Bekerjanya Kapitalisme Negara di Era Reformasi

advertisement
BAB I
Bekerjanya Kapitalisme Negara di Era Reformasi
1. Latar Belakang
Reformasi menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia yang
menandai runtuhnya pemerintahan otoriter Orde Baru. Namun, reformasi yang
berusia tujuh belas tahun masih menyisakan kemelut dalam pengelolaan sumber
daya alam dengan masih langgengnya kapitalisme negara. Tulisan ini bermaksud
memaparkan mengenai kekuatan kapital yang bekerja dibawah kontrol negara
dalam ekstraksi sumber daya agraria. Dalam penelitian ini, negara tidak dimaknai
secara tunggal. Namun terdiri atas unsur pemerintah dari tingkat pusat hingga
pemerintah desa serta insititusi militer.
Ketika negara dengan korporasi menjadi bagian dari pelaku reproduksi
kapital sehingga menciptakan ketimpangan, pada saat bersamaan negara
mengkampanyekan Hak Asasi Manusia (HAM). Dari sini dapat kita lihat bahwa
posisi negara sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) dalam pemenuhan hak
menjadi dipertanyakan. Tulisan ini lebih lanjut hendak mengkaji dampak dari
bekerjanya kapital terhadap pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat dalam
konteks pemanfaatan sumber daya agraria. Apakah negara mampu menjamin hak
masyarakat atau justru menjadi pelanggar HAM. Pelanggaran HAM dapat
dipahami sebagai tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara
yang mengancam dan melanggar hak asasi manusia baik berupa kebijakan
ataupun tindakan langsung. Penilaian terhadap pelanggaran HAM ini melekat
pada negara yang direpresentasikan oleh aparat negara (sipil dan militer).1 Kasus
penambangan pasir besi di Kecamatan Adipala, Cilacap, dipinjam untuk
menegaskan bahwa tugas reformasi belumlah selesai.
Mufti Makaarim A. “Pelanggaran HAM: Warisan (maut) Keterlibatan Militer Dalam Bisnis”. Dalam Bisnis
Serdadu: Ekonomi Bayangan. Jaleswari Pramodhawardani dan Andi Widjajanto,ed. 73-90. Jakarta: The
Indonesian Institute. Hlm. 81
1
1
Sumber daya agraria –termasuk mineral di dalamnya- pada dasarnya
dikuasai oleh negara seperti yang tercantum di dalam UU Pokok Agraria No.5
tahun 1960 dan secara yuridis masih berlaku hingga sekarang. Dalam
pengelolaannya, negara mendelegasikan wewenangnya kepada korporasi yang
memiliki orientasi mendapatkan keuntungan. Dalam skema tersebut, sumber daya
agraria yang pada dasarnya adalah bersifat state owned justru dikelola oleh
private owned, dan perubahan ini niscaya berimplikasi bagi penjaminan hak
rakyat untuk disejahterakan melalui pengelolaan sumber daya tersebut.
Perlu dicatat bahwa istilah ‘kapital’ dalam kajian ini tidak saja dimengerti
sebagai modal, melainkan juga dimengerti sebagai suatu proses dan cara produksi
yang menggerakan uang untuk memperoleh uang yang lebih banyak (MoneyCommodity-More Money). Dalam cara produksi kapitalis, proses itu tak bisa
berhenti dan berlaku sekali saja, tetapi harus melakukan proses akumulasi
keuntungan yang tanpa henti (endless accumulation) dan harus selalu
menghilangkan hambatan supaya proses akumulasi itu dapat mengalami
pembesaran dan perluasan (boundless accumulation). Kapital juga merupakan
relasi sosial, yaitu hubungan antara kelas kapitalis dan kelas buruh dalam suatu
proses kerja dimana untuk memperoleh uang lebih banyak (laba), kelas kapitalis
mengeksploitasi dan menghisap kelas buruh.2
Reproduksi kapital membutuhkan peran negara dalam penentuan
regulasi, meski tidak jarang negara justru hadir dengan dominasinya yang kuat.
Kemunculan dominasi negara dalam pembangunan ekonomi telah muncul sejak
pemerintahan Soekarno. Pada saat itu, perusahaan-perusahaan didirikan untuk
mengambilalih perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi.3 Ada dua cara
untuk melihat peran negara selama periode pendalaman industrialisasi. Pertama,
negara terlibat langsung dalam menumpuk kapital dengan memiliki sumber daya
dan menanamkan modal di berbagai sektor melalui perusahaan negara. Kedua,
2Noer
Fauzi Rachman dan Dian Yanuardy. 2014. MP3EI: Cerita (Si)Apa? Mengapa Sekarang?. Jurnal
Landreform, Edisi 1/Mei 2014, 36-60. Hlm. 38
3 Eric Hiariej. 2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme
Orde Baru. Yogyakarta: Ire Press. Hlm. 69
2
negara terlibat dengan cara tidak langsung melalui perencanaan, formulasi aturan
dan implementasi kebijakan.4
Perluasan kapital dalam sektor sumber daya agraria yang didominasi
negara telah tumbuh sejak masa Orde Baru, tidak terkecuali di pesisir selatan
Cilacap. Wilayah ini mengalami industrialisasi di awal pemerintah Orde Baru
berupa pembangunan kilang minyak Pertamina dan penambangan pasir besi oleh
perusahaan negara PT Aneka Tambang (PT Antam). Pemerintah Orde Baru
menjadikan
pembangunan
pertambangan
sebagai
sektor
strategis
untuk
meningkatkan sumber pendapatan negara. Paradigma tersebut telah melekat pada
pemerintahan Orde Baru dengan dimasukkannya pertambangan dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
kapitalistik diiringi oleh penguatan militer hingga tingkat desa sehingga
mempermudah masuknya penambangan.
Pesisir yang mengandung potensi mineral dan pertanian pada dasarnya
merupakan sumber daya milik bersama (common pool resources/ CPR) yang
dapat dimanfaatkan oleh berbagai kelompok. Sumber daya ini berada dibawah
kepemilikan negara dengan dikuasakan oleh militer sebagai kawasan pertahanan.
Sikap pemerintah dan militer sebagai institusi negara yang permisif terhadap
masuknya modal, mendorong adanya perubahan fungsi tanah yang pada awalnya
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian menjadi area penambangan dan industri
lainnya.
Meluasnya perubahan lahan pertanian menjadi wilayah pertambangan di
berbagai wilayah di Indonesia membuat kajian ekonomi politik agraria penting
untung dilakukan. Mengutip dari Wiradi, pendekatan political economy penting
dan sesuai dengan karakteristik utama masalah agraria sebagai masalah politik.5
Pengalaman pertambangan di Indonesia lebih banyak menunjukkan narasi tentang
ketimpangan penguasaan tanah maupun ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan
konflik horizontal maupun vertikal. Cerita masyarakat Desa Kertabuana,
Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, menunjukkan bagaimana
4
Ibid, hlm. 70
Gunawan Wiradi. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria.
Yogyakarta: STPN Press, hlm. 2
5
3
tambang batubara telah mengepung desa dan merubah lahan pertanian menjadi
lubang bekas galian.6 Pengalaman masyarakat pegunungan kendeng menunjukkan
bahwa kemunculan tambang karst telah menyulut konflik berbasis sumber daya
alam. Harapan yang dimunculkan bahwa tambang akan membawa kesejahteraan
seakan hanya mitos yang dibawa oleh industri pertambangan.
Pengelolaan sumber daya milik bersama oleh aktor privat seringkali
menyebabkan ketimpangan yang berujung pada kemiskinan. Studi Moh. Yusuf
dkk di dataran tinggi Garut menunjukkan bahwa pemodal besar (negara dan
swasta) yang menerapkan model penguasaan kawasan hutan dan perkebunan telah
menyebabkan persoalan ketimpangan penguasaan tanah sehingga menyumbang
proses pemiskinan masyarakat pedesaan.7 Hadirnya bentuk-bentuk penguasaan
sumber-sumber agraria oleh negara dan swasta dalam bentuk areal perkebunan
dan kehutanan, beriringan dengan lepasnya akses dan kontrol (enclosure) petani
terhadap lahan garapannya. Kehadiran perusahaan bermodal besar ini –baik
negara maupun swasta- telah menggeser pola-pola ekonomi skala rumah tangga
petani (satuan ekonomi terkecil) di pedesaan menjadi tenaga kerja upahan lepas. 8
Ekspansi kapital dan ketimpangan penguasaan tanah bagai dua sisi mata
uang. Pertanyaan yang kemudian mengedepan adalah: apakah ekspansi kapital
selalu menciptakan persoalan ketimpangan
ketimpangan
penguasaan
tanah
sebagai
penguasaan tanah?
sumber
agraria
Ataukah
justru
turut
melanggengkan kekuasaan kapital dalam ekstraksi sumber daya alam?.
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diajukan untuk melihat kerja kapital dan adanya
ketimpangan yang muncul dalam pengelolaan sumber daya agraria.
Kapitalisme negara pesisir Cilacap telah dimulai sejak masa kolonial.
Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakaan penataan ruang dengan
menjadikan Cilacap sebagai pintu keluar masuk bagi hasil pertanian dari
kebijakan kapitalistik tanam paksa. Kekuatan militer pun dibangun untuk
6
Anna Mariana, Devy DC dan Vegitya R. Putri. Politik Lokal, Elite Lokal dan Konsesi Pertambangan:
Perjuangan Perempuan atas Akses Tanah di Kutai Kertanegara dalam MEMBACA ULANG POLITIK DAN
KEBIJAKAN AGRARIA (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2013). Yogyakarta: STPN Press. Hlm. 253
7 Moh. Yusuf, dkk. “Pembentukan Modal, Ekstraksi Surplus dan Penciptaan Kemiskinan di Pertanian Dataran
Tinggi: Studi Kasus Dua Desa di Garut”. Dalam Memahami dan menemukan jalan keluar dari problem
agraria dan krisis sosial ekologi. Laksmi A. Savitri, ed. 10-50. Bogor: Sajogyo Institute. Hlm. 14
8 Ibid, Hlm. 24
4
mengamankan perekonomian Belanda dan menjaga keamanan dari serangan
negara lain. Watak dominasi negara dalam perekonomian berlanjut pada masa
Orde Baru yang ditandai dengan eksploitasi sumber daya oleh perusahaan negara,
PT Antam.
Kejatuhan Orde Baru tidak turut mengakhiri kapitalisme negara yang
ditandai dengan keberlanjutan produksi PT Antam hingga tahun 2010. Pasca
kepergian PT Antam, dominasi negara dalam kegiatan perekonomian tetap kokoh.
