BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian, Dan Azas-Azas Hukum Perjanjian Sesuai dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, pengertian perjanjian dapat didefinisikan sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.10 Bahwa dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Dalam hal ini dari suatu perjanjian lahir kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas suatu prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi dalam hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu terdapat dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas suatu prestasi tersebut (kreditor).11 Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut penulis adalah sebagai berikut: “Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan 10 Handri Raharjo, Hukum perjanjian di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2009, hal. 41 11 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 92 13 Universitas Sumatera Utara 14 di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.12” Pembedaan perjanjian secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: 1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. 2. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama.13 Dalam perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata. Dalam perjanjian dikenal adanya 3 unsur yang merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1339 KUHPerdata, yaitu: a. Unsur esensilia Unsur esensilia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. 12 13 Handri Raharjo, Op. Cit., hal. 42 Ibid., hal. 43. Universitas Sumatera Utara 15 b. Unsur naturalia Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensilianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur esensilia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. c. Unsur aksidentalia Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.14 Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu15: 1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) Suatu pokok persoalan tertentu; 4) Suatu sebab yang tidak terlarang. Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: a) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan 14 15 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 85. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 16 b) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya. Sebagai berikut adalah penjelasan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif yaitu : ad.a) Syarat Subyektif Seperti telah dikatakan di atas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian, digantungkan pada dua macam keadaan: (1) Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian. Salim H. S mengatakan : “kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang dengan atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai Universitas Sumatera Utara 17 itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui orang lain”.16 Kesepakatan bebas di antara para pihak di antara para pihak ini pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari asas konsensualitas yang telah penulis bahas dalam uraian Bab II di atas. Dalam uraian Bab ini akan dibahas masalah pelanggaran terhadap kesepakatan lisan yang diatur dalam ketentuan Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang lengkapnya berbunyi17: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksankan. Dalam perjanjian konsensuil, KUHPerdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut. Dengan lahirnya perikatan di antara para pihak yang bersepakat tersebut, KUHPerdata membebankan kewajiban kepada debitor dalam perikatan untuk memberikan penggantian berupa, rugi dan bunga atas ketidakpemenuhannya, menurut pasal-pasal berikut di bawah ini. 16 Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafika, 2004, hal. 23 17 Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 18 Pasal 1236 “Debitor wajib member ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaikbaiknya untuk menyelamatkannya.” Pasal 1239 Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitor tidak memnuhi kewajibannya. Pasal 1242 Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak mana pun yang berbuat bertentangan dengan perikatan itu, karena pelanggaran itu saja, diwajibkan untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga.18 (2) Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji. Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah di antara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat 18 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 94. Universitas Sumatera Utara 19 dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian-perjanjian adalah: (a) Anak yang belum dewasa. Pada dasarnya setiap orang, sejak dilahirkan, adalah subyek hukum, suatu persona standi in judicio, dengan pengertian bahwa setiap orang adalah pendukung hak dan kewajibannya sendiri. Walau demikian tidaklah berarti setiap orang yang telah dilahirkan dianggap mampu mengetahui segala akibat dari suatu perbuatan hukum, khususnya dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 330 Kitab KUHPerdata dinyatakan bahwa “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.”19 Apabila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan oarng tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, bagian keempat, bagian kelima, dan bagian keenam Bab ini”. 19 Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 20 Ketentuan Pasal 330 KUHPerdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa: 1. Seorang baru dikatakan dewasa jika ia: a. Telah berumur 21 tahun; atau b. Telah menikah; Hal kedua tersebut membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. Anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dalam rumusan Pasal 50 dinyatakan bahwa: 1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Universitas Sumatera Utara 21 Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, kecakapan bertindak orang pribadi dan kewenangannya untuk melakukan tindakan hukum ditentukan sebagai berikut: 1. Jika seseorang a. Telah berumur 18 tahun; atau b. Telah menikah; c. Seseorang yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa. 2. Seorang anak yang belum mencapai usia 18 tahun, dan belum menikah, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh: a. Orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama); b. Walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja). (b) Orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Ketentuan mengenai pengampuan dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan bahwa20: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. 20 Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 22 Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya” Selanjutnya ketentuan Pasal 436 KUHPerdata dinyatakan bahwa “segala permintaan akan pengampuan, harus dimajukan kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya orang yang dimintakan pengampuan berdiam.”21 ad.b) Syarat Obyektif Syarat obyektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam: 1. Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. Mengenai syarat ketiga ini, undang-undang menentukan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian. Selanjutnya, dikatakan bahwa, barang itu harus barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp. Bagaimana halnya apabila barang yang dijadikan objek perjanjian itu jumlahnya belum tentu, misalnya hasil panen padi suatu sawah di musim panen pada tahun mendatang. Menurut undang-undang hal ini tidak tidak menjadi halangan, asalkan jumlah barang itu kemudian ditentukan atau dihitung. Bahkan hasil panen ini merupakan barang yang baru akan ada kemudian, namun dapat dijadikan objek perjanjian dan ini adalah sah. Tentu saja dalam hal ini, sawah yang dimaksud sekurang-kurangnya sudah ditentukan letak dan luasnya serta saat panennya tiba. Jadi, suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan 21 Pasal 436 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 23 atau dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah.22 KUHPerdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut23: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, dalam pandangan KUHPerdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Selanjutnya dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata, juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. 2. Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur mengenai kewajiban adanya suatu sebab yang halal dalam setia perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa: 22 23 I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta : Kesaint Blanc, 2007, hal. 49 Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 24 “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.” KUHPerdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUHPerdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah: 1. Bukan tanpa sebab; 2. Bukan sebab yang palsu; 3. Bukan sebab yang terlarang. Oleh karena itu, maka selanjutnya dalam Pasal 1336 KUHPerdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu adalah sah.” Dengan membatasi sendiri, rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa24: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undangundang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Salim H. S menyatakan : syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut 24 Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Universitas Sumatera Utara 25 objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. 