kajian yuridis terhadap pembelaan terpaksa - E

advertisement
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBELAAN
TERPAKSA SEBAGAI ALASAN PENGHAPUSAN
PENUNTUTAN PIDANA
Liza Agnesta Krisna
Fakultas Hukum Universitas Samudra, Meurandeh-Langsa
[email protected]
Abstract, the purpose of this study was to describe the case Subianto is someone who attacks the 3
kilograms of LPG gas thief to death at his home. Subianto act called street justice or vigilantism.
While many people argue Subianto deed is true for protecting property. In setting the criminal law act
of defense was forced to have an element of the terms, thus should be analyzed whether the action
element Subianto meet these requirements as well as to look at the factors that cause a person or
group of people doing street court action. The method used in this research is the analysis of the
content or the content analysis, the research is an in-depth discussion of the content of a written
document from the book and other scientific papers relevant to the problems. The causes of street
justice approach used criminology theory of anomie. The analysis of this theory concludes a deviation
as a result of street justice. Elements requirements regarding defense forced are: The defense had to
be done because it is forced, to cope with an attack should be done because it is forced once that is
unlawful attack or threat of attack which is aimed at three legal interest, namely: the legal interests or
entity, honor decency and treasure objects themselves or others, should be made when the threat of
attacks and ongoing attacks still pose a threat or danger. Subianto act does not fulfill the
requirements element defense forced.
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang kasus subianto yaitu seseorang
yang menyerang pencuri gas elpiji 3 kilogram dirumahnya hingga tewas. Perbuatan subianto disebut
sebagai pengadilan jalanan atau main hakim sendiri. Sementara banyak masyarakat yang
berpendapat perbuatan subianto adalah benar karena melindungi harta bendanya. Dalam
pengaturan hukum pidana perbuatan pembelaan terpaksa memiliki unsur syarat, dengan demikian
harus dianalisis apakah perbuatan subianto memenuhi unsur syarat tersebut serta untuk melihat
faktor penyebab seseorang atau sekelompok orang melakukan tindakan pengadilan jalanan. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi atau content analysis, yaitu penelitian yang
bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu dokumen tertulis baik dari buku maupun tulisan
ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan. penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui
pendekatan ilmu kriminologi digunakan teori anomie. Analisis dari teori ini menyimpulkan adanya
deviasi sebagai akibat pengadilan jalanan. Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah :
Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa, Untuk mengatasi adanya serangan
harus dilakukan karena sangat terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum Serangan atau
ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau
badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain, Harus dilakukan ketika
adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam.
Perbuatan subianto tidak memenuhi unsur syarat pembelaan terpaksa.
Kata kunci: pembelaan terpaksa, alasan penghapusan penuntutan, pidana
“Kau mencari penyebab kejahatan, dan hal itu hanya ada dalam dirimu”
(JJ Rousseau).
~ 114 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Pendahuluan
Kekerasan oleh manusia terhadap manusia lainnya sudah menggores sejarah
sejak dulu kala. Baik itu dikarenakan perebutan kekuasaan, kebutuhan hidup ataupun
penghukuman dari penguasa kepada rakyatnya yang terkadang dengan alasan dan jenis
hukuman yang tidak masuk akal. Hukum pidana merupakan hukum tertua di dunia, sejak
dahulu penguasa ataupun masyarakat sudah menerapkan hukuman yang bersifat
penderitaan kepada seseorang yang melakukan kejahatan.
Perihal tentang yang disebut dengan kekerasan menurut Prof.Simons mengatakan
: “onder geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke
kracht van niet al te geringe betekenis”. Yang artinya : dapat dimaksukkan dalam
pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan. 1
Sedangkan menurut Lamintang P.A.F dan C.Djisman Samosir Pasal 89 KUHP
mengatakan tentang melakukan kekerasan, bunyi dari Pasal 89 KUHP adalah yang
disamakan dengan melakukan kekerasan itu adalah membuat orang menjadi pingsan atau
tidak berdaya.
Di Indonesia kekerasan dengan beragam bentuk silih berganti muncul.