Dominasi negara terwujud dalam peran pemerintah kabupaten hingga pemerintah
desa dan militer. Pemerintah Kabupaten Cilacap hingga pemerintah desa yang
menjadi bagian dari negara, dengan terbuka memberikan izin penambangan
kepada perusahaan-perusahaan penambangan pasir besi.
Militer sebagai institusi negara yang merasa menguasai kawasan pesisir,
turut berperan dalam memberikan persetujuan kepada korporasi tambang. Bukan
hanya perusahaan, petani yang akan melakukan kegiatan pertanian pun harus
mendapat persetujuan TNI AD. Bentuk bisnis yang dijalankan oleh militer
mendapatkan legitimasi negara melalui peraturan menteri keuangan yang
menyebut bahwa militer dapat menyewakan asetnya kepada pihak ketiga.
Keuntungan ekstraksi mineral yang lebih besar dan tidak membutuhkan waktu
lama, menjadi kesempatan yang menggiurkan dibanding dengan kegiatan
pertanian. Oleh karena itu, ketika banyak perusahaan yang hendak melakukan
penambangan pasir besi, TNI pun menyewakan tanahnya kepada perusahaan
meskipun harus memutuskan sewa tanah dengan petani. Disini terlihat bahwa
militer yang menjadi bagian dari negara turut menjadi pelaku dari kapitalisasi
sumber daya agraria. Padahal disisi lain, negara mengemban kewajiban untuk
memenuhi hak kesejahteraan masyarakat.
Berlangsungnya kapitalisasi sumber daya alam dibawah kontrol negara
telah melahirkan dampak yang sangat buruk bagi penikmatan hak masyarakat.
Gejala ini membuat Asep Mulyana (2012) menyimpulkan bahwa bisnis dan HAM
5
di Indonesia memiliki relasi yang berbanding terbalik: eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam telah mengorbankan penikmatan HAM.9
Kekuatan dan
beroperasinya
kapital
Ketimpangan
Penguasaan
sumberdaya agraria
Penjaminan
Hak
kesejahteraan
 Pelepasan alat produksi
 Komodifikasi sumber daya alam
 Politik penataan ruang
Bagan I. 1. Alur Kerja Kapital
Ketika sumber daya hanya dikuasai oleh pengusaha atas izin dari
pemerintah, masyarakat –terutama petani- kehilangan alat produksinya dan
semakin tersingkirkan. Berbagai upaya dilakukan masyarakat untuk mencicipi
bagian dari proses eksploitasi kekayaan sumber daya di pesisir desanya. Misalnya
dengan mendirikan portal di jalan desa dan menarik uang kepada truk yang
membawa pasir; meminta uang debu dan perbaikan jalan yang rusak; meminta
sumbangan kepada perusahaan ketika ada acara desa; dan melakukan
penambangan manual. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat
dilihat secara hitam putih, legal atau illegal, resmi atau liar. Secara lebih jauh,
perlu dilihat mengapa masyarakat melakukan penambangan “liar” di pesisir
pantai.
Sekarang ini penambangan tidak lagi marak sebab pemerintah Indonesia
menetapkan kebijakan larangan ekspor bahan mentah10 melalui Peraturan Menteri
(Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 20 tahun 2013
sebagai perubahan kedua atas Permen ESDM nomor 07 Tahun 2012 mengenai
peningkatan nilai tambah mineral. Banyak dari perusahaan pasir besi yang
bangkrut karena kesulitan membangun smelter dan tidak dapat melakukan ekspor.
9
Asep Mulyana. Mengintegrasikan HAM ke Dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan. Jurnal HAM Vol
VIII, 2012, 265-281
10 Larangan ekspor bahan mentah telah diamanatkan dalam UU Mineral dan Batu Bara no 4 tahun 2009
6
Perusahaan hanya mampu menjual pasir besi kepada pasar lokal seperti
perusahaan semen. Kebijakan larangan ekspor semata hanya berorientasi pada
peningkatan hasil ekonomi dari bahan tambang, bukan karena pemerintah
berkomitmen memenuhi hak kesejahteraan masyarakat.
Kasus penambangan pasir besi di Kecamatan Adipala hanya menjadi area
pembuktian bagi argumentasi penulis bahwa reformasi tidak menghapus
kapitalisme negara yang telah menciptakan ketimpangan dan berimbas pada
kegagalan negara dalam menjamin hak kesejahteraan masyarakat. Oleh karena
itulah, penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai gambaran bahwa reformasi
politik belum secara tuntas dilakukan di Indonesia.
I.2. Permasalahan
Beranjak dari penjelasan latar belakang diatas, penelitian ini akan menjawab
pertanyaan Bagaimana kegagalan reformasi dalam mengubah watak kapitalisme
negara sehingga berdampak pada penjaminan hak kesejahteraan masyarakat?.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, rumusan masalah penelitian kemudian
diturunkan sebagai berikut:
1. Bagaimana watak kapitalisme negara tidak berubah pasca reformasi di
pesisir selatan Cilacap?
2. Bagaimana kapitalisme negara membawa dampak bagi penjaminanan hak
kesejahteraan masyarakat?
I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap kerja kapitalisme negara
perubahan kawasan pertanian menjadi penambangan pasir besi hingga masa
reformasi. Lebih lanjut, penelitian ini berusaha melihat dampak dari penguasaan
kapital dalam perubahan tanah pertanian menjadi kawasan penambangan pasir
besi terhadap pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat, khususnya petani.
7
I.4. Literatur Review
Peralihan Orde Lama menjadi Orde Baru bukan saja merubah struktur
politik Indonesia, tetapi juga merubah arah kebijakan ekonomi Indonesia. Di awal
pemerintahan Orde Baru, dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan masuknya
modal asing untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia. Selain itu, ada upaya
menghancurkan kebijakan pemerintahan Soekarno yang mengancam kepentingan
kapitalis dan para pendukungnya. Misalnya saja kebijakan land reform yang
menggagas redistribusi lahan, menjadi ancaman bagi kalangan kapitalis, tuan
tanah yang bergelar haji, dan Angkatan Darat. Bagi mereka, land reform hanya
akan mengambil alih tanah dan kekayaan mereka, serta perkebunan milik Negara
yang dibawah kendali Angkatan Darat.11. Mengalisa dengan teori otoriterisme
birokratik dan korporatisme negara, dalam bukunya Ekonomi dan Struktur Politik
Orde Baru 1966-1971 Mas’oed menjelaskan bahwa pemerintah Orde Baru
menggunakan strategi stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang memberikan
peranan aktif pada pengusaha swasta di dalam ekonomi pasar terpimpin dan dapat
mengerahkan dukungan internasional.
Pada masa Orde Baru, dinamika ekonomi politik agraria lebih banyak
dimainkan oleh kelompok yang berkuasa. Studi Robin Broad12 mengenai ekonomi
politik sumber daya alam kehutanan di Indonesia dan Filipina memahami
bagaimana melimpahnya kekayaan sumber daya alam di dunia ketiga diikuti
dengan eksploitasi sumber daya alam. Broad menjelaskan bahwa melimpahnya
sumber daya alam justru mengkatalisasi interaksi negara dengan kelompok
privelege. Dalam hal ini negara tidak hanya dipolitisasi, tetapi juga dibajak oleh
kelompok berkuasa. Sejarah penguasaan hutan pada masa Orde Baru hanya
dikuasai oleh orang-orang yang dekat dengan Soeharto, seperti Bob Hasan dan
Prajogo Pangestu. Robinson menyebut, penguasaan ekonomi politik sumber daya
alam didukung oleh masuknya modal asing. Bukan hanya dalam sektor
pertambangan, tetapi juga meliputi sektor kehutanan, pertanian, manufaktur dan
Mochtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. Hlm.60.
Robin Broad. 1995. The Political Economy of Natural Resources: Case Studies of the Indonesian and
Philippine Forest Sectors. The Journal of Developing Areas 29 (3)
11
12
8
infrastruktur. Bahkan di bawah pemerintahan Orde Baru, pendapatan ekspor
Indonesia meningkat tajam yaitu dari sektor industri ekstraktif: minyak dan
kayu.13
Ekonomi politik sumber daya alam telah menjadi minat bagi akademisi
seiring dengan eksploitasi sumber daya alam yang disertai dengan ketimpangan,
kemiskinan dan konflik. Dengan perspektif ekonomi politik agraria, A Haroon
Akram-Lodhi14 menyoroti mengenai tanah, pasar dan enclosure neoliberal dalam
kebijakan kebijakan reforma agraria yang dipandu oleh pasar (Market-led
agrarian reform/ MLAR). Kebijakan MLAR didasarkan pada dua asumsi yaitu
menganggap
tanah
hanya
sebatas
pada
sumber
daya
ekonomi
yang
menguntungkan dan pasar sebagai institusi dimana partisipan didalamnya berada
dalam posisi setara. Padahal asusmsi ini pada dasarnya salah, karena adanya
karakter yang melekat secara sosial pada tanah dan pasar.
Lodhi menggunakan ekonomi politik agraria untuk memahami proses
transfer tanah yang menekankan pada karakter yang melekat secara sosial,
khususnya terkait dengan konsep enclosure. Ekonomi politik agraria ditarik dalam
pengertian pergerakan hukum kapitalisme kontemporer dan hubungannya dengan
daerah pedalaman. Menurut Kautsky, ekonomi politik agraria berfokus pada
bagaimana kapital dapat mengendalikan pertanian, merevolusi, menghancurkan
bentuk produksi dalam untuk kemudian membangun produksi yang baru.
Enclosure dalam mode kapitalis, menurut Lodhi dengan mengutip dari Wood,
menekankan bagaimana kapital berakar dalam perubahan konten dan makna dari
relasi kepemilikan sosial.
Lahirnya kapitalisme melalui proses enclosure
mencerminkan suatu proses yang lebih dalam dan tidak sesederhana transfer
kepemilkan privat dari asset material. Sehingga enclosure pun tidak hanya
dipahami sebagas tanah. Neoliberal enclosure yang terjadi melalui program
MLAR
memfasilitasi
rekonfigurasi
struktur
agrarian
“bifurcated”
yang
memunculkan pertanian kapitalis beroriensi ekspor dan sub sektor agraria yang
berorientasi subsisten.
