BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Karbon Monoksida (CO) a. Pengertian Karbon Monoksida (CO) Karbon monoksida (CO) adalah suatu komponen tidak berwarna, tidak beraroma dan tidak mudah larut dalam air dengan perbandingan berat terhadap udara (1 Atm 0C) sebesar 0,967. Bila karbon monoksida (CO) diberikan api maka akan terbakar dan mengeluarkan asap biru menjadi karbon dioksida (CO2) (Arifin dan Sukoco, 2009). b. Sumber -sumber Karbon monoksida (CO) Karbon monoksida (CO) yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu proses sebagai berikut : a. Pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon (Fardiaz, 2003). b. Reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi (Slamet, 2002). c. Pemakaian bahan bakar fosil pada mesin-mesin penggerak transportasi (Wardhana, 2004). 8 9 Menurut Fardiaz (2003) oksidasi tidak lengkap terhadap karbon atau senyawa yang mengandung karbon terjadi apabila jumlah oksigen yang tersedia kurang dari jumlah yang dibutuhkan untuk pembakaran sempurna. Pembentukan karbon monoksida (CO) hanya terjadi bila reaktan yang ada terdiri dari karbon dan oksigen murni. Secara sederhana pembakaran karbon dalam minyak bakar terjadi melalui beberapa tahap sebagai berikut : 2C + O2 2CO 2CO + O2 2CO2 Sedangkan batas paparan gas karbon monoksida (CO) menurut WHO adalah sebagai berikut : Tabel 1. Batas paparan gas karbon monoksida (CO) menurut WHO Paparan gas CO Waktu Paparan No (Jam) mg/m3 ppm 1. 100 87 0,25 2. 60 52 0,5 3. 30 26 1 4. 10 9 8 Sumber : WHO, 2004 c. Efek Karbon Monoksida (CO) Akibat paparan gas karbon monoksida (CO) adalah bercampurnya gas karbon monoksida (CO) dengan hemoglobin yang terdapat dalam darah menjadi karboksihemoglobin (COHb). Dimana dengan bertambahnya COHb, fungsi pengaliran oksigen dalam darah terhambat dan apabila terdapat COHb 5% dalam darah (setara dengan 40 ppm gas karbon monoksida (CO) di udara) akan menimbulkan keracunan dalam darah (Arifin dan Sukoco, 2009). 10 Gejala yang dirasakan antara lain sakit kepala, mual, muntah, rasa lelah, berkeringat banyak, pyrexia (kenaikan suhu tubuh), pernafasan meningkat, gangguan penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi, kehilangan kesadaran dan sakit dada mendadak yang dapat muncul pada orang yang menderita nyeri dada (Badan POM, 2004). Telah lama diketahui bahwa kontak antara manusia dengan gas karbon monoksida (CO) pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kematian. Gas karbon monoksida (CO) merupakan salah satu gas yang sangat berbahaya karena pada konsentrasi yang relatif rendah (100 ppm atau kurang) dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Sehingga penting untuk diketahui mengenai hubungan gas karbon monoksida (CO) dengan masalah lingkungan karena pada umumnya gas karbon monoksida (CO) di udara kurang dari 100 ppm (Fardiaz, 2003). d. Pembersihan gas karbon monoksida (CO) di udara Menurut Fardiaz (2003) mekanisme alami dimana gas karbon monoksida (CO) hilang dari udara telah banyak diteliti, dan pembersihan karbon monoksida (CO) dari udara kemungkinan terjadi karena beberapa proses sebagai berikut : 1) Reaksi atmosfer yang berjalan sangat lambat sehingga jumlah karbon monoksida (CO) yang hilang sangat sedikit. 11 2) Aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam tanah dapat menghilangkan karbon monoksida (CO) dengan kecepatan relatif tinggi dari udara. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 5 tahun 2008 menyatakan bahwa untuk jalur hijau jalan, Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20 – 30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan kelas jalan. Menurut Wardhana (2004) pada pembakaran dengan ER > 1 dimana bahan bakar yang digunakan lebih banyak di udara. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya gas karbon monoksida (CO) dengan reaksi sebagai berikut : 2CO+O2 2 CO2 Reaksi pembentukan karbon monoksida (CO) lebih cepat dari pada reaksi pembentukan CO2, sehingga pada hasil akhir pembakaran masih mungkin tersisa gas karbon monoksida (CO) (Wardhana, 2004). Kecepatan reaksi yang mengubah karbon monoksida (CO) menjadi CO2 terjadi pada atmosfer bawah. Gas karbon monoksida (CO) dapat hilang sebesar 0,1% dari karbon monoksida (CO) yang ada per jam dengan adanya matahari. Berdasarkan kecepatan ini, karbon monoksida (CO) di atmosfer diperkirakan mempunyai umur rata-rata 3,5 bulan. (Fardiaz, 2003). Penyebaran gas karbon monoksida (CO) di udara tergantung pada keadaan lingkungan 12 seperti untuk daerah perkotaan yang memiliki banyak kegiatan industri dan tingkat lalu lintas yang padat dapat mengakibatkan udara lingkungan tersebut tercemar oleh gas karbon monoksida (CO). Berbeda dengan daeran pinggir kota atau desa, pencemaran gas karbon monoksida (CO) relatif sedikit dibanding udara perkotaan diatas (Wardhana, 2004). e. Pengendalian 1) Tindakan Pencegahan Menurut Sartono (2001) tindakan pencegahan terhadap paparan gas karbon monoksida (CO) adalah sebagai berikut : a) Kadar karbon monoksida (CO) dalam udara sekeliling kita harus dibawah batas paparan yang telah ditentukan antara lain dengan ventilasi ruangan yang memadai. b) Semua alat dengan proses pembakaran harus terkena udara ditempat terbuka. 2) Tindakan Penanggulangan Tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan apabila keracunan gas karbon monoksida (CO) adalah dengan memberikan oksigen kepada penderita, karena oksigen merupakan antidot terhadap keracunan karbon monoksida (CO) (Sartono, 2011). Pertolongan bagi orang yang keracunan gas karbon monoksida (CO) pada tingkat yang relatif masih ringan dapat 13 dilakukan dengan membawa korban ke tempat yang berudara terbuka (segar) dan memberikan kesempatan kepada korban untuk bernafas dalam-dalam (Wardhana, 2004). 3) Tindakan Pengendalian Menurut pengendalian Arifin, yang dan dapat Sukoco dilakukan (2009) untuk tindakan mengurangi pencemaran udara akibat gas buang kendaraan yaitu: a) Uji emisi bagi kendaraan umum/barang. b) Uji petik kendaraan bermotor. 2. Darah a. Definisi Darah Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain karena berbentuk cairan (Handayani dan Haribowo, 2008). Darah merupakan larutan koloid cair serta elektrolit yang berfungsi sebagai medium pertukaran antara sel tubuh (lingkungan interior) dan lingkungan eksternal (eksterior) (Morton, 2002). b. Fungsi Darah Fungsi penting dari darah adalah sebagai berikut (Morton, 2002) : 1) Mengangkat oksigen dan nutrien yang diabsorpsi ke dalam sel, 2) Mengangkut karbon dioksida dan produk buangan lainnya ke paru-paru, ginjal, sistem pencernaan, serta kulit, 14 3) Mengangkut hormon dari kelenjar endokrin ke organ serta jaringan sasaran, 4) Melindungi tubuh dari mikroorganisme yang mengancam hidup, 5) Mengatur keseimbangan asam-basa, 6) Melindungi dari pengeluaran darah melalui hemostasis, 7) Mengatur suhu tubuh dengan cara memindahkan panas. c. Komponen Darah Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu : 1) Plasma Darah Plasma darah adalah bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air, elektrolit, dan protein darah (Handayani dan Haribowo, 2008). Sifat plasma yang cair dengan bahan dasar air, membuat darah mampu mengangkut berbagai senyawa kimia baik yang terlarut, bersifat koloidal, tersuspensi, atau sulit larut dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh (Sofro, 2012). 