25 Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal) dalam Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUHPerdata tidak lain dan tidak bukan adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada di antara para pihak.26 Di dalam Hukum Perjanjian terdapat beberapa azas-azas hukum perjanjian yaitu, sebagai berikut: 1. Azas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi); 2. Azas konsensualisme (persesuaian kehendak); 3. Azas kepercayaan; 4. Azas kekuasaan mengikat; 5. Azas persamaan hukum; 6. Azas keseimbangan; 7. Azas kepastian hukum; 8. Azas moral; 25 Salim H. S. Op. Cit, hal. 25 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 161 26 Universitas Sumatera Utara 26 9. Azas kepatutan; 10. Azas kebiasaan.27 Ad. 1. Asas kebebasan berkontrak “Sepakat mereka yang mengikatkan diri” adalah azas esensial dari Hukum Perjanjian. Azas ini dinamakan juga azas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan adanya perjanjian. Dengan demikian kita melihat bahwa asas kebebasan ini tidak hanya milik KUHPerdata, akan tetapi bersifat universal. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Di dalam perkembangannya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari beberapa segi yaitu: - Dari segi kepentingan umum - Dari segi perjanjian baku (standard) - Dari segi perjanjian dengan pemerintah. 27 Mariam Darus Bardrulzaman, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Bandung : Alumni, 2001, hal. 108 Universitas Sumatera Utara 27 Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban umum dan kesusilaan. Istilah “semua” di dalamnya terkandung – asas partij autonomie; freedom of contract; beginsel van de contract vrijheid – memasang sepenuhnya menyerahkan kepada para pihak mengenai isi maupun bentuk perjanjian yang akan mereka buat, termasuk penuangan dalam bentuk kontrak standar.28 Ad. 2. Konsensualisme Apabila menyimak rumusan Pasal 1338 (1) BW yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah (garis bahwa oleh penulis) berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Di dalam Pasal 1320 BW terkandung asas yang esensial dari hukum perjanjian, yaitu asas “konsensualisme” yang menentukan “ada”-nya perjanjian (raison d’etre, het bestaanwaarde). Di dalam asas ini terkandung kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan (vertrouwen) di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Asas kepercayaan (vertrouwenleer) merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang tersimpul dari ketentuan Pasal 1320 BW angka 1 (tentang kesepakatan atau toestemming), yang menyatakan bahwa perjanjian itu lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang 28 Dawson, John P., et al. Contracts (Cases and Comment), The Foundation Press, Inc. , New York, 1982, hal. 261 Universitas Sumatera Utara 28 menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beritikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan.” Pada akhirnya pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 BW dianggap telah terpenuhi sehingga kontrak tersebut menjadi sah.29 Ad. 3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel) Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus saling dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diantara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Ad. 4. Asas kekuatan mengikat Kekuatan mengikat dari perjanjian yang muncul seiring dengan asas kebebasan berkontrak merupakan manifestasi pola hubungan manusia yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan di dalamnya. Menurut Eggens manusia terhormat akan memelihara janjinya. Sedang Grotius mencari dasar konsensus dalam ajaran Hukum Kodrat bahwa “janji itu mengikat” (Pacta Sunt Servanda), karena “kita harus memenuhi janji kita” (Promissorum implendorum obligatio). 