ﻃﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﻟﻨﺴﺎ‬
‫ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ‬#‫ *ﺑﺎ( ﻓﺈ ﺧﻔﺘﻢ ﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﻓﻮﺣﺪ‬+‫ﻣﺜﻨﻰ ﺛﻼ‬
‫ﻧﻰ ﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮ‬/ ‫ﻟﻚ‬1 ‫ﻳﻤﺎﻧﻜﻢ‬
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil
terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim (bila mana
kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempaun (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berbuat adil, maka (kawinilah) seseorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S
An Nisa/ 4: 3)
Dan hadits nabi yang menceritakan tentang seorang
pria bani Tsaqif yang memiliki sepuluh istri, ketika ia masuk
Islam, nabi memerintahkan untuk mempertahankan empat
dan menceraikan yang lainnya. Dalam kasus lain diceritakan,
bahwa ketika Naufal Ibnu Muawwiyah masuk Islam, ia
memiliki lima orang istri, kemudian Rasullulah berkata
“ceraikan yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada
kasus Qais Ibn Tsabit juga demikian. Ketika ia masuk Islam ia
memiliki delapan orang istri, dan di ceritakan hal itu kepada
rasullullah, dan beliau berkata “pilih dari mereka empat
orang”.5
Dari riwayat-riwayat tersebut jelas bahwa nabi
memperbolehkan para sahabatnya mempunyai istri lebih
dari satu orang (poligami). Lebih-lebih nabi juga melakukan
praktek poligami.6
Berkenaan dengan persoalan keadilan yang disyaratkan
dalam surat an Nisa’ tersebut, para ulama mengaitkannya
dengan ayat 129 surat An Nisa yang berbunyi.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
17
18
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
‫ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﺑﻴﻦ ﻟﻨﺴﺎ ﻟﻮ ﺣﺮﺻﺘﻢ ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ‬
*‫ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺗﺼﻠﺤﻮ ﺗﺘﻘﻮ ﻓﺈ ﷲ ﻛﺎ ﻏﻔﻮ‬
‫*ﺣﻴﻤﺎ‬
“Sesungguhnya kalian para suami tidak akan mampu
berbuat adil diantara istri-istrimu walaupun kalian
sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah
kalian terlalu menyayangi salah satu istri, sementara
istri lainnya kalian biarkan terkatung-katung.
Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa,
maka Allah maha Pengampun lagi maha penyayang”
(Q.S. An Nisa/ 4:129)
Menurut Imam Syafi’i dan beberapa ulama lain,
keadilan yang dimaksud disini berhubungan dengan keadilan
bathiniah (hati) yang tidak mungkin hati akan berbuat adil.
Sehingga persyaratan berlaku adil apabila seorang laki-laki
mempunyai istri lebih dari satu (poligami) adalah adil secara
lahir/ fisik, yaitu dalam perbuatan dan perkataan.7 Keadilan
dalam urusan fisik ini yang juga dituntut oleh surat al Ahzab/
33: 50 “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” dan al
Baqoroh 2: 228 “..dan pergaulilah dengan mereka secara
patut”.
Alasan lain yang digunakan ulama klasik dan
pertengahan untuk membela keberadaan poligami adalah di
dasarkan pada lanjutan surat an Nisa/ 4: 129 yang berbunyi:
‫ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ‬
“...Karena itu, janganlah kalian terlalu menyayangi
salah satu istri, sementara istri lainnya kalian biarkan
terkatung-katung”.
Ayat ini menegaskan bahwa sepanjang tidak terlalu
condong kepada salah satu di antara istri yang mengakibatkan
terabaikannya (terkatung-katung) hak-hak istri yang lain,
berarti sudah termasuk kelompok yang sudah berbuat adil,
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
sebagai syarat yang dikehendaki al-Qur’an untuk poligami.8
Dengan argumen-argumen tersebut para ulama klasik
berpendapat bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat
harus berbuat adil—adil secara fisik atau dzahiriyah—
sebagaimana tersebut di atas.
Dalam mengkritisi pendapat ulama klasik dan
pertengahan tersebut, khairuddin memberikan dua catatan.
Pertama, dari pendapat para ulama mazhab hanya Imam
Syafi’i yang menghubungkan surat an Nisa’ 4: 3 dengan ayat
129 yang menurut sebagian pemikir merupakan jawaban
terhadap ayat pertama, tetapi Imam Syafi’i tidak memandang
demikian. Kedua, dari pendapat dan pembahasan mengenai
ayat poligami, para ulama klasik (mazhab) tidak ada yang
mencatat atau mengulas sebab turunya ayat atau konteks.
Demikian juga tidak ada yang menghubungkannya dengan
pembahasan ayat sebelumnya, yaitu an Nisa/ 4: 1 dan 2. dengan
demikian pembahasan dan pendapat para Imam/ ulama
mazhab tersebut terlihat sangat literalis dan a-historis.9
D.
Poligami Diperbolehkan Dengan Syarat
Pandangan yang kedua mengenai poligami adalah,
bahwa poligami di perbolehkan dengan syarat-syarat tertentu
yang ketat dan dalam konteks atau kondisi tertentu. Poligami
tidak dengan serta merta diperbolehkan dan juga tidak secara
ekstrim ditolak. Kebanyakan pemikir Islam kontemporer
memilih jalan “moderat” semacam ini. Diantara para pemikir
yang termasuk dalam kelompok ini adalah Quraish Syihab,
Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain.
Quraish Syihab, seorang mufassir asal Indonesia,
sebagaimana para pemikir lain, ketika mengulas tentang
poligami mendasarkan pada surat An Nisa/ 4: 3 dengan
meberikan ulasan tentang sejarah turunya ayat tersebut dan
menjelaskan bahwa ayat tersebut berbicara tentang bolehnya
poligami, turun berkaitan dengan sikap sementara pemelihara
anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka
karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil.10
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
19
20
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Lebih lanjut Quraish Shihab memberikan lima catatan
terkait dengan surat An Nisa/ 4: 3 tersebut:
1. Ayat tersebut pada dasarnya ditujukan kepada para
pemelihara anak-anak yatim yang hendak menikahi
mereka tanpa berlaku “adil”. Tetapi karena redaksi
ayat tersebut bersifat umum, dan karena kenyataan
sejak masa nabi Muhammad s.a.w dan sahabat belau
menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak
yatim pun berpoligami, dan itu terjadi sepengetahuan
rasul s.a.w., maka tidaklah tepat menjadikan ayat
tersebut hanya terbatas kepada para pemelihara anakanak yatim saja.
2. Kata (‫ )ﺧﻔﺘﻢ‬khiftum yang biasa diartikan takut,
yang juga dapat berarti mengetahui, menunjukkan
bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau
bahkan menduga tidak akan berlaku adil terhadap
istri-istrinya—yang yatim ataupun yang bukan—
maka mereka itu diperkenankan oleh ayat tersebut
melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah
yang yakin11 atau menduga keras dapat berlaku
adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak,
seyogyanya tidak di izinkan poligami.
3. Ayat di atas menggunakan kata (‫ )ﺗﻘﺴﻄﻮ‬tuqsithu dan
(‫ )ﺗﻌﺪﻟﻮ‬ta’dilu yang keduanya diterjemahkan berlaku
adil. Ada ulama yan mempersamakan maknanya, dan
ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa
tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau
lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang.
Sedang ta’dilu adalah berlaku baik terhadap orang
lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja
tidak menyenangkan salah satu pihak. Jika makna
kedua ini difahami, maka itu berarti izin berpoligami
hanya diberikan kepada mereka yang menduga bahwa
langkahnya itu dia harapkan dapat menyenangkan
suami istri yang dinikahinya. Ini difahami dari kata
tuqsithu, tetapi kalau tidak dapat tercapai, maka
paling tidak ia harus berlaku adil, walaupun itu bisa
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
tidak mennyenangkan salah satu di antara mereka.
4. Firman-Nya “maka nikahilah apa yang kamu
senangi” bukan “siapa yang kamu senangi” bukan
dimaksudkan—seperti tafsir beberapa ulama klasik
yang mengandung bias—untuk mengisyaratkan bahwa
perempuan kurang berakal, dengan alasan bahwa
pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah bagi
sesuatu yang tidak berakal dan siapa untuk berakal.
Sekali lagi bukan itu tujuannya, tetapi agaknya
pemilihan kata itu bertujuan menekankan tentang
sifat perempuan itu, bukan orang tertentu, nama atau
keturunannya. Bukankah jika anda berkata: “siapa
yang dia nikahi?”. Maka anda menanti jawaban tentang
perempuan tertentu, namanya dan anak siapa dia?.
Sedangkan bila anda bertanya dengan menggunakan
kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah
sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau
gadis, cantik atau tidak, orang baik atau tidak, dan
sebagainya.
5. huruf () waww pada ayat di atas bukan berarti dan,
tetapi berarti atau, seingga dua-dua, tiga-tiga, atau
empat-empat, bukan izin menjumlahkan angka-angka
tersebut, sehingga dibolehkan berpoligami dengan
sembilan atau bahkan delapan belas perempuan.
Di samping secara redaksional ayat tersebut tidak
bermakna demikian, Rasul s.a.w. pun secara tegas
memerintahhkan Gilan Ibnu Umayyah Ats Tsaqofi yang
ketika itu memiliki sepuluh istri, agar mencukupkan
dengan empat orang dan menceraikan yang lainnya.
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang
melarang orang lain makan makanan tertentu, dan
untuk menguatkan larangan tersebut dia berkata:
“Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan
ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada
dihadapan anda”. Tentu saja perintah menghabiskan
makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya
mengindahkan larangan untuk tidak maka makanan
tertentu itu.12
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
21
22
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Bagi Quraish Shihab, surat 4: 3 hanya berbicara tentang
bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil,
yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dan dengan syarat
yang tidak ringan.13 Diibaratkan seperti dengan pintu darurat
dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam
keadaan emergency tertentu; yang duduk disamping pintu
darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan
dan kemampuan membukanya, dan baru diperkenankan
membukanya pada saat mendapat izin dari sang pilot.14
Ditambahkan bahwa, menurut Quraish Shihab,
pembahasan mengenai poligami dalam pandangan alQur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan
buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan
hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi, serta
melihat pula sisi pemilihan aneka alternatif yang terbaik.
Bukankah hal yang wajar bagi suatu perundangan, apalagi
agama yang bersifat universal dan berlaku untuk stiap waktu
dan tempat untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang
boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadiannya
baru merupakan kemungkinan,15 seperti kemungkinan
mandulnya istri, terjangkit penyakit parah, dan alasan dan
kondisi lain. Dengan demikian, poligami mestinya mampu
menjadi alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut.
Mengenai persoalan “keadilan” yang ada pada ayat
(4): 3 dan hubungannya dengan “keadilan” pada ayat (4):
129, Quraish Shihab sependapat dengan ulama klasik, bahwa
tuntutan keadilan sebagai syarat bolehnya poligami adalah
pada hal-hal yang berhubungan dengan materi yang dapat di
ukur dengan angka, bukan pada perasaan hati dan cinta yang
tidak mungkin dapat diukur. Menurut Syid Sabiq, keadilan
suami kepada para istrinya di sini mencakup masalah
makanan, tempat tinggal, pakaian dan giliran bermalam
bersama masing-masing mereka dan kewajiban-kewajiaban
bersifat materi lainnya. Jika seorang hanya yakin dapat
berlaku adil dengan dua istri, haram baginya menikah yang
ketiganya kalinya, dan begitu seterusnya.16
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
Pendapat lain yang membolehkan pligami dengan
syarat atau dengan kondisi tertentu diungkapka oleh Ashgar
Ali Engineer, menurutnya berdasarkan konteks turunya ayat
(4): 3 tersebut, perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah
monogami, sedangkan poligami adalah pengecualian.17
Ditambahkan bahwa konteks turunya ayat ini adalah ketika
telah selesai perang Uhud, yaitu perang yang merenggut
nyawa (syahid) sahabat sebanyak 70 dari 700 orang laki-laki.
Akibatnya banyak perempan muslimah menjadi janda dan
anak yatim, yang harus dipelihara. Maka menurut konteks
sosial ketika itu jalan terbaik untuk memelihara dan menjaga
para janda dan anak yatim adalah menikahi mereka, dengan
syarat harus adil.18 Dengan demikian, pemahaman terhadap
ayat tersebut adalah, menikahi janda dan anak-anak yatim
dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk
kepuasan seks.19 Sehingga pemberlakuan ayat tersebut harus
dilihat dalam konteks tertentu, temporal dan bukan berlaku
universal atau untuk jangka waktu yang tak terbatas.
Dengan melihat pada sejarah pra-Islam, Ashar Ali
Engineer menambahkan bahwa, bentuk perkawinan yang
ada sebelum Islam adalah tidak terbatas, sehingga seorang
laki-laki boleh menikahi wanita berapapun ia mau dan
mampu. Kemudian Islam datang dengan mambawa aturan
pembatasan maksimal empat istri, sebuah pengurangan yang
sangat drastis dan sebuah reformasi yang luar biasa pada
masanya. Demikian juga dicontohkan nabi, poligami nabi
hanya kepada janda. Maka kebolehan poligami hanya dalam
keadaan-keadaan tertentu yang sangat sulit.20
Riffat Hasan, berpandangan bahwa, poligami
adalah satu pengecualian dengan syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana Asgar Ali Engineer, Riffat juga berpendapat
bahwa, untuk memahami ayat 4: 3 secara utuh harus melihat
konteks ayat ini turun dan dalam kondisi seperti apa. Ayat ini
turun setelah kekalahan pasukan muslim pada perang Uhud,
akibatnya banyak janda dan anak yatim yang membutuhkan
pertolongan (perwalian) akibat ditinggal syahid oleh suami
dan babak-bapak mereka. Dengan melihat konteks turunya
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
23
24
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
ayat tersebut maka, tujuan diperbolehkannya poligami
adalah untuk tujuan kemanusiaan, yakni untuk menjaga dan
memelihara anak yatim dan janda. Dengan demikian, orang
yang akan melakukan poligami untuk sekarang pun harus
sesuai dengan tujuan dasar itu.21
Fazlur Rahman, memberikan ulasan tentang persoalan
ini. Menurut rahman, asas ideal pernikahan di dalam
Islam adalah monogami, sedangkan pengakuan poligami
sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat 4:3 adalah
bersifat kasuistik dan spesifik untuk penyelesaian masalah
yang terjadi pada masa itu, yaitu tindakan wali yang tidak rela
mengembalikan harta anak yatim setelah anak yang ada dalam
perwaliannya sudah cukup dewasa. Ditambahkan bahwa,
untuk memahami ayat 4: 3 tersebut harus dihubungkan dengan
ayat 4: 127-129 dan 2, yang berbicara masalah perwalian dan
anak yatim.22
Menurut Muhamad Abduh, poligami diperbolehkan
dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak, seperti tidak
mendapatkan keturunan. Di samping itu Abduh sangat
mencela poligami yang bertujuan untuk memuaskan hawa
nafsu.23
Demikianlah kelompok yang berpendapat bahwa
poligami diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan dengan
syarat yang sangat ketat.
E.
Poligami Dilarang Secara Mutlak
Sebagaimana argumentasi kelompok yang mendukung
dan mensyaratkan poligami, yang menolak poligami pun
menggunakan dalil yang sama, yaitu surat an Nisa (4):3. Ayat
ini memang satu-satunya ayat yang memberikan informasi
bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam. Karana
jelas-jelas secara dzahir dikatakan “nikahilah perempuanperempuan yang kamu sukai; dua, tiga atau empat”. Bagi
penolak poligami ayat ini harus difahami tidak secara terpisah
dengan ayat-ayat lain (sebelum dan sesudah serta ayat-ayat
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
yang berkaiatan dengannya) dan harus juga memperhatikan
asbabul nuzul-nya (konteks peristiwa ayat turun). Dalam
memahami ayat ini, mereka menggunakan metode penafsiran
maudhu’i (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan tema tertentu, kemudian mengkaitkan dan
membahasnya secara mendalam sehingga ditemukan sebuah
kesimpulan yang mempertautkannya.
Musdah Mulia24—feminis Indonesia—mengkaitkan
ayat ke 3 surat An-Nisa dengan dua ayat sebelumnya yang
berbunyi:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakantindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.”
Ayat pertama berisi tentang perintah kepada
manusia untuk bertaqwa kepada Allah. Sedangkan ayat
kedua berisi penegasan agar berlaku adil, terutama
terhadap anak yatim. Ayat kedua ini secara spesifik
berbicara tetang anak yatim sebagai akibat dari perilaku
tribal—peperangan antar suku/bangsa—masyarakat
arab pada masa itu. Sudah menjadi tradisi masyarakat
jahiliyah bahwa anak yang ditinggal mati orang tuanya
di medan perang menjadi tanggungjawab dan kekausaan
para walinya. Termasuk penguasaan menguasai hartaharta mereka sampai mereka dewasa dan mampu
mengelola sendiri hartanya.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
25
26
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Akan tetapi, kenyataan yang terjadi menunjukkan
banyak para wali yang berperilaku curang terhadap anak-anak
yatim tersebut dengan tidak memberikan hartanya setelah
mereka dewasa. Kecurangan lain adalah para wali menukarkan
barang-barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau
mereka memakan harta anak yatim yang bercampur dengan di
dalam harta mereka. Tradisi ini nampaknya berlanjut hingga
Islam datang dan ayat ini turun untuk mengecam perilaku
para wali tersebut.
Selanjutnya ayat ke 3 nya sekaligus memberikan solusi
dari problem itu, sehingga ayat tersebut berbunyi:
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil
terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim (bila mana
kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempaun (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berbuat adil, maka (kawinilah) seseorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S
An Nisa/ 4: 3)
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa,
ayat ini turun di Madinah setelah kekalahan pasukan kaum
muslimin pada perang Uhud. Rasyid Ridha25 menambahkan
bahwa asbabun nuzul ayat ini di antaranya adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi
dari Urwa Ibn Zubair: “Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah
tetang sebab turunya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan ayat
ini turun bekenaan dengan anak yatim yang berada dalam
pemeliharaan walinya. Kemudian, walinya itu tertarik dengan
kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi
tanpa mahar”.
Riwayat lain menjelaslaskan26 “beliau menjelaskan
bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lakilaki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis
dan dia tiadak sanggaup lagi menafkahi istrinya yang banyak
itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya
untuk membiayai kebutuhan istri-istri lainnya. Para penolak
poligami juga menghubungkan Ayat 3 an Nisa tersebut dengan
ayat 129 surat an Nisa yang yang berbunyi:
‫ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﺑﻴﻦ ﻟﻨﺴﺎ ﻟﻮ ﺣﺮﺻﺘﻢ ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ‬
*‫ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺗﺼﻠﺤﻮ ﺗﺘﻘﻮ ﻓﺈ ﷲ ﻛﺎ ﻏﻔﻮ‬
‫*ﺣﻴﻤﺎ‬
“Sesungguhnya kalian para suami tidak akan mampu
berbuat adil diantara istri-istrimu walaupun kalian
sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah
kalian terlalu menyayangi salah satu istri, sementara
istri lainnya kalian biarkan terkatung-katung.
Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa,
maka Allah maha Pengampun lagi maha penyayang”
(Q.S. An Nisa/ 4:129)
Ayat ini menjelaskan tentang keadilan yang tidak
mungkin akan dapat dipenui oleh suami yang berpoligami,
meskipun mereka sangat ingin berbuat demikian. Menurut
mereka, adil yang di syaratkan disini adalah adil secara
immateri (bathiniah) yaitu hub (cinta) dan Jima’ (hubungan
suami istri)27 yang tidak akan dapat terpenuhi oleh suami
yang berpoligami meskipun ia sangat ingin melakukan dan
berusaha semaksimal mugkin, sebagaimana tertutur dalam
ayat tersebut, “Sesungguhnya kalian para suami tidak akan
mampu berbuat adil di antara istri-istrimu walaupun kalian
sangat ingin berbuat demikian”. Hanya nabi sajalah yang
mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, namun pada saat
yang sama nabi Muhammad s.a.w pun juga mengakui bahwa
beliau tidak dapat berlaku adil, sebagaimana diungkapkan
oleh Aisyah bahwa rasul mengadu kepada Allah:
“Ya Allah, ini lah bagian (keadilan) yang berada dalam
kemampuanku, maka janganlah tuntut aku menyangkut
(keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku”
(HR. Ahmad, An Nasa’i dan Abu Daud.)
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
27
28
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Dasar ayat inilah yang menjadi pembenaran penolakan
poligami, sebab keadilan yang menjadi syarat poligami tidak
mugkin terpenuhi. Lebih lanjut mereka menambahkan bahwa,
ayat 4: 3 seharusnya dilihat sebagai sebuah proses evolusi
penghapusan poligami. Pembatasan maksimal empat istri
dari sebelumnya tanpa batas adalah pembatasan dari proses
evolusi yang belum selesai, sampai kepada hanya monogami
yang menjadi prinsip pernikahan dalam Islam.
Dengan demikian, suami yang berpoligami tidak
mungkin dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, terutama
dalam bidang immateri. Karena ia tidak akan mampu berbuat
adil, maka poligami seharusnya dilarang. Nabi Muhammad
juga pernah mengingatkan bahwa, jika seorang muslim
melakukan poligami sedangkan ia yakin tidak akan mampu
menerapkan keadilan terhadap istri-istrinya, sesunggunya
ia telah melakukan dosa besar di hadapan Allah. Terhadap
mereka nabi mengancam dengan sabdanya:
“Apabila ada seorang suami mempunyai dua istri dan dia
tidak berlaku adil di antara keduanya, dia akan datang
pada hari kiamat dengan bentuk badan yang miring”.
Berdasarkan hadist di atas seharusnya seorang
suami harus berfikir ulang untuk melakukan poligami,
sebab pada kenyataannya para pelaku poligami cenderung
memperlakukan salah satu istri (biasanya istri muda) secara
istimewa, dan mengabaikan hak-hak dari istri lainya, baik
sengaja maupun tidak. Inilah yang tidak dikehendaki Allah dan
rasulnya. Mereka tetep saja tidak dapat berbuat adil. Apalagi
jika keadilan diukur dari perspektif si istri (korban poligami)
sudah dapat dipastikan tidak ada suami yang memenuhi
syarat keadialan tersebut. Selama ini ukuran keadilan hanya
di dasarkan pada si suami, tidak di dasarkan pada istri.
Dengan argumen ini poligami sudah seharusnya dihapuskan,
sebeb “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja”.
Menurut Al-Tahir al-Hadad—pemikir modern asal
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
Tunisia—berpendapat bahwa, surat al Nisa (4):3 berhubungan
dengan (4):129. Dengan turunya al Nisa (4): 129 tersebut
sudah seharusnya poligami dicegah, sebab menurutnya
tujuan pernikahan adalah untuk membina keluarga sakinah,
mawadah dan rahmah,28 sementara pada kanyataannya
poligami mengakibatkan sulitnya membina kehidupan
keluarga yang harmonis dan tentram antara suami, istri dan
anak-anak, apalagi harta yang ditinggalkan si suami ketika ia
meninggal sangat terbatas.29
Berbeda dengan Al Hadad, Muhammad Salman
Ghanim berpendapat lain, menurutnya ayat ini bukanlah ayat
poligami sebagaimana umumnya pendapat para mufassir,
tetapi hanya mewanti-wanti kepada orang yang ingin menikah
agar memberikan perioritas kepada ibu-ibu anak yatim yang
mempunyai tanggungan anak dua, tiga, hingga empat anak.
Atau jika tidak mau, maka nikahi satu saja dari perempuanperempuan selain mereka.30
Argumen lain yang digunakan penentang poligami
adalah beberapa riwayat hadits yang diriwayatkan bil lafdhi
maupun bil ma’na yang menyatakan larangan nabi terhadap
pligami, yaitu ketika Ali r.a meminta izin kepada rasul untuk
menikah lagi (poligami), yakni memadu Fatimah binti
Rasullullah dengan Juwairiyah binti Abu Jahl.31
‫ ﻟﻤﺴﻮ* ﺑﻦ ﻣﺨﺮﻣﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻧﻪ ﺳﻤﻊ *ﺳـــﻮ@ ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬...
ّ
‫ﻧﻮﻧﻲ‬1‫ ﺳﺘﺄ‬#‫ ﺑﻦ ﻟﻤﻐﻴﺮ‬I‫ ّ ﺑﻨﻲ ﻫﺸﺎ‬,@‫ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻟﻤﻨﺒﺮ ﻫﻮ ﻳﻘﻮ‬
ّ
‫ ﺗﻢ‬,‫ ﻟﻬﻢ‬1‫ ﺗﻢ ﻻ‬,‫ ﻟﻬﻢ‬1 ‫ ﻳﻨﻜﺤﻮ ﺑﻨﺘﻬﻢ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻓﻼ‬
.‫ ﻻ ﻳﺤﺐ ﺑﻦ ﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻳﻄﻠﻖ ﺑﻨﺘﻲ ﻳﻨﻜﺢ ﺑﻨﺘﻬﻢ‬,‫ ﻟﻬﻢ‬1‫ﻻ‬
‫ﻫﺎ‬1 ‫ﻧﻲ ﻣﺎ‬1‫ﻓﺎﻧّﻤﺎ ﺑﻨﺘﻲ ﺑﻀﻌﺔ ﻣ ّﻨﻲ ﻳﺮﻳﺒﻨﻲ ﻣﺎ*ﺑﻬﺎ ﻳﻮ‬
“... Miswar bin makramah bercerita, ia mendengar
Rasullulah s.a.w berdiri di atas mimbar seraya berkata:
Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al Mughirah
meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan
Ali bin Abi Thalib, aku tidak mengizinkan. Aku tidak
izinkan, aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bi Abi Thalib
lebih menyukai menceraikan putriku dan menikah
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
29
30
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
dengan putrinya (keluarga Hisyam). Sesungguhnya
putriku adalah darah dagingku, menyusahkanya berarti
menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku.”
(H.R. Bukhari, Muslim, al Turmudzi dan Ibnu Majah).
Dalam riwayat lain disebutkan:32
‫ﻋﻦ ﻟﺸﻌﺒﻲ ﻗﺎ@ ﺟﺎ ﻋﻠﻲ ﻟﻲ *ﺳﻮ@ ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻢ‬
@‫ ﻓﻘﺎ‬I‫ ﻳﻦ ﻫﺸﺎ‬+*‫ﻳﺴﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﺑﻨﺘﻪ ﻟﻰ ﺟﻬﻞ ﺧﻄﺒﺘﻬﺎ ﻟﻰ ﻋﻤﻬﺎ ﺣﺎ‬
:@‫ﻋﻦ ﺣﺴﺒﻬﺎ ﻓﻘﺎ‬
ّ ‫ﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻢ ﻋﻦ‬
ّ ‫ ﺑﺎﻟﻬﺎ ﺗﺴﺄﻟﻲ‬U
‫ ﻓﻘﺎ@ ﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬,‫ﻟﻚ ؟‬1 W‫ﺗﺰﺟﻬﺎ ﺗﻜﺮ‬
ّ ‫ ﻟﻜﻦ *ﻳﺪ‬,‫ﻻ‬
@‫ ﻓﻘﺎ‬,‫ ﺗﺨﺰ ﺗﻐﻀﺐ‬W‫ ﻧﻤﺎ ﻓﻄﻤﺔ ﺑﻀﻌﺔ ﻣﻨﻲ ﻧﺎ ﻛﺮ‬,‫ﺳﻠﻢ‬
.Y‫ﻋﻠﻲ ﻓﻠﻦ ﺗﻰ ﺷﻴﺄ ﺳﺄ‬
“Asy-Sya’bi berkata: Ali datang menemui nabi meminta
saran tentang rencananya meminang putri Abu Jahl
melalui pamannya Al Harits bin Hisyam, nabi bertanya,
kamu tertarik hatinya atau keturunannya?, tidak
semua. Tetapi aku ingin menikahinya apakah engkau
setuju?, maka nabi menjawab: fatimah adalah darah
dagingku aku tidak suka ia bersedih atau marah. Maka
Ali pun berkata: aku tidak akan melakukan sesuatu yang
mengecewakanmu”
Dari uraian di atas—bagi kelompok penentang
poligami—dapat diambil beberapa cataran penting. Pertama,
surat an Nisa/ 4: 3 bukanlah dalil perintah atau anjuran
untuk melakukan poligami. Sebab ayat tersebut turun bukan
dalam konteks pebicaraan poligami, tetapi dalam konteks
pembicaraan anak yatim dan perlakukan tidak adil yang
menimpa mereka.
Ayat tersebut pada intinya mengandung peringatan
untuk menghindari segala bentuk perilaku tidak adil dan
semena-mena, terutama dalam perkawinan. Untuk itu, demi
menegakkan keadilan, Allah memperingatkan kepada para
suami akan dua hal. Pertama, jangan menikahi anak yatim
perempuan yang berada dalam walian mereka, kalau tidak
mampu berlaku adil. Kedua, jangan berpoligami, kalau
tidak mampu berlaku adil. Faktanya, dalam dua hal tersebut
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
manusia hampir-hampir mustahil dapat berlaku adil. Sehingga
kesimpulan dari ayat tersebut adalah lebih berat mengandung
ancaman berpoligami daripada membolehkannya.33
Bukti tidak diperbolehkannya poligami juga tercermin
dalam hadits yang melarang Ali untuk menikah lagi—memadu
Fatimah binti Rasulullah—hal ini bisa berarti bahwa, praktek
poligami sangat dimungkinkan menyakiti seseorang—baik
perempuan maupun keluarganya—maka harus dihindari.
Perkataan nabi untuk menceraikan Fatimah (putrinya) jika Ali
bersikukuh untuk menikah lagi, menandakan ketidakrelaan
nabi atas poligami yang berarti larangan terhadap pligami.
F.
Kesimpulan
Simpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa
poligami sebagai salah satu bentuk perkawinan dalam
Islam masih menjadi perdebatan yang tak berujung.
Perselisihan pendapat mengenai poligami paling tidak
dapat bedakan menjadi tiga, pertama pendapat yang
memperbolehkan poligami secara mutlak. Kedua, pendapat
yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang
sangat ketat dan dalam kondisi tertentu. Ketiga pendapat yang
melarang poligami secara mutlak. Ketiga pendapat tersebut
didasarkan pada rujukan teks—al-Qur’an—yang sama namun
dengan pendekatan, pemahaman, dan tafsir yang berbeda.
Di Indonesia, perdebatan tentang poligami dapat
dipetakan dalam empat kelompok pandangan. Pertama,
kelompok yang menempatkan poligami sebagai perintah
dari syari’at. Kedua, kelompok yang menempatkan poligami
bukan sebuah ajaran dari Islam, tetapi Islam memberi ruang
untuk mengubahnya dengan gradual. Ketiga, kelompok yang
memahami poligami sebagai praktek yang bukan semata-mata
ditinjau dari kacamata agama, akan tetapi harus dihubungkan
dengan dimensi hubungan sosial-masyarakat, dan Keempat,
kelompok yang berpandangan bahwa poligami hanya bisa
dilakukan terhadap anak yatim dan janda dengan misi untuk
melindungi mereka.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
31
32
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
(Endnotes)
1
Referensi tentang ini diantaranya dapat ditemukan dalam Asghar
Ali Engineer, Pembebasan Perempuan (Jogjakarta: LKiS, 2003), hal. 109-.
2
Istilah lain dari poligami adalah poliandri. Keduanya memiliki
makna yang sama, namun poligini mempunyai pengertian yang lebih umum,
yaitu perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih dalam waktu
yang bersamaan. Pengertian ini mengandung dua makna yaitu poligami dan
poliandri. Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer
(Surabaya: Arkola, 1994), 606
3
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta:
Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), 2-3
4
Hal ini bisa dilihat dalam kitab al Mabsut karya Imam al Sarakhsi
dari mazhab Hanafi, al Muwwatta’ karya Imam Malik, Al Umm karya Imam
Syafi’i dan lain-lain.
5
Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh at Tirmidzi, Abu Daud
dan Ibnu Majah dalam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, al Jami’ alSahih (Sunan Al Turmudhy), Bairut: Dar Al-Fikr, tt, 3: 435. Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud, Bairut: Dar Al-Fikr, 1994, 2: 248-249, dan Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid al-qazwini, Sunan Ibnu Majah, Bairut: Dar Al-Fikr,
tt., 1: 628.
6
Praktek poligami nabi didasarkan untuk kepentingan dakwah
semata. Wanita yang dinikahinya pun para janda beranak yang sudah
berumur senja (di atas 45 tahun). Masa pernikahan monogami bersama siti
Khatijah berlansung selama 25 tahun dan poligami selama sekitar 8 tahun.
7
Khoruddin Nasution, Perdebatan Sekitar Status Poligami:
Ditinjau dari Perspektif Syari’ah Islam, Jurnal Musawa vol.1. No.1, Maret
2002, hal. 61
8
Fazlur Rahman, The controversy over the muslim Family law,
dalam Donald. E. smith (ed), South Asian Politis and Religion (princeton:
Priceton University Press, 1966), pp. 414-427, 417
9
Khairuddin Nasution, Musawa…, hal. 63
10
M. Quraish Sihab, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari
Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru,
(Tangerang, Lentera Hati, 2005), hal. 162
11
Yakin yang dimaksud adalah keyakinan yang didukung oleh
realitas obyektif yang ada pada diri laki-laki tersebut, tidak hanya sekedar
keyakinan. Yang dimaksud dengan keyakinan obyektif adalah mempunyai
pengetahuan dan pemahaman tentang konsep adil dalam berpoligami
menurut Islam, memiliki harta kekayaan yang dapat memenuhi
kewajibannya memberi nafkah secara adil kepada istri-istrinya. Yunahar
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an (Yogyakarta: LABDA PESS,
2006), hal. 141-142
12
M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal. 162-165, keterangan lebih
lanjut dapat ditemui juga di M. Quraish Sihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 2,
(Ciputat, Lentera Hati, 2000), hal. 321-328
13
M. Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhui atas
Pelbagai Persoalan Ummat (Bandung: Mizan, 1996), hal. 199
14
M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal. 180-181
15
M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal.166-167 juga dalam M.
Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an,… hal. 200
16
Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, II, (Bairut: Dar al Kitab al Arabi,
1977), 110
17
Pengecualian ini dapat dilakukan jika terdapat alasan yang dapat
diterima, seperti kemandulan. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan
dalam Islam (tjm) (Yogykarta: LSPPA dan CUSO, 1994), hal. 30
18
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…hal 146
19
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan… hal, 143-144
20
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan… hal, 144
21
Riffat Hasan, Women in the Context of Marriage, divorce and
polygamy in Islam”, kumpulan makalah, 58-60
22
Fazlur Rahman, The Status of Women in Islam, A Modernist
Interpretation, dalam The Saparate Worlds: Studi of Purdah in South Asia
(ed) Hanna Papanek & Gail Minault (Delhi: Chanakya Publicaion, 1982),
hal. 298
23
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Studi Pemikiran
Muhammad Abduh (Yogyakarta; ACAdeMIA dan Pustaka Pelajar, 1996),
hal.
24
Ulasan agak lengkap ditulis dalam buku “Pandangan Islam
tentang Poligami” (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999),
27-49, atau dalam terbitan lain berjudul “Islam Menggugat Poligami”,
(Jakarta, Gramedia, 2004), hal. 84-117
25
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Dar al-Fikr, Bairut, IV, tt, 344-
26
Juga dari Aisyah
27
Sebagaimana penafsiran Abdullah Ibn Abbas terhadap surat An
345
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
33
34
POLIGAMI DALAM PERDEBATAN
Nisa/ 4: 129. Abdullah Ibnu Abbas, al Mashdar an Nafisah, h. 47
28
Sebagaimana yang dihubungan dengan surat al-Rum (30):21
29
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat
(tjm), (Serabaya: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 77
30
Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat
Ibadah, Politik dan Feminisme (tjm), (Yogyakarta: LKiS, 2004) 90
31
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Sahih Muslim, II,
(Bandung: al Ma’arif) tt, 376
32
Jalaluddin Al-Suyuti, Musnat Fatimah al-Zahra’, (terj) (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 1997), hal. 159-161
33
Musdah Mulia, Pandangan, …, hal. 49
Jurnal Studi Gender
Imam Machali
Daftar Pustaka
Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Sahih Muslim, II, Bandung:
al Ma’arif, tt
Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat (terj),
Serabaya: Pustaka Firdaus, 1993
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (tjm), Yogykarta:
LSPPA dan CUSO, 1994
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Jogjakarta: LKiS, 2003
Donald. E. smith (ed), South Asian Politis and Religion, princeton: Priceton
University Press, 1966
Fazlur Rahman, The Status of Women in Islam, A Modernist Interpretation,
dalam The Saparate Worlds: Studi of Purdah in South
Asia (ed) Hanna Papanek & Gail Minault, Delhi: Chanakya
Publicaion, 1982
Jalaluddin Al-Suyuti, Musnat Fatimah al-Zahra’, (terj), Jakarta, Pustaka
Firdaus, 1997
Jurnal Musawa vol.1. No.1, Maret 2002
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Studi Pemikiran Muhammad
Abduh Yogyakarta; ACAdeMIA dan Pustaka Pelajar, 1996
M. Quraish Sihab, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah
Sampai Nikah Sunnah, dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru,
Tangerang, Lentera Hati, 2005
M. Quraish Sihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 2, Ciputat, Lentera Hati, 2000
M. Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai
Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 1996
Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik
dan Feminisme (tjm), Yogyakarta: LKiS, 2004
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta, Gramedia, 2004
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Gender, 1999
Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Arkola, 1994
Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Dar al-Fikr, Bairut, IV, tt
Riffat Hasan, Women in the Context of Marriage, divorce and polygamy in
Islam”, kumpulan makalah
Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, II, Bairut: Dar al Kitab al Arabi, 1977
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an, Yogyakarta: LABDA
PESS, 2006
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
35
36
Jurnal Studi Gender
Ide Utama
PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN
TERPINGGIRKAN
(Analisa terhadap Argumen Kesetaraan Gender)
*
Mas’udi
ABSTRACT: Globalization drives the people to placing all
jobs by professionalism and reasonable. On this placing,
each people prosecuted to understand the state between
man and women. Really, the imbalance perception of
this state damaged one state of human being. Perhaps,
to minimize this detriment, many women’s sign up the
movements on Gender perspective. This movement
oriented to grow up the equality state between man and
women. The perspective run on the normative principal
“text” a bout “Inna akramakum ‘indallah atqaakum” the
noblest people between you are is the pious.
