“TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN INDONESIA” (Skripsi) Oleh BELARDO PRASETYA MEGA JAYA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2016 ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT TOWARDS FOREIGN VESSELS WHICH DID ILLEGAL FISHING IN INDONESIA'S FISHERIES MANAGEMENT AREAS By Belardo Prasetya Mega Jaya1 Many illegal fishing practices that occurred in Indonesia, make the government taking firm action to enforce the law. However, it was a controversial act. Therefore, the aims of the research are : (1) to examine and to analyze whether the enforcement of foreign vessels which did illegal fishing in Indonesia's Fisheries Management Areas is in appropriate with the international law and the national law; (2) to explain how the procedure of law enforcement. This research used normative legal research. The result shows that Indonesia has enforced the law by burning and/or sinking every foreign vessel which did illegal fishing in Indonesian sea. That action was according to Article 2 United Nations Convention on the Law of The Sea 1982 which regulate that every coastal state has sovereignty to enforce the law and determine the national regulation in its national sea area. Therefore, Indonesia has a sovereignty to determine the national regulation, that is The law Number 45 year 2009 concerning Fishery. According to that regulation, Indonesia could do the special action by burning and/or sinking the foreign vessels based on the preliminary evidence. However, it act was contoversial and contradict act with criminal justice system. Then, on its development, the actions of burning and/or sinking of foreign vessels was according to litigation and verdict that has legal binding inline with criminal justice system. Whereas the law enforcement in Indonesian Exclusive Economic Zone was according to Article 73 UNCLOS 1982 which would be punished by administrative sanctions and should pay a reasonable bond afterward the vessel and its crew would be deported to their country. Key Words : Law Enforcement, Illegal Fishing, Indonesian Sea, Indonesia's Fisheries Management Areas 1 Student of International Law, University of Lampung. ABSTRAK TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN INDONESIA Oleh Belardo Prasetya Mega Jaya1 Banyaknya Praktik illegal fishing yang terjadi di Indonesia, membuat Pemerintah mengambil tindakan yang tegas dalam menegakkan hukumnya. Namun tindakan yang diambil di Indonesia adalah tindakan kontroversial. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan: (1) Untuk menguji dan menganalisis apakah tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum nasional; (2) Untuk Menjelaskan bagaimana prosedur penegakan hukumnya. Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menegakkan hukumnya dengan membakar dan/atau menenggelamkan setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. Tindakan tersebut didasarkan pada Pasal 2 UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa setiap negara pantai mempunyai kedaulatan di wilayah Perairan Indonesia. Maka berdasarkan ketentuan tersebut, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan peraturan nasionalnya, yaitu Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, yang menyatakan bahwa Indonesia dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Namun tindakan tersebut adalah tindakan yang kontroversial serta bertentangan dengan sistem peradilan pidana Indonesia. Maka pada perkembangannya, tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal berbendara asing dilakukan sesuai dengan sistem peradilan pidana, yaitu berdasarkan proses peradilan terlebih dahulu dan dilakukan berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dilakukan berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, yaitu akan dikenakan sanksi administrasi dan harus membayar uang jaminan yang layak untuk kemudian awak kapal beserta kapalnya akan dideportasi ke negara asalnya. Kata Kunci : Penegakan Hukum, Illegal Fishing, Perairan Indonesia, Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia 1 Mahasiswa Hukum Internasional, Universitas Lampung. “TINDAKAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KAPAL ASING YANG MELAKUKAN ILLEGAL FISHING DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN INDONESIA” Oleh BELARDO PRASETYA MEGA JAYA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 30 September 1994, sebagai anak kedua dari empat bersaudara, dari Bapak H. Arizon Mega Jaya, S.H., M.Ba. dan Ibu Hj. Dra. Dermawati. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 01 Perumnas Way Halim, Bandar Lampung pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Al-Azhar 3 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 5 Bandar Lampung, lulus pada tahun 2012. Selama di sekolah, Penulis aktif dalam kegiatan Ekstrakulikuler di English Club, bahasa Jepang, dan beladiri karate. Di English Club, Penulis aktif di bidang story telling dan Scrabble dan meraih prestasi di berbagai Kompetisi di Lampung. Selain itu Penulis meraih prestasi di berbagai pertandingan Karate Se-Provinsi Lampung maupun Nasional. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, Penulis aktif di organisasi internal maupun eksternal kampus. Di internal kampus, Penulis aktif di UKM-F PERSIKUSI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Untuk Seni) dan menjabat sebagai Sekretaris Bidang pengkaderan periode 2013-2014, dan Ketua Bidang pengkaderan periode 2014-2015. Penulis juga aktif di Association of International Law Students (Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional) dan menjabat sebagai Ketua Umum periode 2015-2016. Selain itu, Penulis aktif dalam pembuatan Rancangan peraturan daerah dan Naskah Akademik. Di eksternal kampus, Penulis aktif di UKM Karate, dan aktif sebagai kader di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Cabang Bandar Lampung, Komisariat Hukum Unila dan menjabat sebagai Department Pelatihan Profesi KPP (Kewirausahaan dan Pengembangan Profesi) untuk periode 2015-2016. Penulis juga melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Cempaka Jaya Kecamatan Menggala Timur Kabupaten Tulang Bawang pada tahun 2015. Motto “Par imparem non habet imperium ( suatu Negara berdaulat tidak dapat Menjalankan kedaulatanNYA terhadap Negara berdaulat lain )” (Asas Hukum Internasional) “man jaddah Wajadah, selama kita bersungguhsungguh, maka kita akan memetik buah yang manis” (B.J Habibie) “FA inna ma’al usri yusro ( KARENA Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan )” (Q.S 94 : 5) “IF YOU WANNA BE SUCCESS, JUST MANAGE YOUR TIME EFFECTIVELY” (Belardo P. Mega Jaya) “KEBERHASILAN ADALAH KEMAMPUAN UNTUK MELEWATI DAN MENGATASI KEGAGALAN dan cobaan dari ALLAH SWT tanpa kehilangan semangat” (Belardo P. Mega Jaya) PERSEMBAHAN Bissmilahirrahmannirrahim Dengan segenap rasa syukur kepada Allah SWT, Penulis mempersembahkan karya ini kepada: Kedua orang tuaku yang senantiasa memberikan limpahan cinta kasih, nasihat, dukungan dan doa yang selalu menjadi kekuatan bagi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Kakak dan Adik-adikku tersayang yang senantiasa memberikan limpahan kasih sayang, dukungan, serta mendoakan Penulis. dan Almamaterku tercinta… Universitas Lampung. SANWACANA Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Lampung. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung; 2. Ibu Melly Aida, S.H., M.Hum., selaku Ketua Jurusan Hukum Internasional 3. Bapak Naek Siregar, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 4. Bapak Ahmad Syofyan, S.H., M.H., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 5. Bapak Abdul Muthalib Tahar, S.H., M.Hum., selaku Pembahas Utama atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 6. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H., selaku Pembahas serta Penguji Kedua atas kesediaannya meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 7. Kedua orang tua, Bapak H. Arizon Mega Jaya S.H., M.Ba. dan Ibu Hj. Dra. Dermawati yang Penulis cintai, dan kakak, Aristama Mega Jaya S.H serta adik-adik, Cakra Rakasiwi Mega Jaya dan Dila Anggita yang tak pernah berhenti untuk selalu memberikan do’a dan dukungan kepada Penulis; 8. Ibu DR. Nunung Rodliyah, DRA., M.A., selaku Pembimbing Akademik, yang telah membimbing Penulis selama kuliah; 9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya bagian Hukum Internasional (Ibu Rehulina Tarigan, S.H., M.H., Ibu Widya Krulinasari, S.H., M.H., Ibu Siti Azizah S.H., M.H., Maya S.H., M.H., dan lain-lain), atas bimbingan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini; 10. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Pak Rusmiyaldi, S.H. serta Mba Lusi atas bimbingan dan saran kepada penulis selama berorganisasi di Fakultas Hukum. 11. Bapak Marjiyono, Bapak Sujarwo dan Bapak Supendi yang selalu menyemangati dan membantu dalam segala urusan administrasi. 12. Jajaran Pengurus Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional Tahun 20142015 dan 2015-2016 (Benny Prawira, S.H., Kurniawan Manullang, Very Susan, Anisa, Tan Jessica, Shinta Wahyu P.S, El Renova Everyday S., Farid Al Rianto) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan; 13. Presidium Persikusi FH UNILA Periode 2014-2015 (Afif Ishar, Arief Triwibowo, Bayu Nusantara, Subarkah Surya, Rizki, dan lain-lain) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan; 14. Ketua Umum HIMA Pidana, HIMA Perdata, HIMA HTN, HIMA HAN, beserta jajarannya, atas kerjasamanya selama menjalankan Himpunan Mahasiswa di FH UNILA; 15. Teman-teman FH angkatan tahun 2012 (Redo Noviansyah, Lovia, Shabrina, Queen, Ajeng, Ari Kopong, Rama, Rachmad, Agus, Aria Canggih, Tia, Arman dan lain-lain) untuk cinta kasih, tawa, dukungan dan kebersamaannya selama ini; 16. Teman-teman KKN (Bram Saputra, Yuda Saputra, Rahma Febria Pramissella, Grihda Lorensa, Hera Julia Garamina, Emilia Kusuma Anjani, Meta Fitriani, Citra, Yoanita, Dita Rahmayanti, Renda) atas pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan. Akan selalu mengingat hari dimana kita bersama; 17. Presidium HmI Komisariat Hukum Unila periode 2015-2016 (Suma Indra, Alghafiqi, Aditya, James, Bonifa, Danny, Dimas, Iqbal, Kujang, Nandha, Risky Udin, Yudha Agung, Ragiel, Yudha Prawira, Ragiel, Rb Pratama, Ryo Novri, Dedy Ernadi, Dedy Sitepu, P.Dharma, Putri Utami, Julia Silviana, Silvia, Ratna Sari, Sari Tirta, Ika Nursanti, dan lain-lain); yang telah memberikan pembelajaran dan pengalaman yang baik; 18. Keluarga besar HmI Komisariat Hukum Unila, “Samudera Byzantium”, “Anti Stagnasi”, “Victoria Bonefide”, dan lain-lain untuk kebersamaan, pengalaman dan kekeluargaan yang sangat luar biasa; 19. Untuk sahabat-sahabat di Karate “Friends More Then Family” (Ferdi Pratama S.Kom, Utari S.Kom, Yulinda Amd, Gitty Ayu Amd. Keb, Breri Harisandro S.P, Suroyo S.Pd, Lyza S.Kom, Kabir S.Ked, Imel S.Kom, Praka Sunarto, Denny S.Kom, Resty Anggarini Amd. Keb, Sarizka S.pd., Harun S.E, Resky Amd, Angga S.H, Eko, Devi Indriani, Nisa Amd.G.z, Eko Anjelo, Sarah Mega, Dea, Citra, Celi, dan lain-lain) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan; 20. Untuk sahabat-sahabat rumah “old friends” (Agi Utama, Hamid, Yan Ardi, Andi Kupi, Aal, Wendi, dan lain-lain) atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dukungan dan pengalaman yang luar biasa yang kalian berikan; 21. Untuk teman-teman di SMA dan di LIA, atas rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan dukungan yang luar biasa yang kalian berikan; 22. Kepada semua pihak yang terlibat namun tidak dapat disebutkan satu persatu, Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Bandar Lampung, 10 April 2016 Penulis Belardo Prasetya Mega Jaya DAFTAR ISI Abstrak .................................................................................................................. i Halaman Judul....................................................................................................... iii Halaman Persetujuan ............................................................................................. iv Halaman Pengesahan ............................................................................................ v Riwayat Hidup ...................................................................................................... vi Motto ................................................................................................................... viii Persembahan ......................................................................................................... ix Sanwacana ............................................................................................................. x Daftar Isi..............................................................................................................xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................. 8 1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan .............................................................. 8 1.4. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 9 1.5. Sistematika Penulisan ...........................................................................10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Istilah ................................................................................13 2.1.1. Illegal Fishing ...........................................................................13 2.1.2. Penegakan Hukum ....................................................................15 2.1.3. Pengelolaan Perikanan .............................................................17 2.1.4. Wilayah Pengelolaan Perikanan ...............................................18 2.2. Hukum Laut Internasional .....................................................................20 2.2.1. Pengertian & Perkembangan Hukum Laut Internasional .........20 2.2.2. Sumber Hukum Laut Internasional ...........................................24 2.2.3. Subjek Hukum Laut Internasional ...........................................25 2.3. Pembagian Wilayah Laut .....................................................................27 2.3.1. Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara .............................27 2.3.2. Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan) Negara ......................................................................................30 2.3.3. Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan) Negara .......................................................................................34 2.4. Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum Illegal Fishing .......................................................................................36 2.5. Pengaturan Internasional yang Berkaitan dengan Pemberantasan Illegal Fishing .......................................................................................40 2.5.1. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (Konvensi Hukum Laut PBB 1982) .........................................40 2.5.2. Code of Conduct Responsible Fishiers (Tata Laksana untuk Perikanan yang Bertanggungjawab) ..............................44 2.5.3. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing) ................................................................48 2.6. Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal Fishing ................................................50 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian .....................................................................................61 3.2. Pendekatan Masalah ..............................................................................62 3.3. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ......................63 3.3.1. Sumber Data ..............................................................................63 3.3.2. Metode Pengumpulan Data ........................................................65 3.3.3. Metode Pengolahan Data ..........................................................65 3.4. Analisis Data ........................................................................................65 IV. PEMBAHASAN 4.1. Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional ..........................................67 4.2. Prosedur Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing Yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia .............74 4.2.1. Aparat Penegak Hukum dalam Kasus Illegal Fishing ................74 4.2.2. Prosedur Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia.....................................................................................81 4.2.2. Prosedur Penegakan Hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) ........................................................................94 V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ..........................................................................................98 5.2. Saran ....................................................................................................100 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara terluas didunia dengan total luas negara 5.193.250 km² (mencakup lautan dan daratan).1 Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara terluas ke-7 didunia setelah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, China, Brazil dan Australia. Indonesia merupakan negara terluas peringkat ke-2 di Asia dan merupakan negara terluas di Asia Tenggara. Luas lautan Indonesia lebih besar dibandingkan dengan luas daratannya, yaitu satu pertiga luas Indonesia adalah daratan dan dua pertiga luas Indonesia adalah lautan.2 Perairan laut Indonesia memiliki panjang pantai sampai 95.181 km2, dengan luas perairan 5,8 juta km2 yang terdiri ataslaut teritorial seluas 0,3 juta km, perairan kepulauan3 dengan luas 2,8 juta km2, dan perairan Zona Ekonomi Ekskulsif4 (ZEE) dengan luas 2,7 juta km2.5Luasnya lautan Indonesia sebenarnya membawa keuntungan dan manfaat yang baik bagi bangsa Indonesia, karena salah satu fungsi dari laut adalah sebagai sumber kekayaan alam. Sumber kekayaan alam 1 Supriadi & Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Palu: Sinar Grafika, 2011, hlm. 2. Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ, Jakarta, Tahun 2009, hlm. 2. 3 Perairan Kepulauan adalah perairan yang ditarik oleh garis pangkal kepulauan. 4 ZEE adalah laut yang berada di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang berada 200 mil dari garis pangkal dan 188 mil dari garis batas luar laut teritorial. 5 Supriadi & Alimudin, Loc.Cit. 2 2 yang terkandung dilautan sangat berlimpah, sehingga bisa digunakan atau dimanfaatkan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia. Kekayaan alam yang berada dilaut tersebut meliputi daerah perairan dan daerah dasar laut serta tanah dibawahnya. Kekayaan alam yang berada didaerah dasar laut dan tanah dibawahnya meliputi kekayaan non hayati6, yaitu: bahan tambang seperti minyak bumi, gas, dan bahan polimetalik lain. Sedangkan kekayaan alam yang berada didaerah perairan meliputi kekayaan hayati7, yaitu: berbagai macam jenis ikan, dari ikan yang berukuran kecil sampai ikan yang berukuran besar. Ikan merupakan komoditas pangan yang sangat diminati oleh semua orang, bahkan di seluruh dunia. Potensi yang dimiliki Indonesia tersebut merupakan suatu peluang dan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan perekonomian Indonesia, serta sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Namun, di sisi lainpotensi atau keadaan tersebut justru menyebabkan wilayah Indonesia sering terjadi illegal fishing (penangkapan ikan secara illegal).8Ditambah lagi letak posisi silang Indonesia yang terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia) menjadi penyebab wilayah Indonesia menjadi rawan terjadi praktikillegal fishing. Adapun daerah yang menjadi titik rawan tersebut terletak di 6 Kekayaan non hayati: Kekayaan alam yang sifatnya tidak dapat diperbaharui, artinya apabila dieksploitasi secara terus-menerus akan habis. 7 Kekayaan hayati: Kekayaan alam yang sifatnya dapat diperbaharui, artinya apabila dieksploitasi secara terus-menerus tidak akan habis. (dengan syarat dilakukan dengan cara yang benar, yang tidak merusak lingkungan laut). 8 Berita online, Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan, dapat diakses di http:// news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-transnasionalyang-dilupakan. 3 laut Arafuru, laut Natuna, sebelah Utara Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), selat Makasar, dan Barat Sumatera (Samudra Hindia).9 Sering terjadinya praktik illegal fishing sangat merugikan Indonesia, baik di bidang ekonomi, ekologi, dan sosial. Data Badan Pangan Dunia atau FAO10 (Food and Agriculture Organization) mencatat, kerugian Indonesia per tahun akibat illegal fishingmencapai Rp. 30 triliun.11 Jumlah kerugian tersebut merupakan jumlah yang tidak sedikit. Selain itu, praktik illegal fishing juga berdampak pada menurunnya stok sumber daya ikan dan hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi para nelayan yang beroperasi secara legal, serta dapat mengakibatkan menurunnya ketahanan pangan. Bahkan akibat praktik illegal fishing proporsi konsumsi rakyat Indonesia terhadap protein hewani yang berasal dari ikan hanya sebesar 54%.12 Ini merupakan masalah yang besar dan sangat merugikan Indonesia, oleh karena itu dibutuhkan tindakan yang tepat dalam menangani masalah tersebut. Indonesia mulai mengambil tindakan tegas dalam penegakan terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI), yaitu dengan melakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang telah terbukti melakukan illegal fishing di wilayah perairan Republik Indonesia (RI). Contohnya kapal asing milik 9 Ibid. FAO adalah sebuah organisasi PBB yang bertugas meningkatkan standar pangan dan produksi di dunia, memperbaiki hasil-hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan. 11 Berita online, Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses di http://finance. detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susi-kerugian-akibat-illegal-fishing-rp240-triliun. 12 Berita online, Penenggelaman Kapal Asing,dapat diakses di http://nasional.kompas.com/read/ 2014/12/12/14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing. 10 4 Thailand yang ditenggelamkan pada 9 Februari 2015.13Kemudian, empat kapal asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Kalimantan. Dari empat kapal tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 001 pada 14 Maret 2015, di perairan Natuna yang penyidikannya dilakukan oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP)Pontianak. Dua kapal Vietnam lainnya ditangkap oleh Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 27 Juni 2015 di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar perairan Natuna, yang penyidikannya dilakukan juga oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak.14 Pada 22 Oktober 2015, Indonesia juga menenggelamkan dua kapal asing berbendera Vietnam di perairan Batam, Kepulauan Riau, serta 1 kapal berbendera Thailand di perairan Langsa, Aceh. Ketiganya ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan 005 pada 7 Maret 2015 dan 22 Maret 2015 di perairan sekitar Batam.15Sedangkan kapal asing yang melakukanillegal fishing di ZEEI akan dikenakan sanksi administratif dan harus membayar uang jaminan yang layak (reasonable bound). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan agar penegakan hukum di Indonesia tegas dan berjalan efektif, sehingga para nelayan asing akan jera untuk menangkap ikan secara illegaldan tidak ada lagi kerugian besar yang diderita negara Indonesia. 13 Berita online, Ditenggelamkan Susi: Cara Kapal Thailand Mencuri, 2015, dapat diakses di http: //bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditenggelamkan-susi-cara-kapal-thailandmencuri. 14 Berita online, Situs Berita dan Informasi Lingkungan, Penenggelaman Kapal Asing, Bukti Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing, Oktober 2015, dapat diakses di http://www.mongabay .co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-asing-bukti-indonesia-serius-perangi-illegal-fishing/. 15 Ibid. 5 Pada praktiknya tindakanpembakaran dan/atau penenggelaman terhadap setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing menimbulkan reaksi dari negaranegara tetangga.16 Contohnya, Thailand melalui Kementerian Luar Negeri Thailand, Arrmanantha Nassir menganggap bahwa penenggelaman kapal asing pencuri ikan oleh Indonesia sebagai langkah yang salah. Sebab, tindakan tersebut bisa mengancam keamanan di ASEAN. ―Kami tekankan Indonesia memiliki komitmen tinggi sekali terhadap ASEAN, dan juga terhadap adanya suatu keadaan yang aman dan damai di kawasan‖.17 Selain itu seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan bahwa, Vietnam berharap Indonesia menangani para nelayan asing yang melanggar wilayah perairannya sesuai dengan hukum internasional dan atas pertimbangan kemanusiaan.18 Kementerian Luar Negeri Malaysia juga berharap bahwa pemerintah Indonesia akan bertindak dengan itikad baik (good faith) yang menjamin kesejahteraan nelayan dalam menangani insiden sejenis ini di masa depan.19 Kementerian Luar Negeri Malaysia juga mempertanyakan kebijakan dan tindakan yang dilakukan Indonesia terhadap penenggelaman kapal, hal ini mengingat kedua negara tersebut telah menandatangani Memorandum of Understanding(MoU)20 pada tanggal 27 16 Berita online, RI Harus Antisipasi Reaksi Keras Soal Penenggelaman Kapal, dapat diakses dihttp://wartaharian.net/berita/109-nasional/20189-ri-harus-antisipasi-reaksi-keras-soalpenenggelam an-kapal.html. 17 Berita online, InternationalNews, Media Thailand Protes Penenggelaman Kapal, Ini Reaksi RI, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/947375/40/media-thailand-protes-peneng gelaman-kapal-ini-reaksi-ri-1420625646. 18 Berita online, Soal Kapal Asing, Vietnam Minta Indonesia Patuhi Hukum Internasional, dapat diakses di http://www.tribunnews.com/internasional/2014/12/12/soal-kapal-asing-vietnam-mintaindonesia-patuhi-hukum-internasional. 19 Berita online, Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Indonesia, Ini Reaksi Malaysia, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/948812/40/kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkanindonesia-ini-reaksi-malaysia-1420884073. 20 MoU adalah suatu Nota Kesepakatan/Kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia mengenai keamanan teritorial laut. 6 Januari 2012. Berdasarkan MoU antara Indonesia dan Malaysia, Indonesia tidak perlu menahan para nelayan, melainkan cukup mengusir kapal-kapal tersebut.21 Selain menimbulkan reaksi dari negara-negara tetangga, tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing juga dinyatakan melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, yaitu ketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS). Pasal 73 ayat (1) UNCLOS menyatakan negara pantai dapat mengambil tindakan menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan. Tindakan tersebut juga dianggap bertentangan dengan Pasal 73 ayat (2)UNCLOS yang menyatakan bahwa kapal-kapal yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Selanjutnya Pasal 73 ayat (3) UNCLOS mengatur hukuman yang dijatuhkan negara pantai terhadap tindak pidana di wilayah ZEE yaitu: ―Indonesia tidak boleh menghukum dengan hukuman yang mencakup hukuman badan, hukuman badan hanya dapat berlaku kalau sudah menandatangani perjanjian bilateral dengan negara lain. Kapal nelayan asing yang melakukan pencurian ikan atau menangkap ikan secara illegal dapat didenda dan kemudian nelayan asing kapal tersebut dapat dideportasi ke negara asalnya‖.22 21 Berita online, Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan, dapat diakses di http://luar-negeri .kompasiana.com/2014/12/02/kebijakan-penenggelaman-kapal-perlu-disosialisasikan-agar-tidakganggu-hubungan-dengan-negara-lain-689833.html. 22 Berita online, Konsekuensi Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://nasional.sindonews .com/read/935809/18/konsekuensi-penenggelaman-kapal-1418270847/1. 7 Dengan demikian tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing tersebut adalah tindakan yang kontroversial, disatu sisi Indonesia mengambil kebijakan atau tindakan tegas demi menjaga kedaulatan wilayahnya, namun disisi lain kebijakan atau tindakan tersebut mengundang reaksidari negara lain khususnya negara yang kapalnya ditenggelamkan oleh Indonesia karena dianggap bertentangan dengan ketentuan Internasional dan dianggap sebagai tindakan salah, bukan tidak mungkin negara lain akan membalas tindakan tegas yang dilakukan Indonesia terhadap kapal Indonesia maupun warga negara Indonesia (WNI) yang berada di negaranya. Jika seperti itu maka akan mengakibatkan tegangnya hubungan politis antara Indonesia dengan negara lain. Apabila ketegangan politis terus berlanjut, tentunya lambat laun akan berpotensi menimbulkan konflik antarnegara, bahkan dapat menimbulkan konflik bersenjata yang tentunya tidak diinginkan. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia harus benar-benar mempertimbangkan tindakan tersebut sehingga tidak terjadi masalah untuk kedepannya. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis apakah tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum nasional serta bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Kajian dan analisis tersebut berjudul: “Tindakan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia” 8 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum nasional ? 2. Bagaimanakah prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Peneitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah: 1. Untuk menguji dan menganalisis apakah tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum internasional dan hukum nasional. 2. Untuk menjelaskan bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 1.3.2. Manfaat Penulisan Manfaat dari penelitian ini terdiri dari dua aspek yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran 9 dan pengetahuan serta wawasan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya, khususnya mengenai apakah tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum internasional dan hukum nasional serta mengenai bagaimanaprosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para akademisi pada khususnya, dalam hal pengembangan ilmu hukum khususnya hukum internasional untuk kemudian digunakan sebagai data sekunder dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan legalitastindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishingmenurut hukum internasional dan hukum nasional serta mengenai bagaimanaprosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Hasil dari penelitian diharapkan juga dapat menjadi rujukan bagi setiap negara untuk dapat saling menghormati kedaulatan negara masing-masing dalam hal pemanfaatan laut. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian di bidang ilmu hukum internasional, oleh karena itu penelitian ini akan meneliti ketentuan hukum internasional, yaitu United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), Code of Conduct 10 For Responsible Fisheries (CCRF), dan International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing)khususnya mengenai tindakan penegakan hukum terhadapkapal asing yang melakukan illegal fishing.Selain itu penelitian ini juga akan meneliti perundang-undangan nasionalyang dijadikan dasar hukum terkait dengan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan PerikananIndonesia. 