Munculnya kekerasan dengan beragam bentuknya ini sudah barang tentu menggugat
konsep ideal Indonesia sebagai negara hukum dan sekaligus juga menggugat konsep ideal
tentang suatu bangsa yang berprikemanusiaan, berkeadilan dan beradab. Beragam bentuk
kekerasan yang selama ini terjadi, oleh sebagian masyarakat seolah-olah sudah dianggap
sebagai hal yang biasa sehingga kekerasan seringkali digunakan sebagai alat oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan alasan-alasan dan tujuan-tujuan tertentu dan
mengenyampingkan hukum yang seharusnya menjadi principle guiding.
Sebagai contoh suatu kekerasaan yang dilakukan oleh Subianto warga Desa
Tumapel, Duduksampean, Gresik. Ia terbukti bersalah menganiaya Muhammad,
tetangganya yang ketahuan mencuri gas elpiji kemasan tiga kilogram hingga tewas.
Selasa (2/8/2016) Pengadilan Negeri Gresik menjatuhkan pidana tiga tahun penjara
kepada Subianto, Putusan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa Lila Yurifa Prihasti,
yakni lima tahun penjara. Terdakwa terbukti melanggar Pasal 351 ayat 3 KUHP tentang
penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Menurut pertimbangan
hakim, Subianto main hakim sendiri dan meresahkan masyarakat. Subianto melalui
penasihat hukumnya, Ahmad Royani, lalu mengajukan banding. Subianto keluar dari area
sidang sambil menahan tangis disambut jabat tangan keluarganya. "Sabar ya, Pak. Yang
Kuasa akan membalasnya," kata seorang kerabat Subianto. Ahmad menyatakan, upaya
banding harus ditempuh karena perbuatan Subianto untuk melindungi diri sendiri.
Kronologis kejadian perkara adalah Peristiwa terjadi pada 8 Mei 2015 malam. Saat itu,
Muhamad mencuri di rumah Subianto. Dalam kondisi gelap, Subianto mendengar orang
mengambil gas elpiji kemasan tiga kilogram. Setelah diintai dari balik kaca, ternyata ada
orang mencuri. Subianto bergegas keluar rumah dan mengambil potongan besi 50
sentimeter untuk memukul pencuri. Pencuri itu terkena pukulan di kepala kiri hingga
mengalami pendarahan. Akhirnya, Muhammad meninggal dunia dalam perjalanan ke
Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina.2
1
Simons, Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht II, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2015), hlm. 109
2
http://www.beritaviral.org/2016/08/maling-masuk-rumah-kepalanya-dipukul.html, Kamis,
22 September 2016, Pukul 11.00 wib.
~ 115 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Setelah berita ini muncul dalam media sosial komentar dari masyarakat beragam,
tetapi yang paling dominan adalah komentar masyarakat yang menyayangkan putusan
hakim menjatuhkan hukuman terhadap subianto. Menurut mereka adalah sebuah
keharusan ketika subianto melindungi hartanya dengan melakukan pemukulan terhadap
pencuri. Apalagi sekarang ini pencurian dengan jumlah uang dibawah Rp. 2.500.000,(dua juta lima ratus ribu rupiah), menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda
dalam KUHP tidak dapat ditahan. Padahal perbuatan pencurian adalah perbuatan yang
meresahkan masyarakat. Sebagian besar dari masyarakat membenarkan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh subianto.
Sebagian masyarakat bertanya mengapa ketika seseorang melindungi hartanya
dari perbuatan kejahatan, negara menjatuhkan hukuman terhadap pemilik harta. Menurut
penulis masyarakat perlu mendapat penjelasan mengapa negara menghukum subianto,
agar tidak menimbulkan paradigma yang keliru terhadap pembelaan terpaksa dari
kejahatan.
Perbuatan kekerasaan yang dilakukan subianto kepada muhammad pencuri gas
elpiji dirumahnya disebut sebagai perbuatan main hakim sendiri ada juga yang
menyebutnya sebagai pengadilan jalanan. Perbuatan pengadilan jalanan seringkali terjadi
di masyarakat dengan intensitasnya yang sudah sangat memprihatinkan adalah
munculnya kecendrungan di dalam masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan
kebenciannya terhadap pelaku tindak pidana dengan cara-cara yang ekstra-legal, yaitu
dengan cara melakukan penganiayaan dan atau pembunuhan terhadap orang yang diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
Berdasarkan uraian kasus diatas penulis tertarik untuk membahas tulisan ini
dalam beberapa permasalahan yaitu apa faktor penyebab terjadinya tindakan pengadilan
jalanan dan bagaimana pengaturan hukum terhadap pembelaan terpaksa sebagai alasan
penghapusan penuntutan pidana.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi atau content
analysis3, yang menggunakan data sekunder yaitu penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu dokumen tertulis baik dari buku maupun tulisan ilmiah
lainnya yang relevan dengan pengaturan hukum pidana.