According to dynamic partnership between man and
women, the reality shown the women is second sexes.
The perception actually created subordination state
women under man authority and complement sexes for
him. Actually, this is bias of masculinity translation on alQur’an recitation. The translators make them translations
just on literally understanding.
Equality a live between man and women was reality
principal in Islam. Although, the distinction exist
between them, but Islam ward off the assumptions
of discrimination. Islam completely removed the
discrimination of basic rights of them. Exactly, with
Muhammad (Peace be Upon Him) prophetic, Islam truly
explains for all human being a bout equality a live was the
truth of Islamic doctrines.
*
Penulis adalah dosen STAIN Kudus kelahiran Madura, 04 Mei
1981, tepatnya di ujung timur Pulau Madura, Sumenep. Program sarjananya
ditempuh di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Ushuluddin, konsentrasi Aqidah dan Filsafat. Lulus dari studi sarjana ini
dengan predikat cumlaude, mahasiswa termuda dan terbaik. Sementara
itu, program masternya ditempuh pada Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, konsentrasi Antropologi Budaya dengan fokus kajian tentang
“Poligami di Mata Laki-laki Madura”.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
38
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
The struggle on Gender movements was certainty.
Women violence that was exist all a live certainly removed
on human common senses. Many organizations in the
world build up them attentions on these problematic
systems. These circumstances forceful by existence of
many organizations on this movement, there are: Vienna
Declaration and Programmed of Action (1993), Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (1979), Declaration on the Elimination of
Violence Against Women (1993) Beijing Declaration and
Platform for Action (1995).
Keywords: Equality, Gender, al-Qur’an, partnership,
women violence, public, domestic.
A.
Latar Belakang
Perkembangan dunia yang semakin mengglobal
menggiring para penghuninya untuk berapresiasi aktif.
Munculnya sikap pasif akan menjadi sebab tergilasnya
seseorang dengan akselerasi budaya di dalamnya. Salah satu
kondisi yang menuntut kejelian masyarakat dalam dunia
global adalah permasalahan gender. Sebuah kenyataan hidup
yang ingin memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki
dan perempuan.
Globalisasi dengan muatan budaya, politik, ekonomi,
dan agama yang terdapat di dalamnya menggugah semua
elemen masyarakat untuk memahami bagian-bagian penting
dalam membangun struktur kerja antara laki-laki dan
perempuan. Ranah domestik dan ranah publik bukanlah
wilayah terpisah antara laki-laki dan perempuan. Kedua
wilayah ini memiliki porsi yang sama bagi semua penghuni di
dalamnya.
Dalam wilayah politik, para aktivis gender
memperjuangkan hak-hak mereka untuk menduduki ruang
gerak pemerintahan dengan porsi lebih maju daripada porsiporsi yang mereka terima sebelumnya. Jatah 30 % (Gadis Arivia,
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
2006) kedudukan di kursi parlemen merupakan sebuah jatah
yang mengusung perjuangan panjang demi meraihnya. Hal
tersebut tentu saja merupakan bukti bahwa bila perempuan
diberi kesempatan dan disadarkan akan hak-haknya, mereka
mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat.
Oleh karena itu, penting pula bagi perempuan untuk ikut
ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, sehingga
nantinya keputusan yang dibuat tidak merugikan perempuan
dan kelompok-kelompok lainnya.
Adanya kekerasan, konflik dan sebagainya tidak lepas
dari adanya pengabaian terhadap nilai-nilai perempuan.
Karena kekerasan, konflik merupakan kumpulan dari
nilai-nilai maskulin yang tidak lepas dari nafsu agresivitas,
penindasan, menguasai dan hegemoni. Oleh karenanya,
perempuan dengan pengalamannya memiliki nilai-nilai
feminimitas yang mendukung terciptanya masyarakat yang
lebih manusiawi. Nilai-nilai ini yang selanjutnya harus
disebarkan di masyarakat.
Perjuangan yang diusung oleh para aktivis feminis
atau gender bertujuan khusus untuk memberdayakan adanya
pemberdayaan perempuan, yang dimaknai sebagai kekuatan
berpikir untuk bebas dan membuat keputusan sendiri.
Kekuatan yang mampu membangkitkan rasa percaya diri
dan kebanggaan karena kodrat keperempuannya, kekuatan
untuk bertindak melawan penindasan dan penghancuran,
dan kekuatan untuk menciptakan kultur yang baru dan nilainilai yang baru. Jika perempuan dipenuhi kekuatan tersebut,
tentunya akan tercipta lingkungan yang ramah perempuan
dan anak. Bukankah dunia yang ramah perempuan dan anak,
di mana nilai-nilai perempuan menyebar merupakan dunia
yang ramah bagi semua? (http://bunga-rumput.blogspot.
com/2007/05/pendidikan-kritis-feminis-dalam-upaya_
3086.htm).
Dalam wilayah agama, tidak jarang kebijakankebijakan agama yang berkecenderungan patriarkhis menuai
kritik tajam dan tuntutan analisa ulang terhadap teks-teks
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
39
40
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
yang telah disebarluaskan. Dalam dunia Kristen, pastur
yang didudukkan sebagai wakil Tuhan di bumi, darinya
keberkahan dan karunia dapat diwujudkan, menuai kritik
tajam akan keberadaan laki-laki yang dapat menduduki kursi
teragung dalam aktivitas keagamaan. Tidak ketinggalan pula
dalam dunia Islam, Fatima Mernisi salah seorang aktivis
gender dalam bukunya Women and Islam menegaskan,
dirinya mensinyalir terpuruknya posisi perempuan ke lembah
kekerasan disebabkan oleh adanya proses pembalikan
status yang didukung oleh bahasa agama. Segala ajaran
yang berkenaan dengan perempuan berubah maknanya
dan diterapkan sejalan dengan proses kepentingan politik
tertentu. Tafsir ayat al-Qur’an atau Hadits yang cenderung
mendudukkan perempuan ke masa pra Islam muncul sebagai
ideologi yang mengesahkan praktik penguasa. Sementara itu,
ayat yang mengandung semangat reformasi, pelan namun
pasti, semakin tidak terdengar gaungnya.
Kecenderungan lain yang menurut Mernisi turut
memparah situasi adalah cara memahami teks agama
secara literal. Mernisi mengambil contoh Imam Bukhari
sebagai perawi hadits yang memiliki tradisi literal tersebut.
Menurutnya, kendati susunan hadits Imam Bukhari diakui
kesahihannya oleh umat Islam, namun dalam memaknai
beberapa hadis tentang perempuan, ia dinilai kurang tepat.
Imam Bukhari cenderung mengartikan sebuah hadis dalam
konteksnya yang sangat terbatas. Padahal, munculnya suatu
hadis tidak pernah terlepas dari kejadian di sekelilingnya.
Lalu bagaimana caranya supaya agama bisa kembali menjadi
pembebas bagi perempuan serta kembali menjadi rahmat
bagi semesta alam? Jika Fatima Mernisi memiliki jawaban
tegas atas pertanyaan tersebut, yakni rekonstruksi sejarah
Islam secara menyeluruh, berbeda halnya Wardah Hafidz—
salah seorang aktivis gerakan perempuan Indonesia—yang
memutlakan perlunya kembali menafsirkan al-Qur’an dan
Hadits secara kontekstual. Dalam ketegasan argumentasinya
Wardah Hafidz mensinyalir “ketika al-Qur’an berbicara
tentang poligami dengan persyaratan agama laki-laki berlaku
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
adil”, maka pesan inti yang dikemukakan sebenarnya adalah
keadilan.
Senada dengan Wardah Hafidz, KH. Husein
Muhammad, salah seorang ulama yang bergiat pada isu Islam
dan hak-hak perempuan menyarankan umat Islam berikhtiar
untuk melakukan reintepretasi teks. Menurutnya, jika umat
Islam ingin kembali meraih nilai-nilai kesetaraan yang pernah
terjadi di masa lalu maka hal terbaik yang harus dijalankan
adalah dengan membaca kembali teks-teks suci al-Qur’an dan
Hadis maupun kitab-kitab klasik karya para ulama, dalam
semangat obyektifitas dan semangat universal. Permasalahan
yang muncul kemudian adalah apakah umat Islam memiliki
kemauan ke arah semangat baru tersebut? (http:// www.
swararahima.html).
Beberapa pertanyaan mendasar di atas tentunya
menuntut rasionalisasi para ahli untuk memberikan hak
sewajarnya atas kaum perempuan. Ragam upaya untuk
memperjuangkan moral kemanusiaan harus diperdengungkan
guna mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Di atas semua apologi yang dapat mengapresiasi superioritas
keduanya, setiap individu tentu harus mengerti segmentasi
yang harus diberikan dan dijalankan oleh keduanya. Lakilaki dan perempuan merupakan dua struktur insani yang
saling bergantung. Kesadaran simbiosis-mutualistik harus
menjadi jembatan yang dapat menguatkan bahwa persilangan
kebutuhan laki-laki dan perempuan sebagai realitas yang
tidak dapat dibantah.
B.
Menapaki Sejarah Kelam Kemitraan
Perempuan dan Laki-Laki
Menguraikan persoalan kemitraan antara laki-laki dan
perempuan dari prinsip normatifnya, dapat menimbulkan
perbedaan pendapat. Timbulnya perbedaan pendapat ini
bersumber dari beraneka ragamnya struktur penafsiran
para ahli terhadap normativitas teks. Terlebih lagi, teksteks tersebut merupakan teks-teks agama yang cenderung
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
41
42
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
menimbulkan variasi interpretasi. Berbagai faktor akan timbul
sebagai alasan beragamnya perbedaan interpretasi tersebut.
Dari tingkat pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan
budaya serta kondisi sosial masyarakat dapat menjadi sumber
pemicunya.
Dalam sejarah perjalanannya, perempuan mengalami
tingkatan kehidupan yang sangat beragam. Sejarah
menyebutkan bahwa sebelum turunnya al-Qur’an terdapat
sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India
dan Cina. Di antara beberapa peradaban ini hidup agamaagama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster di Persia
dan sebagainya. Pada puncak peradaban Yunani, perempuan
merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Realita
ini masih nampak sekali dengan adanya patung-patung
telanjang perempuan yang ditemukan dewasa ini di Eropa.
Peradaban Romawi menjadikan perempuan sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah masa
perkawinan, kekuasaan mereka berpindah kepada suami.
Suami memiliki kewenangan penuh untuk mengkondisikan,
menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peradaban
Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup
bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir
pada saat kematian suaminya. Seorang istri harus dibakar
hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Dalam
pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan
pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber
laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari
surga (Kata Pengantar N. Quraish Shihab dalam Nasaruddin
Umar, 2001: xxviii).
Berbeda dengan Islam, jauh ribuan tahun yang
lalu, Islam justru mengajarkan kepada umatnya untuk
memperlakukan perempuan secara baik. Dari puncak Gunung
Arafah, saat berhaji untuk terakhir kalinya (Haji Wada),
dengan suara lantang, Rasulullah saw., mengingatkan kaum
Muslimin untuk berhubungan secara adil terhadap sesamanya.
Mereka diperintahkan untuk menghindari pertikaian
berdarah dan memperlakukan perempuan sebaik mungkin.
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Rasulullah saw.,
juga mengecam para laki-laki yang memukuli istrinya secara
semena-mena. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud Rasulullah saw., bersabda “Mereka yang suka
memukul istrinya, bukanlah laki-laki terbaik“ (http:// www.
swararahima.html).
Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa
konsepsi yang mapan di atas beralih dari arus utamanya.
Berbagai penafsiran dari al-Qur’an dan al-Hadits cenderung
berhaluan patriarkhis. Perempuan menjadi subordinasi kaum
laki-laki. Ia berada dalam kelas dua sebagai second sexs. Realita
serupa digambarkan oleh Karen Armstrong dalam bukunya
Muhammad: The Prophet. Ia menyatakan bahwa Islam
sebagai sebuah sistem yang berisi nilai-nilai, sesungguhnya
tak mengajarkan para pengikutnya untuk memperlakukan
kaum perempuan secara tidak adil atau bahkan alihalih mengajurkan penindasan. Dalam satu kesempatan
seusai menjalankan Haji Wada’, secara tegas Muhammad
menyerukan umatnya untuk peduli dan menghormati para
perempuan. Namun pernyataan Rasulullah tersebut seolah
kurang bergema. Hanya sedikit umat yang memahaminya
secara benar. Lebih dari 1500 tahun sejak berpulangnya
Nabi kehadirat Allah Azza wa Jalla, situasi yang dialami
oleh perempuan bukannya membaik, malah seolah kembali
berbalik ke zaman jahiliyah. Bahkan lebih buruk lagi. Saat ini
terdapat puluhan bahkan ratusan juta perempuan di seluruh
negara, terutama di negara-negara Muslim, yang hidup dalam
situasi terdiskriminasi dan menjadi obyek tindak kekerasan.
Pakistan adalah contoh sebuah negara yang memiliki citra
buruk dalam memperlakukan kaum perempuan. Citra buruk
ini bisa terlihat (di antaranya) dari adanya tradisi pemerkosaan
massal atas nama adat di Pakistan. Akibat tradisi liar ini,
Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mencatat setidaknya
ada 200 perempuan Pakistan yang diperkosa beramairamai selama 2004. Sebanyak 176 orang bunuh diri karena
menanggung malu. Ironisnya, tak satupun dari pelakunya
diadili.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
43
44
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
Sejarah perjalanan kaum perempuan baik pada
wilayah publik dan domestik sekalipun tidak mendapatkan
porsi positif atau menguntungkan. Marjinalitas mereka
menjadi fenomena yang terus bergulir dan “sah” dari sudut
budaya, adat istiadat, dan agama. Padahal, ketika hendak
menelusuri kembali dinamika kehidupan kaum perempuan,
mereka tidak pernah melepaskan aktivitasnya dari dua
domain kerja tersebut, publik dan domestik. Fenomena
perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di
tengah masyarakat. Sejak zaman purba ketika manusia
masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan
meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja.
Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja
menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk
ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi
keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku
pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka
pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat
di sektor domestik namun sebenarnya mengandung
nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian, ketika
masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris
hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan
pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang
berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan
mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan
bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja
tetapi sudah sejak zaman dulu (Perempuan Bekerja,
Dilema tak Berujung? http://www.duniaesai.com/gender/
gender1.html).
C.
Pandangan Islam terhadap Perempuan
Dalam sejarah panjang yang diembannya, kedatangan
Islam di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan
panduan hukum yang sesuai dengan tidak membuat
ketimpangan antara satu golongan dengan golongan yang
lain. Islam datang sebagai penengah bagi ketentuan hukum
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
di masyarakat Arab yang cenderung mendiskreditkan
hak-hak kaum perempuan dan anak. Dari wahyu yang
diturunkan, Islam mengetengahkan ayat-ayat misogonis
dengan membangun sebuah kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Gerakan ini muncul sebagai gerakan reformasi
budaya yang berkembang pada masyarakat Arab. Penolakan
Islam oleh masyarakat Arab merupakan penolakan atas
moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas
kekuasaan laki-laki. Seruan akan keesaan Allah Swt., telah
meruntuhkan kewibawaan “laki-laki dewasa” sebagai kepala
suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah atas anakanaknya, saudara laki-laki atas saudara perempuannya, dan
suami atas istrinya (Abdullah, 2006: 63).
Ketakutan kaum laki-laki di atas, merupakan pangkal
dasar dari ketimpangan-ketimpangan budaya yang telah
tercipta dalam tradisi masyarakat Arab terdahulu. Padahal,
jika mau dilihat dengan seksama, perbedaan yang tercipta
antara laki-laki dan perempuan hanyalah pada unsur biologis
semata. Unsur-unsur tersebut bukanlah pemisah yang dapat
mendudukkan superioritas laki-laki di atas kaum perempuan.
Proses terjadinya perbedaan secara biologis antara laki-laki
dan perempuan dapat ditelusuri semenjak masa konsepsi,
yaitu ketika seorang ayah menaburkan benihnya ke rahim ibu
lalu benih tersebut bersatu dengan induk telur dan kombinasi
tersebut berproses menjadi embrio. Kemudian ada satu
unsur penentu jenis kelamin yang disebut gonad, berproses
menentukan jenis kelamin, apakah embrio itu laki-laki atau
perempuan. Hormon seksual di dalam embrio tersebut
mengalami perkembangan menurut jenis kelaminnya. Jika
embrio tersebut sebagai laki-laki, maka akan berkembang
sebagaimana layaknya seorang laki-laki, sebaliknya jika
embrio tersebut sebagai peempuan maka akan berkembang
sebagaimana layaknya seorang perempuan (Nasaruddin
Umar, 2001: 2).
Proses pembuahan di atas tentunya mencerminkan
sebuah kondisi yang kombinatif antara laki-laki dan
perempuan. Di dalam preses konsepsi tersebut tercipta aspekP A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
45
46
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
aspek simbiosis-mutualistik antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya menciptakan sebuah keutuhan yang tidak terpisah.
Teori fungsional struktural yang mendasarkan pandangannya
kepada keutuhan masyarakat beranggapan bahwa keterkaitan
fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan merupakan
unsur yang berpengaruh di dalam keutuhan masyarakat. Oleh
karena itu, Talcott Parsons sebagai salah seorang penggagas
teori ini menyatakan bahwa pembagian peran laki-laki dan
perempuan tidak didasari oleh disrupsi dan kompetisi, akan
tetapi lebih kepada melestarikan harmoni dan stabilitas di
dalam masyarakat (Talcott Parsons dan Robert F. Bales (eds.),
1955).
Al-Qur’an dengan tegas menerangkan kepada umat
Islam bahwa perspektif gender di dalamnya tidak sekedar
mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Tetapi lebih dari itu al-Qur’an
juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos
(manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep
berpasang-pasangan (azwaj) dalam al-Qur’an tidak saja
menyangkut manusia melainkan juga binatang (Q.S., alSyura, 42: 11), dan tumbuh-tumbuhan (Q.S., Thaha, 20: 11).
Bahkan kalangan sufi pun menganggap makhluk-makhluk
makrokosmos seperti langit dan bumi serta lain sebagainya.
Secara umum al-Qur’an mengakui adanya perbedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi
perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination)
yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya.
Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi
al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari
rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan
keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal
dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan
(baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) (Nasaruddin
Umar, 2001: 19).
Sebagai matarantai paradigmatik dalam Islam,
hukum fikih memberikan kontradiksi perspektif terhadap
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
perempuan. Dalam hukum fikih, perempuan masih terkesan
subordinat laki-laki. Kehadiran perempuan didudukkan
sebagai insan kedua setelah kaum laki-laki. Kenyataan ini
tentunya menuntut segenap ahli untuk mengkritisi ulang
terhadap realitas hukum fikih itu sendiri. Tuntutan ini harus
dikemukakan karena hampir semua kitab fikih terkesan
sepakat menempatkan perempuan secara instrumental, bukan
substansial. Ketidakhadiran perempuan dalam budaya ketika
hukum fikih dirumuskan, hanya diartikan dengan ketiadaan
substansi perempuan dalam Islam. Lebih dari itu, perempuan
juga sering dipandang lebih rendah dibanding laki-laki.
Bahkan menurut Al-Allamah Al-Nasafi, kelebihan lelaki
dibanding perempuan adalah pada akalnya, keteguhan hati,
pola pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan
puasa dan shalat, adzan, khutbah, jamaah, jum’ah, takbir
pada hari tasyrik. Pandangan negatif mengenai perempuan
ini menjadi pembenar bagi struktur dominasi laki-laki dalam
keluarga. Nasib perempuan amat bergantung pada struktur
kepribadian suami, seperti halnya nasib rakyat tergantung
pada raja. Kenyataan ini terjadi sampai menjelang runtuhnya
peradaban Islam kurun kedua di akhir Perang Dunia I dengan
jatuhnya Daulat Usmaniyah di Turki. Setelah Perang Dunia II
yang diikuti oleh kemerdekaan beberapa negara Islam, kaum
wanita mulai berlomba untuk mengejar ketertinggalannya,
misalnya melalui gerakan emansipasi. Dengan kata lain,
wilayah perempuan bukan hanya dalam keluarga, tapi juga
bidang publik yang lain (Republika, Jum’at, 25 Agustus
2000).
D.
Sikap Dunia terhadap Perempuan
Pengamatan terhadap kaum perempuan akan
senantiasa mewujud sebagai perdebatan panjang yang tidak
akan terselesaikan. Berbagai persepsi akan dimunculkan
merespon semua sikap pro dan kontra terhadap kedudukan
mereka. Segenap pemerhati yang pro-aktif terhadap
perjuangan kesetaraan gender akan senantiasa berapresiasi
positif atas emansipasi perempuan. Namun, bagi mereka
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
47
48
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
yang bersikap kontradiktif terhadap perjuangan kaum
perempuan ini, sikap sinis akan menjadi fenomena yang
tidak terelakkan. Fakta ini terlihat jelas dari respon para
jamaah salafi yang mendudukkan emansipasi perempuan
sebagai realitas merugikan bagi mereka sendiri. Pengusungan
gender merupakan alibi dari penyuburan prinsip-prinsip
sekuler di mata umat Islam (lihat; Emansipasi Wanita dalam
Islam
http://arifardiyansah.wordpress.com/2007/06/16/
emansipasi-wanita-di-mata-islam/). Sepintas lalu, membaca
respon kontradiktif atas peranan perempuan dalam domain
emansipasinya akan membawa segenap pembaca pada
segmentasi dogmatis pemaknaan terhadap teks. Normativitas
teks hanya dimaknai pada prinsip dasar literal semata. Prinsipprinsip historis dari pemaknaan teks diabaikan dengan dalih
realitas tersebut sebagai produk sekuler. Padahal, jika hendak
berargumentasi objektif, Islam sebagai sumber inspirasi
dan pedoman hukum menekankan pentingnya kesetaraan
(equality) antara laki-laki dan perempuan. Kemitraan atau
bahkan kesetaraan antara laki-laki dalam bidang kreasi
dipertegas oleh Wadud (2006:158) melalui perumpamaan
penciptaan mereka. Hakikatnya, kedua insan ini memiliki
kesejajaran kedudukan di mata Tuhan. Melalui ketegasan
inilah, Wadud meyakini bahwa tidak ada jarak signifikan yang
dapat memisahkan seorang laki-laki atas perempuan.
Perjuangan kaum perempuan melawan diskrimasi
dirinya harus niscaya diperjuangkan. Apresiasi atas perjuangan
mereka sepenuhnya datang dari berbagai penjuru. Masyarakat
dunia tidak tinggal diam melihat diskriminasi terhadap
perempuan. Untuk melindungi dan memajukan hak-hak dan
kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan kini menjadi
sebuah kepedulian global. Saat ini, telah ditetapkan sejumlah
instrumen hukum internasional yang disepakati oleh negaranegara di dunia untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan
yang berupa kekerasan ini. Perjanjian internasional tersebut
antara lain adalah a) Vienna Declaration and Programme of
Action (1993), b) Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women (1979), c) Declaration on
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
the Elimination of Violence Against Women (1993), dan d)
Beijing Declaration and Platform for Action(1995).
Sementara itu, pada pembahasan mengenai
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi atas
Perempuan atau CEDAW (1979), dalam rekomendasi Umum
Majelis Umum PBB No. 19 tahun 1992 dinyatakan bahwa
“Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis
gender dan merupakan salah satu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan.” Tahun 1993, Konferensi HAM
PBB di Wina kemudian menguatkan hal tersebut dengan
mengeluarkan Deklarasi dan Program Aksi yang menegaskan
3 butir pernyataan penting, antara lain:
1. Hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak
asasi manusia dengan menyeluruh.
2. Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam
kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya
serta pada tingkat nasional, regional, dan internasional,
juga penghapusan diskriminasi berdasar jenis kelamin,
merupakan tujuan utama masyarakat sedunia.
3. Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya
tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia
serta harus dihapuskan. Pada tahun yang sama,
PBB kemudian lebih menegaskan hasil konferensi
Wina tersebut dalam keputusan Majelis Umum PBB.
Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempun ini menyatakan antara lain bahwa:
a)
Pasal 1: Definisi umum mengenai praktik
Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai
“setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis
kelamin (gender-based violence) yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
49
50
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
b)
Pasal 2: Elaborasi dari praktik kekerasan
terhadap perempuan yakni, “…….kekerasan
secara fisik, seksual dan psikologi yang terjadi di
dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk di
dalamnya; pemukulan, penyalahgunaan seksual
atas perempuan dan anak-anak, kekerasan yang
berhubungan dengan mas kawin, perkosaan
dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan
alat kelamin perempuan dan praktik-praktik
kekejaman tradisional lain terhadap perempuan,
kekerasan di luar hubungan suami istri dan
kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi
perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual di tempat
kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan
dan sebagainya, perdagangan perempuan dan
pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan
yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara
di manapun terjadinya.” Dengan demikian
ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan
terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di
masyarakat luas (tempat publik) serta di wilayah
negara. Tindak-tindak kekerasan lain terhadap
perempuan juga meliputi pelanggaran hakhak asasi perempuan dalam situasi konflik
bersenjata, terutama pembunuhan, perkosaan
sistematis, perbudakan seksual, dan kehamilan
paksa, sterilisasi, pengguguran kandungan yang
dipaksakan, penggunaan alat-alat kontrasepsi
secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan,
pemilihan jenis kelamin bayi pra-kelahiran.
c)
Pasal 4: Kewajiban negara-negara di dunia
untuk melindungi kaum perempuan dari
berbagai tindak kekerasan. Harus mengutuk
segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Tidak berlindung di balik pertimbangan adat,
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
tradisi atau keagamaan untuk menghindari
tanggung jawab yang mengharuskannya. Harus
meneruskan cara-cara yang benar dan tidak
menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan
kekerasan terhadap perempuan. Namun, meski
telah muncul beragam upaya untuk menghapus
kekerasan terhadap perempuan seperti tersebut
di atas, pada kenyataannya dalam berbagai
hal, perempuan masih terus mengalami tindak
kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi
karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan
hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan
kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk
menikmati hak asasinya sebagai manusia dan
menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami
kekerasan (http:// www.swararahima.html).
Beberapa argumentasi logis atas pengusungan hak-hak
kaum perempuan dari berbagai organisasi internasional di
atas menjadi opsi kuat bahwa marjinalitas kaum perempuan
adalah realitas yang harus dihapuskan. Di atas semua apresiasi
yang bermunculan, kaum perempuan harus meneguhkan
bahwa mereka layak untuk berperan aktif di ranah domestik
ataupun di ranah publik.
E.
Kesimpulan
Permasalahan tentang perempuan merupakan
bagian permasalahn yang tidak pernah habis terkikis oleh
perkembangan zaman. Kemajuan zaman yang semakin
mengglobal menggiring semua masyarakat di dalamnya untuk
bersikap aktif dalam menyongsong semua realita. Pembagian
kerja di ranah publik dan domestik sebagai realita keseharian
yang akan dihadapi oleh setiap orang, baik laki-laki ataupun
perempuan meminta mereka untuk membaginya secara adil.
Hak laki-laki dan perempuan tidak terbatas dari sebuah
konsepsi biologis di antara keduanya. Sebuah keniscayaan
bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan
adalah pilihan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
51
52
PEREMPUAN;
SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN
Agama sebagai landasan berprilaku setiap manusia
di bumi merupakan asas dasar untuk menentukan hakikat
kerja yang harus sama-sama dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan. Gejala-gejala diskriminatif yang tercipta oleh
penafsiran-penafsiran sepihak harus disikapi dengan kearifan
yang total. Kaum perempuan harus memberikan apresiasi
yang sempurna diiringi dengan keagungan intuisi mereka agar
tidak tercipta konfrontasi yang tidak berujung atas berbagai
penafsiran yang bias.
Kaum perempuan harus mampu mengusung nasib
dirinya untuk menuju kehidupan yang lebih mapan. Ragam
perjuangan yang telah dilakukan oleh aktivis feminis dan
gender harus menjadi pangkal utama untuk menapaki sebuah
konsep kerja yang lebih terarah. Kesetaraan merupakan
keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan kepada hambaNya.
Perpaduan siang dan malam merupakan pertanda bahwa
dalam penciptaan dunia ini terdapat oposisi yang saling
bersimbiosis-mutualistik antara satu elemen dengan elemen
lainnya. Seperti kanan-kiri, hitam-putih, baik-buruk, dan
perumpamaan lain yang dapat dijadikan sebuah sandaran.
Jurnal Studi Gender
Mas’udi
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, ed., Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006.
Al-Munawar, Said Agil Patut Dikaji Ulang Posisi Wanita dalam Islam.
Republika, Jum’at, 25 Agustus 2000.
Arivia, Gadis. Feminisme: sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas, 2006
Parsons, Talcott dan Robert f. Bales, eds., Family, Socialization and
Interaction Process. Glencoe, II: The Free Press, 1995.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina, 2001.
Wadud, Aminah. 2001. Qur’an menurut Perempuan: Menelusuri Bias
Gender dalam Tradisi Tafsir, terj., Abdullah Ali. Jakarta:
Serambi.
REFERENSI DARI INTERNET
http://bunga-rumput.blogspot.com/2007/05/pendidikankritis-feminis-dalam-upaya_3086.htm
http://www.swararahima.html
http://www.duniaesai.com/gender/gender1.html
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
53
54
Jurnal Studi Gender
Ide Utama
KONTROVERSI NIKAH MUT’AH
DAN NIKAH MU’AQQOD
Jamal Ma’mur Asmani *)
ABSTRACT: This paper discusses the controversy about
marriage mut’ah and mu’aqqod in perspective Islamic
jurisprudence from historical trace. Islamic scholars (fuqoha)
tend to be very careful in responding both of them. Most fuqoha
forbid the Mut’ah marriage because the resulting negative
effects. Among them, First, it make a woman more than just
satisfying sexual desires, no different from prostitutes, who
enjoyed then left to go. Second, the loss of the family concept in
Islam that emphasizes achieved mawaddah (loving kindness)
wa rahmah (love). Mawaddah wa rahmag are two things
that became the dream of every family who achieved forever.
Third, the emergence of weak generation. Fourth, the moral
destruction of mankind. People will enjoy racing sexual desire
without limit. Everyone who has money, directly take mut’ah
married a month, if the match continued, if not fit to be left
out. Actually, married not just for fun, but the most important
thing is to follow the Sunnah of the Prophet as the media to
have children and continue the relay of Islamic leadership in
the future, print the cadres of religious future of quality that
can bring Islam to the top of the throne the divinity-oriented
civilization, welfare, progress, and happiness of the world and
the hereafter.
Keywords: marriage mut’ah
jurisprudence, sex, gender
A.
and
mu’aqqod,
Islamic
Pendahuluan
Beberapa tahun lalu muncul film yang kontroversial,
yaitu kawin kontrak. Di salah statiun televisi swasta (2004)
menayangkan acara Sinden dengan tema nikah mut’ah
(nikah kontrak). Acara yang dipandu oleh presenter kondang
*) Direktur Lembaga Kajian Al-Hikmah Pati Jateng, dan Pengurus
Harian Rabithoh Ma’ahid Islamiyah Cabang Pati
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
56
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
Maria Ulfa itu menampilkan Dewi dan suami kontraknya
yang berasal dari negara Timur Tengah. Dengan jujur Dewi
(perempuan yang dinikah kontrak) mengatakan, bahwa motif
nikah mut’ah ini karena dua hal. Pertama, kebutuhan materi.
Kedua, kasih sayang. Dua hal inilah yang membuatnya mau
dikawin kontrak dengan durasi waktu 2 tahun lamanya. Kalau
dua tahun merasa cocok, bisa memperpanjang kontraknya.
Kontrak ini ditandatangani di atas materai resmi.
Tayangan yang dipublisikan secara terbuka di media
elektronik ini seperti menjadi bukti, betapa di negeri ini,
kebebasan tanpa batas menjadi ajang pemenuhan nafsu
seks yang sangat bertentangan dengan agama. Era sekarang
memang kesulitan menerapkan hukum secara tegas dan
disiplin. Kebebasan dan individualisme menggejala dimanamana. Islam kehilangan kekuatan dalam membentuk
kesalehan sosial. Kesalehan sekarang bertempat pada individu
sendiri-sendiri. Pada wilayah sosial, yang membentuk
budaya dan tradisi bukan Islam, tapi implikasi kecanggihan
teknologi. Rakyat Indonesia belum mampu memanfaatkan
kecanggihan teknologi Barat untuk tujuan yang positifkonstruktif. Justru sebaliknya, kecanggihan teknologi Barat
menjadikannya malas, tidak kreatif, menghabiskan waktu
untuk menikmatinya, tanpa memproyeksi masa depan dengan
memanfaatkan waktu secara maksimal.
Penjajahan budaya lewat teknologi memang sangat
efektif. Munculnya tv swasta dengan anekaragam acara
yang menarik, menjadikan rakyat ini malas, sebagian
besar waktunya digunakan untuk menikmati acara-acara
televisi yang tidak ilmiah, sekedar hiburan. Masyarakat ini
malas mengikuti program-program ilmiah, seperti dialog,
debat publik, mauidhoh hasanah, dan lain-lain. Yang
menghancurkan adalah acara-acara erotis-seksual yang bebas
tanpa batas. Pemerintah tidak punya peran signifikan untuk
mengeleminir dan melakukan upaya preventif secara intens.
Hanya sekedar pengarahan dan bimbingan yang menjadi klise
dan jargon kosong.
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
Fenomena nikah mut’ah yang belakangan ini terjadi
di negeri ini harus segera direspons oleh pemerintah.
Pemerintah harus sigap menelusuri dimana kejadiannya,
bagaimana model transaksinya, motif apa dibalik itu, dan apa
implikasi sosio-moralnya bagi bangsa ini. Stasiun tv swasta
yang menayangkan acara ini (Sinden) bisa diajak kerjasama
untuk mengsut tuntas fenomena negatif-destruktif ini. Kalau
fenomena minor seperti ini tidak secara cepat direspons
pemerintah, niscaya akan menjalar kemana-mana. Kalau
sudah menjadi tradisi, maka secara psykologis-sosiologis,
sangat sulit untuk menghilangkannya. Seperti fenomena
lokalisasi pekerja seks komersial. Wanita Indonesia akan
semakin hancur moralitasnya, dan ke depan, moral generasi
mudanya juga akan ikut hancur.
Dalam buku Tauhid Sosial Amien Rais menjelaskan,
delegasi Amerika ketika konfrensi PBB tentang kependudukan
di Mesir membawa beberapa konsep baru tentang lembaga
perkawinan. Diantaranya, aborsi diserahkan saja kepada wanita
yang bersangkutan, karena dia sendiri yang bisa merasakan
antara melakukan aborsi dan tidak. Kedua, pernikahan
sebaiknya tidak harus laki-laki sama perempuan, bisa laki
sama laki dan perempuan sama perempuan seperti praktek
lesbianisme dan homoseksualisme. Ketiga, perkawinan tidak
harus sesuai dengan norma agama. Asal mau sama mau, biar
saja orang melakukan hubungan seksual. Konsep baru yang
ditentang oleh sebagian besar negara dunia ini berangkat dari
pengagungan HAM secara absolut. Manusia mempunyai hak
menjalankan hidupnya sesuai kemauannya, tidak ada satu
kekuatan manapu yang bisa mencegahnya, sekalipun agama.
Praktek inilah yang terjadi di Amerika, sehingga liberitas
seksual di sana sudah menjadi fenoemana umum. Asal mau
sama mau tidak masalah, yang penting tidak ada paksaan dan
pelecehan HAM.
Sudah waktunya di era globalisasi sekarang ini, umat
Islam semakin ofensif-dinamis melakukan counter culture and
discourse (wacana dan budaya tandingan) dengan pemikiran
dan kegiatan keagamaan yang massif dan marketible. Gerakan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
57
58
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
pemikiran, ekonomi dan dakwah bisa dijadikan starting point
yang sangat baik. Pemikiran harus dinamis dan progresif,
dakwah agama harus menarik, menyentuh persoalan hidup
sosial secara riil dan memberikan solusi alternatif secara
dinamis dan ekonomi harus membangkitkan kemandirian
dan kebangkitan personal.