1.5. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam penulisan, dan pengembangan terhadap isi skripsi ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisirkan ke dalam bab demi bab sebagai berikut: I. Pendahuluan Pada bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab ini merupakan gambaran umum dari isi skripsi untuk memudahkan pembaca dalam mempelajari dan memahami isi skripsi ini. II. Tinjauan Pustaka Bab ini membahas tentang pengertian umum mengenai pokok-pokok pembahasan skripsi, yang meliputi tinjauan umum mengenai illegal fishing, hukum laut internasional, pembagian wilayah laut, hubungan teori kedaulatan dengan penegakan hukum illegal fishing, pengaturan internasional yang relevan dengan penegakan hukum illegal fishing, yaitu: United Nations Convention on The Law 11 ofThe Sea (UNCLOS), Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF), International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing), dan pengaturan perundangundangan nasionalyang relevan dengan pemberantasan dan penegakan hukum illegal fishing. Bab ini merupakan landasan teoritis untuk memberikan dasar– dasar teori sehingga memudahkan dalam pembahasan yang akan dibahas dalam bab IV. III. Metodologi Penelitian Bab ini membahas tentang metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yang terdiri dari jenis penelitian, pendekatan masalah, data dan sumber data, prosedur pengumpulan data, prosedur pengolahan data dan analisis data. Bab ini dimaksudkan untuk membentuk gambaran secara jelas tentang bagaimana penelitian ini akan dilakukan serta didukung dengan metode penelitian ilmiah. IV. Hasil Penelitian dan Analisis Data Bab ini dimulai dengan pemaparan hasil penelitian dan uraian dari pembahasannya. Diawali dengan pemaparan pemecahan masalah yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yaituapakahpenegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia sesuai dengan hukum nasional dan hukum internasionalserta mengenai bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan indonesia. 12 V. Penutup Bab ini menguraikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saransaran. Dalam bagian ini dijelaskan bahwa kesimpulan merupakan inti dari keseluruhan uraian yang dibuat setelah permasalahan selesai dibahas secara menyeluruh. Terakhir, berdasarkan kesimpulan tersebut kemudian diberikan saran-saran yang berguna sebagai masukan dari apa yang telah diteliti. 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Istilah 2.1.1. Illegal Fishing Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan negara yang memiliki kepulauan terbesar dan terbanyak yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas sekitar 3.1 juta km 2 (0,3 juta km2 perairan teritorial an 2,8 juta km2 perairan kepulauan) atau 62% dari luas teritorialnya.23 Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, adalah dua pertiga wilayahnya adalah perairan laut yang kaya akan sumber daya laut dan ikan. 24 Namun kekayaan yang sangat berlimpah tersebut justru menimbulkan banyaknya praktikIllegal Fishing yang dilakukan oleh kapal dari negara lain (kapal asing). Illegal fishing atau penangkapan ikan secara illegal menurut International Plan of Action-Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUUFishing) adalah kegiatan yang:25 23 Rokhimin, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Pertama, 1996, hlm.1. 24 Marhaeni Siombo, Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ, Jakarta, Tahun 2009, hlm. 2. 25 FAO, Journal, Technical Guidelines For Responsible Fisheries, Implementation of The Intenational Plan of Action To Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, Fiat Panis, 2012, hlm. 4-5. 14 1. Dilaksanakan oleh kapal-kapal nasional dan asing dalam wilayah yurisdiksi negara tanpa izin atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan negara tersebut; 2. Dilaksanakan oleh kapal yang mengibarkan bendera negara anggota organisasi perikanan regional tetapi bertentangan dengan prinsip konservasi dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut dimana negara bendera itu terikat atau bertentangan dengan prinsip yang dilakukan oleh suatu hukum internasional; 3. Bertentangan dengan hukum nasional dan kewajiban internasional termasuk yang dilaksanakan oleh negara-negara yang bekerjasama dengan organisasi regional. Kegiatan penangkapan ikan yang melanggar hukum yang paling umum terjadi di WPP-RI adalah pencurian ikan oleh kapal penangkap ikan berbendera asing, khususnya dari beberapa negara tetangga, dengan wilayah operasi bukan hanya perairan ZEE Indonesia, melainkan masuk sampai ke Perairan Indonesia.26 Bentuk-bentuk kegiatan illegal fishing yang umumnya terjadi di wilayah perairan Indonesia diantaranya yaitu:27 (1) penangkapan ikan tanpa izin, (2) penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu, (3) penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang, (4) penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan daerah tangkapan yang tercantum dalam surat izin penangkapan ikan. Illegal fishing di Perairan Indonesia mayoritas dilakukan oleh negara-negara tetangga dengan 26 Bab IV Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreporte and Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016. 27 Akhmad Solihin, Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional,tesis, Universitas Padjadjaran,Bandung, 2008, hlm. 163. 15 menggunakan kapal berukuran besar dan alat tangkap yang canggih. 28Menurut penulis, Illegal fishing adalah penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing di wilayah yang bukan merupakan yurisdiksinya atau melakukan penangkapan ikan tanpa izin dari negara yang memiliki yurisdiksi di wilayah tersebut, dan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan izinnya. Banyaknya praktikillegal fishing tersebut tentunya menimbulkan banyak kerugian bagi Negara Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan penegakan hukum yang efektif untuk mengatasi masalah tersebut. 2.1.2. Penegakan Hukum Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya.29 Penegakan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya aparat penegak hukum untuk menjamin dan memastikan aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya, dimana aparat penegak hukum tersebut, apabila diperlukan dapat menggunakan daya paksa untuk menegakkannya. Sedangkan dalam arti luas, 28 M. Ghufran, Pengelolaan Perikanan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Baru Press, 2015, hlm. 23. Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 109. 29 16 penegakan hukum dapat diartikan sebagai keterlibatan seluruh subjek hukum dalam setiap hubungan hukum untuk penegakan hukum.30 Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan.31 Menurut Sadjipto Rahardjo penegakan hukum adalah sebuah kegiatan yang mewujudkan keinginan hukum menjadi nyata.32 Penegakan hukum adalah penerapan ketentuan hukum secara konkrit oleh aparat penegak hukum atau dengan kata lain, penegakan hukum merupakan pelaksana dari peraturan-peraturan. Dengan demikian, penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia.33 Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas legalitas, dimana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku 30 Berita online, Penegakan Hukum, dapat diakses di: http://statushukum.com/penegakan-hukum .html. 31 Esmi Warasih, Lembaga Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru, Utama, Semarang, 2005, hlm. 11. 32 Berita online, Penegakan Hukum Menurut Para Ahli, dapat diakses di: http://www.pengertianart idefinisi.com/pengertian-penegakan-hukum-menurut-para-ahli/. 33 M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Deskresi Kepolisian) Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1991. hlm. 42. 17 dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.34 Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa penegakan hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Indonesia menerapkan dan melaksanakan hukum dengan memberikan sanksi kepada setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.35 2.1.3. Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan terdiri dari 2 (dua) kata, yaitu pengelolaan dan perikanan. Pengelolaan kata dasarnya adalah ―kelola‖ yang artinya adalah mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus, atau menjalankan. Berdasarkan arti kata tersebut, pengelolaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang mengendalikan, menyelenggarakan, mengurus, ataupun menjalankan suatu kegiatan agar objeknya memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan pengertian perikanan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan penangkapan, pemeliharaan, dan pembudidayaan ikan. Maka pengertian pengelolaan perikanan adalah kegiatan mengurus atau menjalankan sesuatu yang berhubungan dengan penangkapan, pemeliharaan, dan pembudidayaan ikan.36 34 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 15. Supriadi & Alimudin, Op.Cit., hlm. 428. 36 Gatot Supramano, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, hlm 15. 35 18 Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pemberian rumusan tersebut sangat luas agar dapat menampung semua persoalan perikanan baik yang sifatnya teknis maupun non teknis karena merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pengelolaan perikanan. Selain itu pemberian rumusan tersebut bertujuan agar dalam melakukan pengelolaan perikanan dapat dilaksanakan dengan lebih baik dan profesional serta dapat memperoleh hasil dengan manfaat yang lebih besar.37 2.1.4. Wilayah Pengelolaan Perikanan Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, perlu menetapkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI).38 WPP-RI merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, 37 Ibid., hlm 16. Point b Konsideran menimbang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perizinan Usaha Perikanan. 38 19 konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan ZEEI.39 Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:40 1. Perairan Indonesia; 2. ZEEI; dan 3. Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia Sebagaimana diatur pada Undang-Undang Perikanan, bahwa usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Kecuali terhadap orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.41 Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.42 39 Pasal 1 Angka (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Perizinan Usaha Perikanan. 40 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 41 Pasal 29 Undang-Undang Perikanan. 42 Pasal 30 Undang-Undang Perikanan. 20 2.2. Hukum Laut Internasional 2.2.1. Pengertian & Perkembangan Hukum Laut Internasional Pemakaian istilah hukum laut, baik nasional maupun internasional, tanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, karena dalam perpustakaan hukum Belanda, istilah Zeerecht atau hukum laut biasa dipakai dalam arti yang lebih sempit. W.L.P.A Moelengraaf, H.F.A Vollmar, dan F.G Scheltemadalam Het Nieuwe Zeerehct, mempelajari hukum laut dalam bidang peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan pelayaran kapal di laut, khususnya tentang pengangkutan barang atau orang dengan kapal laut. Pada intinya, kebanyakan para ahli mempelajari hukum laut dalam lingkungan hukum perdata, tidak meliputi hukum publik.43 Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini pengaturan laut tidak hanya ditinjau dari aspek hukum perdatanya saja, tetapi justru lebih ditekankan pada aspek publik, mengingat aspek perdata hanya sebagian kecil dari persoalan hukum laut saat ini.44 Hukum laut menjadi sangat luas pengaturannya, tidak hanya mempelajari pengaturan dalam bidang peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan pelayaran kapal di laut, khususnya tentang pengangkutan barang atau orang dengan kapal laut saja, tetapi juga mengatur semua bidang yang berhubungan dengan laut termasuk juga pengaturan negara-negara dalam hal pemanfaatan laut. Menurut Victor Situmorang, yang dimaksud dengan hukum laut adalah:45 ―Suatu kumpulan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur lalu lintas laut. Maksud dan arti ini tentunya tidak tegas karena ―lalu lintas laut‖ bukan hanya mengenal hubungan antara warga negara 43 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung, 1991, hlm. 7. Ibid. 45 Victor Situmorang, Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 44. 44 21 dengan negara, melainkan juga hubungan berbagai negara yang satu dengan negara yang lain‖. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum laut internasional adalah:46 ―asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara yang berkenaan dengan laut, baik yang berada di dalam wilayah maupun di luar wilayah atau laut bebas, baik dalam aktivitas pemanfaatannya maupun akibat negatif dari pemanfaatannya‖. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum laut internasional adalah keseluruhan kaedah peraturan yang mengatur tentang laut, bagian-bagian laut (zona-zona laut) dan pemanfaatannya. Sejarah perkembangan hukum laut internasional mula-mula muncul di benua Eropa yaitu sebelum Imperium Roma dalam puncak kejayaannya menguasai seluruh tepi lautan tengah (Mediterania47). Kerajaan-kerajaan Yunani, Phoechia, dan Rhodes mengklaim kekuasaan atas laut dengan pemilik kerajaan atas laut. Peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi, berpengaruh pula terhadap orang-orang Yunani dan Romawi.48Pada masa kerajaan Imperium Roma seluruh laut tengah (Mediterania) berada di bawah kekuasaannya. Persoalan kelautan pada masa itu tidaklah memerlukan pengaturan karena tidak ada pihak lain yang menentang dan menggugat kekuasaan mutlak Roma atas laut tengah. Dasar pemikiran penguasaan Romawi atas laut pada waktu itu, karena laut merupakan suatu res communis omnium, atau hak bersama umat manusia, hal ini 46 Ibid., hlm 4. Laut Mediterania adalah laut antarbenua terletak antara Eropa di utara, Afrika di selatan dan Asia di timur. 48 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta 1983, hlm 2. 47 22 menjadi asas yang digunakan dalam mengatasi persoalan kelautan dan merupakan suatu konsepsi penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.49 Asas res communis omnium, mula-mula digunakan dalam arti hak bersama umat manusia untuk menggunakan laut sebagai sarana pelayaran yang bebas dari gangguan perompak (bajak laut), akan tetapi penggunaan laut semakin berkembang seperti untuk menangkap ikan, asas ini juga dijadikan dasar kebebasan dalam menangkap ikan. Disamping itu pada masa Romawi di kenal pula pemikiran yang menganggap laut sebagai res nullius, yaitu menganggap laut dapat dimiliki oleh siapapun, sehingga siapapun dapat menguasai, menduduki dan memilikinya.50 Perkembangan hukum laut ini semakin pesat setelah runtuhnya Imperium Roma, karena beberapa negara sekitar laut tengah menuntut pembagian laut yang berbatasan dengan pantainya dengan alasan yang bermacam-macam. Seperti Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan Pisa yang mengklaim laut Thyrenia.51 Oleh karena itu pendapat bahwa laut merupakan hak bersama umat manusia tidak disetujui atau didukung lagi oleh masyarakat internasional. Kemudian masyarakat internasional sepakat untuk diadakan pembagian terhadap wilayah-wilayah laut agar tidak terjadi masalah terhadap pemanfaatan laut. Masyarakat Internasional menyadari bahwa untuk mengantisipasi berbagai masalah yang berkenaan dengan laut, tidaklah cukup diatur dengan konsepsi 49 Ibid. Ibid., hlm. 3. 51 Ibid., hlm. 5. 