BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Perilaku
1. Definisi Perilaku
Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau organisme atau mahluk
hidup yang bersangkutan. Perilaku itu terbentuk didalam diri seseorang dari dua
faktor utama yakni, stimulus merupakan faktor dari luar diri seseorang tersebut
(factoreksternal) dan respons merupakan faktor dari dalam diri orang yang
bersangkutan (faktor internal) (Notoatmojdo, 2010).
Skinner seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan
demikian perilaku manusia terjadi melalui proses stimulusorganisme
respons, sehingga teori Skiner ini disebut “S-O-R”. Selanjutnya, teori Skiner
menjelaskan adanya dua jenis respons, yaitu:
a.
Respondent Responsatau reflexi, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting stimulus,
karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap.
b.
Operant Respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan lain.
Perangsang yang terakhir ini berfungsi untuk memperkuat respons.
Berdasarkan
teori
“S-O-R”
tersebut
maka,
perilaku
manusia
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a.
Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus
tersebut masih
belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang
5
6
masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan
sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk unobservable behavior
atau covert behavior yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.
b.
Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah
berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
observable behavior .
2. Faktor-faktor yang Berperan Dalam Pembentukan Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2007) faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan
perilaku dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:
a.
Faktor internal
Faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa kecerdasan,
persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruhpengaruh dari luar. Motivasi merupakan penggerak perilaku, hubungan
antara kedua konstruksi ini cukup kompleks, antara lain dapat dilihat
sebagai berikut:
1) Motivasi yang sama dapat saja menggerakkan perilaku yang berbeda
demikian pula perilaku yang sama dapat saja diarahkan oleh motivasi
yang berbeda.
2) Motivasi mengarahkan perilaku pada tujuan tertentu.
3) Penguatan positif/ positive reinforcement menyebabkan satu perilaku
tertentu cenderung untuk diulang kembali.
4) Kekuatan perilaku dapat melemah akibat dari perbuatan itu bersifat
tidak menyenangkan.
b.
Faktor eksternal
Faktor-faktor yang berada diluar individu yang bersangkutan yang meliputi
objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang disajikan sasaran
7
dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Konsep umum yang digunakan
untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence Green (1980),
dalam Notoatmodjo (2007) menurut Lawrence Green perilaku dipengaruhi
oleh 3 faktor utama yakni :
1) Faktor predisposisi (predisposing faktor)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.
2) Faktor pemungkin (enabling faktor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
3) Faktor penguat (reinforcing faktor)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, suami
dalam memberikan dukungannya kepada ibu primipara dalam merawat
bayi baru lahir.
3. Domain Perilaku
Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas. Bloom (1988) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku dalam
tiga domain yaitu terdiri dari domain kognitif, domain afektif dan domain
psikomotor. Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan
untuk pengukuran hasil maka ketiga domain ini diukur dari pengetahuan, sikap
dan tindakan (dikutip dari Notoatmodjo, 2012). Tetapi dalam penelitian ini
peneliti hanya meneliti domain kognitif dan domain psikomotor.
8
a. Pengetahuan (Kognitif)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indera manusia yaitu penglihatan, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan
merupakan suatu domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu
tindakan seseorang. Suatu penelitian mengatakan bahwa perilaku yang
didasari oleh pengetahuan akan mampu bertahan lama dari pada yang tidak
didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012).
Sebelum orang berperilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses
yang berurutan yang dimulai dari kesadaran adanya stimulus kemudian ada
rasa tertarik. Setelah itu terjadi pertimbangan dalam batin bagaimana
dampak negatif positif dari stimulus. Hasil pemikiran yang positif akan
membawa subyek untuk memulai mencoba dan akhirnya dalam dirinya
sudah terbentuk suatu perilaku baru. Adopsi perilaku yang didasari
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif terhadap stimulus akan
membentuk perilaku baru yang mampu bertahan lama (Notoatmodjo, 2012).
b. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk
bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2012).
Notoatmodjo (2010), menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Allport yang dikutip dari
9
Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen
pokok, yaitu :
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Sebagai contoh misalnya,
seorang ibu telah mendengar tentang penyakit polio (penyebabnya,
akibatnya, pencegahannya dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa
ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam
berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu
tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk mencegah supaya
anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap
objek yang berupa penyakit polio.
c. Tindakan (Practice)
Tindakan atau praktek adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap
stimulus atau objek. Respon ini sudah dalam bentuk tindakan (action) yang
melibatkan aspek psikomotor atau seseorang telah mempraktekkan apa yang
diketahui atau disikapi ( Notoatmodjo, 2012).
Tindakan atau perilaku kesehatan terjadi setelah seseorang mengetahui
stimulus kesehatan, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang
diketahui dan memberikan respon batin dalam bentuk sikap. Proses
selanjutnya diharapkan subjek akan melaksanakan apa yang diketahui atau
disikapinya (Notoatmodjo, 2012).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan, untuk
terbentuknya sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah
10
fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan
(support) dari pihak lain.
