BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1 Persepsi Santri terhadap Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Sugiyanto (1996) memberikan batasan tentang persepsi yaitu persepsi merupakan proses kognitif dan afektif yang dialami setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya melalui indera penglihatan, pendengaran, penghayatan perasaan, dan penciuman yang diinformasikan kepada dirinya dari lingkungan tempat orang tersebut berada. Sehingga, persepsi tersebut dapat mempengaruhi keragaan perilakunya. Persepsi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan panduan pertanyaan yang terdiri dari enam pertanyaan, yaitu (a) apakah kyai dan ustadz menganjurkan santrinya untuk menjaga lingkungan, (b) apakah pembuatan pupuk kompos dirasa tidak berpengaruh banyak terhadap lingkungan, (c) apakah sampah yang sudah dikumpulkan lebih baik dibakar atau ditimbun, (d) apakah santri memilah sampah karena rutinitas kegiatan di pondok, (e) apakah santri boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos, (f) apakah pemilahan sampah yang dilakukan merupakan upaya yang sia-sia dalam menjaga lingkungan. (Terlampir) Dari tabel 4 jawaban hampir seluruh responden (96.7 %) menyatakan setuju dan 3.3 persen menyatakan tidak setuju untuk pernyataan pertama persepsi dalam kuesioner bahwa Kyai dan Ustadz di Pesantren Pertanian Darul Fallah perlu menganjurkan santrinya untuk menjaga lingkungan. Ini mengindikasikan bahwa secara kognitif, responden menyadari bahwa peran kyai dan ustadz itu dirasa penting untuk selalu menganjurkan kepada santri untuk 39 menjaga lingkungan. Hal tersebut diduga karena Kyai dan Ustadz di Pesantren Pertanian Darul Fallah mempunyai posisi dan peran penting terhadap kegiatan santri di pondok dalam menjaga lingkungan. Artinya, dengan cara tersebut (Kyai dan Ustadz menganjurkan santri menjaga lingkungan) diharapkan dapat mempengaruhi persepsi responden tentang arti pentingnya menjaga lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van den Ban dan Hawkins (1999) yang mengatakan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Tabel 4 Sebaran Responden berdasarkan Rata-Rata Pencapaian Skor Persepsi Santri No. Pernyataan persepsi 1 Kyai dan Ustadz perlu menganjurkan santrinya untuk menjaga lingkungan. Pupuk kompos tidak berpengaruh terhadap lingkungan. Sampah yang sudah dikumpulkan, lebih baik dibakar daripada ditimbun Santri memilah sampah hanya karena rutinitas kegiatan di pondok Santri boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos. Pemilahan sampah merupakan upaya yang sia-sia untuk menjaga lingkungan. Rata-rata ± SD 2 3 4 5 6 Rata-rata pencapaian skor % ragu% tidak % setuju ragu setuju 96.7 0.0 3.3 40.0 20.0 40.0 23.3 0.0 76.7 66.7 23.3 10.0 40.0 6.7 53.3 93.3 3.4 3.3 64.4 ± 13.3 Jawaban responden sebesar 40 persen menyatakan setuju, 20 persen menyatakan ragu-ragu, dan 40 persen menyatakan tidak setuju untuk pernyataan kedua persepsi dalam kuesioner yaitu pembuatan pupuk kompos dirasa tidak banyak berpengaruh terhadap lingkungan. Jawaban responden tersebut membuktikan bahwa hampir separuh responden (40%) yang menyatakan setuju diduga karena responden tidak banyak mengetahui informasi tentang manfaat (jangka panjang) dari pembuatan pupuk kompos terhadap lingkungan. Hal ini diduga karena masih terbatasnya akses informasi yang didapatkan responden mengenai kegunaan pupuk kompos dan manfaatnya terhadap lingkungan. Karena pada dasarnya persepsi berhubungan erat dengan stimuli (informasi) 40 tentang sesuatu hal yang menyebabkan seseorang sadar kemudian pengetahuan dan pemahamannya meningkat. Hal tersebut diperkuat oleh penjelasan Sarwono (1999) yang mengatakan bahwa persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami, dimana alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya, alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Berbeda dengan dua jawaban responden pada dua pernyataan persepsi di atas, sebesar 76.7 persen jawaban responden menyatakan tidak setuju dan sisanya sebesar 23.3 persen responen menyatakan setuju untuk pernyataan kuesioner ketiga. Adapun pernyataannya yaitu sampah yang sudah dikumpulkan, lebih baik dibakar daripada ditimbun. Hal ini setidaknya menunjukkan pengetahuan yang lebih baik dari mayoritas responden (76.7 %) mengenai efek negatif dari sampah yang dibakar. Preferensi responden terhadap kegiatan penanganan sampah tersebut secara kognitif lebih memilih sampah yang telah dikumpulkan untuk ditimbun daripada dibakar. Ini diduga, informasi mengenai efek negatif dari pembakaran sampah lebih banyak dan mudah didapatkan dan diketauhi karena cenderung terkait dengan kehidupan sehari-hari. Prakteknya di lapangan terkait dengan perlakuan terhadap sampah yang telah dikumpulkan terdapat dua cara. Pertama, untuk sampah organik yang telah dikumpulkan kemudian ditimbun untuk dijadikan