30 Demikianlah seterusnya dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi 29 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta : Prenada Media Group, 2011, hal. 120 30 Meriam Darus Bardrulzaman, Op. Cit, hal. 114 Universitas Sumatera Utara 29 juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Ad. 5. Asas persamaan hukum Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dll. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Ad. 6. Asas keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan iktikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.31 Ad. 7. Asas kepastian hukum Asas ini menghendaki bahwa perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. 31 Ibid, hal. 114 Universitas Sumatera Utara 30 Ad. 8. Asas moral Asas ini menghendaki bahwa dalam perjanjian terdapat suatu perikatan yang wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra-prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya dan asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Ad. 9. Asas kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, Asas kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Dan asas kepatutan di sini harus dipertahankan, karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. Ad. 10. Asas kebiasaan Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo. 1347 KUHPerdata, yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti. Menurut Pasal 1339 KUHPerdata maka persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Universitas Sumatera Utara 31 Pasal 1347 KUHPerdata mengatakan pula hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan (bestendig gebruikelijk beding) dianggap secara diamdiam dimasukan di dalam perjanjian meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Dari kedua ketentuan ini dapatlah disimpulkan bahwa elemen-elemen dari perjanjian adalah: 1. Isi perjanjian itu sendiri 2. Kepatutan 3. Kebiasaan 4. Undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud oleh Pasal 1339 KUHPerdata adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur oleh Pasal 1347 KUHPerdata ialah kebiasaan setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu (bestending gebruikelijk beding).32 B. Pengertian Perjanjian Kerjasama Dan Pengaturan Hukum Tentang Perjanjian Kerjasama Pengertian perjanjian kerjasama adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih di mana masing-masing sepakat untuk melakukan sesuatu usaha bersama dengan menggunakan asset dan/atau hak usaha yang di miliki dan secara bersamasama menanggung risiko usaha tersebut (PSAK No. 39). Pemilik Asset adalah pihak yang memiliki asset atau hak penyelenggaraan usaha tertentu yang di pakai sebagai objek atau sarana kerjasama. Investor adalah pihak dana, baik seluruh atau sebagian, untuk memungkinkan Asset atau hak 32 Ibid, hal. 115 Universitas Sumatera Utara 32 usaha pemilik asset di berdayakan atau di manfaatkan dalam kerjasama. Investor dapat memiliki pengendalian atas asset dan operasi kerjasama, bisa pula tidak, tergantung dari bentuk kerjasama yang ada di dalam suatu perjanjian. Asset kerjasama adalah asset tetap yang di bangun atau yang di gunakan untuk menyelenggarakan kegiatan perjanjian kerjasama. Pengelola perjanjian kerjasama adalah pihak yang mengoperasikan asset. Pengelola perjanjian kerjasama mungkin memiliki asset, mungkin investor, mungkinjuga pihak lain yang di tunjuk. Masa konsensi adalah jangka waktu di mana investor dan pihak asset masih terikat dengan perjanjian bagi hasil atau bagi pendapatan atau bentuk pembayaranlain yang tercantum di dalam perjanjian kerjasama.33 Pengaturan hukum tentang perjanjian kerjasama diatur dalam buku III KUHPerdata yaitu: Pasal 1233 “Tiap-tiap perikatann di lahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang.” Buku III KUHPerdata tidak memberikan suatu rumus dari perikatan. Menurut ilmu pengetahuan hukum, dianut rumus bahwa perikatan adalah hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Dari rumus di atas kita lihat bahwa unsur-unsur perikatan ada 4 (empat) yaitu: 33 www. google. com , Perjanjian Kerjasama; Pusat Pengembangan Bahan Ajar UMB, diakses pada tanggal 11 Desember 2013 : www. Slideshare. Net/ defenisi perjanjian kerjasama) Universitas Sumatera Utara 33 1. Hubungan hukum 2. Kekayaan 3. Pihak-pihak 4. Prestasi.34 Pasal 1234 “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Pasal 1235 “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu termaksud kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat menyerahkan”. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan di tunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”. Pasal 1236 “Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, 34 Mariam Darus Bardrulzaman, Op. Cit, hal. 1 Universitas Sumatera Utara 34 atau telah tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”. Pasal 1237 “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah tanggungan si berpiutang. Jika si berpiutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya”. Pasal 1238 “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Bagian Ketiga Tentang perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu Pasal 1239 “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apbila si berutangtidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaian dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, ganti dan bunga”. Universitas Sumatera Utara 35 Pasal 1240 “Dalam pada itu berpiutang adalah berhak menunut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi di atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu”. Pasal 1241 “Apabila perikatan tidak dilaksankan, maka siberpiutang boleh juga dikuasakan supaya ia sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang”. Pasal 1242 “Jika perikatan itu bertujuan untuk tidak berbuat sesuatu, maka pihak yang manapun jika yang berbuat berlawanan dengan perikatan, karena pelanggaran itu dan karena itupun saja, berwajiblah ia akan penggantian biaya, rugi dan bunga”. Bagian Keempat Tentang Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan Universitas Sumatera Utara 36 Pasal 1243 “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu periktan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau di buat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. C. Subjek Dan Objek Perjanjian Subjek perjanjian dalam tiap-tiap perjanjian ada dua macam subjek, yaitu kesatu seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu dan kedua seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.35 Subjek yang berupa seorang manusia, harus memenuhi syarat umum untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat pikirannya dan tidak oleh peraturan hukum dilarang atau diperbatasi dalam melakukan perbuatan hukum yang sah, seperti pailit, peraturan tentang orang perempuan berkawin menurut KUHPerdata (Pasal 108 dan Pasal 109) dan sebagainya. Sebagai ukuran, bahwa seorang adalah sudah dewasa, Hukum Adat tidak mengenal suatu umur tertentu, melainkan pada umumnya memakai pengertian “dapat hidup sendiri” atau “akil-balig”, dan biasanya orang-orang yang dianggap 35 Ibid. , hal. 14. Universitas Sumatera Utara 37 “akil-balig” ini, berumur 16 atau 18 tahun atau sudah kawin dan berdiam sendiri, tidak bersama-sama dengan orang tuanya. Bagi orang Indonesia asal ada suatu ordonansi, termuat dalam Staatsblad 1931-54, yang menetukan: 1. Kalau dalam peraturan undang-undang (wettelijke voorschriften) terpakai perkataan “minderjarig” (belum dewasa), maka ini bagi orang-orang Indonesia asli berarti “berumur kurang dari 21 tahun dan belum kawin. 2. Apabila perkawinan terjadi sebelum usia 21 tahun dan kemudian dipecahkan sebelum usia itu juga, yang bersangkutan tetap dianggap sudah dewasa. 3. Perkawinan antara kanak-kanak (kinderhuwelijk) tidak masuk istilah “perkawinan”.36 Sebabnya orang yang belum dewasa dan orang yang tidak sehat pikirannya dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, ialah bahwa pada umumnya dapat dikhawatirkan, kalau-kalau orang itu terjerumus dalam perangkap yang disediakan oleh pihak lain dalam pergaulan hidup. Maka untuk kepentingan orang-orang itu sendirilah adanya anggapan ketidak sanggupan untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Dan juga mereka toh membikin suatu perjanjian dengan orang lain, hanya mereka sendiri dan bukannya pihak lawan diberikan hak untuk minta pembatalan dari perjanjian itu. Dengan demikian persetujuan semacam itu pelaksanaannya selalu tergantung dari apa maunya pihak yang belum dewasa atau pihak yang berada dalam pengawasan curatele yaitu mau 36 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : CV. Mandar Maju, 2011, hal. 13 Universitas Sumatera Utara 38 melaksanakan atau mau minta pembatalan dari persetujuan yang bersangkutan. Kontrak semacam ini dinamakan kontrak pincang (hinkend contract). Menurut Dr. L. C. Hofmann dalam buku karangannya “het Nederlandsch Verbintenissenrecht” jilid ke-1 cetakan ke-6 halaman 242, hanya satu kali undangundang menentukan pencabutan ini, yaitu dalam Pasal 432 ayat 2 BW yang menentukan, apabila seorang yang berusia 20 tahun, dengan Penetapan Pemerintah disamakan