Pembangunan Pertanian

advertisement
Pembangunan Pertanian dan
Liberalisasi Perdagangan 1
Oleh
Tito Pranolo
As a market participant, I try to maximize my profit.
As a citizen, I am concerned about social values : peace, justice, freedom, or whatever.
I cannot give expression to those values as a market participant.
(george soros, 1998)
Pendahuluan
Kebijaksanaan nasional pembangunan pertanian di suatu negara tentunya tidak lepas
dari pengaruh faktor-faktor eksternal, apalagi dalam era globalisasi yang di cirikan adanya
keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas, akan sulit ditemukan adanya
kebijaksanaan nasional pembangunan pertanian yang steril dari pengaruh-pengaruh faktor
eksternal. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kebijaksanaan nasional pembangunan
pertanian di Indonesia antara lain adalah; (i) kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti
WTO, APEC dan AFTA; (ii) kebijaksanaan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara
mitra perdagangan indonesia; (iii) lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan
kepada Indonesia terutama dalam masa krisis.
Dalam situasi normal dimana tidak terjadi krisis, maka 2 (dua) faktor pertama itulah
yang lebih banyak mempengaruhi kebijaksanaan pembangunan pertanian, namun dalam situasi
krisis seperyi pada saat ini pengaruh darti lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank
Dunia akan lebih besar dari pada kesepakatan-kesepakatan internasional seperti WTO, APEC
dan AFTA, dalam mewarnai kebijaksanaan pangan nasional.
Di akhir tahun 1995 dan awal 1996, Indonesia dan negara- negara Asia lainnya mulai
memasuki awal dari krisis. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari depresiasi rupiah, merosotnya
indeks saham di Bursa Efek Jakarta, meningkatnya jumlah hutang luar negeri, meningkatnya
defisit neraca perdagangan yang pada akhirnya menulai tampak berkurangnya tingkat
kepercayaan pada perekonomian.
Pada akhir tahun 1997, pemerintah Indonesia pada akhirnya meminta bantuan kepada
IMF dan Bank Dunia untuk menstabilkan kondisi perekonomian nasional. Kedua lembaga
donor tersebut pada akhirnya memberikan komitmen bantuannya berupa "stabilization
package" senilai US$ 43 milyar. Sebagai imbalannya IMF meminta Indonesia untuk melakukan
reformasi di bidang kebijaksanaan ekonomi makro. Perubahan kebijaksanaan ekonomi makro
Indonesia dibawah komitmen dengan IMF ini hingga tahap tertentu membawa pengaruh pada
perubahan kebijaksanaan pembangunan pertanian.
Komitmen Indonesia dengan IMF pada tanggal 15 Januari 1998, mensyaratkan adanya
penurunan tariff untuk semua jenis pangan menjadi maksimun sebesar 5%. Di bidang
perdagangan dalam negeri komitmen dengan IMF itu berarti pemerintah menghapuskan semua
pembatasan investasi untuk perdagangan eceran (retail) dan perdagangan besar (wholesale)
Makalah disampaikan pada Konpernas XIII Perhepi, Jakarta 12 Pebruari 2000
1
serta memberikan perlakuan yang sama, baik dalam kegiatan impor mapun distribusi pangan
domestik terhadap BULOG maupun swasta.
Dilain pihak Indonesia juga telah terikat dalam perjanjian pertanian (Agreement on
Agriculture) di WTO yang dicerminkan dalam schedule of commitment Indonesia, disamping
itu kendati sidang WTO di Seattle gagal untuk mengambil keputusan tentang adanya millenium
round. Namun khusus untuk sektor pertanian dan perdagangan jasa perundingan akan tetap
berjalan karena mandat bagi berlanjutnya negosiasi pada kedua bidang tersebut tidak
tergantung dari sidang WTO di Seattle, melainkan pada kesepakatan WTO di Marrakesh tahun
1994.
Dengan demikian kebijaksanaan pembangunan pertanian di Indonesia mau tidak mau
harus mempertimbangkan pengaruh dari kesepakatan IMF dan perkembangan di WTO. Sampai
sejauh mana kesesuaian antara komitment Indonesia di WTO dan IMF, serta bagaimana posisi
Indonesia dalam bagaimana posisi Indonesia dalam perundingan pertanian yang akan datang,
akan sangat dipengaruhi oleh pilihan kebijaksanaan pebangunan pertanian Indnesia pada saat
ini. Tulisan ini bermaksud memberikan gambaran tentang kesepakatan WTO, situasi
perdagangan dunia dan menyampaikan butir-butir penting dari persfektif internasional bagi
pembangunan pertanian di Indonesia
PERJANJIAN PERTANIAN DI WTO
Hingga tahun 1985, ketentuan-ketentuan GATT dapat dikatakan tidak berjalan secara
effektif terutama untuk mengatur perdagangan internasional komoditas pertanian. Penggunaan
subsidi ekspor telah mendominasi perdagangan internasional untuk komoditas pertanian,
sementara restriksi impor juga merupakan fenomena yang sama pada perdagangan pertanian
dunia. Putaran Uruguay yang berlangsung mulai tahun 1986 hingga tahun 1994 berupaya untuk
menerapkan aturan di bidang perdagangan internasional untuk sektor pertanian agar sama
dengan aturan yang berlaku untuk sektor lainnya.
Upaya untuk menerapkan aturan perdagangan internasional yang sama bagi komoditas
pertanian dengan produk-produk industri merupakan faktor utama yang membuat negosiasi
dalam putaran Uruguay berlangsung lambat. Hal ini mengingat harus pula disadari bahwa
berbeda dengan sektor lainnya, pertanian pada dasarnya bersifat multi dimensional dengan
kemungkinan dampak politis dan sosial yang cukup luas, kegiatan di sektor pertanian
merupakan kegiatan yang tidak saja menyentuh kegiatan ekonomi, tetapi juga sosial dan
kultural ( Kartadjoemena, H.S., 1997).
Melalui berbagai kompromi dalam negosiasi pada akhirnya perdagangan produkproduk pertanian dunia pada saat ini telah mengikuti sistem perdagangan multilateral.
Perjanjian Pertanian (agreement on agriculture) ditambah dengan komitmen masing-masing
negara untuk mengurangi tingkat subsidi ekspor, subsidi domestik dan penghapuan pembatasan
impor telah menghasilkan reformasi komprehensif dalam perdagangan produk-produk
pertanian dunia.
Dalam menerapkan liberalisasi ini, Perjanjian Pertanian (agreement on agriculture)
menentukan program peningkatan market access. Secara spesifik Perjanjian Pertanian memuat
komitmen untuk mengadakan liberalisasi dengan komitmen untuk menyusun schedule tariff
dan mengadakan konversi proteksi dari kebijaksanaan non-tariff menjadi tariff pada tingkat
proteksi yang setara.
2
Dalam upaya mengurangi distorsi non-tariff yang dilakukan adalah penerapan aturan
permainan GATT. Mengingat berbagai jenis intervensi yang sifatnya beraneka ragam dan
menimbulkan distorsi yang sangat besar dalam perdagangan internasional di bidang pertanian,
maka perjanjian pertanian merumuskan cara dan aturan permainan yang bertujuan untuk
menurunkan sejumlah subsidi yang menimbulkan distorsi. Upaya liberalisasi dan pengurangan
distorsi tersebut, secara ringkas dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis pokok tindakan dan
kebijaksanaan yaitu market access, domestic support dan export subsidy.
