Jurnal Studi Gender PALASTRèN hak penulis dan penerbit dilindungi undang-undang volume 2, nomor 2, Desember 2009 Jurnal Studi Gender PALASTRèN Volume 2, Nomor 1, Desember 2009 Pelindung: Ketua STAIN Kudus Penanggung Jawab: Pembantu Ketua I STAIN Kudus Mitra Bestari Prof. Dr. Irwan Abdullah (Universitas Gajah Mada Yogyakarta) Prof. Dr. Saedah Siraj (University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia) Prof. Dr. M. Ridwan Lubis (UIN Syarief Hidayatullah Jakarta) Nurkholis Setiawan, P.Hd. (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA. (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Pemimpin Umum Siti Malaiha Dewi, M.Si. (Ketua PSG STAIN Kudus) Pemimpin Redaksi Nur Said, M.Ag., M.A. Sekretaris Redaksi Rini Dwi Susanti, M.Ag. Dewan Redaksi Primi Rohimi, S.Sos Penyunting Pelaksana Hj. Umma Farida, Lc. M.A. Tata Usaha Setyoningsih, S.S. Penerbit Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus Alamat Redaksi PSG STAIN Kudus, Jl. Conge Ngembalrejo PO Box 51 Telp (0291) 432677, Fax (0291) 441613 Kudus 59322 Email: [email protected], Website: www.psgstainkudus.multiply.com Jurnal PALASTRèN diterbitkan oleh Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus enam bulan sekali pada bulan Juli dan Desember. Redaksi menerima tulisan baik berupa hasil riset, kajian teks maupun telaah buku yang terkait dengan isu-isu gender atau persoalan perempuan terkini. Tulisan diprioritaskan yang memberi jalan keluar bagi persoalan ketidakadilan gender. Teknik penulisan merujuk pada acuan terlampir. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah substansi. Isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jurnal Studi Gender PEDOMAN TRANSLITERASI Arab Indonesia Arab Indonesia Arab Indonesia tidak dilambangkan r f b t ts j h kh d dz z s sy sh dl th dh ...‘... g ﻫ ء q k l m n w h ...’... y Bunyi madd : ā ( ) Ī ( ! ) ū ( ) Bunyi diftong : ay ( " ) aw ( " ) P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 iv PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kehadirat Allah swt dengan ucapan alhamdulliah akhirnya Jurnal PALASTReN Vol. 2, No. 2, Desember 2009 menyapa pembaca dengan 8 (delapan) gagasan cemerlang dan 2 (dua) tinjauan buku yang mencerahkan. Rubrik IDE UTAMA memuat empat paper meliputi; Pertama ditulis oleh Siti Muflichah dengan judul “Female Genital Mutilation; a Barbaric Tradition?”. Paper ini merupakan pertanyaan kritis atas tradisi yang sudah mengakar di kalangan Islam termasuk di Jawa terkait khitan perempuan. Dia bahkan secara implisit mengajak untuk berpikir ulang bahwa tradisi khitan perempuan itu janganjangan adalah tradisi barbar (tak beradap) yang masih tersisa dalam era yang mestinya sudah beradab. Selanjutnya Imam Machali melalui papernya; “Poligami dalam Perdebatan, Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks Suci” juga tak kalah menarik menguak selubung tradisi poligami dari Kitab Suci. Paper ini akan bisa memposisikan pilihan poligami secara lebih proporsional dalam relasi gender. Sedangkan Mas’udi melalui papernya; “Perempuan, Sejarah Berliku dan Terpinggirkan, Analisa terhadap Argumen Kesetaraan Gender” dengan kepekaan antropologinya mencoba “membaca” positioning perempuan dalam lintas sejarah yang menurutnya cukup kelam, karenanya perlu gerakan pencerahan di tengah tantangan globalisasi. Selanjutnya di tengah libido sex manusia yang semakin terbuka, tulisan Jamal Ma’mur Asmani dengan judul; ”Kontroversi Nikah Mut’ah dan Nikah Mu’aqqod”, cukup relefan untuk dijadikan renungan, terutama dalam Jurnal Studi Gender Pengantar Redaksi menghadapi budaya hedonisme yang menjadikan perempuan sebagai obyek seks belaka? Rubrik RISET mengetengahkan empat fenomena perempuan dalam realitas sosial dan empirik. Pertama melalui paper Dewi Ulya Mailasari dengan judul ; “The Quest Of American Women for Self Identity as Reflected in Edith Wharton’s The House Of Mirth” cukup jeli menelaah problem budaya Barat dalam memposisikan wanita. Dilemma yang dihadapi wanita Amerika sekitar awal abad 20 dalam memperoleh identitas diri sebagai pribadi yang utuh begitu cukup menarik diungkap melalui paper ini. Selanjutnya Arif Hidayat dengan papernya; “Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Hukum Berkeadilan Gender; Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita di Kabupaten Magelang” mengetengahkan kemungkinankemungkinan action research untuk transformasi sosial yang adil gender di kalangan buruh perempuan di Magelang. Pengalaman ini tentu bisa memberi inspirasi di daerah lain sehingga kalau perlu mengadopsi atau mengadaptasinya. Kemudian Irzum Farihah dengan perspektif sosiologisnya cukup jeli memetakan sumber daya perempuan yang memiliki etos kerja cukup tinggi di daerah nelayan. Namun bagaimana sistem pengambilan keputusan dalam keluarga bisa dicermati dalam papernya dengan judul; “Perempuan, Etos Kerja dan Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Nelayan” . Bahkan dunia pendidikan juga tak lepas dari isu gender sebagaimana diungkap oleh Ahmad Falah melalui papernya; “Pendidikan Perempuan di Timur Tengah”. Bila ingin memahami bagaimana perempuan terlibat dalam dunia pendidikan di Timur Tengah paper ini sangat membantu untuk memahaminya. Rubrik BEDAH BUKU memperlengkap sajian gagasan dalam edisi ini karena memuat dua ulasan buku terbaru karya pegiat gender yakni pertama tulisan Siti Mu’arifah mengulas buku karya Siti Malaiha Dewi; “Orientasi Politik Perempuan Marginal”. Menurut perspektifnya buku ini cukup membantu menangkap sikap dan kiprah perempuan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 v vi di akar rumput dalam pesta demokrasi tahunan. Sedangkan Moh. Rosyid dengan cukup sabar mengetengahkan intisari buku karyanya sendiri “Perempuan Sami; Dehumanisasi Sistemik di Tengah Benturan Budaya Dominan”. Kedua buku tersebut menjadi menarik karena di tengah banyak orang berbicara politik perempuan pada tingkat elite, namun ternyata di bawah fenomena perempuan yang terpinggirkan masih begitu menonjol di tengah hegemone kultur dan struktur yang masih bias gender ini sebagaimana diungkap dalam kedua buku ini. Tim redaksi sangat berapresisasi kepada semua penulis yang telah berkontribusi menyumbangkan gagasan dan idenya demi perjuangan kemanusiaan berbasis pada keadilan gender. Gagasan-gagasan saudara akan menjadi saksi sejarah bagi transformasi sosial yang adil gender, namun tetap berbasiskan pada nilai-nilai Islam. Akhirnya tim redaksi menyadari, meskipun proses editing, desain dan tata letak sudah diusahakan secara maksimal, namun tentu masih bisa ditemukan kesalahan atau ketidaksesuain sehingga mengganggu estetika dan daya tarik jurnal ini. Maka tim redaksi berharap masukan kepada para pembaca yang budiman, demi kesempurnaan lebih lanjut. Selamat membaca. Redaktur Jurnal Studi Gender DAFTAR ISI IDE UTAMA FEMALE GENITAL MUTILATION: A BARBARIC TRADITION? Siti Muflichah POLIGAMI DALAM PERDEBATAN; Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks Suci Imam Machali 1 13 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN 37 TERPINGGIRKAN (Analisa terhadap Argumen Kesetaraan Gender) Mas’udi KONTROVERSI NIKAH MUT’AH DAN NIKAH MU’AQQOD Jamal Ma’mur Asmani RISET THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Dewi Ulya Mailasari 55 79 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN 115 DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER (Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita) Arif Hidayat P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 viii PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Irzum Farihah 143 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH Ahmad Falah 161 BEDAH BUKU KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA Siti Mu’arifah PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK Moh. Rosyid Jurnal Studi Gender 179 183 Ide Utama FEMALE GENITAL MUTILATION: A BARBARIC TRADITION? Siti Muflichah Dosen STAIN Kudus Abstrak: Tulisan ini mengulas pemotongan organ seks perempuan, atau yang dalam bahasa luasnya dikenal dengan sunat perempuan serta pro dan kontra di kalangan feminis barat dan feminis Afrika. Feminist barat mengklaim bahwa sunat perempuan adalah tindakan brutal dan tidak manusiawi, sementara feminis Afrika mengatakan bahwa klaim itu tidak benar karena sunat perempuan mempunyai beberapa makna kultur yang penting. Pelaku sunat perempuan juga menolak klaim feminis barat tersebut. Ada solusi yang ditawarkan untuk mengatasi hal ini, yaitu melihat persoalan ini dengan menggunakan a cultural relativism dan a relational approach. Pendekatan ini mencoba melihat sunat perempuan dari sisi kultur serta membandingkan antara sunat perempuan dengan operasi plastik yang banyak dilakukan oleh perempuan barat. Kata-kata Kunci: sunat perempuan, seks, tradisi A. Introduction Female Genital Mutilation (FGM) has been known worldwide. It has been practiced by young and adult women in traditional cultures, particularly prevalent in Africa. There are various forms of practice, ranging from prick to infibulate women’s genital organ. The reasons vary from maintaining womanhood to controlling women’s sexualities. Some evidences show that FGM ends up with tear and other adverse side effects. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 2 FEMALE GENITAL MUTILATION The United Nations (UN) has adopted resolutions to eradicate FGM since it is as harmful tradition and discrimination to women’s reproductive rights. Furthermore, some Western feminists in particular, and the West in general, condemn it as a barbaric culture and propose steps to abandon it. They argued that FGM is practiced to fulfill men’s need in sexual activity and women do not have the same sexual rights. However, some black feminists argue that FGM has unique history and value. It is based on deeply cultural values and traditions. Therefore, it is not permissible to change their cultural practices and beliefs. This paper covers both debates. By using feminist theorists, it tries to give balanced views on FGM. It covers from definition of FGM, why some female should be circumcised, where it is held, to how FGM has been controversy to some feminists. B. Discussion Rahman and Toubia (2001, p. 9), define FGM as: “The collective name given to several different traditional practices that involve the cutting of female genitals” There are terminologies which have been used for FGM. Some feminists maintain that female genital mutilation should be distinguished from female circumcision, since it is not an appropriate description, especially to explain infibulations and clitoridectomy. The first one is one kind of FGM that is sewing vaginal opening while the last one is removing part or the entire clitoris (Momoh, 2005; Skaine, 2005). There is critique for the term female circumcision as it is regarded as same as male circumcision which removes the foreskin of penis only (Njambi, 2004). According to feminists who reject FGM, male circumcision does not damage the male reproductive organ, while female circumcision damages Jurnal Studi Gender Siti Muflichah physically and psychologically. Furthermore, male circumcision maintains manhood, whereas female circumcision has aim to limit their sexual activities (Momoh, 2005). The term female genital mutilation is used by women’s health practitioners and human right activists to define all kinds of genital surgeries that remove a healthy organ which cannot be remediable (Wangila, 2007). Another term is genital mutilation which is rejected by community which practices FGM as it is “offensive, alienating, criminalizing and shocking”. It connotes evil intention which is contrary to the aim of parents who circumcise their daughters (Gruenbaum, 2001, p. 3-4). Furthermore, FGM is rejected because the bias associated with it. Western human right activists prefer to use that term, but they are not critical to the body modification such as piercing, labiaplasty, breast enlargement, bulimia and anorexia (Jeffreys, 2005). Those things happen in western countries which actually are not different form FGM. Those who reject genital mutilation maintain that all kinds of mutilation in every culture should be critiques similarly (Gruenbaum, 2001). There is a solution proposed. The new terminologies are used such as female genital surgery and ritual genital surgery, female genital alteration, female genital excision, or sex mutilation which offered by Isabelle Gunning, Hope Lewis and Carla Obermeyer. They said the terms have a value neutral (Obermeyer, 1999, p. 79-106). There are reasons vary why women undergone FGM. In Egypt, it purposes to reduce women sexual desire and behavior because of the size of the clitoris. (Momoh, 2005). Some commentators suggest that in Roman, it was to protect female slaves to be pregnant and in Russia, it was to ensure virginity. In Africa, it is to gain social status in women’s group. For girls, it is as a requirement for marriage (Kalev, 2004). It is also to prepare to initiation into womanhood (Njambi, P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 3 4 FEMALE GENITAL MUTILATION 2004), preparation for pain in giving birth, and control for women adultery by cutting female sexual desires (Mukoro, 2004). For the elders, it is believed to establish identity of gender, and the rite is believed as an important to societal survives. Furthermore, it is to show women bravery by keep silent during the operation which usually without anesthetic (James & Robertson, 2002). FGM has been practiced in traditional cultures which patriarchal society exists. It is common to see this practice in some countries in Africa, Asia and Middle East. However, according to Chase (2002), it has been found that in the nineteenth century, FGM was practiced in the UK and the USA to solve problem of women such as nymphomania, insanity, and masturbation by gynecologists. Some research encourage that FGM has several drawbacks to women and children who perform it. Physically, it may create bleeding, swollen vagina, and even death. The causes might from the unhealthy knives or pins, used by the circumciser. Children who have no choices may suffer from psychological damage because of being forced to perform FGM (Momoh, 2005). A research by Mukoro (2004) indicates that many women suffer from FGM practice, such as dyspareunia, frigidity, and lower sexual satisfaction. It is reported that most respondents suffered from severe pains, then followed by hemorrhage experience. Mukoro claims even though it was not found significant less satisfaction when have sex after performing FGM, sixty five percent of respondents wish that they never had experienced of FGM and they wanted to stop that practice. Evidences were very clear from this research that gives us a real report from women who practiced the FGM that there were more suffer than happiness of FGM practice. Therefore, western feminists argue, that FGM should be eradicated since it violates the reproductive rights of women and girls, and it is very dangerous to children as it is commonly perform upon girls between four to twelve, or even 7day babies. “It violates Jurnal Studi Gender Siti Muflichah the right to non-discrimination, health and bodily integrity” (Momoh, 2005, p. foreword). Walker and Parmar (1993) argue that FGM is sexist and oppressive since it is a cultural practice to control women’s pleasure on sexuality. It is torturous, barbaric and destroyed. Most of feminists claim FGM as a universal oppression to women by men and clearly shows it is male dominates social structure. The UN has released CEDAW (Convention on Elimination of all forms of Discrimination Against Women) in 1981. This is described as a bill of rights for women. This is also as a reference to abandon traditional practice that is based on the idea of having more power to other sex. This convention recommends that every nation should have effective actions to eradicate dangerous traditional practices such as FGM. The UN Declaration on the elimination of violence against women in 1993 also focuses on violence that is based on gender differences in public as well as in domestic area. In September 1995, Amnesty International (AI) includes FGM issue to the forth UN World Conference on Women in Beijing. Since in March 2004, AI has campaigned work against FGM globally (UNICEF, 2003). However, there are some counter arguments from black feminists especially who had experience of FGM. For example, Njambi (2004) claims that female genital mutilation term is western construct. It does not cover that the cultural practice that involves female genital modification in Africa has a unique history, meaning, and high values, so other states should stay away of FGM discussion. Based on her own experience as a circumcised African woman, Njambi explains that actually FGM gives African women access to social, political and economic power in patriarchal society and gives them a chance an important responsibility as local history maintainers. Moreover, FGM practice is held in form of a social activity, where most people gather, dance and share happiness. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 5 6 FEMALE GENITAL MUTILATION Obiora (1997) and Ahmadu (2000) reject that FGM is a patriarchal control. They say that it is a shallow assumption and misinterpret reality. It is practiced because of social culture values such as fertility, solidarity among women, members of tribe and social survive. Obiora (1997) adds that patriarchal society has existed before FGM is practiced. Also, mentioning that FGM is control to women’s sexuality is offensive to African women as FGM is undergone for African values. To defense FGM practice, Gosselin (2000) suggests us to use cultural relativism. Its proponents believe that the Western people should not interfere to FGM since those who try to abandon FGM do not know much the current situation where FGM is performed. Hale (1994, p. 34) is one of the cultural realist before Gosselin. She is a researcher in Sudan and Eritrea who claims that Westeners who campaign to eradicate FGM have ‘arrogant perception’. It is a term to describe how Western feminists emphasize that rescuing such women from such traditions (like FGM) can be done by abandoning women’s own religion, customs and culture, and adopt those of the West. According to Leila Ahmed cited in James (1998), it is a form of arrogant perception that is supportive of colonialism and its institution. It is not about what we know about FGM, but what we do with the knowledge of FGM. Gunning (1994) supports Hale’s idea about this, that approach to FGM is not by presenting the negative things of FGM, especially in Africa, but by giving more attention to the struggle of those women to overcome their problems. Gruenbaum (2001) adds that FGM becomes popular since people who are not from the culture, called outsiders, have concluded carelessly that FGM practices violate value of humanity. Therefore, they want to change this practice. Unfortunately, these outsiders view the culture from their own perspectives and those views create wrong concepts and negative judgment which lead to prejudice. If there is no understanding the view of insiders, change would not happen. Furthermore, she asks if these practices are based on cultural beliefs, why outsiders want to change them. She emphasizes Jurnal Studi Gender Siti Muflichah that it is forbidden to try to change other cultural practices. If it is permissible, there is no guarantee it would happen. This misunderstanding is also found by some anthropologists such as Shweder (2002) who finds outsiders’ misconception about what they see in the field of FGM and what they read in academic literatures. Another anthropologist is Obermeyer (1999) who claims that campaign of anti-FGM is exaggerated and does not reflects reality. She says that its publication shows no evidence of the adverse effect and it is not accurate. As an illustration, a research by Gosselin, Lightford-Klein and Gruenbaum reveals that in Mali, women who undergone FGM experience sexual satisfaction (Gosselin, 2000). However, Toubia and Rahman (2001), African feminists who oppose FGM claim that bad effect of FGM cannot be denied, even though FGM adverse consequences sometimes are misreported. More interestingly, Shweder (2002) points out that FGM is not a harmful cultural practice. It is like a cultural group affiliation. Therefore, FGM is not a kind of patriarchal domination. FGM is not enough example of gender inequality as in Africa FGM is a way to treat girls equal to boys, because boys are circumcised as well. This is contradictory to ideas of feminist theorists such as Bordo (1993), who maintains that woman’s body is placed in term how woman’s sexuality is appropriate for domestic activities. It is also as a source of sexual pleasure and in social order, it is a gendered body. The body is in service to male ideology, so essentially, woman’s body is the sexual body while man’s body is neutral. The body itself is the object of modern sexuality social construction which dominated by patriarchal ideology (Jaggar & Bordo, 1989). Furthermore, Foucault (1979) and Bourdieu (1977) suggest that the body is a place to put control, where a male domination is produced. To analyze male dominates over female, Foucault’s concept of power must be used. Power is a wide concept, it is a function of continuing forces, which is not held, but members of group have different P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 7 8 FEMALE GENITAL MUTILATION position in the power. In case of FGM, the power means that men have more power over women to decide about all women’s role in society includes how to serve men in sexual activities, by making their bodies are in danger. Furthermore, Foucault adds that body as metaphor of war field. According to him, the body is to describe difficulties to empower difference. To explain this metaphor, Bordo (1993) states that the body in the modern time as an object to be changed by diet, exercise and plastic surgery. She introduces that notion of plasticity is as a postmodern paradigm to improve and correct mortality and materiality of the body. In the Sociology field, feminist sociologists have shown that women’s bodies are reduced to their genitalia, how women’s bodies are ‘objects of a male gaze’, and as targets of violence (Lafrance, 2007, p. 264). In FGM, it can be seen clearly that women’s bodies are oppressed in cultural context. FGM is expression of male dominance as a consequence of patriarchal dominance perpetrated by men on women. According to Hosken (1993), in certain cultures, African women as inferior group to African men believe that marriage means stability and security. To maintain those things, married women should satisfy husbands’ sexuality. One of the ways is by undergone FGM. Because it is believed that ugly female genitalia can be made to be beautiful through infibulation. Furthermore, it is also believed that uncircumcised women mean unmarriageable ones. In addition, security and stability might not be achieved by the women because the rare of employment opportunities. However, when Bordo mentions body change through plasticity, FGM should be distinguish from cosmetic surgery crazes in the West. There are distinctions between of them. FGM is culturally ordained that sometimes practiced upon four year old girls who have no choices. It has severe risks and it is life threatening, while body modification is usually done by adults who have choices, and medically ordained (Njambi, 2004). However, Jeffreys (2005) argues that both FGM and body modification in the West are as dangerous cultural practices, because use women or girls as the agents who have Jurnal Studi Gender Siti Muflichah less power. She criticizes why these practices become more prevalent, especially the body modification such as piercing and tattooing (Jeffreys, 2000). Davis (2002, p. 27) puts her position in the middle and she understands that there are complex issues dealing with African FGM and Western cosmetic surgery, and it represents women as ‘undifferentiated victims’. Pedwell (2008, p. 89) offers a relational approach to bridge these differences. It is a cross cultural comparison and as an alternative for feminists to reveal the essential binaries between two cultures, ethnics and morals that totally different. In case of FGM and cosmetic surgery, these practices should not be seen as essentially different but as cultural ‘analogues’. Davis (2002) supports this idea, that women who perform FGM are not same but analogues to western women who practice plastic surgery which according to Jeffreys (2005) are more brutal such as breast augmentation and labiaplasty. The last one is almost same as FGM, as it is an operation on female genitalia to make it more beautiful. Conclusion Create better understanding of FGM controversy is more advantageous agreement among African-Westeners and African feminists who oppose FGM. To promote FGM eradication, the best knowledge is by respecting local culture and by learning the context to avoid overgeneralization. A culture should be valued with its own context, not by other judgment. Condemnation in media is not helpful. To make women choosing to work against FGM, it needs to improve women’s status. This can be achieved through change some family law which regarded as hazard women’s equality. It might be law relates to marriage, divorce, and custody of children. It needs also support from local and religious leaders, health practitioners and academic. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 9 10 FEMALE GENITAL MUTILATION Jurnal Studi Gender Siti Muflichah References Ahmadu, F. (2000). Rites and wrong: An insider/outsider reflections on power and excision. In B.S. Duncan & Y. Herlund (eds.). Female circumcision in Africa: Culture, controversy and change. Boulder, CO: Lynne Rienner Publishers Bordo, S. (1993). Unbearable weight, feminism, western culture and the body. Berkeley, CA: University of California Press. Bourdieu, P. (1977). Outline of a theory of practice. Cambridge, UK: Cambridge University Press Chase, C. (2002). “Cultural practices” or “reconstructive surgery”? U.S genital cutting, the intersex movement, and medical double standard. In S. M. James & C. C. Robertson, (eds.) Genital cutting and transnational sisterhood: Disputing U.S. polemics. Chicago: University of Illinois Davis, S. W. (2002). Loose lips sink ships. Feminist Studies, 28 (1): 7-35 Foucault, M. (1979). Discipline and punish. New York: Vintage Gosselin, C. (2000). Feminism, Anthropology and the politics of excision in Mali: Global and local debates in a postcolonial world. Anthropologica XLII: 43-60 Gruenbaum, E. (2001). The female circumcision controversy: An Anthropological perspective. Philadelphia: University of Pennsylvania Press Hale, S. (1994). A question of subjects: The female circumcision controversy and politics of knowledge. Ufahamu. 22(3): 34 Hosken F. P. (1993). The Hosken report: Genital and sexual mutilation of females. Lexington: Women’s International Network News Jaggar, A., & Bordo, S. (1989). Gender/body/knowledge. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press James, S. M., & Robertson, C. C. (eds.). (2002). Genital cutting and transnational sisterhood: Disputing U.S. polemics. Chicago: University of Illinois James, S. M. (1998). Shades of othering: Reflection on female circumcision/ genital mutilation. Signs, 23(4): 1031-1048 Jeffreys, S. (2000). ‘Body art’ and social status: Cutting, tattooing, and piercing from a feminist perspective. Feminism Psychology, 10(4): 409-429 Jeffreys, S. (2005). Beauty and misogyny: Harmful cultural practices in the west. London, New York: Routledge Kavlev, H. D. (2004). Cultural rights or human rights: The case of female genital mutilation. Sex Roles, 51(5/6): 339-348 Lafrance, M. (2007). Embodying the subject: Feminist theory and contemporary clinical psychoanalysis. Feminist Theory, 8: 263-278 Momoh, C. (Ed.). (2005). Female genital mutilation. Oxford, Seattle: Radcliffe Publishing. Mukoro, U. J. (2004). A survey on psychosexual implications of female P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 11 12 genital mutilation on Urhobo women of the Niger delta Communities of Nigeria. Journal of Hum. Ecol., 16 (2), 147150 Njambi, W. N. (2004). Dualism and female bodies in representations of African female circumcision: A feminist critique. Feminist Theory, 5, 281-303 Obermeyer, C. M. (1999). Female genital surgeries: The known, the unknown, and the unknowable. Medical Anthropology Quarterly, 13: 79106 Obiora, L. A. (1997). Bridges and barricades: Rethinking polemics and intransigence in the campaign against female circumcision. Case Western Reverse Law Review, 47 (2): 275-378 Pedwell, C. (2008). Weaving relational webs: Theorizing cultural difference and embodied practices. Feminist Theory, 9: 87-107 Rahman, A., & Toubia, N. (2001). Female Genital Mutilation: A practical guide to laws and policies worldwide. New York: Zed Books Shweder, R. A. (2002). What about FGM? And why understanding culture matters in the first place. In R. Shweder, M. Minov, and H. Markus (eds.). Engaging cultural differences: The multicultural challenge in liberal democracies. New York: Russel Sage Foundation Press UNICEF. (2003). FGM: Section 1 & 2. UNICEF Walker, A., & Parmar, P. (1993). Warrior marks: Female genital mutilation and the sexual blinding of women. San Diego: Harcourt Brace and Co. Wangila, M. N. (2007). Female circumcision: The interplay of religion, culture, and gender in Kenya. Maryknoll, New York: Orbis Books Jurnal Studi Gender Ide Utama POLIGAMI DALAM PERDEBATAN; Menelusuri Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks Suci Imam Machali* Abstract: Discourse of polygamy in Islamic thought has been being controvertion and interested in discussed. Each arguments base on the same of Quranic text are sura An Nisa; 3 and traditions. Discourse of polygamy can be divided in the three opinions. The first, polygamy absolutely was allowed in Islamic low, the second polygamy was allowed by difficult conditions and specific context. The third polygamy absolutely was forbidden, because the principle of Islamic marriage is monogamy. In Indonesian context, the polygamy can be divided to the four opinions. The first is opinion that polygamy as syaria order, the second is opinion that polygamy substantively is not Islamic precept, but Islam gradually change polygamy practice in Jahiliyyah era to the monogamy. The third is opinion that polygamy is not only religious problem, but also socio-cultural problem, and the fourth is opinion that polygamy can be practiced to the orphan and widow with aim to covering for them. Key Word: Poligami, berlaku adil A. Pendahuluan Sampai saat ini poligami sebagai salah satu bentuk perkawinan dalam Islam masih menjadi perdebatan. Petanyaan seputur apakah poligami benar-benar * Deputy Penelitian dan Pendidikan pada Lembaga Analisis Sosial dan Penguatan Masyarakat (LANSKAP) Yogyakarta. Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) An Nur Yogyakarta, sedang menyelesaikan studi program Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 14 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN diperbolehkan, dibenarkan dan sah di dalam ajaran Islam?. Sebab dilihat dari dzahirul ayat (tekstualitas ayat, surat An Nisa; 3) memperkenankan seorang laki-laki menikah lebih dari satu istri dengan batas maksimal empat, atau apakah poligami sebagai bentuk perkawinan, secara gradual (berangsur-angsur) telah dihapuskan dalam Islam?. Karena poligami dipandang sebagai perkawinan model jahiliyah yang sampai saat Islam turun masih men-tradisi di masyarakat Arab, sehingga prinsip pernikahan yang benar dan sah dalam Islam adalah monogami?. Perdebatan semacam ini tidak mendapatkan titik temu karena masing-masing pendapat mendasarkan argumennya dengan ayat al-Qur’an dan hadist nabi, sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Yang menarik dari silang pendapat ini adalah ayat dan hadist yang digunakan adalah sama yaitu surat An Nisa/ 4: 3, 129 dan beberapa hadist nabi. Di tanah air—Indonesia—debat tentang poligami semakin mengemuka dan menarik perhatian ketika praktik poligami secara terang-terangan dilakukan oleh para publik fugur mulai dari pengusaha, politisi, ulama, sampai pelawak. Poligami kemudian menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang mewarnai wacana publik kita. Perdebatan tentang poligami di Indonesia setidaknya dapat dipetakan dalam empat kelompok pandangan. Pertama, kelompok yang menempatkan poligami sebagai perintah dari syari’at. Poligami adalah ajaran dan perintah Islam. Kelompok ini menganggap mereka yang menolak poligami adalah menolak syari’at Islam. Atas legitimasi tafsir teks versinya, poligami kemudian dipraktekkan, baik secara terang-terangan dan mengumumkan ke publik, atau secara sembunyi-sembunyi. Kedua, kelompok yang menempatkan poligami bukan sebuah ajaran dari Islam, tetapi Islam memberi ruang untuk mengubahnya dengan gradual, sampai akhirnya umat Islam bisa memahami hingga tahap tertentu bahwa poligami pada dasarnya bukan berasal dari Islam, dan bukan dicetuskan oleh Islam. Islam mengakui hanya sebagai strategi gradual agar Islam bisa diterima di Arab. Selebihnya Islam yang Jurnal Studi Gender Imam Machali paling jelas adalah membawa ide besar keadilan terhadap perempuan, mengakui perempuan sebagai manusia yang wajar, tidak tersubbordinasi oleh laki-laki.1 Ketiga, kelompok yang memahami poligami sebagai praktek yang tidak bisa ditinjau semata dari kacamata agama. Ada dimensi-dimensi hubungan sosial-masyarakat, sebab menyangkut banyak hal seperti personal, suami istri, anak-anak, dan berbagai keluarga. Hal ini mempengaruhi tatanan sosial masyarakat. Dari sini maka berkembang bahwa poligami adalah persoalan sosial, bukan persoalan individu. Dengan begitu, dalam konteks Indonesia, negara harus campur tangan untuk memberikan regulasi yang bisa memberikan rasa keadilan terhadap perempuan yang selama ini tersubbordinasi oleh sistem patriarki. Keempat, kelompok yang berpandangan bahwa poligami hanya bisa dilakukan terhadap anak yatim dan janda, bukan terhadap gadis, yaitu untuk melindungi mereka. Menurut pandangan ini poligami dengan seorang gadis atau perempuan yang bukan yatim dan bukan janda adalah kekeliruan mendasar. Tulisan ini bermaksud mengungkapkan perdebatan dan perbedaan argumentasi dalam memahami poligami dalam Islam. Pembahasan didasarkan pada argumentasi teks yang menjadi pedoman dan rujukan umat Islam. B. Poligami Poligami2 adalah perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari satu istri pada waktu bersamaan, artinya istri-istri tersebut masih dalam tanggungan suami— tidak diceraikan tetapi masih sah menjadi istrinya. Orang yang melakukan ini disebut bersifat poligam. Selain poligami juga dikenal istlah poliandri. Poliandri adalah bentuk perkawinan yang salah satu pihak (istri) memiliki lebih dari satu suami pada waktu yang bersamaan. Dibandingkan dengan poliandri, praktek poligami lebih banyak dipraktekkan dalam kehidupan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 15 16 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Poliandri hanya dapat ditemukan pada suku-suku tertentu saja, seperti pada suku Tuda dan beberapa suku di tibet. Kebalikan dari bentuk perkawinana poligami adalah monogami. Monogami adalah bentuk perkawinan yang hanya memperbolehkan suami mempunyai satu istri. Perkawinan model monogami ini dalam realitasnya lebih banyak diparaktekkan dalam kehidupan, karena dirasakan paling sesuai dengan tabiat manusia.3 Perselisihan pendapat mengenai poligami yang merujuk pada argumentasi teks suci—al-Qur’an dan hadits— paling tidak dapat dikelompokkan menjadi tiga bagain pertama, kelompok yang memperbolehkan poligami secara mutlak. Kedua, kelompok yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan dalam kondisi tertentu. Ketiga kelompok yang melarang poligami secara mutlak, dengan alasan bahwa prinsip pernikahan di dalam Islam adalah monogami. Ketiga argumentasi tersebut akan diulas sebagai berikut. C. Poligami Diperbolehkan Secara Mutlak Mayoritas ulama atau pemikir klasik dan pertengahan membolehkan praktek poligami yaitu laki-laki mempunyai istri lebih dari satu dengan batas maksimal empat istri. Imam mazhab dalam karya-karyanya4 membolehkan poligami dengan syarat pertama, harus mampu mencukupi nafkah keluarga dan kedua, harus mampu berbuat adil terhadap istriistrinya. Dipersyaratakanya adil di sini adalah meliputi adil dalam pembagian materi atau nafkah, waris mewarisi, dan medatangi (menggilir) para istri yang menjadi bagiannya. Keadilan di sini lebih pada keadilan lahiriyah atau fisik bukan keadilan bathiniyah, sebagaimana perilaku nabi dalam berbuat adil kepada para istrinya, yaitu dengan mendatangi giliran malamnya dan nafkahnya, lantas nabi berdo’a “Ya Allah, ini lah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku, maka janganlah tuntut aku menyangkut Jurnal Studi Gender Imam Machali (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan Abu Daud.) Alasan pembolehan poligami ini didasarkan pada surat an Nisa/ 4: 3 ﺧﻔﺘﻢ ﻻ ﺗﻘﺴﻄﻮ ﻓﻲ ﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻓﺎﻧﻜﺤﻮ ﻣﺎ ﻃﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﻟﻨﺴﺎ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ# *ﺑﺎ( ﻓﺈ ﺧﻔﺘﻢ ﻻ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﻓﻮﺣﺪ+ﻣﺜﻨﻰ ﺛﻼ ﻧﻰ ﻻ ﺗﻌﻮﻟﻮ/ ﻟﻚ1 ﻳﻤﺎﻧﻜﻢ ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempaun (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S An Nisa/ 4: 3) Dan hadits nabi yang menceritakan tentang seorang pria bani Tsaqif yang memiliki sepuluh istri, ketika ia masuk Islam, nabi memerintahkan untuk mempertahankan empat dan menceraikan yang lainnya. Dalam kasus lain diceritakan, bahwa ketika Naufal Ibnu Muawwiyah masuk Islam, ia memiliki lima orang istri, kemudian Rasullulah berkata “ceraikan yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada kasus Qais Ibn Tsabit juga demikian. Ketika ia masuk Islam ia memiliki delapan orang istri, dan di ceritakan hal itu kepada rasullullah, dan beliau berkata “pilih dari mereka empat orang”.5 Dari riwayat-riwayat tersebut jelas bahwa nabi memperbolehkan para sahabatnya mempunyai istri lebih dari satu orang (poligami). Lebih-lebih nabi juga melakukan praktek poligami.6 Berkenaan dengan persoalan keadilan yang disyaratkan dalam surat an Nisa’ tersebut, para ulama mengaitkannya dengan ayat 129 surat An Nisa yang berbunyi. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 17 18 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﺑﻴﻦ ﻟﻨﺴﺎ ﻟﻮ ﺣﺮﺻﺘﻢ ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ *ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺗﺼﻠﺤﻮ ﺗﺘﻘﻮ ﻓﺈ ﷲ ﻛﺎ ﻏﻔﻮ *ﺣﻴﻤﺎ “Sesungguhnya kalian para suami tidak akan mampu berbuat adil diantara istri-istrimu walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu menyayangi salah satu istri, sementara istri lainnya kalian biarkan terkatung-katung. Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa, maka Allah maha Pengampun lagi maha penyayang” (Q.S. An Nisa/ 4:129) Menurut Imam Syafi’i dan beberapa ulama lain, keadilan yang dimaksud disini berhubungan dengan keadilan bathiniah (hati) yang tidak mungkin hati akan berbuat adil. Sehingga persyaratan berlaku adil apabila seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu (poligami) adalah adil secara lahir/ fisik, yaitu dalam perbuatan dan perkataan.7 Keadilan dalam urusan fisik ini yang juga dituntut oleh surat al Ahzab/ 33: 50 “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” dan al Baqoroh 2: 228 “..dan pergaulilah dengan mereka secara patut”. Alasan lain yang digunakan ulama klasik dan pertengahan untuk membela keberadaan poligami adalah di dasarkan pada lanjutan surat an Nisa/ 4: 129 yang berbunyi: ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ “...Karena itu, janganlah kalian terlalu menyayangi salah satu istri, sementara istri lainnya kalian biarkan terkatung-katung”. Ayat ini menegaskan bahwa sepanjang tidak terlalu condong kepada salah satu di antara istri yang mengakibatkan terabaikannya (terkatung-katung) hak-hak istri yang lain, berarti sudah termasuk kelompok yang sudah berbuat adil, Jurnal Studi Gender Imam Machali sebagai syarat yang dikehendaki al-Qur’an untuk poligami.8 Dengan argumen-argumen tersebut para ulama klasik berpendapat bahwa poligami diperbolehkan dengan syarat harus berbuat adil—adil secara fisik atau dzahiriyah— sebagaimana tersebut di atas. Dalam mengkritisi pendapat ulama klasik dan pertengahan tersebut, khairuddin memberikan dua catatan. Pertama, dari pendapat para ulama mazhab hanya Imam Syafi’i yang menghubungkan surat an Nisa’ 4: 3 dengan ayat 129 yang menurut sebagian pemikir merupakan jawaban terhadap ayat pertama, tetapi Imam Syafi’i tidak memandang demikian. Kedua, dari pendapat dan pembahasan mengenai ayat poligami, para ulama klasik (mazhab) tidak ada yang mencatat atau mengulas sebab turunya ayat atau konteks. Demikian juga tidak ada yang menghubungkannya dengan pembahasan ayat sebelumnya, yaitu an Nisa/ 4: 1 dan 2. dengan demikian pembahasan dan pendapat para Imam/ ulama mazhab tersebut terlihat sangat literalis dan a-historis.9 D. Poligami Diperbolehkan Dengan Syarat Pandangan yang kedua mengenai poligami adalah, bahwa poligami di perbolehkan dengan syarat-syarat tertentu yang ketat dan dalam konteks atau kondisi tertentu. Poligami tidak dengan serta merta diperbolehkan dan juga tidak secara ekstrim ditolak. Kebanyakan pemikir Islam kontemporer memilih jalan “moderat” semacam ini. Diantara para pemikir yang termasuk dalam kelompok ini adalah Quraish Syihab, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud dan lain-lain. Quraish Syihab, seorang mufassir asal Indonesia, sebagaimana para pemikir lain, ketika mengulas tentang poligami mendasarkan pada surat An Nisa/ 4: 3 dengan meberikan ulasan tentang sejarah turunya ayat tersebut dan menjelaskan bahwa ayat tersebut berbicara tentang bolehnya poligami, turun berkaitan dengan sikap sementara pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil.10 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 19 20 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Lebih lanjut Quraish Shihab memberikan lima catatan terkait dengan surat An Nisa/ 4: 3 tersebut: 1. Ayat tersebut pada dasarnya ditujukan kepada para pemelihara anak-anak yatim yang hendak menikahi mereka tanpa berlaku “adil”. Tetapi karena redaksi ayat tersebut bersifat umum, dan karena kenyataan sejak masa nabi Muhammad s.a.w dan sahabat belau menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak yatim pun berpoligami, dan itu terjadi sepengetahuan rasul s.a.w., maka tidaklah tepat menjadikan ayat tersebut hanya terbatas kepada para pemelihara anakanak yatim saja. 2. Kata ( )ﺧﻔﺘﻢkhiftum yang biasa diartikan takut, yang juga dapat berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras atau bahkan menduga tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya—yang yatim ataupun yang bukan— maka mereka itu diperkenankan oleh ayat tersebut melakukan poligami. Yang diperkenankan hanyalah yang yakin11 atau menduga keras dapat berlaku adil. Yang ragu, apakah bisa berlaku adil atau tidak, seyogyanya tidak di izinkan poligami. 