Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA SEBAGAI ALASAN PENGHAPUSAN PENUNTUTAN PIDANA Liza Agnesta Krisna Fakultas Hukum Universitas Samudra, Meurandeh-Langsa [email protected] Abstract, the purpose of this study was to describe the case Subianto is someone who attacks the 3 kilograms of LPG gas thief to death at his home. Subianto act called street justice or vigilantism. While many people argue Subianto deed is true for protecting property. In setting the criminal law act of defense was forced to have an element of the terms, thus should be analyzed whether the action element Subianto meet these requirements as well as to look at the factors that cause a person or group of people doing street court action. The method used in this research is the analysis of the content or the content analysis, the research is an in-depth discussion of the content of a written document from the book and other scientific papers relevant to the problems. The causes of street justice approach used criminology theory of anomie. The analysis of this theory concludes a deviation as a result of street justice. Elements requirements regarding defense forced are: The defense had to be done because it is forced, to cope with an attack should be done because it is forced once that is unlawful attack or threat of attack which is aimed at three legal interest, namely: the legal interests or entity, honor decency and treasure objects themselves or others, should be made when the threat of attacks and ongoing attacks still pose a threat or danger. Subianto act does not fulfill the requirements element defense forced. Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang kasus subianto yaitu seseorang yang menyerang pencuri gas elpiji 3 kilogram dirumahnya hingga tewas. Perbuatan subianto disebut sebagai pengadilan jalanan atau main hakim sendiri. Sementara banyak masyarakat yang berpendapat perbuatan subianto adalah benar karena melindungi harta bendanya. Dalam pengaturan hukum pidana perbuatan pembelaan terpaksa memiliki unsur syarat, dengan demikian harus dianalisis apakah perbuatan subianto memenuhi unsur syarat tersebut serta untuk melihat faktor penyebab seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan pengadilan jalanan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi atau content analysis, yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu dokumen tertulis baik dari buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan. penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui pendekatan ilmu kriminologi digunakan teori anomie. Analisis dari teori ini menyimpulkan adanya deviasi sebagai akibat pengadilan jalanan. Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah : Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain, Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam. Perbuatan subianto tidak memenuhi unsur syarat pembelaan terpaksa. Kata kunci: pembelaan terpaksa, alasan penghapusan penuntutan, pidana “Kau mencari penyebab kejahatan, dan hal itu hanya ada dalam dirimu” (JJ Rousseau). ~ 114 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Pendahuluan Kekerasan oleh manusia terhadap manusia lainnya sudah menggores sejarah sejak dulu kala. Baik itu dikarenakan perebutan kekuasaan, kebutuhan hidup ataupun penghukuman dari penguasa kepada rakyatnya yang terkadang dengan alasan dan jenis hukuman yang tidak masuk akal. Hukum pidana merupakan hukum tertua di dunia, sejak dahulu penguasa ataupun masyarakat sudah menerapkan hukuman yang bersifat penderitaan kepada seseorang yang melakukan kejahatan. Perihal tentang yang disebut dengan kekerasan menurut Prof.Simons mengatakan : “onder geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis”. Yang artinya : dapat dimaksukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan. 1 Sedangkan menurut Lamintang P.A.F dan C.Djisman Samosir Pasal 89 KUHP mengatakan tentang melakukan kekerasan, bunyi dari Pasal 89 KUHP adalah yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya. Di Indonesia kekerasan dengan beragam bentuk silih berganti muncul. Munculnya kekerasan dengan beragam bentuknya ini sudah barang tentu menggugat konsep ideal Indonesia sebagai negara hukum dan sekaligus juga menggugat konsep ideal tentang suatu bangsa yang berprikemanusiaan, berkeadilan dan beradab. Beragam bentuk kekerasan yang selama ini terjadi, oleh sebagian masyarakat seolah-olah sudah dianggap sebagai hal yang biasa sehingga kekerasan seringkali digunakan sebagai alat oleh seseorang atau sekelompok orang dengan alasan-alasan dan tujuan-tujuan tertentu dan mengenyampingkan hukum yang seharusnya menjadi principle guiding. Sebagai contoh suatu kekerasaan yang dilakukan oleh Subianto warga Desa Tumapel, Duduksampean, Gresik. Ia terbukti bersalah menganiaya Muhammad, tetangganya yang ketahuan mencuri gas elpiji kemasan tiga kilogram hingga tewas. Selasa (2/8/2016) Pengadilan Negeri Gresik menjatuhkan pidana tiga tahun penjara kepada Subianto, Putusan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa Lila Yurifa Prihasti, yakni lima tahun penjara. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Menurut pertimbangan hakim, Subianto main hakim sendiri dan meresahkan masyarakat. Subianto melalui penasihat hukumnya, Ahmad Royani, lalu mengajukan banding. Subianto keluar dari area sidang sambil menahan tangis disambut jabat tangan keluarganya. "Sabar ya, Pak. Yang Kuasa akan membalasnya," kata seorang kerabat Subianto. Ahmad menyatakan, upaya banding harus ditempuh karena perbuatan Subianto untuk melindungi diri sendiri. Kronologis kejadian perkara adalah Peristiwa terjadi pada 8 Mei 2015 malam. Saat itu, Muhamad mencuri di rumah Subianto. Dalam kondisi gelap, Subianto mendengar orang mengambil gas elpiji kemasan tiga kilogram. Setelah diintai dari balik kaca, ternyata ada orang mencuri. Subianto bergegas keluar rumah dan mengambil potongan besi 50 sentimeter untuk memukul pencuri. Pencuri itu terkena pukulan di kepala kiri hingga mengalami pendarahan. Akhirnya, Muhammad meninggal dunia dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina.2 1 Simons, Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht II, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 109 2 http://www.beritaviral.org/2016/08/maling-masuk-rumah-kepalanya-dipukul.html, Kamis, 22 September 2016, Pukul 11.00 wib. ~ 115 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Setelah berita ini muncul dalam media sosial komentar dari masyarakat beragam, tetapi yang paling dominan adalah komentar masyarakat yang menyayangkan putusan hakim menjatuhkan hukuman terhadap subianto. Menurut mereka adalah sebuah keharusan ketika subianto melindungi hartanya dengan melakukan pemukulan terhadap pencuri. Apalagi sekarang ini pencurian dengan jumlah uang dibawah Rp. 2.500.000,(dua juta lima ratus ribu rupiah), menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda dalam KUHP tidak dapat ditahan. Padahal perbuatan pencurian adalah perbuatan yang meresahkan masyarakat. Sebagian besar dari masyarakat membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh subianto. Sebagian masyarakat bertanya mengapa ketika seseorang melindungi hartanya dari perbuatan kejahatan, negara menjatuhkan hukuman terhadap pemilik harta. Menurut penulis masyarakat perlu mendapat penjelasan mengapa negara menghukum subianto, agar tidak menimbulkan paradigma yang keliru terhadap pembelaan terpaksa dari kejahatan. Perbuatan kekerasaan yang dilakukan subianto kepada muhammad pencuri gas elpiji dirumahnya disebut sebagai perbuatan main hakim sendiri ada juga yang menyebutnya sebagai pengadilan jalanan. Perbuatan pengadilan jalanan seringkali terjadi di masyarakat dengan intensitasnya yang sudah sangat memprihatinkan adalah munculnya kecendrungan di dalam masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan kebenciannya terhadap pelaku tindak pidana dengan cara-cara yang ekstra-legal, yaitu dengan cara melakukan penganiayaan dan atau pembunuhan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Berdasarkan uraian kasus diatas penulis tertarik untuk membahas tulisan ini dalam beberapa permasalahan yaitu apa faktor penyebab terjadinya tindakan pengadilan jalanan dan bagaimana pengaturan hukum terhadap pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan penuntutan pidana. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi atau content analysis3, yang menggunakan data sekunder yaitu penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu dokumen tertulis baik dari buku maupun tulisan ilmiah lainnya yang relevan dengan pengaturan hukum pidana. Pengertian Pengadilan Jalanan dan Kekerasan Salah satu dari sekian bentuk kekerasan yang sering terjadi di masyarakat dengan intensitasnya yang sudah sangat begitu memprihatinkan adalah munculnya kecendrungan di dalam masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan kebencian terhadap pelaku tindak pidana dengan cara-cara extra-legal, yaitu dengan cara melakukan penganiayaan dan atau pembunuhan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Kecendrungan masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan kebenciannya terhadap pelaku tindka pidana ini rupanya terbatas hanya pada tindak pidana kovensional seperti pencurian, perampokan (pencurian dengan kekerasan), penipuan, dan penggelapan tetapi tidak pada tindak pidana yang dilakukan oleh orang- 3 R. Babbie, The Practice of Social Research Practice (Belmont: Wadworth, 1977), hlm. 75. ~ 116 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 orang yang memiliki kedudukan atau status sosial terhormat seperti “kejahatan berdasi” atau “kejahatan kerah putih”. Dalam keseharian, ekspresi masyarakat yang demikian biasa disebut dengan “tindakan main hakim sendiri”. Bentuk tindakan main hakim sendiri berupa “pengadilan jalanan” (street justice) atau “penghakiman massa”, “pengadilan massa” (eigenrichting), yaitu tindakan menghakimi sendiri, melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. 4 Pada prinsipnya penggunanaan istilah “pengadilan jalanan” sangat identik dengan istilah “tindakan main hakim sendiri”, tindakan main hakim sendiri bisa dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh beberapa orang atau sekelompok orang (massa). Jadi yang dimaksud dengan pengadilan jalanan adalah tindakan main hakim sendiri, yaitu tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh orang-perorangan, beberapa orang atau sekelompok orang (massa) terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. 5 Tindakan pengadilan jalanan pada dasarnya merupakan “pembalasan” yag berawal dari konsep peradilan personal yang memandang kejahatan sebagai persoalan pribadi atau keluarga tanpa ada campur tangan penguasa. Individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya atau keluarganya. Dalam beberapa kasus pengadilan jalanan yang selama ini terjadi dilakukan dengan media kekerasan. Dilihat pada akibat pengadilan jalanan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku pencurian yang menjadi “korban” pengadilan jalanan pada umumnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun luka ringan dan ada juga yang mati serta rusaknya barang milik orang yang diduga sebagai pelaku pencurian. Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk pengadilan jalanan ini mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Proses hukum terhadap beberapa kasus besar di Indonesia yang tidak selesai, beberapa kasus kecil yang malah mendapat hukuman menjadikan masyarakat yakin bahwa hukum seperti mata pisau yaitu yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Keadaan tersebut mendatangkan rasa kecewa dan kemarahan masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial. Kekerasan dalam bahasa Inggris disebut “violence” berasal dari bahasa latin “violentus” yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum publik dan privat romawi merupakan sebuah ekspresi, baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang yang berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan bahwasemua kesewenangan tanpamengindahkan keabsahan.6 4 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta, Aksara Baru, 1987), hlm. 43 5 Fathul Achmadi ABBY, Pengadilan Jalanan Dalam Dimensi Kebijakan Kriminal , (Jakarta, PT, Jala Permata Aksara, 2016), hlm. 19 6 http://id.wikipedia.org/wiki/kekerasan, Kamis, 22 September 2016, pukul 20.00 wib ~ 117 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Menurut Zakariah Idris, kekerasan adalah perihal yang berciri atau bersifat keras dan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. 7 Pasal 89 KUHP merumuskan yang dimaksud dengan kekerasan adalah membuat orang pingsan atau tidak berdayadengan menggunakan kekerasan. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 89 R. Soesilo memberi penjelasan, melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmaniyang tidak kecil secara tidak sah misalnya memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.8 Berdasarkan uaraian diatas maka kekerasan merupakan suatu perbuatan dengan penggunaan kekuatan fisik ataupun alat secara tidak sah dan melanggar hukum baik dilakukan oleh perorangan ataupun perkelompok yang merugikan orang lain atau membuat akibat-akibat seseorang tersakiti, terluka, pingsan, tidak berdaya lagi bahkan menyebabkan matinya seseorang. Mertin R Haskell dan Lewis mengemukakan ada empat kategori yang mencakup hampir semua pola-pola kekerasan yaitu : 1. Kekerasan Legal Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang dibenarkan secara legal, misalnya tindakan-tindakan tertentu untuk mempertahankan diri. 2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi Suatu faktor yang penting dalam menganalisa suatu kekerasan adalah tingkat dukungan atau sanksi sosial. Misalnya tindakan kekerasan seorang suami atas penzina akan memperoleh dukungan sosial. 