Market Access Commitment
Market Access Commitment ini meliputi 3 (tiga) aspek yakni (a) Comprehensive Tariffication,
(b) Current and Minimum Access, (c)Tariff Reduction sebagai berikut:
a. Comprehensive Tariffication pada prinsipnya adalah Tariffication without exception,
dimana mengubah kebijaksanaan semua bentuk non-tariff Measures (NTM) menjadi
tariff ekivalen, proses ini dikenal sebagai proses tariffikasi. Dengan kata lain di sektor
pertanian proteksi masih boleh dilakukan, hanya saja proteksi dalam bentuk hambatan
perdagangan hanya dapat dilakukan melalui tariff, bentuk lain diluar tariff tidak boleh
dilakukan dan harus diubah dalam bentuk tariff, tanpa mengurangi tingkat proteksinya.
Sebagai illustrasi, apabila pada suatu negara di terapkan hambatan non tariff berupa
kuota untuk suatu komoditas, hingga terjadi perbedaan harga domestik dan harga
internasional untuk komoditas bersangkutan sebesar 30%, maka pemerintah dari negara
tersebut harus menghapus kebijaksanaan kuota dan mengganti dengan tariff maksimum
sebesar 30%.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan non-tariff tersebut yang harus di konversikan dalam
benruk tariff menurut ketentuan Perjanjian Pertanian antara lain meliputi:
"quantitative import restriction, variable import levies, minimum import prices,
discretionary import licensing, non-tariff measures maintained through state trading
enterprise, voluntary export restraints and similar derogations from the provisions of
the GATT 1947, but not measures maintained under balance of payments provisions
or under order general, non-agriculture-specific provisions of the GATT 1994 or of
the other Multilateral Trade Agreements in Annex 1A to the WTO". (Footnote dari
Part III, Article 4 (2) tentang Market Access dalam Agreement on Agriculture)
Hal ini merupakan suatu perkembangan baru, mengingat di sektor manufaktur
sekalipun prinsip dari comprehensive tariff ication ini belum dilaksanakan, kendati
tingkat proteksi disektor manufactur lebih rendah dari tingkat proteksi di sektor
pertanian (Kartadjoemena, H.S. , 1997).
b. Current and Minimum Access; bila suatu negara melakukan proses tarifikasi, maka
negara tersebut terkena ketentuan untuk memberikan akses pasar. Akses pasar ini dapat
berupa current access yakni mempertahankan tingkat volume impor pada tahun dasar
1986-1988 atau berupa minimum access sebesar 3% dari tingkat konsumsi domestik
pada awal tahun implementasi (1995) dan meningkat menjadi 5% dari tingkat konsumsi
pada akhir tahun implementasi (2004).
c. Tariff Reduction; merupakan komitmen untuk menurunkan tariff rata-rata (simple
average) sebesar 36% atau minimal 15% untuk setiap mata tariff dalam jangka waktu 6
3
tahun. Khusus negara-negara berkembang penurunan tariff sebesarb 24% atau minimal
10% untuk setiap mata tariff dalam jangka waktu 10 tahun.
Domestic Support Commitment
Ketentuan mengenai domestic support menyangkut komitment kebijaksanaan dalam bentuk
penurunan subsidi untuk produksi maupun dalam bentuk pengalihan (transfer) dana kepada
produsen. Subsidi yang diberikan kepada petani khususnya di negara maju semakin meningkat,
sehingga timbul berbagai macam jenis subsidi baik yang diberikan untuk satu sektor maupun
untuk semua sektor. Subsidi tersebut apabila diterapkan secara berlebihan akan menimbulkan
distorsi pasar dalam negeri dan menyulitkan masuknya impor walaupun tingkat tariff yang
dikenakan rendah.
Perjanjian Pertanian tidak melarang semua bentuk subsidi kepada produsen tetapi menentukan
disiplin yang lebih teratur dalam subsidi domestik. Pada prinsipnya terdapat 2 (dua) bentuk
subsidi, yakni subsidi yang diperbolehkan dan subsidi yang terkena komitmen pengurangan.
Kategori subsidi yang diperbolehkan ini dikenal sebagai kategori green box. Kriteria untuk
mengkategorikan subsidi tersebut masuk dalam kategori green box adalah bahwa
kebijaksanaan subsidi tersebut mempunyai dampak distorsi minimal terhadap perdagangan dan
secara sosial dan politis diperlukan.
Jenis-jenis atau bentuk subsidi yang termasuk dalam kelompok program pemerintah
(government service programmes) adalah;
"general services, public stockholding for food security purposes, domestic food aid, direct
payment to producers,decouple income support, goverment financial participation in income
insurance and income safety net programmes, payment for relief from natural disaster,
structural adjustment assistance provided through retirement programmes, structural
adjustment assistance provided through investment aids, payment under enviromental
programmes, payment under regional assistance programmes,"
Disamping itu terdapat jenis subsidi yang menimbulkan dampak distorsi sehingga perlu
dilakukan pembatasan. Kategori subsidi yang dibatasi ini dikenal sebagai amber box ini antara
lain kebijaksanaan subsidi di luar green box. Subsidi dalam katagori amber box ini dikenakan
pengurangan tingkat subsidi, termasuk di dalamnya antara lain adalah; market price support
(perbedaan harga domestik dengan harga internasional), direct payment to producers, input
and marketing cost reduction.
Menurut ketentuan dalam perjanjian pertanian kewajiban negara-negara maju adalah
menurunkan tingkat subsidi dalam amber box sebesar 20% dan harus dilaksanakan dalam
kurun waktu 6 tahun dengan tahun dasar 1986-1988. Apabila subsidi dalam kategori amber
box ini hanya mencapai 5% dari nilai produksi, maka tidak terkena ketentuan penurunan
subsidi (de minimis).
Untuk negara-negara berkembang diberikan keringanan kewajib an menurunkan subsidi
domestik sebesar 2/3 dari kewajiban negara-negara maju, yakni 13,33%. Sedangkan batas
minimal subsidi yang tidak perlu dilakukan penurunan subsidi adalah sebesar 10% dari nilai
produksi pertanian.
4
Melihat jenis-jenis subsidi yang tergolong di green box, maka tampak bahwanya ada upaya
kuat untuk melakukan legitimasi kebijaksanaan subsidi di negara-negara maju di WTO
terutama di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa
penurunan subsidi di Eropa dan Amerika Serikat akan sangat kecil, akibatnya tidak akan
banyak pengaruhnya dalam perdagangan internasional.
Export Subsidy Commitment
Perjanjian dibidang pertanian juga menentukan disiplin dalam kebijaksanaan dan tindakan yang
menyangkut bantuan terhadap ekspor dalam bentuk subsidi ekspor. Pengurangan subsidi
ekspor ini dilakukan dalam bentuk volume komoditi yang diekspor maupun dalam bentuk nilai
(budgetary
Untuk pengurangan dalam bentuk nilai (budgetary) ditentukan kewajiban penurunan sebesar
36% dan penurunan kuantitatif volume sebesar 21% dari total ekspor dalam kurun waktu 6
tahun dengan menggunakan base periode 1980-1990. Sedangkan untuk negara berkembang
kewajiban pengurangan budgetary outlays adalah sebesar 24% dan kewajiban pengurangan
volume adalah sebesar 14% dalam jangka waktu 10 tahun.
