Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Biofouling Biofouling adalah akumulasi secara bertahap organisme dalam air seperti ganggang, bakteri, kerang, dan protozoa pada sebuah permukaan struktur peralatan bawah air, struktur pipa, struktur lambung kapal dan lain-lain yang dapat menimbulkan sifat korosi dari struktur yang ditumbuhinya, sehingga dapat membuat gangguan dari struktur dan sistem peralatan tersebut (dictionary.reference.com, 2009). Selain gangguan korosi dan gangguan struktur, biofouling juga menyebabkan penurunan efisiensi bagian yang bergerak (dictionary.babylon.com, 2009) dan kerugian dalam siklus air pendingin industri besar dan pembangkit listrik (wikipedia.org, 2009) Biofouling terbagi menjadi 2 kategori (wikipedia.org, 2009) : 1. Micro biofouling Terbentuknya lapisan fouling berbentuk biofilm pada permukaan struktur material peralatan akibat organisme berskala kecil seperti bakteri, protozoa dan lain-lain tumbuh dan berkembang-biak dalam suatu komunitas. 2. Macro biofouling Terbentuknya lapisan fouling pada permukaan struktur material peralatan akibat organisme berskala besar seperti kerang, tritip, ganggang, rumput laut, karang dan lain-lain tumbuh dan berkembang-biak dalam suatu komunitas. 6 Gambar II.1. Tritip (Balanus Amphitrite) II.1.1 Karakteristik Perkembangan dan Pertumbuhan Micro Biofouling Micro biofouling atau biofilm terbentuk karena adanya interaksi perubahan kimia dan biologi antara permukaan logam dan air alam ketika keduanya bertemu. Interaksi itu menghasilkan deposit ion inorganik (ion yang bukan berasal dari mahluk hidup) dan kemudian menyerap substansi organik yang terlarut dalam air alam serta membentuk film dengan ketebalan berkisar 50 nm. Proses inilah yang memulai terjadinya lapisan biofouling. Kemudian lapisan film tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang terlarut dalam air alam untuk tumbuh dan berkoloni yang kemudian membentuk biofouling (J.K. Rice et al : 1993). Pada kasus yang lebih berat kumpulan bakteri yang berkoloni tadi (biofilm) nantinya akan menjadi substrat bagi pertumbuhan makroorganisme lain seperti tritip, kerang, ganggang dan lain-lain. Sehingga fase microfouling akan beralih menjadi fase macrofouling 7 Gambar II.2. Tahapan Pembentukan Biofouling (Dr R Venkatesan : 2007) Gambar II.3. Tube Condensor dan Exchanger Yang Telah Ditumbuhi Makroorganisme Perkembangan dan pertumbuhan micro biofouling dibagi menjadi 3 fase (J.K. Rice et al : 1993) : 1. Fase Induksi Pada fase ini substansi molekul organik akan menyerap deposit ion inorganik yang terjadi karena interaksi perubahan kimia dan biologi dalam air dan mulai membentuk film. Bakteri dan mikroorganisme mulai menempel pada permukaan logam (mulai terjadi pembentukan biofouling). Ketebalan lapisan biofouling pada fase ini dianggap kecil atau tidak ada 8 2. Fase Pertumbuhan secara Logaritmik Pada fase ini bakteri dan mikroorganisme yang terbentuk jumlahnya akan berlipat secara fungsi logaritma, dimana bakteri dapat bereproduksi dalam hitungan menit sampai dengan beberapa jam. Pertumbuhan exponensial ini akan memproduksi ribuan koloni dalam satu atau dua hari sehingga ketebalan biofouling akan juga akan meningkat secara exponensial. Ketika bakteri dan mikroorganisme mati lapisan biofouling yang terbentuk tetap akan menempel pada permukaan material 3. Fase Plateau Pada fase ini pertumbuhan bakteri akan mencapai steady-state (plateau), karena pertumbuhan bakteri akan mencapai keseimbangan akibat terkelupas oleh tekanan kecepatan aliran air. Sehingga pada fase ini ketebalan biofouling yang terbentuk bersifat konstan dengan jumlah tertentu Gambar II.4. Fase Pertumbuhan Biofouling (J.K. Rice et al : 1993) Dari semua metode pengontrolan dan pembersihan micro biofouling yang ada, metode tersebut harus memindahkan fase ke-2 atau fase ke-3 dari fase pertumbuhan biofouling, kembali menjadi fase ke-1 sebab pembersihan atau pengontrolan biofouling kembali ke fase ke-2 tidak akan memberikan dampak yang