Karbon monoksida (CO)

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Karbon Monoksida (CO)
a. Pengertian Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) adalah suatu komponen tidak
berwarna, tidak beraroma dan tidak mudah larut dalam air dengan
perbandingan berat terhadap udara (1 Atm 0C) sebesar 0,967. Bila
karbon monoksida (CO) diberikan api maka akan terbakar dan
mengeluarkan asap biru menjadi karbon dioksida (CO2) (Arifin dan
Sukoco, 2009).
b. Sumber -sumber Karbon monoksida (CO)
Karbon monoksida (CO) yang terdapat di alam terbentuk dari
salah satu proses sebagai berikut :
a. Pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang
mengandung karbon (Fardiaz, 2003).
b. Reaksi antara karbon dioksida (CO2) dan komponen yang
mengandung karbon pada suhu tinggi (Slamet, 2002).
c. Pemakaian bahan bakar fosil pada mesin-mesin penggerak
transportasi (Wardhana, 2004).
8
9
Menurut Fardiaz (2003) oksidasi tidak lengkap terhadap
karbon atau senyawa yang mengandung karbon terjadi apabila
jumlah oksigen yang tersedia kurang dari jumlah yang dibutuhkan
untuk pembakaran sempurna. Pembentukan karbon monoksida (CO)
hanya terjadi bila reaktan yang ada terdiri dari karbon dan oksigen
murni. Secara sederhana pembakaran karbon dalam minyak bakar
terjadi melalui beberapa tahap sebagai berikut :
2C + O2
2CO
2CO + O2
2CO2
Sedangkan batas paparan gas karbon monoksida (CO) menurut
WHO adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Batas paparan gas karbon monoksida (CO) menurut WHO
Paparan gas CO
Waktu Paparan
No
(Jam)
mg/m3
ppm
1.
100
87
0,25
2.
60
52
0,5
3.
30
26
1
4.
10
9
8
Sumber : WHO, 2004
c. Efek Karbon Monoksida (CO)
Akibat paparan gas karbon monoksida (CO) adalah
bercampurnya gas karbon monoksida (CO) dengan hemoglobin yang
terdapat dalam darah menjadi karboksihemoglobin (COHb). Dimana
dengan bertambahnya COHb, fungsi pengaliran oksigen dalam darah
terhambat dan apabila terdapat COHb 5% dalam darah (setara
dengan 40 ppm gas karbon monoksida (CO) di udara) akan
menimbulkan keracunan dalam darah (Arifin dan Sukoco, 2009).
10
Gejala yang dirasakan antara lain sakit kepala, mual, muntah, rasa
lelah, berkeringat banyak, pyrexia (kenaikan suhu tubuh), pernafasan
meningkat, gangguan penglihatan, kebingungan, hipotensi, takikardi,
kehilangan kesadaran dan sakit dada mendadak yang dapat muncul
pada orang yang menderita nyeri dada (Badan POM, 2004).
Telah lama diketahui bahwa kontak antara manusia dengan
gas karbon monoksida (CO) pada konsentrasi tinggi dapat
menyebabkan kematian. Gas karbon monoksida (CO) merupakan
salah satu gas yang sangat berbahaya karena pada konsentrasi yang
relatif rendah (100 ppm atau kurang) dapat menimbulkan gangguan
kesehatan. Sehingga penting untuk diketahui mengenai hubungan
gas karbon monoksida (CO) dengan masalah lingkungan karena
pada umumnya gas karbon monoksida (CO) di udara kurang dari
100 ppm (Fardiaz, 2003).
d. Pembersihan gas karbon monoksida (CO) di udara
Menurut Fardiaz (2003) mekanisme alami dimana gas karbon
monoksida (CO) hilang dari udara telah banyak diteliti, dan
pembersihan karbon monoksida (CO) dari udara kemungkinan
terjadi karena beberapa proses sebagai berikut :
1) Reaksi atmosfer yang berjalan sangat lambat sehingga jumlah
karbon monoksida (CO) yang hilang sangat sedikit.
11
2) Aktivitas mikroorganisme yang terdapat dalam tanah dapat
menghilangkan karbon monoksida (CO) dengan kecepatan relatif
tinggi dari udara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 5 tahun
2008 menyatakan bahwa untuk jalur hijau jalan, Ruang Terbuka
Hijau (RTH) dapat disediakan dengan penempatan tanaman
antara 20 – 30% dari ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan
kelas jalan.