Adapun tingkatan-tingkatan dalam tindakan atau praktek adalah:
1) Persepsi (Percepion)
Yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan
tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama.
2) Respon terpimpin (Guided respon)
Yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai
dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat kedua.
3) Mekanisme (Mechanism)
Yaitu apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
4) Adopsi (Adoption)
Yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik.Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
B. Konsep Infeksi Nosokomial
1. DefinisiInfeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata noso yang artinya penyakit,
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk
merawat/rumah sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi
yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit atau dalam sistem
pelayanan kesehatan yang berasal dari proses penyebaran di sumber pelayanan
11
kesehatan, baik melalui pasien, petugas kesehatan, pengunjungmaupun sumber
lainnya (Hidayat, 2008).
2. Sumber Infeksi Nosokomial
Menurut Hidayat (2008) beberapa sumber penyebab terjadinya infeksi
nosokomial adalah :
a.
Pasien
Pasien merupakan unsur pertama yang dapat menyebarkan infeksi kepada
pasien lainnya, petugas kesehatan, pengunjung atau benda dan alat
kesehatan lainnya.
b. Petugas kesehatan
Petugas kesehatan dapat menyebarkan infeksi melalui kontak langsung,
yang dapat menularkan berbagai kuman ke tempat lain.
c.
Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam
lingkungan rumah sakit atau sebaliknya, yang didapat dari dalam rumah
sakit ke luar rumah sakit.
d. Sumber lain
Sumber lain yang dimaksud di sini adalah lingkungan rumah sakit yang
meliputi lingkungan umum atau kondisi kebersihan rumah sakit atau alat
yang ada di rumah sakit yang dibawa oleh pengunjung atau petugas
kesehatan kepada pasien dan sebaliknya.
3. Penyebab Infeksi Nosokomial
Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa : bakteri, virus, fungi dan
parasit, penyebab utamanya adalah bakteri dan virus. Peranannya dalam
menyebabkan infeksi nosokomial tergantung dari patogenesis atau virulensi dan
jumlahnya (Razi, 2011).
12
4. Faktor–faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Nosokomial
Secara umum faktor-faktor yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial terdiri
dari dua bagian yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
meliputi umur, jenis kelamin, riwayat penyakit, daya tahan tubuh dan kondisikondisi tertentu. Sedangkan faktor eksogen meliputi lama penderita dirawat,
kelompok yang merawat, alat medis serta lingkungan (Parhusip, 2005).
5. Cara Penularan Infeksi Nosokomial
Menurut Septiari (2012), cara penularan infeksi nosokomial yaitu:
1.
Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung kontak tidak langsung,
dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan
langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan
infeksi virus hepatitis A secara oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila
penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini
terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi,
misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.
2.
Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman dan
dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenisjenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intravena, obatobatan dan sebagainya.
3.
Penularan melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh
dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat
dalam sel- sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan tuberculosis.
13
4.
Penularan dengan perantara vector
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut
penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis
dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vektor, misalnya shigella
dan salmonella oleh lalat. Penularan secara internal apabila mikroorganisme
masuk ke dalam tubuh vector dan dapat terjadi perubahan secara biologis,
misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan
biologis, misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).
Skema 2.1.
Rantai Penularan Infeksi Nosokomial (Spritia (2006) dalam Razi 2011)
Tempat Keluar
Penjamu yang
Rentan
Sumber
Penyebab
b
Cara Penularan
Kontak Langsung
dan Tidak Langsung
Tempat Masuk
Dari skema tersebut dijelaskan bahwa awal rantai penularan infeksi nosokomial
dimulai dari penyebab (di bagian tengah gambar) dimana penyebabnya seperti
jamur, bakteri, virus atau parasit menuju ke sumber menuju ke tempat tertentu,
kemudian dengan cara penularan penularan tertentu (baik itu kontak langsung
maupun tidak langsung) melalui udara, benda ataupun vektor masuk ke tempat
tertentu (pasien lain), dikarenakan di rumah sakit banyak pasien yang rentan
terhadap infeksi maka dapat tertular. Selanjutnya kuman penyakit ini keluar dari
pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.
14
6. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Dalam mengendalikan infeksi nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal yang
perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit,
diantaranya (Septiari, 2012) :
a.
Adanya sistem surveilan yang mantap. Surveilan suatu penyakit adalah
tindakan pengamatan yang sistemik dan dilakukan terus menerus terhadap
penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan
untuk dapat melakukan pencegahan dan pengendalian. Jadi tujuan dari
surveilan adalah untuk menurunlkan risiko terjadinya infeksi nosokomial.
Perlu
ditegaskan
disini
bahwa
keberhasilan
pengendalian
infeksi
nosokomial bukanlah ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi
ditentukan oleh kesempurnaan perilaku secar benar. Dalam pelaksanaan
surveilan ini perawat sebagai petugas lapangan di garis paling depan
mempunyai peran yang sangat menentukan.
b. Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan
tujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi. Adanya peraturan yang
jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang snagat penting
adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan
setelah dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis
ataupun standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan
pelaksanaan peraturan ini peran perawat sangat besar sekali.
c. Adanya program pendidikan yang terus-menerus bagi semua petugas rumah
sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam
merawat penderita.Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku
petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita.
Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar dan mengajar
yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek
epidemiologi dari infeksi nosokomial ini. Jadi jelaslah dalam seluruh lini
15
program pengendalian infeksi nosokomial perawat mempunyai peran yang
sangat menentukan.
7. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Mencegah Terjadinya Infeksi
Nosokomial
Pada tahun (1995) centre of disease control and prevention menetapkan dua
bentuk pencegahan yaitu : 1) tindakan pencegahan standart, untuk semua
perawatan pasien di rumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis mereka atau
status infeksi sebelumnya. 2) Tindakan pencegahan transmisi, yang dibagi dalam
kategori udara, droplet dan kontak dan digunakan pada pasien yang diketahui
atau dicurigai terinfeksi atau terkontaminasi patogen secara epidemiologis dapat
ditularkan melalui udara dan kontak. Tindakan pencegahan standart diterapkan
untuk darah, sekresi dan ekskresi cairan tubuh tanpa memperhatikan apakah
mengandung darah yang terlihat dan membran mukosa. Tindakan pencegahan
berdasarkan transmisi yang dirancang untuk pasien yang telah didokumentasi
mengalami atau dicurigai terinfeksi yang dapat ditransmisikan melalui udara
atau droplet, organisme yang penting secara epidemiologis, termasuk isolasi
penyakit menular (Habni, 2009).
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan dengan
rantai terjadinya infeksi nosokomial sebagai berikut menurut Patricia (2005)
yaitu:
1.
Kontrol atau eliminasi agen infeksius
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi terhadap objek yang terkontaminasi
secara
signifikan
mengurangi
dan
seringkali
memusnahkan
mikroorganisme. Pembersihan adalah membuang sampah material asing
seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek. Desinfeksi
menggambarkan
proses
yang
memusnahkan
banyak
atau
semua
mikroorganisme dengan pengecualian spora bakteri dari objek yang mati
biasanya menggunakan desinfeksi kimia atau pasteurisasi basah. Sterilisasi
adalah pemusnahan seluruh mikroorganisme termasuk spora.
16
2.
Kontrol atau eliminasi reservoir
Untuk mengeliminasi reservoir perawat harus membersihkan cairan tubuh,
drainase, atau larutan yang dapat merupakan tempat mikroorganisme.
Perawat juga membuang sampah dengan hati-hati alat yang terkontaminasi
material infeksius. Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk
membuang materi sampah infeksius menurut kebijakan lokal dan negara.
3.
Kontrol terhadap portal keluar
Perawat mengikuti praktik pencegahan dan kontrol untuk meminimalkan
atau mencegah organisme yang keluar melalui saluran pernafasan. Perawat
harus selalu menghindari berbicara langsung menghadap pasien.Perawat
harus selalu menggunakan sarung tangan sekali pakai bila menangani
eksudat. Masker dan gown jika terdapat kemungkinan adanya percikan dan
kontak cairan. Perawat yang demam ringan namun tetap bekerja harus
memakai masker, khususnya bila mengganti balutan atau melakukan
prosedur steril. Perawat bertanggung jawab mengajarkan klien untuk
melindungi orang lain pada saat bersin dan batuk. Cara lain mengontrol
pengeluaran mikroorganisme adalah penanganan yang hati-hati terhadap
eksudat. Cairan yang terkontaminasi dapat dengan mudah terpercik saat
dibuang di toilet atau bak sampah.
4.
Pengendalian penularan
Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat harus tetap
waspada tentang jenis penularan dan cara mengontrolnya. Bersihkan dan
sterilkan semua peralatan yang reversibel. Teknik yang paling penting
adalah mencuci tangan dengan aseptik. Untuk mencegah penularan
mikroorganisme melalui kontak tidak langsung, peralatan dan bahan yang
kotor harus dijaga supaya tidak bersentuhan dengan baju perawat. Tindakan
yang salah sering dilakukan adalah mengangkat linen yang kotor langsung
dengan tangan mengenai seragam.
17
5.
Kontrol terhadap portal masuk
Dengan mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa menurunkan
kemungkinan penjamu. Tenaga kesehatan harus berhati-hati terhadap resiko
jarum suntik. Perawat harus menjaga kesterilan alat dan tindakan invasif
klien, tenaga kesehatan beresiko mendapat infeksi dari tususkan jarum
secara tidak sengaja. Pada saat pembersihan luka perawat menyeka bagian
dalam dulu kemudian bagian luar.
6.