50 23 konferensi Den Haag 1930 yang diprakarsasi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) saja.52 Oleh karena itu diadakan konferensi yang melengkapi konferensi Den Haag 1930, yaitu Konferensi Jenewa 1958 yang diadakan pada tanggal 24 Februari sampai tanggal 27 April 1988 dan dihadiri oleh 86 negara. 53 Dalam Konferensi ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:54 1. Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone); 2. Konvensi II tentang Laut bebas (Convention on the High Seas); 3. Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Hayati Laut bebas (Convention on Fishing and Conservation Resources of the High Seas); 4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf). Dalam konferensi ini berhasil merumuskan empat konvensi tersebut, tetapi tidak menentukan bagaimana penetapan lebar wilayah laut teritorialnya sehingga masing-masing negara menetapkan lebar laut teritorial dengan caranya masingmasing. Untuk melengkapi pengaturan Konvensi Jenewa 1958, PBB kembali menyelenggarakan Konferensi Internasional mengenai hukum laut pada tahun 1982. Konferensi Hukum Laut 1982 melengkapi pengaturan terhadap penentuan batas-batas atau lebar wilayah laut teritorial masing-masing. Konferensi Hukum Laut1982 diadakan di Chili pada tahun 1973 tetapi baru terlaksana tahun 1972 di 52 Heryandi, Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum: Universitas Lampung, 2013, hlm. 10. Ibid. 54 Ibid., hlm. 11. 53 24 Ibu Kota Venezuela, Caracas.55Konferensi Hukum Laut merupakan konferensi terbesar selama abad XX karena dihadiri oleh 160 negara peserta dan sekitar 5000 delegasi yang berlatar belakang disiplin ilmu, serta memakan waktu terlama yaitu selama 9 tahun (dari tahun 1973 hingga tahun 1982). Konferensi Hukum Laut 1982 menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) yang dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982). Konvensi tersebut merupakan konvensi dengan pengaturan yang paling lengkap dan telah berhasil disepakati oleh negara-negara. Hal ini terbukti sejak tahun 1994 berlakunya konvensi, pada tahun 1999 telah diratifikasi oleh 130 negara yang kemudian dijadikan sumber hukum laut internasional.56 2.2.2. Sumber Hukum Laut Internasional Sumber hukum dapat diartikan sebagai asal muasal dan tempat mengalir keluarnya hukum yang dapat digunakan sebagai tolak ukur, kriteria, dan sarana untuk menentukan isi, substansi, materi, dan keabsahan.57 Sumber hukum laut internasional tidak lepas dari hukum internasional umum. Karena hukum laut internasional merupakan cabang dari hukum internasional umum. Sumber hukum internasional (dalam arti formil58) dapat ditemukan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:59 (1) Perjanjian-perjanjian internasional; (2) Kebiasaan internasional; (3) Asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa yang beradab; (4) Putusan-putusan pengadilan dan pendapat sarjana yang 55 M. Dimyati Hartono, Hukum Laut Internasional, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977, hlm. 53. Heryandi, Op.Cit., hlm. 12. 57 Wahyu Sasongko, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011, hlm. 22. 58 Sumber hukum dalam arti formil adalah sumber yang menentukan bentuk, cara, proses dan menyelidiki dimanakah hukum dapat ditemukan dalam bentuknya yang konkrit/formal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang konkrit tertentu. 59 Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, dapat diakses secara online di: https://unic .un.org/aroundworld/unics/common/documents/publications/uncharter/jakarta_charter_bahasa.pdf. 56 25 terkemuka (doktrin); (5) Putusan-putusan organisasi internasional (sumber di luar Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang merupakan perkembangan hukum internasional). Hukum laut internasional sebagai cabang dari hukum internasional umum, maka sumber hukum laut internasional sama seperti sumber hukum internasional umum, hanya saja pada hukum laut internasional, kebiasaan internasional tidak lagi menjadi sumber hukum, karena masalah-masalah yang tidak diatur dalam konvensi ini tetap tunduk pada ketentuan dan asas hukum internasional umum.60 Maka apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 akan berlaku asas-asas hukum internasional umum. 2.2.3. Subjek Hukum Laut Internasional Pada umumnya subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban menurut hukum dan setiap pemilik/pemegang kepentingan yang mempunyai kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum.61 Subjek hukum internasional menurut J.G Starke diartikan sebagai: (1) Pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional; (2) Pemegang hak istimewa (privilege) untuk mengajukan tuntutan di muka pengadilan internasional; dan (3) Pemilik kepentingankepentingan yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum internasional.62 Berdasarkan pengertian tersebut dalam hukum nasional (perdata) yang menjadi subjek hukum adalah manusia dan sesuatu yang berdasarkan aturan hukum 60 Mukadimah Konvensi Hukum Laut 1982, dapat diakses secara online di: http://www.un. org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf. 61 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 50. 62 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Sinar Grafika: Jakarta, 1992. 26 dianggap mampu melakukan perbuatan hukum (seperti manusia) yaitu badan hukum. Pengertian subjek hukum internasional berbeda dengan subjek hukum nasional, karena hukum internasional digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional yang terdiri atas negara-negara yang merdeka, organisasi internasional, juga kesatuan-kesatuan lain bukan negara, dimana diantara lain selalu saling berinteraksi satu sama lainnya.63 Maka yang menjadi subjek hukum internasional adalah:64 (1) Negara; (2) Tahta suci vatikan; (3) Palang Merah Internasional; (4) Organisasi Internasional; (5) Organisasi Pembebasan; (6) Pihak Berperang (belligerent); (7) Individu. Hukum laut internasional merupakan bagian dari hukum internasional, maka subjek hukum laut internasional adalah:65 1. Negara, baik berpantai maupun tak berpantai; 2. Organisasi Internasional, meliputi organisasi internasional universal antara lain PBB dan badan-badan khususnya contohnya International Maritime Organization (IMO), dan organisasi regional; 3. Pihak Berperang (belligerent), terutama pihak yang dapat menguasai bagian wilayah yang berpantai; 4. Individu (dalam arti terbatas). Dalam hal ini pembajak kapal laut dapat menjadi subjek hukum internasional karena melanggar Konvensi Hukum Laut 1982, dan Konvensi Roma 1988. 63 Abdul Muthalib, 2013, Op.Cit., hlm. 9. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003, hlm. 95. 65 Abdul Muthalib, 2011, Op.Cit., hlm. 12-13. 64 27 2.3. Pembagian Wilayah Laut Negara-negara yang sedang berkembang akan berusaha melakukan penguasaan atas laut guna perluasan yurisdiksi untuk melindungi kepentingan- kepentingannya, apalagi kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong adanya keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang akan dapat memberikan keuntungan mengimplementasikan bagi suatu negara. keinginan-keinginan Oleh dan karena mengatur itu, untuk kepentingan- kepentingan semua negara-negara internasional agar tidak terjadi tumpang tindih antar kepentingan tersebut, maka diadakanlah konvensi-konvensi hukum laut internasional, dimana terakhir telah berhasil dilaksanakannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 yang telah menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Salah satu ketentuan UNCLOS 1982 adalah mengatur terkait batas-batas maritim. UNCLOS 1982 mengatur pembagian laut yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan negara, wilayah laut di bawah yurisdiksi negara, dan wilayah laut di luar yurisdiksi negara. 2.3.1. Wilayah Laut di Bawah Kedaulatan Negara Wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan negara adalah bagian laut dimana suatu negara mempunyai hak penuh dalam wilayah tersebut dan mempunyai wewenang tertinggi untuk menguasai wilayah tersebut. Daerah yang menjadi kedaulatan negara terdiri dari laut teritorial (territorial sea), perairan pedalaman (Internal waters), perairan kepulauan (Archipelagic sea).66 Wilayah tersebut 66 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 28 disebut juga sebagai wilayah perairan Indonesia. Hal ini juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan bahwa Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.67 1. Laut teritorial Indonesia (Territorial sea) Laut teritorial merupakan perairan nasional berupa jalur laut yang terletak di sepanjang pantai dari garis pangkal68 dan dibatasi oleh garis batas luar (outer limit) laut teritorial.69 Pengertian tersebut merupakan pengertian secara umum karena pada saat itu belum ada penentuan lebar dari laut teritorial. Setelah Konvensi Hukum Laut 1982 ditetapkan barulah dapat dirumuskan secara pasti lebar laut teritorial, dimana setiap negara mempunyai hak untuk menetapkan lebar laut teritorialnya tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal dan dibatasi oleh garis yang jarak setiap titiknya dari yang terdekat dari garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial.70 Maka dapat disimpulkan bahwa laut teritorial merupakan perairan nasional berupa jalur laut, dimana jalur tersebut tidak melebihi 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal dan dibatasi oleh garis batas luar (outer limit) laut teritorial. Sedangkan Indonesia merupakan negara kepulauan oleh karena itu laut teritorial Indonesia diukur dari garis pangkal kepulauan71 Indonesia.72 67 Pasal 1 Angka (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Garis pangkal adalah garis yang digunakan untuk menetapkan laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen negara pantai. 69 Mochtar Kusumaatmadja,1983, Op.Cit., hlm. 317. 70 Pasal 3 dan 4 UNCLOS 1982, dapat diakses secara online di: http://www.un.org/depts/los/ convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf. 71 Garis pangkal kepulauan adalah garis yang menentukan perairan kepulauan yang menarik titiktitik terluar pulau-pulau utama. 72 Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 68 29 2. Perairan pedalaman (Internal waters) Perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut.73 Sedangkan dalam Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, ―Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.74 3. Perairan Kepulauan (Archipelagic sea) Perairan Kepulauan adalah perairan yang ditarik oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik dari titik-titik terluar pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan daerah perairan dan daerah daratan adalah satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu (1:1 dan 9:1). Panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut kecuali 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi umum, dan juga tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut (low-tide elevations) kecuali terdapat mercusuar atau instalasi permanen dan jaraknya tidak melebihi lebar laut teritorial, yaitu 12 mil. 73 74 Pasal 8 UNCLOS 1982. Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 30 Negara kepulauan tidak boleh menarik garis pangkal itu yang memotong laut teritorial, atau zona ekonomi eksklusif negara lain.75 Setelah menggunakan atau menarik garis pangkal kepulauan berdasarkan ketentuan tersebut baru dapat ditentukan mana yang menjadi perairan kepulauan negara yang bersangkutan. Dimana perairan kepulauan adalah perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.76 2.3.2. Wilayah Laut di Bawah Yurisdiksi (Kewenangan) Negara Wilayah laut yang menjadi yurisdiksi (kewenangan) negara adalah bagian laut dimana suatu negara mempunyai kewenangan terhadap wilayah tersebut. Negaranegara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional, kedaulatan tersebut terdapat hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah internal dan eksternal. Dengan yurisdiksi tersebut, suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu, sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.77 Yurisdiksi dalam pengertian hukum adalah hak atau kekuasaan suatu negara untuk mengatur dan menegakkan aturan terhadap orang, benda, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam batas-batas teritorialnya.78 75 Pasal 47 UNCLOS 1982. Pasal 49 ayat (1) UNCLOS 1982. 77 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 71. 78 Ibid. 76 31 Piagam PBB sering menggunakan istilah domestic jurisdiction yang berarti kewenangan domestik. Meskipun demikian, dalam praktik, kata yurisdiksi paling sering digunakan terhadap orang, benda atau peristiwa. Kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badanbadan negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.79 Wilayah laut yang menjadi yurisdiksi (kewenangan) negara adalah zona tambahan (Contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). 1. Zona tambahan (Contiguous zone) Zona tambahan (Contiguous zone) merupakan jalur laut dari laut bebas yang berbatasan dengan laut teritorial suatu negara. Keberadaan zona ini didasarkan pada kebutuhan khusus negara-negara untuk meluaskan kekuasaannya melewati batas laut teritorial, disebabkan tidak cukup luasnya laut teritorial untuk melakukan pencegahan penyelundupan dari dan di laut di satu sisi, dan wewenang penuh atau kedaulatan negara pantai di lain sisi. Kedua faktor inilah yang menimbulkan adanya jalur atau zona tambahan.80 Dalam hal-hal tertentu suatu negara dirasakan masih memerlukan wilayah untuk menerapkan kekuasaannya terhadap masalahmasalah khusus, misalnya untuk mengatasi penyelundupan, bea cukai, 79 I Wayan Patriana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 293294. 80 Heryandi, Op.Cit., hlm. 57. 32 karantina dan sebagainya. Oleh karena itu diberikan rumusan tentang zona tambahan.81 Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan zona tambahan adalah wilayah laut yang tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial diukur atau sejauh 12 mil diukur dari laut teritorial suatu negara pantai. Kesimpulannya dalam zona tambahan yang berbatasan dengan laut teritorialnya negara pantai/negara kepulauan memiliki kewenangan (terbatas) untuk mencegah terjadinya pelanggaran perundangundangan, bea cukai, fiskal, keimigrasian atau sanitasi di dalam laut teritorialnya, dan menghukum para pelanggar peraturan perundangundangan tersebut yang terjadi di dalam wilayah teritorialnya.82 2. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah daerah yang berada di luar dan berdampingan dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus di mana terdapat hak-hak dan yurisdiksi negara pantai, dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan Konvensi ini.83 Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap negara pantai tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur.84 Lebar ZEE 200 mil diukur mulai dari garis pangkal, yaitu garis yang digunakan untuk mengukur laut teritorial, sehingga 81 Ibid. Pasal 33 UNCLOS 1982. 83 Pasal 55 UNCLOS 1982. 84 Pasal 57 UNCLOS 1982. 82 33 apabila di ukur dari garis batas luar (outer limit) laut teritorial maka lebar ZEE adalah 188 mil. Dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.85 Negara pantai dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam ZEE, harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.86 Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI tentang Landas Kontinen.87 3. Landas Kontinen (Continental Shelf) Pengertian landas kontinen diartikan sebagai dasar laut dan kekayaan alam yang terdapat di bawahnya dari area laut yang merupakan penambahan dari laut teritorialnya, yang mencakup keseluruhan perpanjangan alami dari wilayah teritorial daratnya ke bagian luar yang memagari garis kontinental, atau jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut 85 Pasal 56 ayat (1) UNCLOS 1982. Pasal 56 ayat (2) UNCLOS 1982. 