Menurut Wardhana (2004) pada pembakaran dengan ER > 1
dimana bahan bakar yang digunakan lebih banyak di udara. Hal
tersebut memungkinkan terbentuknya gas karbon monoksida (CO)
dengan reaksi sebagai berikut : 2CO+O2
2 CO2
Reaksi pembentukan karbon monoksida (CO) lebih cepat dari
pada reaksi pembentukan CO2, sehingga pada hasil akhir
pembakaran masih mungkin tersisa gas karbon monoksida (CO)
(Wardhana, 2004).
Kecepatan reaksi yang mengubah karbon monoksida (CO)
menjadi CO2 terjadi pada atmosfer bawah. Gas karbon monoksida
(CO) dapat hilang sebesar 0,1% dari karbon monoksida (CO) yang
ada per jam dengan adanya matahari. Berdasarkan kecepatan ini,
karbon monoksida (CO) di atmosfer diperkirakan mempunyai umur
rata-rata 3,5 bulan. (Fardiaz, 2003). Penyebaran gas karbon
monoksida (CO) di udara tergantung pada keadaan lingkungan
12
seperti untuk daerah perkotaan yang memiliki banyak kegiatan
industri dan tingkat lalu lintas yang padat dapat mengakibatkan
udara lingkungan tersebut tercemar oleh gas karbon monoksida
(CO). Berbeda dengan daeran pinggir kota atau desa, pencemaran
gas karbon monoksida (CO) relatif sedikit dibanding udara
perkotaan diatas (Wardhana, 2004).
e. Pengendalian
1) Tindakan Pencegahan
Menurut Sartono (2001) tindakan pencegahan terhadap
paparan gas karbon monoksida (CO) adalah sebagai berikut :
a) Kadar karbon monoksida (CO) dalam udara sekeliling kita
harus dibawah batas paparan yang telah ditentukan antara
lain dengan ventilasi ruangan yang memadai.
b) Semua alat dengan proses pembakaran harus terkena udara
ditempat terbuka.
2) Tindakan Penanggulangan
Tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan apabila
keracunan gas karbon monoksida (CO) adalah dengan
memberikan
oksigen
kepada
penderita,
karena
oksigen
merupakan antidot terhadap keracunan karbon monoksida (CO)
(Sartono, 2011).
Pertolongan bagi orang yang keracunan gas karbon
monoksida (CO) pada tingkat yang relatif masih ringan dapat
13
dilakukan dengan membawa korban ke tempat yang berudara
terbuka (segar) dan memberikan kesempatan kepada korban
untuk bernafas dalam-dalam (Wardhana, 2004).
3) Tindakan Pengendalian
Menurut
pengendalian
Arifin,
yang
dan
dapat
Sukoco
dilakukan
(2009)
untuk
tindakan
mengurangi
pencemaran udara akibat gas buang kendaraan yaitu:
a) Uji emisi bagi kendaraan umum/barang.
b) Uji petik kendaraan bermotor.
2. Darah
a. Definisi Darah
Darah adalah organ khusus yang berbeda dengan organ lain
karena berbentuk cairan (Handayani dan Haribowo, 2008). Darah
merupakan larutan koloid cair serta elektrolit yang berfungsi sebagai
medium pertukaran antara sel tubuh (lingkungan interior) dan
lingkungan eksternal (eksterior) (Morton, 2002).
b. Fungsi Darah
Fungsi penting dari darah adalah sebagai berikut (Morton, 2002) :
1) Mengangkat oksigen dan nutrien yang diabsorpsi ke dalam sel,
2) Mengangkut karbon dioksida dan produk buangan lainnya ke
paru-paru, ginjal, sistem pencernaan, serta kulit,
14
3) Mengangkut hormon dari kelenjar endokrin ke organ serta
jaringan sasaran,
4) Melindungi tubuh dari mikroorganisme yang mengancam hidup,
5) Mengatur keseimbangan asam-basa,
6) Melindungi dari pengeluaran darah melalui hemostasis,
7) Mengatur suhu tubuh dengan cara memindahkan panas.
c. Komponen Darah
Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu :
1) Plasma Darah
Plasma darah adalah bagian cair darah yang sebagian
besar terdiri atas air, elektrolit, dan protein darah (Handayani dan
Haribowo, 2008). Sifat plasma yang cair dengan bahan dasar air,
membuat darah mampu mengangkut berbagai senyawa kimia baik
yang terlarut, bersifat koloidal, tersuspensi, atau sulit larut dari
satu tempat ke tempat lain dalam tubuh (Sofro, 2012).