Pengertian tentang subsidi ekspor diatur dalam pasal 9 perjanjian pertanian yang meliputi:
payment in kind, export from stock with financial assistance, producer financed export
subsidies, export marketing cost subsidies, transportation subsidies and subsidies
incorporation into tax.
Tabel 1
Ringkasan Ketentuan Perjanjian Pertanian
Tariff (Bea Masuk Impor)
Rata-rata penurunan tariff untuk seluruh produk
pertanian
Penurunan tariff minimum per produk
Domestic Support (tahun dasar: 1986-88)
Pernurunan Subsidi
Export Subsidies (tahun dasar : 1986-90)
Penurunan Nilai Subsidi
Penurunan Volume Subsidi
Negara Maju (6
tahun : 1995-2000)
Negara Berkembang
(10 tahun: 1995-2004)
36 %
24 %
15 %
10 %
20 %
13 %
36 %
21 %
24 %
14 %
Millenium Round
Pada tanggal 1 Desember 1999, di Seattle mulai melakukan perundingan pada masing-masing
working group untuk merumuskan deklarasi yang draftnya telah di siapkan terlebih dahulu di
Jenewa. Charlene Barshefsky, pimpinan sidang menyampaikan agar delegasi masing-masing
negara dalam mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam working group adalah para
pejabat senior yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, termasuk kewenangan
untuk mengubah posisi dari apa yang telah disepakati pada pertemuan pendahuluan di Jenewa
(WTO Briefing Note).
Working group untuk sektor pertanian dipimpin oleh George Yeo dari Singapura, dalam
working group ini di bahas 4 (empat) hal penting, yakni: (a) Tujuan dari perundingan pertanian
- dimana terdapat usulan bahwa produk-produk pertanian harus diperlakuan sama dengan
produk-produk industri, (b) Pasal-pasal yang berkaitan dengan kepentingan negara-negara
5
berkembang; (c) Pengurangan lebih lanjut pada subsidi dan proteksi; (d) Multifunctionality aspek- aspek diluar perdagangan seperti lingkungan hidup, ketahanan pangan dan sebagainya.
Diskusi pada akhirnya bermuara pada terbentuknya 2 (dua) kelompok besar, meskipun masingmasing negara memberikan penekanan pada aspek yang berbeda-beda. Kelompok pertama
adalah kelompok yang setuju pada tujuan akhir dari perundingan pertanian adalah menjadikan
produk-produk pertanian diperlakuan sama dengan produk-produk industri, penghapusan total
subsidi ekspor, subsidi domestik hanya dapat diberikan melalui kebijaksanaan yang tidak
menimbulkan distorsi pasar, dan pembukaan akses pasar secara substansial.
Kelompok kedua, adalah kelompok yang berpengang pada prinsip bahwa pertanian adalah
berbeda dengan sektor lainnya, sehingga produk-produk pertanian tidak dapat diperlakukan
sama dengan produk-produk industri, kelompok ini juga tidak dapat menerima usulan
penghapusan subsidi ekspor, dan menekankan perlunya untuk mempertimbangkan aspek
multifunctionality dalam sektor pertanian.
SITUASI PERDAGANGAN
KOMODITAS PERTANIAN DUNIA
Dominasi Negara Maju
Diskusi tentang manfaat dari liberalisasi perdagangan komoditas pertanian telah banyak dibuat,
pada umumnya sebagian besar kajian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan akan
memperbaiki ekonomi global. Namun bagaimana manfaat tersebut terdistribusi antar negara,
masih merupakan tanda tanya besar.
Perdagangan produk-produk pertanian dunia yang merupakan bagian terbesar dari
perdagangan ekspor komoditas primer, pada tahun 1988 diperkirakan mencapai US$ 553
milyar, atau sekitar 52.4% dari total ekspor komoditas primer dan 10.5% dari total
perdagangan barang dunia (WTO Annual Report 1999).
Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa merupakan pelaku utama dalam ekspor
perdagangan komoditas pertanian. Ekspor komoditas pertanian Amerika Serikat pada tahun
1998 mencapai US $69.85 milyar atau 12.6% dari total ekspor komoditas pertanian dunia,
merupakan negara pemegang pangsa pasar terbesar.
Dari Tabel 2 Diatas tampak bahwa negara-negara maju mendominasi perdagangan komoditas
pertanian dunia, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Dengan demikain besar
kemungkinannya bahwa negara-negara tersebut yang mampu meraih manfaat dari globalisasi
dan liberalisasi perdagangan, mengingat mereka telah memilki jangkauan global. Sedangkan
negara-negara berkembang yang belum memiliki jangkauan global akan tetap sulit untuk dapat
meraih manfaat dari globalisasi.
Illustrasi berikut ini mungkin dapat memberikan gambaran bagaimana Amerika Serikat sebagai
pemegang pangsa pasar terbesar untuk ekspor komoditas pertanian meraih manfaat dari
pembukaan pasar oleh perjanjian pertanian di WTO. Beras merupakan salah satu komoditas
ekspor Amerika Serikat, 45% dari total produksi domestik Amerika Serikat digunakan untuk
kegiatan ekspor. Ekspor beras Amerika kepasar dunia pada tahun 1998 mencapai 6.98 juta ton
atau senilai US$ 1.2 milyar, jumlah ini meningkat dari hanya US $ 801 juta pada tahun 1990.
6
Tabel 2
Nilai Ekspor-Impor dan Pangsa Pasar
Negara-Negara Eksportir dan Importir Utama Komoditas Pertanian
Negara
Amerika Serikat
Perancis
Belanda
Kanada
Jermany
Belgia-Luxembourg
Inggris
Spanyol
Itali
Brazil
Australia
China
Argentina
Denmark
Thailand
Ekspor
Nilai (US$
Milyar)
69,85
41,06
34,74
30,02
29,64
20,53
19,49
17,47
17,08
17,07
14,97
14,31
13,51
12,12
11,46
Pangsa
Pasar (%)
12,6
7,4
6,3
5,4
5,4
3,7
3,5
3,2
3,1
3,1
2,7
2,6
2,4
2,2
2,1
Impor
Nilai (US$
Milyar)
Amerika Serikat
62,40
Jepang
56,59
Jerman
48,89
Inggris
35,29
Perancis
33,18
Itali
32,06
Belanda
21,22
Belgia-Luxembourg
20,45
Spanyol
18,12
Federasi Russia
14,50
Kanada
13,99
Hongkong-China
12,70
China
12,61
Mexico
9,57
Retained imports
6,92
Korea
9,31
Negara
Pangsa
Pasar (%)
10,6
9,6
8,3
6,0
5,6
5,4
3,6
3,5
3,1
2,5
2,4
2,1
1,6
1,2
1,6
Sumber : WTO Annual Report 1999
Semenjak implementasi kesepakatan putaran Uruguay dan NAFTA, nilai ekspor beras Amerika
Serikat ke Meksiko meningkat dari US $ 38 juta pada tahun 1990, meningkat hingga mencapai
US$ 91 juta pada tahun 1998. Demikian juga halnya dengan ekspor beras Amerika Serikat Ke
Jepang yang mengalami peningkatan secara dramatis dari nilai ekspor kurang dari US$ 1 juta
pada tahun 1990, menjadi tidak kurang dari US$ 116 juta pada tahun 1998.