berarti karena biofouling akan kembali lagi berakumulasi dalam kurun 9 waktu yang singkat (fase ke-2 : akumulasi pertumbuhan biofouling akan berlipat secara exponensial). Pemutusan aliran air dalam waktu sementara tidak merubah fase pertumbuhan dan perkembangan biofouling, tetapi hanya menunda waktu pertumbuhan dengan jangka waktu yang lebih lama. Beberapa faktor yang mempengaruhi akumulasi dan pertumbuhan biofouling adalah (J.K. Rice et al : 1993) : 1. Kondisi permukaan logam Dari pengamatan yang pernah dilakukan pertumbuhan dan akumulasi biofouling lebih banyak terjadi pada kondisi permukaan material yang kasar dibandingkan dengan permukaan material yang lebih halus atau datar 2. Kualitas air Kualitas air yang mengandung banyak mikroorganisme dan nutrisi akan lebih mempercepat akumulasi pertumbuhan biofouling dibandingkan dengan kualitas air dengan kandungan mikroorganisme dan nutrisi yang lebih rendah 3. Kecepatan aliran air Peningkatan kecepatan aliran air akan meningkatkan tekanan kelupas bagi pembentukan biofouling, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa kecepatan aliran dalam kebanyakan condensor dan exchanger didisain pada kecepatan yang spesifik tanpa dapat diubah. 10 Gambar II.5. Pertumbuhan Biofouling Terhadap Fungsi Kecepatan Air (Dr R Venkatesan : 2007) 4. Temperature air Biofouling pada umumnya terjadi ketika musim panas, ini disebabkan karena meningkatnya nutrisi pada air dalam musim panas dalam jumlah besar. Dari hasil ujicoba yang dilakukan oleh EPRI terdapat korelasi yang significant antara akumulasi biofouling dengan kenaikan temperature air, dimana terjadi kecenderungan peningkatan akumulasi biofouling pada temperature air antara 15oC – 40oC. Sementara pada temperature diatas 40oC akumulasi pertumbuhan biofouling cenderung terhambat 11 Gambar II.6. Korelasi Pertumbuhan Biofouling dengan Peningkatan Temperature Air (J.K. Rice et al : 1993) 5. Material logam Material condensor dan exchanger yang umum dipakai seperti copper-nickel, titanium, stainless steel dan brass juga mempengaruhi akumulasi pertumbuhan biofouling. Dari ujicoba yang dilakukan EPRI terhadap ke-empat material tersebut didapatkan hasil dengan ranking sebagai berikut : Tabel II.1. Korelasi Pertumbuhan Biofouling dengan Jenis Material (J.K. Rice et al : 1993) No. 1 2 3 4 Material Copper-Nickel Brass Titanium Stainless Steel Akumulasi Biofouling Slowest Biofouling Fastest Biofouling 12 Senyawa dari copper merupakan racun bagi bakteri sehingga pada senyawa ini akumulasi pertumbuhan biofouling bersifat paling lambat. Walaupun coppernickel dan brass mempunyai karakteristik akumulasi pertumbuhan biofouling yang lambat, tetapi material ini mempunyai tingkat rata-rata korosi yang lebih tinggi dibanding material lain, sehingga degradasi transfer panas yang terjadi menjadi lebih tinggi karena adanya faktor tambahan dari korosi tersebut. II.1.2 Metode Pengontrolan Biofouling Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling pada condensor dan exchanger terbagi menjadi 2 metode : 1. Metode secara kimia dan 2. Metode secara mekanik. Metode secara kimia dilakukan dengan cara menginjeksikan sejumlah bahan kimia yang berfungsi sebagai racun bagi organisme dalam air agar organisme tersebut tidak dapat ditumbuh ditempat yang tidak diharapkan. Secara umum injeksi bahan kimia dilakukan pada sistim PLTU adalah menginjeksi bahan kimia melalui sisi inlet air pendingin pada condensor dan exchanger. Dosis injeksi yang dilakukan tergantung kepada kebutuhan sistim masing-masing dengan mengacu kepada regulasi lingkungan setempat. Mengingat dampak negatif dari penggunaan dosis injeksi bahan kimia yang berlebihan adalah rusaknya ekosistem perairan setempat. Sementara jika dosis injeksi kurang dari yang dibutuhkan akan mengakibatkan kegagalan pada pencegahan pertumbuhan biofouling (William Edward Garrett, Jr, et al : 1995). Kelemahan dari metode ini dalam pengontrolan biofouling adalah tidak mampu membersihkan lapisan biofouling atau biofilm yang telah