tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan

advertisement
“TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING
YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH
PENGELOLAAN PERIKANAN INDONESIA”
(Skripsi)
Oleh
BELARDO PRASETYA MEGA JAYA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016
ABSTRACT
THE LAW ENFORCEMENT TOWARDS FOREIGN VESSELS
WHICH DID ILLEGAL FISHING IN INDONESIA'S FISHERIES
MANAGEMENT AREAS
By
Belardo Prasetya Mega Jaya1
Many illegal fishing practices that occurred in Indonesia, make the government
taking firm action to enforce the law. However, it was a controversial act.
Therefore, the aims of the research are : (1) to examine and to analyze whether the
enforcement of foreign vessels which did illegal fishing in Indonesia's Fisheries
Management Areas is in appropriate with the international law and the national
law; (2) to explain how the procedure of law enforcement. This research used
normative legal research. The result shows that Indonesia has enforced the law by
burning and/or sinking every foreign vessel which did illegal fishing in
Indonesian sea. That action was according to Article 2 United Nations Convention
on the Law of The Sea 1982 which regulate that every coastal state has
sovereignty to enforce the law and determine the national regulation in its national
sea area. Therefore, Indonesia has a sovereignty to determine the national
regulation, that is The law Number 45 year 2009 concerning Fishery. According
to that regulation, Indonesia could do the special action by burning and/or sinking
the foreign vessels based on the preliminary evidence. However, it act was
contoversial and contradict act with criminal justice system. Then, on its
development, the actions of burning and/or sinking of foreign vessels was
according to litigation and verdict that has legal binding inline with criminal
justice system. Whereas the law enforcement in Indonesian Exclusive Economic
Zone was according to Article 73 UNCLOS 1982 which would be punished by
administrative sanctions and should pay a reasonable bond afterward the vessel
and its crew would be deported to their country.
Key Words : Law Enforcement, Illegal Fishing, Indonesian Sea, Indonesia's
Fisheries Management Areas
1
Student of International Law, University of Lampung.
ABSTRAK
TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN
PERIKANAN INDONESIA
Oleh
Belardo Prasetya Mega Jaya1
Banyaknya Praktik illegal fishing yang terjadi di Indonesia, membuat Pemerintah
mengambil tindakan yang tegas dalam menegakkan hukumnya. Namun tindakan
yang diambil di Indonesia adalah tindakan kontroversial. Oleh karena itu
penelitian ini bertujuan: (1) Untuk menguji dan menganalisis apakah tindakan
penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum
nasional; (2) Untuk Menjelaskan bagaimana prosedur penegakan hukumnya.
Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menegakkan hukumnya dengan
membakar dan/atau menenggelamkan setiap kapal asing yang melakukan illegal
fishing di wilayah perairan Indonesia. Tindakan tersebut didasarkan pada Pasal 2
UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa setiap negara pantai mempunyai
kedaulatan di wilayah Perairan Indonesia. Maka berdasarkan ketentuan tersebut,
Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan peraturan nasionalnya, yaitu
Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, yang menyatakan
bahwa Indonesia dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Namun tindakan tersebut adalah tindakan yang
kontroversial serta bertentangan dengan sistem peradilan pidana Indonesia. Maka
pada perkembangannya, tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal
berbendara asing dilakukan sesuai dengan sistem peradilan pidana, yaitu
berdasarkan proses peradilan terlebih dahulu dan dilakukan berdasarkan putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penegakan hukum di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia dilakukan berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982,
yaitu akan dikenakan sanksi administrasi dan harus membayar uang jaminan yang
layak untuk kemudian awak kapal beserta kapalnya akan dideportasi ke negara
asalnya.
Kata Kunci : Penegakan Hukum, Illegal Fishing, Perairan Indonesia, Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia
1
Mahasiswa Hukum Internasional, Universitas Lampung.
“TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG
MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN
PERIKANAN INDONESIA”
Oleh
BELARDO PRASETYA MEGA JAYA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 30
September 1994, sebagai anak kedua dari empat bersaudara,
dari Bapak H. Arizon Mega Jaya, S.H., M.Ba. dan Ibu Hj. Dra.
Dermawati.
Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 01 Perumnas Way
Halim, Bandar Lampung pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di
SMP Al-Azhar 3 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2009 dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 5 Bandar Lampung, lulus pada tahun
2012. Selama di sekolah, Penulis aktif dalam kegiatan Ekstrakulikuler di English
Club, bahasa Jepang, dan beladiri karate. Di English Club, Penulis aktif di bidang
story telling dan Scrabble dan meraih prestasi di berbagai Kompetisi di Lampung.
Selain itu Penulis meraih prestasi di berbagai pertandingan Karate Se-Provinsi
Lampung maupun Nasional.
Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada
tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif di organisasi internal
maupun eksternal kampus. Di internal kampus, Penulis aktif di UKM-F
PERSIKUSI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Untuk Seni) dan menjabat sebagai
Sekretaris Bidang pengkaderan periode 2013-2014, dan Ketua Bidang
pengkaderan periode 2014-2015. Penulis juga aktif di Association of International
Law Students (Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional) dan menjabat sebagai
Ketua Umum periode 2015-2016. Selain itu, Penulis aktif dalam pembuatan
Rancangan peraturan daerah dan Naskah Akademik. Di eksternal kampus, Penulis
aktif di UKM Karate, dan aktif sebagai kader di organisasi Himpunan Mahasiswa
Islam (HmI) Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila dan menjabat
sebagai Department Pelatihan Profesi KPP (Kewirausahaan dan Pengembangan
Profesi) untuk periode 2015-2016. Penulis juga melakukan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di desa Cempaka Jaya Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang
Bawang pada tahun 2015.
Motto
“Par imparem non habet imperium ( suatu Negara
berdaulat tidak dapat Menjalankan
kedaulatanNYA terhadap Negara
berdaulat lain )”
(Asas Hukum Internasional)
“man jaddah Wajadah, selama kita bersungguhsungguh, maka kita akan memetik
buah yang manis”
(B.J Habibie)
“FA inna ma’al usri yusro ( KARENA Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan )”
(Q.S 94 : 5)
“IF YOU WANNA BE SUCCESS, JUST MANAGE
YOUR TIME EFFECTIVELY”
(Belardo P. Mega Jaya)
“KEBERHASILAN ADALAH KEMAMPUAN UNTUK MELEWATI
DAN MENGATASI KEGAGALAN dan cobaan dari
ALLAH SWT tanpa kehilangan semangat”
(Belardo P. Mega Jaya)
PERSEMBAHAN
Bissmilahirrahmannirrahim
Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, Penulis
mempersembahkan karya ini kepada:
Kedua orang tuaku yang senantiasa memberikan limpahan cinta
kasih, nasihat, dukungan dan doa yang selalu menjadi kekuatan bagi
Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Kakak dan Adik-adikku
tersayang yang senantiasa memberikan limpahan kasih sayang,
dukungan, serta mendoakan Penulis.
dan Almamaterku tercinta… Universitas Lampung.
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang
Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia”
adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas
Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
2.
Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Internasional
3.
Bapak Naek Siregar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Utama atas
kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
4.
Bapak Ahmad Syofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua atas
kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5.
Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.Hum., selaku Pembahas Utama atas
kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6.
Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembahas serta Penguji Kedua atas
kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan
saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
7.
Kedua orang tua, Bapak H. Arizon Mega Jaya S.H., M.Ba. dan Ibu Hj. Dra.
Dermawati yang Penulis cintai, dan kakak, Aristama Mega Jaya S.H serta
adik-adik, Cakra Rakasiwi Mega Jaya dan Dila Anggita yang tak pernah
berhenti untuk selalu memberikan do’a dan dukungan kepada Penulis;
8.
Ibu DR. Nunung Rodliyah, DRA., M.A., selaku Pembimbing Akademik,
yang telah membimbing Penulis selama kuliah;
9.
Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum
Internasional (Ibu Rehulina Tarigan, S.H., M.H., Ibu Widya Krulinasari, S.H.,
M.H., Ibu Siti Azizah S.H., M.H., Maya S.H., M.H., dan lain-lain), atas
bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini;
10. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan
dan Alumni, Pak Rusmiyaldi, S.H. serta Mba Lusi atas bimbingan dan saran
kepada penulis selama berorganisasi di Fakultas Hukum.
11. Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo dan Bapak Supendi yang selalu
menyemangati dan membantu dalam segala urusan administrasi.
12. Jajaran Pengurus Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional Tahun 20142015 dan 2015-2016 (Benny Prawira, S.H., Kurniawan Manullang, Very
Susan, Anisa, Tan Jessica, Shinta Wahyu P.S, El Renova Everyday S., Farid
Al Rianto) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman
yang luar biasa yang kalian berikan;
13. Presidium Persikusi FH UNILA Periode 2014-2015 (Afif Ishar, Arief
Triwibowo, Bayu Nusantara, Subarkah Surya, Rizki, dan lain-lain) atas rasa
kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang
kalian berikan;
14. Ketua Umum HIMA Pidana, HIMA Perdata, HIMA HTN, HIMA HAN,
beserta jajarannya, atas kerjasamanya selama menjalankan Himpunan
Mahasiswa di FH UNILA;
15. Teman-teman FH angkatan tahun 2012 (Redo Noviansyah, Lovia, Shabrina,
Queen, Ajeng, Ari Kopong, Rama, Rachmad, Agus, Aria Canggih, Tia,
Arman dan lain-lain) untuk cinta kasih, tawa, dukungan dan kebersamaannya
selama ini;
16. Teman-teman KKN (Bram Saputra, Yuda Saputra, Rahma Febria Pramissella,
Grihda Lorensa, Hera Julia Garamina, Emilia Kusuma Anjani, Meta Fitriani,
Citra, Yoanita, Dita Rahmayanti, Renda) atas pengalaman yang luar biasa
yang kalian berikan. Akan selalu mengingat hari dimana kita bersama;
17. Presidium HmI Komisariat Hukum Unila periode 2015-2016 (Suma Indra,
Alghafiqi, Aditya, James, Bonifa, Danny, Dimas, Iqbal, Kujang, Nandha,
Risky Udin, Yudha Agung, Ragiel, Yudha Prawira, Ragiel, Rb Pratama, Ryo
Novri, Dedy Ernadi, Dedy Sitepu, P.Dharma, Putri Utami, Julia Silviana,
Silvia, Ratna Sari, Sari Tirta, Ika Nursanti, dan lain-lain); yang telah
memberikan pembelajaran dan pengalaman yang baik;
18. Keluarga besar HmI Komisariat Hukum Unila, “Samudera Byzantium”, “Anti
Stagnasi”, “Victoria Bonefide”, dan lain-lain untuk kebersamaan, pengalaman
dan kekeluargaan yang sangat luar biasa;
19. Untuk sahabat-sahabat di Karate “Friends More Then Family” (Ferdi Pratama
S.Kom, Utari S.Kom, Yulinda Amd, Gitty Ayu Amd. Keb, Breri Harisandro
S.P, Suroyo S.Pd, Lyza S.Kom, Kabir S.Ked, Imel S.Kom, Praka Sunarto,
Denny S.Kom, Resty Anggarini Amd. Keb, Sarizka S.pd., Harun S.E, Resky
Amd, Angga S.H, Eko, Devi Indriani, Nisa Amd.G.z, Eko Anjelo, Sarah
Mega, Dea, Citra, Celi, dan lain-lain) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan,
dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan;
20. Untuk sahabat-sahabat rumah “old friends” (Agi Utama, Hamid, Yan Ardi,
Andi Kupi, Aal, Wendi, dan lain-lain) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan,
dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan;
21. Untuk teman-teman di SMA dan di LIA, atas rasa kekeluargaan,
kebersamaan, dan dukungan yang luar biasa yang kalian berikan;
22. Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu,
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 10 April 2016
Penulis
Belardo Prasetya Mega Jaya
DAFTAR ISI
Abstrak .................................................................................................................. i
Halaman Judul....................................................................................................... iii
Halaman Persetujuan ............................................................................................. iv
Halaman Pengesahan ............................................................................................ v
Riwayat Hidup ...................................................................................................... vi
Motto ................................................................................................................... viii
Persembahan ......................................................................................................... ix
Sanwacana ............................................................................................................. x
Daftar Isi..............................................................................................................xiv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 8
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan .............................................................. 8
1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 9
1.5. Sistematika Penulisan ...........................................................................10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Istilah ................................................................................13
2.1.1. Illegal Fishing ...........................................................................13
2.1.2. Penegakan Hukum ....................................................................15
2.1.3. Pengelolaan Perikanan .............................................................17
2.1.4. Wilayah Pengelolaan Perikanan ...............................................18
2.2. Hukum Laut Internasional .....................................................................20
2.2.1. Pengertian & Perkembangan Hukum Laut Internasional .........20
2.2.2. Sumber Hukum Laut Internasional ...........................................24
2.2.3. Subjek Hukum Laut Internasional ...........................................25
2.3. Pembagian Wilayah Laut .....................................................................27
2.3.1. Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara .............................27
2.3.2. Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan)
Negara ......................................................................................30
2.3.3. Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan)
Negara .......................................................................................34
2.4. Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum
Illegal Fishing .......................................................................................36
2.5. Pengaturan Internasional yang Berkaitan dengan Pemberantasan
Illegal Fishing .......................................................................................40
2.5.1. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
(Konvensi Hukum Laut PBB 1982) .........................................40
2.5.2. Code of Conduct Responsible Fishiers (Tata Laksana
untuk Perikanan yang Bertanggungjawab) ..............................44
2.5.3. International Plan of Action to Prevent, Deter and
Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001
(IPOA-IUU Fishing) ................................................................48
2.6. Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan
dengan Pemberantasan Illegal Fishing ................................................50
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian .....................................................................................61
3.2. Pendekatan Masalah ..............................................................................62
3.3. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ......................63
3.3.1. Sumber Data ..............................................................................63
3.3.2. Metode Pengumpulan Data ........................................................65
3.3.3. Metode Pengolahan Data ..........................................................65
3.4. Analisis Data ........................................................................................65
IV. PEMBAHASAN
4.1. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan
Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut
Hukum Internasional dan Hukum Nasional ..........................................67
4.2. Prosedur Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan
Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia .............74
4.2.1. Aparat Penegak Hukum dalam Kasus Illegal Fishing ................74
4.2.2. Prosedur Penegakan Hukum di Wilayah Perairan
Indonesia.....................................................................................81
4.2.2. Prosedur Penegakan Hukum di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) ........................................................................94
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ..........................................................................................98
5.2. Saran ....................................................................................................100
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara terluas didunia dengan
total luas negara 5.193.250 km² (mencakup lautan dan daratan).1 Hal ini
menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia,
Kanada, Amerika Serikat, China, Brazil dan Australia. Indonesia merupakan
negara terluas peringkat ke-2 di Asia dan merupakan negara terluas di Asia
Tenggara. Luas lautan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan luas
daratannya, yaitu satu pertiga luas Indonesia adalah daratan dan dua pertiga luas
Indonesia adalah lautan.2
Perairan laut Indonesia memiliki panjang pantai sampai 95.181 km2, dengan luas
perairan 5,8 juta km2 yang terdiri ataslaut teritorial seluas 0,3 juta km, perairan
kepulauan3 dengan luas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Ekskulsif4
(ZEE) dengan luas 2,7 juta km2.5Luasnya lautan Indonesia sebenarnya membawa
keuntungan dan manfaat yang baik bagi bangsa Indonesia, karena salah satu
fungsi dari laut adalah sebagai sumber kekayaan alam. Sumber kekayaan alam
1
Supriadi & Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Palu: Sinar Grafika, 2011, hlm. 2.
Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan
Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ,
Jakarta, Tahun 2009, hlm. 2.
3
Perairan Kepulauan adalah perairan yang ditarik oleh garis pangkal kepulauan.
4
ZEE adalah laut yang berada di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang berada 200 mil
dari garis pangkal dan 188 mil dari garis batas luar laut teritorial.
5
Supriadi & Alimudin, Loc.Cit.
2
2
yang terkandung dilautan sangat berlimpah, sehingga bisa digunakan atau
dimanfaatkan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia. Kekayaan alam yang
berada dilaut tersebut meliputi daerah perairan dan daerah dasar laut serta tanah
dibawahnya. Kekayaan alam yang berada didaerah dasar laut dan tanah
dibawahnya meliputi kekayaan non hayati6, yaitu: bahan tambang seperti minyak
bumi, gas, dan bahan polimetalik lain. Sedangkan kekayaan alam yang berada
didaerah perairan meliputi kekayaan hayati7, yaitu: berbagai macam jenis ikan,
dari ikan yang berukuran kecil sampai ikan yang berukuran besar. Ikan
merupakan komoditas pangan yang sangat diminati oleh semua orang, bahkan di
seluruh dunia.
Potensi yang dimiliki Indonesia tersebut merupakan suatu peluang dan potensi
ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan perekonomian Indonesia, serta
sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Namun, di sisi lainpotensi atau
keadaan tersebut justru menyebabkan wilayah Indonesia sering terjadi illegal
fishing (penangkapan ikan secara illegal).8Ditambah lagi letak posisi silang
Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra
(Pasifik dan Hindia) menjadi penyebab wilayah Indonesia menjadi rawan terjadi
praktikillegal fishing. Adapun daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di
6
Kekayaan non hayati: Kekayaan alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui, artinya apabila
dieksploitasi secara terus-menerus akan habis.
7
Kekayaan hayati: Kekayaan alam yang sifatnya dapat diperbaharui, artinya apabila dieksploitasi
secara terus-menerus tidak akan habis. (dengan syarat dilakukan dengan cara yang benar, yang
tidak merusak lingkungan laut).
8
Berita online, Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan, dapat diakses di http://
news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-transnasionalyang-dilupakan.
3
laut Arafuru, laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), selat
Makasar, dan Barat Sumatera (Samudra Hindia).9
Sering terjadinya praktik illegal fishing sangat merugikan Indonesia, baik di
bidang ekonomi, ekologi, dan sosial. Data Badan Pangan Dunia atau FAO10 (Food
and Agriculture Organization) mencatat, kerugian Indonesia per tahun akibat
illegal fishingmencapai Rp. 30 triliun.11 Jumlah kerugian tersebut merupakan
jumlah yang tidak sedikit. Selain itu, praktik illegal fishing juga berdampak pada
menurunnya stok sumber daya ikan dan hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi
para nelayan yang beroperasi secara legal, serta dapat mengakibatkan
menurunnya ketahanan pangan. Bahkan akibat praktik illegal fishing proporsi
konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal dari ikan hanya
sebesar 54%.12 Ini merupakan masalah yang besar dan sangat merugikan
Indonesia, oleh karena itu dibutuhkan tindakan yang tepat dalam menangani
masalah tersebut.
Indonesia mulai mengambil tindakan tegas dalam penegakan terhadap kapal asing
yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP-RI), yaitu dengan melakukan tindakan pembakaran dan/atau
penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang telah terbukti melakukan illegal
fishing di wilayah perairan Republik Indonesia (RI). Contohnya kapal asing milik
9
Ibid.
FAO adalah sebuah organisasi PBB yang bertugas meningkatkan standar pangan dan produksi di
dunia, memperbaiki hasil-hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan.
11
Berita online, Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses di http://finance.
detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegal-fishing-rp240-triliun.
12
Berita online, Penenggelaman Kapal Asing,dapat diakses di http://nasional.kompas.com/read/
2014/12/12/14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing.
10
4
Thailand yang ditenggelamkan pada 9 Februari 2015.13Kemudian, empat kapal
asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Kalimantan. Dari empat kapal
tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 001 pada 14
Maret 2015, di perairan Natuna yang penyidikannya dilakukan oleh Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)Pontianak. Dua kapal Vietnam
lainnya ditangkap oleh Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada
27 Juni 2015 di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar
perairan Natuna, yang penyidikannya dilakukan juga oleh Pengawasan Sumber
Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak.14
Pada 22 Oktober 2015, Indonesia juga menenggelamkan dua kapal asing
berbendera Vietnam di perairan Batam, Kepulauan Riau, serta 1 kapal berbendera
Thailand di perairan Langsa, Aceh. Ketiganya ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu
Macan 005 pada 7 Maret 2015 dan 22 Maret 2015 di perairan sekitar
Batam.15Sedangkan kapal asing yang melakukanillegal fishing di ZEEI akan
dikenakan sanksi administratif dan harus membayar uang jaminan yang layak
(reasonable bound). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan agar penegakan hukum
di Indonesia tegas dan berjalan efektif, sehingga para nelayan asing akan jera
untuk menangkap ikan secara illegaldan tidak ada lagi kerugian besar yang
diderita negara Indonesia.
13
Berita online, Ditenggelamkan Susi: Cara Kapal Thailand Mencuri, 2015, dapat diakses di http:
//bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditenggelamkan-susi-cara-kapal-thailandmencuri.
14
Berita online, Situs Berita dan Informasi Lingkungan, Penenggelaman Kapal Asing, Bukti
Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing, Oktober 2015, dapat diakses di http://www.mongabay
.co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-asing-bukti-indonesia-serius-perangi-illegal-fishing/.
15
Ibid.
5
Pada praktiknya tindakanpembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap
kapal asing yang melakukan illegal fishing menimbulkan reaksi dari negaranegara tetangga.16 Contohnya, Thailand melalui Kementerian Luar Negeri
Thailand, Arrmanantha Nassir menganggap bahwa penenggelaman kapal asing
pencuri ikan oleh Indonesia sebagai langkah yang salah. Sebab, tindakan tersebut
bisa mengancam keamanan di ASEAN. ―Kami tekankan Indonesia memiliki
komitmen tinggi sekali terhadap ASEAN, dan juga terhadap adanya suatu
keadaan yang aman dan damai di kawasan‖.17 Selain itu seorang juru bicara
Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan bahwa, Vietnam berharap
Indonesia menangani para nelayan asing yang melanggar wilayah perairannya
sesuai dengan hukum internasional dan atas pertimbangan kemanusiaan.18
Kementerian Luar Negeri Malaysia juga berharap bahwa pemerintah Indonesia
akan bertindak dengan itikad baik (good faith) yang menjamin kesejahteraan
nelayan dalam menangani insiden sejenis ini di masa depan.19 Kementerian Luar
Negeri Malaysia juga mempertanyakan kebijakan dan tindakan yang dilakukan
Indonesia terhadap penenggelaman kapal, hal ini mengingat kedua negara tersebut
telah menandatangani Memorandum of Understanding(MoU)20 pada tanggal 27
16
Berita online, RI Harus Antisipasi Reaksi Keras Soal Penenggelaman Kapal, dapat diakses
dihttp://wartaharian.net/berita/109-nasional/20189-ri-harus-antisipasi-reaksi-keras-soalpenenggelam
an-kapal.html.
17
Berita online, InternationalNews, Media Thailand Protes Penenggelaman Kapal, Ini Reaksi RI,
dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/947375/40/media-thailand-protes-peneng
gelaman-kapal-ini-reaksi-ri-1420625646.
18
Berita online, Soal Kapal Asing, Vietnam Minta Indonesia Patuhi Hukum Internasional, dapat
diakses di http://www.tribunnews.com/internasional/2014/12/12/soal-kapal-asing-vietnam-mintaindonesia-patuhi-hukum-internasional.
19
Berita online, Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Indonesia, Ini Reaksi Malaysia, dapat diakses
di
http://international.sindonews.com/read/948812/40/kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkanindonesia-ini-reaksi-malaysia-1420884073.
20
MoU adalah suatu Nota Kesepakatan/Kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia mengenai
keamanan teritorial laut.
6
Januari 2012. Berdasarkan MoU antara Indonesia dan Malaysia, Indonesia tidak
perlu menahan para nelayan, melainkan cukup mengusir kapal-kapal tersebut.21
Selain menimbulkan reaksi dari negara-negara tetangga, tindakan pembakaran
dan/atau
penenggelaman
kapal
asing
juga
dinyatakan
melanggar
atau
bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, yaitu ketentuan Konvensi
Hukum Laut Internasional 1982 atau United Nations Convention on The Law of
The Sea (UNCLOS). Pasal 73 ayat (1) UNCLOS menyatakan negara pantai dapat
mengambil tindakan menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan
proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan
perundang-undangan.
Tindakan tersebut juga dianggap bertentangan dengan Pasal 73 ayat (2)UNCLOS
yang menyatakan bahwa kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus
segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk
jaminan lainnya. Selanjutnya Pasal 73 ayat (3) UNCLOS mengatur hukuman yang
dijatuhkan negara pantai terhadap tindak pidana di wilayah ZEE yaitu: ―Indonesia
tidak boleh menghukum dengan hukuman yang mencakup hukuman badan,
hukuman badan hanya dapat berlaku kalau sudah menandatangani perjanjian
bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang melakukan pencurian ikan
atau menangkap ikan secara illegal dapat didenda dan kemudian nelayan asing
kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya‖.22
21
Berita online, Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan, dapat diakses di http://luar-negeri
.kompasiana.com/2014/12/02/kebijakan-penenggelaman-kapal-perlu-disosialisasikan-agar-tidakganggu-hubungan-dengan-negara-lain-689833.html.
22
Berita online, Konsekuensi Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://nasional.sindonews
.com/read/935809/18/konsekuensi-penenggelaman-kapal-1418270847/1.
7
Dengan demikian tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing
tersebut adalah tindakan yang kontroversial, disatu sisi Indonesia mengambil
kebijakan atau tindakan tegas demi menjaga kedaulatan wilayahnya, namun disisi
lain kebijakan atau tindakan tersebut mengundang reaksidari negara lain
khususnya negara yang kapalnya ditenggelamkan oleh Indonesia karena dianggap
bertentangan dengan ketentuan Internasional dan dianggap sebagai tindakan salah,
bukan tidak mungkin negara lain akan membalas tindakan tegas yang dilakukan
Indonesia terhadap kapal Indonesia maupun warga negara Indonesia (WNI) yang
berada di negaranya. Jika seperti itu maka akan mengakibatkan tegangnya
hubungan politis antara Indonesia dengan negara lain. Apabila ketegangan politis
terus berlanjut, tentunya lambat laun akan berpotensi menimbulkan konflik
antarnegara, bahkan dapat menimbulkan konflik bersenjata yang tentunya tidak
diinginkan.
Oleh
karena
itu
Pemerintah
Indonesia
harus
benar-benar
mempertimbangkan tindakan tersebut sehingga tidak terjadi masalah untuk
kedepannya.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis
apakah tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal
fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum
internasional dan hukum nasional serta bagaimana prosedur penegakan hukum
terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia. Kajian dan analisis tersebut berjudul: “Tindakan
Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan Illegal Fishing
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia”
8
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal
fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan
hukum internasional dan hukum nasional ?
2. Bagaimanakah prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang
melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Peneitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan utama penelitian
ini adalah:
1. Untuk menguji dan menganalisis apakah tindakan penegakan hukum
terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional
dan hukum nasional.
2. Untuk menjelaskan bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap
kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia.
1.3.2. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
9
dan pengetahuan serta wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya, khususnya mengenai apakah tindakan penegakan hukum terhadap
kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum internasional dan hukum
nasional serta mengenai bagaimanaprosedur penegakan hukum terhadap
kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada
umumnya dan bagi para akademisi pada khususnya, dalam hal pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum internasional untuk kemudian digunakan
sebagai data sekunder dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan
legalitastindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan
illegal fishingmenurut hukum internasional dan hukum nasional serta
mengenai bagaimanaprosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang
melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Hasil
dari penelitian diharapkan juga dapat menjadi rujukan bagi setiap negara
untuk dapat saling menghormati kedaulatan negara masing-masing dalam hal
pemanfaatan laut.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian di bidang ilmu hukum internasional,
oleh karena itu penelitian ini akan meneliti ketentuan hukum internasional, yaitu
United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), Code of Conduct
10
For Responsible Fisheries (CCRF), dan International Plan of Action to Prevent,
Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU
Fishing)khususnya mengenai tindakan penegakan hukum terhadapkapal asing
yang melakukan illegal fishing.Selain itu penelitian ini juga akan meneliti
perundang-undangan nasionalyang dijadikan dasar hukum terkait dengan
penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah
Pengelolaan PerikananIndonesia.
1.5. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan, dan pengembangan terhadap isi skripsi ini
maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan
skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisirkan ke dalam bab demi bab sebagai
berikut:
I. Pendahuluan
Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan, ruang
lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ini
merupakan gambaran umum dari isi skripsi untuk memudahkan pembaca dalam
mempelajari dan memahami isi skripsi ini.
II. Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas tentang pengertian umum mengenai pokok-pokok pembahasan
skripsi, yang meliputi tinjauan umum mengenai illegal fishing, hukum laut
internasional, pembagian wilayah laut, hubungan teori kedaulatan dengan
penegakan hukum illegal fishing, pengaturan internasional yang relevan dengan
penegakan hukum illegal fishing, yaitu: United Nations Convention on The Law
11
ofThe Sea (UNCLOS), Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF),
International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported,
Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing), dan pengaturan perundangundangan nasionalyang relevan dengan pemberantasan dan penegakan hukum
illegal fishing. Bab ini merupakan landasan teoritis untuk memberikan dasar–
dasar teori sehingga memudahkan dalam pembahasan yang akan dibahas dalam
bab IV.
III. Metodologi Penelitian
Bab ini membahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini,
yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data dan sumber data,
prosedur pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan analisis data. Bab ini
dimaksudkan untuk membentuk gambaran secara jelas tentang bagaimana
penelitian ini akan dilakukan serta didukung dengan metode penelitian ilmiah.
IV. Hasil Penelitian dan Analisis Data
Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari
pembahasannya. Diawali dengan pemaparan pemecahan masalah yang menjadi
pokok permasalahan dalam skripsi ini yaituapakahpenegakan hukum terhadap
kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasionalserta mengenai
bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan
illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan indonesia.
12
V. Penutup
Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saransaran. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa kesimpulan merupakan inti dari
keseluruhan uraian yang dibuat setelah permasalahan selesai dibahas secara
menyeluruh. Terakhir, berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian diberikan
saran-saran yang berguna sebagai masukan dari apa yang telah diteliti.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Istilah
2.1.1. Illegal Fishing
Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang memiliki kepulauan
terbesar dan terbanyak yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3.1 juta km 2 (0,3 juta km2 perairan teritorial
an 2,8 juta km2 perairan kepulauan) atau 62% dari luas teritorialnya.23 Kondisi
geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah dua pertiga wilayahnya
adalah perairan laut yang kaya akan sumber daya laut dan ikan. 24 Namun
kekayaan yang sangat berlimpah tersebut justru menimbulkan banyaknya
praktikIllegal Fishing yang dilakukan oleh kapal dari negara lain (kapal asing).
Illegal fishing atau penangkapan ikan secara illegal menurut International Plan of
Action-Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUUFishing) adalah
kegiatan yang:25
23
Rokhimin, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta:
Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, 1996, hlm.1.
24
Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan
Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan
Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ,
Jakarta, Tahun 2009, hlm. 2.
25
FAO, Journal, Technical Guidelines For Responsible Fisheries, Implementation of The
Intenational Plan of Action To Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated
Fishing, Fiat Panis, 2012, hlm. 4-5.
14
1. Dilaksanakan oleh kapal-kapal nasional dan asing dalam wilayah
yurisdiksi negara tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan negara tersebut;
2. Dilaksanakan oleh kapal yang mengibarkan bendera negara anggota
organisasi perikanan regional tetapi bertentangan dengan prinsip
konservasi dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut
dimana negara bendera itu terikat atau bertentangan dengan prinsip
yang dilakukan oleh suatu hukum internasional;
3. Bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional
termasuk yang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerjasama
dengan organisasi regional.
Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di
WPP-RI adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing,
khususnya dari beberapa negara tetangga, dengan wilayah operasi bukan hanya
perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke Perairan Indonesia.26
Bentuk-bentuk kegiatan illegal fishing yang umumnya terjadi di wilayah perairan
Indonesia diantaranya yaitu:27 (1) penangkapan ikan tanpa izin, (2) penangkapan
ikan dengan menggunakan izin palsu, (3) penangkapan ikan dengan menggunakan
alat tangkap terlarang, (4) penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan daerah
tangkapan yang tercantum dalam surat izin penangkapan ikan. Illegal fishing di
Perairan Indonesia mayoritas dilakukan oleh negara-negara tetangga dengan
26
Bab IV Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang Rencana
Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreporte and Unregulated Fishing
(IUU Fishing) Tahun 2012-2016.
27
Akhmad Solihin, Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing Menurut
Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Nasional,tesis, Universitas Padjadjaran,Bandung, 2008, hlm. 163.
15
menggunakan kapal berukuran besar dan alat tangkap yang canggih. 28Menurut
penulis, Illegal fishing adalah penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing
di wilayah yang bukan merupakan yurisdiksinya atau melakukan penangkapan
ikan tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi di wilayah tersebut, dan
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan izinnya. Banyaknya praktikillegal
fishing tersebut tentunya menimbulkan banyak kerugian bagi Negara Indonesia.
Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum yang efektif untuk mengatasi
masalah tersebut.
2.1.2. Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara
rasional,
memenuhi
rasa
keadilan
dan
berdaya
guna.
Dalam
rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.29 Penegakan hukum
dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam
arti sempit, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparat penegak
hukum untuk menjamin dan memastikan aturan hukum berjalan sebagaimana
mestinya, dimana aparat penegak hukum tersebut, apabila diperlukan dapat
menggunakan daya paksa untuk menegakkannya. Sedangkan dalam arti luas,
28
M. Ghufran, Pengelolaan Perikanan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015, hlm. 23.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.
109.
29
16
penegakan hukum dapat diartikan sebagai keterlibatan seluruh subjek hukum
dalam setiap hubungan hukum untuk penegakan hukum.30
Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum,
ide-ide hukum menjadi kenyataan.31 Menurut Sadjipto Rahardjo penegakan
hukum adalah sebuah kegiatan yang mewujudkan keinginan hukum menjadi
nyata.32 Penegakan hukum adalah penerapan ketentuan hukum secara konkrit oleh
aparat penegak hukum atau dengan kata lain, penegakan hukum merupakan
pelaksana dari peraturan-peraturan. Dengan demikian, penegakan hukum
merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah
serta perilaku nyata manusia.33
Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang
melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui
proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana
adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan
tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai
pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas,
dimana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam
undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan
larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku
30
Berita online, Penegakan Hukum, dapat diakses di: http://statushukum.com/penegakan-hukum
.html.
31
Esmi Warasih, Lembaga Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru, Utama,
Semarang, 2005, hlm. 11.
32
Berita online, Penegakan Hukum Menurut Para Ahli, dapat diakses di: http://www.pengertianart
idefinisi.com/pengertian-penegakan-hukum-menurut-para-ahli/.
33
M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Deskresi Kepolisian) Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1991. hlm. 42.
17
dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.34
Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa penegakan hukum dalam arti luas
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu
Indonesia menerapkan dan melaksanakan hukum dengan memberikan sanksi
kepada setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia.35
2.1.3. Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan perikanan terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu pengelolaan dan perikanan.
Pengelolaan kata dasarnya adalah ―kelola‖ yang artinya adalah mengendalikan,
menyelenggarakan, mengurus, atau menjalankan. Berdasarkan arti kata tersebut,
pengelolaan
dapat
diartikan
sebagai
perbuatan
yang
mengendalikan,
menyelenggarakan, mengurus, ataupun menjalankan suatu kegiatan agar objeknya
memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan pengertian perikanan
adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan penangkapan, pemeliharaan, dan
pembudidayaan ikan. Maka pengertian pengelolaan perikanan adalah kegiatan
mengurus atau menjalankan sesuatu yang berhubungan dengan penangkapan,
pemeliharaan, dan pembudidayaan ikan.36
34
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 15.
Supriadi & Alimudin, Op.Cit., hlm. 428.
36
Gatot Supramano, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Jakarta:
Rineka Cipta, 2011, hlm 15.
35
18
Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pengelolaan
perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari
peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pemberian rumusan tersebut sangat luas agar dapat menampung semua persoalan
perikanan baik yang sifatnya teknis maupun non teknis karena merupakan satu
kesatuan yang utuh dalam pengelolaan perikanan. Selain itu pemberian rumusan
tersebut bertujuan agar dalam melakukan pengelolaan perikanan dapat
dilaksanakan dengan lebih baik dan profesional serta dapat memperoleh hasil
dengan manfaat yang lebih besar.37
2.1.4. Wilayah Pengelolaan Perikanan
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya sesuai dengan yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, perlu menetapkan Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).38 WPP-RI merupakan
wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
37
Ibid., hlm 16.
Point b Konsideran menimbang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perizinan Usaha
Perikanan.
38
19
konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan
pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan ZEEI.39
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan
dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:40
1. Perairan Indonesia;
2. ZEEI; dan
3. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat
diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia
Sebagaimana diatur pada Undang-Undang Perikanan, bahwa usaha perikanan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh
warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Kecuali terhadap
orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI,
sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia
berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang
berlaku.41 Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan
hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian
perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik
Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.42
39
Pasal 1 Angka (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perizinan Usaha Perikanan.
40
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
41
Pasal 29 Undang-Undang Perikanan.
42
Pasal 30 Undang-Undang Perikanan.
20
2.2. Hukum Laut Internasional
2.2.1. Pengertian & Perkembangan Hukum Laut Internasional
Pemakaian istilah hukum laut, baik nasional maupun internasional, tanpa
penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, karena dalam perpustakaan hukum
Belanda, istilah Zeerecht atau hukum laut biasa dipakai dalam arti yang lebih
sempit. W.L.P.A Moelengraaf, H.F.A Vollmar, dan F.G Scheltemadalam Het
Nieuwe Zeerehct, mempelajari hukum laut dalam bidang peraturan-peraturan
hukum yang berhubungan dengan pelayaran kapal di laut, khususnya tentang
pengangkutan barang atau orang dengan kapal laut. Pada intinya, kebanyakan para
ahli mempelajari hukum laut dalam lingkungan hukum perdata, tidak meliputi
hukum publik.43 Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini
pengaturan laut tidak hanya ditinjau dari aspek hukum perdatanya saja, tetapi
justru lebih ditekankan pada aspek publik, mengingat aspek perdata hanya
sebagian kecil dari persoalan hukum laut saat ini.44
Hukum laut menjadi sangat luas pengaturannya, tidak hanya mempelajari
pengaturan dalam bidang peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan
pelayaran kapal di laut, khususnya tentang pengangkutan barang atau orang
dengan kapal laut saja, tetapi juga mengatur semua bidang yang berhubungan
dengan laut termasuk juga pengaturan negara-negara dalam hal pemanfaatan laut.
Menurut Victor Situmorang, yang dimaksud dengan hukum laut adalah:45
―Suatu kumpulan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang
mengatur lalu lintas laut. Maksud dan arti ini tentunya tidak tegas karena
―lalu lintas laut‖ bukan hanya mengenal hubungan antara warga negara
43
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1991, hlm. 7.
Ibid.
45
Victor Situmorang, Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 44.
44
21
dengan negara, melainkan juga hubungan berbagai negara yang satu dengan
negara yang lain‖.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum laut internasional adalah:46
―asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas-batas negara-negara yang berkenaan dengan laut, baik yang
berada di dalam wilayah maupun di luar wilayah atau laut bebas, baik dalam
aktivitas pemanfaatannya maupun akibat negatif dari pemanfaatannya‖.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum laut internasional adalah keseluruhan kaedah peraturan yang mengatur
tentang laut, bagian-bagian laut (zona-zona laut) dan pemanfaatannya. Sejarah
perkembangan hukum laut internasional mula-mula muncul di benua Eropa yaitu
sebelum Imperium Roma dalam puncak kejayaannya menguasai seluruh tepi
lautan tengah (Mediterania47). Kerajaan-kerajaan Yunani, Phoechia, dan Rhodes
mengklaim kekuasaan atas laut dengan pemilik kerajaan atas laut. Peraturan
hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi,
berpengaruh pula terhadap orang-orang Yunani dan Romawi.48Pada masa
kerajaan Imperium Roma seluruh laut tengah (Mediterania) berada di bawah
kekuasaannya.
Persoalan kelautan pada masa itu tidaklah memerlukan pengaturan karena tidak
ada pihak lain yang menentang dan menggugat kekuasaan mutlak Roma atas laut
tengah. Dasar pemikiran penguasaan Romawi atas laut pada waktu itu, karena laut
merupakan suatu res communis omnium, atau hak bersama umat manusia, hal ini
46
Ibid., hlm 4.
Laut Mediterania adalah laut antarbenua terletak antara Eropa di utara, Afrika di selatan dan Asia
di timur.
48
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta 1983, hlm 2.
47
22
menjadi asas yang digunakan dalam mengatasi persoalan kelautan dan merupakan
suatu konsepsi penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.49
Asas res communis omnium, mula-mula digunakan dalam arti hak bersama umat
manusia untuk menggunakan laut sebagai sarana pelayaran yang bebas dari
gangguan perompak (bajak laut), akan tetapi penggunaan laut semakin
berkembang seperti untuk menangkap ikan, asas ini juga dijadikan dasar
kebebasan dalam menangkap ikan. Disamping itu pada masa Romawi di kenal
pula pemikiran yang menganggap laut sebagai res nullius, yaitu menganggap laut
dapat dimiliki oleh siapapun, sehingga siapapun dapat menguasai, menduduki dan
memilikinya.50
Perkembangan hukum laut ini semakin pesat setelah runtuhnya Imperium Roma,
karena beberapa negara sekitar laut tengah menuntut pembagian laut yang
berbatasan dengan pantainya dengan alasan yang bermacam-macam. Seperti
Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, Genoa mengklaim
kekuasaan atas laut Liguria dan Pisa yang mengklaim laut Thyrenia.51 Oleh
karena itu pendapat bahwa laut merupakan hak bersama umat manusia tidak
disetujui atau didukung lagi oleh masyarakat internasional. Kemudian masyarakat
internasional sepakat untuk diadakan pembagian terhadap wilayah-wilayah laut
agar tidak terjadi masalah terhadap pemanfaatan laut.
Masyarakat Internasional menyadari bahwa untuk mengantisipasi berbagai
masalah yang berkenaan dengan laut, tidaklah cukup diatur dengan konsepsi
49
Ibid.
Ibid., hlm. 3.
51
Ibid., hlm. 5.
50
23
konferensi Den Haag 1930 yang diprakarsasi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
saja.52 Oleh karena itu diadakan konferensi yang melengkapi konferensi Den
Haag 1930, yaitu Konferensi Jenewa 1958 yang diadakan pada tanggal 24
Februari sampai tanggal 27 April 1988 dan dihadiri oleh 86 negara. 53 Dalam
Konferensi ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:54
1. Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention
on the Territorial Sea and Contiguous Zone);
2. Konvensi II tentang Laut bebas (Convention on the High Seas);
3. Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Hayati Laut bebas
(Convention on Fishing and Conservation Resources of the High
Seas);
4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental
Shelf).
