BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, Dan Azas-Azas
Hukum Perjanjian
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian
dapat didefinisikan sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih”.10
Bahwa dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.
Dalam hal ini dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau
lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas
suatu prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi dalam hukum
bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu pihak
adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi (debitor) dan pihak lainnya
adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi tersebut (kreditor).11
Penyempurnaan
terhadap
definisi
perjanjian
dalam
Pasal
1313
KUHPerdata menurut penulis adalah sebagai berikut:
“Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari
kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan
10
Handri Raharjo, Hukum perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia,
2009, hal. 41
11
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian , Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 92
13
Universitas Sumatera Utara
14
di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan
dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan
begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.12”
Pembedaan perjanjian secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat
hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya
perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.
2. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata.
Misalnya, perjanjian bernama.13
Dalam perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam
perjanjian dikenal adanya 3 unsur yang merupakan perwujudan dari asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339
KUHPerdata, yaitu:
a. Unsur esensilia
Unsur esensilia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak, yang
mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara
prinsip dari jenis perjanjian lainnya.
12
13
Handri Raharjo, Op. Cit., hal. 42
Ibid., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
15
b. Unsur naturalia
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
setelah unsur esensilianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian
yang mengandung unsur esensilia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia
berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari
cacat-cacat tersembunyi.
c. Unsur aksidentalia
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh
para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan
khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.14
Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian,
diperlukan empat syarat, yaitu15:
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu pokok persoalan tertentu;
4) Suatu sebab yang tidak terlarang.
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:
a) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan
perjanjian (unsur subyektif), dan
14
15
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85.
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
16
b) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari
para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan
perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan
yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa
prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang atau diperkenankan menurut hukum.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap
unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur
obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut
tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Sebagai berikut adalah penjelasan
mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif yaitu :
ad.a)
Syarat Subyektif
Seperti telah dikatakan di atas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian,
digantungkan pada dua macam keadaan:
(1) Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan
atau melangsungkan perjanjian.
Salim H. S mengatakan : “kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang dengan atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
Universitas Sumatera Utara
17
itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui orang
lain”.16
Kesepakatan bebas di antara para pihak di antara para pihak ini pada
prinsipnya adalah pengejawantahan dari asas konsensualitas yang telah penulis
bahas dalam uraian Bab II di atas. Dalam uraian Bab ini akan dibahas masalah
pelanggaran terhadap kesepakatan lisan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1321
sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya
berbunyi17:
“Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan
siapa yang harus melaksankan.
Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera
setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan
juga menerbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji
tersebut. Dengan lahirnya perikatan di antara para pihak yang bersepakat tersebut,
KUHPerdata membebankan kewajiban kepada debitor dalam perikatan untuk
memberikan penggantian berupa, rugi dan bunga atas ketidakpemenuhannya,
menurut pasal-pasal berikut di bawah ini.
16
Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta:Sinar
Grafika, 2004, hal. 23
17
Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
18
Pasal 1236
“Debitor wajib member ganti biaya, kerugian dan bunga kepada
kreditor bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk
menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaikbaiknya untuk menyelamatkannya.”
Pasal 1239
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian
biaya, kerugian dan bunga, bila debitor tidak memnuhi
kewajibannya.
Pasal 1242
Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka
pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu,
karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya,
kerugian dan bunga.18
(2) Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat
subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan
bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan
bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda,
namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu
perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat
18
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
19
dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah
kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan
hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan
tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Sebaliknya seorang yang
dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata
karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada
dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk
bertindak.
Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian-perjanjian adalah:
(a) Anak yang belum dewasa.
Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu
persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah
pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap
orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu
perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 Kitab
KUHPerdata dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”19
Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh
satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan oarng tua,
berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam
bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini”.
