Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Biofouling Biofouling adalah akumulasi

advertisement
Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1 Biofouling
Biofouling adalah akumulasi secara bertahap organisme dalam air seperti
ganggang, bakteri, kerang, dan protozoa pada sebuah permukaan struktur
peralatan bawah air, struktur pipa, struktur lambung kapal dan lain-lain yang
dapat menimbulkan sifat korosi dari struktur yang ditumbuhinya, sehingga dapat
membuat
gangguan
dari
struktur
dan
sistem
peralatan
tersebut
(dictionary.reference.com, 2009).
Selain gangguan korosi dan gangguan struktur, biofouling juga menyebabkan
penurunan efisiensi bagian yang bergerak (dictionary.babylon.com, 2009) dan
kerugian dalam siklus air pendingin industri besar dan pembangkit listrik
(wikipedia.org, 2009)
Biofouling terbagi menjadi 2 kategori (wikipedia.org, 2009) :
1. Micro biofouling
Terbentuknya lapisan fouling berbentuk biofilm pada permukaan struktur
material peralatan akibat organisme berskala kecil seperti bakteri, protozoa
dan lain-lain tumbuh dan berkembang-biak dalam suatu komunitas.
2. Macro biofouling
Terbentuknya lapisan fouling pada permukaan struktur material peralatan
akibat organisme berskala besar seperti kerang, tritip, ganggang, rumput laut,
karang dan lain-lain tumbuh dan berkembang-biak dalam suatu komunitas.
6 Gambar II.1. Tritip (Balanus Amphitrite)
II.1.1 Karakteristik Perkembangan dan Pertumbuhan Micro Biofouling
Micro biofouling atau biofilm terbentuk karena adanya interaksi perubahan kimia
dan biologi antara permukaan logam dan air alam ketika keduanya bertemu.
Interaksi itu menghasilkan deposit ion inorganik (ion yang bukan berasal dari
mahluk hidup) dan kemudian menyerap substansi organik yang terlarut dalam air
alam serta membentuk film dengan ketebalan berkisar 50 nm. Proses inilah yang
memulai terjadinya lapisan biofouling.
Kemudian lapisan film tersebut memungkinkan bakteri-bakteri yang terlarut
dalam air alam untuk tumbuh dan berkoloni yang kemudian membentuk
biofouling (J.K. Rice et al : 1993).
Pada kasus yang lebih berat kumpulan bakteri yang berkoloni tadi (biofilm)
nantinya akan menjadi substrat bagi pertumbuhan makroorganisme lain seperti
tritip, kerang, ganggang dan lain-lain. Sehingga fase microfouling akan beralih
menjadi fase macrofouling
7 Gambar II.2. Tahapan Pembentukan Biofouling (Dr R Venkatesan : 2007)
Gambar II.3. Tube Condensor dan Exchanger Yang Telah Ditumbuhi
Makroorganisme
Perkembangan dan pertumbuhan micro biofouling dibagi menjadi 3 fase (J.K.
Rice et al : 1993) :
1. Fase Induksi
Pada fase ini substansi molekul organik akan menyerap deposit ion inorganik
yang terjadi karena interaksi perubahan kimia dan biologi dalam air dan mulai
membentuk film. Bakteri dan mikroorganisme mulai menempel pada
permukaan logam (mulai terjadi pembentukan biofouling). Ketebalan lapisan
biofouling pada fase ini dianggap kecil atau tidak ada
8 2. Fase Pertumbuhan secara Logaritmik
Pada fase ini bakteri dan mikroorganisme yang terbentuk jumlahnya akan
berlipat secara fungsi logaritma, dimana bakteri dapat bereproduksi dalam
hitungan menit sampai dengan beberapa jam. Pertumbuhan exponensial ini
akan memproduksi ribuan koloni dalam satu atau dua hari sehingga ketebalan
biofouling akan juga akan meningkat secara exponensial. Ketika bakteri dan
mikroorganisme mati lapisan biofouling yang terbentuk tetap akan menempel
pada permukaan material
3. Fase Plateau
Pada fase ini pertumbuhan bakteri akan mencapai steady-state (plateau),
karena pertumbuhan bakteri akan mencapai keseimbangan akibat terkelupas
oleh tekanan kecepatan aliran air. Sehingga pada fase ini ketebalan biofouling
yang terbentuk bersifat konstan dengan jumlah tertentu
Gambar II.4. Fase Pertumbuhan Biofouling (J.K. Rice et al : 1993)
Dari semua metode pengontrolan dan pembersihan micro biofouling yang ada,
metode tersebut harus memindahkan fase ke-2 atau fase ke-3 dari fase
pertumbuhan biofouling, kembali menjadi fase ke-1 sebab pembersihan atau
pengontrolan biofouling kembali ke fase ke-2 tidak akan memberikan dampak
yang berarti karena biofouling akan kembali lagi berakumulasi dalam kurun
9 waktu yang singkat (fase ke-2 : akumulasi pertumbuhan biofouling akan berlipat
secara exponensial).