Dalam konferensi ini berhasil merumuskan empat konvensi tersebut, tetapi tidak
menentukan bagaimana penetapan lebar wilayah laut teritorialnya sehingga
masing-masing negara menetapkan lebar laut teritorial dengan caranya masingmasing. Untuk melengkapi pengaturan Konvensi Jenewa 1958, PBB kembali
menyelenggarakan Konferensi Internasional mengenai hukum laut pada tahun
1982. Konferensi Hukum Laut 1982 melengkapi pengaturan terhadap penentuan
batas-batas atau lebar wilayah laut teritorial masing-masing. Konferensi Hukum
Laut1982 diadakan di Chili pada tahun 1973 tetapi baru terlaksana tahun 1972 di
52
Heryandi, Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum: Universitas Lampung, 2013, hlm. 10.
Ibid.
54
Ibid., hlm. 11.
53
24
Ibu Kota Venezuela, Caracas.55Konferensi Hukum Laut merupakan konferensi
terbesar selama abad XX karena dihadiri oleh 160 negara peserta dan sekitar 5000
delegasi yang berlatar belakang disiplin ilmu, serta memakan waktu terlama yaitu
selama 9 tahun (dari tahun 1973 hingga tahun 1982). Konferensi Hukum Laut
1982 menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
(UNCLOS) yang dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982).
Konvensi tersebut merupakan konvensi dengan pengaturan yang paling lengkap
dan telah berhasil disepakati oleh negara-negara. Hal ini terbukti sejak tahun 1994
berlakunya konvensi, pada tahun 1999 telah diratifikasi oleh 130 negara yang
kemudian dijadikan sumber hukum laut internasional.56
2.2.2. Sumber Hukum Laut Internasional
Sumber hukum dapat diartikan sebagai asal muasal dan tempat mengalir
keluarnya hukum yang dapat digunakan sebagai tolak ukur, kriteria, dan sarana
untuk menentukan isi, substansi, materi, dan keabsahan.57 Sumber hukum laut
internasional tidak lepas dari hukum internasional umum. Karena hukum laut
internasional merupakan cabang dari hukum internasional umum. Sumber hukum
internasional (dalam arti formil58) dapat ditemukan dalam Pasal 38 ayat (1)
Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:59 (1) Perjanjian-perjanjian internasional;
(2) Kebiasaan internasional; (3) Asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa yang beradab; (4) Putusan-putusan pengadilan dan pendapat sarjana yang
55
M. Dimyati Hartono, Hukum Laut Internasional, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977, hlm. 53.
Heryandi, Op.Cit., hlm. 12.
57
Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011,
hlm. 22.
58
Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber yang menentukan bentuk, cara, proses dan
menyelidiki dimanakah hukum dapat ditemukan dalam bentuknya yang konkrit/formal yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang konkrit tertentu.
59
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, dapat diakses secara online di: https://unic
.un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf.
56
25
terkemuka (doktrin); (5) Putusan-putusan organisasi internasional (sumber di luar
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang merupakan perkembangan
hukum internasional).
Hukum laut internasional sebagai cabang dari hukum internasional umum, maka
sumber hukum laut internasional sama seperti sumber hukum internasional umum,
hanya saja pada hukum laut internasional, kebiasaan internasional tidak lagi
menjadi sumber hukum, karena masalah-masalah yang tidak diatur dalam
konvensi ini tetap tunduk pada ketentuan dan asas hukum internasional umum.60
Maka apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Konvensi Hukum Laut
1982 akan berlaku asas-asas hukum internasional umum.
2.2.3. Subjek Hukum Laut Internasional
Pada umumnya subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban
menurut hukum dan setiap pemilik/pemegang kepentingan yang mempunyai
kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum.61 Subjek hukum internasional
menurut J.G Starke diartikan sebagai: (1) Pemegang hak dan kewajiban menurut
hukum internasional; (2) Pemegang hak istimewa (privilege) untuk mengajukan
tuntutan di muka pengadilan internasional; dan (3) Pemilik kepentingankepentingan yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum internasional.62
Berdasarkan pengertian tersebut dalam hukum nasional (perdata) yang menjadi
subjek hukum adalah manusia dan sesuatu yang berdasarkan aturan hukum
60
Mukadimah Konvensi Hukum Laut 1982, dapat diakses secara online di: http://www.un.
org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf.
61
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung:
Alumni, 1979, hlm. 50.
62
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Sinar Grafika: Jakarta, 1992.
26
dianggap mampu melakukan perbuatan hukum (seperti manusia) yaitu badan
hukum. Pengertian subjek hukum internasional berbeda dengan subjek hukum
nasional, karena hukum internasional digunakan untuk mengatur kehidupan
masyarakat internasional yang terdiri atas negara-negara yang merdeka, organisasi
internasional, juga kesatuan-kesatuan lain bukan negara, dimana diantara lain
selalu saling berinteraksi satu sama lainnya.63 Maka yang menjadi subjek hukum
internasional adalah:64 (1) Negara; (2) Tahta suci vatikan; (3) Palang Merah
Internasional; (4) Organisasi Internasional; (5) Organisasi Pembebasan; (6) Pihak
Berperang (belligerent); (7) Individu.
Hukum laut internasional merupakan bagian dari hukum internasional, maka
subjek hukum laut internasional adalah:65
1. Negara, baik berpantai maupun tak berpantai;
2. Organisasi Internasional, meliputi organisasi internasional universal
antara lain PBB dan badan-badan khususnya contohnya International
Maritime Organization (IMO), dan organisasi regional;
3. Pihak Berperang (belligerent), terutama pihak yang dapat menguasai
bagian wilayah yang berpantai;
4. Individu (dalam arti terbatas). Dalam hal ini pembajak kapal laut
dapat menjadi subjek hukum internasional karena melanggar
Konvensi Hukum Laut 1982, dan Konvensi Roma 1988.
63
Abdul Muthalib, 2013, Op.Cit., hlm. 9.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003, hlm. 95.
65
Abdul Muthalib, 2011, Op.Cit., hlm. 12-13.
64
27
2.3. Pembagian Wilayah Laut
Negara-negara yang sedang berkembang akan berusaha melakukan penguasaan
atas
laut
guna
perluasan
yurisdiksi
untuk
melindungi
kepentingan-
kepentingannya, apalagi kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong
adanya keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang akan dapat
memberikan
keuntungan
mengimplementasikan
bagi
suatu
negara.
keinginan-keinginan
Oleh
dan
karena
mengatur
itu,
untuk
kepentingan-
kepentingan semua negara-negara internasional agar tidak terjadi tumpang tindih
antar kepentingan tersebut, maka diadakanlah konvensi-konvensi hukum laut
internasional, dimana terakhir telah berhasil dilaksanakannya Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 yang telah menghasilkan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Salah satu ketentuan UNCLOS 1982 adalah mengatur terkait batas-batas maritim.
UNCLOS 1982 mengatur pembagian laut yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
wilayah laut di bawah kedaulatan negara, wilayah laut di bawah yurisdiksi negara,
dan wilayah laut di luar yurisdiksi negara.
2.3.1. Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara
Wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan negara adalah bagian laut dimana
suatu negara mempunyai hak penuh dalam wilayah tersebut dan mempunyai
wewenang tertinggi untuk menguasai wilayah tersebut. Daerah yang menjadi
kedaulatan negara terdiri dari laut teritorial (territorial sea), perairan pedalaman
(Internal waters), perairan kepulauan (Archipelagic sea).66 Wilayah tersebut
66
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
28
disebut juga sebagai wilayah perairan Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang
menyatakan bahwa Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta
perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.67
1. Laut teritorial Indonesia (Territorial sea)
Laut teritorial merupakan perairan nasional berupa jalur laut yang terletak
di sepanjang pantai dari garis pangkal68 dan dibatasi oleh garis batas luar
(outer limit) laut teritorial.69 Pengertian tersebut merupakan pengertian
secara umum karena pada saat itu belum ada penentuan lebar dari laut
teritorial. Setelah Konvensi Hukum Laut 1982 ditetapkan barulah dapat
dirumuskan secara pasti lebar laut teritorial, dimana setiap negara
mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya tidak melebihi
12 mil laut yang diukur dari garis pangkal dan dibatasi oleh garis yang
jarak setiap titiknya dari yang terdekat dari garis pangkal, sama dengan
lebar laut teritorial.70 Maka dapat disimpulkan bahwa laut teritorial
merupakan perairan nasional berupa jalur laut, dimana jalur tersebut tidak
melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal dan dibatasi oleh garis
batas luar (outer limit) laut teritorial. Sedangkan Indonesia merupakan
negara kepulauan oleh karena itu laut teritorial Indonesia diukur dari garis
pangkal kepulauan71 Indonesia.72
67
Pasal 1 Angka (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Garis pangkal adalah garis yang digunakan untuk menetapkan laut teritorial, zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen negara pantai.
69
Mochtar Kusumaatmadja,1983, Op.Cit., hlm. 317.
70
Pasal 3 dan 4 UNCLOS 1982, dapat diakses secara online di: http://www.un.org/depts/los/
convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf.
71
Garis pangkal kepulauan adalah garis yang menentukan perairan kepulauan yang menarik titiktitik terluar pulau-pulau utama.
72
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
68
29
2. Perairan pedalaman (Internal waters)
Perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut
teritorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut.73
Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, ―Perairan Pedalaman
Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air
rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian
dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.74
3. Perairan Kepulauan (Archipelagic sea)
Perairan Kepulauan adalah perairan yang ditarik oleh garis pangkal
kepulauan, yang ditarik dari titik-titik terluar pulau-pulau utama dan suatu
daerah dimana perbandingan daerah perairan dan daerah daratan adalah
satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu (1:1 dan 9:1). Panjang
garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali 3% dari
jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat
melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut. Penarikan garis
pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum,
dan juga tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut (low-tide elevations)
kecuali terdapat mercusuar atau instalasi permanen dan jaraknya tidak
melebihi lebar laut teritorial, yaitu 12 mil.
73
74
Pasal 8 UNCLOS 1982.
Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
30
Negara kepulauan tidak boleh menarik garis pangkal itu yang memotong
laut teritorial, atau zona ekonomi eksklusif negara lain.75 Setelah
menggunakan atau menarik garis pangkal kepulauan berdasarkan
ketentuan tersebut baru dapat ditentukan mana yang menjadi perairan
kepulauan negara yang bersangkutan. Dimana perairan kepulauan adalah
perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, tanpa memperhatikan
kedalaman atau jaraknya dari pantai.76
2.3.2. Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan) Negara
Wilayah laut yang menjadi yurisdiksi (kewenangan) negara adalah bagian laut
dimana suatu negara mempunyai kewenangan terhadap wilayah tersebut. Negaranegara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan
kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional, kedaulatan
tersebut terdapat hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur
masalah internal dan eksternal. Dengan yurisdiksi tersebut, suatu negara mengatur
secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud
apa yang menjadi tujuan negara itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya
negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.77
Yurisdiksi dalam pengertian hukum adalah hak atau kekuasaan suatu negara untuk
mengatur dan menegakkan aturan terhadap orang, benda, dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi di dalam batas-batas teritorialnya.78
75
Pasal 47 UNCLOS 1982.
Pasal 49 ayat (1) UNCLOS 1982.
77
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm. 71.
78
Ibid.
76
31
Piagam PBB sering menggunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti
kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling
sering digunakan terhadap orang, benda atau peristiwa. Kata yurisdiksi berarti
kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badanbadan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi
dikaitkan dengan negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan negara
untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang
dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.79 Wilayah laut yang menjadi yurisdiksi
(kewenangan) negara adalah zona tambahan (Contiguous zone), zona ekonomi
eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf).
1. Zona tambahan (Contiguous zone)
Zona tambahan (Contiguous zone) merupakan jalur laut dari laut bebas
yang berbatasan dengan laut teritorial suatu negara. Keberadaan zona ini
didasarkan pada kebutuhan khusus negara-negara untuk meluaskan
kekuasaannya melewati batas laut teritorial, disebabkan tidak cukup
luasnya laut teritorial untuk melakukan pencegahan penyelundupan dari
dan di laut di satu sisi, dan wewenang penuh atau kedaulatan negara pantai
di lain sisi. Kedua faktor inilah yang menimbulkan adanya jalur atau zona
tambahan.80 Dalam hal-hal tertentu suatu negara dirasakan masih
memerlukan wilayah untuk menerapkan kekuasaannya terhadap masalahmasalah khusus, misalnya untuk mengatasi penyelundupan, bea cukai,
79
I Wayan Patriana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 293294.
80
Heryandi, Op.Cit., hlm. 57.
32
karantina dan sebagainya. Oleh karena itu diberikan rumusan tentang zona
tambahan.81
Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan zona tambahan adalah
wilayah laut yang tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal di mana lebar
laut teritorial diukur atau sejauh 12 mil diukur dari laut teritorial suatu
negara pantai. Kesimpulannya dalam zona tambahan yang berbatasan
dengan laut teritorialnya negara pantai/negara kepulauan memiliki
kewenangan (terbatas) untuk mencegah terjadinya pelanggaran perundangundangan, bea cukai, fiskal, keimigrasian atau sanitasi di dalam laut
teritorialnya, dan menghukum para pelanggar peraturan perundangundangan tersebut yang terjadi di dalam wilayah teritorialnya.82
2. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah daerah yang berada di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus
di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, dan hak-hak serta
kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang
relevan Konvensi ini.83 Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap negara
pantai tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar
laut teritorial diukur.84 Lebar ZEE 200 mil diukur mulai dari garis pangkal,
yaitu garis yang digunakan untuk mengukur laut teritorial, sehingga
81
Ibid.
Pasal 33 UNCLOS 1982.
83
Pasal 55 UNCLOS 1982.
84
Pasal 57 UNCLOS 1982.
82
33
apabila di ukur dari garis batas luar (outer limit) laut teritorial maka lebar
ZEE adalah 188 mil.
Dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai hak-hak
berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari
perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi
ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.85
Negara pantai dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini dalam ZEE, harus memperhatikan sebagaimana
mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan
suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.86 Hak-hak yang
tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di
bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI tentang Landas
Kontinen.87
3. Landas Kontinen (Continental Shelf)
Pengertian landas kontinen diartikan sebagai dasar laut dan kekayaan alam
yang terdapat di bawahnya dari area laut yang merupakan penambahan
dari laut teritorialnya, yang mencakup keseluruhan perpanjangan alami
dari wilayah teritorial daratnya ke bagian luar yang memagari garis
kontinental, atau jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut
85
Pasal 56 ayat (1) UNCLOS 1982.
Pasal 56 ayat (2) UNCLOS 1982.
87
Pasal 56 ayat (3) UNCLOS 1982.
86
34
teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai
jarak tersebut.88 Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan
negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar
laut dan tanah di bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan
tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudra dalam
dengan bukti-bukti samudra atau tanah di bawahnya.89 Batas luar landas
kontinen dapat ditentukan berdasarkan pada dua aspek, yaitu:90
a. Geologis, yaitu sampai pinggiran tepi kontinen
b. Jarak (Ukuran), yaitu :
(1) Suatu jarak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, apabila
pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak
tersebut
(2)Menarik garis-garis lurus sejauh 200 mil laut dengan
menunjuk titik-titik dari kaki lereng kontinen, atau tidak
melebihi 350 mil laut dari garis pangkal yang digunakan
untuk menetapkan lebar laut teritorialnya; atau sejauh
jarak 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter.
2.3.3. Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan) Negara
Wilayah laut di luar yurisdiksi (Kewenangan) negara adalah wilayah laut yang
berada di luar yurisdiksi nasional (Indonesia), yaitu daerah perairan yang berada
88
Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982.
Pasal 76 ayat (3) UNCLOS 1982.
90
Abdul Muthalib, Op.Cit., hlm. 48.
89
35
di luar 200 mil laut ZEE.91 Bagian laut yang bukan menjadi yurisdiksi
(kewenangan) negara yaitu terdiri dari laut bebas (high seas) dan kawasan (The
Area).
1. Laut Bebas (High Seas)
Istilah laut bebas (High Seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut
yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut teritorial suatu negara.92
Laut bebas merupakan res nullius, yaitu dapat dimiliki oleh siapapun,
sehingga siapapun dapat menguasai, menduduki dan memanfaatkannya
atau dengan kata lain laut bebas tidak dimiliki oleh negara manapun.93
Konsep tersebut belum lengkap karena pada saat itu belum ada konsep
negara kepulauan. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 konsep laut bebas
diperbaharui dengan memasukkan unsur ―perairan kepulauan‖ karena pada
Konvensi Hukum Laut 1982 telah diakui konsep negara kepulauan. Jadi
dalam Konvensi Hukum Laut 1982 laut bebas merupakan daerah yang
berada di luar laut teritorial, perairan pedalaman dan perairan kepulauan.94
Kebebasan di laut bebas berlaku untuk negara pantai, negara kepulauan
maupun negara tak berpantai. Semua negara tersebut sama-sama
mempunyai hak untuk menikmati daerah laut bebas dan tidak boleh
menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak-hak berdaulatnya atas
bagian manapun di daerah tersebut. Kebebasan-kebebasan yang dimaksud
adalah kebebasan dalam hal pelayaran, kebebasan memasang kabel dan
91
Heryandi, Op.Cit., hlm. 91.
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Oxford University Press, 1979,
hlm. 237-238.
93
Chairil Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta:
Djambatan, 1989, hlm. 62.
94
Pasal 86 UNCLOS 1982.
92
36
pipa bawah laut, kebebasan Penerbangan, kebebasan riset ilmiah,
kebebasan membangun pulau buatan dan instalansi lainnya, termasuk
kebebasan
menangkap
ikan.
Kebebasan-kebebasan
tersebut
akan
dilaksanakan oleh semua negara dengan memperhatikan kepentingan
negara-negara lain di dalam mereka melaksanakan kebebasan di laut
2. Kawasan (The Area)
Kawasan merupakan rezim baru dalam Hukum Laut 1982, yang
sebelumnya tidak diatur dalam Konvensi Hukum LautJenewa 1958.
Kawasan berarti dasar laut dan dasar samudra serta tanah di bawahnya di
luar batas-batas yurisdiksi nasional.95 Letak kawasan berada di luar landas
kontinen dan berada di bawah laut bebas. DalamKonvensi Hukum Laut
1982 kawasan diatur dalam Bab XI, bagian 1-5 dari Pasal 133- Pasal 191.
Sama seperti laut bebas, kawasan merupakan warisan bersama umat
manusia. Pada Pasal 136 disebutkan bahwa: ‖Kawasan dan kekayaankekayaannya merupakan warisan bersama umat manusia‖.96
2.4. Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum Illegal
Fishing
Istilah kedaulatan dalam bahasa inggris adalah ―Sovereignty”, dalam bahasa arab
―Daulah”, dan dalam bahasa latin disebut dengan ―Supremus‖ yang berarti
kekuasaan tertinggi.97 Menurut kamus hukum, kedaulatan merupakan kekuasaan
tertinggi terhadap suatu pemerintahan negara, kekuasaan tertinggi untuk
95
Pasal 1 Angka (1) UNCLOS 1982.
Pasal 137 ayat (1) UNCLOS 1982.
97
Yulia Neta & M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung: PKKPU FH Universitas
Lampung, 2013, hlm. 37.
96
37
menetapkan hukum dalam negara (hukum nasional).98 Definisi dari kedaulatan
adalah suatu hak atau wewenang tertinggi suatu negara untuk menguasai suatu
wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri, dan kedaulatan negara
untuk mengadakan hubungan dengan negara luar.
Kedaulatan merupakan unsur yang sangat penting bagi sebuah negara untuk
diakui keberadaannya dalam sistem internasional, dimana negara yang telah
diakui mempunyai kedaulatan disebut sebagai negara yang berdaulat. Dimana
kedaulatan negara merupakan salah satu prinsip dasar demi terciptanya hubungan
internasional yang damai.99 Dalam hukum konstitusi, negara yang berdaulat
mempresentasikan pemerintahan yang memiliki kendali sepenuhnya atas semua
hal urusan dalam negerinya sendiri di dalam wilayah atau batas teritorial
negaranya,
atau
dengan
kata
lain
suatu
negara
dalam
melaksanakan
kewenangannya hanya sebatas dalam wilayah–wilayah yang telah menjadi bagian
dari kekuasaannya, dimana berlaku yurisdiksi hukumnya.100 Negara memiliki
kewenangan dan kekuasaan tertinggi untuk mengatur dan menegakkan aturan
didalam wilayah kedaulatannya untuk mencapai tujuan negara dalam rangka
menjalankan kedaulatannya.
Pengertian tersebut sama seperti pengertian kedaulatan menurut Jean Bodin, yang
menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara
untuk menentukan hukum dalam negara tersebut.101 Jean Bodin mengatakan
98
Zulkifli, & Jimmy, Dictionary of Law, Surabaya: Grahamedia Press, 2012, hlm. 236.
Budiyono, Monograf, Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut, Bandar
Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm 82.
100
Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT
Refika Aditama, 2006, hlm. 169.
101
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm 7.
99
38
kekuasaan tertinggi dari suatu negara yang tidak dibatasi oleh hukum, ini tidak
berarti kedaulatan negara tidak ada batasnya. Kedaulatan negara ini hanya berlaku
terhadap, orang, benda, dan peristiwa di dalam batas–batas teritorial negara yang
bersangkutan.102
Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh atas
wilayahnya masing-masing baik di wilayah darat, air, udara yang berada di
wilayah kedaulatannya masing-masing. Kedaulatan atas wilayah laut adalah
kewenangan
yang
dimiliki
suatu
negara
di
laut
guna
melaksanakan
kewenangannya di wilayah kedaulatannnya tersebut, dimana yang berlaku adalah
hukum nasional apabila terjadi pelanggaran.103 Oleh karena itu muncul konsep
―kedaulatan teritorial― dimana akan berlaku hukum negara yang memiliki wilayah
teritorial.104
Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia secara illegal dan melakukan
penangkapan ikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan negara.
Karena perairan Indonesia merupakan daerah perairan yang menjadi wilayah
kedaulatan teritorial Indonesia. Sehingga Indonesia mempunyai hak untuk dapat
melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional. Laut Indonesia
sebagai wilayah kedaulatan teritorial, merupakan daerah yang menjadi
102
Khaidir Anwar, Hukum Internasional II, Bandar Lampung: Universitas lampung, 2011, hlm. 30.
Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara
Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 1410-3648,
Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hlm. 184. Dapat diakses secara online di
http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/15.pdf.
104
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
hlm. 210.
103
39
tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah RI dengan penerapan hukum nasional
Indonesia.105
Penegakan Hukum (law enforcement) menurut Jimly Asshiddiqie, adalah
mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan
tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau
penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu
Pemerintah Indonesia membuat peradilan perikanan untuk menerapkan hukum
dan melakukan tindakan hukum berupa ―sanksi‖ bagi para kapal asing yang
melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.106 Berdasarkan Pasal 71
ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dibentuk
pengadilan perikanan. Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.107 Pengadilan perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 71 (1) merupakan pengadilan khusus yang
berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan
negeri. Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri
Jakarta Utara; Pengadilan Negeri Medan; Pengadilan Negeri Pontianak;
Pengadilan Negeri Bitung
(Sulawesi Utara); dan Pengadilan Negeri Tual
(Maluku).108
105
Joko Subagyo, Op.Cit., hlm. 21.
Supriadi & Alimudin, Loc.Cit.
107
Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaiamana telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
108
Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
106
40
2.5. Pengaturan Internasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal
Fishing
2.5.1. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (Konvensi
Hukum Laut PBB 1982)
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982)
merupakan hasil kerja keras masyarakat internasional dalam menyusun perangkat
hukum yang mengatur segala bentuk penggunaan laut dan pemanfaatan kekayaan
yang terkandung di dalamnya.109 Konvensi ini dianggap sebagai karya hukum
masyarakat internasional yang terbesar di abad ke 20, karena konvensi ini diikuti
lebih oleh pihak yang bermacam-macam latar belakang disiplin keilmuan seperti
diplomat, ahli hukum, pertambangan, perikanan, perkapalan, aktivis lingkungan
hidup dan berbagai profesi lain.110
UNCLOS 1982 atau yang dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982, berisi 17
Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran yang mempresentasikan capaian monumental
masyarakat
internasional
serta
merupakan
kerangka
pengaturan
yang
komprehensif111 dalam mengatur hampir semua kegiatan di laut.112UNCLOS 1982
tidak mengatur secara khusus terkait
illegal fishing. Wacana tentang illegal
fishing muncul bersama-sama dalam kerangka Illegal, Unreported, Unregulated
109
Etty R Agoes, UNCLOS 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung:
Abardin, 1991, hlm. 1.
110
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Era Dinamika Global,
Bandung Alumni, 2000, hlm. 273.
111
Komprehensif adalah lingkup yang luas/menyeluruh.
112
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama, 2002, hlm.7.
41
Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for
Conservation of Atlantic Marine Living Resources113) pada tanggal 27 Oktober-7
November 1997.
Dari forum ini kemudian masalah illegal fishing ini dijadikan isu utama di tingkat
global oleh FAO dengan alasan kuat, bahwa saat ini cadangan ikan dunia
menunjukan tren menurun dan salah satu faktor penyebabnya adalah
praktik illegal fishing.114 Walaupun tidak mengatur khusus terkait illegal fishing,
tetapi UNCLOS 1982 mengatur secara umum Penegakan hukum di laut yang
berkaitan dengan pemanfaatan negara-negara di seluruh wilayah laut, termasuk
pemanfaatan dalam hal penangkapan ikan.
UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan/membagi wilayah laut dan
menggambarkan keseimbangan hak dan kewajiban negara-negara dalam
pemanfaatan sumber daya laut. Seperti yang telah diuraikan, UNCLOS membagi
wilayah laut menjadi tiga bagian, yaitu: (1) wilayah yang menjadi kedaulatan
negara, yaitu wilayah laut dimana negara mempunyai kewenangan penuh dan
dapat menegakkan hukum nasionalnya; (2) wilayah laut yang menjadi yurisdiksi
negara, yaitu wilayah laut yang hanya menjadi kewenangan dalam hal tertentu; (3)
wilayah laut yang tidak menjadi yurisdiksi negara.
113
The Convention on the Conservation of Antartic Marine Living Resources, juga The
Commission for the Conservation of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR) merupakan
bagian dari Sistem Traktat Antartika (Antartic Treaty System). Konvensi terbuka untuk
ditandatangani 1 Agustus 1980 dan mulai berlaku tanggal 7 April 1982. Tujuannya adalah untuk
melestarikan lingkungan dan keutuhan laut di dan dekat Antartika.
114
Rokhmin Dahuri, Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing, Majalah Samudra, Mei 2012,
dapat diakses di http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-dari-IUU-Fishing/.
42
Wilayah yang menjadi kedaulatan negara berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini terdiri
dari laut teritorial (territorial sea), perairan pedalaman (Internal waters), dan
perairan kepulauan (Archipelagic sea).115 Konvensi Hukum Laut Internasional
1982 sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka
perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut
internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya. Oleh karena
itu suatu negara kepulauan mempunyai kedaulatan di laut teritorial, perairan
pedalaman termasuk perairan kepulauan.116
Negara kepulauan mempunyai wewenang penuh atas wilayah kedaulatannya
tersebut sehingga dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.117 Jika
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut
teritorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai
dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai
dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya
terhadap kapal tersebut.118Sedangkan wilayah laut yang menjadi yurisdiksi
(kewenangan) negara adalah zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone),
dan landas kontinen (continental shelf). Wilayah ZEE mempunyai status hukum
yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak
dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut
teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai
115
Pasal 2 UNCLOS 1982.
Pasal 49 UNCLOS 1982.
117
Budiyono, Op.Cit., hlm. 84.
118
Usmawadi Amir, ―Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus:
Volga Case)”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 12, Januari—April 2013, hlm. 74. dapat diakses secara
online
di:
http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Penegakan%20Hukum%20IUU%20Fishing%20menurut%20U
NCLOS%201982%20.pdf.