19
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
20
Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas
mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:
1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
a. Telah berumur 21 tahun; atau
b. Telah menikah;
Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak
yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum
ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang
dalam rumusan Pasal 50 dinyatakan bahwa:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Universitas Sumatera Utara
21
Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan
tindakan hukum ditentukan sebagai berikut:
1. Jika seseorang
a. Telah berumur 18 tahun; atau
b. Telah menikah;
c. Seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya
dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah
dewasa.
2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam
setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:
a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
(b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal
433 KUHPerdata yang menyatakan bahwa20:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,
sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan,
pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.
20
Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
22
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya”
Selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata dinyatakan bahwa “segala
permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang
mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”21
ad.b) Syarat Obyektif
Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam:
1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan
adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian.
Mengenai syarat ketiga ini, undang-undang menentukan bahwa hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok
perjanjian. Selanjutnya, dikatakan bahwa, barang itu harus barang yang paling
sedikit dapat ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp. Bagaimana
halnya apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu,
misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang.
Menurut undang-undang hal ini tidak tidak menjadi halangan, asalkan jumlah
barang itu kemudian ditentukan atau dihitung.
Bahkan hasil panen ini merupakan barang yang baru akan ada kemudian,
namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu saja dalam hal
ini, sawah yang dimaksud sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan luasnya
serta saat panennya tiba. Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling
sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan
21
Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
23
atau dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas
jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah.22
KUHPerdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan
rumusan dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut23:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian
berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu,
asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHPerdata,
hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan (debitor) pastilah
juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan
berwujud maupun kebendaan tidak berwujud.
Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat
sesuatu, KUHPerdata, juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan
untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik
yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan
pada saat perjanjian dibuat.
2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur mengenai
kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setia perjanjian yang dibuat
oleh para pihak.
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata.
Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:
22
23
I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta : Kesaint Blanc, 2007, hal. 49
Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
24
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu
sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai
kekuatan.”
KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang
dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal 1335
KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1. Bukan tanpa sebab;
2. Bukan sebab yang palsu;
3. Bukan sebab yang terlarang.
Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam Pasal 1336 KUHPerdata
dinyatakan lebih lanjut bahwa:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak
terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan
itu adalah sah.”
Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi
hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa24:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undangundang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum.”
Salim H. S menyatakan : syarat yang pertama dan kedua disebut syarat
subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut
24
Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
25
objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan
kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan
tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal
demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. 25
Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal)
dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUHPerdata tidak lain dan tidak bukan adalah
prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau
dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut,
maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para
pihak.26
Di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas-azas hukum perjanjian
yaitu, sebagai berikut:
1. Azas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi);
2. Azas konsensualisme (persesuaian kehendak);
3. Azas kepercayaan;
4. Azas kekuasaan mengikat;
5. Azas persamaan hukum;
6. Azas keseimbangan;
7. Azas kepastian hukum;
8. Azas moral;
25
Salim H. S. Op. Cit, hal. 25
Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 161
26
Universitas Sumatera Utara
26
9. Azas kepatutan;
10. Azas kebiasaan.27
Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak
“Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari
Hukum Perjanjian. Azas ini dinamakan juga azas otonomi
“konsensualisme”, yang menentukan adanya perjanjian.
Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik
KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal. Asas konsensualisme yang terdapat di
dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak
untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri.
Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang
terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.”
Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit
dilihat dari beberapa segi yaitu:
-
Dari segi kepentingan umum
-
Dari segi perjanjian baku (standard)
-
Dari segi perjanjian dengan pemerintah.
27
Mariam Darus Bardrulzaman, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan
Penjelasannya, Bandung : Alumni, 2001, hal. 108
Universitas Sumatera Utara
27
Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan
“ketertiban umum dan kesusilaan. Istilah “semua” di dalamnya terkandung – asas
partij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid –
memasang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun
bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk
kontrak standar.28
Ad. 2. Konsensualisme
Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah (garis bahwa oleh penulis) berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Di dalam Pasal 1320
BW terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas
“konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het
bestaanwaarde). Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) di antara para
pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer)
merupakan nilai etis yang bersumber pada moral.