Pengertian Pengadilan Jalanan dan Kekerasan
Salah satu dari sekian bentuk kekerasan yang sering terjadi di masyarakat dengan
intensitasnya yang sudah sangat begitu memprihatinkan adalah munculnya kecendrungan
di dalam masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan kebencian terhadap pelaku
tindak pidana dengan cara-cara extra-legal, yaitu dengan cara melakukan penganiayaan
dan atau pembunuhan terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Kecendrungan masyarakat untuk melampiaskan rasa kemarahan dan
kebenciannya terhadap pelaku tindka pidana ini rupanya terbatas hanya pada tindak
pidana kovensional seperti pencurian, perampokan (pencurian dengan kekerasan),
penipuan, dan penggelapan tetapi tidak pada tindak pidana yang dilakukan oleh orang-
3
R. Babbie, The Practice of Social Research Practice (Belmont: Wadworth, 1977), hlm. 75.
~ 116 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
orang yang memiliki kedudukan atau status sosial terhormat seperti “kejahatan berdasi”
atau “kejahatan kerah putih”.
Dalam keseharian, ekspresi masyarakat yang demikian biasa disebut dengan
“tindakan main hakim sendiri”. Bentuk tindakan main hakim sendiri berupa “pengadilan
jalanan” (street justice) atau “penghakiman massa”, “pengadilan massa” (eigenrichting),
yaitu tindakan menghakimi sendiri, melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang
bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan,
sehingga akan menimbulkan kerugian. 4
Pada prinsipnya penggunanaan istilah “pengadilan jalanan” sangat identik dengan
istilah “tindakan main hakim sendiri”, tindakan main hakim sendiri bisa dilakukan oleh
orang-perorangan atau oleh beberapa orang atau sekelompok orang (massa). Jadi yang
dimaksud dengan pengadilan jalanan adalah tindakan main hakim sendiri, yaitu tindakan
main hakim sendiri yang dilakukan oleh orang-perorangan, beberapa orang atau
sekelompok orang (massa) terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana. 5
Tindakan pengadilan jalanan pada dasarnya merupakan “pembalasan” yag
berawal dari konsep peradilan personal yang memandang kejahatan sebagai persoalan
pribadi atau keluarga tanpa ada campur tangan penguasa. Individu yang merasa dirinya
menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya atau
keluarganya.
Dalam beberapa kasus pengadilan jalanan yang selama ini terjadi dilakukan
dengan media kekerasan. Dilihat pada akibat pengadilan jalanan terhadap orang yang
diduga sebagai pelaku pencurian yang menjadi “korban” pengadilan jalanan pada
umumnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun luka ringan dan ada juga yang
mati serta rusaknya barang milik orang yang diduga sebagai pelaku pencurian.
Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam
bentuk pengadilan jalanan ini mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai ketidakpercayaan
masyarakat terhadap hukum yang ada. Proses hukum terhadap beberapa kasus besar di
Indonesia yang tidak selesai, beberapa kasus kecil yang malah mendapat hukuman
menjadikan masyarakat yakin bahwa hukum seperti mata pisau yaitu yang tajam kebawah
dan tumpul keatas. Keadaan tersebut mendatangkan rasa kecewa dan kemarahan
masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial.
