ANALISIS VEGETASI STRATA SEMAK DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS Oleh 1 Ratih Agustin1, Merti Triyanti2, Hj. Ivoni Susanti3 Alumni Program Studi Pendidikan Biologi, STKIP-PGRI Lubuklinggau 2 Dosen Pembimbing Utama, 3Dosen Pembimbing Pembantu Email: [email protected] Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam STKIP-PGRI Lubuklinggau ABSTRACT This study aims to find out the Importance Value Index (INP), Diversity Index (H ') and abiotic environmental factors (soil temperature, air temperature, soil pH, air humidity and soil moisture) bush strata vegetation in Bukit Cogong Musi Rawas District. The research method used is the method without plot (Plotless) centered on the point (Point Centered Quarter Method). The results of the research on the highest A, B and C index of Important Value Index (INP) were Clidemia hirta 90.55%, 82.03% and 76.34%. The lowest INPs in the A, B and C Study Areas were Sauropus androgynus (1.04%), Ficus septicum (3.03%), Capsicum frutescens (2.82%). Diversity Index (H ') of bush strata vegetation in Bukit Cogong Musi Rawas District is Area Study A 2.13, Area Study B 1.77, and Study Area C 1.61. The air temperature in the Cogong forest forests protection area ranges from 28.30C-300C with air humidity 86% -93%. While the soil temperature ranged from 27.30C-29.60C with soil moisture ranged from 0.8 to 1.7 and soil pH ranged from 6.3 to 6.7. keywords: vegetation analysis, bush strata, cogong hill ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui Indeks Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman (H’) dan faktor lingkungan abiotik (suhu tanah, suhu udara, pH tanah, kelembaban udara dan kelembaban tanah) vegetasi strata semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas. Metode penelitian yang digunakan adalah metode tanpa plot (Plotless) yang berpusat pada titik (Point Centered Quarter Method). Hasil penelitian pada Area Kajian A, B dan C Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 90.55 %, 82.03 % dan 76.34 %. INP terendah pada Area Kajian A, B dan C adalah Sauropus androgynus (1.04 %), Ficus septicum (3.03 %), Capsicum frutescens (2.82 %). Indeks Keanekaragaman (H’) vegetasi strata semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas adalah Area Kajian A 2.13, Area Kajian B 1.77, dan Area Kajian C 1.61. Suhu udara di areal perlindungan hutan kemasyarakatan Bukit Cogong berkisar 28,30C-300C dengan kelembaban udara 86%-93%. Sedangkan suhu tanah berkisar 27,30C-29,60C dengan kelembaban tanah berkisar 0,8-1,7 dan pH tanah berkisar 6,3-6,7. Kata kunci: analisis vegetasi, strata semak, bukit cogong 1 PENDAHULUAN Indonesia memiliki hutan seluas 120 juta Ha, 58 juta Ha adalah kawasan hutan produksi (48 %), 33,5 juta Ha kawasan hutan lindung (28 %), 20,5 juta Ha kawasan hutan konservasi (17 %) dan 8 juta Ha kawasan hutan yang dapat dikonservasi atau 7 % (Alam dan Hajawa, 2007:59). Luas 120 juta Ha hutan Indonesia juga termasuk bagian dari hutan Sumatera Selatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.76/KptsII/2001 tanggal 15-03-2001 hutan Sumatera Selatan memiliki luas ± 4.416.837 Ha. Luas kawasan hutan ini mencakup 40,43 % dari luas Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan hutan tersebut terdiri dari kawasan hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan hutan produksi. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas dari kawasan hutan lindung Sumatera Selatan adalah 577.327 Ha. Luas kawasan hutan lindung tersebut termasuk juga luas dari Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Musi Rawas yang seluas 89.511 Ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 76/Menhut-II/2001 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan adalah Bukit Cogong dijadikan sebagai Hutan Lindung yang ada di Kapubaten Musi Rawas. Bukit Cogong (HLBC) terdiri atas tiga bukit yaitu Bukit Gatan (± 567 Ha), Bukit Botak (± 53 Ha), dan Bukit Besar (± 1.222 Ha). Bukit Besar disebut juga Bukit Cogong II dan merupakan bukit terbesar diantara ketiga bukit tersebut. Bukit Cogong II terletak di Kabupaten Musi Rawas (Kec. Suku Tengah Lakitan (STL). Ulu Terawas dan Kec. Tugumulyo) dan Kota Lubuklinggau (Kec. Lubuklinggau Utara I). Bukit Cogong II terbagi menjadi tiga wilayah yaitu Hutan Pemanfaatan, Hutan Perlindungan dan Hutan Konservasi. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas memberikan kepada Kelompok Tani untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar 290 Ha sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hutan Kemasyarakatan Bukit Cogong terdiri dari Hutan Pemanfaatan (205 Ha) dan Hutan Perlindungan (85 Ha) (Cahyono, 2013:31). Hutan Perlindungan Bukit Cogong II merupakan ekosistem hutan yang terdiri dari komunitas pohon, komunitas tiang, komunitas pancang, komunitas semak, komunitas herba, komunitas liana. Menurut Hilwan (2014:6) ekosistem hutan merupakan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan ini terlihat dengan adanya variasi dalam jumlah masing-masing jenis tumbuhan dan terbentuknya struktur masyarakat tumbuh-tumbuhan tersebut. Terbentuknya pola keanekaragaman dan struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Hutan memiliki vegetasi, menurut Yatim (1999:774) vegetasi adalah kumpulan dari tumbuh-tumbuhan. Vegetasi mempunyai komposisi dan struktur yang akan 2 diketahui dan dianalisis yang sering disebut dengan analisis vegetasi. Sedangkan menurut Heddy (2012:45) untuk mengetahui analisis vegetasi tersebut dapat menggunakan metode-metode, seperti metode Bitterlich, metode pasangan acak, metode kuarter. Salah satu penyusun vegetasi adalah semak. Menurut Yatim (1999:774) semak adalah lapisan yang tumbuhan berumpun dengan batang pendek dengan tinggi dibawah 1,5 meter. Sedangkan menurut Mandiri (2012:142) semak juga merupakan tumbuhan berkayu yang tingginya lebih dari satu meter, tetapi lebih rendah dari pada perdu dan hanya dahan-dahan utamanya saja yang berkayu. Hutan Lindung Bukit Cogong banyak terdapat vegetasi seperti pohon, semak, tiang, pancang, herba dan liana. Namun vegetasi semak belum teridentifikasi struktur dan komposisi vegetasinya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian dengan judul Analisis Vegetasi Strata Semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2017 di Hutan Perlindungan Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas yaitu, Bukit Cogong II (Bukit Besar). Penentuan analisis vegetasi strata semak menggunakan metode tanpa plot (Plotless) yang terpusat di titik (point-centered quarter method) atau metode kuadran. Dalam metode ini, empat jarak diukur tiap-tiap titik sampling. Pada setiap titik dibuat empat kuadran (quarter) dengan membuat garis saling tegak lurus. Kemudian diukur jarak semak terdekat ke titik sampling dari masing-masing kuadran, kemudian diratarata (Wiryono, 2012:106). Alat-alat yang digunakan adalah kantong plastik, meteran (pita ukur), tali rafia, jangka sorong, pasak, Soil Tester, Thermometer, Hygrometer, Log book dan tabel pengamatan. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta Bukit Cogong, semua jenis vegetasi strata semak yang ditemukan di lokasi penelitian. Sampel penelitian diambil 3 area kajian, yaitu area kajian A (daerah pangkal), area kajian B (daerah tengah), dan area kajian C (daerah ujung). Sampel penelitian ditetapkan dengan metode Purposive sampling. Metode ini merupakan metode penentuan sampel secara sengaja yang dianggap representatif (Fachrul, 2012:13) atau teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012:124). Secara keseluruhan luas area penelitian yaitu 17 ha atau 170.000 m2 yang diambil 20% dari keseluruhan luas seluruh lokasi penelitian (Irawati, 2014:11) dan luas area hutan perlindungan seluruhnya yaitu 85 ha atau 850.000 m2. Sehingga luas masing-masing area kajian 56.666 m2. Pada masing-masing area kajian diletakkan 10 stand. Pada setiap stand penelitian diletakkan garis transek utama sepanjang 560 m dengan jarak 3 antar stand yaitu 6,6 m dan dibuat 10 titik sampling yang memotong garis transek utama yang masing-masing berjarak 56 m. Pada setiap titik sampling ditentukan empat garis atau kuadran. Pada setiap kuadran ditentukan satu jenis semak yang mempunyai jarak terdekat dengan titik sampling. Semak yang dipilih kemudian dicatat jenisnya, diukur diameter batangnya dengan jangka sorong diatas permukaan tanah (Hairiah, 2011:8), dan jarak semak tersebut terhadap titik sampling. Pencatatan jenis semak dilakukan dengan bantuan seorang pengenal semak setempat yaitu Bapak Nibuansyah selaku ketua kelompok tani kehutanan dan buku acuan yaitu buku Flora karangan G.C.C.J. Van Steenis (2013). Masing-masing stand diukur keadaan abiotiknya, yaitu suhu tanah dan suhu udara diukur dengan termometer, pH tanah dan kelembaban tanah diukur dengan soil tester dan kelembaban udara diukur dengan higrometer. Pengukuran faktor lingkungan abiotik di setiap stand dilaksanakan pada saat penelitian. Parameter vegetasi semak yang dianalisis adalah Densitas, Densitas Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif, Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’). Parameter vegetasi semak yang diperoleh saat penelitian adalah nama spesies, jarak spesies ke titik sampling, keliling batang dan diameter. Menurut Rasidi (2004:5.9) dan Fachrul (2012:51), rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: 𝒅𝒊𝒂𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓 Jari-jari = Basal area = 3.14 x r2 Rata-rata jarak = 𝟒 𝒙 𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 Densitas mutlak (DT) = (𝒓𝒂𝒕𝒂−𝒓𝒂𝒕𝒂 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌)2 𝟐 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒋𝒂𝒓𝒂𝒌 𝒖𝒏𝒊𝒕 𝒂𝒓𝒆𝒂 Parameter vegetasi terdiri atas: 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊 1) Densitas tiap spesies (Ki) = 𝟒𝒙𝒋𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒙 𝑫𝑻 𝑫𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒊 2) Densitas Relatif (KRi) = 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒅𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 3) Frekuensi (Fi) = 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒊𝒕𝒊𝒌 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒍𝒊𝒏𝒈 𝑭𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒊 4) Frekuensi Relatif (FRi) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒇𝒓𝒆𝒌𝒖𝒆𝒏𝒔𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 5) Dominansi (Di) = 𝑹𝒂𝒕𝒂 𝒃𝒂𝒔𝒂𝒍 𝒂𝒓𝒆𝒂 𝒋𝒆𝒏𝒊𝒔 𝒊 𝑿 𝒅𝒆𝒏𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒊 𝑫𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒊 6) Dominansi Relatif (DRi) = 𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒅𝒐𝒎𝒊𝒏𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒙 𝟏𝟎𝟎% 4 7) INP = KRi + FRi + DRi Perhitungan indeks keanekaragaman dapat dihitung menurut Shannon Wiener, yaitu: 𝒏𝒊 𝒏𝒊 H’ = − ∑ {( 𝑵 ) 𝒍𝒏 ( 𝑵 )} Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman Shannon ni = jumlah individu dari suatu spesies N = jumlah total individu HASILDAN PEMBAHASAN 1. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian A Gambar 1. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian A 2. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian B Gambar 2. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian B 3. Indeks Nilai Penting Spesies Semak pada Area Kajian C Gambar 3. Grafik Rerata INP Strata Semak di Area Kajian C 5 4. Indeks Keanekaragaman Vegetasi Strata Semak pada Area Kajian A, B dan C Tabel 1. Tabel Indeks Keanekaragaman Vegetasi Strata Semak pada Area Kajian A, B dan C 5. Faktor Lingkungan Abiotik yang diukur pada Area Kajian A, B dan C Tabel 2. Tabel Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan Abiotik pada Area Kajian A, B dan C Area Kajian A terdapat 14 jenis untuk strata semak dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi adalah tumbuhan Seduduk Lanang (Clidemia hirta) sebesar 121,08 %. Tumbuhan C. hirta merupakan tumbuhan tahunan yang tangguh, perakaran kuat, batangnya keras bila ditebas akan tumbuh tunas-tunas baru. Tumbuhan ini akan tumbuh pada tanah yang lembab atau agak kering, lokasi terbuka atau ternaungi, yang mana Gambar 4. Clidemia hirta berbunga sepanjang tahun (Faisal, 2011:47). Sedangkan rerata INP terkecil pada Area Kajian A terdapat pada tumbuhan Katu (Sauropus androgynus) yaitu sebesar 1,04 %. Tumbuhan S. androgynus merupakan tumbuhan yang berasal dari India dan Srilanka. Tumbuhan S. androgynus berupa tumbuhan yang tumbuh menahun, batang ramping sehingga sering ditanam beberapa batang sekaligus sebagai tanaman pagar Gambar 5. Sauropus androgynus 6 yang tingginya sekitar 1-2 m. Batang tumbuhan ini tumbuh tegak, saat masih muda berwarna hijau, setelah tua menjadi kelabu keputihan, berkayu dan memiliki percabangan yang jarang (Susila, 2012:21). Rerata Indeks Keanekaragaman (H’) pada Area Kajian sebesar 1,67 dan pada kesepuluh stand termasuk kedalam kategori sedang melimpah. Indeks Keanekargaman (H’) tertinggi adalah Stand 7 yang memiliki sepuluh jenis tumbuhan strata semak. Sedangkan yang terkecil adalah stand 4 yang memiliki empat jenis tumbuhan strata semak. Menurut Indriyanto (2012:146), keanekaragaman sedang melimpah berarti komunitas didalam ekosistem hutan disusun oleh banyak spesies yang berinteraksi antar spesies seimbang. Pertumbuhan Clidemia hirta tidak terlepas dari berbagai faktor, misalnya habitat dan lingkungan abiotik. Menurut Palijama (2012:139) Clidemia hirta hidup pada tempat yang ternaungi (teduh) dan memiliki pH tanah yang bersifat asam. Pada Area Kajian A, memiliki suhu udara berkisar 280C-290C dikarenakan pengukuran dilakukan di tempat yang terbuka sehingga suhu udaranya tinggi. Sedangkan pH tanah pada Area Kajian A berkisar 6,3-6,7 yang berarti asam, menurut Binggeli (2005:4-5) C.hirta hidup pada pH yang asam. Sama halnya pada tumbuhan Sauropus androgynus yang juga hidup pada kondisi yang ternaungi (teduh) (Tul’aini, 2015:15). Akan tetapi pada Area Kajian A tumbuhan S. androgynus tidak berada dalam kondisi yang teduh (ternaung) melainkan panas (tidak ternaung). Ini menyebabkan sedikitnya tumbuhan S. androgynus hidup pada Area Kajian A yaitu hanya satu jenis. Hambatan