terbentuk pada dinding 13 tube condensor dan exchanger. Hal ini karena biofouling yang sempat terbentuk dari organisme yang sebelumnya hidup, masih akan tetap ada dan menempel pada dinding tube condensor dan exchanger (J.K. Rice et al : 1993). Secara singkatnya metode ini hanya efektif untuk mengontrol atau mencegah pertumbuhan organisme agar tidak membentuk biofouling atau lapisan film baru. Bahan kimia yang umumnya dipakai dalam metode pengontrolan biofouling adalah senyawa yang berbasis chlorine (seperti sodium hypochlorite, hypochlorous acid dan hypochlorite ion), berbasis bromine (seperti hypobromous acid dan hypobromite ion) dan chlorine dioxide. Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling secara mekanik dibagi menjadi 2 kategori : 1. Metode On-line. Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling dimana tidak memerlukan shutdown peralatan dari sistim kerjanya. Metode on-line yang umum dipakai adalah ball system dan cage system. 2. Metode Off-line. Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling yang memerlukan shutdown peralatan dari sistim kerjanya. Metode off-line yang umum dipakai adalah jet cleaner dan rotating cleaner. Secara singkat cara kerja dari pengontrolan dan pembersihan dengan metode online ball system dan cage system adalah sebagai berikut : 1. Bola dan cage diinjeksi pada sisi inlet air pendingin. Bola-bola (ball) dan cage (kapsul) yang terbuat dari sponge dengan ukuran lebih besar 1 mm – 2 mm dari diameter tube condensor dan exchanger dilepaskan pada sisi air masuk pendingin yang kemudian akan hanyut bersama aliran air pendingin. 14 2. Bola dan cage membersihkan dinding tube Ketika sampai pada tube condensor dan exchanger bola dan kapsul sponge ikut masuk kedalam tube. Tekanan aliran air pendingin akan memaksa bola dan kapsul tersebut untuk bergerak maju membersihkan dinding tube condensor dan exchanger. 3. Bola dan cage akan ditangkap dan dikumpulkan. Setelah keluar dari tube bola dan kapsul sponge akan ditangkap oleh sistem penangkap bola atau kapsul (collector) untuk dialirkan lagi pada sisi air masuk pendingin sebelumnya atau akan digunakan kembali pada proses pembersihan tube berikutnya selama bola dan cage masih mempunyai diameter yang dipersyaratkan. Gambar II.7. Sistim Ball Cleaning pada Condensor dan Exchanger Kelemahan dari metode ini adalah dari pengalaman memperlihatkan bahwa distribusi ball atau cage tidaklah sama / merata untuk setiap seksi dari luas area tube yang akan dibersihkan. Sehingga akibat dari distribusi ball atau cage yang tidak merata tadi mengakibatkan ada tube yang dibersihkan secara terus-menerus atau bahkan tidak terbersihkan sama sekali (J.K. Rice et al : 1993). 15 Gambar II.8. Prediksi Frekwensi Kerapatan Bola Pembersih Tube dalam Area Condensor (J.K. Rice et al : 1993) Secara singkat cara kerja dari pengontrolan dan pembersihan dengan metode offline mekanik adalah sebagai berikut : 1. Mematikan kerja peralatan Mematikan kerja peralatan yang akan dilakukan pembersihan, dalam hal ini jika condensor atau exchanger yang akan dibersihkan maka sistim pembangkit harus stop operasi, tetapi jika sistim pembangkit memiliki konfigurasi condensor atau exchanger ganda maka pembersihan dapat dilakukan dengan cara mematikan kerja kondensor atau exchanger bergantian sehingga sistim PLTU dapat tetap berjalan, tetapi hanya beroperasi dengan separuh beban maksimum. 2. Membersihkan tube Membersihkan tube dilakukan dengan cara memasukkan projectil tubecleaner pada setiap tube kemudian menembak projectil tersebut dengan 16 tekanan angin, air atau kombinasi angin-air untuk memaksa projectil bergerak maju membersihkan tube. Sementara untuk pembersihan tube dengan kondisi fouling yang lebih berat (macroorganisme seperti tritip telah tumbuh dalam tube) digunakan rotating cleaner yang menggunakan tenaga penggerak berputar semacam mesin bor dengan dilengkapi kepala pembersih tube untuk membersihkan tube. Gambar II.9. Air / Water Jet Cleaner Gambar II.10. Rotating Cleaner II.2 Unit Pembangkit Muara Karang (UP Muara Karang) PLTU Muara Karang berada dalam naungan operasi dan pemeliharaan UP Muara Karang (Unit Pembangkit Muara Karang) yang merupakan bagian dari usaha PT PJB (PT Pembangkitan Jawa-Bali) dalam bidang penyediaan tenaga listrik. 