Kesepakatan Uruguay, memang memberikan peluang bagi terbukanya pasar beras domestik di
beberapa negara yang semula relatif tertutup. Jepang misalnya membuka pasar beras
dometiknya sebasar 1.2 juta ton untuk beras impor mulai tahun 1995 dan meningkat terus
hingga mencapai 1.5 juta ton pada tahun 2001, Korea Selatan juga melakukan hal yang sama,
untuk tahun 1995 pasar beras domestik dibuka sebesar 110,000 ton bagi beras impor dan
meningkat menjadi 450.000 ton pada tahun 2004. Berdasarkan kesepakatan NAFTA, melalui
preferensi tariff Amerika Serikat dapat meningkatkan pangsa pasarnya dari 40% pada tahun
1992 menjadi 99 % pada tahun 1998.
Proteksi dan Subsidi Negara Maju
Pada saat ini rata-rata tariff bea masuk untuk produk-produk manufaktur telah mengalami
penurunan dratis hingga mencapai tingkat 5%, sementara tingkat tariff bea masuk untuk
produk-produk pertanian rata-rata baru mencapai tingkat 40%, masih jauh diatas tariff produkproduk manufaktur. Inilah yang seringkali dipersoalkan dalam negosiasi pertanian, sehingga
tuntutan untuk mengurangi tariff bea masuk merupakan agenda yang tidak pernah selesai
dalam WTO.
Hambatan impor hanya merupakan salah satu bagian saja dari persoalan yang lebih besar dari
intervensi dalam pasar produk-produk pertanian. Domestic Support dan Export Subsidy
merupakan persoalan yang lebih besar kalau tidak dapat dikatakan terbesar dalam liberalisasi
7
perdagangan produk-produk pertanian. OECD memperkirakan negara-negara maju
membelanjakan subsidi untuk sektor pertanian mencapai $ 362.4 milyar pada tahun 1998. Dari
jumlah tersebut Uni Eropa membelanjakan subsidi pertanian sebesar US$ 42,2 milyar, diikuti
oleh Amerika Serikat dan Kanada sebesar US$ 101,5 milyar dan Jepang sebesar US$ 56,8
milyar.
Tabel 3.
Biaya Proteksi Produk-Produk Pertanian
di Negara Negara maju tahun 1998
Amerika Serikat dan Kanada
Uni Eropa
Jepang
Total
Nilai (Milyar US.$)
101.5
142.2
56.8
362.4
Sumber : OECD, Agricultural Policies in OECD Countries, 1999
Akibat dari pola intervensi tersebut adalah terjadinya surplus produksi dan harga komoditas
pertanian menjadi rendah secara artificial di pasar dunia dan instabilitas harga tetap terjadi,
dilain pihak dipasar domestik harga pangan relatif menjadi tinggi. Proteksi yang dilakukan
Jepang terhadap beras, pisang di Eropa dan gula di Amerika Serikat merupakan bukti nyata
bahwa negara-negara maju justru memberikan proteksi yang berlebihan di banding dengan
negara berkembang.
Subsidi ekspor merupakan salah satu hal yang paling menonjol dalam perdagangan
internasional di sektor pertanian. Negara yang paling banyak melakukan subsidi ekspor adalah
Uni Eropa, sekitar 83% dari total ekspor subsidi dunia dilakukan oleh Uni Eropa, yang
mencapai 60 kali lipat dari ekspor subsidi yang dilakukan oleh Amerika Serikat (Baucus, M.,
1999). Nilai subsidi ekspor yang dibelanjakan oleh Uni Eropa mencapai $ 7 milyar pertahun
dan amerika serikat sekitar US$ 122 juta per tahun (Dorgan, B and Craig, L., 1999).
Masalah subsidi ekspor ini sebenarnya merupakan perang dagang antara Amerika Serikat
dengan Uni Eropa semenjak dasawarsa 1980-an, pada saat itu kedua negara terlibat dalam
perang harga gandum. Pada dekade berikutnya, pangsa pasar Amerika Serikat dalam perdagangan gandum dunia mengalami penurunan drastis, sementara pangsa pasar Uni Eropa
mengalami peningkatan yang sangat pesat. Uni Eropa yang semula adalah net impotir gandum,
berubah secara dramatis menjadi eksportir gandum terbesar di dunia. Apa yang dapat di capai
Uni Eropa ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan teknologi atau dayasaing, melainkan
karena kebijaksanaan subsidi ekspor.
Peran State Trading Enteprises
Sementara itu kendati WTO bertujuan agar terlaksananya perdagangan bebas, namun hingga
tahap tertentu pengaturan perdagangan oleh pemerintah melalui pemberian hak-hak khusus
kepada perusahaan negara, swasta maupun lembaga-lembaga pemerintah masih di izinkan
asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam ketentuan WTO.
Salah satu bentuknya adalah dengan mengizinkan beroperasinya state trading enterprise,
sesuai dengan artikel XVII GATT. Artikel XVII GATT 1994 pada prinsipnya mengatur bahwa
8
state trading enterprise dalam melakukan operasinya harus mengacu pada prinsip non
diskriminasi dan seluruh transaksinya didasarkan pada semata- mata pertimbangan komersial.
Hingga akhir tahun 1995-1996 terdapat 30 negara yang telah melaporkan kepada sekretariat
WTO bahwa di negaranya mengoperasikan state trading entrerprise, negara-negara tersebut
antara lain adalah Amerika Serikat, negara-negara di Eropa Barat dan Eropa Timur, serta
beberapa negara Asia. Satu fenomena yang menarik adalah pengoperasian state trading
enterprise ini sangat meluas terdapat di negara-negara maju maupun berkembang, baik di
negara liberal maupun sosialis. Jumlah State Trading Enterprises yang dilaporkan oleh ke-30
negera anggota WTO tersebut mencapai hampir 100 buah State Trading Enterprises yang
bergerak dalam komoditas pertanian.
Pengertian dari State Trading Enterprises itu sendiri mengalami perkembangan dan perubahan
dari waktu kewaktu, Hazard (1959) melihat State Trading Enterprises sebagai kegiatan
pemerintah dalam perdagangan internasional, Baldwin (1970) bahkan lebih fokus lagi melihat
State Trading Enterprises sebagai monopoli pemerintah dalam perdagangan internasional,
sedangkan Ghai (1973) mewakili pandangan umum yang memandang hari kepemilikikan
dimana State Trading Enterprises adalah suatu perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah.
Pandangan yang mirip dengan WTO muncul dari Kostecki (1982) yang melihat State Trading
Enterprises tidak dari kepemilikan, melainkan dari peran pemerintah dalam mengendalikan
ekspor dan impor.
Dalam kerangka perdagangan internasional menurut ketentuan WTO, pengertian dari State
Trading Enterprises adalah "... governmental and nongovernmental enterprises, including
marketing boards, which have granted exclusive or special rights or priviliges, including
statutory or constitutional powers, in the excercises of which they influence through their
purchases or sales the level or the direction of omports or exports ..." (World Trade
Organization. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations: The
Legal Text, Geneva, Switzerland, 199,pp. 509-511).