yang ada pada Area Kajian A adalah peneliti menemukan batu-batu besar seperti pada stand 2 , kemudian stand 4 ditemukan jurang yang cukup dalam sehingga untuk lanjut ke stand 5 peneliti mengambil jalur seberang sungai. Strata semak pada Area Kajian B terdapat 12 jenis dengan rerata Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi yang sama dengan Area Kajian A yaitu tumbuhan Seduduk Lanang (Clidemia hirta) dengan rerata INP sebesar 142,98 %. Tumbuhan C. hirta merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam ordo Myrtales, family Melastomataceae. C. hirta merupakan tumbuhan yang sering dijumpai di tepi hutan, semak belukar, di tepi jurang, daerah terbuka. Memiliki daun yang lebat sehingga sinar matahari yang mengenai permukaan tanah sedikit dan menyebabkan kelembaban tanah tinggi. Tumbuhan berdaun lebar yang cenderung tumbuh dengan habitat ternaungi (Palijama, 2012:139). Dapat hidup pada tanah yang kering dapat berkembangbiak dengan biji dan tumbuh secara berumpun. Memiliki kandungan kimia seperti saponin, terpen, dan alkaloid pada buah (Manalu, 2014:6). Daunnya mengandung tannin hidrolisa yang bersifat toksik bagi hati dan ginjal hewan ternak apabila memakannya. Faktor ini juga 7 menyebabkan pertumbuhan C. hirta semakin cepat dan banyak. Pada Area Kajian B paling banyak ditemukan C. hirta. C. hirta sangat berpengaruh serius yang dapat menyebabkan kanopi tanaman sekitar tidak muncul dan dapat tumbuh pada lahan yang tidak terurus. C. hirta dapat bertahan hidup terhadap kekeringan selama 6 bulan meskipun tunas pucuk mati (Hafiz, 2014:1579-1580). Sedangkan rerata Indeks Nilai Penting (INP) terkecil pada Area Kajian B terdapat pada tumbuhan Awar-Awar (Ficus septicum) yaitu sebesar 3,03 % dan terdapat satu individu. Tumbuhan F. septicum berupa semak tinggi yang tingginya mencapai 1-5 meter. Daunnya tunggal, tersusun spiral, tepi rata, berbulu (Rahadiantoro dan Siahaan, Gambar 6. Ficus septicum 2016:28). Area Kajian B memiliki rerata H’ sebesar 1,26 dan pada stand 1-8 dikategorikan tingkat keanekaragaman tumbuhannya sedang melimpah sedangkan stand 9 dan 10 dikategorikan sedikit melimpah karena pada kedua stand tersebut banyak ditemukan tumbuhan paku. Menurut Azizah (2017:2698) semakin stabil keadaan suatu komunitas maka semakin tinggi nilai keanekaragaman jenisnya Menurut Binggeli (2004:4-5) Tumbuhan Clidemia hirta dapat tumbuh pada pH tanah yang bersifat asam dan pada Area Kajian B pH tanah bekisar 6,3-6,7 (asam). Sehingga C. hirta dapat tumbuh dengan cepat yang menyebabkan tumbuhan tersebut dominan pada Area Kajian B. Sedangkan tumbuhan Ficus septicum tumbuh pada ketinggian 1.200 m dpl dan banyak ditemukan di hutan terbuka, tepi jalan dan, semak belukar (Hasan, 2016:6) serta dapat juga pada lahan kering (Krisdianto dan Balfas, 2016:13). Suhu udara yang diperlukan untuk pertumbuhan tumbuhan tersebut berkisar 280C -290C (Muhidin, 2006:34). Pada Area Kajian B memiliki suhu udara berkisar 28,30C -300C. hal ini membuktikan bahwa pada Area Kajian B mencukupi untuk syarat tumbuh dari pertumbuhan Ficus septica namun pada Area Kajian B hanya sedikit ditemukan. Hal ini disebabkan oleh adanya persaingan atau kompetisi yang terjadi diantara tumbuhan. Hambatan yang ditemukan pada Area Kajian B adalah banyak ditemukan tumbuhan jelatang. Tanaman ini cukup membahayakan apabila terkena tubuh seseorang. Selain itu juga ditemukan jurang-jurang kecil dan peneliti harus berhati-hati dalam menjangkau stand demi stand pada Area Kajian B. Area Kajian C terdapat 10 jenis untuk strata semak dengan Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi juga ditempati oleh tumbuhan Seduduk Lanang (Clidemia hirta) sebesar 144,74 %. INP tumbuhan C. hirta di Area Kajian C lebih besar dibandingkan Area 8 Kajian A dan B. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan C. hirta dapat menghasilkan lebih dari 500 buah yang berwarna biru-hitam pertahun. Masing-masing buah mengandung lebih dari 100 biji dan hidup pada pH yang asam dengan kondisi cuaca yang teduh (Binggeli, 2005:4-5). Penyebaran biji dapat dilakukan dari burung pemakan buah manusia dan dari buah yang jatuh ketanah. Penyebaran melalui biji dan didukung oleh manusia ataupun hewan dapat menyebabkan pertumbuhan C. hirta dapat tumbuh semakin cepat dan dibantu dengan kondisi pH tanah, kelembaban tanah serta cahaya yang sangat mendukung membuat C. hirta untuk tumbuh cepat dan mendominasi tempat yang ditempati. Ini disebabkan karena banyaknya unsur N yang diserap sehingga pertumbuhannya cepat (Palijama, 2012:139). Menurut Wirabuana (2015:78) suhu udara yang mendukung untuk Clidemia hirta adalah 20,74 0C - 25,7 0C dengan kelembaban udara 72,6 % - 85,6 %. Sedangkan suhu udara pada Area Kajian C adalah 28,30C 300C dan kelembaban udara sebesar 86 % - 92,3 %. Terdapat perbedaan suhu udara dan kelembaban udara yang disebabkan oleh faktor lingkungan yang mana saat pengukuran pada Area Kajian C cuacanya sangat terik (panas). Menurut Binggeli (2005:4-5) C. hirta dapat hidup pada pH asam sedangkan pH tanah pada Area Kajian C berkisar 6,36,5. Menurut Tim Dosen Kimia Dasar FTP (2012:18) nilai pH < 7 bersifat asam. Hal ini membuktikan bahwa C. hirta dapat tumbuh subur pada Area Kajian C. Sedangkan rerata INP terkecil pada Area Kajian C terdapat pada tumbuhan Cabe Rawit (Capsicum frutescens) yaitu sebesar 2,82 %. Tumbuhan Capsicum frutescens berasal dari Ancon dan Huaca Prieta di Peru. C. frutescens merupakan salah satu jenis sayuran yang telah membudaya dikalangan petani (Tendy, 2016:400). C. frutescens merupakan tumbuhan yang tingginya mencapai 50-150 cm hidupnya dapat mencapai 2 Gambar 7. Capsicum frutescens sampai 3 tahun. Bunganya muncul berpasangan atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisi tegak, mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah berbentuk bulat dan ada juga yang panjang kerucut dengan warna biji kuning pucat (Djarwaningsih, 2005:294). Rerata Indeks Keanekaragaman (H’) pada Area Kajian C sebesar 0,99 dan termasuk kedalam kategori sedikit melimpah. Pada stand 1, 2, 6, 9 dan 10 termasuk kedalam kategori sedang melimpah. Sedangakan pada stand 3, 4, 5, 7, dan 8 termasuk kedalam kategori sedikit melimpah. Menurut Indriyanto (2012:146) suatu komunitas dikatakan memiliki keanekargaman yang rendah atau sedikit jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit spesies saja yang dominan. Sedangkan 9 menurut Azizah (2017:2698) sedikit atau rendahnya tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan baik pohon, tiang ataupun semak menunjukkan bahwa di kawasan tempat berada tumbuhan tersebut rentan terhadap gangguan. Pada Area Kajian C banyak sekali ditemukan tumbuhan tingkat pohon seperti bayur. Pada Area Kajian C, suhu udara berkisar 28,30C - 300C. Sedangkan Capsicum frutescens dapat hidup dalam suhu udara berkisar 160C - 230C (Tendy, 2016:400). Pada saat pengukuran faktor abiotik didapatkan hasil suhu udara yang tinggi (panas), hal ini dipengaruhi oleh faktor cuaca yang sangat terik (panas). Hal ini menunjukkan bahwa suhu udara pada Area Kajian C tidak sesuai dengan syarat