2) Butir-butir Darah
Butir – butir darah terdiri dari :
a) Sel Darah Merah (Eritrosit)
Sel darah merah (eritrosit) dalah sel yang memiliki
fungsi khusus mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan tubuh
dan membantu pembuangan karbon dioksida dan proton yang
dihasilkan oleh metabolisme jaringan tubuh (Sofro, 2012).
15
Eritrosit normal berbentuk bulat pipih seperti cakram
bikonkaf yang mempunyai garis tengah rata-rata sekitar 8
mikron dan tebalnya jika diukur dari yang paling tebal adalah
2 mikron, dan di tengahnya mempunyai tebal 1 mikron atau
kurang (Guyton, 1995). Bikonkavitas darah memungkinkan
gerakan oksigen masuk dan keluar sel secara cepat dengan
jarak yang pendek antara membran dan inti sel. Warna
eritrosit
yang
kuning
kemerah-merahan
dikarenakan
didalamnya mengandung suatu zat yang disebut hemoglobin
(Hb) (Handayani dan Haribowo, 2008).
Jumlah eritrosit normal pada laki-laki dewasa per
mililiter kubik adalah 4.200.000, dan pada wanita adalah
4.700.000 (Guyton, 1995).
b) Sel Darah Putih (Leukosit)
Sel darah putih (leukosit) merupakan komponen
selular penting dalam darah yang berperan dalam sistem
kekebalan (Sofro, 2012). Sel darah putih (leukosit) memiliki
beberapa jenis, yaitu limfosit (baik B maupun T), granulosit
(neutrofil, eosinofil, dan basofil), dan monosit (Sofro, 2012).
Granulosit dan monosit berfungsi untuk melindungi tubuh
terhadap invasi organisme dengan memakannya yaitu dengan
proses fagositosis. Salah satu fungsi limfosit adalah untuk
mengaktifkan mekanisme pembekuan darah (Guyton, 1995).
16
c) Butir Pembeku Darah (Trombosit)
Sel pembeku darah (trombosit) memiliki bentuk yang
berbeda dari dua sel darah lainnya. Hal ini karena dibawah
mikroskop tidak tampak seperti sel melainkan seperti
bercakkotoran pengecatan. Sel pembeku darah (trombosit) di
dalam darah tepi berjumlah 150.000 – 400.000 per mcL
(Sofro, 2012).
3. Hemoglobin (Hb)
a. Definisi Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin (Hb) adalah suatu protein majemuk yang
mengandung unsur non-protein yaitu heme dan unsur protein yaitu
globin. Pada makhluk hidup, secara fisiologis kompleks proteinheme berfungsi mengikat oksigen, mengangkut oksigen, mengangkut
elektron dan fotosintesis. Hemoglobin (Hb) tidak melakukan fungsi
fotosintesis pada manusia. Warna hemoglobin (Hb) yang merah
menyebabkan sel darah merah yang sebagian besar isinya adalah
hemoglobin (Hb) menjadi merah (Sofro, 2012).
b. Struktur Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin terdiri dari heme dan globin (Handayani dan
Haribowo, 2008). Molekul hemoglobin (Hb) adalah suatu protein
yang mengikat molekul bukan protein yaitu senyawa porfirin besi
yang disebut heme. Heme memiliki beberapa bentuk yang telah
dikenal yaitu heme a, heme b, dan heme c. Heme a terdapat dalam
17
cytochrome-a dan chlorofil, heme b terdapat dalam hemoglobin
(Hb), dan heme c terdapat dalam cytochrome-c (Sofro, 2012).
Struktur ini melibatkan empat atom besi dalam bentuk Fe 2+
dikelilingi oleh cincin protoporfirin IX, karena zat besi dalam bentuk
Fe3+ tidak dapat mengikat oksigen. Protoporfirin IX adalah produk
akhir dalam sintesis molekul heme. Protoporfirin ini hasil dari
interaksi suksinil koenzim A dan asam delta-aminolevulinat di dalam
mitokondria dari eritrosit berinti, dengan pembentukan beberapa
produk
antara,
coproporfirin.
yaitu
Besi
porfobilinogen,
bergabung
dengan
uroporfirinogen,
protoporfirin
dan
untuk
membentuk heme molekul lengkap. Cacat pada salah satu produk
antara dapat merusak fungsi hemoglobin (Hb) (Kiswari, 2014).
