kata pengantar - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
LATAR BELAKANG TERJADINYA KEJAHATAN TERHADAP JENDER
DAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN
A. Latar Belakang Terjadinya Kejahatan Terhadap Jender
Kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar normanorma sosial, sehingga masyarakat menentangnya. Sementara itu secara yuridis formal,
kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan
(immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosiatif dan melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Tindak kejahatan bisa dilakukan oleh siapa pun baik wanita
maupun pria, dapat berlangsung pada usia anak, dewasa, maupun usia lanjut. 25 Tindak
kejahatan pada umumnya terjadi pada masyarakat yang mengalami perubahan
kebudayaan yang cepat yang tidak dapat diikuti oleh semua anggota masyarakat,
sehingga tidak terjadi penyesuaian yang sempurna. Selain itu tindak kejahatan yang
disebabkan karena adanya tekanan mental atau adanya kepincangan sosial. Oleh karena
itu tindak kejahatan (kriminalitas) sering terjadi pada masyarakat yang dinamis seperti
di perkotaan. Tindak kejahatan (kriminalitas) misalnya adalah pembunuhan,
penjambretan, perampokan, korupsi, dan lain-lain. 26
Dalam dua dasawarsa terakhir masalah kesetaraan gender menjadi salah satu
tema pembahasan akademis dan intelektual yang penting. Masalah ini banyak menarik
perhatian berkaitan dengan meningkatnya apresiasi terhadap hak asasi manusia pada
umumnya dan keprihatinan yang luas dan mendalam terhadap banyaknya peristiwa
25
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum
Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, hlm 55
26
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm 37
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan di berbagai belahan dunia pada
umumnya. 27
Keikutsertaan
Indonesia
dalam
penandatanganan
berbagai
konvensi
internasional berkaitan dengan kewajiban memberikan perlindungan hak asasi manusia
termasuk jaminan perlindungan perempuan serta anak tidak terlepas tekanan dunia
internasional. Pengakuan hak asasi manusia di dalam berbagai peraturan perundangundangan nasional yang di masa lalu terbatas pada pengakuan yuridis formal belaka,
sejak bergulirnya Reformasi mendapatkan momentumnya untuk diimplementasikan
secara nyata. 28
Pengakuan dan jaminan perlindungan hak asasi manusia tidak mengecualikan
pula pengakuan kesetaraan hak dan kewajiban asasi manusia lakilaki
dan perempuan sesuai citra kodratinya masing-masing. Perkembangan aspirasi
berkaitan dengan kesetaraan gender ini membawa implikasi keharusan rekonstruksi
ulang pemahaman terhadap citra manusia yang dalam perkembangan sejarah banyak
dipengaruhi oleh konstruksi budaya daerah dan tradisi kehidupan beragama yang dalam
konteks kontemporer dipandang banyak merugikan kepentingan kaum perempuan. 29
Penataan ulang pemahaman ini barang tentu bukan perkara mudah dilakukan,
bahkan ketika secara yuridis formal telah dikonstruksikan menurut formulasi yang
ideal, namun tidak dengan sendirinya selalu terimplementasikan sesuai dengan harapan
terutama kaum perempuan. Dengan demikian, kendatipun bias gender dalam produk
kebijakan nasional yang dikontruksikan dalam produk hukum atau peraturan
perundang-undangan, masih saja menjadi persoalan apakah pada tataran praktik dapat
27
Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta,
tanpa tahun, hlm 69
28
Ibid, hlm 71
29
Ibid, hlm 72
Universitas Sumatera Utara
diimplementasikan dengan baik menurut kerangka konseptual filosofis yang
mendasarinya.