Mochtar Mas’oed,. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES, Hlm. 104
Haroon Akram-Lodhi. 2007. Land, Market, and Neoliberal Enclosure: An Agrarian Political Economy
Perspective. Third World Quarterly 28 (8). DOI: 10.1080/01436590701637326. 1437-1456
13
14
9
Salah satu
yang mendorong adanya kemiskinan yaitu adanya
ketimpangan struktur penguasaan agraria. Dengan kacamata demokrasi struktural,
Amin Tohari meletakkan struktur penguasaan agraria sebagai basis pembentukan
kelas sosial, yang turut melestarikan dominasi kekuasaan lokal dan menciptakan
gerakan demokrasi yang tidak lagi percaya pada demokrasi prosedural. Tohari
melihat bahwa demokrasi bukan sekedar sistem yang yang hanya menjamin hakhak sosial dan politik warga negara, tetapi juga harus mampu menjamin hak
ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), sehingga tidak terjebak dalam demokrasi
oligarkis.15
Demokrasi
semestinya
bisa
menjadi
ruang
yang
mampu
mendistribusikan sumber daya, agar sumber daya tidak dikuasai oleh orang-orang
tertentu. Dengan melihat kasus perkebunan di Blitar, struktur agraria
menunjukkan dominasi dari kelompok swasta, militer dan negara terhadap
sumber-sumber agraria sehingga menciptakan kemiskinan bagi masyarakat yang
tinggal di wilayah perkebunan.
Dalam aktivitas pertambangan, kesejahteraan juga menjadi hal yang
dipertanyakan. Penyebabnya, aktivitas pertambangan sendiri masih belum
menyentuh aspek kesejahteraan masyarakat lokal, meskipun pertambangan
memberikan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah dan kepada Produk
Domestik Bruto (PDB). Emil Salim dan timnya melakukan evaluasi dampak
sosial penambangan yang melibatkan Bank Dunia untuk menjawab pertanyaan
apakah
kegiatan
penambangan
memberikan
dampak
positif
terhadap
kesejahteraan masyarakat lokal. Hasil evaluasi ini melihat adanya syarat-syarat
agar
pertambangan
dapat
memberikan
kontribusi
terhadap
pengentasan
kemiskinan, mengurangi potensi konflik sosial dan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan berkelanjutan. Pertama, tata kelola korporasi dan tata kelola publik
(corporate and public governance) yang pro rakyat miskin. Kedua, Kebijakan-
15Amin
Tohari. 2013. Keluar Dari Demokrasi Populer: Dinamika Demokrasi Lokal dan Distribusi Sumber
Daya. Jogjakarta: Penerbit Polgov. Hlm. 14
10
kebijakan sosial dan lingkungan yang lebih efektif. Ketiga, Penghargaan terhadap
hak asasi manusia. 16
Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraksi sumber
daya alam –terutama perusahaan multinasional- memiliki dampak positif dalam
kemajuan ekonomi. Namun disisi lain, kegiatan perusahaan membawa dampak
negative
terhadap
penikmatan
HAM.
Dalam
tulisannya
berjudul
Mengintegrasikan HAM Ke Dalam Kebijakan dan Praktik Perusahaan, Asep
Mulyana menjelaskan bagaimana bisnis dan HAM di Indonesia memiliki relasi
yang berbanding terbalik: eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam telah
mengorbankan penikmatan HAM. Perusahaan yang bergerak dalam pengelolaan
sumber daya alam menghasilkan dampak buruk bagi penikmatan HAM seperti
munculnya sengketa atas tanah, kerusakan alam, pencemaran air dan udara,
ketimpangan sosial, keterbelakangan ekonomi, yang berujung pada konflik dan
kekerasan sosial. Karena dampak inilah, perusahaan dituntut untuk ikut
bertanggung jawab dalam pemenuhan HAM.17
Proyek-proyek semacam ini tidak lain merupakan bagian dari agenda
neoliberalisme untuk melakukan akumulasi kapital dengan cara perampasan
sumber daya. Studi Amin Tohari mengenai persoalan land grabbing dalam kasus
MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) mengkonfirmasi bahwa
land grabbing sebagai bentuk perluasan ruang baru bagi kapitalisme telah
membawa dampak terhadap pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak atas
tanah dan sumber penghidupan yang berasal dari tanah. Hak-hak individu yang
diakui secara internasional termasuk di dalamnya hak hidup, makanan, kesehatan,
bekerja, dan bebas dari diskriminasi dalam dimensi apapun terancam terlanggar
dalam kasus MIFFE, padahal norma hukum menuntut pemerintah untuk
menghormati, melindungi, dan memajukannya.18
Nina L.Subiman dan Budy P. Resosudarmo. 2010. “Tambang untuk Kesejahteraan Rakyat: Konflik dan
Usaha Penyelesaian. Dalam Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Iwan J. Azis,
dkk, ed. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hlm. 429
17 Asep Mulyana, Op.Cit, 265-281.
18 Amin Tohari. Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) Dalam Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Dalam Jurnal Bhumi No 37 tahun 12, April 2013
16
11
Segala dampak dari penambangan yang merugikan masyarakat dan
lingkungan, dijawab perusahaan dengan menggunakan skema Corporate Social
Responsibility. Tesis Norvie Aperiansyani19 mengungkapkan bahwa CSR
merupakan skema yang ambisius karena mengesankan besarnya tanggung jawab
perusahaan, yang di satu sisi tidak mudah dipenuhi oleh perusahaan. CSR hanya
menjadi aktivitas bisnis perusahaan untuk mendapatkan ijin sosial (social licence)
sehingga skema ini seringkali mengalami kegagalan karena beberapa hal.
Pertama, persoalan konseptual akademis dimana perusahaan pertambangan
cenderung mengorbankan aspek ekologis. Jikapun aspek ekologis diperhitungkan,
hanya sekedar kamuflase untuk mensiasati publik supaya perusahaan terkesan
respek terhadap lingkungan. Kedua, CSR menjadi sikap etis pemilik perusahaan
untuk melanggengkan kepentingan bisnis mereka. Dalam hal ini, CSR hanya
dijadikan sebagai alat promosi perusahaan demi menjaga citra perusahaan atas
kerusakan-kerusakan lingkungan akibat penambangan.
Berkaca dari penelitian yang sudah ada, tulisan ini akan memahami
kekuasaan kapital di tingkat lokal yang telah mempengaruhi pemenuhan hak
kesejahteraan masyarakat. Perubahan fungsi tanah dari tanah produktif untuk
pertanian menjadi wilayah pertambangan, tidak lepas dari dinamika ekonomi
politik nasional dan global yang pada akhirnya tetap memarginalkan petani dan
masyarakat kecil.
I.5. Kerangka Teori
I.5.1. Kajian Agraria
Istilah agraria, berdasarkan asal-usulnya (etimologi), berasal dari kata
bahasa latin “ager” yang memiliki makna lapangan, pedusunan (lawan dari
perkotaan), wilayah, tanah negara. Dalam istilah lain yaitu agger dimaknai sebagai
tanggung penahan/pelindung, pematang, tanggul sungai, jalan tambak, reruntuhan
19
Norvie Aperiansyani. 2012. Defisit Akuntabilitas Perusahaan: The Politics of Corporate Social
Responsibility. Tesis Studi Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.g[.
12
tanah. Dari istilah ini, agraria bukan sekedar tanah atau pertanian. Kata
pedusunan, bukit dan wilayah menunjukkan betapa luasnya makna dari agraria.
Jika makna agraria hanya dimaknai sebagai tanah atau pertanian, berarti telah
mengalami penyempitan makna.20
Namun berdasarkan konstitusi yang digunakan, agraria dimaknai sebagai
tanah, seperti yang digunakan dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh
pemerintah kolonial. Kata agraria yang memiliki makna sempit sebatas tanah,
dalam perkembangannya mengalami perluasan makna.21 Agraria dimaknai lebih
luas, tidak sebatas pada tanah dan segala hal yang berkaitan dengan pertanian.
Melainkan menyangkut sumber daya air, hutan, laut, termasuk sumber daya yang
ada di dalam bumi.
Perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa makna agraria mengalami
penyempitan makna atau perluasan makna, tidak merubah kesepakatan para ahli
dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Dalam UUPA, agraria meliputi bumi dan segala yang ada dibawahnya, air dan
angkasa (ruang di atas bumi, termasuk udara). Segala sumber daya yang
terkandung dalam perut bumi dan terletak di atas permukaan bumi, sumber daya
lautan dan seisinya, serta udara di angkasa raya merupakan cakupan dari agraria.
Kajian agraria telah banyak mendapatkan perhatian dari akademisi dan
peneliti seiring dengan meluasnya permasalahan agraria di tanah air. Kajian ini
sempat mengalami kemandegan pada masa Orde Baru ketika kajian ini dianggap
mengarah pada paham komunis. Tipikal kajian agraria yang digunakan pada masa
Orde Baru hanya kajian yang mendukung langgengnya pemerintahan ini,
misalnya mengenai involusi pertanian. Baru setelah kejatuhan pemerintah Orde
Baru, permasalahan agraria mulai terbuka dan semakin mendapatkan perhatian
dari para akademisi.
Lingkup kajian agraria menyangkut dua hal yaitu objek agraria dan
subjek agraria. Objek agraria mengarah pada sumber agraria yang berbentuk fisik.
Seperti yang tercantum dalam UU PA, jenis-jenis sumber agraria ada lima jenis.
Sitorus. 2002. “Lingkup Agraria”. Dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Endang
Suhendar, dkk, ed. Bandung: Akatiga
21 Yance Arizona. 2014. Konstitusionalisme Agraria.Yogyakarta: STPN Press. hlm. 8
20
13
Pertama yaitu tanah atau permukaan bumi. Tanah menjadi modal alami yang
teramat penting dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Kedua, perairan dimana
menjadi modal alami untuk kegiatan perikanan. Ketiga, hutan dimana flora dan
fauna tumbuh dan hidup bersama dengan komunitas-komunitas yang tinggal di
hutan serta memanfaatkan hasil hutan untuk mempertahankan hidup. Keempat,
bahan tambang seperti minyak, gas, emas, bijih besi, timah, intan, batu mulia,
fosfat, pasir, batu. Kelima, udara sebagai kesatuan dari alam.
Lingkup kajian agraria yang kedua yaitu subjek agraria. Subjek agraria
menjadi pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan objek agraria. Subjek
agraria sendiri terdiri dari tiga kategori yaitu komunitas sebagai kesatuan dari unit
rumah tangga; pemerintah sebagai representasi dari negara (pemerintah pusat,
provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa); dan swasta sebagai sektor private
(private sector). Subjek-subjek agraria ini memiliki ikatan dengan sumber agraria
melalui institusi pemilikan (tenure institution).22.
Dalam kajian agraria, dikenal adanya istilah land tenure. Tenure yang
berasal dari bahasa latin memiliki beberapa pengertian yaitu memelihara,
memegang, dan memiliki. Oleh karena itu, land tenure dapat dipahami sebagai
hak atas tanah atau penguasaan tanah. Istilah ini mengarah pada status hukum
pada tanah, misalnya hak milik, gadai, bagi hasil, sewa menyewa dan kedudukan
buruh tani.23
Sistem tenurial dapat juga dilihat sebagai sekumpulan hak (bundle of
rights) dalam pemanfaatan sumber daya alam.24 Artinya yaitu sekumpulan hak
yang dimiliki subjek hak untuk mengelola dan mendapatkan manfaat dari sumber
daya alam. Sekumpulan hak ini tidak berdiri sendiri, karena disertai dengan
kewajiban yang harus ditaati oleh subjek hak dalam pengelolaan sumber daya
alam. Tujuannya tidak lain agar terciptanya keseimbangan dalam penyelenggaran
hak.