Kebangkitan personal adalah syarat mutlak
menghadapi superioritas budaya Barat yang bebas. Tidak
mungkin kebangkitan sosial muncul tanpa kebangkitan
personal terlebih dahulu. Dan sekali lagi, pemerintah harus
mengambil peran dalam menindak pelaku menyimpang, kalau
pemerintah diam saja, sangat sulit gerakan kultural ini bisa
cepat membendung liberitas moral yang menjadi fenomena
factual saat ini. Sinergi kekuatan kultural yang dimotori oleh
agamawan dan kekuatan struktural negara adalah cara efektif
melakukan kerja mulia ini demi menyelamatkan generasi
bangsa dari kehancuran moral untuk menyongsong masa
depan dengan prestasi dan kreasi.
Khusus untuk kaum agamawan, fenomena nikah
mut’ah ini menjadi tantangan serius, bagaimana merespons
dan memberikan solusi terbaik. Tulisan ini akan membahas
nikah mut’ah dengan harapan ada pemahaman holistik
mengenai nikah mut’ah ini sehingga mampu memberikan
sosialisasi yang benar terhadap publik tentang hukum nikah
mut’ah.
B.
Pengertian Nikah Mut’ah
Menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah, antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqod tidak ada
perbedaan, dua kata satu arti (sinonim/muradif). Sedangkan
menurut pendapat yang populer dari Hanafiyah, antara
keduanya ada perbedaan. Karena nikah mut’ah disyaratkan
menggunakan teks mut’ah, seperti ucapan ’atamatta’u bika’
saya mau bersenang-senang denganmu. Tetapi sebagian
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
Hanafiyah menyatakan bahwa persyaratan tersebut tidak
ditetapkan (lam yatsbut). Berdasarkan hal ini, maka tidak
ada perbedaan pengertian antara nikah mut’ah dan nikah
mu’aqqad.
Nikah mut’ah adalah akad perkawinan yang dibatasi
dengan waktu tertentu, seperti ucapan ’aku menikahi engkau
selama satu tahun’ dan sejenisnya, baik diucapkan didepan
saksi dan wali atau tidak.1
Menurut ulama Syi’ah, nikah mut’ah adalah ikatan
antara laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati
yang disebut dalam akad, sampai batas waktu yang telah
ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati
atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh
laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa
memerlukan proses perceraian. Akad nikah tersebut atas
dasar kebutuhan seks karena snagat terdesak pada salah
satunya (laki-laki atau perempuan).
Definisi lebih lengkap, seperti disampaikan oleh
Ibrahim Hosen, bahwa yang dimaksud dengan nikah mut’ah
adalah :
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Shighot ijab dengan lafadz yang berarti kawin atau
dengan lafadz mut’ah yang berarti bersenang-senang
Tanpa wali
Tanpa saksi
Di dalam aqad terdapat ketentuan berupa pembatasan
waktu, seperti satu hari, satu minggu, satu bulan dan
seterusnya. Menurut Syi’ah Imamiah, masa mut’ah
tidak melebihi 45 hari
Keharusan menyebut mahar dalam aqad
Anak dari nikah mut’ah mempunyai fungsi sebagai
anak dari nikah biasa
Antara suami dan istri tak saling mewarisi jika tidak
disyaratkan dalam aqad
Tidak ada talak sebelum masa nikah mut’ah berakhir
’iddah dua kali haid
Tidak ada nafkah selama ’iddah.2
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
59
60
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
Syarat nikah mut’ah yang banyak ini menjadi bukti
betapa dalam implementasinya tidak mudah, walaupun dalam
banyak kitab, persyaratan ini tidak dijumpai. Karena memang
yang menjadi parameter utama adalah shighot itu sendiri.
C.
Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah ini pertama kali terjadi pada masa Nabi
Muhammad Saw. Tepatnya pada waktu peperangan dari satu
medan ke medan yang lain. Mereka harus meninggalkan
istri, sementara pengetahuan, mentalitas, dan moralitas
mereka masih dalam masa formatif, mengingat mereka baru
masuk Islam. Mereka masih terbawa kebiasan pra-Islam
yang suka mengumbar nafsu seks kepada perempuan tanpa
batas. Kondisi ekonomi mereka yang ada dibawah standar,
sehingga mereka tidak mampu memenuhi beban-beban
perkawinan dan mendidik keluarga. Kemudian, bagaimana
kondisi mereka pada waktu perang ? bagaimana kondisi
ekonominya yang serba kekurangan ? dan bagaimana gelora
nafsu mereka yang sulit ditahan ? dalam konteks inilah, nikah
mut’ah disyari’atkan untuk menghilangkan kesulitan, namun
syari’at ini sangat terbatas waktu perang zaman Nabi. Islam
memberikan solusi diperbolehkannya nikah mut’ah ini karena
darurat. Mereka tidak bisa menikah untuk selamanya karena
berganti-ganti medan juang, dan juga tidak mampu menahan
gelora nafsu.
Persisnya ketika terjadi perang fathu Makkah,
pembebasan kota Mekah. Hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim dari Sibrah yang berkata : ”Rasulullah memerintahkan
kita nikah mut’ah pada waktu pembebasan mekah (amul
fathi), ketika kita masuk Mekah, kemudian kita tidak keluar
(dari Mekah) sampai Rasul melarang kami darinya”. Dus, ini
dalil yang jelas bahwa nikah mut’ah adalah hukum yang terjadi
karena darurat peperangan. Ibnu Majah meriwayatkan hadits
sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda : ”Wahai manusia,
sesungguhnya Aku telah mengizinkan nikah mut’ah, ingatlah,
sesungguhnya Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
Inilah hebatnya hukum Islam. Haramnya nikah mut’ah
sampai hari kiamat sesuai dengan kaidah dasar Islam yang
menganggap zina sebagai perbuatan yang keji. Zina adalah
simbol perbuatan yang merusak harga diri, bercampurnya
keturunan, dan hilangnya rasa malu.3
Dalam kitab Subul al-Salam karya Imam Muhammad
bin Ismail menerangkan, bahwa Rasulullah memberikan
dispensasi ( ‫ﺼ ﺔ‬
‫ﺧ‬rukhshah) nikah mut’ah dan merombaknya
(mengharamkannya) dalam enam tempat. Pertama, pada
waktu perang Khoibar; kedua, pada ramainya putusan ( ‫ ﻣﺎ‬
‫ﺎ‬
‫ﻟ‬amaratul qodlo’); ketiga, pada waktu membebaskan
‫ﻘﻀ‬
kota Makkah ( ‫ ﻋﺎ ﻣ ﱠﻜ ﺔ‬amu Makkah); keempat, pada waktu
perang Aus; kelima, pada waktu perang Tabuk; keenam, pada
waktu "
wada’. Menurut Imam Nawawi, kebolehan
! # ‫ﺣ ﱡﺞ‬haji
dan keharamannya terjadi dalam dua kali. Pertama, nikah
mut’ah diperbolehkan sebelum perang Khoibar kemudian
diharamkan didalamnya. Kedua, diperbolehkan nikah mut’ah
pada waktu pembebasan kota Makkah (tahun Authos), lalu
diharamkan selamanya.4
Sejarah ini memberikan pelajaran pada kita bahwa
diperbolehkannya nikah mut’ah pada awal-awal Islam
menunjukkan kematangan Islam dalam menurunkan aturanaturannya. Secara psykologis-sosiologis, tidak mungkin
awal-awal dakwahnya Nabi mengharamkan nikah mut’ah
secara total. Disinilah fungsi at-taisir (mempermudah),
raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan) dan tadrijul hukmi
(gradualisasi hukum) diterapkan Nabi secara tepat. Dalam
qaidah fiqh terdapat al-masyaqqah tajlibu altaisir (kesulitan
menyebabkan kemudahan). Tentu semua menunggu wahyu
Allah Swt.
D.
Pendapat Ulama
Bagaimana pandangan ulama tentang nikah mut’ah
ini ? Ulama mempunyai beragam pendapat. Secara detail
pendapat mereka terbagi menjadi dua :
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
61
62
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
1. Pendapat Yang Melarang
Malikiyah : nikmah mut’ah adalah teks akad nikahnya
dibatasi dengan waktu, seperti ucapan suami kepada
wali, ’nikahkanlah aku dengan si fulan selama 1
bulan’, atau suami berkata ’aku terima nikahnya
selama satu bulan’. Hukum nikah mut’ah ini batal dan
bubarkah pernikahan, baik sebelum berhubungan
atau sudah, tapi kalau sudah berhubunga, laki-laki
wajib memberikan mahar mitsl (mas kawin sepadan).
Nikah mut’ah dikatakan positif jika diucapkan secara
jelas kepada wali atau perempuan, atau dua-duanya.
Jika tidak disebutkan sebelum akad atau disyaratkan
sebelum akad secara tekstual (lafdhon), tapi suami
menginginkan untuk dirinya sendiri, hal itu tidak apaapa, walaupun si istri atau walinya paham. Ada juga
yang mengatakan, jika si istri paham, maka nikahnya
batal, kemudian ketika waktunya luas (lama), dimana
biasanya keduanya tidak bisa hidup dalam waktu
tersebut, ada yang berpendapat sah, ada yang tidak.
Orang yang melakukan nikah mut’ah harus dihukum,
tapi tidak boleh dihad (dipidana) karena ada syuhbat
(kesamaran) terhadap pendapat Ibnu Abbas yang
membolehkan, walaupun Ibnu Abbas sudah mencabut
pendapatnya.
Syafi’iyah : nikah mut’ah adalah nikah dalam waktu
tertentu. Jika laki-laki berkata kepada wali, ’kawinkan
aku dengan si fulan selama satu bulan’, maka jadilah
nikmah mut’ah. Hukumnya bata. Begitu juga ketika
perkawinan dibatasi dengan masa hidupnya istri atau
suami. Misalnya Wali berkata pada laki-laki, ”aku
menikahkan kamu si fulan selama masa hidupnya”,
maka batallah akad. Hal ini karena pernikahan
pengaruhnya tidak hanya pada waktu hidupnya istri,
tapi juga sampai meninggal, oleh karena itu suami
boleh memandikan istrinya. Pembatasan nikah
dengan umur berarti menyudahi hubungan suami-istri
setelah meninggal, hal ini hukumnya batal. Hanabilah
: nikah mut’ah adalah menikah yang dibatasi dengan
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
masa, secara jelas maupun tidak. Yang jelas misalnya,
wali berkata : aku menikahkanmu kepada si fulan
selama satu bulan atau satu tahun. Yang tidak jelas
misalnya : aku menikahkanmu kepadanya sampai
selesainya musim, atau sampai datangnya orang yang
haji. Nikah mut’ah mencakup dua hal. Pertama, nikah
yang dibatasi waktu bersama wali dan saksi. Kedua,
menikah dengan lafadz mut’ah tanpa wali dan saksi.
Nikah mut’ah ini hukumnya batal dalam keadaan
apapun. Namun, Abu Bakar dalam satu riwayat
mengatakan bahwa nikah mut’ah hukumnya makruh,
bukan haram, karena Ibn Mashur bertanya kepada
Imam Ahmad tentang nikah mut’ah, Imam Ahmad
menjawab : menjauhinya lebih aku cintai.5 Ketika
batas waktu tidak disebutkan, namun dalam hatinya
ia berniat menikahinya dalam waktu tertentu, maka
batal juga nikahnya, maka nikahnya tidak sah kecuali
ia niat bahwa istrinya tersebut tetap menjadi istrinya
selama ia masih hidup.
Hanafiyah : nikah mut’ah adalah suami berkata
kepada seorang perempuan, ”aku ingin bersenangsenang denganmu”, atau ”berilah kenikmatan padaku
dengan tubuhmu selama beberapa hari” atau sepuluh
hari, kemudian perempuan berkata, ”aku menerima”.
Namun tidak ada dalil shohih yang menunjukkan
bahwa nikah mut’ah khusus dengan lafadz mut’ah.
Oleh karena itu, sebagian Hanafiyah berkata : tidak
ada bedanya antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqod.
Nikah ketika dibatasi waktu atau tempat atau dengan
lafadz mut’ah tanpa saksi, maka jadilah nikah mut’ah,
seperti pendapat Hanabilah. Nikah ini batal dalam
keadaan apapun.6
Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena
beberapa alasan :
1. Bersetubuh tidak halal kecuali pada istri atau budak
yang dimiliki (mamlukah). Sedangkan perempuan
yang dinikah mut’ah bukan istri karena tidak ada
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
63
64
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
hak waris, tidak ada hubungan nasab, dan tidak ada
iddah.
2. Sayyidina Umar bin Khottab dalam khutbahnya
berkata : ada dua nikah mut’ah yang terjadi pada
masa Nabi Muhammad Saw., saya melarangnya dan
menghukum padanya. Umar menyampaikan pidato
ini dihadapan sahabat dan tidak ada satupun yang
mengingkari.
3. Hadits yang diriwayatkan Malik dari Zuhri dari
Abdullah dan Hasan kedua putra Muhammad bin
Ali dari bapak keduanya dari Ali : Sesungguhnya
Rasulullah Saw. Melarang menikah mut’ah perempuan
dan dari makan dagingnya keledai yang jinak.7
Ahlussunnah dan ahli fiqihnya tidak mendefinisikan
dan membatasi dengan pengertian yang mengikat (dhobit)
kepada nikah mut’ah, namun titik point nikah mut’ah adalah
laki-laki bersenang-senang kepada perempuan pada waktu
yang ditentukan dengan imbalan yang jelas, baik harta atau
sejenisnya.selain itu perempuan tidak mendapatkan apaapa, apakah itu nafkah, iddah kecuali istibra’ (membebaskan
kandungan dari kemungkinan hamil).
Nikah mut’ah merendahkan perempuan dan
menjadikannya sebagai komoditi, maka datanglah syari’at
untuk melarang dan mengharamkannya. Imam Ibnu Rusyd
berkata : haramnya nikah mut’ah berdasarkan hadits yang
mutawatir (terus/tidak terputus). Oleh karena itu, haramnya
nikah mut’ah sudah ijma’. Namun ada sebagian sahabat yang
tetap memperbolehkan nikah sebagai rukhsah (kompensasi),
tetapi diriwayatkan bahwa mereka mencabut pendapatnya
dan ucapan mereka bahwa nikah mut’ah telah dirombak.8
Jadi jelaslah bahwa hukum nikah mut’ah menurut
Madzhab empat dan mayoritas sahabat adalah haram dan
batal. Kecuali Imam Zafar yang menganggap nikah mu’aqqod
sah selamanya, karena nikah tidak batal dengan syarat yang
rusak. Pendapat ini ditolak karena akad mu’aqqad dalam
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
pengertian mut’ah, sedangkan yang dianggap dalam akad
adalah maknanya (ma’ani) bukan teks verbalnya (alfadz).9
Pendapat Yang Membolehkan
Pendapat yang memandang halal nikah mut’ah terdiri
dari kalangan sahabat, seperti ’Asma binti Abi Bakar Shiddiq,
Jabir ibn Abdullah, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Mu’awiyah,
Amin bin Huraits, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah dan Ma’bad,
dan kalangan Tabi’in : Thaus, Atho’, Saib bin Jubair dan
seluruh ulama fiqh Mekah serta golongan Syi’ah Imamiyah.
Argumentasi mereka adalah QS. Al-Nisa’ 24 :
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan
untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati
(campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu
Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Istidlal mereka dari ayat ini :
1. firman Allah berbunyi : antabtaguu bi amwaalikum
(mencari istri-istri dengan hartamu), pengertiannya
mencakup mencari wanita untuk masa yang tidak
terbatas (nikah) dan terbatas (mut’ah). Kedua cara
tersebut termasuk dalam firman Allah: wa uhilla
lakum maa waraa dzaalikum (dan dihalalkan bagi
kamu sekalian yang demikian) dalam ayat di atas.
Dengan demikian menunjukkan bahwa mut’ah tetap
halal/boleh.
2. Ayat ini khusus menerangkan tentang bolehnya nikah
mut’ah, berdasarkan riwayat yang menerangkan bahwa
Ibn Mas’ud, Uba ibn Ka’ab dan Ibn Jubair membaca
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
65
66
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
ayat ini : Maka sesuatu yang kamu lakukan mut’ah
dengannya kepada mereka (yakni wanita-wanita
selain yang tersebut itu) hingga masa yang ditentukan,
maka berilah kepada itu mas kawin mereka sebagai
suatu kewajiban. Qiro’ah Ibn Mas’ud, Ubai bin Ka’ab
dan Ibn Jubair tersebut meskipun tidak mutawatir,
tidak seorang sahabat pun yang membatahnya, dan
hal ini menunjukkan kebenarannya.
3. Ayat ini memerintahkan supaya membayar mahar
sesudah terjadi istimta’ (bersenang-senang), hal ini
menandakan halalnya nikmah mut’ah, sebab pada
dasarnya keharusan membayar mahar adalah karena
akad nikah; dan kalau terjadi perceraian sebelum
istimta’ maka kewajiban membayar hanya sebagian
dari jumlah yang ditentukan. Apabila maharnya
belum ditentukan, kemudian terjadi perceraian
sebelum dukhul (hubungan suami istri), maka tidak
ada mas kawin. Jadi dengan semata-mata akad tanpa
persetubuhan tidak termasuk dalam pengertian
istimta’, sebagaimana yang dikehendaki perkataan fa
mastamta’tum (istri-istri yang telah kamu campuri)
dalam ayat di atas.
4. Kalau ayat ini dipandang untuk menerangkan hukum
nikah (bukan hukum mut’ah), maka terjadilah
pengulangan menerangkan suatu hukum dalam
satu masalah yang sama; karena hukum nikah dan
keharusan membayar mahar telah diterangkan dalam
ayat-ayat sebelumnya. Tentu hal ini bertentangan
dengan ke balaghaan al-Qur’an. Tetapi kalau ayat ini
dipandang untuk menerangkan hukum nikah mut’ah,
maka ini adalah suatu hukum baru, oleh karena itu
sebaiknya ayat ini diarahkan kepada hukum yang baru
itu.10
Selain ayat di atas ada juga sumber lain bolehnya nikah
mut’ah, antara lain :
1. ayat QS. Al-Nisa’ 3 :
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
‫ﻓﺎﻧﻜﺤﻮ ﻣﺎ ﻃﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﻟﻨﺴﺎ‬
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi
2. Diriwayatkan Salmah bin Akwa’, sesungguhnya juru
bicara (munadi) Rasulullah keluar sambil berkara :
‫ ﻟﻜﻢ ﻓﺎﺳﺘﻤﺘﻌﻮ‬1 ‫ ﷲ ﻗﺪ‬
Sesungguhnya Allah sungguh telah mengizini padamu,
maka bersenang-senanglah (kawin mut’ah)
3. Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob yang
berkata :
‫ ﻧﺎ ﻧﻬﻲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﺎﻗﺐ‬.I.[ ‫ﻣﺘﻌﺘﺎ ﻛﺎﻧﺘﺎ ﻋﻠﻲ ﻋﻬﺪ *ﺳﻮ@ ﷲ‬
‫ﻣﺘﻌﺔ ﻟﺤﺞ‬# ‫ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻣﺘﻌﺔ ﻟﻨﺴﺎ‬
Ada dua nikah mut’ah pada masa Rasulillah Saw. aku
melarangnya dan menghukumnya, yaitu mut’ah kepada
para perempuan dan mut’ah haji.
Umar memberikan informasi kebolehan nikah mut’ah
pada zaman Nabi, sedangkan apa yang ditetapkan
syara’ tidak boleh diharamkan lewat ijma’.
4. Nikah adalah akad manfaat, maka sah membatasinya
dengan waktu seperti akad sewa (ijarah)
5. Kebolehan nikah mut’ah telah ditetapkan dengan ijma’,
maka menggantinya menjadi haram pun harus dengan
ijma’.11
Dalil dan alasan di atas menjadi pegangan kuat bagi
golongan ulama yang memperbolehkan nikah mut’ah.
Manakah yang lebih unggul, mari kita simak perdebatannya.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
67
68
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
E. Debat Argumentasi
Dua kelompok yang melarang dan membolehkan
nikah mut’ah masing-masing memakai pijakan dalil yang
sama-sama kuat. Namun, golongan yang melarang nikah
mut’ah mementahkan dalil golongan yang membolehkan
dengan argumentasi ilmiah yang berlapis-lapis, yaitu :
Argumen 1 :
1. Yang dimaksud dalam ayat ”Famastamta’tum” (QS.
Al-Nisa’ 4/24) adalah nikah, karena itulah yang
disebutkan dalam awal dan akhir ayat, bukan nikah
mut’ah yang diharamkan syara’.
Adapun redaksi bilajri, karena mahar dalam nikah
dikatakan secara bahasa ajr, sesuai firman Allah
QS. Al-Nisa’ 4/25 ”Fankihuhunna biidzni ahlihinna,
waatuhunna ujurahunna bilma’ruf”. Sedangkan
perintah memberikan ajr setelah bersenangsenang, sedangkan mahar diberikan sebelum
bersenang-senang, hal ini karena faktor bahasa yang
mendahulukan dan mengakhirkan. Kalau dijelaskan
: maka berilah mereka mahar-maharnya ketika kamu
ingin bersenang-senang dengan mereka, yakni ketika
kamu ingin bersenang-senang dengan mereka.
2. Ijin nikah mut’ah dalam hadits Nabi terjadi pada
sebagian perang, hal ini karena darurat yang memaksa
dalam perang, karena sebab ’uzbah’ (berpisah dengan
istri) ketika sedang bepergian, kemudian Rasul
mengharamkan selamanya sampai hari kiamat dengan
dalil hadits yang sangat banyak.12
Argumen 2 :
Syi’ah Zaidiyah berkata : yang dimaksud ayat
”Famastamta’tum” adalah nikah mut’ah yang ada
pada permulaan Islam dimana Islam memberikan
’keringanan’. Nabi memberikan ijin sekali atau dua
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
kali dalam peperangan karena jauhnya orang-orang
yang berjuang dari istri mereka dan takut zina, maka
nikah mut’ah termasuk memilih sesuatu yang akibat
bahayanya lebih ringan (akhoffi al-dhororoin), hal itu
terjadi pada perang Authos dan tahun pembebasan
kota Mekah, kemudian Nabi mengharamkan setelah
itu dengan dalil ayat : Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya,
Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang
mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam
hal Ini tiada terceIa. (QS. Al-Mu’minun 5-6).
Mut’ah bukan nikah dan bukan milku yamin.13
Argumen 3 :
Jika ada pertanyaan, hadits satu dengan yang lain
membingungkan, satu dengan lainnya berbeda, karena
diriwayatkan pada sebagian hadits bahwa Nabi mengharamkan
nikah mut’ah pada tahun Khoibar (perang Khoibar), sebagian
diriwayatkan bahwa Nabi mengharamkannya pada tahun
pembebasan kota Mekah (fathu Makkah), sebagian Nabi
mengharamkannya pada perang Tabuk, dan sebagian Nabi
mengharamkannya pada haji wada’, sedangkan antara satu
waktu dengan lainnya ada masa yang panjang ?
Ada dua jawaban dalam pertanyaan ini :
Pertama, nikah mut’ah diharamkan dan diulang-ulang
dalam banyak tempat supaya lebih jelas dan lebih menyebar
sampai orang yang tidak tahu menjadi paham, sehingga
orang yang tidak menghadiri satu majlis bisa mendengar
dan memahami hal ini, karena mungkin orang ada pada
satu tempat, tapi di tempat yang lain tidak ada. Hal ini lebih
memperkuat keharamannya.
Kedua, sesungguhnya nikah mut’ah pertama
hukumnya halal, kemudian diharamkan pada tahun Khoibar,
kemudian diperbolehkan setelah itu karena ada nilai positif
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
69
70
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
(maslahat)nya, kemudian diharamkan pada haji wada’.
Karena itu Nabi bersabda dalam haji wada’ : ia haram sampai
hari kiamat” sebagai warning bahwa haram yang pernah ada
itu sifatnya temporer yang diikuti hukum boleh, sedangkan
haram yang ini selamanaya yang tidak diikuti hukum mubah
lagi, karena ia adalah ijma’ (konsensus) sahabat, hal ini
diriwayatkan Abu Bakar, Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Umar,
Ibn Zubair, dan Abi Hurairah. Ibnu Umar berkata : aku tidak
mengetahuinya kecuali zina itu sendiri. Ibn Zubair berkata :
nikah mut’ah adalah jelas zina (zina shorih).14
Argumen 4 :
Ada juga golongan mutaakhkhirin yang mengatakan
bahwa halalnya nikah mut’ah itu qoth’i, sedangkan hadits
haramnya secara ta’bid adalah dhonni, sedangkan dhonni
tidak bisa menghapus yang qoth’i. Pernyataan ini dijawab
: bahwa halalnya nikah mut’ah yang qoth’i karena secara
tekstual ada dalam al-Qur’an, namun itu hanya qoth’i matan
(pasti redaksi) nya, bukan qoth’i dilalah (pasti petunjuknya)
karena dua hal :
Pertama, mungkin ayat qoth’i tersebut diartikan pada
bersenang-senang dalam pernikahan yang benar.
Kedua, ayat qoth’i tersebut umum, ia adalah dhonni
dalalah (petunjuknya tidak pasti).
Sedangkan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu
Abbas yang berkata : sesungguhnya nikah mut’ah masih eksis
sampai turun firman Allah :
‫ﻻ ﻋﻠﻲ ]ﺟﻬﻢ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﻳﻤﺎﻧﻬﻢ‬
Ibnu Abbas berkata : setiap kemaluan selain dua hal
di atas hukumnya haram. Ini menunjukkan bahwa
haramnya nikah mut’ah ada dalam al-Qur’an, maka apa
yang qoth’i matan dihapus dengan yang qoth’i matan.
Walaupun halalnya nikah mut’ah secara qoth’i pada
permulaan Islam dengan ijma’, maka disampaikan
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
juga bahwa keharaman nikah mut’ah juga dengan
ijma’.15 Menurut Imam Fakhruddin al-Razi, kita tidak
bisa mengingkari bolehnya nikah mut’ah, namun
ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang itu sudah
dirombak (naskh), hal ini sesuai dengan ucapan ulama’
: bahwa sesuatu yang merombak bisa berupa dalil yang
mutawatir atau ahadi.16
Empat argumen di atas dahsyat sekali, meyakinkan
dan memantapkan keyakinan dan pemahaman kita, bahwa
larangan nikah mut’ah lebih sesuai dengan al-Qur’an dan
Sunnah Nabi karena mengandung dimensi keagungan moral
dan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan. Jadi ada
filosofi agung yang terkandung di dalamnya.
Pendapat Ibnu Abbas
Ibnu Abbas menjadi sahabat yang sangat populer
pendapatnya yang memperbolehkan nikah mut’ah.
Menurutnya, nikah mut’ah hukumnya boleh. Kebanyakan
sahabat Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya, seperti Atho’ dan
Thowus. Begitu juga Ibnu Juraih. Hal ini diriwayatkan oleh
Abi Sa’id al-Khudri dan Jabir. Syi’ah memegang pendapat ini.
Karena hal ini datangnya dari Nabi Muhammad Saw. yang
memberi izin. Diriwayatkan bahwa Umar berkata : ada dua
mut’ah yang terjadi pada masa nabi Muhammad Saw.
Apakah kemudian aku melarangnya dan menyiksanya
? mut’ah dengan para perempuan dan mut’ah pada
waktu haji. Nikah mut’ah juga adalah transaksi pada
kemanfatan, jadi dia dibatasi waktu seperti dagang.17
Imam Syarqowi menjelaskan, jika Ibnu Abbas
mendengar nas (Alquran-Hadits) yang mengharamkan nikah
mut’ah, pasti dia tidak konsisten dengan bolehnya nikah
mut’ah.18 Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu
Abbas telah meralat pendapatnya tersebut. Dalam riwayat
tersebut, Imam Ibnu Abbas berkata :
‫ َ ِﻧﱠ َﻤﺎ ﻫ َِﻲ َﻛﺎﻟ َْﻤ ْﻴ َﺘ ِﺔ َﻻ َﺗﺤِ ﱡﻞ ﱠِﻻ ِﻟﻠ ُْﻤ ْﻀ َﻄ ﱢﺮ‬, ‫َﻣﺎ ﺑ َِﻬﺬ َ َ ْﻓ َﺘ ْﻴ ُﺖ‬
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
71
72
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
‘Maha suci Allah, saya tidak berfatwa begitu…!
Pernikahan mut’ah seperti masalah bangkai yang tidak
halal kecuali bagi orang yang terpaksa.19
Pendapat Imam Ibnu Abbas ini tidak boleh diikuti.
Namun, orang yang mengikutinya tidak boleh di ‫ﺣ ﺪ‬had
20
(dihukum) karena masuk kategori ‫ﺷ ﺒﻬ ﺔ‬syubhat.
Menurut Imam Fakhruddin al-Razi, ada tiga riwayat
dari Ibnu Abbas terkait nikah mut’ah ini.
Pertama, membolehkan secara mutlak.
Kedua, ketika orang-orang ramai membincangkan
fatwa Ibnu Abbas dalam nikah mut’ah ini, Ibnu Abbas
berkata : ”Semoga Allah membunuh mereka, sesungguhnya
aku tidak berfatwa kebolehannya secara mutlak, tetapi aku
berkata : sesungguhnya nikah mut’ah halal bagi orang yang
terpaksa seperti halalnya bangkai, darah, dan dagingnya
babi baginya.”
Ketiga, ia mengakui bahwa nikah mut’ah sudah dirombak
(mansukhoh). Imam Atho’ al-Khurasini meriwayatkan dari
Ibnu Abbas dalam firman Allah : ”Famastamta’tum bihi
minhunna” ia berkata : ayat ini telah dirombak dengan firman
Allah ”Yaayyuha al-Nabiyyu idza thollaqtum al-Nisa’a
fatholliquhunna li’iddatihinna (QS. Al-Tholaq : 1).
Diriwayatkan darinya, ia berkata ketika ajalnya :
Wahai Allah sesungguhnya aku bertaubat padamu dari
ucapanku dalam nikah mut’ah dan shorf.21
Namun menurut Imam Ramli, riwayat bahwa Ibnu
Abbas mencabut pendapatnya tidak tetap, bahkan sebagian
dari ulama salaf menyetujuinya dalam kehalalan nikah mut’ah,
namun mereka menentangnya, seraya berkata : nikah mut’ah
tidak menimbulkan hukum-hukum pernikahan. Karena itu,
Imam Zarkasyi menentang dalam hikayat ijma’, ia berkata :
perbedaan pendapat memang terbukti (muhaqqaq), walaupun
sebagian ulama mendorong untuk menafikannya.22
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
Perbedaan pandangan dalam menyikapi pendapat
Ibnu Abbas tidak lepas dari kepentingan masing-masing.
Namun pandangan yang lebih kuat mengatakan bahwa Ibnu
Abbas telah mencabut pandangannya, sehingga Ibnu Abbas
pun mengharamkan nikah mut’ah. Mayoritas ulama berkata
seperti itu. Tentu, murid-murid Ibnu Abbas dan golongan
yang mengikuti pendapatnya harus mencabut pendapatnya
beralih kepada pendapat yang melarang nikah mut’ah.
Pendapat yang unggul
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pendapat
yang membolehkan nikah mut’ah sangat lemah karena
beberapa hal :
1. Bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang merombak
kebolehannya, yaitu QS. Al-Mu’minun 5-6-7.
2. Bertentangan dengan hadits Nabi yang jumlahnya
banyak yang melarang nikah mut’ah
Salah satu hadits yang dijadikan sumber haramnya
nikah mut’ah adalah :
‫ ﺧﻴﺒﺮ ﻋﻦ ﻛﻞ‬I‫ ﻧﻬﻲ ﻋﻦ ﻣﺘﻌﺔ ﻟﻨﺴﺎ ﻳﻮ‬.I.[ ‫ *ﺳﻮ@ ﷲ‬
‫ ﻻﻧﺴﻴﺔ‬I‫ﻟﺤﻮ‬
Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang nikah mut’ah
kepada para perempuan pada hari perang Khoibar dan
dari makan dagingnya keledai yang lunak.
‫ ﻟﻤﺘﻌﺔ‬e‫ ﻧﻬﻲ ﻋﻦ ﻧﻜﺎ‬.I.[ ‫ ﻟﻨﺒﻲ‬
Sesungguhnya Nabi saw. Melarang nikah mut’ah23
3. Bertentangan dengan tujuan pernikahan yang tidak
hanya mendapatkan kenikmatan, tapi juga ingin
melahirkan generasi masa depan yang saleh. Hubungan
suami-istri bernilai suci dan abadi dari dunia hingga
akhirat
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
73
74
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
Hukuman
Lalu bagaimana orang yang tetap melakukan nikah
mut’ah ?
Menurut Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, orang
yang melakukan nikah mut’ah tidak boleh dipidana, tapi diberi
sanksi dan disiksa karena syuhbatul aqdi (samarnya akad).
Sedangkan menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyah,
pelaku nikah mut’ah dirajam.24
Di era liberalisasi moral sekarang ini, kita layak
mempertimbangkan pendapat Malikiyah yang bisa
menimbulkan efek jera bagi pelaku nikah mut’ah ini. Jangan
sampai kita biarkan pelaku nikah mut’ah dengan hukumanhukuman ringan yang untuk ukuran sekarang ditertawakan.
Tentu menjadi tugas semua pihak, khususnya agamawan
dalam memberikan pencerahan dan pemerintah untuk
menindak tegas pelaku nikah mut’ah.
E.
Kesimpulan
Keharaman nikah mut’ah dapat dilihat dari efek
negatif yang ditimbulkannya. Diantaranya, Pertama,
menjadikan wanita sekedar pemuas nafsu seksual, tidak ada
bedanya dengan pelacur, yang dinikmati kemudian ditinggal
pergi. Kedua, hilangnya konsep keluarga dalam Islam yang
menekankan tercapai mawaddah (cinta kasih) wa rahmah
(sayang). Mawaddah wa rahmah adalah dua hal yang menjadi
impian setiap keluarga yang dicapai selama-lamanya. Ketiga,
munculnya generasi yang lemah. Kalau si wanita punya anak
hasil nikah mut’ah, siapa yang bertanggung jawab, siapa
bapaknya, dan lain-lain. Keempat, hancurnya moral umat
manusia. Orang akan berlomba-lomba menikmati nafsu
seksual tanpa batas. Asal punya uang, langsung nikah mut’ah
satu bulan, kalau cocok diteruskan, kalau tidak cocok ditinggal
pergi.
Pertanyaan kita selanjutnya adalah, apakah seperti
itu corak hukum yang dibawa Islam di dunia ini, menjadikan
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
wanita tidak ada harganya dan menjadikan seks sebagai barang
bebas, seperti produk yang dilempar pasar, siapa yang mampu
beli, dia akan dapat ? tentu hati nurani kita akan berkata,
tidak. Pilar utama Islam adalah membentuk kemuliaan moral
sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW innama
buitstu liutammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku
diutus supaya menyempurnakan akhlaq yang mulia.
Melihat banyaknya dampak negatif nikah mut’ah, maka
perbuatan ini harus dihindari sedini mungkin. Menghalalkan
nikah mut’ah sekarang ini seperti legalisasi perzinaan, sebuah
dosa besar yang akan menghancurkan bangunan moral Islam.
Kawin kontrak yang berorientasi seksual dan material adalah
sebuah penyimpangan yang jauh dari nilai-nilai Islam yang
agung dimana keluarga harus dibangun atas dasar cinta kasih
menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Menikah tidak hanya untuk bersenang-senang, tapi
yang paling penting adalah mengikuti sunnah Nabi sebagai
media memperoleh keturunan dan meneruskan estafet
kepemimpinan Islam di masa mendatang, mencetak kaderkader masa depan agama yang berkualitas yang mampu
membawa Islam ke puncak singgasana peradabannya yang
berorientasi ketuhanan, kesejahteraan, kemajuan, dan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
75
76
KONTROVERSI
NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD
(endnotes)
1
Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah,
(Beirut Libanon : Darul Fikri, 2003), Juz 4, h. 71-72, Abu Bakar al-Jazairi,
Minhajul Muslim, (Kairo Mesir : Darul Hadits, 2004), cet. 4, h. 359
2
Supani, Kontroversi Nikah Kontrak (Mut’ah), dalam Misykar,
Jurnal Pasca Sarjana IIQ Jakarta, Vol. 1, No. 2, September 2008, h. 125126
3
Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah,
Ibid,................ h. 72-73, Abu Bakar Syatha, I’anah al-Tholibin ala Hilli
Alfadzi Fathil Mu’in, (Jakarta : Daru Ihyail Kutub a-Arabiya, t.t.), Juz 3, h.
278-279
4
Imam Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, juz 3, h.
126.
5
Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Beirut Libanon : Darul Kutub alIlmiyyah, t.t.), Juz 7, h. 571
6
Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah,Op.
Cit............... , Juz 4, h. 71-75
7
Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib,
(Mesir : al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2003), Jilid 5, Juz 9-10, h. 47-48
8
Abi Abdillah Abdussalam Allawis, Ibanah al-Ahkam Syarah
Bulughul Maram, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2004), Juz 3, h. 271-272
9
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, (Beirut
Libanon : Darul Fikri al-Mu’ashir, 2004), cet. 4, Juz 9, h. 6552, Abi Ishaq
Ibrahim al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, (Semarang :
Thoha Putra, t.t.), Juz 2, h. 46, Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari,
al-Mizan al-Kubra, (Surabaya : Al-Hidayah, t.t.), Juz 2, h. 114
10
Ramlan Yusuf Rangkuti, Nikah Mut’ah Dalam Perspektif
Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor :
Dr. Chuzaimah T. Yanggo & Hafidz Anshary, (Jakarta : Pustaka Firdaus dan
Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 2008), cet. 5, h. 90-92
11
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut Libanon : Darul Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), Jilid 9, h. 328
12
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, Op.