17 Dalam operasi dan pemeliharaannya sehari-hari, selain mengoperasikan dan memelihara PLTU Muara Karang, UP Muara Karang juga mengelola PLTGU Muara Karang. UP Muara Karang pertama kali beroperasi tepatnya tahun 1979, yang saat itu masih bernama PLN Sektor Muara Karang dan berada dibawah naungan PLN KJB (Perusahaan Listrik Negara Pembangkitan Jawa Bagian Barat) dengan mengoperasikan PLTU #1 dengan kapasitas 100 MW. Sampai dengan saat ini UP Muara Karang masih dipercaya untuk mengelola operasi dan pemeliharaan 9 pembangkit yang menjadi tanggung-jawabnya, dengan total kapasitas terpasang 1.210 MW dan dengan produksi listrik rata-rata sebesar 5.286 Gwh pertahun. Listrik yang dihasilkan oleh UP Muara Karang dipasok untuk kebutuhan area DKI Jakarta dan sekitarnya terutama bagi kepentingan-kepentingan vital di Jakarta seperti Istana Presiden, Gedung MPR/DPR, Bandara International Soekarno-Hatta dan lain-lain, melalui transmisi tegangan tinggi 150 Kv. Selain memasok area DKI Jakarta dan sekitarnya, listrik yang diproduksi UP Muara Karang juga turut mendukung beban se Jawa-Bali melalui SUTET 500 Kv, dimana listrik yang disalurkan melalui jaringan 150 Kv akan dinaikkan tegangannya menjadi 500 Kv pada Gardu Induk Gandul. Adapun type dan kapasitas pembangkit, serta tahun operasi pembangkit yang sampai saat ini masih dikelola UP Muara Karang adalah sebagai berikut : 18 Tabel II.2 Type Pembangkit UP Muara Karang Type Pembangkit PLTU PLTGU Unit Kapasitas Terpasang (MW) Bahan Bakar 1 2 3 4 5 100 100 100 200 200 MFO MFO MFO MFO / Gas MFO / Gas GT 1.1 108 Gas GT 1.2 108 Gas GT 1.3 108 Gas ST 1 Kapasitas Total 186 1210 Mulai Operasi 20 Feb 1979 28 Feb 1979 28 Jun 1979 26 Nov 1981 7 Jun 1982 26 okt 1992 1995 26 okt 1992 1995 26 okt 1992 1995 1995 (Open Cycle) (Combined Cycle) (Open Cycle) (Combined Cycle) (Open Cycle) (Combined Cycle) (Combined Cycle) Lokasi UP Muara Karang sendiri berada di teluk Jakarta, tepatnya berada di Jl Raya Pluit Utara No. 2A, Penjaringan Jakarta Utara. II.2.1 Sistim PLTU Muara Karang Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PLTU Muara Karang terdiri dari 2 type yang berbeda yaitu yang berkapasitas 100 MW dan 200 MW, tetapi secara prinsip pola kerja untuk membangkitkan tenaga listrik dari kedua type PLTU itu adalah sama. Perbedaan yang siginificant dari ke-2 type tersebut terletak pada sistim boiler yang dipakai, dan turbin yang digunakan. Boiler unit pembangkit 100 MW menggunakan konfigurasi burner front wall dengan 3 elevasi, sementara boiler unit pembangkit 200 MW menggunakan burner konfigurasi diagonal dengan 4 elevasi dilengkapi dengan sistim reheater (pemanas uap bekas turbin HP). Turbin yang digunakan pada unit pembangkit type 100 MW menggunakan 2 stage turbin yaitu HP (High Pressure) turbin dan LP (Low Pressure) turbin. Sementara untuk 19 unit pembangkit type 200 MW menggunakan 3 stage turbin yaitu HP turbin, IP (Immediate Pressure) turbin dan LP turbin. Stack HP Turbine Air Heater LP Turbine IP Turbine Generator FD Fan Boiler Condensor Fuel Pump Deaerator HP Heater Circulating Water Pump LP Heater Boiler Feed Pump Cond. Pump Air Laut Gambar II.11. Sistim PLTU Type Unit Pembangkit 4,5 Gambar II.12. Sistim PLTU Type Unit Pembangkit 1,2,3 20 II.2.2 Sistim Pendingin PLTU Muara Karang Sistim air pendingin utama PLTU Muara Karang merupakan suatu sistim air pendingin yang berjenis once-through cooling water system. Dimana air pendingin yang diambil berasal dari perairan laut dan setelah berfungsi mendinginkan condensor PLTU, air tersebut dibuang kembali ke perairan laut. Pada suatu sistem PLTU, air pendingin utama (Main Cooling Water) merupakan suatu bagian fungsi yang penting dari fungsi-fungsi yang bekerja dalam suatu sistim