22
Sitorus, Op.Cit
Gunawan Wiradi. 1984. “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, dalam Dua Abad Penguasaan
Tanah. Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, ed. Jakarta: Gramedia. Hlm 290.
24 Noer Fauzi Rahman. Konflik Tenurial: Yang Diciptakan, Tapi Tak Hendak Diselesaikan.
23
14
Sistem tenurial mengandung tiga komponen utama. Pertama, subjek hak
yang meliputi individu, kelompok, rumah tangga dan komunitas. Kedua, objek
hak yaitu persil tanah atau benda-benda yang ada diatas tanah, perairan (sungai,
laut, rawa), mineral dan bahan tambang yang terkandung di dalam tanah. Ketiga
yaitu jenis hak yang terdiri dari hak milik, hak sewa dan hak pakai.25
Dalam sistem tenurial perlu dibedakan antara pemilikan dan penguasaan,
meskipun hak pemilikan berada di dalam penguasaan. Kepemilikan mengarah
pada subjek hak yang memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam.
Kepemilikan menunjukkan kondisi de jure. Sedangkan penguasaan mengarah
pada pihak-pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat dari sumber daya
alam. Penguasaan merujuk pada kondisi de facto. Di dalam pengelolaan sumber
daya alam, seringkali terjadi kondisi de jure sekaligus de facto.26
Pengelolaan sumber daya alam bersama seperti hutan, perairan, pesisir,
ladang gembala, tanah pertanian, bahan tambang tidak mudah dilakukan. Konsep
ini dikenal dengan common pool resources (CPR) yang digagas oleh Ostrom.
CPR merupakan sistem sumber daya alam yang dimanfaatkan bersama oleh
kelompok pengguna. Pengelolaan CPR tidaklah mudah karena ada kecenderungan
dari pengguna yang memiliki kepentingan berbeda dalam memanfaatkan sumber
daya. Kesalahan dalam mengelola CPR dapat menyebabkan terjadinya “tragedy
of the commons” seperti yang ditulis oleh Garret Hardin.
Dalam teori sumber daya, berdasarkan kepemilikannya dapat dibagi ke
dalam empat kategori.27 Pertama, kepemilikan negara (state property) dimana
sumber daya dimiliki oleh seluruh warga negara, dan pengendalian pengelolaan
dilakukan oleh pemerintah. Kedua, kepemilikan privat (private property), dimana
individu atau perusahaan memiliki hak atas sumber daya. Ketiga, kepemilikan
komunal (communal property atau common property), dimana sumber daya
dimiliki dan dikontrol oleh sekelompok masyarakat. keempat, open access dimana
sumber daya dapat diakses secara bebas. Sifat common property hampir mirip
25
ibid
ibid
27Arif Satria. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LKis. Hlm 16.
26
15
dengan open access. Menurut Ostrom, CPR yang dikelola oleh masyarakat akan
lebih dapat menghindari terjadinya “the tragedy of the common”.
Pemahaman kajian agraria dan pengelolaan sumber daya menjadi penting
untuk melihat bagaimana sumber daya pesisir selatan Cilacap dikelola.
Pengelolaan
sumber
daya
yang
sewenang-wenang
akan
menyebabkan
ketidakadilan sehingga akan memarginalkan kelompok tertentu.
I.5.2. Kekuatan Kapital dalam Ranah Agraria
Kapital bukanlah dimaknai sebagai uang atau asset dalam bentuk tanah
maupun mesin produksi. Mengacu pada Marx, kapital dipahami sebagai hubungan
produksi (sosial) yang menampakkan diri sebagai barang. Hubungan produksi
merupakan hubungan-hubungan yang terjalin antara manusia dengan manusia
yang terwujud dalam kelas-kelas yang terlibat dalam proses produksi. Uang
memang menjadi bagian penting dari kapital. Namun yang terpenting dari kapital
adalah proses pergerakan dari uang (M/money), untuk membeli komoditi
(C/commodity),
sehingga
menghasilkan
uang
(M/money).
Proses
yang
berlangsung terus menerus ini akan menghasilkan keuntungan berlipat bagi
pemilik kapital. Dalam proses akumulasi kapital ini, tenaga kerja menjadi bagian
penting yang tidak bisa dipisahkan.
Awal dari proses akumulasi kapital ini disebut Marx sebagai akumulasi
primitif. Akumulasi primitif, disamping sebagai permulaaan dari kapitalisme,
menjadi basis prekondisi dari fase akumulasi kapital. Akumulai primitif dipahami
sebagai proses yang mengoperasikan dua transformasi, yaitu alat subsisten dan
produksi ke dalam kapital; dan mengubah produsen menjadi tenaga kerja (marx
1990, 874). Akumulasi primitif mengambil alih barang publik yang ditransfer ke
dalam kepemilikan privat. Pada waktu yang sama, akumulasi primitif juga
mentransformasi jutaan subsisten atau petani kecil ke dalam proletariat tanpa
tanah, yang tidak memiliki alat produksi kecuali tenaga kerja mereka.
Teori akumulasi primitive yang diajukan oleh Marx berusaha
menyanggah teori akumulasi primitive yang disampaikan oleh Adam Smith.
16
Adam Smith menyampaikan bahwa berlangsungnya produksi kekayaan modern
secara logis haruslah didahului oleh adanya timbunan kekayaan sebelumnya. Bagi
Smith, adanya pembagian kerja antara orang-orang yang menguasai sarana
produksi dan orang-orang yang menjual tenaga kerjanya pada pemilik sarana
produksi disebabkan karena ada orang-orang yang rajin, hemat dan kreatif di satu
sisi, dan ada orang malas, boros dan bodoh disisi lain. Kekayaan dan kemiskinan
dianggap sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh nenek moyang. Marx
menyanggah teori Smith dengan berargumen bahwa kapital dan kekayaan pemilik
sarana produksi merupakan hasil perampasan terhadap kekayaan sosial hasil kerja
golongan lain.28
Akumulasi primitive yang menjadi awal dari akumulasi lebih lanjut,
harus berjalan secara berulang-ulang, karena jika tidak motor penggerak
akumulasi akan segera berhenti. Luxemburg berpendapat bahwa akumulasi
primitive ini menjadi suatu kekuatan yang penting dan terus hidup dalam geografi
historis akumulasi kapital melalui imperialisme.29 Ia menawarkan pembacaan
akumulasi primitive yang tidak hanya soal waktu, tetapi juga dimensi ruang dari
eksploitasi dalam dialektika lokal dan global. Baik Marx maupun Luxemburg
meyakini bahwa kekuatan (khususnya militer) berperan utama pada kerja-kerja
akumulasi primitive.
Force is the only solution open to capital; the accumulation of
capital is seen as an historical process, employs force as a
permanent weapon, not only as its genesis, but further on down to the
present day (Luxemburg 2003, 351)
(kekuatan adalah solusi untuk membuka kapital; akumulasi kapital
dilihat sebagai proses historis, menggunakan kekuatan sebagai
senjata permanen, bukan hanya sebagai permulaan, tetapi berlanjut
sampai sekarang.
Hubungan produksi kapitalis terbentuk oleh proses komodifikasi barang
dan jasa yang merambah ke semua sektor. Komodifikasi dapat dipahami sebagai
proses menjadikan sesuatu yang sesungguhnya bukanlah komoditi menjadi
komoditi. Komodifikasi menjadi salah satu yang memperluas kapitalisme moden,
28
Dede Mulyanto. 2012. Genealogi Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book Hlm 95
Arendt. 1968. Imperialism. New York: Harcourt Brace Janovich. Lihat dalam David Harvey. 2010.
Imperialisme Baru. Yogyakarta: Insist. Hlm, 161.
29
17
dimana nilai tukar dan nilai guna dijadikan menjadi sesuatu/barang. Di dalam
sistem kapitalisme, tanah dan tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditi. Tanah
yang pada hakekatnya memiliki fungsi sosial budaya dan tidak bisa diproduksi
oleh manusia, dijadikan komoditi di dalam pasar kapitalisme. Begitupula kerja
yang sejatinya menjadi bagian dari eksistensial hubungan manusia dengan alam
tidak luput dikomodifikasi.30
Ketika tanah dan sumber agraria yang ada didalamnya dijadikan sebagai
komoditas, dengan perlahan petani kehilangan alat produksinya. Pemisahan petani
dari alat produksinya bukan tanpa maksud. Setelah tidak memiliki alat produksi
lagi, petani terdesak untuk menjual satu-satunya yang dimiliki yaitu tenaganya.
Petanipun terpaksa bekerja pada pemilik tanah sebagai buruh tani. Dalam konteks
komodifikasi tanah untuk kegiatan industry seperti pertambangan, petani yang
kehilangan tanah bekerja sebagai buruh tambang, supir dump truck, dll.
Di dalam perekonomian kapitalis, kepemilikan atas sarana produksi
bersifat formal absolute. Seseorang yang secara hukum diakui sebagai pemilik
suatu bidang tanah tetap akan menjadi pemilik meski tidak mengolah tanah
tersebut.31 Kepemilikan tanah yang sifatnya formal absolute ini mampu
mendorong munculnya ketimpangan atas penguasaan sumber daya agraria. Selain
itu, ketimpangan penguasaan atas tanah merupakan akibat dari pengalokasian
ruang yang lebih banyak untuk kepentingan industri dan pebisnis. Henri Lefebvre
(1992) menyebut bahwa politik penciptaan (penataan) ruang merupakan sebuah
reproduksi ruang dalam konteks kontrol, dominasi dan akumulasi kapital.
Penataan ruang menjadi cara menciptakan batas-batas legal untuk alokasi
penggunaan dan pemanfaatan tanah serta sumberdaya didalamnya. Bahkan
kepentingan bisnis ini mampu menyebabkan perampasan tanah, transaksi tanah
skala luas, hingga pengusiran.32 Ketimpangan penguasaan tanah ini menjadi sebab
30
Dede Mulyanto, Op.Cit, Hlm 20
Ibid, hlm 15
32 Rachman, Op Cit,. Hlm. 53
31
18
dari melebarnya kemiskinan di pedesaan dan mendorong terjadinya konflik
agraria.33
Negara menjadi katalisator bagi kapitalis untuk memperluas pasar dan
mengeksploitasi sumber daya agraria. Dalam pendekatan ekonomi politik marxis,
ada dua cara pandang dalam melihat posisi negara. Pertama, cara pandang
instrumentalis yang menempatkan negara sebagai alat kepentingan kelas sosial
dominan.34 Negara menjadi institusi atau agen politik dalam rangka melindungi
kepentingan politik dari sebuah kelas sebab negara menjadi instrument yang
dikendalikan oleh kelas tersebut.35 Negara dianggap merupakan negara kelas yang
mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara memungkinkan kelas atas
untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka sebagai kepentingan umum.36
Kedua, perspektif strukturalis yang menganggap negara sebagai lembaga
yang memiliki otonomi relatif.37 Dalam perkembangannya, negara tidak selalu
menjadi alat bagi kelas penindas karena negara memiliki kepentingan sendiri.