Kata kunci dari defenisi tersebut adalah badan tersebut memiliki hak-hak khusus yang diberikan
oleh pemerintah (exclusive or special rights or priviliges), dan aktivitas badan tersebut dapat
mempengaruh arah dan besaran impor atau ekspor. Peran lembaga semacam ini yang
mempunyai exclusive or special rights or priviliges dari pemerintah yang dalam ketentuan
WTO disebut sebagai State Trading Enterprises dalam perdagangan dunia tidak dapat
dikatakan kecil.
Kehadiran state trading enterprise kendati legal di WTO, namun senantiasa mengundang
kontroversi, untuk state trading enterprise yang berorientasi kepada ekspor, selalu
dipertanyakan kemungkinannya untuk menggunakan hak-hak ekslusif seperti monoponi pasar
domestik (pembeli tunggal di pasar domestik) dan monopoli ekspor (berperan sebagai ekspotir
tunggal), dengan demikian keunggulan state trading enterprise di pasar dunia seringkali
dipertanyakan apakah memang mereka mempunyai keunggulan kompetitif. Komoditas padipadian (utamanya gandum) dan produk-produk perternakan merupakan produk utama ekspor
yang umum ditangani oleh state trading enterprise orientasi ekspor. Laporan WTO,
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 16 state trading enterprise yang mengekspor gandum dan
10 state trading enterprise yang mengekspor produk-produk perternakan, diantara state
trading enterprise tersebut yang paling menonjol adalah the Australian Wheat Board dan
Canadian Wheat Board.
9
Dalam perdagangan gandum dunia misalnya, sekitar 40% dari ekspor gandum dunia dilakukan
oleh State Trading Enterprises. Bahkan selama periode 1993/94-1997/98, terdapat 2 (dua)
State Trading Enterprises besar - the Australian Wheat Board dan Canadian Wheat Board menguasai sekitar 32% dari total ekspor gandum. Dalam kegiatan impor gandum untuk tahun
1997/98, 50% dari total impor gandum ditangani oleh State Trading Enterprises (Ackerman, K
Z. and Dixit, P.M. 1999).
Untuk produk-produk peternakan, New Zealand Dairy Board merupakan state trading
enterprise terbesar yang mengendalikan 30% ekspor dunia untuk produk-produk peternakan,
selanjutnya diikuti oleh the Australian Dairy Corporation dan Polish Agricultural Marketing
Agency, kendati kedua state trading enterprise yang terkahir tersebut tidak sepenuhnya
melakkan monopoli ekspor.
Beras yang merupakan bahan pangan pokok bagi penduduk di kawasan Asia, adalah
merupakan salah satu komoditas yang paling diatur oleh pemerintah yang pada umum
dilakukan melalui STE. Ekspor beras yang dilakukan oleh State Trading Enterprises ini
meliputi 50% dari total ekspor beras dunia, sedangkan impor beras yang dilakukan oleh State
Trading Enterprises mencakup sekitar 30% dari total impor beras dunia (Ackerman, K.Z. and
Dixit, P.M. 1999).
Thailand sebagai eksportir beras terbesar yang menguasai sekitar 25% dari perdagangan beras
dunia, memang tidak menggunakan State Trading Enterprises sebagai eksportir tunggal.
Namun Vietnam sebagai negara pengekspor beras terbesar kedua yang menguasai 14% dari
pasar dunia, mengoperasikan State Trading Enterprises. Negara lain yang menggunakan State
Trading Enterprises dalam melaksanakan ekspor berasnya adalah Australia (New South Wales
Corporation) dan Cina, kedua negara tersebut menguasai masing-masing 3% dan 6% dari total
perdagangan beras dunia.
Pembangunan Pertanian
Sejarah perekonomian dunia sebenarnya telah memberikan pelajaran bagi kita semua bahwa
tidak ada negara besar di dunia ini yang kuat tanpa di dukung oleh pertanian yang tangguh.
Kenyataaan menunjukkan bahwasanya negara-negara di Eropa Timur dan Uni Soviet pada
akhirya harus menerima terjadinya disintegrasi karena lemahnya daya dukung sektor pertanian,
negara-negara di kawasan afrika juga mengalami kesulitan dalam membangun bangsanya,
hanya karena sektor pertanian tidak dapat mendukung ketahanan pangan sebagai landasan
pembangunan.
Bagi Indonesia, dimana sumberdaya alam merupakan keunggulan komparatifnya, maka sudah
sepantasnya jika pembangunan nasional didasarkan pada pengelolaan sumberdaya alam
tersebut. Pertanian merupakan salah satu sumberdaya alam dimana Indonesia mempunyai
keunggulan komparatif, disamping itu bagian terbesar penduduk Indonesia juga hidup dan
bermata pencaharian di sektor tersebut, fenomena kemiskinan juga banyak terjadi di sektor
pertanian. Dengan demikian apabila sektor pertanian dijadikan landasan bagi pembangunan
nasional dimana sektor-sektor lain menunjang sepenuhnya, sebagian besar masalah yang
dihadapi oleh masyarakat akan dapat terpecahkan.
Disamping itu orientasi pembangunan pertanian juga perlu disesuaikan dengan perkembangan
yang terjadi, apabila pada waktu yang lalu lebih banyak berorientsai pada pengembangan
komoditas, maka kini harus lebih berorientasi pada petani. Namun demikian harus sepenuhnya
di sadari bahwa dalam menyusun kebijaksanaan pembangunan pertanian hanya memperhatikan
10
potensi sumberdaya alam dan kepentingan produsen semata-mata, melainkan juga pengaruh
dari perdagangan dunia dan kebijaksanaan pembangunan pertanian di negara mitra dagang.
Pandangan dari Partai Politik juga tidak jauh berbeda dengan pandangan dari pemerintah
maupun para pengamat ekonomi, Imam Churmen (1999) dari PKB menyatakan bahwa di
perlukan komitmen dari semua pihak untuk menempatkan sektor pertanian sebagai sektor
prioritas pembangunan yang dicerminkan dalam anggaran pemerintah. Nawir Messi (1999) dari
PAN, menegaskan bahwasanya petani harus di tempatkan sebagai pelaku dan bukan sematamata sebagai objek pembangunan.
Namun demikian ekonomi politik dari liberalisasi perdagangan di satu negara akan sangat
tergantung dari kebijaksaan liberalisasi perdagangan pararel yang dilaksanakan oleh negara
mitra dagangnya. Cara yang ditempuh agar liberalisasi pararel tersebut terwujud, antara lain
adalah melalui aksi pertukaran (recipocity) dalam negosiasi perdagangan, sebagai contoh
Amertika Serikat akan menghapuskan kebijaksanaan kuota tekstilnya - yang tentunya akan
menguntungan negara-negara berkembang - namun melalui pertukaran dengan meminta
konsesi dari negara-negara lain berupa penerapan intectual property rights (Bregsten. C.F
1999.)