3. Ayat di atas menggunakan kata ( )ﺗﻘﺴﻄﻮtuqsithu dan ( )ﺗﻌﺪﻟﻮta’dilu yang keduanya diterjemahkan berlaku adil. Ada ulama yan mempersamakan maknanya, dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedang ta’dilu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak. Jika makna kedua ini difahami, maka itu berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga bahwa langkahnya itu dia harapkan dapat menyenangkan suami istri yang dinikahinya. Ini difahami dari kata tuqsithu, tetapi kalau tidak dapat tercapai, maka paling tidak ia harus berlaku adil, walaupun itu bisa Jurnal Studi Gender Imam Machali tidak mennyenangkan salah satu di antara mereka. 4. Firman-Nya “maka nikahilah apa yang kamu senangi” bukan “siapa yang kamu senangi” bukan dimaksudkan—seperti tafsir beberapa ulama klasik yang mengandung bias—untuk mengisyaratkan bahwa perempuan kurang berakal, dengan alasan bahwa pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah bagi sesuatu yang tidak berakal dan siapa untuk berakal. Sekali lagi bukan itu tujuannya, tetapi agaknya pemilihan kata itu bertujuan menekankan tentang sifat perempuan itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya. Bukankah jika anda berkata: “siapa yang dia nikahi?”. Maka anda menanti jawaban tentang perempuan tertentu, namanya dan anak siapa dia?. Sedangkan bila anda bertanya dengan menggunakan kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya janda atau gadis, cantik atau tidak, orang baik atau tidak, dan sebagainya. 5. huruf () waww pada ayat di atas bukan berarti dan, tetapi berarti atau, seingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat, bukan izin menjumlahkan angka-angka tersebut, sehingga dibolehkan berpoligami dengan sembilan atau bahkan delapan belas perempuan. Di samping secara redaksional ayat tersebut tidak bermakna demikian, Rasul s.a.w. pun secara tegas memerintahhkan Gilan Ibnu Umayyah Ats Tsaqofi yang ketika itu memiliki sepuluh istri, agar mencukupkan dengan empat orang dan menceraikan yang lainnya. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan tersebut dia berkata: “Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan anda”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak maka makanan tertentu itu.12 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 21 22 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Bagi Quraish Shihab, surat 4: 3 hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilakukan saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.13 Diibaratkan seperti dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu; yang duduk disamping pintu darurat pun haruslah mereka yang memiliki pengetahuan dan kemampuan membukanya, dan baru diperkenankan membukanya pada saat mendapat izin dari sang pilot.14 Ditambahkan bahwa, menurut Quraish Shihab, pembahasan mengenai poligami dalam pandangan alQur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi, serta melihat pula sisi pemilihan aneka alternatif yang terbaik. Bukankah hal yang wajar bagi suatu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk stiap waktu dan tempat untuk mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadiannya baru merupakan kemungkinan,15 seperti kemungkinan mandulnya istri, terjangkit penyakit parah, dan alasan dan kondisi lain. Dengan demikian, poligami mestinya mampu menjadi alternatif pemecahan masalah-masalah tersebut. Mengenai persoalan “keadilan” yang ada pada ayat (4): 3 dan hubungannya dengan “keadilan” pada ayat (4): 129, Quraish Shihab sependapat dengan ulama klasik, bahwa tuntutan keadilan sebagai syarat bolehnya poligami adalah pada hal-hal yang berhubungan dengan materi yang dapat di ukur dengan angka, bukan pada perasaan hati dan cinta yang tidak mungkin dapat diukur. Menurut Syid Sabiq, keadilan suami kepada para istrinya di sini mencakup masalah makanan, tempat tinggal, pakaian dan giliran bermalam bersama masing-masing mereka dan kewajiban-kewajiaban bersifat materi lainnya. Jika seorang hanya yakin dapat berlaku adil dengan dua istri, haram baginya menikah yang ketiganya kalinya, dan begitu seterusnya.16 Jurnal Studi Gender Imam Machali Pendapat lain yang membolehkan pligami dengan syarat atau dengan kondisi tertentu diungkapka oleh Ashgar Ali Engineer, menurutnya berdasarkan konteks turunya ayat (4): 3 tersebut, perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogami, sedangkan poligami adalah pengecualian.17 Ditambahkan bahwa konteks turunya ayat ini adalah ketika telah selesai perang Uhud, yaitu perang yang merenggut nyawa (syahid) sahabat sebanyak 70 dari 700 orang laki-laki. Akibatnya banyak perempan muslimah menjadi janda dan anak yatim, yang harus dipelihara. Maka menurut konteks sosial ketika itu jalan terbaik untuk memelihara dan menjaga para janda dan anak yatim adalah menikahi mereka, dengan syarat harus adil.18 Dengan demikian, pemahaman terhadap ayat tersebut adalah, menikahi janda dan anak-anak yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks.19 Sehingga pemberlakuan ayat tersebut harus dilihat dalam konteks tertentu, temporal dan bukan berlaku universal atau untuk jangka waktu yang tak terbatas. Dengan melihat pada sejarah pra-Islam, Ashar Ali Engineer menambahkan bahwa, bentuk perkawinan yang ada sebelum Islam adalah tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki boleh menikahi wanita berapapun ia mau dan mampu. Kemudian Islam datang dengan mambawa aturan pembatasan maksimal empat istri, sebuah pengurangan yang sangat drastis dan sebuah reformasi yang luar biasa pada masanya. Demikian juga dicontohkan nabi, poligami nabi hanya kepada janda. Maka kebolehan poligami hanya dalam keadaan-keadaan tertentu yang sangat sulit.20 Riffat Hasan, berpandangan bahwa, poligami adalah satu pengecualian dengan syarat-syarat tertentu. Sebagaimana Asgar Ali Engineer, Riffat juga berpendapat bahwa, untuk memahami ayat 4: 3 secara utuh harus melihat konteks ayat ini turun dan dalam kondisi seperti apa. Ayat ini turun setelah kekalahan pasukan muslim pada perang Uhud, akibatnya banyak janda dan anak yatim yang membutuhkan pertolongan (perwalian) akibat ditinggal syahid oleh suami dan babak-bapak mereka. Dengan melihat konteks turunya P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 23 24 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN ayat tersebut maka, tujuan diperbolehkannya poligami adalah untuk tujuan kemanusiaan, yakni untuk menjaga dan memelihara anak yatim dan janda. Dengan demikian, orang yang akan melakukan poligami untuk sekarang pun harus sesuai dengan tujuan dasar itu.21 Fazlur Rahman, memberikan ulasan tentang persoalan ini. Menurut rahman, asas ideal pernikahan di dalam Islam adalah monogami, sedangkan pengakuan poligami sebagaimana yang diungkapkan dalam ayat 4:3 adalah bersifat kasuistik dan spesifik untuk penyelesaian masalah yang terjadi pada masa itu, yaitu tindakan wali yang tidak rela mengembalikan harta anak yatim setelah anak yang ada dalam perwaliannya sudah cukup dewasa. Ditambahkan bahwa, untuk memahami ayat 4: 3 tersebut harus dihubungkan dengan ayat 4: 127-129 dan 2, yang berbicara masalah perwalian dan anak yatim.22 Menurut Muhamad Abduh, poligami diperbolehkan dalam kondisi-kondisi yang sangat mendesak, seperti tidak mendapatkan keturunan. Di samping itu Abduh sangat mencela poligami yang bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu.23 Demikianlah kelompok yang berpendapat bahwa poligami diperbolehkan dalam kondisi tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat. E. Poligami Dilarang Secara Mutlak Sebagaimana argumentasi kelompok yang mendukung dan mensyaratkan poligami, yang menolak poligami pun menggunakan dalil yang sama, yaitu surat an Nisa (4):3. Ayat ini memang satu-satunya ayat yang memberikan informasi bahwa poligami diperbolehkan di dalam Islam. Karana jelas-jelas secara dzahir dikatakan “nikahilah perempuanperempuan yang kamu sukai; dua, tiga atau empat”. Bagi penolak poligami ayat ini harus difahami tidak secara terpisah dengan ayat-ayat lain (sebelum dan sesudah serta ayat-ayat Jurnal Studi Gender Imam Machali yang berkaiatan dengannya) dan harus juga memperhatikan asbabul nuzul-nya (konteks peristiwa ayat turun). Dalam memahami ayat ini, mereka menggunakan metode penafsiran maudhu’i (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tertentu, kemudian mengkaitkan dan membahasnya secara mendalam sehingga ditemukan sebuah kesimpulan yang mempertautkannya. Musdah Mulia24—feminis Indonesia—mengkaitkan ayat ke 3 surat An-Nisa dengan dua ayat sebelumnya yang berbunyi: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakantindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” Ayat pertama berisi tentang perintah kepada manusia untuk bertaqwa kepada Allah. Sedangkan ayat kedua berisi penegasan agar berlaku adil, terutama terhadap anak yatim. Ayat kedua ini secara spesifik berbicara tetang anak yatim sebagai akibat dari perilaku tribal—peperangan antar suku/bangsa—masyarakat arab pada masa itu. Sudah menjadi tradisi masyarakat jahiliyah bahwa anak yang ditinggal mati orang tuanya di medan perang menjadi tanggungjawab dan kekausaan para walinya. Termasuk penguasaan menguasai hartaharta mereka sampai mereka dewasa dan mampu mengelola sendiri hartanya. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 25 26 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Akan tetapi, kenyataan yang terjadi menunjukkan banyak para wali yang berperilaku curang terhadap anak-anak yatim tersebut dengan tidak memberikan hartanya setelah mereka dewasa. Kecurangan lain adalah para wali menukarkan barang-barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak yatim yang bercampur dengan di dalam harta mereka. Tradisi ini nampaknya berlanjut hingga Islam datang dan ayat ini turun untuk mengecam perilaku para wali tersebut. Selanjutnya ayat ke 3 nya sekaligus memberikan solusi dari problem itu, sehingga ayat tersebut berbunyi: ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) anak perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempaun (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seseorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S An Nisa/ 4: 3) Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa, ayat ini turun di Madinah setelah kekalahan pasukan kaum muslimin pada perang Uhud. Rasyid Ridha25 menambahkan bahwa asbabun nuzul ayat ini di antaranya adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Baihaqi dari Urwa Ibn Zubair: “Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah tetang sebab turunya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan ayat ini turun bekenaan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian, walinya itu tertarik dengan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar”. Riwayat lain menjelaslaskan26 “beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lakilaki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan dia tiadak sanggaup lagi menafkahi istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang berada dalam Jurnal Studi Gender Imam Machali perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan istri-istri lainnya. Para penolak poligami juga menghubungkan Ayat 3 an Nisa tersebut dengan ayat 129 surat an Nisa yang yang berbunyi: ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻌﻮ ﺗﻌﺪﻟﻮ ﺑﻴﻦ ﻟﻨﺴﺎ ﻟﻮ ﺣﺮﺻﺘﻢ ﻓﻼ ﺗﻤﻴﻠﻮ ﻛﻞ *ﻟﻤﻴﻞ ﻓﺘﺬ*ﻫﺎ ﻛﺎﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺗﺼﻠﺤﻮ ﺗﺘﻘﻮ ﻓﺈ ﷲ ﻛﺎ ﻏﻔﻮ *ﺣﻴﻤﺎ “Sesungguhnya kalian para suami tidak akan mampu berbuat adil diantara istri-istrimu walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kalian terlalu menyayangi salah satu istri, sementara istri lainnya kalian biarkan terkatung-katung. Sesungguhnya jika kalian berbuat adil dan bertakwa, maka Allah maha Pengampun lagi maha penyayang” (Q.S. An Nisa/ 4:129) Ayat ini menjelaskan tentang keadilan yang tidak mungkin akan dapat dipenui oleh suami yang berpoligami, meskipun mereka sangat ingin berbuat demikian. Menurut mereka, adil yang di syaratkan disini adalah adil secara immateri (bathiniah) yaitu hub (cinta) dan Jima’ (hubungan suami istri)27 yang tidak akan dapat terpenuhi oleh suami yang berpoligami meskipun ia sangat ingin melakukan dan berusaha semaksimal mugkin, sebagaimana tertutur dalam ayat tersebut, “Sesungguhnya kalian para suami tidak akan mampu berbuat adil di antara istri-istrimu walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian”. Hanya nabi sajalah yang mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya, namun pada saat yang sama nabi Muhammad s.a.w pun juga mengakui bahwa beliau tidak dapat berlaku adil, sebagaimana diungkapkan oleh Aisyah bahwa rasul mengadu kepada Allah: “Ya Allah, ini lah bagian (keadilan) yang berada dalam kemampuanku, maka janganlah tuntut aku menyangkut (keadilan cinta) yang berada di luar kemampuanku” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan Abu Daud.) P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 27 28 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Dasar ayat inilah yang menjadi pembenaran penolakan poligami, sebab keadilan yang menjadi syarat poligami tidak mugkin terpenuhi. Lebih lanjut mereka menambahkan bahwa, ayat 4: 3 seharusnya dilihat sebagai sebuah proses evolusi penghapusan poligami. Pembatasan maksimal empat istri dari sebelumnya tanpa batas adalah pembatasan dari proses evolusi yang belum selesai, sampai kepada hanya monogami yang menjadi prinsip pernikahan dalam Islam. Dengan demikian, suami yang berpoligami tidak mungkin dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, terutama dalam bidang immateri. Karena ia tidak akan mampu berbuat adil, maka poligami seharusnya dilarang. Nabi Muhammad juga pernah mengingatkan bahwa, jika seorang muslim melakukan poligami sedangkan ia yakin tidak akan mampu menerapkan keadilan terhadap istri-istrinya, sesunggunya ia telah melakukan dosa besar di hadapan Allah. Terhadap mereka nabi mengancam dengan sabdanya: “Apabila ada seorang suami mempunyai dua istri dan dia tidak berlaku adil di antara keduanya, dia akan datang pada hari kiamat dengan bentuk badan yang miring”. Berdasarkan hadist di atas seharusnya seorang suami harus berfikir ulang untuk melakukan poligami, sebab pada kenyataannya para pelaku poligami cenderung memperlakukan salah satu istri (biasanya istri muda) secara istimewa, dan mengabaikan hak-hak dari istri lainya, baik sengaja maupun tidak. Inilah yang tidak dikehendaki Allah dan rasulnya. Mereka tetep saja tidak dapat berbuat adil. Apalagi jika keadilan diukur dari perspektif si istri (korban poligami) sudah dapat dipastikan tidak ada suami yang memenuhi syarat keadialan tersebut. Selama ini ukuran keadilan hanya di dasarkan pada si suami, tidak di dasarkan pada istri. Dengan argumen ini poligami sudah seharusnya dihapuskan, sebeb “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. Menurut Al-Tahir al-Hadad—pemikir modern asal Jurnal Studi Gender Imam Machali Tunisia—berpendapat bahwa, surat al Nisa (4):3 berhubungan dengan (4):129. Dengan turunya al Nisa (4): 129 tersebut sudah seharusnya poligami dicegah, sebab menurutnya tujuan pernikahan adalah untuk membina keluarga sakinah, mawadah dan rahmah,28 sementara pada kanyataannya poligami mengakibatkan sulitnya membina kehidupan keluarga yang harmonis dan tentram antara suami, istri dan anak-anak, apalagi harta yang ditinggalkan si suami ketika ia meninggal sangat terbatas.29 Berbeda dengan Al Hadad, Muhammad Salman Ghanim berpendapat lain, menurutnya ayat ini bukanlah ayat poligami sebagaimana umumnya pendapat para mufassir, tetapi hanya mewanti-wanti kepada orang yang ingin menikah agar memberikan perioritas kepada ibu-ibu anak yatim yang mempunyai tanggungan anak dua, tiga, hingga empat anak. Atau jika tidak mau, maka nikahi satu saja dari perempuanperempuan selain mereka.30 Argumen lain yang digunakan penentang poligami adalah beberapa riwayat hadits yang diriwayatkan bil lafdhi maupun bil ma’na yang menyatakan larangan nabi terhadap pligami, yaitu ketika Ali r.a meminta izin kepada rasul untuk menikah lagi (poligami), yakni memadu Fatimah binti Rasullullah dengan Juwairiyah binti Abu Jahl.31 ﻟﻤﺴﻮ* ﺑﻦ ﻣﺨﺮﻣﺔ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻧﻪ ﺳﻤﻊ *ﺳـــﻮ@ ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ... ّ ﻧﻮﻧﻲ1 ﺳﺘﺄ# ﺑﻦ ﻟﻤﻐﻴﺮI ّ ﺑﻨﻲ ﻫﺸﺎ,@ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ ﻟﻤﻨﺒﺮ ﻫﻮ ﻳﻘﻮ ّ ﺗﻢ, ﻟﻬﻢ1 ﺗﻢ ﻻ, ﻟﻬﻢ1 ﻳﻨﻜﺤﻮ ﺑﻨﺘﻬﻢ ﻋﻠﻲ ﺑﻦ ﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻓﻼ . ﻻ ﻳﺤﺐ ﺑﻦ ﺑﻲ ﻃﺎﻟﺐ ﻳﻄﻠﻖ ﺑﻨﺘﻲ ﻳﻨﻜﺢ ﺑﻨﺘﻬﻢ, ﻟﻬﻢ1ﻻ ﻫﺎ1 ﻧﻲ ﻣﺎ1ﻓﺎﻧّﻤﺎ ﺑﻨﺘﻲ ﺑﻀﻌﺔ ﻣ ّﻨﻲ ﻳﺮﻳﺒﻨﻲ ﻣﺎ*ﺑﻬﺎ ﻳﻮ “... Miswar bin makramah bercerita, ia mendengar Rasullulah s.a.w berdiri di atas mimbar seraya berkata: Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, aku tidak mengizinkan. Aku tidak izinkan, aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bi Abi Thalib lebih menyukai menceraikan putriku dan menikah P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 29 30 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN dengan putrinya (keluarga Hisyam). Sesungguhnya putriku adalah darah dagingku, menyusahkanya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku.” (H.R. Bukhari, Muslim, al Turmudzi dan Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan:32 ﻋﻦ ﻟﺸﻌﺒﻲ ﻗﺎ@ ﺟﺎ ﻋﻠﻲ ﻟﻲ *ﺳﻮ@ ﷲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻢ @ ﻓﻘﺎI ﻳﻦ ﻫﺸﺎ+*ﻳﺴﺄﻟﻪ ﻋﻦ ﺑﻨﺘﻪ ﻟﻰ ﺟﻬﻞ ﺧﻄﺒﺘﻬﺎ ﻟﻰ ﻋﻤﻬﺎ ﺣﺎ :@ﻋﻦ ﺣﺴﺒﻬﺎ ﻓﻘﺎ ّ ﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﺳﻠﻢ ﻋﻦ ّ ﺑﺎﻟﻬﺎ ﺗﺴﺄﻟﻲU ﻓﻘﺎ@ ﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ,ﻟﻚ ؟1 Wﺗﺰﺟﻬﺎ ﺗﻜﺮ ّ ﻟﻜﻦ *ﻳﺪ,ﻻ @ ﻓﻘﺎ, ﺗﺨﺰ ﺗﻐﻀﺐW ﻧﻤﺎ ﻓﻄﻤﺔ ﺑﻀﻌﺔ ﻣﻨﻲ ﻧﺎ ﻛﺮ,ﺳﻠﻢ .Yﻋﻠﻲ ﻓﻠﻦ ﺗﻰ ﺷﻴﺄ ﺳﺄ “Asy-Sya’bi berkata: Ali datang menemui nabi meminta saran tentang rencananya meminang putri Abu Jahl melalui pamannya Al Harits bin Hisyam, nabi bertanya, kamu tertarik hatinya atau keturunannya?, tidak semua. Tetapi aku ingin menikahinya apakah engkau setuju?, maka nabi menjawab: fatimah adalah darah dagingku aku tidak suka ia bersedih atau marah. Maka Ali pun berkata: aku tidak akan melakukan sesuatu yang mengecewakanmu” Dari uraian di atas—bagi kelompok penentang poligami—dapat diambil beberapa cataran penting. Pertama, surat an Nisa/ 4: 3 bukanlah dalil perintah atau anjuran untuk melakukan poligami. Sebab ayat tersebut turun bukan dalam konteks pebicaraan poligami, tetapi dalam konteks pembicaraan anak yatim dan perlakukan tidak adil yang menimpa mereka. Ayat tersebut pada intinya mengandung peringatan untuk menghindari segala bentuk perilaku tidak adil dan semena-mena, terutama dalam perkawinan. Untuk itu, demi menegakkan keadilan, Allah memperingatkan kepada para suami akan dua hal. Pertama, jangan menikahi anak yatim perempuan yang berada dalam walian mereka, kalau tidak mampu berlaku adil. Kedua, jangan berpoligami, kalau tidak mampu berlaku adil. Faktanya, dalam dua hal tersebut Jurnal Studi Gender Imam Machali manusia hampir-hampir mustahil dapat berlaku adil. Sehingga kesimpulan dari ayat tersebut adalah lebih berat mengandung ancaman berpoligami daripada membolehkannya.33 Bukti tidak diperbolehkannya poligami juga tercermin dalam hadits yang melarang Ali untuk menikah lagi—memadu Fatimah binti Rasulullah—hal ini bisa berarti bahwa, praktek poligami sangat dimungkinkan menyakiti seseorang—baik perempuan maupun keluarganya—maka harus dihindari. Perkataan nabi untuk menceraikan Fatimah (putrinya) jika Ali bersikukuh untuk menikah lagi, menandakan ketidakrelaan nabi atas poligami yang berarti larangan terhadap pligami. F. Kesimpulan Simpulan dari pembahasan di atas adalah bahwa poligami sebagai salah satu bentuk perkawinan dalam Islam masih menjadi perdebatan yang tak berujung. Perselisihan pendapat mengenai poligami paling tidak dapat bedakan menjadi tiga, pertama pendapat yang memperbolehkan poligami secara mutlak. Kedua, pendapat yang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang sangat ketat dan dalam kondisi tertentu. Ketiga pendapat yang melarang poligami secara mutlak. Ketiga pendapat tersebut didasarkan pada rujukan teks—al-Qur’an—yang sama namun dengan pendekatan, pemahaman, dan tafsir yang berbeda. Di Indonesia, perdebatan tentang poligami dapat dipetakan dalam empat kelompok pandangan. Pertama, kelompok yang menempatkan poligami sebagai perintah dari syari’at. Kedua, kelompok yang menempatkan poligami bukan sebuah ajaran dari Islam, tetapi Islam memberi ruang untuk mengubahnya dengan gradual. Ketiga, kelompok yang memahami poligami sebagai praktek yang bukan semata-mata ditinjau dari kacamata agama, akan tetapi harus dihubungkan dengan dimensi hubungan sosial-masyarakat, dan Keempat, kelompok yang berpandangan bahwa poligami hanya bisa dilakukan terhadap anak yatim dan janda dengan misi untuk melindungi mereka. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 31 32 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN (Endnotes) 1 Referensi tentang ini diantaranya dapat ditemukan dalam Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan (Jogjakarta: LKiS, 2003), hal. 109-. 2 Istilah lain dari poligami adalah poliandri. Keduanya memiliki makna yang sama, namun poligini mempunyai pengertian yang lebih umum, yaitu perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Pengertian ini mengandung dua makna yaitu poligami dan poliandri. Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 606 3 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), 2-3 4 Hal ini bisa dilihat dalam kitab al Mabsut karya Imam al Sarakhsi dari mazhab Hanafi, al Muwwatta’ karya Imam Malik, Al Umm karya Imam Syafi’i dan lain-lain. 5 Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh at Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah dalam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah, al Jami’ alSahih (Sunan Al Turmudhy), Bairut: Dar Al-Fikr, tt, 3: 435. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Bairut: Dar Al-Fikr, 1994, 2: 248-249, dan Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-qazwini, Sunan Ibnu Majah, Bairut: Dar Al-Fikr, tt., 1: 628. 6 Praktek poligami nabi didasarkan untuk kepentingan dakwah semata. Wanita yang dinikahinya pun para janda beranak yang sudah berumur senja (di atas 45 tahun). Masa pernikahan monogami bersama siti Khatijah berlansung selama 25 tahun dan poligami selama sekitar 8 tahun. 7 Khoruddin Nasution, Perdebatan Sekitar Status Poligami: Ditinjau dari Perspektif Syari’ah Islam, Jurnal Musawa vol.1. No.1, Maret 2002, hal. 61 8 Fazlur Rahman, The controversy over the muslim Family law, dalam Donald. E. smith (ed), South Asian Politis and Religion (princeton: Priceton University Press, 1966), pp. 414-427, 417 9 Khairuddin Nasution, Musawa…, hal. 63 10 M. Quraish Sihab, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru, (Tangerang, Lentera Hati, 2005), hal. 162 11 Yakin yang dimaksud adalah keyakinan yang didukung oleh realitas obyektif yang ada pada diri laki-laki tersebut, tidak hanya sekedar keyakinan. Yang dimaksud dengan keyakinan obyektif adalah mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang konsep adil dalam berpoligami menurut Islam, memiliki harta kekayaan yang dapat memenuhi kewajibannya memberi nafkah secara adil kepada istri-istrinya. Yunahar Jurnal Studi Gender Imam Machali Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an (Yogyakarta: LABDA PESS, 2006), hal. 141-142 12 M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal. 162-165, keterangan lebih lanjut dapat ditemui juga di M. Quraish Sihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 2, (Ciputat, Lentera Hati, 2000), hal. 321-328 13 M. Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Ummat (Bandung: Mizan, 1996), hal. 199 14 M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal. 180-181 15 M. Quraish Sihab, Perempuan,… hal.166-167 juga dalam M. Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an,… hal. 200 16 Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, II, (Bairut: Dar al Kitab al Arabi, 1977), 110 17 Pengecualian ini dapat dilakukan jika terdapat alasan yang dapat diterima, seperti kemandulan. Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (tjm) (Yogykarta: LSPPA dan CUSO, 1994), hal. 30 18 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…hal 146 19 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan… hal, 143-144 20 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan… hal, 144 21 Riffat Hasan, Women in the Context of Marriage, divorce and polygamy in Islam”, kumpulan makalah, 58-60 22 Fazlur Rahman, The Status of Women in Islam, A Modernist Interpretation, dalam The Saparate Worlds: Studi of Purdah in South Asia (ed) Hanna Papanek & Gail Minault (Delhi: Chanakya Publicaion, 1982), hal. 298 23 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Studi Pemikiran Muhammad Abduh (Yogyakarta; ACAdeMIA dan Pustaka Pelajar, 1996), hal. 24 Ulasan agak lengkap ditulis dalam buku “Pandangan Islam tentang Poligami” (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), 27-49, atau dalam terbitan lain berjudul “Islam Menggugat Poligami”, (Jakarta, Gramedia, 2004), hal. 84-117 25 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Dar al-Fikr, Bairut, IV, tt, 344- 26 Juga dari Aisyah 27 Sebagaimana penafsiran Abdullah Ibn Abbas terhadap surat An 345 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 33 34 POLIGAMI DALAM PERDEBATAN Nisa/ 4: 129. Abdullah Ibnu Abbas, al Mashdar an Nafisah, h. 47 28 Sebagaimana yang dihubungan dengan surat al-Rum (30):21 29 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat (tjm), (Serabaya: Pustaka Firdaus, 1993), hal. 77 30 Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme (tjm), (Yogyakarta: LKiS, 2004) 90 31 Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Sahih Muslim, II, (Bandung: al Ma’arif) tt, 376 32 Jalaluddin Al-Suyuti, Musnat Fatimah al-Zahra’, (terj) (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997), hal. 159-161 33 Musdah Mulia, Pandangan, …, hal. 49 Jurnal Studi Gender Imam Machali Daftar Pustaka Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayry, Sahih Muslim, II, Bandung: al Ma’arif, tt Al-Thahir Al-Hadad, Wanita dalam Syari’ah dan Masyarakat (terj), Serabaya: Pustaka Firdaus, 1993 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam (tjm), Yogykarta: LSPPA dan CUSO, 1994 Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, Jogjakarta: LKiS, 2003 Donald. E. smith (ed), South Asian Politis and Religion, princeton: Priceton University Press, 1966 Fazlur Rahman, The Status of Women in Islam, A Modernist Interpretation, dalam The Saparate Worlds: Studi of Purdah in South Asia (ed) Hanna Papanek & Gail Minault, Delhi: Chanakya Publicaion, 1982 Jalaluddin Al-Suyuti, Musnat Fatimah al-Zahra’, (terj), Jakarta, Pustaka Firdaus, 1997 Jurnal Musawa vol.1. No.1, Maret 2002 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami; Studi Pemikiran Muhammad Abduh Yogyakarta; ACAdeMIA dan Pustaka Pelajar, 1996 M. Quraish Sihab, Perempuan, dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, dari Bisa Lama Sampai Bisa Baru, Tangerang, Lentera Hati, 2005 M. Quraish Sihab, Tafsir Al Misbah, Vol. 2, Ciputat, Lentera Hati, 2000 M. Quraish Sihab, Wawasan Al Qur’an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 1996 Muhammad Salman Ghanim, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme (tjm), Yogyakarta: LKiS, 2004 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Jakarta, Gramedia, 2004 Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999 Pius A Partanto dan M Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994 Rasyid Ridha, Tafsir Al Manar, Dar al-Fikr, Bairut, IV, tt Riffat Hasan, Women in the Context of Marriage, divorce and polygamy in Islam”, kumpulan makalah Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, II, Bairut: Dar al Kitab al Arabi, 1977 Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam Al Qur’an, Yogyakarta: LABDA PESS, 2006 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 35 36 Jurnal Studi Gender Ide Utama PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN (Analisa terhadap Argumen Kesetaraan Gender) * Mas’udi ABSTRACT: Globalization drives the people to placing all jobs by professionalism and reasonable. On this placing, each people prosecuted to understand the state between man and women. Really, the imbalance perception of this state damaged one state of human being. Perhaps, to minimize this detriment, many women’s sign up the movements on Gender perspective. This movement oriented to grow up the equality state between man and women. The perspective run on the normative principal “text” a bout “Inna akramakum ‘indallah atqaakum” the noblest people between you are is the pious. According to dynamic partnership between man and women, the reality shown the women is second sexes. The perception actually created subordination state women under man authority and complement sexes for him. Actually, this is bias of masculinity translation on alQur’an recitation. The translators make them translations just on literally understanding. Equality a live between man and women was reality principal in Islam. Although, the distinction exist between them, but Islam ward off the assumptions of discrimination. Islam completely removed the discrimination of basic rights of them. Exactly, with Muhammad (Peace be Upon Him) prophetic, Islam truly explains for all human being a bout equality a live was the truth of Islamic doctrines. * Penulis adalah dosen STAIN Kudus kelahiran Madura, 04 Mei 1981, tepatnya di ujung timur Pulau Madura, Sumenep. Program sarjananya ditempuh di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ushuluddin, konsentrasi Aqidah dan Filsafat. Lulus dari studi sarjana ini dengan predikat cumlaude, mahasiswa termuda dan terbaik. Sementara itu, program masternya ditempuh pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, konsentrasi Antropologi Budaya dengan fokus kajian tentang “Poligami di Mata Laki-laki Madura”. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 38 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN The struggle on Gender movements was certainty. Women violence that was exist all a live certainly removed on human common senses. Many organizations in the world build up them attentions on these problematic systems. These circumstances forceful by existence of many organizations on this movement, there are: Vienna Declaration and Programmed of Action (1993), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979), Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993) Beijing Declaration and Platform for Action (1995). Keywords: Equality, Gender, al-Qur’an, partnership, women violence, public, domestic. A. Latar Belakang Perkembangan dunia yang semakin mengglobal menggiring para penghuninya untuk berapresiasi aktif. Munculnya sikap pasif akan menjadi sebab tergilasnya seseorang dengan akselerasi budaya di dalamnya. Salah satu kondisi yang menuntut kejelian masyarakat dalam dunia global adalah permasalahan gender. Sebuah kenyataan hidup yang ingin memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Globalisasi dengan muatan budaya, politik, ekonomi, dan agama yang terdapat di dalamnya menggugah semua elemen masyarakat untuk memahami bagian-bagian penting dalam membangun struktur kerja antara laki-laki dan perempuan. Ranah domestik dan ranah publik bukanlah wilayah terpisah antara laki-laki dan perempuan. Kedua wilayah ini memiliki porsi yang sama bagi semua penghuni di dalamnya. Dalam wilayah politik, para aktivis gender memperjuangkan hak-hak mereka untuk menduduki ruang gerak pemerintahan dengan porsi lebih maju daripada porsiporsi yang mereka terima sebelumnya. Jatah 30 % (Gadis Arivia, Jurnal Studi Gender Mas’udi 2006) kedudukan di kursi parlemen merupakan sebuah jatah yang mengusung perjuangan panjang demi meraihnya. Hal tersebut tentu saja merupakan bukti bahwa bila perempuan diberi kesempatan dan disadarkan akan hak-haknya, mereka mampu memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, penting pula bagi perempuan untuk ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, sehingga nantinya keputusan yang dibuat tidak merugikan perempuan dan kelompok-kelompok lainnya. Adanya kekerasan, konflik dan sebagainya tidak lepas dari adanya pengabaian terhadap nilai-nilai perempuan. Karena kekerasan, konflik merupakan kumpulan dari nilai-nilai maskulin yang tidak lepas dari nafsu agresivitas, penindasan, menguasai dan hegemoni. Oleh karenanya, perempuan dengan pengalamannya memiliki nilai-nilai feminimitas yang mendukung terciptanya masyarakat yang lebih manusiawi. Nilai-nilai ini yang selanjutnya harus disebarkan di masyarakat. Perjuangan yang diusung oleh para aktivis feminis atau gender bertujuan khusus untuk memberdayakan adanya pemberdayaan perempuan, yang dimaknai sebagai kekuatan berpikir untuk bebas dan membuat keputusan sendiri. Kekuatan yang mampu membangkitkan rasa percaya diri dan kebanggaan karena kodrat keperempuannya, kekuatan untuk bertindak melawan penindasan dan penghancuran, dan kekuatan untuk menciptakan kultur yang baru dan nilainilai yang baru. Jika perempuan dipenuhi kekuatan tersebut, tentunya akan tercipta lingkungan yang ramah perempuan dan anak. Bukankah dunia yang ramah perempuan dan anak, di mana nilai-nilai perempuan menyebar merupakan dunia yang ramah bagi semua? (http://bunga-rumput.blogspot. com/2007/05/pendidikan-kritis-feminis-dalam-upaya_ 3086.htm). Dalam wilayah agama, tidak jarang kebijakankebijakan agama yang berkecenderungan patriarkhis menuai kritik tajam dan tuntutan analisa ulang terhadap teks-teks P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 39 40 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN yang telah disebarluaskan. Dalam dunia Kristen, pastur yang didudukkan sebagai wakil Tuhan di bumi, darinya keberkahan dan karunia dapat diwujudkan, menuai kritik tajam akan keberadaan laki-laki yang dapat menduduki kursi teragung dalam aktivitas keagamaan. Tidak ketinggalan pula dalam dunia Islam, Fatima Mernisi salah seorang aktivis gender dalam bukunya Women and Islam menegaskan, dirinya mensinyalir terpuruknya posisi perempuan ke lembah kekerasan disebabkan oleh adanya proses pembalikan status yang didukung oleh bahasa agama. Segala ajaran yang berkenaan dengan perempuan berubah maknanya dan diterapkan sejalan dengan proses kepentingan politik tertentu. Tafsir ayat al-Qur’an atau Hadits yang cenderung mendudukkan perempuan ke masa pra Islam muncul sebagai ideologi yang mengesahkan praktik penguasa. Sementara itu, ayat yang mengandung semangat reformasi, pelan namun pasti, semakin tidak terdengar gaungnya. Kecenderungan lain yang menurut Mernisi turut memparah situasi adalah cara memahami teks agama secara literal. Mernisi mengambil contoh Imam Bukhari sebagai perawi hadits yang memiliki tradisi literal tersebut. Menurutnya, kendati susunan hadits Imam Bukhari diakui kesahihannya oleh umat Islam, namun dalam memaknai beberapa hadis tentang perempuan, ia dinilai kurang tepat. Imam Bukhari cenderung mengartikan sebuah hadis dalam konteksnya yang sangat terbatas. Padahal, munculnya suatu hadis tidak pernah terlepas dari kejadian di sekelilingnya. Lalu bagaimana caranya supaya agama bisa kembali menjadi pembebas bagi perempuan serta kembali menjadi rahmat bagi semesta alam? Jika Fatima Mernisi memiliki jawaban tegas atas pertanyaan tersebut, yakni rekonstruksi sejarah Islam secara menyeluruh, berbeda halnya Wardah Hafidz— salah seorang aktivis gerakan perempuan Indonesia—yang memutlakan perlunya kembali menafsirkan al-Qur’an dan Hadits secara kontekstual. Dalam ketegasan argumentasinya Wardah Hafidz mensinyalir “ketika al-Qur’an berbicara tentang poligami dengan persyaratan agama laki-laki berlaku Jurnal Studi Gender Mas’udi adil”, maka pesan inti yang dikemukakan sebenarnya adalah keadilan. Senada dengan Wardah Hafidz, KH. Husein Muhammad, salah seorang ulama yang bergiat pada isu Islam dan hak-hak perempuan menyarankan umat Islam berikhtiar untuk melakukan reintepretasi teks. Menurutnya, jika umat Islam ingin kembali meraih nilai-nilai kesetaraan yang pernah terjadi di masa lalu maka hal terbaik yang harus dijalankan adalah dengan membaca kembali teks-teks suci al-Qur’an dan Hadis maupun kitab-kitab klasik karya para ulama, dalam semangat obyektifitas dan semangat universal. Permasalahan yang muncul kemudian adalah apakah umat Islam memiliki kemauan ke arah semangat baru tersebut? (http:// www. swararahima.html). Beberapa pertanyaan mendasar di atas tentunya menuntut rasionalisasi para ahli untuk memberikan hak sewajarnya atas kaum perempuan. Ragam upaya untuk memperjuangkan moral kemanusiaan harus diperdengungkan guna mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Di atas semua apologi yang dapat mengapresiasi superioritas keduanya, setiap individu tentu harus mengerti segmentasi yang harus diberikan dan dijalankan oleh keduanya. Lakilaki dan perempuan merupakan dua struktur insani yang saling bergantung. Kesadaran simbiosis-mutualistik harus menjadi jembatan yang dapat menguatkan bahwa persilangan kebutuhan laki-laki dan perempuan sebagai realitas yang tidak dapat dibantah. B. Menapaki Sejarah Kelam Kemitraan Perempuan dan Laki-Laki Menguraikan persoalan kemitraan antara laki-laki dan perempuan dari prinsip normatifnya, dapat menimbulkan perbedaan pendapat. Timbulnya perbedaan pendapat ini bersumber dari beraneka ragamnya struktur penafsiran para ahli terhadap normativitas teks. Terlebih lagi, teksteks tersebut merupakan teks-teks agama yang cenderung P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 41 42 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN menimbulkan variasi interpretasi. Berbagai faktor akan timbul sebagai alasan beragamnya perbedaan interpretasi tersebut. Dari tingkat pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan budaya serta kondisi sosial masyarakat dapat menjadi sumber pemicunya. Dalam sejarah perjalanannya, perempuan mengalami tingkatan kehidupan yang sangat beragam. Sejarah menyebutkan bahwa sebelum turunnya al-Qur’an terdapat sekian banyak peradaban seperti Yunani, Romawi, India dan Cina. Di antara beberapa peradaban ini hidup agamaagama seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster di Persia dan sebagainya. Pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki. Realita ini masih nampak sekali dengan adanya patung-patung telanjang perempuan yang ditemukan dewasa ini di Eropa. Peradaban Romawi menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah masa perkawinan, kekuasaan mereka berpindah kepada suami. Suami memiliki kewenangan penuh untuk mengkondisikan, menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh. Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari yang lain. Hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar. Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga (Kata Pengantar N. Quraish Shihab dalam Nasaruddin Umar, 2001: xxviii). Berbeda dengan Islam, jauh ribuan tahun yang lalu, Islam justru mengajarkan kepada umatnya untuk memperlakukan perempuan secara baik. Dari puncak Gunung Arafah, saat berhaji untuk terakhir kalinya (Haji Wada), dengan suara lantang, Rasulullah saw., mengingatkan kaum Muslimin untuk berhubungan secara adil terhadap sesamanya. Mereka diperintahkan untuk menghindari pertikaian berdarah dan memperlakukan perempuan sebaik mungkin. Jurnal Studi Gender Mas’udi Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Rasulullah saw., juga mengecam para laki-laki yang memukuli istrinya secara semena-mena. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud Rasulullah saw., bersabda “Mereka yang suka memukul istrinya, bukanlah laki-laki terbaik“ (http:// www. swararahima.html). Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa konsepsi yang mapan di atas beralih dari arus utamanya. Berbagai penafsiran dari al-Qur’an dan al-Hadits cenderung berhaluan patriarkhis. Perempuan menjadi subordinasi kaum laki-laki. Ia berada dalam kelas dua sebagai second sexs. Realita serupa digambarkan oleh Karen Armstrong dalam bukunya Muhammad: The Prophet. Ia menyatakan bahwa Islam sebagai sebuah sistem yang berisi nilai-nilai, sesungguhnya tak mengajarkan para pengikutnya untuk memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil atau bahkan alihalih mengajurkan penindasan. Dalam satu kesempatan seusai menjalankan Haji Wada’, secara tegas Muhammad menyerukan umatnya untuk peduli dan menghormati para perempuan. Namun pernyataan Rasulullah tersebut seolah kurang bergema. Hanya sedikit umat yang memahaminya secara benar. Lebih dari 1500 tahun sejak berpulangnya Nabi kehadirat Allah Azza wa Jalla, situasi yang dialami oleh perempuan bukannya membaik, malah seolah kembali berbalik ke zaman jahiliyah. Bahkan lebih buruk lagi. Saat ini terdapat puluhan bahkan ratusan juta perempuan di seluruh negara, terutama di negara-negara Muslim, yang hidup dalam situasi terdiskriminasi dan menjadi obyek tindak kekerasan. Pakistan adalah contoh sebuah negara yang memiliki citra buruk dalam memperlakukan kaum perempuan. Citra buruk ini bisa terlihat (di antaranya) dari adanya tradisi pemerkosaan massal atas nama adat di Pakistan. Akibat tradisi liar ini, Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan mencatat setidaknya ada 200 perempuan Pakistan yang diperkosa beramairamai selama 2004. Sebanyak 176 orang bunuh diri karena menanggung malu. Ironisnya, tak satupun dari pelakunya diadili. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 43 44 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN Sejarah perjalanan kaum perempuan baik pada wilayah publik dan domestik sekalipun tidak mendapatkan porsi positif atau menguntungkan. Marjinalitas mereka menjadi fenomena yang terus bergulir dan “sah” dari sudut budaya, adat istiadat, dan agama. Padahal, ketika hendak menelusuri kembali dinamika kehidupan kaum perempuan, mereka tidak pernah melepaskan aktivitasnya dari dua domain kerja tersebut, publik dan domestik. Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah barang baru di tengah masyarakat. Sejak zaman purba ketika manusia masih mencari penghidupan dengan cara berburu dan meramu, seorang isteri sesungguhnya sudah bekerja. Sementara suaminya pergi berburu, di rumah ia bekerja menyiapkan makanan dan mengelola hasil buruan untuk ditukarkan dengan bahan lain yang dapat dikonsumsi keluarga. Karena sistem perekonomian yang berlaku pada masyarakat purba adalah sistem barter, maka pekerjaan perempuan meski sepertinya masih berkutat di sektor domestik namun sebenarnya mengandung nilai ekonomi yang sangat tinggi. Kemudian, ketika masyarakat berkembang menjadi masyarakat agraris hingga kemudian industri, keterlibatan perempuan pun sangat besar. Bahkan dalam masyarakat berladang berbagai suku di dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang dengan baik itu adalah perempuan bukan laki-laki. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan memang bukan baru-baru saja tetapi sudah sejak zaman dulu (Perempuan Bekerja, Dilema tak Berujung? http://www.duniaesai.com/gender/ gender1.html). C. Pandangan Islam terhadap Perempuan Dalam sejarah panjang yang diembannya, kedatangan Islam di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan panduan hukum yang sesuai dengan tidak membuat ketimpangan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Islam datang sebagai penengah bagi ketentuan hukum Jurnal Studi Gender Mas’udi di masyarakat Arab yang cenderung mendiskreditkan hak-hak kaum perempuan dan anak. Dari wahyu yang diturunkan, Islam mengetengahkan ayat-ayat misogonis dengan membangun sebuah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan ini muncul sebagai gerakan reformasi budaya yang berkembang pada masyarakat Arab. Penolakan Islam oleh masyarakat Arab merupakan penolakan atas moralitas yang menghapuskan simbol-simbol superioritas kekuasaan laki-laki. Seruan akan keesaan Allah Swt., telah meruntuhkan kewibawaan “laki-laki dewasa” sebagai kepala suku atas kaumnya, tuan atas budaknya, ayah atas anakanaknya, saudara laki-laki atas saudara perempuannya, dan suami atas istrinya (Abdullah, 2006: 63). Ketakutan kaum laki-laki di atas, merupakan pangkal dasar dari ketimpangan-ketimpangan budaya yang telah tercipta dalam tradisi masyarakat Arab terdahulu. Padahal, jika mau dilihat dengan seksama, perbedaan yang tercipta antara laki-laki dan perempuan hanyalah pada unsur biologis semata. Unsur-unsur tersebut bukanlah pemisah yang dapat mendudukkan superioritas laki-laki di atas kaum perempuan. Proses terjadinya perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan dapat ditelusuri semenjak masa konsepsi, yaitu ketika seorang ayah menaburkan benihnya ke rahim ibu lalu benih tersebut bersatu dengan induk telur dan kombinasi tersebut berproses menjadi embrio. Kemudian ada satu unsur penentu jenis kelamin yang disebut gonad, berproses menentukan jenis kelamin, apakah embrio itu laki-laki atau perempuan. Hormon seksual di dalam embrio tersebut mengalami perkembangan menurut jenis kelaminnya. Jika embrio tersebut sebagai laki-laki, maka akan berkembang sebagaimana layaknya seorang laki-laki, sebaliknya jika embrio tersebut sebagai peempuan maka akan berkembang sebagaimana layaknya seorang perempuan (Nasaruddin Umar, 2001: 2). Proses pembuahan di atas tentunya mencerminkan sebuah kondisi yang kombinatif antara laki-laki dan perempuan. Di dalam preses konsepsi tersebut tercipta aspekP A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 45 46 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN aspek simbiosis-mutualistik antara laki-laki dan perempuan. Keduanya menciptakan sebuah keutuhan yang tidak terpisah. Teori fungsional struktural yang mendasarkan pandangannya kepada keutuhan masyarakat beranggapan bahwa keterkaitan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan merupakan unsur yang berpengaruh di dalam keutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Talcott Parsons sebagai salah seorang penggagas teori ini menyatakan bahwa pembagian peran laki-laki dan perempuan tidak didasari oleh disrupsi dan kompetisi, akan tetapi lebih kepada melestarikan harmoni dan stabilitas di dalam masyarakat (Talcott Parsons dan Robert F. Bales (eds.), 1955). Al-Qur’an dengan tegas menerangkan kepada umat Islam bahwa perspektif gender di dalamnya tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwaj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang (Q.S., alSyura, 42: 11), dan tumbuh-tumbuhan (Q.S., Thaha, 20: 11). Bahkan kalangan sufi pun menganggap makhluk-makhluk makrokosmos seperti langit dan bumi serta lain sebagainya. Secara umum al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan Tuhan (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) (Nasaruddin Umar, 2001: 19). Sebagai matarantai paradigmatik dalam Islam, hukum fikih memberikan kontradiksi perspektif terhadap Jurnal Studi Gender Mas’udi perempuan. Dalam hukum fikih, perempuan masih terkesan subordinat laki-laki. Kehadiran perempuan didudukkan sebagai insan kedua setelah kaum laki-laki. Kenyataan ini tentunya menuntut segenap ahli untuk mengkritisi ulang terhadap realitas hukum fikih itu sendiri. Tuntutan ini harus dikemukakan karena hampir semua kitab fikih terkesan sepakat menempatkan perempuan secara instrumental, bukan substansial. Ketidakhadiran perempuan dalam budaya ketika hukum fikih dirumuskan, hanya diartikan dengan ketiadaan substansi perempuan dalam Islam. Lebih dari itu, perempuan juga sering dipandang lebih rendah dibanding laki-laki. Bahkan menurut Al-Allamah Al-Nasafi, kelebihan lelaki dibanding perempuan adalah pada akalnya, keteguhan hati, pola pikir, kekuatan fisik, kemampuan perang, kesempurnaan puasa dan shalat, adzan, khutbah, jamaah, jum’ah, takbir pada hari tasyrik. Pandangan negatif mengenai perempuan ini menjadi pembenar bagi struktur dominasi laki-laki dalam keluarga. Nasib perempuan amat bergantung pada struktur kepribadian suami, seperti halnya nasib rakyat tergantung pada raja. Kenyataan ini terjadi sampai menjelang runtuhnya peradaban Islam kurun kedua di akhir Perang Dunia I dengan jatuhnya Daulat Usmaniyah di Turki. Setelah Perang Dunia II yang diikuti oleh kemerdekaan beberapa negara Islam, kaum wanita mulai berlomba untuk mengejar ketertinggalannya, misalnya melalui gerakan emansipasi. Dengan kata lain, wilayah perempuan bukan hanya dalam keluarga, tapi juga bidang publik yang lain (Republika, Jum’at, 25 Agustus 2000). D. Sikap Dunia terhadap Perempuan Pengamatan terhadap kaum perempuan akan senantiasa mewujud sebagai perdebatan panjang yang tidak akan terselesaikan. Berbagai persepsi akan dimunculkan merespon semua sikap pro dan kontra terhadap kedudukan mereka. Segenap pemerhati yang pro-aktif terhadap perjuangan kesetaraan gender akan senantiasa berapresiasi positif atas emansipasi perempuan. Namun, bagi mereka P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 47 48 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN yang bersikap kontradiktif terhadap perjuangan kaum perempuan ini, sikap sinis akan menjadi fenomena yang tidak terelakkan. Fakta ini terlihat jelas dari respon para jamaah salafi yang mendudukkan emansipasi perempuan sebagai realitas merugikan bagi mereka sendiri. Pengusungan gender merupakan alibi dari penyuburan prinsip-prinsip sekuler di mata umat Islam (lihat; Emansipasi Wanita dalam Islam http://arifardiyansah.wordpress.com/2007/06/16/ emansipasi-wanita-di-mata-islam/). Sepintas lalu, membaca respon kontradiktif atas peranan perempuan dalam domain emansipasinya akan membawa segenap pembaca pada segmentasi dogmatis pemaknaan terhadap teks. Normativitas teks hanya dimaknai pada prinsip dasar literal semata. Prinsipprinsip historis dari pemaknaan teks diabaikan dengan dalih realitas tersebut sebagai produk sekuler. Padahal, jika hendak berargumentasi objektif, Islam sebagai sumber inspirasi dan pedoman hukum menekankan pentingnya kesetaraan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Kemitraan atau bahkan kesetaraan antara laki-laki dalam bidang kreasi dipertegas oleh Wadud (2006:158) melalui perumpamaan penciptaan mereka. Hakikatnya, kedua insan ini memiliki kesejajaran kedudukan di mata Tuhan. Melalui ketegasan inilah, Wadud meyakini bahwa tidak ada jarak signifikan yang dapat memisahkan seorang laki-laki atas perempuan. Perjuangan kaum perempuan melawan diskrimasi dirinya harus niscaya diperjuangkan. Apresiasi atas perjuangan mereka sepenuhnya datang dari berbagai penjuru. Masyarakat dunia tidak tinggal diam melihat diskriminasi terhadap perempuan. Untuk melindungi dan memajukan hak-hak dan kebebasan, upaya penghapusan tindak kekerasan kini menjadi sebuah kepedulian global. Saat ini, telah ditetapkan sejumlah instrumen hukum internasional yang disepakati oleh negaranegara di dunia untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan yang berupa kekerasan ini. Perjanjian internasional tersebut antara lain adalah a) Vienna Declaration and Programme of Action (1993), b) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979), c) Declaration on Jurnal Studi Gender Mas’udi the Elimination of Violence Against Women (1993), dan d) Beijing Declaration and Platform for Action(1995). Sementara itu, pada pembahasan mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan melalui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi atas Perempuan atau CEDAW (1979), dalam rekomendasi Umum Majelis Umum PBB No. 19 tahun 1992 dinyatakan bahwa “Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan berbasis gender dan merupakan salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan.” Tahun 1993, Konferensi HAM PBB di Wina kemudian menguatkan hal tersebut dengan mengeluarkan Deklarasi dan Program Aksi yang menegaskan 3 butir pernyataan penting, antara lain: 1. Hak asasi manusia perempuan dan anak perempuan adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak asasi manusia dengan menyeluruh. 2. Partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial, dan budaya serta pada tingkat nasional, regional, dan internasional, juga penghapusan diskriminasi berdasar jenis kelamin, merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. 3. Kekerasan berbasis gender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan. Pada tahun yang sama, PBB kemudian lebih menegaskan hasil konferensi Wina tersebut dalam keputusan Majelis Umum PBB. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempun ini menyatakan antara lain bahwa: a) Pasal 1: Definisi umum mengenai praktik Kekerasan Terhadap Perempuan sebagai “setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin (gender-based violence) yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 49 50 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. b) Pasal 2: Elaborasi dari praktik kekerasan terhadap perempuan yakni, “…….kekerasan secara fisik, seksual dan psikologi yang terjadi di dalam keluarga dan di masyarakat, termasuk di dalamnya; pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan dan anak-anak, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan (marital rape), pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi perempuan, perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan dan pelacuran paksa. Serta termasuk kekerasan yang dilakukan dan dibenarkan oleh negara di manapun terjadinya.” Dengan demikian ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan terjadi dalam rumah tangga (keluarga), di masyarakat luas (tempat publik) serta di wilayah negara. Tindak-tindak kekerasan lain terhadap perempuan juga meliputi pelanggaran hakhak asasi perempuan dalam situasi konflik bersenjata, terutama pembunuhan, perkosaan sistematis, perbudakan seksual, dan kehamilan paksa, sterilisasi, pengguguran kandungan yang dipaksakan, penggunaan alat-alat kontrasepsi secara paksa, pembunuhan bayi-bayi perempuan, pemilihan jenis kelamin bayi pra-kelahiran. c) Pasal 4: Kewajiban negara-negara di dunia untuk melindungi kaum perempuan dari berbagai tindak kekerasan. Harus mengutuk segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Tidak berlindung di balik pertimbangan adat, Jurnal Studi Gender Mas’udi tradisi atau keagamaan untuk menghindari tanggung jawab yang mengharuskannya. Harus meneruskan cara-cara yang benar dan tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Namun, meski telah muncul beragam upaya untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan seperti tersebut di atas, pada kenyataannya dalam berbagai hal, perempuan masih terus mengalami tindak kekerasan dan diskriminasi. Hal ini juga terjadi karena Negara masih saja abai dalam pemenuhan hak-hak warganya. Sebagai akibatnya perempuan kerap kali tidak memiliki kebebasan untuk menikmati hak asasinya sebagai manusia dan menjadi sangat rentan untuk tidak mengalami kekerasan (http:// www.swararahima.html). Beberapa argumentasi logis atas pengusungan hak-hak kaum perempuan dari berbagai organisasi internasional di atas menjadi opsi kuat bahwa marjinalitas kaum perempuan adalah realitas yang harus dihapuskan. Di atas semua apresiasi yang bermunculan, kaum perempuan harus meneguhkan bahwa mereka layak untuk berperan aktif di ranah domestik ataupun di ranah publik. E. Kesimpulan Permasalahan tentang perempuan merupakan bagian permasalahn yang tidak pernah habis terkikis oleh perkembangan zaman. Kemajuan zaman yang semakin mengglobal menggiring semua masyarakat di dalamnya untuk bersikap aktif dalam menyongsong semua realita. Pembagian kerja di ranah publik dan domestik sebagai realita keseharian yang akan dihadapi oleh setiap orang, baik laki-laki ataupun perempuan meminta mereka untuk membaginya secara adil. Hak laki-laki dan perempuan tidak terbatas dari sebuah konsepsi biologis di antara keduanya. Sebuah keniscayaan bahwa pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan adalah pilihan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 51 52 PEREMPUAN; SEJARAH BERLIKU DAN TERPINGGIRKAN Agama sebagai landasan berprilaku setiap manusia di bumi merupakan asas dasar untuk menentukan hakikat kerja yang harus sama-sama dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Gejala-gejala diskriminatif yang tercipta oleh penafsiran-penafsiran sepihak harus disikapi dengan kearifan yang total. Kaum perempuan harus memberikan apresiasi yang sempurna diiringi dengan keagungan intuisi mereka agar tidak tercipta konfrontasi yang tidak berujung atas berbagai penafsiran yang bias. Kaum perempuan harus mampu mengusung nasib dirinya untuk menuju kehidupan yang lebih mapan. Ragam perjuangan yang telah dilakukan oleh aktivis feminis dan gender harus menjadi pangkal utama untuk menapaki sebuah konsep kerja yang lebih terarah. Kesetaraan merupakan keniscayaan yang diciptakan oleh Tuhan kepada hambaNya. Perpaduan siang dan malam merupakan pertanda bahwa dalam penciptaan dunia ini terdapat oposisi yang saling bersimbiosis-mutualistik antara satu elemen dengan elemen lainnya. Seperti kanan-kiri, hitam-putih, baik-buruk, dan perumpamaan lain yang dapat dijadikan sebuah sandaran. Jurnal Studi Gender Mas’udi DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, ed., Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Al-Munawar, Said Agil Patut Dikaji Ulang Posisi Wanita dalam Islam. Republika, Jum’at, 25 Agustus 2000. Arivia, Gadis. Feminisme: sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas, 2006 Parsons, Talcott dan Robert f. Bales, eds., Family, Socialization and Interaction Process. Glencoe, II: The Free Press, 1995. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001. Wadud, Aminah. 2001. Qur’an menurut Perempuan: Menelusuri Bias Gender dalam Tradisi Tafsir, terj., Abdullah Ali. Jakarta: Serambi. REFERENSI DARI INTERNET http://bunga-rumput.blogspot.com/2007/05/pendidikankritis-feminis-dalam-upaya_3086.htm http://www.swararahima.html http://www.duniaesai.com/gender/gender1.html P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 53 54 Jurnal Studi Gender Ide Utama KONTROVERSI NIKAH MUT’AH DAN NIKAH MU’AQQOD Jamal Ma’mur Asmani *) ABSTRACT: This paper discusses the controversy about marriage mut’ah and mu’aqqod in perspective Islamic jurisprudence from historical trace. Islamic scholars (fuqoha) tend to be very careful in responding both of them. Most fuqoha forbid the Mut’ah marriage because the resulting negative effects. Among them, First, it make a woman more than just satisfying sexual desires, no different from prostitutes, who enjoyed then left to go. Second, the loss of the family concept in Islam that emphasizes achieved mawaddah (loving kindness) wa rahmah (love). Mawaddah wa rahmag are two things that became the dream of every family who achieved forever. Third, the emergence of weak generation. Fourth, the moral destruction of mankind. People will enjoy racing sexual desire without limit. Everyone who has money, directly take mut’ah married a month, if the match continued, if not fit to be left out. Actually, married not just for fun, but the most important thing is to follow the Sunnah of the Prophet as the media to have children and continue the relay of Islamic leadership in the future, print the cadres of religious future of quality that can bring Islam to the top of the throne the divinity-oriented civilization, welfare, progress, and happiness of the world and the hereafter. Keywords: marriage mut’ah jurisprudence, sex, gender A. and mu’aqqod, Islamic Pendahuluan Beberapa tahun lalu muncul film yang kontroversial, yaitu kawin kontrak. Di salah statiun televisi swasta (2004) menayangkan acara Sinden dengan tema nikah mut’ah (nikah kontrak). Acara yang dipandu oleh presenter kondang *) Direktur Lembaga Kajian Al-Hikmah Pati Jateng, dan Pengurus Harian Rabithoh Ma’ahid Islamiyah Cabang Pati P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 56 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD Maria Ulfa itu menampilkan Dewi dan suami kontraknya yang berasal dari negara Timur Tengah. Dengan jujur Dewi (perempuan yang dinikah kontrak) mengatakan, bahwa motif nikah mut’ah ini karena dua hal. Pertama, kebutuhan materi. Kedua, kasih sayang. Dua hal inilah yang membuatnya mau dikawin kontrak dengan durasi waktu 2 tahun lamanya. Kalau dua tahun merasa cocok, bisa memperpanjang kontraknya. Kontrak ini ditandatangani di atas materai resmi. Tayangan yang dipublisikan secara terbuka di media elektronik ini seperti menjadi bukti, betapa di negeri ini, kebebasan tanpa batas menjadi ajang pemenuhan nafsu seks yang sangat bertentangan dengan agama. Era sekarang memang kesulitan menerapkan hukum secara tegas dan disiplin. Kebebasan dan individualisme menggejala dimanamana. Islam kehilangan kekuatan dalam membentuk kesalehan sosial. Kesalehan sekarang bertempat pada individu sendiri-sendiri. Pada wilayah sosial, yang membentuk budaya dan tradisi bukan Islam, tapi implikasi kecanggihan teknologi. Rakyat Indonesia belum mampu memanfaatkan kecanggihan teknologi Barat untuk tujuan yang positifkonstruktif. Justru sebaliknya, kecanggihan teknologi Barat menjadikannya malas, tidak kreatif, menghabiskan waktu untuk menikmatinya, tanpa memproyeksi masa depan dengan memanfaatkan waktu secara maksimal. Penjajahan budaya lewat teknologi memang sangat efektif. Munculnya tv swasta dengan anekaragam acara yang menarik, menjadikan rakyat ini malas, sebagian besar waktunya digunakan untuk menikmati acara-acara televisi yang tidak ilmiah, sekedar hiburan. Masyarakat ini malas mengikuti program-program ilmiah, seperti dialog, debat publik, mauidhoh hasanah, dan lain-lain. Yang menghancurkan adalah acara-acara erotis-seksual yang bebas tanpa batas. Pemerintah tidak punya peran signifikan untuk mengeleminir dan melakukan upaya preventif secara intens. Hanya sekedar pengarahan dan bimbingan yang menjadi klise dan jargon kosong. Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani Fenomena nikah mut’ah yang belakangan ini terjadi di negeri ini harus segera direspons oleh pemerintah. Pemerintah harus sigap menelusuri dimana kejadiannya, bagaimana model transaksinya, motif apa dibalik itu, dan apa implikasi sosio-moralnya bagi bangsa ini. Stasiun tv swasta yang menayangkan acara ini (Sinden) bisa diajak kerjasama untuk mengsut tuntas fenomena negatif-destruktif ini. Kalau fenomena minor seperti ini tidak secara cepat direspons pemerintah, niscaya akan menjalar kemana-mana. Kalau sudah menjadi tradisi, maka secara psykologis-sosiologis, sangat sulit untuk menghilangkannya. Seperti fenomena lokalisasi pekerja seks komersial. Wanita Indonesia akan semakin hancur moralitasnya, dan ke depan, moral generasi mudanya juga akan ikut hancur. Dalam buku Tauhid Sosial Amien Rais menjelaskan, delegasi Amerika ketika konfrensi PBB tentang kependudukan di Mesir membawa beberapa konsep baru tentang lembaga perkawinan. Diantaranya, aborsi diserahkan saja kepada wanita yang bersangkutan, karena dia sendiri yang bisa merasakan antara melakukan aborsi dan tidak. Kedua, pernikahan sebaiknya tidak harus laki-laki sama perempuan, bisa laki sama laki dan perempuan sama perempuan seperti praktek lesbianisme dan homoseksualisme. Ketiga, perkawinan tidak harus sesuai dengan norma agama. Asal mau sama mau, biar saja orang melakukan hubungan seksual. Konsep baru yang ditentang oleh sebagian besar negara dunia ini berangkat dari pengagungan HAM secara absolut. Manusia mempunyai hak menjalankan hidupnya sesuai kemauannya, tidak ada satu kekuatan manapu yang bisa mencegahnya, sekalipun agama. Praktek inilah yang terjadi di Amerika, sehingga liberitas seksual di sana sudah menjadi fenoemana umum. Asal mau sama mau tidak masalah, yang penting tidak ada paksaan dan pelecehan HAM. Sudah waktunya di era globalisasi sekarang ini, umat Islam semakin ofensif-dinamis melakukan counter culture and discourse (wacana dan budaya tandingan) dengan pemikiran dan kegiatan keagamaan yang massif dan marketible. Gerakan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 57 58 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD pemikiran, ekonomi dan dakwah bisa dijadikan starting point yang sangat baik. Pemikiran harus dinamis dan progresif, dakwah agama harus menarik, menyentuh persoalan hidup sosial secara riil dan memberikan solusi alternatif secara dinamis dan ekonomi harus membangkitkan kemandirian dan kebangkitan personal. Kebangkitan personal adalah syarat mutlak menghadapi superioritas budaya Barat yang bebas. Tidak mungkin kebangkitan sosial muncul tanpa kebangkitan personal terlebih dahulu. Dan sekali lagi, pemerintah harus mengambil peran dalam menindak pelaku menyimpang, kalau pemerintah diam saja, sangat sulit gerakan kultural ini bisa cepat membendung liberitas moral yang menjadi fenomena factual saat ini. Sinergi kekuatan kultural yang dimotori oleh agamawan dan kekuatan struktural negara adalah cara efektif melakukan kerja mulia ini demi menyelamatkan generasi bangsa dari kehancuran moral untuk menyongsong masa depan dengan prestasi dan kreasi. Khusus untuk kaum agamawan, fenomena nikah mut’ah ini menjadi tantangan serius, bagaimana merespons dan memberikan solusi terbaik. Tulisan ini akan membahas nikah mut’ah dengan harapan ada pemahaman holistik mengenai nikah mut’ah ini sehingga mampu memberikan sosialisasi yang benar terhadap publik tentang hukum nikah mut’ah. B. Pengertian Nikah Mut’ah Menurut madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqod tidak ada perbedaan, dua kata satu arti (sinonim/muradif). Sedangkan menurut pendapat yang populer dari Hanafiyah, antara keduanya ada perbedaan. Karena nikah mut’ah disyaratkan menggunakan teks mut’ah, seperti ucapan ’atamatta’u bika’ saya mau bersenang-senang denganmu. Tetapi sebagian Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani Hanafiyah menyatakan bahwa persyaratan tersebut tidak ditetapkan (lam yatsbut). Berdasarkan hal ini, maka tidak ada perbedaan pengertian antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqad. Nikah mut’ah adalah akad perkawinan yang dibatasi dengan waktu tertentu, seperti ucapan ’aku menikahi engkau selama satu tahun’ dan sejenisnya, baik diucapkan didepan saksi dan wali atau tidak.1 Menurut ulama Syi’ah, nikah mut’ah adalah ikatan antara laki-laki dan wanita dengan mahar yang telah disepakati yang disebut dalam akad, sampai batas waktu yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh laki-laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraian. Akad nikah tersebut atas dasar kebutuhan seks karena snagat terdesak pada salah satunya (laki-laki atau perempuan). Definisi lebih lengkap, seperti disampaikan oleh Ibrahim Hosen, bahwa yang dimaksud dengan nikah mut’ah adalah : • • • • • • • • • • Shighot ijab dengan lafadz yang berarti kawin atau dengan lafadz mut’ah yang berarti bersenang-senang Tanpa wali Tanpa saksi Di dalam aqad terdapat ketentuan berupa pembatasan waktu, seperti satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya. Menurut Syi’ah Imamiah, masa mut’ah tidak melebihi 45 hari Keharusan menyebut mahar dalam aqad Anak dari nikah mut’ah mempunyai fungsi sebagai anak dari nikah biasa Antara suami dan istri tak saling mewarisi jika tidak disyaratkan dalam aqad Tidak ada talak sebelum masa nikah mut’ah berakhir ’iddah dua kali haid Tidak ada nafkah selama ’iddah.2 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 59 60 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD Syarat nikah mut’ah yang banyak ini menjadi bukti betapa dalam implementasinya tidak mudah, walaupun dalam banyak kitab, persyaratan ini tidak dijumpai. Karena memang yang menjadi parameter utama adalah shighot itu sendiri. C. Sejarah Nikah Mut’ah Nikah mut’ah ini pertama kali terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. Tepatnya pada waktu peperangan dari satu medan ke medan yang lain. Mereka harus meninggalkan istri, sementara pengetahuan, mentalitas, dan moralitas mereka masih dalam masa formatif, mengingat mereka baru masuk Islam. Mereka masih terbawa kebiasan pra-Islam yang suka mengumbar nafsu seks kepada perempuan tanpa batas. Kondisi ekonomi mereka yang ada dibawah standar, sehingga mereka tidak mampu memenuhi beban-beban perkawinan dan mendidik keluarga. Kemudian, bagaimana kondisi mereka pada waktu perang ? bagaimana kondisi ekonominya yang serba kekurangan ? dan bagaimana gelora nafsu mereka yang sulit ditahan ? dalam konteks inilah, nikah mut’ah disyari’atkan untuk menghilangkan kesulitan, namun syari’at ini sangat terbatas waktu perang zaman Nabi. Islam memberikan solusi diperbolehkannya nikah mut’ah ini karena darurat. Mereka tidak bisa menikah untuk selamanya karena berganti-ganti medan juang, dan juga tidak mampu menahan gelora nafsu. Persisnya ketika terjadi perang fathu Makkah, pembebasan kota Mekah. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Sibrah yang berkata : ”Rasulullah memerintahkan kita nikah mut’ah pada waktu pembebasan mekah (amul fathi), ketika kita masuk Mekah, kemudian kita tidak keluar (dari Mekah) sampai Rasul melarang kami darinya”. Dus, ini dalil yang jelas bahwa nikah mut’ah adalah hukum yang terjadi karena darurat peperangan. Ibnu Majah meriwayatkan hadits sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda : ”Wahai manusia, sesungguhnya Aku telah mengizinkan nikah mut’ah, ingatlah, sesungguhnya Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”. Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani Inilah hebatnya hukum Islam. Haramnya nikah mut’ah sampai hari kiamat sesuai dengan kaidah dasar Islam yang menganggap zina sebagai perbuatan yang keji. Zina adalah simbol perbuatan yang merusak harga diri, bercampurnya keturunan, dan hilangnya rasa malu.3 Dalam kitab Subul al-Salam karya Imam Muhammad bin Ismail menerangkan, bahwa Rasulullah memberikan dispensasi ( ﺼ ﺔ ﺧrukhshah) nikah mut’ah dan merombaknya (mengharamkannya) dalam enam tempat. Pertama, pada waktu perang Khoibar; kedua, pada ramainya putusan ( ﻣﺎ ﺎ ﻟamaratul qodlo’); ketiga, pada waktu membebaskan ﻘﻀ kota Makkah ( ﻋﺎ ﻣ ﱠﻜ ﺔamu Makkah); keempat, pada waktu perang Aus; kelima, pada waktu perang Tabuk; keenam, pada waktu " wada’. Menurut Imam Nawawi, kebolehan ! # ﺣ ﱡﺞhaji dan keharamannya terjadi dalam dua kali. Pertama, nikah mut’ah diperbolehkan sebelum perang Khoibar kemudian diharamkan didalamnya. Kedua, diperbolehkan nikah mut’ah pada waktu pembebasan kota Makkah (tahun Authos), lalu diharamkan selamanya.4 Sejarah ini memberikan pelajaran pada kita bahwa diperbolehkannya nikah mut’ah pada awal-awal Islam menunjukkan kematangan Islam dalam menurunkan aturanaturannya. Secara psykologis-sosiologis, tidak mungkin awal-awal dakwahnya Nabi mengharamkan nikah mut’ah secara total. Disinilah fungsi at-taisir (mempermudah), raf’ul haraj (menghilangkan kesulitan) dan tadrijul hukmi (gradualisasi hukum) diterapkan Nabi secara tepat. Dalam qaidah fiqh terdapat al-masyaqqah tajlibu altaisir (kesulitan menyebabkan kemudahan). Tentu semua menunggu wahyu Allah Swt. D. Pendapat Ulama Bagaimana pandangan ulama tentang nikah mut’ah ini ? Ulama mempunyai beragam pendapat. Secara detail pendapat mereka terbagi menjadi dua : P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 61 62 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD 1. Pendapat Yang Melarang Malikiyah : nikmah mut’ah adalah teks akad nikahnya dibatasi dengan waktu, seperti ucapan suami kepada wali, ’nikahkanlah aku dengan si fulan selama 1 bulan’, atau suami berkata ’aku terima nikahnya selama satu bulan’. Hukum nikah mut’ah ini batal dan bubarkah pernikahan, baik sebelum berhubungan atau sudah, tapi kalau sudah berhubunga, laki-laki wajib memberikan mahar mitsl (mas kawin sepadan). Nikah mut’ah dikatakan positif jika diucapkan secara jelas kepada wali atau perempuan, atau dua-duanya. Jika tidak disebutkan sebelum akad atau disyaratkan sebelum akad secara tekstual (lafdhon), tapi suami menginginkan untuk dirinya sendiri, hal itu tidak apaapa, walaupun si istri atau walinya paham. Ada juga yang mengatakan, jika si istri paham, maka nikahnya batal, kemudian ketika waktunya luas (lama), dimana biasanya keduanya tidak bisa hidup dalam waktu tersebut, ada yang berpendapat sah, ada yang tidak. Orang yang melakukan nikah mut’ah harus dihukum, tapi tidak boleh dihad (dipidana) karena ada syuhbat (kesamaran) terhadap pendapat Ibnu Abbas yang membolehkan, walaupun Ibnu Abbas sudah mencabut pendapatnya. Syafi’iyah : nikah mut’ah adalah nikah dalam waktu tertentu. Jika laki-laki berkata kepada wali, ’kawinkan aku dengan si fulan selama satu bulan’, maka jadilah nikmah mut’ah. Hukumnya bata. Begitu juga ketika perkawinan dibatasi dengan masa hidupnya istri atau suami. Misalnya Wali berkata pada laki-laki, ”aku menikahkan kamu si fulan selama masa hidupnya”, maka batallah akad. Hal ini karena pernikahan pengaruhnya tidak hanya pada waktu hidupnya istri, tapi juga sampai meninggal, oleh karena itu suami boleh memandikan istrinya. Pembatasan nikah dengan umur berarti menyudahi hubungan suami-istri setelah meninggal, hal ini hukumnya batal. Hanabilah : nikah mut’ah adalah menikah yang dibatasi dengan Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani masa, secara jelas maupun tidak. Yang jelas misalnya, wali berkata : aku menikahkanmu kepada si fulan selama satu bulan atau satu tahun. Yang tidak jelas misalnya : aku menikahkanmu kepadanya sampai selesainya musim, atau sampai datangnya orang yang haji. Nikah mut’ah mencakup dua hal. Pertama, nikah yang dibatasi waktu bersama wali dan saksi. Kedua, menikah dengan lafadz mut’ah tanpa wali dan saksi. Nikah mut’ah ini hukumnya batal dalam keadaan apapun. Namun, Abu Bakar dalam satu riwayat mengatakan bahwa nikah mut’ah hukumnya makruh, bukan haram, karena Ibn Mashur bertanya kepada Imam Ahmad tentang nikah mut’ah, Imam Ahmad menjawab : menjauhinya lebih aku cintai.5 Ketika batas waktu tidak disebutkan, namun dalam hatinya ia berniat menikahinya dalam waktu tertentu, maka batal juga nikahnya, maka nikahnya tidak sah kecuali ia niat bahwa istrinya tersebut tetap menjadi istrinya selama ia masih hidup. Hanafiyah : nikah mut’ah adalah suami berkata kepada seorang perempuan, ”aku ingin bersenangsenang denganmu”, atau ”berilah kenikmatan padaku dengan tubuhmu selama beberapa hari” atau sepuluh hari, kemudian perempuan berkata, ”aku menerima”. Namun tidak ada dalil shohih yang menunjukkan bahwa nikah mut’ah khusus dengan lafadz mut’ah. Oleh karena itu, sebagian Hanafiyah berkata : tidak ada bedanya antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqod. Nikah ketika dibatasi waktu atau tempat atau dengan lafadz mut’ah tanpa saksi, maka jadilah nikah mut’ah, seperti pendapat Hanabilah. Nikah ini batal dalam keadaan apapun.6 Mayoritas ulama mengharamkan nikah mut’ah karena beberapa alasan : 1. Bersetubuh tidak halal kecuali pada istri atau budak yang dimiliki (mamlukah). Sedangkan perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri karena tidak ada P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 63 64 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD hak waris, tidak ada hubungan nasab, dan tidak ada iddah. 2. Sayyidina Umar bin Khottab dalam khutbahnya berkata : ada dua nikah mut’ah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw., saya melarangnya dan menghukum padanya. Umar menyampaikan pidato ini dihadapan sahabat dan tidak ada satupun yang mengingkari. 3. Hadits yang diriwayatkan Malik dari Zuhri dari Abdullah dan Hasan kedua putra Muhammad bin Ali dari bapak keduanya dari Ali : Sesungguhnya Rasulullah Saw. Melarang menikah mut’ah perempuan dan dari makan dagingnya keledai yang jinak.7 Ahlussunnah dan ahli fiqihnya tidak mendefinisikan dan membatasi dengan pengertian yang mengikat (dhobit) kepada nikah mut’ah, namun titik point nikah mut’ah adalah laki-laki bersenang-senang kepada perempuan pada waktu yang ditentukan dengan imbalan yang jelas, baik harta atau sejenisnya.selain itu perempuan tidak mendapatkan apaapa, apakah itu nafkah, iddah kecuali istibra’ (membebaskan kandungan dari kemungkinan hamil). Nikah mut’ah merendahkan perempuan dan menjadikannya sebagai komoditi, maka datanglah syari’at untuk melarang dan mengharamkannya. Imam Ibnu Rusyd berkata : haramnya nikah mut’ah berdasarkan hadits yang mutawatir (terus/tidak terputus). Oleh karena itu, haramnya nikah mut’ah sudah ijma’. Namun ada sebagian sahabat yang tetap memperbolehkan nikah sebagai rukhsah (kompensasi), tetapi diriwayatkan bahwa mereka mencabut pendapatnya dan ucapan mereka bahwa nikah mut’ah telah dirombak.8 Jadi jelaslah bahwa hukum nikah mut’ah menurut Madzhab empat dan mayoritas sahabat adalah haram dan batal. Kecuali Imam Zafar yang menganggap nikah mu’aqqod sah selamanya, karena nikah tidak batal dengan syarat yang rusak. Pendapat ini ditolak karena akad mu’aqqad dalam Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani pengertian mut’ah, sedangkan yang dianggap dalam akad adalah maknanya (ma’ani) bukan teks verbalnya (alfadz).9 Pendapat Yang Membolehkan Pendapat yang memandang halal nikah mut’ah terdiri dari kalangan sahabat, seperti ’Asma binti Abi Bakar Shiddiq, Jabir ibn Abdullah, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Mu’awiyah, Amin bin Huraits, Abu Sa’id al-Khudri, Salamah dan Ma’bad, dan kalangan Tabi’in : Thaus, Atho’, Saib bin Jubair dan seluruh ulama fiqh Mekah serta golongan Syi’ah Imamiyah. Argumentasi mereka adalah QS. Al-Nisa’ 24 : Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang Telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah Mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu Telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Istidlal mereka dari ayat ini : 1. firman Allah berbunyi : antabtaguu bi amwaalikum (mencari istri-istri dengan hartamu), pengertiannya mencakup mencari wanita untuk masa yang tidak terbatas (nikah) dan terbatas (mut’ah). Kedua cara tersebut termasuk dalam firman Allah: wa uhilla lakum maa waraa dzaalikum (dan dihalalkan bagi kamu sekalian yang demikian) dalam ayat di atas. Dengan demikian menunjukkan bahwa mut’ah tetap halal/boleh. 2. Ayat ini khusus menerangkan tentang bolehnya nikah mut’ah, berdasarkan riwayat yang menerangkan bahwa Ibn Mas’ud, Uba ibn Ka’ab dan Ibn Jubair membaca P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 65 66 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD ayat ini : Maka sesuatu yang kamu lakukan mut’ah dengannya kepada mereka (yakni wanita-wanita selain yang tersebut itu) hingga masa yang ditentukan, maka berilah kepada itu mas kawin mereka sebagai suatu kewajiban. Qiro’ah Ibn Mas’ud, Ubai bin Ka’ab dan Ibn Jubair tersebut meskipun tidak mutawatir, tidak seorang sahabat pun yang membatahnya, dan hal ini menunjukkan kebenarannya. 3. Ayat ini memerintahkan supaya membayar mahar sesudah terjadi istimta’ (bersenang-senang), hal ini menandakan halalnya nikmah mut’ah, sebab pada dasarnya keharusan membayar mahar adalah karena akad nikah; dan kalau terjadi perceraian sebelum istimta’ maka kewajiban membayar hanya sebagian dari jumlah yang ditentukan. Apabila maharnya belum ditentukan, kemudian terjadi perceraian sebelum dukhul (hubungan suami istri), maka tidak ada mas kawin. Jadi dengan semata-mata akad tanpa persetubuhan tidak termasuk dalam pengertian istimta’, sebagaimana yang dikehendaki perkataan fa mastamta’tum (istri-istri yang telah kamu campuri) dalam ayat di atas. 4. Kalau ayat ini dipandang untuk menerangkan hukum nikah (bukan hukum mut’ah), maka terjadilah pengulangan menerangkan suatu hukum dalam satu masalah yang sama; karena hukum nikah dan keharusan membayar mahar telah diterangkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Tentu hal ini bertentangan dengan ke balaghaan al-Qur’an. Tetapi kalau ayat ini dipandang untuk menerangkan hukum nikah mut’ah, maka ini adalah suatu hukum baru, oleh karena itu sebaiknya ayat ini diarahkan kepada hukum yang baru itu.10 Selain ayat di atas ada juga sumber lain bolehnya nikah mut’ah, antara lain : 1. ayat QS. Al-Nisa’ 3 : Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani ﻓﺎﻧﻜﺤﻮ ﻣﺎ ﻃﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﻟﻨﺴﺎ Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi 2. Diriwayatkan Salmah bin Akwa’, sesungguhnya juru bicara (munadi) Rasulullah keluar sambil berkara : ﻟﻜﻢ ﻓﺎﺳﺘﻤﺘﻌﻮ1 ﷲ ﻗﺪ Sesungguhnya Allah sungguh telah mengizini padamu, maka bersenang-senanglah (kawin mut’ah) 3. Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob yang berkata : ﻧﺎ ﻧﻬﻲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﺎﻗﺐ.I.[ ﻣﺘﻌﺘﺎ ﻛﺎﻧﺘﺎ ﻋﻠﻲ ﻋﻬﺪ *ﺳﻮ@ ﷲ ﻣﺘﻌﺔ ﻟﺤﺞ# ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻣﺘﻌﺔ ﻟﻨﺴﺎ Ada dua nikah mut’ah pada masa Rasulillah Saw. aku melarangnya dan menghukumnya, yaitu mut’ah kepada para perempuan dan mut’ah haji. Umar memberikan informasi kebolehan nikah mut’ah pada zaman Nabi, sedangkan apa yang ditetapkan syara’ tidak boleh diharamkan lewat ijma’. 4. Nikah adalah akad manfaat, maka sah membatasinya dengan waktu seperti akad sewa (ijarah) 5. Kebolehan nikah mut’ah telah ditetapkan dengan ijma’, maka menggantinya menjadi haram pun harus dengan ijma’.11 Dalil dan alasan di atas menjadi pegangan kuat bagi golongan ulama yang memperbolehkan nikah mut’ah. Manakah yang lebih unggul, mari kita simak perdebatannya. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 67 68 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD E. Debat Argumentasi Dua kelompok yang melarang dan membolehkan nikah mut’ah masing-masing memakai pijakan dalil yang sama-sama kuat. Namun, golongan yang melarang nikah mut’ah mementahkan dalil golongan yang membolehkan dengan argumentasi ilmiah yang berlapis-lapis, yaitu : Argumen 1 : 1. Yang dimaksud dalam ayat ”Famastamta’tum” (QS. Al-Nisa’ 4/24) adalah nikah, karena itulah yang disebutkan dalam awal dan akhir ayat, bukan nikah mut’ah yang diharamkan syara’. Adapun redaksi bilajri, karena mahar dalam nikah dikatakan secara bahasa ajr, sesuai firman Allah QS. Al-Nisa’ 4/25 ”Fankihuhunna biidzni ahlihinna, waatuhunna ujurahunna bilma’ruf”. Sedangkan perintah memberikan ajr setelah bersenangsenang, sedangkan mahar diberikan sebelum bersenang-senang, hal ini karena faktor bahasa yang mendahulukan dan mengakhirkan. Kalau dijelaskan : maka berilah mereka mahar-maharnya ketika kamu ingin bersenang-senang dengan mereka, yakni ketika kamu ingin bersenang-senang dengan mereka. 