Kekerasan dalam bahasa Inggris disebut “violence” berasal dari bahasa latin
“violentus” yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Kekerasan dalam prinsip dasar hukum
publik dan privat romawi merupakan sebuah ekspresi, baik yang dilakukan secara fisik
ataupun secara verbal yang mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada
kebebasan atau martabat seseorang yang dapat dilakukan oleh perorangan atau
sekelompok orang yang berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan
secara bebas dapat diartikan bahwasemua kesewenangan tanpamengindahkan keabsahan.6
4
J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta, Aksara Baru,
1987), hlm. 43
5
Fathul Achmadi ABBY, Pengadilan Jalanan Dalam Dimensi Kebijakan Kriminal , (Jakarta,
PT, Jala Permata Aksara, 2016), hlm. 19
6
http://id.wikipedia.org/wiki/kekerasan, Kamis, 22 September 2016, pukul 20.00 wib
~ 117 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Menurut Zakariah Idris, kekerasan adalah perihal yang berciri atau bersifat keras
dan atau perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. 7
Pasal 89 KUHP merumuskan yang dimaksud dengan kekerasan adalah membuat
orang pingsan atau tidak berdayadengan menggunakan kekerasan. Sehubungan dengan
ketentuan Pasal 89 R. Soesilo memberi penjelasan, melakukan kekerasan artinya
mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmaniyang tidak kecil secara tidak sah misalnya
memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan
sebagainya.8
Berdasarkan uaraian diatas maka kekerasan merupakan suatu perbuatan dengan
penggunaan kekuatan fisik ataupun alat secara tidak sah dan melanggar hukum baik
dilakukan oleh perorangan ataupun perkelompok yang merugikan orang lain atau
membuat akibat-akibat seseorang tersakiti, terluka, pingsan, tidak berdaya lagi bahkan
menyebabkan matinya seseorang.
Mertin R Haskell dan Lewis mengemukakan ada empat kategori yang mencakup
hampir semua pola-pola kekerasan yaitu :
1. Kekerasan Legal
Kekerasan ini dapat berupa kekerasan yang didukung oleh hukum, misalnya
tentara yang melakukan tugas dalam peperangan, maupun kekerasan yang
dibenarkan secara legal, misalnya tindakan-tindakan tertentu untuk
mempertahankan diri.
2. Kekerasan yang secara sosial memperoleh sanksi
Suatu faktor yang penting dalam menganalisa suatu kekerasan adalah tingkat
dukungan atau sanksi sosial. Misalnya tindakan kekerasan seorang suami atas
penzina akan memperoleh dukungan sosial.
3. Kekerasan rasional
Beberapa tindakan kekerasan yang tidak legal akan tetapi tak ada sanksi sosialnya
adalah kejahatan yang dipandang rasional dalam konteks kejahatan. Misalnya
pembunuhan dalam kerangka suatu kejahatan terorganisir. Tentang jenis
kejahatan ini Gilbert Geis mengatakan bahwa orang-orang yang terlibat dalam
pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan-kegiatan seperti
perjudian, pelacuran serta lalu lintas narkotika, secara tradisional menggunakan
kekerasan untuk mencapai hasil lebih dari pada orang-orang yang ada
dilingkungan tersebut.
4. Kekerasan yang tidak berperasaan
Kekerasan yang tidak berperasaan atau “irrational violence” yang terjadi tanpa
adanya provokasi terlebih dahulu, tanpa memperlihatkan motivasi tertentu dan
pada umumnya korban tidak dikenal oleh pelakunya. 9
7
Zakariah Idris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 1988), hlm. 452
8
Ibid.
9
Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi tentang Kejahatan-kejahatan kekerasan,
Cetakan Pertama, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 25-26
~ 118 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Faktor Penyebab Terjadinya Pengadilan Jalanan
Max Weber sebagaimana dikutip I. Wibowo, menyatakan : negara memegang
“the monopoly of legitimate use of physical force” tidak ada kelompok. Tujuannya
dimaksudkan adalah untuk menjaga kedaulatan negara sekaligus menjaga ketertiban
dalam masyarakat. Tertib masyarakat akan hancur jika tidak ada monopoli pemakaian
kekerasan.10
Pada kesempatan seminar tentang teorisme yang diseleggarakan Lembaga
Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI) di Jakarta, Franz Magnis Suseno mengemukakan,
bahwa menurut etika hanya ada 4 (empat) konteks dimana kekerasan terhadap orang lain
dapat dibenarkan, yakni :
1.
2.
3.
4.