pupuk kompos, dan yang kedua untuk sampah plastik atau sampah anorganik lainnya adalah dibakar. Sesuai dengan penuturan bapak BW yang menyebutkan bahwa sampah organik seperti dedaunan dan sampah organik lainnya dijadikan pupuk kompos (ditimbun), sedangkan sampah plastik dan sampah anorganik lainnya masih dibakar. Menurut beliau hal ini dilakukan karena ketiadaannya alat untuk mengolah limbah plastik. Lebih lanjut, menurut beliau kalaupun sampah plastik dan sejenisnya 41 ditimbun, itu juga akan memakan waktu lama bisa sampai ratusan tahun untuk dapat terurai. Jadi, untuk hal ini dan untuk sekarang ini sampah plastik lebih baik dibakar walaupun itu merupakan tindakan yang tidak benar. Pendapat Rakhmat (2001) mengungkapkan bahwa persepsi adalah pengalaman belajar tentang objek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga merupakan bentuk komunikasi intrapersonal yaitu komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang. Oleh karena itu, persepsi akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dengan pihak lain. Pernyataan kuesioner keempat menyebutkan bahwa menurut santri, apakah santri memilah sampah hanya karena rutinitas kegiatan di pondok? Jawaban yang didapatkan adalah sebesar 66.7 persen responden menyatakan setuju, 23.3 persen responden menyatakan ragu-ragu, dan 10.0 persen responden menyatakan tidak setuju. Persepsi responden tersebut menggambarkan bahwa pemilahan sampah yang pernah dilakukan responden (66.7%) hanya karena rutinitas di pesantren yang memang di Pesantren Pertanian Darul Fallah ada jadwal kegiatan kebersihan (Terlampir), dan hanya sedikit (10%) responden yang secara afektif tidak setuju bahwa kegiatan sampah dipandang sekedar rutinitas di pondok, diduga responden tersebut memandang kegiatan pemilahan sampah tersebut tidak hanya merupakan rutinitas, melainkan pembelajaran yang baik untuk santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di pesantren. Sebagaimana diketahui kecenderungan responden terhadap kegiatan pemilahan sampah masih dianggap oleh separuh responden (66.7%) hanya sebagai rutinitas. Kecenderungan ini menunjukkan kurangnya apresiasi dan kognisi para responden terhadap kegiatan tersebut. Disamping itu juga, diduga responden kurang sadar dan kurang menangkap makna dari kegiatan 42 pemilahan sampah yang dilakukan pesantren terhadap upaya pengelolaan lingkungan. Perubahan yang terjadi terhadap kurikulum pendidikan pesantren telah membuat kegiatan agribisnis termasuk pembuatan pupuk kompos sebagai kurikulum pesantren yang dimasukkan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelas. Kegiatan pembuatan pupuk kompos tersebut lebih cenderung di perkenalkan di kegiatan praktikum kelas yang rentang dan jangka waktu kegiatan praktikumnya terbatas. Hal ini menjadi tidak heran, ketika diajukan pernyataan bahwa responden boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos. Didapatkan dari hasil uji persepsi responden mengenai hal itu, hampir separuh responden (40.0%) menyatakan setuju untuk pernyataan tersebut. Ini menggambarkan afeksi responden yang merasa tidak masalah dan boleh untuk tidak mengikuti kegiatan pupuk kompos di pesantren tersebut. Sebaliknya, sebesar 53.3 persen responden menayatakan tidak setuju jika santri tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos. Hal tersebut diantaranya karena secara afeksi, responden merasa pembuatan pupuk kompos yang telah menjadi kurikulum mata ajaran dalam kegiatan belajar mengajar, memang harus diikuti semua santrinya karena termasuk kedalam tugas praktikum. Disamping itu, diduga secara kognitif responden merasa kegiatan tersebut perlu diketahui dan dipelajari santri Pesantren Pertanian Darul Fallah karena terkait salah satu kegiatan agribisnis unggulan di sana dan juga salah satu upaya pengelolan lingkungan hidup di pesantren. Dan sisanya, sebesar 6.7 persen responden menjawab ragu-ragu. Hasil jawaban responden pada pernyataan kuesioner keempat yang menunjukkan lebih banyak pernyataan responden yang setuju (66.7 %) bahwa pemilahan sampah yang dilakukan di pesanten merupakan kegiatan rutinitas di 43 pondok. Hasil tersebut akan terasa sesuai jika kemudian melihat pada hasil jawaban responden pada pertanyaan kuesioner yang terakhir tentang persepsi responden dalam pengelolaan lingkungan hidup yang isi pernyataannya yaitu pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren merupakan upaya yang sia-sia untuk menjaga lingkungan. Terbukti secara empiris dari pernyataan tersebut yaitu sebanyak 93.3 persen responden menyatakan setuju. Jika dilihat secara afektif, diduga responden merasa kegiatan pemilahan sampah yang dilakukan itu tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap lingkungan. Kemudian, jika dilihat dari aspek kognitif, diduga responden masih sangat kurang mengerti manfaat dari pemilahan sampah yang dilakukannya tersebut. Secara