PLTU. Fungsi ini bekerja langsung untuk mendinginkan condesor PLTU serta bekerja secara cascade (bertingkat) dengan sistim air pendingin siklus tertutup (Closed Cooling Water) melalui HE (Heat Exchanger) untuk mendinginkan peralatan-peralatan yang bekerja dalam sistim PLTU (motor-motor penggerak, minyak pelumas, gas pendingin generator). Sebelum digunakan sebagai sarana air pendingin, air tersebut dinjeksi sodium hypochlorite yang dihasilkan oleh hypochlorite plant dan dilakukan pada kanal intake air pendingin masuk untuk setiap pompa pendingin utama (Ciculating Water Pump). Untuk unit pembangkit 1, 2 dan 3 dengan kapasitas setiap pembangkit 100 MW, air pendingin utama dilayani oleh 1 unit pompa pendingin utama untuk setiap unit pembangkit, sedangkan untuk unit 4 dan 5 dengan kapasitas setiap pembangkit 200 MW, air pendingin utama dilayani oleh 2 unit pompa pendingin utama untuk setiap unit pembangkit. 21 Gambar II.13. Typical Flow Diagram Sistim Pendingin Utama PLTU Muara Karang Spesifikasi pompa air pendingin utama untuk unit pembangkit #1, #2 dan #3 : Nama : Circulating Water Pump Type Pompa : 60MN-MP Type Motor : MKB-R Manufacture : Melco-Nagasaki Jumlah : 4 buah Total Head : 20,4 m Putaran : 326 rpm Kapasitas : 328.000 L/menit (19.680 m3/jam) Power Rating : 770 kW, 4 kV, 145 A Spesifikasi pompa air pendingin utama untuk unit pembangkit #4 dan #5 : Nama : Circulating Water Pump Type Pompa : 54MN-MP Type Motor : FKB-R Manufacture : Melco-Nagasaki 22 Jumlah : 5 buah Total Head : 11,8 m Putaran : 424 rpm Kapasitas : 280.000 L/menit (16.800 m3/jam) Power Rating : 710 kW, 4 kV, 131 A II.2.3 Sistim dan Operasi Hypochlorite Plant PLTU Muara Karang Hypochlorite Plant adalah suatu sistim peralatan yang digunakan untuk mengelektrolisa Sodium Chloride (NaCl) yang terkandung dalam air laut untuk dijadikan Sodium Hypochlorite (NaOCl) yang kemudian diinjeksikan kembali ke air laut. Tujuan dari adanya sistim peralatan ini adalah untuk mencegah tumbuhnya lapisan biologis (biofouling) yang dapat menjadi substrat (dasar untuk tumbuh) bagi makroorganisme seperti kijing, tritip, kerang, ganggang dan rumput laut untuk tumbuh pada permukaan material yang bersinggungan dengan air laut. Pertumbuhan organisme laut ini dapat mengurangi koefisien perpindahan panas, korosi, penurunan aliran dan tekanan dan bahkan penyumbatan pada pipa. Prinsip dasar dari Hypochlorite Plant yaitu dengan melewatkan air laut melalui dua logam bertegangan yang berfungsi sebagai elektroda, sehingga terjadi reaksi pembentukkan Sodium Hypochlorite (NaOCl) dari Sodium Chloride (NaCl) yang terdapat pada air laut. Pada umumnya air laut mengandung 3% Sodium Chloride (NaCl) dari pH rata-rata air laut 8. Sistim Hypochlorite Plant yang dimiliki oleh PLTU Muara Karang adalah sistim generator hypochlorite plant type plate-electrolyzer merk Daiki type 15WL-12 yang mulai beroperasi sejak tahun 1982 bersamaan dengan mulai beroperasinya PLTU #4 dan #5. Proses kerja dari Hypochlorite Plant tersebut adalah sebagai berikut : 1. Air laut dialirkan dengan menggunakan pompa Sea Water Supply 2. Kotoran-kotoran yang terbawa pada air laut disaring dengan menggunakan dua filter (strainer) secara cascade (bertingkat). Penyaringan pertama 23 menggunakan filter dengan lubang sebesar 2 mm yang bekerja manual, dan penyaringan kedua menggunakan filter dengan lubang 0,5 mm yang bekerja secara automatic. 3. Air laut dielektrolisa dengan electrolizer yang terdiri dari pelat anoda dan katoda yang tersusun secara paralel sebanyak 15 pasang pada setiap cell, dengan konfigurasi setiap cell dihubungkan secara seri terhadap aliran air laut (untuk setiap modul terdapat 12 cell) untuk menghasilkan Sodium Hypochlorite (NaOCl). 4. Gas hydrogen sebagai hasil sampingan dari proses elektrolisa dibuang melalui tangki Dehydrogen. 