Orang yang membela diri
Perang
Kekerasan yang perlu dilakukan alat negara dalam menegakkan hukum
Hukuman yang diberikan oleh negara. 11
Dengan demikian, penggunaan kekerasan diluar konteks tersebut sudah tentu tidak dapat
dibenarkan. Dengan perkataan lain dalam latar belakang suasana apapun setiap orang
tidak dibenarkan mengekspresikan kemarahan dan kebenciannya dengan cara
menggunakan kekerasan, termasuk kekerasan yang dilakukan oleh orang-perorangan,
beberapa orang atau sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana.
Pada dasarnya pengadilan jalanan ini dilakukan karena adanya faktor kontigensi
atau faktor diluar diri pelaku, yaitu karena adanya desakan dari kondisi struktural yang
melingkupinya, dimana terjadi adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan berbeda
degan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai harapan itu. Kemampuan disini
menunjuk kepada hukum dan aparat penegak hukum yang diharapkan masyarakat dapat
menanggulangi tindak pidana pencurian ternyata belum berfungsi dengan baik dan benar.
Namun, walaupun demikian kekerasan dalam konteks pengadilan jalanan ini pada
dasarnya merupakan kekrasan yang menurut etika maupun hukum tidak dapat
dibenarkan.
Franz Magnis Suseno, menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang membuat
masyarakat bertindak kekerasan yaitu :
1. Transformasi masyarakat
Faktor transformasi dalam masyarakat menunjuk pada ketidaksiapan masyarakat
dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi yang dianggap sebagai
tekanan yang luar biasa dan membuat masyarakat dalam keadaan tegang dan
terus menerus. Proses transformasi budaya dari masyarakat tradisional ke
masyarakat pasca tradisonal dengan sendirinya menciptakan disorientasi,
dislokasi, disfungsionalisasi yang dirasakan sebagai ancaman ekonomis,
psikologis dan politiks. Faktor akumulasi kebencian
2. Akumulasi kebencian dalam masyarakat
Faktor akumulasi kebencian dalam masyarakat menunjuk kepada adanya
kecendrungan eksklufisme di kalangan agama, suku, golongan maupun
kelompok.
10
11
I. Wibowo, Negara, Bisnis dan Organized Crime, Kompas, 25 Februari 2005, hlm. 4
Franz Magnis Suseno dalam Fathul Achmadi Abby, Op.cit, hlm. 24
~ 119 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
3. Masyarakat yang sakit
Faktor ini menunjuk kepada keadaan dimana masyarakat begitu mudah
terprovokasi. Hanya karena persoalan yang sederhana sudah dapat memicu
kekerasan dan kekerasan ini bisa terjadi secara kolektif yang melibatkan
komunitas-komunitas tertentu di dalam masyarakat.
4. Orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan
Faktor ini menunjuk kepada pengaruh penguasa rezim orde baru yang berkuasa
sekian lama sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Segala konflik sosial dan
kepentingan dipecahkan dengan tidak secara rasional, tidak objektif,
menghilangkan dialog, tidak adil, melainkan secara kekuasaan, kooptasi,
intimidasi, ancaman dan penindasan.
Selanjutnya sehubungan dengan penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui
pendekatan ilmu kriminologi digunakan teori anomie. Penggunaan teori anomie ini
hanyalah merupakan sebuah pilihan yang tidak harus diartikan bahwa teori-teori lain
tidak penting atau tidak ada relevansinya apabila digunakan untuk menjelaskan masalah
tersebut. Anomie dalam hal ini tidak harus diartikan sebagai normlessness tetapi lebih
kepada artinya sebagai dereguration.
Teori anomie untuk pertama sekali diperkenalkan oleh Emile Durkheim, yang
artinya sebagai sautu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence
of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku the Division of Labour in
Society (1983), Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan
keadaan “dereguration” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya
aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapkan dari orang lain dan keadaan ini memudahkan terjadinya penyimpangan
perilaku (deviasi). 12
Dalam perkembangannya teori anomie mengalami perubahan dengan adanya
pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Menurut
Robert K Merton, Illegitimate means (melanggar/bertentangan dengan undang-undang)
ini dikarenakan adanya struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan
adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Pada umumnya mereka
yang melakukan cara yang bertentangan dengan undang-undang tersebut berasal dari
masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas. 13
Merton menyatakan bahwa adanya kesenjangan antara sarana (means) dan tujuan
atau cita-cita (goals) sebagai hasil dari kondisi masyarakat. Kondisi anomie yang
diekspresikan dalam penyimpangan tingkah laku (deviance) merupakan gejala suatu
struktur masyarakat, dimana aspirasi budaya yang sudah terbntuk terpisah dari sarana
yang tersedia di masyarakat. Penyimpangan tingkah laku tidak terlepas dari kondisi sosial
dimana norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat telah kehilangan validitasnya
seperti ketidakadilan, inkonsistensi dalam penegakan hukum, kejahatan semakin
meningkat disertai perilaku penjahat yang sudah berada diluar batas toleransi masyarakat.