2. Ijin nikah mut’ah dalam hadits Nabi terjadi pada sebagian perang, hal ini karena darurat yang memaksa dalam perang, karena sebab ’uzbah’ (berpisah dengan istri) ketika sedang bepergian, kemudian Rasul mengharamkan selamanya sampai hari kiamat dengan dalil hadits yang sangat banyak.12 Argumen 2 : Syi’ah Zaidiyah berkata : yang dimaksud ayat ”Famastamta’tum” adalah nikah mut’ah yang ada pada permulaan Islam dimana Islam memberikan ’keringanan’. Nabi memberikan ijin sekali atau dua Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani kali dalam peperangan karena jauhnya orang-orang yang berjuang dari istri mereka dan takut zina, maka nikah mut’ah termasuk memilih sesuatu yang akibat bahayanya lebih ringan (akhoffi al-dhororoin), hal itu terjadi pada perang Authos dan tahun pembebasan kota Mekah, kemudian Nabi mengharamkan setelah itu dengan dalil ayat : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. (QS. Al-Mu’minun 5-6). Mut’ah bukan nikah dan bukan milku yamin.13 Argumen 3 : Jika ada pertanyaan, hadits satu dengan yang lain membingungkan, satu dengan lainnya berbeda, karena diriwayatkan pada sebagian hadits bahwa Nabi mengharamkan nikah mut’ah pada tahun Khoibar (perang Khoibar), sebagian diriwayatkan bahwa Nabi mengharamkannya pada tahun pembebasan kota Mekah (fathu Makkah), sebagian Nabi mengharamkannya pada perang Tabuk, dan sebagian Nabi mengharamkannya pada haji wada’, sedangkan antara satu waktu dengan lainnya ada masa yang panjang ? Ada dua jawaban dalam pertanyaan ini : Pertama, nikah mut’ah diharamkan dan diulang-ulang dalam banyak tempat supaya lebih jelas dan lebih menyebar sampai orang yang tidak tahu menjadi paham, sehingga orang yang tidak menghadiri satu majlis bisa mendengar dan memahami hal ini, karena mungkin orang ada pada satu tempat, tapi di tempat yang lain tidak ada. Hal ini lebih memperkuat keharamannya. Kedua, sesungguhnya nikah mut’ah pertama hukumnya halal, kemudian diharamkan pada tahun Khoibar, kemudian diperbolehkan setelah itu karena ada nilai positif P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 69 70 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD (maslahat)nya, kemudian diharamkan pada haji wada’. Karena itu Nabi bersabda dalam haji wada’ : ia haram sampai hari kiamat” sebagai warning bahwa haram yang pernah ada itu sifatnya temporer yang diikuti hukum boleh, sedangkan haram yang ini selamanaya yang tidak diikuti hukum mubah lagi, karena ia adalah ijma’ (konsensus) sahabat, hal ini diriwayatkan Abu Bakar, Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ibn Zubair, dan Abi Hurairah. Ibnu Umar berkata : aku tidak mengetahuinya kecuali zina itu sendiri. Ibn Zubair berkata : nikah mut’ah adalah jelas zina (zina shorih).14 Argumen 4 : Ada juga golongan mutaakhkhirin yang mengatakan bahwa halalnya nikah mut’ah itu qoth’i, sedangkan hadits haramnya secara ta’bid adalah dhonni, sedangkan dhonni tidak bisa menghapus yang qoth’i. Pernyataan ini dijawab : bahwa halalnya nikah mut’ah yang qoth’i karena secara tekstual ada dalam al-Qur’an, namun itu hanya qoth’i matan (pasti redaksi) nya, bukan qoth’i dilalah (pasti petunjuknya) karena dua hal : Pertama, mungkin ayat qoth’i tersebut diartikan pada bersenang-senang dalam pernikahan yang benar. Kedua, ayat qoth’i tersebut umum, ia adalah dhonni dalalah (petunjuknya tidak pasti). Sedangkan Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata : sesungguhnya nikah mut’ah masih eksis sampai turun firman Allah : ﻻ ﻋﻠﻲ ]ﺟﻬﻢ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﻳﻤﺎﻧﻬﻢ Ibnu Abbas berkata : setiap kemaluan selain dua hal di atas hukumnya haram. Ini menunjukkan bahwa haramnya nikah mut’ah ada dalam al-Qur’an, maka apa yang qoth’i matan dihapus dengan yang qoth’i matan. Walaupun halalnya nikah mut’ah secara qoth’i pada permulaan Islam dengan ijma’, maka disampaikan Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani juga bahwa keharaman nikah mut’ah juga dengan ijma’.15 Menurut Imam Fakhruddin al-Razi, kita tidak bisa mengingkari bolehnya nikah mut’ah, namun ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang itu sudah dirombak (naskh), hal ini sesuai dengan ucapan ulama’ : bahwa sesuatu yang merombak bisa berupa dalil yang mutawatir atau ahadi.16 Empat argumen di atas dahsyat sekali, meyakinkan dan memantapkan keyakinan dan pemahaman kita, bahwa larangan nikah mut’ah lebih sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi karena mengandung dimensi keagungan moral dan penghargaan yang tinggi terhadap perempuan. Jadi ada filosofi agung yang terkandung di dalamnya. Pendapat Ibnu Abbas Ibnu Abbas menjadi sahabat yang sangat populer pendapatnya yang memperbolehkan nikah mut’ah. Menurutnya, nikah mut’ah hukumnya boleh. Kebanyakan sahabat Ibnu Abbas mengikuti pendapatnya, seperti Atho’ dan Thowus. Begitu juga Ibnu Juraih. Hal ini diriwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudri dan Jabir. Syi’ah memegang pendapat ini. Karena hal ini datangnya dari Nabi Muhammad Saw. yang memberi izin. Diriwayatkan bahwa Umar berkata : ada dua mut’ah yang terjadi pada masa nabi Muhammad Saw. Apakah kemudian aku melarangnya dan menyiksanya ? mut’ah dengan para perempuan dan mut’ah pada waktu haji. Nikah mut’ah juga adalah transaksi pada kemanfatan, jadi dia dibatasi waktu seperti dagang.17 Imam Syarqowi menjelaskan, jika Ibnu Abbas mendengar nas (Alquran-Hadits) yang mengharamkan nikah mut’ah, pasti dia tidak konsisten dengan bolehnya nikah mut’ah.18 Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah meralat pendapatnya tersebut. Dalam riwayat tersebut, Imam Ibnu Abbas berkata : َ ِﻧﱠ َﻤﺎ ﻫ َِﻲ َﻛﺎﻟ َْﻤ ْﻴ َﺘ ِﺔ َﻻ َﺗﺤِ ﱡﻞ ﱠِﻻ ِﻟﻠ ُْﻤ ْﻀ َﻄ ﱢﺮ, َﻣﺎ ﺑ َِﻬﺬ َ َ ْﻓ َﺘ ْﻴ ُﺖ P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 71 72 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD ‘Maha suci Allah, saya tidak berfatwa begitu…! Pernikahan mut’ah seperti masalah bangkai yang tidak halal kecuali bagi orang yang terpaksa.19 Pendapat Imam Ibnu Abbas ini tidak boleh diikuti. Namun, orang yang mengikutinya tidak boleh di ﺣ ﺪhad 20 (dihukum) karena masuk kategori ﺷ ﺒﻬ ﺔsyubhat. Menurut Imam Fakhruddin al-Razi, ada tiga riwayat dari Ibnu Abbas terkait nikah mut’ah ini. Pertama, membolehkan secara mutlak. Kedua, ketika orang-orang ramai membincangkan fatwa Ibnu Abbas dalam nikah mut’ah ini, Ibnu Abbas berkata : ”Semoga Allah membunuh mereka, sesungguhnya aku tidak berfatwa kebolehannya secara mutlak, tetapi aku berkata : sesungguhnya nikah mut’ah halal bagi orang yang terpaksa seperti halalnya bangkai, darah, dan dagingnya babi baginya.” Ketiga, ia mengakui bahwa nikah mut’ah sudah dirombak (mansukhoh). Imam Atho’ al-Khurasini meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam firman Allah : ”Famastamta’tum bihi minhunna” ia berkata : ayat ini telah dirombak dengan firman Allah ”Yaayyuha al-Nabiyyu idza thollaqtum al-Nisa’a fatholliquhunna li’iddatihinna (QS. Al-Tholaq : 1). Diriwayatkan darinya, ia berkata ketika ajalnya : Wahai Allah sesungguhnya aku bertaubat padamu dari ucapanku dalam nikah mut’ah dan shorf.21 Namun menurut Imam Ramli, riwayat bahwa Ibnu Abbas mencabut pendapatnya tidak tetap, bahkan sebagian dari ulama salaf menyetujuinya dalam kehalalan nikah mut’ah, namun mereka menentangnya, seraya berkata : nikah mut’ah tidak menimbulkan hukum-hukum pernikahan. Karena itu, Imam Zarkasyi menentang dalam hikayat ijma’, ia berkata : perbedaan pendapat memang terbukti (muhaqqaq), walaupun sebagian ulama mendorong untuk menafikannya.22 Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani Perbedaan pandangan dalam menyikapi pendapat Ibnu Abbas tidak lepas dari kepentingan masing-masing. Namun pandangan yang lebih kuat mengatakan bahwa Ibnu Abbas telah mencabut pandangannya, sehingga Ibnu Abbas pun mengharamkan nikah mut’ah. Mayoritas ulama berkata seperti itu. Tentu, murid-murid Ibnu Abbas dan golongan yang mengikuti pendapatnya harus mencabut pendapatnya beralih kepada pendapat yang melarang nikah mut’ah. Pendapat yang unggul Keterangan di atas menunjukkan bahwa pendapat yang membolehkan nikah mut’ah sangat lemah karena beberapa hal : 1. Bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang merombak kebolehannya, yaitu QS. Al-Mu’minun 5-6-7. 2. Bertentangan dengan hadits Nabi yang jumlahnya banyak yang melarang nikah mut’ah Salah satu hadits yang dijadikan sumber haramnya nikah mut’ah adalah : ﺧﻴﺒﺮ ﻋﻦ ﻛﻞI ﻧﻬﻲ ﻋﻦ ﻣﺘﻌﺔ ﻟﻨﺴﺎ ﻳﻮ.I.[ *ﺳﻮ@ ﷲ ﻻﻧﺴﻴﺔIﻟﺤﻮ Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang nikah mut’ah kepada para perempuan pada hari perang Khoibar dan dari makan dagingnya keledai yang lunak. ﻟﻤﺘﻌﺔe ﻧﻬﻲ ﻋﻦ ﻧﻜﺎ.I.[ ﻟﻨﺒﻲ Sesungguhnya Nabi saw. Melarang nikah mut’ah23 3. Bertentangan dengan tujuan pernikahan yang tidak hanya mendapatkan kenikmatan, tapi juga ingin melahirkan generasi masa depan yang saleh. Hubungan suami-istri bernilai suci dan abadi dari dunia hingga akhirat P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 73 74 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD Hukuman Lalu bagaimana orang yang tetap melakukan nikah mut’ah ? Menurut Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, orang yang melakukan nikah mut’ah tidak boleh dipidana, tapi diberi sanksi dan disiksa karena syuhbatul aqdi (samarnya akad). Sedangkan menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyah, pelaku nikah mut’ah dirajam.24 Di era liberalisasi moral sekarang ini, kita layak mempertimbangkan pendapat Malikiyah yang bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku nikah mut’ah ini. Jangan sampai kita biarkan pelaku nikah mut’ah dengan hukumanhukuman ringan yang untuk ukuran sekarang ditertawakan. Tentu menjadi tugas semua pihak, khususnya agamawan dalam memberikan pencerahan dan pemerintah untuk menindak tegas pelaku nikah mut’ah. E. Kesimpulan Keharaman nikah mut’ah dapat dilihat dari efek negatif yang ditimbulkannya. Diantaranya, Pertama, menjadikan wanita sekedar pemuas nafsu seksual, tidak ada bedanya dengan pelacur, yang dinikmati kemudian ditinggal pergi. Kedua, hilangnya konsep keluarga dalam Islam yang menekankan tercapai mawaddah (cinta kasih) wa rahmah (sayang). Mawaddah wa rahmah adalah dua hal yang menjadi impian setiap keluarga yang dicapai selama-lamanya. Ketiga, munculnya generasi yang lemah. Kalau si wanita punya anak hasil nikah mut’ah, siapa yang bertanggung jawab, siapa bapaknya, dan lain-lain. Keempat, hancurnya moral umat manusia. Orang akan berlomba-lomba menikmati nafsu seksual tanpa batas. Asal punya uang, langsung nikah mut’ah satu bulan, kalau cocok diteruskan, kalau tidak cocok ditinggal pergi. Pertanyaan kita selanjutnya adalah, apakah seperti itu corak hukum yang dibawa Islam di dunia ini, menjadikan Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani wanita tidak ada harganya dan menjadikan seks sebagai barang bebas, seperti produk yang dilempar pasar, siapa yang mampu beli, dia akan dapat ? tentu hati nurani kita akan berkata, tidak. Pilar utama Islam adalah membentuk kemuliaan moral sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad SAW innama buitstu liutammima makarimal akhlaq, sesungguhnya aku diutus supaya menyempurnakan akhlaq yang mulia. Melihat banyaknya dampak negatif nikah mut’ah, maka perbuatan ini harus dihindari sedini mungkin. Menghalalkan nikah mut’ah sekarang ini seperti legalisasi perzinaan, sebuah dosa besar yang akan menghancurkan bangunan moral Islam. Kawin kontrak yang berorientasi seksual dan material adalah sebuah penyimpangan yang jauh dari nilai-nilai Islam yang agung dimana keluarga harus dibangun atas dasar cinta kasih menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Menikah tidak hanya untuk bersenang-senang, tapi yang paling penting adalah mengikuti sunnah Nabi sebagai media memperoleh keturunan dan meneruskan estafet kepemimpinan Islam di masa mendatang, mencetak kaderkader masa depan agama yang berkualitas yang mampu membawa Islam ke puncak singgasana peradabannya yang berorientasi ketuhanan, kesejahteraan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 75 76 KONTROVERSI NIKAH MUT’AHDAN NIKAH MU’AQQOD (endnotes) 1 Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2003), Juz 4, h. 71-72, Abu Bakar al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Kairo Mesir : Darul Hadits, 2004), cet. 4, h. 359 2 Supani, Kontroversi Nikah Kontrak (Mut’ah), dalam Misykar, Jurnal Pasca Sarjana IIQ Jakarta, Vol. 1, No. 2, September 2008, h. 125126 3 Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah, Ibid,................ h. 72-73, Abu Bakar Syatha, I’anah al-Tholibin ala Hilli Alfadzi Fathil Mu’in, (Jakarta : Daru Ihyail Kutub a-Arabiya, t.t.), Juz 3, h. 278-279 4 Imam Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, juz 3, h. 126. 5 Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Beirut Libanon : Darul Kutub alIlmiyyah, t.t.), Juz 7, h. 571 6 Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah,Op. Cit............... , Juz 4, h. 71-75 7 Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, (Mesir : al-Maktabah al-Taufiqiyah, 2003), Jilid 5, Juz 9-10, h. 47-48 8 Abi Abdillah Abdussalam Allawis, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulughul Maram, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2004), Juz 3, h. 271-272 9 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, (Beirut Libanon : Darul Fikri al-Mu’ashir, 2004), cet. 4, Juz 9, h. 6552, Abi Ishaq Ibrahim al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, (Semarang : Thoha Putra, t.t.), Juz 2, h. 46, Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra, (Surabaya : Al-Hidayah, t.t.), Juz 2, h. 114 10 Ramlan Yusuf Rangkuti, Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor : Dr. Chuzaimah T. Yanggo & Hafidz Anshary, (Jakarta : Pustaka Firdaus dan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 2008), cet. 5, h. 90-92 11 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1999), Jilid 9, h. 328 12 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, Op. Cit..................... h. 6554-6556 13 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2005), cet. 8, Juz 3, h. 13, dan Irwan Masduqi, Lc., Sunni dan Syiah, Mari Berlebaran, 18 September 2009 dalam http:// irwanmasduqi83.blogspot.com/2009/09/sunni-dansyiah-mari-berlebaran-oleh.html Jurnal Studi Gender Jamal Ma’mur Asmani 14 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Op. Cit...................Jilid 9, h. 330 15 Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Taudlihul Ahkam Min Bulughil Maram, (Libanon : Muassasah al-Khodamat al-Thiba’iyah Hasib Dirghom Wa Auladuh, 1994), cet. 2, Juz 4, h. 404 16 Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, Op. Cit. Jilid 5, Juz 9-10, h. 50 17 Ibnu Qudamah, al-Mughni, Op. Cit................ h. 571-572. Dalam banyak kitab perkataan Umar adalah ada dua mut’ah yang terjadi pada masa nabi Muhammad Saw. aku melarangnya dan menyiksanya, mut’ah dengan para perempuan dan mut’ah pada waktu haji. Jadi ada perbedaan. Penulis lebih cocok yang ini yang menguatkan haramnya nikah mut’ah. 18 Syarqowi, Hasyiyah Al-Syarqowi, (Surabaya : Al-Hidayah, t.t.), Juz 2, h. 234 19 Esensi Pemikiran Mujtahid, Forum Kajian Ilmiah 2003 Purna Siswa Aliyah (Kediri : PP. Lirboyo, 2003), h. 297 20 Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadhoir, (Kediri : AlMa’had al-Salafi, t.t.), h. 84 21 Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, Loc. Cit. Jilid 5, Juz 9-10, h. 46 22 Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. 3, Jilid 6, h. 214 23 Imam Syafi’i, al-Umm, (Beirut Libanon : Darul Kutub alIlmiyyah, 2002), Jilid 5, h. 117 24 Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2005), Op. Cit............h. 14 P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 77 78 Daftar Pustaka Abdurrahman Al-Juzairi, al-Fiqhu Ala al-Madzahibil Arba’ah, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2003), Juz 4 Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam, Taudlihul Ahkam Min Bulughil Maram, (Libanon : Muassasah al-Khodamat al-Thiba’iyah Hasib Dirghom Wa Auladuh, 1994), cet. 2, Juz 4 Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra, (Surabaya : Al-Hidayah, t.t.), Juz 2 Abi Abdillah Abdussalam Allawis, Ibanah al-Ahkam Syarah Bulughul Maram, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2004), Juz 3 Abi Ishaq Ibrahim al-Syirazi, al-Muhadzdzab fi Fiqhi al-Imam al-Syafi’i, (Semarang : Thoha Putra, t.t.), Juz 2 Abu Bakar Syatha, I’anah al-Tholibin ala Hilli Alfadzi Fathil Mu’in, (Jakarta : Daru Ihyail Kutub a-Arabiya, t.t.), Juz 3 Abu Bakar al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Kairo Mesir : Darul Hadits, 2004), cet. 4 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1999), Jilid 9 Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir Aw Mafatihul Ghoib, (Mesir : alMaktabah al-Taufiqiyah, 2003), Jilid 5, Juz 9-10 Forum Kajian Ilmiah Purna Siswa Aliyah 2003, Esensi Pemikiran Mujtahid, (Kediri : PP. Lirboyo, 2003) Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah, t.t.), Juz 7 Imam Syafi’i, al-Umm, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2002), Jilid 5 Imam Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, juz 3 Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadhoir, (Kediri : Al-Ma’had al-Salafi, tt.) Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah bin Syihabuddin alRamli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarhi al-Minhaj, (Beirut Libanon : Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003), cet. 3, Jilid 6 Ramlan Yusuf Rangkuti, Nikah Mut’ah Dalam Perspektif Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, Editor : Dr. Chuzaimah T. Yanggo & Hafidz Anshary, (Jakarta : Pustaka Firdaus dan Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 2008), cet. 5 Supani, Kontroversi Nikah Kontrak (Mut’ah), dalam Misykar, Jurnal Pasca Sarjana IIQ Jakarta, Vol. 1, No. 2, September 2008 Syarqowi, Hasyiyah Al-Syarqowi, (Surabaya : Al-Hidayah, tt.), Juz 2 Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami wa Adilaltuhu, (Beirut Libanon : Darul Fikri al-Mu’ashir, 2004), cet. 4, Juz 9 -------------------, al-Tafsir al-Munir, (Beirut Libanon : Darul Fikri, 2005), cet. 8, Juz 3 Jurnal Studi Gender Riset THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Dewi Ulya Mailasari* ABSTRAKSI: Identitas diri merupakan suatu hal yang penting dimiliki oleh setiap orang. Dengan identitas diri seseorang akan mengetahui konsep diri, dan arah kemana tujuan hidup hendak dicapai. Hal ini akan memberinya pengetahuan mengenai mana hal yang baik dan mana hal salah dan membuatnya mudah menentukan pilihan sikap sebagai individu yang hidup di tengah –tengah masyarakat. Sekitar awal abad 20, merupakan masa yang sulit bagi sebagian wanita Amerika. Masa itu ditandai dengan membanjirnya orang kaya baru sebagai imbas industrialisasi. Namun di sisi lain juga menghasilkan orang-orang miskin yang tertatihtatih mencari cara bagaimana harus tetap survive. Studi ini mencoba menelaah kehidupan wanita Amerika pada masa itu dan bagaimana hidupnya diwarnai dengan proses pencarian identitas diri yang tidak pernah lelah di tengah system patriarki yang begitu mendominasi. Dalam system patriarki, laki-laki sebagai pihak pengontrol image perempuan menyangkut bagaimana seharusnya perempuan bertindak atau berlaku.Bagi sebagian wanita yang ingin lepas dari ketergantungan ekonomi dan social dari para suami, dan dengan begitu menjadi pribadi yang utuh maka mereka menghadapi kendala berupa ketiadaan akses ekonomi dan ketiadaan skill yang menunjang untuk bekerja di luar. Selama ini mereka dimanjakan oleh system patriarki yang memandang kecantikan dan keanggunan fisik adalah segalanya. Para wanita berfokus pada penampilan fisik yang itu semua *Dewi Ulya Mailasari, SS. is an English lecturer at STAIN Kudus. Now, she is pursuing for a masters degree in American Studies, majoring in American Literature, from the Graduate School of Gadjah Mada University, Yogyakarta. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 80 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH dalam rangka menyenangkan para suami mereka kelak. Mereka tidak mempunyai bekal skill bekerja karena dari awal masyarakat tidak menghendaki mereka bekerja. Tawaran pekerjaan yang ada adalah pegawai rendah dengan upah yang endah pula. Demikianlah diantaranya dilemma yang dihadapi wanita Amerika sekitar awal abad 20 dalam memperoleh identitas diri sebagai pribadi yang utuh. Kata kunci: identitas diri, wanita Amerika, system patriarki A. Introduction Women’s existence all this time has been viewed to some degree as inferior. Through history, women have been labeled physically weaker than men, more emotional, less reasonable, less able to learn, and dependent. Social customs and law were developed to ensure that women fit these definitions. Those stereotypes and attitudes are effective barriers to the changing of women’s status. For this reason, many feminists held the women movement to improve their position in order to be equal with men in all aspects of life. The process of changing stereotypes and raising the women’s status has been slow and uneven. At the approach of 1800’s, the girls of upper-classes began to have secondary school education. The education was for supporting the household duties. Before the Civil War, big business had been restrained. The agrarian interests were under the leadership of the Southern planting aristocracy. When this leadership was destroyed by the war and “reconstruction”, Northern industrialists and financiers, finding themselves with a free hand, transformed the country with a rush, by the use of machines, natural resources, and labor constantly augmented by immigration. The post Civil War expansionism had brought the drastic changes in economic, social and cultural aspects in Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari American life. America has become the strongest industrial nation in the world, with the highest standard of living. The business growth had caused the nouveau riche to appear. A great number of people arrived at cities and towns to work as laborers. They also invited their family along with them. Factories needed many cheap and skilled laborers. Industrialization gave an impact on the way the American people think and live. As described by Norman Foerster in Image of America: “America has a people combining an individualistic pattern of life with an immense capacity for voluntary organization; a practical people, with a large zest for production and consumption—a prevailing materialism; an idealistic people, responsive to humanitarian impulses, believing in the dignity of man and the primacy of human rights, but confused, insecure, and anxious amid the forces of a world in turbulent revolution.” (Foerster, 1962:116) As society changed, women’s role changed as well. Mechanization had a number of consequences. One of them was that it had destroyed the subsistence farm as a unit of American life. A limited number of farmers with machines raised enough food for the entire population. Men went out to work instead of working on their own place. Their reward was not a harvest but a weekly wage or a monthly salary. While the implication for American women was that they lost their economic function. This loss of function accounted for the frustration and sense of futility. On the other hand, industrialization made a number of upper and middle classes increased. The distinction between men and women was more visible. Men were busy in business, politics and war problems. Women’s place was at home and church. In the poorer classes, men worked as laborers, while the married women could not work because the society norm at that time forbade them to work outside, seeking the wages. For the girls or unmarried women, working was more of an economic necessity. They still could not make it enough to P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 81 82 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH support themselves. They usually worked in ready-made clothes factories or as servants, with low wages. In 1800-1850’s, the women of middle classes spent their spare time doing charity activities. They specialized in improving the women position in the fields of social, economic, and law. The year of 1848 was the starting moment for American women in launching the equality campaign in a national scale. They achieved wide reaction from the American society, but unfortunately there was only a few numbers of its activists. In a consumer society, money became increasingly important and most women did not have the means to support themselves financially. This problem placed their condition under pressure. With these conditions, they are not recognized as an independent and complete individual. They longed for the recognition. Based on these conditions, the will to achieve self-identity for women becomes an interesting phenomenon to be analyzed. The phenomenon is well recorded in Edith Wharton’s The House of Mirth. This study is to probe the quest of American women self-identity. By studying the experience of woman depicted by Edith Wharton in The House of Mirth, it is hoped that a portrait of American women quest in searching for their selfidentity in the beginning of the twentieth century will be revealed. This novel is not only viewed as an aesthetic entity but primarily an evidence of American culture. We cannot deny that women have important role in forming society’s behavior through their activities and therefore, the researcher believes that the study of American women through Edith Wharton’s The House of Mirth is essential. B. Theoretical Frame Self-identity refers to one’s existence in his or her society and recognition of the existence continuity on both sides; as an individual and as a member of his or her society. Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari Allen Wheelis in The Quest for Identity has said: “Identity is a coherent sense of self. It depends upon the awareness that one’s endeavors and one’s life make sense, that they are meaningful in the context in which life is lived. It depends also upon stable values, and upon the conviction that one’s actions and values are harmoniously related. It is a sense of wholeness, of integration, of knowing what is right and what is wrong and of being able to choose……….” (Wheelis, 1958:19) Self identity is formed since one is in the childhood. When he or she grows up and becomes mature, he starts to think about his existence and his life purpose. He looks for a certain view of life that will guide him to his or her life in the future. Besides, he or she faces a certain value or social norm prevailed in a society where he or she lives. If his or her behavior is in accordance with the value or norm, he or she will gain a stable social identity. Therefore, the role of self-identity in one’s life is very important. By having self-identity, one can determine the stability of his or her future behavior and can hold a belief about what he or she is like as an individual. The women movement formerly was motivated by awareness that women had difficulties in expressing their identity. As said by Betty Friedan in the Feminine Mystique: “It was the need for a new identity that led those passionate feminists to forge new trails for women…. The feminists were pioneering on the front edge of woman’s evolution. They had to prove that women were human. They had to shatter, violently if necessary, the decorative Dresden figurine that represented the ideal woman of the last century. They had to prove that woman was not a passive, empty mirror, not a frilly, useless decoration, not a mindless animal, not a thing to be disposed of by others, incapable of a voice in her own existence, before they could even begin to fight for the rights women needed to become the human equals of men” (Friedan, 1974: 7475). P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 83 84 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Women need to aware that their presence is important so that they can respect their self as human like men are. Soenarjati Djayanegara in Citra Wanita dalam Lima Novel Terbail Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika said that a traditional wife, who depends on men economically and socially, according to feminist ideology, cannot be said as a complete individual, because she is recognized through her husband’s identity (Djayanegara, 1995: 147). Edith Wharton, the author of The House of Mirth, was born amid the drastic changes which took place in America between the Civil War and the First World War. Wharton’s work at its best deals with what she described as the tragic physic and moral effects on its members of a frivolous society under pressure. R.W.B. Lewis in Edith Wharton: A Biography said that her works are: “…continuing testimony to the female experience under modern historical and social conditions, to the modes of entrapment, betrayal, and exclusion devised for women in the first decades of the American and European twentieth century” (Lewis, 1975:xiii). Written in 1905, the novel became a best seller for nearly a year and a half. It is a novel of manners, one of the first to emerge in American literature and one of Wharton’s most famous and most discussed novels. Many people notice that Wharton’s works were psychological novels and usually about the problems of women in upper-class society. She can describe a whole way of life by describing a few surface details. Her work is also far more concerned with social manners and realistic depiction of behavior rather than complex moral problems. The material object of the research is a novel. Novel as a literature work is a survival from the past. Literature can help us understand a whole great historical episode. As said by Michael Zeraffa in his article “The Novel Form and as Social Institution”: “Novel often seems bound up with particular Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari moments in the history of society and connected with the nature of the situation in the history” (Zeraffa, 1973:135). C. American Women in the Early of Twentieth Century a. Women in Domestic Area Thorstein Veblen as quoted in Elizabeth Ammons’ A Norton Critical Edition said that a wife of leisure class has become pure sign of male wealth, existing only in their social relations. Veblen analyzed the leisure-class wife’s as follows: “….though wives are dependent economically on men, they do fulfill a significant function in the marital economy: that of conspicuous consumer for the male. They display his wealth, and therefore power, by spending his money while leading lives of leisure,” thereby putting in evidence his ability to sustain large pecuniary damage without impairing his superior opulence….the gentleman’s wife wears clothing that shows she does not need to engage in sweated labor. Indeed, her huge hats, high heels, voluminous skirts, excessively long hair, and corseted midriff all render her unfit for exertion and label her some men’s costly possession. She is human chattel with an ornamental function, the prized domestic trophy whose leisure, dependence, and expenditure evidence her husband’s financial prowess” (Veblen within Ammons, 1990:347-348). The following statements from Betty Friedan in The Feminine Mystique may explain the relation between the woman condition at that time and the woman achievement of self-identity: “As a housewife the house and the things in it are, in a sense, her identity; she needs these external trappings to buttress her emptiness of self, to make her feel like somebody. She becomes a parasite….because the things she needs for status come ultimately from her husband’s work, for the lack of of an identity of her own.” (Friedan,1963:260) P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 85 86 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Thorstein Veblen in Elizabeth Ammons’ A Norton Critical Edition then described the characteristic of women in the leisure class that one’s apparel was always in evidence and affords an indication of her pecuniary standing to all observers at the first glance. The greater part of the expenditure incurred by all classes for apparel was incurred for the sake of a respectable appearance rather than for the protection of the person. In the leisure class, the dress should not only be expensive, but it should also make plain to all observers that the wearer was not engaged in any kind of productive labor. It was the insignia of leisure. By virtue of its descent from a patriarchal past of the leisure class, the social system made it the woman’s function in an especial degree to put in evidence her household’s ability to pay. The household was the special care of the women. In the life of the higher pecuniary classes, its good name was chiefly sustained by women; therefore this attention to conspicuous waste of substance and effort should be the sole economic function of the woman. Conspicuous waste and conspicuous leisure were reputable because they are evidence of pecuniary strength; pecuniary strength was reputable or honorific because it argues success and superior force. (Veblen in Elizabeth Ammons,1990:267-270) The meaning of success for women then was measured by being a wife of a rich husband. The economic growth during the 19th century had made the affluence of the middle-class household exaggerated. Michael Gordon in The American Family; Past, Present and Future stated: “ … as the middle-classes grow, the wife became a billboard for her husband’s achievement and the manner in which she desired, the activities she engaged in, and the kind of home she managed all served to tell the world of her husband’s success. Associated with this image was the image of the woman as a vessel of the virtues that were absent in the harsh and often cruel work world outside the home.” (Gordon,1978:205) Luther S. Luedtke’s statements in Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat jilid II may Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari explain the historical and social changes in women’s roles at that beginning of the twentieth century. It was said that from the year o 1900 to 1914, the image of Victorian women which separated both sex distinctly according to each fields started to come down (Luedtke,1989:38). He said again that in the early of the 20th century, there was still a broad understanding that women who stayed at home were more appreciated than the ones who worked outside. The married women worked for the economic reason only. Theoretically, the cult of household life placed women of upper class in an honored position. During the midst and the end of 19th century, the authority o the middle and upper class wives was at home (ibid,120). Page Smith in Michael Gordon’s The American Family: Past, Present and Future stated: “…. by the end of the 19th century the image demanded that a good wife have a tastefully furnished home, prepare varied and imaginative meals and know how to entertain…the growth of real income permitted more of the population to consume in a way that was undreamed of previously. Many families could maintain a life-style that would have been considered ducal by medieval standards. The burden for the implementation of this standard of living falls upon the wives.”(Smith in Gordon,1978:206) b. Women at Work There was an interesting statement from Dr. Alice Hamilton, physician in the early 1900s and one of a handful of pioneers in the women’s movement. She noted that the American man gives over to the woman all the things he is profoundly disinterested in, and keeps business and politics to himself. Most of the upper-class inherited their money or collected dividends from investments. Related to the women’s role in general, Robert Smuts said in Women and Work in America that about 1900 in America: P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 87 88 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH “…nearly everyone believed that woman’s first duty was to bear and raise children and maintain the home, and that women were inherently better fitted for these than for any other functions. ….Many Americans felt exquisitely specialized for their functions as mothers and guardians of the home. To employ a woman in any other way would endanger not only her essential female qualities but also her sanity, her health, and even her life.” (Smuts,1971:112) Actually, industrialism gave a good chance for women who wanted to achieve an independence which was basic for her own existence, by working. They no longer needed to depend on their family elders or males economically. But they were forced by a situation where both ideology and opportunity operated against their participation in the work force. Michael Gordon said: “… the general growth in female work force participation since the beginning of the century has not been matched by concurrent rises in the representation of women in various professions, especially in the more prestigious and highly remunerative ones, such as medicine and law. Women show predominance in areas such as nursing, social work, and librarianship.” (Gordon,1978:87) In colonial America, women who earned their own living usually became seamstresses or kept boardinghouses. But some women worked in professions and jobs available mostly to men. There were women doctors, lawyers, preachers, teachers, writers, and singers. By the early 19th century, however, acceptable occupations for working women were limited to factory labor or domestic work. Women were excluded from the professions, except for writing and teaching. The medical profession is an example of changed attitudes in the 19th and 20th centuries about what was regarded as suitable work for women. Prior to the 1800s there were almost no medical schools, and virtually any enterprising person could practice medicine. Indeed, obstetrics was the Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari domain of women. Beginning in the 19th century, the required educational preparation, particularly for the practice of medicine, increased. This tended to prevent many young women, who married early and bore many children, from entering professional careers. Although home nursing was considered a proper female occupation, nursing in hospitals was done almost exclusively by men. Specific discrimination against women also began to appear. For example, the American Medical Association, founded in 1846, barred women from membership. Barred also from attending “men’s” medical colleges, women enrolled in their own for instance, the Female Medical College of Pennsylvania, which was established in 1850. D. Analysis In this analysis, the researcher tries to probe the phenomenon of the quest of American women for self-identity as reflected in The House of Mirth. The House of Mirth concerned a young woman named Lily Bart who was deprived of the supports she depends on to sustain her throughout life. She faced the confusion in her attempts at self-identity and her story of love that was also destroyed through these confusions. In the exposition, the author describes Lily as an orphan and her aim was to marry a rich husband as being hoped by her late mother. Marrying was the only thing she could play in her society in order to be accepted by the people of upperclass. The House of Mirth opened with the encounter between Lily Bart and Lawrence Selden incidentally in Grand Central Station after her holiday journey. Selden invited Lily to his apartment for tea. There, they discussed the various rules of etiquette for young women in the upper-class New York society, the milieu of them both. From the very beginning of the novel, Lily was P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 89 90 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH portrayed as conscious of the distortions created by the society that offered some flattering limitations of the women’s role. She had adopted her society’s images of women narrowly and literally. The young woman couldn’t live alone and enjoyed the privileges of an apartment. Only “governesses or widows. But not girls-not poor, miserable, marriageable girls!” (THOM,1991:7). Lily told Selden that people urged her to get married. Selden remarked: ”Isn’t marriage your vacation? Isn’t it what you’re all brought up for?” She answers:”I suppose so. What else there?”(ibid,9). It indicates that marriage for her becomes the only way of actually entering society. In this age of twenty-nine, she was still unmarried. No one fitted her yet. “I threw away one or two chances when I first came out … I am horribly poor—and very expensive. I must have a great deal of money”(THOM,1991;10). Here, we know that Lily’s aim was to get a rich husband to finance her expensive taste. When she asked Selden in return if he wanted to marry to get out of the routine [the work], he declared: “God forbid!” (ibid,12). Then Lily implied that she had no choice, of whether to marry: “…a girl must, a man may if he chooses” (ibid,12). There is a nuance of economical dependency of women on men. Lily received the role the society gave on her as a woman. She would not work as well because in the upper-class “work” was disdained, as when she reacted Selden’s argument: “And having to work—do you mind that?” (THOM,1991:12). Even men who worked were looked askance. Selden worked as a lawyer. Most of the upper-class inherited their money or collected dividends from investments. As a woman, Lily was also demanded to look pretty. “If I were shabby no one would have: a woman is asked out as much for her clothes as for herself. … We are expected to be pretty and well-dressed till we drop – and if we can’t keep it up alone, we have to go into partnership”(THOM,1991:12). While leaving Selden’s apartment, Lily met Sam Rosedale, one of the nouveaux riches in New York. She foolishly made a lie by telling that she just came out of her Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari dressmaker in The Bennedick. It was bad to be found out a girl or woman of upper-class like her leaving the bachelor’s apartment alone. But Rosedale knew that she lied because he was the owner of the building. It didn’t have any dressmaker. Lily was ashamed and leaving him. Lily complaint “Why must a girl pay so dearly for her least escape from routine?”