6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri dari : ikan pelagis 126.500 ton/tahun, ikan demersal 110.000 ton/tahun, ikan karang 6.800 ton/tahun dan udang 20.000 ton/tahun. Wilayah pesisir Pantai Timur Sumatera Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Serdang Bedagai. Luas wilayah kecamatan pesisir di bagian timur Sumatera Utara adalah 43.133,44 km2 yang terdiri dari 35 kecamatan pesisir dengan jumlah desa sebanyak 436 desa. Di Pantai Timur Sumatera Utara hanya terdapat 6 (enam) pulau-pulau kecil (Hamzah, dkk., 2016). Perairan Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Selat Malaka. Perairan Selat Malaka dikenal cukup hangat dan iklim disekitar Selat Malaka adalah iklim tropis yang dipengaruhi dua angin musim. Kondisi iklim dan suhu air akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan bagi nelayan sekitar Selat Malaka. Kandungan mineral dan potensi ikan sangat besar di perairan Selat Malaka (Saeri, 2013). Wilayah tersebut sangat penting bagi lalu lintas berbagai komoditas, termasuk komoditas perikanan dan pintu gerbang introduksi alat tangkap dari negara tetangga Luas perairan Selat Malaka teritorial Indonesia diperkirakan sekitar 47.600 km2, ditambah dengan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 100.000 km2 (Wedjatmiko 2010). Universitas Sumatera Utara 7 Sumberdaya Ikan Selar Kuning Deskripsi dan Morfologi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) memiliki nilai gizi yang tinggi dan merupakan salah satu bahan pangan yang perlu dijaga dan dilestarikan untuk menunjang kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat, maka perlu dilakukan pengelolaan yang baik (Sudrajat, 2006). Ikan selar kuning memiliki bentuk badan lonjong, pipih dengan sirip punggung pertama berjari-jari keras berjumlah delapan buah, sedangkan sirip punggung kedua berjari-jari keras satu buah dan berjari-jari lemah 15 buah. Sirip duburnya terdiri dari dua jari-jari keras yang terpisah dan satu jari-jari keras yang bersambung dengan 20 jari-jari lemah. Ikan ini memiliki tapisan insang pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk membusur, memiliki 25-34 sisik duri (scutes). Bagian atas tubuh ikan selar kuning memiliki warna hijau kebiruan, sedangkan bagian bawahnya putih perak. Terdapat ban warna kuning keemasan membujur mulai dari mata sampai sirip ekor (Tiennansari, 2000). Bentuk morfologi ikan selar kuning dapat dilihat pada Gambar 2. D VIII, I;15 C,15 P, 10 V I; 9 A II, I; 20 Gambar 2. Morfologi Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) (Sudrajat, 2006). Universitas Sumatera Utara 8 Ikan Selar adalah salah satu jenis ikan pelagis kecil (ikan permukaan) yang hidup pada laut dalam kawasan tertentu. Ikan ini banyak tertangkap di perairan pantai serta hidup berkelompok sampai kedalaman 80 m (Hidayat, 2005). Musim penangkapan ikan selar kuning terjadi sepanjang tahun sehingga keberadaan ikan selar kuning hampir selalu ada setiap harinya (Sharfina, dkk., 2014). Penyebaran Ikan selar (Selaroides sp) merupakan salah satu sumberdaya perikanan pelagis kecil yang potensial di perairan teritorial Indonesia. Sumberdaya tersebut tersebar pada delapan daerah penangkapan, yaitu Selat Malaka , Laut Jawa, Selat Sunda, Samudera Hindia, Selat Makasar, Laut Pasifik, Teluk Tomini, Laut Banda, dan Laut Arafura (Dimara, dkk., 2015). Berdasarkan pola penyebarannya secara ekologis ikan selar biasanya hidup di daerah tropis dimana penyebarannya dipengaruhi oleh faktor-faktor daerah atau lingkungan dimana ikan itu berada, misalnya : suhu, salinitas dan pH. Ikan selar yang tidak beradaptasi dengan kondisi habitat tersebut akan mencari habitat baru yang lebih cocok sebagai tempat hidupnya. Pertumbuhan ikan selar tidak stabil (berbeda menurut waktu), hal ini dipengaruhi oleh tersedianya organisme makanan ikan selar yang berubah karena musim dan iklim (Tiennansari, 2000). Suhu Permukaan Laut Suhu suatu perairan merupakan salah satu parameter yang secara langsung mempengaruhi kehidupan organisme laut. Perubahan suhu akan mempengaruhi metabolisme, reproduksi dan distribusi ikan di laut (Nybakken, 1988). Suhu air Universitas Sumatera Utara 9 laut mengalami variasi dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi alam yang mempengaruhi perairan tersebut. Perubahan tersebut terjadi secara harian, musiman, tahunan maupun jangka panjang, terutama pada lapisan permukaan. Informasi mengenai variabilitas spasial SPL dalam bidang perikanan, memiliki peran penting sebagai sarana untuk pendugaan dan penentuan lokasi upwelling, front ataupun eddies current. Ketiga lokasi tersebut erat kaitannya dengan wilayah potensi penyebaran ikan (Hamuna, dkk., 2015). Secara umum suhu permukaan laut menurut kedalamannya dapat dibagi menjadi tiga lapisan (Nontji, 1993), yaitu : 1. Lapisan permukaan laut atau lapisan pencampuran (mix layer), yaitu lapisan yang mempunyai temperatur homogen di setiap bagian lapisan tersebut, dimana memiliki gradien temperatur yang tidak lebih dari 0,03°C/m. Suhu air di lapisan ini dipengaruhi oleh kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan intensitas radiasi matahari. 2. Lapisan termoklin, terdapat pada kedalaman 100-200 meter dengan suhu yang lebih rendah daripada suhu dilapisan homogen, memiliki gradien temperature lebih dari 0,1°C yang akan mengakibatkan perubahan densitas sebesar 0,00005-0,000035 g/cm3. Perubahan densitas yang besar membentuk lapisan termoklin, yaitu suatu lapisan yang sangat stabil dan sulit ditembus molekul air pada lapisan homogen. Selain itu lapisan ini berperan sebagai pembatas terhadap penyebaran menegak sifat-sifat fisika dari lapisan permukaan dan lapisan dibawahnya. 3. Lapisan dalam (deep layer) dengan kedalaman 1000 meter dikenal dengan lapisan dingin yaitu merupakan lapisan dengan suhu yang rendah biasanya Universitas Sumatera Utara 10 kurang dari 5°C, pada lapisan ini suhu semakin menurun dengan meningkatnya ledalaman dengan perubahan suhu yang sangat kecil. Klorofil-a dan Produktivitas Primer Klorofil-a merupakan pigmen dari fitoplankton yang dapat digunakan sebagai parameter produktivitas perairan. Konsentrasi klorofil-a diatas 0.2 mg/l menunjukkan kehadiran kehidupan fitoplankton yang menandakan kemampuan mempertahankan kelangsungan perkembangan perikanan komersial. Adanya pergantian musim, yaitu saat Muson Tenggara (Juli – Oktober) konsentrasi Klorofil-a tinggi di wilayah selatan Jawa hingga perairan Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan Timor, dan Selat Madura. Sedangkan pada Muson Barat Laut konsentrasi klorofil-a tinggi di wilayah Selat Malaka, Kalimantan Bagian Timur, dan Selat Makassar (Semedi dan Safitri, 2015). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Kenyataan bahwa perairan yang memiliki karakteristik massa air (kondisi oseanografis) yang berbeda cenderung memiliki parameter biologi yang berbeda pula, menguatkan dugaan bahwa klorofil-a dan ikan pelagis (parameter biologi) terkait dengan parameter fisika-kimia perairan (Hatta, 2014). Umumnya sebaran konsentrasi fitoplankton tinggi di perairan pantai sebagai akibat dari tingginya suplai nutrien yang berasal dari limpasan air sungai, dan sebaliknya cenderung rendah di daerah lepas pantai. Meskipun demikian pada beberapa tempat masih ditemukan konsentrasi fitoplankton yang cukup tinggi, meskipun jauh dari daratan. Keadaan tersebut disebabkan oleh adanya proses Universitas Sumatera Utara 11 sirkulasi massa air yang memungkinkan terangkutnya sejumlah nutrien dari tempat lain, seperti yang terjadi pada daerah upwelling. Parameter lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan kandungan klorofil-a antara lain adalah intensitas cahaya, suhu, salinitas, arus, oksigen terlarut dan nutrien (terutama nitrat, fosfat dan silikat). Perbedaan parameter fisika-kimia tersebut secara langsung merupakan penyebab bervariasinya produktivitas primer di beberapa tempat di laut (Aryawati dan Thoha, 2011). Penginderaan Jauh Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) sebagai teknologi yang dapat memperoleh informasi tentang obyek tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut, dapat diandalkan dalam menyediakan data secara berkesinambungan dan keunggulan lainnya. Kegunaan teknologi penginderaan jauh bermacam- macam karena bersifat multi-guna atau multi-disiplin. Salah satu kegunaannya dapat diaplikasikan dalam bidang kelautan (Salim, dkk., 2014). Penginderaan jauh (inderaja) merupakan