3. Kekerasan rasional Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi sosialnya adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisir. Tentang jenis kejahatan ini Gilbert Geis mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti perjudian, pelacuran serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil lebih dari pada orang-orang yang ada dilingkungan tersebut. 4. Kekerasan yang tidak berperasaan Kekerasan yang tidak berperasaan atau “irrational violence” yang terjadi tanpa adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. 9 7 Zakariah Idris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988), hlm. 452 8 Ibid. 9 Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi tentang Kejahatan-kejahatan kekerasan, Cetakan Pertama, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 25-26 ~ 118 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Faktor Penyebab Terjadinya Pengadilan Jalanan Max Weber sebagaimana dikutip I. Wibowo, menyatakan : negara memegang “the monopoly of legitimate use of physical force” tidak ada kelompok. Tujuannya dimaksudkan adalah untuk menjaga kedaulatan negara sekaligus menjaga ketertiban dalam masyarakat. Tertib masyarakat akan hancur jika tidak ada monopoli pemakaian kekerasan.10 Pada kesempatan seminar tentang teorisme yang diseleggarakan Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI) di Jakarta, Franz Magnis Suseno mengemukakan, bahwa menurut etika hanya ada 4 (empat) konteks dimana kekerasan terhadap orang lain dapat dibenarkan, yakni : 1. 2. 3. 4. Orang yang membela diri Perang Kekerasan yang perlu dilakukan alat negara dalam menegakkan hukum Hukuman yang diberikan oleh negara. 11 Dengan demikian, penggunaan kekerasan diluar konteks tersebut sudah tentu tidak dapat dibenarkan. Dengan perkataan lain dalam latar belakang suasana apapun setiap orang tidak dibenarkan mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya dengan cara menggunakan kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh orang-perorangan, beberapa orang atau sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pada dasarnya pengadilan jalanan ini dilakukan karena adanya faktor kontigensi atau faktor diluar diri pelaku, yaitu karena adanya desakan dari kondisi struktural yang melingkupinya, dimana terjadi adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan berbeda degan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai harapan itu. Kemampuan disini menunjuk kepada hukum dan aparat penegak hukum yang diharapkan masyarakat dapat menanggulangi tindak pidana pencurian ternyata belum berfungsi dengan baik dan benar. Namun, walaupun demikian kekerasan dalam konteks pengadilan jalanan ini pada dasarnya merupakan kekrasan yang menurut etika maupun hukum tidak dapat dibenarkan. Franz Magnis Suseno, menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang membuat masyarakat bertindak kekerasan yaitu : 1. Transformasi masyarakat Faktor transformasi dalam masyarakat menunjuk pada ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi yang dianggap sebagai tekanan yang luar biasa dan membuat masyarakat dalam keadaan tegang dan terus menerus. Proses transformasi budaya dari masyarakat tradisional ke masyarakat pasca tradisonal dengan sendirinya menciptakan disorientasi, dislokasi, disfungsionalisasi yang dirasakan sebagai ancaman ekonomis, psikologis dan politiks. Faktor akumulasi kebencian 2. Akumulasi kebencian dalam masyarakat Faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat menunjuk kepada adanya kecendrungan eksklufisme di kalangan agama, suku, golongan maupun kelompok. 10 11 I. Wibowo, Negara, Bisnis dan Organized Crime, Kompas, 25 Februari 2005, hlm. 4 Franz Magnis Suseno dalam Fathul Achmadi Abby, Op.cit, hlm. 24 ~ 119 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 3. Masyarakat yang sakit Faktor ini menunjuk kepada keadaan dimana masyarakat begitu mudah terprovokasi. Hanya karena persoalan yang sederhana sudah dapat memicu kekerasan dan kekerasan ini bisa terjadi secara kolektif yang melibatkan komunitas-komunitas tertentu di dalam masyarakat. 4. Orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan Faktor ini menunjuk kepada pengaruh penguasa rezim orde baru yang berkuasa sekian lama sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Segala konflik sosial dan kepentingan dipecahkan dengan tidak secara rasional, tidak objektif, menghilangkan dialog, tidak adil, melainkan secara kekuasaan, kooptasi, intimidasi, ancaman dan penindasan. Selanjutnya sehubungan dengan penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui pendekatan ilmu kriminologi digunakan teori anomie. Penggunaan teori anomie ini hanyalah merupakan sebuah pilihan yang tidak harus diartikan bahwa teori-teori lain tidak penting atau tidak ada relevansinya apabila digunakan untuk menjelaskan masalah tersebut. Anomie dalam hal ini tidak harus diartikan sebagai normlessness tetapi lebih kepada artinya sebagai dereguration. Teori anomie untuk pertama sekali diperkenalkan oleh Emile Durkheim, yang artinya sebagai sautu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the Division of Labour in Society (1983), Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “dereguration” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini memudahkan terjadinya penyimpangan perilaku (deviasi). 12 Dalam perkembangannya teori anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Menurut Robert K Merton, Illegitimate means (melanggar/bertentangan dengan undang-undang) ini dikarenakan adanya struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Pada umumnya mereka yang melakukan cara yang bertentangan dengan undang-undang tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. 13 Merton menyatakan bahwa adanya kesenjangan antara sarana (means) dan tujuan atau cita-cita (goals) sebagai hasil dari kondisi masyarakat. Kondisi anomie yang diekspresikan dalam penyimpangan tingkah laku (deviance) merupakan gejala suatu struktur masyarakat, dimana aspirasi budaya yang sudah terbntuk terpisah dari sarana yang tersedia di masyarakat. Penyimpangan tingkah laku tidak terlepas dari kondisi sosial dimana norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat telah kehilangan validitasnya seperti ketidakadilan, inkonsistensi dalam penegakan hukum, kejahatan semakin meningkat disertai perilaku penjahat yang sudah berada diluar batas toleransi masyarakat. Deviasi yang dimaksud disini dalam arti melakukan pelanggaran terhadap hukum bukan semata-mata karena keinginan melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum tapi lebih kepada sebagai suatu bentuk reaksi terhadap hukum itu sendiri yang dianggap tidak mampu enjadi sarana pengendali sosial. Tindakan pengadilan jalanan dilakukan 12 Fathul Achmadi Abby, Op.cit, hlm. 40 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung, PT. Refika Aditya, 2010), hlm. 35 13 ~ 120 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian bila dilihat sebab-sebabnya maka perbuatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai deviasi. Pengaturan Hukum Terhadap Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapusan Penuntutan Berdasarkan uraian diatas maka perbuatan subianto dalam hal pengadilan jalanan adalah perbuatan tidak beretika dan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tetapi sebagian masyarakat percaya bahwa perbuatan subianto adalah karena melakukan pembelaan diri, pembelaan terhadap harta bendanya. Dimana didalam hukum pidana disebut sebagai pembelaan terpaksa. Berikut dijelaskan pengaturan hukum mengenai pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan penuntutan pidana. Sebagaimana diketahui bahwa KUHP negara kita yang berlaku sekarang ini adalah berasal dari negara Belanda. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka berdasarkan Pasal II turan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrecht Voor Nederlendsh Indie (Stbld. 1915 No. 732) tersebut dipakai dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” Kemudian mulai tanggal 26 pebruari 1946 disahkan dengan resmi untuk berlaku terus berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dengan berbagai macam perubahan yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia yang sudah merdeka. Hal ini dijelaskan dalam Pasal V undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, yang berbunyi : “peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebahagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara Merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap seluruhnya atau sebahagian sementara tidak berlaku”. Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana. Alassan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapusan penuntutan pidana. Alasan penghapusan penuntutan pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya sebagai penentu apakah telah terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan-alasan penghapus penuntutan pidana.14 Dalam hal tersebut sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan pidana. Akan tetapi ada beberapa alasan yang dapat menyebabkan pelaku tidak dipidana, atau dikecualikan dari penjatuhan sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundnag-undangan. Dengan demikian makna dari alasan-alasan penghapusan penuntutan pidana adalah memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada hakim. 14 M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung, PT. Refika Aditama, 2012), hlm. 27 ~ 121 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Pembentuk Undang-undang membuat aturan ini bertujuan mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, yang mendorong dan mempengaruhi seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh undang-undang. Undang-undang Bab III KUHP menentukan tujuh dasar yang menyebbakan tidak dipidananya si pembuat, ialah : a. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab si pembuat (ontoerekeningsvatbaarheid, Pasal 44 Ayat 1) b. Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48) c. Adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1) d. Adanya pembelaan terpaksa melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2) e. Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50) f. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat 1) g. Krena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51 Ayat 2)15 Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar pemaaf, yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat. Dan (2) atas dasar pembenar, yang bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Pada umumnya, pakar hukum memasukkan ke dalam dasar pemaaf yaitu : a. Ketidakmampuan bertanggungjawab b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas c. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik Sementara itu, yang selebihnya masuk ke dalam dasar pembenar, yaitu : a. Adanya daya paksa b. Adanya pembelaan terpaksa c. Sebab menjalankan perintah undang-undang d. Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah. 16 Dalam hal kasus subianto, maka akan di bahas mengenai bagian dari alasan penghapusan penuntutan pidana, yaitu Pembelaan terpaksa, Pasal 49 Ayat 1, bagian dari dasar pembenar. Pasal 49 Ayat 1 berbunyi : “tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika ini juga” Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah : a. Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, b. Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum c. Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain 15 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. , 16 Ibid, hlm. 19 18 ~ 122 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 d. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam e. Pembuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam. 17 Berdasarkan uraian diatas, dapat diuraikan kasus subianto dengan syarat dari pembelaan terpaksa : a. Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, Dalam keadaan subianto mempunyai kesempatan mencari dan mengambil besi 50 sentimeter, pada dasarnya subianto jarak dan waktu yang lama antara dirinya dengan pencuri. Dalam hal ini tidak ada keadaan sangat terpaksa. b. Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum Berdasarkan pembuktian dipersidangan muhammad sebagi pencuri tidak terbukti menyerang atau membaca senjata tajam sebagai alasan ancaman serangan. Bahkan terbukti subianto lah yang melakukan penyerangan hingga menyebabkan pencuri tewas. c. Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain Dalam hal ini benar bahwa kepentingan yang dilindungi oleh subianto adalah kepentingan harta benda dirinya namun serangan dan ancaman serangan tidak terbukti. Sebenarnya pembelaan terpaksa dapat dilakukan tidak hanya pada saat diserang, namun juga diperluas pada ancaman serangan. Artinya serangan itu secara objektif belum diwujudkan, baru adanya ancaman serangan. Misalnya seseorang baru mengeluarkan pisau memaksa meminta uang, maka yang dipaksa sudah boleh memukul orang lain. Namun dalam kasus bahkan muhammad (pencuri) tidak membawa senjata tajam. d. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam Sikap subianto mengintai lalu menyerang si pencuri menunjukkan bahwa subianto belum menerima serangan atau ancaman serangan. e. Pembuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam. Pencuri yang tidak membawa senjata tajam menunjukkan bahwa keadaan antara subianto dengan pencuri tidak seimbang. Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa ini pada dasarnya adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri orang itu atau orang lain. Berhubung dalam hal seseorang mendapat serangan atau ancaman serangan dari pelaku tindak pidana, negara tidak mampu/tidak dapat berbuat banyak melindungi penduduk negara, maka orang yang menerima serangan atau ancaman serangan seketika itu diperkenankan melakukan perlawanan walaupun perlawananan yang dilakukan pada dasarnya dilarang oleh hukum. Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan si korban melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya atau kepntingan hukum orang lain oleh dirinya sendiri. Ini lah dasar filosofi pembelaan terpaksa. 18 Menurut penulis sebenarnya subianto dapat melakukan tindakan lain untuk menangkap si pencuri. Misalnya dengan membangunkan anggota keluarga lalu menangkap pencuri, jikapun melakukan serangan cukuplah pada serangan hingga 17 18 Ibid, hlm. 40 Ibid, hlm. 41 ~ 123 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 melumpuhkan sipencuri agar dapat ditahan sambil menunggu aparat penegak hukum yang datang. Atau tindakan lain dengan meneriakan maling agar pencuri menghentikan niatnya. Pencurian merupakan perbuatan kejahatan yang dapat dihukum. Pandangan legal murni tentang kejahatan mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana. Betapapun keji dan tidak bisa diterimanya suatu perbuatan secara moral, itu bukan kejahatan kecuali dinyatakan demikian oleh hukum pidana. Kejahatan merupakan suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana (hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi), dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran, ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan baik serius ataupun ringan. 19 Berdasarkan KUHP pencurian tercatat dalam Pasal 362 yang dapat dihukum. Namun melakukan pengadilan jalanan hingga membuat pencuri gas elpiji 3 kg kehilangan nyawa bukanlah perbuatan yang dibenarkan dalam pencapaian keadilaan. Hakim memiliki kewenangan untuk menentukan apakah perbuatan subianto memenuhi syaratsyarat dari pembelaan terpaksa atau tidak. Keadilan harus diberikan kepada seluruh warga Indonesia. Proses hukum yang diberikan kepada subianto adalah cara negara untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya. Kesimpulan Franz Magnis Suseno, menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang membuat masyarakat bertindak kekerasan yaitu : Transformasi masyarakat, Akumulasi kebencian dalam masyarakat, Masyarakat yang sakit, Orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Sehubungan dengan penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui pendekatan ilmu kriminologi digunakan teori anomie. Analisis dari teori ini menyimpulkan adanya deviasi sebagai akibat pengadilan jalanan. Deviasi yang dimaksud melakukan pelanggaran terhadap hukum bukan semata-mata karena keinginan melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum tapi lebih kepada sebagai suatu bentuk reaksi terhadap hukum itu sendiri yang dianggap tidak mampu enjadi sarana pengendali sosial. Tindakan pengadilan jalanan dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana pencurian bila dilihat sebab-sebabnya maka perbuatan itu pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai deviasi. Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah : Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain, Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam. Perbuatan subianto tidak memenuhi unsur syarat pembelaan terpaksa. 19 Frank E Hagan, Pengantar Kriminologi Teori, Metode dan Perilaku Kriminal, (Jakarta, Kencana Prenadamedia Group, 2013), hlm. 14. ~ 124 ~ Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016 Daftar Pustaka Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002 Fathul Achmadi ABBY, Pengadilan Jalanan Dalam Dimensi Kebijakan Kriminal, PT, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2016 Frank E Hagan, Pengantar Kriminologi Teori, Metode dan Perilaku Kriminal, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013 I. Wibowo, Negara, Bisnis dan Organized Crime, Kompas. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987 M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), PT. Refika Aditama, Bandung, 2012 Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi tentang Kejahatan-kejahatan kekerasan, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Aditya, Bandung, 2010. Simons, Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht II, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015 Zakariah Idris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, jakarta, 1988. ~ 125 ~