teknis, diduga bahwa memang responden mengetahui hasil dari pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren yaitu untuk dijadikan pupuk kompos, dan pupuk kompos berguna untuk menyuburkan tanaman. Sedangkan, diduga responden merasa kegiatan pemilahan sampah tersebut seolah tidak mempunyai manfaat sama sekali terhadap perbaikan lingkungan. Dilihat dari hasil dua jawaban pernyataan persepsi responden mengenai pemilahan sampah (pernyataan keempat dan pernyataan keenam), diduga secara kognitif dan secara afektif responden masih kurang menyadari dan memahami dan masih kurangnya akses informasi tentang kegunaan dan manfaat pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren. Terutama dalam masalah menjaga lingkungan, diduga responden merasa kegiatan tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap lingkungan dan sia-sia. Selain itu, diduga responden juga merasa kegiatan pemilahan sampah di pesantren hanya sebagai rutinitas kegiatan pondok biasa yang sudah terjadwal setiap minggunya. Diketahui bahwa lebih dari separuh responden (96.7%) menyatakan setuju bahwa Kyai dan Ustadz masih perlu menganjurkan santrinya untuk 44 senantiasa menjaga lingkungan. Hasil ini kurang sesuai dengan pernyataan bapak BW yang memaparkan bahwa Ustadz dan staf pesantren lainnya melakukan penanaman moral kepada santrinya, termasuk dalam hal menjaga kelestarian lingkungan, dengan demikian diharapkan menumbuhkan kemandirian pada santri (sesuai dengan fokus penyelenggaraan pendidikan Pesantren Pertanian Darul Fallah). Harapan dari timbulnya kemandirian adalah kemudian santri dapat menyebarluaskan kepada lingkungan masyarakat tempat tinggal mereka. Penanaman moral dan nilai-nilai agama oleh Kyai dan Ustadz dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas formal, kegiatan di asrama (kurikulum pesantren), maupun aplikasi langsung dari kegiatan sehari-hari di pesantren. Akan tetapi dari hasil tersebut di atas, santri merasa masih perlu masukan-masukan dan anjurananjuran dari Kyai dan Ustadz dalam menjaga lingkungan. Hal ini diduga, hasil tersebut juga bisa dikarenakan masih kurang intensifnya pemberian penanaman moral dan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh Kyai dan Ustadz. Diduga juga bahwa responden merasa dengan penanaman moral yang dilakukan oleh Kyai dan Ustadz dapat diingat oleh responden terkait peran Kyai dan Ustadz di mata santri. Disamping itu, melihat pada pernyataan ketiga informan yang memaparkan bahwa di pesantren ada kegiatan memilah sampah yang dilakukan setiap seminggu sekali. Kegiatan tersebut termasuk di dalamnya pembuatan pupuk kompos dari sampah organik yang dikumpulkan oleh santri. Setiap santri setidaknya harus mengumpulkan sampah organik dan anorganik masing-masing satu kantong plastik sampah (trash bag). Pernyataan ketiga informan tersebut bisa jadi mendukung pernyataan lebih dari separuh responden (66.7%) yang menyatakan setuju bahwa kegiatan memilah sampah hanya merupakan kegiatan 45 rutinitas pondok. Hal ini diduga responden masih kurang sadar dengan stimulus (kegiatan memilah sampah tersebut) yang diadakan pesantren untuk pengelolaan lingkungan hidup, sehingga responden hanya merasa sebatas kegiatan pondok yang harus diikuti. Fenomena lain yang ditemukan adalah hampir seluruh responden (93.3%) menyatakan setuju bahwa kegiatan pemilahan sampah yang dilakukan merupakan kegiatan yang sia-sia dalam menjaga lingkungan. Hal ini diduga terkait dengan pengetahuan responden tentang menjaga lingkungan yang disampaikan oleh Kyai dan Ustadz di Pondok masih kurang mengena kedalam perilaku keseharian mereka. Bapak BW memaparkan bahwa untuk merubah perilaku per individu santri itu memang tidak mudah. Salah satu hal yang menyebabkan itu menjadi susah dalam merubah perilaku individu santri adalah bagaimana lingkungan keluarga dan lingkungan di tempat tinggal mereka mempengaruhinya. Jika perilaku keseharian keluarga jorok atau tidak terbiasa mengajarkan untuk menjaga lingkungan dalam keseharian mereka, maka tidak heran kebiasaan anak-anaknya pun akan ikut jorok dan kurang peduli terhadap lingkungan serta tidak terbiasa untuk menjaga lingkungan. Jadi, menurut beliau untuk mencapai pada tahap perubahan perilaku individu itu kembali pada pribadi santri masing-masing, dengan kata lain, dibutuhkan kesadaran dari santri itu sendiri. Dari pernyataan-pernyataan persepsi pada tabel 5 di atas kemudian dilakukan pemberian skor (scoring) untuk setiap pernyataan seluruh responden sesuai dengan jenis kalimat pernyataannya. Setelah pemberian skornya diseragamkan, kemudian dijumlahkan total skor yang diperoleh masing-masing responden secara keseluruhan pada semua pernyataan persepsi tersebut. (Untuk lebih jelas, dapat dilihat dalam Metode Penelitian dan Lampiran) 46 Secara keseluruhan sebaran responden pada aspek persepsi mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah menyebar hampir merata (Tabel 5). Sebanyak sebelas responden atau 36.7 persen persepsi responden sudah termasuk kategori tinggi menurut metode penentuan selang dan nilai interval kelas (Slamet 1993). Sebanyak 33.3 persen persepsi responden termasuk kedalam kategori sedang dan sebanyak 30 persen responden termasuk kedalam kategori rendah. Dilihat dari perolehan nilai ratarata juga menunjukkan bahwa persepsi santri terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup termasuk kedalam kategori tinggi yaitu sebesar 9.4 (dari jumlah keseluruhan total skor dibagi jumlah responden). Hal tersebut menunjukkan bahwa secara kognitif dan secara afektif, sebagian responden mengetahui dan merasa akan pentingnya pengadaan upaya pengeloaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah. Hal ini juga diduga tidak terlepas dari peranan Kyai dan Ustadz dalam kehidupan dan keseharian santri dan intensitas interaksi yang terjadi antara keduanya, ditambah lagi dari pengajian agama yang dilakukan rutin di pesantren. Hal ini juga dapat terlihat dari pernyataan hampir seluruh responden (96.7%) masih merasa perlu anjuran dan masukan dari Kyai dan Ustadz. Tabel 5 Sebaran Responden berdasarkan Total Skor Persepsi Santri Total Skor Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah (5 – 6) 9 30.0 Sedang (7 – 8) 10 33.3 Tinggi (9 – 10) 11 36.7 Jumlah 30 100.0 Rata-rata 9.4 Seperti yang telah didefinisikan Mulyana (2002) mengenai persepsi yang merupakan proses internal yang memungkinkan seseorang memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungannya, dan 47 proses tersebut mempengaruhi perilaku orang tersebut. Begitupun dengan pendapat Rakhmat (2001) yang mengungkapkan bahwa persepsi akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dengan pihak lain. 5. 2 Partisipasi Santri dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Nasdian (2006), selama ini konsep partisipasi dipandang hanya “terbatas” pada implementasi atau penerapan program, masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”, sehingga partisipasi disini lebih bersifat pasif dan tidak memiliki kesadaran “kritis”. Disamping itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi berkenaan dengan sebuah proses aktif dimana penerima keuntungan mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek pembangunan ketimbang melulu hanya menerima hasil keuntungan proyek. Sebagaimana diketahui bahwa partisipasi diartikan tidak hanya sebatas kewujudan raga dan keikutsertaan seseorang atau komunitas dalam suatu kegiatan atau program tertentu. Lebih jauh lagi, partisipasi melihat kepada pembangunan kesadaran kritis melalui proses aktif seseorang atau komunitas, sehingga dengan sendirinya kemudian dapat mengerti arti dari keterlibatannya tersebut. Untuk mencapai pada kesadaran kritis dalam proses partisipasi, diperlukan pengetahuan bagi setiap orang atau komunitas tentang apa yang akan akan dilakukan dalam suatu kegiatan atau program. Pengetahuan tersebut minimal meliputi tujuan, hasil (output), dan manfaat dari kegiatan yang akan dilaksanakan dimana orang atau komunitas yang terlibat turut menentukan dalam pengambilan keputusan dan turut melaksanakannya. Berkaitan dengan itu, dalam penelitian ini dibahas tentang partisipasi responden dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian 48 Darul Fallah. Contoh kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang diteliti disana adalah kegiatan pemilahan sampah dan kegiatan pembuatan pupuk kompos yang terintegrasi dengan kurikulum pertanian Pesantren Pertanian Darul Fallah. Hasil penelitian menunjukkan partisipasi yang rendah pada masingmasing kegiatan pengelolaan lingkungan hidup tersebut, baik dalam kegiatan pemilahan sampah, maupun dalam kegiatan pembuatan pupuk kompos. Total persentase partisipasi responden secara keseluruhan adalah sebesar 46.7 persen termasuk dalam kategori rendah, 33.3 persen termasuk kedalam kategori sedang dan 20 persen termasuk kedalam kategori tinggi (Tabel 10). Hal ini diduga karena responden merasa kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos bukan masalah utama yang perlu diperhatikan, sehingga menganggap kegiatan tersebut hanya sebagai kegiatan rutinitas pondok pesantren (Tabel 5). Keterlibatan aktif mereka dalam pemilahan sampah tidak disertai dengan rasa kebutuhan, sehingga tidak muncul kesadaran kritis. Seperti yang telah dipaparkan oleh Nasdian (2006) bahwa partisipasi merupakan proses aktif, inisiatif, diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap menikmati hasil. Seperti yang diutarakan Cohen and Uphoff (1980) dalam Nasdian (2006) bahwa partisipasi melihat pada keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penetapan keputusan (pelaksanaan), penikmatan hasil, dan evaluasi. 5. 5. 