Perlindungan terhadap penjamu yang rentan
Tindakan isolasi atau barrier termasuk penggunaan gown, sarung tangan,
kacamata dan masker serta alat pelindung lainnya untuk perawatan semua
klien, kewaspadaan berdasarkan penularan perlukaan untuk mengurangi
resiko infeksi untuk klien tanpa memandang jenis sistem isolasi, perawat
harus mengikuti prinsip dasar yaitu: harus mencuci tangan sebelum masuk
dan meninggalkan ruang isolasi, benda yang terkontaminasi harus dibuang
untuk mencegah penyebaran mikroorganisme, pengetahuan tentang proses
penyakit dan jenis penularan infeksi harus diaplikasikan pada saat
penggunaan barrier pelindung, semua orang yang kemungkinanterpapar
selama perpindahan klien diluar kamar isolasi harus dilindungi. Lingkungan
yang protektif yang digunakan untuk isolasi dapat memiliki tekanan udara
yang negatif untuk mencegah partikel infeksius mengalir keluar
dari
ruangan.Ada juga kamar khusus dengan tekanan aliran positif dugunakan
pada pasien yang rentan seperti resepien transplantasi.
7.
Perlindungan bagi perawat
Perlindungan barrier harus selalu tersedia bagi pekerja yang memasuki
kamar isolasi, sarung tangan, masker dan sepatu pelindung. Perawat
menggunakan sarung tangan bila beresiko terpapar materi infeksius,
khususnya sarung tangan direkomendasikan saat perawat ada goresan atau
luka pada kulit, saat melakukan fungsi vena, karena beresiko terkena
18
tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya atau cairan tubuh lainnya pada
tangan, dan bila mereka kurang pengalaman. Centre of Disease Control and
Prevention (CDC) lebih lanjut hanya merekomendasikan bahwa sarung
tangan hanya digunakan sekali pakai.
8. Kewaspadaan Universal (universal precation)
Menurut Depkes (2003 dalam Rawati, 2011), kewaspadaan universal merupakan
bagian dari upaya pengendalian infeksi disarana pelayanan kesehatan.Penerapan
kewaspadaan didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat
potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas
kesehatan.
1. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
Mikroorganisme pada manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok :
yaitu floraresiden dan fliratransien. Flora residen adalah mikroorganisme
yang secara konsisten dapat diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah
dihilangkan dengan gesekan mekanis yang telah beradaptasi pada kehidupan
tangan manusia. Flora transient yang juga disebut flora transit atau flora
kontaminasi
jenisnya
tergantung
dari
lingkungan
tempat
kerja.
Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan
dengan gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau deterjen oleh
karena itu cuci tangan adalah cara pencegahan infeksi yang paling penting.
Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah
melakukkan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan atau
alat pelindung lain untuk menghilangkan, mengurangi mikroorganisame
yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan
lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah
memakai sarung tangan.
Menurut Depkes (2003 dalam Rawati, 2011), tiga cara mencuci tangan yang
dilaksanakan sesuaidengan kebutuhan, yaitu :
19
a.
Cuci tangan hygiene atau rutin mengurangi kotoran dan flora yang ada
ditangan dengan menggunakan sabun atau deterjen.
b.
Cuci tangan aseptik sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggukan anti septik.
c.
Cuci tangan bedah (surgical handscrub) sebelum melakukan tindakan
bedah cara aseptik dengan anti septik dan sikap steril.
2.
Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan guna
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain.Alat
pelindung tubuh digunakan untuk melindungi
kulit dan selaput lendir
petugas dari resiko pejanan darah, semua jenis cairan tubuh, secret, ekskreta,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien, jenis tindakan beresiko
mencakup tindakan rutin, tindakan berat ulang.Jenis-jenis alat pelindung
antara lain sarung tangan, pelindung wajah /masker / kaca mata, penutup
kepala, gaun pelidung (baju /celemek), sepatu pelindung (study foot wear).
Saat tindakan semua alat pelindung tubuh harus dipakai. Jenis pelindung
tubuh yang dipakai tergantung pada jenis tindakan atau kegiatan yang
dikerjakan. Sebagai contoh, untuk tindakan bedah minor, (misalnya
vasektomi) sebaiknya pelindung tubuh dipakai oleh petugas untuk
mengurangi kemunngkinan terpajam darah /cairan tubuh lainnya.
3.
Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
Pengelolaan alat- alat bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui
alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan
siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukkan kedalam
jaringan dibawah kulit harus dalam keadaan steril.
4.
Pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah perlukaan.
Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan seperti tertusuk jarum
suntik bekas pasien atau terpecik bahan infeksius maka perlu pengelolahan
20
yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah semaksimal mungkin
terjadinya infeksi nosokomial yang tidak diinginkan.Yang terpenting disini
adalah segera mencucinya dengan sabun antiseptik dan usahakan untuk
meminimalkan kuman yang masuk kedalam aliran darah dan menekan luka
hingga darah keluar. Bila darah mengenai mulut, ludahkan dan kumurkumur dengan air beberapa kali, bila mengenai mata cucilah mata dengan
air mengalir (irigasi) atau garam fisiologis atau bila percikan mengenai
hidung hembuskan keluar hidung dan bersihkan dengan air.
5.
Pengelolahan limbah dan sanitasi ruangan
Secara umum limbah dapat dibedakan menjadi limbah cair dan padat.
Limbah padat biasa juga disebut sampah, tidak semua sampah rumah sakit
berbahaya. Petugas yang mengenai sampah ada kemungkinan terinfeksi,
terutama sebagian besar disebabkan karena luka benda tajam yang
terkontaminasi.