tumbuh tumbuhan C. frutescens. Sehingga menyebabkan tumbuhan C. frutescens pada Area Kajian C sedikit. Hambatan yang ditemukan pada Area kajian C yaitu lebih banyak ditemukan semak belukar (rimbun) sehingga peneliti mengajak seseorang untuk membuka jalan agar bias menjakau stand demi stand pada Area Kajian C. Selain itu pada Area Kajian C di stand 4 dan 5 ditemukan sarang kumbang yang sangat besar. Hal tersebut yang membuat peneliti harus berhati-hati ketika berjalan agar tidak mengganggu sarang kumbang tersebut. KESIMPULAN Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi strata semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas pada Area Kajian A memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 121,08 % dan INP terendah adalah Sauropus androgynus sebesar 1,04 %. Sedangkan pada Area Kajian B memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 142,98 % dan INP terendah adalah Ficus septicum sebesar 3,03 %. Sedangkan pada Area Kajian C memiliki INP tertinggi adalah Clidemia hirta sebesar 144,74 % dan INP terendah adalah Capsicum frutescens sebesar 2,82 %. Indeks Keanekaragaman (H’) vegetasi strata semak di Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas pada Area Kajian A memiliki rerata H’ sebesar 1,67 dan berkategori sedang melimpah, pada Area Kajian B memiliki rerata H’ sebesar 1,26 dan berkategori sedang melimpah, pada Area Kajian C memiliki rerata H’ sebesar 0,99 dan berkategori sedikit melimpah. Faktor lingkungan abiotik pada areal perlindungan hutan kemasyarakatan (HKm) Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas dengan suhu udara berkisar 28,30C-300C, kelembaban udara berkisar 86%-93%, pH tanah berkisar 6,3-6,7, dan suhu tanah berkisar 27,30C-290C serta kelembaban tanah berkisar 8%-17%. SARAN Bagi peneliti, selanjutnya diharapkan melakukan pengukuran ketinggian tempat penelitian dari permukaan laut dan penggolongan tipe tanah serta melakukan teknik 10 pengukuran faktor lingkungan abiotik sesuai panduan sehingga dapat diketahui peranan faktor lingkungan abiotik terhadap tumbuhan semak khususnya. Bagi Masyarakat, perlunya menimbulkan rasa kesadaran dan tanggung jawab dalam memelihara ekosistem hutan yang ada di Bukit Cogong II Kabupaten Musi Rawas sehingga ekosistem yang ada di hutan tersebut tetap terjaga. Bagi KPHP Lakitan, perlu adanya pemeliharaan, perlindungan dan pelestarian ekosistem hutan sehingga spesies semak dapat terjaga ekosistemnya dan tetap ada. DAFTAR PUSTAKA Alam, S dan Hajawa. 2007. Peranan Sumberdaya Hutan dalam Perekonomian dan Dampak Pemungutan Rente Hutan Terhadap Kelestarian Hutan di Kabupaten Gowa. Jurnal Perennial, 3 (2), hal 59-66. Azizah, P.N. 2017. Analisis Vegetasi di Kawasan sekitar Mata Air Ngembel, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Jurnal Riset Daerah, XVI (1), hal 2685-2702. Eucalyptus spp. [Artikel Online] [https://jurnal.usu.ac.id]. hal 4449. Hafiz, A. Purba E. & Damanik, B. S. J. 2014. Efikasi Beberapa Herbisida Secara Tunggal dan Campuran Terhadap Clidemia Hirta (L.) D. Don. di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Online Agroekoteknologi, 2 (4), ISSN 2337-6597, hal 1578-1583. Hairiah, Binggeli, P. 2005. Crop Protection Compendium – Clidemia hirta (L.) D. Don. [Artikel Online] [www.mikepalmer.co.uk]. hal 112 Cahyono, E. 2013. Valuasi Ekonomi Hutan Lindung Bukit Cogong Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan. Tesis. Bengkulu. Universitas Bengkulu. Program Studi Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (s-2). Fakultas Pertanian. Djawaningsih, T. 2005. Review: Capsicum spp. (Cabai): Asal, Persebaran dan Nilai Ekonomi. Jurnal Biodiversitas, 6 (4), hal 292-296. Doi: 10. 