(ibid, 16). She felt sorry for having made a lie that would put her under his scrutiny and his power. In the train, Lily spotted a young milliner, Percy Gryce. She wanted him to be her future husband. She talked to him for a while. Since Gryce was a book collector, Lily attracted him by talking about the Americana, the book that she’d just learned from Selden. The talk was interrupted by the coming of Bertha Dorset, one of her rich friends. Lily was an orphan at twenty-one years old and now lived with her aunt, Mrs. Peniston. Although she lived well, she felt like to live in a prison because of her aunt’s rigidity. So, she associated with her rich friends. She was hard at work using her skills to entertain and gave pleasure to them. Her assignment was to practice the social arts, which consisted of dressing well, serving tea properly, receiving and making visits, being a helpful to the hostesses—helping them reorganize, redecorate, invite people and playing bridge. Lily had no immediate family and no inheritance to fall back on. She had only beauty and style and both of them required enermous upkeep. The hostesses expected her to play bridge as a compensation for their prolonged hospitality and for the dresses and the trinkets. Lily was unconsciously trapped in the extravagant life-style and as a result, she had too many debts. Her present situation reminded her of her childhood. Lily was born in a luxurious family and accustomed to live in that way. But her father was ruined financially when she was nineteen and soon died. From her father’s death, she learns that death and financial ruin go hand in hand. So in this life she must choose: money or death. Her mother’s saying P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 91 92 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH strengthened her view on how important money was in this life. No one wanted to live like “a pig”. She hated dinginess. Her mother also told her to rely on her beauty as a means of getting out of the poor position. She nurtured and indulged Lily’s beauty. Lily was one remaining asset for her family. She trained to become a decorative object. Her mother brought her from one relative to another to keep them from falling into poverty. She died when Lily was twenty-one years old. There was a moment when she felt tired because she had been long enough in bondage to other’s pleasure. Her work with Mrs. Judy Trenor promoted a sense of servitude, rather than possession. And she started to worry the two lines about her mouth which remained. She was now twenty-nine years old and still unmarried. Lily had tried to bring her aunt into active relation to life but she failed. Lily had done her own activities and her aunt only gave her some money to be spent on dress. Lily “was beginning to have fits of angry rebellion against fate, when she longed to drop out of the race and make an independent life for herself”(THOM,1991;40). Lily wanted to govern her own course in life . She hoped to be able to marry Percy Gryce soon. She found out that her only chance to settle her debts and gain economic freedom was to marry money. Lily would prefer to be economically dependent on her husband rather than on her elderly aunt. Marriage gave women the opportunity to have home of their own because girls who lived without chaperonage were usually somewhat morally suspicious. This was the reason why Lily previously failed to marry Dillsworth. At tea with Selden, the story was inserted: “What’s become of Dillsworth?” he asked. “Oh, his mother was frightened – she was afraid I should have all the family jewels reset. And she wanted me to promise that I wouldn’t do over the drawing-room.” “The very thing you are marrying for!” “Exactly. So she packed him off to India”(ibid,10). Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari Lily was viewed as a dangerous woman who threatened family and property and posed a risk to stable class identity. The rising action begins in this stage when Lily met Selden again in a dinner in Bellomont. She grew interested in him after comparing him with the others. He looked different and Lily started to think “how dreary and trivial these people[her rich friends] were!”(ibid,57). Actually, Lily and Gryce had planned to go to the church in that Sunday morning together. Gryce was now fully interested in Lily. But Lily’s late and became bored. She wanted to know Selden’s presence and coincidently caught him in the Trenors’ library along with Bertha Dorset. Mrs. Dorset was upset about the intrusion and left them. Lily didn’t aware that her intrusion would made Bertha hurt and taking a revenge on her later. Selden followed Lily and told her that he came to Bellomont to see her. But Lily said that she had an engagement with other person. Selden knew the person Lily meant. Selden responded this with a nervous evasion and understood why she was getting up his Americana in her visit to his apartment some weeks before. It placed him to a safe emotional distance with her. Since then, the author described Selden encapsulated in his own preoccupations, needs and prejudices about Lily. Lily suddenly became interested in Selden rather than Gryce. She broke her second planned meeting with Gryce in order to see Selden.The excuse she gave Gryce was that she had a headache. It seemed that there was a problem in Lily’s personality. She had a desire to join the elite class but on the other hand she also had a desire to avoid the boredom of it. In the afternoon walking, Lily felt that there were two beings in her at the moment, one drawing deep breaths of freedom and exhilaration and the other gasping for air in a little black prison—house of fears. But finally the free spirit quivered for flight. The meeting with Selden became a release for her. The meeting reminded her of her first-love to Herbert Melson some years ago.”…the only point of comparison was the sense of lightness, of emancipation …”(ibid,67). P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 93 94 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH To fulfill his curiosity about Lily, Selden asked about the meaning of success to her. In Lily’s opinion, success was” to get as much as one can out of life, …”(ibid,70). While according to Selden, success meant “ … personal freedom. Freedom from everything—from money, from poverty, from ease and anxiety, from all the material accidents. To keep a kind of republic of spirit—that’s what I call success”(ibid,71). Selden can’t lie to himself that he admired Lily’s beauty. He found aesthethic amusement in her presence and her talk. He also realized Lily’s liking to him. But Selden doubted if she could enter into the republic, because he knew Lily well. She would marry someone who was very rich. The rich people depended on money very much, they breathed in it all the time although they might not be thinking about money. For Selden, money was only a means not a purpose in this life. He didn’t underrate the decorative side of life and it was natural for the rich people to use money to support their sense of splendor for the justification on what they had or gain. But he didn’t agree if one used money for the futile things. And that was what he thinks about Lily. In the previous chapter, in Grand Central Station, Selden looked at Lily as an expensive and polished work of art, a product of “her society”. While Selden placed himself as “amphibious”, lived in both the wealthy elite society as well as the working society in New York. Lily looked radiant, vivid, an image of luxury. Selden suspected “that she must have cost a great deal to make, that a great many dull and ugly people must, in some mysterious way, have been sacrificed to produce her,” and he wonders: “Was it not possible thaat the material was fine, but that circumstance had fashioned it into a futile shape?”(ibid,5). Selden thought that Lily had been fashioned into a futile shape. Lily didn’t agree with Selden’s argument. According to her, if one didn’t want to think much about money, he should have a great deal of it. There were some different visions between them. But actually from deep inside, Lily was attracted by his Utopian visions. Lily had trusted Selden. In Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari the previous encounter, Lily hoped Selden would be the friend that she desperately needed. She told him: “Don’t you see … that there are men enough to say pleasant things to me, and that what I want is a friend who won’t be afraid to say disagreeable things when I need?” (ibid,_) And now Selden had told her the things that added the moral dimension on her life. “Whenever I see you, I find myself spelling out a letter of the sign—and yesterday—last evening at dinner—I suddenly saw a little way into your republic”(ibid,71). She wanted to feel “freedom” as his. But Selden didn’t give some alternatives instead. To do so and to get a support, Lily thought to marry him as the only way. Selden implicitly said that it all depended on her. The intimate was interrupted by the motor sound. Lily seemed to realized by her real condition. She was anxious to be found out going out with Selden. Knowing this, Selden was disappointed. Mrs. Trenor admonished Lily for spending time with Selden. It would make Bertha angry and do something damage on Lily. Mrs. Trenor was right. Mrs. Dorset entered the room and told that Gryce left Bellomont without saying a word. Lily thought that Bertha must had told the awful thing about her to Gryce. After the conversation ended, Mrs. Trenor had Lily pick up her husband. On the ride, Lily thought that she must reduce her gambling habit and now, how to get money was her concern. Then, she told about her financial problem to Mr. Trenor. He promised to help her by investing his money for her, forgetting that money gave the lender the right to expect something in return. Lily went to Jack Stepney’s wedding with Gerty Farish. She met Gus Trenor who told her that he had delivered the second check for about $4000. It seemed that he had started to assert his claim over her by asking Lily to spend time with Sam Rosedale in the sake of his business. He also dared to touch her and calls her Lily, using her first name. Lily could not refuse this because he had helped her. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 95 96 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Lily didn’t want to see Selden. She’s not ready yet to see him in such situation, like this party. His presence would shake her aspiration. Lily was fascinated by the bride’s jewels displayed in the party. “They symbolized the life she longed to lead, the life of fastidious aloofness and refinement in which every detail should have the finish of a jewel-like rareness”(ibid,_). She wanted to be like jewels which could exist as pure beauty in a state of pure display. They did not have to produce anything, or reproduce; they had a hard beauty which keept the admirer at a distance, dazzled by the surface. It could be interpreted that she wanted to be admired but she didn’t allow any men controlling her feeling. Lily was very preoccupied with her surface. She has long practiced the art of making herself an exquisite decorative object. She used looking-glasses or other people’s eyes to picture herself. Her value depended on the other admiration. From the beginning Lily realized that it was her beauty that made her interesting or valuable to others. The man who married her would select her as the final prize in his collection. That was what she felt on Percy Gryce and the men who had proposed her before. But on Selden, Lily had a different feeling. He possessed the qualities that the other men did not have. Certainly she wanted to be loved by him, for that would confirm her own sense of worth, of lovability. But in order to be worthy of Selden’s collection, she must not waver to reject the material world. Besides as an exquisite decorative object, under Selden’s eye, Lily unconsciously placed herself as a moral object as well. Selden approached Lily when she was alone. He looked at her in the frank enjoyment of her grace. Lily felt that she “ … longed to be to him something more than a piece of sentient prettiness, a passing diversion to his eye and brain … ”(ibid,99). Lily didn’t want to be admired only physically by him. She knew his visions, so she admitted how poor and unimportant her ambitions were for Selden. Lily then determined to do all the things she had convinced about like in their previous meeting Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari before. But Selden acted as if there was nothing ever happened between them. Even, he told Lily that he could understand that her ambitions were more important to her than anything else. Lily was disappointed hearing this. “She looked at him helplessly, like a hurt or frightened child: this real self of hers, which he had the faculty of drawing out of the depths, was so little accustomed to go alone!”(ibid,99). Lily had accepted the notion that Selden’s reactions were the only “mirror” in which her real self could be reflected. Every gentle admonition from him was a blow to her self-esteem. Lily knew that he despised her ambitions and his saying indicated that they would carry on this life in their own way. Actually Lily could not go alone and hoped he would always be in her side, gave her a support. She had learned to experience herself as an object being observed by the others—not directly as an integrated human being—that her sense of “self” was confirmed only when she elicited reactions from others. When she was alone, she would feel the inner emptiness that was terrifying and unbearable for her. How dependent she was on Selden’s figure. All this time he always made her feel worthy. When Gus Trenor and Sam Rosedale came, Lily felt uncomfortable. She was afraid Rosedale would tell the others about her visit in the Bennedick and thus Selden would know exactly that she made a lie. “ … under the spell of his observation Lily felt herself powerless to exert her usual arts”(ibid,100). Lily was afraid of what Selden might think about her. This indicated the dependent nature of Lily’s sense of self. Then she asked Rosedale to go out of the room. Rosedale in Lily’s eye was one of the rising elite, a man who would soon join the fashionable New York set even though he was ostracized when Lily first met him. This very moment, he was ignored by the other women present. Walking along the ballroom, she desired to find out Percy Gryce. In the end of the party, Mrs. Van Osburgh met her and told that her daughter, Evie and Percy Gryce were already engaged. Finally Lily had to receive the fact that she could not marry him and became realized that she was now fully back in her position of being a debtor, P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 97 98 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH a position she had hoped Gryce would rescue her from. For this time, Lily had to face the codes and boundaries which lied beneath the upper-class concern. Percy Gryce was worried about Lily’s headache, “he wondered rather nervously if she were delicate, having farreaching fears about the future of his progeny”(THOM,1991:69). After several days, Gryce finally chose a “quiet stay-at-home kind of girl”(ibid,_). She was Miss Evie Van Osburgh. It was an autumn. Lily felt bored because there were only few invitation from her rich friends. She was afraid her popularity would be decreased soon: “There were moments when she longed blindly for anything different, anything strange, remote and untried; but the utmost reach of her imagination did not go beyond picturing her usual life in a new setting. She could not figure herself as anywhere but in a drawingroom, diffusing elegance as a flower sheds perfume” (ibid, 105). She had accustomed to pass the holiday from one country-house to another. Being lonely made her feel anxious. In this loneliness, Lily mused about her long-life that was spent to amuse the others; her rich friends and her aunt, Mrs. Peniston. “ … whichever way she looked she saw only a future of servitude to the whims of others, never the possibility of asserting her own eager individuality”(ibid,106). Lily wanted to stand alone but it was impossible. There was a woman looking for Lily. She was Mrs. Haffen, a poor woman who needed money to pay her house rent. She asked Lily to buy some letters written by Bertha Dorset to Selden, letters that implicated her in an affair with him. Realizing the value of the letters, Lily eventually bought them after some haggling. Mrs. Peniston told Lily that Bertha Dorset was the Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari reason that Evie and Gryce met each other. She also heard a rumor that Lily had been engaged to Percy Gryce before. Lily didn’t want to listen carefully and back to her room. Lily resolved to use the letters as a means of getting back at Mrs. Dorset for ruining her chances with Gryce. Bored, Lily prefered to take a walk alone, spending her money rather than return to Bellomont. She coincidently met Gerty Farish who had just left the committee-meeting of a struggling charity. Lily was interested to hand out a large sum of money as a donation to Gerty’s charity, a charity for poor women with no work and no homes. She derived pleasure in giving money to them. Simon Rosedale’s claim over Lily was proved. He pressured her to go to the opera with him. He reminded Lily that he knew everything about Mr. Trenor’s investment on her behalf and told her that she could share his opera box along with Carry Fisher and Gus Trenor. Lily could feel his pressure concerning money. She was aware that Rosedale would consider her a wonderful prize if she agreed to marry him. At the opera, Rosedale started to think that Lily might be the perfect person to complement his social ambitions if he married her. There, Lily met Gus Trenor who expected her to spend time with him in return for the monetary favors he had bestowed on her. There was a pressure again from Gus Trenor concerning money. Lily felt uncomfortable realizing that the gown she wears was bought from his money. And now Lily found that he was merely interested in her sexually, and wanted to spend time with her to make up for the money he had lent. Lily had unconsciously offended her cousin Grace Stepney by excluding her from one of Mrs. Peniston’s infrequent dinner parties. Grace Stepney took revenge by revealing to her aunt that Lily had been seen with Gus Trenor lately and insinuated that it was because Lily needed money to pay off her gambling debts. Mrs. Peniston was upset, but she was quiet. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 99 100 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Judy Trenor became indifferent with Lily. Lily wondered if she had heard anything about her husband and his loans. She was unbear to be unconcerned by the others. So, she joined The Wellington Bry’s party, a nouveaux riche whose social status is one level under the Trenors. They threw a big party in order to seduce “society” into accepting them. The main attraction was a play in which various women presented themselves in the setting of portraits. Lily was in the play and chose to be in a Reynold’s that allowed her beauty to shine. It was Lily’s greatest triumph moment. Most of the necessary people who arrived at the party were hypnotized by her beauty. For Lily, it gave a sense of being of importance among the insignificant and it was enough to restore her consciousness of power. She was still attractive and admired. Selden was taken by Lily’s beauty: “Its expression was how so vivid that for the first time he seemed to see before him the real Lily Bart” (ibid, 142). It was a moment when Lily came closest to Selden’s expectations. Lily’s choice of costume revealed her increased understanding of Selden’s visionary demands of her. “Her pale draperies, and the background of foliage against which she stood, served only to relieve the long dryad-like curves that swept upward from her poised foot to her lifted arm. The noble buoyancy of her attitude, its suggestive grace, revealed the touch of poetry in her beauty that Selden always felt in her presence” (ibid, 142)”. Selden met Lily. For a moment, Lily thought: “… it seemed to her that it was for him only she cared to be beautiful” (ibid, 144). Selden led Lily to the garden. They soon shared a kiss. Selden told Lily that he loved her, but this caused her to run in distress. From the beginning, Lily knew that she could not marry Selden because of his relative poverty. Life with him would be an extension of the parasitical existence she hoped to Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari escape. He could not afford to provide the things she required, so it would be foolish to marry him. She still postponed for the best. But on the other hand, she needed him much as a friend who always supported her. Lily didn’t expect that he wanted to marry her after all the things which ever happened between them. They hadn’t long met each other. Formerly, Lily thought that he would leave and forget her because of their different visions. And now, his proposal made her confused. She’s not ready yet to receive it. In Lily’s mind, she was confused about what kind of marriage that they would carry on. If Selden married her because of her beauty, it meant that he betrayed his vision himself as he ever talked about. And it also meant that she let herself be one of Selden’s “collections”, whereas in fact he had taught her to be an independent woman who was free in expressing herself, not depend on the other’s value. But if Selden thought that she has gained what he wished on her [woman’s self-identity], he was wrong. She hadn’t gained it yet. There was a strong will in Lily’s self that she didn’t want to be object anymore. Thus afterwards she sighs,”Ah love me, love me—but don’t tell me so!”(ibid,145). She’s afraid that she could attract him only in worldly level because of her presence in Reynolds’ portrait. However, it could not be denied that it was the arena of woman display. And Lily displayed herself before the spectators. The rising action above is mostly signed by the internal conflict happened on Lily’s life. Her craving for independence is confronted against some elements in her own personality that is a need of being admired and observed by the others. The climax happens when Lily got two invitations from Mrs. Trenor and Selden in the next morning. When she came to the Trenor’s house, there was no one except Gus Trenor. He made a lie by telling Lily that it was his wife who invited her. His wife was not even in this town. He demanded Lily to pay him for the money he had invested for her, implying sexually. Lily recoiled at his advance. At the defining moment, P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 101 102 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH Lily could make him stop accosting her, and she was able to call a cab and left the house. Lily went to Gerty Farish’s flat late in the night and was crying. She was upset about her encounter with Gus Trenor. Lily learnt that worship was only the sign of the right to possess. All this time, her looking in men’s eyes had been seen reflected back to herself images of precious and untouchable beauty, images of the self as pure and valuable. The reverence for her as ornament was also contempt for her as sexual being. Formerly, Lily was proud of being able to manage her own life. But now, Selden’s saying was proved. Lily spoke to Gerty freely: “I want admiration, I want excitement, I want money— yes, money! That’s my shame, Gerty—and it’s known, it’s said of me—it’s what men think of me—if I said it all to him … I’ve sunk lower than the lowest, for I’ve taken what they take, and not paid as they pay, … would he loathe me”(ibid,175). Lily was afraid that Selden would loathe her because of her ambition that almost made her destroyed. Selden decided to renew his proposal of marriage. Lily’s portrait had attracted his aesthetic sense and his sensuality, and more importantly to his vanity. Selden would like to remodel his beloved in the image of his mother. Now, his desire was to rescue the woman he loves. This world was too hard for Lily. He wanted, “lift Lily to a freer vision of life … “(ibid, 168). He told Gerty that he would marry Lily. He followed Lily in the club but he didn’t find her. He heard the people conversation that Lily would marry Rosedale. Lily just left some minutes ago and went to the Trenors’ house, whereas in fact Judy Trenor was not in this town right now. Selden walked along Fifth Avenue with Mr. Van Alstyne. When they passed the Trenors’ house, they found it was dark as indication that there was no one there. But suddenly he saw Lily emerge from the house. It made him feel disdained. He broke his promise to Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari see Lily in the next day. Lily headed home in the morning. She counted up all the money and realized that she owed nine thousand dollars to Gus Trenor. Lily asked Mrs. Peniston for money, but she only offered to pay her dress-makers’ bills. When Lily admitted her gambling debts, she became stony and refused to hear another word in addition to refusing to pay her debts. Lily now expected Selden’s presence much. The inability to solace her outraged feelings gave her a paralyzing sense of insignificance. She waited for him in that evening but he didn’t show up. After an hour, the bell rang and Rosedale walked in. Rosedale proposed to Lily. He had enough money and became a member of the elite New York society. For him, Lily was the right woman to become his wife. By marrying him, it would end all of her monetary problems. Lily, still enamored with Selden, asked for more time to consider his offer. Her refusal showed that Selden’s affinity was stronger than all the things Rosedale had offered to her. After the next day passed with no message from Selden, Lily read the newspaper that he was sailing on a cruise ship bound to Havana. In the same day, Lily received an invitation from Bertha Dorset inviting her to go on a cruise in the Mediterranian. Lily was very sad and upset about Selden. To entertain herself, Lily decided to go to the trip with the Dorsets. In Monte Carlo, Selden heard from people that Lily was invited onto the Dorsets yacht in order to distract George Dorset so that his wife could have an affair with Ned Silverton. Selden became quite upset by this news. They unexpectedly met at the train to Nice. Lily was immensely polite to him, but Selden got the feeling that she was about to fall socially without even realizing it. One morning, George Dorset asked Lily what time Bertha had come back the night before. He had realized that his wife had been out all night with the young Ned Silverton P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 103 104 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH and that she only got home late the next morning. He broke down and told Lily everything that he was afraid of his marriage and that Lily had been the only person able to help him. Lily suggested that Geoge Dorset see Selden, the only lawyer capable of saving the reputation of both Dorsets. Lily returned to the Sabrina and was surprised to find Bertha on board along with The Duchess. After the guests departed, Bertha accused Lily of being alone with her husband the night before. She hinted that Lily was doing something irresponsible. Lily took aback by this reversal of the truth. She could not say anything and prefers to leave. In the restaurant, Selden took Lily aside and asked her to leave the yacht, because he realized that Bertha would likely contrive a story that implicated Lily in the marital scandal. But Lily refused, claiming she was necessary to protect Bertha. He finally agreed that probably nothing would happen and they returned to watch the Dorsets act as if nothing were wrong. When they got ready to the yacht for the night, Bertha announced that Lily would not be joining them. Taken aback, Lily composed herself and acted as if she had decided not to stay on the yacht any longer. She left with Selden instead, who made her go to her cousin Jack Stepney’s hotel and spent the night there. Mrs. Peniston had died. Lily was surprised when she received only ten thousand dollars. Grace Stepney inherited the remainder of the estate valued at nearly four hundred thousand dollars. Lily headed off to Europe to escape her declining in America and hoped everything would be better when she came back. But she found that it was too late. Mrs. Trenor’s unwillingness to be friendly to Lily implied that Lily had been completely kicked “out” of the social elite group. Lily realized that she must pay off her debts to Gus Trenor immediately. Her inheritance had not yet been paid out. She asked Grace Stepney to lend her some money. But Grace said that she had not received the inheritance yet either. Grace then became infuriated with Lily’s insistence and Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari informed her that the reason Lily was cut out of the will was because of her debts. While leaving Grace’s house, Lily met Carry Fisher who had taken pity on her. She invited Lily to join the Gromers at the party. She also joined them on a trip to Alaska so that she could stay out of the public eye for a while. After returning to New York, Lily was informed by Carry Fisher that she would have to marry in order to get out of her present predicament. Carry suggested George Dorset, who was having problems with his marriage again, or Sam Rosedale. Lily decided to try and made Rosedale marry her for love since she could no longer help him advance socially. There was one thing that disturbed her, that was his knowing of her relationship with Gus Trenor concerning money. Lily accompanied the Gormers in a country-house on Long Island. It was a part of her duty to attend her hostess on frequent visits of inspection to the new estate. For Lily, arriving in the world of the Gormers seemed to be the same as her own world, and it was merely that the actors who were different. While she was taking walk, alone, she felt that her lonely situation seemed to be an escape from the empty noises of her life. The author described her mind as follows: “She was weary of being swept passively along a current of pleasure and business in which she had no share; weary of seeing other people pursue amusemant and squander money, while she felt herself of no more account among them than an expensive toy in the hands of a spoiled child”(ibid,253). She met George Dorset, whose estate was next to the Gormers. He pleads with her to give him some proof of his wife’s infidelities, implying that he wanted to divorce her and marry Lily instead. Actually it was a perfect moment to take revenge and get rehabilitation for her. But suddenly fear possessed her—fear of herself. Lily became afraid and run away from him. Telling him that she could not help. She P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 105 106 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH refused to use the letters considering the morality values. Mrs. Gormer informed her that Bertha had been there for a visit. Lily wondered herself why Bertha came. Lily headed back to the city and lived in a hotel, paying more for her rent than she could afford. The hotel situation made her feel discomfort able. Lily started to think that the outcome of her situation was marrying Rosedale. It was strengthened by the coming of George Dorset again in the hotel. He implored her to help him out of his situation, but Lily refused to reveal anything. Lily went to visit Carry Fisher. She found Rosedale there, kneeling on the drawing-room hearth before Carry’s little girl. Lily noticed a quality of homely goodness in his advances to the child. Rosedale was not as bad as she thought. After the dinner, Carry talked with Lily alone, told her that in order to defeat Bertha, Lily would have to either marry Mr. Dorset or marry someone else. Lily became confused. She realized that a marriage could save her. But on the other hand, she had a strong sense of freedom. She feared of marital commitment. Bertha had succeeded in breaking up her friendship with the Gormers. Persuaded by her own uselessness and insignificance by loneliness and poverty, Lily decided that she must try to get back to social acceptance in the leisure class. Lily finally decided to try and marry Rosedale. She told him that she was willing to marry him now, but Rosedale informed her that the situation had changed. Lily had declined to the point where she was no longer useful, and Rosedale had risen to the point where he did not need her. However, her beauty still attracted him. He suggested that Lily use the letters written by Bertha to renew their friendship. Then she married him and achieved the financial independence necessary to prevent Bertha from ever attacking her again. Lily was suddenly scared by the baseness of the proposition and runs off, leaving him to think that she was really trying to protect Selden. The suggestion made her “… resolved into a scared sense of his power” (ibid,270). Rosedale also made her feel herself no Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari more than some superfine human merchandise which was powerless and could be bought by his money whenever he wanted. Lily recoiled from the prospect of marriage. Her return to the town and not practicing her old habit of life marked her of being excluded from her old society. There was emptiness in hers. The narrator described: “If one were not a part of the season’s fixed routine, one swung unsphered in a void of social non-existance”(ibid,275). But at least she had maintained her self-respect when she rejectd Rosedale’s suggestion. On her visit to Gerty, Lily learnt that Ned Silvertoon had gone deeply into debt with his gambling, thereby ruining the family. His two sisters asked Gerty to find them jobs with which to help his debts. Lily lamented to Gerty that she would soon be in the same plight as the Silverton sisters if she didn’t find something to do soon. Gerty had a pity on Lily. She met with Selden and urged him to go to Lily and made sure that she was okay. But Selden could not find her in the hotel. Lily had transferred to another hotel with a different name. Selden was angry, ripped up the note and stalked out. Lily looked for Carry Fisher to help her find a job. Then, Lily worked as a secretary. She helped a lady named Mrs. Norma Hatch into the next social tier. Lily felt as if she had entered a social level lower than that of the Gormers, but was surprised to see that Ned Silverton and Freddie Van Osburgh, the members of the elite class, spent time with her new group. Lily struggled to get Mrs. Hatch to start conforming to her perception of what behavior was necessary to move upwards, and soon realized that Ned Silverton was trying to get Freddie to consider marrying Mrs. Hatch. One afternoon, Selden arrived in order to see Lily. Lily was surprised and little embarrassed by his coming. He offered himself to her someone to talk to. Selden told her to leave Mrs. Hatch and rejoined Gerty. Lily informed him that she could P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 107 108 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH not do that since she owed every penny of her legacy. It was a moment when Lily actually wanted to see his assurance of support and personal sympathy. But Selden didn’t say a word implying his actual feeling like in the Bellomont. Lily was conscious of her emotional need for an expression of feeling on his part. Lily realized that he was frightened by the prospect of emotional feelings to her. She was upset that he was desperate to prevent any feelings from emerging. Moreover, he had been sent by Gerty. The author described: “The situation between them was one which could have been cleared up only by a sudden explosion of feeling, and their whole training and habit of mind were against the chances of such an explosion”(ibid,_ ). Lily felt there was an unemotional barrier between them. Lily was incapable of resisting her revulsion from her “real self”, when Selden proffered only cold and cruel judgment. Then, Lily rejected him and made him leave. She “… would rather persist in darkness than owe her enlightenment to Selden” (ibid,). It shows that Lily didn’t want to depend on Selden anymore and stood on her own feet. Since that time, Lily determined to do the only roles she understood. There was a rumor that Lily had contrived to set up Mrs. Hatch with Freddy Van Osburgh and she was blamed by the elite society for the reason. Lily realized too late that she had to leave Mrs. Hatch in order to save her own reputation. Carry Fisher and Gerty Farish conspired to find Lily a job in a hat shop and Lily was put to work making hats. Lily was now in the working class environment and lived in a boarding house. She felt strange. After two months, she was still being rebuked for her shoddy work. However, her skills were no use there. In a second rebuke for the same mistake, Lily pretended that she was sick and headed home. She stopped at a pharmacy and bought some pills. She got insomnia recently. While walking home, she met Rosedale who was shocked to see her. He invited her to tea in a restaurant. In their conversation Lily revealed the entire story of her borrowing money from Gus Trenor and how she had to Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari pay it back and her joining in the working class. Rosedale was shocked to hear the truth and did not believe that Lily had to work. Lily looked pale and he offered to accompany her home. He was more shocked when seeing the poor place where she lived. Lily was starting to get lonely in her isolation. She took drug that she purchased to combat the sleeplessness so that she could forget her problems for a while. Thinking about Selden made her feel painful. She started to contemplate implementing the plan that Rosedale offered her before, in which she used her letters to force Bertha to befriend her again. Lily lost her job at the hat shop as a result of an annual staff reduction. Lily stood on Fifth Avenue and watched the carriages drive past with the wealthy people that she formerly spent time with. This fleeting glimpse served to emphasize a sense of aimlessness. Lily thought that she had been forgetful, awkward and slow to learn. When she arrived back at her boarding house, she found Rosedale there. He had been so shaken by her situation so that he offered to loan her the money to pay off Gus Trenor as part of a pure business transaction. Lily rejected his offer again. The gratitude feeling mixed with the humiliation one. Lily did not believe in such transaction anymore. It reminded her of her bad experience with Gus Trenor. That night, Lily tried to sleep but she lay awake all night, unable to sleep. The next morning, she pulls out the packet of the letters and decided to go to Bertha. As she passed Selden’s apartment, in a sudden moment of inspiration, she entered his house. Her resentment of his coldness had been swept away by the recollection of their intimate relationship. The resolution seems to begin here. She could not restraint herself to utter her feeling to him. In a moment of emotion, she broke down, telling him that his faith in her that she was different from all others was what has sustained her thus far. Lily wanted Selden understand that she had tried to become P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 109 110 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH what he wished from her. She said: “I have tried hard—but life is difficult, “(ibid, 324). And Lily also recognized that she was now a useless person. As she said: “I am a very useless person. I can hardly be said to have an independent existence. I was just a screw or a cog in the great machine I called life, and when I dropped out of it I found I was of no use anywhere else. What can one do when one finds that one only fits into one hole? One must get back to it or be thrown out into the rubbish heap—and you don’t know what it’s like in the rubbish heap!”