116
43
hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi
dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun nonhayati.119
Dalam hal penegakan hukum negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI), berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, yang menyatakan bahwa jika kapal
asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di
ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses
pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan
tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan
dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara
pantai. Hukuman terhadap kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk
hukuman badan yaitu penjara.120
Apabila kapal asing yang hendak diperiksa, namun kapal asing tersebut menolak
untuk diperiksa bahkan malah melarikan diri, penyidik perikanan dapat
melakukan pengejaran seketika (Right of hot pursuit) terhadap kapal asing
tersebut. Pengejaran seketika suatu kapal asing dilakukan apabila pihak penyidik
perikanan mempunyai alasan yang cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut
adalah illegal atau telah melanggar peraturan perundang-undangan nasional.121
Pengejaran dapat dilakukan sampai ZEEI dan berhenti setelah kapal yang dikejar
memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau ZEE negara ketiga.122
119
Ibid. hlm. 72.
Ibid., hlm. 76.
121
Pasal 111 Ayat (1) UNCLOS.
122
Pasal 111 Ayat (3) UNCLOS.
120
44
2.5.2. Code of Conduct For Responsible Fisheries (Tata Laksana Untuk
Perikanan yang Bertanggung jawab)
Menurunnya produksi perikanan dunia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
teknologi dalam kegiatan perikanan tangkap, seperti sistem posisi geografis
(GPS), radar, kapal-kapal ikan yang kapasitas tangkapnya lebih besar terus
meningkat sehingga kemampuan nelayan untuk mengusahakan lebih banyak
sumber daya hayati secara lebih intensif.123 Selain itu, status yang kini ada
mengenai sumber daya hayati akuatik dunia sebagian besar merupakan akibat dari
kegagalan proses sekarang dalam pengaturan perikanan untuk mencapai
pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan efektif di berbagai negara. 124
Konsep perikanan bertanggung jawab (Responsible Fisheries) telah dibahas
secara resmi pada bulan maret 1991 pada sesi ke-19 Komite FAO tentang
perikanan (Comitte on Fisheries/COFI), yang merekomendasikan bahwa sudah
mendesak diperlukan pendekatan-pendekatan baru pada pengelolaan perikanan
yang meliputi konservasi dan lingkungan, demikian pula pertimbangan sosial dan
ekonomi. Lebih lanjut, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan FAO
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai penangkapan ikan
yang bertanggung jawab di Cancun pada bulan Mei 1992. Deklarasi Cancun yang
disahkan pada konferensi tersebut dibawa untuk memperoleh perhatian ke
pertemuan tingkat tinggi United Nations Conference on Environment and
123
FAO, Pengelolaan Perikanan (Fisheries Managment), Divisi Publikasi FAO PBB, Roma 1997,
hlm. 7. Dapat diakses secara online di http://www.fao.org/publications/en/.
124
Ibid., hlm. 155.
45
Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brazil pada bulan Juni 1992, yang
kemudian mendukung penyiapan CCRF.125
Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu
kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di
Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor:
4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible
Fisheries. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan
anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang
mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut.
Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku
bagi praktik yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumber daya perikanan
dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan
pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana ini
didasarkan pada aturan hukum internasional yang relevan, yaitu Konvensi PBB
tentang Hukum Laut 10 Desember 1982 dan FAO Compliance Agreement
1993.126 Selain itu juga mempertimbangkan Deklarasi Cancun 1992, Deklarasi
Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan, serta agenda 21 yang disetujui
oleh konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), dan
deklarasi serta perangkat hukum internasional lain yang relevan.127
125
Ibid., hlm. 157.
Pasal 1.1 CCRF.
127
Pasal 3.2 (c) CCRF.
126
46
CCRF diadopsi secara resmi oleh FAO pada sidang ke-28 COFI, pada tanggal 31
Oktober 1995 untuk diterapkan secara global, sebagai instrumen tidak mengikat
untuk perikanan bertanggung jawab. CCRF secara langsung diarahkan untuk para
anggota maupun bukan anggota FAO, badan usaha penangkapan ikan, organisasi
sub-regional, regional dan global, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan
semua pihak yang peduli dengan konservasi sumber daya ikan, pengelolaan dan
pembangunan perikanan, seperti para nelayan, mereka yang ikut terlibat dalam
pengelolaan, pemasaran ikan dan produk perikanan, serta para pengguna lainnya
berkaitan dengan perikanan.128
Pengadopsian CCRF 1995 menandakan dimulainya era baru untuk perikanan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, kegagalan
pengelolaan terdahulu yang telah menyebabkan over fishing dan kerusakan habitat
di beberapa bagian wilayah dunia memberikan kontribusi kepada pelaksanaan
pertemuan-pertemuan dan workshop di tingkat regional dan global untuk
melahirkan CCRF.129 Cakupan CCRF sangat luas meliputi standar-standar dan
prinsip-prinsip internasional untuk praktik-praktik pelaku perikanan yang
bertanggung jawab dengan menjamin efektifitas pembangunan, pengelolaan dan
konservasi sumber daya hayati, termasuk di dalamnya ekosistem dan
keanekaragaman hayati.130
Menurut CCRF, negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat,
128
Pasal 1.2 CCRF.
Purwito Martosubroto, ―Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fisheries in the
Marine Fisheries Sector,Indonesian Journal of International Law, Vol 2, Nomor 3, April 2005,
Jakarta, hlm. 8. Dapat diakses di http://ijil.ui.ac.id/index.php/home/article/view/92.
130
Pasal 2 CCRF.
129
47
harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber
daya perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan,
baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada
bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian
jangka panjang sumber daya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung
pencapaian tujuan dari pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan
ketersediaannya untuk generasi kini dan mendatang.131
Dalam pelaksanaan CCRF, negara-negara harus menjamin dibentuknya suatu
kerangka kerja hukum dan administratif yang efektif baik pada tingkat daerah
maupun tingkat nasional/pusat untuk konservasi sumber daya ikan dan
pengelolaan perikanan.132 Selain itu, negara-negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangannya
harus
menerapkan
langkah-langkah
pemantauan
(monitoring), pengendalian (controling), dan pengawasan (surveilance) perikanan
serta penegakan hukum yang efektif atau menjamin peraturan perundangundangan yang memuat sanksi yang sepadan dengan beratnya pelanggaran, jika
perlu termasuk melaksanakan program pengamat (observer programmes), skema
pemeriksaan (inspection scheme) dan sistem pemantauan kapal (Vessel
monitoring system).133
131
Pasal 7.11 CCRF.
Pasal 7.7.1 CCRF.
133
Pasal 7.7.2 - 7.7.3 CCRF.
132
48
2.5.3. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal,
Unreported, Unregulated Fishing2001 (IPOA-IUUFishing)
Masalah illegal fishingdi FAO meningkat pada sidang ke-23 COFI (Comitte on
Fishiers) bulan Februari 1999. Ditemukan berbagai alasan yang menyebabkan
terjadinya illegal fishing. Untuk perairan yang berada di bawah yurisdiksi
nasional, dilaporkan bahwa illegal fishing disebabkan oleh kekurangan dalam
peraturan
perundang-undangan
dan
kesenjangan
efektifitas
penegakan
hukum.134illegal fishingmendapatkan perhatian luas karena mengancam perikanan
dunia, dan hasil kegiatan illegal fishing tercatat sampai 30 persen dari total
tangkapan. Data inilah yang menunjukkan bahwa bila tidak dilakukan
pemberantasan terhadap kegiatan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan
sumber daya. Oleh karenanya FAO bekerjasama dengan negara-negara
anggotanya menyusun langkah-langkah untuk mengatasi masalah illegal fishing.
Negara-negara anggota FAO telah merumuskan dan menyepakati aksi
internasional untuk memerangi IUUFishing yang dituangkan dalam International
Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUUFishing(IPOA-IUUFishing)
pada tahun 2001. IPOA-IUUFishing merupakan rencana aksi global dalam rangka
mencegah kerusakan sumber daya perikanan dan membangun kembali sumber
daya perikanan yang telah atau hampir punah, sehingga kebutuhan pangan yang
bersumber dari perikanan bagi generasi saat ini dan yang akan datang tetap dapat
terjamin ketersediaannya.135
134
Akhmad Solihin, Op.Cit., hlm. 63.
Sekolah Tinggi Perikanan, KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat
diakses secara online di: http://www.stp.kkp.go.id/index.php/arsip/c/860/KKP-Terbitkan-KepmenPenanggulangan-IUU-Fishing/.
135
49
IPOA-IUUFishing bersifat sukarela dan merupakan pelaksanaan dari CCRF.
Penyusunan pedoman ini bertujuan untuk mencegah, menghambat dan
menghilangkan kegiatan illegal fishing dengan menyiapkan langkah-langkah
pengelolaan sumber daya ikan yang komprehensif, terintegrasi, efektif dan
transparan dengan memperhatikan kelestariannya bagi semua negara-negara di
dunia.136 Dengan demikian IPOA-IUUFishing merupakan pedoman yang
berisikan program-program yang dapat digunakan oleh negara untuk memerangi
kegiatan IUUFishing.
Menurut IPOA-IUUFishing, negara-negara harus memperhatikan peraturan
perundang-undangan nasional masing-masing. Peraturan perundang-undangan
nasional berisi aturan yang efektif untuk semua aspek.137 Negara-negara harus
menjamin bahwa sanksi-sanksi yang keras terhadap kapal-kapal pelaku
IUUFishingdi wilayah yurisdiksinya, sehingga dapat secara efektif mencegah,
mengurangi, dan menghapuskan IUUFishing, dan mencegah para pelaku untuk
memperoleh keuntungan dari wilayah tersebut.138
IPOA-IUUFishing tersebut harus ditindaklanjuti oleh setiap negara dengan
mengembangkan dan mengimplementasikan ke dalam rencana aksi nasional
(National Plan of Action).139TindaklanjutIPOA-IUUFishing ke rencana aksi
nasional telah dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya negara Indonesia
melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/50/MEN/2012
136
Paragraf 4 IPOA-IUU.
Paragraf 16 IPOA-IUU.
138
Paragraf 21 IPOA-IUU.
139
Paragraf 24-27 IPOA-IUU.
137
50
tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan IUUFishing
Tahun 2012-2016.
2.6. Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan dengan
Pemberantasan Illegal Fishing
Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan memiliki laut yang luas
bahkan lebih luas dari daratannya. Oleh karena itu Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea 1982
(UNCLOS), Indonesia mengesahkan/mengkodifikasi Konvensi Hukum Laut PBB
1982. Maka ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Hukum Laut 1982
akan berlaku bagi Indonesia. Salah satunya ketentuan mengenai pembagian
wilayah laut yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 seperti yang telah
diuraikan sebelumnya. Selain itu, pengaturan mengenai wilayah laut Indonesia
juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan,
dan perairan pedalaman. Wilayah perairan tersebut menjadi wilayah yang berada
di bawah Kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pasal 4. Oleh karena itu Indonesia mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah
tersebut dan dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.140
140
Budiyono, Op.Cit., hlm. 84.
51
Di daerah Zona ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Undang-Undang ini memuat
ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan di
ZEEI. Pada Pasal 4 dijelaskan dalam wilayah ZEEI, Indonesia mempunyai hak
berdaulat, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban atas sumber daya yang ada di
ZEEI.141 Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan
kewajiban-kewajiban, aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang
berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Sektor pelayaran di perairan Indonesia semakin berkembang, oleh karena itu
Indonesia merevisi kembali Undang-Undang Pelayaran karena Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat itu sehingga perlu diganti dengan
undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di
perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan
lingkungan maritim.142
Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Pelayaran berlaku juga bagi kapal
asing yang berlayar di perairan Indonesia.143 Kapal asing dilarang mengangkut
penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan
Indonesia.144Hal yang berhubungan dengan kapal ikan dituangkan pada Bab IX
141
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI.
Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
143
Pasal 4 Huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
144
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
142
52
tentang Kelaiklautan Kapal. Kapal penangkap ikan sebelum melakukan operasi
juga harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang diberi setifikat
keselamatan oleh Menteri.145
Setiap kapal asing yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan
maritim sebagaimana dimaksud di atas dapat dikenakan pidana. 146 Dalam hal
kapal asing yang tidak hanya berlayar di perairan Indonesia, tetapi juga
melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini berlaku bagi setiap orang, baik
warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia
maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia; dan setiap kapal perikanan berbendera
Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan
perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.147
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perikanan, usaha perikanan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga
negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau
badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang
145
Pasal 126 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Pasal 303 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
147
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
146
53
hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.148
Undang-Undang ini mengatur bahwa setiap orang yang melakukan usaha
perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan,
dan pemasaran ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di
ZEEI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan
Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).149Pada kenyataannya
kapal-kapal asing banyak yang tidak memenuhi syarat tersebut, dalam hal ini
tidak memiliki kelengkapan surat-surat tersebut. Bahkan ada juga yang memiliki
surat-surat yang ternyata merupakan surat palsu.150 Oleh karena itu UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengatur tentang larangan
pemalsuan surat dan penggunaan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.151 Selain itu setiap
kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki Surat
Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan
dan surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan dikeluarkan oleh
pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis.152
Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, untuk
menegakkan hukum di Indonesia, berdasarkan undang-undang ini juga dibentuk
pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan
148
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pasal 26, 27, 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
150
Akhmad Solihin, Op.Cit., hlm. 163.
151
Pasal 28 A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
152
Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
149
54
Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing. Para pelaku illegal fishing tersebut akan diperiksa, diadili di
pengadilan lalu kemudian dijatuhkan putusan apabila terbukti bersalah. Para
pelaku yang bersalah, menurut undang-undang ini akan dijatuhkan berupa sanksi
administratif, pidana penjara, ataupun membayar denda.
Selain sanksi-sanksi tersebut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan mengatur dengan tegas pemberian sanksi berupa pembakaran dan/atau
penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishingdi wilayah perairan
Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pasal 69 ayat (4), bahwa dalam melaksanakan
fungsi sebagai penyidik dan/atau pengawas perikanan, penyidik dan/atau
pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.