Sedangkan dalam kacamata marxisme struktural, hubungan negara dan kelas
kapital merupakan hubungan yang rumit. Disini negara bisa “bertindak atas
nama” kelas kapitalis tapi belum tentu negara akan “bertindak atas perintah” dari
kelas tersebut.38 Poulantzas melalui kacamata selektivitas struktural melihat
bahwa negara menjadi yang paling tahu tentang apa yang menjadi kepentingan
modal, konsekuensi bagi kekuatan sosial lain, bahkan jika mereka ditentang oleh
modal, didesain untuk memajukan kepentingan jangka panjang modal, bahkan
jika perlu dengan menentang kepentingan modal tertentu.39
Peran negara yang besar dalam mengatur perekonomian dapat mengarah
pada kapitalisme negara. Beberapa ilmuwan seperti James Petras, Fernandez dan
Ocampo, Bamat dan Farsoun, menekankan bentuk dari intervensi negara, seperti
33
Noer Fauzi. Restitusi Hak Atas Tanah: Mewujudkan Keadilan Agraria di Masa Transisi. Jurnal Dinamika
Hak Asasi Manusia. Jurnal DInamika HAM. Volume 2, No.1, April 2001. Surabaya: Pusham Ubaya. Hlm. 65
34 Eric Hiariej. Teori Negara Marxis. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 2, November
2003 (261-282). Hlm. 261.
35 Caporaso, 179
36 Suseno, hlm. 119; Arif Budiman. 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT
Gramedia. Hlm. 56
37 Hiariej, Ibid, hlm. 262.
38 Op Cit, Coparaso, hlm. 181.
39 David Marsh dan Gerry Stoker. 2012. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Bandung:Penerbit Nusa
Media. Hlm. 196
19
nasionalisasi industri milik asing, sentralisasi keuangan dan perbankan, serta
perencanaan ekonomi negara.40 Berlangsungnya kapitalisme negara didukung
oleh keberadaan aparatur negara yang bersedia melayani kepentingan kapitalis.
Bahkan, intervensi militer melanggengkan kerja kapitalis. Namun bagi , intervensi
negara merupakan upaya untuk menguatkan hubungan produksi kapitalis sebagai
bagian dari logika kapitalisme. Negara kapitalis berfungsi untuk mereproduksi
kondisi bagi akumulasi kapital.41
Di Indonesia, kapitalisme negara telah berlangsung pasca kemerdekaan
dan terus mengalami perubahan. Revolusi kemerdekaan mengalami reduksi
subtansial dan tidak menguntungkan rakyat ketika perusahaan asing yang telah
dinasionalisasi justru berada di bawah kontrol militer. Hasilnya, program ekonomi
terpimpin Soekarno tidak membuka jalan bagi sosialisme, tetapi menuju
kapitalisme negara.42 Kapitalisme negara pun mengalami banyak perubahan pada
masa pemerintah Soeharto. Tumbuhnya perusahaan negara meredup diawal
pemerintah Soeharto yang membuka investasi asing sebagai implikasi dari
tuntutan IMF. Namun, pada masa 1970an perusahaan negara kembali
menjalankan peran dominannya setelah adanya ledakan minyak. Baru pada tahun
1980an setelah krisis minyak, kapitalisme negara mengalami perubahan. Negara
membuka investasi pada swasta dalam industri manufaktur.43
Pada tahun 1980an, dominasi kapital pada dunia pertanian turut
mempengaruhi transformasi hubungan produksi ke arah sistem yang berorientasi
pada pasar.44 Tentu proses transformasi ini tidak terjadi begitu saja, akan tetapi
telah direncanakan sedemikian rupa oleh kekuasaan dominan yang secara
langsung berhubungan dengan kekuasaan institusi, organisasi dan keuangan.
Hadirnya WTO dan lembaga keuangan seperti IMF dengan kuat mencengkeram
40
Dalam Alex Dupuy and Barry Truchil. Problems in the Theory of State Capitalism. Theory and Society,
Vol. 8, No. 1 (Jul., 1979), pp. 1-38. Hlm 9
41 Ibid, hlm 10
42 Imam Toto K. Rahardjo dan Suko Sudarso. 2010. Bung Karno-Masalah Pertahanan Keamanan. Jakarta:
Grasindo. Hlm. LXXVI
43 Eric Hiariej. 2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto: Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme
Orde Baru. Yogyakarta: Ire Press
44 Terence Wesley-Smith and Eugene Ogan. 1992. Copper, Class, and Crisis: Changing Relations of
Production in Bougainville. The Contemporary Pacific, Vol. 4, No. 2, Special Issue: A Legacy of
Development: Three Years of Crisis in Bougainville (FALL 1992), pp. 245-267
20
dunia pertanian di negara berkembang untuk melayani kebutuhan negara maju.
Hasilnya, transformasi pertanian hanya menghasilkan perubahan mode produksi
yang lebih terstandar dan menguntungkan pasar. Tentu dominasi kapital bukan
hanya berusaha memaksimalkan keuntungan dari hasil pertanian. Jauh dari itu,
ketika usaha pertanian mendatangkan keuntungan yang lebih sedikit, tidak
mustahil kekuasaan kapital merambah sektor lain yang lebih menguntungkan
seperti penambangan, perkebunan sawit, tanaman biofuel. Hubungan produksi
diarahkan kepada kebutuhan pasar yang memberikan manfaat pada pemilik
kapital.
Hubungan produksi dalam sektor pertanian mengalami banyak perubahan
ketika masuknya kapitalisme, seperti yang terjadi di Bougenville sebelum perang
dunia pertama. Pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor untuk
memenuhi kebutuhan negara maju. Hubungan produksi mengalami perubahan
drastic ketika penambangan tembaga masuk ke wilayah ini. Pertama, kapitalisme
industri penambangan dalam kenyataannya mengabaikan hak atas tanah dan
hanya memberikan kompensasi atas hilangnya tanah dan perkebunan penduduk,
tidak pada kerusakan lingkungan dan relokasi desa. Kedua, perubahan dalam
formasi kelas dimana masyarakat lokal terpaksa bekerja di perusahaan tambang
dan mengalami diskriminasi berdasarkan kemampuan kerja. Penambangan juga
memunculkan pebisnis lokal dalam penambangan. Ketiga, penambangan telah
mengubah hubungan sosial antara penduduk perempuan dan laki-laki serta
hubungan sosial antara generasi. Kegiatan penambangan lebih mengutamakan
laki-laki dibanding perempuan dan mendorong pembagian kerja berbasis
pendidikan yang dimiliki.
Kelas kapitalis sendiri terus berusaha melakukan akumulasi kapital tanpa
henti dan meningkatkan nilai surplus (surplus value). Kelas ini memiliki dua
kepentingan yaitu mempertahankan posisi kekayaannya (ditambah dengan
kepentingan untuk menaikkan posisi jika memungkinkan) dan mempertahankan
sistem sosial yang telah memberinya kesempatan untuk mengakumulasi kekayaan
21
pribadi.45 Dalam konteks penguasaan sumber daya agraria, kekuasaan kapital
menggunakan strategi ganda yaitu dengan mereka mengalokasikan pendapatan
untuk harga tinggi/investasi jangka panjang dan membuka serta mengadaptasi
wilayah baru untuk pengembangan industri. Strategi investasi ini didukung oleh
kebijakan diskursif yang diperkuat oleh negara, non negara, agen parastatal dan
dibentuk oleh pemerintahan ekstraktif yang didukung oleh kapitalis dan logika
kekuasaan teritorial. Untuk itulah perusahaan mengontrol sumber daya untuk
mengontrol tanah dan sumber daya, dan (minimal) tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk memproduksi.46
Krisis 1997 yang menimpa negara-negara di Asia Tenggara, termasuk di
Indonesia, turut mempengaruhi terjadinya transformasi di sektor pedesaaan yang
berhubungan dengan bertambahnya jangkauan pasar dan komoditasi kepemilikan
publik, produksi dan hubungan sosial.47 Di Indonesia, krisis ini diikuti kejatuhan
Soeharto dan tuntutan reformasi dalam segala sektor. Namun, reformasi gagal
menghancurkan kapitalisme negara yang lama.48 Negara melakukan intervensi
sangat besar alam pengelolaan sumber daya agraria. Konversi tanah pun terus
dilakukan oleh penyewa kecil hingga konglomerat transnasional, yang
berkepentingan dalam mengambil kesempatan untuk meningkatkan tuntutan pasar
globalisasi untuk komoditas eksotik. Dengan bertambahnya integrasi ke dalam
pertukaran pasar global, akses tanah, tenaga kerja, kapital keuangan dan teknologi
dimodifikasi, telah menciptakan elit desa baru, petani kelas menengah dan
disparitas yang lebih besar dalam komunitas desa.49
Bangun kerangka kekuatan kapital dalam ranah agraria digunakan untuk
membantu penulis dalam mengalisis kekuatan kapital dalam penambangan pasir
besi di Kecamatan Adipala, Cilacap. Komodifikasi tanah dan tenaga kerja untuk
kegiatan penambangan dilakukan sebagai proses melipatgandakan keuntungan
45
Richard Robinson, 2012. Soeharto dan Bangkitkan Kapitalisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
hlm, 155
46 Alberto Alonso-Fradejas. 2012. Land Control-Grabbing in Guatemala: the political economy of
contemporary agrarian change. Canadian Journal of Development Studies, 33:4, 509-528. DOI:
10.1080/02255189.2012.743455. hlm. 524
47 Sarah Turner and Dominique Caouette. 2009. Shifting fields of rural resistance in Southeast Asia. Dalam
Agrarian Angst and Rural Resistance in Contemporary Southeast Asia. New York: Routledge. Hlm. 1
48 Hiarid, ibid, hlm. 302
49 Turner, Op.Cit
22
oleh pemilik kapital, tanpa melihat fungsi tanah secara ekonomi, sosial dan
budaya bagi petani dan masyarakat luas. Dominasi kapital di pesisir Kecamatan
Adipala tidak hanya berdiri sendiri, tetapi mendapat dukungan dari militer dan
negara melalui politik penciptaan ruang dan pembuatan regulasi.