Cit..................... h. 6554-6556
13
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul
Fikri, 2005), cet. 8, Juz 3, h. 13, dan Irwan Masduqi, Lc., Sunni dan
Syiah, Mari Berlebaran, 18 September 2009 dalam http://
irwanmasduqi83.blogspot.com/2009/09/sunni-dansyiah-mari-berlebaran-oleh.html
Jurnal Studi Gender
Jamal Ma’mur Asmani
14
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Op. Cit...................Jilid 9, h.
330
15
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Taudlihul Ahkam Min
Bulughil Maram, (Libanon : Muassasah al-Khodamat al-Thiba’iyah Hasib
Dirghom Wa Auladuh, 1994), cet. 2, Juz 4, h. 404
16
Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, Op.
Cit. Jilid 5, Juz 9-10, h. 50
17
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Op. Cit................ h. 571-572. Dalam
banyak kitab perkataan Umar adalah ada dua mut’ah yang terjadi pada
masa nabi Muhammad Saw. aku melarangnya dan menyiksanya,
mut’ah dengan para perempuan dan mut’ah pada waktu haji. Jadi
ada perbedaan. Penulis lebih cocok yang ini yang menguatkan
haramnya nikah mut’ah.
18
Syarqowi, Hasyiyah Al-Syarqowi, (Surabaya : Al-Hidayah, t.t.),
Juz 2, h. 234
19
Esensi Pemikiran Mujtahid, Forum Kajian Ilmiah 2003 Purna
Siswa Aliyah (Kediri : PP. Lirboyo, 2003), h. 297
20
Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadhoir, (Kediri : AlMa’had al-Salafi, t.t.), h. 84
21
Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib,
Loc. Cit. Jilid 5, Juz 9-10, h. 46
22
Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin
Syihabuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj, (Beirut
Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. 3, Jilid 6, h. 214
23
Imam Syafi’i, al-Umm, (Beirut Libanon : Darul Kutub alIlmiyyah, 2002), Jilid 5, h. 117
24
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul
Fikri, 2005), Op. Cit............h. 14
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
77
78
Daftar Pustaka
Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah, (Beirut
Libanon : Darul Fikri, 2003), Juz 4
Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Taudlihul Ahkam Min Bulughil
Maram, (Libanon : Muassasah al-Khodamat al-Thiba’iyah
Hasib Dirghom Wa Auladuh, 1994), cet. 2, Juz 4
Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra, (Surabaya
: Al-Hidayah, t.t.), Juz 2
Abi Abdillah Abdussalam Allawis, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulughul
Maram, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2004), Juz 3
Abi Ishaq Ibrahim al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i,
(Semarang : Thoha Putra, t.t.), Juz 2
Abu Bakar Syatha, I’anah al-Tholibin ala Hilli Alfadzi Fathil Mu’in, (Jakarta
: Daru Ihyail Kutub a-Arabiya, t.t.), Juz 3
Abu Bakar al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Kairo Mesir : Darul Hadits, 2004),
cet. 4
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah,
1999), Jilid 9
Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, (Mesir : alMaktabah al-Taufiqiyah, 2003), Jilid 5, Juz 9-10
Forum Kajian Ilmiah Purna Siswa Aliyah 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid,
(Kediri : PP. Lirboyo, 2003)
Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah,
t.t.), Juz 7
Imam Syafi’i, al-Umm, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2002),
Jilid 5
Imam Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, juz 3
Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadhoir, (Kediri : Al-Ma’had al-Salafi,
tt.)
Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin alRamli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj, (Beirut
Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. 3, Jilid 6
Ramlan Yusuf Rangkuti, Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam,
dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor : Dr.
Chuzaimah T. Yanggo & Hafidz Anshary, (Jakarta : Pustaka
Firdaus dan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,
2008), cet. 5
Supani, Kontroversi Nikah Kontrak (Mut’ah), dalam Misykar, Jurnal Pasca
Sarjana IIQ Jakarta, Vol. 1, No. 2, September 2008
Syarqowi, Hasyiyah Al-Syarqowi, (Surabaya : Al-Hidayah, tt.), Juz 2
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, (Beirut Libanon : Darul
Fikri al-Mu’ashir, 2004), cet. 4, Juz 9
-------------------, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2005),
cet. 8, Juz 3
Jurnal Studi Gender
Riset
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN
FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED
IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF
MIRTH
Dewi Ulya Mailasari*
ABSTRAKSI: Identitas diri merupakan suatu
hal yang penting dimiliki oleh setiap orang. Dengan
identitas diri seseorang akan mengetahui konsep diri,
dan arah kemana tujuan hidup hendak dicapai. Hal ini
akan memberinya pengetahuan mengenai mana hal
yang baik dan mana hal salah dan membuatnya mudah
menentukan pilihan sikap sebagai individu yang hidup
di tengah –tengah masyarakat. Sekitar awal abad 20,
merupakan masa yang sulit bagi sebagian wanita
Amerika. Masa itu ditandai dengan membanjirnya orang
kaya baru sebagai imbas industrialisasi. Namun di sisi
lain juga menghasilkan orang-orang miskin yang tertatihtatih mencari cara bagaimana harus tetap survive. Studi
ini mencoba menelaah kehidupan wanita Amerika pada
masa itu dan bagaimana hidupnya diwarnai dengan
proses pencarian identitas diri yang tidak pernah lelah di
tengah system patriarki yang begitu mendominasi. Dalam
system patriarki, laki-laki sebagai pihak pengontrol
image perempuan menyangkut bagaimana seharusnya
perempuan bertindak atau berlaku.Bagi sebagian
wanita yang ingin lepas dari ketergantungan ekonomi
dan social dari para suami, dan dengan begitu menjadi
pribadi yang utuh maka mereka menghadapi kendala
berupa ketiadaan akses ekonomi dan ketiadaan skill yang
menunjang untuk bekerja di luar. Selama ini mereka
dimanjakan oleh system patriarki yang memandang
kecantikan dan keanggunan fisik adalah segalanya. Para
wanita berfokus pada penampilan fisik yang itu semua
*Dewi Ulya Mailasari, SS. is an English lecturer at STAIN
Kudus. Now, she is pursuing for a masters degree in American Studies,
majoring in American Literature, from the Graduate School of Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
80
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
dalam rangka menyenangkan para suami mereka kelak.
Mereka tidak mempunyai bekal skill bekerja karena dari
awal masyarakat tidak menghendaki mereka bekerja.
Tawaran pekerjaan yang ada adalah pegawai rendah
dengan upah yang endah pula. Demikianlah diantaranya
dilemma yang dihadapi wanita Amerika sekitar awal abad
20 dalam memperoleh identitas diri sebagai pribadi yang
utuh.
Kata kunci: identitas diri, wanita Amerika, system
patriarki
A.
Introduction
Women’s existence all this time has been viewed to some
degree as inferior. Through history, women have been labeled
physically weaker than men, more emotional, less reasonable,
less able to learn, and dependent. Social customs and law
were developed to ensure that women fit these definitions.
Those stereotypes and attitudes are effective barriers to the
changing of women’s status. For this reason, many feminists
held the women movement to improve their position in order
to be equal with men in all aspects of life.
The process of changing stereotypes and raising the
women’s status has been slow and uneven. At the approach
of 1800’s, the girls of upper-classes began to have secondary
school education. The education was for supporting the
household duties. Before the Civil War, big business had been
restrained. The agrarian interests were under the leadership
of the Southern planting aristocracy. When this leadership
was destroyed by the war and “reconstruction”, Northern
industrialists and financiers, finding themselves with a free
hand, transformed the country with a rush, by the use of
machines, natural resources, and labor constantly augmented
by immigration. The post Civil War expansionism had brought
the drastic changes in economic, social and cultural aspects in
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
American life. America has become the strongest industrial
nation in the world, with the highest standard of living. The
business growth had caused the nouveau riche to appear. A
great number of people arrived at cities and towns to work
as laborers. They also invited their family along with them.
Factories needed many cheap and skilled laborers.
Industrialization gave an impact on the way the
American people think and live. As described by Norman
Foerster in Image of America:
“America has a people combining an individualistic
pattern of life with an immense capacity for voluntary
organization; a practical people, with a large zest for
production and consumption—a prevailing materialism;
an idealistic people, responsive to humanitarian impulses,
believing in the dignity of man and the primacy of human
rights, but confused, insecure, and anxious amid the forces
of a world in turbulent revolution.” (Foerster, 1962:116)
As society changed, women’s role changed as well.
Mechanization had a number of consequences. One of them
was that it had destroyed the subsistence farm as a unit of
American life. A limited number of farmers with machines
raised enough food for the entire population. Men went out to
work instead of working on their own place. Their reward was
not a harvest but a weekly wage or a monthly salary. While
the implication for American women was that they lost their
economic function. This loss of function accounted for the
frustration and sense of futility.
On the other hand, industrialization made a number of
upper and middle classes increased. The distinction between
men and women was more visible. Men were busy in business,
politics and war problems. Women’s place was at home and
church. In the poorer classes, men worked as laborers, while
the married women could not work because the society norm
at that time forbade them to work outside, seeking the wages.
For the girls or unmarried women, working was more of an
economic necessity. They still could not make it enough to
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
81
82
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
support themselves. They usually worked in ready-made
clothes factories or as servants, with low wages.
In 1800-1850’s, the women of middle classes spent
their spare time doing charity activities. They specialized
in improving the women position in the fields of social,
economic, and law. The year of 1848 was the starting moment
for American women in launching the equality campaign in a
national scale. They achieved wide reaction from the American
society, but unfortunately there was only a few numbers of its
activists.
In a consumer society, money became increasingly
important and most women did not have the means to support
themselves financially. This problem placed their condition
under pressure. With these conditions, they are not recognized
as an independent and complete individual. They longed for
the recognition. Based on these conditions, the will to achieve
self-identity for women becomes an interesting phenomenon
to be analyzed. The phenomenon is well recorded in Edith
Wharton’s The House of Mirth.
This study is to probe the quest of American women
self-identity. By studying the experience of woman depicted
by Edith Wharton in The House of Mirth, it is hoped that a
portrait of American women quest in searching for their selfidentity in the beginning of the twentieth century will be
revealed. This novel is not only viewed as an aesthetic entity
but primarily an evidence of American culture. We cannot deny
that women have important role in forming society’s behavior
through their activities and therefore, the researcher believes
that the study of American women through Edith Wharton’s
The House of Mirth is essential.
B.
Theoretical Frame
Self-identity refers to one’s existence in his or her
society and recognition of the existence continuity on both
sides; as an individual and as a member of his or her society.
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
Allen Wheelis in The Quest for Identity has said:
“Identity is a coherent sense of self. It depends upon the
awareness that one’s endeavors and one’s life make sense,
that they are meaningful in the context in which life is
lived. It depends also upon stable values, and upon the
conviction that one’s actions and values are harmoniously
related. It is a sense of wholeness, of integration, of
knowing what is right and what is wrong and of being
able to choose……….” (Wheelis, 1958:19)
Self identity is formed since one is in the childhood.
When he or she grows up and becomes mature, he starts to
think about his existence and his life purpose. He looks for
a certain view of life that will guide him to his or her life in
the future. Besides, he or she faces a certain value or social
norm prevailed in a society where he or she lives. If his or her
behavior is in accordance with the value or norm, he or she will
gain a stable social identity. Therefore, the role of self-identity
in one’s life is very important. By having self-identity, one can
determine the stability of his or her future behavior and can
hold a belief about what he or she is like as an individual.
The women movement formerly was motivated
by awareness that women had difficulties in expressing their
identity. As said by Betty Friedan in the Feminine Mystique:
“It was the need for a new identity that led those
passionate feminists to forge new trails for women…. The
feminists were pioneering on the front edge of woman’s
evolution. They had to prove that women were human.
They had to shatter, violently if necessary, the decorative
Dresden figurine that represented the ideal woman of the
last century. They had to prove that woman was not a
passive, empty mirror, not a frilly, useless decoration,
not a mindless animal, not a thing to be disposed of by
others, incapable of a voice in her own existence, before
they could even begin to fight for the rights women needed
to become the human equals of men” (Friedan, 1974: 7475).
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
83
84
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
Women need to aware that their presence is important
so that they can respect their self as human like men are.
Soenarjati Djayanegara in Citra Wanita dalam Lima
Novel Terbail Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di
Amerika said that a traditional wife, who depends on
men economically and socially, according to feminist
ideology, cannot be said as a complete individual,
because she is recognized through her husband’s identity
(Djayanegara, 1995: 147).
Edith Wharton, the author of The House of
Mirth, was born amid the drastic changes which took place
in America between the Civil War and the First World War.
Wharton’s work at its best deals with what she described as the
tragic physic and moral effects on its members of a frivolous
society under pressure. R.W.B. Lewis in Edith Wharton: A
Biography said that her works are:
“…continuing testimony to the female experience under
modern historical and social conditions, to the modes of
entrapment, betrayal, and exclusion devised for women in
the first decades of the American and European twentieth
century” (Lewis, 1975:xiii).
Written in 1905, the novel became a best seller for
nearly a year and a half. It is a novel of manners, one of the
first to emerge in American literature and one of Wharton’s
most famous and most discussed novels. Many people notice
that Wharton’s works were psychological novels and usually
about the problems of women in upper-class society. She can
describe a whole way of life by describing a few surface details.
Her work is also far more concerned with social manners and
realistic depiction of behavior rather than complex moral
problems.
The material object of the research is a novel. Novel
as a literature work is a survival from the past. Literature can
help us understand a whole great historical episode. As said by
Michael Zeraffa in his article “The Novel Form and as Social
Institution”: “Novel often seems bound up with particular
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
moments in the history of society and connected with the
nature of the situation in the history” (Zeraffa, 1973:135).
C.
American Women in the Early of Twentieth
Century
a. Women in Domestic Area
Thorstein Veblen as quoted in Elizabeth Ammons’ A
Norton Critical Edition said that a wife of leisure class has
become pure sign of male wealth, existing only in their social
relations. Veblen analyzed the leisure-class wife’s as follows:
“….though wives are dependent economically on men, they
do fulfill a significant function in the marital economy:
that of conspicuous consumer for the male. They display
his wealth, and therefore power, by spending his money
while leading lives of leisure,” thereby putting in evidence
his ability to sustain large pecuniary damage without
impairing his superior opulence….the gentleman’s wife
wears clothing that shows she does not need to engage
in sweated labor. Indeed, her huge hats, high heels,
voluminous skirts, excessively long hair, and corseted
midriff all render her unfit for exertion and label her
some men’s costly possession. She is human chattel with
an ornamental function, the prized domestic trophy
whose leisure, dependence, and expenditure evidence her
husband’s financial prowess” (Veblen within Ammons,
1990:347-348).
The following statements from Betty Friedan in The
Feminine Mystique may explain the relation between the
woman condition at that time and the woman achievement of
self-identity:
“As a housewife the house and the things in it are, in a
sense, her identity; she needs these external trappings
to buttress her emptiness of self, to make her feel
like somebody. She becomes a parasite….because the
things she needs for status come ultimately from her
husband’s work, for the lack of of an identity of her own.”
(Friedan,1963:260)
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
85
86
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
Thorstein Veblen in Elizabeth Ammons’ A Norton Critical
Edition then described the characteristic of women in the
leisure class that one’s apparel was always in evidence
and affords an indication of her pecuniary standing
to all observers at the first glance. The greater part of
the expenditure incurred by all classes for apparel was
incurred for the sake of a respectable appearance rather
than for the protection of the person. In the leisure class,
the dress should not only be expensive, but it should
also make plain to all observers that the wearer was
not engaged in any kind of productive labor. It was
the insignia of leisure. By virtue of its descent from a
patriarchal past of the leisure class, the social system
made it the woman’s function in an especial degree to put
in evidence her household’s ability to pay. The household
was the special care of the women. In the life of the higher
pecuniary classes, its good name was chiefly sustained by
women; therefore this attention to conspicuous waste of
substance and effort should be the sole economic function
of the woman. Conspicuous waste and conspicuous leisure
were reputable because they are evidence of pecuniary
strength; pecuniary strength was reputable or honorific
because it argues success and superior force. (Veblen in
Elizabeth Ammons,1990:267-270)
The meaning of success for women then was measured
by being a wife of a rich husband. The economic growth during
the 19th century had made the affluence of the middle-class
household exaggerated. Michael Gordon in The American
Family; Past, Present and Future stated:
“ … as the middle-classes grow, the wife became a
billboard for her husband’s achievement and the manner
in which she desired, the activities she engaged in, and
the kind of home she managed all served to tell the world
of her husband’s success. Associated with this image was
the image of the woman as a vessel of the virtues that
were absent in the harsh and often cruel work world
outside the home.” (Gordon,1978:205)
Luther S. Luedtke’s statements in Mengenal
Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat jilid II may
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
explain the historical and social changes in women’s roles at
that beginning of the twentieth century. It was said that from
the year o 1900 to 1914, the image of Victorian women which
separated both sex distinctly according to each fields started
to come down (Luedtke,1989:38). He said again that in the
early of the 20th century, there was still a broad understanding
that women who stayed at home were more appreciated than
the ones who worked outside. The married women worked for
the economic reason only. Theoretically, the cult of household
life placed women of upper class in an honored position.
During the midst and the end of 19th century, the authority o
the middle and upper class wives was at home (ibid,120).
Page Smith in Michael Gordon’s The American Family:
Past, Present and Future stated:
“…. by the end of the 19th century the image demanded
that a good wife have a tastefully furnished home,
prepare varied and imaginative meals and know how
to entertain…the growth of real income permitted
more of the population to consume in a way that was
undreamed of previously. Many families could maintain
a life-style that would have been considered ducal by
medieval standards. The burden for the implementation
of this standard of living falls upon the wives.”(Smith in
Gordon,1978:206)
b. Women at Work
There was an interesting statement from Dr. Alice
Hamilton, physician in the early 1900s and one of a handful
of pioneers in the women’s movement. She noted that the
American man gives over to the woman all the things he is
profoundly disinterested in, and keeps business and politics
to himself.
Most of the upper-class inherited their money or
collected dividends from investments. Related to the women’s
role in general, Robert Smuts said in Women and Work in
America that about 1900 in America:
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
87
88
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
“…nearly everyone believed that woman’s first duty
was to bear and raise children and maintain the home,
and that women were inherently better fitted for these
than for any other functions. ….Many Americans felt
exquisitely specialized for their functions as mothers
and guardians of the home. To employ a woman in any
other way would endanger not only her essential female
qualities but also her sanity, her health, and even her
life.” (Smuts,1971:112)
Actually, industrialism gave a good chance for women
who wanted to achieve an independence which was basic for
her own existence, by working. They no longer needed to
depend on their family elders or males economically. But they
were forced by a situation where both ideology and opportunity
operated against their participation in the work force. Michael
Gordon said:
“… the general growth in female work force participation
since the beginning of the century has not been matched
by concurrent rises in the representation of women in
various professions, especially in the more prestigious
and highly remunerative ones, such as medicine and law.
Women show predominance in areas such as nursing,
social work, and librarianship.” (Gordon,1978:87)
In colonial America, women who earned their own
living usually became seamstresses or kept boardinghouses.
But some women worked in professions and jobs available
mostly to men. There were women doctors, lawyers,
preachers, teachers, writers, and singers. By the early 19th
century, however, acceptable occupations for working women
were limited to factory labor or domestic work. Women
were excluded from the professions, except for writing and
teaching.
The medical profession is an example of changed
attitudes in the 19th and 20th centuries about what was
regarded as suitable work for women. Prior to the 1800s there
were almost no medical schools, and virtually any enterprising
person could practice medicine. Indeed, obstetrics was the
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
domain of women.
Beginning in the 19th century, the required educational
preparation, particularly for the practice of medicine, increased.
This tended to prevent many young women, who married early
and bore many children, from entering professional careers.
Although home nursing was considered a proper female
occupation, nursing in hospitals was done almost exclusively
by men. Specific discrimination against women also began
to appear. For example, the American Medical Association,
founded in 1846, barred women from membership. Barred
also from attending “men’s” medical colleges, women enrolled
in their own for instance, the Female Medical College of
Pennsylvania, which was established in 1850.
D.
Analysis
In this analysis, the researcher tries to probe the
phenomenon of the quest of American women for self-identity
as reflected in The House of Mirth.
The House of Mirth concerned a young woman named
Lily Bart who was deprived of the supports she depends on
to sustain her throughout life. She faced the confusion in her
attempts at self-identity and her story of love that was also
destroyed through these confusions.
In the exposition, the author describes Lily as an orphan
and her aim was to marry a rich husband as being hoped by
her late mother. Marrying was the only thing she could play
in her society in order to be accepted by the people of upperclass.
The House of Mirth opened with the encounter between
Lily Bart and Lawrence Selden incidentally in Grand Central
Station after her holiday journey. Selden invited Lily to his
apartment for tea. There, they discussed the various rules
of etiquette for young women in the upper-class New York
society, the milieu of them both.
From the very beginning of the novel, Lily was
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
89
90
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
portrayed as conscious of the distortions created by the society
that offered some flattering limitations of the women’s role.
She had adopted her society’s images of women narrowly and
literally. The young woman couldn’t live alone and enjoyed
the privileges of an apartment. Only “governesses or widows.
But not girls-not poor, miserable, marriageable girls!”
(THOM,1991:7). Lily told Selden that people urged her to get
married. Selden remarked: ”Isn’t marriage your vacation? Isn’t
it what you’re all brought up for?” She answers:”I suppose so.
What else there?”(ibid,9). It indicates that marriage for her
becomes the only way of actually entering society.
In this age of twenty-nine, she was still unmarried. No
one fitted her yet. “I threw away one or two chances when I first
came out … I am horribly poor—and very expensive. I must have
a great deal of money”(THOM,1991;10). Here, we know that
Lily’s aim was to get a rich husband to finance her expensive
taste. When she asked Selden in return if he wanted to marry
to get out of the routine [the work], he declared: “God forbid!”
(ibid,12). Then Lily implied that she had no choice, of whether
to marry: “…a girl must, a man may if he chooses” (ibid,12).
There is a nuance of economical dependency of women on
men. Lily received the role the society gave on her as a woman.
She would not work as well because in the upper-class “work”
was disdained, as when she reacted Selden’s argument: “And
having to work—do you mind that?” (THOM,1991:12). Even
men who worked were looked askance. Selden worked as a
lawyer. Most of the upper-class inherited their money or
collected dividends from investments.
As a woman, Lily was also demanded to look pretty.
“If I were shabby no one would have: a woman is asked out as
much for her clothes as for herself. … We are expected to be
pretty and well-dressed till we drop – and if we can’t keep it up
alone, we have to go into partnership”(THOM,1991:12).
While leaving Selden’s apartment, Lily met Sam
Rosedale, one of the nouveaux riches in New York. She
foolishly made a lie by telling that she just came out of her
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
dressmaker in The Bennedick. It was bad to be found out a
girl or woman of upper-class like her leaving the bachelor’s
apartment alone. But Rosedale knew that she lied because he
was the owner of the building. It didn’t have any dressmaker.
Lily was ashamed and leaving him. Lily complaint “Why must
a girl pay so dearly for her least escape from routine?”(ibid,
16). She felt sorry for having made a lie that would put her
under his scrutiny and his power.
In the train, Lily spotted a young milliner, Percy Gryce.
She wanted him to be her future husband. She talked to him
for a while. Since Gryce was a book collector, Lily attracted
him by talking about the Americana, the book that she’d just
learned from Selden. The talk was interrupted by the coming
of Bertha Dorset, one of her rich friends.
Lily was an orphan at twenty-one years old and now
lived with her aunt, Mrs. Peniston. Although she lived well,
she felt like to live in a prison because of her aunt’s rigidity.
So, she associated with her rich friends. She was hard at
work using her skills to entertain and gave pleasure to
them. Her assignment was to practice the social arts, which
consisted of dressing well, serving tea properly, receiving
and making visits, being a helpful to the hostesses—helping
them reorganize, redecorate, invite people and playing bridge.
Lily had no immediate family and no inheritance to fall back
on. She had only beauty and style and both of them required
enermous upkeep. The hostesses expected her to play bridge
as a compensation for their prolonged hospitality and for the
dresses and the trinkets. Lily was unconsciously trapped in
the extravagant life-style and as a result, she had too many
debts.
Her present situation reminded her of her childhood.
Lily was born in a luxurious family and accustomed to live in
that way. But her father was ruined financially when she was
nineteen and soon died. From her father’s death, she learns
that death and financial ruin go hand in hand. So in this
life she must choose: money or death. Her mother’s saying
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
91
92
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
strengthened her view on how important money was in this
life. No one wanted to live like “a pig”. She hated dinginess.
Her mother also told her to rely on her beauty as a means of
getting out of the poor position. She nurtured and indulged
Lily’s beauty. Lily was one remaining asset for her family. She
trained to become a decorative object. Her mother brought
her from one relative to another to keep them from falling into
poverty. She died when Lily was twenty-one years old.
There was a moment when she felt tired because she
had been long enough in bondage to other’s pleasure. Her
work with Mrs. Judy Trenor promoted a sense of servitude,
rather than possession. And she started to worry the two lines
about her mouth which remained. She was now twenty-nine
years old and still unmarried. Lily had tried to bring her aunt
into active relation to life but she failed. Lily had done her
own activities and her aunt only gave her some money to
be spent on dress. Lily “was beginning to have fits of angry
rebellion against fate, when she longed to drop out of the race
and make an independent life for herself”(THOM,1991;40).
Lily wanted to govern her own course in life . She hoped to be
able to marry Percy Gryce soon. She found out that her only
chance to settle her debts and gain economic freedom was to
marry money. Lily would prefer to be economically dependent
on her husband rather than on her elderly aunt. Marriage gave
women the opportunity to have home of their own because
girls who lived without chaperonage were usually somewhat
morally suspicious. This was the reason why Lily previously
failed to marry Dillsworth. At tea with Selden, the story was
inserted:
“What’s become of Dillsworth?” he asked.
“Oh, his mother was frightened – she was afraid I should
have all the family jewels reset. And she wanted me to
promise that I wouldn’t do over the drawing-room.”
“The very thing you are marrying for!”
“Exactly. So she packed him off to India”(ibid,10).
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
Lily was viewed as a dangerous woman who threatened
family and property and posed a risk to stable class identity.
The rising action begins in this stage when Lily met
Selden again in a dinner in Bellomont. She grew interested
in him after comparing him with the others. He looked
different and Lily started to think “how dreary and trivial
these people[her rich friends] were!”(ibid,57). Actually, Lily
and Gryce had planned to go to the church in that Sunday
morning together. Gryce was now fully interested in Lily. But
Lily’s late and became bored. She wanted to know Selden’s
presence and coincidently caught him in the Trenors’ library
along with Bertha Dorset. Mrs. Dorset was upset about the
intrusion and left them. Lily didn’t aware that her intrusion
would made Bertha hurt and taking a revenge on her later.
Selden followed Lily and told her that he came to Bellomont to
see her. But Lily said that she had an engagement with other
person. Selden knew the person Lily meant. Selden responded
this with a nervous evasion and understood why she was
getting up his Americana in her visit to his apartment some
weeks before. It placed him to a safe emotional distance with
her. Since then, the author described Selden encapsulated in
his own preoccupations, needs and prejudices about Lily.
Lily suddenly became interested in Selden rather than
Gryce. She broke her second planned meeting with Gryce in
order to see Selden.The excuse she gave Gryce was that she
had a headache. It seemed that there was a problem in Lily’s
personality. She had a desire to join the elite class but on the
other hand she also had a desire to avoid the boredom of it.
In the afternoon walking, Lily felt that there were two
beings in her at the moment, one drawing deep breaths of
freedom and exhilaration and the other gasping for air in a
little black prison—house of fears. But finally the free spirit
quivered for flight. The meeting with Selden became a release
for her. The meeting reminded her of her first-love to Herbert
Melson some years ago.”…the only point of comparison was
the sense of lightness, of emancipation …”(ibid,67).
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
93
94
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
To fulfill his curiosity about Lily, Selden asked about
the meaning of success to her. In Lily’s opinion, success
was” to get as much as one can out of life, …”(ibid,70). While
according to Selden, success meant “ … personal freedom.
Freedom from everything—from money, from poverty, from
ease and anxiety, from all the material accidents. To keep a
kind of republic of spirit—that’s what I call success”(ibid,71).
Selden can’t lie to himself that he admired Lily’s beauty. He
found aesthethic amusement in her presence and her talk.
He also realized Lily’s liking to him. But Selden doubted
if she could enter into the republic, because he knew Lily
well. She would marry someone who was very rich. The
rich people depended on money very much, they breathed
in it all the time although they might not be thinking about
money. For Selden, money was only a means not a purpose
in this life. He didn’t underrate the decorative side of life and
it was natural for the rich people to use money to support
their sense of splendor for the justification on what they
had or gain. But he didn’t agree if one used money for the
futile things. And that was what he thinks about Lily. In the
previous chapter, in Grand Central Station, Selden looked at
Lily as an expensive and polished work of art, a product of
“her society”. While Selden placed himself as “amphibious”,
lived in both the wealthy elite society as well as the working
society in New York. Lily looked radiant, vivid, an image of
luxury. Selden suspected “that she must have cost a great
deal to make, that a great many dull and ugly people must,
in some mysterious way, have been sacrificed to produce
her,” and he wonders: “Was it not possible thaat the material
was fine, but that circumstance had fashioned it into a futile
shape?”(ibid,5). Selden thought that Lily had been fashioned
into a futile shape.
Lily didn’t agree with Selden’s argument. According
to her, if one didn’t want to think much about money, he
should have a great deal of it. There were some different
visions between them. But actually from deep inside, Lily was
attracted by his Utopian visions. Lily had trusted Selden. In
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
the previous encounter, Lily hoped Selden would be the friend
that she desperately needed. She told him: “Don’t you see
… that there are men enough to say pleasant things to me,
and that what I want is a friend who won’t be afraid to say
disagreeable things when I need?” (ibid,_) And now Selden
had told her the things that added the moral dimension on her
life. “Whenever I see you, I find myself spelling out a letter of
the sign—and yesterday—last evening at dinner—I suddenly
saw a little way into your republic”(ibid,71). She wanted to
feel “freedom” as his. But Selden didn’t give some alternatives
instead. To do so and to get a support, Lily thought to marry
him as the only way. Selden implicitly said that it all depended
on her. The intimate was interrupted by the motor sound. Lily
seemed to realized by her real condition. She was anxious to
be found out going out with Selden. Knowing this, Selden was
disappointed.
Mrs. Trenor admonished Lily for spending time with
Selden. It would make Bertha angry and do something damage
on Lily. Mrs. Trenor was right. Mrs. Dorset entered the room
and told that Gryce left Bellomont without saying a word. Lily
thought that Bertha must had told the awful thing about her
to Gryce.
After the conversation ended, Mrs. Trenor had Lily
pick up her husband. On the ride, Lily thought that she must
reduce her gambling habit and now, how to get money was
her concern. Then, she told about her financial problem to Mr.
Trenor. He promised to help her by investing his money for
her, forgetting that money gave the lender the right to expect
something in return.
Lily went to Jack Stepney’s wedding with Gerty Farish.
She met Gus Trenor who told her that he had delivered the
second check for about $4000. It seemed that he had started
to assert his claim over her by asking Lily to spend time with
Sam Rosedale in the sake of his business. He also dared to
touch her and calls her Lily, using her first name. Lily could
not refuse this because he had helped her.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
95
96
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
Lily didn’t want to see Selden. She’s not ready yet
to see him in such situation, like this party. His presence
would shake her aspiration. Lily was fascinated by the bride’s
jewels displayed in the party. “They symbolized the life she
longed to lead, the life of fastidious aloofness and refinement
in which every detail should have the finish of a jewel-like
rareness”(ibid,_). She wanted to be like jewels which could
exist as pure beauty in a state of pure display. They did not
have to produce anything, or reproduce; they had a hard
beauty which keept the admirer at a distance, dazzled by the
surface. It could be interpreted that she wanted to be admired
but she didn’t allow any men controlling her feeling.
Lily was very preoccupied with her surface. She has
long practiced the art of making herself an exquisite decorative
object. She used looking-glasses or other people’s eyes to
picture herself. Her value depended on the other admiration.
From the beginning Lily realized that it was her beauty
that made her interesting or valuable to others. The man who
married her would select her as the final prize in his collection.
That was what she felt on Percy Gryce and the men who had
proposed her before. But on Selden, Lily had a different
feeling. He possessed the qualities that the other men did not
have. Certainly she wanted to be loved by him, for that would
confirm her own sense of worth, of lovability. But in order to
be worthy of Selden’s collection, she must not waver to reject
the material world. Besides as an exquisite decorative object,
under Selden’s eye, Lily unconsciously placed herself as a
moral object as well.
Selden approached Lily when she was alone. He looked
at her in the frank enjoyment of her grace. Lily felt that she “
… longed to be to him something more than a piece of sentient
prettiness, a passing diversion to his eye and brain … ”(ibid,99).
Lily didn’t want to be admired only physically by him. She knew
his visions, so she admitted how poor and unimportant her
ambitions were for Selden. Lily then determined to do all the
things she had convinced about like in their previous meeting
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
before. But Selden acted as if there was nothing ever happened
between them. Even, he told Lily that he could understand
that her ambitions were more important to her than anything
else. Lily was disappointed hearing this. “She looked at him
helplessly, like a hurt or frightened child: this real self of hers,
which he had the faculty of drawing out of the depths, was so
little accustomed to go alone!”(ibid,99). Lily had accepted the
notion that Selden’s reactions were the only “mirror” in which
her real self could be reflected. Every gentle admonition from
him was a blow to her self-esteem. Lily knew that he despised
her ambitions and his saying indicated that they would carry
on this life in their own way. Actually Lily could not go alone
and hoped he would always be in her side, gave her a support.
She had learned to experience herself as an object being
observed by the others—not directly as an integrated human
being—that her sense of “self” was confirmed only when she
elicited reactions from others. When she was alone, she would
feel the inner emptiness that was terrifying and unbearable
for her. How dependent she was on Selden’s figure. All this
time he always made her feel worthy.
When Gus Trenor and Sam Rosedale came, Lily felt
uncomfortable. She was afraid Rosedale would tell the others
about her visit in the Bennedick and thus Selden would know
exactly that she made a lie. “ … under the spell of his observation
Lily felt herself powerless to exert her usual arts”(ibid,100).
Lily was afraid of what Selden might think about her. This
indicated the dependent nature of Lily’s sense of self. Then
she asked Rosedale to go out of the room. Rosedale in Lily’s
eye was one of the rising elite, a man who would soon join
the fashionable New York set even though he was ostracized
when Lily first met him. This very moment, he was ignored
by the other women present. Walking along the ballroom, she
desired to find out Percy Gryce. In the end of the party, Mrs.
Van Osburgh met her and told that her daughter, Evie and
Percy Gryce were already engaged. Finally Lily had to receive
the fact that she could not marry him and became realized
that she was now fully back in her position of being a debtor,
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
97
98
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
a position she had hoped Gryce would rescue her from. For
this time, Lily had to face the codes and boundaries which lied
beneath the upper-class concern.
Percy Gryce was worried about Lily’s headache, “he
wondered rather nervously if she were delicate, having farreaching fears about the future of his progeny”(THOM,1991:69).
After several days, Gryce finally chose a “quiet stay-at-home
kind of girl”(ibid,_). She was Miss Evie Van Osburgh.
It was an autumn. Lily felt bored because there were
only few invitation from her rich friends. She was afraid her
popularity would be decreased soon:
“There were moments when she longed blindly for
anything different, anything strange, remote and
untried; but the utmost reach of her imagination did not
go beyond picturing her usual life in a new setting. She
could not figure herself as anywhere but in a drawingroom, diffusing elegance as a flower sheds perfume”
(ibid, 105).
She had accustomed to pass the holiday from one
country-house to another. Being lonely made her feel
anxious.
In this loneliness, Lily mused about her long-life
that was spent to amuse the others; her rich friends and her
aunt, Mrs. Peniston. “ … whichever way she looked she saw
only a future of servitude to the whims of others, never the
possibility of asserting her own eager individuality”(ibid,106).
Lily wanted to stand alone but it was impossible.
There was a woman looking for Lily. She was Mrs.
Haffen, a poor woman who needed money to pay her house
rent. She asked Lily to buy some letters written by Bertha
Dorset to Selden, letters that implicated her in an affair with
him. Realizing the value of the letters, Lily eventually bought
them after some haggling.
Mrs. Peniston told Lily that Bertha Dorset was the
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
reason that Evie and Gryce met each other. She also heard
a rumor that Lily had been engaged to Percy Gryce before.
Lily didn’t want to listen carefully and back to her room. Lily
resolved to use the letters as a means of getting back at Mrs.
Dorset for ruining her chances with Gryce.
Bored, Lily prefered to take a walk alone, spending her
money rather than return to Bellomont. She coincidently met
Gerty Farish who had just left the committee-meeting of a
struggling charity. Lily was interested to hand out a large sum
of money as a donation to Gerty’s charity, a charity for poor
women with no work and no homes. She derived pleasure in
giving money to them.