Globin merupakan bagian protein yang terdiri dari 2 rantai
alfa dan 2 rantai beta (Handayani dan Haribowo, 2008). Globin
terdiri dari asam amino yang dihubungkan bersama untuk
membentuk rantai polipeptida. Hemoglobin (Hb) dewasa terdiri atas
rantai alfa dan rantai beta. Rantai alfa memiliki 141 asam amino,
sedangkan rantai beta memiliki 146 asam amino. Heme dan globin
dari molekul hemoglobin (Hb) dihubungkan oleh ikatan kimia
(Kiswari, 2014).
18
Gambar 1. Struktur Hemoglobin (Hb) (Zarmayana, 2013)
c. Pembentukan Hemoglobin (Hb)
Sintesis hemoglobin (Hb) dimulai dalam proeritroblas dan
kemudian dilanjutkan sedikit dalam stadium retikulosit pada
pembentukan sel darah merah (Guyton and Hall, 2008). Langkah
awal sintesis adalah pembentukan senyawa pirol. Senyawa pirol
tersebut bersatu membentuk senyawa protoporfirin yang kemudian
berikatan dengan besi membentuk molekul heme. Selanjutnya, empat
molekul heme berikatan dengan satu molekul globin yaitu suatu
globulin yang disintesis dalam ribosom retikulum endoplasma dan
kemudian terbentuklah hemoglobin (Hb) (Guyton, 1995).
Sintesis heme terjadi di mitokondria (Guyton and hall, 2008 ;
hoffbrand dkk, 2005 ; Sofro, 2012). Sintesis heme merupakan suatu
rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan sintesis asam amino
levulinat (ALA) dengan kondensasi suksinil-KoA dan asam amino
glisin di mitokondrion (Hoffbrand dkk, 2005; Sofro, 2012). Lewat
19
serangkaian
langkah
koproporfirinogen
III,
reaksi
yang
di
sitoplasma,
kemudian
masuk
terbentuklah
kembali
ke
mitokondria yang didalamnya terjadi langkah-langkah enzimatis
terakhir yang dapat mengubah koproporfirinogen III menjadi
porfirinogen IX yang selanjutnya akan menjadi protoporfirin IX
(Sofro, 2012). Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah suatu koenzim
untuk reaksi ini yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya,
protoporfirin IX bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe 2+)
untuk membentuk heme (Hoffbrand and Moss, 2013; Hoffbrand dkk,
1995).
Sintesis globin pada dasarnya mengikuti proses sintesis
protein pada umumnya, dimulai dari transkripsi gena globin di
kromosom 11 dan 16, kemudian pengolahan mRNA hasil transkrip
menjadi mRNA masak yang siap dikeluarkan dari inti menuju ke
sitoplasma. Di sitoplasma, dengan tersedianya molekul tRNA yang
mengangkut asam amino secara spesifik dan rRNA yang bergabung
dengan molekul-molekul protein menjadi bangunan ribosom, maka
mRNA akan diterjemahkan menjadi rantai polipepti atau protein
globin (Sofro, 2012). Dimana selanjutnya setiap molekul heme akan
bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada pliribosom.
Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing
dengan gugus heme dalam suatu kantong kemudian dibentuk
20
menjadi satu molekul hemoglobin (Hb) (Hoffbrand and Moss, 2013;
Hoffbrand dkk, 1995).
Pengiriman oksigen adalah fungsi utama dari molekul
hemoglobin (Hb) (Kiswari, 2014). Pada saat molekul hemoglobin
(Hb) mengangkut dan melepas O2, masing-masing rantai globin
dalam molekul hemoglobin (Hb) bergerak pada satu sama lain
(Hoffbrand and Moss, 2013; Hoffbrand dkk, 1995). Dimana terdapat
beberapa variasi kecil di berbagai rantai subunit hemoglobin (Hb),
bergantung pada susunan asam amino di bagian polipeptidanya.