Pemutusan aliran air dalam waktu sementara tidak merubah fase pertumbuhan dan
perkembangan biofouling, tetapi hanya menunda waktu pertumbuhan dengan
jangka waktu yang lebih lama.
Beberapa faktor yang mempengaruhi akumulasi dan pertumbuhan biofouling
adalah (J.K. Rice et al : 1993) :
1. Kondisi permukaan logam
Dari pengamatan yang pernah dilakukan pertumbuhan dan akumulasi
biofouling lebih banyak terjadi pada kondisi permukaan material yang kasar
dibandingkan dengan permukaan material yang lebih halus atau datar
2. Kualitas air
Kualitas air yang mengandung banyak mikroorganisme dan nutrisi akan lebih
mempercepat akumulasi pertumbuhan biofouling dibandingkan dengan
kualitas air dengan kandungan mikroorganisme dan nutrisi yang lebih rendah
3. Kecepatan aliran air
Peningkatan kecepatan aliran air akan meningkatkan tekanan kelupas bagi
pembentukan biofouling, tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa
kecepatan aliran dalam kebanyakan condensor dan exchanger didisain pada
kecepatan yang spesifik tanpa dapat diubah.
10 Gambar II.5. Pertumbuhan Biofouling Terhadap Fungsi Kecepatan Air
(Dr R Venkatesan : 2007)
4. Temperature air
Biofouling pada umumnya terjadi ketika musim panas, ini disebabkan karena
meningkatnya nutrisi pada air dalam musim panas dalam jumlah besar. Dari
hasil ujicoba yang dilakukan oleh EPRI terdapat korelasi yang significant
antara akumulasi biofouling dengan kenaikan temperature air, dimana terjadi
kecenderungan peningkatan akumulasi biofouling pada temperature air antara
15oC – 40oC. Sementara pada temperature diatas 40oC akumulasi
pertumbuhan biofouling cenderung terhambat
11 Gambar II.6. Korelasi Pertumbuhan Biofouling dengan Peningkatan
Temperature Air (J.K. Rice et al : 1993)
5. Material logam
Material condensor dan exchanger yang umum dipakai seperti copper-nickel,
titanium, stainless steel dan brass juga mempengaruhi akumulasi pertumbuhan
biofouling. Dari ujicoba yang dilakukan EPRI terhadap ke-empat material
tersebut didapatkan hasil dengan ranking sebagai berikut :
Tabel II.1. Korelasi Pertumbuhan Biofouling dengan Jenis Material
(J.K. Rice et al : 1993)
No.
1
2
3
4
Material
Copper-Nickel
Brass
Titanium
Stainless Steel
Akumulasi
Biofouling
Slowest Biofouling
Fastest Biofouling
12 Senyawa dari copper merupakan racun bagi bakteri sehingga pada senyawa ini
akumulasi pertumbuhan biofouling bersifat paling lambat. Walaupun coppernickel dan brass mempunyai karakteristik akumulasi pertumbuhan biofouling
yang lambat, tetapi material ini mempunyai tingkat rata-rata korosi yang lebih
tinggi dibanding material lain, sehingga degradasi transfer panas yang terjadi
menjadi lebih tinggi karena adanya faktor tambahan dari korosi tersebut.
II.1.2 Metode Pengontrolan Biofouling
Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling pada condensor dan exchanger
terbagi menjadi 2 metode :
1. Metode secara kimia dan
2. Metode secara mekanik.
Metode secara kimia dilakukan dengan cara menginjeksikan sejumlah bahan
kimia yang berfungsi sebagai racun bagi organisme dalam air agar organisme
tersebut tidak dapat ditumbuh ditempat yang tidak diharapkan.
Secara umum injeksi bahan kimia dilakukan pada sistim PLTU adalah
menginjeksi bahan kimia melalui sisi inlet air pendingin pada condensor dan
exchanger.
Dosis injeksi yang dilakukan tergantung kepada kebutuhan sistim masing-masing
dengan mengacu kepada regulasi lingkungan setempat. Mengingat dampak
negatif dari penggunaan dosis injeksi bahan kimia yang berlebihan adalah
rusaknya ekosistem perairan setempat. Sementara jika dosis injeksi kurang dari
yang dibutuhkan akan mengakibatkan kegagalan pada pencegahan pertumbuhan
biofouling (William Edward Garrett, Jr, et al : 1995).
Kelemahan dari metode ini dalam pengontrolan biofouling adalah tidak mampu
membersihkan lapisan biofouling atau biofilm yang telah terbentuk pada dinding
13 tube condensor dan exchanger. Hal ini karena biofouling yang sempat terbentuk
dari organisme yang sebelumnya hidup, masih akan tetap ada dan menempel pada
dinding tube condensor dan exchanger (J.K. Rice et al : 1993).