Deviasi yang dimaksud disini dalam arti melakukan pelanggaran terhadap hukum
bukan semata-mata karena keinginan melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
tapi lebih kepada sebagai suatu bentuk reaksi terhadap hukum itu sendiri yang dianggap
tidak mampu enjadi sarana pengendali sosial. Tindakan pengadilan jalanan dilakukan
12
Fathul Achmadi Abby, Op.cit, hlm. 40
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung, PT. Refika
Aditya, 2010), hlm. 35
13
~ 120 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana
pencurian bila dilihat sebab-sebabnya maka perbuatan itu pada dasarnya dapat
dikategorikan sebagai deviasi.
Pengaturan Hukum Terhadap Pembelaan Terpaksa Sebagai
Alasan Penghapusan Penuntutan
Berdasarkan uraian diatas maka perbuatan subianto dalam hal pengadilan jalanan
adalah perbuatan tidak beretika dan tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tetapi
sebagian masyarakat percaya bahwa perbuatan subianto adalah karena melakukan
pembelaan diri, pembelaan terhadap harta bendanya. Dimana didalam hukum pidana
disebut sebagai pembelaan terpaksa. Berikut dijelaskan pengaturan hukum mengenai
pembelaan terpaksa sebagai alasan penghapusan penuntutan pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa KUHP negara kita yang berlaku sekarang ini
adalah berasal dari negara Belanda. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, maka berdasarkan Pasal II turan Peralihan UUD 1945, Wetboek van
Strafrecht Voor Nederlendsh Indie (Stbld. 1915 No. 732) tersebut dipakai dan peraturan
yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini”
Kemudian mulai tanggal 26 pebruari 1946 disahkan dengan resmi untuk berlaku
terus berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 dengan berbagai macam
perubahan yang disesuaikan dengan keadaan Indonesia yang sudah merdeka. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal V undang-undang Nomor 1 Tahun 1946, yang berbunyi :
“peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebahagian sekarang tidak dapat
dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara
Merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi harus dianggap seluruhnya atau sebahagian
sementara tidak berlaku”.
Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada pelaku atau terdakwa yang diajukan ke
pengadilan karena melakukan suatu tindak pidana. Alassan-alasan tersebut dinamakan
alasan penghapusan penuntutan pidana. Alasan penghapusan penuntutan pidana adalah
peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai
keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur
dalam undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim
dalam hal ini, menempatkan wewenang dalam dirinya sebagai penentu apakah telah
terdapat keadaan khusus dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan-alasan
penghapus penuntutan pidana.14
Dalam hal tersebut sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah memenuhi semua
unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan pidana. Akan tetapi ada beberapa
alasan yang dapat menyebabkan pelaku tidak dipidana, atau dikecualikan dari penjatuhan
sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan perundnag-undangan.
Dengan demikian makna dari alasan-alasan penghapusan penuntutan pidana adalah
memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi
rumusan delik, untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan yang diberikan
undang-undang kepada hakim.
14
M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), (Bandung, PT. Refika
Aditama, 2012), hlm. 27
~ 121 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Pembentuk Undang-undang membuat aturan ini bertujuan mencapai derajat
keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal, baik yang bersifat objektif maupun
subjektif, yang mendorong dan mempengaruhi seseorang mewujudkan suatu tingkah laku
yang pada kenyataannya dilarang oleh undang-undang.
Undang-undang Bab III KUHP menentukan tujuh dasar yang menyebbakan tidak
dipidananya si pembuat, ialah :
a. Adanya
ketidakmampuan
bertanggungjawab
si
pembuat
(ontoerekeningsvatbaarheid, Pasal 44 Ayat 1)
b. Adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48)
c. Adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1)
d. Adanya pembelaan terpaksa melampaui batas (noodwerexes, Pasal 49 ayat 2)
e. Karena sebab menjalankan perintah Undang-undang (Pasal 50)
f. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat 1)
g. Krena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51
Ayat 2)15
Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dipidananya si pembuat
tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar pemaaf,
yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin
sebelum atau pada saat akan berbuat. Dan (2) atas dasar pembenar, yang bersifat objektif
dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat.
Pada umumnya, pakar hukum memasukkan ke dalam dasar pemaaf yaitu :
a. Ketidakmampuan bertanggungjawab
b. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
c. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik
Sementara itu, yang selebihnya masuk ke dalam dasar pembenar, yaitu :
a. Adanya daya paksa
b. Adanya pembelaan terpaksa
c. Sebab menjalankan perintah undang-undang
d. Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah. 16
Dalam hal kasus subianto, maka akan di bahas mengenai bagian dari alasan
penghapusan penuntutan pidana, yaitu Pembelaan terpaksa, Pasal 49 Ayat 1, bagian dari
dasar pembenar. Pasal 49 Ayat 1 berbunyi : “tidak dipidana, barangsiapa melakukan
perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman
serangan yang melawan hukum pada ketika ini juga”
Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah :
a. Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa,
b. Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa
seketika yang bersifat melawan hukum
c. Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum
yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda
sendiri atau orang lain
15
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2002), hlm. ,
16
Ibid, hlm. 19
18
~ 122 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
d. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan
atau bahaya masih mengancam
e. Pembuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam. 17
Berdasarkan uraian diatas, dapat diuraikan kasus subianto dengan syarat dari
pembelaan terpaksa :
a. Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa,
Dalam keadaan subianto mempunyai kesempatan mencari dan mengambil besi 50
sentimeter, pada dasarnya subianto jarak dan waktu yang lama antara dirinya
dengan pencuri. Dalam hal ini tidak ada keadaan sangat terpaksa.
b. Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat terpaksa
seketika yang bersifat melawan hukum
Berdasarkan pembuktian dipersidangan muhammad sebagi pencuri tidak terbukti
menyerang atau membaca senjata tajam sebagai alasan ancaman serangan.
Bahkan terbukti subianto lah yang melakukan penyerangan hingga menyebabkan
pencuri tewas.
c. Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 kepentingan hukum
yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda
sendiri atau orang lain
Dalam hal ini benar bahwa kepentingan yang dilindungi oleh subianto adalah
kepentingan harta benda dirinya namun serangan dan ancaman serangan tidak
terbukti. Sebenarnya pembelaan terpaksa dapat dilakukan tidak hanya pada saat
diserang, namun juga diperluas pada ancaman serangan. Artinya serangan itu
secara objektif belum diwujudkan, baru adanya ancaman serangan. Misalnya
seseorang baru mengeluarkan pisau memaksa meminta uang, maka yang dipaksa
sudah boleh memukul orang lain. Namun dalam kasus bahkan muhammad
(pencuri) tidak membawa senjata tajam.
d. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan
atau bahaya masih mengancam
Sikap subianto mengintai lalu menyerang si pencuri menunjukkan bahwa
subianto belum menerima serangan atau ancaman serangan.
e. Pembuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam.
Pencuri yang tidak membawa senjata tajam menunjukkan bahwa keadaan antara
subianto dengan pencuri tidak seimbang.
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa ini pada dasarnya adalah
tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri orang
itu atau orang lain. Berhubung dalam hal seseorang mendapat serangan atau ancaman
serangan dari pelaku tindak pidana, negara tidak mampu/tidak dapat berbuat banyak
melindungi penduduk negara, maka orang yang menerima serangan atau ancaman
serangan seketika itu diperkenankan melakukan perlawanan walaupun perlawananan
yang dilakukan pada dasarnya dilarang oleh hukum. Penyerangan yang melawan hukum
seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan si korban melindungi dan
mempertahankan kepentingan hukumnya atau kepntingan hukum orang lain oleh dirinya
sendiri. Ini lah dasar filosofi pembelaan terpaksa. 18
Menurut penulis sebenarnya subianto dapat melakukan tindakan lain untuk
menangkap si pencuri. Misalnya dengan membangunkan anggota keluarga lalu
menangkap pencuri, jikapun melakukan serangan cukuplah pada serangan hingga
17
18
Ibid, hlm. 40
Ibid, hlm. 41
~ 123 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
melumpuhkan sipencuri agar dapat ditahan sambil menunggu aparat penegak hukum
yang datang. Atau tindakan lain dengan meneriakan maling agar pencuri menghentikan
niatnya.