Orientasi Pada Petani
Adanya komitmen untuk melakukan pertanian sebagai landasan pembangunan dengan orientasi
petani, maka pada tahap awal yang harus di ketahui adalah kondisi petani pada saat ini. Hasil
survey terakhir yang dilakukan di 11 desa produsen beras di 6 propinsi menunjukkan
bahwasanya rata-rata pendapatan keluarga tani di Indonesia pertahun adalah sebesar Rp 6.7
Juta, dimana 42% dari pendapatan tersebut berasal dari usahatani. Selebihnya berasal dari luar
usahatani, yang menarik adalah kendati survei ini dilakukan di desa produsen padi, namun
pendapatan dari pertanian padi hanya sebesar 16% dari total pendapatan. Rumah tangga tani
diluar Jawa tampak lebih tergantung dari pendapatan pertanian dan khususnya pertanian padi di
bandingan dengan rumah tangga tani di Jawa.
Tabel 4
Struktur Pendapatan Keluarga Tani di Jawa dan Luar Jawa
(dalam %)
Pendapatan
1. Pertanian
a. Padi
b. Non-Padi
c. Peternakan
d. Perikanan
2. Off-farm Labors
Pendapatan KK per tahun (Rp 000)
Wilayah
Jawa
25.8
16.6
4
5.2
0
38.1
5,912
luar Jawa
53.3
29.1
16.8
7.3
0.1
27.2
7,511
Indonesia
42.3
24.1
11.7
6.5
0.1
31.6
6,776
Sumber: Steven Mink, Hania Rahma and Bambang Utama. Tables : Discussion of Preliminary
Results Related to Rice PATAS 1999 Rural Household Survey, World Bank Office.Jakarta 2
February 2000
Dominannya pendapatan diluar usahatani dari rumah tangga tani tampaknya merupakan suatu
gejala yang umum, di Amerika Serikat misalnya, untuk tahun 1997 pendapatan rumah tangga
tani yang berasal dari usahatani hanya 11.4%, dan dalam kurun waktu antara tahun 1992
11
hingga tahun 1997, pendapatan dari usahatani dalam rumah tangga tani berkisar antara 10.3%
hingga 16.7%. Meskipun demikian total pendapatan rumah tangga tani di Amerika Serikat
pada tahun 1997 mencapai US $ 52,347 atau sekitar Rp 366 juta per tahun, dan dalam kurun
waktu antara tahun 1992 hingga tahun 1997, pendapatan dari pertanian dalam rumah tangga
tani berkisar antara US $ 40,223 hingga US $ 52,347.
Suatu hal yang menarik adalah pendapatan rumah tangga tani di Amerika Serikat tidak jauh
berbeda dengan pendapatan rata-rata rumah tangga umum, bahwa untuk tahun 1992, 1997 dan
1997 pendapatan rumah tangga tani masing-masing, 110.5%, 106.9% dan 105.3% lebih tinggi
dari pendapatan rata-rata rumah tangga umum. (ERS-USDA).
Tabel 5.
Rata-rata Pendapatan Rumah tangga Tani di Amerika Serikat
Periode Tahun 1992-1997
Tahun
1,992
1,993
1,994
1,995
1,996
1,997
Pendapatan Rumah Tangga Tani
Luar
Total
Usahatani
Pertanian
42,911
7,180
34,731
40,223
4,815
35,408
42,469
4,376
38,092
44,392
4,720
39,671
50,361
7,906
42,455
52,347
5,989
46,358
% Pendapatan
Usahatani thd total
Pendapatan RT tani
16.7
12
10.3
10.6
15.7
11.4
% Pendapatan
RT tani thd RT
Umum
110.5
97.1
98.5
98.8
106.9
105.3
Sumber : Diolah dari Farm Structure Program-Farm Operator Household Income data, ERS,
USDA.
Meskipun demikian dengan semakin besarnya skala usaha pertanian, maka pendapatan
yang berasal dari usahatani semakin menonjol. Skala ekonomi pertanian di Amerika di
klasifikasikan berdasarkan penjualan (sales) usahataninya, berdasarkan data dari USDA (1997)
diketahui bahwa petani dengan total penjualan diatas US$ 250,000 Pendapatan Usahatani
terhadap total Pendapatan rumah tangga lebih dari diluar usahatani.
The National Commission on Small Farm yang didirikan oleh Departemen pertanian Amerika
Serikat pada bulan Januari 1998 telah menetapkan bahwa usahatani dengan nilai penjualan di
bawah US$ 250,000 per tahun di golongkan pada usahatani kecil (small farm) (Hoppe, R.,
1999), sedangkan usahatani dengan nilai penjualan di bawah US$ 50,000 pertahun digolongkan
pada usahatani "non commercial" (USDA, ERS). Usaha tani dengan nilai penjualan antara
US$ 250,000-499,000 per tahun digolongkan pada usahatani besar dan usahatani dengan nilai
penjualan diatas US$ 500,000 termasuk usahatani sangat besar.
Untuk skala usaha tani dengan penjualan antara US $ 250,000- 499,000, proporsi pendapatan
dari usahatani telah mencapai 56.2% dari total pendapatan Total Rumah tangga Tani,
sedangkan untuk skala usaha tani dengan penjualan diatas US $ 500,000 proporsi pendapatan
dari usahatani telah mencapai 81,9% dari total pendapatan Total Rumah tangga Tani.
Sementara itu untuk skala usaha tani dengan penjualan antara US $ 50,000-249,000, proporsi
pendapatan dari usahatani hanya mencapai 29.7% dari total pendapatan Total Rumah tangga
Tani, sedangkan untuk skala usaha tani dengan penjualan dibawah US $ 50,000, proporsi
pendapatan dari usahatani bahkan minus 7.5% dari total pendapatan Total Rumah tangga
Tani.
12
Tabel 6
Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Tani di Amerika Serikat
Berdasarkan Skala Ekonomi Usahatani, 1997
Klasifikasi usaha tani
PENDAPATAN TOTAL RUMAH
TANGGA TANI
Pendapatan Usaha Tani
Pendapatan Di luar Pertanian
% Pendapatan Usahatani thd total
Pendapatan
% Pendapatan di luar Usahatani thd
total Pendapatan
% Jumlah usahatani
< 50,000
non komersial
45,939
Nilai Penjualan per Tahun (US $)
50,000250,000> 500,000
249,000
499,000
kecil
besar
sangat besar
54,318
78,592
200,758
Ratarata
42,345
-3,438
49,377
-7.5%
16,142
38,176
29.7%
44,131
34,461
56.2%
164,369
36,389
81.9%
5,989
36,356
14.1%
107.5%
70.3%
43.8%
18.1%
85.9%
73%
21.3%
3.5%
2.2%
Sumber : Agricultural Resource Management Study, USDA,ERS, 1997
Berdasarkan situasi petani dan usahatani di Amerika Serikat, pelajaran yang dapat diperoleh
adalah usahatani skala usahatani sangat berperan dalam upaya peningkatan pendapatan petani
dan kemandirian petani. Petani dengan skala kecil jelas tidak ada dapat mandiri, oleh
karenanya pemerintah mempunyai upaya untuk peningkatan pendapat- an petani menjadi
dominan, upaya pemerintah tersebut umumnya berupa pemberian subsidi.
Dengan tingkat penguasaan lahan yang hanya 0,25 ha, maka pemerintah Indonesia harus
mampu memanfaatkan kebijaksanaan subsidi dalam kategori green box.