Selain itu, dalam hal Penegakan hukum di Indonesia terkait kasus illegal fishing
di laut Indonesia,ditetapkan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan. Sama seperti Undang-Undang Perairan, Undang-Undang Kelautan juga
menegaskan pembagian wilayah laut. Menurut Pasal 7, kedaulatan Indonesia
sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar laut dan
tanah
di
bawahnya,
termasuk
kekayaan
alam
yang
terkandung
di
dalamnya.Kedaulatan Indonesia tunduk pada ketentuan peraturan perundangundangan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun
55
1982, dan hukum internasional yang terkait.153 Pada zona tambahan Indonesia
hanya mempunyai yurisdiksi tertentu. Sedangkan pada ZEE dan landas kontinen
mempunyai hak berdaulat seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Menurut Pasal 56, dalam kaitannya dengan masalah illegal fishing, dibentuk
sistem pertahanan laut. Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada Pasal
56 ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Pertahanan
laut tersebut di implementasikan dengan membentukBadan Keamanan Laut yang
mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah
perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.154 Dalam melaksanakan
tugasnya, Badan Keamanan Laut berwenang untuk:155
a. Melakukan pengejaran seketika;
b. Memberhentikan,
memeriksa,
menangkap,
membawa,
dan
menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk
pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan
c. Mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di
wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Selain diatur dalam undang-undang, penegakan hukum terkait dengan masalah
illegal fishing ditetapkan juga dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri,
dan Keputusan Menteri sebagai peraturan pelaksana undang-undang tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 mengatur tentang Perkapalan yang
merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
153
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
155
Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
154
56
tentang Pelayaran. Menurut PP ini, Setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal
asing yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan
keselamatan kapal.156
Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 mengatur tentang
kegiatan usaha perikanan. Usaha perikanan yang dimaksud adalah usaha
penangkapan ikan dan/atau usaha pembudidayaan ikan di wilayah perikanan.157
Menurut Pasal 3 PP ini, Usaha perikanan di wilayah perikanan RI hanya boleh
dilakukan oleh perorangan warga negara RI atau badan hukum Indonesia
termasuk koperasi. Namun pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan
ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara RI berdasarkan
ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku.158
Ketentuan tersebut berarti bahwa kapal perikanan berbendera asing tetap dapat
melakukan usaha perikanan dalam hal penangkapan ikan, namun hanya dapat
menangkap ikan di daerah ZEEI.159
Perusahaan yang melakukan usaha perikanan, wajib memiliki Surat Izin Usaha
Perikanan (SIUP).160 Begitu juga dengan Perusahaan perikanan asing yang akan
melakukan kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
wajib memiliki SIUP.161 Selain itu kapal perikanan berbendera asing yang
melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia wajib
156
Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
158
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
159
Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
160
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
161
Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
157
57
dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal
Pengangkut
Ikan
(SIKPI)
apabila
kapal
tersebut
melakukan
kegiatan
pengangkutan ikan.162
Surat izin dikeluarkan sesuai dengan GT (Gross Tonnage) kapal ikan.163
Mengenai penerbitan SIPI dan SIKPI diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang Pemberian Kewenangan SIPI dan
SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage
Sampai Dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage Kepada Gubernur. Menurut
Permen tersebut, untuk kapal yang berukuran 10-30 GT (Gross Tonnage) menjadi
kewenangan bupati/wali kota, untuk kapal yang berukuran 30-60 GT menjadi
kewenangan gubernur.164 Sedangkan untuk kapal yang berukuran 60 GT keatas
menjadi kewenangan Dirjen Perikanan Tangkap.165
Surat izin yang dikeluarkan akan menentukan daerah atau lokasi penangkapan
ikan yang boleh dilakukan oleh pemegang surat tersebut. Penentuan daerah
penangkapan ikan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002
tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada
Departemen Kelautan dan Perikanan. Perusahaan perikanan Indonesia yang
menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot kurang dari 30 (tiga puluh)
Gross Tonnage beroperasi sampai 12 (dua belas) mil laut, kapal penangkap ikan
yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih dari 30 (tiga puluh)
Gross Tonnage dan/atau yang mesinnya berkekuatan lebih besar dari 90 (sembilan
162
Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan.
164
Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010.
165
Gatot Supramano, Op.Cit., hlm 38.
163
58
puluh) Daya Kuda (DK) dan beroperasi di luar 12 (dua belas) mil laut. Sedangkan
Perusahaan perikanan asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan
mendapatkan izin beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).166
Penataan perizinan kapal asing diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: Kep.60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal
Perikanan di ZEEI.
Selanjutnya, dalam penegakan hukum terkait masalah illegal fishing,Menteri
Kelautan dan Perikanan menetapkan peraturan Nomor Per.01/Men/2009 yang
mengatur tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Di
Wilayah Pengelolaan Perikanan RI perlu adanya pengawasan yang efektif untuk
menjamin terciptanya tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan.167 Pengawasan perikanan di WPP-RI diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-Kp/2014 tentang Pelaksanaan
Tugas Pengawas Perikanan. Permen ini merupakan peraturan pelaksana dari
Undang–Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pengawas perikanan merupakan
pegawai negeri sipil yang dapat berasal dari pegawai negeri sipil pada
Kementerian,
pemerintah
daerah
provinsi,
atau
pemerintah
daerah
kabupaten/kota.168
166
Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan.
167
Pasal 1 Angka (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
168
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
59
Pengawas Perikanan melaksanakan tugas pengawasan terhadap penangkapan ikan
di WPP-RI.169 Pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan tersebut dilakukan dengan
patroli pengawasan dan pemantauan pergerakan kapal perikanan.170 Jika dalam
pelaksanaan pengawasan perikanan ditemukan atau patut diduga adanya tindak
pidana perikanan dan adanya bukti permulaan yang cukup, pengawas perikanan
wajib menindaklanjuti dengan menyerahkan kepada penyidik di bidang perikanan
untuk diproses lebih lanjut. Penyerahan yang dimaksud termasuk diserahkannya
kapal dan/atau orang di pelabuhan tempat perkara tersebut untuk diproses lebih
lanjut.171
Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengeluarkan keputusan Nomor
Kep.50/Men/2012 yang mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan
dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing)
Tahun 2012-2016 yang merupakan bentuk penerapan dari the Code of Conduct
for Responsible Fisheries (CCRF). Untuk mengatasi masalah IUU Fishing yang
dituangkan dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate
IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing) pada tahun 2001. IPOA-IUU Fishing tersebut
harus ditindaklanjuti oleh setiap negara, termasuk Indonesia dengan menyusun
rencana aksi pencegahan dan penanggulangan IUUFishing di tingkat nasional.
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan IUU Fishing
dimaksudkan sebagai acuan bagi setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam upaya mencegah dan menanggulangi kegiatan IUU
169
Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PermenKP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
170
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
171
Pasal 17 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PermenKP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
60
Fishing sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, dan sebagai bahan
koordinasi untuk mencegah dan menanggulangi kegiatan IUU Fishing dengan
kementerian/instansi lain yang terkait. Adapun tujuannya adalah untuk
mendukung pengelolaan dan pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung
jawab, dan berkelanjutan. Beberapa hal yang tertuang dalam Kepmen tersebut,
antara lain dirumuskan tentang upaya pencegahan IUUFishing di Indonesia
dilakukan dengan pengendalian, dan pengelolaan penangkapan ikan melalui
mekanisme perizinan, pengawasan perikanan, dan ditindaklanjuti dengan
Penegakan hukum. ―Kegiatan tersebut dilakukan melalui kerja sama dan
koordinasi antar instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan di laut, yaitu
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, TNI-AL, dan
Polisi Perairan.172
172
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, KKP Terbitkan Kepmen
Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara online di: http://kkp.go.id/index.php/ars
ip/c/9236/KKP-TERBITKAN-KEPMEN-PENANGGULANGAN-IUU-FISHING/?category_id=2.
61
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penyusunan skripsi yang berjudul ―Tindakan Penegakan Hukum Terhadap Kapal
Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Indonesia‖ agar dapat terarah dan sistematis, maka skripsi ini dibuat berdasarkan
metode–metode tertentu. Hal ini disebabkan, suatu penelitian merupakan usaha
untuk
menemukan,
mengembangkan
dan
menguji
kebenaran
suatu
pengetahuan.173
Penelitian yang dilakukan untuk skripsi ini adalah penelitian hukum normatif
(Normative Legal Research) yaitu penelitian hukum kepustakaan yang mengacu
pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan internasional dan peraturan
perundang-undangan.174Kemudian juga mendasarkan pada karakteristik yang
berbeda dengan penelitian ilmu sosial pada umumnya. 175 Sedangkan fokus
kajiannya adalah hukum positif, hukum positif yang dimaksud adalah hukum
yang berlaku suatu waktu dan tempat tertentu, yaitu suatu aturan atau norma
tertulis yang secara resmi dibentuk dan diundangkan oleh penguasa, di samping
173
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.
2.
174
Soedjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9,
Jakarta: Rajawali Press, 2006, hlm. 23.
175
Asri Wijayanti & Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: CV Lubuk
Agung, 2011, hlm. 43.
62
hukum yang tertulis tersebut terdapat norma didalam masyarakat yang tidak
tertulis yang secara efektif mengatur perilaku anggota masyarakat.176
Normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya
adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.177 Hal yang paling
mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang
peneliti menyusun, merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam,
dan bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk menentukan langkahlangkahnya serta bagaimana ia melakukan perumusan dalam membangun
teorinya.178
3.2. Pendekatan Masalah
Pendekatan diperlukan dalam sebuah karya tulis ilmiah untuk lebih menjelaskan
dan mencapai maksud serta tujuan penelitian. Pendekatan tersebut dimaksudkan
agar pembahasan dapat terfokus pada permasalahan yang dituju, sesuai dengan
ruang lingkup permasalahan yang dituju. Menurut the Liang Gie, pendekatan
adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan
memahami pengetahuan yang teratur, bulat, mencari, sasaran yang ditelaah oleh
ilmu tersebut.179 Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan ialah adanya
perkembangan ilmu hukum positif, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara
ilmu hukum positif dengan ilmu hukum yang teoritis.180
Karya tulis ilmiah ini menggunakan pendekatan hukum normatif, atau penelitian
176
Ibid.
Soedjono & Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 56.
178
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 80.
179
Liang gie, Ilmu Politik:Suatu Pembahasan tentang pengertian, kedudukan, Lingkup Metodologi,
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982, hlm. 47.
180
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm.80.
177
63
hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.181 Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari
dan
mengkaji
permasalahan
yang
berlaku
ditengah-tengah
masyarakat
internasional, sehingga memudahkan penulis untuk menggambarkan dan
memaparkan mengenai tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang
melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
3.3. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
3.3.1. Sumber Data
Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian
hukum terletak pada sumber datanya.182 Sumber data adalah subjek dari mana
data dapat diperoleh.183 Sumber utama penelitian ilmu hukum normatif adalah
bahan hukum, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan
hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.184 Data yang diperoleh
dan diolah dalam penelitian hukum jenis data sekunder yang dalam penelitian ini
dijadikan sebagai bahan hukum primer.
Bahan diperoleh dari sumber kepustakaan, yakni data yang didapatkan melalui
kegiatan studi dokumen berupa buku-buku, makalah, peraturan Internasional dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tindakan penegakan
hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Indonesia.185 Bahan hukum yang hendak dikaji atau
181
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 13-14.
182
Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 86.
183
Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hlm. 114.
184
Ibid.
185
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit., 2006, hlm. 115.
64
menjadi acuan berkaitan dengan permasalahannya dalam penelitian, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan–bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat.186 Pada skripsi ini bahan hukum primernya
terdiri dari:
a. United
Nations
Convention
on
The
Law
of
The
Sea1982(UNCLOS)
b. Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF)
c. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate
Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU
Fishing)
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang tentang
Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea
1982 (UNCLOS 1982)
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
h. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional
Indonesia
i. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
j. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
186
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),
2007, hlm. 52.
65
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer,187 seperti buku-buku, skripsiskripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para
ahli atau sarjana hukum yang dapat mendukung pemecahan masalah yang
diteliti dalam penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder, yang lebih dikenal
dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang hukum.188
3.3.2. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan diolah dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan berbagai
ketentuan perundang-undangan, dokumentasi, mengumpulkan literatur, serta
mengakses internet berkaitan dengan permasalahan dalam lingkup hukum
internasional.189 Studi kepustakaan dilakukan penulis dengan membaca dan
memahami buku-buku, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel, serta bahan bacaan
yang berkaitan dengan pokok-pokok penelitian dalam skripsi ini.
3.3.3. Metode Pengolahan Data
Setelah data yang diperoleh telah terkumpul, maka berikutnya yang dilakukan
adalah data tersebut diolah agar dapat memberikan gambaran mengenai masalah
yang diajukan. Untuk mendapatkan suatu gambaran dari data yang diolah, perlu
187
Ibid.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 41.
189
Ibid.
188
66
adanya analisis sebagai akhir dari penyelidikan.190
Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Seleksi data, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data
tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian.
2. Klarifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang atau
pokok bahasan agar mempermudah dalam menganilisisnya.
3. Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah
ditetapkan
dalam
penelitian
sehingga
mempermudah
dalam
menganalisisnya.
3.4. Analisis Data
Penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari
tinjauan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain. Data yang
diperoleh penulis akan dianalisa secara normatif, yaitu membandingkan data yang
diperoleh dengan aturan hukum.Setelah keseluruhan data yang diperoleh sesuai
dengan bahasannya masing-masing. Selanjutnya, tindakan yang dilakukan adalah
menganalisis data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah analisis
kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan
interpretasi data dan analisis.191
190
Umu Hilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode: Sebuah Pedoman Praktis
Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2000.
191
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004,
hlm.127.
98
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan uraian fakta yang telah dijabarkan sebelumnya,
maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Indonesia mengambil tindakan tegas dalam penegakan hukum di wilayah
pengelolaan perikanannya. Di wilayah perairan Indonesia, berdasarkan
Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan, Indonesia membakar dan/ataumenenggelamkan setiap kapal
asing yang melakukan illegal fishing dan awak kapalnya dapat ditahan
serta dikenakan sanksi pidana. Hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan
hukum internasional yaitu Pasal 2 UNCLOS 1982, yang menyatakan
bahwa laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan yang
selanjutnya disebut perairan Indonesia merupakan wilayah kedaulatan
Republik Indonesia, maka Indonesia berwenang menetapkan hukum
nasionalnya demi menjaga kedaulatannya.Sedangkan di ZEEI, Indonesia
hanya memberikan sanksi berupa denda administrasi dan meminta
reasonable bond (uang jaminan yang layak) kepada kapal asing tersebut
untuk kemudian kapal dan awak kapalnya harus segera dilepaskan sesuai
dengan ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982.