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari
ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan atau toestemming), yang
menyatakan bahwa perjanjian itu lahir cukup dengan adanya kata sepakat,
hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman
asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat
dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang
28
Dawson, John P., et al. Contracts (Cases and Comment), The Foundation Press, Inc. ,
New York, 1982, hal. 261
Universitas Sumatera Utara
28
menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang
yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan.”
Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar
mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320
BW dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.29
Ad. 3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus saling
dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama
lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di
belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin
akan diadakan oleh para pihak.
Ad. 4. Asas kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas
kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang
mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia
terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus
dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” (Pacta Sunt Servanda),
karena “kita harus memenuhi janji kita” (Promissorum implendorum obligatio). 30
Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam
perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada
perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Jakarta : Prenada Media Group, 2011, hal. 120
30
Meriam Darus Bardrulzaman, Op. Cit, hal. 114
Universitas Sumatera Utara
29
juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
kepatutan serta moral.
Ad. 5. Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada
perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan
dll. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan
kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Ad. 6. Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul
pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat
di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya
untuk memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.31
Ad. 7. Asas kepastian hukum
Asas ini menghendaki bahwa perjanjian sebagai suatu figure hukum harus
mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat
perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
31
Ibid, hal. 114
Universitas Sumatera Utara
30
Ad. 8. Asas moral
Asas ini menghendaki bahwa dalam perjanjian terdapat suatu perikatan
yang wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan
hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini
terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban
(hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya dan asas ini terdapat
dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
Ad. 9. Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan di sini
berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Dan asas kepatutan di sini
harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan
juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
Ad. 10. Asas kebiasaan
Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang
sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa
yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang lazim diikuti.
Menurut Pasal 1339 KUHPerdata maka persetujuan tidak hanya mengikat
untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
31
Pasal 1347 KUHPerdata mengatakan pula hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) dianggap secara diamdiam dimasukan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.
Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari
perjanjian adalah:
1. Isi perjanjian itu sendiri
2. Kepatutan
3. Kebiasaan
4. Undang-undang.
Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata adalah kebiasaan
pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347
KUHPerdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku
di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding).32
B. Pengertian Perjanjian Kerjasama Dan Pengaturan Hukum Tentang
Perjanjian Kerjasama
Pengertian perjanjian kerjasama adalah perjanjian antara dua pihak atau
lebih di mana masing-masing sepakat untuk melakukan sesuatu usaha bersama
dengan menggunakan asset dan/atau hak usaha yang di miliki dan secara bersamasama menanggung risiko usaha tersebut (PSAK No. 39).
Pemilik Asset adalah pihak yang memiliki asset atau hak penyelenggaraan
usaha tertentu yang di pakai sebagai objek atau sarana kerjasama. Investor adalah
pihak dana, baik seluruh atau sebagian, untuk memungkinkan Asset atau hak
32
Ibid, hal. 115
Universitas Sumatera Utara
32
usaha pemilik asset di berdayakan atau di manfaatkan dalam kerjasama. Investor
dapat memiliki pengendalian atas asset dan operasi kerjasama, bisa pula tidak,
tergantung dari bentuk kerjasama yang ada di dalam suatu perjanjian. Asset
kerjasama adalah asset tetap yang di bangun atau yang di gunakan untuk
menyelenggarakan kegiatan perjanjian kerjasama. Pengelola perjanjian kerjasama
adalah pihak yang mengoperasikan asset. Pengelola perjanjian kerjasama mungkin
memiliki asset, mungkin investor, mungkinjuga pihak lain yang di tunjuk. Masa
konsensi adalah jangka waktu di mana investor dan pihak asset masih terikat
dengan perjanjian bagi hasil atau bagi pendapatan atau bentuk pembayaranlain
yang tercantum di dalam perjanjian kerjasama.33
Pengaturan hukum tentang perjanjian kerjasama diatur dalam buku III
KUHPerdata yaitu:
Pasal 1233
“Tiap-tiap perikatann di lahirkan baik karena persetujuan baik
karena undang-undang.”
Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu rumus dari perikatan.
Menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut rumus bahwa perikatan adalah
hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam
lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak
lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Dari rumus di atas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat)
yaitu:
33
www. google. com , Perjanjian Kerjasama; Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB,
diakses pada tanggal 11 Desember 2013 : www. Slideshare. Net/ defenisi perjanjian kerjasama)
Universitas Sumatera Utara
33
1. Hubungan hukum
2. Kekayaan
3. Pihak-pihak
4. Prestasi.34
Pasal 1234
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”
Pasal 1235
“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu termaksud
kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang
bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak
rumah yang baik, sampai pada saat menyerahkan”.
Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas
terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya
mengenai hal ini akan di tunjuk dalam bab-bab yang
bersangkutan”.
Pasal 1236
“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan
bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya
dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya,
34
Mariam Darus Bardrulzaman, Op. Cit, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
34
atau
telah
tidak
merawatnya
sepatutnya
guna
menyelamatkannya”.
Pasal 1237
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah
tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan
adalah atas tanggungannya”.
Pasal 1238
“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau
dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang
akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan”.
Bagian Ketiga
Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu
Pasal 1239
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat
sesuatu, apbila si berutangtidak memenuhi kewajibannya,
mendapatkan
penyelesaian
dalam
kewajiban
memberikan
penggantian biaya, ganti dan bunga”.
Universitas Sumatera Utara
35
Pasal 1240
“Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menunut akan
penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan
perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim
untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat
tadi di atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak
menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk
itu”.
Pasal 1241
“Apabila perikatan tidak dilaksankan, maka siberpiutang boleh
juga
dikuasakan
supaya
ia
sendirilah
mengusahakan
pelaksanaannya atas biaya si berutang”.
Pasal 1242
“Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka
pihak
yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan
perikatan, karena pelanggaran itu dan
karena itupun saja,
berwajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga”.
Bagian Keempat
Tentang Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan
Universitas Sumatera Utara
36
Pasal 1243
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
periktan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus
diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau di buat
dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”.
C. Subjek Dan Objek Perjanjian
Subjek perjanjian dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu
kesatu seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban
untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat
hak atas pelaksanaan kewajiban itu.35
Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk
dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa,
sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam
melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti pailit, peraturan tentang orang
perempuan berkawin menurut KUHPerdata (Pasal 108 dan Pasal 109) dan
sebagainya.
Sebagai ukuran, bahwa seorang adalah sudah dewasa, Hukum Adat tidak
mengenal suatu umur tertentu, melainkan pada umumnya memakai pengertian
“dapat hidup sendiri” atau “akil-balig”, dan biasanya orang-orang yang dianggap
35
Ibid. , hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
37
“akil-balig” ini, berumur 16 atau 18 tahun atau sudah kawin dan berdiam sendiri,
tidak bersama-sama dengan orang tuanya.
Bagi orang Indonesia asal ada suatu ordonansi, termuat dalam Staatsblad
1931-54, yang menetukan:
1. Kalau dalam peraturan undang-undang (wettelijke voorschriften) terpakai
perkataan “minderjarig” (belum dewasa), maka ini bagi orang-orang
Indonesia asli berarti “berumur kurang dari 21 tahun dan belum kawin.
2. Apabila perkawinan terjadi sebelum usia 21 tahun dan kemudian dipecahkan
sebelum usia itu juga, yang bersangkutan tetap dianggap sudah dewasa.