Tentang Pasar bebas
Indonesia pada saat ini talah memasuki pasar bebas, komitmen Indonesia dengan IMF telah
membuka pasar domestik sepenuhnya terhadap produk-produk luar, pemerintah perlu kembali
melihat dampaknya terhadap perekonomian nasional dan perumusan kebijaksanan. Pengertian
dan interpretasi dari pasar bebas sangat beragam, mulai dari penghapusan subsidi, penghapusan
tariff, penghapusan monopoli, tiadanya batas-batas antar negara dalam perdagangan, tidak ada
lagi intervensi pemerintah. Sebenarnya dalam membahas tetang pasar bebas kita harus mengacu
pada ketentuan ketentuan dalam WTO, dan untuk sektor pertanian ketentuan dalam WTO
yang paling relevan adalah Agreement on Agriculture.
Dalam Agreement on Agriculture pada preambule ditulis tentang tujuan yang ingin dicapai
dalam WTO adalah " ... to establish a fair and market-oriented agricultural trading system ...
" (World Trade Organization. The Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade
Negotiations: The Legal Text, Geneva, Switzerland, 1994).
Di WTO sendiri tidak menggunakan kata free trade (perdagangan yang bebas) tetapi fair
trade (perdagangan yang adil), dengan demikian jelas bahwa perdagangan bukan merupakan
tujuan yang hendak dicapai oleh WTO, melainkan perdagangan yang adil. Indonesia dapat
menerima tujuan tersebut dengan penekanan pada kata fair, dimana hasil yang diinginkan
adalah terwujudnya free trade.
Tentunya pemilihan kata fair dan bukan free trade dalam merumuskan tujuan dalam WTO
bukan tanpa pertimbangan, paling tidak hal ini mengindikasikan adanya praktek-praktek
13
perdagangan yang tidak adil (unfair), sehingga perlu dikoreksi. Dengan demikiam liberalisasi
perdagangan hasil-hasil pertanian, melalui pembukaan akses pasar yang lebih luas, penurunan
subsidi ekspor dan subsidi domestik tidak hanya di tujukan untuk meningkatkan volume
produk yang diperdagangan di pasar internasional, akan tetapi juga harus menjamin
terwujudnya sistem perdagangan yang adil (fair trade).
Dalam mewujudkan fair trade tersebut maka harus dipertimbangkan posisi petani-petani
produsen yang berlahan sempit di negara-negara berkembang, dimana secara skala ekonomi
dan teknologi jelas akan sulit untuk dapat menghasilkan fair trade dalam perdagangan
internasional. Untuk itu perlindungan kepada petani dalam bentuk proteksi tidak mendistori
pasar harus memperoleh porsi dalam Agreement on Agriculture yang akan datang. Dalam
kaitannya dengan pemikiran further liberalization, pertama yang perlu dilakukan adalah melihat
terlebih dahulu bagaimana hasil implementasi kesepakatan Uruguay Round. Disiplin dari
penetapan hasil-hasil Uruguay Round sangat penting sebagai landasan bagi further
liberalization. pengertian disiplin ini termasuk di dalamnya pengkajian terhadap penggunaan
kebijaksanaan baru yang memberikan dampak yang sama dengan kebijaksanan subsidi maupun
hambatan non tariff.
Indonesia akan mendukung dan berpartisipasi dalam further liberalization apabila hal tersebut
diatas telah di penuhi dan untuk komoditas yang bersangkutan pasarnya kompetitif, namun
apabila pasar dunianya tidak kompetitif, maka sulit bagi Indonesia negara-negara berkembang
termasuk untuk dapat berpartisipasi dalam further liberalization. Dalam kasus beras dan Gula
pasir sebenarnya Indonesia tidak perlu terlalu cepat untuk membuka pasar domestiknya,
mengingat pasar dunia untuk kedua komoditas tersebut sulit disebut sebagai pasar yang
kompetitif.
PERTANIAN DAN MANUFAKTUR
Cairns Croup Vision Statement yang diumumkan pada tahun 1998, memasukan unsur baru
dalam dalam tujuan penundingan pertanian yakni " ... put trade in agricultural goods on the
same basis as trade in other goods ...". Hal ini juga yang sempat dibahas dalam sidang WTO
di Seattle. Penyamaan ketentuan-ketentuan dalam bidang pertanian dengan bidang industri,
harus melalui pertimbangan yang matang, karena pada hakekatnya keduanya secara alami
sangat berbeda, dengan demikian hingga tahap tertentu perbedaan dalam pengaturan
perdagangan hasil-hasil pertanian dan pengaturan perdagangan barang-barang lainnya harus
dapat diterima sebagai suatu kenyataan.
Apabila penyamaan basis perdagangan hasil-hasil pertanian dengan perdagangan barangbarang lainnya, tidak dipandang sebagai suatu hal yang multak, sehingga tidak ada lagi
perbedaan-perbedaan dalam peraturan, maka kita semua harus siap dengan perubahan dratis
dalam Agreement on Agriculture. Bahkan bisa jadi tidak lagi di perlukan Agreement on
Agriculture, karena seluruh komoditas pertanian harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang
sama dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur barang lainnya.
Oleh karenanya Indonesia harus tetap berpandangan bahwasanya tidak perlu dilakukan
penyamaan basis perdagangan hasil-hasil pertanian dengan perdagangan barang-barang lainnya,
hal ini dimaksudkan agar hingga tahap tertentu Indonesia dalam merumuskan kebijaksanaan
pembangunan pertaniannnya, masihdapat memberikan perlindungan kepada petaninya.
14
NON TRADE CONCERNS
Non Trade Concern adalah salah satu aspek yang akan memperoleh porsi pembahasan yang
cukup strategis dalam perundingan pertanian. Non Trade Concerns ini muncul akibat dari
fungsi ganda pertanian sehingga memunculkan istilah multifunctionality. Fungsi pertanian
sangat beragam dan mempunyai dimensi yang sangat luas dan tidak semata-mata menyangkut
aspek perdagangan. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pertanian antara lain
berfungsi sebagai penyediaan pangan (food security), penyerapan tenaga kerja terbesar
(employment creation), pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), pembangunan
perdesaan (rural development) dan konservasi lingkungan hidup (environmental conservation).
Oleh karenanya upaya liberalisasi perdagangan tidak boleh mengurangi fungsi pertanian
tersebut dan dalam hal ini kebijaksanaan yang mengacu pada fungsi sebagai penyediaan
pangan, penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan dan konservasi lingkungan hidup
harus dapat diakomodir dalam perjanjian pertanian mendatang.
Khusus untuk aspek food security, Indonesia harus memper- juangkan aspek ini di WTO
meminta agar memperoleh perhatian secara serius dari setiap negara. Hal ini mengingat di
dalam konsep food security terdapat hak rakyat atas pangan (right to food) yang dijamin oleh
Human Right Declaration. Oleh sebab itu masalah food security tidak dapat di atasi sematamata melalui mekanisme pasar, hingga tahap tertentu intervention pemerintah sangat
diperlukan. Pangan terutama pangan pokok (staple food). Hal ini mengingat karena pangan
pokok (staple food) tidak bisa semata-mata di pandang sebagai komoditas perdagangan,
pangan pokok (staple food) mempunyai nilai sosial, politis dan budaya. Rakyat mempunyai hak
atas pangan (right to food) dan hak untuk terbebas dari kelaparan (free from hunger) oleh
karenanya campur tangan pemerintah di bidang pangan sulit untuk diabaikan, menggantungkan
diri pada suplai pangan dunia akan dirasakan rawan.