5. Sodium Hypochlorite (NaOCl) yang dihasilkan diinjeksikan pada air laut yang akan digunakan dalam proses. Secara sederhana, Hypochlorite Plant dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar II.14. Ilustrasi sederhana Hypochlorite Plant Elektroda yang terpasang pada Hypochlorite Plant berupa pelat Titanium (Ti) sebagai anoda dan 316 Stainless Steel sebagai katoda. Adapun reaksi kimia pada proses elektrolisa adalah sebagai berikut: NaCl + H2O + 2e Æ NaOCl + H2 24 Dengan rincian reaksi sebagai berikut: 2NaCl Æ 2Na+ + 2ClReaksi pada Anoda : 2Cl- Æ Cl2 + 2e Reaksi pada Katoda : 2Na+ + 2H2O + 2e Æ 2NaOH + H2 Reaksi pada Electrolizer : 2NaOH + Cl2 Æ NaCl + NaOCl + H2O Peralatan utama dalam sistim Hypochlorite Plant adalah : 1. Sea Water Supply Pump Jenis : Vertical Centrifugal Pump Jumlah : 2 buah Kapasitas : 220 m3/jam Total Head : 40 m Motor : 3 phase, 380 V, 50 Hz, 45 kW, 1.450 rpm 2. Manual Strainer Jenis : Basket Jumlah : 2 buah Kapasitas : 220 m3/jam Diameter mesh : 2 mm 3. Automatic Backwash Strainer Jenis : Skid Mounted Jumlah : 1 buah Kapasitas : 220 m3/jam Diameter mesh : 0,5 mm Motor : 3 phase, 380 V, 50 Hz, 0,2 kW, 1.450 rpm 4. Electrolyzer Unit Jenis : Daiki 15WL-12 Jumlah : 4 modul : 12 cell setiap modul : 15 pasang electrode setiap cell 25 Kapasitas Out : 1.550 kg/hari atau 64,6 kg/jam setara Cl2 (Chlorine) permodul pada arus 4.418 A Minimum Input : 55 m3/jam air laut 5. Controlled Power Supply Unit Jenis : Six (6) phase half wave Thyristor Output Control Jumlah : 4 set Input Rated : 3 phase, 416 V, 50 Hz Output Rated : 212,1 kW (max 300 kW) 48 VDC (max 60 VDC) 4.418 A (max 5000 A) 100% continous output rating 6. Dehydrogen Drum Jenis : Silinder Vertikal Jumlah : 4 buah Kapasitas : 55 m3/jam Jumlah sodium hypochlorite yang dihasilkan oleh Hypochlorite Plant dapat dihitung dengan rumus berikut (Daiki Engineering Co. Ltd : 1982) : 10 II. 1 Dimana : Q : Aliran air laut masuk tiap modul (m3/hour) C : Konsentrasi sodium hypochlorite keluar tiap modul (mg/L) Pengoperasian hypochlorite plant yang mengacu pada manual book adalah dengan menginjeksikan sodium hypochlorite secara kontinu pada sisi intake air pendingin masuk untuk setiap pompa pendingin utama yang beroperasi dengan mengontrol konsentrasi residual chlorine pada outpool air pendingin utama ≤0,1 ppm (1 ppm = 1 mg/L). Hal ini berdasarkan penelitian penggunaan injeksi sodium 26 hypochlorite pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang pada waktu itu (Daiki Engineering Co. Ltd : 1984). Sementara menurut Electric Power Research Institute (EPRI), injeksi sodium hypochlorite tergantung kepada site pembangkit masing-masing, dimana dosisnya tergantung kepada kualitas air pendingin yang akan diinjeksi, tetapi konsentrasi residual chlorine pada outpool air pendingin tidak boleh melebihi 0,5 ppm jika air pendingin tersebut dikembalikan langsung ke perairan (harus mengalami treatment terlebih dahulu). Secara umum injeksi yang diperkenankan adalah jika konsentrasi residual chlorine (TRC / Total Residual Chlorine) pada outpool air pendingin berada dalam kisaran ≤0,2 ppm (J.K. Rice et al : 1993). Standard baku mutu untuk perairan laut di wilayah DKI Jakarta sesuai dengan SK Gubernur No.582 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai / Badan Air Serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, telah menetapkan bahwa batasan kadar chlorine bebas (FRC / Free Residual Chlorine) yang dapat dibuang adalah maksimum 1 ppm. Sebagai catatan bahwa : TRC = FRC + CRC (II.2) Dimana : TRC = Total Residual Chlorine FRC = Free Residual Chlorine CRC = Combined Residual Chlorine II.3 Biaya Dampak Biofouling Biaya dampak biofouling pada pembangkit tenaga listrik terbagi menjadi 2 komponen (J.K. Rice et al : 1993) : 1. Biaya dampak biofouling yang menyebabkan terjadinya degradasi (penurunan) performa condensor dan exchanger 2. Biaya dampak biofouling yang menyebabkan adanya kehilangan kesempatan untuk berproduksi dan biaya energi pengganti (replacement power cost). 