(ibid,325). Lily described her difficult situation as a woman born into the wealthy in which Selden never knew. Lily realized that his former love for her was now gone, but that instead her love for him remained. She made him build up the fire and before she left, she dropped the letters that she had from Bertha into the flames. The loneliness descended on Lily. She needed not to go home soon because there was nothing that she could do. She was alone and hard to get sleep. When she sat down on the bench in the park, a passerby stopped and recognized her. She was Nettie Struther, a working girl she ever donated money to while spending time with Gerty some months before. Lily looked ill and Nettie took her to her home to warm up. She thanked to Lily having given the money with which she was able to recover and get married and even had a baby. Lily envied of Nettie’s maternal happiness. She prepared supper and feed the baby. Lily left Nettie feeling much more energized than before. When Lily returned to her room in her boarding house, she laid out all of her expensive dresses, then put them all away again and was locked in the trunk. It seemed that she wanted to lock her memory in her trunk. The maid handed her a letter. It was the check for ten thousand dollars that she had been waiting to inherit. She took the money and put it in an envelope addressed to her bank and Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari wrote a check for the same amount for Gus Trenor. Lily felt tired. She decided to take her chloral sleeping drug more than the maximum dosage and drank it. Soon, her thoughts started to become subdued. In her half-consciousness, she said to herself that there was something she must tell Selden, some words she had found would make life clear between them. She eventually drifted off into a pleasant sleep. The next morning, Selden went to Lily’s boarding house. He had found a word that he needed to say to her, a way to clear everything up between them. He unexpectedly met Gerty there who informed Lily’s death because of an overdose of the chloral. Selden remained in the room alone, realizing it was his last time to be with Lily. Then he looked around, finding a letter that was aimed to Gus Trenor. Selden judged incorrectly that she must have the same reason for writing Gus Trenor so soon after meeting with him. He found some notes written by himself and became astonished when he read her checkbook. It revealed her repaying to Gus Trenor several thousand dollars. Selden was not sure whether this revelation heightened the mystery or deepened it, but he finally concluded that life had conspired against them both. It was too late to marry her. Lily died as a lady. She had paid her debt to Gus Trenor and she also had destroyed Selden’s letters. From the analysis above, we can see that the searching for self-identity was caused firstly by the confusion about the role one must play in her life. There was no real conviction which with them her thinking and feeling could be formed in stability. In this story, Lily was confused in synchronizing between the social and moral regulation inhere society and her own desire. Born in upper-class and threatened as a decorative object, Lily then wanted to assert her own eager individuality and get the existence recognition. In her process of negotiating an image of herself, she experienced a range of entrapment, betrayal and exclusion that finally made her banished from New York society. Whatever she did, it seemed P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 111 112 THE QUEST OF AMERICAN WOMEN FOR SELF IDENTITY AS REFLECTED IN EDITH WHARTON’S THE HOUSE OF MIRTH that everyone united to humiliate her including her relatives and her lover whose support she still needed. E. Conclusion The quest of American women for self-identity was an effort to be recognized her existence as complete and independent individual particularly in the institution of marriage and at work. Unlike men, women’s identity at the early of the twentieth century was seemingly determined by apparent conformity with or transgression against social norms. The social norms at that time didn’t give a chance to women to express their own identity. Some women were even trapped in extravagance life-style to fulfill their need to be appreciated and admired among the others. They unconsciously strengthened the definition of woman as weak and dependent person. On the other side, the women who rebelled against the rules or the fate must face the consequence to be banished by their society. And if they didn’t have money, they became completely isolated. Women were forced conform the rules or to be destroyed in the society that was capitalistic and patriarchal. It can be understood that the quest of American women in the beginning of the twentieth century was then a continuous process of proving that they were not a passive and useless person. Sometimes, it must be paid by their courage to leave the patriarchal houses and exclusive social circle that might have some certain consequences such as poverty and anxiety from their own selves. If they had done all so, they had achieved self-identity as a complete and independent individual. The marriage they underwent was then based on mutual respect and by working; they could at least feel that they became the subject for themselves in their life. Jurnal Studi Gender Dewi Ulya Mailasari Bibliography Ammons, Elizabeth. The House of Mirth (A Norton Critical Edition). NewYork: W.W. Norton & Company, Inc., 1990. Djayanegara, Soenarjati. Citra Wanita dalam Lima Novel terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika. Depok: Fak. Sastra Univ. Indonesia, 1995. Foerster, Norman. Image of America. Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, 1962. Friedan, Betty. The Feminine Mistique. NY: W.W. Norton and Company, Inc., 1974. Gordon, Michael. The American Family: Past, Present and Future. NY: Random House, Inc., 1978. Lewis, R.W.B. Edith Wharton: A Biography. NY: Harper and Row, 1975. Smith, Page in Michael Gordon’s The American Family: Past, Present and Future. NY: Random House, Inc., 1978. Smuts, Robert. Women and Work in America. New York: Schocken Books, Inc., 1971. Veblen, Thorstein in Elizabeth Ammons’ The House of Mirth (A Norton Critical Edition). NewYork: W.W. Norton & Company, Inc., 1990. Veblen, Thorstein. The Theory of Leisure Class: An Economic Study of Institutions. NY: New American Library, 1953. Wharton, Edith. The House of Mirth. London: David Campbell Publishers Ltd., 1991. Wheelis, Allen. The Quest for Identity. NY: W.W. Norton & Company, Inc., 1958. Zeraffa, Michael. “The Novel as Literary Form and as Social Institution” in Thomburn and Elizabeth’s Sociology Literature and Drama. Middlesex, England: Penguin Books., 1973. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 113 114 Jurnal Studi Gender Riset PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER (Analisa Disparitas Gender pada Tenaga Kerja Wanita di Kabupaten Magelang) Arif Hidayat1 ABSTRACT: Men and women are treated differentially but women tend to be the victims of unjust treatment. It leads to the different schemas between men and women in justice judgment. The study shows that law enforcement model between men and women is different. However, the main model of these two is similar, e.g. relational-dominated law enforcement model. Besides the dominant influence of interactional law, in the model of men welfare is significantly involved while in the model of women the other influencing variable is expectation. Keywords: empowerment, law enforcement, gender justice. A. Pendahuluan Sesungguhnya manusia, laki-laki dan perempuan, sama derajat dan martabatnya. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak dijumpai relasi yang tidak seimbang antar individu, kelompok dan masyarakat yang lebih luas secara sistematis yang menyebabkan timbulnya ketidakadilan dalam segala aspek kehidupan; ekonomi, politik dan sosial budaya. Pada bidang ketenagakerjaan, ketidakadilan tersebut dapat ditemui dalam relasi yang tidak seimbang antara pekerja dan perusahaan/majikan maupun antara laki-laki dan perempuan. Relasi yang tidak seimbang dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan publik dan berbagai institusi yang ada 1 Alumni IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Islam Indonesia Jogjakarta, Kelompok Studi PSG UNNES, Sekretaris PKBH Unnes, Ketua LPP-HAN Jawa Tengah, Dosen FH Unnes Semarang P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 116 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER di lingkungan keluarga, tempat kerja, masyarakat, tingkat negara maupun sistem ekonomi dunia. Sri Natin (2007: 12) menyebutkan bahwa gender merupakan konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, kedudukan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Mengingat gender adalah konstruksi sosial maka dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan kata lain gender merupakan peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Budaya kita seperti juga di banyak negara dunia ketiga lain sifat patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian maka perbedaan, diskriminasi, dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal dalam UUD 1945 hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat berbeda. Woodman (1992: 120) menyatakan bahwa sistem hukum di suatu negara pada umumnya meliputi gabungan dari hukum negara, hukum adat atau tradisi, hukum agama, dan komitmen pada konvensi internasinonal yang telah diratifikasi. Konsep tersebut diperkuat R. Blackburn (1972: 321), bahwa Hukum Negara berkaitan dengan setiap bagian dari sistem hukum formal, mulai dari perundangan yang dikeluarkan oleh berbagai tingkat pemerintahan sampai peraturan dan pedoman yang dikeluarkan oleh lembagalembaga pemerintah. Di sini istilah tersebut merujuk pada hukum pengadilan maupun putusan hakim. Tradisi atau hukum adat berkaitan dengan aturan yang berdampingan Jurnal Studi Gender Arif Hidayat dengan hukum negara, dan mendapatkan legitimasinya dari adat dan tradisi bukan dari ketetapan pemerintah. Bila terdapat sangat banyak kelompok etnik atau agama dalam sebuah negara, hukum adat umumnya akan lebih terpilah-pilah. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkan keserasian dan keadilan gender dilandaskan pada pasal 27 UUD 1945 dan diperkuat melalui ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk diskriminasi terhadap perempuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) ke dalam UU Nomor 7 Tahun 1984, serta landasan Aksi dan Deklarasi Beijing hasil Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-empat di Beijing pada tahun 1995. Namun demikian, hal tersebut juga belum dapat menyetarakan kehidupan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Meskipun pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga negara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, namun masih banyak dijumpai materi hukum yang diskriminarif tersebut antara lain: Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang Kewarganegaraan dan Undang-undang Pajak. Sebagai contoh, undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan turut mengukuhkan pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan peran buku (stereotype) jenis kelamin. Dalam hal ini yakni perempuan sebagai ibu rumah tangga wajib mengatur urusan rumahtangga, sementara laki-laki sebagai kepala keluarga wajib melindungi istri dan memberikan keperluan hidup rumah tangga. Keserasian dan keadilan gender belum sepenuhnya dapat diwujudkan, karena masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki. Khofifah Indar Parawansa (2006: 7) menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut menempatkan lakilaki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Semua ini berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 117 118 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil dan setara dengan laki-laki. Di samping itu, ketidaktepatan pemahaman ajaran agama sering kali menyudutkan kedudukan dan peranan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Berbeda-bedanya bagian kerangka hukum ini mencerminkan dan membakukan norma-norma sosial dan adat mengenai peran dan hubungan berdasarkan gender, misalnya alokasi pajak dan pendaftaran tanah di berbagai negara selalu dikaitkan dengan kepala keluarga. Pada umumnya kepala keluarga diidentifikasi atau dianggap lakilaki, kecuali bila tidak ada laki-laki maka tuntutan perempuan atas pendapatan atau harta benda mungkin terabaikan. Namun selain membakukan norma dan adat istiadat, sebuah sistem hukum juga bisa mengarahkan masyarakat untuk bersikap menganut prinsip kesetaraan. dengan cara seperti itu sistem hukum berperan sebagai instrumen reformasi sosial. Dalam kenyataannya, A Widanti (2002:9) menengarai bahwa struktur hukum yang terdapat dalam masyarakat masih ada yang belum mendukung terwujudnya keserasian dan keadilan gender. Keadaan ini antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran gender di kalangan penegak hukum. Di samping itu, jumlah penegak hukum yang menangani kasus-kasus ketidakadilan bagi perempuan masih kurang dan mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksnaan penegak hukum masih lemah. Sementara itu, budaya hukum dalam masyarakat yang kurang menunjang terciptanya keadilan gender antara lain ditandai oleh masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum (hak dan kewajiban), masih terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan sumber daya hukum, ketidakoptimalan peran media massa dalam mensosialisasikan produk hukum kepada masyarkat, dan masih rendahnya peran organisasi-organisasi masyarakat dalam pengawasan dan diseminasi hukum. Disparitas gender di berbagai bidang pembangunan Jurnal Studi Gender Arif Hidayat masih dirasakan, seperti masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, akases terhadap sumber daya ekonomi (seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, modal kerja dan lain-lain). Hal ini yang dapat dilihat adalah penghasilan perempuan yang berkerja secara signifikan mampu memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga, namun hal ini belum mendapat pangakuan sebagai sumber utama keluarga dan masih dianggap sebagai sumber mata pencaharian tambahan keluarga, kesemua ini berdampak pada masih rendahnya akses, kontrol partisipasi, dan manfaat yang dinikmati perempuan dalam pembangunan. Sekarang telah diakui secara luas bahwa perempuan harus diberdayakan dan bahwa sistem serta ideologi yang membuat mereka tetap subordinat harus dibongkar. Perempuan harus menjadi mitra sejajar dalam pengambilan keputusan di semua institusi serta pada semua tingkat, dan mereka harus menjadi subyek, bukan obyek, atau sekedar penerima hasil dari program dan kebijakan pembangunan. Upaya pemberdayaan perempuan adalah bagian integral dari upaya pembangunan nasional yang berkelanjutan. Oleh karenanya upaya untuk memberdayakan perempuan merupakan upaya berkelanjutan sesuai dengan dinamika perubahan sosial budaya ataupun ekonomi yang berlangsung secara cepat dalam era globalisasi. Oleh karenanya upaya program penambahan pengetahuan dan profesionalitas perempuan merupakan tuntutan masa depan yang tidak bisa dielakkan lagi. Pembangunan sebagai suatu proses bisa dilihat sebagai bagian dari perubahan sosial, sehingga perubahan sosial adalah lebih luas dibanding dengan pembangunan. Konsep perubahan sosial dalam studi ini dikaitkan dengan konsep gender sehingga menperdalam pengertian kita tentang penyebab-penyebab ketidakseimbangan yang berkelanjutan terhadap hubungan laki-laki dan perempuan dalam perubahan sosial pada umumnya dan dalam pembangunan pada khususnya. Oleh sebab itu, kesetaraan gender adalah P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 119 120 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER isu pembangunan yang paling mendasar. Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan berkeadilan yang mengupayakan pemberdayaan. Membangun keadilan sosial menurut Agnes Widati (2005: 5-8) berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan. Jadi, hukum yang berkeadilan gender adalah hukum yang berkeadilan sosial dalam hubungan jenis kelamin. Membangun hukum berkeadilan jender berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan dari aspek hubungan jenis kelamin. Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan misalkan: keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif. Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan (misalnya; hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik). Persoalan serius terjadi pada penanganan pelanggaran hak-hak buruh perempuan Indonesia. Jumlah buruh di Indonesia sangat signifikan, dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan (2001) berjumlah 13.724.000 orang. Tahun 2002 sebanyak 15.852.000 orang, tahun berikutnya berjumlah 16.406.500 orang, pada Januari-Juli 2004 sebanyak 19.780.000 orang. Dari jumlah tersebut 73 persen merupakan buruh perempuan. Sebanyak 88 persen dari jumlah tersebut bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Di Kabupaten Magelang, jumlah buruh, berdasarkan data Disnakertrans Kab. Magelang (2008) berjumlah 23.453 orang, 68 persen berada di Kecamatan Tempuran. Pada Januari-November 2008 79 persen merupakan buruh perempuan. Sebanyak 82 persen dari jumlah tersebut bekerja sebagai buruh pabrik, selebihnya berada di sektor domestik (pembantu rumah tangga). Tenaga kerja dari Kabupaten Magelang yang bekerja di luar daerah tidak bisa terdeteksi secara pasti, sedangkan TKI yang bekerja di luar negeri yang terdata, sebanyak 654 orang, 83 persennya perempuan. Buruh migran perempuan sebagai pahlawan-pahlawan devisa Indonesia, memperoleh sampai 5,49 miliar dollar (sekitar Rp 51 triliun) dari remiten buruh migran per tahun. Target pemerintah untuk mengirim pekerja ke luar negeri terus meningkat, dari 100.000 pada kurun waktu tahun 1979-1984 menjadi 2,8 juta pada kurun waktu antara tahun 1999-2003. Ironisnya, para pembantu rumah tangga asal Indonesia yang bekerja 16-18 jam sehari, digaji dengan upah antara Rp 870.000 sampai Rp 990.000 atau separuh upah PRT asal Filipina. Tenaga kerja asal Indonesia baik laki-laki atau perempuan di luar negeri umumnya berada pada jenis pekerjaan dengan 3D (dirty, difficult dan dangerous). Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa perempuan bertambah miskin akibat peristiwa hukum yang dialaminya. Mereka tidak memahami kemana mereka harus mencari bantuan hukum apa yang seharusnya ia lakukan dan jalan keluar menurut hukum apa yang harus mereka tempuh. Untuk itu, pemberdayaan hukum perempuan menjadi penting untuk menekan angka kemiskinan karena pemberdayaan hukum merupakan proses dan pada saat yang bersamaan merupakan tujuan dalam konteks membuka akses perempuan kepada keadilan. Dengan bertambahnya pengetahun hukum, perempuan dapat meningkatkan kapasistasnya dan rasa percaya diri, sehingga berdampak pada peningkatan kemampuan perempuan untuk mencapai tujuan pembangunan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 121 122 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka kajian hukum akan terfokus pada permasalahan yaitu bagaimana hukum dapat memecahkan masalah ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan dan karakteristik hukum berkeadilan jender. Pokok permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut: 1) Bagaimana struktur hukum berkontribusi pada disparitas gender dalam pembangunan di Kabupaten Magelang? 2) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan hukum dalam rangka meminimalkan atau mengurangi disparitas gender dalam pembangunan di Kabupaten Magelang? C. Kerangka Teori Soewarno, (2001: 47) menyebutkan bahwa secara harfiah” disparitas” ialah pengkelasan, pengelompokan, pembedaan. Terkandung maksud disini adanya pembedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Pembedaan ini biasanya didasarkan pada karakteristik-karakteristik tertentu yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut. Secara lebih spesifik, dalam kamus hukum disparitas disebut dengan ”discriminatie” yaitu perbedaan yang diadakan berdasarkan ras, agama, tingkat sosial dan sebagainya. Dalam penelitian ini disparitas mengacu pada diskriminasi yang seolah membedakan antara perempuan dan laki- laki dalam lawanan kondisi diantara keduanya. Kondisi ini dimaknai sebagai disparitas gender. Sri Natin (2007: 19) menyebut gender sebagai konstruksi sosial mengenai perbedaan peran, kedudukan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. Mengingat gender adalah konstruksi sosial maka dapat berubah dan Jurnal Studi Gender Arif Hidayat diubah sesuai dengan perubahan zaman. Dengan kata lain gender merupakan peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Gender merupakan masalah budaya, dirujuk pada klasifikasi sosial dari laki- laki dan perempuan, menjadi ”maskulin” dan ” feminin”. Selanjutnya disebutkan bahwa orang itu laki-laki atau perempuan biasanya dapat dinilai dengan merujuk pada bukti-bukti biologis. Bahwa mereka itu maskulin atau feminin tidak dpat dinilai dengan cara- cara yang sama, kriteria tersebut bersifat budaya, berbeda karena waktu dan tempat. Sifat tetap dari jenis kelamin harus diakui, tetapi juga demikian dengan sifat tidak tetap dari gender. Ia menyimpulkan bahwa gender tidak memiliki asal-usul biologis, bahwa hubungan antara jenis kelamin dan gender tidak benar- benar alamiah. Hukum dalam hal ini dipahami sebagai sebuah konstruksi yang mempunyai kekuatan dalam sistem hukum dimana kelembagaannya bisa dilihat dari empat bidang ialah struktur, kultur, substansi serta sarana prasarana. Studi pemberdayaan hukum dimaksud bukan hanya sebagai entitas normatif yang diberikan dalam bentuk sosialisasi semata, tetapi justru dipahami sebagai dependent variabel dari satu proses sosial meliputi hak, sumberdaya, aspirasi politik yang merupakan strategi dalam pembangunan berkelanjutan, khususnya pada pembangunan hukum. Dengan demikian teori yang penulis pakai adalah Teori Hukum Feminis kritis yang dikembangkan dalam Feminis Yurisprudence, yakni: Dalam kenyataan rumusan hukum adalah phallocentric (dominasi laki- laki), begitu pula dengan isu- isu atau kasus- kasus yang sampai ke pengdilan mengalami hambatan dan tidak bergaung. Status quo ini lebih menjurus pada prodominasi. Keterbatasan yang berhubungan dengan proses kerja bagi struktur hukum menjadi masalah bagi feminis dalam memperjuangkan hak- hak perempuan, sehingga keberhasilan mempertahankan hak- hak P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 123 124 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER perempuan bukanlah hal yang mudah. Keterbatasan yang berkaitan dengan batasan pengadilan yang memfokuskan pada yang rasional dan logis (termasuk akal saja). Para feminis mengklaim sering muncul dari banyak sumber yang kontradiktif. Beberapa feminis menganalisa bahwa banyak perempuan kerja yang menguatkan struktur hukum yang berlaku sungghpun sebenarnya mereka menginginkan untuk diubah. Lima hal penting berupa cara berfikir yang digunakan didalam pengkajian kritis hukum yang berkaitan dengan feminis adalah: (1) pengalaman perempuan, (2) bias gender secara implisit, (3) jeratan /ikatan ganda dari perbedaan, (4) reproduksi model dominasi laki- laki, dan (5) membuka pilihan- pilihan perempuan (Sulistyowati Irianto, 2004: 46). Pemberdayaan hukum bagi perempuan merupakan upaya untuk meningkatkan posisi tawar menawar (bargaining position) perempuan di depan hukum disertai dengan partisipasi perempuan dalam pembangunan untuk melawan segala bentuk praktek diskriminasi terhadap perempuan. Permasalahan mendasar adalah masih terdapatnya kesenjangan partisipasi kaum perempuan yang bersumber dari ketimpangan struktur sosio-kultural masyarakat. Dalam konteks, sosial, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Sesuai dengan pemahaman hukum feminis, kajian ini akan menganalisa bekerjanya hukum dari pada isinya yang abstrak. Hukum dipahami baik dalam praktek untuk keperluan usaha-usaha pembaharuan hukum maupun bidang pemahaman hukum atau ilmu pengetahuan hukum. Pemikiran mengenai perkaitan hukum dengan masyarakat ditempatkan pada latar belakang kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang kompleks (Satjipto Rahardjo, 1980: 43). Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Bagan 1: Kerangka Pikir Disertasi Disparitas Gender pada Pemberdayaan Hukum dalam Pembangunan Hukum yang Berperspektif Gender P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 125 126 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER D. Pembahasan 1. Disparitas Gender dan Perkembangan Hukum Disparitas gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan, namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang berlaku kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari ketidak setaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan merugikan setiap orang. Penelitian ini sebagai penelitian kualitatif dengan pendekatan sosio legal research bermaksud mendekonstruksi lembaga hukum yang represif dan legitimasi struktur ideologi, sekaligus sebagai pendekatan untuk berkontribusi nyata dan mendalam pada agenda konstruksi hukum. Pendekatan ini akan melihat proses hukum baik pada tatanan formulasi maupun implementasi dalam hubungannya dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa studi sosio-legal mencoba memotret hukum dlam dinamika kehidupan sosial dalam konteks yang lebih luas. Lokasi penelitian ditentukan di Kabupaten Magelang Jawa Tengah dengan dasar pertimbangan bahwa kabupaten tersebut merupakan kota industri, di mana pekerja atau buruh yang bekerja mayoritas perempuan. Penelitian dilakukan pada wilayah Kecamatan Tempuran dengan 11 perusahaan yang kebanyakan bergerak di bidang pertekstilan di mana 82% tenaga kerjanya adalah perempuan yaitu pada perusahaan Pandatex, Usmantex dan Suryatex. Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Hasil penelitian menunjukkan adanya disparitas yang tercermin dalam konsep budaya masyarakat di daerah penelitian yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu masyarakat priyayi yang tidak terlihat adanya disparitas dalam tata kerja terhadap tenaga kerja wanita dan kelompok masyarakat santri yang masih membudayakan disparitas pada kaum wanita dalam beban yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Data DISNAKERTRANS Kabupaten Magelang tahun 2008 terlihat bahwa perusahaan-perusahaan yang ada di Kecamatan Tempuran lebih memprioritaskan tenaga kerja wanita karena dianggap wanita lebih ulet, disiplin dan rajin dalam bekerja. Selama ini, hubungan antara perempuan dengan pembangunan hukum didasarkan pada norma, pengalaman serta pola pikir laki-laki dengan mengabaikan pada pengalaman perempuan. Hal yang identik dengan pernyataan responden penelitian bahwa Hukum dipandang telah menyumbang terhadap penindasan perempuan di Kabupaten Magelang. Hal-hal yang dilakukan oleh kaum feminis berkaitan dengan hukum berkisar pada implikasi perempuan dalam praktek sosial ataupun praktek hukum dengan kurangnya konsep posisi perempuan didalam hukum. Secara singkat gagasan pendekatan berperspektif perempuan meliputi beberapa hal: hukum a. Mempersoalkan perempuan dalam hukum, yang bertujuan menguji apakah hukum telah secara adil memperhitungkan pengalaman perempuan, atau betapa standar ganda dan konsep hukum telah merugikan perempuan. b. Mempersoalkan perempuan dalam hukum dalam rangka menerapkan metode kritis terhadap penerapan hukum, atau dengan kata lain pendekatan ini mempertanyakan tentang implikasi gender dari hukum yang mengabaikan perempuan. c. Konsekwensi metodologis yaitu digunakannya kasuskasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 127 128 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Studi ini menemukan bahwa, para tenaga kerja wanita; yakni wanita yang menjadi buruh pekerja pabrik di daerah Magelang, adalah individu-individu (actor) yang telah menghadapi tekanan “kemiskinan dan juga tekanan struktur hubungan hegemoni patriarchi” (condition) di desa asalnya yang ditunjukkan melalui indikator kepimilikan sumber produksi utama yaitu tanah pertanian (yang sempit), dan kesulitan memperoleh pekerjaan untuk mendapatkan pendapatan yang layak di desa asalnya serta kondisi keluarga yang “pas-pasan” dengan penghasilan keluarga yang “rendah” padahal harus memikul beban domestik yang makin berat. Para individu tenaga kerja wanita di daerah penelitian ini berupaya meraih tujuan (goal), yakni meningkatkan income atau kesejahteraan keluarganya, melalui pengambilan keputusan bekerja ekstra di pabrik sampai tengah malam untuk memperoleh pekerjaan dan gaji yang lebih tinggi. Sebagian tenaga kerja wanita ini terkendala oleh persyaratan pendidikan. Persoalan-persoalan perempuan cukup disadari oleh pemerintah kabupaten setidak- tidaknya hal ini tergambar dari profil statistik gender Kabupaten Magelang tahun 2008. Di dalamnya dikemukakan adanya kesenjangan antara perempuan dan laki- laki dalam beberapa hal, seperti dalam bidang pendidikan, bidang ketenagakerjaan, bidang pemerintah dan bidang politik. Meskipun perempuan telah memperoleh akses diberbagai bidang tetapi belum dalam kuantitas yang optimal. Status dan peranan perempuan masih diperlukan perhatian khusus dari pemerintah Kabupaten Magelang dalam masalah gender sehingga upaya dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender dapat terwujud. Keadaan ini juga diakui oleh Kabid Pemberdayaan Masyarakat (PM). Menurutnya rata- rata perempuan di Kabupaten Magelang memiliki kualitas SDM yang rendah, seperti rendahnya tingkat tinkkat pendidikan dan rendahnya tingkat produktivitas ekonomis mereka. Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Jumlah penduduk perempuan yang tidak bersekolah mencapai sekitar 20 %, dan yang hanya mengenyam pendidikan dasar sekitar 30 %,. Sementara rata-rata perempuan yang tidak memiliki ketrampilan dan keahlian tertentu, sehingga secara ekonomi mereka lemah dan sangat tergantung pada laki- laki (suami). Hal yang demikian terlihat dalam kenyataan saat ini, pembangunan di bidang pendidikan seringkali tertinggal oleh pembangunan di bidang-bidang lain, di mana tercermin dalam laporan Human Development Report Tahun 2004 yang dilansir oleh United Nations Development Programe (UNDP) menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia serta angka Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang berada di peringkat bawah. Dalam laporan tersebut, Indonesia masih berada pada peringkat 111 dari 177 negara, dengan skor 0,692 (skala 0-1). Kondisi demikian tentu saja memerlukan intervensi dari Pemerintah untuk segera memfokuskan pembangunan bidang pendidikan sekaligus sebagai investasi produktif yang sangat menentukan hari depan bangsa. 2. Perlindungan Tenaga Kerja Wanita Berbagai ketidakadilan gender diharapkan dapat dihapuskan melalui kebijakan-kebijakan publik dalam semua bidang kehidupan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa diskriminasi terhadap perempuan pada dasarnya tidak diperbolehkan, baik dilihat dari segi hukum internasional maupun hukum nasional. Dari segi hukum internasional, dapat dirujuk pada konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yakni Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW). CEDAW ini telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 129 130 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER Tujuan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan adalah untuk menciptakan suasana yang kondusif yang mendukung keberadaan perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang menjalankan peranannya dan dalam pemerolehan hak serta perlindungan hukum yang sama dengan laki-laki sebagai warga masyarakat. Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan berisi asas-asas dan upaya-upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara peserta untuk membuat peraturan yangdiperlukan dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuk dan perwujudannya. Konsekuensi logis dari diratifikasinya suatu konvensi internasional, adalah kewajiban untuk menindaklanjutinya di dalam tataran perundang-undangan nasional serta pengimplementasinyannya di dalam berbagai bentuk kebijakan publik, termasuk di dalamnya dalam upaya penegakan hukum serta penyelesaian perkara-perkara hukum secara kongkrit. Telah diratifikasinya Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan oleh pemerintah Republik Indonesia, merupakan indikasi bahwa bangsa Indonesia memiliki komitmen untuk melakukan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Komitmen bangsa Indonesia dalam hal ini khususnya Pemerintah, memiliki kemauan melaksanakan apa yang diamanatkan oleh konvensi tersebut melalui peraturan perundang-undangan, dilihat lebih lanjut dalam bentuk kebijakan publik khususnya berupa peraturan perundangundangan. Pertama, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia); yang memuat pernyataan pengakuan berlakunya Konvensi Internasional yang disetujui Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember 1984 tersebut, serta komitmen untuk mengimplementasikannya di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebelumnya Indonesia telah memberikan persetujuan dan menandatangani Konvensi tersebut pada 23 Oktober 1985. Kedua, Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan; memuat pernyataan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Pembentukan Komisi yang bersifat nasional ini dilakukan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan serta penghapusan segala bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan. Ketiga, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; yang memuat pengakuan berbagai hak asasi manusia secara umum, secara khusus juga memuat pengakuan dan jaminan perlindungan berbagai hak wanita yang termuat pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 51. Keempat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; yang memuat kriminalisasi berbagai perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Menurut UU ini penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas: (a) penghormatan hak asasi manusia; (b) keadilan dan kesetaraan gender; (b) nondiskriminasi; dan (d) perlindungan korban. Penghapusan kekerasan rumah tangga bertujuan (a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga; (b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga; (c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan (d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Kaidah penting yang dimuat di dalam UndangUndang ini terdapat pada Pasal 5 yang memuat pernyataan: “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.” P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 131 132 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER Kelima, Rancangan Undang-Undang Kitab UndangUndang Hukum Pidana Nasional 1999/2000; yang di dalam Buku II memuat Tindak Pidana khususnya dalam Bab XV Tindak Pidana Kesusilaan, beberapa pasal tindak pidana kesusilaan (a) perluasan terhadap bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan yang penah dikenal di dalam KUHP yang sekarang berlaku; dan (b) memunculkan bentuk-bentuk tindak pidana kesusilaan baru yang sebelumnya belum dikenal. Perluasan dan pembentukan tindak pidana kesusilaan semacam ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada kaum perempuan dari kemungkinan menjadi korban dari perbuatan-perbuatan pelanggaran nilainilai kesusilaan. Keenam, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Di dalam Inpres ini disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan, serta upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu dilakukan strategi pengarusutamaan gender dalam seluruh proses pembangunan nasional. Kesetaraan gender dalam konteks Inpres ini adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia. Terwujudnya kondisi kesetaraan gender akan memungkinkan perempuan mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Selain dalam wujud peraturan perundang-undangan, pengejawantahan perspektif gender dalam penanggulangan kejahatan secara tidak langsung terlihat pula dalam praktek pelayanan pihak Kepolisian di dalam penanganan perkara pidana, pihak Kejaksaan dalam disposisi penugasan Jaksa Penuntut Umum dalam proses penuntutan perkara pidana, pihak Pengadilan di dalam pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan perempuan sebagai pelaku ataupun sebagai korbannya. Berikut ini akan Jurnal Studi Gender Arif Hidayat dilakukan pembahasan khusus tentang berbagai kebijakan yang mengakomodasi perspektif gender dalam kaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan terhadap perempuan di Indonesia. 3. Hukum Berwawasan Gender Pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia tidak mengecualikan pula pengakuan kesetaraan hak dan kewajiban asasi manusia lakilaki dan perempuan sesuai citra kodratinya masing-masing. Perkembangan aspirasi berkaitan dengan kesetaraan gender ini membawa implikasi keharusan rekonstruksi ulang pemahaman terhadap citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi kehidupan beragama yang dalam konteks kontemporer dipandang banyak merugikan kepentingan kaum perempuan. Penataan ulang pemahaman ini barang tentu bukan perkara mudah dilakukan, bahkan ketika secara yuridis formal telah dikonstruksikan menurut formulasi yang ideal, namun tidak dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan harapan terutama kaum perempuan. Dengan demikian, kendatipun bias gender dalam produk kebijakan nasional yang dikontruksikan dalam produk hukum atau peraturan perundangundangan, masih saja menjadi persoalan apakah pada tataran praktik dapat diimplementasikan dengan baik menurut kerangka konseptual filosofis yang mendasarinya. Secara konseptual, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup di dalamnya kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini hokum administrasi dan hukum keperdataan menempati kedudukan yang sama dengan hukum pidana sebagai sarana P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 133 134 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakanperundangundangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial. Berdasarkan kerangka berpikir logis bahwa kebijakan pembangunan merupakan bentuk sarana realisasi dari kebijakan sosial nasional yang meliputi kebijakan hukum, maka kebijakan pembangunan nasional di bidang hokum berfungsi sebagai pendukung bagi terwujudnya tujuan pembangunan nasional secara keseluruhan yang juga berarti terwujudnya tujuan nasional kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan, inklusif pembangunan di bidang hukum, sesungguhnya merupakan proses perwujudan kebijakan sosial nasional. Salah satu bidang dari kebijakan pembangunan adalah kebijakan hukum. Hukum merupakan suatu kelembagaan sosial yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan kelembagaan sosial yang lain. Sifat unik ini terlihat dari kenyataan bahwa, hukum merupakan bentuk media atau sarana perwujudan bagi semua bidang kebijakan yang secara garis besar meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional. Pada prinsipnya hukum sebagai suatu bentuk kelembagaan sosial yang mewadahi kebijakan penyelenggaraan negara menjangkau semua bidang dan aspek kehidupan manusia dan mengintegrasikannya ke dalam suatu sistem sosial yang harmonis dan fungsional. Sebuah polling oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan selama Oktober 2006 sampai dengan Februari 2007 pada sejumlah responden bertujuan untuk mengetahui prioritas pembangunan perempuan dan anak pernah dilakukan. Polling tersebut menanyakan pendapat 278 orang pembaca yang mengakses web tersebut mengenai masalah yang menjadi prioritas dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak. Pilihan jawaban yang disediakan ada 4 (empat), yaitu: (1) pendidikan, kesehatan dan ekonomi; (2) politik dan pengambilan keputusan; (3) kekerasan/trafficking Jurnal Studi Gender Arif Hidayat dan (4) ketenagakerjaan (http://menegpp.go.id). Berdasarkan hasil polling tersebut, terlihat bahwa masyarakat belum melihat pemberdayaan hukum sebagai sesuatu yang mendesak bagi perempuan. Jawaban terbanyak yang dipilih pembaca sebagai prioritas pembangunan pemberdayaan perempuan adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang dipilih oleh 129 orang pembaca (46,4 persen). Hal ini didukung oleh posisi dan kondisi perempuan dalam bidang-bidang tersebut yang memang masih rendah, antara lain ditunjukkan dengan masih tingginya angka buta huruf perempuan, lebih rendahnya pendidikan tertinggi yang ditamatkan perempuan, tingginya angka kematian ibu melahirkan serta rendahnya partisipasi dan akses perempuan dalam bidang ekonomi. Prosentase terbesar kedua yang menjadi prioritas pembangunan pemberdayaan perempuan adalah masalah kekerasan/trafficking yang dipilih oleh 71 orang pembaca (25,54 persen). Seperti kita ketahui sejak diberlakukannya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Nomor 23 Tahun 2004, masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak terus menjadi sorotan di masyarakat. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terutama yang terjadi di dalam rumah tangga menjadi berita utama di berbagai media massa. Kondisi ini mengindikasikan adanya perubahan pandangan masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan lagi merupakan aib yang harus ditutupi, tetapi merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dicegah dan dihapuskan. Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan Semua orang perempuan maupun laki-laki untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup. Hak-hak perempuan yang lebih besar dan partisipasi yang lebih setara P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 135 136 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan publik berkaitan dengan bisnis dan pemerintahan yang lebih bersih serta tata pemerintahan yang lebih baik. Ketika perempuan berpengaruh lebih besar dalam kehidupan publik, semakin rendah pula tingkat korupsi yang terjadi. Hal ini tetap terbukti ketika membandingkan negara-negara yang secara dalam tingkat pendapatan kebebasan sipil, pendidikan, dan lembaga-lembaga hukum. Meski baru bersifat saran, temuantemuan ini memberikan dukungan lebih agar lebih banyak perempuan masuk ke dalam angkatan tenaga kerja dan dunia politik karena perempuan dapat menjadi kekuatan efektif bagi penegakan hukum dan pemerintah yang baik. Institusi kemasyarakatan norma-norma sosial, adat istiadat, hak undang-undang, seperti juga institusi ekonomi (pasar), membentuk sumer daya apa saja yang dapat diakses oleh perempuan dan laki-laki, kegiatan apa yang boleh dan tidak dilakukan, dan dalam bentuk apa mereka dapat berpartisipasi dalam perekonomian dan dalam masyarakat. Institusi-institusi mewujudkan insentif yang dapat meningkatkan maupun mengurangi prasangka. Bahkan ketika institusi- institusi formal maupun maupun informal tidak membedakan laki-laki dan perempuan secara eksplisit, mereka mendapat masukan (secara eksplisit atau implisit) dari norma-norma sosial yang berkaitan dengan peran gender. Institusi-institusi kemasyarakatan ini cenderung tidak bergerak dan dapat sangat lambat dan sulit berubah tetapi mereka jauh dari statis. Seperti halnya institusi rumah tangga memainkan peran mendasar dalam membentuk relasi gender dari awal kehidupan dan menurunkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Orang membuat banyak keputusan paling mendasar di dalam rumah tangga memiliki dan membesarkan anak-anak, tentang bekerja dan bersenangsenang ataupun tentang investasi untuk masa depan. Bagaimana tugas dan sumber daya produktif dialokasikan di antara anak perempuan dan anak laki-laki, seberapa besar otonomi yang diberikan kepada mereka, dan apakah ada Jurnal Studi Gender Arif Hidayat perbedaan harapan di antara mereka. Semua ini membentuk, memperkuat, atau memperkecil disparitas gender. Namun keluarga tidak membuat keputusan tanpa konteks tertentu. Keputusan-keputusan ini dibuat dalam konteks komunitas dan melalui cara-cara yang mencerminkan pengaruh insentif yang ditetapkan oleh lingkungan institusi dan kebijakan yang lebih besar. Karena ekonomi menentukan banyak kesempatan yang dimiliki seseorang untuk meningkatkan taraf hidupnya, kebijakan ekonomi dan pembangunan sangat berpengaruh terhadap ketidaksetaraan gender. Semakin tinggi pendapatan berarti semakin kecil kendala sumber daya dalam rumah tangga yang sering memaksa orang tua untuk memilih antara melakukan investasi untuk anak laki-laki atau anak perempuan. Namun bagaimana tepatnya laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh pembangunan ekonomi tergantung pada kegiatan menghasilkan pendapatan yang tersedia, bagiamana kegiatan-kegiatan tersebut dikelola, bagaimana usaha dan keterampilan dihargai, dan apakah perempuan dan laki-laki sama-sama dapat berperan serta. Lembaga-lembaga kemasyarakatan, rumah tangga dan ekonomi dalam skala lebih luas bersama-sama menentukan kesempatan dan prospek kehidupan seseorang berdasarkan gender. Ketiga hal itu juga menjadi pintu masuk yang penting bagi kebijakan publik untuk mengatasi ketimpangan gender yang terus berlangsung. Ketidaksetaraan gender yang sangat merugikan kemanusiaan dan menghambat prospek pembangunan negara memberikan bukti yang sangat jelas bahwa tindakan publik dan privat sudah sangat diperlukan dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan maupun lakilaki (Laporan penelitian Kebijakan Bank Dunia, 2005), dan sejalan dengan itu, negara dapat memperoleh banyak manfaat sosial yang berkaitan dengan meningkatkannya status absolut maupun relatif perempuan dan anak perempuan. Tindakan publik menjadi sangat penting mengingat banyak institusi sosial dan hukum melanggengkan ketidaksetaraan gender sehingga membuat sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin, P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 137 138 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER bagi individu secara sendiri-sendiri untuk mengubahnya. Selain itu, kegagalan-kegagalan pasar berarti kurangnya informasi tentang produktivitas perempuan di pasar kerja (karena perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk perkerjaan non-pasar atau karena tidak ada atau tidak berkembangnya pasar kerja). Dan juga merupakan hambatanhambatan yang jelas terlihat. Hukum dan perubahan sosial sangat erat hubungannya. Orang sering mengatakan bahwa hukum selalu ketinggalan dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Tertinggalnya hukum di belakang masalah yang diaturnya baru menjadi persoalan pada saat jarak ketertinggalan itu telah sedemikian menyoloknya sedangkan penyesuaian yang semestinya dapat mengurangi ketegangannya tidak kunjung berhasil dilakukan. Pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya hubungan yang nyata antara perubahan sosial dan hukum yang mengaturnya, yaitu hubungan yang bersifat ketegangan. Beberapa kendala ternyata menghalangi diwujudkannya komitmen terhadap kesetaraan gender. Dari berbagai kajian dan analisa di daerah penelitian, dapat dikelompokkan sekurang-kurang dalam lima faktor yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi; a. Pengaruh tata nilai sosial budaya yang masih menganut paham patriarki, yaitu keberpihakan yang berlebihan kepada kaum laki-laki di banding perempuan. Tata nilai tersebut diwariskan secara turun temurun dari waktu ke waktu, baik yang berasal dari budaya lokal maupun pengaruh dari luar; b. Banyak produk hukum dan peraturan perundangundangan yang berlaku baik formal maupun informal (hukum adat) yang bias gender. Hal itu dapat dipahami karena produk hukum tidak terlepas dari pengaruh untuk mengakomodasi tata nilai kultural suatu masyarakat; c. Dampak lebih lanjut muncul kebijakan dan program pembangunan yang masih bias gender karena setiap Jurnal Studi Gender Arif Hidayat kebijakan adalah keputusan politik yang merupakan bagian dari aspirasi sosial masyarakat; d. Kondisi itu didukung oleh masih banyaknya penafsiran terhadap aktualisasi ajaran agama yang kurang tepat karena terlalu berat pada pendekatan tekstual (tersurat) dan parsial (sepotong-sepotong) di banding kontekstual (tersirat) dan kholistik (menyeluruh); e. Kelemahan, kurang percaya diri, dan inkonsistensi serta tekad kaum perempuan sendiri dalam memperjuangkan nasib kaumnya. Kelemahan itu bisa disebabkan pengaruh tata nilai di atas atau kemungkinan faktor lain masih perlu ditelaah secara mendalam. E. Kesimpulan Dengan demikian hukum berperspektif perempuan mempunyai dua komponen utama yaitu yang pertama eksplorasi dan kritik pada tataran teoritik terhadap interaksi pada tataran hukum dan gender, yang kedua penerapan analisis dan perspektif feminis (perempuan) terhadap lapangan hukum yang kongkret seperti keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual dengan tujuan mengupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum. Meningkatkan efektivitas lembaga-lembaga kemasyarakatan dan mencapai pertumbuhan ekonomi telah diakui secara luas sebagai elemen kunci dari strategi pembangunan jangka panjang apa pun. Akan tetapi, keberhasilan pelaksanaan strategi ini tidak menjamin kesetaraan gender. Untuk memajukan kesetaraan gender, setiap kebijakan perubahan kelembagaan dan pembangunan ekonomi perlu menimbang dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam hak, sumber daya, dan aspirasi. Dan diperlukan kebijakan dan program aktif untuk memperbaiki disparitas yang telah mengakar antara perempuan dan laki – laki, terutama di bidang pembangunan hukum. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 139 140 PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN HUKUM BERKEADILAN GENDER Jurnal Studi Gender Arif Hidayat Daftar Pustaka A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1988. Agnes Widanti, Hukum Berkeadilan Gender dalam Aksi-Interaksi kelompok Buruh Perempuan Sektor industri tekstil dan garmen dalam Perubahan Sosial. Disertasi di Universitas Diponegoro Semarang tahun 2002 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991. Hanitijo Seomitro. Masalah-Masalah Sosiologi Hukum. Bandung: Sinar Baru, 1984. Hardijan Rusli, Hukum ketenagakerjaan, Bandung: Ghalia Indonesia, 2004. Ihromi, Wanita Bekerja dan Masalahnya, Dalam Tuty Heraty Nurhadi (ed) Dinamika tentang Wanita Indonesia, Jakarta, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita, 1990. Khofifah Indar Parawansa, Mengukir Paradigma Menembus Tradisi: Pemikiran tentang Keserasian Gender, Jakarta, LP3ES, 2006. Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, Pembangunan Berperspektif Gender, editor: Yulfita Rahardjo, Jakarta: Dian Rakyat, 2005. Lili Rasidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung: Alumni, 1992. Loekman Soetrisno, Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997. Lusi Margiyanti dan Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan “Takdir” Mendidik Anak Secara Adil Yogyakarta: LSPAA, hal. 115. Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Mansour Fakih, Diskrimiasni dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO, 1998. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta, 1986. Otje Salman S. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum. Bandung : Revika Adi Tama, 2004. Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusa Media, 2007. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980. Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni, 1979. Soehardjo Sastrosoehardjo. Upaya Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya. Dalam CSIS Januari 1993. Soewarno, Dasar- dasar bahasa Indonesia, Solo: CV Aneka, 2001. Sri Natin, Konsep Gender dan Pengarusutamaan Gender, bahan pelatihan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 141 142 metodologi penelitian gender, Yogyakarta: PSW (Pusat Studi Wanita) Universitas Gadjah Mada, 2007. Woodman G, Historical Development, Introduction to Contemporary Legal Pluralism in o Worldwide Perspective, Wilington: Victoria University, thesis 1992. Jurnal Studi Gender Riset PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Irzum Farihah1 ABSTRACT: This study is about female traders activating and working in fish circulation connected with the work ethos. The research focuses on the role of ethos in their job running in trading sector and whether the ethos they build could create bargaining position indecision marking within the family. The research was conducted in a fish market located in Brondong village, Lamongan. Respondents were 8 people. The research consists of primary data and secondary one. Collecting data technique is conducted by observation and an indept interview. Data technique analysis will employ data reduction analysis process. It is very significant to realize women’s role rather in domestic or public, and its managing will be case-related focus. The result shows that ethos of women fish-traders which has transcendet sense of why they have to work is very influential in decision marking within family. In access rate and control, women have made progress, althougth, to some extend, men who are superior have found shift in family. For same people, they have been interdependent and supported their role among husband and wives. Keyword : Work ethic- Decision marking- Women fisher-trader A. Pendahuluan Dewasa ini status dan peranan perempuan banyak mengalami perubahan. Berbagai tindakan dilakukan sebagai upaya pembebasan perempuan. Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seharusnya 1 . Dosen STAIN Kudus P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 144 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN memperhatikan kondisi perempuan maupun laki-laki, sehingga kebijakan dan langkah-langkah yang dipilih dapat meningkatkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan saat ini banyak yang melibatkan diri pada sektor perdagangan. Menurut Stoler daya tarik pada sektor perdagangan oleh perempuan dikarenakan pada sektor ini mampu memberikan sumber pendapatan secara teratur. Di samping itu sektor perdagangan juga memberikan kesempatan yang sangat besar bagi keterlibatan kaum perempuan karena pekerjaan di sektor tersebut sesuai dengan kemampuan fisik alamiah kaum perempuan (Suyanto, 1996: 95). Bagi perempuan yang mempunyai penghasilan sendiri, di satu pihak perempuan dapat memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, dan di pihak lain perempuan dapat memperoleh penghasilan sendiri, dengan demikian perempuan dapat memenuhi kebutuhannya bahkan dapat menyumbangkan pendapatannya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga dan perempuan mempunyai kemandirian di bidang perekonomian. Perempuan yang terlibat dalam sektor perdagangan (public role) pada umumnya memiliki posisi bargaining yang lebih tinggi daripada perempuan yang hanya terlibat dalam sektor domestik (domestic role). Perempuan yang bekerja dan memiliki sumber pendapatan sendiri, tidak saja memiliki otonomi dalam mengelola pengeluaran pribadinya, mereka juga dapat lebih membantu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangganya (Suyanto, 1996 : 95). Keikutsertaan perempuan dalam perekonomian, khususnya di kecamatan Brondong yang notabene mayoritas penduduknya berpenghasilan dari laut (nelayan). Sebagian perempuan dari keluarga nelayan mempunyai penghasilan sendiri dan tidak tergantung pada penghasilan suaminya sebagai nelayan, karena selama ini laki-laki dimaknai sebagai tiang rumah tangga dalam arti luas. Kecamatan Brondong adalah salah satu kecamatan Jurnal Studi Gender Irzum Farihah yang berada di kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur yang letaknya di pesisir Pantai Utara, dimana mayoritas masyarakatnya berpenghasilan dari hasil laut yaitu sebagai nelayan dan penduduk masyarakat Brondong mayoritas beragama Islam yang puritan. Di kecamatan Brandong ada berbagai macam kalangan nelayan dari nelayan tradisional sampai pada nelayan yang sudah maju. Adapun penghasilan nelayan tergantung kepada musim yang tidak menentu. Kalau musim banyak ikan (mereka menyebutnya dengan musim playang) maka hasil ikan mereka banyak namun sebaliknya kalau ikan sulit untuk dicari yang (mereka sering menyebutnya dengan musim barat) maka hasil tangkapan ikannya akan sedikit dan jarang sekali yang melakukan berlayar, hal tersebut dikarenakan angin di laut sangat membahayakan dan mayoritas dari mereka banyak yang menganggur, dengan demikian penghasilan mereka jelas berkurang. Perubahan ketergantungan ekonomi rumah tangga kiranya berpengaruh terhadap struktur kekuasaan atau wewenang atara laki-laki dan perempuan, yang secara mendasar merupakan proses diferiensi seperti itu sangat relevan bagi laki-laki dan perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan. Sejak dahulu secara tradisional mereka diikat dan dipersatukan norma-norma yang bersifat patriakal di mana dominasi laki-laki lebih menonjol, sehingga tercipta struktur yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya penting bagi perempuan untuk mempunyai penghasilan sendiri, karena hal tersebut akan berpengaruh terhadap otonominya dalam pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : bagaimana etos kerja perempuan dalam menekuni pekerjaan di sektor perdagangan ikan, apa alasan perempuan dari keluarga nelayan melakukan perdagangan ikan di pasar ikan Brondong, bagaimana pola pengambilan keputusan dalam keluarga di balik etos kerja mereka, faktor apa saja yang mempengaruhi peranan perempuan dalam pengambilan keputusan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 145 146 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN B. Kerangka Teori Etos kerja mupakan hal yang sangat penting, karena menyangkut sumber kekuatan yang dapat menentukan hasil kerja atau sekelompok rang. Secara etimologis, kata etos berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti tempat tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, watak, perasaan. Dalam bahasa modern, etos menunjukkan ciri-ciri, pandangan, kepercayaan yang menandai suatu kelompok saja. Sementara itu, dalam segi moral dari suatu kebudayaan trtentu, unsurunsur evaluatif, pada umumnya juga diringkas dalam istilah “etos”. Etos suatu bangsa adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan mereka, moral dan gaya estetis dan nuansanuansa hati mereka. Etos adalah sikap mendasar terhadap diri mereka sendiri dan terhadap dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan (Asy’arie: 1997, 34, Geertz: 1997, 50-51). Sedangkan Max Weber memahaminya sebagai aspek evaluatif yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber pada realita spiritual masyarakat (Abdullah, 1986 : 8). Apabila dikaitkan dengan kerja sehingga menjadi istilah etos kerja, maka etos kerja mempunyai makna refleksi dari sikap hidup yang mndasar dalam menghadapi kerja. Menurut Frans Magnis Suseno (1978 : 74) dalam Harefa, memberi makna kerja merupkan segala kegiatan yang direncanakan, jadi yang dilakukan tidak hanya pelaksanaan kegiatan itu menyenangkan, melainkan seseorang itu inin mencapai suatu hasil, sehingga dapat mandiri. Sebagai sikap hidup yng mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilainilai yang berdimensi transenden (Asy’arie : 1997, 34). Dengan demikian etos kerja dapat dimaknai sebagai kegiatan ekonomi seseorang yang bersumber pada nilai-nilai puritanisme yang tumbuh kuat dalam diri seseorang tersebut, sehingga di sini terjadi tarik menarik antara kegiatan ekonomi yang bersifat duniawi dengan moralitas kegamaan. Proses kehidupan tidak lepas dari masalah ekonomi karena begitu pentingnya untuk kelangsungan hidup, Jurnal Studi Gender Irzum Farihah sehingga ekonomi dapat membentuk kekuasaan, baik pada lingkup masyarakat terkecil (keluarga) maupun masyarakat luas. Ekonomi seseorang dikatakan mandiri apabila memiliki penghasilan atau pendapatan sendiri dan memenuhi kebutuhan material serta jasanya secara mendiri tanpa bantuan pihak lain. Menurut Blood dan Wolfe (1960 : 11) menyatakan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan masingmasing pihak mempunyai kekuasaan dalam arti bahwa masing-masing mempunyai potensi untuk mempengaruhi perilaku orang lain, jika hal itu terjadi maka gejala tersebut digambarkannya sebagai proses di mana telah terjadi pengambilan keputusan. Pola pengambilan keputusan dalam suatu keluarga menggambarkan bagaimana struktur atau pola kekusaan dalam keluarga tersebut menurut Scanzoni dan Scanzoni (Lestari, 1990 : 93), bahwa keputusan yang diambil sebaiknya merupakan hasil kesepakatan bersama. Menurut Weber (1978) dikatakan bahwa pengambilan keputusan dalam keluarga selalu dikaitkan dengan struktur kuasa dalam keluarga. Kuasa didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa di dalam suatu hubungan sosial seorang pelaku mampu merealisasi kehendaknya, sekalipun ada tantangan. Jadi keputusan terakhir merefleksikan suatu proses tawar menawar (bargainning) diantara orang-orang yang berinteraksi. Demikian pula di dalam keluarga bahwa keputusan terakhir merefleksikan suatu proses tawar menawar antara suami isteri dan siapakah yang dominan dalam menentukan kepuusan terakhir, maka dapat menggambarkan pola struktur pengambilan keputusan atau struktur kuasa dalam keluarga tersebut. Dlihat dari pendekatan teori sosial-konflik, menurut Engels keluarga adalah nuklir berdasarakn pemikiran pribadi sebagai penindasan perempuan yang paling parah. Engels menganalogikan bahwa hubungan suami istri dalam keluarga sebagai hubungan antara kelas kapitalis dan kelas ploretar. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 147 148 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Teori Engels tersebut dijadikan Collins sebagai dasar untuk menganalisis kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, yang mengibaratkan kaum laki-laki sebagai borjuis dan perempuan sebagai kaum proletar yang tertindas (Megawangi, 1999: 85). Menurut perspektif konflik, adanya hubungan vertikal dalam keluarga antara suami dan istri seperti di atas maka potensial untuk timbulnya konflik berkepanjangan dan dianggap hubungan keluarga seperti itu tidak ideal. Keluarga yang ideal menuerut perspektif jkonflik adalah adanya hubungan horizontal, sehingga posisi perempuan sendiri mampu menjadi individu yang otonom dan dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri. Paradigma sosial-konflik menganggap bahwa keluarga bukan sebuah kesatuan yang normatif kesatuan yang normatif (harmonis dan seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik dimana ada anggapan bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial opresif. Menurut para feminis marxis dan sosialis, institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan agama. Sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50) adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola fikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Megawangi, 1999 : 91). Laser Blumberg (1984) berpendapat bahwa kemandirian pada perempuan mungkin cukup untuk mencapai kesetaraan kekuasaan dan status mereka dalam perkawinan , rumah tangga dan masyarakat secara luas. Blumberg menjadikan perempuan Kibbutz menjadi test case bagi teorinya. Namun dari hasil pengamatannya ia mengambil kesimpuan bahwa meskipun perempuan Kibbutz dan laki-lakinya mungkin seimbang dalam rumah tangga, akan tetapi perempuan masih dipandang memiliki ketidakberdayaan politik dibanding dengan laki-laki (Lorber, 1991 : 324). Jurnal Studi Gender Irzum Farihah Sedangkan Geertz menggambarkan pula bahwa dalam keluarga Jawa (the nuclear family) ditemukan adanya peranan perempuan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai isteri, perempuanlah yang mengelola keuangan keluarga, walaupun secara resmi (formal) suami yang memutuskan setelah berunding dengan isterinya, kemungkinan bahwa suami yang mempunyai kemauan keras dalam hubungan suami isteri, mempunyai status sama nilai, karena kenyataannya keluarga dimana suami mempunyai kekuasan yang paling besar jarang ditemukan (Greetz, 1961 : 45-46). Dengan demikian Greetz menyatakan bahwa posisi perempuan dalam keluarga Jawa sangat kuat (Sajogyo, 1983 : 33). Besarnya dominasi paranan istri dalam rumah tangga terhadap kegiatan perekonomian dapat mempengaruhi posisi istri sebagai mitra sejajar dalam keluarga. Dengan demikian peranan ekonomi istri sama pentingnya dengan suami (komplementer), jadi tidak sekedar suplementer (tambahan). Besarnya peranan perempuan dalam rumh tangga mempengaruhi kedudukan isteri dalam keluarga. C. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di pasar ikan (TPI) desa Brondong kabupaten Lamongan ini dikarenakan, pasar ikan di Brondong merupakan TPI yang termasuk besar di daerah Jawa Timur dan mempunyai penghasilan cukup bagus dalam perdagangan ikan. Hal ini dilakukan dengan alasan: Pertama, karena Brondong merupakan daerah yang mempunyai ciriciri sosio kultural maupun fisik yang kuang lebih sama dan bisa mewakili karakter dari daerah pesisir lainnya. Kedua, bahwa di pasar ikan sekitar 25% pedgang ikan perempuan sedangkan yang lainnya adalah pedagang laki-laki. Ketiga , ada suatu permasalahaan tersendiri di sini yang keihatan menarik yaitu, adanya etos kerja para perempuan pedagang ikan selama di tinggal oleh suaminya melaut, mereka juga memberikan kontribusi dalam perekonomian keluarga. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 149 150 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari informan secara langsung. Menurut Webster’s New Collegiate Dictionary yang dimaksud dengan informan adalah seorang pembicara asli yang berbicara dengan mengulangulang kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa atau dialeknya sebagai model imitasi dan sumber informasi. Bekerja dengan informan dimulai dari ketidaktahuan (Spradley, 1997 : 35). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi dan indepth interview. Menurut Ritzer (1992: 74) observasi biasanya digunakan terutama untuk mengamati tingkah laku yang aktual. Dalam hal ini tipe observasi yang dipergunakan adalah tipe “participant as observer” yaitu memberitahukan maksud kedatangan peneliti kepada kelompok yang diteliti (Ritzer, 1992: 74). Wawancara mendalam (indepth interview) yang akan dilakukan kepada beberapa informan perempuan pedagang yang mempunyai etos kerja dalam membantu kontribusi ekonomi dalam keluarga. Di samping wawncara mendalam, peneliti juga akan melakukan partisipasi langsung pada perempuan pedagang ikan yang akan menjadi fokus penelitin karena dari pendekatan tersebut akan lebih mudah untuk mendapatkan data yang sesungguhnya. Selain data primer di atas, peneliti dalam usaha untuk mendapatkan data skunder yang diperlukan dan yang mendukung dalam penelitian ini, sebagai berikut : Studi kepustakaan yaitu metode pengumpulan data dengan melihat beberapa literatur, antara lain catatan, buku, dokumen, surat kabar, majalah dan lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. Dalam proses pengumpulan data peneliti dibantu dengan menggunakan perlatab seperti kamera foto, tape recorder dan catatan. Tahap analisis data ini menggunakan proses analisis reduksi data. Alasan untuk menggunakna proses reduksi Jurnal Studi Gender Irzum Farihah data adalah dianggap perlu untuk melakukan sistematisasi data karena adanya dua kategori atau klasifikasi data, yaitu data yang berhubungan dengan peran perempuan di sektor domestik dan publik. Akhirnya proses analisis data tersebut pengolahannya akan lebih difokuskan berdasarkan kasus. D. Pembahahasan 1. Kondisi Perempuan Nelayan Dari segi pendidikan, sebagian besar perempuan nelayan di kecamatan Paciran berpendidikan SD yaitu (51%), sedangkan yang tidak bersekolah (37,2%) dan sisanya brpendidikan SLTP dan SLTA. Dari data tersebut jelas bahwa tingkat pendidikan perempuan nelayan masih rendah. Dari lokasi penelitian tersebut, umur perempuan nelayan terbanyak adalah antara 30-40 tahun pada kondisi demikian mereka merupakan pekerja yang masih cukup produktif. Sedangkan agama yang dipeluk para perempuan nelayan adalah agama Islam. 2. Tugas Perempuan dan Laki-laki Nelayan dalam Keluarga Terdapat pembagian kerja yang cukup jelas mengenai peran yang cukup jelas mengenai peran dan tugas perempuan serta laki-laki dalam rumah tangga nelayan. Para perempuan nelayan tidak berbeda dengan ibu rumah tangga lainnya, juga mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak-anak. Dalam menunjang perekonomian keluarga nelayan, perempuan serta laki-laki nelayan saling bekerja sama atau membantu, sebagian besar perempuan ikut bertanggung jawab dalam menopang perekonomian keluarga. Pekerja lain yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk menambah penghasilan yaitu dengan berdagang ikan di pasar. Kaum perempuan dari keluarga nelayan yang selama ini dikenal dengan orang yang malas bekerja dan hanya menunggu P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 151 152 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN kedatangan suaminya dari berlayar. Namun sebaliknya dengan perempuan di desa Brondong, sebagian besar dari mereka mempunyai keterlibatan dalam perdagangan. Perempuan yang terlibat dalam sektor perdagangan (public role) idealnya memiliki posisi bargainning yang lebih tinggi daripada perempuan yang hanya terlibat dalam sektor domestik (domestic role). Perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, tidak saja akan memiliki otonomi dalam mengelola pengeluaran pribadinya, mereka juga dapat lebih membantu dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangganya (Wignjosoebroto, 1990), paling tidak kebutuhan jajan anak, pengeluaran-pengeluaran kecil sehari-hari akan dapat dipenuhi dari pendapatan kaum perempuan yang terlibat dalam sektor perdagangan. Bahkan, tidak jarang pada keluarga nelayan di mana pihak suami sumber pendapatannya tergantung pada penghasilan laut yang tak menentu, penghasilan pihak istri yang bekerja di sektor perdagangan menjadi sangat penting. 3. Alasan Perempuan Nelayan Bekerja di Sektor Perdagangan Ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa kaum perempuan nelayan memilih menekuni pekerjaan di sektor perdagangan. Alasan yang diberikan perempuan yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama. Satu orang bisa lebih dari satu alasan, dan acapkali bersifat akumulatif. Dari hasil wawancara mendalam dengan para informan perempuan pedagang ikan, ada beberapa alasan yang mereka ungkapkan yang menyebabkan para perempuan tersebut menekuni perdagangan ikan di tempat Pelelangan Ikan di Brondong. Pertama, karena alasan ekonomi atau tepatnya karena responden merasa penghasilan yang diperoleh keluarga relatif kurang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Diakui responden, jika dibandingkan dengan alasan yang lain, maka kebutuhan ekonomi rumah tangga Jurnal Studi Gender Irzum Farihah merupakan alasan utama yang menyebabkan banyak kaum perempuan bekerja di sektor perdagangan ikan di pasar ikan Brondong. Menurut responden, menekuni sektor perdagangan ikan di pasar ikan tidak saja mereka memperoleh penghasilan tambahan atau sumber pendapatan untuk menyangga ekonomi rumah tangga. Lebih dari itu, tidak kalah pentinya adalah dapat diperolehnya sumber pendapatan yang relatif teratur dan bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi, tepat seperti apa yang dikatakan (Stoler, 1975: 29), bahwa kegiatan disektor perdagangan memang memberikan peluang kerja yang cocok bagi kaum perempuan untuk memperoleh pendapatan secara teratur. Kedua, alasan lain yang menyebabkan perempuan cenderung menekuni sektor perdagangan adalah berkaitan dengan daya tarik sektor perdagangan ikan itu sendiri, karena dalam perdagangan ikan itu tidak memerlukan seleksi seperti pegawai yang sangat ketat seperti halnya bekerja di sektor industri, karena tidak terlalu menuntut tingkat pendidikan maupun persyaratan ketrampilan yang tinggi bagi orang yang ingin terlibat di dalamnya. Ketiga, daya tarik lain sektor perdagangan bagi kaum perempuan adalah berkaitan dengan masalah besar kecilnya resiko usaha. Dibandingkan usaha perdagangan yang lain seperti kredit atau berdagang konveksi ataupun pertanian yang bayak tergantung pada irama musim yang diluar jangkauan kendali manusia. Keempat, hal lain yang menjadikan alasan perempuan memilih bekerja di sektor perdagangan ikan dan bukan pada sektor perdagangan lainnya adalah berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan pribadi perempuan itu sendiri. Kecenderungan perempuan untuk berperan dalam kegiatan publik, tidak dapat dijelaskan dari segi ekonomi saja. Tetapi juga harus dilihat dari aspek-aspek sosial apa juga yang mempengaruhi keterlibatan kaum perempuan dalam sektor perdagangan ikan di pasar ikan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 153 154 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Kelima, alasan lainnya mereka menyenangi pekerjaan sebagai pedagang ikan merupakan kebanggan bagi perempuan yang terlibat di dalamnya. Di daerah pedesaan khususnya di desa Brondong sosialisasi terhadap keluarga maupun masyarakat bahwa sebagai pedagang perempuan mempunyai status lebih tinggi dibandingkan dengan “nyenik” (yaitu kegiatan menjual ikan yang dihasilkannya dari memilih ikan dari para nelayan dan mereka mendapat bagian sendiri). Keenam, alasan yang dilontarkan dua responden, bahwa pekerjaan yang digelutinya, mereka berharap bisa menjalankan ibadah haji bersama-sama dengan suaminya. Hal ini dikarenakan pada kebiasaannya masyarakat Brondong dan sekitarnya kalau yang bekerja hanya suami, maka yang berangkat pertama adalah hanya suaminya saja. Hal ini disebabkan uang yang ada hanya cukup untuk satu orang. Dengan bekerjanya istri tersebut maka istri dapat ikut serta dengan suami untuk melaksanakan ibadah haji. Ketujuh, alasan yang sebagaimana dilontarkan oleh Ibu Sundari bahwa perdagangan itu sendiri merupakan tuntutan Rasulullah, karena rasulullah sendiri sebagai seorang pedagang yang sukses. Kedelapan, adanya keinginan dari salah satu responden yang ingin sekali melunasi semua hutang-hutangnya, selain sebagai tanggung jawab seseorang yang berhutang, juga adana tanggung jawab antara seorang hamba dengan Khaliknya di akhirat kelak. Dari sini tercermin adanya nilainilai pemahaman kepada syari’ah Islam yang cukup kental. 4. Posisi dan Status Perempuan Pedagang dalam Keluarga Tingkat keterlibatan kaum perempuan yang tinggi dalam sektor perdagangan sesungguhnya bertolak belakang dengan anggapan masyarakat tentang perempuan Jawa (Irwan Abdullah, 1989) selama ini sudah menjadi kesepakatan umum di kalangan masyarakat tradisional khususnya bahwa kaum perempuan dipandang sebagai golongan masyarakat Jurnal Studi Gender Irzum Farihah yang lembut dan halus budi, sementara dunia perdagangan tidak saja dipandang penuh tipu muslihat dan kecurangan, akan tetapi juga dinilai rendah. Suatu perspektif komparatif, masyarakat Jawa memiliki sedikit gambaran mengenai tindakan yang membatasi dan menghalangi kegiatan ekonomi kaum perempuan di manamana. Memang (dan dengan agak ironis yang seringkali memberi sifat kewirausahaan kepada komunitas Islam yang “taat”), pembatasan itu mejadi lebih kuat dalam varian budaya santri (muslim ortodoks) Jawa (Mather, 1983 dalam Robert W. Hefner, 2000). Adapun dalam wawancara mendalam semua perempuan nelayan yang berkecimpung dalam perdagangan tidak satupun yang merasa risih mengeluti dunia perdagangan dan bahkan sebaliknya melihat sektor tersebut perdagangan sebagai alternatif lapangan kerja di luar sektor pertanian dan sektor industri lainnya yang menguntungkan dan karenannya mereka sangat antusias menekuninya. Perempuan nelayan yang berkecimpung dalam sektor perdagangan tidak saja memiliki daya tarik dari segi ekonomis, namun juga mereka berharap memiliki daya tarik psikologis dan sosial sebagaiamana diungkapkan di atas, karena hal itu dapat meningkatkan martabat dan status kaum perempuan di mata suami atau keluarga pada umumnya. Namun hal tersebut berbeda dengan fakta yang ada dalam lapangan. E. Kesimpulan Pada catatan akhir yang juga sebagai penutup ini merupakan hasil dari penelitian di pasar ikan tepatnya di desa Brondong kabupaten Lamongan bagian Utara tentang etos kerja perempuan pedagang ikan dari keluarga nelayan dengan pengambilan keputusan dalam keluarga. Dalam hal ini sifanya studi kasus, dimana peneliti mengambil delapan orang perempuan sebagai informan yang berprofesi sebagai pedagang ikan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 155 156 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Pada sisi lain, para perempuan dair keluarga nelayan mayoritas mereka mempunyai penghailan sendiri dan tidak tergantung pada penghasilan dari suaminya sebagai nelayan. Tingkat etos kerja perempuan keluarga nelayan meningkat dari tahun ke athaun, sehingga dari peranan dan keikutsertaan perempuan dalam perekonomien keluarga diharapkan akan mampu membantu ketika suaminya sedang tidak melaut, namun pada kenyataannya penghasilan mereka tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga ketika suami mereka tidak melaut, bahkan sehari-harinya penghasilan mereka mampu membantu kebutuhan keluarga. Dalam menunjang perekonomian keluarga, perempuan dan laki-laki keluarga nelayan saling bekerja sama atau membantu, sebagian besar perempuan ikut bertanggung jawab dalam menopang perekonomian keluarga. Pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh perempuan untuk menambah penghasilan yaitu dengan berdagang ikan. Selain itu, tercermin juga adanya nilai-nilai transenden pada diri mereka. Hal ini tercermin dalam etos kerja mereka, bukti bahwa etos kerja mereka cukup bagus, peningkatan ekonomi dan pemantapan keagamaan mereka. Dengan peningkatan ekonomi, maka memungkinkan untuk memenuhi keinginan mereka untuk membayar zakat, pergi haji dan menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi, juga untuk membayar hutang karena membayar hutang dalam syari’ah Islam sendiri merupakan kewajiban seseorang sampai meninggalpun akan menjadi tanggung jawab keluarganya untuk melunasi hutang tersebut. Namun untuk mencapai perekonomian dalam keluarga yang cukup, maka diperlukan insentif. Oleh karenanya hasrat untuk membayar zakat, pergi haji dan lainnya merupakan kewajiban keagamaan adalah menjadi insentif moral, di samping perintah untuk mencari rizki dan dinyatakannya keterbukaan akses untuk memperoleh rezeki Allah itu sendiri merupakan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan bekerja dan memperoleh penghasilan dari Jurnal Studi Gender Irzum Farihah hasil keringatnya sendiri, kaum perempuan bukan saja merasa akan lebih dihargai, tetapi mereka juga merasa lebih memiliki otonomi dalam mengelola keuangan rumah tangganya dalam rangka memenuhi kebutuhan kecil-kecilan atau kebutuhan pribadi perempuan itu sendiri. Perempuan yang berkecimpung dalam sektor perdagangan tidak saja memiliki daya tarik ekonomis, namun juga mereka berharap memiliki daya tarik psikologis dan sosial sebagimana diungkapkan di atas, karena hal itu dapat meningkatkan martabat dan status perempuan di mata suami atau keluarga pada umunya. Namun hal tersebut berbeda dengan fakta yang ada dalam lapangan. Perempuan yang tidak hanya berkutat pada urusan domestik rumah tangga (domestic role), tetapi bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, akan memegang uang dan memiliki otonomi atas hasil keringatnya sendiri. Lrbih dari itu dengan bekerja sendiri maka idealnya hubungan antara suami dan istri adalah horisontal sehingga ia juga akan merasa dan memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) terhadap suami dan keluarganya. Pada akhirnya analisa dalam penelitian ini dapat membantu mengidentifikasikan situasi aktual relasi sosial anata perempuan yang hidup pada lingkungan keluarga nelayn dengan laki-laki sebagai suami dan keluarga. Begitu pula dalam pembagian kerja sudah tidaklah sangat sexist dan pada beberapa keluarga tertentu sangat egaliter. Tingkat akses dan kontol perempuan sudah mengalami kemajuan, meskipun pada beberapa tindakan laki-laki yang superior dan bersifat patriarkhis masih terjadi. Namun di antara mereka sudah tampak adanya ketergantungan antara satu dengan yang lainnya dan saling mengisi peranan antara suami dengan istri tetap terjadi pada para responden. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 157 158 PEREMPUAN, ETOS KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA NELAYAN Jurnal Studi Gender Irzum Farihah Daftar Pustaka Abdullah, Irawan, 1989, Perempuan Bakul di Pedesaan Jawa, Yogyakarta : Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Abdullah, Taufik, 1979, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Yayasan Obor, Jakarta. Alimandan, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigama Ganda, Terjemahan dari Ritzer, George, Sociology : A Multiple Paradigm Science, Rajawali Press, Jakarta. Asy’arie, Musa, 1997, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, LESFI, Yogyakarta. Greetz, Hildred, 1976, Indonesian Cultures and Communities, Alih Bahasa Zainuddin, A. Rahman, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, Yayasan Ilmu-ilmu Sosial UI, Jakarta. Hefner, robert W, 2000, Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Pustaka LP3ES, Jakarta. Ihromi T.O, 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Lestari, Indra, 1990, “Pengambilan Keputusan dalam Keluarga”, dalam Tapi Omas Ihromi, Para Ibu Yang Berperan Tunggal dan Yang Berperan Ganda, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Uiversitas Indonesia, Jakarta. Lorber, Judith, 1991, Social Construction of Gender, Sage Publication, Newbury Park California. Margaret L., Andersen, 1990, Thinking About Women, Sosiological and Feminist Perspective, Macmillan Publissing Co. Inc, New York. Megawangi, Ratna, 1999, Membiarkan Berbeda?, Bandung, Mizan. Molo, Marcelius, 1992, Women’s Roles, Resources and Decision Making in Rural Java: A case Study, Flinders University of South Australia, Adelaide. Moloeng, Lexy J, 1989, Penelitian Kualitatif, Remadja Karya, Bandung. Sajogyo, Pudjiwati, 1983, Peranan Wanita dalam Pembangunan Masyarakat Desa, Rajawali, Jakarta. Spardley, James P., 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta. Suyanto, Bagong, 1996, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan, Aditya Media, Yogyakarta. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 159 160 Jurnal Studi Gender Riset PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH Ahmad Falah Dosen STAIN Kudus Abstract: This paper discusses analytically Fatima Mernissi thoughts corcerning gender issues with education at womens in midlle east focused on Turky, Yordan, Egypt, Marocco, Syiria, Iraq and Arab. Middle eastern society was deeply fragmated and relatively unintegrated, consisting of a large number of small social groups thah were almost entirely autonomous and self governing. In other word, the social pattern was marked bay deep horizontal and vertical cleavages; the former consisted of the general differentiation between elite and mass, between man and women and etc. Falah tries to find out not only what Fatima views the subjects, but also why she differes in those issue from the mayority of Islamic scholrs. Keywords: women education, Midlle East Turky, A. Pendahuluan Perjalanan sejarah umat Islam menurut Ghufran (Ghufran A. Masudi, 1999 : V) tidak terlepas dari orientasi yang bersifat politik ( too Politically) dan orientasi Timur Tengah (too Middle East Oriented). Hal ini mengakibatkan kecenderungan kelemahan yang berdampak pada sejarah Islam. Lebih jauh lagi citra Islam dipandang sebagai agama warrior (agama perang), bukan sebagai agama rahmat, karena orientasi politik merekonstruksi kehidupan elite politik dan pola-pola perebutan kekuasaan, peperangan dan pertumpahan darah, sehingga mengabaikan kesejarahan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 162 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH aspek-aspek kultural Islam seperti pendidikan, perekonomian dan aspek lainnya. Sedangkan orientasi Timur Tengah mereduksi pengetahuan kita dari perkembangan sejarah di belahan dunia muslim lainnya, seolah-olah ia menjadi satusatunya model sejarah Islam yang tunggal yang pada akhirnya menegaskan frame sejarah Islam yang sempit dan tidak mengenal keberagamaan. Salah satu isu kontemporer masyarakat muslim di Timur Tengah yang paling rumit dan kompleks adalah peranan perempuan. Persoalan perempuan dalam Islam selalu aktual untuk dibahas, baik bagi kalangan muslim maupun orientalis. Fenomena ini bukan saja mengakibatkan umat Islam semakin menyadari pentingnya memahami dan menghidupkan kembali wawasan Islam tentang perempuan, namun juga diakibatkan adanya benturan budaya Islam dengan budaya modern Barat. Perempuan dalam Islam dipahami secara stereotip terbelakang, dan mengisolasikan diri dengan penampilan fisik yang khas. Tampaknya juga masih merupakan realitas empiris bahwa praktik-praktik “anti emansipasi” terhadap perempuan masih jauh dibanding laki-laki. Disamping itu agaknya masih ada anggapan sementara masyarakat bahwa perempuan itu hanyalah “konco wingking” (teman belakang) yang tahunya hanya dapur, kasur dan sumur. Ada pula yang menganggap bahwa perempuan itu yang penting bisa macak (berdandan), masak dan manak (melahirkan). Seolah-olah perempuan dilahirkan hanya untuk melahirkan seperti mesin photo copy, yang hanya sekedar menjadi mesin reproduksi manusia. Bahkan yang lebih parah lagi kemampuan reproduksi ini kadang hanya dimanfaatkan sebagai alat kebutuhan kebutuhan biologis (baca : seks) bagi kaum lelaki. Namun anehnya, posisi yang kurang menguntungkan, subordinat di bawah laki-laki dan sebagai konsekunsinya perempuan harus tunduk kepada laki-laki, seakan-akan mendapat legitimasi dari doktrin-doktrin agama, disamping oleh adanya system patriarkhi yang sedemikian kuat melekat pada masyarakat kita. Sebagai implikasinya, perempuan berada dalam posisi Jurnal Studi Gender Ahmad Falah marginal dan subordinat kaum laki-laki. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan seperti apakah perempuan secara kodratnya memang benar-benar di bawah laki-laki atau hanya merupakan socially construction lewat proses sosio historis yangnpanjang akibat kuatnya system patriarkhi sehingga perempuan tidak mampu bersaing secara sehat dengan kaum laki-laki. Di Timur tengah pada semua level kehidupan – kultural, legal, sosial, dan istitusional – sistem sosial dirancang untuk mengontrol dan mensubordinasi perempuan, memarginalisasikan mereka secara ekonomi dan mengkonseptualisasikan mereka sebagai makhluk di bawah laki-laki. Wacana semacam ini paling tidak terus bertahan sampai akhir abad ke-19 untuk beberapa kawasan dan sampai sekarang dibagian kawasan lain. (Nur Said, 2005 : vi). Masyarakat khususnya perempuan di Timur Tengah berupaya menciptakan kesadaran untuk mengubah citra negatif mereka. Salah satunya melalui pendidikan. Fatimah Mernissi salah seorang perempuan Timur Tengah kelahiran Marokko, ia perempuan Islam yang mendalami bidang sosiologi, berasal dari keluarga tradisional tetapi memperoleh pendidikan modern. Dalam kajiannya ia mulai mempertanyakan hal-hal yang diajarkan kepadanya mengenai status dan tingkah laku yang layak bagi kaum perempuan muslim. Ia mempelajari kitab hadits, tafsir dan sirah untu mencari asal usul dari yang disebutnya misogini, yaitu kebencian terhadap perempuan dalam tradisi Islam. (Martin Van Bruinessen, 1993 : 168). Reaksi atas ketimpangan dan ketidak adilan yang dihasilkan oleh suatu tatanan sosial yang patriarkhis itulah menyebabkan munculnya gerakan feminisme di kalangan perempuan termasuk kalangan feminis perempuan, seperti Fatima Mernissi. Fatima ingin membuktikan bahwa pendidikan merupakan faktor kunci yang menentukan untuk mendorong rasionalisasi dalam aktifitas transisi untuk memerangi buta huruf, yang menurutnya salah satu kelemahan yang paling memalukan bagi masyarakat Arab. (Fatima Mernissi, 1999 : 116-117). P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 163 164 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH Melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas tentang pendidikan perempuan di Timur Tengah tersebut melalui permasalahan sebagai berikut: Bagaimana eksistensi dan perkembangan dunia pendidikan bagi perempuan di Timur Tengah, konteksnya dengan kehidupan sosio kultural mereka. B. Sosio Kultural dan Pendidikan Perempuan Timur Tengah Tulisan ini berbicara tentang perempuan Islam di Timur Tengah. Kawasan atau wilayah Timur Tengah menurut Peretz adalah wilayah yang meliputi Turki, Iran, Israel, Libanon, Irak, Yordania, Syiria, Mesir, dan kerajaan-kerajaan yang ada di kawasan Teluk Persia. Dalam hal ini wilayah Turki dan Iran yang berbudaya Persia tidak dimasukkan di kawasan yang berbudaya Arab, karena kedua wilayah tersebut memiliki ciri khas kebudayaan mereka sendiri. (Don Peretz, 1983 : 3). Kawasan budaya Arab dengan demikian terdiri dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Yang disebut terakhir ini meliputi Marokko, Aljazair, Tunisia, dan Libya, meskipun Mesir terletak di Afrika Utara, tetapi sejak dahulu negeri ini tidak mau dimasukkan ke wilayah Afrika Utara, karena mempunyai perkembangan budaya dan peradaban sendiri. Fatima Mernissi sebagai seorang akademisi telah sekian lama merebut perhatian para aktivis perempuan dan peminat gender melalui buku-bukunya seperti Beyond tehe Veil: Male-Female Dynamic in Modern Moslem Society dan seabrek buku lainnya, sedikit atau banyak kita dapat menarik benang merah untaian pemikiran Mernissi sekitar feminisme: yakni betapa gigihnya dia menilisik kekurangan-kekurangan yang ada pada pemerintah Arabyang mnurutnya- bukanlah instriksik karena doktrin agama. Namun, lebih karena agama itu telah dimanipulasi oleh orang yang berkuasa untuk kepentingan dirinya sendiri. Mernissi rela memberikan sebagian bresar usianya untuk melakukan penggalian arkeologis dengan membuka-buka Jurnal Studi Gender Ahmad Falah teks agama dan mengakrabi ruang-ruang perpustakaan. Dengan maksud tentu saja, untuk membuktikan hipotesis dia tentang intervensi budaya patriarkhi dalam teks-teks sacral yang bersifat misoginis. Tapi satu hal yang agak berbeda dalam salah satu bukunya adalah “keengganannya” untuk masuk lebih dalam lagi pada area debat kusir teologis tentang kedududukan perempuan dalam Islam. Persoalan feminisme dalam Islam tidaklah harus melalui serius mengagendakan perlu tiudaknya penghapusan poligami, kesetaraan harta waris, hijab dan hal-hal lain yang bisa menegakkan bulu alis kaum agamawan konservatif. Mernissi ingin menampilkan area of expertnya itu dalam tulisan yang ringan-ringan saja alias mudah dicerna. (www.mernissi.net.islamlib.com/id/ artikel/konsep-hare). Fatima Mernissi dalam salah satu bukunya women and Islam beranggapan bahwa, keterbelakangan perempuan Islam merupakan penyelewengan sejarah yang dilakukan para penguasa Islam sepeninggal Rasulullah Saw. Revolusi sosial yang telah dibangun nabi Muhammad, termasuk dalam soal perempuan, tidak diteruskan lagi. Sejarah malah menunjukkan bahwa yang muncul kemudian adalah kembalinya nilai-nilai pra Islam ke dalam kehidupan umat. (Fatima Mernissi, 1999 : 73). Menurutnya, marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam tercipta karena dua hal. Pertama, semangat tribalisme Arab yang tumbuh kembali setelah nabi Muhammad wafat. Kedua, pemahaman ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan lepas dari kaitan historisnya. Kedua proses ini bergandengan bersama membentuk citra perempuan Islam seperti yang sekarang ini di kenal. Struktur keluarga muslim, khususnya peranan perempuan serta konsep tentang identitas perempuan Timur Tengah pramodern hingga modern sangat sedikit yang diketahui. Dalam ideologi dan teori sampai pada tingkat prilaku yang lebih luas, masyarakat Timur Tengah membentuk perbedaan peranan yang sangat tajam antara laki-laki dan perempuan. Wilayah publik hampir senantiasa diperuntukkan bagi laki-laki, keluarga dan rumah tangga P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 165 166 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH (domestic) merupakan wilayah perempuan. Pada umumnya perempuan dipisahkan dari laki-laki dalam pergaulan di luar keluarga mereka. Masyarakat pro-modern juga diwarnai dominasi laki-laki atas perempuan dan penghormatan perempuan terhadap otoritas laki-laki. Lebih jauh lagi keluarga dan nasab perempuan tunduk terhadap otoritas ayah, saudara laki-laki, suami, dan kerabat laki-laki suami. Mencermati fenomena sosial dan kultural di atas, banyak perempuan muslimah yang berusaha mengkaji kembali pandangan Islam dan meneliti mana yang syariat dan mana pula yang adat (kultur). Sebagai gambaran, Nurcholis Madjid dalam makalahnya yang bertajuk Wanita Islam (Stereotip Barat dan Kungkungan Adat), menampilkan contoh sebuah serial buku tentang wanita yang ditulis oleh para tokoh wanita Islam di bawah pimpinan Fatimah Zahra ‘Azrawil. Salah satu buku itu berjudul al-Mar’ah bayna al-Tsaqafi wa al-Qudsi (wanita antara cultural dan sacral), ditulis oleh Zainab al-Ma’adi. Buku ini adalah bantuan beasarjana Timur Tengah dari kantor kependudukan Kairo, dan ditulis dengan dilengkapi data empirik dari keadaan perempuan di Maroko. Dalam buku itu juga dibahas pandangan Kitab suci dan Sunnah Nabi tentang perempuan, kemudian dibandingkan dengan pandangan kefiqihan yang menurut penulisnya lebih mencerminkan segi kultural (yakni adat) masyarakat dari pada segi sakral (ajaran agama). Selanjutnya dia berkesimpulan bahwa seluruh ide tentang perempuan dalam al-Qur’an dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan pria melalui proses pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan sosial Arab jahiliyah. (Nurcholis Madjid, 1999). Pendapat Sadja Nazlee dalam bukunya women in Islam , signifikan dengan proposisi di atas. Dia berasumsi bahwa diantara laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan untuk belajar dan mengerti. Sadja mengutip pendapat Nawal El Sadawi, yang secara tajam beragumentasi , bahwa nampaknya hanya laki-laki yang hanya memiliki, Jurnal Studi Gender Ahmad Falah dibandingkan perempuan sehingga menempati posisi such as ruler, legislator, governor, etc. (Sadja Nazlee, 1996 : 60). Akhir abad ke 19 dan abad ke 20 membawa banyak perubahan penting sehubungan dengan sejarah kedudukan perempuan. Semenjak kalangan intelektual alumni Barat melancarkan pembaharuan sosial dan politik, orang-orang yang lebih radikal mengusulkan program emansipasi wanita dan integrasi mereka di dalam masyarakat dalam kedudukan yang sepenuhnya sama dengan laki-laki. Mereka mengaskan bahwasannya pendidikan perempuan sangat diperlukan untuk membebaskan mereka dari sikap malas serta mempersiapkan mereka untuk mencari pekerjaan. Dengan mengenyam pendidikan, perempuan juga bisa meningkatkan dan membina keluarga yang harmonis dan mengasuh anak. Mereka berpendapat bahwa, hanya melalui pendidikan modern, perempuan mampu menjalankan peran-peran keluarga sebagai ibu dan pendidik generasi modern dan berimplikasi untuk menciptakan Negara nasional modern. Sadja Nazlee mengutip sabda nabi Muhammad Saw. yang mempersonifikasikan perempuan sebagai “The mother is the school,” it is incumbent on women to have a full intellectual life and to transmit that to their children. (Sadja Nazlee, 1996 : 60). Begitu urgennya pendidikan bagi perempuan terbukti dengan hasil sebuah survei dilakukan di Maroko pada awal tahun 1980 an yang menunjukkan hubungan kausalitas antara tingginya pendidikan yang diperoleh perempuan dengan kesadaran menjalankan keluarga berencana. Meskipun mempunyai sumber daya dan dinamisme, Maroko termasuk negara-negara Arab yang mempunyai angka buta huruf tertinggi di kalangan kaum perempuannya. Angka buta huruf perempuan Maroko sebanyak 78,3% dan angka ini terlalu jauh berbeda dengan Aljazair 63,1%. Angka untuk Mesir adalah 79,8%, dan bekas Republik Rakyat Yaman Utara angkanya 74,8%, sementara angka Yaman Selatan adalah 96,6%. Satu-satunya Negara Islam yang melaksanakan tugas P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 167 168 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH perintisan dalam bidang ini adalah Irak dengan angka 12,5%, dan ini Irak dapat digolongkan ke dalam Negara-negara yang memberikan kaum wanita akses pada pendidikan secara normal. (Fatima Mernissi, 1999 : 118). Perempuan yang mempunyai akses pendidikan akan berusaha memasuki bidang-bidang dimana mereka mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk bersaing, profesi bebas serta pelayanan masyarakat. Survei terhadap pola pekerjaan perempuan di Maroko mengungkapkan bahwa, kaum perempuan yang bekerja pada bidang keilmuan dan profesi bebas lainnya berjumlah 29, 9% sedangkan pada pelayanan masyarakat sebesar 27,7%. Kondisi ini memicu berbagai pendapat yang dikelola badan-bada internasional yang menuduh dunia Arab sebagai salah satu wilayah yang menjaga kaum wanitanya agar tetap bodoh, misalnya dalam telaah perbandingan yang dihasilkan oleh Population Crisis Committee. Dalam telaah itu, 99 negara secara ketat dievaluasi dalam kaitan dengan kedudukan kaum perempuan dan dinilai berdasarkan 20 indikator yang dirancang untuk mengukur kesejahteraan kaum perempuan. Telaah itu mencakup 92% populasi perempuan di dunia dan menghasilkan klasifikasi berdasarkan indikator-indikator kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, dan faktor-faktor sosial lainnya, terutama yang berkaitan dengan peran serta perempuan dalam pengelolaan masyarakat. (Fatima Mernissi: 119). Fatima sangat prihatin atas kenyataan yang dialami perempuan di wilayah Timur Tengah, sebagaimana analisisnya bahwa untuk menciptakan kesejahteraan perempuan salah satunya melalui akses pendidikan. Menurutnya mitra yang paling baik untuk merealisasikan hal semacam itu adalah kaum perempuan terdidik. Pada kenyataannya hingga tahun 1990 an tidak juga dinyatakan sebagai dasawarsa penghapusan buta huruf di kalangan perempuaan Maroko dan negara-negara Arab lainnya. Peran serta kaum perempuan di Timur Tengah untuk Jurnal Studi Gender Ahmad Falah mengikuti pendidikan sebenarnya sudah dirintis pada awal tahun 1990 an. Namun kesempatan bagi mereka masih sangat rendah. Di Negara Iran malah lebih ekspansif, terbukti dengan komitmen Shah reza yang berusaha memperbaiki posisi wanita. Moment ini terjadi di awal tahun 1930-an, dimana Reza mencoba untuk merombak tradisi yang memposisikan perempuan sebagai sosok yang lemah dan terisolir. Selanjutnya Reza berupaya mengadakan serangkaian perubahan hukum perkawinan dan perceraian, hak-hak milik perempuan diperbaharui dan diperkuat, dan untuk poligami dipersulit. Sekolah-sekolah merupakan instrument penting dalam menjalankan emansipasi perempuan Iran. Pada tahun 1935 pertama kali pendidikan gabungan dibuka dan tahun berikutnya kaum perempuan diakui kali pertama mengenyam pendidikan tinggi di institute. Semua sekolah memberlakukan murid perempuan dan gurunya mengenakan pakaian model barat, aktifitas pramuka putri digalakkan, meskpiun posisi perempuan pada kondisi dan sosial sebagian besar tetap tidak berubah sampai diakhir kekuasaan Reza. (Joseph S.Szylicwicz, 1973 : 245). Kesadaran kaum perempuan Iran menatap masa depan berangsur-angsur muncul, terbukti pendaftaran anak perempuan pada level sekolah dasar 128.000 di tingkat I (1949) meskipun tinggal 30 ribu sampai di level ke VI. Untuk level sekolah menengah hamper 20 ribu murid pada tingkat I dan tinggal 2000 pada tahun ke VI. (Joseph, 1973 : 239). Di negara Mesir, pendidikan modern termasuk bersamaan dengan kedatangan Napoleon di awal abad ke -19. Ulama menentang keras pembaharuan pendidikan tradisional ke modern, sampai pada akhirnya berdirilah Universitas Nasional pada tahun 1908 yang kemudian diubah menjadi Universitas Negeri pada tahun 1925. Di masa itu terjadi dualisme system pendidikan yaitu sekolah agama dengan coraknya yang tradisional, dan sekolah modern yang bergaya Eropa. Sekolah tradisional berada di bawah kekuasaan ulama, sedangkan sekolah modern dikuasai oleh pemerintah dan orang-orang Eropa. (Albert Haurani, 1993 : 139). P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 169 170 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH Mona Abaza menceritakan dalam bukunya Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi bahwa sebelum modernisasi pendidikan yang dicetuskan Mohammed Ali di Mesir, kaum perempuan telah menjalani pendidikan dan pengajaran. Wilayah kajian mereka masih terbatas pengajaran di bidang agama, seperti penghafalan al-Qur’an, begitu pula ada Syeikhah yang mengajarkan shalat pada gadis-gadis dan membaca juz-juz tertentu dari al-Qur’an. Perempuan Mesir pada saat itu ada yang telah menjabat fiqhiyah (ahli fiqh perempuan) professional. Sering pula terjadi kaum perempuan ataupun para gadis mendengarkan perkuliahan di rumah-rumah Amir (pangeran). Mereka juga diterima belajar di Kuttab (sekolah dasar al-Qur’an), meskipun tidak banyak yang mengikutinya. (Mona Abaza, tt, :152). Besarnya perhatian terhadap pendidikan kaum perempuan, Rektor al-Azhar ketika mengunjungi Indonesia pada tahun 1955, terinspirasi atas ide Rahmah el-Yunusiyah dengan Perguruan Diniyah Putri di Padang Panjang dan selanjutnya membentuk Perguruan Tinggi Gadis. Sebagai hadiah atas usahanya tersebut, Rektor al-Azhar memberikan gelar kehormatan Syaikhah, kepada Rahmah di Kairo sebagai perempuan pertama dalam sejarah Universitas al-Azhar yang mendapat gelar tersebut. (Mona Abaza, 158). Sesungguhnya kesadaran memberdayakan perempuan Mesir tidak hanya disuarakan oleh kaumnya sendiri. Pada tahun 1899, Qasim Amin (1865-1908) menerbitkan bukunya yang sangat berpengaruh Tahrir al-Mar’ah (Emansipasi Perempuan). Dalam buku ini dia memperjuangkan pendidikan perempuan sebagai suatu hak pemberian Tuhan. Pada tahun 1923, Huda Sha’rawi (istri tuan tanah besar yang keturunan ningrat) mendirikan Persatuan Feminis Mesir (Feminist Union in Egypt) untuk memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan, reformasi undang-undang yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian. Dia juga menyuarakan hak suara bagi perempuan. Sejumlah sekolah bagi anak perempuan didirikan, dan pada tahun 1928 perempuan mendapatkan kesempatan untuk meneruskan studi di perguruan tinggi. Jurnal Studi Gender Ahmad Falah Pada sisi lain, kelompok-kelompok dari garis fundamentalis juga bermunculan, diantaranya Zainab al-Ghazali yang mendirikan cabang The Muslim Brotherhood’s Branch for Women : The Muslim Women’s Association, pada tahun 1936. Program ini bersifat sangat politis dan digambarkannya sebagai misi untuk mengenalkan perempuan Muslim kepada agamanya. Dan tokoh feminisme Mesir berikutnya yang sangat dikenal adalah Nawal el Saadawi 9lahir 1931). (Nelly Van Doorn Harder, 1999 : 26). Di Turki selama perang dunia I, pendidikan merupakan pusat perhatian nasional, perempuan harus bekerja di pabrik-pabrik, perbankan, jasa pos, kantor pamongpraja, rumah sakit, dan pengalaman mereka tersebut membuka jalan bagi reformasi selanjutnya. Universitas Istambul menyelenggarakan pendidikan gabungan pada tahun 1921; perempuan diberi hak-hak hukum yang sama dengan hakhak perempuan di Eropa dengan mengadopsi Kitab Hukum Swiss pada tahun 1926. Prosentase perempuan Turki yang terlibat dalam pekerjaan cukup tinggi serta mendapatkan pekerjaan professional. Secara keseluruhan masyarakat Turki masih diliputi prasangka yang kuat atas superioritas lakilaki. Sumbangsih pendidikan bagi kaum perempuan di Timur Tengah disertai peran media massa telah menumbuhkan nilai-nilai , cita rasa, dan model baru dalam hal pengaruh sosio kultural. Dan yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran akan pola kehidupan Barat. Mereka mulai menghargai otonomi individu, kehendak memilih pasangan perkawinan dan rumah tangga yang iondependen. Terjadinya perubahan-perubahan tersebut pada umumnya hanya bergulir di kalangan kaum perempuan kelompok menengah dan atas pada masyarakat perkotaan, sementara pada kaum perempuan di pedesaan kurang merasakan perubahan dalam sosio kultural itu. Akibat ada pengaruh dari dunia pendidikan kaum perempuan itu membawa dampak perubahan yang aktual pula pada tatanan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 171 172 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH kehidupan sosio lainnya, terutama bidang hukum, keluarga, sosial bahkan dalam bidang pendidikan sendiri sangatlah beragam. Di beberapa Negara seperti Sudan, Iraq, dan Mesir proporsi pelajar perempuan mendominasi jenjang posisi pada sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan kaum lakilaki. Meski demikian jumlah kaum perempuan yang sekolah tersebut, prosentasenya sangat kecil bila dibandingkan dari komposisi secara keseluruhan jumlah penduduk perempuan yang ada. (Ira M.Lapidus, 1999 : 539). Di Negara Yordania, pendidikan perempuan merupakan faktor dominant untuk mengindikasikan status mereka di tengah masyarakat. Kaum perempuan memiliki akses untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka mempunyai andil dalam mengambil kebijaksanaan ataupun peraturan-peraturan di dalam Negara. Disamping itu, sama halnya dengan negara-negara Timur Tengah lainnya di daerah pinggiran, pendidikan bagi perempuan itu dianggap barang yang luxury. (mahal). Di musim panen, kaum perempuan dibutuhkan tenaganya untuk membantu keluarga sehingga mereka beranggapan bahwa pendidikan itu not really important. Mereka dipersiapkan oleh keluarganya untuk mendapatkan good husbands and makes them better homemakers and mother. Kondisi ini berbeda untuk perempuan urban, meskipun problema buta aksara masih mendera kaum perempuan – dari data tahun 1990 berusia 15 tahun keatas ada 28%, yang mengalami kamajuan bila dibandingkan pada tahun 1961 mencapai 84, 8 % dan kerajaan yordania menyebutnya sebagai problema utama. Sejak tahun 1952 pemerintah kerajaan Yordania memberlakukan peraturan wajib belajar sembilan tahun untuk pendidikan dasar dan menengah. Di negara ini pendidikan untuk anak perempuan sepenuhnya diserahkan pada keputusan sang ayah. Ada Jurnal Studi Gender Ahmad Falah suatu daerah yang tidak menerima anak perempuan bedrsekolah pada tingkatan tertentu, sedangkan untuk hijrah ke daerah lain tidak memungkinkan bagi mereka. Hal ini bisa disebabkan masalah sosial ataupun finansial (travel cost). Bila dihadapkan pada dua masalah ini, mereka lebih cenderung mensupport anak laki-laki untuk sekolah, karena pendidikan itu menurut mereka costlier. Pada tingkatan kedua (menengah) pendidikan tidak menjadi sesuatu yang diwajibkan , dan perempuan yang mendaftar di sekolah turun tajam, terutama daerah perdesaan. Di Yordania ada dua perguruan tinggi yaitu : Jordan University yang didirikan pada tahun 1962, dan Yarmuk University tahun 1976. Meskipun ada perguruan tinggi , kebanyakan anak laki-laki sekolah ke luar negeri, sedangkan anak perempuan yang kuliah pada perguruan tinggi tersebut dari tahun ketahun meningkat naik, yaitu: 32% di tahun 1972, 38% di tahun 1978, dan 40% tahun 1988. Kerajaan Yordania mendapatkan penghargaan atas perannya memfokuskan pendidikan bagi perempuan dan menekan angka buta aksara di kalangan mereka. (Laurie A.Brand, 1998 : 112). Ekspansi kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan di negara Oman sudah dimulai sejak tahun 1970. Pendidikan menurut persepsi perempuan Oman lebih penting bila dibandingkan dengan bekerja, karena akan merubah posisi dan persepsi perempuan itu sendiri. Kemajuan pesat di bidang pendidikan mulai tahun 1970, ketika Sultan Qaboos berkuasa hanya ada tiga pendidikan dasar di Negara itu. Pemerintah menghabiskan anggaran pendidikan sebanyak 11,4% dari total anggaran negara, pada tahun 1991. Meskipun pendidikan belum ditetapkan sebagai keajiban, namun atensi masyarakat sangat positif. Pendidikan dasar ditentukan selama enam tahun, kemudian pendidikan dibagi dua tahap, yaitu pendidikan pra-lanjutan dan pendidikan menengah. Sistem pendidikan tidak menggabungkan anak laki-laki dan perempuan. Dari tahun ketahun sampai tahun 1990, animo masyarakat menyekolahkan anak-anak mereka di atas angka 80%, baik tingkat dasar, pra-lanjutan dan lanjutan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 173 174 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH Pada tahun 1985, Negara Oman mendirikan perguruan tinggi yang mereka namakan Sultan Qaboos University. Mereka yang diterima disini berdasarkan kemampuan dasar akademik (grade point average). Di tahun 1990, 47% dari3.021 jumlah mahasiswa, adalah perempuan (1.609 laki-laki, 1412 perempuan). Pada masyarakat tradisonal Oman, pendidikan merupakan salah satu ekspresi yang sesuai bagi perempuan, karena pada akhirnya dapat bermanfaat bagi keluarga. Selain itu mereka enggan mengirim anak perempuannya untuk pendidikan ke luar negeri, karena ketakutan mereka terhadap pengaruh budaya barat. Apabila keluar, pilihan tertuju pada pusat Gulf konservatif. Perempuan Oman pada umumnya lebih menyukai bidang studi yang bernuansa feminism, seperti kedokteran, studi Islam dan eksak. Mereka menganggap bidang tersebut sesuai dan memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. (Carol J.Riphhenburg, 1998 :156). Negara Bahrain di awal tahun 1980 – an mendirikan universitas nasional Bahrain (The National University of Bahrain). Perempuan Bahrain ternyata lebih banyak dibandingkan laki-laki yang mengikuti perkuliahan di sana. May seikaly mengungkapkan bahwa perempuan Bahrain ambisius dan bekerja keras, tidak layaknya mahasiswa yang laki-laki, mereka biasanya terpilih sebagai the top performing. Sebagian besar mahasiswa di Bahrain berasal dari komunitas tradisional dan dari luar kota. Bagi mereka, perguruan tinggi merupakan forum keterbukaan, pendidikan dan menumbuhkan kesadaran politik. Sejak dua belas tahun terakhir, 95 % mahasiswa perempuan Bahrain mengenakan kerudung (veil). (May Seikaly, 1998 : 181). C. Ekses Pendidikan Perempuan di Timur Tengah Posisi perempuan di Negara Timur Tengah memang sungguh dilematis. Disatu sisi, meningkatnya kesadaran mereka terhadap pendidikan, ternyata juga mendapatkan respon yang kurang menyenangkan. Fatima dan Rifaat Hasan menyampaikan bahwa, jika pada beberapa dekade yang Jurnal Studi Gender Ahmad Falah lampau umumnya perempuan menikah sebelum berusia 20 tahun, sekarang prosentasenya di beberapa Negara Arab, menurun. Gambaran tentang perempuan muda yang tidak menikah atau menunda pernikahan, benar-benar merupakan hal baru bagi dunia Islam. Konsep yang berkaitan dengan perempuan dan menstruasi selalu dikaitkan dengan fitnah (kekacauan) di dalam masyarakat. (Fatima Mernissi-Riffat Hasan, 2000 : 272). Dan tertundanya usia perkawinan telah memaksa perempuan secara pragmatis menoleh bidang pendidikan sebagai sarana aktualisasi diri. Banyak masyarakat yang masih meragukan pendidikan perempuan, karena akan menganggu pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mengasuh anak bahkan ia akan meruntuhkan moral perempuan dan mengganggu kesempatan mereka untuk membina keluarga secara baik. D. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kegelisahan Fatima Mernissi terhadap diskriminasi perempuan, jelas tidak lepas dari kondisi sosio kultural relegius bahkan politik dimana Fatima Mernissi tinggal. Apa yang diinginkan oleh Fatima Mernissi sebagai salah satu perempuan Timur Tengah yang membela hak-hak perempuan adalah dalam rangka membebaskan kaum perempuan dari keterkungkungan tradisi patriarkhi yang bertopeng dibalik doktrin-doktrin teologis dan agama lewat pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, membrantas buta aksara, dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak terpinggirkan dalam arti posisi yang sejajar dengan lakilaki. Upaya kaum perempuan Timur Tengah untuk mengaktulisasikan dirinya melalui pendidikan, telah menggeser paradigma lama yang didominasi dari adat dan kultur setempat. Mereka dewasa ini telah merambah wilayah publik, meskipun dipihak konservatif fundamentalis tidak menginginkan hal ini terjadi dengan menampilkan dalih-dalih P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 175 176 PENDIDIKAN PEREMPUAN DI TIMUR TENGAH yang seolah-olah berasal dari al-Qur’an ataupun kebutuhan mempertahankan pada tatanan sosial politik tertentu yang menguntungkan pihak penguasa status quo. Kesimpulan umum yang dapat ditarik mengenai pandangan-pandangan Fatima Mernissi untuk pemberdayaan pendidikan perempuan bahwa Islam (baca al-Qur’an) sesungguhnya sangat apresiasif dan tidak diskriminatif terhadap perempuan. Al-Qur’an sesungguhnya mendudukkan posisi perempuan setara dengan laki-laki di hadapan Allah. Karena keduanya diciptakan dari jenis yang sama dan yang membedakan antara mereka hanyalah taqwanya. Adanya anggapan bahwa Islam ini tampak diskriminatif atau bahkan misogenis terhadap perempuan disebabkan oleh asumsi-asumsi teologis yang keliru. Sebab oleh adanya penafsiran-penafsiran yang bias patriarkhi dan juga oleh pengaruh-pengaruh tradisi Yuhudi-Kristen yang masuk lewat hadits-hadits yang dikategorikan sebagai hadits berbau Isra’illiyat. Waallahu A’lamu bi as Sawab. Jurnal Studi Gender Ahmad Falah Daftar Pustaka Albert Hourani, Arabic Thought the Libedral Age 1798-1939, Cambridge : Cambridge University Press, 1993 Carol J. Riphenburg, Changing Gender Relations and Development Process in Oman, dalam Vyone Yozbeck haddad, Islam, Gender, and Social Change, Oxford University Press, 1998. Fatima Mernissi, Women’s Rebellion and Islamic Memory, Terj. , Bandung : Mizan, 1999. Fatima Mernissi-Riffat Hasan, Setara dihadapan Allah, Yogyakarta : LSPPA, 2000. Hasyim Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta : Raja Grafindo Press, 1999. Joseph S. Szyliowich, Education and Modernization in the Midlle Est, New York: Cornell University Press, 1973 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning, dalam Lie. M. Marcoes Natsir, Wanita Islam dalam Kajiant Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : INIS, 1993. May Seikaly, Women and Religion in Bahrain an Eemerging Identity dalam Yvonne Yozbeck Haddad, Islam, Gender, and Social Cahnge, New York: Oxford University Press, 1998. (www.mernissi.net.islamlib.com/id/artikel/konsep-hare). Mona Abaza, Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi Studi Kasus Alumni al-Azhar, Jakarta: LP3ES. Sadja Nazlee, Women in Islam, London : Ta-Ha Publisher Ltd, 1996 Syafiq Hasyim (Ed), Menakar Harga Perempuan, Bandung : Mizan, 1999. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 177 178 Jurnal Studi Gender Bedah Buku Judul buku : Orientasi Politik Perempuan Marginal Penulis : Siti Malaiha Dewi Halaman : 126 +xxii Penerbit : CV. Brillian Media Utama, 2009 Pengantar : Siti Musdah Mulia KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA Siti Mu’arifah*) Buku Orientasi Politik Perempuan Marginal karya Siti Malaiha Dewi merupakan hasil pergulatan pemikiran penulisnya tentang politik dan perempuan dengan fakta di lapangan, dimana penulisnya sudah lama malang melintang di dunia aktivis, mulai dari IPPNU, PMII, JPPR kemudian LSM yang begitu banyak diikuti semakin mempertajam pisau analisa dalam melihat bagaimana kehidupan dan orientasi politik para perempuan yang marginal. Orientasi politik disini adalah bagaimana pandangan mereka tentang pemilu, baik pemilu kepala desa , presiden sampai pemilu legislatif dan kampanye-kampanye yang dilakukan oleh para calon wakil rakyat, termasuk presiden siapa yang akan dipilih. Di buku ini digambarkan secara nyata profil kehidupan perempuan marginal, pekerjaan, status, keaktifan dalam organisasi di masyarakat dengan tutur bahasa langsung sehingga tampak kejujuran dan kelugasan mereka. Perempuan marginal disini adalah perempuan yang secara sosial terpinggirkan seperti penjual kue, buruh pabrik rokok, buruh tani, tukang parkir, dalang,pengemis, *) Peresensi buku adalah Staf Pengajar di SMA 1 Manyar, Gresik, sedang menempuh Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang Jurusan Sosiologi Politik. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 180 KEGELISAHAN POLITIK ORANG BIASA perempuan samin sampai bu nyai yang ada di pesantren. Dan di buku ini dikupas tuntas bagaimana sepak terjang politikus yang sedang bermain dan bersinggungan dengan masyarakat kelas bawah(grass root)terutama perempuan. Memang banyak buku –buku yang mengupas masalah politik dan perempuan tapi jarang sekali buku politik yang menggunakan responden perempuan marginal. Buku-buku perempuan selalu diarahkan pada pemberdayaan perempuan itu sendiri yang terkadang selalu terjebak dalam taraf wacana. Sementara pada tataran praktis banyak yang masih bias gender, baik itu karena pengaruh sistem di tempat kerja, kultur masyarakat termasuk pola relasi dalam keluarga.Tapi di buku ini para perempuan begitu qona’ahnya menerima nasib hidup dan menjalaninya dengan wajar, bagi mereka hidup adalah perjuangan dan perjuangan bukanlah persoalan laki-laki saja tapi perempuan pun ikut terlibat. Bahwa kaum perempuan marginal yang menjadi penentu keberhasilan suatu perjuangan politik, misalkan pemilu karena pemilih terbanyak di negeri ini adalah perempuan , bagaimana sebetulnya cara pandang mereka, kehidupan politik mereka, sikap mereka dalam melihat proses pemilu dan proses-proses aktivitas politik yang lain seperti kampanye dalam pandangan yang sederhana. Dan yang menarik dari buku ini adalah bagaimana perempuanperempuan tersebut sudah terbiasa dengan suguhan-suguhan politik seperti money politic, bantuan-bantuan kemanusian yang ada implikasinya dengan politik. Selama ini terkesan bahwa rakyat biasa atau orang awam, tidak faham politik. Buta politik, mereka dianggap hanya bisa dan mudah dipengaruhi, diarahkan,terutama kaum perempuan hanya dijadikan obyek dari semua masalah publik, termasuk politik. Tapi apakah benar demikian. Nah, di buku inilah diketengahkan dilemma-dilema yang dialami kaum marginal perempuan secara nyata. Adanya kebijakan affirmative action atau kuota 30 persen bagi perempuan sangat mendorong perempuan Jurnal Studi Gender Siti Mu’arifah untuk menyuarakan aspirasi kaum perempuan itu sendiri, seperti yang menjadi slogannya penulis buku ini bahwa hanya perempuan yang mengerti perempuan. Nah siapa lagi yang akan menyerap dan memahami aspirasi kaum perempuan terutama anggota dewan perempuan kalau bukan perempuan dari kaumnya sendiri, so buku ini benar-benar membuka mata, hati dan telinga bahwa perempuan marginal melek politik, maka buku ini sangat penting untuk dibaca oleh umum agar kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang dibuat juga semakin ada keberpihakan terhadap perempuan. P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 181 182 Jurnal Studi Gender Bedah Buku Judul : Perempuan Sami; Dehumanisasi Sistemik di Tengah Benturan Budaya Dominan Penulis : Moh. Rosyid, M.Pd. Penerbit : Idea Press bekerja sama dengan STAIN Kudus Press Tahun Terbit : 2009 PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK Moh. Rosyid Dosen STAIN Kudus Dua hal mendasar yang menjadi titik pembahasan dalam judul di atas yakni perempuan dan Samin. Dua hal tersebut berhadapan dengan persepsi publik terhadap perempuan Samin. Persepsi yang (di) terbangun publik terhadap Samin, apalagi terhadap perempuan Samin identik dengan kenegatifan. Tetapi pernyataan tersebut belum berakhir, perlu digali kebenaran, agar diperoleh informasi yang valid dan tarnsparan. Buku yang diresensi ini semula hasil penelitian tahun 2008 yang dibukukan, agar substansi buku tersebut tidak ‘lembab’ di dalam rak buku, perlu didedahkan kepada pembaca sebagai tambahan informasi. Penelitian tersebut berpijak pada hasil pertemuan nasional aktivis perempuan Indonesia telah menghasilkan 12 agenda khusus gerakan perempuan tahun 2006 s.d 2011 yakni (1) perempuan dan kemiskinan, (2) perempuan dan hukum, (3) perempuan dan fundamentalisme, (4) perempuan dan politik, (5) perempuan dan pendidikan (mendorong pelaksanaan program pendidikan khusus perempuan yang termarjinalkan agar tidak buta huruf, dsb.), (6) perempuan dan teknologi, (7) perempuan dan media, (8) perempuan dan P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 184 PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK budaya (menggali dan mensosialisasikan nilai kearifan lokal yang sensitif jender), (9) perempuan dan seksualitas, (10) perempuan dan bencana, (11) perempuan dan sumber daya alam, dan (12) perempuan dan globalisasi (Jurnal Perempuan, nomor 48, 2006:128). Tujuan penelitian ini pertama, untuk mengetahui faktor yang menyebabkan keberterimaan perempuan Samin Kudus terhadap budaya lokal (Samin) yang tidak berkeadilan jender. Secara umum dapat dinyatakan bahwa ketidakadilan adalah musuh manusia yang berbudaya, tetapi perempuan Samin Kudus sebagai bagian dari manusia, idialnya menolak ketidakadilan (mungkin) menyimpan faktor dan persoalan tersendiri yang perlu digali agar diperoleh informasi yang proporsional. Kedua, untuk memperoleh pemahaman terhadap dampak yang ditimbulkan keberterimaan perempuan Samin Kudus terhadap budaya dominan dalam memahami kebutuhan hidup-asasinya. Ketika kebutuhan hidup yang asasi (dalam penelitian ini terpilah atas empat hal pokok berupa pendidikan formal, perolehan pekerjaan, perkawinan, dan keberagamaan khususnya dalam khitan) tidak terpenuhi, maka kebahagiaan hakiki pada dasarnya adalah jauh panggang daripada api. Untuk memperoleh realitas riil, perlu digali secara utuh. Ketiga, untuk mendalami strategi yang dilakukan oleh budaya Samin Kudus terhadap perempuannya sehingga mampu mendehumanisasi secara sistemis dalam kurun waktu lama. Penelitian ini memfokuskan empat hal asasi yang diduga melekat pada diri setiap individu (khususnya terhadap perempuan Samin Kudus) dalam hal tidak diperkenankan aktif program pendidikan (formal), pemaksaan terselubung dalam hal perkawinan dan pekerjaan, juga keagamaan (khususnya praktik khitan) untuk dicari kebenarannya. Hal itu pada dasarnya adalah kebutuhan asasi manusia, tetapi karena perempuan dikondisikan oleh doktrin dan budaya untuk ‘nrimo’ dan taat, tanpa diberi kesempatan bertanya dan berbuat, sehingga keterkucilan dan dibodohkan oleh budaya itu sendiri hingga menimbulkan anggapan (hal) biasa. Pada Jurnal Studi Gender Moh. Rosyid dasarnya perlakuan tersebut dapat dikategorikan tindakan kekerasan terhadap perempuan berdasarkan UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga. Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bagi masyarakat yang mengetahui hal tersebut (sebagaimana pasal 7) dan membiarkannya, pada dasarnya (pasifnya) bertentangan dengan pasal 15 bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Sehingga muncul pertanyaan, dampak apa yang diderita perempuan Samin Kudus setelah digencet oleh budaya dominan? Jawaban yang muncul berupa hipotesa yang dijawab dalam buku ini dan mengapa mengulas perempuan? Untuk memeroleh jawabannya, perlu kilas balik terhadap sejarah yuridis kesadaran jender. Dengan memahami strategi yang dilakukan budaya jelata (Samin Kudus) dalam proses dehumanisasi terhadap perempuannya, diharapkan mampu mengurai dan membuat jalan lurus agar keterkungkungan yang diderita perempuan Samin yang menjadi buah bibir publik, jika benar, agar berkesudahan karena unsur yang menyelesaikannya adalah mereka yang memiliki power dan kategori berada dalam budaya dominan. Jika tidak benar, penelitian ini sebagai langkah memperoleh realitas sebenarnya. Begitu pula jika anggapan umum tersebut salah, tentunya publik harus P A L A S T R è N: Vol. 2, No. 2, Desember 2009 185 186 PEREMPUAN SAMIN DI MATA PUBLIK mengakhiri kecurigaan tersebut. Keempat, untuk mengorek peran budaya dominan (budaya elit, budaya santri, dan budaya jelata) terhadap pola dehumanisasi sistemik oleh budaya Samin Kudus terhadap perempuan Samin dalam memenuhi hak hidupnya. Adanya pernyataan bahwa jika budaya dominan mampu berkiprah secara proporsional dalam keterlibatannya mengurai benang kusut kehidupan yang dialami perempuan Samin Kudus oleh budaya jelata (budaya Samin Kudus). Maka kenistaan lambat-laun akan terkikis menjadi kehidupan yang sejahtera. Kelima, untuk mendalami keberadaan budaya dominan dalam melibatkan diri ketika melihat dan menyaksikan terhadap bentuk dehumanisasi sistemik atas perempuan Samin Kudus oleh budaya Samin Kudus sendiri. Keterlibatan budaya santri, budaya elit, dan budaya jelata, dalam menyaksikan bentuk dehumanisasi sistemik atas perempuan Samin Kudus oleh budaya jelata tercipta karena budaya dominan hidup bersama dalam satu kawasan dan dalam satu ekologi budaya. Tetapi seperti apakah keterlibatannya dalam bertindak mengantisipasi dan berbuat untuk meminimalisasi dehumanisasi itu. Jurnal Studi Gender FORMAT PENULISAN Judul Penulis Jelas dan mencerminkan substansi isi. Tulis nama lengkap tanpa gelar. Sertakan riwayat pendidikan tinggi tingkat S1, S2 hingga S3. Cantumkan juga asal institusi penulis berikut jabatannya dan email. Abstrak Abstrak dalam Bahasa Inggris apabila paper ditulis dalam Bahasa Indonesia dan abstrk ditulis dengan Bahasa Indonesia apabila paper ditulis dalam Bahasa Asing (Arab/Inggris). Abstrak diketik 1 spasi kurang lebih 250 karakter. Pendahuluan Mencakup pengantar, permasalahan, kerangka teori yang dipakai dan metodologi kajian lebih rinci. Pembahasan Mencakup substansi kajian, yang meliputi berbagai sub pokok bahasan sesuai tema yang terkait dengan mengedepankan analisa kritis sehingga kontribusi penulis pada posisi yang jelas. Simpulan Merupakan rumusan singkat hasil pembahasan diketik maksimal 1 halaman . Daftar Pustaka Daftar pustaka diketik 1 spasi Keterangan: 1. Naskah merupakan hasil kajian sosial keagamaan, bisa berupa hasil penelitian ataupaun kajian teks yang berhubungan dengan isu-isu perempuan atau gender. 2. Naskah merupakan karya orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan. 3. Panjang naskah antara 20-25 halaman diketik 1,5 spasi kertas A4. 4. Untuk naskah ”Bedah Buku” diharapkan menyertakan hasil scan cover buku aslinya. 5. Serahkan kepada redaksi dalam bentuk soft copy atau dikirim langsung melalui email: [email protected] 6. Sumber kutipan ditulis dalam bentuk (midle notes) dengan ketentuan sebagai berikut: Dari buku ditulis seperti contoh: Marisa Rueda, dkk, Feminisme Untuk Pemula, (Yogyakarta: Resist Books, 2007) hlm. 3; (ditulis Marisa Rueda, dkk, 2007: 3). 7. Daftar pustaka ditulis mengikuti format penulisan yang sudah baku. 8. Apabila naskahnya dimuat, penulis berhak mendapat hard copy sebanyak 3 (tiga) eksemplar.