C. Konsep Perawatan Luka Post Operasi
1. Perawatan Luka Post Operasi
Post operasi dimulai dengan memindahkan pasien dari kamar bedah ke unit
pasca operasi dan berakhir dengan pulangnya pasien. Fokus intervensi
keperawatan pada tahap post operatif adalah memulihkan fungsih pasien
seoptimal dan secepat mungkin(Baradero, 2009).
Setelah tahun 1940-an, banyak rumah sakit membuka Post Anesthesia Care
Unit(PACU). Dengan adanya unit ini yang memiliki staf keperawatan yang
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam memberi perawatan post
operatif yang efisien dan efektif, angka kematian dan morbiditas menurun serta
perawatan pasien dirumah sakit menjadi lebih pendek. Selain itu, diketahui
bahwa mortalitas dalam 24 jam pertama pemberian anestetik biasanya
disebabkan oleh obstruksi saluran pernafasan, laringospasme, pendarahan, henti
21
jantung, dan kesalahan yang terkait dengan pemberian obat ( medication errors).
Hal ini mendorong rumah sakit membuka PACU(Baradero, 2009).
Post Anesthesia Care Unit(PACU) diletakkan disamping atau didekat kamar
bedah.PACU adalah suatu ruang yang jumlah tempat tidurnya disesuaikan
dengan jumlah pasien yang dibedah. Setiap tempat tidur dilengkapi dengan
monitor jantung, monitor tekanan darah, oksimetri nadi, alat-alat untuk
penatalaksanaan jalan napas, pengisap, dan oksigen. Obat dan alat darurat
diletakkan di tempat yang stretegis.Pada umumnya, lama rawat pasien di PACU
kurang dari 24 jam(Baradero, 2009).
Personel PACU adalah orang yang telah diberi pendidikan khusus dan
mempunyai pengetahuan mendalam tentang obat anestesia dan respon pasien
terhadap obat tersebut, tehnik menanggulangi nyeri, prosedur bedah, dan
perawatan dalam menangani komplikasi potensial.Perawat PACU menunjukkan
kompetensi
dalam
melakukan
pengkajian
dan
menangani
situasi
darurat.Kolaborasi yang baik dengan dokter bedah dan ahli anestesi sangat
penting(Baradero, 2009).
2. Fase-fase PostOperasi
Menurut Baradero, (2009) American Society of Post Anasthesia Nurse (ASPAN)
mengidentifikasi tiga fase asuhan keperawatan post operatif, yaitu :
a.
Fase pra anestesia
Kesiapan pasien secara fisik dan emosional sebelum pembedahan
b. Fase pasca-anestesia I
Perawatan pasien yang mulai sadar dari anestesia samapi keadaan fisiologis
pasien sudah stabil dan tidak lagi memerlukan “one-to-one-care”. Pada
tahap ini, perawat PACU melakukan pengkajian pernapasan (auskultasi
parudan gerakan otot napas), tekanan darah , irama jantung, tingkat
kesadaran, dan kekuatan otot-otot.
22
c.
Fase pasca-anestesia II
Dimulai ketika kesadaran pasien pulih kembali, seperti nilai dasar
(kesadaran sebelumdiberi anestesi), jalan napas sudah paten, nyeri dapat
dikendalikan, fungsi jantung, paru, dan ginjal sudah stabil. Pada tahap
pasca-anestesi II ini, pasien dipindahkan kekamar di unit perawatan.
d. Pemindahan ke PACU
Sebelum pasien dipindahkan dari kamar operasi ke PACU, circulating nurse
harus memberi tahu perawat di PACU tentang perkiraan waktu pasien akan
dipindahkan, perawatan khusus, dan alat-alat yang diperlukan. Laporan
yang lebih rinci diberikan pada waktu pasien dimasukkan ke PACU.
3. Perawatan Post Operasi
Perawatan post operasi adalah penting seperti halnya persiapan pre operasi.
Perawatan
post
operasi
yang
kurang
sempurna
akan
menghasilkan
ketidakpuasan dan tidak memenuhi standar operasi. Tujuan perawatan post
operasi adalah untuk menghilangkan rasa nyeri, sedini mgkin mengidentifikasi
masalah dan mengatasinya sedini mungkin (Baradero, 2009).
Pada perawatan post operasi yang perlu diperhatikanadalah :
a. Member dukungan kepada pasien
b. Menghilangkan rasa sakit
c. Antisipasi dan atasi segera komplikasi
d. Memelihara komunikasi yang baik dengan tim. Komunikasi yang tidak baik
merupakan maslah yang sering meyebabkan kegagalan dalam post operatif.
4. Penatalaksanaan pada Pasien Post Operasi
Menurut Baradero, (2009) penatalaksanaan pasien post operasi terdiri dari:
a.
Sistem pernapasan
23
Sangat penting untuk mengkaji status pernapasan segera pascaoperasi.
Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan yang adekuat harus dipastikan.