1 Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan diukur dengan menggunakan panduan pertanyaan yang terdiri dari lima buah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan 49 tersebut menunjukkan persentase pencapaian skor. Hampir seluruh responden menjawab tidak untuk pernyataan responden ikut dalam setiap rapat penyusunan program (86.7%), apakah responden ikut rapat dalam mementukan mekanisme yang akan dilakukan (73.3%), apakah responden selalu mengikuti rapat (96.7%), apakah responden aktif dalam memberikan saran dan masukan setiap rapat (83.3%). Sementara itu, lebih dari separuh responden menjawab “ya” untuk pernyataan sebelum pelaksanaan kegiatan sebelumnya diadakan penyusunan program kegiatan (73.3%). Dari lima pertanyaan kuesioner tersebut sebagian besar responden hanya aktif dalam rapat penyusunan program, dan kurang terlibat aktif dalam tahap perencanaan lainnya dalam tahap perencanaan tersebut. Secara keseluruhan nilai rata-rata dari tahap perencanaan adalah sebesar 26.7 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam partisipasi pada tahap perencanaan, responden kurang berperan. Ini diduga karena minimnya kesadaran yang dimiliki responden dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Tabel 6 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap Perencanaan No. 1 2 3 4 5 Pernyataan partisipasi Diadakan penyusunan program kegiatan sebelum pelaksanaan kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos Ikut dalam setiap rapat penyusunan program kegiatan tersebut Rapat dalam menentukan mekanisme yang akan dilakukan sebelum pelaksanaan program tersebut. Selalu mengikuti rapat tersebut. Aktif memberikan saran dan masukan setiap kali rapat tersebut Rata-rata ± SD Pencapaian skor % tidak % ya 26.7 73.3 86.7 13.3 73.3 26.7 96.7 83.3 3.3 16.7 26.7 ± 18.4 5. 5. 2 Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan diukur dengan menggunakan empat buah pernyataan yang sudah cukup spesifik. Pernyataan tersebut meliputi apakah responden selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan memilah sampah, apakah responden selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembuatan pupuk kompos, apakah responden ikut aktif dalam setiap pelaksanaan kegiatan 50 memilah sampah, apakah responden ikut aktif dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembuatan pupuk kompos. Secara keseluruhan jawaban yang diberikan oleh responden menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden menjawab tidak untuk setiap pernyataan (Tabel 7). Ini menunjukkan bahwa responden kurang terlibat secara penuh dalam kegiatan pemilahan sampah maupun kegiatan pembuatan pupuk kompos. Fenomena ini diduga karena kurangnya rasa kesadaran yang dimiliki responden untuk mengikuti setiap kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos. Disamping itu, menurut penuturan bapak BW mengenai hal tersebut adalah dikarenakan jadwal kegiatan santri yang lebih banyak di gunakan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas formal. Lanjutnya, pada awalnya pesantren didirikan secara independen, tidak terkait dengan departemen atau instansi manapun, sehingga pesantren bisa fokus secara penuh terhadap bidang pertanian (kegiatan agribisnis). Oleh karena itu, santri dapat terlibat sepenuhnya dalam kegiatan pertanian. Akan tetapi, setelah melakukan akreditasi yang mengacu pada kurikulum pendidikan dari Departemen Agama (DEPAG), hanya sebagian kecil kegiatan pertanian (agribisnis) yang dilakukan santri, dan selebihnya dilakukan oleh karyawan pesantren. Terkait dengan hal tersebut, diperkuat oleh penuturan Bapak AL bahwa kegiatan pertanian (agribisnis) pesantren terutama terkait pembuatan pupuk kompos memang sebagian dilakukan oleh santri. Akan tetapi sekarang ada yang lebih fokus menangani kegiatan pembuatan pupuk kompos tersebut (selain pembuatan pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah) yaitu karyawan pesantren. Tugas santri sekarang lebih fokus pada pelajaran sekolah, dan sekarang pembuatan pupuk kompos diterapkan dalam praktikum di kelas formal yang menjadi kurikulum kepesantrenan. Kurikulum kepesantrenan diterapkan 51 setelah melakukan akreditasi. Beliau menambahkan, sebenarnya responden bisa melakukan kegiatan pupuk kompos di luar praktikum di kelas. Tabel 7 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi santri pada Tahap Pelaksanaan No. Pernyataan partisipasi 6 Selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan memilah sampah Selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembuatan pupuk kompos Ikut aktif dalam setiap kali hadir dalam pelaksanaan kegiatan memilah sampah Ikut aktif dalam setiap kali hadir dalam pelaksanaan kegiatan pembuatan pupuk kompos Rata-rata ± SD 7 8 9 Pencapaian skor % tidak % ya 56.7 43.3 80.0 20.0 63.3 36.7 76.7 23.3 30.8 ± 32.0 5. 5. 