3. Perkawinan antara kanak-kanak (kinderhuwelijk) tidak masuk istilah
“perkawinan”.36
Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya
dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, ialah bahwa pada
umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap
yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan
orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan
perbuatan hukum yang sah. Dan juga mereka toh membikin suatu perjanjian
dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak
untuk minta pembatalan dari perjanjian itu. Dengan demikian persetujuan
semacam itu pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum
dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau
36
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : CV. Mandar Maju,
2011, hal. 13
Universitas Sumatera Utara
38
melaksanakan atau mau minta pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan.
Kontrak semacam ini dinamakan kontrak pincang (hinkend contract).
Menurut Dr. L. C. Hofmann dalam buku karangannya “het Nederlandsch
Verbintenissenrecht” jilid ke-1 cetakan ke-6 halaman 242, hanya satu kali undangundang menentukan pencabutan ini, yaitu dalam Pasal 432 ayat 2 BW yang
menentukan, apabila seorang yang berusia 20 tahun, dengan Penetapan
Pemerintah disamakan dengan orang dewasa, tetapi maka pencabutan ini tidak
berlaku bagi seorang ketiga, artinya: persetujuan yang diadakan antara orang
dewasa ini dan orang ketiga itu, tidak dapat diminta pembatalannya.37
Objek perjanjian adalah kebalikannya dari subjek. Kalau dari uraian diatas
kiranya dapat terang, bahwa subjek dalam suatu perjanjian anasir, yang bertindak,
yang actief, maka objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang
diperlukan oleh subjek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang
dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, objek dalam
perhubungan hukum perihal perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihakberwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (kreditur) mempunyai
hak.
Kalau perhubungan hukum perihal perjanjian ini mengenai suatu benda,
misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, gadai-menggadai,
pinjam-meminjam pemberian hadiah dan lain sebagainya, maka objek dari
berbagai perjanjian itu lebih terang terwujudnya, yaitu benda yang bersangkutan
itu. Contoh-contoh dari perjanjian yang objeknya tidak berupa suatu benda, adalah
37
Ibid, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
39
perjanjian-perburuhan pemeliharaan anak (verzorgingscontract) dari daerah
Minahasa, penanggungan (borgtocht), “dading” dari Pasal 1851 KUHPERDATA,
penyuruhan (lastgeving). Tetapi secara tidak langsung perjanjian-perjanjian ini
sedikit banyak juga mungkin sekali mengenai harta benda juga.
Seperti halnya seorang manusia harus memenuhi syarat-syarat untuk
menjadi subjek dari suatu perjanjian, maka suatu benda juga harus memenuhi
syarat untuk dapat menjadi objek dari suatu perjanjian. Sampai dimana sebidang
tanah dapat menjadi objek suatu perjanjian di daerah pedalaman tergantung pada
kuat atau kurang kuatnya kekuasaan desa terhadap tanah didalam lingkungannya
(beschikking strecht). Yang sama sekali tidak dapat menjadi objek suatu
perjanjian ialah tanah-tanah yang oleh desa diperuntukkan guna kepentingan
umum seperti jalan raya, tanah kuburan, tanah di sekitar mesjid, tanah di sekitar
Balai-desa untuk rapat-desa dan lain-lain sebagainya. Juga ada perbedaan, apabila
perjanjian diadakan antara orang-orang warga dari desa itu atau orang-orang
bukan warga.
Burgerlijk wetboek dalam Pasal 1332 menentukan, bahwa hanya benda
yang dalam perdagangan (in de handel) dapat menjadi objek suatu persetujuan,
dengan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut. Pasal ini
lazimnya ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa benda-benda yang dipergunakan
guna kepentingan umum, harus dianggap sebagai barang-barang “diluar
perdagangan” (buiten de handel) jadi yang tidak dapat menjadi objek suatu
persetujuan, dan sebagai contoh disebut barang-barang tak bergerak milik Negara
yang dimaksudkan dalam Pasal-pasal 521 dan 532 KUHPERDATA, yaitu jalan-
Universitas Sumatera Utara
40
jalan raya, pantai, sungai-sungai, pulau, pulau-pulau dalam sungai, pelabuhan dan
berbagai bangunan yang diperlukan untuk pertahanan Negara.