Secara konseptual, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan
(integral) dari kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup di dalamnya
kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini hukum
administrasi dan hukum keperdataan menempati kedudukan yang sama dengan hukum
pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakanperundangundangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan sosial. 30
Sudarto mengartikan kebijakan hukum (a) usaha untuk mewujudkan peraturanperaturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi masyarakat pada suatu saat; (b)
kebijakan dari badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan yang
terkandung dalam masyarakat dan mencapai yang dicitacitakan. 31
Dari pengertian tersebut, tampak keinginan untuk mengadakan pembaharuan
hukum sebagai suatu bentuk instrumen sosial untuk mewujudkan keadaan yang dicitacitakan atau yang diinginkan oleh masyarakat, bangsa dan negara. Kebijakan hukum
mencakup di dalamnya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal –
criminal policy). Sudarto mendefinisikan kebijakan kriminal, suatu usaha yang rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Sementara itu Hoefnagels,
mendefinisikan kebijakan kriminal, the rational organization of social reaction to
crime. 32
30
Fakih, Mansour, 1998, Diskrimiasni dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender,
Yogyakarta: CIDESINDO, hlm 47
31
Sudarto, Konspirasi di Balik Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Yogyakarta : Galangpress,
2007, hlm 92
32
Sudarto, Ibid, hlm 93
Universitas Sumatera Utara
Salah satu fungsi hukum adalah sebagai sarana untuk mengadakan perubahan
atau pembaharuan keadaan masyarakat menuju terujudnya suatu keadaan sesuai dengan
yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini mensyaratkan hukum harus berkembang
seiring dengan perkembangan masyarakat. Dalam konteks penanggulangan kejahatan
pada umumnya dan secara lebih khusus penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
sangat perlu dilakukan sosialisasi keadilan gender dalam aturan-aturan hukum, artinya
perspektif gender perlu mendapat perhatian. Dalam hal ini persoalan yang mendasar
adalah, bagaimana caranya membangun hukum di Indonesia agar mengakomodasi
perspektif gender.
Persoalan ini muncul, disebabkan adanya kaitan erat antara perbedaan gender
(gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur
ketidakadilan masyarakat secara lebih luas. Dengan adanya keterkaitan ini, pemahaman
dan perbedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam
membahas
masalah
ketidakadilan
gender.
Perbedaan
gender,
sebagaimana
dikemukakan oleh Mansour Fakih, sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi
persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik
bagi kaum laki-laki maupun kamum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan
sistem dan struktur dalam mana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Pemahaman mengenai bagaimana perbedaan gender yang
menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi
ketidakadilan yang ada di dalam masyarakat. 33 Ketidakadilan gender termanifestasikan
dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti (1) marginalisasi atau proses pemiskinan
33
Fakih, Mansour, Op.Cit, hlm 49
Universitas Sumatera Utara
ekonomi; (2) subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik; (3)
pembentukan
stereotipe atau melalui pelabelan negatif; (4) kekerasan (violence) berupa serangan atau
invasi terhadap fisik maupun integritas mental – psikis; dan (5) beban kerja lebih
panjang dan lebih banyak (burden). 34
Berbagai ketidakadilan gender tersebut diharapkan dapat dihapuskan melalui
kebijakan-kebijakan publik dalam semua bidang kehidupan. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa diskriminasi terhadap
perempuan pada dasarnya tidak
diperbolehkan, baik dilihat dari segi hukum internasional maupun hukum nasional.
Selain dalam wujud peraturan perundang-undangan, pengejawantahan perspektif
gender dalam penanggulangan kejahatan secara tidak langsung terlihat pula dalam
praktek pelayanan pihak Kepolisian di dalam penanganan perkara pidana, pihak
Kejaksaan dalam disposisi penugasan Jaksa Penuntut Umum dalam proses penuntutan
perkara pidana, pihak Pengadilan di dalam pemeriksaan perkara pidana yang
melibatkan perempuan sebagai pelaku ataupun sebagai korbannya. Berikut ini akan
dilakukan pembahasan khusus tentang berbagai kebijakan yang mengakomodasi
perspektif gender dalam kaitan dengan upaya penanggulangan kejahatan terhadap
perempuan di Indonesia. 35
Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
bersifat subsider, dalam arti penggunaannya (sarana penal) diseyogyakan dengan
mendahulukan sarana hukum-hukum yang lain (sarana non-penal), seperti hukum
administrasi negara dan hukum keperdataan. Dalam konteks penelitian ini, telah
dikemukakan di depan bahwa keterlibatan perempuan dalam kejahatan baik sebagai
pelaku ataupun sebagai korbandisebabkan oleh faktor-faktor struktural yang bersifat
34
35
Ibid, hlm 51
Ibid, hlm 51
Universitas Sumatera Utara
kriminogenik. Dengan demikian, penanggulangan kejahatan sebenarnya harus
mendahulukan perbaikan kondisi-kondisi yang bersifat struktural di dalam masyarakat.