perkembangan informasi dan teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mengamati dinamika SPL dan konsentrasi klorofil-a. Salah satu satelit inderaja yang dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi SPL dan konsentrasi klorofil-a adalah satelit Aqua Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Aqua MODIS). Citra satelit yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Aqua MODIS. Data citra satelit MODIS ini digunakan untuk mengetahui SPL dan konsentrasi klorofil-a di perairan ketika musim Barat dan musim Timur. Sistem informasi geografis (SIG) Universitas Sumatera Utara 12 digunakan untuk menentukan zona potensi penangkapan ikan pelagis kecil (Kurniawati, dkk., 2015). Sistem penginderaan jauh memiliki empat komponen penting; (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, (4) sensor. Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga yaitu matahari yang merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik alami yang digunakan pada teknik pengambilan data obyek dalam penginderaan jauh. Tenaga ini mengenai obyek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor. Penginderaan jauh dengan memanfaatkan tenaga alamiah disebut penginderaan jauh sistem pasif. Sedangkan sumber tenaga buatan digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif (Sutanto, 1994). Sistem penginderaan jauh dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Sistem Penginderaan Jauh (Susanto, 1994) Pendeteksian SPL dan Klorofil-a Analisis daerah potensi penangkapan ikan merupakan hasil dari sebaran suhu permukaan laut dari citra MODIS yang di integrasikan dengan data Universitas Sumatera Utara 13 klorofil-a citra MODIS. Dengan mengetahui distribusi suhu permukaan laut suatu wilayah perairan, akan dapat diamati pola serta fenomena upwelling/front, untuk kemudian dapat diestimasi daerah potensi penangkapan ikan. Hubungan faktor tersebut sangat jelas karena suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan habitat suatu ikan. Umumnya setiap spesies ikan mempunyai kisaran suhu yang sesuai sebagai lingkungannya untuk makan, memijah dan aktivitas lainnya. Oleh karena itu suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk pengkajian daerah potensi penangkapan ikan (Adnan, 2010). Satelit Aqua dan Terra merupakan satelit lingkungan dan cuaca yang salah satu penggunaannya untuk memperoeh informasi kelautan seperti suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a. suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a merupakan faktor penting untuk penentuan dan penilaian suatu wilayah potensi ikan di samping faktor lain. Kontur suhu yang memperlihatkan gradien suhu rapat dibandingkan sekitarnya dan memiliki konsentrasi klorofil-a yang tinggi diduga sebagai wilayah potensi ikan. Satelit Aqua dan Terra membawa sensor MODIS (ModerateResolution Imaging Spectroradiometer) yang mempunyai 36 kanal atau band spektral dengan kanal 1-19 dan 26 berada pada kisaran panjang gelombang visible dan infra merah dekat, sedangkan kanal-kanal selebihnya berada pada kisaran geombang thermal. Selain itu juga memiliki resolusi spasial yang berbeda, yaitu dua kanal ada pada resolusi spasial 250 m (kanal 1-2), lima kanal ada pada resolusi 500 m (kanal 3-7) dan sisanya 29 kanal pada 1000 m (kanal 8-36) (Sutanto, 1994). Universitas Sumatera Utara 14 Pembagian Musim Menurut (Nontji, 1987) berdasarkan arah utama angin yang bertiup pada suatu daerah, maka dikenal istilah musim barat dan msim timur. Berhubungan dengan musim penangkapan di Indonesia dikenal adanya empat musim yang sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan, yaitu musim barat, musim timur, musim peralihan awal tahun, dan musim peralihan akhir tahun, kedua musim peralihan tersebut sering disebut musim pancaroba, ke empat musim tersebut berputar silih berganti secara periodik diatas wilayah Indonesia. Periode Maret-Mei dikenal sebagai musim Peralihan I atau Muson pancaroba awal tahun, sedangkan periode September–November disebut musim peralihan II atau musim pancaroba akhir tahun. Pada musim-musim Peralihan, matahari bergerak melintasi khatulistiwa, sehingga angin menjadi lemah dan arahnya tidak menentu (Nasution, dkk., 2014). Universitas Sumatera Utara