27 II.3.1 Biaya Degradasi Performa Condensor dan Exchanger Biofouling yang telah terjadi pada condensor akan menyebabkan degradasi performa condensor, dimana akan timbul kerugian kerja turbin akibat tidak terbuangnya panas uap dengan baik. Menurunnya kerja turbin itu diakibatkan adanya tekanan balik (back-pressure) condensor terhadap laju uap masuk turbin yang semakin membesar, sebanding dengan meningkatnya temperature air kondensasi dari uap bekas pemutar turbin yang tidak dapat didinginkan secara baik. Kerugian kerja turbin ini diasosiasikan sebagai energi yang seharusnya dapat dikonversi sebagai energi listrik atau dengan kata lain ada energi bahan bakar yang yang terbuang. Sehingga biaya kerugian yang timbul adalah biaya kerugian energi yang harus dibayar untuk menggantikan energi yang hilang akibat biofouling yang diasosiasikan sebagai energi yang hilang dalam setara satuan bahan bakar. 28 Gambar II.15. Kerugian Back-Pressure Condensor dengan Fungsi Kehilangan Beban dan Kehilangan Pendapatan Gambar II.15 memperlihatkan sebuah contoh kerugian akibat back pressure condensor yang meningkat terhadap fungsi kehilangan beban dan kehilangan pendapatan yang telah dilakukan penelitiannya pada sebuah pembangkit berkapasitas 525 MW (Intek, Common Condenser Problems : 2008) dengan menggunakan software PEPSE (Performance Evaluation of Power System Efficiencies) Sementara pada exchanger biofouling menyebabkan kerugian transfer panas dikarenakan adanya tambahan resitansi panas dari lapisan biofouling pada plate atau tube exchanger. 29 Gambar II.16. Equivalent Penambahan Tahanan Panas akibat Biofouling Ilustrasi gambar II.16. menggambarkan bahwa penambahan ketebalan media transfer panas yang dianalogikan dalam rangkaian listrik sebagai resistan yang dihubungkan seri, sementara temperature yang akan ditransimisikan dianalogikan sebagai arus yang mengalir (DOE Fundamentals Handbook : 1992). Dengan kondisi tersebut maka panas yang seharusnya dapat diserap oleh air pendingin dalam exchanger akan berkurang. Selisih panas yang terjadi ketika exchanger berada dalam kondisi bersih dari biofouling dan ketika berada dalam keadaan mengalami biofouling adalah merupakan kerugian panas yang terjadi, yang kemudian kerugian panas tersebut diasosiasikan sebagai energi yang hilang dalam setara satuan bahan bakar II.3.2 Biaya Kehilangan Kesempatan Berproduksi dan Biaya Energi Pengganti Ketika degradasi performance condensor dan exchanger telah mencapai suatu titik, dimana pengoperasian condensor dan exchanger secara terus-menerus dengan kondisi tersebut tidak mungkin dilakukan maka condensor dan exchanger harus dishutdown sebagian atau seluruhnya untuk dilakukan pembersihan tube condensor dan exchanger. 30 Dampak dari shutdown condensor dan exchanger ketika akan dilakukan pembersihan adalah adanya kehilangan kesempatan untuk bekerja atau berproduksi. Sebagai contoh kasus : konfigurasi sistim pendingin utama yang dimiliki PLTU Muara Karang (gambar II.13) memperlihatkan bahwa ketika terjadi shutdown exchanger untuk dilakukan pembersihan maka harus dilakukan shutdown sebagian condensor (walaupun condensor tidak akan dilakukan pembersihan). Hal ini berarti bahwa pekerjaan pembersihan tube condensor dan exchanger yang akan dilakukan baik pada exchanger maupun condensor akan mengakibatkan kehilangan kesempatan untuk berproduksi. Jika pada suatu titik kondisi dimana pembersihan tube condensor dan exchanger harus dilakukan pada kondisi penuh (seluruh condensor harus di out servis), maka akan timbul biaya energi pengganti (replacement power cost). Pada kondisi ini pembangkit akan berhenti berproduksi tetapi pemakaian listrik untuk beberapa bagian peralatan pembangkit akan tetap akan timbul seperti penerangan dalam area pembangkit, supply power pada konsol operasi, supply power bagi motor-motor fan pendingin, dan lain-lain. Sehingga pada kondisi ini posisi pembangkit adalah sebagai pembeli energi listrik. II.4 Analisis Biaya dan Manfaat (Cost & Benefit Analysis) Dalam setiap pembangunan dan pengembangan proyek selalu mempertimbangkan apa keuntungan yang diperoleh dari investasi proyek yang ditanam. Keuntungan tersebut dapat berupa peningkatan efisiensi maupun peningkatan efektifitas. Keduanya baik efisiensi maupun efektifitas bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Secara umum keuntungan dalam keuntungan sebuah proyek dapat dibagi menjadi 2 bentuk besar yaitu : 1. Tangible benefits dan 2. Intangible benefits. 