Komplikasi yang bisa segera muncul adalah obstruksi jalan nafas,
hipoksemia, hipoventilasi, aspirasi, dan laringospasme. Komplikasi
pernapasan adalah penyebab utama dari mobiditas dan mortalitas segera
setelah pembedahan. Faktor resiko yang diketahui bisa menimbulkan
komplikasi pernapasan adalah usia diatas 60 tahun, obesitas, jenis kelamin
(pria), pembedahan darurat, lamanya pembedahan (lebih dari 4 jam ),
pembedahan thoraks dan abdomen, pilihan obat anestesia, dan pemberian
anestesia.
b. Cairan dan elektrolit
Pasien bisa kehilangan cairan tubuh karena perdarahan intraoperasi atau
karena hiperventilasi. Hilangnya banyak darah harus diganti dengan
transfusi darah atau pemberian pengganti darah, koloid, dan kristaloid.
Volume cairan tubuh bisa dipertahankan dengan pemberian salin normal
atau Ringger laktat intravena. Respon normal tubuh terhadap stress karena
pembedahan adalah retensi natrium dan oleh tubulus ginjal. Sekitar 24-48
jam setelah pembedahan, tubuh menahan cairan karena stimulasi hormone
antidiuretik (ADH) sebagai respos tubuh tubuh terhadap stres karena trauma
dan juga efek dari anestesia. Ketika pembedahan terjadi vasokontiksi renal
dan peningkatan retensi natrium dan air.
Overhidrasi bisa timbul dengan pemberian cairan intravenayang banyak
terutama pada pasien lansia. Intoksikasi air dan edema paru bisa timbul
bergantung pada cairan yang dipakai. Pasien yang diberikan cairan infuse
harus dipantau adanya tanda edema paru (dispnea, batuk produktif), atau
tanda intoksikasi air (perubahan tingkah laku, bingung, kulit basah dan
hangat, defisit natrium). Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus
dipantau. Ekstra kalium perlu diberikan untuk mengganti kalium yang
hilang lewat sekresi slang nasogastrik.
24
Apabila hidrasinya adekuat, pasien bisa berkemih dalam 6-8 jam setelah
pembedahan. Biasanya, dalam 24-48 jam pasca operasi, asupan cairan
melebihi haluarannya. Sekalipun pasien diberikan cairan intraveni sebanyak
2000-3000
ml
pada
hari
pembedahannya,
jumlah
urine
pertama
pascaoperasi bisa sebanyak 200 ml saja, dan total haluaran selama sehari
pascaoperasi bisa kurang 1500 ml. Keseimbangan cairan dan elektrolit akan
kembali normal dalam 48 jam.
c.
Sistem gastrointestinal
Mual dan muntah adalah dua gangguan lazim dialami pasien pasca operasi.
Dua gangguan ini dikaitkan dengan anestesi umum, obesitas, pembedahan
abdomen, pemakaian obat opiate, analgesik, adanya riwayat mabuk
perjalanan, dan faktor psikologis. Muntah pasca operasi bisa mengakibatkan
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi, penekanan pada insisi,
aspirasi, dan peningkatan tekanan intracranial. Muntah dan intubasi selang
nasogastrik yang berselang lama bisa mengakibatkan hilangnya sekresi
gastrointestinal yang kaya dengan kalium.
Hampir semua pembedahan mengakibatkan rasa nyeri. Nyeri yang paling
lazim adalah nyeri insisi. Nyeri terjadi akibat luka, penarikan, dan
manipulasi jaringan serta organ. Nyeri pascaoperasi hebat dirasakan pada
pembedahan intratoraks, intra-abdomen, dan pembedahan ortopedik mayor.
Nyeri juga dapat terjadi akibat stimulasi ujung serabut saraf oleh zat-zat
kimia yang dikeluarkan saat pembedahan atau iskemia jaringan karena
terganggunya suplai darah. Suplai darah bisa terganggu karena ada
penekanan. Spasme otot, atau edema. Trauma pada serabut kulit
mengakibatkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Diseksi yang luar dan
retraksi yang lama pada otot dan fasia menghasilkan nyeri yang dalam dan
berlangsung lama.
25
Setelah pembedahan, ada beberapa faktor yang bisa menambah sensasi nyeri
seperti tekanan pada jaringan karena edema, distensi vesika urinaria,
distensi abdomen, infeksi, spasme otot disekitar luka bedah, balutan atau
gips yang kencang, ambang nyeri atau respons pasien terhadap nyeri. Nyeri
bisa memperlambat penyembuhan karena dapat mengganggu istirahat dan
mobilitas pasien.
Apabila pasien mengeluh nyeri pascaoperasi, perawat tidak boleh langsung
menafsirkan sebagai nyeri insisi. Perawat harus mengkaji nyeri yang
dialami pasien. Nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan
hanya pasien yang tahu tentang nyeri yang dialaminya.
d. Status neurologis
Bergantung pada obat anestesia yang dipakai, kebanyakan pasien pulih
kesadarannya dalam satu jam setelah pembedahan sekalipun mereka
cenderung tidur kembali apabila ditinggalkan sedirian. Akan tetapi, mereka
mudah dibangunkan dengan stimulasi verbal atau taktil. Status neurologis
dapat ditentukan dengan mengamati tingkat kesadaran pasien. Respons
terhadap
stimulasi
verbal
atau
stimulus
yang
menyakiti
harus
didokumentasikan. Respon pupil terhadap cahaya dan persamaan respons
kedua pupil juga harus dikaji.