Kebijaksanaan yang diambil pemerintah Indonesia dalam food security adalah self sufficiency.
Namun untuk menghindari kesalah pahamanan tentang istilah tersebut, dimana self
sufficiency dapat diartikan sebagai upaya menutup pasar domestik, maka dalam menyusun
kebijaskasanaan Pembangunan pertanian perlu hati-hati dalam menggunakan istilah self
sufficiency.
Meskipun demikian Indonesia harus menolak usulan yang menyatakan bahwa food security
(ketahanan pangan) dapat dicapai melalui perdagangan bebas dan tidak perlu melalui
kebijaksanaan swasembada pangan (food self sufficiency). Swasembada pangan dalam hal ini
adalah swasembada beras, sangat penting bagi Indonesia karena hal ini menyangkut jumlah
keluarga tani yang bekerja di sektor tersebut yang mencapai 19 juta KK.
Subsidi
Dalam menyusun kebijaksanaan pembangunan pertanian, Indonesia tidak lagi dapat menolak
prinsip dasar dari peluasan akses pasar, pengurangan subsidi ekspor dan pengurangan subsidi
domestik. Namun demikian apabila penjabaran WTO terhadap ketentuan tentang penghapusan
subsidi dimana, adanya pengalihan bentuk-bentuk price support menjadi income support
seperti yang banyak di usulkan oleh negara negara maju, maka jelas Indonesia harus berjuang
untuk menolak. Hal ini disebabkan Indonesia hingga saat ini masih menggunakan kebijaksaan
price support dalam bentuk kebijaksanaan harga dasar dan pengadaan pangan. Dilain pihak
15
Indonesia juga akan mengalami kesulitan administratif bila kebijaksanaan price support tersebut
di alihkan menjadi kebijaksanaan income support, dimana ada transfer dana secara langsung
kepada petani padi yang berjumlah 19 juta KK, hal ini memerlukan sistem administarasi yang
sangat baik.
Perbedaan yang mendasar dengan negara-negara maju yang telah menerapkan targeted income
support adalah, jumlah petani yang relatif sangat kecil di bandingkan dengan Indonesia dan
dukungan infrastruktur administrasi dan perbankan yang telah berkembang dengan baik.
Dilaporkan bahwa bahwa tingginya tingkat subsidi ekspor yang dilakukan oleh negaranegara maju telah menyebabkan terjadinya distorsi pada perdagangan internasional dan harus
diatasi secara mendasar. Oleh karenanya, terdapat usulan bahwa dalam perundingan pertanian
mendatang untuk menghapuskan ekspor subsidi dan credit ekspor.
Namun demikian harus pula dilihat bahwasanya hingga tahap tertentu subsidi ekspor, credit
ekspor dan domestic support, dapat memberikan dampak positif bagi negara-negara
berkembang terutama bagi "net food importing countries".
Untuk itu harus dilihat terlebih dahulu akar persoalannya sebelum diambil keputusan untuk
menanggulanginya. Dengan demikian terdapat 2 (dua) pertanyaan yang harus dijawab. (i)
apakah tingginya tingkat subsidi ekspor yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut
akibat dari tidak dispilinnya negara negara tersebut dalam menerapkan ketentuan-ketentuan
dalam Agreement on Agriculture? atau, (ii) Agreement on Agriculture memang memberikan
peluang timbulnya tingkat subsidi yang tinggi tersebut?
Apabila persoalannya muncul akibat dari tidak dispilinnya negara negara tersebut dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Agriculture, maka hal ini akan lebih
mudah untuk diatasi.
Namun apabila ternyata persoalan ini muncul akibat dari Agreement on Agriculture memang
memberikan peluang timbulnya tingkat subsidi yang tinggi, maka tidak ada pilihan lain kecuali
mengubah secara mendasar ketentuan-ketentuan tentang subsidi ekspor. Misalnya penurunan
tingkat subsidi didasarkan pada tingkat subsidi yang berlaku, hingga level subsidi yang
diperkenankan, sehingga setiap negara mempunyai tingkat penurunan subsidi yang berbeda
satu sama lainnya.
Special and differential treatment
Bila tujuan akhir liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian adalah terwujudnya fair and
market oriented agricultural trading system, maka Special And Differential Treatment (S&D)
bagi negara-negara berkembang harus memperoleh porsi yang lebih baik dalam Agreement on
Agriculture yang akan datang.
Hal ini mengingat fair trade sebagai tujuan dari liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian
hanya akan tercipta apabila adanya level playing field yang sama antara negara maju dan
negara berkembang. Special and differential treatment (S&D) ini meliputi adanya perbedaan
perlakukan dalam market access, subsidi domestik dan subsidi ekspor dan dengan demikian
dapat menjadi sarana untuk menyamakan level playing field.
Negara-negara berkembang merupakan bagian terbesar dari negara-negara anggota WTO.
Oleh sebab iti tidak berlebihan apabila kepentingan negara-negara berkembang harus menjadi
16
perhatian utama. Penyamaan level playing field harus memasukkan unsur jumlah petani dan
skala usaha tani, adalah tidak adil apabila negara-negara maju dengan jumlah petani yang kecil
memperoleh perlakukan yang sama dalam perdangan internasional dengan negara berkembang
yang penduduknya sebagain besar petani. Negara berkembang yang sebagaian besar
penduduknya adalah petani harus memperoleh perlakuan khusus di WTO, dalam arti bahwa
negara tersebut dapat memberikan proteksinya jauh lebih tinggi dari negara maju, atau negara
maju membuka pasarnya lebih luas, dengan ketentuan yang lebih mudah, serta menurunkan
tingkat subsidinya jauh lebih besar dari negara-negara berkembang dengan jumlah petani
dominan.
17
Daftar Pustaka
Ackerman, K.Z. and Dixit, P.M. "An Introduction to State Trading in Agriculture," USDA,
Agricultural Economic Report No.783, Oktober 1999.
Baucus, M. "Agriculture in the Next Round of WTO: Stepping up to Level the Playing Flied,"
Presentation the Economic Strategy Institute, July 29,1999
Bregsten, C.F. "The Global Trading System & the Developing Countries in 2000," Institute for
International Economics, Working Paper 99-6, May 1999
Churmen, Iman. "Sektor Pertanian Harus mendapat Prioritas Utama dalam Pembangunan
Nasional", Makalah disampaikan pada Dies Natalis ke 36 Institut Pertanian Bogor
dan Hut ke 29 Sinar Tani, tanggal 9 September 1999, Kampus IPB Darmaga,
Bogor
Dorgan, B. and Craig, L. "The Upcoming WTO Trade Summit," Remarks on The Senate
Floor, November 8, 1999.
Kartadjoemena, H.S. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Presss, Jakarta, 1997.
Messi, Nawir M. "Partai Amanat Nasional: Perspektif Pembangunan Pertanian". Makalah
disampaikan Seminar dan Dialog Nasional tentang "Visi dan Flatform Lima Partai
besar Dalam pembangunan Pertanian"
WTO Briefing Note: Ministers Start Negotiating Seattle Declaration.
http://www.wto.org/wto/seattle/about_e/summary_01.html/
18
Download