Simon Rosedale’s claim over Lily was proved. He
pressured her to go to the opera with him. He reminded Lily
that he knew everything about Mr. Trenor’s investment on
her behalf and told her that she could share his opera box
along with Carry Fisher and Gus Trenor. Lily could feel his
pressure concerning money. She was aware that Rosedale
would consider her a wonderful prize if she agreed to marry
him. At the opera, Rosedale started to think that Lily might
be the perfect person to complement his social ambitions if
he married her. There, Lily met Gus Trenor who expected her
to spend time with him in return for the monetary favors he
had bestowed on her. There was a pressure again from Gus
Trenor concerning money. Lily felt uncomfortable realizing
that the gown she wears was bought from his money. And now
Lily found that he was merely interested in her sexually, and
wanted to spend time with her to make up for the money he
had lent.
Lily had unconsciously offended her cousin Grace
Stepney by excluding her from one of Mrs. Peniston’s
infrequent dinner parties. Grace Stepney took revenge by
revealing to her aunt that Lily had been seen with Gus Trenor
lately and insinuated that it was because Lily needed money
to pay off her gambling debts. Mrs. Peniston was upset, but
she was quiet.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
99
100
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
Judy Trenor became indifferent with Lily. Lily wondered
if she had heard anything about her husband and his loans. She
was unbear to be unconcerned by the others. So, she joined The
Wellington Bry’s party, a nouveaux riche whose social status
is one level under the Trenors. They threw a big party in order
to seduce “society” into accepting them. The main attraction
was a play in which various women presented themselves in
the setting of portraits. Lily was in the play and chose to be
in a Reynold’s that allowed her beauty to shine. It was Lily’s
greatest triumph moment. Most of the necessary people who
arrived at the party were hypnotized by her beauty. For Lily,
it gave a sense of being of importance among the insignificant
and it was enough to restore her consciousness of power. She
was still attractive and admired.
Selden was taken by Lily’s beauty: “Its expression was
how so vivid that for the first time he seemed to see before
him the real Lily Bart” (ibid, 142). It was a moment when Lily
came closest to Selden’s expectations. Lily’s choice of costume
revealed her increased understanding of Selden’s visionary
demands of her.
“Her pale draperies, and the background of foliage
against which she stood, served only to relieve the long
dryad-like curves that swept upward from her poised
foot to her lifted arm. The noble buoyancy of her attitude,
its suggestive grace, revealed the touch of poetry in her
beauty that Selden always felt in her presence” (ibid,
142)”.
Selden met Lily. For a moment, Lily thought: “… it seemed
to her that it was for him only she cared to be beautiful”
(ibid, 144).
Selden led Lily to the garden. They soon shared a kiss.
Selden told Lily that he loved her, but this caused her to run
in distress. From the beginning, Lily knew that she could not
marry Selden because of his relative poverty. Life with him
would be an extension of the parasitical existence she hoped to
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
escape. He could not afford to provide the things she required,
so it would be foolish to marry him. She still postponed for the
best. But on the other hand, she needed him much as a friend
who always supported her. Lily didn’t expect that he wanted
to marry her after all the things which ever happened between
them. They hadn’t long met each other. Formerly, Lily thought
that he would leave and forget her because of their different
visions. And now, his proposal made her confused. She’s not
ready yet to receive it.
In Lily’s mind, she was confused about what kind of
marriage that they would carry on. If Selden married her
because of her beauty, it meant that he betrayed his vision
himself as he ever talked about. And it also meant that she
let herself be one of Selden’s “collections”, whereas in fact he
had taught her to be an independent woman who was free
in expressing herself, not depend on the other’s value. But
if Selden thought that she has gained what he wished on her
[woman’s self-identity], he was wrong. She hadn’t gained it
yet. There was a strong will in Lily’s self that she didn’t want
to be object anymore. Thus afterwards she sighs,”Ah love me,
love me—but don’t tell me so!”(ibid,145). She’s afraid that she
could attract him only in worldly level because of her presence
in Reynolds’ portrait. However, it could not be denied that it
was the arena of woman display. And Lily displayed herself
before the spectators.
The rising action above is mostly signed by the internal
conflict happened on Lily’s life. Her craving for independence
is confronted against some elements in her own personality
that is a need of being admired and observed by the others.
The climax happens when Lily got two invitations from
Mrs. Trenor and Selden in the next morning. When she came
to the Trenor’s house, there was no one except Gus Trenor.
He made a lie by telling Lily that it was his wife who invited
her. His wife was not even in this town. He demanded Lily
to pay him for the money he had invested for her, implying
sexually. Lily recoiled at his advance. At the defining moment,
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
101
102
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
Lily could make him stop accosting her, and she was able to
call a cab and left the house.
Lily went to Gerty Farish’s flat late in the night and was
crying. She was upset about her encounter with Gus Trenor.
Lily learnt that worship was only the sign of the right to possess.
All this time, her looking in men’s eyes had been seen reflected
back to herself images of precious and untouchable beauty,
images of the self as pure and valuable. The reverence for her
as ornament was also contempt for her as sexual being.
Formerly, Lily was proud of being able to manage her
own life. But now, Selden’s saying was proved. Lily spoke to
Gerty freely:
“I want admiration, I want excitement, I want money—
yes, money! That’s my shame, Gerty—and it’s known, it’s
said of me—it’s what men think of me—if I said it all to
him … I’ve sunk lower than the lowest, for I’ve taken what
they take, and not paid as they pay, … would he loathe
me”(ibid,175).
Lily was afraid that Selden would loathe her because of
her ambition that almost made her destroyed.
Selden decided to renew his proposal of marriage. Lily’s
portrait had attracted his aesthetic sense and his sensuality, and
more importantly to his vanity. Selden would like to remodel
his beloved in the image of his mother. Now, his desire was to
rescue the woman he loves. This world was too hard for Lily.
He wanted, “lift Lily to a freer vision of life … “(ibid, 168). He
told Gerty that he would marry Lily. He followed Lily in the
club but he didn’t find her. He heard the people conversation
that Lily would marry Rosedale. Lily just left some minutes
ago and went to the Trenors’ house, whereas in fact Judy
Trenor was not in this town right now. Selden walked along
Fifth Avenue with Mr. Van Alstyne. When they passed the
Trenors’ house, they found it was dark as indication that there
was no one there. But suddenly he saw Lily emerge from the
house. It made him feel disdained. He broke his promise to
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
see Lily in the next day.
Lily headed home in the morning. She counted up all
the money and realized that she owed nine thousand dollars to
Gus Trenor. Lily asked Mrs. Peniston for money, but she only
offered to pay her dress-makers’ bills. When Lily admitted her
gambling debts, she became stony and refused to hear another
word in addition to refusing to pay her debts.
Lily now expected Selden’s presence much. The inability
to solace her outraged feelings gave her a paralyzing sense of
insignificance. She waited for him in that evening but he didn’t
show up. After an hour, the bell rang and Rosedale walked in.
Rosedale proposed to Lily. He had enough money and became
a member of the elite New York society. For him, Lily was the
right woman to become his wife. By marrying him, it would
end all of her monetary problems. Lily, still enamored with
Selden, asked for more time to consider his offer. Her refusal
showed that Selden’s affinity was stronger than all the things
Rosedale had offered to her.
After the next day passed with no message from
Selden, Lily read the newspaper that he was sailing on a cruise
ship bound to Havana. In the same day, Lily received an
invitation from Bertha Dorset inviting her to go on a cruise in
the Mediterranian. Lily was very sad and upset about Selden.
To entertain herself, Lily decided to go to the trip with the
Dorsets.
In Monte Carlo, Selden heard from people that Lily
was invited onto the Dorsets yacht in order to distract George
Dorset so that his wife could have an affair with Ned Silverton.
Selden became quite upset by this news. They unexpectedly
met at the train to Nice. Lily was immensely polite to him,
but Selden got the feeling that she was about to fall socially
without even realizing it.
One morning, George Dorset asked Lily what time
Bertha had come back the night before. He had realized that
his wife had been out all night with the young Ned Silverton
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
103
104
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
and that she only got home late the next morning. He broke
down and told Lily everything that he was afraid of his
marriage and that Lily had been the only person able to help
him. Lily suggested that Geoge Dorset see Selden, the only
lawyer capable of saving the reputation of both Dorsets.
Lily returned to the Sabrina and was surprised to find
Bertha on board along with The Duchess. After the guests
departed, Bertha accused Lily of being alone with her husband
the night before. She hinted that Lily was doing something
irresponsible. Lily took aback by this reversal of the truth. She
could not say anything and prefers to leave.
In the restaurant, Selden took Lily aside and asked her
to leave the yacht, because he realized that Bertha would likely
contrive a story that implicated Lily in the marital scandal.
But Lily refused, claiming she was necessary to protect
Bertha. He finally agreed that probably nothing would happen
and they returned to watch the Dorsets act as if nothing were
wrong. When they got ready to the yacht for the night, Bertha
announced that Lily would not be joining them. Taken aback,
Lily composed herself and acted as if she had decided not to
stay on the yacht any longer. She left with Selden instead, who
made her go to her cousin Jack Stepney’s hotel and spent the
night there.
Mrs. Peniston had died. Lily was surprised when she
received only ten thousand dollars. Grace Stepney inherited
the remainder of the estate valued at nearly four hundred
thousand dollars. Lily headed off to Europe to escape her
declining in America and hoped everything would be better
when she came back. But she found that it was too late. Mrs.
Trenor’s unwillingness to be friendly to Lily implied that Lily
had been completely kicked “out” of the social elite group.
Lily realized that she must pay off her debts to Gus
Trenor immediately. Her inheritance had not yet been paid
out. She asked Grace Stepney to lend her some money. But
Grace said that she had not received the inheritance yet either.
Grace then became infuriated with Lily’s insistence and
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
informed her that the reason Lily was cut out of the will was
because of her debts.
While leaving Grace’s house, Lily met Carry Fisher who
had taken pity on her. She invited Lily to join the Gromers at
the party. She also joined them on a trip to Alaska so that she
could stay out of the public eye for a while.
After returning to New York, Lily was informed by
Carry Fisher that she would have to marry in order to get out
of her present predicament. Carry suggested George Dorset,
who was having problems with his marriage again, or Sam
Rosedale. Lily decided to try and made Rosedale marry her
for love since she could no longer help him advance socially.
There was one thing that disturbed her, that was his knowing
of her relationship with Gus Trenor concerning money.
Lily accompanied the Gormers in a country-house on
Long Island. It was a part of her duty to attend her hostess
on frequent visits of inspection to the new estate. For Lily,
arriving in the world of the Gormers seemed to be the same
as her own world, and it was merely that the actors who were
different. While she was taking walk, alone, she felt that her
lonely situation seemed to be an escape from the empty noises
of her life. The author described her mind as follows:
“She was weary of being swept passively along a current
of pleasure and business in which she had no share; weary
of seeing other people pursue amusemant and squander
money, while she felt herself of no more account among
them than an expensive toy in the hands of a spoiled
child”(ibid,253).
She met George Dorset, whose estate was next to the
Gormers. He pleads with her to give him some proof of his
wife’s infidelities, implying that he wanted to divorce her
and marry Lily instead. Actually it was a perfect moment
to take revenge and get rehabilitation for her. But suddenly
fear possessed her—fear of herself. Lily became afraid and
run away from him. Telling him that she could not help. She
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
105
106
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
refused to use the letters considering the morality values. Mrs.
Gormer informed her that Bertha had been there for a visit.
Lily wondered herself why Bertha came.
Lily headed back to the city and lived in a hotel, paying
more for her rent than she could afford. The hotel situation
made her feel discomfort able. Lily started to think that the
outcome of her situation was marrying Rosedale. It was
strengthened by the coming of George Dorset again in the
hotel. He implored her to help him out of his situation, but
Lily refused to reveal anything.
Lily went to visit Carry Fisher. She found Rosedale there,
kneeling on the drawing-room hearth before Carry’s little girl.
Lily noticed a quality of homely goodness in his advances to
the child. Rosedale was not as bad as she thought. After the
dinner, Carry talked with Lily alone, told her that in order to
defeat Bertha, Lily would have to either marry Mr. Dorset or
marry someone else. Lily became confused. She realized that
a marriage could save her. But on the other hand, she had a
strong sense of freedom. She feared of marital commitment.
Bertha had succeeded in breaking up her friendship
with the Gormers. Persuaded by her own uselessness and
insignificance by loneliness and poverty, Lily decided that she
must try to get back to social acceptance in the leisure class.
Lily finally decided to try and marry Rosedale. She told him
that she was willing to marry him now, but Rosedale informed
her that the situation had changed. Lily had declined to the
point where she was no longer useful, and Rosedale had risen
to the point where he did not need her. However, her beauty
still attracted him. He suggested that Lily use the letters written
by Bertha to renew their friendship. Then she married him
and achieved the financial independence necessary to prevent
Bertha from ever attacking her again. Lily was suddenly
scared by the baseness of the proposition and runs off, leaving
him to think that she was really trying to protect Selden. The
suggestion made her “… resolved into a scared sense of his
power” (ibid,270). Rosedale also made her feel herself no
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
more than some superfine human merchandise which was
powerless and could be bought by his money whenever he
wanted. Lily recoiled from the prospect of marriage.
Her return to the town and not practicing her old habit
of life marked her of being excluded from her old society. There
was emptiness in hers. The narrator described: “If one were
not a part of the season’s fixed routine, one swung unsphered
in a void of social non-existance”(ibid,275). But at least she
had maintained her self-respect when she rejectd Rosedale’s
suggestion.
On her visit to Gerty, Lily learnt that Ned Silvertoon
had gone deeply into debt with his gambling, thereby ruining
the family. His two sisters asked Gerty to find them jobs with
which to help his debts. Lily lamented to Gerty that she would
soon be in the same plight as the Silverton sisters if she didn’t
find something to do soon.
Gerty had a pity on Lily. She met with Selden and urged
him to go to Lily and made sure that she was okay. But Selden
could not find her in the hotel. Lily had transferred to another
hotel with a different name. Selden was angry, ripped up the
note and stalked out.
Lily looked for Carry Fisher to help her find a job. Then,
Lily worked as a secretary. She helped a lady named Mrs.
Norma Hatch into the next social tier. Lily felt as if she had
entered a social level lower than that of the Gormers, but was
surprised to see that Ned Silverton and Freddie Van Osburgh,
the members of the elite class, spent time with her new group.
Lily struggled to get Mrs. Hatch to start conforming to her
perception of what behavior was necessary to move upwards,
and soon realized that Ned Silverton was trying to get Freddie
to consider marrying Mrs. Hatch.
One afternoon, Selden arrived in order to see Lily. Lily
was surprised and little embarrassed by his coming. He offered
himself to her someone to talk to. Selden told her to leave Mrs.
Hatch and rejoined Gerty. Lily informed him that she could
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
107
108
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
not do that since she owed every penny of her legacy. It was
a moment when Lily actually wanted to see his assurance of
support and personal sympathy. But Selden didn’t say a word
implying his actual feeling like in the Bellomont. Lily was
conscious of her emotional need for an expression of feeling on
his part. Lily realized that he was frightened by the prospect of
emotional feelings to her. She was upset that he was desperate
to prevent any feelings from emerging. Moreover, he had been
sent by Gerty. The author described: “The situation between
them was one which could have been cleared up only by a
sudden explosion of feeling, and their whole training and habit
of mind were against the chances of such an explosion”(ibid,_
). Lily felt there was an unemotional barrier between them.
Lily was incapable of resisting her revulsion from her “real
self”, when Selden proffered only cold and cruel judgment.
Then, Lily rejected him and made him leave. She “… would
rather persist in darkness than owe her enlightenment to
Selden” (ibid,). It shows that Lily didn’t want to depend on
Selden anymore and stood on her own feet. Since that time,
Lily determined to do the only roles she understood.
There was a rumor that Lily had contrived to set up
Mrs. Hatch with Freddy Van Osburgh and she was blamed by
the elite society for the reason. Lily realized too late that she
had to leave Mrs. Hatch in order to save her own reputation.
Carry Fisher and Gerty Farish conspired to find Lily a
job in a hat shop and Lily was put to work making hats. Lily was
now in the working class environment and lived in a boarding
house. She felt strange. After two months, she was still being
rebuked for her shoddy work. However, her skills were no use
there. In a second rebuke for the same mistake, Lily pretended
that she was sick and headed home.
She stopped at a pharmacy and bought some pills.
She got insomnia recently. While walking home, she met
Rosedale who was shocked to see her. He invited her to tea in a
restaurant. In their conversation Lily revealed the entire story
of her borrowing money from Gus Trenor and how she had to
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
pay it back and her joining in the working class. Rosedale was
shocked to hear the truth and did not believe that Lily had to
work. Lily looked pale and he offered to accompany her home.
He was more shocked when seeing the poor place where she
lived.
Lily was starting to get lonely in her isolation. She took
drug that she purchased to combat the sleeplessness so that
she could forget her problems for a while. Thinking about
Selden made her feel painful. She started to contemplate
implementing the plan that Rosedale offered her before, in
which she used her letters to force Bertha to befriend her
again.
Lily lost her job at the hat shop as a result of an annual
staff reduction. Lily stood on Fifth Avenue and watched the
carriages drive past with the wealthy people that she formerly
spent time with. This fleeting glimpse served to emphasize a
sense of aimlessness. Lily thought that she had been forgetful,
awkward and slow to learn. When she arrived back at her
boarding house, she found Rosedale there. He had been so
shaken by her situation so that he offered to loan her the money
to pay off Gus Trenor as part of a pure business transaction.
Lily rejected his offer again. The gratitude feeling mixed with
the humiliation one. Lily did not believe in such transaction
anymore. It reminded her of her bad experience with Gus
Trenor.
That night, Lily tried to sleep but she lay awake all
night, unable to sleep. The next morning, she pulls out the
packet of the letters and decided to go to Bertha. As she passed
Selden’s apartment, in a sudden moment of inspiration, she
entered his house. Her resentment of his coldness had been
swept away by the recollection of their intimate relationship.
The resolution seems to begin here. She could not restraint
herself to utter her feeling to him. In a moment of emotion,
she broke down, telling him that his faith in her that she was
different from all others was what has sustained her thus far.
Lily wanted Selden understand that she had tried to become
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
109
110
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
what he wished from her. She said: “I have tried hard—but life
is difficult, “(ibid, 324). And Lily also recognized that she was
now a useless person. As she said:
“I am a very useless person. I can hardly be said to have
an independent existence. I was just a screw or a cog in
the great machine I called life, and when I dropped out
of it I found I was of no use anywhere else. What can
one do when one finds that one only fits into one hole?
One must get back to it or be thrown out into the rubbish
heap—and you don’t know what it’s like in the rubbish
heap!”(ibid,325).
Lily described her difficult situation as a woman born
into the wealthy in which Selden never knew. Lily realized that
his former love for her was now gone, but that instead her love
for him remained. She made him build up the fire and before
she left, she dropped the letters that she had from Bertha into
the flames.
The loneliness descended on Lily. She needed not to go
home soon because there was nothing that she could do. She
was alone and hard to get sleep. When she sat down on the
bench in the park, a passerby stopped and recognized her. She
was Nettie Struther, a working girl she ever donated money
to while spending time with Gerty some months before. Lily
looked ill and Nettie took her to her home to warm up. She
thanked to Lily having given the money with which she was
able to recover and get married and even had a baby. Lily
envied of Nettie’s maternal happiness. She prepared supper
and feed the baby. Lily left Nettie feeling much more energized
than before.
When Lily returned to her room in her boarding house,
she laid out all of her expensive dresses, then put them all away
again and was locked in the trunk. It seemed that she wanted
to lock her memory in her trunk.
The maid handed her a letter. It was the check for ten
thousand dollars that she had been waiting to inherit. She took
the money and put it in an envelope addressed to her bank and
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
wrote a check for the same amount for Gus Trenor. Lily felt
tired. She decided to take her chloral sleeping drug more than
the maximum dosage and drank it. Soon, her thoughts started
to become subdued. In her half-consciousness, she said to
herself that there was something she must tell Selden, some
words she had found would make life clear between them. She
eventually drifted off into a pleasant sleep.
The next morning, Selden went to Lily’s boarding
house. He had found a word that he needed to say to her, a
way to clear everything up between them. He unexpectedly
met Gerty there who informed Lily’s death because of an
overdose of the chloral.
Selden remained in the room alone, realizing it was
his last time to be with Lily. Then he looked around, finding a
letter that was aimed to Gus Trenor. Selden judged incorrectly
that she must have the same reason for writing Gus Trenor so
soon after meeting with him. He found some notes written by
himself and became astonished when he read her checkbook. It
revealed her repaying to Gus Trenor several thousand dollars.
Selden was not sure whether this revelation heightened the
mystery or deepened it, but he finally concluded that life had
conspired against them both. It was too late to marry her. Lily
died as a lady. She had paid her debt to Gus Trenor and she
also had destroyed Selden’s letters.
From the analysis above, we can see that the searching
for self-identity was caused firstly by the confusion about the
role one must play in her life. There was no real conviction
which with them her thinking and feeling could be formed
in stability. In this story, Lily was confused in synchronizing
between the social and moral regulation inhere society and
her own desire. Born in upper-class and threatened as a
decorative object, Lily then wanted to assert her own eager
individuality and get the existence recognition. In her process
of negotiating an image of herself, she experienced a range
of entrapment, betrayal and exclusion that finally made her
banished from New York society. Whatever she did, it seemed
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
111
112
THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF
IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE
HOUSE OF MIRTH
that everyone united to humiliate her including her relatives
and her lover whose support she still needed.
E.
Conclusion
The quest of American women for self-identity was
an effort to be recognized her existence as complete and
independent individual particularly in the institution of
marriage and at work. Unlike men, women’s identity at the
early of the twentieth century was seemingly determined
by apparent conformity with or transgression against social
norms. The social norms at that time didn’t give a chance to
women to express their own identity. Some women were even
trapped in extravagance life-style to fulfill their need to be
appreciated and admired among the others. They unconsciously
strengthened the definition of woman as weak and dependent
person. On the other side, the women who rebelled against
the rules or the fate must face the consequence to be banished
by their society. And if they didn’t have money, they became
completely isolated. Women were forced conform the rules
or to be destroyed in the society that was capitalistic and
patriarchal. It can be understood that the quest of American
women in the beginning of the twentieth century was then a
continuous process of proving that they were not a passive and
useless person. Sometimes, it must be paid by their courage
to leave the patriarchal houses and exclusive social circle that
might have some certain consequences such as poverty and
anxiety from their own selves. If they had done all so, they
had achieved self-identity as a complete and independent
individual. The marriage they underwent was then based on
mutual respect and by working; they could at least feel that
they became the subject for themselves in their life.
Jurnal Studi Gender
Dewi Ulya Mailasari
Bibliography
Ammons, Elizabeth. The House of Mirth (A Norton Critical Edition).
NewYork: W.W. Norton & Company, Inc., 1990.
Djayanegara, Soenarjati. Citra Wanita dalam Lima Novel terbaik Sinclair
Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika. Depok: Fak. Sastra
Univ. Indonesia, 1995.
Foerster, Norman. Image of America. Notre Dame, Indiana: University of
Notre Dame Press, 1962.
Friedan, Betty. The Feminine Mistique. NY: W.W. Norton and Company,
Inc., 1974.
Gordon, Michael. The American Family: Past, Present and Future. NY:
Random House, Inc., 1978.
Lewis, R.W.B. Edith Wharton: A Biography. NY: Harper and Row, 1975.
Smith, Page in Michael Gordon’s The American Family: Past, Present and
Future. NY: Random House, Inc., 1978.
Smuts, Robert. Women and Work in America. New York: Schocken Books,
Inc., 1971.
Veblen, Thorstein in Elizabeth Ammons’ The House of Mirth (A Norton
Critical Edition). NewYork: W.W. Norton & Company, Inc.,
1990.
Veblen, Thorstein. The Theory of Leisure Class: An Economic Study of
Institutions. NY: New American Library, 1953.
Wharton, Edith. The House of Mirth. London: David Campbell Publishers
Ltd., 1991.
Wheelis, Allen. The Quest for Identity. NY: W.W. Norton & Company, Inc.,
1958.
Zeraffa, Michael. “The Novel as Literary Form and as Social Institution” in
Thomburn and Elizabeth’s Sociology Literature and Drama.
Middlesex, England: Penguin Books., 1973.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
113
114
Jurnal Studi Gender
Riset
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM
BERKEADILAN GENDER
(Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita
di Kabupaten Magelang)
Arif Hidayat1
ABSTRACT: Men and women are treated differentially
but women tend to be the victims of unjust treatment.
It leads to the different schemas between men and
women in justice judgment. The study shows that law
enforcement model between men and women is different.
However, the main model of these two is similar, e.g.
relational-dominated law enforcement model. Besides
the dominant influence of interactional law, in the model
of men welfare is significantly involved while in the model
of women the other influencing variable is expectation.
Keywords: empowerment, law enforcement, gender
justice.
A.
Pendahuluan
Sesungguhnya manusia, laki-laki dan perempuan, sama
derajat dan martabatnya. Akan tetapi dalam kenyataannya
banyak dijumpai relasi yang tidak seimbang antar individu,
kelompok dan masyarakat yang lebih luas secara sistematis
yang menyebabkan timbulnya ketidakadilan dalam segala
aspek kehidupan; ekonomi, politik dan sosial budaya. Pada
bidang ketenagakerjaan, ketidakadilan tersebut dapat
ditemui dalam relasi yang tidak seimbang antara pekerja
dan perusahaan/majikan maupun antara laki-laki dan
perempuan. Relasi yang tidak seimbang dilegitimasi oleh
kebijakan-kebijakan publik dan berbagai institusi yang ada
1
Alumni IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia
Jogjakarta, Kelompok Studi PSG UNNES, Sekretaris PKBH Unnes, Ketua
LPP-HAN Jawa Tengah, Dosen FH Unnes Semarang
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
116
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat, tingkat
negara maupun sistem ekonomi dunia.
Sri Natin (2007: 12) menyebutkan bahwa gender
merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran,
kedudukan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan
dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Mengingat
gender adalah konstruksi sosial maka dapat berubah dan
diubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan kata lain
gender merupakan peran yang dibentuk oleh masyarakat
serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang
berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Budaya kita seperti juga di banyak negara dunia ketiga
lain sifat patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya,
keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap
perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti
itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada
gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya.
Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik
di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian
maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender
tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal dalam
UUD 1945 hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan,
tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda.
Woodman (1992: 120) menyatakan bahwa sistem
hukum di suatu negara pada umumnya meliputi gabungan
dari hukum negara, hukum adat atau tradisi, hukum agama,
dan komitmen pada konvensi internasinonal yang telah
diratifikasi. Konsep tersebut diperkuat R. Blackburn (1972:
321), bahwa Hukum Negara berkaitan dengan setiap bagian
dari sistem hukum formal, mulai dari perundangan yang
dikeluarkan oleh berbagai tingkat pemerintahan sampai
peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh lembagalembaga pemerintah. Di sini istilah tersebut merujuk pada
hukum pengadilan maupun putusan hakim. Tradisi atau
hukum adat berkaitan dengan aturan yang berdampingan
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
dengan hukum negara, dan mendapatkan legitimasinya dari
adat dan tradisi bukan dari ketetapan pemerintah. Bila terdapat
sangat banyak kelompok etnik atau agama dalam sebuah
negara, hukum adat umumnya akan lebih terpilah-pilah.
Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan
keserasian dan keadilan gender dilandaskan pada pasal 27 UUD
1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan
segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) ke dalam UU Nomor 7 Tahun 1984, serta
landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia
tentang Perempuan ke-empat di Beijing pada tahun 1995.
Namun demikian, hal tersebut juga belum dapat menyetarakan
kehidupan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan. Meskipun pasal 27 UUD
1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga negara di
hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, namun
masih banyak dijumpai materi hukum yang diskriminarif
tersebut antara lain: Undang-undang Ketenagakerjaan,
Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Kesehatan,
Undang-undang Kewarganegaraan dan Undang-undang
Pajak. Sebagai contoh, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan turut mengukuhkan pembagian peran
berdasarkan jenis kelamin dan peran buku (stereotype) jenis
kelamin. Dalam hal ini yakni perempuan sebagai ibu rumah
tangga wajib mengatur urusan rumahtangga, sementara
laki-laki sebagai kepala keluarga wajib melindungi istri dan
memberikan keperluan hidup rumah tangga.
Keserasian dan keadilan gender belum sepenuhnya
dapat diwujudkan, karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai
sosial budaya yang patriarki. Khofifah Indar Parawansa (2006:
7) menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut menempatkan lakilaki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda
dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi,
dan kekerasan terhadap perempuan. Semua ini berawal
dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
117
118
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol
atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari
pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Di
samping itu, ketidaktepatan pemahaman ajaran agama sering
kali menyudutkan kedudukan dan peranan perempuan di
dalam keluarga dan masyarakat.
Berbeda-bedanya bagian kerangka hukum ini
mencerminkan dan membakukan norma-norma sosial dan
adat mengenai peran dan hubungan berdasarkan gender,
misalnya alokasi pajak dan pendaftaran tanah di berbagai
negara selalu dikaitkan dengan kepala keluarga. Pada
umumnya kepala keluarga diidentifikasi atau dianggap lakilaki, kecuali bila tidak ada laki-laki maka tuntutan perempuan
atas pendapatan atau harta benda mungkin terabaikan.
Namun selain membakukan norma dan adat istiadat, sebuah
sistem hukum juga bisa mengarahkan masyarakat untuk
bersikap menganut prinsip kesetaraan. dengan cara seperti itu
sistem hukum berperan sebagai instrumen reformasi sosial.
Dalam kenyataannya, A Widanti (2002:9) menengarai
bahwa struktur hukum yang terdapat dalam masyarakat masih
ada yang belum mendukung terwujudnya keserasian dan
keadilan gender. Keadaan ini antara lain ditandai oleh masih
rendahnya kesadaran gender di kalangan penegak hukum.
Di samping itu, jumlah penegak hukum yang menangani
kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan masih kurang dan
mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksnaan
penegak hukum masih lemah. Sementara itu, budaya hukum
dalam masyarakat yang kurang menunjang terciptanya
keadilan gender antara lain ditandai oleh masih rendahnya
kesadaran masyarakat tentang hukum (hak dan kewajiban),
masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan
sumber daya hukum, ketidakoptimalan peran media massa
dalam mensosialisasikan produk hukum kepada masyarkat,
dan masih rendahnya peran organisasi-organisasi masyarakat
dalam pengawasan dan diseminasi hukum.
Disparitas gender di berbagai bidang pembangunan
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
masih dirasakan, seperti masih rendahnya peluang yang
dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, akases
terhadap sumber daya ekonomi (seperti teknologi, informasi,
pasar, kredit, modal kerja dan lain-lain). Hal ini yang
dapat dilihat adalah penghasilan perempuan yang berkerja
secara signifikan mampu memberikan kontribusi terhadap
pendapatan keluarga, namun hal ini belum mendapat
pangakuan sebagai sumber utama keluarga dan masih
dianggap sebagai sumber mata pencaharian tambahan
keluarga, kesemua ini berdampak pada masih rendahnya
akses, kontrol partisipasi, dan manfaat yang dinikmati
perempuan dalam pembangunan.
Sekarang telah diakui secara luas bahwa perempuan
harus diberdayakan dan bahwa sistem serta ideologi yang
membuat mereka tetap subordinat harus dibongkar.
Perempuan harus menjadi mitra sejajar dalam pengambilan
keputusan di semua institusi serta pada semua tingkat, dan
mereka harus menjadi subyek, bukan obyek, atau sekedar
penerima hasil dari program dan kebijakan pembangunan.
Upaya pemberdayaan perempuan adalah bagian integral
dari upaya pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Oleh karenanya upaya untuk memberdayakan perempuan
merupakan upaya berkelanjutan sesuai dengan dinamika
perubahan sosial budaya ataupun ekonomi yang berlangsung
secara cepat dalam era globalisasi. Oleh karenanya upaya
program penambahan pengetahuan dan profesionalitas
perempuan merupakan tuntutan masa depan yang tidak bisa
dielakkan lagi.
Pembangunan sebagai suatu proses bisa dilihat sebagai
bagian dari perubahan sosial, sehingga perubahan sosial
adalah lebih luas dibanding dengan pembangunan. Konsep
perubahan sosial dalam studi ini dikaitkan dengan konsep
gender sehingga menperdalam pengertian kita tentang
penyebab-penyebab ketidakseimbangan yang berkelanjutan
terhadap hubungan laki-laki dan perempuan dalam
perubahan sosial pada umumnya dan dalam pembangunan
pada khususnya. Oleh sebab itu, kesetaraan gender adalah
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
119
120
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
isu pembangunan yang paling mendasar. Kesetaraan akan
meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang,
mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan
secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan
gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan
berkeadilan yang mengupayakan pemberdayaan.
Membangun keadilan sosial menurut Agnes Widati
(2005: 5-8) berarti menciptakan struktur-struktur yang
memungkinkan pelaksanaan keadilan. Jadi, hukum yang
berkeadilan gender adalah hukum yang berkeadilan sosial
dalam hubungan jenis kelamin. Membangun hukum
berkeadilan jender berarti menciptakan struktur-struktur yang
memungkinkan pelaksanaan keadilan dari aspek hubungan
jenis kelamin. Langkah-langkah untuk merealisasikan hak
perempuan ialah dengan menghapus adanya perbedaan,
disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan
perempuan misalkan: keharusan adanya perubahan pola
pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap perempuan,
menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek
yang bersifat diskriminatif. Kewajiban Pemerintah untuk
mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan berkaitan
dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai
persamaan substantif, hak yang sama dan persamaan legal
standard antara laki-laki dan perempuan (misalnya; hak yang
sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian
gaji yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di
bidang politik).
Persoalan serius terjadi pada penanganan pelanggaran
hak-hak buruh perempuan Indonesia. Jumlah buruh di
Indonesia sangat signifikan, dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan
(2001) berjumlah 13.724.000 orang. Tahun 2002 sebanyak
15.852.000 orang, tahun berikutnya berjumlah 16.406.500
orang, pada Januari-Juli 2004 sebanyak 19.780.000 orang.
Dari jumlah tersebut 73 persen merupakan buruh perempuan.
Sebanyak 88 persen dari jumlah tersebut bekerja sebagai
pekerja rumah tangga.
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Di Kabupaten Magelang, jumlah buruh, berdasarkan
data Disnakertrans Kab. Magelang (2008) berjumlah 23.453
orang, 68 persen berada di Kecamatan Tempuran. Pada
Januari-November 2008 79 persen merupakan buruh
perempuan. Sebanyak 82 persen dari jumlah tersebut bekerja
sebagai buruh pabrik, selebihnya berada di sektor domestik
(pembantu rumah tangga). Tenaga kerja dari Kabupaten
Magelang yang bekerja di luar daerah tidak bisa terdeteksi
secara pasti, sedangkan TKI yang bekerja di luar negeri yang
terdata, sebanyak 654 orang, 83 persennya perempuan.
Buruh migran perempuan sebagai pahlawan-pahlawan
devisa Indonesia, memperoleh sampai 5,49 miliar dollar
(sekitar Rp 51 triliun) dari remiten buruh migran per tahun.
Target pemerintah untuk mengirim pekerja ke luar negeri
terus meningkat, dari 100.000 pada kurun waktu tahun
1979-1984 menjadi 2,8 juta pada kurun waktu antara tahun
1999-2003. Ironisnya, para pembantu rumah tangga asal
Indonesia yang bekerja 16-18 jam sehari, digaji dengan upah
antara Rp 870.000 sampai Rp 990.000 atau separuh upah
PRT asal Filipina. Tenaga kerja asal Indonesia baik laki-laki
atau perempuan di luar negeri umumnya berada pada jenis
pekerjaan dengan 3D (dirty, difficult dan dangerous).
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa perempuan
bertambah miskin akibat peristiwa hukum yang dialaminya.
Mereka tidak memahami kemana mereka harus mencari
bantuan hukum apa yang seharusnya ia lakukan dan
jalan keluar menurut hukum apa yang harus mereka
tempuh. Untuk itu, pemberdayaan hukum perempuan
menjadi penting untuk menekan angka kemiskinan karena
pemberdayaan hukum merupakan proses dan pada saat
yang bersamaan merupakan tujuan dalam konteks membuka
akses perempuan kepada keadilan. Dengan bertambahnya
pengetahun hukum, perempuan dapat meningkatkan
kapasistasnya dan rasa percaya diri, sehingga berdampak
pada peningkatan kemampuan perempuan untuk mencapai
tujuan pembangunan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
121
122
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
B.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka
kajian hukum akan terfokus pada permasalahan yaitu
bagaimana hukum dapat memecahkan masalah ketidakadilan
gender yang dialami oleh kaum perempuan dan karakteristik
hukum berkeadilan jender. Pokok permasalahan ini
dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana struktur hukum berkontribusi pada
disparitas gender dalam pembangunan di Kabupaten
Magelang?
2) Apakah
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pemberdayaan hukum dalam rangka meminimalkan
atau
mengurangi
disparitas
gender
dalam
pembangunan di Kabupaten Magelang?
C.