99
2. Tindakan penegakan hukum di Indonesia dilakukan berdasarkan prosedur
yang diatur dalam KUHAP. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, Indonesia dapat membakar
dan/atau menenggelamkan kapal perikanan yang berbendera asing yang
melakukan illegal fishing di perairan Indonesia tanpa harus menunggu
proses peradilan ataupun putusan dari hakim. Kapal asing dapat dibakar
dan/atau ditenggelamkan hanya berdasarkan adanya bukti permulaan yang
cukup bahwa kapal tersebut telah melakukan tindak pidana dan setelah
mendapat persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Namun tindakan
tersebut menimbulkan reaksi dari negara lain dan bertentangan dengan
sistem
peradilan
pidana
(Crimnal
Justice
System),
maka
pada
perkembangannya Indonesia mulai menerapkan proses peradilan terhadap
setiap kasus illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing agar sesuai
dengan sistem peradilan pidana tersebut. Sehingga eksekusi pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishing
adalah berdasarkan proses peradilan dan berdasarkan putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Sementara kapal asing
beserta awak kapalnya yang melakukan illegal fishing di ZEEI akan
ditahan dan akan dilepaskan setelah membayar sanksi administrasi dan
membayaruang jaminan yang layak (reasonable bond). Penegakan hukum
terhadap illegal fishing dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan
Perikanan serta instansi terkait lainnya yang terkoordinasi dalam Forum
Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan.
100
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang didapat maka dapat diajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Praktik illegal fishing sangat merugikan Indonesia, sudah seharusnya
Indonesia harus mengatasi masalah tersebut. Tindakan tegas yang
dilakukan Indonesia dalam menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan
dengan membakar dan/atau menenggelamkan kapal asing tidaklah cukup,
karena itu merupakan tindakan represif. Seharusnya Indonesia juga
melakukan tindakan pencegahan yang efektif, yaitu pengawasan yang
lebih ketat. Selain itu, dibutuhkan sarana dan prasarana dalam melakukan
pengawasan, antara lain kapal patroli yang lebih banyak, alat komunikasi
yang canggih, Vessel Monitoring System (VMS), pesawat patroli udara,
radar
pantai,
sistem
pengawasan
masyarakat
(SISWASMAS),
kelembagaan, senjata api sebagai alat pengaman diri, dan personil
pengawas perikanan yang lebih banyak lagi.
2. Semua tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan
illegal fishing di wilayah perairan Indonesia, lebih baik dilakukan setelah
melalui proses peradilan terlebih dahulu, agar tidak mendapatkan protes
dari negara lain sehingga hubungan dengan negara lain tetap terjaga
dengan baik, serta agar proses penegakan hukum terhadap illegal fishing
tidak bertentangan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia(The
Criminal Justice System). Jadi kita boleh melakukan tindakan tegas demi
kebaikan negara, namun sebaiknya dilakukan dengan cara atau prosedur
yang baik juga yang sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Sistem
101
Peradilan Pidana Indonesia (The Criminal Justice System). Sedangkan
dalammenegakkan hukum di ZEEI, Indonesia harus memperhatikan
ketentuan UNCLOS 1982 dalam menetapkan uang jaminan yang
dikenakan ke kapal asing, yaitu penetapan jumlah uang jaminan harus
berdasarkan unsur ―kelayakan (reasonable)‖, tidak boleh menetapkan
jumlah yang terlalu tinggi. Selain itu juga harus memperhatikan ketentuan
pada International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), yaitu
penetapan jumlah uang jaminan harus sesuai dengan ukuran kapal, nilai
kapal, bahan bakar, peralatan penangkap ikan dan jumlah ikan yang
ditangkap. Jika perlu dibuat peraturan yang dituangkan dalam suatu
peraturan nasional dalam kaitannya dengan besarnya uang jaminan
tersebut agar adanya suatu kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi
revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anwar, Chairil. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional, KHL 1982,
Jakarta: Djambatan.
Anwar, Khaidir. 2011. Hukum Internasional II, Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
Arief, Barda Nawawi. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem
Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Arief, Barda Nawawi. 2002. Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta.
Brownlie, Ian. 1979. Principles of Public International Law, Oxford: Oxford
University Press.
Budiyono, 2014. Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut,
Bandar Lampung: Justice Publisher.
Danusaputro, Munadjat. 1984. Tata Lautan Nusantara Dalam Hukum dan
Sejarahnya, Bandung: Binacipta.
Gie, Liang. 1982. Ilmu Politik: Suatu Pembahasan tentang pengertian,
kedudukan, Lingkup Metodologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Hamzah, Andi. 2001 Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Hartono, M. Dimyati. 1977. Hukum Laut Internasional, Jakarta: Bhratara Karya
Aksara.
Heryandi, 2013. Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum: Universitas
Lampung.
Ilmy, Umu. 2000. Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode: Sebuah
Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang:
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta.
------------- . 1986. Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta.
Lantoranda, Akbar Surya. 2013. Analisa Terhadap Putusan Hakim Dalam
Menjatuhkan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan Oleh
Warga Negara Asing Di Wilayah Perairan Indonesia, Malang: Universitas
Brawijaya.
Marpaung, Leden. 1992. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika.
Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Era
Dinamika Global, Bandung: Alumni.
Muthalib, Abdul. 2011. Zona-Zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut
1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
------------- . 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982 dan
Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung: Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
M. Ghufran, 2015. Pengelolaan Perikanan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Deskresi Kepolisian),
Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Nasution, Bahder Johan, 2008. Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar
Maju.
Neta, Yulia & M. Iwan Satriawan, 2013. Ilmu Negara, Bandar Lampung: PKKPU
FH Universitas Lampung.
Patriana, I Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar
Maju.
Prodjodikoro, R. Wirjono. 1991. Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur
Bandung.
Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum, Bandung: Alumni.
Reksodiputro, Mardjono. 1997. “Survei dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana
Yang Lebih Rasional”, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Kedua, Jakarta: Universitas Indonesia.
Renhoran, Maimuna. 2013. Strategi Penanganan IUU Fishing di Laut Arafura,
Jakarta: Universitas Indonesia.
Rokhimin, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Pertama.
Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama.
R. Agoes, Etty. 1991. Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak
Lintas Kapal Asing, Bandung: Abardin.
Sasongko, Wahyu. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung:
Universitas Lampung.
Siombo, Marhaeni. 2009. Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan
Terhadap Pengetahuan Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan
(Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke,
Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ, Jakarta.
Situmorang, Victor. 1987. Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara.
Soehino, 1980. Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty.
Soedjono, Wiwoho. 1983. Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya dengan
Wawasan Nusantara, Jakarta: Bina Aksara.
Soedjono & Abdurahman. 2003. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta.
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat, cet. 9, Jakarta: Rajawali Press.
------------- . Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
------------- . 2007. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Solihin, Akhmad. 2008. Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated
(IUU) Fishing Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam
Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Tesis, Universitas Padjadjaran
Bandung.
Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Sinar Grafika:
Jakarta.
------------- . Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepluh, Jakarta: Sinar
Grafika.
Subagyo, R. Joko. 1993. Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.
Supriadi & Alimudin, 2011. Hukum Perikanan di Indonesia, Palu: Sinar Grafika.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Thontowi, Jawahir & Pranoto Iskandar, 2006. Hukum Internasional Kontemporer,
Bandung: PT Refika Aditama.
Warasih, Esmi. 2005. Lembaga Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,
Suryandaru, Utama, Semarang.
Wijayanti, Asri & Lilik Sofyan Achmad, 2011. Strategi Penulisan Hukum,
Bandung: CV Lubuk Agung.
Zulkifli & Jimmy, 2012. Dictionary of Law, Surabaya: Grahamedia Press.
B. Jurnal, Artikel, Makalah, Majalah, Koran, Sumber Internet, dan
Sumber lainnya
Badan Keamanan Laut RI, Fungsi Bakamla, dapat diakses di http://bakamla
.go.id/home/tugas_fungsi. Lihat juga Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 178
Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.
Berita online. Ditenggelamkan Susi: Cara Kapal Thailand Mencuri, 2015, dapat
diakses di http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditengg
elamkan-susi-cara-kapal-thailand-mencuri.
Berita online. Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan, dapat
diakses di http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/ill
egal-fishing-kejahatan-transnasional-yang-dilupakan.
Berita online. InternationalNews, Media Thailand Protes Penenggelaman Kapal,
Ini Reaksi RI, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/947
375/40/media-thailand-protes-penenggelaman-kapal-ini-reaksi-ri1420625646.
Berita online. Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Indonesia, Ini Reaksi
Malaysia, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/948812
/40/kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkan-indonesia-ini-reaksi-malaysia1420884073.
Berita online. Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan, dapat diakses di htt
p://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/02/kebijakan-penenggelaman-kapa
l-perlu-disosialisasikan-agar-tidak-ganggu-hubungan-dengan-negara-lain689833.html.
Berita online. Konsekuensi Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://nasional
.sindonews.com/read/935809/18/konsekuensi-penenggelaman-kapal-14
18270847/1.
Berita Online, Menteri Susi Gregetan Tenggelamkan Kapal Pencuri Ikan Tanpa
Pengadilan, 8 Oktober 2015, dapat diakses di http://news.detik.com/
berita/3039341/menteri-susi-gregetan-tenggelamkan-kapal-pencuri-ikantanpa-pengadilan.
Berita online. Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses di
http://finance.detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susikerugian-akibat-illegal-fishing-rp-240-triliun.
Berita online, Penegakan Hukum Menurut Para Ahli, dapat diakses di: http://ww
w.pengertianartidefinisi.com/pengertian-penegakan-hukum-men
urut-para-ahli/.
Berita online. Penenggelaman Kapal Asing, dapat diakses di http://nasional.komp
as.com/read/2014/12/12/14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing.
Berita online. RI Harus Antisipasi Reaksi Keras Soal Penenggelaman Kapal,
dapat diakses di http://wartaharian.net/berita/109-nasional/20189-ri-harusantisipasi-reaksi-keras-soal-penenggelaman-kapal.html.
Berita online. Sekilas Tentang Alam Indonesia, dapat diakses di http://www.travel
indonesia.org/sekilas-tentang-alam-indonesia/.
Berita online, Situs Berita dan Informasi Lingkungan, Penenggelaman Kapal
Asing, Bukti Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing, Oktober 2015, dapat
diakses di http://www.mongabay.co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-as
ing-bukti-indonesia-serius-perangi-illegal-fishing/.
Berita online. Soal Kapal Asing, Vietnam Minta Indonesia Patuhi Hukum
Internasional, dapat diakses di http://www.tribunnews.com/internasional
/2014/12/12/soal-kapal-asing-vietnam-minta-indonesia-patuhi-hukuminternasional.
Ejournal. 2011. Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstens,
dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/2012070
81310382587/15.pdf.
FAO, Technical Guidelines For Responsible Fisheries, Implementation of The
Intenational Plan of Action To Prevent, Deter and Eliminate Illegal,
Unreported and Unregulated Fishing, Fiat Panis, 2012. Dapat diakses
secara online di http://www.imcsnet.org/imcs/docs/implementation_
ipoa.pdf.
FAO, Pengelolaan Perikanan (Fisheries Managment), Divisi Publikasi FAO
PBB, Roma 1997, hlm. 7. Dapat diakses secara online di http://www.fao.org
/publications/en/.
Jimly Asshiddiqie, Makalah, Penegakan Hukum, dapat diakses di http://www
.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, KKP Terbitkan
Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara onlie di: http://
kkp.go.id/index.php/ars.
------------- . KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses
secara onlie di http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/9236/KKP-TERBITKANKEPMEN-PENANGGULANGAN-IUU-FISHING/?category_id=2.
Marudut Hutajulu, “Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (Studi Putusan No:03/Pid.Sus.P/2012/Pn.Mdn)”, USU Law
Journal, Volume II Nomor I, Februari 2014, hlm.236. Dapat diakses secara
online di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=147257&
val=4099&title=ANALISIS%20HUKUM%20PIDANA%20TERHADAP%
20PENCURIAN%20IKAN%20DI%20ZONA%20EKONOMI%20EKSKL
USIF%20INDONESIA%20WILAYAH%20PENGELOLAAN%20PERIKA
NAN%20REPUBLIK%20INDONESIA%20%28STUDI%20PUTUSAN%2
0NO:%2003/PID.SUS.P/2012/PN.MDN
Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi
(Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3,
2011, ISSN : 1410-3648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon,
2011, hlm. 184. Dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/my
files/201207081310382587/15.pdf.
Purwito Martosubroto, “Implementation of the Code of Conduct for Responsible
Fishereis in the Marine Fisheries Sector, Indonesian Journal of
International Law, Vol 2, Nomor 3, April 2005, Jakarta, hlm. 8. Dapat
diakses di http://ijil.ui.ac.id/index.php/home/article/view/92.
Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan, dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t
&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw
iNoqy-kdXJAhVLkJQKHTqGAAIQFggyMAQ&url=http%3A%2F%2Fww
w.openpaper.its.ac.id%2Fdownload.php%2F%3Fidf%3D22&usg=AFQjCN
EdKnP_CuHjSOp5iSrQXhiaaFOOIA&sig2=gVPqtXQJV2cM6LrM6kLk9g
&bvm=bv.109910813,d.dGo).
Rokhmin Dahuri. Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Majalah Samudera,
Mei 2012, dapat diakses di http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamat
kan-indonesia-dari-IUU-Fishing/.
Susanto Masita, Law Enforcement of Illegal Fishing In Arafura Sea, dapat diakses
di
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/3d820644ecf4698c467865141a42
bcdc.pdf.
Sekolah Tinggi Perikanan. KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU
Fishing, dapat diakses secara online di http://www.stp.kkp.go.id/index.
php/arsip/c/860/KKP-Terbitkan-Kepmen-Penanggulangan-IUU-Fishing/.
Usmawadi Amir. “Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982
(Studi Kasus: Volga Case)”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 12, Januari—April
2013, dapat diakses secara online di: http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Pene
gakan%20Hukum%20IUU%20Fishing%20menurut%20UNCLOS%201982
%20.pdf.
Universitas Pembangunan Nasional, Upaya Indonesia mengatasi Illegal Fishing
ditingkat nasional, dapat diakses secara online di: http://library.upnvj.ac.id
/pdf/s1hi09/204613018/bab3.pdf.
C. Dokumen
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF).
International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported,
Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing).
Statuta Mahkamah Internasional.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Tentang : Pengesahan United
Nations Convention On. The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982).
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomorr 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per/18/Men/2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
Per.13/Men/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di
Bidang Perikanan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang
Pemberian Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran
Di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60 (Enam Puluh)
Gross Tonnage Kepada Gubernur.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang
Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal,
Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Keamanan Laut.
Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.
Download