87 Pasal 56 ayat (3) UNCLOS 1982. 86 34 teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.88 Tepian kontinen meliputi kelanjutan bagian daratan negara pantai yang berada di bawah permukaan air, dan terdiri dari dasar laut dan tanah di bawahnya dari dataran kontinen, lereng (slope) dan tanjakan (rise). Tepian kontinen ini tidak mencakup dasar samudra dalam dengan bukti-bukti samudra atau tanah di bawahnya.89 Batas luar landas kontinen dapat ditentukan berdasarkan pada dua aspek, yaitu:90 a. Geologis, yaitu sampai pinggiran tepi kontinen b. Jarak (Ukuran), yaitu : (1) Suatu jarak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, apabila pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (2)Menarik garis-garis lurus sejauh 200 mil laut dengan menunjuk titik-titik dari kaki lereng kontinen, atau tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk menetapkan lebar laut teritorialnya; atau sejauh jarak 100 mil laut dari kedalaman (isobath) 2500 meter. 2.3.3. Wilayah Laut di Luar Yurisdiksi (Kewenangan) Negara Wilayah laut di luar yurisdiksi (Kewenangan) negara adalah wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi nasional (Indonesia), yaitu daerah perairan yang berada 88 Pasal 76 ayat (1) UNCLOS 1982. Pasal 76 ayat (3) UNCLOS 1982. 90 Abdul Muthalib, Op.Cit., hlm. 48. 89 35 di luar 200 mil laut ZEE.91 Bagian laut yang bukan menjadi yurisdiksi (kewenangan) negara yaitu terdiri dari laut bebas (high seas) dan kawasan (The Area). 1. Laut Bebas (High Seas) Istilah laut bebas (High Seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut teritorial suatu negara.92 Laut bebas merupakan res nullius, yaitu dapat dimiliki oleh siapapun, sehingga siapapun dapat menguasai, menduduki dan memanfaatkannya atau dengan kata lain laut bebas tidak dimiliki oleh negara manapun.93 Konsep tersebut belum lengkap karena pada saat itu belum ada konsep negara kepulauan. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982 konsep laut bebas diperbaharui dengan memasukkan unsur ―perairan kepulauan‖ karena pada Konvensi Hukum Laut 1982 telah diakui konsep negara kepulauan. Jadi dalam Konvensi Hukum Laut 1982 laut bebas merupakan daerah yang berada di luar laut teritorial, perairan pedalaman dan perairan kepulauan.94 Kebebasan di laut bebas berlaku untuk negara pantai, negara kepulauan maupun negara tak berpantai. Semua negara tersebut sama-sama mempunyai hak untuk menikmati daerah laut bebas dan tidak boleh menuntut atau melaksanakan kedaulatan atau hak-hak berdaulatnya atas bagian manapun di daerah tersebut. Kebebasan-kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam hal pelayaran, kebebasan memasang kabel dan 91 Heryandi, Op.Cit., hlm. 91. Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford: Oxford University Press, 1979, hlm. 237-238. 93 Chairil Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Konvensi Hukum Laut 1982, Jakarta: Djambatan, 1989, hlm. 62. 94 Pasal 86 UNCLOS 1982. 92 36 pipa bawah laut, kebebasan Penerbangan, kebebasan riset ilmiah, kebebasan membangun pulau buatan dan instalansi lainnya, termasuk kebebasan menangkap ikan. Kebebasan-kebebasan tersebut akan dilaksanakan oleh semua negara dengan memperhatikan kepentingan negara-negara lain di dalam mereka melaksanakan kebebasan di laut 2. Kawasan (The Area) Kawasan merupakan rezim baru dalam Hukum Laut 1982, yang sebelumnya tidak diatur dalam Konvensi Hukum LautJenewa 1958. Kawasan berarti dasar laut dan dasar samudra serta tanah di bawahnya di luar batas-batas yurisdiksi nasional.95 Letak kawasan berada di luar landas kontinen dan berada di bawah laut bebas. DalamKonvensi Hukum Laut 1982 kawasan diatur dalam Bab XI, bagian 1-5 dari Pasal 133- Pasal 191. Sama seperti laut bebas, kawasan merupakan warisan bersama umat manusia. Pada Pasal 136 disebutkan bahwa: ‖Kawasan dan kekayaankekayaannya merupakan warisan bersama umat manusia‖.96 2.4. Hubungan Teori Kedaulatan dengan Penegakan Hukum Illegal Fishing Istilah kedaulatan dalam bahasa inggris adalah ―Sovereignty”, dalam bahasa arab ―Daulah”, dan dalam bahasa latin disebut dengan ―Supremus‖ yang berarti kekuasaan tertinggi.97 Menurut kamus hukum, kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi terhadap suatu pemerintahan negara, kekuasaan tertinggi untuk 95 Pasal 1 Angka (1) UNCLOS 1982. Pasal 137 ayat (1) UNCLOS 1982. 97 Yulia Neta & M. Iwan Satriawan, Ilmu Negara, Bandar Lampung: PKKPU FH Universitas Lampung, 2013, hlm. 37. 96 37 menetapkan hukum dalam negara (hukum nasional).98 Definisi dari kedaulatan adalah suatu hak atau wewenang tertinggi suatu negara untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri, dan kedaulatan negara untuk mengadakan hubungan dengan negara luar. Kedaulatan merupakan unsur yang sangat penting bagi sebuah negara untuk diakui keberadaannya dalam sistem internasional, dimana negara yang telah diakui mempunyai kedaulatan disebut sebagai negara yang berdaulat. Dimana kedaulatan negara merupakan salah satu prinsip dasar demi terciptanya hubungan internasional yang damai.99 Dalam hukum konstitusi, negara yang berdaulat mempresentasikan pemerintahan yang memiliki kendali sepenuhnya atas semua hal urusan dalam negerinya sendiri di dalam wilayah atau batas teritorial negaranya, atau dengan kata lain suatu negara dalam melaksanakan kewenangannya hanya sebatas dalam wilayah–wilayah yang telah menjadi bagian dari kekuasaannya, dimana berlaku yurisdiksi hukumnya.100 Negara memiliki kewenangan dan kekuasaan tertinggi untuk mengatur dan menegakkan aturan didalam wilayah kedaulatannya untuk mencapai tujuan negara dalam rangka menjalankan kedaulatannya. Pengertian tersebut sama seperti pengertian kedaulatan menurut Jean Bodin, yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara untuk menentukan hukum dalam negara tersebut.101 Jean Bodin mengatakan 98 Zulkifli, & Jimmy, Dictionary of Law, Surabaya: Grahamedia Press, 2012, hlm. 236. Budiyono, Monograf, Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut, Bandar Lampung: Justice Publisher, 2014, hlm 82. 100 Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT Refika Aditama, 2006, hlm. 169. 101 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 1980, hlm 7. 99 38 kekuasaan tertinggi dari suatu negara yang tidak dibatasi oleh hukum, ini tidak berarti kedaulatan negara tidak ada batasnya. Kedaulatan negara ini hanya berlaku terhadap, orang, benda, dan peristiwa di dalam batas–batas teritorial negara yang bersangkutan.102 Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh atas wilayahnya masing-masing baik di wilayah darat, air, udara yang berada di wilayah kedaulatannya masing-masing. Kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan kewenangannya di wilayah kedaulatannnya tersebut, dimana yang berlaku adalah hukum nasional apabila terjadi pelanggaran.103 Oleh karena itu muncul konsep ―kedaulatan teritorial― dimana akan berlaku hukum negara yang memiliki wilayah teritorial.104 Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia secara illegal dan melakukan penangkapan ikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan negara. Karena perairan Indonesia merupakan daerah perairan yang menjadi wilayah kedaulatan teritorial Indonesia. Sehingga Indonesia mempunyai hak untuk dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional. Laut Indonesia sebagai wilayah kedaulatan teritorial, merupakan daerah yang menjadi 102 Khaidir Anwar, Hukum Internasional II, Bandar Lampung: Universitas lampung, 2011, hlm. 30. Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 1410-3648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hlm. 184. Dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/15.pdf. 104 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm. 210. 103 39 tanggungjawab sepenuhnya Pemerintah RI dengan penerapan hukum nasional Indonesia.105 Penegakan Hukum (law enforcement) menurut Jimly Asshiddiqie, adalah mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia membuat peradilan perikanan untuk menerapkan hukum dan melakukan tindakan hukum berupa ―sanksi‖ bagi para kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.106 Berdasarkan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dibentuk pengadilan perikanan. Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.107 Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat Pasal 71 (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara; Pengadilan Negeri Medan; Pengadilan Negeri Pontianak; Pengadilan Negeri Bitung (Sulawesi Utara); dan Pengadilan Negeri Tual (Maluku).108 105 Joko Subagyo, Op.Cit., hlm. 21. Supriadi & Alimudin, Loc.Cit. 107 Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaiamana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 108 Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 106 40 2.5. Pengaturan Internasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal Fishing 2.5.1. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (Konvensi Hukum Laut PBB 1982) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) merupakan hasil kerja keras masyarakat internasional dalam menyusun perangkat hukum yang mengatur segala bentuk penggunaan laut dan pemanfaatan kekayaan yang terkandung di dalamnya.109 Konvensi ini dianggap sebagai karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke 20, karena konvensi ini diikuti lebih oleh pihak yang bermacam-macam latar belakang disiplin keilmuan seperti diplomat, ahli hukum, pertambangan, perikanan, perkapalan, aktivis lingkungan hidup dan berbagai profesi lain.110 UNCLOS 1982 atau yang dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982, berisi 17 Bab, 320 Pasal, dan 9 Lampiran yang mempresentasikan capaian monumental masyarakat internasional serta merupakan kerangka pengaturan yang komprehensif111 dalam mengatur hampir semua kegiatan di laut.112UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus terkait illegal fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka Illegal, Unreported, Unregulated 109 Etty R Agoes, UNCLOS 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: Abardin, 1991, hlm. 1. 110 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Era Dinamika Global, Bandung Alumni, 2000, hlm. 273. 111 Komprehensif adalah lingkup yang luas/menyeluruh. 112 T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama, 2002, hlm.7. 41 Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources113) pada tanggal 27 Oktober-7 November 1997. Dari forum ini kemudian masalah illegal fishing ini dijadikan isu utama di tingkat global oleh FAO dengan alasan kuat, bahwa saat ini cadangan ikan dunia menunjukan tren menurun dan salah satu faktor penyebabnya adalah praktik illegal fishing.114 Walaupun tidak mengatur khusus terkait illegal fishing, tetapi UNCLOS 1982 mengatur secara umum Penegakan hukum di laut yang berkaitan dengan pemanfaatan negara-negara di seluruh wilayah laut, termasuk pemanfaatan dalam hal penangkapan ikan. UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan/membagi wilayah laut dan menggambarkan keseimbangan hak dan kewajiban negara-negara dalam pemanfaatan sumber daya laut. Seperti yang telah diuraikan, UNCLOS membagi wilayah laut menjadi tiga bagian, yaitu: (1) wilayah yang menjadi kedaulatan negara, yaitu wilayah laut dimana negara mempunyai kewenangan penuh dan dapat menegakkan hukum nasionalnya; (2) wilayah laut yang menjadi yurisdiksi negara, yaitu wilayah laut yang hanya menjadi kewenangan dalam hal tertentu; (3) wilayah laut yang tidak menjadi yurisdiksi negara. 113 The Convention on the Conservation of Antartic Marine Living Resources, juga The Commission for the Conservation of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR) merupakan bagian dari Sistem Traktat Antartika (Antartic Treaty System). Konvensi terbuka untuk ditandatangani 1 Agustus 1980 dan mulai berlaku tanggal 7 April 1982. Tujuannya adalah untuk melestarikan lingkungan dan keutuhan laut di dan dekat Antartika. 114 Rokhmin Dahuri, Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing, Majalah Samudra, Mei 2012, dapat diakses di http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-dari-IUU-Fishing/. 42 Wilayah yang menjadi kedaulatan negara berdasarkan Pasal 2 Konvensi ini terdiri dari laut teritorial (territorial sea), perairan pedalaman (Internal waters), dan perairan kepulauan (Archipelagic sea).115 Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 sudah mengakui konsep negara kepulauan (archipelagic state) maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya. Oleh karena itu suatu negara kepulauan mempunyai kedaulatan di laut teritorial, perairan pedalaman termasuk perairan kepulauan.116 Negara kepulauan mempunyai wewenang penuh atas wilayah kedaulatannya tersebut sehingga dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.117 Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut.118Sedangkan wilayah laut yang menjadi yurisdiksi (kewenangan) negara adalah zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf). Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai 115 Pasal 2 UNCLOS 1982. Pasal 49 UNCLOS 1982. 117 Budiyono, Op.Cit., hlm. 84. 118 Usmawadi Amir, ―Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case)”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 12, Januari—April 2013, hlm. 74. dapat diakses secara online di: http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Penegakan%20Hukum%20IUU%20Fishing%20menurut%20U NCLOS%201982%20.pdf. 116 43 hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun nonhayati.119 Dalam hal penegakan hukum negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, yang menyatakan bahwa jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman terhadap kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.120 Apabila kapal asing yang hendak diperiksa, namun kapal asing tersebut menolak untuk diperiksa bahkan malah melarikan diri, penyidik perikanan dapat melakukan pengejaran seketika (Right of hot pursuit) terhadap kapal asing tersebut. Pengejaran seketika suatu kapal asing dilakukan apabila pihak penyidik perikanan mempunyai alasan yang cukup untuk menduga bahwa kapal tersebut adalah illegal atau telah melanggar peraturan perundang-undangan nasional.121 Pengejaran dapat dilakukan sampai ZEEI dan berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau ZEE negara ketiga.122 119 Ibid. hlm. 72. Ibid., hlm. 76. 121 Pasal 111 Ayat (1) UNCLOS. 122 Pasal 111 Ayat (3) UNCLOS. 120 44 2.5.2. Code of Conduct For Responsible Fisheries (Tata Laksana Untuk Perikanan yang Bertanggung jawab) Menurunnya produksi perikanan dunia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi dalam kegiatan perikanan tangkap, seperti sistem posisi geografis (GPS), radar, kapal-kapal ikan yang kapasitas tangkapnya lebih besar terus meningkat sehingga kemampuan nelayan untuk mengusahakan lebih banyak sumber daya hayati secara lebih intensif.123 Selain itu, status yang kini ada mengenai sumber daya hayati akuatik dunia sebagian besar merupakan akibat dari kegagalan proses sekarang dalam pengaturan perikanan untuk mencapai pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan efektif di berbagai negara. 124 Konsep perikanan bertanggung jawab (Responsible Fisheries) telah dibahas secara resmi pada bulan maret 1991 pada sesi ke-19 Komite FAO tentang perikanan (Comitte on Fisheries/COFI), yang merekomendasikan bahwa sudah mendesak diperlukan pendekatan-pendekatan baru pada pengelolaan perikanan yang meliputi konservasi dan lingkungan, demikian pula pertimbangan sosial dan ekonomi. Lebih lanjut, Pemerintah Meksiko bekerjasama dengan FAO menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai penangkapan ikan yang bertanggung jawab di Cancun pada bulan Mei 1992. Deklarasi Cancun yang disahkan pada konferensi tersebut dibawa untuk memperoleh perhatian ke pertemuan tingkat tinggi United Nations Conference on Environment and 123 FAO, Pengelolaan Perikanan (Fisheries Managment), Divisi Publikasi FAO PBB, Roma 1997, hlm. 7. Dapat diakses secara online di http://www.fao.org/publications/en/. 