Kerangka Teori
Soewarno, (2001: 47) menyebutkan bahwa secara
harfiah” disparitas” ialah pengkelasan, pengelompokan,
pembedaan. Terkandung maksud disini adanya pembedaan
antara satu kelompok dengan kelompok lain. Pembedaan ini
biasanya didasarkan pada karakteristik-karakteristik tertentu
yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut. Secara lebih
spesifik, dalam kamus hukum disparitas disebut dengan
”discriminatie” yaitu perbedaan yang diadakan berdasarkan
ras, agama, tingkat sosial dan sebagainya. Dalam penelitian
ini disparitas mengacu pada diskriminasi yang seolah
membedakan antara perempuan dan laki- laki dalam lawanan
kondisi diantara keduanya. Kondisi ini dimaknai sebagai
disparitas gender.
Sri Natin (2007: 19) menyebut gender sebagai
konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, kedudukan,
kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Mengingat
gender adalah konstruksi sosial maka dapat berubah dan
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
diubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan kata lain
gender merupakan peran yang dibentuk oleh masyarakat
serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang
berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan masalah budaya, dirujuk pada klasifikasi
sosial dari laki- laki dan perempuan, menjadi ”maskulin” dan
” feminin”. Selanjutnya disebutkan bahwa orang itu laki-laki
atau perempuan biasanya dapat dinilai dengan merujuk pada
bukti-bukti biologis. Bahwa mereka itu maskulin atau feminin
tidak dpat dinilai dengan cara- cara yang sama, kriteria tersebut
bersifat budaya, berbeda karena waktu dan tempat. Sifat tetap
dari jenis kelamin harus diakui, tetapi juga demikian dengan
sifat tidak tetap dari gender. Ia menyimpulkan bahwa gender
tidak memiliki asal-usul biologis, bahwa hubungan antara
jenis kelamin dan gender tidak benar- benar alamiah.
Hukum dalam hal ini dipahami sebagai sebuah
konstruksi yang mempunyai kekuatan dalam sistem hukum
dimana kelembagaannya bisa dilihat dari empat bidang ialah
struktur, kultur, substansi serta sarana prasarana. Studi
pemberdayaan hukum dimaksud bukan hanya sebagai entitas
normatif yang diberikan dalam bentuk sosialisasi semata,
tetapi justru dipahami sebagai dependent variabel dari satu
proses sosial meliputi hak, sumberdaya, aspirasi politik yang
merupakan strategi dalam pembangunan berkelanjutan,
khususnya pada pembangunan hukum. Dengan demikian
teori yang penulis pakai adalah Teori Hukum Feminis
kritis yang dikembangkan dalam Feminis Yurisprudence,
yakni:
Dalam kenyataan rumusan hukum adalah phallocentric
(dominasi laki- laki), begitu pula dengan isu- isu atau
kasus- kasus yang sampai ke pengdilan mengalami
hambatan dan tidak bergaung. Status quo ini lebih
menjurus pada prodominasi.
Keterbatasan yang berhubungan dengan proses kerja
bagi struktur hukum menjadi masalah bagi feminis
dalam memperjuangkan hak- hak perempuan,
sehingga keberhasilan mempertahankan hak- hak
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
123
124
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
perempuan bukanlah hal yang mudah.
Keterbatasan yang berkaitan dengan batasan
pengadilan yang memfokuskan pada yang rasional
dan logis (termasuk akal saja). Para feminis
mengklaim sering muncul dari banyak sumber yang
kontradiktif. Beberapa feminis menganalisa bahwa
banyak perempuan kerja yang menguatkan struktur
hukum yang berlaku sungghpun sebenarnya mereka
menginginkan untuk diubah.
Lima hal penting berupa cara berfikir yang digunakan
didalam pengkajian kritis hukum yang berkaitan dengan
feminis adalah: (1) pengalaman perempuan, (2) bias gender
secara implisit, (3) jeratan /ikatan ganda dari perbedaan,
(4) reproduksi model dominasi laki- laki, dan (5) membuka
pilihan- pilihan perempuan (Sulistyowati Irianto, 2004: 46).
Pemberdayaan hukum bagi perempuan merupakan
upaya untuk meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining
position) perempuan di depan hukum disertai dengan
partisipasi perempuan dalam pembangunan untuk melawan
segala bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan.
Permasalahan mendasar adalah masih terdapatnya
kesenjangan partisipasi kaum perempuan yang bersumber
dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat. Dalam
konteks, sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih
terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap
layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi,
dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas.
Sesuai dengan pemahaman hukum feminis, kajian
ini akan menganalisa bekerjanya hukum dari pada isinya
yang abstrak. Hukum dipahami baik dalam praktek untuk
keperluan usaha-usaha pembaharuan hukum maupun
bidang pemahaman hukum atau ilmu pengetahuan hukum.
Pemikiran mengenai perkaitan hukum dengan masyarakat
ditempatkan pada latar belakang kehidupan sosial ekonomi
masyarakat yang kompleks (Satjipto Rahardjo, 1980: 43).
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Bagan 1: Kerangka Pikir Disertasi Disparitas Gender pada
Pemberdayaan Hukum dalam Pembangunan Hukum yang
Berperspektif Gender
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
125
126
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
D.
Pembahasan
1. Disparitas Gender dan Perkembangan Hukum
Disparitas gender masih berlangsung di berbagai
aspek kehidupan di seluruh dunia walaupun ditemukan
banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada
beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi
sangat beragam di berbagai negara atau kawasan, namun
polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di
negara-negara berkembang berlaku kesetaraan perempuan
dan laki-laki dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi.
Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses
terhadap kendali atas sumber daya, dalam kesempatan
ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik.
Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul
langsung beban terberat dari ketidak setaraan ini, beban itu
akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan
merugikan setiap orang.
Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif dengan
pendekatan sosio legal research bermaksud mendekonstruksi
lembaga hukum yang represif dan legitimasi struktur ideologi,
sekaligus sebagai pendekatan untuk berkontribusi nyata dan
mendalam pada agenda konstruksi hukum. Pendekatan ini
akan melihat proses hukum baik pada tatanan formulasi
maupun implementasi dalam hubungannya dengan dinamika
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa studi sosio-legal mencoba memotret hukum
dlam dinamika kehidupan sosial dalam konteks yang lebih
luas. Lokasi penelitian ditentukan di Kabupaten Magelang
Jawa Tengah dengan dasar pertimbangan bahwa kabupaten
tersebut merupakan kota industri, di mana pekerja atau buruh
yang bekerja mayoritas perempuan. Penelitian dilakukan pada
wilayah Kecamatan Tempuran dengan 11 perusahaan yang
kebanyakan bergerak di bidang pertekstilan di mana 82%
tenaga kerjanya adalah perempuan yaitu pada perusahaan
Pandatex, Usmantex dan Suryatex.
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Hasil penelitian menunjukkan adanya disparitas
yang tercermin dalam konsep budaya masyarakat di daerah
penelitian yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu masyarakat
priyayi yang tidak terlihat adanya disparitas dalam tata kerja
terhadap tenaga kerja wanita dan kelompok masyarakat santri
yang masih membudayakan disparitas pada kaum wanita
dalam beban yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Data
DISNAKERTRANS Kabupaten Magelang tahun 2008 terlihat
bahwa perusahaan-perusahaan yang ada di Kecamatan
Tempuran lebih memprioritaskan tenaga kerja wanita karena
dianggap wanita lebih ulet, disiplin dan rajin dalam bekerja.
Selama ini, hubungan antara perempuan dengan
pembangunan hukum didasarkan pada norma, pengalaman
serta pola pikir laki-laki dengan mengabaikan pada pengalaman
perempuan. Hal yang identik dengan pernyataan responden
penelitian bahwa Hukum dipandang telah menyumbang
terhadap penindasan perempuan di Kabupaten Magelang.
Hal-hal yang dilakukan oleh kaum feminis berkaitan dengan
hukum berkisar pada implikasi perempuan dalam praktek
sosial ataupun praktek hukum dengan kurangnya konsep
posisi perempuan didalam hukum.
Secara singkat gagasan pendekatan
berperspektif perempuan meliputi beberapa hal:
hukum
a. Mempersoalkan perempuan dalam hukum, yang
bertujuan menguji apakah hukum telah secara adil
memperhitungkan pengalaman perempuan, atau
betapa standar ganda dan konsep hukum telah
merugikan perempuan.
b. Mempersoalkan perempuan dalam hukum dalam
rangka menerapkan metode kritis terhadap
penerapan hukum, atau dengan kata lain pendekatan
ini mempertanyakan tentang implikasi gender dari
hukum yang mengabaikan perempuan.
c. Konsekwensi metodologis yaitu digunakannya kasuskasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
127
128
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan
dan laki-laki.
Studi ini menemukan bahwa, para tenaga kerja
wanita; yakni wanita yang menjadi buruh pekerja pabrik
di daerah Magelang, adalah individu-individu (actor) yang
telah menghadapi tekanan “kemiskinan dan juga tekanan
struktur hubungan hegemoni patriarchi” (condition) di desa
asalnya yang ditunjukkan melalui indikator kepimilikan
sumber produksi utama yaitu tanah pertanian (yang sempit),
dan kesulitan memperoleh pekerjaan untuk mendapatkan
pendapatan yang layak di desa asalnya serta kondisi keluarga
yang “pas-pasan” dengan penghasilan keluarga yang “rendah”
padahal harus memikul beban domestik yang makin berat.
Para individu tenaga kerja wanita di daerah penelitian ini
berupaya meraih tujuan (goal), yakni meningkatkan income
atau kesejahteraan keluarganya, melalui pengambilan
keputusan bekerja ekstra di pabrik sampai tengah malam
untuk memperoleh pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi.
Sebagian tenaga kerja wanita ini terkendala oleh persyaratan
pendidikan.
Persoalan-persoalan perempuan cukup disadari oleh
pemerintah kabupaten setidak- tidaknya hal ini tergambar dari
profil statistik gender Kabupaten Magelang tahun 2008. Di
dalamnya dikemukakan adanya kesenjangan antara perempuan
dan laki- laki dalam beberapa hal, seperti dalam bidang
pendidikan, bidang ketenagakerjaan, bidang pemerintah dan
bidang politik. Meskipun perempuan telah memperoleh akses
diberbagai bidang tetapi belum dalam kuantitas yang optimal.
Status dan peranan perempuan masih diperlukan perhatian
khusus dari pemerintah Kabupaten Magelang dalam masalah
gender sehingga upaya dalam mencapai kesetaraan dan
keadilan gender dapat terwujud. Keadaan ini juga diakui oleh
Kabid Pemberdayaan Masyarakat (PM). Menurutnya rata- rata
perempuan di Kabupaten Magelang memiliki kualitas SDM
yang rendah, seperti rendahnya tingkat tinkkat pendidikan
dan rendahnya tingkat produktivitas ekonomis mereka.
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Jumlah penduduk perempuan yang tidak bersekolah mencapai
sekitar 20 %, dan yang hanya mengenyam pendidikan dasar
sekitar 30 %,. Sementara rata-rata perempuan yang tidak
memiliki ketrampilan dan keahlian tertentu, sehingga secara
ekonomi mereka lemah dan sangat tergantung pada laki- laki
(suami). Hal yang demikian terlihat dalam kenyataan saat
ini, pembangunan di bidang pendidikan seringkali tertinggal
oleh pembangunan di bidang-bidang lain, di mana tercermin
dalam laporan Human Development Report Tahun 2004
yang dilansir oleh United Nations Development Programe
(UNDP) menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia serta
angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development
Index) yang berada di peringkat bawah. Dalam laporan
tersebut, Indonesia masih berada pada peringkat 111 dari 177
negara, dengan skor 0,692 (skala 0-1). Kondisi demikian tentu
saja memerlukan intervensi dari Pemerintah untuk segera
memfokuskan pembangunan bidang pendidikan sekaligus
sebagai investasi produktif yang sangat menentukan hari
depan bangsa.
2. Perlindungan Tenaga Kerja Wanita
Berbagai ketidakadilan gender diharapkan
dapat dihapuskan melalui kebijakan-kebijakan publik
dalam semua bidang kehidupan. Hal ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa diskriminasi terhadap
perempuan pada dasarnya tidak diperbolehkan,
baik dilihat dari segi hukum internasional maupun
hukum nasional. Dari segi hukum internasional,
dapat dirujuk pada konvensi tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
yakni Convention On The Elimination Of All Forms Of
Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini
telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
129
130
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
Tujuan
penghapusan
diskriminasi
terhadap
perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif
yang mendukung keberadaan perempuan dalam kapasitasnya
sebagai anggota masyarakat yang menjalankan peranannya
dan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum
yang sama dengan laki-laki sebagai warga masyarakat.
Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan berisi asas-asas dan upaya-upaya yang harus
dilakukan oleh negara-negara peserta untuk membuat
peraturan yangdiperlukan dalam rangka menghapus
diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan
perwujudannya.
Konsekuensi logis dari diratifikasinya suatu konvensi
internasional, adalah kewajiban untuk menindaklanjutinya
di dalam tataran perundang-undangan nasional serta
pengimplementasinyannya di dalam berbagai bentuk kebijakan
publik, termasuk di dalamnya dalam upaya penegakan hukum
serta penyelesaian perkara-perkara hukum secara kongkrit.
Telah diratifikasinya Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap perempuan oleh pemerintah Republik Indonesia,
merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki
komitmen untuk melakukan penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan.
Komitmen bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya
Pemerintah, memiliki kemauan melaksanakan apa yang
diamanatkan oleh konvensi tersebut melalui peraturan
perundang-undangan, dilihat lebih lanjut dalam bentuk
kebijakan publik khususnya berupa peraturan perundangundangan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
(Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau
Merendahkan Martabat Manusia); yang memuat pernyataan
pengakuan berlakunya Konvensi Internasional yang disetujui
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1984
tersebut, serta komitmen untuk mengimplementasikannya
di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebelumnya Indonesia telah memberikan persetujuan dan
menandatangani Konvensi tersebut pada 23 Oktober 1985.
Kedua, Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998
Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan;
memuat pernyataan pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan. Pembentukan Komisi yang
bersifat nasional ini dilakukan dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan
serta penghapusan segala bentuk tindakan kekerasan yang
dilakukan terhadap perempuan.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia; yang memuat pengakuan
berbagai hak asasi manusia secara umum, secara khusus juga
memuat pengakuan dan jaminan perlindungan berbagai hak
wanita yang termuat pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51.
Keempat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; yang
memuat kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan
sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU ini
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b)
keadilan dan kesetaraan gender; (b) nondiskriminasi; dan (d)
perlindungan korban. Penghapusan kekerasan rumah tangga
bertujuan (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah
tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga;
dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis
dan sejahtera. Kaidah penting yang dimuat di dalam UndangUndang ini terdapat pada Pasal 5 yang memuat pernyataan:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c.
kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.”
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
131
132
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
Kelima, Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana Nasional 1999/2000; yang di dalam
Buku II memuat Tindak Pidana khususnya dalam Bab XV
Tindak Pidana Kesusilaan, beberapa pasal tindak pidana
kesusilaan (a) perluasan terhadap bentuk-bentuk tindak
pidana kesusilaan yang penah dikenal di dalam KUHP yang
sekarang berlaku; dan (b) memunculkan bentuk-bentuk
tindak pidana kesusilaan baru yang sebelumnya belum
dikenal. Perluasan dan pembentukan tindak pidana kesusilaan
semacam ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
yang lebih baik kepada kaum perempuan dari kemungkinan
menjadi korban dari perbuatan-perbuatan pelanggaran nilainilai kesusilaan.
Keenam, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun
2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional. Di dalam Inpres ini disebutkan bahwa dalam rangka
meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan,
serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, perlu dilakukan strategi pengarusutamaan gender
dalam seluruh proses pembangunan nasional. Kesetaraan
gender dalam konteks Inpres ini adalah kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan
dan hak-haknya sebagai manusia.
Terwujudnya kondisi kesetaraan gender akan
memungkinkan perempuan mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan nasional, dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan. Selain dalam wujud peraturan
perundang-undangan, pengejawantahan perspektif gender
dalam penanggulangan kejahatan secara tidak langsung
terlihat pula dalam praktek pelayanan pihak Kepolisian di
dalam penanganan perkara pidana, pihak Kejaksaan dalam
disposisi penugasan Jaksa Penuntut Umum dalam proses
penuntutan perkara pidana, pihak Pengadilan di dalam
pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan perempuan
sebagai pelaku ataupun sebagai korbannya. Berikut ini akan
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
dilakukan pembahasan khusus tentang berbagai kebijakan
yang mengakomodasi perspektif gender dalam kaitan dengan
upaya penanggulangan kejahatan terhadap perempuan di
Indonesia.
3. Hukum Berwawasan Gender
Pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi
manusia tidak mengecualikan pula pengakuan kesetaraan
hak dan kewajiban asasi manusia lakilaki dan perempuan
sesuai citra kodratinya masing-masing. Perkembangan
aspirasi berkaitan dengan kesetaraan gender ini membawa
implikasi keharusan rekonstruksi ulang pemahaman terhadap
citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak
dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi
kehidupan beragama yang dalam konteks kontemporer
dipandang banyak merugikan kepentingan kaum perempuan.
Penataan ulang pemahaman ini barang tentu bukan perkara
mudah dilakukan, bahkan ketika secara yuridis formal telah
dikonstruksikan menurut formulasi yang ideal, namun tidak
dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan
harapan terutama kaum perempuan.
Dengan demikian, kendatipun bias gender
dalam produk kebijakan nasional yang dikontruksikan
dalam produk hukum atau peraturan perundangundangan, masih saja menjadi persoalan apakah pada
tataran praktik dapat diimplementasikan dengan
baik menurut kerangka konseptual filosofis yang
mendasarinya. Secara konseptual, kebijakan hukum
merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari
kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup
di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya
disebut kebijakan penegakan hukum (law enforcement
policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini
hokum administrasi dan hukum keperdataan menempati
kedudukan yang sama dengan hukum pidana sebagai sarana
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
133
134
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakanperundangundangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari
kebijakan sosial.
Berdasarkan kerangka berpikir logis bahwa kebijakan
pembangunan merupakan bentuk sarana realisasi dari
kebijakan sosial nasional yang meliputi kebijakan hukum, maka
kebijakan pembangunan nasional di bidang hokum berfungsi
sebagai pendukung bagi terwujudnya tujuan pembangunan
nasional secara keseluruhan yang juga berarti terwujudnya
tujuan nasional kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
juga berarti bahwa pelaksanaan pembangunan nasional di
segala bidang kehidupan, inklusif pembangunan di bidang
hukum, sesungguhnya merupakan proses perwujudan
kebijakan sosial nasional.
Salah satu bidang dari kebijakan pembangunan adalah
kebijakan hukum. Hukum merupakan suatu kelembagaan
sosial yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan
dengan kelembagaan sosial yang lain. Sifat unik ini terlihat
dari kenyataan bahwa, hukum merupakan bentuk media atau
sarana perwujudan bagi semua bidang kebijakan yang secara
garis besar meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan nasional. Pada prinsipnya hukum
sebagai suatu bentuk kelembagaan sosial yang mewadahi
kebijakan penyelenggaraan negara menjangkau semua bidang
dan aspek kehidupan manusia dan mengintegrasikannya ke
dalam suatu sistem sosial yang harmonis dan fungsional.
Sebuah polling oleh Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan selama Oktober 2006 sampai dengan Februari
2007 pada sejumlah responden bertujuan untuk mengetahui
prioritas pembangunan perempuan dan anak pernah
dilakukan. Polling tersebut menanyakan pendapat 278 orang
pembaca yang mengakses web tersebut mengenai masalah
yang menjadi prioritas dalam pembangunan pemberdayaan
perempuan dan anak. Pilihan jawaban yang disediakan ada
4 (empat), yaitu: (1) pendidikan, kesehatan dan ekonomi; (2)
politik dan pengambilan keputusan; (3) kekerasan/trafficking
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
dan (4) ketenagakerjaan (http://menegpp.go.id).
Berdasarkan hasil polling tersebut, terlihat bahwa
masyarakat belum melihat pemberdayaan hukum sebagai
sesuatu yang mendesak bagi perempuan. Jawaban terbanyak
yang dipilih pembaca sebagai prioritas pembangunan
pemberdayaan perempuan adalah pendidikan, kesehatan
dan ekonomi yang dipilih oleh 129 orang pembaca (46,4
persen). Hal ini didukung oleh posisi dan kondisi perempuan
dalam bidang-bidang tersebut yang memang masih rendah,
antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka buta
huruf perempuan, lebih rendahnya pendidikan tertinggi
yang ditamatkan perempuan, tingginya angka kematian ibu
melahirkan serta rendahnya partisipasi dan akses perempuan
dalam bidang ekonomi. Prosentase terbesar kedua yang
menjadi prioritas pembangunan pemberdayaan perempuan
adalah masalah kekerasan/trafficking yang dipilih oleh 71
orang pembaca (25,54 persen). Seperti kita ketahui sejak
diberlakukannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004,
masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak terus
menjadi sorotan di masyarakat. Banyak kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak terutama yang terjadi di dalam
rumah tangga menjadi berita utama di berbagai media massa.
Kondisi ini mengindikasikan adanya perubahan pandangan
masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan
lagi merupakan aib yang harus ditutupi, tetapi merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dicegah dan dihapuskan.
Kesetaraan
akan
meningkatkan
kemampuan
negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan
menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian,
meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari
strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan
Semua orang perempuan maupun laki-laki untuk melepaskan
diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup. Hak-hak
perempuan yang lebih besar dan partisipasi yang lebih setara
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
135
136
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan publik
berkaitan dengan bisnis dan pemerintahan yang lebih bersih
serta tata pemerintahan yang lebih baik. Ketika perempuan
berpengaruh lebih besar dalam kehidupan publik, semakin
rendah pula tingkat korupsi yang terjadi. Hal ini tetap
terbukti ketika membandingkan negara-negara yang secara
dalam tingkat pendapatan kebebasan sipil, pendidikan, dan
lembaga-lembaga hukum. Meski baru bersifat saran, temuantemuan ini memberikan dukungan lebih agar lebih banyak
perempuan masuk ke dalam angkatan tenaga kerja dan dunia
politik karena perempuan dapat menjadi kekuatan efektif bagi
penegakan hukum dan pemerintah yang baik.
Institusi kemasyarakatan norma-norma sosial,
adat istiadat, hak undang-undang, seperti juga institusi
ekonomi (pasar), membentuk sumer daya apa saja yang
dapat diakses oleh perempuan dan laki-laki, kegiatan apa
yang boleh dan tidak dilakukan, dan dalam bentuk apa
mereka dapat berpartisipasi dalam perekonomian dan dalam
masyarakat. Institusi-institusi mewujudkan insentif yang
dapat meningkatkan maupun mengurangi prasangka. Bahkan
ketika institusi- institusi formal maupun maupun informal
tidak membedakan laki-laki dan perempuan secara eksplisit,
mereka mendapat masukan (secara eksplisit atau implisit)
dari norma-norma sosial yang berkaitan dengan peran
gender. Institusi-institusi kemasyarakatan ini cenderung
tidak bergerak dan dapat sangat lambat dan sulit berubah
tetapi mereka jauh dari statis.
Seperti halnya institusi rumah tangga memainkan
peran mendasar dalam membentuk relasi gender dari
awal kehidupan dan menurunkannya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Orang membuat banyak keputusan
paling mendasar di dalam rumah tangga memiliki dan
membesarkan anak-anak, tentang bekerja dan bersenangsenang ataupun tentang investasi untuk masa depan.
Bagaimana tugas dan sumber daya produktif dialokasikan di
antara anak perempuan dan anak laki-laki, seberapa besar
otonomi yang diberikan kepada mereka, dan apakah ada
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
perbedaan harapan di antara mereka. Semua ini membentuk,
memperkuat, atau memperkecil disparitas gender. Namun
keluarga tidak membuat keputusan tanpa konteks tertentu.
Keputusan-keputusan ini dibuat dalam konteks komunitas
dan melalui cara-cara yang mencerminkan pengaruh insentif
yang ditetapkan oleh lingkungan institusi dan kebijakan yang
lebih besar.
Karena ekonomi menentukan banyak kesempatan
yang dimiliki seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya,
kebijakan ekonomi dan pembangunan sangat berpengaruh
terhadap ketidaksetaraan gender. Semakin tinggi pendapatan
berarti semakin kecil kendala sumber daya dalam rumah
tangga yang sering memaksa orang tua untuk memilih antara
melakukan investasi untuk anak laki-laki atau anak perempuan.
Namun bagaimana tepatnya laki-laki dan perempuan
dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi tergantung pada
kegiatan menghasilkan pendapatan yang tersedia, bagiamana
kegiatan-kegiatan tersebut dikelola, bagaimana usaha dan
keterampilan dihargai, dan apakah perempuan dan laki-laki
sama-sama dapat berperan serta.
Lembaga-lembaga kemasyarakatan, rumah tangga dan
ekonomi dalam skala lebih luas bersama-sama menentukan
kesempatan dan prospek kehidupan seseorang berdasarkan
gender. Ketiga hal itu juga menjadi pintu masuk yang penting
bagi kebijakan publik untuk mengatasi ketimpangan gender
yang terus berlangsung. Ketidaksetaraan gender yang
sangat merugikan kemanusiaan dan menghambat prospek
pembangunan negara memberikan bukti yang sangat jelas
bahwa tindakan publik dan privat sudah sangat diperlukan
dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan maupun lakilaki (Laporan penelitian Kebijakan Bank Dunia, 2005), dan
sejalan dengan itu, negara dapat memperoleh banyak manfaat
sosial yang berkaitan dengan meningkatkannya status absolut
maupun relatif perempuan dan anak perempuan. Tindakan
publik menjadi sangat penting mengingat banyak institusi
sosial dan hukum melanggengkan ketidaksetaraan gender
sehingga membuat sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin,
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
137
138
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
bagi individu secara sendiri-sendiri untuk mengubahnya.
Selain itu, kegagalan-kegagalan pasar berarti kurangnya
informasi tentang produktivitas perempuan di pasar kerja
(karena perempuan menghabiskan lebih banyak waktu
untuk perkerjaan non-pasar atau karena tidak ada atau tidak
berkembangnya pasar kerja). Dan juga merupakan hambatanhambatan yang jelas terlihat.
Hukum dan perubahan sosial sangat erat hubungannya.
Orang sering mengatakan bahwa hukum selalu ketinggalan
dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Tertinggalnya hukum di belakang masalah yang diaturnya
baru menjadi persoalan pada saat jarak ketertinggalan itu
telah sedemikian menyoloknya sedangkan penyesuaian yang
semestinya dapat mengurangi ketegangannya tidak kunjung
berhasil dilakukan. Pada waktu itulah dapat ditunjukkan
adanya hubungan yang nyata antara perubahan sosial dan
hukum yang mengaturnya, yaitu hubungan yang bersifat
ketegangan.
Beberapa kendala ternyata menghalangi diwujudkannya
komitmen terhadap kesetaraan gender. Dari berbagai kajian
dan analisa di daerah penelitian, dapat dikelompokkan
sekurang-kurang dalam lima faktor yang menyebabkan
kondisi tersebut terjadi;
a. Pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut
paham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan
kepada kaum laki-laki di banding perempuan. Tata
nilai tersebut diwariskan secara turun temurun dari
waktu ke waktu, baik yang berasal dari budaya lokal
maupun pengaruh dari luar;
b. Banyak produk hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku baik formal maupun informal
(hukum adat) yang bias gender. Hal itu dapat
dipahami karena produk hukum tidak terlepas dari
pengaruh untuk mengakomodasi tata nilai kultural
suatu masyarakat;
c. Dampak lebih lanjut muncul kebijakan dan program
pembangunan yang masih bias gender karena setiap
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
kebijakan adalah keputusan politik yang merupakan
bagian dari aspirasi sosial masyarakat;
d. Kondisi itu didukung oleh masih banyaknya penafsiran
terhadap aktualisasi ajaran agama yang kurang
tepat karena terlalu berat pada pendekatan tekstual
(tersurat) dan parsial (sepotong-sepotong) di banding
kontekstual (tersirat) dan kholistik (menyeluruh);
e. Kelemahan, kurang percaya diri, dan inkonsistensi
serta tekad kaum perempuan sendiri dalam
memperjuangkan nasib kaumnya. Kelemahan itu
bisa disebabkan pengaruh tata nilai di atas atau
kemungkinan faktor lain masih perlu ditelaah secara
mendalam.
E.
Kesimpulan
Dengan demikian hukum berperspektif perempuan
mempunyai dua komponen utama yaitu yang pertama
eksplorasi dan kritik pada tataran teoritik terhadap interaksi
pada tataran hukum dan gender, yang kedua penerapan
analisis dan perspektif feminis (perempuan) terhadap
lapangan hukum yang kongkret seperti keluarga, tempat
kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi,
kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual dengan tujuan
mengupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum.
Meningkatkan
efektivitas
lembaga-lembaga
kemasyarakatan dan mencapai pertumbuhan ekonomi
telah diakui secara luas sebagai elemen kunci dari strategi
pembangunan jangka panjang apa pun. Akan tetapi,
keberhasilan pelaksanaan strategi ini tidak menjamin
kesetaraan gender. Untuk memajukan kesetaraan gender,
setiap kebijakan perubahan kelembagaan dan pembangunan
ekonomi perlu menimbang dan mengatasi ketidaksetaraan
gender dalam hak, sumber daya, dan aspirasi. Dan diperlukan
kebijakan dan program aktif untuk memperbaiki disparitas
yang telah mengakar antara perempuan dan laki – laki,
terutama di bidang pembangunan hukum.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
139
140
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER
Jurnal Studi Gender
Arif Hidayat
Daftar Pustaka
A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan
Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1988.
Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Gender dalam Aksi-Interaksi
kelompok Buruh Perempuan Sektor industri tekstil dan
garmen dalam Perubahan Sosial. Disertasi di Universitas
Diponegoro Semarang tahun 2002
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung: Alumni, 1991.
Hanitijo Seomitro. Masalah-Masalah Sosiologi Hukum. Bandung: Sinar
Baru, 1984.
Hardijan Rusli, Hukum ketenagakerjaan, Bandung: Ghalia Indonesia,
2004.
Ihromi, Wanita Bekerja dan Masalahnya, Dalam Tuty Heraty Nurhadi
(ed) Dinamika tentang Wanita Indonesia, Jakarta, Pusat
Pengembangan Sumber Daya Wanita, 1990.
Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi:
Pemikiran tentang Keserasian Gender, Jakarta, LP3ES,
2006.
Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif
Gender, editor: Yulfita Rahardjo, Jakarta: Dian Rakyat, 2005.
Lili Rasidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1992.
Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaaan,
Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Lusi Margiyanti dan Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender:
Menjinakkan “Takdir” Mendidik Anak Secara Adil
Yogyakarta: LSPAA, hal. 115.
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Mansour Fakih, Diskrimiasni dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif
Gender, Yogyakarta: CIDESINDO, 1998.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1986.
Otje Salman S. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum. Bandung : Revika Adi
Tama, 2004.
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusa
Media, 2007.
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980.
Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni, 1979.
Soehardjo Sastrosoehardjo. Upaya Pembentukan Hukum Nasional dan
Permasalahannya. Dalam CSIS Januari 1993.
Soewarno, Dasar- dasar bahasa Indonesia, Solo: CV Aneka, 2001.
Sri Natin, Konsep Gender dan Pengarusutamaan Gender, bahan pelatihan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
141
142
metodologi penelitian gender, Yogyakarta: PSW (Pusat Studi
Wanita) Universitas Gadjah Mada, 2007.
Woodman G, Historical Development, Introduction to Contemporary Legal
Pluralism in o Worldwide Perspective, Wilington: Victoria
University, thesis 1992.
Jurnal Studi Gender
Riset
PEREMPUAN, ETOS KERJA
DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
DALAM KELUARGA NELAYAN
Irzum Farihah1
ABSTRACT: This study is about female traders
activating and working in fish circulation connected
with the work ethos. The research focuses on the role of
ethos in their job running in trading sector and whether
the ethos they build could create bargaining position
indecision marking within the family. The research was
conducted in a fish market located in Brondong village,
Lamongan. Respondents were 8 people. The research
consists of primary data and secondary one. Collecting
data technique is conducted by observation and an
indept interview. Data technique analysis will employ
data reduction analysis process. It is very significant to
realize women’s role rather in domestic or public, and its
managing will be case-related focus. The result shows that
ethos of women fish-traders which has transcendet sense
of why they have to work is very influential in decision
marking within family. In access rate and control, women
have made progress, althougth, to some extend, men who
are superior have found shift in family. For same people,
they have been interdependent and supported their role
among husband and wives.
Keyword : Work ethic- Decision marking- Women
fisher-trader
A.
Pendahuluan
Dewasa ini status dan peranan perempuan banyak
mengalami perubahan. Berbagai tindakan dilakukan
sebagai upaya pembebasan perempuan. Pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seharusnya
1
. Dosen STAIN Kudus
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
144
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
memperhatikan kondisi perempuan maupun laki-laki,
sehingga kebijakan dan langkah-langkah yang dipilih dapat
meningkatkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Perempuan saat ini banyak yang melibatkan diri pada
sektor perdagangan. Menurut Stoler daya tarik pada sektor
perdagangan oleh perempuan dikarenakan pada sektor ini
mampu memberikan sumber pendapatan secara teratur. Di
samping itu sektor perdagangan juga memberikan kesempatan
yang sangat besar bagi keterlibatan kaum perempuan karena
pekerjaan di sektor tersebut sesuai dengan kemampuan fisik
alamiah kaum perempuan (Suyanto, 1996: 95).
Bagi perempuan yang mempunyai penghasilan
sendiri, di satu pihak perempuan dapat memanfaatkan dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya, dan di pihak lain
perempuan dapat memperoleh penghasilan sendiri, dengan
demikian perempuan dapat memenuhi kebutuhannya bahkan
dapat menyumbangkan pendapatannya untuk mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarga dan perempuan mempunyai
kemandirian di bidang perekonomian.
Perempuan yang terlibat dalam sektor perdagangan
(public role) pada umumnya memiliki posisi bargaining yang
lebih tinggi daripada perempuan yang hanya terlibat dalam
sektor domestik (domestic role). Perempuan yang bekerja
dan memiliki sumber pendapatan sendiri, tidak saja memiliki
otonomi dalam mengelola pengeluaran pribadinya, mereka
juga dapat lebih membantu dalam pemenuhan kebutuhan
rumah tangganya (Suyanto, 1996 : 95).
Keikutsertaan perempuan dalam perekonomian,
khususnya di kecamatan Brondong yang notabene mayoritas
penduduknya berpenghasilan dari laut (nelayan). Sebagian
perempuan dari keluarga nelayan mempunyai penghasilan
sendiri dan tidak tergantung pada penghasilan suaminya
sebagai nelayan, karena selama ini laki-laki dimaknai sebagai
tiang rumah tangga dalam arti luas.
Kecamatan Brondong adalah salah satu kecamatan
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
yang berada di kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur
yang letaknya di pesisir Pantai Utara, dimana mayoritas
masyarakatnya berpenghasilan dari hasil laut yaitu sebagai
nelayan dan penduduk masyarakat Brondong mayoritas
beragama Islam yang puritan. Di kecamatan Brandong ada
berbagai macam kalangan nelayan dari nelayan tradisional
sampai pada nelayan yang sudah maju. Adapun penghasilan
nelayan tergantung kepada musim yang tidak menentu. Kalau
musim banyak ikan (mereka menyebutnya dengan musim
playang) maka hasil ikan mereka banyak namun sebaliknya
kalau ikan sulit untuk dicari yang (mereka sering menyebutnya
dengan musim barat) maka hasil tangkapan ikannya akan
sedikit dan jarang sekali yang melakukan berlayar, hal
tersebut dikarenakan angin di laut sangat membahayakan
dan mayoritas dari mereka banyak yang menganggur, dengan
demikian penghasilan mereka jelas berkurang.
Perubahan ketergantungan ekonomi rumah tangga
kiranya berpengaruh terhadap struktur kekuasaan atau
wewenang atara laki-laki dan perempuan, yang secara
mendasar merupakan proses diferiensi seperti itu sangat
relevan bagi laki-laki dan perempuan yang terikat dalam
suatu perkawinan. Sejak dahulu secara tradisional mereka
diikat dan dipersatukan norma-norma yang bersifat patriakal
di mana dominasi laki-laki lebih menonjol, sehingga tercipta
struktur yang timpang antara laki-laki dan perempuan.
Oleh karenanya penting bagi perempuan untuk mempunyai
penghasilan sendiri, karena hal tersebut akan berpengaruh
terhadap otonominya dalam pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka
permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai
berikut : bagaimana etos kerja perempuan dalam menekuni
pekerjaan di sektor perdagangan ikan, apa alasan perempuan
dari keluarga nelayan melakukan perdagangan ikan di pasar
ikan Brondong, bagaimana pola pengambilan keputusan
dalam keluarga di balik etos kerja mereka, faktor apa saja
yang mempengaruhi peranan perempuan dalam pengambilan
keputusan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
145
146
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
B.