3 Tahap Evaluasi Pada menunjukkan tahapan evaluasi keikutsertaan diukur responden dengan pernyataan dalam penyusunan yang lebih pedomanan pengendalian dan penilaian hasil perencanaan dan pelaksanaan. Tabel 8 menunjukkan bahwa separuh responden menjawab “tidak” untuk pernyataan apakah responden ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pemilihan sampah (60.0%), dan pembuatan pupuk kompos (50.0%). Sementara itu, hampir seluruh responden menjawab “tidak” untuk pernyataan apakah responden ikut dalam penyusunan pedoman pengendalian evaluasi kegiatan pemilahan sampah (83.3%) dan kegiatan pembuatan pupuk kompos (86.7%), apakah santri ikut dalam mengumpulkan data guna penilaian perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan pemilahan sampah (86.7%) dan pembuatan pupuk kompos (90.0%). Hasil ini menunjukkan kurangnya keikutsertaan responden dalam evaluasi kegiatan yang dilakukan baik dalam pemilahan sampah maupun dalam pembuatan pupuk kompos. Hal ini diduga karena minimnya pengetahuan dan kesadaran responden mengenai pentingnya evaluasi dalam setiap kegiatan yang dilakukan. 52 Tabel 8 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap Evaluasi No. Pernyataan partisipasi 10 Ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pemilahan sampah Ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pembuatan pupuk kompos Ikut menyusun pedoman pengendalian dalam evaluasi kegiatan pemilahan sampah Ikut menyusun pedoman pengendalian dalam evaluasi pelaksanaan pembuatan pupuk kompos Ikut mengumpulkan data guna penilaian, perencanaan dan pelaksanaan pemilahan sampah. Ikut mengumpulkan data guna penilaian, perencanaan dan pelaksanaan pembuatan pupuk kompos. Rata-rata ± SD 11 12 13 14 15 Pencapaian skor % tidak % ya 60.0 40.0 50.0 50.0 83.3 16.7 86.7 13.3 86.7 13.3 90.0 10.0 23.9 ± 29.3 5. 5. 4 Tahap Menikmati Hasil Pada tahap ini, rata-rata pencapaian skor yang dicapai oleh responden adalah 36.7 (Tabel 9). Hasil ini menunjukkan bahwa pada tahap menikmati hasilpun, responden kurang ikut serta. Hal ini kurang sesuai dengan penuturan bapak BW dan diperkuat kedua informan lainnya bahwa pada penikmatan hasil dari pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos oleh santri digunakan sepenuhnya untuk kepentingan program berkebun santri. Hal ini diduga, karena hanya sebagian kecil dari responden saja yang turut aktif mengerjakan kegiatan berkebun (termasuk masalah penggunaan pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos). Tabel 9 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap Menikmati Hasil No. Pernyataan partisipasi 16 17 Menikmati hasil dari kegiatan pemilahan sampah Menikmati hasil dari kegiatan pembuatan pupuk kompos Rata-rata ± SD Rata-rata pencapaian skor % tidak % ya 63.3 36.7 63.3 36.7 36.7 ± 47.2 Berdasarkan Tabel 10 nilai skor secara keseluruhan yang diperoleh responden pada semua tahapan partisipasi dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di pesantren Pertanian Darul Fallah termasuk ke dalam kategori rendah 53 (53.3%). Akan tetapi sudah ada yang termasuk kedalam kategori sedang (30.0%) dan tinggi (16.7%). Dilihat dari nilai rata-rata skor yang didapatkan yaitu 4 (dari jumlah total skor yang didapatkan seluruh responden dibagi jumlah responden) yang menunjukkan bahwa partisipasi responden dalam upaya pengelolaan lingkunga hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah tersebut termasuk ke dalam kategori rendah (0 - 4.66). Hal ini diduga karena tidak ada proses aktif dan insiatif dari responden menanggapi upaya pengelolaan lingkungan hidup yang diadakan pesantren. Diduga baik kegiatan pemilahan sampah maupun kegiatan pembuatan pupuk kompos dianggap bukan sebagai masalah utama yang harus diperhatikan, dan atau karena rendahnya rendahnya akses informasi responden mengenai isu lingkungan hidup, sehingga responden kurang terlibat dalam partisipasi pengelolaan lingkungan hidup di pesantren. Fenomena ini juga diduga dipengaruhi oleh perubahan status pondok pesantren yang awalnya independen dan fokus pendidikan pesantren yaitu pendidikan moral, nilai-nilai agama dan bidang agribisnis, kemudian berubah menjadi sekolah formal seperti pada umumnya. Sekolah formal yang diselenggarakan di Pesantren Pertanian Darul Fallah mengakreditasi pada kurikulum pendidikan Departemen Agama (DEPAG) dan Pendidikan Nasional (DIKNAS), sehingga lebih banyak waktu para santrinya yang dihabiskan untuk kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas formal. Sementara itu, masalah agribisnis hanya menjadi kurikulum kepesantrenan yang diterapkan pada sebagian pelajaran di luar pelajaran sekolah pada umumnya. Selanjutnya, praktik agribisnis, termasuk pembuatan pupuk kompos hanya dilakukan sekedar kerja kelompok pada kegiatan praktikum. Selain itu, pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren hanya dilakukan seminggu sekali sesuai dengan kegiatan rutin pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah. (Terlampir) 54 Tabel 10 Sebaran Responden berdasarkan Total Skor Partisipasi Santri Total Skor Frekuensi (n) Persentase (%) Rendah (0 – 4.66) 16 53.3 Sedang (4.67 – 9.33) 9 30.0 Tinggi (9.34 – 13) 5 16.7 Jumlah 30 100.0 Rata-rata 5. 