2) Butir-butir Darah Butir – butir darah terdiri dari : a) Sel Darah Merah (Eritrosit) Sel darah merah (eritrosit) dalah sel yang memiliki fungsi khusus mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh dan membantu pembuangan karbon dioksida dan proton yang dihasilkan oleh metabolisme jaringan tubuh (Sofro, 2012). 15 Eritrosit normal berbentuk bulat pipih seperti cakram bikonkaf yang mempunyai garis tengah rata-rata sekitar 8 mikron dan tebalnya jika diukur dari yang paling tebal adalah 2 mikron, dan di tengahnya mempunyai tebal 1 mikron atau kurang (Guyton, 1995). Bikonkavitas darah memungkinkan gerakan oksigen masuk dan keluar sel secara cepat dengan jarak yang pendek antara membran dan inti sel. Warna eritrosit yang kuning kemerah-merahan dikarenakan didalamnya mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin (Hb) (Handayani dan Haribowo, 2008). Jumlah eritrosit normal pada laki-laki dewasa per mililiter kubik adalah 4.200.000, dan pada wanita adalah 4.700.000 (Guyton, 1995). b) Sel Darah Putih (Leukosit) Sel darah putih (leukosit) merupakan komponen selular penting dalam darah yang berperan dalam sistem kekebalan (Sofro, 2012). Sel darah putih (leukosit) memiliki beberapa jenis, yaitu limfosit (baik B maupun T), granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil), dan monosit (Sofro, 2012). Granulosit dan monosit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap invasi organisme dengan memakannya yaitu dengan proses fagositosis. Salah satu fungsi limfosit adalah untuk mengaktifkan mekanisme pembekuan darah (Guyton, 1995). 16 c) Butir Pembeku Darah (Trombosit) Sel pembeku darah (trombosit) memiliki bentuk yang berbeda dari dua sel darah lainnya. Hal ini karena dibawah mikroskop tidak tampak seperti sel melainkan seperti bercakkotoran pengecatan. Sel pembeku darah (trombosit) di dalam darah tepi berjumlah 150.000 – 400.000 per mcL (Sofro, 2012). 3. Hemoglobin (Hb) a. Definisi Hemoglobin (Hb) Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein majemuk yang mengandung unsur non-protein yaitu heme dan unsur protein yaitu globin. Pada makhluk hidup, secara fisiologis kompleks proteinheme berfungsi mengikat oksigen, mengangkut oksigen, mengangkut elektron dan fotosintesis. Hemoglobin (Hb) tidak melakukan fungsi fotosintesis pada manusia. Warna hemoglobin (Hb) yang merah menyebabkan sel darah merah yang sebagian besar isinya adalah hemoglobin (Hb) menjadi merah (Sofro, 2012). b. Struktur Hemoglobin (Hb) Hemoglobin terdiri dari heme dan globin (Handayani dan Haribowo, 2008). Molekul hemoglobin (Hb) adalah suatu protein yang mengikat molekul bukan protein yaitu senyawa porfirin besi yang disebut heme. Heme memiliki beberapa bentuk yang telah dikenal yaitu heme a, heme b, dan heme c. Heme a terdapat dalam 17 cytochrome-a dan chlorofil, heme b terdapat dalam hemoglobin (Hb), dan heme c terdapat dalam cytochrome-c (Sofro, 2012). Struktur ini melibatkan empat atom besi dalam bentuk Fe 2+ dikelilingi oleh cincin protoporfirin IX, karena zat besi dalam bentuk Fe3+ tidak dapat mengikat oksigen. Protoporfirin IX adalah produk akhir dalam sintesis molekul heme. Protoporfirin ini hasil dari interaksi suksinil koenzim A dan asam delta-aminolevulinat di dalam mitokondria dari eritrosit berinti, dengan pembentukan beberapa produk antara, coproporfirin. yaitu Besi porfobilinogen, bergabung dengan uroporfirinogen, protoporfirin dan untuk membentuk heme molekul lengkap. Cacat pada salah satu produk antara dapat merusak fungsi hemoglobin (Hb) (Kiswari, 2014). Globin merupakan bagian protein yang terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai beta (Handayani dan Haribowo, 2008). Globin terdiri dari asam amino yang dihubungkan bersama untuk membentuk rantai polipeptida. Hemoglobin (Hb) dewasa terdiri atas rantai alfa dan rantai beta. Rantai alfa memiliki 141 asam amino, sedangkan rantai beta memiliki 146 asam amino. Heme dan globin dari molekul hemoglobin (Hb) dihubungkan oleh ikatan kimia (Kiswari, 2014). 