Pencurian merupakan perbuatan kejahatan yang dapat dihukum. Pandangan legal
murni tentang kejahatan mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum
pidana. Betapapun keji dan tidak bisa diterimanya suatu perbuatan secara moral, itu
bukan kejahatan kecuali dinyatakan demikian oleh hukum pidana. Kejahatan merupakan
suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana (hukum yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi), dilakukan bukan
untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran, ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan
baik serius ataupun ringan. 19
Berdasarkan KUHP pencurian tercatat dalam Pasal 362 yang dapat dihukum.
Namun melakukan pengadilan jalanan hingga membuat pencuri gas elpiji 3 kg kehilangan
nyawa bukanlah perbuatan yang dibenarkan dalam pencapaian keadilaan. Hakim
memiliki kewenangan untuk menentukan apakah perbuatan subianto memenuhi syaratsyarat dari pembelaan terpaksa atau tidak. Keadilan harus diberikan kepada seluruh warga
Indonesia. Proses hukum yang diberikan kepada subianto adalah cara negara untuk
memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
Kesimpulan
Franz Magnis Suseno, menyebutkan ada 4 (empat) faktor yang membuat masyarakat
bertindak kekerasan yaitu : Transformasi masyarakat, Akumulasi kebencian dalam
masyarakat, Masyarakat yang sakit, Orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan.
Sehubungan dengan penyebab terjadinya pengadilan jalanan melalui pendekatan ilmu
kriminologi digunakan teori anomie. Analisis dari teori ini menyimpulkan adanya deviasi
sebagai akibat pengadilan jalanan. Deviasi yang dimaksud melakukan pelanggaran
terhadap hukum bukan semata-mata karena keinginan melakukan perbuatan yang
dilarang oleh hukum tapi lebih kepada sebagai suatu bentuk reaksi terhadap hukum itu
sendiri yang dianggap tidak mampu enjadi sarana pengendali sosial. Tindakan pengadilan
jalanan dilakukan oleh sekelompok orang terhadap orang yang diduga sebagai pelaku
tindak pidana pencurian bila dilihat sebab-sebabnya maka perbuatan itu pada dasarnya
dapat dikategorikan sebagai deviasi.
Unsur syarat mengenai pembelaan terpaksa adalah : Pembelaan terpaksa harus dilakukan
karena sangat terpaksa, Untuk mengatasi adanya serangan harus dilakukan karena sangat
terpaksa seketika yang bersifat melawan hukum Serangan atau ancaman serangan mana
ditujukan pada 3 kepentingan hukum yaitu : kepentingan hukum atau badan, kehormatan
kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain, Harus dilakukan ketika adanya
ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam.
Perbuatan subianto tidak memenuhi unsur syarat pembelaan terpaksa.
19
Frank E Hagan, Pengantar Kriminologi Teori, Metode dan Perilaku Kriminal, (Jakarta,
Kencana Prenadamedia Group, 2013), hlm. 14.
~ 124 ~
Jurnal Hukum
Samudra Keadilan
Volume 11, Nomor 1, Januari-Juni 2016
Daftar Pustaka
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002
Fathul Achmadi ABBY, Pengadilan Jalanan Dalam Dimensi Kebijakan Kriminal,
PT, Jala Permata Aksara, Jakarta, 2016
Frank E Hagan, Pengantar Kriminologi Teori, Metode dan Perilaku Kriminal,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2013
I. Wibowo, Negara, Bisnis dan Organized Crime, Kompas.
J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Aksara Baru,
Jakarta, 1987
M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana (Teori dan Studi Kasus), PT. Refika
Aditama, Bandung, 2012
Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi tentang Kejahatan-kejahatan kekerasan,
Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT. Refika Aditya, Bandung,
2010.
Simons, Leerboek Van Het Nederlandse Strafrecht II, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2015
Zakariah Idris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, jakarta, 1988.
~ 125 ~
Download