dengan orang dewasa, tetapi maka pencabutan ini tidak berlaku bagi seorang ketiga, artinya: persetujuan yang diadakan antara orang dewasa ini dan orang ketiga itu, tidak dapat diminta pembatalannya.37 Objek perjanjian adalah kebalikannya dari subjek. Kalau dari uraian diatas kiranya dapat terang, bahwa subjek dalam suatu perjanjian anasir, yang bertindak, yang actief, maka objek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang diperlukan oleh subjek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian. Oleh karena itu, objek dalam perhubungan hukum perihal perjanjian ialah: hal yang diwajibkan kepada pihakberwajib (debitur), dan hal, terhadap mana pihak-berhak (kreditur) mempunyai hak. Kalau perhubungan hukum perihal perjanjian ini mengenai suatu benda, misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, gadai-menggadai, pinjam-meminjam pemberian hadiah dan lain sebagainya, maka objek dari berbagai perjanjian itu lebih terang terwujudnya, yaitu benda yang bersangkutan itu. Contoh-contoh dari perjanjian yang objeknya tidak berupa suatu benda, adalah 37 Ibid, hal. 15 Universitas Sumatera Utara 39 perjanjian-perburuhan pemeliharaan anak (verzorgingscontract) dari daerah Minahasa, penanggungan (borgtocht), “dading” dari Pasal 1851 KUHPERDATA, penyuruhan (lastgeving). Tetapi secara tidak langsung perjanjian-perjanjian ini sedikit banyak juga mungkin sekali mengenai harta benda juga. Seperti halnya seorang manusia harus memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subjek dari suatu perjanjian, maka suatu benda juga harus memenuhi syarat untuk dapat menjadi objek dari suatu perjanjian. Sampai dimana sebidang tanah dapat menjadi objek suatu perjanjian di daerah pedalaman tergantung pada kuat atau kurang kuatnya kekuasaan desa terhadap tanah didalam lingkungannya (beschikking strecht). Yang sama sekali tidak dapat menjadi objek suatu perjanjian ialah tanah-tanah yang oleh desa diperuntukkan guna kepentingan umum seperti jalan raya, tanah kuburan, tanah di sekitar mesjid, tanah di sekitar Balai-desa untuk rapat-desa dan lain-lain sebagainya. Juga ada perbedaan, apabila perjanjian diadakan antara orang-orang warga dari desa itu atau orang-orang bukan warga. Burgerlijk wetboek dalam Pasal 1332 menentukan, bahwa hanya benda yang dalam perdagangan (in de handel) dapat menjadi objek suatu persetujuan, dengan tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan istilah tersebut. Pasal ini lazimnya ditafsirkan sedemikian rupa, bahwa benda-benda yang dipergunakan guna kepentingan umum, harus dianggap sebagai barang-barang “diluar perdagangan” (buiten de handel) jadi yang tidak dapat menjadi objek suatu persetujuan, dan sebagai contoh disebut barang-barang tak bergerak milik Negara yang dimaksudkan dalam Pasal-pasal 521 dan 532 KUHPERDATA, yaitu jalan- Universitas Sumatera Utara 40 jalan raya, pantai, sungai-sungai, pulau, pulau-pulau dalam sungai, pelabuhan dan berbagai bangunan yang diperlukan untuk pertahanan Negara. Pasal 1333 KUHPERDATA menyebutkan suatu syarat lagi bagi benda agar dapat menjadi objek suatu perjanjian, yaitu benda itu harus tertentu, paling sedikit tentang jenisnya. Jumlah benda itu tidak perlu ditentukan dahulu, asal saja kemudian dapat ditentukan. Menurut Pasal 1334 ayat 1 KUHPERDATA barang-barang yang seketika belum ada (teekomstige zaken) dapat menjadi objek suatu perjanjian. Istilah “belum ada” dapat berarti mutlak (absolut) seperti halnya orang menjual padinya yang baru akan ditanam dalam tahun depan. Ayat 2 dari Pasal 1334 KUHPERDATA melarang seorang membikin suatu perjanjian tentang barang-barang yang akan masuk hak warisnya, kalau seorang lain akan meninggal dunia, meskipun dengan izin orang yang akan meninggalkan barang-barang warisan itu. Agaknya kesusilaanlah yang mendorong Pembentuk undang-undang untuk mengadakan larangan ini. Larangan ini merupakan suatu kekecualian dari penuntutan ayat 1, yang memperbolehkan persetujuan tentang barang-barang yang “belum ada”. Burgerlijk Wetboek dalam Pasal 503 mengenal pembagian benda menjadi benda bertubuh (lichamelijke zaken) dan benda tak bertubuh (onlichamelijke zaken). Istilah benda tak bertubuh ini baru terang, setelah orang membaca Pasal 503 KUHPerdata, yang menyebutkan benda tak bertubuh yang tak bergerak dan Pasal 511 KUHPerdata, yang menyebutkan benda tak bertubuh yang bergerak. Dari Pasal-pasal ini Universitas Sumatera Utara 41 ternyata, bahwa yang dinamakan benda tak bertumbuh itu ialah hak atas barang