Kerangka Teori
Etos kerja mupakan hal yang sangat penting, karena
menyangkut sumber kekuatan yang dapat menentukan hasil
kerja atau sekelompok rang. Secara etimologis, kata etos
berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti tempat tempat
tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, watak, perasaan. Dalam
bahasa modern, etos menunjukkan ciri-ciri, pandangan,
kepercayaan yang menandai suatu kelompok saja. Sementara
itu, dalam segi moral dari suatu kebudayaan trtentu, unsurunsur evaluatif, pada umumnya juga diringkas dalam istilah
“etos”. Etos suatu bangsa adalah sifat, watak dan kualitas
kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan nuansanuansa hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri
mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan
dalam kehidupan (Asy’arie: 1997, 34, Geertz: 1997, 50-51).
Sedangkan Max Weber memahaminya sebagai aspek evaluatif
yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber
pada realita spiritual masyarakat (Abdullah, 1986 : 8).
Apabila dikaitkan dengan kerja sehingga menjadi istilah
etos kerja, maka etos kerja mempunyai makna refleksi dari
sikap hidup yang mndasar dalam menghadapi kerja. Menurut
Frans Magnis Suseno (1978 : 74) dalam Harefa, memberi
makna kerja merupkan segala kegiatan yang direncanakan,
jadi yang dilakukan tidak hanya pelaksanaan kegiatan itu
menyenangkan, melainkan seseorang itu inin mencapai
suatu hasil, sehingga dapat mandiri. Sebagai sikap hidup yng
mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan
cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilainilai yang berdimensi transenden (Asy’arie : 1997, 34).
Dengan demikian etos kerja dapat dimaknai sebagai
kegiatan ekonomi seseorang yang bersumber pada nilai-nilai
puritanisme yang tumbuh kuat dalam diri seseorang tersebut,
sehingga di sini terjadi tarik menarik antara kegiatan ekonomi
yang bersifat duniawi dengan moralitas kegamaan.
Proses kehidupan tidak lepas dari masalah ekonomi
karena begitu pentingnya untuk kelangsungan hidup,
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
sehingga ekonomi dapat membentuk kekuasaan, baik pada
lingkup masyarakat terkecil (keluarga) maupun masyarakat
luas. Ekonomi seseorang dikatakan mandiri apabila memiliki
penghasilan atau pendapatan sendiri dan memenuhi
kebutuhan material serta jasanya secara mendiri tanpa
bantuan pihak lain.
Menurut Blood dan Wolfe (1960 : 11) menyatakan
bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan masingmasing pihak mempunyai kekuasaan dalam arti bahwa
masing-masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi
perilaku orang lain, jika hal itu terjadi maka gejala tersebut
digambarkannya sebagai proses di mana telah terjadi
pengambilan keputusan.
Pola pengambilan keputusan dalam suatu keluarga
menggambarkan bagaimana struktur atau pola kekusaan
dalam keluarga tersebut menurut Scanzoni dan Scanzoni
(Lestari, 1990 : 93), bahwa keputusan yang diambil sebaiknya
merupakan hasil kesepakatan bersama.
Menurut Weber (1978) dikatakan bahwa pengambilan
keputusan dalam keluarga selalu dikaitkan dengan
struktur kuasa dalam keluarga. Kuasa didefinisikan sebagai
kemungkinan bahwa di dalam suatu hubungan sosial seorang
pelaku mampu merealisasi kehendaknya, sekalipun ada
tantangan. Jadi keputusan terakhir merefleksikan suatu
proses tawar menawar (bargainning) diantara orang-orang
yang berinteraksi. Demikian pula di dalam keluarga bahwa
keputusan terakhir merefleksikan suatu proses tawar menawar
antara suami isteri dan siapakah yang dominan dalam
menentukan kepuusan terakhir, maka dapat menggambarkan
pola struktur pengambilan keputusan atau struktur kuasa
dalam keluarga tersebut.
Dlihat dari pendekatan teori sosial-konflik, menurut
Engels keluarga adalah nuklir berdasarakn pemikiran pribadi
sebagai penindasan perempuan yang paling parah. Engels
menganalogikan bahwa hubungan suami istri dalam keluarga
sebagai hubungan antara kelas kapitalis dan kelas ploretar.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
147
148
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
Teori Engels tersebut dijadikan Collins sebagai dasar untuk
menganalisis kedudukan perempuan dalam keluarga dan
masyarakat, yang mengibaratkan kaum laki-laki sebagai
borjuis dan perempuan sebagai kaum proletar yang tertindas
(Megawangi, 1999: 85).
Menurut perspektif konflik, adanya hubungan
vertikal dalam keluarga antara suami dan istri seperti di atas
maka potensial untuk timbulnya konflik berkepanjangan
dan dianggap hubungan keluarga seperti itu tidak ideal.
Keluarga yang ideal menuerut perspektif jkonflik adalah
adanya hubungan horizontal, sehingga posisi perempuan
sendiri mampu menjadi individu yang otonom dan dapat
mengaktualisasikan dirinya sendiri.
Paradigma sosial-konflik menganggap bahwa keluarga
bukan sebuah kesatuan yang normatif kesatuan yang normatif
(harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai
sebuah sistem yang penuh konflik dimana ada anggapan
bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi
relasi sosial opresif.
Menurut para feminis marxis dan sosialis, institusi
yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah
keluarga dan agama. Sehingga usaha untuk menciptakan
perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan
menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha
radikal untuk mengubah pola fikir dan struktur keluarga yang
menciptakannya (Megawangi, 1999 : 91).
Laser Blumberg (1984) berpendapat bahwa kemandirian
pada perempuan mungkin cukup untuk mencapai kesetaraan
kekuasaan dan status mereka dalam perkawinan , rumah
tangga dan masyarakat secara luas. Blumberg menjadikan
perempuan Kibbutz menjadi test case bagi teorinya. Namun
dari hasil pengamatannya ia mengambil kesimpuan bahwa
meskipun perempuan Kibbutz dan laki-lakinya mungkin
seimbang dalam rumah tangga, akan tetapi perempuan masih
dipandang memiliki ketidakberdayaan politik dibanding
dengan laki-laki (Lorber, 1991 : 324).
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
Sedangkan Geertz menggambarkan pula bahwa dalam
keluarga Jawa (the nuclear family) ditemukan adanya peranan
perempuan yang lebih besar dalam proses pengambilan
keputusan. Sebagai isteri, perempuanlah yang mengelola
keuangan keluarga, walaupun secara resmi (formal) suami
yang memutuskan setelah berunding dengan isterinya,
kemungkinan bahwa suami yang mempunyai kemauan keras
dalam hubungan suami isteri, mempunyai status sama nilai,
karena kenyataannya keluarga dimana suami mempunyai
kekuasan yang paling besar jarang ditemukan (Greetz, 1961
: 45-46). Dengan demikian Greetz menyatakan bahwa posisi
perempuan dalam keluarga Jawa sangat kuat (Sajogyo, 1983
: 33).
Besarnya dominasi paranan istri dalam rumah tangga
terhadap kegiatan perekonomian dapat mempengaruhi
posisi istri sebagai mitra sejajar dalam keluarga. Dengan
demikian peranan ekonomi istri sama pentingnya dengan
suami (komplementer), jadi tidak sekedar suplementer
(tambahan). Besarnya peranan perempuan dalam rumh
tangga mempengaruhi kedudukan isteri dalam keluarga.
C.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di pasar ikan (TPI) desa
Brondong kabupaten Lamongan ini dikarenakan, pasar ikan
di Brondong merupakan TPI yang termasuk besar di daerah
Jawa Timur dan mempunyai penghasilan cukup bagus dalam
perdagangan ikan. Hal ini dilakukan dengan alasan: Pertama,
karena Brondong merupakan daerah yang mempunyai ciriciri sosio kultural maupun fisik yang kuang lebih sama dan
bisa mewakili karakter dari daerah pesisir lainnya. Kedua,
bahwa di pasar ikan sekitar 25% pedgang ikan perempuan
sedangkan yang lainnya adalah pedagang laki-laki. Ketiga ,
ada suatu permasalahaan tersendiri di sini yang keihatan
menarik yaitu, adanya etos kerja para perempuan pedagang
ikan selama di tinggal oleh suaminya melaut, mereka juga
memberikan kontribusi dalam perekonomian keluarga.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
149
150
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh
dari informan secara langsung. Menurut Webster’s New
Collegiate Dictionary yang dimaksud dengan informan adalah
seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulangulang kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya
sebagai model imitasi dan sumber informasi. Bekerja dengan
informan dimulai dari ketidaktahuan (Spradley, 1997 : 35).
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah
observasi dan indepth interview. Menurut Ritzer (1992: 74)
observasi biasanya digunakan terutama untuk mengamati
tingkah laku yang aktual. Dalam hal ini tipe observasi yang
dipergunakan adalah tipe “participant as observer” yaitu
memberitahukan maksud kedatangan peneliti kepada
kelompok yang diteliti (Ritzer, 1992: 74).
Wawancara mendalam (indepth interview) yang akan
dilakukan kepada beberapa informan perempuan pedagang
yang mempunyai etos kerja dalam membantu kontribusi
ekonomi dalam keluarga. Di samping wawncara mendalam,
peneliti juga akan melakukan partisipasi langsung pada
perempuan pedagang ikan yang akan menjadi fokus penelitin
karena dari pendekatan tersebut akan lebih mudah untuk
mendapatkan data yang sesungguhnya.
Selain data primer di atas, peneliti dalam usaha
untuk mendapatkan data skunder yang diperlukan dan yang
mendukung dalam penelitian ini, sebagai berikut : Studi
kepustakaan yaitu metode pengumpulan data dengan melihat
beberapa literatur, antara lain catatan, buku, dokumen, surat
kabar, majalah dan lainnya yang ada hubungannya dengan
penelitian tersebut. Dalam proses pengumpulan data peneliti
dibantu dengan menggunakan perlatab seperti kamera foto,
tape recorder dan catatan.
Tahap analisis data ini menggunakan proses analisis
reduksi data. Alasan untuk menggunakna proses reduksi
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
data adalah dianggap perlu untuk melakukan sistematisasi
data karena adanya dua kategori atau klasifikasi data, yaitu
data yang berhubungan dengan peran perempuan di sektor
domestik dan publik. Akhirnya proses analisis data tersebut
pengolahannya akan lebih difokuskan berdasarkan kasus.
D.
Pembahahasan
1. Kondisi Perempuan Nelayan
Dari segi pendidikan, sebagian besar perempuan
nelayan di kecamatan Paciran berpendidikan SD yaitu
(51%), sedangkan yang tidak bersekolah (37,2%) dan sisanya
brpendidikan SLTP dan SLTA. Dari data tersebut jelas bahwa
tingkat pendidikan perempuan nelayan masih rendah.
Dari lokasi penelitian tersebut, umur perempuan
nelayan terbanyak adalah antara 30-40 tahun pada kondisi
demikian mereka merupakan pekerja yang masih cukup
produktif. Sedangkan agama yang dipeluk para perempuan
nelayan adalah agama Islam.
2. Tugas Perempuan dan Laki-laki Nelayan dalam
Keluarga
Terdapat pembagian kerja yang cukup jelas mengenai
peran yang cukup jelas mengenai peran dan tugas perempuan
serta laki-laki dalam rumah tangga nelayan. Para perempuan
nelayan tidak berbeda dengan ibu rumah tangga lainnya,
juga mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga dan menjaga
anak-anak.
Dalam menunjang perekonomian keluarga nelayan,
perempuan serta laki-laki nelayan saling bekerja sama atau
membantu, sebagian besar perempuan ikut bertanggung
jawab dalam menopang perekonomian keluarga. Pekerja
lain yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk menambah
penghasilan yaitu dengan berdagang ikan di pasar.
Kaum perempuan dari keluarga nelayan yang selama ini
dikenal dengan orang yang malas bekerja dan hanya menunggu
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
151
152
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
kedatangan suaminya dari berlayar. Namun sebaliknya dengan
perempuan di desa Brondong, sebagian besar dari mereka
mempunyai keterlibatan dalam perdagangan. Perempuan
yang terlibat dalam sektor perdagangan (public role) idealnya
memiliki posisi bargainning yang lebih tinggi daripada
perempuan yang hanya terlibat dalam sektor domestik
(domestic role). Perempuan yang bekerja dan memiliki
penghasilan sendiri, tidak saja akan memiliki otonomi dalam
mengelola pengeluaran pribadinya, mereka juga dapat lebih
membantu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangganya
(Wignjosoebroto, 1990), paling tidak kebutuhan jajan anak,
pengeluaran-pengeluaran kecil sehari-hari
akan dapat
dipenuhi dari pendapatan kaum perempuan yang terlibat
dalam sektor perdagangan.
Bahkan, tidak jarang pada keluarga nelayan di mana
pihak suami sumber pendapatannya tergantung pada
penghasilan laut yang tak menentu, penghasilan pihak istri
yang bekerja di sektor perdagangan menjadi sangat penting.
3. Alasan Perempuan Nelayan Bekerja di Sektor
Perdagangan
Ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa
kaum perempuan nelayan memilih menekuni pekerjaan di
sektor perdagangan. Alasan yang diberikan perempuan yang
satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama. Satu orang
bisa lebih dari satu alasan, dan acapkali bersifat akumulatif.
Dari hasil wawancara
mendalam dengan para
informan perempuan pedagang ikan, ada beberapa alasan
yang mereka ungkapkan yang menyebabkan para perempuan
tersebut menekuni perdagangan ikan di tempat Pelelangan
Ikan di Brondong.
Pertama, karena alasan ekonomi atau tepatnya karena
responden merasa penghasilan yang diperoleh keluarga relatif
kurang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. Diakui responden, jika dibandingkan dengan
alasan yang lain, maka kebutuhan ekonomi rumah tangga
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
merupakan alasan utama yang menyebabkan banyak kaum
perempuan bekerja di sektor perdagangan ikan di pasar ikan
Brondong.
Menurut responden, menekuni sektor perdagangan
ikan di pasar ikan tidak saja mereka memperoleh penghasilan
tambahan atau sumber pendapatan untuk menyangga
ekonomi rumah tangga. Lebih dari itu, tidak kalah pentinya
adalah dapat diperolehnya sumber pendapatan yang relatif
teratur dan bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Jadi, tepat seperti apa yang dikatakan (Stoler,
1975: 29), bahwa kegiatan disektor perdagangan memang
memberikan peluang kerja yang cocok bagi kaum perempuan
untuk memperoleh pendapatan secara teratur.
Kedua, alasan lain yang menyebabkan perempuan
cenderung menekuni sektor perdagangan adalah berkaitan
dengan daya tarik sektor perdagangan ikan itu sendiri, karena
dalam perdagangan ikan itu tidak memerlukan seleksi seperti
pegawai yang sangat ketat seperti halnya bekerja di sektor
industri, karena tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan
maupun persyaratan ketrampilan yang tinggi bagi orang yang
ingin terlibat di dalamnya.
Ketiga, daya tarik lain sektor perdagangan bagi kaum
perempuan adalah berkaitan dengan masalah besar kecilnya
resiko usaha. Dibandingkan usaha perdagangan yang lain
seperti kredit atau berdagang konveksi ataupun pertanian yang
bayak tergantung pada irama musim yang diluar jangkauan
kendali manusia.
Keempat, hal lain yang menjadikan alasan perempuan
memilih bekerja di sektor perdagangan ikan dan bukan
pada sektor perdagangan lainnya adalah berkaitan dengan
pertimbangan-pertimbangan pribadi perempuan itu sendiri.
Kecenderungan perempuan untuk berperan dalam kegiatan
publik, tidak dapat dijelaskan dari segi ekonomi saja. Tetapi
juga harus dilihat dari aspek-aspek sosial apa juga yang
mempengaruhi keterlibatan kaum perempuan dalam sektor
perdagangan ikan di pasar ikan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
153
154
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
Kelima, alasan lainnya mereka menyenangi pekerjaan
sebagai pedagang ikan merupakan kebanggan bagi perempuan
yang terlibat di dalamnya. Di daerah pedesaan khususnya
di desa Brondong sosialisasi terhadap keluarga maupun
masyarakat bahwa sebagai pedagang perempuan mempunyai
status lebih tinggi dibandingkan dengan “nyenik” (yaitu
kegiatan menjual ikan yang dihasilkannya dari memilih ikan
dari para nelayan dan mereka mendapat bagian sendiri).
Keenam, alasan yang dilontarkan dua responden,
bahwa pekerjaan yang digelutinya, mereka berharap bisa
menjalankan ibadah haji bersama-sama dengan suaminya.
Hal ini dikarenakan pada kebiasaannya masyarakat Brondong
dan sekitarnya kalau yang bekerja hanya suami, maka yang
berangkat pertama adalah hanya suaminya saja. Hal ini
disebabkan uang yang ada hanya cukup untuk satu orang.
Dengan bekerjanya istri tersebut maka istri dapat ikut serta
dengan suami untuk melaksanakan ibadah haji.
Ketujuh, alasan yang sebagaimana dilontarkan oleh
Ibu Sundari bahwa perdagangan itu sendiri merupakan
tuntutan Rasulullah, karena rasulullah sendiri sebagai seorang
pedagang yang sukses.
Kedelapan, adanya keinginan dari salah satu responden
yang ingin sekali melunasi semua hutang-hutangnya,
selain sebagai tanggung jawab seseorang yang berhutang,
juga adana tanggung jawab antara seorang hamba dengan
Khaliknya di akhirat kelak. Dari sini tercermin adanya nilainilai pemahaman kepada syari’ah Islam yang cukup kental.
4. Posisi dan Status Perempuan Pedagang dalam
Keluarga
Tingkat keterlibatan kaum perempuan yang tinggi
dalam sektor perdagangan sesungguhnya bertolak belakang
dengan anggapan masyarakat tentang perempuan Jawa
(Irwan Abdullah, 1989) selama ini sudah menjadi kesepakatan
umum di kalangan masyarakat tradisional khususnya bahwa
kaum perempuan dipandang sebagai golongan masyarakat
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
yang lembut dan halus budi, sementara dunia perdagangan
tidak saja dipandang penuh tipu muslihat dan kecurangan,
akan tetapi juga dinilai rendah.
Suatu perspektif komparatif, masyarakat Jawa memiliki
sedikit gambaran mengenai tindakan yang membatasi dan
menghalangi kegiatan ekonomi kaum perempuan di manamana. Memang (dan dengan agak ironis yang seringkali
memberi sifat kewirausahaan kepada komunitas Islam yang
“taat”), pembatasan itu mejadi lebih kuat dalam varian budaya
santri (muslim ortodoks) Jawa (Mather, 1983 dalam Robert
W. Hefner, 2000).
Adapun dalam wawancara mendalam semua
perempuan nelayan yang berkecimpung dalam perdagangan
tidak satupun yang merasa risih mengeluti dunia perdagangan
dan bahkan sebaliknya melihat sektor tersebut perdagangan
sebagai alternatif lapangan kerja di luar sektor pertanian dan
sektor industri lainnya yang menguntungkan dan karenannya
mereka sangat antusias menekuninya.
Perempuan nelayan yang berkecimpung dalam sektor
perdagangan tidak saja memiliki daya tarik dari segi ekonomis,
namun juga mereka berharap memiliki daya tarik psikologis
dan sosial sebagaiamana diungkapkan di atas, karena hal itu
dapat meningkatkan martabat dan status kaum perempuan
di mata suami atau keluarga pada umumnya. Namun hal
tersebut berbeda dengan fakta yang ada dalam lapangan.
E.
Kesimpulan
Pada catatan akhir yang juga sebagai penutup ini
merupakan hasil dari penelitian di pasar ikan tepatnya di
desa Brondong kabupaten Lamongan bagian Utara tentang
etos kerja perempuan pedagang ikan dari keluarga nelayan
dengan pengambilan keputusan dalam keluarga. Dalam hal
ini sifanya studi kasus, dimana peneliti mengambil delapan
orang perempuan sebagai informan yang berprofesi sebagai
pedagang ikan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
155
156
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
Pada sisi lain, para perempuan dair keluarga nelayan
mayoritas mereka mempunyai penghailan sendiri dan tidak
tergantung pada penghasilan dari suaminya sebagai nelayan.
Tingkat etos kerja perempuan keluarga nelayan meningkat
dari tahun ke athaun, sehingga dari peranan dan keikutsertaan
perempuan dalam perekonomien keluarga diharapkan akan
mampu membantu ketika suaminya sedang tidak melaut,
namun pada kenyataannya penghasilan mereka tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan keluarga ketika suami mereka
tidak melaut, bahkan sehari-harinya penghasilan mereka
mampu membantu kebutuhan keluarga.
Dalam menunjang perekonomian keluarga, perempuan
dan laki-laki keluarga nelayan saling bekerja sama atau
membantu, sebagian besar perempuan ikut bertanggung
jawab dalam menopang perekonomian keluarga. Pekerjaan
lain yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk menambah
penghasilan yaitu dengan berdagang ikan.
Selain itu, tercermin juga adanya nilai-nilai
transenden pada diri mereka. Hal ini tercermin dalam etos
kerja mereka, bukti bahwa etos kerja mereka cukup bagus,
peningkatan ekonomi dan pemantapan keagamaan mereka.
Dengan peningkatan ekonomi, maka memungkinkan untuk
memenuhi keinginan mereka untuk membayar zakat, pergi
haji dan menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi,
juga untuk membayar hutang karena membayar hutang dalam
syari’ah Islam sendiri merupakan kewajiban seseorang sampai
meninggalpun akan menjadi tanggung jawab keluarganya
untuk melunasi hutang tersebut.
Namun untuk mencapai perekonomian dalam keluarga
yang cukup, maka diperlukan insentif. Oleh karenanya hasrat
untuk membayar zakat, pergi haji dan lainnya merupakan
kewajiban keagamaan adalah menjadi insentif moral, di
samping perintah untuk mencari rizki dan dinyatakannya
keterbukaan akses untuk memperoleh rezeki Allah itu sendiri
merupakan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi.
Dengan bekerja dan memperoleh penghasilan dari
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
hasil keringatnya sendiri, kaum perempuan bukan saja merasa
akan lebih dihargai, tetapi mereka juga merasa lebih memiliki
otonomi dalam mengelola keuangan rumah tangganya dalam
rangka memenuhi kebutuhan kecil-kecilan atau kebutuhan
pribadi perempuan itu sendiri.
Perempuan yang berkecimpung dalam sektor
perdagangan tidak saja memiliki daya tarik ekonomis, namun
juga mereka berharap memiliki daya tarik psikologis dan
sosial sebagimana diungkapkan di atas, karena hal itu dapat
meningkatkan martabat dan status perempuan di mata suami
atau keluarga pada umunya. Namun hal tersebut berbeda
dengan fakta yang ada dalam lapangan.
Perempuan yang tidak hanya berkutat pada urusan
domestik rumah tangga (domestic role), tetapi bekerja dan
memiliki penghasilan sendiri, akan memegang uang dan
memiliki otonomi atas hasil keringatnya sendiri. Lrbih dari
itu dengan bekerja sendiri maka idealnya hubungan antara
suami dan istri adalah horisontal sehingga ia juga akan merasa
dan memiliki posisi tawar menawar (bargaining position)
terhadap suami dan keluarganya.
Pada akhirnya analisa dalam penelitian ini dapat
membantu mengidentifikasikan situasi aktual relasi sosial
anata perempuan yang hidup pada lingkungan keluarga
nelayn dengan laki-laki sebagai suami dan keluarga. Begitu
pula dalam pembagian kerja sudah tidaklah sangat sexist
dan pada beberapa keluarga tertentu sangat egaliter. Tingkat
akses dan kontol perempuan sudah mengalami kemajuan,
meskipun pada beberapa tindakan laki-laki yang superior dan
bersifat patriarkhis masih terjadi. Namun di antara mereka
sudah tampak adanya ketergantungan antara satu dengan
yang lainnya dan saling mengisi peranan antara suami dengan
istri tetap terjadi pada para responden.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
157
158
PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN
Jurnal Studi Gender
Irzum Farihah
Daftar Pustaka
Abdullah, Irawan, 1989, Perempuan Bakul di Pedesaan Jawa, Yogyakarta :
Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Abdullah, Taufik, 1979, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi,
Yayasan Obor, Jakarta.
Alimandan, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda,
Terjemahan dari Ritzer, George, Sociology : A Multiple
Paradigm Science, Rajawali Press, Jakarta.
Asy’arie, Musa, 1997, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi
Umat, LESFI, Yogyakarta.
Greetz, Hildred, 1976, Indonesian Cultures and Communities, Alih Bahasa
Zainuddin, A. Rahman, Aneka Budaya dan Komunitas di
Indonesia, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial UI, Jakarta.
Hefner, robert W, 2000, Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam
Kapitalisme Asia Baru, Pustaka LP3ES, Jakarta.
Ihromi T.O, 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Lestari, Indra, 1990, “Pengambilan Keputusan dalam Keluarga”, dalam
Tapi Omas Ihromi, Para Ibu Yang Berperan Tunggal dan
Yang Berperan Ganda, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Uiversitas Indonesia, Jakarta.
Lorber, Judith, 1991, Social Construction of Gender, Sage Publication,
Newbury Park California.
Margaret L., Andersen, 1990, Thinking About Women, Sosiological and
Feminist Perspective, Macmillan Publissing Co. Inc, New
York.
Megawangi, Ratna, 1999, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Mizan.
Molo, Marcelius, 1992, Women’s Roles, Resources and Decision Making
in Rural Java: A case Study, Flinders University of South
Australia, Adelaide.
Moloeng, Lexy J, 1989, Penelitian Kualitatif, Remadja Karya, Bandung.
Sajogyo, Pudjiwati, 1983, Peranan Wanita dalam Pembangunan
Masyarakat Desa, Rajawali, Jakarta.
Spardley, James P., 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Suyanto, Bagong, 1996, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan, Aditya
Media, Yogyakarta.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
159
160
Jurnal Studi Gender
Riset
PENDIDIKAN PEREMPUAN
DI TIMUR TENGAH
Ahmad Falah
Dosen STAIN Kudus
Abstract: This paper discusses analytically Fatima
Mernissi thoughts corcerning gender issues with
education at womens in midlle east focused on Turky,
Yordan, Egypt, Marocco, Syiria, Iraq and Arab. Middle
eastern society was deeply fragmated and relatively
unintegrated, consisting of a large number of small social
groups thah were almost entirely autonomous and self
governing. In other word, the social pattern was marked
bay deep horizontal and vertical cleavages; the former
consisted of the general differentiation between elite
and mass, between man and women and etc. Falah tries
to find out not only what Fatima views the subjects, but
also why she differes in those issue from the mayority
of Islamic scholrs.
Keywords: women education, Midlle East Turky,
A. Pendahuluan
Perjalanan sejarah umat Islam menurut Ghufran
(Ghufran A. Masudi, 1999 : V) tidak terlepas dari orientasi
yang bersifat politik ( too Politically) dan orientasi Timur
Tengah (too Middle East Oriented). Hal ini mengakibatkan
kecenderungan kelemahan yang berdampak pada sejarah
Islam. Lebih jauh lagi citra Islam dipandang sebagai agama
warrior (agama perang), bukan sebagai agama rahmat,
karena orientasi politik merekonstruksi kehidupan elite
politik dan pola-pola perebutan kekuasaan, peperangan dan
pertumpahan darah, sehingga mengabaikan kesejarahan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
162
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
aspek-aspek kultural Islam seperti pendidikan, perekonomian
dan aspek lainnya. Sedangkan orientasi Timur Tengah
mereduksi pengetahuan kita dari perkembangan sejarah di
belahan dunia muslim lainnya, seolah-olah ia menjadi satusatunya model sejarah Islam yang tunggal yang pada akhirnya
menegaskan frame sejarah Islam yang sempit dan tidak
mengenal keberagamaan.
Salah satu isu kontemporer masyarakat muslim
di Timur Tengah yang paling rumit dan kompleks adalah
peranan perempuan. Persoalan perempuan dalam Islam
selalu aktual untuk dibahas, baik bagi kalangan muslim
maupun orientalis. Fenomena ini bukan saja mengakibatkan
umat Islam semakin menyadari pentingnya memahami dan
menghidupkan kembali wawasan Islam tentang perempuan,
namun juga diakibatkan adanya benturan budaya Islam
dengan budaya modern Barat.
Perempuan dalam Islam dipahami secara stereotip
terbelakang, dan mengisolasikan diri dengan penampilan
fisik yang khas. Tampaknya juga masih merupakan realitas
empiris bahwa praktik-praktik “anti emansipasi” terhadap
perempuan masih jauh dibanding laki-laki. Disamping itu
agaknya masih ada anggapan sementara masyarakat bahwa
perempuan itu hanyalah “konco wingking” (teman belakang)
yang tahunya hanya dapur, kasur dan sumur. Ada pula yang
menganggap bahwa perempuan itu yang penting bisa macak
(berdandan), masak dan manak (melahirkan). Seolah-olah
perempuan dilahirkan hanya untuk melahirkan seperti mesin
photo copy, yang hanya sekedar menjadi mesin reproduksi
manusia. Bahkan yang lebih parah lagi kemampuan reproduksi
ini kadang hanya dimanfaatkan sebagai alat kebutuhan
kebutuhan biologis (baca : seks) bagi kaum lelaki. Namun
anehnya, posisi yang kurang menguntungkan, subordinat di
bawah laki-laki dan sebagai konsekunsinya perempuan harus
tunduk kepada laki-laki, seakan-akan mendapat legitimasi
dari doktrin-doktrin agama, disamping oleh adanya system
patriarkhi yang sedemikian kuat melekat pada masyarakat
kita. Sebagai implikasinya, perempuan berada dalam posisi
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
marginal dan subordinat kaum laki-laki. Oleh sebab itu, wajar
jika kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah
perempuan secara kodratnya memang benar-benar di bawah
laki-laki atau hanya merupakan socially construction lewat
proses sosio historis yangnpanjang akibat kuatnya system
patriarkhi sehingga perempuan tidak mampu bersaing
secara sehat dengan kaum laki-laki. Di Timur tengah
pada semua level kehidupan – kultural, legal, sosial, dan
istitusional – sistem sosial dirancang untuk mengontrol dan
mensubordinasi perempuan, memarginalisasikan mereka
secara ekonomi
dan mengkonseptualisasikan
mereka
sebagai makhluk di bawah laki-laki. Wacana semacam ini
paling tidak terus bertahan sampai akhir abad ke-19 untuk
beberapa kawasan dan sampai sekarang dibagian kawasan
lain. (Nur Said, 2005 : vi). Masyarakat khususnya perempuan
di Timur Tengah berupaya menciptakan kesadaran untuk
mengubah citra negatif mereka. Salah satunya melalui
pendidikan. Fatimah Mernissi salah seorang perempuan
Timur Tengah kelahiran Marokko, ia perempuan Islam yang
mendalami bidang sosiologi, berasal dari keluarga tradisional
tetapi memperoleh pendidikan modern. Dalam kajiannya ia
mulai mempertanyakan hal-hal yang diajarkan kepadanya
mengenai status dan tingkah laku yang layak bagi kaum
perempuan muslim. Ia mempelajari kitab hadits, tafsir dan
sirah untu mencari asal usul dari yang disebutnya misogini,
yaitu kebencian terhadap perempuan dalam tradisi Islam.
(Martin Van Bruinessen, 1993 : 168).
Reaksi atas ketimpangan dan ketidak adilan yang
dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkhis itulah
menyebabkan munculnya gerakan feminisme di kalangan
perempuan termasuk kalangan feminis perempuan, seperti
Fatima Mernissi. Fatima ingin membuktikan bahwa pendidikan
merupakan faktor kunci yang menentukan untuk mendorong
rasionalisasi dalam aktifitas transisi untuk memerangi buta
huruf, yang menurutnya salah satu kelemahan yang paling
memalukan bagi masyarakat Arab. (Fatima Mernissi, 1999
: 116-117).
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
163
164
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas
tentang pendidikan perempuan di Timur Tengah tersebut
melalui permasalahan sebagai berikut: Bagaimana eksistensi
dan perkembangan dunia pendidikan bagi perempuan di
Timur Tengah, konteksnya dengan kehidupan sosio kultural
mereka.
B. Sosio Kultural dan Pendidikan Perempuan
Timur Tengah
Tulisan ini berbicara tentang perempuan Islam di Timur
Tengah. Kawasan atau wilayah Timur Tengah menurut Peretz
adalah wilayah yang meliputi Turki, Iran, Israel, Libanon,
Irak, Yordania, Syiria, Mesir, dan kerajaan-kerajaan yang ada
di kawasan Teluk Persia. Dalam hal ini wilayah Turki dan Iran
yang berbudaya Persia tidak dimasukkan di kawasan yang
berbudaya Arab, karena kedua wilayah tersebut memiliki ciri
khas kebudayaan mereka sendiri. (Don Peretz, 1983 : 3).
Kawasan budaya Arab dengan demikian terdiri dari
Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang disebut terakhir ini
meliputi Marokko, Aljazair, Tunisia, dan Libya, meskipun
Mesir terletak di Afrika Utara, tetapi sejak dahulu negeri
ini tidak mau dimasukkan ke wilayah Afrika Utara, karena
mempunyai perkembangan budaya dan peradaban sendiri.
Fatima Mernissi sebagai seorang akademisi telah sekian
lama merebut perhatian para aktivis perempuan dan
peminat gender melalui buku-bukunya seperti Beyond
tehe Veil: Male-Female Dynamic in Modern Moslem
Society dan seabrek buku lainnya, sedikit atau banyak kita
dapat menarik benang merah untaian pemikiran Mernissi
sekitar feminisme: yakni betapa gigihnya dia menilisik
kekurangan-kekurangan yang ada pada pemerintah Arabyang mnurutnya- bukanlah instriksik karena doktrin agama.
Namun, lebih karena agama itu telah dimanipulasi oleh
orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri.
Mernissi rela memberikan sebagian bresar usianya untuk
melakukan penggalian arkeologis dengan membuka-buka
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
teks agama dan mengakrabi ruang-ruang perpustakaan.
Dengan maksud tentu saja, untuk membuktikan hipotesis dia
tentang intervensi budaya patriarkhi dalam teks-teks sacral
yang bersifat misoginis. Tapi satu hal yang agak berbeda
dalam salah satu bukunya adalah “keengganannya” untuk
masuk lebih dalam lagi pada area debat kusir teologis tentang
kedududukan perempuan dalam Islam. Persoalan feminisme
dalam Islam tidaklah harus melalui serius mengagendakan
perlu tiudaknya penghapusan poligami, kesetaraan harta
waris, hijab dan hal-hal lain yang bisa menegakkan bulu alis
kaum agamawan konservatif. Mernissi ingin menampilkan
area of expertnya itu dalam tulisan yang ringan-ringan saja
alias mudah dicerna. (www.mernissi.net.islamlib.com/id/
artikel/konsep-hare).
Fatima Mernissi dalam salah satu bukunya women
and Islam beranggapan bahwa, keterbelakangan perempuan
Islam merupakan penyelewengan sejarah yang dilakukan para
penguasa Islam sepeninggal Rasulullah Saw. Revolusi sosial
yang telah dibangun nabi Muhammad, termasuk dalam soal
perempuan, tidak diteruskan lagi. Sejarah malah menunjukkan
bahwa yang muncul kemudian adalah kembalinya nilai-nilai
pra Islam ke dalam kehidupan umat. (Fatima Mernissi, 1999
: 73). Menurutnya, marginalisasi perempuan dalam sejarah
Islam tercipta karena dua hal. Pertama, semangat tribalisme
Arab yang tumbuh kembali setelah nabi Muhammad wafat.
Kedua, pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan
perempuan lepas dari kaitan historisnya. Kedua proses ini
bergandengan bersama membentuk citra perempuan Islam
seperti yang sekarang ini di kenal.
Struktur keluarga muslim, khususnya
peranan
perempuan serta konsep tentang identitas perempuan
Timur Tengah pramodern hingga modern sangat sedikit
yang diketahui. Dalam ideologi dan teori sampai pada
tingkat prilaku yang lebih luas, masyarakat Timur Tengah
membentuk perbedaan peranan yang sangat tajam antara
laki-laki dan perempuan. Wilayah publik hampir senantiasa
diperuntukkan bagi laki-laki, keluarga dan rumah tangga
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
165
166
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
(domestic) merupakan wilayah perempuan. Pada umumnya
perempuan dipisahkan dari laki-laki dalam pergaulan di
luar keluarga mereka. Masyarakat pro-modern juga diwarnai
dominasi laki-laki atas perempuan dan penghormatan
perempuan terhadap otoritas laki-laki. Lebih jauh lagi
keluarga dan nasab perempuan tunduk terhadap otoritas
ayah, saudara laki-laki, suami, dan kerabat laki-laki suami.
Mencermati fenomena sosial dan kultural di atas,
banyak perempuan muslimah yang berusaha mengkaji kembali
pandangan Islam dan meneliti mana yang syariat dan mana
pula yang adat (kultur). Sebagai gambaran, Nurcholis Madjid
dalam makalahnya yang bertajuk Wanita Islam (Stereotip
Barat dan Kungkungan Adat), menampilkan contoh sebuah
serial buku tentang wanita yang ditulis oleh para tokoh
wanita Islam di bawah pimpinan Fatimah Zahra ‘Azrawil.
Salah satu buku itu berjudul al-Mar’ah bayna al-Tsaqafi
wa al-Qudsi (wanita antara cultural dan sacral), ditulis oleh
Zainab al-Ma’adi. Buku ini adalah bantuan beasarjana Timur
Tengah dari kantor kependudukan Kairo, dan ditulis dengan
dilengkapi data empirik dari keadaan perempuan di Maroko.