3 4 Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Responden dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Asngari (1984) menekankan mekanisme proses pembentukan persepsi, yaitu proses dimana informasi yang diterima seseorang melalui seleksi, kemudian disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan terakhir diinterpretasikan. Sugiyanto (1996) memberi batasan tentang persepsi bahwa persepsi merupakan proses kognitif dan afektif yang dialami setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya melalui indera penglihatan, pendenganaran, penghayatan perasaan, dan penciuman yang diinformasikan kepada dirinya dari lingkungan tempat orang tersebut berada, sehingga dapat mempengaruhi keragaan perilakunya. Pengertian tersebut di atas menekankan bahwa persepsi dapat mempengaruhi keragaan perilaku seseorang yang pada akhirnya menginterpretasikan informasi yang ia peroleh, dengan kata lain, partisipasi. Serupa dengan konsep tersebut, Nasdian (2006) menjelaskan bahwa titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar. Hipotesis penelitian menyebutkan bahwa semakin positif persepsi santri terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup, maka akan semakin tinggi partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Hubungan antara persepsi santri dan partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan 55 hidup diuji menggunakan metode uji korelasi pearson. Dari hasil uji korelasi didapatkan nilai hubungan (r) secara keseluruhan yaitu r (sig) = 0.271 (0.147). Nilai p pada uji korelasi pearson (0.147) lebih besar dari taraf nyata yang ditentukan (0.05) sehingga dapat dikatakan bahwa secara statistik, tidak ada hubungan yang nyata antara persepsi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup terhadap partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup tersebut (Tabel 11). Tabel 11 Nilai Frekuensi Tabulasi Silang Hubungan Persepsi dengan Partisipasi dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Kategori partisipasi Kategori persepsi Total Rendah Rendah 7 Sedang 6 Tinggi 0 Sedang 2 1 3 6 Tinggi 5 3 3 11 14 10 6 30 Total r (sig) 13 0.271 (0.14) Hal tersebut tidak membuktikan bahwa semakin positif persepsi santri terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup, maka akan semankin tinggi partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Disamping itu, hal ini diduga karena minimnya akses informasi responden terhadap isu lingkungan hidup, minimnya pengetahuan responden tentang manfaat dari upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan di pesantren, serta tidak timbulnya kesadaran kritis dari responden atas program upaya pengelolaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah. Selain itu, upaya yang dilakukan pesantren untuk membentuk kemandirian santri melalui kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, belum menjadikan responden sebagai subyek yang sadar untuk turut berperan serta aktif dalam kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos yang dilakukan di pesantren. Responden menganggap pemilahan sampah dan 56 pembuatan pupuk kompos yang dilakukan di pondok hanya sekedar rutinitas kegiatan pondok, serta upaya yang sia-sia dalam menjaga lingkungan (pemilahan sampah), dan tidak berpengaruh terhadap perbaikan lingkungan (pembuatan pupuk kompos) (Tabel 5). Berlawanan dengan hasil tersebut, bapak BW menuturkan bahwa untuk pengelolaan lingkungan hidup, santri selalu diberi wejangan dan arahan untuk senantiasa mencintai dan menjaga lingkungan. Cara-cara yang dilakukan adalah dengan cara tidak langsung atau implisit. Seperti contoh, jika santri membuang sampah sembarangan, pernyataan Beliau ataupun Ustadz lainnya terhadap santri akan serupa yakni jika semua orang di bumi ini berpikir seperti kamu (santri tersebut), maka tidak lama, bumi ini akan cepat rusak. Dengan pernyataan seperti itu diharapkan kesadaran santri untuk memikirkan cara untuk mencintai dan menjaga lingkungan dengan sendirinya (mandiri). Selain itu, masalah penanaman nilai-nilai agama untuk mencintai lingkungan hidup, tidak hanya dilakukan pada pengajian kitab-kitab, melainkan juga disetiap materi pelajaran biasanya ustadz yang mengajar sebisa mungkin untuk selalu mengaitkan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an. Jika diperhatikan dari tipologi partisipasinya, partisipasi yang terjadi di pesantren adalah tipe partisipasi interaktif. Hal ini sesuai dengan penuturan ketiga informan, bahwa sebenarnya santri memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusan-keputusan mereka, dan mempunyai hak dalam keseluruhan proses kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di