Kekuatan dan kesamaan genggaman tangan perlu diketahui. Genggaman
tangan yang dapat dipertahankan selama 5 detik menunjukan pemulihan
fungsih neuromuscular. Juga perlu dikaji kemampuas pasien dalam
menggerakkan semua ekstremitasnya. Komplikasi mayor sistem saraf yang
bisa timbul segera karena anestesia umum adalah somnolen yang berlanjut
dan kelemahan otot. Selain efek dari anestesia umum, somnolen dan stupor
bisa juga diakibatkan oleh hipoksia berat, hipotermia, hiponatremia,
hiperglikemia, dan hiperkapnia berat. Kelemahan otot basanya diakibatkan
oleh efek obat relaksan otot yang digunakan dalam waktu lama. Kegagalan
26
ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit bisa memperberat pemulihan otot
dari obat relaksan otot. Debrilirium juga merupakan komplikasi yang bisa
timbul akibat anestesia umum.
e.
Keluar dari Post Anesthesia Care Unit (PACU)
Perawat PACU mendokumentasikan semua pengkajian dan intervensi
keperawatan selama pasien dirawat di PACU. Biasanya pasien dirawat
minimal selama satu jam atau sampai tanda-tanda vital stabil. Pengeluaran
pasien dari PACU harus ditentukan oleh dokter yang bersangkutanatau
apabila pasien telah memenuhi criteria keluar PACU. Kriteria yang paling
sring dipakai adalah Aldrete Score. Kriteria diberi 0-2 dengan total 9 atau
10. Pasien yang memperoleh total nilai 9 atau 10 boleh keluar dari PACU.
Postoperatif lanjutan pasien yang dipindahkan dari PACU kekamarnya
harus dikaji oleh perawat yang menerimanya.
f.
Status kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat segera timbul pascaoperasi telah
dibahas. Thrombosis vena dan embolisme paru adalah dua komplikasi yang
dapat timbul kemudian.
1) Thrombosis vena
Pembentukan darah beku adalah pembuluh darah vena di pelvis dan
tungkai bawah (thrombosis vena profunda) yang bisa mengganggu
sirkulasi darah adalah komplikasi potensial pascaoperasi berat. Darah
beku terbentuk karena dinding vena menjadi kasar (tidak licin) akibat
trauma, adanya statis vena (yang terjadi akibat imobilitas), dan
hiperkoagulabilitas (Triad Virchow). Trombosit menempel pada dinding
vena dan infeksi yang timbul menstimulasi koagulasi darah dan
pembentukan fibrin. Inflamasi dinding vena dengan darah beku disebut
27
tromboflebitis. Disamping itu, ada faktor
yang mengakibatkan
thrombosis vena :
a) Usia
b) Obesitas, distensi abdomen, kehamilan, kontrasepsi
c) Malignansi
d) Gagal jantung kongestif
e) Polisitemia vera
f) Pembedahan pelvis, abdomen, toraks
g) Fraktur dan pembedahan pinggul, femur, dan lutut
h) Duduk lama dengan kaki bersilang, kurang mobilitas
2) Embolisme paru
Darah beku atau sebagian dari darah beku bisa lepas dari dinding vena
dan ikut dengan sirkulasi darah, menuju ke jantung dan sirkulasi
pulmonal, kemudian bisa menyumbat salah satu pembuluh darah
pulmonal (embolisme pulmonal). Dispnea adalah tanda yang paling
sering timbul. Tanda lain nya adalah nyeri dada, takipnea, diaphoresis,
takikardia, sianosis, rales pada paru yang sakit, sinkop, dan pasien
nampak cemas. Bergantung pada besarnya pembuluh darah pulmonal
yang tersumbat, kematian pasien bisa terjadi tiba-tiba. Keluhan nyeri
dada atau abdomen atas yang tiba-tiba harus diperhatikan dan segera
dilaporkan ke dokter.
g. Gastrointestinal
Muntah pascaoperasi yang berlangsung terus bisa menunjukan obstruksi
pilorik, obstruksi intestinal, atau peritonitis, atau efek samping analgesic.
Muntah bisa membuat pasien menjadi lelas, member tekanan pada luka
insisi, dan menghilangkan banyak cairan dan elektrolit. Selain itu,
mengakibatkan aspirasi dan aspirasi pneumonia bagi pasien yang lemah atau
lansia.
1) Cegukan
28
Cegukan (hiccough) adalah suatau komplikasi pascaoperasi yang
melelahkan pasien. Penyebab cegukan pascaoperasi belum jelas, tetapi
telah diketahui bahwa dilasi gaster, iritasi pada diafragma, dan uremia
menyebabkan stimulasi saraf frenik.