bertubuh.38 D. Berakhirnya Suatu Perjanjian 1. Hapusnya Perjanjian. Menurut R. Setiawan, suatu perjanjian dapat hapus karena: a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu. b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUHPerdata). c. Salah satu pihak meninggal dunia. d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian. e. Karena putusan hakim. f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi. g. Dengan persetujuan para pihak. Dengan demikian maka menurut penulis, pembedaan cara hapusnya perikatan dengan perjanjian tidaklah terlalu penting karena cara 38 Ibid, hal. 19 Universitas Sumatera Utara 42 berakhirnya perikatan yang tertulis dalam Pasal 1381 KUHPerdata merupakan cara-cara yang ditunjuk oleh pembentuk undang-undang.39 2. Tentang hapusnya perikatan-perikatan dalam perjanjian Buku III 3 dari KUHPerdata berkepala “Pemusnahan perjanjian” dan pasal pertama yaitu Pasal 1381 menyebutkan sepuluh macam cara pemusnahan perjanjian, yaitu: Ke 1 : karena pembayaran; Ke 2 : karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan; Ke 3 : karena pembaharuan hutang; Ke 4 : karena perjumpaan hutang dan kompensasi; Ke 5 : karena percampuran hutang; Ke 6 : karena pembebasan hutang; Ke 7 : karena musnahnya barang yang terhutang; Ke 8 : karena kebatalan atau pembatalan; Ke 9 : karena berlakunya syarat-batal; Ke 10 : karena kadaluwarsa (verjaring). Pembayaran Hal ini adalah yang paling penting, oleh karena mengenai betul-betul pelaksanaan perjanjian. Maka hal pembayaran ini oleh KUHPerdata diatur dalam tidak kurang dari 22 Pasal (Pasal-pasal 1382 s/d 1403). Pasal-pasal 1382, 1383, dan 1384 menentukan siapa yang dapat melakukan pembayaran secara sah, yaitu 39 Handri Raharjo, Op. cit, hal. 101 Universitas Sumatera Utara 43 1. Menurut Pasal 1382 : a. si pihak-berwajib sendiri atau seorang yang menanggung hutangnya (borg), b. seorang lain yang melakukan pembayaran “atas nama” dan untuk membebaskan “pihak –berwajib”. 2. Menurut Pasal 1383 : Apabila kewajiban si berwajib berupa melakukan perbuatan tertentu, pelaksanaanoleh orang lain hanya dapat dengan izin pihak berhak; 3. Menurut Pasal 1384 : Apabila kewajiban si berwajib berupa menyerahkan suatu barang kepada pihak-berhak, maka ada dua syarat untuk pembayaran, yaitu: ke 1 pihak-berwajib harus sendiri mempunyai hak-milik atas barang itu, ke 2 ia harus pada umumnya diperbolehkan oleh Hukum untuk melakukan perbuatan-hukum secara sah. Pasal-pasal 1385, 1386 dan 1387 KUHPerdata menyebutkan syarat-syarat bagi pihak yang menerima pembayaran, yaitu menurut Pasal 1385 ayat 1. Ke 1 pihak berdiri-sendiri, Ke 2 seorang yang mendapat kuasa dari pihak-berhak, Ke 3 seorang yang dikuasakan oleh Hakim atau oleh undang-undang. Pasal-pasal ini pun saya rasa, tidak ada halangan untuk diberlakukan dalam Hukum Adat. Begitu pula Pasal-pasal berikutnya dari KUHPerdata mengenai: a. Objek pembayaran (Pasal-pasal 1389 s/d 1392), Universitas Sumatera Utara 44 b. Tempat pelaksanaan perjanjian (Pasal 1393), c. Pembuktian-pembayaran (Pasal-pasal 1394 s/d 1399), d. Subrogasi atau penggantian pihak-berhak (Pasal-pasal 1400 s/d 1403). Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan Hal ini diatur dalam pasal-pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata dan dalam pasal-pasal 809 s/d 812 Reglement Burgerlijke Rechtvordering (RV). Pernyataan sedia membayar dari pihak-berwajib adalah salah satu usaha untuk menghindarkan kesulitan, apabila pelaksanaan perjanjian dihalang-halangi oleh pihak-berhak. Pokok dari peraturan KUHPerdata tentang penawaran pembayaran ini terletak pada Pasal 1404 ayat 2 KUHPerdata yang mengatakan, kalau pernyataan sedia membayar ini telah di-ikuti dengan suatu penitipan barang secara yang ditetapkan pula oleh undang-undang, maka bebaslah pihak berwajib dari kewajibannya, dan dianggap seolah-olah telah terjadi suatu pembayaran yang sah. Begitu juga mengenai pembaharuan-hutang, perjumpaan-hutang dan percampuran-hutang (pasal-pasal 1413 s/d 1437 KUHPerdata). Pembebasan hutang Perikatan-perikatan yang termaksud dalam suatu perjanjian berdasar pada pokoknya atas suatu kesuka-relaan kedua belah pihak untuk mengadakan perikatan-perikatan itu. Maka kalau suatu pihak-berhak kemudian dengan sukarela berniat membebaskan pihak lain dari suatu perikatan, ini pada hakekatnya tidak boleh dihalang-halangi. Universitas Sumatera Utara 45 Hanya saja, oleh karena adalah luar biasa, kalau seorang pihak-berhak tidak lagi menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian, maka adalah layak penentuan dalam Pasal 1438 KUHPerdata, bahwa pembebasan hutang tidak boleh dikira-kirakan saja (voorondersteld), melainkan harus dibuktikan. Pembuktian ini tentunya dapat secara yang biasa menurut undang-undang Pasal 1439 KUHPerdata menentukan tentang hal ini, bahwa pengembalian surat tanda-hutang oleh pihak-berhak kepada pihak-berwajib, membuktikan, bahwa ada pembebasan hutang, juga terhadap para kawan-debitur yang turut tanggungmenanggung. Pasal 1440 dan Pasal 1442 KUHPERDATA mengenai hal adanya beberapa debitur, yang tanggung-menanggung atau hal adanya seorang penanggung (borg). Kalau seorang penanggung membayar kepada kreditur dengan maksud untuk hanya dibebaskan dari penanggungan saja, maka ini tidak diperbolehkan oleh Pasal 1443 KUHPerdata yang menentukan, bahwa kalau ini terjadi, pembayaran itu dikurangkan dari jumlah hutang. Pasal 1441 KUHPerdata menentukan, pengembalian barang yang digadaikan kepada pemilik barang, tidak dapat menimbulkan pengiraan (vermoeden), bahwa hutang yang diteguhkan dengan pemberian gadai (pand) itu, dibebaskan. Musnahnya barang yang terhutang Ini diatur dalam Pasal-pasal 1444 dan 1445 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 46 Pasal 1444 “Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka haruslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.” Pasal 1445 “Jika barang yang terhutang, diluar salahnya si berhutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berhutang jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti-rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan member hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang menghitungkan padanya, saya rasa Hukum Adat dapat menerima peraturan KUHPERDATA ini.” Kebatalan atau pembatalan perjanjian Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Batal mutlak adalah suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang, misalnya suatu penghibahan menurut KUHPerdata yang tidak dilakukan oleh akta-notaris 1682 KUHPerdata Pembatalanlain adalah hak mutlak (relatif) yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu. Universitas Sumatera Utara 47 Pembatalan tak mutlak ini dapat dibagi menjadi dua macam: Ke-1 : pembatalan atas kekuatan sendiri (nietig serta van rechtswegenietig), maka para Hakim diminta supaya menyatakan batal, misalnya dalam hal perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa (lihat pasal 1446 KUHPerdata ) Ke- 2 : pembatalan belaka oleh Hakim (vernitigbaar), yang putusannya harus berbunyi: membatalkan, misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan atau penipuan (lihat pasal 1449 KUHPerdata ) Perbedaan yang nyata diadakan oleh KUHPerdata antara dua macam pembatalan ini dapat dilihat dari kata-kata yang terpakai dalam Pasal 1446 dan Pasal 1449 KUHPerdata Pasal 1446 mengatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan di situ, dapat dinyatakan batal atas suatu tuntutan; dan tuntutan ini dapat dilakukan secara gugatan atau dalam suatu perlawanan (exceptie). Dalam Pasal 1449 dikatakan, bahwa perjanjian yang dimaksudkan disitu, hanya dapat dibatalkan atas suatu gugatan (rechtsvordering). Sedang Pasal 1450 KUHPerdata mengatakan, bahwa pembatalan perjanjian, yang berdasar atas hal merugikan suatu pihak, tidak selalu diperbolehkan, melainkan hanya dalam hal-hal yang ditentukan dan diatur dalam peraturan khusus. Pasal-pasal lain dari KUHPerdata tentang pembatalan perjanjian, yaitu Pasal-Pasal 1447, 1448, 1450 s/d 1456. Daluwarsa atau lampau waktu (verjaring) Burgerlijk wetboek mengenal dua macam daluwarsa selaku cara melepaskan diri dari suatu perikatan, yaitu: Universitas Sumatera Utara 48 Ke-1 lampau-waktu selama 30 tahun segala perikatan tentu yang disebutkan dalam undang-undang. Ke-2 lampau-waktu pendek dalam beberapa macam perhubungan-hukum tertentu yang disebutkan dalam undang-undang. Alasan untuk mengadakan peraturan semacam ini ialah untuk melenyapkan keadaan keragu-raguan dalam suatu hubungan-hukum, dan juga berhubung dengan hal, bahwa apabila selama tiga puluh tahun tidak ada persoalan apa-apa dan baru sesudah lampau waktu yang panjang itu dimajukan soal siapakah yang sebenarnya ada berhak atau berkewajiban, maka sukar sekali untuk mendapatkan bukti-bukti yang jitu guna menegakkan atau merobohkan hak-hak atau kewajiban-kewajiban itu dan yang dapat dipercaya ketepatannya. 40 40 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hal. 190 Universitas Sumatera Utara