Secara singkatnya metode ini hanya efektif untuk mengontrol atau mencegah
pertumbuhan organisme agar tidak membentuk biofouling atau lapisan film baru.
Bahan kimia yang umumnya dipakai dalam metode pengontrolan biofouling
adalah
senyawa
yang
berbasis
chlorine
(seperti
sodium
hypochlorite,
hypochlorous acid dan hypochlorite ion), berbasis bromine (seperti hypobromous
acid dan hypobromite ion) dan chlorine dioxide.
Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling secara mekanik dibagi menjadi
2 kategori :
1. Metode On-line.
Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling dimana tidak memerlukan
shutdown peralatan dari sistim kerjanya. Metode on-line yang umum dipakai
adalah ball system dan cage system.
2. Metode Off-line.
Metode pengontrolan dan pembersihan biofouling yang memerlukan
shutdown peralatan dari sistim kerjanya. Metode off-line yang umum dipakai
adalah jet cleaner dan rotating cleaner.
Secara singkat cara kerja dari pengontrolan dan pembersihan dengan metode online ball system dan cage system adalah sebagai berikut :
1. Bola dan cage diinjeksi pada sisi inlet air pendingin.
Bola-bola (ball) dan cage (kapsul) yang terbuat dari sponge dengan ukuran
lebih besar 1 mm – 2 mm dari diameter tube condensor dan exchanger
dilepaskan pada sisi air masuk pendingin yang kemudian akan hanyut bersama
aliran air pendingin.
14 2. Bola dan cage membersihkan dinding tube
Ketika sampai pada tube condensor dan exchanger bola dan kapsul sponge
ikut masuk kedalam tube. Tekanan aliran air pendingin akan memaksa bola
dan kapsul tersebut untuk bergerak maju membersihkan dinding tube
condensor dan exchanger.
3. Bola dan cage akan ditangkap dan dikumpulkan.
Setelah keluar dari tube bola dan kapsul sponge akan ditangkap oleh sistem
penangkap bola atau kapsul (collector) untuk dialirkan lagi pada sisi air masuk
pendingin sebelumnya atau akan digunakan kembali pada proses pembersihan
tube berikutnya selama bola dan cage masih mempunyai diameter yang
dipersyaratkan.
Gambar II.7. Sistim Ball Cleaning pada Condensor dan Exchanger
Kelemahan dari metode ini adalah dari pengalaman memperlihatkan bahwa
distribusi ball atau cage tidaklah sama / merata untuk setiap seksi dari luas area
tube yang akan dibersihkan. Sehingga akibat dari distribusi ball atau cage yang
tidak merata tadi mengakibatkan ada tube yang dibersihkan secara terus-menerus
atau bahkan tidak terbersihkan sama sekali (J.K. Rice et al : 1993).
15 Gambar II.8. Prediksi Frekwensi Kerapatan Bola Pembersih Tube dalam Area
Condensor (J.K. Rice et al : 1993)
Secara singkat cara kerja dari pengontrolan dan pembersihan dengan metode offline mekanik adalah sebagai berikut :
1. Mematikan kerja peralatan
Mematikan kerja peralatan yang akan dilakukan pembersihan, dalam hal ini
jika condensor atau exchanger yang akan dibersihkan maka sistim pembangkit
harus stop operasi, tetapi jika sistim pembangkit memiliki konfigurasi
condensor atau exchanger ganda maka pembersihan dapat dilakukan dengan
cara mematikan kerja kondensor atau exchanger bergantian sehingga sistim
PLTU dapat tetap berjalan, tetapi hanya beroperasi dengan separuh beban
maksimum.
2. Membersihkan tube
Membersihkan tube dilakukan dengan cara memasukkan projectil tubecleaner pada setiap tube kemudian menembak projectil tersebut dengan
16 tekanan angin, air atau kombinasi angin-air untuk memaksa projectil bergerak
maju membersihkan tube.
Sementara untuk pembersihan tube dengan kondisi fouling yang lebih berat
(macroorganisme seperti tritip telah tumbuh dalam tube) digunakan rotating
cleaner yang menggunakan tenaga penggerak berputar semacam mesin bor
dengan dilengkapi kepala pembersih tube untuk membersihkan tube.
Gambar II.9. Air / Water Jet Cleaner
Gambar II.10. Rotating Cleaner
II.2 Unit Pembangkit Muara Karang (UP Muara Karang)
PLTU Muara Karang berada dalam naungan operasi dan pemeliharaan UP Muara
Karang (Unit Pembangkit Muara Karang) yang merupakan bagian dari usaha PT
PJB (PT Pembangkitan Jawa-Bali) dalam bidang penyediaan tenaga listrik.