124 Ibid., hlm. 155. 45 Development (UNCED) di Rio de Jeneiro, Brazil pada bulan Juni 1992, yang kemudian mendukung penyiapan CCRF.125 Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktik yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumber daya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumber daya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini bersifat sukarela. Akan tetapi, bagian tertentu dari Tatalaksana ini didasarkan pada aturan hukum internasional yang relevan, yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut 10 Desember 1982 dan FAO Compliance Agreement 1993.126 Selain itu juga mempertimbangkan Deklarasi Cancun 1992, Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan, serta agenda 21 yang disetujui oleh konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), dan deklarasi serta perangkat hukum internasional lain yang relevan.127 125 Ibid., hlm. 157. Pasal 1.1 CCRF. 127 Pasal 3.2 (c) CCRF. 126 46 CCRF diadopsi secara resmi oleh FAO pada sidang ke-28 COFI, pada tanggal 31 Oktober 1995 untuk diterapkan secara global, sebagai instrumen tidak mengikat untuk perikanan bertanggung jawab. CCRF secara langsung diarahkan untuk para anggota maupun bukan anggota FAO, badan usaha penangkapan ikan, organisasi sub-regional, regional dan global, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dan semua pihak yang peduli dengan konservasi sumber daya ikan, pengelolaan dan pembangunan perikanan, seperti para nelayan, mereka yang ikut terlibat dalam pengelolaan, pemasaran ikan dan produk perikanan, serta para pengguna lainnya berkaitan dengan perikanan.128 Pengadopsian CCRF 1995 menandakan dimulainya era baru untuk perikanan dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan, kegagalan pengelolaan terdahulu yang telah menyebabkan over fishing dan kerusakan habitat di beberapa bagian wilayah dunia memberikan kontribusi kepada pelaksanaan pertemuan-pertemuan dan workshop di tingkat regional dan global untuk melahirkan CCRF.129 Cakupan CCRF sangat luas meliputi standar-standar dan prinsip-prinsip internasional untuk praktik-praktik pelaku perikanan yang bertanggung jawab dengan menjamin efektifitas pembangunan, pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati, termasuk di dalamnya ekosistem dan keanekaragaman hayati.130 Menurut CCRF, negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, 128 Pasal 1.2 CCRF. Purwito Martosubroto, ―Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fisheries in the Marine Fisheries Sector,Indonesian Journal of International Law, Vol 2, Nomor 3, April 2005, Jakarta, hlm. 8. Dapat diakses di http://ijil.ui.ac.id/index.php/home/article/view/92. 130 Pasal 2 CCRF. 129 47 harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumber daya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan ketersediaannya untuk generasi kini dan mendatang.131 Dalam pelaksanaan CCRF, negara-negara harus menjamin dibentuknya suatu kerangka kerja hukum dan administratif yang efektif baik pada tingkat daerah maupun tingkat nasional/pusat untuk konservasi sumber daya ikan dan pengelolaan perikanan.132 Selain itu, negara-negara sesuai dengan peraturan perundang-undangannya harus menerapkan langkah-langkah pemantauan (monitoring), pengendalian (controling), dan pengawasan (surveilance) perikanan serta penegakan hukum yang efektif atau menjamin peraturan perundangundangan yang memuat sanksi yang sepadan dengan beratnya pelanggaran, jika perlu termasuk melaksanakan program pengamat (observer programmes), skema pemeriksaan (inspection scheme) dan sistem pemantauan kapal (Vessel monitoring system).133 131 Pasal 7.11 CCRF. Pasal 7.7.1 CCRF. 133 Pasal 7.7.2 - 7.7.3 CCRF. 132 48 2.5.3. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing2001 (IPOA-IUUFishing) Masalah illegal fishingdi FAO meningkat pada sidang ke-23 COFI (Comitte on Fishiers) bulan Februari 1999. Ditemukan berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya illegal fishing. Untuk perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional, dilaporkan bahwa illegal fishing disebabkan oleh kekurangan dalam peraturan perundang-undangan dan kesenjangan efektifitas penegakan hukum.134illegal fishingmendapatkan perhatian luas karena mengancam perikanan dunia, dan hasil kegiatan illegal fishing tercatat sampai 30 persen dari total tangkapan. Data inilah yang menunjukkan bahwa bila tidak dilakukan pemberantasan terhadap kegiatan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi kelangkaan sumber daya. Oleh karenanya FAO bekerjasama dengan negara-negara anggotanya menyusun langkah-langkah untuk mengatasi masalah illegal fishing. Negara-negara anggota FAO telah merumuskan dan menyepakati aksi internasional untuk memerangi IUUFishing yang dituangkan dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUUFishing(IPOA-IUUFishing) pada tahun 2001. IPOA-IUUFishing merupakan rencana aksi global dalam rangka mencegah kerusakan sumber daya perikanan dan membangun kembali sumber daya perikanan yang telah atau hampir punah, sehingga kebutuhan pangan yang bersumber dari perikanan bagi generasi saat ini dan yang akan datang tetap dapat terjamin ketersediaannya.135 134 Akhmad Solihin, Op.Cit., hlm. 63. Sekolah Tinggi Perikanan, KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara online di: http://www.stp.kkp.go.id/index.php/arsip/c/860/KKP-Terbitkan-KepmenPenanggulangan-IUU-Fishing/. 135 49 IPOA-IUUFishing bersifat sukarela dan merupakan pelaksanaan dari CCRF. Penyusunan pedoman ini bertujuan untuk mencegah, menghambat dan menghilangkan kegiatan illegal fishing dengan menyiapkan langkah-langkah pengelolaan sumber daya ikan yang komprehensif, terintegrasi, efektif dan transparan dengan memperhatikan kelestariannya bagi semua negara-negara di dunia.136 Dengan demikian IPOA-IUUFishing merupakan pedoman yang berisikan program-program yang dapat digunakan oleh negara untuk memerangi kegiatan IUUFishing. Menurut IPOA-IUUFishing, negara-negara harus memperhatikan peraturan perundang-undangan nasional masing-masing. Peraturan perundang-undangan nasional berisi aturan yang efektif untuk semua aspek.137 Negara-negara harus menjamin bahwa sanksi-sanksi yang keras terhadap kapal-kapal pelaku IUUFishingdi wilayah yurisdiksinya, sehingga dapat secara efektif mencegah, mengurangi, dan menghapuskan IUUFishing, dan mencegah para pelaku untuk memperoleh keuntungan dari wilayah tersebut.138 IPOA-IUUFishing tersebut harus ditindaklanjuti oleh setiap negara dengan mengembangkan dan mengimplementasikan ke dalam rencana aksi nasional (National Plan of Action).139TindaklanjutIPOA-IUUFishing ke rencana aksi nasional telah dilakukan oleh beberapa negara, salah satunya negara Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP/50/MEN/2012 136 Paragraf 4 IPOA-IUU. Paragraf 16 IPOA-IUU. 138 Paragraf 21 IPOA-IUU. 139 Paragraf 24-27 IPOA-IUU. 137 50 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan IUUFishing Tahun 2012-2016. 2.6. Pengaturan Perundang-Undangan Nasional yang Relevan dengan Pemberantasan Illegal Fishing Indonesia sebagai negara maritim atau negara kepulauan memiliki laut yang luas bahkan lebih luas dari daratannya. Oleh karena itu Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS), Indonesia mengesahkan/mengkodifikasi Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Maka ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi Hukum Laut 1982 akan berlaku bagi Indonesia. Salah satunya ketentuan mengenai pembagian wilayah laut yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain itu, pengaturan mengenai wilayah laut Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Wilayah perairan tersebut menjadi wilayah yang berada di bawah Kedaulatan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Oleh karena itu Indonesia mempunyai wewenang penuh terhadap wilayah tersebut dan dapat menetapkan hukum dalam wilayah kedaulatannya.140 140 Budiyono, Op.Cit., hlm. 84. 51 Di daerah Zona ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Undang-Undang ini memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI. Pada Pasal 4 dijelaskan dalam wilayah ZEEI, Indonesia mempunyai hak berdaulat, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban atas sumber daya yang ada di ZEEI.141 Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sektor pelayaran di perairan Indonesia semakin berkembang, oleh karena itu Indonesia merevisi kembali Undang-Undang Pelayaran karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat itu sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.142 Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Pelayaran berlaku juga bagi kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia.143 Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.144Hal yang berhubungan dengan kapal ikan dituangkan pada Bab IX 141 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 143 Pasal 4 Huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 144 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 142 52 tentang Kelaiklautan Kapal. Kapal penangkap ikan sebelum melakukan operasi juga harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang diberi setifikat keselamatan oleh Menteri.145 Setiap kapal asing yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud di atas dapat dikenakan pidana. 146 Dalam hal kapal asing yang tidak hanya berlayar di perairan Indonesia, tetapi juga melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menjadi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini berlaku bagi setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia; dan setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.147 Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Perikanan, usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang 145 Pasal 126 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pasal 303 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 147 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 146 53 hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.148 Undang-Undang ini mengatur bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan di ZEEI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).149Pada kenyataannya kapal-kapal asing banyak yang tidak memenuhi syarat tersebut, dalam hal ini tidak memiliki kelengkapan surat-surat tersebut. Bahkan ada juga yang memiliki surat-surat yang ternyata merupakan surat palsu.150 Oleh karena itu UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengatur tentang larangan pemalsuan surat dan penggunaan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.151 Selain itu setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan dan surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.152 Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, untuk menegakkan hukum di Indonesia, berdasarkan undang-undang ini juga dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di Wilayah Pengelolaan Perikanan 148 Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pasal 26, 27, 28 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 150 Akhmad Solihin, Op.Cit., hlm. 163. 151 Pasal 28 A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 152 Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 149 54 Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Para pelaku illegal fishing tersebut akan diperiksa, diadili di pengadilan lalu kemudian dijatuhkan putusan apabila terbukti bersalah. Para pelaku yang bersalah, menurut undang-undang ini akan dijatuhkan berupa sanksi administratif, pidana penjara, ataupun membayar denda. Selain sanksi-sanksi tersebut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan mengatur dengan tegas pemberian sanksi berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishingdi wilayah perairan Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pasal 69 ayat (4), bahwa dalam melaksanakan fungsi sebagai penyidik dan/atau pengawas perikanan, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selain itu, dalam hal Penegakan hukum di Indonesia terkait kasus illegal fishing di laut Indonesia,ditetapkan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Sama seperti Undang-Undang Perairan, Undang-Undang Kelautan juga menegaskan pembagian wilayah laut. Menurut Pasal 7, kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Kedaulatan Indonesia tunduk pada ketentuan peraturan perundangundangan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 55 1982, dan hukum internasional yang terkait.153 Pada zona tambahan Indonesia hanya mempunyai yurisdiksi tertentu. Sedangkan pada ZEE dan landas kontinen mempunyai hak berdaulat seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Menurut Pasal 56, dalam kaitannya dengan masalah illegal fishing, dibentuk sistem pertahanan laut. Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Pertahanan laut tersebut di implementasikan dengan membentukBadan Keamanan Laut yang mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.154 Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Keamanan Laut berwenang untuk:155 a. Melakukan pengejaran seketika; b. Memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan c. Mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Selain diatur dalam undang-undang, penegakan hukum terkait dengan masalah illegal fishing ditetapkan juga dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Keputusan Menteri sebagai peraturan pelaksana undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 mengatur tentang Perkapalan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 153 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Pasal 61 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 155 Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. 154 56 tentang Pelayaran. Menurut PP ini, Setiap kapal berbendera Indonesia dan kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.156 Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 mengatur tentang kegiatan usaha perikanan. Usaha perikanan yang dimaksud adalah usaha penangkapan ikan dan/atau usaha pembudidayaan ikan di wilayah perikanan.157 Menurut Pasal 3 PP ini, Usaha perikanan di wilayah perikanan RI hanya boleh dilakukan oleh perorangan warga negara RI atau badan hukum Indonesia termasuk koperasi. Namun pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) hanya dapat diberikan di bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara RI berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku.158 Ketentuan tersebut berarti bahwa kapal perikanan berbendera asing tetap dapat melakukan usaha perikanan dalam hal penangkapan ikan, namun hanya dapat menangkap ikan di daerah ZEEI.159 Perusahaan yang melakukan usaha perikanan, wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP).160 Begitu juga dengan Perusahaan perikanan asing yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia wajib memiliki SIUP.161 Selain itu kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia wajib 156 Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 158 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 159 Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 160 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 161 Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 157 57 dilengkapi dengan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) apabila kapal tersebut melakukan kegiatan pengangkutan ikan.162 Surat izin dikeluarkan sesuai dengan GT (Gross Tonnage) kapal ikan.163 Mengenai penerbitan SIPI dan SIKPI diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang Pemberian Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage Kepada Gubernur. Menurut Permen tersebut, untuk kapal yang berukuran 10-30 GT (Gross Tonnage) menjadi kewenangan bupati/wali kota, untuk kapal yang berukuran 30-60 GT menjadi kewenangan gubernur.164 Sedangkan untuk kapal yang berukuran 60 GT keatas menjadi kewenangan Dirjen Perikanan Tangkap.165 Surat izin yang dikeluarkan akan menentukan daerah atau lokasi penangkapan ikan yang boleh dilakukan oleh pemegang surat tersebut. Penentuan daerah penangkapan ikan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Perusahaan perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot kurang dari 30 (tiga puluh) Gross Tonnage beroperasi sampai 12 (dua belas) mil laut, kapal penangkap ikan yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih dari 30 (tiga puluh) Gross Tonnage dan/atau yang mesinnya berkekuatan lebih besar dari 90 (sembilan 162 Pasal 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan. 164 Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010. 