2) Distensi abdomen dan nyeri gas
Distensi abdomen pascaoperasi terjadi akibat akumulasi gas dalam usus
karena manipulasi usus ketika pembedahan dan angin yang tertelan saat
pemulihan
dari
anestesia.
Distensi
abdomen
akan
berlangsung
sampaitonus usus pulih dan ada gerakan peristalsis. Pasien dengan
distensi abdomen mengeluh nyeri yang menyebar keseluruh abdomen.
Distensi bisa menekan diafragma segingga pasien mengalami dispnea
dan etelektasis. Ukuran lingkar abdomen bisa bertambah. Pengukuran
lingkar abdomen bisa member gambaran tentang perkembangan distensi
abdomen. Perkusi pada abdomen menghasilkankan bunyi pekak. Distensi
yang berat dan akut dapat menimbulkan tanda-tanda syok, seperti
gelisah, nadi lemah dan cepat, dan hipotensi. Tidak adanya gerakan
peristaltic. Tidak adanya gerakan peristaltik waktu lama dapat
mengakibatkan ileus paralitik. Ileus paralitik ditandai dengan distensi,
nyeri abdomen, tidak ada bunyi gerakan peristaltic (auskultasi), muntah,
dan tidak ada flatus.
h.
Sistem perkemihan
Retensi urine bisa timbul pada awal pascaoperasi. Pemakaian anestesia
spinal pada pembedahan rectum kolon, ginekologis, sering sekali
menimbulkan retensi urine. Retensi urine ditandai dengan tidak ada urine
selama 6-8 jam atau sedikit urine. Palpasi yang ringan pada daerah vesika
urinaria (di atas simfisis pubis) bisa membuat pasien merasa nyeri dan
perawat bisa meraba vesika urinaria yang penuh dengan urine. Distensi
vesika urinaria yang menyebabkan urine keluar sedikit demi sedikit disebut
retensi dengan aliran terus-menerus.
29
i.
Penyembuhan luka
Ada tiga macam penyembuhan luka, yaitu primer, sekunder, dan tersier.
Kebanyakan luka bedah sembuh melalui penyembuhan primer, yang setiap
lapisan luka (lapisan otot, subkutan, epitel, kulit) dijahit. Luka ini juga bebas
dari infeksi sehingga penyembuhan nya cepat. Penyembuhan sekunder bisa
terjadi pada ulkus. Penyembuhan terjadi saat terisi ulkus dengan jaringan
granulasi. Makin besar dan dalam ulkus, makin lama penyembuhannya.
Penyembuhan sekunder menghasilkan parut yang lebih luas. Kemungkinan
infeksi luka ini adalah tinggi. Penyembuhan tersier terjadi apabila penjahitan
luka terlambat 3-5 hari atau lebih. Keterlambtan ini memungkinkan lebih
banyak mikroorganisme yang menembus luka sehingga inflamasi luka bisa
lebih berat.
5.
Prosedur Pelaksanaan Perawatan Luka Post Operasi
Menurut Kusyati, (2012) Perawatan luka bedah adalah perawatan luka yang terdiri
atas membersihkan, mengompres dan membalut luka post operasi. Prinsip
perawatan luka post operasi adalah steril untuk mencegah resiko terjadinya infeksi
nosokomial. Alat yang digunakan dalam perawatan lukadapat ditempatkan di 2
tempat yaitu dalam dressing set dan dressing trolley.
a. Dressing set
Adalah suatu wadah steril yang berisi alat-alat ganti verban yang dibuat menjadi
satu paket steril. Central Sterile Supply Department(CSSD Kamar Bedah RSB)
Alat steril (Dressing set)
1) Sarung tangan steril
2) Pinset anatomis 2
3) Gunting lurus 1
4) Kom kecil
5) Pinset cirrugis 1
6) Kapas lidi 2
30
7) Kassa steril 10-15 helai
8) Kassa penekan (deppers) 5buah, mangkok kecil
b. Dressing trolley
Terdiri dari 2 tingkat (bagian atas dan bagian bawah). Bagian atas trolley atau
roda untuk menyimpan peralatan steril dari CSSD, bagian bawah trolley untuk
menyimpan peralatan yang tidak steril. Alat dressing trolley terdiri dari :
1) Sarung tangan steril dan non steril pada tempatnya
2) Bengkok
3) Pinset anatomis
4) Pinset cirrurgis
5) Gunting verband
6) Gauze steril/ kassa
7) Swab
8) Korentang
9) Larutan disinfektan : betadine cair/ alkohol 70%
10) Larutan saline normal
11) Perlak alas
12) Plastik kuning
13) Obat sesuai program terapi dokter
14) Plester anti alergi
31
D. Kerangka Konsep
Skema 2.2
Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Perilaku Perawat Tentang
Infeksi Nasokomial
Perawatan Luka
Post Operasi
1. Pengetahuan Perawat
2. Sikap Perawat
3. Tindakan Perawat
E. Hipotesa
Ha:Ada hubungan perilaku perawat dengan perawatan luka post operasidi
RSUD Dr.Pringadi Medan 2014.
Download