Perbaikan-perbaikan yang bersifat struktural tersebut pada hakikatnya bukan
merupakan bidang garap hukum pidana (kepidanaan), melainkan merupakan bidang
hukum ketatanegaraan, keadministrasian dan keperdataan. 36
Berdasarkan pemikiran demikian, berbagai produk hukum berupa kebijakan
yang berdampak positif pada perbaikan kondisi-kondisi struktural dalam masyarakat
juga memberikan kontribusi positif pada upaya penanggulangan kejahatan pada
umumnya. Penggunaan sarana hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan tanpa
didukung atau didahului dengan perbaikan kondisi-kondisi sosial – struktural, akan
berakibat hasil yang dicapai tidak akan sesuai dengan tujuan. 37
1. Faktor dalam konteks konflik Internasional
Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok)
yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. 38 Konflik atau perbedan
merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari (sunnatulloh) yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. 39 Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua
sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik
dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara
produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui
mekanisme transformasi pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian
masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.
36
I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Penerbit
Alumni, Bandung, 1999, hlm 86
37
Ibid, hlm 87
38
Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga
Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm 77
39
Seiderman, Ian D. Resolusi Konflik dalam masyarakat, Yogyakarta : Galangpress, 2001, hlm
85
Universitas Sumatera Utara
Secara ilmiah terminologi resolusi konflik merujuk pada kebutuhan individu,
kelompok, tim, organisasi atau komunitas untuk melihat perdamaian sebagai suatu
‘proses’ terbuka dan membabak kerangka aksi penyelesaian konflik dalam beberapa
tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Beberapa asumsi yang melandasi
pentahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan. Pertama, konflik tidak
hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dipandang
sebagai sebuah fenomena sosial. Kedua, konflik memiliki daur kerja atau siklus hidup
yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik secara spesifik sangat dipengaruhi
dinamika dan perubahan lingkungan tertentu. Ketiga, sebab atau akar masalah suatu
konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal—suatu proposisi
kausalitas bivariat tetapi lebih bersifat multidimensi. Keempat, Konflik sosial harus
dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Kelima,
resolusi
konflik
hanya
dapat
diterapkan
secara
optimal,
apabila
dikombinasikan dengan beragam intervensi dan mekanisme penyelesaian konflik yang
relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif,
melalui keterpaduan melibatkan berbagai pihak dan sumber daya dengan upaya
komprehensif untuk mewujudkan perdamaian secara berkelanjutan. 40
Dalam memahami konflik, gejala, intensitas dan cara penyelesaiannya sangat
tergantung sumber penyebab konflik yang ada dalam masyarakat. Terdapat lima
sumber penyebab konflik, yaitu 41 (a) konflik struktural, (b) konflik kepentingan, (c)
konflik nilai, (d) konflik hubungan sosial, dan (e) konflik data (Lakpesda NU, 2008).
Konflik Struktural, Konflik terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan
kontrol terhadap sumber daya, seperti; tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Pihak
yang berkuasa dan memiliki kewenangan formal untuk menetapkan kebijakan umum,
40
41
Seiderman, Ian D. Ibid, hlm 87
Ibid, hlm 88
Universitas Sumatera Utara
biasanya lebih memiliki peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol
sepihak terhadap pihak yang lain. Di sisi lain, persoalan geografis dan faktor sejarah
seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan
yang hanya menguntungkan salah satu pihak tertentu atau pihak dominan Pemerintah
pusat.
Konflik Kepentingan. 42 Konflik yang terjadi akibat persaingan kepentingan
yang dirasakan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi atau yang secara nyata
memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika satu pihak atau lebih,
meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban,
dan biasanya yang menjadi korban masyarakat. Hal lain yang mengindikasikan konflik
kepentingan yaitu terjadinya persaingan manipulatif atau tidak sehat antarkedua belah
pihak. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini bisa terjadi karena masalah yang
mendasar (ekonomi, politik kekuasaan), masalah tata cara atau masalah psikologis.
Konflik Nilai. 43 Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan
yang dianut oleh pihakpihat terkait. Sistem nilai merupakan seperangkat keyakinan atau
kepercayan yang diakui oleh suatu komunitas yang memberi mkna dalam kehidupan.
Nilai menjelaskan mana yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, adil atau
tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Individu, kelompok atau
komunitas dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan sedikit perbedaan sistem
nilai. Konflik nilai muncul ketika salah satu pihak berusaha memaksakan suatu sistem
nilai kepada pihak lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif (di dalamnya
tidak dimungkinkan adanya perbedaan kepercayaan).