18 Gambar 1. Struktur Hemoglobin (Hb) (Zarmayana, 2013) c. Pembentukan Hemoglobin (Hb) Sintesis hemoglobin (Hb) dimulai dalam proeritroblas dan kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit pada pembentukan sel darah merah (Guyton and Hall, 2008). Langkah awal sintesis adalah pembentukan senyawa pirol. Senyawa pirol tersebut bersatu membentuk senyawa protoporfirin yang kemudian berikatan dengan besi membentuk molekul heme. Selanjutnya, empat molekul heme berikatan dengan satu molekul globin yaitu suatu globulin yang disintesis dalam ribosom retikulum endoplasma dan kemudian terbentuklah hemoglobin (Hb) (Guyton, 1995). Sintesis heme terjadi di mitokondria (Guyton and hall, 2008 ; hoffbrand dkk, 2005 ; Sofro, 2012). Sintesis heme merupakan suatu rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan sintesis asam amino levulinat (ALA) dengan kondensasi suksinil-KoA dan asam amino glisin di mitokondrion (Hoffbrand dkk, 2005; Sofro, 2012). Lewat 19 serangkaian langkah koproporfirinogen III, reaksi yang di sitoplasma, kemudian masuk terbentuklah kembali ke mitokondria yang didalamnya terjadi langkah-langkah enzimatis terakhir yang dapat mengubah koproporfirinogen III menjadi porfirinogen IX yang selanjutnya akan menjadi protoporfirin IX (Sofro, 2012). Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah suatu koenzim untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya, protoporfirin IX bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe 2+) untuk membentuk heme (Hoffbrand and Moss, 2013; Hoffbrand dkk, 1995). Sintesis globin pada dasarnya mengikuti proses sintesis protein pada umumnya, dimulai dari transkripsi gena globin di kromosom 11 dan 16, kemudian pengolahan mRNA hasil transkrip menjadi mRNA masak yang siap dikeluarkan dari inti menuju ke sitoplasma. Di sitoplasma, dengan tersedianya molekul tRNA yang mengangkut asam amino secara spesifik dan rRNA yang bergabung dengan molekul-molekul protein menjadi bangunan ribosom, maka mRNA akan diterjemahkan menjadi rantai polipepti atau protein globin (Sofro, 2012). Dimana selanjutnya setiap molekul heme akan bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada pliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing dengan gugus heme dalam suatu kantong kemudian dibentuk 20 menjadi satu molekul hemoglobin (Hb) (Hoffbrand and Moss, 2013; Hoffbrand dkk, 1995). Pengiriman oksigen adalah fungsi utama dari molekul hemoglobin (Hb) (Kiswari, 2014). Pada saat molekul hemoglobin (Hb) mengangkut dan melepas O2, masing-masing rantai globin dalam molekul hemoglobin (Hb) bergerak pada satu sama lain (Hoffbrand and Moss, 2013; Hoffbrand dkk, 1995). Dimana terdapat beberapa variasi kecil di berbagai rantai subunit hemoglobin (Hb), bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptidanya. Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa (α), rantai beta (β), rantai gamma (γ), dan rantai delta (δ). Bentuk paling umum pada orang dewasa yaitu hemoglobin A, yang merupakan kombinasi dari dua rantai alfa dan dua rantai beta (Guyton dan Hall, 2008). Kontak antara α1β1 dan α2β2 dapat menstabilkan molekul tersebut. Rantai β bergeser pada kontak α1β2 dan α2β1 selama oksigenasi dan deoksigenasi. Pada saat O2 dilepaskan rantai β ditarik terpisah, memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) yang menyebabkan penurunan afinitas molekul tersebut terhadap O2 (Hoffbrand and Moss, 2013). Setiap rantai hemoglobin (Hb) mempunyai sebuah gugus prostetik heme yang mengandung satu atom besi dan dalam setiap molekul hemoglobin (Hb) terdiri dari 4 rantai hemoglobin (Hb) sehingga satu molekul hemoglobin (Hb) terdiri dari 4 atom besi. Setiap atom ini dapat berikatan longgar 21 denga satu molekul oksigen, sehingga 4 molekul oksigen dapat diangkut oleh setiap molekul hemoglobin (Hb) (Guyton dan Hall, 2008). Hemoglobin (Hb) mengikat O2 untuk membentuk oksihemoglobin (HbO2) dimana O2 menempel pada Fe2+ dalam heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi pengikatan hemoglobin (Hb) dengan O2 dapat dituliskan sebagai berikut : Hb + O2 HbO2 Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan waktu kurang dari 0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) oksihemoglobin (HbO2) juga berlangsung sangat cepat (Ganong, 2003). Oksigen yang tidak atau belum mengikat oksigen disebut sebagai deoksihemoglobin atau deoksiHb yang pada umumnya ditulis sebagai Hb. Hemoglobin (Hb) yang mengikat oksigen disebut sebagai oksihemoglobin atau HbO 2. Seperti yang tampak pada persamaan reaksi tersebut, reaksi ini dapat berlangsung 2 arah dimana arah ke kanan menunjukkan bahwa reaksi penggabungan atau asosiasi terjadi di dalam alveolus paruparu yang merupakan tempat berlangsungnya pertukaran udara antara tubuh dengan lingkungan dan arah ke kiri menunjukkan suatu reaksi penguraian atau disosiasi, terutama terjadi di dalam bentuk 22 jaringan. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa hemoglobin (Hb) dalam sel darah merah mengikat oksigen di paru-paru dan melepaskannya di jaringan untuk diserahkan dan digunakan oleh selsel (Sadikin, 2002). Setiap keadaan yang menyebabkan jumlah oksigen yang ditranspor kejaringan berkurang biasanya meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah. Pada tempat yang sangat tinggi yang jumlah oksigen dalam udara sangat berkurang, insufisiensi oksigen yang ditranspor ke jaringan, dan sel darah dihasilkan demikian cepat sehingga jumlahnya dalam darah sangat meningkat (Guyton, 1995). Degradasi hemoglobin (Hb) berlangsung mengikuti kematian sel darah merah. Sebagaimana telah diketahui, sel darah merah memiliki rentang hidup 120 hari setelah melewati perjalanan sejauh kira-kira 200-300 mil. Kerusakan sekitar 90% sel darah merah yang telah menua terjadi lewat hemolisis ekstravaskular, yang selanjutnya akan diambil dari sirkulasi oleh makrofaga sistem fagosit mononuclear (Sofro, 2012). Pada kondisi normal, sel darah merah senescene dan heme dari mana saja akan ditelan oleh sel-sel sistem retikuloendothelial. Molekul globin-nya didaur ulang atau diubah menjadi asam amino dan selanjutnya didaur ulang atau mengalami katabolisme. Sementara itu, molekul heme dihancurkan di sel-sel retikuloendotelial oleh heme oxygenase suatu sistem enzim 23 mikrosom yang memerlukan oksigen dan NADPH. Dengan aktivitas enzim tersebut cincin heme akan terbuka. Pada reaksi ini dihasilkan karbon monoksida (CO) dan hemin (Fe3+) yang selanjutnya direduksi menjadi heme (Fe2+). Reaksi ini adalah satu-satunya penghasil karbon monoksida (CO) endogen dalam tubuh (Sofro, 2012). d. Kadar Hemoglobin (Hb) Kadar hemoglobin (Hb) normal seseorang dibedakan berdasarkan umur dan jenis kelamin menurut WHO pada tahun 1987 dalam Handayani dan Haribowo (2008) adalah sebagai berikut : Tabel 2. Kadar Hemoglobin (Hb) Berdasarkan Umur Dan Jenis Kelamin Kadar Jenis Kelamin Hemoglobin Usia Laki(Hb) No. Perempuan laki (Tahun) (P) (L) (g/dl) Anak ≥11 (0.5 - 6) 2. Anak ≥12 (6-14) Dewasa ≥13 3. (>14) ≥12 4. Wanita ≥11 Hamil Sumber : WHO dalam Handayani dan Haribowo (2008) 1. Menurut Kiswari (2014) Kadar hemoglobin (Hb) normal lakilaki dewasa berdasarkan Satuan Internasional (SI) yaitu 14,5-18 g/dL. Sedangkan untuk wanita dewasa yaitu 12-16 g/dL. 24 e. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin (Hb) Faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin (Hb) adalah sebagai berikut: 1) Usia Faktor usia akan berpengaruh terhadap kekuatan fisik dan psikis seseorang, pada usia lebih dari 40 tahun seseorang akan cenderung mengalami perubahan prestasi kerja yang dapat mempengaruhi faktor fisiologis, mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, kinerja otot, berfikir, mengingat dan mendengar, serta adanya penurunan kemampuan dalam beradaptasi (Setyawati, 2010). Apabila usia seseorang semakin tua maka daya tahan tubuh terhadap sumber penyebab penyakit akan semakin berkurang, sehingga tidak tertutup kemungkinan apabila terkena sumber penyakit, akan menjadi lebih parah (Ahirawati, 2009). Namun, Kadar hemoglobin (Hb) menjadi lebih tinggi pada bayi baru lahir dibandingkan pada orang dewasa (Kiswari, 2014). 2) Jenis Kelamin Kadar hemoglobin (Hb) sebagian besar perempuan lebih rendah dari kadar hemoglobin (Hb) laki-laki. Hal ini dikarenakan aktivitas fisik perempuan yang rendah (Huldani, 2010). 3) Ketinggian Daerah 25 Kadar hemoglobin (Hb) seseorang di daerah pegunungan lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di dataran rendah. Karena semakin tinggi tempat, maka kandungan oksigennya semakin menurun, yang selanjutnya mengakibatkan sebagian jaringan mengalami hipoksia. Hal ini akan merangsang pengeluaran eritropoitin yang dapat mengakibatkan eritropoisis yang selanjutnya mengakibatkan eritrosit meningkat. Peningkatan eritrosit akan meningkatkan kadar hemoglobin (Sofro, 2012). Terdapat perbedaan kadar hemoglobin (Hb) yang signifikan pada seseorang yang yang tinggal di daerah dengan ketinggian tertentu (Waani dkk, 2014). 4) Kebiasaan merokok Rokok merupakan salah satu produk industri dan komoditi internasional yang mengandung sekitar 3000 bahan kimiawi. Unsur-unsur dalam rokok antara lain: tar, nikotin, benzopyrin, metilkloride, aseton, amonia, dan karbon monoksida (CO) (Bustan, 2007). Sejumlah komponen darah dipengaruhi oleh merokok. Besar kecilnya komponen darah tergantung pada jumlah batang rokok yang dihisap (Handayani dan Haribowo, 2008). 5) Status Gizi Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam 26 bentuk variabel tertentu. Salah satu penilaian status gizi yaitu dengan survei konsumsi makanan. Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi (Supariasa dkk, 2001). f. Pengukuran Kadar Hemoglobin (Hb) Menurut Kiswari (2014) kadar hemoglobin (Hb) seseorang diukur dengan menggunakan metode sebagai berikut : 1) Tallquist Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan membandingkan darah asli dengan suatu skala warna yang bergradasi mulai dari warna merah muda sampai merah tua (mulai 10-100%) . 2) Cu-Sulfat Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) untuk mendapatkan donor yang cocok dan sehat. 3) Sahli Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan cara visual. Prinsip dalam pengukuran kadar ini adalah dengan melakukan pengenceran sampel darah menggunakan larutan HCL dan aquades. Penyimpangan hasil pemeriksaan cara sahli ini adalah 15-30%. 4) Fotoelektrik kolorimeter 27 Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan menggunakan fotoelektrik kalorimeter. Penetapan kadar hemoglobin dengan fotoelektrik kalorimeter memiliki banyak metode antara lain metode cyanmethemoglobin (HiCN), metode oksihemoglobin, dan metode alkali hematin. Kesalahan hasil pengukuran tidak kurang dari 2 %. 4. Hubungan gas karbon monoksida (CO) terhadap hemoglobin (Hb) Karbon monoksida (CO) bergabung dengan molekul hemoglobin (Hb) pada tempat yang sama seperti oksigen. Oleh karena itu, karbon monoksida (CO) dapat memindahkan oksigen dari hemoglobin (Hb), sehingga menurunkan kapasitas darah sebagai pembawa oksigen (Guyton dan Hall, 2008). Menurut Slamet (2002) Efek gas karbon monoksida (CO) terhadap kesehatan disebabkan karena karbon monoksida (CO) dapat menggeser oksigen yang terikat hemoglobin (Hb) dan mengikat hemoglobin (Hb) menjadi Karboksihemoglobin (COHb) seperti pada reaksi: HbO2 + CO COHb + O2 Hal ini disebabkan karena afinitas karbon monoksida (CO) terhadap hemoglobin (Hb) = 210x daripada afinitas O2 terhadap Hb. Reaksi ini mengakibatkan Berkurangnya kapasitas darah untuk menyalurkan O2 kepada jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang terasa dimulai sebagai pusing-pusing, kurang dapat memperhatikan sekitarnya, kemudian terjadi kelainan fungsi susunan saraf pusat, perubahan fungsi 28 paru-paru dan jantung, terjadi rasa sesak nafas, pingsan pada 250 ppm, dan akhirnya dapat menyebabkan kematian pada 750 ppm (Slamet, 2002). Menurut Wardhana (2004), dalam keadaan normal darah sudah mengandung COHb sebanyak 0,5%, yang berasal dari proses metabolisme di dalam tubuh, terutama hasil pemecahan heme yang termasuk komponen hemoglobin dalam darah. COHb berasal dari konsentrasi gas karbon monoksida (CO) yang terdapat di udara dalam konsentrasi rendah. COHb tidak dapat mengikat dan membawa oksigen. Meningkatnya konsentrasi COHb dapat menyebabkan kurva disosiasi Hb-O2 bergeser ke kiri, sehingga terjadi mekanisme kompensasi yaitu dengan mengikat oksigen tergantung pada kebutuhan jaringan (Kiswari, 2014). Menurut ACGIH 2003 dalam Suma’mur (2009) menyatakan bahwa kadar COHb maksimal yang dianjurkan dalam tubuh seseorang adalah 3,5%. Tabel 3. Pengaruh konsentrasi gas karbon monoksida (CO) di udara dan pengaruhnya pada tubuh bila kontak terjadi pada waktu yang lama Konsentrasi CO di udara (ppm) 3 5 10 20 40 60 80 100 Sumber : Wardhana, 2004 Konsentrasi COHb dalam darah (%) 0.98 1.3 2.1 3.7 6.9 10.1 13.3 16.5 Gangguan pada tubuh Tidak ada Belum begitu terasa Sistem syaraf sentral Panca indera Fungsi jantung Sakit kepala Sulit bernafas Pingsan-kematian 29 Paparan karbon monoksida (CO) yang terjadi dalam waktu lama dapat menyebabkan polisitemia. Polisitemia sekunder adalah peningkatan massa sel darah merah yang disebabkan peningkatan produksi sel darah merah. Kondisi ini merupakan akibat dari peningkatan produksi eritropoietin yang disebabkan oleh hipoksi jaringan (Kiswari, 2014). Salah satu gejala polisitemia adalah peningkatan warna kulit (sering kemerah-merahan) disebabkan oleh peningkatan kadar hemoglobin (Hb) (Handayani dan Haribowo, 2008). 30 B. Kerangka Pemikiran Paparan Gas CO Gas CO terhirup Masuk kedalam Tubuh Gas CO berikatan dengan Hemoglobin menjadi COHb O2Hb + CO COHb + O2 O2 dalam darah menurun Mekanisme Kompensasi Faktor yang mempengaruhi: 1. Jenis Kelamin Kadar Hb Meningkat 2. Ketinggian Daerah 3. Kebiasaan Merokok 4. Usia Polisitemia 5. Status Gizi (IMT) Gambar 2. Kerangka Pemikiran Keterangan : : diteliti : Tidak diteliti C. Hipotesis Ada hubungan antara paparan gas karbon monoksida (CO) dengan kadar hemoglobin (Hb) pada pedagang di daerah Gladag Surakarta.