17 Dalam operasi dan pemeliharaannya sehari-hari, selain mengoperasikan dan
memelihara PLTU Muara Karang, UP Muara Karang juga mengelola PLTGU
Muara Karang. UP Muara Karang pertama kali beroperasi tepatnya tahun 1979,
yang saat itu masih bernama PLN Sektor Muara Karang dan berada dibawah
naungan PLN KJB (Perusahaan Listrik Negara Pembangkitan Jawa Bagian Barat)
dengan mengoperasikan PLTU #1 dengan kapasitas 100 MW.
Sampai dengan saat ini UP Muara Karang masih dipercaya untuk mengelola
operasi dan pemeliharaan 9 pembangkit yang menjadi tanggung-jawabnya,
dengan total kapasitas terpasang 1.210 MW dan dengan produksi listrik rata-rata
sebesar 5.286 Gwh pertahun.
Listrik yang dihasilkan oleh UP Muara Karang dipasok untuk kebutuhan area
DKI Jakarta dan sekitarnya terutama bagi kepentingan-kepentingan vital di
Jakarta seperti Istana Presiden, Gedung MPR/DPR, Bandara International
Soekarno-Hatta dan lain-lain, melalui transmisi tegangan tinggi 150 Kv.
Selain memasok area DKI Jakarta dan sekitarnya, listrik yang diproduksi UP
Muara Karang juga turut mendukung beban se Jawa-Bali melalui SUTET 500 Kv,
dimana listrik yang disalurkan melalui jaringan 150 Kv akan dinaikkan
tegangannya menjadi 500 Kv pada Gardu Induk Gandul.
Adapun type dan kapasitas pembangkit, serta tahun operasi pembangkit yang
sampai saat ini masih dikelola UP Muara Karang adalah sebagai berikut :
18 Tabel II.2 Type Pembangkit UP Muara Karang
Type Pembangkit PLTU PLTGU Unit Kapasitas Terpasang (MW) Bahan Bakar 1 2 3 4 5 100 100 100 200 200 MFO MFO MFO MFO / Gas MFO / Gas GT 1.1 108 Gas GT 1.2 108 Gas GT 1.3 108 Gas ST 1 Kapasitas Total 186 1210 Mulai Operasi 20 Feb 1979
28 Feb 1979
28 Jun 1979
26 Nov 1981
7 Jun 1982
26 okt 1992
1995
26 okt 1992
1995
26 okt 1992
1995
1995
(Open Cycle) (Combined Cycle) (Open Cycle) (Combined Cycle) (Open Cycle) (Combined Cycle) (Combined Cycle) Lokasi UP Muara Karang sendiri berada di teluk Jakarta, tepatnya berada di Jl
Raya Pluit Utara No. 2A, Penjaringan Jakarta Utara.
II.2.1 Sistim PLTU Muara Karang
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PLTU Muara Karang terdiri dari 2
type yang berbeda yaitu yang berkapasitas 100 MW dan 200 MW, tetapi secara
prinsip pola kerja untuk membangkitkan tenaga listrik dari kedua type PLTU itu
adalah sama.
Perbedaan yang siginificant dari ke-2 type tersebut terletak pada sistim boiler
yang dipakai, dan turbin yang digunakan. Boiler unit pembangkit 100 MW
menggunakan konfigurasi burner front wall dengan 3 elevasi, sementara boiler
unit pembangkit 200 MW menggunakan burner konfigurasi diagonal dengan 4
elevasi dilengkapi dengan sistim reheater (pemanas uap bekas turbin HP). Turbin
yang digunakan pada unit pembangkit type 100 MW menggunakan 2 stage turbin
yaitu HP (High Pressure) turbin dan LP (Low Pressure) turbin. Sementara untuk
19 unit pembangkit type 200 MW menggunakan 3 stage turbin yaitu HP turbin, IP
(Immediate Pressure) turbin dan LP turbin.
Stack
HP Turbine
Air Heater
LP Turbine
IP Turbine
Generator
FD Fan
Boiler
Condensor
Fuel Pump
Deaerator
HP Heater
Circulating
Water Pump
LP Heater
Boiler Feed Pump
Cond. Pump
Air Laut
Gambar II.11. Sistim PLTU Type Unit Pembangkit 4,5
Gambar II.12. Sistim PLTU Type Unit Pembangkit 1,2,3
20 II.2.2 Sistim Pendingin PLTU Muara Karang
Sistim air pendingin utama PLTU Muara Karang merupakan suatu sistim air
pendingin yang berjenis once-through cooling water system. Dimana air
pendingin yang diambil berasal dari perairan laut dan setelah berfungsi
mendinginkan condensor PLTU, air tersebut dibuang kembali ke perairan laut.
Pada suatu sistem PLTU, air pendingin utama (Main Cooling Water) merupakan
suatu bagian fungsi yang penting dari fungsi-fungsi yang bekerja dalam suatu
sistim PLTU. Fungsi ini bekerja langsung untuk mendinginkan condesor PLTU
serta bekerja secara cascade (bertingkat) dengan sistim air pendingin siklus
tertutup (Closed Cooling Water) melalui HE (Heat Exchanger) untuk
mendinginkan peralatan-peralatan yang bekerja dalam sistim PLTU (motor-motor
penggerak, minyak pelumas, gas pendingin generator).