42
43
Ibid, hlm 88
Ibid, hlm 89
Universitas Sumatera Utara
Konflik Hubungan Sosial. 44 Dalam bermasyarakat terjadi jalinan atau interaksi
sosial antarpribadi, antarkelompok, antar komunitas, dan antarorganisasi. Dalam
berinteraksi terdapat kecenderungan terjadi bias persepsi, streotipe diantara pihak-pihak
yang terlibat. Terkadang salah satu pihak mempersepsikan dengan caranya sendiri
sehingga menjadi bias. Stereotip merupakan salah satu faktor timbulnya prasangka
yang
akan
berlanjut
pada ketidakpercayaan,
kecurigaan,
kecemburuan,
dan
diskriminasi. Pada akhirnya terjadi tindakan kekerasan. Prasangka menimbulkan
gejolak sosial dan memungkinkan terjadi pertentangan dan rusaknya hubungan sosial
yang telah terbangun. Prasangka merupakan sifat negatif terhadap kelompok atau
individu tertentu semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu.
Prasangka muncul karena adanya bias persepsi (stereotip) yang memunculkan
generalisasi lebih awal tanpa di dasarkan fakta atau bukti akurat. Hal ini mengakibatkan
dampak negatif terhadap pihak lainnya. Jika sasaran prasangka mencakup kelompok
minoritas dalam arti jumlah maupun status. Prasangka kemudian direalisasikan dalam
perilaku atau tindakan diskriminasi kepada kelompok lain.
Konflik Data. 45 Konflik data menyangkut keabsahan dan penggunaaan metode
analisis data yang dipergunakan untuk pengambilan keputusan. Konflik ini muncul
kepermukaan ketika salah satu pihak kekurangan informasi dan data yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan, mendapat informasi yang salah, kekurangan data yang
valid dan dapat dipercaya, tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai metode analisis
yang berbeda. Terjadinya konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal itu
disebabkan kurangnya komunikasi diantara orang-orang yang berkonflik. Konflik data
lainnya bisa jadi karena ketidakjelasan tujuan dan masalah yang akan di kaji oleh
44
45
Ibid, hlm 90
Ibid, hlm 90
Universitas Sumatera Utara
pihak-pihak yang berkepentingan. Secara umum ada tiga pendekatan dalam melihat
resolusi konflik sebagai suatu pendekatan; Pertama, pendekatan yang berfokus pada
dinamika konflik.
Dalam pendekatan ini, konflik dipandang sebagai fenomena dinamis dimana
reaksi salah satu pelaku konflik ditentukan dari aksi lawannya. Konflik digambarkan
dalam ABC segitiga (triangle) yaitu Atitiude-Behviour-Context (sikap perilaku
konteks).
Resolusi
konflik
dilakukan
dengan
cara
melakukan
transformasi
transendental, melakukan kompromi atau pembatalan (witdrawal). Resolusi konflik
secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari penyelesaian konflik tercapai.
Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus berkorban untuk tidak menerima seratus
persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan menghilangkan
tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu. Dalam melakukan
dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan membangun kekuatan ekonomi, kekuatan
sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures). 46
Kedua, fokus pada kebutuhan dasar. Konflik dilihat sebagai sebuah fenomena
sosial dinamis, Meskipun konflik juga disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan
kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik yang realistik. Konflik
disebabkan ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat,
tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan
kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada
pihakpihak yang berpotensi konflik. Cosser kemudian menawarkan pembentukan
sebuah institusi baru yang bersifat formal maupun informal. 47
2. Penyimpangan perilaku kelompok bersenjata
46
47
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Memahami Konflik Perang, Yogyakarta: Kanisius, hlm 42
Ibid, hlm 43
Universitas Sumatera Utara
Perilaku penyimpangan (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang
tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Perilaku penyimpangan dapat terjadi
di mana saja, baik di keluarga maupun di masyarakat. 48 Perilaku penyimpangan adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak sesuai
atau tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik
yang dilakukan secara sadar ataupun tidak. Terjadinya perilaku penyimpangan dapat
dipengaruhi oleh hal-hal berikut ini 49 :
a. Tidak mempunyai seseorang sebagai panutan dalam memahami dan meresapi
tata nilai atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Kondisi semacam ini
lazim disebut sebagai hasil proses sosialisasi yang tidak sempurna. Akibatnya,
ia tidak bisa membedakan hal-hal yang baik ataupun yang buruk, benar atau
salah, pantas atau tidak pantas, dan sebagainya.
b. Pengaruh lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik, misalnya lingkungan
yang sering terjadi tindak penyimpangan, seperti prostitusi, perjudian, mabukmabukan, dan sebagainya.
c. Proses bersosialisasi yang negatif, karena bergaul dengan para pelaku
penyimpangan sosial, seperti kelompok preman, pemabuk, penjudi, dan
sebagainya.
d. Ketidakadilan, sehingga pihak-pihak yang dirugikan melakukan protes, unjuk
rasa, bahkan bisa menjurus ke tindakan anarkis.