165 Gatot Supramano, Op.Cit., hlm 38. 163 58 puluh) Daya Kuda (DK) dan beroperasi di luar 12 (dua belas) mil laut. Sedangkan Perusahaan perikanan asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan mendapatkan izin beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).166 Penataan perizinan kapal asing diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Kep.60/Men/2001 tentang Penataan Penggunaan Kapal Perikanan di ZEEI. Selanjutnya, dalam penegakan hukum terkait masalah illegal fishing,Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan peraturan Nomor Per.01/Men/2009 yang mengatur tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI perlu adanya pengawasan yang efektif untuk menjamin terciptanya tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.167 Pengawasan perikanan di WPP-RI diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Permen-Kp/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Permen ini merupakan peraturan pelaksana dari Undang–Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pengawas perikanan merupakan pegawai negeri sipil yang dapat berasal dari pegawai negeri sipil pada Kementerian, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.168 166 Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan. 167 Pasal 1 Angka (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. 168 Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. 59 Pengawas Perikanan melaksanakan tugas pengawasan terhadap penangkapan ikan di WPP-RI.169 Pelaksanaan tugas Pengawas Perikanan tersebut dilakukan dengan patroli pengawasan dan pemantauan pergerakan kapal perikanan.170 Jika dalam pelaksanaan pengawasan perikanan ditemukan atau patut diduga adanya tindak pidana perikanan dan adanya bukti permulaan yang cukup, pengawas perikanan wajib menindaklanjuti dengan menyerahkan kepada penyidik di bidang perikanan untuk diproses lebih lanjut. Penyerahan yang dimaksud termasuk diserahkannya kapal dan/atau orang di pelabuhan tempat perkara tersebut untuk diproses lebih lanjut.171 Menteri Kelautan dan Perikanan juga mengeluarkan keputusan Nomor Kep.50/Men/2012 yang mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016 yang merupakan bentuk penerapan dari the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Untuk mengatasi masalah IUU Fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU Fishing) pada tahun 2001. IPOA-IUU Fishing tersebut harus ditindaklanjuti oleh setiap negara, termasuk Indonesia dengan menyusun rencana aksi pencegahan dan penanggulangan IUUFishing di tingkat nasional. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan IUU Fishing dimaksudkan sebagai acuan bagi setiap unit organisasi di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam upaya mencegah dan menanggulangi kegiatan IUU 169 Pasal 9 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PermenKP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. 170 Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/Permen-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. 171 Pasal 17 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/PermenKP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. 60 Fishing sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, dan sebagai bahan koordinasi untuk mencegah dan menanggulangi kegiatan IUU Fishing dengan kementerian/instansi lain yang terkait. Adapun tujuannya adalah untuk mendukung pengelolaan dan pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung jawab, dan berkelanjutan. Beberapa hal yang tertuang dalam Kepmen tersebut, antara lain dirumuskan tentang upaya pencegahan IUUFishing di Indonesia dilakukan dengan pengendalian, dan pengelolaan penangkapan ikan melalui mekanisme perizinan, pengawasan perikanan, dan ditindaklanjuti dengan Penegakan hukum. ―Kegiatan tersebut dilakukan melalui kerja sama dan koordinasi antar instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan di laut, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, TNI-AL, dan Polisi Perairan.172 172 Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara online di: http://kkp.go.id/index.php/ars ip/c/9236/KKP-TERBITKAN-KEPMEN-PENANGGULANGAN-IUU-FISHING/?category_id=2. 61 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Penyusunan skripsi yang berjudul ―Tindakan Penegakan Hukum Terhadap Kapal Asing yang Melakukan Illegal Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia‖ agar dapat terarah dan sistematis, maka skripsi ini dibuat berdasarkan metode–metode tertentu. Hal ini disebabkan, suatu penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.173 Penelitian yang dilakukan untuk skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (Normative Legal Research) yaitu penelitian hukum kepustakaan yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan internasional dan peraturan perundang-undangan.174Kemudian juga mendasarkan pada karakteristik yang berbeda dengan penelitian ilmu sosial pada umumnya. 175 Sedangkan fokus kajiannya adalah hukum positif, hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku suatu waktu dan tempat tertentu, yaitu suatu aturan atau norma tertulis yang secara resmi dibentuk dan diundangkan oleh penguasa, di samping 173 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 2. 174 Soedjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9, Jakarta: Rajawali Press, 2006, hlm. 23. 175 Asri Wijayanti & Lilik Sofyan Achmad, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung, 2011, hlm. 43. 62 hukum yang tertulis tersebut terdapat norma didalam masyarakat yang tidak tertulis yang secara efektif mengatur perilaku anggota masyarakat.176 Normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal yaitu objek penelitiannya adalah dokumen perundang-undangan dan bahan pustaka.177 Hal yang paling mendasar dalam penelitian ilmu hukum normatif, adalah bagaimana seorang peneliti menyusun, merumuskan masalah penelitiannya secara tepat dan tajam, dan bagaimana seorang peneliti memilih metode untuk menentukan langkahlangkahnya serta bagaimana ia melakukan perumusan dalam membangun teorinya.178 3.2. Pendekatan Masalah Pendekatan diperlukan dalam sebuah karya tulis ilmiah untuk lebih menjelaskan dan mencapai maksud serta tujuan penelitian. Pendekatan tersebut dimaksudkan agar pembahasan dapat terfokus pada permasalahan yang dituju, sesuai dengan ruang lingkup permasalahan yang dituju. Menurut the Liang Gie, pendekatan adalah keseluruhan unsur yang dipahami untuk mendekati suatu bidang ilmu dan memahami pengetahuan yang teratur, bulat, mencari, sasaran yang ditelaah oleh ilmu tersebut.179 Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan ialah adanya perkembangan ilmu hukum positif, sehingga terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu hukum positif dengan ilmu hukum yang teoritis.180 Karya tulis ilmiah ini menggunakan pendekatan hukum normatif, atau penelitian 176 Ibid. Soedjono & Abdurahman, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 56. 178 Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 80. 179 Liang gie, Ilmu Politik:Suatu Pembahasan tentang pengertian, kedudukan, Lingkup Metodologi, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1982, hlm. 47. 180 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm.80. 177 63 hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.181 Pendekatan ini dilakukan untuk mempelajari dan mengkaji permasalahan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat internasional, sehingga memudahkan penulis untuk menggambarkan dan memaparkan mengenai tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. 3.3. Sumber Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 3.3.1. Sumber Data Karakteristik utama penelitian ilmu hukum normatif dalam melakukan pengkajian hukum terletak pada sumber datanya.182 Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.183 Sumber utama penelitian ilmu hukum normatif adalah bahan hukum, karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.184 Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum jenis data sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan sebagai bahan hukum primer. Bahan diperoleh dari sumber kepustakaan, yakni data yang didapatkan melalui kegiatan studi dokumen berupa buku-buku, makalah, peraturan Internasional dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.185 Bahan hukum yang hendak dikaji atau 181 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 13-14. 182 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hlm. 86. 183 Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hlm. 114. 184 Ibid. 185 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Op.Cit., 2006, hlm. 115. 64 menjadi acuan berkaitan dengan permasalahannya dalam penelitian, yaitu: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan–bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.186 Pada skripsi ini bahan hukum primernya terdiri dari: a. United Nations Convention on The Law of The Sea1982(UNCLOS) b. Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) c. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing) d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia h. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia i. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran j. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 186 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007, hlm. 52. 65 2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu terdiri dari bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,187 seperti buku-buku, skripsiskripsi, surat kabar, artikel internet, hasil-hasil penelitian, pendapat para ahli atau sarjana hukum yang dapat mendukung pemecahan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder, yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau rujukan bidang hukum.188 3.3.2. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan diolah dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan berbagai ketentuan perundang-undangan, dokumentasi, mengumpulkan literatur, serta mengakses internet berkaitan dengan permasalahan dalam lingkup hukum internasional.189 Studi kepustakaan dilakukan penulis dengan membaca dan memahami buku-buku, jurnal-jurnal maupun artikel-artikel, serta bahan bacaan yang berkaitan dengan pokok-pokok penelitian dalam skripsi ini. 3.3.3. Metode Pengolahan Data Setelah data yang diperoleh telah terkumpul, maka berikutnya yang dilakukan adalah data tersebut diolah agar dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang diajukan. Untuk mendapatkan suatu gambaran dari data yang diolah, perlu 187 Ibid. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm. 41. 189 Ibid. 188 66 adanya analisis sebagai akhir dari penyelidikan.190 Pengolahan data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Seleksi data, yaitu pemeriksaan data untuk mengetahui apakah data tersebut sudah lengkap sesuai dengan keperluan penelitian. 2. Klarifikasi data, yaitu menempatkan data sesuai dengan bidang atau pokok bahasan agar mempermudah dalam menganilisisnya. 3. Sistematika data, yaitu penyusunan data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga mempermudah dalam menganalisisnya. 3.4. Analisis Data Penulisan skripsi ini penulis menggunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan yang bersumber dari buku-buku dan literatur lain. Data yang diperoleh penulis akan dianalisa secara normatif, yaitu membandingkan data yang diperoleh dengan aturan hukum.Setelah keseluruhan data yang diperoleh sesuai dengan bahasannya masing-masing. Selanjutnya, tindakan yang dilakukan adalah menganalisis data. Metode yang digunakan dalam analisis data adalah analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan analisis.191 190 Umu Hilmy, Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode: Sebuah Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2000. 191 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, hlm.127. 98 V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan uraian fakta yang telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Indonesia mengambil tindakan tegas dalam penegakan hukum di wilayah pengelolaan perikanannya. Di wilayah perairan Indonesia, berdasarkan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Indonesia membakar dan/ataumenenggelamkan setiap kapal asing yang melakukan illegal fishing dan awak kapalnya dapat ditahan serta dikenakan sanksi pidana. Hal tersebut sudah sesuai dengan ketentuan hukum internasional yaitu Pasal 2 UNCLOS 1982, yang menyatakan bahwa laut teritorial, perairan pedalaman, dan perairan kepulauan yang selanjutnya disebut perairan Indonesia merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia, maka Indonesia berwenang menetapkan hukum nasionalnya demi menjaga kedaulatannya.Sedangkan di ZEEI, Indonesia hanya memberikan sanksi berupa denda administrasi dan meminta reasonable bond (uang jaminan yang layak) kepada kapal asing tersebut untuk kemudian kapal dan awak kapalnya harus segera dilepaskan sesuai dengan ketentuan Pasal 73 UNCLOS 1982. 99 2. Tindakan penegakan hukum di Indonesia dilakukan berdasarkan prosedur yang diatur dalam KUHAP. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan, Indonesia dapat membakar dan/atau menenggelamkan kapal perikanan yang berbendera asing yang melakukan illegal fishing di perairan Indonesia tanpa harus menunggu proses peradilan ataupun putusan dari hakim. Kapal asing dapat dibakar dan/atau ditenggelamkan hanya berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup bahwa kapal tersebut telah melakukan tindak pidana dan setelah mendapat persetujuan dari ketua pengadilan negeri. Namun tindakan tersebut menimbulkan reaksi dari negara lain dan bertentangan dengan sistem peradilan pidana (Crimnal Justice System), maka pada perkembangannya Indonesia mulai menerapkan proses peradilan terhadap setiap kasus illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing agar sesuai dengan sistem peradilan pidana tersebut. Sehingga eksekusi pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishing adalah berdasarkan proses peradilan dan berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Sementara kapal asing beserta awak kapalnya yang melakukan illegal fishing di ZEEI akan ditahan dan akan dilepaskan setelah membayar sanksi administrasi dan membayaruang jaminan yang layak (reasonable bond). Penegakan hukum terhadap illegal fishing dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta instansi terkait lainnya yang terkoordinasi dalam Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di bidang Perikanan. 