13057/biodiv/d060417. Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Faisal, R. Siregar, E. B. M. & Anna, N. 2011. Inventarisasi Gulma pada Tegakan Tanaman Muda K. dkk. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Petunjuk Praktis. Edisi kedua. Bogor, World Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya (UB), Malang, Indonesia xxp. Hasan, F. N. 2016. Mengenal Ciptaan Allah mengenai Daun AwarAwar. [Artikel Online]. [https://ibs-mutiaraquran.com] Heddy, S. 2012. Metode Analisis Vegetasi dan Komunitas. Jakarta: Rajawali Press. Hilwan, I. dkk. 2014. Keanekaraaman Jenis Tumbuhan Bawah pada Tegakan Sengon Buto (Enterolobium cyclocarpum Griseb.) dan Trembesi (Samanea saman Merr.) di Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur. Jurnal Silvikultur Tropika, 4 (1), ISSN: 2086-8227, hal 6-10 . Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 11 Irawati, H. 2014. Analisis Vegetasi Strata Pohon di Sepanjang Sempadan Sungai Code Yogyakarta. Jurnal BIOEDUKATIKA, 2 (1), hal 1015. Krisdianto dan Balfas, J. 2016. Struktur Anatomi dan Kualitas Serat Kayu dan Akar Gantung Beringin (Ficus benjamina Linn,). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), 21 (1). ISSN 0853-4217, hal 1319. Mandiri. T. K. T. 2012. Pedoman Bertanam Buah Naga. Bandung: CV. Nuansa Aulia. Manalu, V. C. Afifuddin Y. & Marpaung L. 2014. Ekspolarasi Tumbuhan Beracun di Cagar Alam Dolok Tinggi Raja Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. [Artikel]. Prodi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. hal 1-10 Muhidin, L. A. Setiawan, L. & Suprapti, Mc. 2006. Pengrajin Tradisional Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya. Palijama, W. Riry, J & Wattimena A. Y. 2012. Komunitas Gulma pada Pertanaman Pala (Myristica fragrans. H) Belum Menghasilkan dan Menghasilkan di Desa Hutumuri Kota Ambon. Jurnal Agrologia, 1 (2) ISSN 2301-7287, hal 134-142. Rahadiantoro, A. & Siahaan, F. A. 2016. Keragaman Jenis Pohon Familia Moraceae di Hutan Sekitar Waru-Waru- Telogo Dowo, Pulau Sempu. Jurnal Proceeding Seminar Nasional Biodiversitas VI, hal 23-30. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian pendidikan. Yogyakarta: UGM Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 76/Menhut-II/2001 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Susila A. D, dkk. 2012. Tanaman Sayuran Indigenous. Pusat Kajian Hortikultura Tropik: Institut Pertanian Bogor. Tendy, P. N. 2016. Pengaruh Konsentrasi Penyiraman Air Limbah Tempe Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens, L.) Sebagai Bahan Penyusunan Petunjuk Praktikum Mata Pelajaran Biologi untuk SMA Kelas XII pada Materi Pertumbuhan dan Perkembangan. Jurnal Prosiding Seminar Nasional II, hal 398-409. Tim Dosen Kimia Dasar FTP. 2012. Teori Asam dan Basa. Universitas Brawijaya. Tul’aini, dkk. 2015. Respon Tanaman Katuk (Sauropus androgynus L.) pada berbagai tingkat Intensitas Naungan dan Jumlah Buku Bibit. Undergraguated Thesis. Universitas Bengkulu. Wirabuana, P. Y. A. P. 2015. Distribusi dan Asosiasi Tumbuhan Bawah clidemia hirta di Kawasan Resort Cibodas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tesis. Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Wiryono. 2009. Ekologi Hutan. Bengkulu: UNIB Press. Yatim, W. 1999. Kamus Biologi. Bandung: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Rasidi, S. 2004. Ekologi Tumbuhan. Jakarta: Universitas Terbuka. 12