lingkungan pesantren, termasuk pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos, diluar waktu yang telah dijadwalkan Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tersebut utamanya tidak menggangu kegiatan akademik. Hal ini sesuai dengan karakteristik partisipasi interaktif yang 57 dipaparkan oleh Sumardjo (2009) bahwa (1) masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, (2) cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, dan (3) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Akan tetapi, yang terjadi adalah diduga responden kurang menyadari dengan stimulus (program pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos) yang telah diadakan pesantren sebagai sesuatu/program yang bermanfaat bagi pengelolaan lingkungan. Selanjutnya, kemudian yang terjadi adalah partisipasi semu (pseudo participation) dimana responden kurang terlibat dalam tahap perencanaan (Tabel 6), pelaksanaan (Tabel 7) dan evaluasi (Tabel 8) dalam pelaksanaan kedua program tersebut. Sesuai dengan pendapat Sumardjo (2009) bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan menyebabkan partisipasi semu (pseudo participation) atau partisipasi terpaksa dari warga masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. Fenomena ini bisa terjadi dikarenakan prasyarat dalam berpartisipasi yang menurut Sumardjo (2009) itu sendiri tidak terpenuhi. Adalah responden tidak sadar dengan kesempatan (termasuk didalamnya pengetahuan tentang manfaat pengelolaan sampah dan pembuatan pupuk kompos terhadap lingkungan), kemauan (sikap positif terhadap program pemilahan sampah dan pengelolaan lingkungan hidup) dari responden itu sendiri dirasa sangat kurang dengan hasil persepsi mereka terhadap pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos (Tabel 6), dan terakhir kemampuan (inisiatif) responden untuk 58 turut berpartisipasi dalam program pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos sangat kurang. Jika dilihat dari ciri kepatuhannya, Tabel 12 menjelaskan ciri kepatuhan responden yang seakan terpaksa mengikuti kedua kegiatan tersebut (pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos). Dari hasil jawaban kuesioner yang termasuk kedalam kategori rendah, diduga, responden memandang hanya sebuah keharusan untuk mengikuti kedua kegiatan tersebut karena merupakan kegiatan rutinitas pondok dan kurikulum pesantren yang harus diikuti. Tabel 12 Pengendalian Organisasi dan Ciri Kepatuhan Anggota Sistem Pengendalian Koersif Utilitarian Normatif Alienatif Kongruen Ciri Kepatuhan Kalkulatif Kongruen Sumber: Etzioni (1982) dalam Kolopaking dalam Sosilogi Umum (2003) Moral Kongruen Melihat pada pernyataan bapak BW di atas yang menginginkan tumbuhnya kesadaran dari santri itu sendiri, tipe pengendalian yang dilakukan pesantren dengan diadakannya program pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos adalah normatif yang harapan kongruensinya adalah moral santri. Hal ini kurang sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan secara keseluruhan partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup termasuk kedalam kategori rendah (53.3%) dengan nilai rata-rata skor yang didapatkan yaitu 4 (dari jumlah total skor yang didapatkan seluruh responden dibagi jumlah responden). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Etzioni (1982) dalam Kolopaking dalam Sosiologi Umum (2003) memaparkan bahwa ada tiga macam kepatuhan atau bentuk partisipasi yang ditimbulkan oleh suatu organisasi tertentu dalam suatu kondisi tertentu pula, yaitu: (1) partisipasi dengan ciri kepatuhan alienatif (keterlibatan terpaksa) yang dapat ditimbulkan oleh tipe pengendalian koersif, (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan dengan pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang 59 disediakan oleh organisasi) yang dapat ditimbulkan oleh tipe pengendalian utilitarian, dan (3) partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi) yang dapat ditimbulkan oleh tipe pengendalian normatif. Sementara itu, hasil di lapangan tidak membuktikan adanya proses aktif dan inisiatif yang dilakukan responden yang mengindikasikan kesadaran responden, terlebih kemandirian responden menanggapi kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos di pesantren sebagai bentuk dari upaya pengelolaan lingkungan hidup. Jadi, dapat disimpulkan bahwa partisipasi responden tersebut tidak sesuai dengan konsep dari pengertian partisipasi yang telah dikemukakan di awal. Partisipasi yang terjadi melainkan cenderung pada konsep dari pengertian yang lama, yang menurut Nasdian (2006) masih dipandang hanya “terbatas” pada implementasi atau kegiatan program. Partisipasi disini lebih bersifat pasif dan tidak memiliki kesadaran “kritis”, atau partisipasi masih dalam bentuk mobilisasi yang dilakukan pesantren untuk menumbuhkan kesadaran santri dan membentuk moral santri.