I.5.3. Hak Atas Kesejahteraan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, demi kelanjutan akumulasi kapital
harus dilakukan komersialisasi terhadap tanah dan tenaga kerja.
Petani
dipisahkan dari tanah yang menjadi alat produksinya. Akibatnya mereka tidak lagi
berperan sebagai produsen dan menjadi petani tanpa tanah. Petani yang tidak lagi
memiliki lahan garapan menjadi golongan proletar yang jauh dari kehidupan
sejahtera. Vandana Shiva pun turut mempertegas, dalam ekonomi pasar, prinsip
pemanfaatan sumber daya alam adalah memaksimalkan keuntungan dan
akumulasi kapital. Ketika sumber daya alam yang telah dimanfaatkan oleh alam
untuk memperbaharui diri dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber
mata pencaharian, dialihkan untuk kepentingan pasar maka mengakibatkan
kelangkaan sumber daya alam dan menciptakan bentuk kemiskinan baru.50
Terpusatnya penguasaan sumber daya di tangan orang-orang tertentu,
membuat masyarakat umum tidak menikmati sumber daya yang ada.
Sebagaimana yang diutarakan oleh D.S Moore, ketika beberapa individu
diuntungkan dari bertambahnya komoditasi dan linkaged dengan pasar regional
dan global, hanya segelintir orang saja yang terlibat secara selektif, sementara
yang lain tidak mendapat manfaat dari bertambahnya pelanggaran hak indigenous,
berkurangnya akses pada sumber daya dan bertambahnya konflik.51
Dalam penelitian ini, kesejahteraan dilihat dari kacamata hak asasi
manusia yang menempatkan kesejahteraan sebagai hak bagi setiap warga negara.
Kerangka hak asasi manusia telah banyak digunakan oleh para ilmuwan untuk
Vandana Shiva. 2005. “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-anak yang Jadi Korban”
dalam Ecofeminism: Perspektif Gerakan perempuan dan Lingkungan. Vandana Shiva dan Maria Mies.
Yogyakarta: Ire Press. 79-102. Hlm. 81
51 Dalam Sarah Turner dan Dominique Caouette, Op.Cit, hlm 2
50
23
menganalisis fenomena land grabbing dan ekspansi kapitalisme.52 Kerangka hak
asasi manusia memiliki peran yang penting sebagai strategi untuk melawan
ketidakadilan hukum dan rezim hukum internasional yang berlawanan dengan
masyarakat miskin desa. Bagaimanapun, agenda globalisasi neoliberal telah
membawa perubahan dalam kerangka hukum nasional dan internasional terkait
isu-isu agraria. Pertama, yaitu lembaga keuangan internasional ikut menentukan
kebijakan suatu negara.
Kedua, keberadaan WTO mengontrol kebijakan
perdagangan negara sehingga tunduk pada mekanisme WTO. Ketiga, kewajiban
mengenai tenaga kerja, sosial dan standard lingkungan yang seharusnya dipenuhi
oleh korporasi dan ditegakkan negara, mulai berganti menjadi skema sukarela
semacam CSR.53
Menjamin kesejahteraan warga negara merupakan tanggung jawab yang
diemban oleh pemerintah sesuai dengan amanat undang-undang dasar. Indonesia
yang merupakan negara demokrasi memiliki tantangan besar dalam menjawab
persoalan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk
mewujudkan kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan kinerja
kebijakan sosial (social policy) yang dikembangkan oleh negara. Kebijakan sosial
instrumen kebijakan secara khusus dirancang dan diterapkan untuk meningkatkan
kesejahteraan warga negara.54
Kesejahteraan dapat dimaknai secara berbeda-beda. Menurut UU no 11
tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Ukuran
suatu negara sejahtera tidak ditentukan oleh Produk Nasional Bruto (PNB).
52
Lihat Rolf Kunnemann dan Sofia Monsalve Suarez. 2013. International Human Rights and Governing
Land Grabbing: A View from Global Civil Society. Globalization, 10:1, 123-131. DOI:
10.1080/14747731.2013.760933; Christophe Golay & Irene Biglino. 2013. Human Rights Responses to Land
Grabbing: a Right to food perspective. Thrid World Quarterly, 34:9, 1630-1650. DOI:
10.1080/01436597.2013.843853
53 Sofía Monsalve Suárez (2013) The Human Rights Framework in
Contemporary Agrarian Struggles, The Journal of Peasant Studies, 40:1, 239-290, DOI:
10.1080/03066150.2011.652950. Hlm. 243
54 Midgley, J. eooo. "The -Definition of soeial policy" dalam J. Midgley, M.B. Tracy dan M.Livermore (ed).
The H andbook of social policy. Sage publication. London, dikutip dari D. Triwibowo. Demokrasi Tanpa
Kesejahteraan? Telaah dan Gagasan Bagi Reforma Kebijakan Sosial di Indonesia. Makalah pada Panel
Gerakan Buruh di Bawah Tirani Modal dalam Konferensi Warisan otoritarianisme: Demokrasi Indonesia dan
Tirani Modal, 5 Agustus 2oo8, Depok.
24
Mengutip dari Vandana Shiva, kenaikan PNB tidak berarti menaikkan kekayaan
atau kesejahteraan masyarakat. Hal ini karena PNB tidak menghitung biaya dari
beban ekologi dan hilangnya sumber penghidupan petani (khususnya perempuan)
yang dihasilkan dari aktivitas perusahaan.55 Namun bagi perusahaan yang berada
di dalam skema welfare pluralism56, kesejahteraan dimanifestasikan dalam bentuk
corporate social responsibility yang kemudian dioperasionalisasikan melalui
program community development sebagai upaya peningkatan kesejahteraan.57
Hak atas kesejahteraan telah hadir pada 1936 melalui konstitusi USSR
yang menjamin hak atas pendidikan, hak pekerjaan, mendapat bantuan ketika
sakit dan disability. Apabila hak-hak dasar seperti kebutuhan pangan, kesehatan,
pekerjaan, perumahan, air bersij, pertanahan, aman dari tindak kekerasan dan
pendidikan tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan bahwa seseorang dalam kondisi
miskin.
Hak kesejahteraan dikokohkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia
(Declaration of Human Rights) di tahun 1948, dan kemudian diatur dalam
kovenan internasional mengenai hak ekonomi sosial dan budaya (International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights/ICESCR). Pembahasan
kerangka hak asasi manusia penting merujuk pada perjanjian-perjanjian hak asasi
manusia, sebagai upaya untuk melakukan litigasi, monitoring, akuntabilitas dan
strategi advokasi sesuai dengan yang tercantum di dalam perjanjian.58 Indonesia
telah meratifikasi ICESCR melalui UU no 11 tahun 2005 untuk menunjukkan
komitmen negara memenuhi hak ekosob. Sesuai dengan ICESCR, negara
memiliki dua kewajiban yaitu kewajiban melakukan (Obligation of Conduct) dan
kewajiban hasil (Obligation of Result). Kewajiban melakukan mengandung
pengertian bahwa negara harus mengambil langkah spesifik, terutama berkait
55Vandana
Shiva, 1998. Bebas Dari Pembangunan,Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 9
Dalam skema ini negara tidak berperan sebagai aktor tunggal dalam konteks ekonomi dan sosial, namun
peran itu dibantu oleh kedua aktor komplementer yaitu swasta dan sipil. Lihat Danang Arif Darmawan dan
Bagus Wahyu Utomo. Kemiskinan dalam Konstruksi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Studi Mengenai
Konstruksi Kemiskinan yang Dibangun oleh PT Holcim TBK Cilacap Sebagai Dasar Pengembangan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan). Executive Summary dalam Sinopsis Fisipol Research Days 2014 hlm.
155
57 Ibid
58 Sofia Monsalve Suarez, Op.Cit, 242.
56
25
dengan aksi atau pencegahan. Sedangkan kewajiban hasil merupakan kewajiban
untuk mencapai hasil tertentu melalui implementasi aktif kebijakan dan program.
Di dalam hak ekosob, dijamin mengenai hak atas tempat tinggal dimana
setiap orang berhak untuk memperoleh standar hidup yang layak bagi dirinya
sendiri dan keluarganya seperti tertulis dalam Komentar Umum No 4, pasal 11
ayat 1. Salah satu indikator tempat tinggal yang layak yaitu tempat tinggal yang
dapat melindungi diri dari ancaman kesehatan maupun fisik bangunan. Selain hak
atas tempat tinggal, hak atas pekerjaan tak kalah penting bagi setiap warga negara.
Oleh karena itu, dalam ICESCR pasal 6 disebutkan bahwa hak atas pekerjaan
merupakan hak individual, yang dimiliki setiap orang, dan pada saat yang sama
juga merupakan hak kolektif.
Hak atas pekerjaan sangat dibutuhkan oleh
individu dan keluarganya untuk bertahan hidup untuk pengembangan dirinya serta
pengakuannya di dalam suatu komunitas.
Kesejahteraan bukan hanya diukur dari hunian dan pekerjaan, tetapi juga
dilihat dari kesehatan. Pasal 25 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menyatakan : “Setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang
cukup, bagi kesehatan dirinya sendiri dan keluarganya, yang mencakup makanan,
tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial yang
penting. Hak atas kesehatan dimaknai sebagai hak inklusif yang luas, mencakup
tidak hanya pelayanan kesehatan yang tepat dan memadai, namun juga mencakup
faktor-faktor peranan kesehatan, misalnya akses terhadap air minum sehat dan
sanitasi yang memadai
Oleh karena itulah, hak atas air juga menjadi faktor penting yang
menentukan kesejahteraan warga negara. Hak atas air merupakan jaminan mutlak
untuk memenuhi standar kehidupan yang layak karena paling fundamental untuk
bertahan hidup. Komite ICESCR mencatat pentingnya menjamin akses
berkelanjutan kepada sumberdaya air bagi pertanian untuk merealisasikan hak atas
bahan pangan yang layak . Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa
petani-petani yang tidak beruntung dan termarjinalisasi, termasuk petani
perempuan, mempunyai akses yang sama terhadap air dan sistem manajemen air,
termasuk pola panen hujan berkelanjutan serta teknologi irigasi.
26
Ketika berbicara hak atas pekerjaan, hak atas air, hak atas kesehatan,
maka tidak bisa dilepaskan dari hak atas tanah. Tanah memiliki arti penting bagi
masyarakat dan (terutama) petani yang menggantungkan hidup dari pengolahan
tanah. Mengutip dari Suares, hak atas tanah bukanlah hak untuk memiliki atau
hak untuk menjual dan membeli tanah.
the human right to land as the right of every human being to access—
individually or as a community—local natural resources in order to feed
themselves sustainably, to house themselves, and to live their culture.59
Lebih lanjut Kunnemann dan Suarez menyebut bahwa hak atas tanah bukan
berarti hak untuk menghasilkan keuntungan dengan tanah. Hak ini dibatasi untuk
komunitas dan kebutuhan makan individu serta memelihara budaya mereka.
Negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk menghormati, menjaga dan
memenuhi hak atas tanah. Kewajiban untuk menghormati berarti negara harus
menghormati dan tidak mengganggu akses dan kontrol tanah oleh komunitas dan
individu. Negara harus menjaga penggunaan tanah dan mengontrolnya dari
intervensi pencarian keuntungan oleh pihak ketiga baik elit nasional, Trans
National Corporation (TNC), dan negara lain. Negara juga harus memenuhi dan
memfasilitasi akses berkelanjutan terhadap, penggunaan, kontrol atas tanah bagi
siapa saja yang menggunakannya sesuai dengan gagasan hak asasi manusia atas
tanah.60
Pembatasan terhadap hak ekosob ini dapat dibenarkan dengan tujuan
untuk keamanan nasional selama dilakukan untuk melindungi keberadaan bangsa
atau integritas teritorialnya atau kemerdekaan politiknya terhadap suatu kekuatan
atau ancaman kekuatan. Dalam komentar umum hak ekosob disebutkan bahwa
keamanan nasional tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk memaksakan
pembatasan yang hanya bertujuan untuk mencegah ancaman lokal atau yang
relative terbatas terhadap hukum dan ketertiban. Pelanggaran yang sistematis
terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya menggerogoti keamanan nasional
59
Rolf Kunnemann dan Sofia Monsalve Suarez. 2013. International Human Rights and Governing Land
Grabbing: A View from Global Civil Society. Globalization, 10:1, 123-131. DOI:
10.1080/14747731.2013.760933. Hlm. 131
60 Ibid, Hlm, 132
27
yang sesungguhnya dan bisa membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional. Negara yang bertanggung jawab atas pelanggaran serupa tidak
boleh memaksakan keamanan nasional sebagai pembenaran untuk tindakantindakan yang bertujuan untuk menekan oposisi terhadap pelanggaran serupa,
maupun yang bertujuan untuk melakukan praktek represif terhadap penduduk.
Perubahan kawasan pertanian menjadi kawasan pertambangan di banyak
tempat memunculkan konflik dan pelanggaran HAM. Tersingkirkanya hak-hak
masyarakat dilakukan atas nama kapital dalam praktik globalisasi.61 Bahkan
White dan Wiradi menyebut bahwa tidak satupun proses perubahan agraria di
Jawa pada masa pra-kolonial maupun kolonial berlangsung secara damai karena
adanya persoalan ketidakmerataan distribusi tanah. Dalam istilah setempat,
kekerasan yang disebut perang desa selalu terjadi dalam proses perubahanperubahan agraria itu62
Pemerintah
Orde
Baru
dengan
kebijakan
pembangunan
neoliberalismenya mengubah tanah pertanian untuk pembangunan sektor lain
seperti perkebunan sawit, penambangan, pembangunan perkotaan dengan model
perampasan tanah. Penetapan kawasan konservasi dan taman nasional hanya
modus untuk membatasi akses masyarakat akan sumber daya. Fauzi menjelaskan
model perampasan tanah dan kekayaan alam dimulai dari adanya negaranisasi
atau nasionalisasi tanah dan kekayaaan alam kepunyaan penduduk, dan atas dasar
klaim negara itu, pemerintah memberikan ijin-ijin dan hak-hak pemanfaatan di
atas bidang tanah termaksud untuk perusahaan bermodal besar atau proyekproyek pembangunan, baik yang dimiliki badan usaha swasta maupun
pemerintah.63
Aktivitas korporasi dalam lingkungan komunitas miskin di negara
berkembang menghasilkan kekerasan HAM, baik kekerasan ekonomi, sosial
budaya, maupun kekerasan terhadap hak sipil dan politik. Globalisasi menjadikan
korporasi memiliki kekuasaan yang kuat, termasuk mengontrol negara. Jernej
61
Hendrik Siregar. 2014. Akhiri Cara Mudah Tambang Habisiss Hutan: Stop Izin Pinjam Pakai Hutan.
Jurnal LandReform. Volume 1/Mei 2014. 61-70. Hlm. 63
62 Benjamin White dan Gunawan Wiradi. Reforma Agraria dalam Tinjauan Komparatif Hasil Lokakarya
Kebijakan Reforma Adraria di Selabintana. Bogor:Brighten Press. Hlm. 24
63 Rachman, Op.Cit, hlm. 61
28
Letnar Cernic menyebutkan kemungkinan pelanggaran-pelanggaran HAM yang
dilakukan korporasi. Diantaranya yaitu penyiksaan, diskriminasi rasial, genosida,
pemaksaan dan buruh anak-anak, perbudakan, degradasi lingkungan, dan
kekerasan lain yang berhubungan dengan komunitas lokal. Lebih lanjut, Cernic
menjelaskan bahwa perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraktif seperti
minyak, gas, dan tambang, berkontribusi terhadap pelanggaran HAM.64
Christophe Golay & Irene Biglino65 menambahkan tindakan perampasan
tanah (land grabbing) sebagai pelanggaran hak asasi manusia, karena terkait juga
dengan pelanggaran hak atas pangan. Dari perspektif ekonomi politik, land
grabbing pada dasarnya adalah pengambilalihan kendali yang mengacu pada
perebutan kekuasaan untuk mengontrol tanah dan sumber daya didalamnya seperti
air, mineral, hutan, untuk mendapatkan keuntungan. Proses ini melibatkan modal
dalam skala besar yang menyebabkan bergesernya orientasi penggunaan sumber
daya alam menjadi berkarakter ekstraktif, baik untuk tujuan internasional maupun
domestic. 66 Land grabbing yang merugikan masyarakat marginal dilakukan oleh
perusahaan yang didukung oleh pemerintah.
Untuk mengatur praktik bisnis yang seringkali melanggar HAM, United
Nation (UN) mengeluarkan Guiding Principles on Business and Human Rights.
Di dalam prinsip ini, diatur mengenai kewajiban negara sebagai pemangku
kewajiban (duty bearer) dan pengusaha sebagai aktor non negara (non state actor)
dan masyarakat sebagai pemegang hak (rights holder). Dalam pendekatan
tradisional, negara memiliki kewajiban untuk menghormati (respect), melindungi
(protect) dan memenuhi (fulfil) hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Kewajiban ini berlaku pula dalam prinsip Bisnis dan HAM dimana negara harus
melindungi kekerasan terhadap HAM oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan
bisnis.
64
Jernej Letnar Cernic. Corporate Responsibility for Human Rights: A Critical Analysis of the OECD
Guidelines for Multinational erterprises. International Law Volume 4. No. 1
65 Christophe Golay & Irene Biglino. 2013. Human Rights Responses to Land Grabbing: a Right to food
perspective. Thrid World Quarterly, 34:9, 1630-1650. DOI: 10.1080/01436597.2013.843853
66 Jennifer Franco, et al. 2013. The Global Land Grab. TNI Agrarian Justice Programme. Diakses di
http://www.tni.org/files/download/landgrabbingprimer-feb2013.pdf. Hlm. 3
29
Perusahaan sebagai aktor non negara memiliki tanggung jawab dalam
menghormati hak asasi manusia. Dalam tulisannya, Asep Mulyana menyebut
bahwa ada empat faktor yang saling berkaitan mengapa perusahaan multinasional
dikenai tanggung jawab terhadap penghormatan HAM, yaitu: (1) kekuasaan
ekonomi perusahaan multinasional; (2) sifat internasional dari perusahaan
multinasional; (3) dampak operasi perusahaan multinasional; (4) terbatasnya
kemampuan negara mengatur perusahaan multinasional.
Berbeda dengan paradigma tradisional yang menempatkan kewajiban
perlindungan ham pada negara, Steven R. Ratner mengusulkan kewajiban untuk
melindungi HAM ada pada perusahaan. Menurut Ratner, hukum internasional
seharusnya mengatur kewajiban ini, dan skop kewajiban ditentukan berdasarkan
karakter aktivitas perusahaan.67 Ketika korporasi memiliki tanggung jawab
terhadap penyelenggaraan HAM, negara tidak serta lepas tangan. Negara tetap
memikul kewajiban utamanya (primary responsibility) untuk menentang
terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM oleh korporasi. Ketika ada pelanggaran
HAM, maka negara dan korporasi berkewajiban menyediakan akses yang lebih
efektif bagi upaya-upaya perbaikan (more effective access to remedy) terhadap
pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi.68
67
Steven R. Ratner. Corporations and Human Rights: A Theory of Legal Responsibility.
The Yale Law Journal, Vol. 111, No. 3 (Dec., 2001), pp. 443-545
68 Majda El Muhtaj. Relasi Bisnis dan HAM untuk Indonesia Bermartabat. Disampaikan pada Konferensi
INFID, Jakarta, 14-16 Oktober 2014. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan penulis yang dimuat
dalam Jurnal HUMANITAS, Pusham Unimed, edisi Vol. II, No. 1, Juni 2011. Lebih lanjut dapat dilihat pada
www.pusham.unimed.ac.id. Diakses di
30
I.6. Kerangka Pikir
Bagan III.1. Penguasaan Sumber Daya Agraria
Penguasaan
oleh TNI
Legalisasi penataan
ruang
Negara
Komodifikasi
Sumber daya
agraria
komodifikasi
Pemilik
modal
Hak kesejahteraan
Masyarakat
Keterangan: Ketiga subjek agraria yaitu negara, masyarakat dan korporasi
memiliki kepentingan yang beragam dalam mengelola sumber daya agraria
(dalam hal ini tanah dan pasir besi). Pengelolaan sumber daya agraria lebih
banyak didominasi oleh kapital sehingga menyisihkan masyarakat yang sebagian
besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Negara sebagai pemangku
kewajiban (duty bearer) dalam pemenuhan hak kesejahteraan masyarakat, justru
bekerja sama dengan korporasi dalam penambangan pasir besi.
I.7. Definisi Konseptual
Untuk memberikan arahan pada fokus penelitian, perlu dilakukan
generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empiric. Dan untuk
lebih memahami maka perlu membuat pembatasan dan penegasan definisi konsep
sebagai berikut:
a. Kekuatan Kapital
Kapital dipahami sebagai hubungan produksi di dalam formasi sosial
kapitalis yang cenderung bersifat eksploitatif. Hubungan produksi dibagi
menjadi dua kelas yaitu kelas pemilik kapital dan kelas proletar.