B. Perlindungan terhadap Korban
Perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum
memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hakhak korban
48
Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan, Armico, Bandung, 1996, hlm
49
Ibid, hlm 40
39
Universitas Sumatera Utara
kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya
ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan
pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. 50
Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan
telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah
perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak
sepenuhnya benar. Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun
internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan
memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini
mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundangundang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur
namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban
kejahatan. 51 Buku ini mencoba untuk menguraikan berbagai hal berkaitan dengan
pentingnya korban kejahatan memperoleh perlindungan yang memadai, yang di
dalamnya akan memuat antara lain: dasar filosofis pentingnya korban kejahatan
memperoleh perlindungan, kaitan antara penegakan hukum dengan perlindungan
korban, hak dan kewajiban korban, pengaturan korban dalam hukum nasional dan
internasional, dan diakhiri dengan uraian sejauhmana perlindungan korban kejahatan di
Indonesia telah diterapkan. 52
1. Memilih Kuasa Hukum
Perjanjian pemberian kuasa atau disebut juga dengan Lastgeving. Lastgeving
50
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 88
Theo, Op.Cit, hlm 69
52
Op.Cit, hlm 70
51
Universitas Sumatera Utara
diatur di dalam Pasal 1792 s.d. Pasal 1818 KUH Perdata, sedangkan di dalam NBW
Belanda, lastgeving diatur pada Artikel 1829. Perjanjian pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya
untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa (Pasal 1792 KUH
Perdata).
Mendefinisikan pemberian kuasa adalah "Suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber),
yang menerimanya-untuk atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu
perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu.” 53
Selanjutnya ciri-ciri dari perjanjian pemberian kuasa, yaitu 54:
a. bebas bentuk, artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan atau tertulis, dan
b. persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.
Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan
menjadi enam macam, yaitu 55:
a. akta umum,
b. surat di bawah tangan,
c. lisan,
d. diam-diam,
e. cuma-cuma,
f. kata khusus, dan
g. umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan
antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atauakta
53
Margiyanti, Lusi & Moh. Yasir Alimi (ed.), 1999, Sosialisasi Gender: Menjinakkan “Takdir”
Secara Adil Yogyakarta: LSPAA, hlm 26
54
Ibid, hlm 27
55
Ibid, hlm 27
Universitas Sumatera Utara
notariel. Artinya bahwa pemberian kuasa itu dilakukan di hadapan dan di muka
Notaris. 56 Dengan demikian pemberian kuasa mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna. Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian
kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat
pemberian kuasa itu hanya dibuatkan oleh para pihak. Pemberian kuasa secara lisan
adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima
kuasa. Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara
diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Sedangkan pemberian kuasa
secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa
dengan penerima kuasa, artinya penerima kuasa tidak memungut biaya dari pemberi
kuasa. 57
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara
pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya pemberian kuasa itu hanya mengenai
kepentingan tertentu saja atau lebih dari pemberi kuasa. Sedangkun pemberian kuasa
umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima
kuasa, artinya isi atau substansi kuasanya bersifat umum dan segala kepentingan diri
pemberi kuasa. 58
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan akta autentik, dalam bentuk tulisan di
bawah tangan, dan dengan lisan. Pemberian kuasa dengan akta autentik adalah suatu
pemberian kuasa, yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, artinya
perjanjian kuasa itu dibuat di muka dan di hadapan notaris. Pemberian kuasa dalam
bentuk tulisan di bawah tangan merupakan perjanjian pemberiankuasa yang dibuat
secara tertulis antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Perjanjian pemberian kuasa
56
Ibid, hlm 28
57
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 44
58
Ibid, hlm 46
Universitas Sumatera Utara
secara lisan merupakan perjanjian pemberian kuasa, artinya pihak pemberi kuasa
memberikan kuasa secara lisan kepada penerima kuasa tentang hal yang
dikuasakannya. 59
Isi pemberian kuasa ditentukan oleh pihak pemberi kuasa. Pemberi kuasa
biasanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakilinya, baik di luar
pengadilan maupun di muka pengadilan. Suatu contoh pemberian kuasa di luar
pengadilan, yaitu penerima kuasa dikuasakan untuk menandatangani perjanjian kredit.