31 Tangible benefits adalah keuntungan yang dapat secara langsung dikuantifikasi hasilnya sementara intangible benefits adalah keuntungan tidak dapat dikuantifikasi secara langsung. Tangible benefits dapat dihitung dengan pendekatan komponen biaya seperti : 1. Hidden cost (biaya tak nampak). Merupakan biaya tersembunyi yang merupakan biaya tidak jelas dan muncul pada suatu bagian tertentu sebagai dampak dari pembangunan atau pengembangan proyek. Biaya operasional dan perawatan yang tak terduga seperti biaya entertaiment merupakan hidden costs. 2. Opportunity cost (biaya kesempatan). Merupakan besarnya keuntungan yang didapat bila sejumlah dana tersebut diinvestasikan ke bidang lain . Hal ini penting menjadi pertimbangan apakah investasi lebih menguntungkan daripada investasi ke bisnis utama atau disimpan ke dalam bank. 3. Time value of money (nilai waktu dari uang). Konsep nilai waktu dari uang mengacu pada fakta bahwa nilai uang saat ini akan lebih berharga bila dibandingkan dengan nilai uang di masa akan datang. Ide nilai waktu dari uang di didasarkan pada arus kas terdiskon dan merupakan metode penting dalam mengevaluasi suatu investasi. 4. Discounted cash flow (arus kas terdiskon). Merupakan suatu cara untuk mengoperasionalkan konsep nilai waktu dari uang. Pemotongan arus kas ini dilakukan setiap tahun selama investasi tersebut masih memberikan keuntungan. 5. Rate of return (tarif kembalian) dan Cost of capital (biaya modal). Tarif kembalian dan biaya modal merupakan dua istilah yang sering digunakan dalam perhitungan arus kas terdiskon. Apapun itu namanya, tarif kembalian atau biaya modal merupakan angka yang dipakai untuk 32 menunjukkan tingkat pengembalian modal yang harus dicapai. 6. Economic life (umur ekonomis). Merupakan suatu periode yang dipercaya bahwa investasi tersebut dapat menjadi efektif dan dapat memberikan keuntungan selama masa proyek beroperasi / berjalan. Sementara Intangible benefits dapat dihitung dengan pendekatan komponen manfaat (efektifitas) seperti (Gatot Prabantoro, 2009) : 1. Manfaat pengurangan biaya 2. Manfaat pengurangan kesalahan 3. Manfaat peningkatan kecepatan aktivitas 4. Dan manfaat lain yang dapat dikomparasi Pada penelitian ini akan membahas kelayakan suatu proyek dari alternative rehabilitasi sistim hypochlorite plant PLTU Muara Karang diutamakan dari sisi kelayakan ekonomis dan manfaat dengan menggunakan parameter : 1. Metode Total Cost of Ownership (TCO) 2. Rate Of Return (ROR) 3. Net Present Value (NPV) II.4.1 Total Biaya Kepemilikan (Total Cost of Ownership) Pengertian tentang Total Cost of Ownership (TCO) merupakan salah satu teknik analisis investasi yang menjadi faktor penentu pemilihan investasi. TCO adalah penjumlahan semua kategori biaya, baik itu biaya implementasi maupun biaya operasional dari proyek yang akan dibangun atau dikembangkan. Menghitung TCO adalah dengan menjumlahkan semua biaya implementasi dan biaya operasional selama kepemilikan proyek berjalan. Rumus : TCO = {(Biaya Investasi) + (Biaya Operasi) + (Biaya Pemeliharaan)} (II.3) 33 II.4.2 Return On Investment (ROI) Return of investment (ROI) didefinisikan sebagai hasil bagi antara annual profit dengan tingkat investasi. 0 II. 4 1 dimana : I0 = Jumlah investasi awal N = Tahun investasi CF = Cash flow setiap tahun (tingkat pengembalian pertahun) i = Percentage tingkat suku bunga dalam excell digunakan : , , II.4.3 Net Present Value (NPV) Net Present Value (PV) menunjukkan nilai suatu total investasi dimasa yang akan datang dengan nilai ditarik pada saat sekarang II. 5 1 Dimana : NPV = Nilai sekarang dari cash flow CF = Cash flow pertahun i = Suku bungan investasi N = Tahun investasi adalah dalam excell : , , 34