31
Keberlangsungan kapital berada di bawah kontrol negara baik melalui
keterlibatan langsung dalam perusahaan maupun melalui regulasi.
b. Ketimpangan penguasaan sumber agraria
Ketimpangan penguasaan sumber agraria merujuk pada penguasaan
agraria yang terkonsentrasi di tangan pihak tertentu. Ketimpangan ini turut
dipengaruhi oleh penataan ruang yang lebih memihak pada aktor dominan
dan memudahkan masuknya kapital. Ketika hal ini terjadi, maka
masyarakat memiliki akses yang terbatas untuk memanfaatkan sumber
daya agraria sehingga pihak yang menguasai sumber agraria lah yang
mendapatkan keuntungan.
c. Hak atas kesejahteraan
Hak kesejahteraan dalam penelitian ini mengacu pada hak-hak yang telah
dijamin di dalam ICESCR. Diantaranya yaitu hak atas tempat tinggal, hak
atas tanah, hak atas air, hak atas kesehatan dan hak atas pekerjaan.
Penelitian
ini
akan
menulusuri
bagaimana
negara
menjalankan
kewajibannya untuk menjaga, melindungi dan memenuhi hak atas
kesejahteraan masyarakat di Desa Welahan Wetan dan Glempangpasir.
I.8. Definisi Operasional
Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka definisi konsep yang
akan dioperasionalkan ke dalam indikator‐indikator agar mampu menggambarkan
dan menjelaskan gejala‐gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun
operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal‐hal sebagai berikut:
a. Kekuatan kapital
1. Investasi penambangan mengubah tanah pertanian, tanah pertahanan
dan tanah desa menjadi penambangan.
2. TNI menyewakan tanah kepada perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan berlibat dibanding ketika menyewakan pada petani.
3. Pemerintah desa menyewakan tanah kas desa kepada perusahaan.
4. Uang dapat mengendalikan pemerintah desa hingga pemuda sehingga
penambangan tetap berjalan.
32
5. Karena membutuhkan modal yang besar untuk reklamasi dan tidak
mau merugi, lubang bekas tambang ditinggalkan tanpa direklamasi.
6. Perusahaan merekrut tenaga kerja –khususnya laki-laki- dari penduduk
desa dan menjadikan pemuda desa sebagai penjaga keamanan.
7. Munculnya pengusaha desa yang turut berbisnis penambangan pasir
besi, baik sebagai pemegang IUP maupun sebagai makelar tanah.
b. Ketimpangan penguasaan sumber daya agraria
1.
Tanah di sepanjang pesisir selatan Cilacap dikuasai oleh TNI.
2.
TNI melakukan upaya pelegalan penguasaan tanah melalui sertifikasi
tanah.
3.
Masyarakat harus membayar sewa kepada TNI ketika akan mengolah
tanah untuk pertanian.
4.
Korporasi
menyewa
tanah ke
TNI ketika
akan melakukan
penambangan pasir besi.
c. Hak Atas Kesejahteraan
1. Hak tempat tinggal terpenuhi ketika penambangan tidak menyebabkan
terganggunya keamanan dan kenyamanan keluarga.
2. Hak atas tanah terpenuhi ketika masyarakat memiliki akses untuk
mengolah tanah untuk kegiatan yang tidak mengganggu lingkungan.
3. Hak atas air terpenuhi saat penambangan pasir besi tidak menganggu
masyarakat untuk mengakses air bersih untuk kebutuhan rumah tangga
maupun akses air untuk kebutuhan pertanian.
4. Hak kesehatan terpenuhi apabila penambangan pasir besi tidak
menyebabkan hak masyarakat akan kesehatan terganggu, termasuk hak
untuk mendapatkan udara yang bersih dan tidak menyebabkan
penyakit.
5. Hak pekerjaan tidak terlaksana apabila penambangan pasir besi tidak
menghalangi petani untuk tetap bekerja.
33
I.9. Metode Penelitian
Studi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk menjelaskan
mengenai kapitalisme negara dalam perubahan tanah pertanian menjadi
penambangan dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah
penambangan pasir besi di Cilacap. Pendekatan penelitian kualitatif digunakan
karena penelitian ini bermaksud memahami realitas sosial dengan pemahaman
yang lebih interpretif dan mendalam. Seperti yang disebutkan oleh Bryman bahwa
motif dari penelitian kualitatif adalah hendak memahami dan menginterpretasikan
realitas sosial, atau memahami makna yang orang-orang lekatkan pada suatu
fenomena sosial (tindakan, keputusan, keyakinan, nilai)
Untuk menjelaskan mengenai beroperasinya kapital dalam perubahan
agraria dari pertanian menjadi pertambangan, penelitian ini akan menggunakan
studi kasus. Metode studi kasus diperlukan untuk menggali hal-hal yang mendasar
di
balik
fenomena
ekonomi
politik
di
sektor
pertambangan
dan
mendeskripsikannya secara mendetail. Kasus penambangan pasir besi di Cilacap
memiliki keunikan tersendiri. Pertama, penambangan pasir besi telah dilakukan
sejak satu dekade pertama Orde Baru berkuasa hingga sekarang. Kedua,
penambangan pasir besi dilakukan di atas tanah miliki TNI dimana semua
aktifitas di wilayah TNI harus seizin TNI, termasuk ketika masyarakat hendak
melakukan kegiatan pertanian.
I.9.1. Instrumen penelitian
Untuk mendapatkan data yang akurat dan efektif dalam menjelaskan dinamika
ekonomi politik agraria dengan kesejahteraan, penulis menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data. Diantaranya yaitu:
1. Studi pustaka
Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data sekunder dengan
mengumpulkan data dari dokumen maupun media berupa surat kabar,
majalah serta internet. Dari data sekunder ini, dapat dipetakan mengenai
perspektif pembangunan dan kesejahteraan yang dibangun oleh media.
34
2. Observasi (Pengamatan)
Pengumpulkan data ini dilakukan dengan mengadakan pengamatan
terhadap objek tempat, pelaku dan kegiatan dalam pertambangan pasir
besi. Peneliti mengamati bagaimana dinamika ekonomi politik di wilayah
yang awalnya menjadi lahan pertanian menjadi kawasan penambangan
pasir besi. Selain itu, peneliti mengamati bagaimana kesejahteraan
masyarakat setelah adanya penambangan. Dari hasil pengamatan langsung,
peneliti membuat catatan sistematis sebagai bahan untuk analisis data.
3. Wawancara mendalam (indepth interview).
Tehnik ini digunakan untuk mendapatkan data primer.
Wawancara
mendalam dilakukan dengan bertatap muka langsung maupun melalui
telepon dengan informan kunci (key informant) dengan menggunakan
pedoman wawancara. Berikut daftar informan kunci dalam penelitian ini:
Tabel I.1. Daftar Informan Kunci
Informan
Alasan
Pengusaha
Untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan, bagaimana
menjalin relasi dengan pemerintah dari sebelum IUP dikeluarkan
sampai proses produksi. Selain itu, untuk mendapatkan informasi
mengenai apa yang diberikan oleh perusahaan kepada pemda daan
masyarakat
Pemerintah
Kabupaten
Pemerintah menjadi pengambil kebijakan
pengelolaan sumber daya alam di daerahnya
Pemerintah desa
Pemerintah desa menjadi unit terkecil pemerintah yang mewiliki
wewenang langsung dalam pengelolaan tambang
Petani
pemilik/penyewa
tanah
Petani menjadi pihak yang merasakan langsung dampak
penambangan, baik dampak negative maupun dampak positive.
yang
mengatur
4. Wawancara kelompok
Wawancara kelompok dilakukan dengan mengumpulkan beberapa
masyarakat
untuk
mengetahui
bagaimana
hak-hak
mereka sejak
dilaksanakan penambangan sampai penambangan ditutup dapat dipenuhi
35
oleh pemerintah ataupun perusahaan. Dari sini diharapkan keluar beberapa
gagasan dari masyarakat sehingga peneliti mendapatkan gambaran yang
detail mengenai kontribusi pertambangan pasir besi terhadap kesejahteraan
masyarakat.
I.9.2. Teknik Analisa Data
Ada beberapa tahap analisa data dalam penelitian ini. Pertama, mengumpulkan
data –baik data dokumen maupun transkrip wawancara- yang sudah didapatkan
selama proses penelitian berlangsung. Peneliti akan menyederhanakan informasi
yang terkumpul dan mengkategorikan data dengan cara memberikan kode. Kedua,
mereduksi data dengan cara memilih data yang sesuai dengan kebutuhan
penelitian dan memfokuskan pada jawaban atas pertanyaan penelitian yang
diajukan. Baru setelah itu data dapat disajikan dan dilakukan penarikan
kesimpulan dengan melakukan verifikasi pada catatan lapangan, hasil wawancara,
hasil dokumentasi berupa kliping dan dokumen, sehingga data-data teruji
validitasnya.
I.10. Sistematika penulisan
Bab 1 dari tulisan ini memberikan pemahaman tentang problematika
dalam penelitian ini. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan landasan pemikiran dan
landasan teoritik mengenai kekuatan kapital dan hak kesejahteraan masyarakat.
Bab awal ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat,
studi literatur, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan
Bab 2 dari tesis ini menjelaskan mengenai watak kapitalisme negara yang
tidak berubah sejak masa kolonial hingga reformasi. Lebih lanjut, bab ini
menjelaskan mengenai pengaruh kekuatan militer dan kapital terhadap
pembentukan sistem tenurial tanah di pesisir selatan Cilacap.
Bab 3 memaparkan tentang ironi kapitalisme dalam mendorong
ketimpangan di Desa Welahan Wetan dan Glempang Pasir sejak tahun 2008
hingga 2015. Dalam bab ini dijelaskan mengenai komodifikasi tanah yang
dilakukan diatas tanah pertahanan, tanah desa dan tanah hak milik dalam konteks
36
otonomi daerah. Investor yang masuk ke desa bukan hanya investor besar, tetapi
juga investor kecil tingkat desa. Lebih lanjut, bab ini menyajikan tentang
bagaimana pergulatan masyarakat dalam kapitalisme lokal yang telah menyerbu
desa.
Bab 4 menguraikan mengenai dampak kekuatan kapital terhadap
pemenuhan hak kesejahteraan. Sebelumnya, bab ini memaparkan tentang upaya
Negara dan Korporasi Menghadirkan Kesejahteraan Melalui Tambang. Lebih
lanjut bab ini menjelaskan tentang perjuangan masyarakat untuk mendapatkan hak
mereka yang hilang karena kerja kapital dalam penambangan pasir besi. Sebagai
reflesi, di akhir bab ini penulis memaparkan mengenai kapitalisme negara yang
tidak hilang pasca reformasi.
Bab 5 berisi kesimpulan dari tesis ini
37
Download