Tipe-tipe rantai itu disebut rantai alfa (α), rantai beta (β), rantai
gamma (γ), dan rantai delta (δ). Bentuk paling umum pada orang
dewasa yaitu hemoglobin A, yang merupakan kombinasi dari dua
rantai alfa dan dua rantai beta (Guyton dan Hall, 2008). Kontak
antara α1β1 dan α2β2 dapat menstabilkan molekul tersebut. Rantai β
bergeser
pada kontak α1β2 dan α2β1 selama oksigenasi dan
deoksigenasi. Pada saat O2 dilepaskan rantai β ditarik terpisah,
memungkinkan masuknya metabolit 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG)
yang menyebabkan penurunan afinitas molekul tersebut terhadap O2
(Hoffbrand and Moss, 2013). Setiap rantai hemoglobin (Hb)
mempunyai sebuah gugus prostetik heme yang mengandung satu
atom besi dan dalam setiap molekul hemoglobin (Hb) terdiri dari 4
rantai hemoglobin (Hb) sehingga satu molekul hemoglobin (Hb)
terdiri dari 4 atom besi. Setiap atom ini dapat berikatan longgar
21
denga satu molekul oksigen, sehingga 4 molekul oksigen dapat
diangkut oleh setiap molekul hemoglobin (Hb) (Guyton dan Hall,
2008).
Hemoglobin
(Hb)
mengikat
O2
untuk
membentuk
oksihemoglobin (HbO2) dimana O2 menempel pada Fe2+ dalam
heme. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat satu
molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk
fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi
oksigenasi, bukan reaksi oksidasi. Reaksi pengikatan hemoglobin
(Hb) dengan O2 dapat dituliskan sebagai berikut :
Hb + O2
HbO2
Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan waktu kurang dari 0,01
detik.
Deoksigenasi
(reduksi)
oksihemoglobin
(HbO2)
juga
berlangsung sangat cepat (Ganong, 2003). Oksigen yang tidak atau
belum mengikat oksigen disebut sebagai deoksihemoglobin atau
deoksiHb yang pada umumnya ditulis sebagai Hb. Hemoglobin (Hb)
yang mengikat oksigen disebut sebagai oksihemoglobin atau HbO 2.
Seperti yang tampak pada persamaan reaksi tersebut, reaksi ini dapat
berlangsung 2 arah dimana arah ke kanan menunjukkan bahwa
reaksi penggabungan atau asosiasi terjadi di dalam alveolus paruparu yang merupakan tempat berlangsungnya pertukaran udara
antara tubuh dengan lingkungan dan arah ke kiri menunjukkan suatu
reaksi penguraian atau disosiasi, terutama terjadi di dalam bentuk
22
jaringan. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa hemoglobin
(Hb) dalam sel darah merah mengikat oksigen di paru-paru dan
melepaskannya di jaringan untuk diserahkan dan digunakan oleh selsel (Sadikin, 2002).
Setiap keadaan yang menyebabkan jumlah oksigen yang
ditranspor kejaringan berkurang biasanya meningkatkan kecepatan
pembentukan sel darah merah. Pada tempat yang sangat tinggi yang
jumlah oksigen dalam udara sangat berkurang, insufisiensi oksigen
yang ditranspor ke jaringan, dan sel darah dihasilkan demikian cepat
sehingga jumlahnya dalam darah sangat meningkat (Guyton, 1995).
Degradasi hemoglobin (Hb) berlangsung mengikuti kematian
sel darah merah. Sebagaimana telah diketahui, sel darah merah
memiliki rentang hidup 120 hari setelah melewati perjalanan sejauh
kira-kira 200-300 mil. Kerusakan sekitar 90% sel darah merah yang
telah menua terjadi lewat hemolisis ekstravaskular, yang selanjutnya
akan diambil dari sirkulasi oleh makrofaga sistem fagosit
mononuclear (Sofro, 2012).
Pada kondisi normal, sel darah merah senescene dan heme
dari mana saja akan ditelan oleh sel-sel sistem retikuloendothelial.
Molekul globin-nya didaur ulang atau diubah menjadi asam amino
dan selanjutnya didaur ulang atau mengalami katabolisme.
Sementara
itu,
molekul
heme
dihancurkan
di
sel-sel
retikuloendotelial oleh heme oxygenase suatu sistem enzim
23
mikrosom yang memerlukan oksigen dan NADPH. Dengan aktivitas
enzim tersebut cincin heme akan terbuka. Pada reaksi ini dihasilkan
karbon monoksida (CO) dan hemin (Fe3+) yang selanjutnya
direduksi menjadi heme (Fe2+). Reaksi ini adalah satu-satunya
penghasil karbon monoksida (CO) endogen dalam tubuh (Sofro,
2012).
d. Kadar Hemoglobin (Hb)
Kadar hemoglobin (Hb) normal seseorang dibedakan
berdasarkan umur dan jenis kelamin menurut WHO pada tahun 1987
dalam Handayani dan Haribowo (2008) adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Kadar Hemoglobin (Hb) Berdasarkan Umur Dan Jenis
Kelamin
Kadar
Jenis Kelamin
Hemoglobin
Usia
Laki(Hb)
No.