Dalam buku itu juga dibahas pandangan Kitab suci dan
Sunnah Nabi tentang perempuan, kemudian dibandingkan
dengan pandangan kefiqihan yang menurut penulisnya lebih
mencerminkan segi kultural (yakni adat) masyarakat dari pada
segi sakral (ajaran agama). Selanjutnya dia berkesimpulan
bahwa seluruh ide tentang perempuan dalam al-Qur’an
dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan
dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan pria
melalui proses pembebasannya dari kungkungan adat
dan kebudayaan serta kelembagaan sosial Arab jahiliyah.
(Nurcholis Madjid, 1999).
Pendapat Sadja Nazlee dalam bukunya women in
Islam , signifikan dengan proposisi di atas. Dia berasumsi
bahwa diantara laki-laki dan perempuan memiliki
kemampuan untuk belajar dan mengerti. Sadja mengutip
pendapat Nawal El Sadawi, yang secara tajam beragumentasi
, bahwa nampaknya hanya laki-laki yang hanya memiliki,
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
dibandingkan perempuan sehingga menempati posisi such
as ruler, legislator, governor, etc. (Sadja Nazlee, 1996 :
60).
Akhir abad ke 19 dan abad ke 20 membawa banyak
perubahan penting sehubungan dengan sejarah kedudukan
perempuan. Semenjak kalangan intelektual alumni Barat
melancarkan pembaharuan sosial dan politik, orang-orang
yang lebih radikal mengusulkan program emansipasi wanita
dan integrasi mereka di dalam masyarakat dalam kedudukan
yang sepenuhnya sama dengan laki-laki. Mereka mengaskan
bahwasannya pendidikan perempuan sangat diperlukan
untuk membebaskan mereka dari sikap malas serta
mempersiapkan mereka untuk mencari pekerjaan. Dengan
mengenyam pendidikan, perempuan juga bisa meningkatkan
dan membina keluarga yang harmonis dan mengasuh anak.
Mereka berpendapat bahwa, hanya melalui pendidikan
modern, perempuan mampu menjalankan peran-peran
keluarga sebagai ibu dan pendidik generasi modern dan
berimplikasi untuk menciptakan Negara nasional modern.
Sadja Nazlee mengutip sabda nabi Muhammad Saw. yang
mempersonifikasikan perempuan sebagai “The mother is the
school,” it is incumbent on women to have a full intellectual
life and to transmit that to their children. (Sadja Nazlee, 1996
: 60).
Begitu urgennya pendidikan bagi perempuan terbukti
dengan hasil sebuah survei dilakukan di Maroko pada awal
tahun 1980 an yang menunjukkan hubungan kausalitas
antara tingginya pendidikan yang diperoleh perempuan
dengan kesadaran
menjalankan keluarga berencana.
Meskipun mempunyai sumber daya dan dinamisme, Maroko
termasuk negara-negara Arab yang mempunyai angka buta
huruf tertinggi di kalangan kaum perempuannya. Angka
buta huruf perempuan Maroko sebanyak 78,3% dan angka
ini terlalu jauh berbeda dengan Aljazair 63,1%. Angka untuk
Mesir adalah 79,8%, dan bekas Republik Rakyat Yaman Utara
angkanya 74,8%, sementara angka Yaman Selatan adalah
96,6%. Satu-satunya Negara Islam yang melaksanakan tugas
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
167
168
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
perintisan dalam bidang ini adalah Irak dengan angka 12,5%,
dan ini Irak dapat digolongkan ke dalam Negara-negara yang
memberikan kaum wanita akses pada pendidikan secara
normal. (Fatima Mernissi, 1999 : 118).
Perempuan yang mempunyai
akses pendidikan
akan berusaha memasuki bidang-bidang dimana mereka
mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk bersaing,
profesi bebas serta pelayanan masyarakat. Survei terhadap
pola pekerjaan perempuan di Maroko mengungkapkan
bahwa, kaum perempuan yang bekerja pada bidang keilmuan
dan profesi bebas lainnya berjumlah 29, 9% sedangkan pada
pelayanan masyarakat sebesar 27,7%.
Kondisi ini memicu berbagai pendapat yang dikelola
badan-bada internasional yang menuduh dunia Arab sebagai
salah satu wilayah yang menjaga kaum wanitanya agar tetap
bodoh, misalnya dalam telaah perbandingan yang dihasilkan
oleh Population Crisis Committee. Dalam telaah itu, 99 negara
secara ketat dievaluasi dalam kaitan dengan kedudukan
kaum perempuan dan dinilai berdasarkan 20 indikator yang
dirancang untuk mengukur kesejahteraan kaum perempuan.
Telaah itu mencakup 92% populasi perempuan di dunia dan
menghasilkan klasifikasi berdasarkan indikator-indikator
kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan faktor-faktor
sosial lainnya, terutama yang berkaitan dengan peran serta
perempuan dalam pengelolaan masyarakat. (Fatima Mernissi:
119).
Fatima sangat prihatin atas kenyataan yang dialami
perempuan di wilayah Timur Tengah, sebagaimana analisisnya
bahwa untuk menciptakan kesejahteraan perempuan salah
satunya melalui akses pendidikan. Menurutnya mitra yang
paling baik untuk merealisasikan hal semacam itu adalah
kaum perempuan terdidik. Pada kenyataannya hingga
tahun 1990 an tidak juga dinyatakan sebagai dasawarsa
penghapusan buta huruf di kalangan perempuaan Maroko
dan negara-negara Arab lainnya.
Peran serta kaum perempuan di Timur Tengah untuk
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
mengikuti pendidikan sebenarnya sudah dirintis pada awal
tahun 1990 an. Namun kesempatan bagi mereka masih
sangat rendah. Di Negara Iran malah lebih ekspansif, terbukti
dengan komitmen Shah reza yang berusaha memperbaiki
posisi wanita. Moment ini terjadi di awal tahun 1930-an,
dimana Reza mencoba untuk merombak tradisi yang
memposisikan perempuan sebagai sosok yang lemah dan
terisolir. Selanjutnya Reza berupaya mengadakan serangkaian
perubahan hukum perkawinan dan perceraian, hak-hak
milik perempuan diperbaharui dan diperkuat, dan untuk
poligami dipersulit. Sekolah-sekolah merupakan instrument
penting dalam menjalankan emansipasi perempuan Iran.
Pada tahun 1935 pertama kali pendidikan gabungan dibuka
dan tahun berikutnya kaum perempuan diakui kali pertama
mengenyam pendidikan tinggi di institute. Semua sekolah
memberlakukan murid perempuan dan gurunya mengenakan
pakaian model barat, aktifitas pramuka putri digalakkan,
meskpiun posisi perempuan pada kondisi dan sosial sebagian
besar tetap tidak berubah sampai diakhir kekuasaan Reza.
(Joseph S.Szylicwicz, 1973 : 245).
Kesadaran kaum perempuan Iran menatap masa
depan berangsur-angsur muncul, terbukti pendaftaran anak
perempuan pada level sekolah dasar 128.000 di tingkat I
(1949) meskipun tinggal 30 ribu sampai di level ke VI. Untuk
level sekolah menengah hamper 20 ribu murid pada tingkat I
dan tinggal 2000 pada tahun ke VI. (Joseph, 1973 : 239).
Di negara Mesir, pendidikan modern termasuk
bersamaan dengan kedatangan Napoleon di awal abad ke -19.
Ulama menentang keras pembaharuan pendidikan tradisional
ke modern, sampai pada akhirnya berdirilah Universitas
Nasional pada tahun 1908 yang kemudian diubah menjadi
Universitas Negeri pada tahun 1925. Di masa itu terjadi
dualisme system pendidikan yaitu sekolah agama dengan
coraknya yang tradisional, dan sekolah modern yang bergaya
Eropa. Sekolah tradisional berada di bawah kekuasaan
ulama, sedangkan sekolah modern dikuasai oleh pemerintah
dan orang-orang Eropa. (Albert Haurani, 1993 : 139).
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
169
170
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
Mona Abaza menceritakan dalam bukunya Pendidikan
Islam dan Pergeseran Orientasi bahwa sebelum modernisasi
pendidikan yang dicetuskan Mohammed Ali di Mesir, kaum
perempuan telah menjalani pendidikan dan pengajaran.
Wilayah kajian mereka masih terbatas pengajaran di
bidang agama, seperti penghafalan al-Qur’an, begitu pula
ada Syeikhah yang mengajarkan shalat pada gadis-gadis
dan membaca juz-juz tertentu dari al-Qur’an. Perempuan
Mesir pada saat itu ada yang telah menjabat fiqhiyah (ahli
fiqh perempuan) professional. Sering pula terjadi kaum
perempuan ataupun para gadis mendengarkan perkuliahan
di rumah-rumah Amir (pangeran). Mereka juga diterima
belajar di Kuttab (sekolah dasar al-Qur’an), meskipun tidak
banyak yang mengikutinya. (Mona Abaza, tt, :152). Besarnya
perhatian terhadap pendidikan kaum perempuan, Rektor
al-Azhar ketika mengunjungi Indonesia pada tahun 1955,
terinspirasi atas ide Rahmah el-Yunusiyah dengan Perguruan
Diniyah Putri di Padang Panjang dan selanjutnya membentuk
Perguruan Tinggi Gadis. Sebagai hadiah atas usahanya
tersebut, Rektor al-Azhar memberikan gelar kehormatan
Syaikhah, kepada Rahmah di Kairo sebagai perempuan
pertama dalam sejarah Universitas al-Azhar yang mendapat
gelar tersebut. (Mona Abaza, 158).
Sesungguhnya kesadaran memberdayakan perempuan
Mesir tidak hanya disuarakan oleh kaumnya sendiri. Pada
tahun 1899, Qasim Amin (1865-1908) menerbitkan bukunya
yang sangat berpengaruh Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi
Perempuan). Dalam buku ini dia memperjuangkan pendidikan
perempuan sebagai suatu hak pemberian Tuhan. Pada tahun
1923, Huda Sha’rawi (istri tuan tanah besar yang keturunan
ningrat) mendirikan Persatuan Feminis Mesir (Feminist Union
in Egypt) untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum
perempuan, reformasi undang-undang yang berkaitan dengan
perkawinan dan perceraian. Dia juga menyuarakan hak suara
bagi perempuan. Sejumlah sekolah bagi anak perempuan
didirikan, dan pada tahun 1928 perempuan mendapatkan
kesempatan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi.
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
Pada sisi lain, kelompok-kelompok dari garis fundamentalis
juga bermunculan, diantaranya Zainab al-Ghazali yang
mendirikan cabang The Muslim Brotherhood’s Branch for
Women : The Muslim Women’s Association, pada tahun 1936.
Program ini bersifat sangat politis dan digambarkannya
sebagai misi untuk mengenalkan perempuan Muslim kepada
agamanya. Dan tokoh feminisme Mesir berikutnya yang
sangat dikenal adalah Nawal el Saadawi 9lahir 1931). (Nelly
Van Doorn Harder, 1999 : 26).
Di Turki selama perang dunia I, pendidikan merupakan
pusat perhatian
nasional, perempuan harus bekerja di
pabrik-pabrik, perbankan, jasa pos, kantor pamongpraja,
rumah sakit, dan pengalaman mereka tersebut membuka
jalan bagi reformasi selanjutnya. Universitas Istambul
menyelenggarakan pendidikan gabungan pada tahun 1921;
perempuan diberi hak-hak hukum yang sama dengan hakhak perempuan di Eropa dengan mengadopsi Kitab Hukum
Swiss pada tahun 1926. Prosentase perempuan Turki yang
terlibat dalam pekerjaan cukup tinggi serta mendapatkan
pekerjaan professional. Secara keseluruhan masyarakat Turki
masih diliputi prasangka yang kuat atas superioritas lakilaki.
Sumbangsih pendidikan bagi kaum perempuan
di Timur Tengah disertai peran media massa telah
menumbuhkan nilai-nilai , cita rasa, dan model baru dalam
hal pengaruh sosio kultural. Dan yang lebih penting adalah
menumbuhkan kesadaran akan pola kehidupan Barat. Mereka
mulai menghargai otonomi individu, kehendak memilih
pasangan perkawinan dan rumah tangga yang iondependen.
Terjadinya
perubahan-perubahan tersebut pada
umumnya hanya bergulir di kalangan kaum perempuan
kelompok menengah dan atas pada masyarakat perkotaan,
sementara pada kaum perempuan di pedesaan kurang
merasakan perubahan dalam sosio kultural itu. Akibat ada
pengaruh dari dunia pendidikan kaum perempuan itu
membawa dampak perubahan yang aktual pula pada tatanan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
171
172
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
kehidupan sosio lainnya, terutama bidang hukum, keluarga,
sosial bahkan dalam bidang pendidikan sendiri sangatlah
beragam.
Di beberapa Negara seperti Sudan, Iraq, dan Mesir
proporsi pelajar perempuan mendominasi jenjang posisi pada
sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum lakilaki. Meski demikian jumlah kaum perempuan yang sekolah
tersebut, prosentasenya sangat kecil bila dibandingkan dari
komposisi secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan
yang ada. (Ira M.Lapidus, 1999 : 539).
Di Negara Yordania, pendidikan perempuan merupakan
faktor dominant untuk mengindikasikan status mereka di
tengah masyarakat. Kaum perempuan memiliki akses untuk
mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka
mempunyai andil dalam mengambil kebijaksanaan ataupun
peraturan-peraturan di dalam Negara. Disamping itu, sama
halnya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya di
daerah pinggiran, pendidikan bagi perempuan itu dianggap
barang yang luxury. (mahal).
Di musim panen, kaum perempuan dibutuhkan
tenaganya untuk membantu keluarga sehingga mereka
beranggapan bahwa pendidikan itu not really important.
Mereka dipersiapkan oleh keluarganya untuk mendapatkan
good husbands and makes them better homemakers and
mother.
Kondisi ini berbeda untuk perempuan urban, meskipun
problema buta aksara masih mendera kaum perempuan
– dari data tahun 1990 berusia 15 tahun keatas ada 28%,
yang mengalami kamajuan bila dibandingkan pada tahun
1961 mencapai 84, 8 % dan kerajaan yordania menyebutnya
sebagai problema utama. Sejak tahun 1952 pemerintah
kerajaan Yordania memberlakukan peraturan wajib belajar
sembilan tahun untuk pendidikan dasar dan menengah.
Di negara ini pendidikan untuk anak perempuan
sepenuhnya diserahkan pada keputusan sang ayah. Ada
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
suatu daerah yang tidak menerima anak perempuan
bedrsekolah pada tingkatan tertentu, sedangkan untuk hijrah
ke daerah lain tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini
bisa disebabkan masalah sosial ataupun finansial (travel
cost). Bila dihadapkan pada dua masalah ini, mereka lebih
cenderung mensupport anak laki-laki untuk sekolah, karena
pendidikan itu menurut mereka costlier. Pada tingkatan
kedua (menengah) pendidikan tidak menjadi sesuatu yang
diwajibkan , dan perempuan yang mendaftar di sekolah turun
tajam, terutama daerah perdesaan.
Di Yordania ada dua perguruan tinggi yaitu : Jordan
University yang didirikan pada tahun 1962, dan Yarmuk
University tahun 1976. Meskipun ada perguruan tinggi ,
kebanyakan anak laki-laki sekolah ke luar negeri, sedangkan
anak perempuan yang kuliah pada perguruan tinggi tersebut
dari tahun ketahun meningkat naik, yaitu: 32% di tahun 1972,
38% di tahun 1978, dan 40% tahun 1988. Kerajaan Yordania
mendapatkan penghargaan atas perannya memfokuskan
pendidikan bagi perempuan dan menekan angka buta aksara
di kalangan mereka. (Laurie A.Brand, 1998 : 112).
Ekspansi kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan
di negara Oman sudah dimulai sejak tahun 1970. Pendidikan
menurut persepsi perempuan Oman lebih penting bila
dibandingkan dengan bekerja, karena akan merubah posisi
dan persepsi perempuan itu sendiri. Kemajuan pesat di
bidang pendidikan mulai tahun 1970, ketika Sultan Qaboos
berkuasa hanya ada tiga pendidikan dasar di Negara itu.
Pemerintah menghabiskan anggaran pendidikan sebanyak
11,4% dari total anggaran negara, pada tahun 1991. Meskipun
pendidikan belum ditetapkan sebagai keajiban, namun atensi
masyarakat sangat positif. Pendidikan dasar ditentukan
selama enam tahun, kemudian pendidikan dibagi dua tahap,
yaitu pendidikan pra-lanjutan dan pendidikan menengah.
Sistem pendidikan tidak menggabungkan anak laki-laki dan
perempuan. Dari tahun ketahun sampai tahun 1990, animo
masyarakat menyekolahkan anak-anak mereka di atas angka
80%, baik tingkat dasar, pra-lanjutan dan lanjutan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
173
174
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
Pada tahun 1985, Negara Oman mendirikan perguruan
tinggi yang mereka namakan Sultan Qaboos University.
Mereka yang diterima disini berdasarkan kemampuan dasar
akademik (grade point average). Di tahun 1990, 47% dari3.021
jumlah mahasiswa, adalah perempuan (1.609 laki-laki, 1412
perempuan). Pada masyarakat tradisonal Oman, pendidikan
merupakan salah satu ekspresi yang sesuai bagi perempuan,
karena pada akhirnya dapat bermanfaat bagi keluarga. Selain
itu mereka enggan mengirim anak perempuannya untuk
pendidikan ke luar negeri, karena ketakutan mereka terhadap
pengaruh budaya barat. Apabila keluar, pilihan tertuju pada
pusat Gulf konservatif. Perempuan Oman pada umumnya
lebih menyukai bidang studi yang bernuansa feminism, seperti
kedokteran, studi Islam dan eksak. Mereka menganggap
bidang tersebut sesuai dan memudahkan mereka untuk
mendapatkan pekerjaan. (Carol J.Riphhenburg, 1998 :156).
Negara Bahrain di awal tahun 1980 – an mendirikan
universitas nasional Bahrain (The National University
of Bahrain). Perempuan Bahrain ternyata lebih banyak
dibandingkan laki-laki yang mengikuti perkuliahan di sana.
May seikaly mengungkapkan bahwa perempuan Bahrain
ambisius dan bekerja keras, tidak layaknya mahasiswa
yang laki-laki, mereka biasanya terpilih sebagai the top
performing. Sebagian besar mahasiswa di Bahrain berasal
dari komunitas tradisional dan dari luar kota. Bagi mereka,
perguruan tinggi merupakan forum keterbukaan, pendidikan
dan menumbuhkan kesadaran politik. Sejak dua belas tahun
terakhir, 95 % mahasiswa perempuan Bahrain mengenakan
kerudung (veil). (May Seikaly, 1998 : 181).
C. Ekses Pendidikan Perempuan di Timur Tengah
Posisi perempuan di Negara Timur Tengah memang
sungguh dilematis. Disatu sisi, meningkatnya kesadaran
mereka terhadap pendidikan, ternyata juga mendapatkan
respon yang kurang menyenangkan. Fatima dan Rifaat Hasan
menyampaikan bahwa, jika pada beberapa dekade yang
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
lampau umumnya perempuan menikah sebelum berusia 20
tahun, sekarang prosentasenya di beberapa Negara Arab,
menurun. Gambaran tentang perempuan muda yang tidak
menikah atau menunda pernikahan, benar-benar merupakan
hal baru bagi dunia Islam. Konsep yang berkaitan dengan
perempuan dan menstruasi selalu dikaitkan dengan fitnah
(kekacauan) di dalam masyarakat. (Fatima Mernissi-Riffat
Hasan, 2000 : 272). Dan tertundanya usia perkawinan telah
memaksa perempuan secara pragmatis menoleh bidang
pendidikan sebagai sarana aktualisasi diri. Banyak masyarakat
yang masih meragukan pendidikan perempuan, karena akan
menganggu pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mengasuh
anak bahkan ia akan meruntuhkan moral perempuan dan
mengganggu kesempatan mereka untuk membina keluarga
secara baik.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, maka dapat dikatakan
bahwa kegelisahan Fatima Mernissi terhadap diskriminasi
perempuan, jelas tidak lepas dari kondisi sosio kultural
relegius bahkan politik dimana Fatima Mernissi tinggal.
Apa yang diinginkan oleh Fatima Mernissi sebagai salah
satu perempuan Timur Tengah yang membela hak-hak
perempuan adalah dalam rangka membebaskan kaum
perempuan dari keterkungkungan tradisi patriarkhi yang
bertopeng dibalik doktrin-doktrin teologis dan agama lewat
pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, membrantas
buta aksara, dan menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak terpinggirkan dalam arti posisi yang sejajar dengan lakilaki.
Upaya kaum perempuan
Timur Tengah untuk
mengaktulisasikan dirinya
melalui pendidikan,
telah
menggeser paradigma lama yang didominasi dari adat dan
kultur setempat. Mereka dewasa ini telah merambah wilayah
publik, meskipun dipihak konservatif fundamentalis tidak
menginginkan hal ini terjadi dengan menampilkan dalih-dalih
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
175
176
PENDIDIKAN
PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH
yang seolah-olah berasal dari al-Qur’an ataupun kebutuhan
mempertahankan pada tatanan sosial politik tertentu yang
menguntungkan pihak penguasa status quo.
Kesimpulan umum yang dapat ditarik mengenai
pandangan-pandangan Fatima Mernissi untuk pemberdayaan
pendidikan perempuan
bahwa Islam (baca al-Qur’an)
sesungguhnya sangat apresiasif dan tidak diskriminatif
terhadap perempuan. Al-Qur’an sesungguhnya mendudukkan
posisi perempuan setara dengan laki-laki di hadapan Allah.
Karena keduanya diciptakan dari jenis yang sama dan yang
membedakan antara mereka hanyalah taqwanya.
Adanya anggapan bahwa Islam ini tampak diskriminatif
atau bahkan misogenis terhadap perempuan disebabkan
oleh asumsi-asumsi teologis yang keliru. Sebab oleh adanya
penafsiran-penafsiran yang bias patriarkhi dan juga oleh
pengaruh-pengaruh tradisi Yuhudi-Kristen yang masuk
lewat hadits-hadits yang dikategorikan sebagai hadits berbau
Isra’illiyat. Waallahu A’lamu bi as Sawab.
Jurnal Studi Gender
Ahmad Falah
Daftar Pustaka
Albert Hourani, Arabic Thought the Libedral Age 1798-1939, Cambridge :
Cambridge University Press, 1993
Carol J. Riphenburg, Changing Gender Relations and Development Process
in Oman, dalam Vyone Yozbeck haddad, Islam, Gender, and
Social Change, Oxford University Press, 1998.
Fatima Mernissi, Women’s Rebellion and Islamic Memory, Terj. , Bandung
: Mizan, 1999.
Fatima Mernissi-Riffat Hasan, Setara dihadapan Allah, Yogyakarta :
LSPPA, 2000.
Hasyim
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Press,
1999.
Joseph S. Szyliowich, Education and Modernization in the Midlle Est, New
York: Cornell University Press, 1973
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan
Kitab Kuning, dalam Lie. M. Marcoes Natsir, Wanita Islam
dalam Kajiant Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : INIS,
1993.
May Seikaly, Women and Religion in Bahrain an Eemerging Identity dalam
Yvonne Yozbeck Haddad, Islam, Gender, and Social Cahnge,
New York: Oxford University Press, 1998.
(www.mernissi.net.islamlib.com/id/artikel/konsep-hare).
Mona Abaza, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi Studi Kasus
Alumni al-Azhar, Jakarta: LP3ES.
Sadja Nazlee, Women in Islam, London : Ta-Ha Publisher Ltd, 1996
Syafiq Hasyim (Ed), Menakar Harga Perempuan, Bandung : Mizan, 1999.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
177
178
Jurnal Studi Gender
Bedah Buku
Judul buku : Orientasi Politik Perempuan
Marginal
Penulis
: Siti Malaiha Dewi
Halaman
: 126 +xxii
Penerbit
: CV. Brillian Media Utama,
2009
Pengantar : Siti Musdah Mulia
KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA
Siti Mu’arifah*)
Buku Orientasi Politik Perempuan Marginal karya
Siti Malaiha Dewi merupakan hasil pergulatan pemikiran
penulisnya tentang politik dan perempuan dengan fakta di
lapangan, dimana penulisnya sudah lama malang melintang
di dunia aktivis, mulai dari IPPNU, PMII, JPPR kemudian
LSM yang begitu banyak diikuti semakin mempertajam pisau
analisa dalam melihat bagaimana kehidupan dan orientasi
politik para perempuan yang marginal.
Orientasi politik disini adalah bagaimana pandangan
mereka tentang pemilu, baik pemilu kepala desa , presiden
sampai pemilu legislatif dan kampanye-kampanye yang
dilakukan oleh para calon wakil rakyat, termasuk presiden
siapa yang akan dipilih. Di buku ini digambarkan secara nyata
profil kehidupan perempuan marginal, pekerjaan, status,
keaktifan dalam organisasi di masyarakat dengan tutur bahasa
langsung sehingga tampak kejujuran dan kelugasan mereka.
Perempuan marginal disini
adalah perempuan
yang secara sosial terpinggirkan seperti penjual kue, buruh
pabrik rokok, buruh tani, tukang parkir, dalang,pengemis,
*) Peresensi buku adalah Staf Pengajar di SMA 1 Manyar, Gresik,
sedang menempuh Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Malang Jurusan Sosiologi Politik.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
180
KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA
perempuan samin sampai bu nyai yang ada di pesantren. Dan
di buku ini dikupas tuntas bagaimana sepak terjang politikus
yang sedang bermain dan bersinggungan dengan masyarakat
kelas bawah(grass root)terutama perempuan.
Memang banyak buku –buku yang mengupas masalah
politik dan perempuan tapi jarang sekali buku politik yang
menggunakan responden perempuan marginal. Buku-buku
perempuan selalu diarahkan pada pemberdayaan perempuan
itu sendiri yang terkadang selalu terjebak dalam taraf wacana.
Sementara pada tataran praktis banyak yang masih bias
gender, baik itu karena pengaruh sistem di tempat kerja,
kultur masyarakat termasuk pola relasi dalam keluarga.Tapi
di buku ini para perempuan begitu qona’ahnya menerima
nasib hidup dan menjalaninya dengan wajar, bagi mereka
hidup adalah perjuangan dan perjuangan bukanlah persoalan
laki-laki saja tapi perempuan pun ikut terlibat.
Bahwa kaum perempuan marginal yang menjadi
penentu keberhasilan suatu perjuangan politik, misalkan
pemilu karena pemilih terbanyak di negeri ini adalah
perempuan , bagaimana sebetulnya cara pandang mereka,
kehidupan politik mereka, sikap mereka dalam melihat
proses pemilu dan proses-proses aktivitas politik yang lain
seperti kampanye dalam pandangan yang sederhana. Dan
yang menarik dari buku ini adalah bagaimana perempuanperempuan tersebut sudah terbiasa dengan suguhan-suguhan
politik seperti money politic, bantuan-bantuan kemanusian
yang ada implikasinya dengan politik.
Selama ini terkesan bahwa rakyat biasa atau orang
awam, tidak faham politik. Buta politik, mereka dianggap
hanya bisa dan mudah dipengaruhi, diarahkan,terutama
kaum perempuan hanya dijadikan obyek dari semua masalah
publik, termasuk politik. Tapi apakah benar demikian. Nah,
di buku inilah diketengahkan dilemma-dilema yang dialami
kaum marginal perempuan secara nyata.
Adanya kebijakan affirmative action atau kuota 30
persen bagi perempuan sangat mendorong perempuan
Jurnal Studi Gender
Siti Mu’arifah
untuk menyuarakan aspirasi kaum perempuan itu sendiri,
seperti yang menjadi slogannya penulis buku ini bahwa hanya
perempuan yang mengerti perempuan. Nah siapa lagi yang
akan menyerap dan memahami aspirasi kaum perempuan
terutama anggota dewan perempuan kalau bukan perempuan
dari kaumnya sendiri, so buku ini benar-benar membuka mata,
hati dan telinga bahwa perempuan marginal melek politik,
maka buku ini sangat penting untuk dibaca oleh umum agar
kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang dibuat
juga semakin ada keberpihakan terhadap perempuan.
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
181
182
Jurnal Studi Gender
Bedah Buku
Judul
: Perempuan Sami;
Dehumanisasi Sistemik di
Tengah Benturan Budaya
Dominan
Penulis
: Moh. Rosyid, M.Pd.
Penerbit
: Idea Press bekerja sama
dengan STAIN Kudus Press
Tahun Terbit : 2009
PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK
Moh. Rosyid
Dosen STAIN Kudus
Dua hal mendasar yang menjadi titik pembahasan
dalam judul di atas yakni perempuan dan Samin. Dua hal
tersebut berhadapan dengan persepsi publik terhadap
perempuan Samin. Persepsi yang (di) terbangun publik
terhadap Samin, apalagi terhadap perempuan Samin identik
dengan kenegatifan. Tetapi pernyataan tersebut belum
berakhir, perlu digali kebenaran, agar diperoleh informasi
yang valid dan tarnsparan. Buku yang diresensi ini semula hasil
penelitian tahun 2008 yang dibukukan, agar substansi buku
tersebut tidak ‘lembab’ di dalam rak buku, perlu didedahkan
kepada pembaca sebagai tambahan informasi.
Penelitian tersebut berpijak pada hasil pertemuan
nasional aktivis perempuan Indonesia telah menghasilkan
12 agenda khusus gerakan perempuan tahun 2006 s.d 2011
yakni (1) perempuan dan kemiskinan, (2) perempuan dan
hukum, (3) perempuan dan fundamentalisme, (4) perempuan
dan politik, (5) perempuan dan pendidikan (mendorong
pelaksanaan program pendidikan khusus perempuan yang
termarjinalkan agar tidak buta huruf, dsb.), (6) perempuan
dan teknologi, (7) perempuan dan media, (8) perempuan dan
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
184
PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK
budaya (menggali dan mensosialisasikan nilai kearifan lokal
yang sensitif jender), (9) perempuan dan seksualitas, (10)
perempuan dan bencana, (11) perempuan dan sumber daya
alam, dan (12) perempuan dan globalisasi (Jurnal Perempuan,
nomor 48, 2006:128).
Tujuan penelitian ini pertama, untuk mengetahui
faktor yang menyebabkan keberterimaan perempuan Samin
Kudus terhadap budaya lokal (Samin) yang tidak berkeadilan
jender. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ketidakadilan
adalah musuh manusia yang berbudaya, tetapi perempuan
Samin Kudus sebagai bagian dari manusia, idialnya menolak
ketidakadilan (mungkin) menyimpan faktor dan persoalan
tersendiri yang perlu digali agar diperoleh informasi yang
proporsional. Kedua, untuk memperoleh pemahaman
terhadap dampak yang ditimbulkan keberterimaan
perempuan Samin Kudus terhadap budaya dominan dalam
memahami kebutuhan hidup-asasinya. Ketika kebutuhan
hidup yang asasi (dalam penelitian ini terpilah atas empat
hal pokok berupa pendidikan formal, perolehan pekerjaan,
perkawinan, dan keberagamaan khususnya dalam khitan)
tidak terpenuhi, maka kebahagiaan hakiki pada dasarnya
adalah jauh panggang daripada api. Untuk memperoleh
realitas riil, perlu digali secara utuh. Ketiga, untuk mendalami
strategi yang dilakukan oleh budaya Samin Kudus terhadap
perempuannya sehingga mampu mendehumanisasi secara
sistemis dalam kurun waktu lama.
Penelitian ini memfokuskan empat hal asasi yang
diduga melekat pada diri setiap individu (khususnya terhadap
perempuan Samin Kudus) dalam hal tidak diperkenankan
aktif program pendidikan (formal), pemaksaan terselubung
dalam hal perkawinan dan pekerjaan, juga keagamaan
(khususnya praktik khitan) untuk dicari kebenarannya. Hal
itu pada dasarnya adalah kebutuhan asasi manusia, tetapi
karena perempuan dikondisikan oleh doktrin dan budaya
untuk ‘nrimo’ dan taat, tanpa diberi kesempatan bertanya dan
berbuat, sehingga keterkucilan dan dibodohkan oleh budaya
itu sendiri hingga menimbulkan anggapan (hal) biasa. Pada
Jurnal Studi Gender
Moh. Rosyid
dasarnya perlakuan tersebut dapat dikategorikan tindakan
kekerasan terhadap perempuan berdasarkan UU nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (KDRT) pasal 5 setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam
lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis,
seksual, dan penelantaran rumah tangga. Pasal 6 kekerasan
fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat. Pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan
yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bagi
masyarakat yang mengetahui hal tersebut (sebagaimana
pasal 7) dan membiarkannya, pada dasarnya (pasifnya)
bertentangan dengan pasal 15 bahwa setiap orang yang
mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga wajib melakukan upaya sesuai dengan
batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya
tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban,
memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Sehingga muncul pertanyaan, dampak apa yang
diderita perempuan Samin Kudus setelah digencet oleh
budaya dominan? Jawaban yang muncul berupa hipotesa yang
dijawab dalam buku ini dan mengapa mengulas perempuan?
Untuk memeroleh jawabannya, perlu kilas balik terhadap
sejarah yuridis kesadaran jender.
Dengan memahami strategi yang dilakukan budaya
jelata (Samin Kudus) dalam proses dehumanisasi terhadap
perempuannya, diharapkan mampu mengurai dan membuat
jalan lurus agar keterkungkungan yang diderita perempuan
Samin yang menjadi buah bibir publik, jika benar, agar
berkesudahan karena unsur yang menyelesaikannya adalah
mereka yang memiliki power dan kategori berada dalam
budaya dominan. Jika tidak benar, penelitian ini sebagai
langkah memperoleh realitas sebenarnya. Begitu pula jika
anggapan umum tersebut salah, tentunya publik harus
P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009
185
186
PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK
mengakhiri kecurigaan tersebut. Keempat, untuk mengorek
peran budaya dominan (budaya elit, budaya santri, dan
budaya jelata) terhadap pola dehumanisasi sistemik oleh
budaya Samin Kudus terhadap perempuan Samin dalam
memenuhi hak hidupnya. Adanya pernyataan bahwa jika
budaya dominan mampu berkiprah secara proporsional dalam
keterlibatannya mengurai benang kusut kehidupan yang
dialami perempuan Samin Kudus oleh budaya jelata (budaya
Samin Kudus). Maka kenistaan lambat-laun akan terkikis
menjadi kehidupan yang sejahtera. Kelima, untuk mendalami
keberadaan budaya dominan dalam melibatkan diri ketika
melihat dan menyaksikan terhadap bentuk dehumanisasi
sistemik atas perempuan Samin Kudus oleh budaya Samin
Kudus sendiri. Keterlibatan budaya santri, budaya elit, dan
budaya jelata, dalam menyaksikan bentuk dehumanisasi
sistemik atas perempuan Samin Kudus oleh budaya jelata
tercipta karena budaya dominan hidup bersama dalam satu
kawasan dan dalam satu ekologi budaya. Tetapi seperti apakah
keterlibatannya dalam bertindak mengantisipasi dan berbuat
untuk meminimalisasi dehumanisasi itu.
Jurnal Studi Gender
FORMAT PENULISAN
Judul
Penulis
Jelas dan mencerminkan substansi isi.
Tulis nama lengkap tanpa gelar. Sertakan riwayat
pendidikan tinggi tingkat S1, S2 hingga S3. Cantumkan
juga asal institusi penulis berikut jabatannya dan
email.
Abstrak
Abstrak dalam Bahasa Inggris apabila paper ditulis
dalam Bahasa Indonesia dan abstrk ditulis dengan
Bahasa Indonesia apabila paper ditulis dalam Bahasa
Asing (Arab/Inggris). Abstrak diketik 1 spasi kurang
lebih 250 karakter.
Pendahuluan
Mencakup pengantar, permasalahan, kerangka teori
yang dipakai dan metodologi kajian lebih rinci.
Pembahasan
Mencakup substansi kajian, yang meliputi berbagai
sub pokok bahasan sesuai tema yang terkait dengan
mengedepankan analisa kritis sehingga kontribusi
penulis pada posisi yang jelas.
Simpulan
Merupakan rumusan singkat hasil pembahasan
diketik maksimal 1 halaman .
Daftar Pustaka Daftar pustaka diketik 1 spasi
Keterangan:
1. Naskah merupakan hasil kajian sosial keagamaan, bisa berupa
hasil penelitian ataupaun kajian teks yang berhubungan
dengan isu-isu perempuan atau gender.
2. Naskah merupakan karya orisinal penulis dan belum pernah
dipublikasikan.
3. Panjang naskah antara 20-25 halaman diketik 1,5 spasi kertas
A4.
4. Untuk naskah ”Bedah Buku” diharapkan menyertakan hasil
scan cover buku aslinya.
5. Serahkan kepada redaksi dalam bentuk soft copy atau dikirim
langsung melalui email: [email protected]
6. Sumber kutipan ditulis dalam bentuk (midle notes) dengan
ketentuan sebagai berikut:
Dari buku ditulis seperti contoh: Marisa Rueda, dkk,
Feminisme Untuk Pemula, (Yogyakarta: Resist Books, 2007)
hlm. 3; (ditulis Marisa Rueda, dkk, 2007: 3).
7. Daftar pustaka ditulis mengikuti format penulisan yang sudah
baku.
8. Apabila naskahnya dimuat, penulis berhak mendapat hard
copy sebanyak 3 (tiga) eksemplar.
Download