Pasal 1333 KUHPERDATA menyebutkan suatu syarat lagi bagi benda
agar dapat menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda itu harus tertentu, paling
sedikit tentang jenisnya. Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja
kemudian dapat ditentukan.
Menurut Pasal 1334 ayat 1 KUHPERDATA barang-barang yang seketika
belum ada (teekomstige zaken) dapat menjadi objek suatu perjanjian. Istilah
“belum ada” dapat berarti mutlak (absolut) seperti halnya orang menjual padinya
yang baru akan ditanam dalam tahun depan.
Ayat 2 dari Pasal 1334 KUHPERDATA melarang seorang membikin
suatu perjanjian tentang barang-barang yang akan masuk hak warisnya, kalau
seorang lain akan meninggal dunia, meskipun dengan izin orang yang akan
meninggalkan
barang-barang
warisan
itu.
Agaknya
kesusilaanlah
yang
mendorong Pembentuk undang-undang untuk mengadakan larangan ini. Larangan
ini merupakan suatu kekecualian dari penuntutan ayat 1, yang memperbolehkan
persetujuan tentang barang-barang yang “belum ada”. Burgerlijk Wetboek dalam
Pasal 503 mengenal pembagian benda menjadi benda bertubuh (lichamelijke
zaken) dan benda tak bertubuh (onlichamelijke zaken). Istilah benda tak bertubuh
ini baru terang, setelah orang membaca Pasal 503 KUHPerdata, yang
menyebutkan benda tak bertubuh yang tak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata,
yang
menyebutkan benda tak bertubuh yang bergerak. Dari Pasal-pasal ini
Universitas Sumatera Utara
41
ternyata, bahwa yang dinamakan benda tak bertumbuh itu ialah hak atas barang
bertubuh.38
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian
1. Hapusnya Perjanjian.
Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena:
a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu
tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian
(Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata).
c. Salah satu pihak meninggal dunia.
d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai
melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat
terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah
pihak menyatakan menghentikan perjanjian.
e. Karena putusan hakim.
f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya
objek perjanjian atau prestasi.
g. Dengan persetujuan para pihak.
Dengan demikian maka menurut penulis, pembedaan cara hapusnya
perikatan dengan perjanjian tidaklah terlalu penting karena cara
38
Ibid, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
42
berakhirnya perikatan yang tertulis dalam Pasal 1381 KUHPerdata
merupakan cara-cara yang ditunjuk oleh pembentuk undang-undang.39
2. Tentang hapusnya perikatan-perikatan dalam perjanjian
Buku III 3 dari KUHPerdata berkepala “Pemusnahan perjanjian”
dan pasal pertama yaitu Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara
pemusnahan perjanjian, yaitu:
Ke 1 : karena pembayaran;
Ke 2 : karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan;
Ke 3 : karena pembaharuan hutang;
Ke 4 : karena perjumpaan hutang dan kompensasi;
Ke 5 : karena percampuran hutang;
Ke 6 : karena pembebasan hutang;
Ke 7 : karena musnahnya barang yang terhutang;
Ke 8 : karena kebatalan atau pembatalan;
Ke 9 : karena berlakunya syarat-batal;
Ke 10 : karena kadaluwarsa (verjaring).
Pembayaran
Hal ini adalah yang paling penting, oleh karena mengenai betul-betul
pelaksanaan perjanjian. Maka hal pembayaran ini oleh KUHPerdata diatur dalam
tidak kurang dari 22 Pasal (Pasal-pasal 1382 s/d 1403).