Sebelum digunakan sebagai sarana air pendingin, air tersebut dinjeksi sodium
hypochlorite yang dihasilkan oleh hypochlorite plant dan dilakukan pada kanal
intake air pendingin masuk untuk setiap pompa pendingin utama (Ciculating
Water Pump).
Untuk unit pembangkit 1, 2 dan 3 dengan kapasitas setiap pembangkit 100 MW,
air pendingin utama dilayani oleh 1 unit pompa pendingin utama untuk setiap unit
pembangkit, sedangkan untuk unit 4 dan 5 dengan kapasitas setiap pembangkit
200 MW, air pendingin utama dilayani oleh 2 unit pompa pendingin utama untuk
setiap unit pembangkit.
21 Gambar II.13. Typical Flow Diagram Sistim Pendingin Utama PLTU Muara
Karang
Spesifikasi pompa air pendingin utama untuk unit pembangkit #1, #2 dan #3 :
Nama
: Circulating Water Pump
Type Pompa : 60MN-MP
Type Motor
: MKB-R
Manufacture : Melco-Nagasaki
Jumlah
: 4 buah
Total Head
: 20,4 m
Putaran
: 326 rpm
Kapasitas
: 328.000 L/menit (19.680 m3/jam)
Power Rating : 770 kW, 4 kV, 145 A
Spesifikasi pompa air pendingin utama untuk unit pembangkit #4 dan #5 :
Nama
: Circulating Water Pump
Type Pompa : 54MN-MP
Type Motor
: FKB-R
Manufacture : Melco-Nagasaki
22 Jumlah
: 5 buah
Total Head
: 11,8 m
Putaran
: 424 rpm
Kapasitas
: 280.000 L/menit (16.800 m3/jam)
Power Rating : 710 kW, 4 kV, 131 A
II.2.3 Sistim dan Operasi Hypochlorite Plant PLTU Muara Karang
Hypochlorite Plant adalah suatu sistim peralatan yang digunakan untuk
mengelektrolisa Sodium Chloride (NaCl) yang terkandung dalam air laut untuk
dijadikan Sodium Hypochlorite (NaOCl) yang kemudian diinjeksikan kembali ke
air laut. Tujuan dari adanya sistim peralatan ini adalah untuk mencegah
tumbuhnya lapisan biologis (biofouling) yang dapat menjadi substrat (dasar untuk
tumbuh) bagi makroorganisme seperti kijing, tritip, kerang, ganggang dan rumput
laut untuk tumbuh pada permukaan material yang bersinggungan dengan air laut.
Pertumbuhan organisme laut ini dapat mengurangi koefisien perpindahan panas,
korosi, penurunan aliran dan tekanan dan bahkan penyumbatan pada pipa. Prinsip
dasar dari Hypochlorite Plant yaitu dengan melewatkan air laut melalui dua logam
bertegangan yang berfungsi sebagai elektroda, sehingga terjadi reaksi
pembentukkan Sodium Hypochlorite (NaOCl) dari Sodium Chloride (NaCl) yang
terdapat pada air laut. Pada umumnya air laut mengandung 3% Sodium Chloride
(NaCl) dari pH rata-rata air laut 8.
Sistim Hypochlorite Plant yang dimiliki oleh PLTU Muara Karang adalah sistim
generator hypochlorite plant type plate-electrolyzer merk Daiki type 15WL-12
yang mulai beroperasi sejak tahun 1982 bersamaan dengan mulai beroperasinya
PLTU #4 dan #5.
Proses kerja dari Hypochlorite Plant tersebut adalah sebagai berikut :
1. Air laut dialirkan dengan menggunakan pompa Sea Water Supply
2. Kotoran-kotoran yang terbawa pada air laut disaring dengan menggunakan
dua filter (strainer) secara cascade (bertingkat). Penyaringan pertama
23 menggunakan filter dengan lubang sebesar 2 mm yang bekerja manual, dan
penyaringan kedua menggunakan filter dengan lubang 0,5 mm yang bekerja
secara automatic.
3. Air laut dielektrolisa dengan electrolizer yang terdiri dari pelat anoda dan
katoda yang tersusun secara paralel sebanyak 15 pasang pada setiap cell,
dengan konfigurasi setiap cell dihubungkan secara seri terhadap aliran air laut
(untuk setiap modul terdapat 12 cell) untuk menghasilkan Sodium
Hypochlorite (NaOCl).
4. Gas hydrogen sebagai hasil sampingan dari proses elektrolisa dibuang melalui
tangki Dehydrogen.
5. Sodium Hypochlorite (NaOCl) yang dihasilkan diinjeksikan pada air laut yang
akan digunakan dalam proses.
Secara sederhana, Hypochlorite Plant dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar II.14. Ilustrasi sederhana Hypochlorite Plant
Elektroda yang terpasang pada Hypochlorite Plant berupa pelat Titanium (Ti)
sebagai anoda dan 316 Stainless Steel sebagai katoda. Adapun reaksi kimia pada
proses elektrolisa adalah sebagai berikut:
NaCl + H2O + 2e Æ NaOCl + H2
24 Dengan rincian reaksi sebagai berikut:
2NaCl Æ 2Na+ + 2ClReaksi pada Anoda
: 2Cl- Æ Cl2 + 2e
Reaksi pada Katoda
: 2Na+ + 2H2O + 2e Æ 2NaOH + H2
Reaksi pada Electrolizer
: 2NaOH + Cl2 Æ NaCl + NaOCl + H2O
Peralatan utama dalam sistim Hypochlorite Plant adalah :
1. Sea Water Supply Pump
Jenis
: Vertical Centrifugal Pump
Jumlah
: 2 buah
Kapasitas
: 220 m3/jam
Total Head
: 40 m
Motor
: 3 phase, 380 V, 50 Hz, 45 kW, 1.450 rpm
2. Manual Strainer
Jenis
: Basket
Jumlah
: 2 buah
Kapasitas
: 220 m3/jam
Diameter mesh
: 2 mm
3. Automatic Backwash Strainer
Jenis
: Skid Mounted
Jumlah
: 1 buah
Kapasitas
: 220 m3/jam
Diameter mesh
: 0,5 mm
Motor
: 3 phase, 380 V, 50 Hz, 0,2 kW, 1.450 rpm
4. Electrolyzer Unit
Jenis
: Daiki 15WL-12
Jumlah
: 4 modul
: 12 cell setiap modul
: 15 pasang electrode setiap cell
25 Kapasitas Out
: 1.550 kg/hari atau 64,6 kg/jam setara Cl2 (Chlorine)
permodul pada arus 4.418 A
Minimum Input
: 55 m3/jam air laut
5. Controlled Power Supply Unit
Jenis
: Six (6) phase half wave Thyristor Output Control
Jumlah
: 4 set
Input Rated
: 3 phase, 416 V, 50 Hz
Output Rated
: 212,1 kW (max 300 kW)
48 VDC (max 60 VDC)
4.418 A (max 5000 A)
100% continous output rating
6. Dehydrogen Drum
Jenis
: Silinder Vertikal
Jumlah
: 4 buah
Kapasitas
: 55 m3/jam
Jumlah sodium hypochlorite yang dihasilkan oleh Hypochlorite Plant dapat
dihitung dengan rumus berikut (Daiki Engineering Co. Ltd : 1982) :
10
II. 1
Dimana :
Q : Aliran air laut masuk tiap modul (m3/hour)
C : Konsentrasi sodium hypochlorite keluar tiap modul (mg/L)
Pengoperasian hypochlorite plant yang mengacu pada manual book adalah dengan
menginjeksikan sodium hypochlorite secara kontinu pada sisi intake air pendingin
masuk untuk setiap pompa pendingin utama yang beroperasi dengan mengontrol
konsentrasi residual chlorine pada outpool air pendingin utama ≤0,1 ppm (1 ppm
= 1 mg/L). Hal ini berdasarkan penelitian penggunaan injeksi sodium
26 hypochlorite pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang pada waktu itu (Daiki
Engineering Co. Ltd : 1984).
Sementara menurut Electric Power Research Institute (EPRI), injeksi sodium
hypochlorite tergantung kepada site pembangkit masing-masing, dimana dosisnya
tergantung kepada kualitas air pendingin yang akan diinjeksi, tetapi konsentrasi
residual chlorine pada outpool air pendingin tidak boleh melebihi 0,5 ppm jika air
pendingin tersebut dikembalikan langsung ke perairan (harus mengalami
treatment terlebih dahulu). Secara umum injeksi yang diperkenankan adalah jika
konsentrasi residual chlorine (TRC / Total Residual Chlorine) pada outpool air
pendingin berada dalam kisaran ≤0,2 ppm (J.K. Rice et al : 1993).
Standard baku mutu untuk perairan laut di wilayah DKI Jakarta sesuai dengan SK
Gubernur No.582 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai /
Badan Air Serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, telah menetapkan bahwa batasan kadar chlorine bebas (FRC / Free
Residual Chlorine) yang dapat dibuang adalah maksimum 1 ppm.
Sebagai catatan bahwa :
TRC = FRC + CRC
(II.2)
Dimana :
TRC = Total Residual Chlorine
FRC = Free Residual Chlorine
CRC = Combined Residual Chlorine
II.3 Biaya Dampak Biofouling
Biaya dampak biofouling pada pembangkit tenaga listrik terbagi menjadi 2
komponen (J.K. Rice et al : 1993) :
1. Biaya
dampak
biofouling
yang
menyebabkan
terjadinya
degradasi
(penurunan) performa condensor dan exchanger
2. Biaya dampak biofouling yang menyebabkan adanya kehilangan kesempatan
untuk berproduksi dan biaya energi pengganti (replacement power cost).