Ini disebabkan pemberi kuasa pada saat akan menandatangani perjanjian kredit tidak
berada di tempat. Sehingga penerima kuasa yang mewakili menandatangani perjanjian
kredit tersebut. Begitu juga di pengadilan, pemberi kuasa menguasakan kepada seorang
pengacara untuk mewakilinya di pengadilan. Ini disebabkan kurangnya kemampuan
dan pengetahuan dari pemberi kuasa dalam bidang hukum. 60 Pemberi kuasa merasa
tenang dan aman dalam menperjuangkan hak-haknya di pengadilan apabila yang
mewakilinya mempunyai kemampuan dan pengetahuan hukum yang luas. Sehingga,
pada gilirannya ia akan mendapatkan hak yang dituntutnya di pengadilan. Biasanya
surat kuasa yang dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, baik di luar
pengadilan maupun di pengadilan merupakan surat kuasa khusus.
2. Perlindungan bagi korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk
sekedar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh
pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Korban dari suatu
kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, akan tetapi bisa
juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada
59
60
Ibid, hlm 46
Ibid, hlm 47
Universitas Sumatera Utara
kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti
tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kitatemui dalam
kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahaan ini, korban sebagaimana
dimaksud terakhir tidak termasuk didalamnya. Berbagai pengertian korban banyak
dikemukakan, baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi
internasional yang membahas mengeai korban kejahatan, sebagian di antaranya
adalah 61:
1. Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah ” mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang
dirugikan. 62
2. Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun
kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,
ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang fundamental, melalui
perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan 63
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, maka dapat dilihat
bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara
langsung
menderita
akibat
dari
perbuatanperbuatan
yang
menimbulkan
kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk di
dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang
61
Theo, Op.Cit, hlm 60
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Op.Cit., hlm.63
63
Muladi, “HAM Dalam Persepktif Sistem Peradilan Pidana”, Op.cit., hlm. 108
62
Universitas Sumatera Utara
mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk
mencegah viktimisasi.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang
harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban
kejahatan, akan tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang
ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan, yang mana walaupun yang
disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, akan tetapi pihak yang
dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian
baik secara materiil maupun secara mental.
Setiap hari, masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai
peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai mass media cetak maupun
elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai
penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman
dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu
ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun
represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga
yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus
menanganinya. Namun, untuk tahap awal perlu disampaikan terlebih dahulu suatu
informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan
keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai
akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai
tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, oleh karena itu masalah ini
perlu memperoleh perhatian yang serius. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat
Universitas Sumatera Utara
bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi
korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. 64.
Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting, karena masyarakat
baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagai pelaku
kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan
kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui
pemberian restitusi dan kompensasi, pelayan medis, bantuan hukum.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif
maupun represif yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui
aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai
ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis maupun
hukum secara memadai, proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku
kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi
manusia serta instrumen penyeimbang. Disinilah dasar filosofis dibalik pentingnya
korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan. 65
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan
kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi saat
menyatakan: Korban kejahatan perlu dilindungi karena Pertama, masyarakat dianggap
sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized
trust). 66 Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam
struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya.
Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan
64
Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan Dalam Pespektif Vikimologi Dan Hukum
Pidana Islam, Jakarta: Grhalia Press, Juli 2004: Cetakan Pertama, hlm. 47
65
Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Seri Bahan Bacaan Khusus
HAM untuk Pengacara, 2005, hlm 101
66
Ibid, hlm 103
Universitas Sumatera Utara
tersebut sehingga pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban
akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua,
adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh dikatakan
memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan
yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara
harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun
pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah
satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang
ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. 67
Secara teoretis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan
dalam berbagai cara, bergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban.
Sebagai contoh, untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi
dalam bentuk materi/uang tidaklah memadai apabila tidak disertai dengan upaya
pemulihan mental korban. Sebaliknya, apabila korban hanya menderita kerugian secara
materiil (seperti, harta bendanya hilang) pelayanan yang sifatnya psikis terkesan terlalu
berlebihan. 68
67
Muladi, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: sebagaimana dimuat dalam
kumpulan karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
Universitas Dipenogoro, Semarang, 1997, hlm. 172
68
Wahyu Wagiman, Op.Cit, hlm 104
Universitas Sumatera Utara
Download