Pasal-pasal 1382, 1383, dan 1384 menentukan siapa yang dapat
melakukan pembayaran secara sah, yaitu
39
Handri Raharjo, Op. cit, hal. 101
Universitas Sumatera Utara
43
1. Menurut Pasal 1382 :
a. si pihak-berwajib sendiri atau seorang yang menanggung
hutangnya (borg),
b. seorang lain yang melakukan pembayaran “atas nama” dan untuk
membebaskan “pihak –berwajib”.
2. Menurut Pasal 1383 :
Apabila kewajiban si berwajib berupa melakukan perbuatan tertentu,
pelaksanaanoleh orang lain hanya dapat dengan izin pihak berhak;
3. Menurut Pasal 1384 :
Apabila kewajiban si berwajib berupa menyerahkan suatu barang
kepada pihak-berhak, maka ada dua syarat untuk pembayaran, yaitu:
ke 1 pihak-berwajib harus sendiri mempunyai hak-milik atas barang
itu, ke 2 ia harus pada umumnya diperbolehkan oleh Hukum untuk
melakukan perbuatan-hukum secara sah.
Pasal-pasal 1385, 1386 dan 1387 KUHPerdata menyebutkan syarat-syarat
bagi pihak yang menerima pembayaran, yaitu menurut Pasal 1385 ayat 1.
Ke 1 pihak berdiri-sendiri,
Ke 2 seorang yang mendapat kuasa dari pihak-berhak,
Ke 3 seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-undang.
Pasal-pasal ini pun saya rasa, tidak ada halangan untuk diberlakukan
dalam Hukum Adat.
Begitu pula Pasal-pasal berikutnya dari KUHPerdata mengenai:
a. Objek pembayaran (Pasal-pasal 1389 s/d 1392),
Universitas Sumatera Utara
44
b. Tempat pelaksanaan perjanjian (Pasal 1393),
c. Pembuktian-pembayaran (Pasal-pasal 1394 s/d 1399),
d. Subrogasi atau penggantian pihak-berhak (Pasal-pasal 1400 s/d 1403).
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata dan dalam
pasal-pasal 809 s/d 812 Reglement Burgerlijke Rechtvordering (RV).
Pernyataan sedia membayar dari pihak-berwajib adalah salah satu usaha
untuk menghindarkan kesulitan, apabila pelaksanaan perjanjian dihalang-halangi
oleh pihak-berhak.
Pokok dari peraturan KUHPerdata tentang penawaran pembayaran ini
terletak pada Pasal 1404 ayat 2 KUHPerdata yang mengatakan, kalau pernyataan
sedia membayar ini telah di-ikuti dengan suatu penitipan barang secara yang
ditetapkan pula oleh undang-undang, maka bebaslah pihak berwajib dari
kewajibannya, dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang sah.
Begitu juga mengenai pembaharuan-hutang, perjumpaan-hutang dan
percampuran-hutang (pasal-pasal 1413 s/d 1437 KUHPerdata).
Pembebasan hutang
Perikatan-perikatan yang termaksud dalam suatu perjanjian berdasar pada
pokoknya atas suatu kesuka-relaan kedua belah pihak untuk mengadakan
perikatan-perikatan itu. Maka kalau suatu pihak-berhak kemudian dengan sukarela
berniat membebaskan pihak lain dari suatu perikatan, ini pada hakekatnya tidak
boleh dihalang-halangi.
Universitas Sumatera Utara
45
Hanya saja, oleh karena adalah luar biasa, kalau seorang pihak-berhak
tidak lagi menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian, maka adalah layak
penentuan dalam Pasal 1438 KUHPerdata, bahwa pembebasan hutang tidak boleh
dikira-kirakan saja (voorondersteld), melainkan harus dibuktikan.
Pembuktian ini tentunya dapat secara yang biasa menurut undang-undang
Pasal 1439 KUHPerdata menentukan tentang hal ini, bahwa pengembalian surat
tanda-hutang oleh pihak-berhak kepada pihak-berwajib, membuktikan, bahwa ada
pembebasan hutang, juga terhadap para kawan-debitur yang turut tanggungmenanggung.
Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPERDATA mengenai hal adanya
beberapa debitur, yang tanggung-menanggung atau hal adanya seorang
penanggung (borg). Kalau seorang penanggung membayar kepada
kreditur
dengan maksud untuk hanya dibebaskan dari penanggungan saja, maka ini tidak
diperbolehkan oleh Pasal 1443 KUHPerdata yang menentukan, bahwa kalau ini
terjadi, pembayaran itu dikurangkan dari jumlah hutang.
Pasal 1441 KUHPerdata menentukan, pengembalian barang yang
digadaikan kepada pemilik barang, tidak dapat menimbulkan pengiraan
(vermoeden), bahwa hutang yang diteguhkan dengan pemberian gadai (pand) itu,
dibebaskan.
Musnahnya barang yang terhutang
Ini diatur dalam Pasal-pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
46
Pasal 1444
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah tak lagi
dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka haruslah perikatannya, asal barang itu musnah
atau hilang diluar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”
Pasal 1445
“Jika barang yang terhutang, diluar salahnya si berhutang musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang jika ia mempunyai hak-hak
atau tuntutan-tuntutan ganti-rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan member
hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang menghitungkan
padanya, saya rasa Hukum Adat dapat menerima peraturan KUHPERDATA ini.”
Kebatalan atau pembatalan perjanjian
Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu
perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan
perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga.
Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan
cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang, misalnya suatu
penghibahan menurut KUHPerdata yang tidak dilakukan oleh akta-notaris 1682
KUHPerdata
Pembatalanlain adalah hak mutlak (relatif) yaitu hanya terjadi jika diminta
oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.
Universitas Sumatera Utara
47
Pembatalan tak mutlak ini dapat dibagi menjadi dua macam:
Ke-1
:
pembatalan
atas
kekuatan
sendiri
(nietig
serta
van
rechtswegenietig), maka para Hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya
dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal
1446 KUHPerdata )
Ke- 2 : pembatalan belaka oleh Hakim (vernitigbaar), yang putusannya
harus berbunyi: membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk
secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUHPerdata )
Perbedaan yang nyata diadakan oleh KUHPerdata antara dua macam
pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang terpakai dalam Pasal 1446 dan
Pasal 1449 KUHPerdata Pasal 1446 mengatakan, bahwa perjanjian yang
dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu tuntutan; dan tuntutan ini
dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu perlawanan (exceptie). Dalam
Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan disitu, hanya dapat
dibatalkan atas suatu gugatan (rechtsvordering).
Sedang Pasal 1450 KUHPerdata mengatakan, bahwa pembatalan
perjanjian, yang berdasar atas hal merugikan suatu pihak, tidak selalu
diperbolehkan, melainkan hanya dalam hal-hal yang ditentukan dan diatur dalam
peraturan khusus. Pasal-pasal lain dari KUHPerdata tentang pembatalan
perjanjian, yaitu Pasal-Pasal 1447, 1448, 1450 s/d 1456.
Daluwarsa atau lampau waktu (verjaring)
Burgerlijk wetboek mengenal dua macam daluwarsa selaku cara
melepaskan diri dari suatu perikatan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
48
Ke-1 lampau-waktu selama 30 tahun segala perikatan tentu yang disebutkan
dalam undang-undang.
Ke-2 lampau-waktu pendek dalam beberapa macam perhubungan-hukum tertentu
yang disebutkan dalam undang-undang.
Alasan
untuk
mengadakan
peraturan
semacam
ini
ialah
untuk
melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam suatu hubungan-hukum, dan juga
berhubung dengan hal, bahwa apabila selama tiga puluh tahun tidak ada persoalan
apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal
siapakah yang sebenarnya ada berhak atau berkewajiban, maka sukar sekali untuk
mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak
atau kewajiban-kewajiban itu dan yang dapat dipercaya ketepatannya. 40
40
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 190
Universitas Sumatera Utara
Download