100 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang didapat maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Praktik illegal fishing sangat merugikan Indonesia, sudah seharusnya Indonesia harus mengatasi masalah tersebut. Tindakan tegas yang dilakukan Indonesia dalam menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan dengan membakar dan/atau menenggelamkan kapal asing tidaklah cukup, karena itu merupakan tindakan represif. Seharusnya Indonesia juga melakukan tindakan pencegahan yang efektif, yaitu pengawasan yang lebih ketat. Selain itu, dibutuhkan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan, antara lain kapal patroli yang lebih banyak, alat komunikasi yang canggih, Vessel Monitoring System (VMS), pesawat patroli udara, radar pantai, sistem pengawasan masyarakat (SISWASMAS), kelembagaan, senjata api sebagai alat pengaman diri, dan personil pengawas perikanan yang lebih banyak lagi. 2. Semua tindakan penegakan hukum terhadap kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia, lebih baik dilakukan setelah melalui proses peradilan terlebih dahulu, agar tidak mendapatkan protes dari negara lain sehingga hubungan dengan negara lain tetap terjaga dengan baik, serta agar proses penegakan hukum terhadap illegal fishing tidak bertentangan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia(The Criminal Justice System). Jadi kita boleh melakukan tindakan tegas demi kebaikan negara, namun sebaiknya dilakukan dengan cara atau prosedur yang baik juga yang sesuai dengan ketentuan KUHAP dan Sistem 101 Peradilan Pidana Indonesia (The Criminal Justice System). Sedangkan dalammenegakkan hukum di ZEEI, Indonesia harus memperhatikan ketentuan UNCLOS 1982 dalam menetapkan uang jaminan yang dikenakan ke kapal asing, yaitu penetapan jumlah uang jaminan harus berdasarkan unsur ―kelayakan (reasonable)‖, tidak boleh menetapkan jumlah yang terlalu tinggi. Selain itu juga harus memperhatikan ketentuan pada International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), yaitu penetapan jumlah uang jaminan harus sesuai dengan ukuran kapal, nilai kapal, bahan bakar, peralatan penangkap ikan dan jumlah ikan yang ditangkap. Jika perlu dibuat peraturan yang dituangkan dalam suatu peraturan nasional dalam kaitannya dengan besarnya uang jaminan tersebut agar adanya suatu kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adolf, Huala. 2002. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Anwar, Chairil. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional, KHL 1982, Jakarta: Djambatan. Anwar, Khaidir. 2011. Hukum Internasional II, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Arief, Barda Nawawi. 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Arief, Barda Nawawi. 2002. Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Brownlie, Ian. 1979. Principles of Public International Law, Oxford: Oxford University Press. Budiyono, 2014. Pembatasan Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Wilayah Laut, Bandar Lampung: Justice Publisher. Danusaputro, Munadjat. 1984. Tata Lautan Nusantara Dalam Hukum dan Sejarahnya, Bandung: Binacipta. Gie, Liang. 1982. Ilmu Politik: Suatu Pembahasan tentang pengertian, kedudukan, Lingkup Metodologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hamzah, Andi. 2001 Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Hartono, M. Dimyati. 1977. Hukum Laut Internasional, Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Heryandi, 2013. Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum: Universitas Lampung. Ilmy, Umu. 2000. Metodologi Penelitian dari Konsep Ke Metode: Sebuah Pedoman Praktis Menyusun Proposal dan Laporan Penelitian, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Kusumaatmadja, Mochtar. 1983. Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta. ------------- . 1986. Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta. Lantoranda, Akbar Surya. 2013. Analisa Terhadap Putusan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan Oleh Warga Negara Asing Di Wilayah Perairan Indonesia, Malang: Universitas Brawijaya. Marpaung, Leden. 1992. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Era Dinamika Global, Bandung: Alumni. Muthalib, Abdul. 2011. Zona-Zona Maritim Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Bandar Lampung: Universitas Lampung. ------------- . 2013. Zona-Zona Maritim Berdasarkan KHL 1982 dan Perkembangan Hukum Laut Indonesia, Lampung: Fakultas Hukum Universitas Lampung. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti. M. Ghufran, 2015. Pengelolaan Perikanan Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Baru Press. M. Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Deskresi Kepolisian), Jakarta: PT Pradnya Paramita. Nasution, Bahder Johan, 2008. Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju. Neta, Yulia & M. Iwan Satriawan, 2013. Ilmu Negara, Bandar Lampung: PKKPU FH Universitas Lampung. Patriana, I Wayan. 1990. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju. Prodjodikoro, R. Wirjono. 1991. Hukum Laut Bagi Indonesia, Jakarta: Sumur Bandung. Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto, 1979. Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Bandung: Alumni. Reksodiputro, Mardjono. 1997. “Survei dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih Rasional”, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Kedua, Jakarta: Universitas Indonesia. Renhoran, Maimuna. 2013. Strategi Penanganan IUU Fishing di Laut Arafura, Jakarta: Universitas Indonesia. Rokhimin, 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Pertama. Rudy, T. May. 2002. Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama. R. Agoes, Etty. 1991. Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Bandung: Abardin. Sasongko, Wahyu. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Siombo, Marhaeni. 2009. Pengaruh Metode Penyuluhan dan Motivasi Nelayan Terhadap Pengetahuan Tentang Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan (Eksperimen Pada Nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara 2008), Sinopsis Desertasi Program Pacasarjana, UNJ, Jakarta. Situmorang, Victor. 1987. Sketsa Asas Hukum Laut, Jakarta: Bina Aksara. Soehino, 1980. Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty. Soedjono, Wiwoho. 1983. Pengangkutan Laut Dalam Hubungannya dengan Wawasan Nusantara, Jakarta: Bina Aksara. Soedjono & Abdurahman. 2003. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 9, Jakarta: Rajawali Press. ------------- . Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ------------- . 2007. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). Solihin, Akhmad. 2008. Pemberantasan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing Menurut Hukum Internasional dan Implementasinya Dalam Peraturan Perundang-Undangan Nasional, Tesis, Universitas Padjadjaran Bandung. Starke, J.G. 1992. Pengantar Hukum Internasional, Buku I, Sinar Grafika: Jakarta. ------------- . Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepluh, Jakarta: Sinar Grafika. Subagyo, R. Joko. 1993. Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta. Supriadi & Alimudin, 2011. Hukum Perikanan di Indonesia, Palu: Sinar Grafika. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Thontowi, Jawahir & Pranoto Iskandar, 2006. Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT Refika Aditama. Warasih, Esmi. 2005. Lembaga Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru, Utama, Semarang. Wijayanti, Asri & Lilik Sofyan Achmad, 2011. Strategi Penulisan Hukum, Bandung: CV Lubuk Agung. Zulkifli & Jimmy, 2012. Dictionary of Law, Surabaya: Grahamedia Press. B. Jurnal, Artikel, Makalah, Majalah, Koran, Sumber Internet, dan Sumber lainnya Badan Keamanan Laut RI, Fungsi Bakamla, dapat diakses di http://bakamla .go.id/home/tugas_fungsi. Lihat juga Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut. Berita online. Ditenggelamkan Susi: Cara Kapal Thailand Mencuri, 2015, dapat diakses di http://bisnis.tempo.co/read/news/2015/02/09/090640966/ditengg elamkan-susi-cara-kapal-thailand-mencuri. Berita online. Illegal Fishing Kejahatan Transnasional yang Dilupakan, dapat diakses di http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/ill egal-fishing-kejahatan-transnasional-yang-dilupakan. Berita online. InternationalNews, Media Thailand Protes Penenggelaman Kapal, Ini Reaksi RI, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/947 375/40/media-thailand-protes-penenggelaman-kapal-ini-reaksi-ri1420625646. Berita online. Kapal Pencuri Ikan Ditenggelamkan Indonesia, Ini Reaksi Malaysia, dapat diakses di http://international.sindonews.com/read/948812 /40/kapal-pencuri-ikan-ditenggelamkan-indonesia-ini-reaksi-malaysia1420884073. Berita online. Kebijakan Penenggelaman Kapal Pencuri Ikan, dapat diakses di htt p://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/02/kebijakan-penenggelaman-kapa l-perlu-disosialisasikan-agar-tidak-ganggu-hubungan-dengan-negara-lain689833.html. Berita online. Konsekuensi Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://nasional .sindonews.com/read/935809/18/konsekuensi-penenggelaman-kapal-14 18270847/1. Berita Online, Menteri Susi Gregetan Tenggelamkan Kapal Pencuri Ikan Tanpa Pengadilan, 8 Oktober 2015, dapat diakses di http://news.detik.com/ berita/3039341/menteri-susi-gregetan-tenggelamkan-kapal-pencuri-ikantanpa-pengadilan. Berita online. Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing, dapat diakses di http://finance.detik.com/read/2014/12/01/152125/2764211/4/menteri-susikerugian-akibat-illegal-fishing-rp-240-triliun. Berita online, Penegakan Hukum Menurut Para Ahli, dapat diakses di: http://ww w.pengertianartidefinisi.com/pengertian-penegakan-hukum-men urut-para-ahli/. Berita online. Penenggelaman Kapal Asing, dapat diakses di http://nasional.komp as.com/read/2014/12/12/14000081/Penenggelaman.Kapal.Asing. Berita online. RI Harus Antisipasi Reaksi Keras Soal Penenggelaman Kapal, dapat diakses di http://wartaharian.net/berita/109-nasional/20189-ri-harusantisipasi-reaksi-keras-soal-penenggelaman-kapal.html. Berita online. Sekilas Tentang Alam Indonesia, dapat diakses di http://www.travel indonesia.org/sekilas-tentang-alam-indonesia/. Berita online, Situs Berita dan Informasi Lingkungan, Penenggelaman Kapal Asing, Bukti Indonesia Serius Perangi Illegal Fishing, Oktober 2015, dapat diakses di http://www.mongabay.co.id/2015/10/20/penenggelaman-kapal-as ing-bukti-indonesia-serius-perangi-illegal-fishing/. Berita online. Soal Kapal Asing, Vietnam Minta Indonesia Patuhi Hukum Internasional, dapat diakses di http://www.tribunnews.com/internasional /2014/12/12/soal-kapal-asing-vietnam-minta-indonesia-patuhi-hukuminternasional. Ejournal. 2011. Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstens, dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/2012070 81310382587/15.pdf. FAO, Technical Guidelines For Responsible Fisheries, Implementation of The Intenational Plan of Action To Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, Fiat Panis, 2012. Dapat diakses secara online di http://www.imcsnet.org/imcs/docs/implementation_ ipoa.pdf. FAO, Pengelolaan Perikanan (Fisheries Managment), Divisi Publikasi FAO PBB, Roma 1997, hlm. 7. Dapat diakses secara online di http://www.fao.org /publications/en/. Jimly Asshiddiqie, Makalah, Penegakan Hukum, dapat diakses di http://www .jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara onlie di: http:// kkp.go.id/index.php/ars. ------------- . KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara onlie di http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/9236/KKP-TERBITKANKEPMEN-PENANGGULANGAN-IUU-FISHING/?category_id=2. Marudut Hutajulu, “Analisis Hukum Pidana Terhadap Pencurian Ikan Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (Studi Putusan No:03/Pid.Sus.P/2012/Pn.Mdn)”, USU Law Journal, Volume II Nomor I, Februari 2014, hlm.236. Dapat diakses secara online di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=147257& val=4099&title=ANALISIS%20HUKUM%20PIDANA%20TERHADAP% 20PENCURIAN%20IKAN%20DI%20ZONA%20EKONOMI%20EKSKL USIF%20INDONESIA%20WILAYAH%20PENGELOLAAN%20PERIKA NAN%20REPUBLIK%20INDONESIA%20%28STUDI%20PUTUSAN%2 0NO:%2003/PID.SUS.P/2012/PN.MDN Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 1410-3648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hlm. 184. Dapat diakses secara online di http://ejournal.uwks.ac.id/my files/201207081310382587/15.pdf. Purwito Martosubroto, “Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fishereis in the Marine Fisheries Sector, Indonesian Journal of International Law, Vol 2, Nomor 3, April 2005, Jakarta, hlm. 8. Dapat diakses di http://ijil.ui.ac.id/index.php/home/article/view/92. Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Penggunaan VMS Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t &rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEw iNoqy-kdXJAhVLkJQKHTqGAAIQFggyMAQ&url=http%3A%2F%2Fww w.openpaper.its.ac.id%2Fdownload.php%2F%3Fidf%3D22&usg=AFQjCN EdKnP_CuHjSOp5iSrQXhiaaFOOIA&sig2=gVPqtXQJV2cM6LrM6kLk9g &bvm=bv.109910813,d.dGo). Rokhmin Dahuri. Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Majalah Samudera, Mei 2012, dapat diakses di http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamat kan-indonesia-dari-IUU-Fishing/. Susanto Masita, Law Enforcement of Illegal Fishing In Arafura Sea, dapat diakses di http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/3d820644ecf4698c467865141a42 bcdc.pdf. Sekolah Tinggi Perikanan. KKP Terbitkan Kepmen Penanggulangan IUU Fishing, dapat diakses secara online di http://www.stp.kkp.go.id/index. php/arsip/c/860/KKP-Terbitkan-Kepmen-Penanggulangan-IUU-Fishing/. Usmawadi Amir. “Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case)”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 12, Januari—April 2013, dapat diakses secara online di: http://pustakahpi.kemlu.go.id/app/Pene gakan%20Hukum%20IUU%20Fishing%20menurut%20UNCLOS%201982 %20.pdf. Universitas Pembangunan Nasional, Upaya Indonesia mengatasi Illegal Fishing ditingkat nasional, dapat diakses secara online di: http://library.upnvj.ac.id /pdf/s1hi09/204613018/bab3.pdf. C. Dokumen United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF). International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported, Unregulated Fishing 2001 (IPOA-IUU Fishing). Statuta Mahkamah Internasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Tentang : Pengesahan United Nations Convention On. The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS 1982). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tentara Nasional Indonesia Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomorr 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per/18/Men/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.13/Men/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.01/Men/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. Per.16/Men/2010 tentang Pemberian Kewenangan SIPI dan SIKPI Untuk Kapal Perikanan Berukuran Di Atas 30 (Tiga Puluh) Gross Tonnage Sampai Dengan 60 (Enam Puluh) Gross Tonnage Kepada Gubernur. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/PERMEN-KP/2014 tentang Pelaksanaan Tugas Pengawas Perikanan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.50/Men/2012 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, And Unregulated Fishing (IUU Fishing) Tahun 2012-2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut. Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut.