Partisipasi Santri dalam Upaya Pengelolaan

advertisement
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1
Persepsi Santri terhadap Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sugiyanto (1996) memberikan batasan tentang persepsi yaitu persepsi
merupakan proses kognitif dan afektif yang dialami setiap orang dalam
memahami informasi tentang lingkungannya melalui indera penglihatan,
pendengaran, penghayatan perasaan, dan penciuman yang diinformasikan
kepada dirinya dari lingkungan tempat orang tersebut berada. Sehingga,
persepsi tersebut dapat mempengaruhi keragaan perilakunya.
Persepsi dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan panduan
pertanyaan yang terdiri dari enam pertanyaan, yaitu (a) apakah kyai dan ustadz
menganjurkan santrinya untuk menjaga lingkungan, (b) apakah pembuatan
pupuk kompos dirasa tidak berpengaruh banyak terhadap lingkungan, (c) apakah
sampah yang sudah dikumpulkan lebih baik dibakar atau ditimbun, (d) apakah
santri memilah sampah karena rutinitas kegiatan di pondok, (e) apakah santri
boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos, (f) apakah pemilahan
sampah yang dilakukan merupakan upaya yang sia-sia dalam menjaga
lingkungan. (Terlampir)
Dari tabel 4 jawaban hampir seluruh responden (96.7 %) menyatakan
setuju dan 3.3 persen menyatakan tidak setuju untuk pernyataan pertama
persepsi dalam kuesioner bahwa Kyai dan Ustadz di Pesantren Pertanian Darul
Fallah
perlu
menganjurkan
santrinya
untuk
menjaga
lingkungan.
Ini
mengindikasikan bahwa secara kognitif, responden menyadari bahwa peran kyai
dan ustadz itu dirasa penting untuk selalu menganjurkan kepada santri untuk
39
menjaga lingkungan. Hal tersebut diduga karena Kyai dan Ustadz di Pesantren
Pertanian Darul Fallah mempunyai posisi dan peran penting terhadap kegiatan
santri di pondok dalam menjaga lingkungan. Artinya, dengan cara tersebut (Kyai
dan Ustadz menganjurkan santri menjaga lingkungan) diharapkan dapat
mempengaruhi persepsi responden tentang arti pentingnya menjaga lingkungan.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Van den Ban dan Hawkins (1999) yang
mengatakan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari
lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis.
Tabel 4 Sebaran Responden berdasarkan Rata-Rata Pencapaian Skor Persepsi Santri
No.
Pernyataan persepsi
1
Kyai dan Ustadz perlu menganjurkan santrinya untuk
menjaga lingkungan.
Pupuk kompos tidak berpengaruh terhadap
lingkungan.
Sampah yang sudah dikumpulkan, lebih baik dibakar
daripada ditimbun
Santri memilah sampah hanya karena rutinitas
kegiatan di pondok
Santri boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan
pupuk kompos.
Pemilahan sampah merupakan upaya yang sia-sia
untuk menjaga lingkungan.
Rata-rata ± SD
2
3
4
5
6
Rata-rata pencapaian skor
% ragu% tidak
% setuju
ragu
setuju
96.7
0.0
3.3
40.0
20.0
40.0
23.3
0.0
76.7
66.7
23.3
10.0
40.0
6.7
53.3
93.3
3.4
3.3
64.4 ± 13.3
Jawaban responden sebesar 40 persen menyatakan setuju, 20 persen
menyatakan ragu-ragu, dan 40 persen menyatakan tidak setuju untuk pernyataan
kedua persepsi dalam kuesioner yaitu pembuatan pupuk kompos dirasa tidak
banyak berpengaruh terhadap lingkungan. Jawaban responden tersebut
membuktikan bahwa hampir separuh responden (40%) yang menyatakan setuju
diduga karena responden tidak banyak mengetahui informasi tentang manfaat
(jangka panjang) dari pembuatan pupuk kompos terhadap lingkungan. Hal ini
diduga karena masih terbatasnya akses informasi yang didapatkan responden
mengenai kegunaan pupuk kompos dan manfaatnya terhadap lingkungan.
Karena pada dasarnya persepsi berhubungan erat dengan stimuli (informasi)
40
tentang
sesuatu
hal
yang
menyebabkan
seseorang
sadar
kemudian
pengetahuan dan pemahamannya meningkat. Hal tersebut diperkuat oleh
penjelasan Sarwono (1999) yang mengatakan bahwa persepsi dalam pengertian
psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami, dimana alat untuk
memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan. Sebaliknya, alat untuk
memahaminya adalah kesadaran atau kognisi.
Berbeda dengan dua jawaban responden pada dua pernyataan persepsi
di atas, sebesar 76.7 persen jawaban responden menyatakan tidak setuju dan
sisanya sebesar 23.3 persen responen menyatakan setuju untuk pernyataan
kuesioner ketiga. Adapun pernyataannya yaitu sampah yang sudah dikumpulkan,
lebih baik dibakar daripada ditimbun. Hal ini setidaknya menunjukkan
pengetahuan yang lebih baik dari mayoritas responden (76.7 %) mengenai efek
negatif dari sampah yang dibakar. Preferensi responden terhadap kegiatan
penanganan sampah tersebut secara kognitif lebih memilih sampah yang telah
dikumpulkan untuk ditimbun daripada dibakar. Ini diduga, informasi mengenai
efek negatif dari pembakaran sampah lebih banyak dan mudah didapatkan dan
diketauhi karena cenderung terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Prakteknya di lapangan terkait dengan perlakuan terhadap sampah yang
telah dikumpulkan terdapat dua cara. Pertama, untuk sampah organik yang telah
dikumpulkan kemudian ditimbun untuk dijadikan pupuk kompos, dan yang kedua
untuk sampah plastik atau sampah anorganik lainnya adalah dibakar. Sesuai
dengan penuturan bapak BW yang menyebutkan bahwa sampah organik seperti
dedaunan dan sampah organik lainnya dijadikan pupuk kompos (ditimbun),
sedangkan sampah plastik dan sampah anorganik lainnya masih dibakar.
Menurut beliau hal ini dilakukan karena ketiadaannya alat untuk mengolah limbah
plastik. Lebih lanjut, menurut beliau kalaupun sampah plastik dan sejenisnya
41
ditimbun, itu juga akan memakan waktu lama bisa sampai ratusan tahun untuk
dapat terurai. Jadi, untuk hal ini dan untuk sekarang ini sampah plastik lebih baik
dibakar walaupun itu merupakan tindakan yang tidak benar.
Pendapat Rakhmat (2001) mengungkapkan bahwa persepsi adalah
pengalaman belajar tentang objek peristiwa atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi juga
merupakan bentuk komunikasi intrapersonal yaitu komunikasi yang terjadi dalam
diri seseorang. Oleh karena itu, persepsi akan mempengaruhi seseorang dalam
berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dengan pihak lain.
Pernyataan kuesioner keempat menyebutkan bahwa menurut santri,
apakah santri memilah sampah hanya karena rutinitas kegiatan di pondok?
Jawaban yang didapatkan adalah sebesar 66.7 persen responden menyatakan
setuju, 23.3 persen responden menyatakan ragu-ragu, dan 10.0 persen
responden
menyatakan
tidak
setuju.
Persepsi
responden
tersebut
menggambarkan bahwa pemilahan sampah yang pernah dilakukan responden
(66.7%) hanya karena rutinitas di pesantren yang memang di Pesantren
Pertanian Darul Fallah ada jadwal kegiatan kebersihan (Terlampir), dan hanya
sedikit (10%) responden yang secara afektif tidak setuju bahwa kegiatan sampah
dipandang sekedar rutinitas di pondok, diduga responden tersebut memandang
kegiatan pemilahan sampah tersebut tidak hanya merupakan rutinitas, melainkan
pembelajaran yang baik untuk santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup
di pesantren. Sebagaimana diketahui kecenderungan responden terhadap
kegiatan pemilahan sampah masih dianggap oleh separuh responden (66.7%)
hanya sebagai rutinitas. Kecenderungan ini menunjukkan kurangnya apresiasi
dan kognisi para responden terhadap kegiatan tersebut. Disamping itu juga,
diduga responden kurang sadar dan kurang menangkap makna dari kegiatan
42
pemilahan sampah yang dilakukan pesantren terhadap upaya pengelolaan
lingkungan.
Perubahan yang terjadi terhadap kurikulum pendidikan pesantren telah
membuat kegiatan agribisnis termasuk pembuatan pupuk kompos sebagai
kurikulum pesantren yang dimasukkan dalam kegiatan belajar dan mengajar di
kelas. Kegiatan pembuatan pupuk kompos tersebut lebih cenderung di
perkenalkan di kegiatan praktikum kelas yang rentang dan jangka waktu kegiatan
praktikumnya terbatas. Hal ini menjadi tidak heran, ketika diajukan pernyataan
bahwa responden boleh tidak mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos.
Didapatkan dari hasil uji persepsi responden mengenai hal itu, hampir separuh
responden
(40.0%)
menyatakan
setuju
untuk
pernyataan
tersebut.
Ini
menggambarkan afeksi responden yang merasa tidak masalah dan boleh untuk
tidak mengikuti kegiatan pupuk kompos di pesantren tersebut. Sebaliknya,
sebesar 53.3 persen responden menayatakan tidak setuju jika santri tidak
mengikuti kegiatan pembuatan pupuk kompos. Hal tersebut diantaranya karena
secara afeksi, responden merasa pembuatan pupuk kompos yang telah menjadi
kurikulum mata ajaran dalam kegiatan belajar mengajar, memang harus diikuti
semua santrinya karena termasuk kedalam tugas praktikum. Disamping itu,
diduga secara kognitif responden merasa kegiatan tersebut perlu diketahui dan
dipelajari santri Pesantren Pertanian Darul Fallah karena terkait salah satu
kegiatan agribisnis unggulan di sana dan juga salah satu upaya pengelolan
lingkungan hidup di pesantren. Dan sisanya, sebesar 6.7 persen responden
menjawab ragu-ragu.
Hasil jawaban responden pada pernyataan kuesioner keempat yang
menunjukkan lebih banyak pernyataan responden yang setuju (66.7 %) bahwa
pemilahan sampah yang dilakukan di pesanten merupakan kegiatan rutinitas di
43
pondok. Hasil tersebut akan terasa sesuai jika kemudian melihat pada hasil
jawaban responden pada pertanyaan kuesioner yang terakhir tentang persepsi
responden dalam pengelolaan lingkungan hidup yang isi pernyataannya yaitu
pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren merupakan upaya yang sia-sia
untuk menjaga lingkungan. Terbukti secara empiris dari pernyataan tersebut
yaitu sebanyak 93.3 persen responden menyatakan setuju. Jika dilihat secara
afektif, diduga responden merasa kegiatan pemilahan sampah yang dilakukan itu
tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap lingkungan. Kemudian, jika dilihat
dari aspek kognitif, diduga responden masih sangat kurang mengerti manfaat
dari pemilahan sampah yang dilakukannya tersebut. Secara teknis, diduga
bahwa memang responden mengetahui hasil dari pemilahan sampah yang
dilakukan di pesantren yaitu untuk dijadikan pupuk kompos, dan pupuk kompos
berguna untuk menyuburkan tanaman. Sedangkan, diduga responden merasa
kegiatan pemilahan sampah tersebut seolah tidak mempunyai manfaat sama
sekali terhadap perbaikan lingkungan.
Dilihat dari hasil dua jawaban pernyataan persepsi responden mengenai
pemilahan sampah (pernyataan keempat dan pernyataan keenam), diduga
secara kognitif dan secara afektif responden masih kurang menyadari dan
memahami dan masih kurangnya akses informasi tentang kegunaan dan
manfaat pemilahan sampah yang dilakukan di pesantren. Terutama dalam
masalah menjaga lingkungan, diduga responden merasa kegiatan tersebut sama
sekali tidak berpengaruh terhadap lingkungan dan sia-sia. Selain itu, diduga
responden juga merasa kegiatan pemilahan sampah di pesantren hanya sebagai
rutinitas kegiatan pondok biasa yang sudah terjadwal setiap minggunya.
Diketahui bahwa lebih dari separuh responden (96.7%) menyatakan
setuju bahwa Kyai dan Ustadz masih perlu menganjurkan santrinya untuk
44
senantiasa menjaga lingkungan. Hasil ini kurang sesuai dengan pernyataan
bapak BW yang memaparkan bahwa Ustadz dan staf pesantren lainnya
melakukan penanaman moral kepada santrinya, termasuk dalam hal menjaga
kelestarian lingkungan, dengan demikian diharapkan menumbuhkan kemandirian
pada santri (sesuai dengan fokus penyelenggaraan pendidikan Pesantren
Pertanian Darul Fallah). Harapan dari timbulnya kemandirian adalah kemudian
santri dapat menyebarluaskan kepada lingkungan masyarakat tempat tinggal
mereka. Penanaman moral dan nilai-nilai agama oleh Kyai dan Ustadz dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya dilakukan dalam kegiatan belajar mengajar
(KBM) di dalam kelas formal, kegiatan di asrama (kurikulum pesantren), maupun
aplikasi langsung dari kegiatan sehari-hari di pesantren. Akan tetapi dari hasil
tersebut di atas, santri merasa masih perlu masukan-masukan dan anjurananjuran dari Kyai dan Ustadz dalam menjaga lingkungan. Hal ini diduga, hasil
tersebut juga bisa dikarenakan masih kurang intensifnya pemberian penanaman
moral dan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh Kyai dan Ustadz. Diduga juga
bahwa responden merasa dengan penanaman moral yang dilakukan oleh Kyai
dan Ustadz dapat diingat oleh responden terkait peran Kyai dan Ustadz di mata
santri.
Disamping
itu,
melihat
pada
pernyataan
ketiga
informan
yang
memaparkan bahwa di pesantren ada kegiatan memilah sampah yang dilakukan
setiap seminggu sekali. Kegiatan tersebut termasuk di dalamnya pembuatan
pupuk kompos dari sampah organik yang dikumpulkan oleh santri. Setiap santri
setidaknya harus mengumpulkan sampah organik dan anorganik masing-masing
satu kantong plastik sampah (trash bag). Pernyataan ketiga informan tersebut
bisa jadi mendukung pernyataan lebih dari separuh responden (66.7%) yang
menyatakan setuju bahwa kegiatan memilah sampah hanya merupakan kegiatan
45
rutinitas pondok. Hal ini diduga responden masih kurang sadar dengan stimulus
(kegiatan
memilah
sampah
tersebut)
yang
diadakan
pesantren
untuk
pengelolaan lingkungan hidup, sehingga responden hanya merasa sebatas
kegiatan pondok yang harus diikuti.
Fenomena lain yang ditemukan adalah hampir seluruh responden
(93.3%) menyatakan setuju bahwa kegiatan pemilahan sampah yang dilakukan
merupakan kegiatan yang sia-sia dalam menjaga lingkungan. Hal ini diduga
terkait dengan pengetahuan responden tentang menjaga lingkungan yang
disampaikan oleh Kyai dan Ustadz di Pondok masih kurang mengena kedalam
perilaku keseharian mereka. Bapak BW memaparkan bahwa untuk merubah
perilaku per individu santri itu memang tidak mudah. Salah satu hal yang
menyebabkan itu menjadi susah dalam merubah perilaku individu santri adalah
bagaimana lingkungan keluarga dan lingkungan di tempat tinggal mereka
mempengaruhinya. Jika perilaku keseharian keluarga jorok atau tidak terbiasa
mengajarkan untuk menjaga lingkungan dalam keseharian mereka, maka tidak
heran kebiasaan anak-anaknya pun akan ikut jorok dan kurang peduli terhadap
lingkungan serta tidak terbiasa untuk menjaga lingkungan. Jadi, menurut beliau
untuk mencapai pada tahap perubahan perilaku individu itu kembali pada pribadi
santri masing-masing, dengan kata lain, dibutuhkan kesadaran dari santri itu
sendiri.
Dari pernyataan-pernyataan persepsi pada tabel 5 di atas kemudian
dilakukan pemberian skor (scoring) untuk setiap pernyataan seluruh responden
sesuai dengan jenis kalimat pernyataannya. Setelah pemberian skornya
diseragamkan, kemudian dijumlahkan total skor yang diperoleh masing-masing
responden secara keseluruhan pada semua pernyataan persepsi tersebut.
(Untuk lebih jelas, dapat dilihat dalam Metode Penelitian dan Lampiran)
46
Secara keseluruhan sebaran responden pada aspek persepsi mengenai
upaya pengelolaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah
menyebar hampir merata (Tabel 5). Sebanyak sebelas responden atau 36.7
persen persepsi responden sudah termasuk kategori tinggi menurut metode
penentuan selang dan nilai interval kelas (Slamet 1993). Sebanyak 33.3 persen
persepsi responden termasuk kedalam kategori sedang dan sebanyak 30 persen
responden termasuk kedalam kategori rendah. Dilihat dari perolehan nilai ratarata juga menunjukkan bahwa persepsi santri terhadap upaya pengelolaan
lingkungan hidup termasuk kedalam kategori tinggi yaitu sebesar 9.4 (dari jumlah
keseluruhan total skor dibagi jumlah responden). Hal tersebut menunjukkan
bahwa secara kognitif dan secara afektif, sebagian responden mengetahui dan
merasa akan pentingnya pengadaan upaya pengeloaan lingkungan hidup di
Pesantren Pertanian Darul Fallah. Hal ini juga diduga tidak terlepas dari peranan
Kyai dan Ustadz dalam kehidupan dan keseharian santri dan intensitas interaksi
yang terjadi antara keduanya, ditambah lagi dari pengajian agama yang
dilakukan rutin di pesantren. Hal ini juga dapat terlihat dari pernyataan hampir
seluruh responden (96.7%) masih merasa perlu anjuran dan masukan dari Kyai
dan Ustadz.
Tabel 5 Sebaran Responden berdasarkan Total Skor Persepsi Santri
Total Skor
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Rendah (5 – 6)
9
30.0
Sedang (7 – 8)
10
33.3
Tinggi (9 – 10)
11
36.7
Jumlah
30
100.0
Rata-rata
9.4
Seperti yang telah didefinisikan Mulyana (2002) mengenai persepsi yang
merupakan
proses
internal
yang
memungkinkan
seseorang
memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungannya, dan
47
proses tersebut mempengaruhi perilaku orang tersebut. Begitupun dengan
pendapat Rakhmat (2001) yang mengungkapkan bahwa persepsi akan
mempengaruhi seseorang dalam berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dengan
pihak lain.
5. 2
Partisipasi Santri dalam Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
Menurut Nasdian (2006), selama ini konsep partisipasi dipandang hanya
“terbatas” pada implementasi atau penerapan program, masyarakat tidak
dikembangkan dayanya menjadi kreatif dan harus menerima keputusan yang
sudah diambil “pihak luar”, sehingga partisipasi disini lebih bersifat pasif dan tidak
memiliki kesadaran “kritis”. Disamping itu, Paul (1987) dalam Nasdian (2006)
menjelaskan bahwa partisipasi berkenaan dengan sebuah proses aktif dimana
penerima
keuntungan
mempengaruhi
arah
dan
pelaksanaan
proyek
pembangunan ketimbang melulu hanya menerima hasil keuntungan proyek.
Sebagaimana diketahui bahwa partisipasi diartikan tidak hanya sebatas
kewujudan raga dan keikutsertaan seseorang atau komunitas dalam suatu
kegiatan atau program tertentu. Lebih jauh lagi, partisipasi melihat kepada
pembangunan kesadaran kritis melalui proses aktif seseorang atau komunitas,
sehingga dengan sendirinya kemudian dapat mengerti arti dari keterlibatannya
tersebut. Untuk mencapai pada kesadaran kritis dalam proses partisipasi,
diperlukan pengetahuan bagi setiap orang atau komunitas tentang apa yang
akan akan dilakukan dalam suatu kegiatan atau program. Pengetahuan tersebut
minimal meliputi tujuan, hasil (output), dan manfaat dari kegiatan yang akan
dilaksanakan dimana orang atau komunitas yang terlibat turut menentukan dalam
pengambilan keputusan dan turut melaksanakannya.
Berkaitan dengan itu, dalam penelitian ini dibahas tentang partisipasi
responden dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di Pesantren Pertanian
48
Darul Fallah. Contoh kegiatan pengelolaan lingkungan hidup yang diteliti disana
adalah kegiatan pemilahan sampah dan kegiatan pembuatan pupuk kompos
yang terintegrasi dengan kurikulum pertanian Pesantren Pertanian Darul Fallah.
Hasil penelitian menunjukkan partisipasi yang rendah pada masingmasing kegiatan pengelolaan lingkungan hidup tersebut, baik dalam kegiatan
pemilahan sampah, maupun dalam kegiatan pembuatan pupuk kompos. Total
persentase partisipasi responden secara keseluruhan adalah sebesar 46.7
persen termasuk dalam kategori rendah, 33.3 persen termasuk kedalam kategori
sedang dan 20 persen termasuk kedalam kategori tinggi (Tabel 10).
Hal ini diduga karena responden merasa kegiatan pemilahan sampah dan
pembuatan pupuk kompos bukan masalah utama yang perlu diperhatikan,
sehingga menganggap kegiatan tersebut hanya sebagai kegiatan rutinitas
pondok pesantren (Tabel 5). Keterlibatan aktif mereka dalam pemilahan sampah
tidak disertai dengan rasa kebutuhan, sehingga tidak muncul kesadaran kritis.
Seperti yang telah dipaparkan oleh Nasdian (2006) bahwa partisipasi merupakan
proses aktif, inisiatif, diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara
berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan
mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
Partisipasi terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap perencanaan, tahap
pelaksanaan, tahap evaluasi dan tahap menikmati hasil. Seperti yang diutarakan
Cohen and Uphoff (1980) dalam Nasdian (2006) bahwa partisipasi melihat pada
keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penetapan
keputusan (pelaksanaan), penikmatan hasil, dan evaluasi.
5. 5. 1 Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan diukur dengan menggunakan panduan
pertanyaan yang terdiri dari lima buah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan
49
tersebut menunjukkan persentase pencapaian skor. Hampir seluruh responden
menjawab tidak untuk pernyataan responden ikut dalam setiap rapat penyusunan
program (86.7%), apakah responden ikut rapat dalam mementukan mekanisme
yang akan dilakukan (73.3%), apakah responden selalu mengikuti rapat (96.7%),
apakah responden aktif dalam memberikan saran dan masukan setiap rapat
(83.3%). Sementara itu, lebih dari separuh responden menjawab “ya” untuk
pernyataan sebelum pelaksanaan kegiatan sebelumnya diadakan penyusunan
program kegiatan (73.3%). Dari lima pertanyaan kuesioner tersebut sebagian
besar responden hanya aktif dalam rapat penyusunan program, dan kurang
terlibat aktif dalam tahap perencanaan lainnya dalam tahap perencanaan
tersebut. Secara keseluruhan nilai rata-rata dari tahap perencanaan adalah
sebesar 26.7 (Tabel 6). Hal ini menunjukkan bahwa dalam partisipasi pada tahap
perencanaan, responden kurang berperan. Ini diduga karena minimnya
kesadaran yang dimiliki responden dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Tabel 6 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap
Perencanaan
No.
1
2
3
4
5
Pernyataan partisipasi
Diadakan penyusunan program kegiatan sebelum pelaksanaan
kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos
Ikut dalam setiap rapat penyusunan program kegiatan tersebut
Rapat dalam menentukan mekanisme yang akan dilakukan sebelum
pelaksanaan program tersebut.
Selalu mengikuti rapat tersebut.
Aktif memberikan saran dan masukan setiap kali rapat tersebut
Rata-rata ± SD
Pencapaian skor
% tidak
% ya
26.7
73.3
86.7
13.3
73.3
26.7
96.7
83.3
3.3
16.7
26.7 ± 18.4
5. 5. 2 Tahap Pelaksanaan
Tahap
pelaksanaan
diukur
dengan
menggunakan
empat
buah
pernyataan yang sudah cukup spesifik. Pernyataan tersebut meliputi apakah
responden selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan memilah sampah,
apakah responden selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembuatan
pupuk kompos, apakah responden ikut aktif dalam setiap pelaksanaan kegiatan
50
memilah sampah, apakah responden ikut aktif dalam setiap pelaksanaan
kegiatan pembuatan pupuk kompos. Secara keseluruhan jawaban yang diberikan
oleh responden menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden menjawab
tidak untuk setiap pernyataan (Tabel 7). Ini menunjukkan bahwa responden
kurang terlibat secara penuh dalam kegiatan pemilahan sampah maupun
kegiatan pembuatan pupuk kompos. Fenomena ini diduga karena kurangnya
rasa kesadaran yang dimiliki responden untuk mengikuti setiap kegiatan
pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos.
Disamping itu, menurut penuturan bapak BW mengenai hal tersebut
adalah dikarenakan jadwal kegiatan santri yang lebih banyak di gunakan untuk
kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas formal. Lanjutnya, pada awalnya
pesantren didirikan secara independen, tidak terkait dengan departemen atau
instansi manapun, sehingga pesantren bisa fokus secara penuh terhadap bidang
pertanian (kegiatan agribisnis). Oleh karena itu, santri dapat terlibat sepenuhnya
dalam kegiatan pertanian. Akan tetapi, setelah melakukan akreditasi yang
mengacu pada kurikulum pendidikan dari Departemen Agama (DEPAG), hanya
sebagian kecil kegiatan pertanian (agribisnis) yang dilakukan santri, dan
selebihnya dilakukan oleh karyawan pesantren.
Terkait dengan hal tersebut, diperkuat oleh penuturan Bapak AL bahwa
kegiatan pertanian (agribisnis) pesantren terutama terkait pembuatan pupuk
kompos memang sebagian dilakukan oleh santri. Akan tetapi sekarang ada yang
lebih fokus menangani kegiatan pembuatan pupuk kompos tersebut (selain
pembuatan pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah) yaitu karyawan
pesantren. Tugas santri sekarang lebih fokus pada pelajaran sekolah, dan
sekarang pembuatan pupuk kompos diterapkan dalam praktikum di kelas formal
yang menjadi kurikulum kepesantrenan. Kurikulum kepesantrenan diterapkan
51
setelah melakukan akreditasi. Beliau menambahkan, sebenarnya responden bisa
melakukan kegiatan pupuk kompos di luar praktikum di kelas.
Tabel 7 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi santri pada Tahap
Pelaksanaan
No.
Pernyataan partisipasi
6
Selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan memilah
sampah
Selalu hadir dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembuatan
pupuk kompos
Ikut aktif dalam setiap kali hadir dalam pelaksanaan kegiatan
memilah sampah
Ikut aktif dalam setiap kali hadir dalam pelaksanaan kegiatan
pembuatan pupuk kompos
Rata-rata ± SD
7
8
9
Pencapaian skor
% tidak
% ya
56.7
43.3
80.0
20.0
63.3
36.7
76.7
23.3
30.8 ± 32.0
5. 5. 3 Tahap Evaluasi
Pada
menunjukkan
tahapan
evaluasi
keikutsertaan
diukur
responden
dengan
pernyataan
dalam
penyusunan
yang
lebih
pedomanan
pengendalian dan penilaian hasil perencanaan dan pelaksanaan. Tabel 8
menunjukkan bahwa separuh responden menjawab “tidak” untuk pernyataan
apakah responden ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pemilihan
sampah (60.0%), dan pembuatan pupuk kompos (50.0%). Sementara itu, hampir
seluruh responden menjawab “tidak” untuk pernyataan apakah responden ikut
dalam penyusunan pedoman pengendalian evaluasi kegiatan pemilahan sampah
(83.3%) dan kegiatan pembuatan pupuk kompos (86.7%), apakah santri ikut
dalam mengumpulkan data guna penilaian perencanaan dan pelaksanaan dalam
kegiatan pemilahan sampah (86.7%) dan pembuatan pupuk kompos (90.0%).
Hasil ini menunjukkan kurangnya keikutsertaan responden dalam evaluasi
kegiatan yang dilakukan baik dalam pemilahan sampah maupun dalam
pembuatan pupuk kompos. Hal ini diduga karena minimnya pengetahuan dan
kesadaran responden mengenai pentingnya evaluasi dalam setiap kegiatan yang
dilakukan.
52
Tabel 8 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap
Evaluasi
No.
Pernyataan partisipasi
10
Ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pemilahan
sampah
Ikut serta dalam pelaksanaan evaluasi kegiatan pembuatan pupuk
kompos
Ikut menyusun pedoman pengendalian dalam evaluasi kegiatan
pemilahan sampah
Ikut menyusun pedoman pengendalian dalam evaluasi
pelaksanaan pembuatan pupuk kompos
Ikut mengumpulkan data guna penilaian, perencanaan dan
pelaksanaan pemilahan sampah.
Ikut mengumpulkan data guna penilaian, perencanaan dan
pelaksanaan pembuatan pupuk kompos.
Rata-rata ± SD
11
12
13
14
15
Pencapaian skor
% tidak
% ya
60.0
40.0
50.0
50.0
83.3
16.7
86.7
13.3
86.7
13.3
90.0
10.0
23.9 ± 29.3
5. 5. 4 Tahap Menikmati Hasil
Pada tahap ini, rata-rata pencapaian skor yang dicapai oleh responden
adalah 36.7 (Tabel 9). Hasil ini menunjukkan bahwa pada tahap menikmati
hasilpun, responden kurang ikut serta. Hal ini kurang sesuai dengan penuturan
bapak BW dan diperkuat kedua informan lainnya bahwa pada penikmatan hasil
dari pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos oleh santri digunakan
sepenuhnya untuk kepentingan program berkebun santri. Hal ini diduga, karena
hanya sebagian kecil dari responden saja yang turut aktif mengerjakan kegiatan
berkebun (termasuk masalah penggunaan pupuk kompos dari hasil pemilahan
sampah dan pembuatan pupuk kompos).
Tabel 9 Sebaran Responden berdasarkan Persentase Partisipasi Santri pada Tahap
Menikmati Hasil
No.
Pernyataan partisipasi
16
17
Menikmati hasil dari kegiatan pemilahan sampah
Menikmati hasil dari kegiatan pembuatan pupuk kompos
Rata-rata ± SD
Rata-rata pencapaian skor
% tidak
% ya
63.3
36.7
63.3
36.7
36.7 ± 47.2
Berdasarkan Tabel 10 nilai skor secara keseluruhan yang diperoleh
responden pada semua tahapan partisipasi dalam upaya pengelolaan lingkungan
hidup di pesantren Pertanian Darul Fallah termasuk ke dalam kategori rendah
53
(53.3%). Akan tetapi sudah ada yang termasuk kedalam kategori sedang (30.0%)
dan tinggi (16.7%). Dilihat dari nilai rata-rata skor yang didapatkan yaitu 4 (dari
jumlah total skor yang didapatkan seluruh responden dibagi jumlah responden)
yang menunjukkan bahwa partisipasi responden dalam upaya pengelolaan
lingkunga hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah tersebut termasuk ke dalam
kategori rendah (0 - 4.66). Hal ini diduga karena tidak ada proses aktif dan insiatif
dari responden menanggapi upaya pengelolaan lingkungan hidup yang diadakan
pesantren.
Diduga baik kegiatan pemilahan sampah maupun kegiatan
pembuatan pupuk kompos dianggap bukan sebagai masalah utama yang harus
diperhatikan, dan atau karena rendahnya rendahnya akses informasi responden
mengenai isu lingkungan hidup, sehingga responden kurang terlibat dalam
partisipasi pengelolaan lingkungan hidup di pesantren.
Fenomena ini juga diduga dipengaruhi oleh perubahan status pondok
pesantren yang awalnya independen dan fokus pendidikan pesantren yaitu
pendidikan moral, nilai-nilai agama dan bidang agribisnis, kemudian berubah
menjadi sekolah formal seperti pada umumnya. Sekolah formal yang
diselenggarakan di Pesantren Pertanian Darul Fallah mengakreditasi pada
kurikulum pendidikan Departemen Agama (DEPAG) dan Pendidikan Nasional
(DIKNAS), sehingga lebih banyak waktu para santrinya yang dihabiskan untuk
kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas formal. Sementara itu, masalah
agribisnis hanya menjadi kurikulum kepesantrenan yang diterapkan pada
sebagian pelajaran di luar pelajaran sekolah pada umumnya. Selanjutnya, praktik
agribisnis, termasuk pembuatan pupuk kompos hanya dilakukan sekedar kerja
kelompok pada kegiatan praktikum. Selain itu, pemilahan sampah yang dilakukan
di pesantren hanya dilakukan seminggu sekali sesuai dengan kegiatan rutin
pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah. (Terlampir)
54
Tabel 10 Sebaran Responden berdasarkan Total Skor Partisipasi Santri
Total Skor
Frekuensi (n)
Persentase (%)
Rendah (0 – 4.66)
16
53.3
Sedang (4.67 – 9.33)
9
30.0
Tinggi (9.34 – 13)
5
16.7
Jumlah
30
100.0
Rata-rata
5. 3
4
Hubungan Persepsi dengan Partisipasi Responden dalam Upaya
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Asngari (1984) menekankan mekanisme proses pembentukan persepsi,
yaitu proses dimana informasi yang diterima seseorang melalui seleksi,
kemudian disusun menjadi satu kesatuan yang bermakna, dan terakhir
diinterpretasikan. Sugiyanto (1996) memberi batasan tentang persepsi bahwa
persepsi merupakan proses kognitif dan afektif yang dialami setiap orang dalam
memahami informasi tentang lingkungannya melalui indera penglihatan,
pendenganaran, penghayatan perasaan, dan penciuman yang diinformasikan
kepada dirinya dari lingkungan tempat orang tersebut berada, sehingga dapat
mempengaruhi keragaan perilakunya.
Pengertian tersebut di atas menekankan bahwa persepsi dapat
mempengaruhi
keragaan
perilaku
seseorang
yang
pada
akhirnya
menginterpretasikan informasi yang ia peroleh, dengan kata lain, partisipasi.
Serupa dengan konsep tersebut, Nasdian (2006) menjelaskan bahwa titik tolak
partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan
tindakan tersebut sebagai subyek yang sadar.
Hipotesis penelitian menyebutkan bahwa semakin positif persepsi santri
terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup, maka akan semakin tinggi
partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Hubungan
antara persepsi santri dan partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan
55
hidup diuji menggunakan metode uji korelasi pearson. Dari hasil uji korelasi
didapatkan nilai hubungan (r) secara keseluruhan yaitu r (sig) = 0.271 (0.147).
Nilai p pada uji korelasi pearson (0.147) lebih besar dari taraf nyata yang
ditentukan (0.05) sehingga dapat dikatakan bahwa secara statistik, tidak ada
hubungan yang nyata antara persepsi santri dalam upaya pengelolaan
lingkungan hidup terhadap partisipasi santri dalam
upaya pengelolaan
lingkungan hidup tersebut (Tabel 11).
Tabel 11 Nilai Frekuensi Tabulasi Silang Hubungan Persepsi dengan Partisipasi dalam
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kategori partisipasi
Kategori
persepsi
Total
Rendah
Rendah
7
Sedang
6
Tinggi
0
Sedang
2
1
3
6
Tinggi
5
3
3
11
14
10
6
30
Total
r (sig)
13
0.271 (0.14)
Hal tersebut tidak membuktikan bahwa semakin positif persepsi santri
terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup, maka akan semankin tinggi
partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Disamping
itu, hal ini diduga karena minimnya akses informasi responden terhadap isu
lingkungan hidup, minimnya pengetahuan responden tentang manfaat dari upaya
pengelolaan lingkungan yang dilakukan di pesantren, serta tidak timbulnya
kesadaran kritis dari responden atas program upaya pengelolaan lingkungan
hidup di Pesantren Pertanian Darul Fallah.
Selain
itu,
upaya
yang
dilakukan
pesantren
untuk
membentuk
kemandirian santri melalui kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, belum
menjadikan responden sebagai subyek yang sadar untuk turut berperan serta
aktif dalam kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos yang
dilakukan di pesantren. Responden menganggap pemilahan sampah dan
56
pembuatan pupuk kompos yang dilakukan di pondok hanya sekedar rutinitas
kegiatan pondok, serta upaya yang sia-sia dalam menjaga lingkungan
(pemilahan sampah), dan tidak berpengaruh terhadap perbaikan lingkungan
(pembuatan pupuk kompos) (Tabel 5).
Berlawanan dengan hasil tersebut, bapak BW menuturkan bahwa untuk
pengelolaan lingkungan hidup, santri selalu diberi wejangan dan arahan untuk
senantiasa mencintai dan menjaga lingkungan. Cara-cara yang dilakukan adalah
dengan cara tidak langsung atau implisit. Seperti contoh, jika santri membuang
sampah sembarangan, pernyataan Beliau ataupun Ustadz lainnya terhadap
santri akan serupa yakni jika semua orang di bumi ini berpikir seperti kamu
(santri tersebut), maka tidak lama, bumi ini akan cepat rusak. Dengan pernyataan
seperti itu diharapkan kesadaran santri untuk memikirkan cara untuk mencintai
dan menjaga lingkungan dengan sendirinya (mandiri). Selain itu, masalah
penanaman nilai-nilai agama untuk mencintai lingkungan hidup, tidak hanya
dilakukan pada pengajian kitab-kitab, melainkan juga disetiap materi pelajaran
biasanya ustadz yang mengajar sebisa mungkin untuk selalu mengaitkan dengan
nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Jika diperhatikan dari tipologi partisipasinya, partisipasi yang terjadi di
pesantren adalah tipe partisipasi interaktif. Hal ini sesuai dengan penuturan
ketiga informan, bahwa sebenarnya santri memiliki peran untuk mengontrol atas
(pelaksanaan) keputusan-keputusan mereka, dan mempunyai hak dalam
keseluruhan proses kegiatan pengelolaan lingkungan hidup di lingkungan
pesantren, termasuk pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos, diluar
waktu yang telah dijadwalkan Pondok Pesantren Pertanian Darul Fallah. Hal
yang perlu diperhatikan dalam kegiatan tersebut utamanya tidak menggangu
kegiatan akademik. Hal ini sesuai dengan karakteristik partisipasi interaktif yang
57
dipaparkan oleh Sumardjo (2009) bahwa (1) masyarakat berperan dalam analisis
untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan,
(2) cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman
perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, dan (3)
masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas (pelaksanaan) keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
Akan tetapi, yang terjadi adalah diduga responden kurang menyadari
dengan stimulus (program pemilahan sampah dan pembuatan pupuk kompos)
yang telah diadakan pesantren sebagai sesuatu/program yang bermanfaat bagi
pengelolaan lingkungan. Selanjutnya, kemudian yang terjadi adalah partisipasi
semu (pseudo participation) dimana responden kurang terlibat dalam tahap
perencanaan (Tabel 6), pelaksanaan (Tabel 7) dan evaluasi (Tabel 8) dalam
pelaksanaan kedua program tersebut. Sesuai dengan pendapat Sumardjo (2009)
bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan
pengambilan keputusan pembangunan menyebabkan partisipasi semu (pseudo
participation)
atau
partisipasi
terpaksa
dari
warga
masyarakat
dalam
pelaksanaan pembangunan.
Fenomena ini bisa terjadi dikarenakan prasyarat dalam berpartisipasi
yang menurut Sumardjo (2009) itu sendiri tidak terpenuhi. Adalah responden
tidak sadar dengan kesempatan (termasuk didalamnya pengetahuan tentang
manfaat pengelolaan sampah dan pembuatan pupuk kompos terhadap
lingkungan), kemauan (sikap positif terhadap program pemilahan sampah dan
pengelolaan lingkungan hidup) dari responden itu sendiri dirasa sangat kurang
dengan hasil persepsi mereka terhadap pemilahan sampah dan pembuatan
pupuk kompos (Tabel 6), dan terakhir kemampuan (inisiatif) responden untuk
58
turut berpartisipasi dalam program pemilahan sampah dan pembuatan pupuk
kompos sangat kurang.
Jika dilihat dari ciri kepatuhannya, Tabel 12 menjelaskan ciri kepatuhan
responden yang seakan terpaksa mengikuti kedua kegiatan tersebut (pemilahan
sampah dan pembuatan pupuk kompos). Dari hasil jawaban kuesioner yang
termasuk kedalam kategori rendah, diduga, responden memandang hanya
sebuah keharusan untuk mengikuti kedua kegiatan tersebut karena merupakan
kegiatan rutinitas pondok dan kurikulum pesantren yang harus diikuti.
Tabel 12 Pengendalian Organisasi dan Ciri Kepatuhan Anggota
Sistem Pengendalian
Koersif
Utilitarian
Normatif
Alienatif
Kongruen
Ciri Kepatuhan
Kalkulatif
Kongruen
Sumber: Etzioni (1982) dalam Kolopaking dalam Sosilogi Umum (2003)
Moral
Kongruen
Melihat pada pernyataan bapak BW di atas yang menginginkan
tumbuhnya kesadaran dari santri itu sendiri, tipe pengendalian yang dilakukan
pesantren dengan diadakannya program pemilahan sampah dan pembuatan
pupuk kompos adalah normatif yang harapan kongruensinya adalah moral santri.
Hal ini kurang sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan secara
keseluruhan partisipasi santri dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup
termasuk kedalam kategori rendah (53.3%) dengan nilai rata-rata skor yang
didapatkan yaitu 4 (dari jumlah total skor yang didapatkan seluruh responden
dibagi jumlah responden). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Etzioni (1982)
dalam Kolopaking dalam Sosiologi Umum (2003) memaparkan bahwa ada tiga
macam kepatuhan atau bentuk partisipasi yang ditimbulkan oleh suatu organisasi
tertentu dalam suatu kondisi tertentu pula, yaitu: (1) partisipasi dengan ciri
kepatuhan alienatif (keterlibatan terpaksa) yang dapat ditimbulkan oleh tipe
pengendalian koersif, (2) partisipasi dengan ciri kepatuhan kalkulatif (keterlibatan
dengan pertimbangan balas jasa setimpal dengan tawaran kegiatan yang
59
disediakan oleh organisasi)
yang dapat ditimbulkan oleh tipe pengendalian
utilitarian, dan (3) partisipasi dengan ciri kepatuhan moral (keterlibatan dengan
dasar mengemban dan menghargai atau rela membantu organisasi) yang dapat
ditimbulkan oleh tipe pengendalian normatif.
Sementara itu, hasil di lapangan tidak membuktikan adanya proses aktif
dan inisiatif yang dilakukan responden yang mengindikasikan kesadaran
responden, terlebih kemandirian responden menanggapi kegiatan pemilahan
sampah dan pembuatan pupuk kompos di pesantren sebagai bentuk dari upaya
pengelolaan lingkungan hidup. Jadi, dapat disimpulkan bahwa partisipasi
responden tersebut tidak sesuai dengan konsep dari pengertian partisipasi yang
telah dikemukakan di awal. Partisipasi yang terjadi melainkan cenderung pada
konsep dari pengertian yang lama, yang menurut Nasdian (2006) masih
dipandang hanya “terbatas” pada implementasi atau kegiatan program.
Partisipasi disini lebih bersifat pasif dan tidak memiliki kesadaran “kritis”, atau
partisipasi masih dalam bentuk mobilisasi yang dilakukan pesantren untuk
menumbuhkan kesadaran santri dan membentuk moral santri.
Download