27 II.3.1 Biaya Degradasi Performa Condensor dan Exchanger
Biofouling yang telah terjadi pada condensor akan menyebabkan degradasi
performa condensor, dimana akan timbul kerugian kerja turbin akibat tidak
terbuangnya panas uap dengan baik. Menurunnya kerja turbin itu diakibatkan
adanya tekanan balik (back-pressure) condensor terhadap laju uap masuk turbin
yang semakin membesar, sebanding dengan meningkatnya temperature air
kondensasi dari uap bekas pemutar turbin yang tidak dapat didinginkan secara
baik.
Kerugian kerja turbin ini diasosiasikan sebagai energi yang seharusnya dapat
dikonversi sebagai energi listrik atau dengan kata lain ada energi bahan bakar
yang yang terbuang. Sehingga biaya kerugian yang timbul adalah biaya kerugian
energi yang harus dibayar untuk menggantikan energi yang hilang akibat
biofouling yang diasosiasikan sebagai energi yang hilang dalam setara satuan
bahan bakar.
28 Gambar II.15. Kerugian Back-Pressure Condensor dengan Fungsi Kehilangan
Beban dan Kehilangan Pendapatan
Gambar II.15 memperlihatkan sebuah contoh kerugian akibat back pressure
condensor yang meningkat terhadap fungsi kehilangan beban dan kehilangan
pendapatan yang telah dilakukan penelitiannya pada sebuah pembangkit
berkapasitas 525 MW (Intek, Common Condenser Problems : 2008) dengan
menggunakan software PEPSE (Performance Evaluation of Power System
Efficiencies)
Sementara pada exchanger biofouling menyebabkan kerugian transfer panas
dikarenakan adanya tambahan resitansi panas dari lapisan biofouling pada plate
atau tube exchanger.
29 Gambar II.16. Equivalent Penambahan Tahanan Panas akibat Biofouling
Ilustrasi gambar II.16. menggambarkan bahwa penambahan ketebalan media
transfer panas yang dianalogikan dalam rangkaian listrik sebagai resistan yang
dihubungkan seri, sementara temperature yang akan ditransimisikan dianalogikan
sebagai arus yang mengalir (DOE Fundamentals Handbook : 1992).
Dengan kondisi tersebut maka panas yang seharusnya dapat diserap oleh air
pendingin dalam exchanger akan berkurang. Selisih panas yang terjadi ketika
exchanger berada dalam kondisi bersih dari biofouling dan ketika berada dalam
keadaan mengalami biofouling adalah merupakan kerugian panas yang terjadi,
yang kemudian kerugian panas tersebut diasosiasikan sebagai energi yang hilang
dalam setara satuan bahan bakar
II.3.2 Biaya Kehilangan Kesempatan Berproduksi dan Biaya Energi
Pengganti
Ketika degradasi performance condensor dan exchanger telah mencapai suatu
titik, dimana pengoperasian condensor dan exchanger secara terus-menerus
dengan kondisi tersebut tidak mungkin dilakukan maka condensor dan exchanger
harus dishutdown sebagian atau seluruhnya untuk dilakukan pembersihan tube
condensor dan exchanger.
30 Dampak dari shutdown condensor dan exchanger ketika akan dilakukan
pembersihan adalah adanya kehilangan kesempatan untuk bekerja atau
berproduksi.
Sebagai contoh kasus : konfigurasi sistim pendingin utama yang dimiliki PLTU
Muara Karang (gambar II.13) memperlihatkan bahwa ketika terjadi shutdown
exchanger untuk dilakukan pembersihan maka harus dilakukan shutdown
sebagian condensor (walaupun condensor tidak akan dilakukan pembersihan). Hal
ini berarti bahwa pekerjaan pembersihan tube condensor dan exchanger yang akan
dilakukan baik pada exchanger maupun condensor akan mengakibatkan
kehilangan kesempatan untuk berproduksi.
Jika pada suatu titik kondisi dimana pembersihan tube condensor dan exchanger
harus dilakukan pada kondisi penuh (seluruh condensor harus di out servis), maka
akan timbul biaya energi pengganti (replacement power cost).
Pada kondisi ini pembangkit akan berhenti berproduksi tetapi pemakaian listrik
untuk beberapa bagian peralatan pembangkit akan tetap akan timbul seperti
penerangan dalam area pembangkit, supply power pada konsol operasi, supply
power bagi motor-motor fan pendingin, dan lain-lain. Sehingga pada kondisi ini
posisi pembangkit adalah sebagai pembeli energi listrik.
II.4 Analisis Biaya dan Manfaat (Cost & Benefit Analysis)
Dalam setiap pembangunan dan pengembangan proyek selalu mempertimbangkan
apa keuntungan yang diperoleh dari investasi proyek yang ditanam. Keuntungan
tersebut dapat berupa peningkatan efisiensi maupun peningkatan efektifitas.
Keduanya baik efisiensi maupun efektifitas bisa terjadi dalam berbagai bentuk.
Secara umum keuntungan dalam keuntungan sebuah proyek dapat dibagi menjadi
2 bentuk besar yaitu :
1. Tangible benefits dan
2. Intangible benefits.
31 Tangible benefits adalah keuntungan yang dapat secara langsung dikuantifikasi
hasilnya
sementara
intangible
benefits
adalah
keuntungan
tidak
dapat
dikuantifikasi secara langsung.
Tangible benefits dapat dihitung dengan pendekatan komponen biaya seperti :
1. Hidden cost (biaya tak nampak).
Merupakan biaya tersembunyi yang merupakan biaya tidak jelas dan muncul
pada suatu bagian tertentu sebagai dampak dari pembangunan atau
pengembangan proyek. Biaya operasional dan perawatan yang tak terduga
seperti biaya entertaiment merupakan hidden costs.
2. Opportunity cost (biaya kesempatan).
Merupakan besarnya keuntungan yang didapat bila sejumlah dana tersebut
diinvestasikan ke bidang lain . Hal ini penting menjadi pertimbangan apakah
investasi
lebih menguntungkan daripada investasi ke bisnis utama atau
disimpan ke dalam bank.
3. Time value of money (nilai waktu dari uang).
Konsep nilai waktu dari uang mengacu pada fakta bahwa nilai uang saat ini
akan lebih berharga bila dibandingkan dengan nilai uang di masa akan datang.
Ide nilai waktu dari uang di didasarkan pada arus kas terdiskon dan
merupakan metode penting dalam mengevaluasi suatu investasi.
4. Discounted cash flow (arus kas terdiskon).
Merupakan suatu cara untuk mengoperasionalkan konsep nilai waktu dari
uang. Pemotongan arus kas ini dilakukan setiap tahun selama investasi
tersebut masih memberikan keuntungan.
5. Rate of return (tarif kembalian) dan Cost of capital (biaya modal).
Tarif kembalian dan biaya modal merupakan dua istilah yang sering
digunakan dalam perhitungan arus kas terdiskon. Apapun itu namanya, tarif
kembalian atau biaya modal merupakan angka yang dipakai untuk
32 menunjukkan tingkat pengembalian modal yang harus dicapai.
6. Economic life (umur ekonomis).
Merupakan suatu periode yang dipercaya bahwa investasi tersebut dapat
menjadi efektif dan dapat memberikan keuntungan selama masa proyek
beroperasi / berjalan.
Sementara Intangible benefits dapat dihitung dengan pendekatan komponen
manfaat (efektifitas) seperti (Gatot Prabantoro, 2009) :
1. Manfaat pengurangan biaya
2. Manfaat pengurangan kesalahan
3. Manfaat peningkatan kecepatan aktivitas
4. Dan manfaat lain yang dapat dikomparasi
Pada penelitian ini akan membahas kelayakan suatu proyek dari alternative
rehabilitasi sistim hypochlorite plant PLTU Muara Karang diutamakan dari sisi
kelayakan ekonomis dan manfaat dengan menggunakan parameter :
1. Metode Total Cost of Ownership (TCO)
2. Rate Of Return (ROR)
3. Net Present Value (NPV)
II.4.1 Total Biaya Kepemilikan (Total Cost of Ownership)
Pengertian tentang Total Cost of Ownership (TCO) merupakan salah satu teknik
analisis investasi yang menjadi faktor penentu pemilihan investasi. TCO adalah
penjumlahan semua kategori biaya, baik itu biaya implementasi maupun biaya
operasional dari proyek yang akan dibangun atau dikembangkan.
Menghitung TCO adalah dengan menjumlahkan semua biaya implementasi dan
biaya operasional selama kepemilikan proyek berjalan.
Rumus :
TCO = {(Biaya Investasi) + (Biaya Operasi) + (Biaya Pemeliharaan)} (II.3)
33 II.4.2 Return On Investment (ROI)
Return of investment (ROI) didefinisikan sebagai hasil bagi antara annual profit
dengan tingkat investasi.
0
II. 4
1
dimana :
I0
= Jumlah investasi awal
N
= Tahun investasi
CF
= Cash flow setiap tahun (tingkat pengembalian pertahun)
i
= Percentage tingkat suku bunga
dalam excell digunakan :
,
,
II.4.3 Net Present Value (NPV)
Net Present Value (PV) menunjukkan nilai suatu total investasi dimasa yang akan
datang dengan nilai ditarik pada saat sekarang
II. 5
1
Dimana :
NPV = Nilai sekarang dari cash flow
CF
= Cash flow pertahun
i
= Suku bungan investasi
N
= Tahun investasi
adalah dalam excell :
,
,
34 
Download