Perempuan
laki
(Tahun)
(P)
(L)
(g/dl)
Anak


≥11
(0.5 - 6)
2.
Anak


≥12
(6-14)
Dewasa

≥13
3.
(>14)

≥12
4.
Wanita

≥11
Hamil
Sumber : WHO dalam Handayani dan Haribowo (2008)
1.
Menurut Kiswari (2014) Kadar hemoglobin (Hb) normal lakilaki dewasa berdasarkan Satuan Internasional (SI) yaitu 14,5-18
g/dL. Sedangkan untuk wanita dewasa yaitu 12-16 g/dL.
24
e. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin (Hb)
Faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin (Hb) adalah
sebagai berikut:
1) Usia
Faktor usia akan berpengaruh terhadap kekuatan fisik dan
psikis seseorang, pada usia lebih dari 40 tahun seseorang akan
cenderung mengalami perubahan prestasi kerja yang dapat
mempengaruhi faktor fisiologis, mengalami kemunduran dalam
berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, kinerja otot,
berfikir, mengingat dan mendengar, serta adanya penurunan
kemampuan dalam beradaptasi (Setyawati, 2010).
Apabila usia seseorang semakin tua maka daya tahan
tubuh terhadap sumber penyebab penyakit akan semakin
berkurang, sehingga tidak tertutup kemungkinan apabila terkena
sumber penyakit, akan menjadi lebih parah (Ahirawati, 2009).
Namun, Kadar hemoglobin (Hb) menjadi lebih tinggi pada bayi
baru lahir dibandingkan pada orang dewasa (Kiswari, 2014).
2) Jenis Kelamin
Kadar hemoglobin (Hb) sebagian besar perempuan lebih
rendah dari kadar hemoglobin (Hb) laki-laki. Hal ini dikarenakan
aktivitas fisik perempuan yang rendah (Huldani, 2010).
3) Ketinggian Daerah
25
Kadar hemoglobin (Hb) seseorang di daerah pegunungan
lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang tinggal di
dataran rendah. Karena semakin tinggi tempat, maka kandungan
oksigennya semakin menurun, yang selanjutnya mengakibatkan
sebagian jaringan mengalami hipoksia. Hal ini akan merangsang
pengeluaran eritropoitin yang dapat mengakibatkan eritropoisis
yang selanjutnya mengakibatkan eritrosit meningkat. Peningkatan
eritrosit akan meningkatkan kadar hemoglobin (Sofro, 2012).
Terdapat perbedaan kadar hemoglobin (Hb) yang signifikan pada
seseorang yang yang tinggal di daerah dengan ketinggian tertentu
(Waani dkk, 2014).
4) Kebiasaan merokok
Rokok merupakan salah satu produk industri dan komoditi
internasional yang mengandung sekitar 3000 bahan kimiawi.
Unsur-unsur dalam rokok antara lain: tar, nikotin, benzopyrin,
metilkloride, aseton, amonia, dan karbon monoksida (CO)
(Bustan, 2007).
Sejumlah komponen darah dipengaruhi oleh merokok.
Besar kecilnya komponen darah tergantung pada jumlah batang
rokok yang dihisap (Handayani dan Haribowo, 2008).
5) Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam bentuk tertentu atau perwujudan dari nutriture dalam
26
bentuk variabel tertentu. Salah satu penilaian status gizi yaitu
dengan survei konsumsi makanan. Survei konsumsi makanan
adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan
melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi (Supariasa
dkk, 2001).
f. Pengukuran Kadar Hemoglobin (Hb)
Menurut Kiswari (2014) kadar hemoglobin (Hb) seseorang
diukur dengan menggunakan metode sebagai berikut :
1) Tallquist
Pengukuran
kadar
hemoglobin
(Hb)
dengan
membandingkan darah asli dengan suatu skala warna yang
bergradasi mulai dari warna merah muda sampai merah tua
(mulai 10-100%) .
2) Cu-Sulfat
Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) untuk mendapatkan
donor yang cocok dan sehat.
3) Sahli
Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan cara visual.
Prinsip dalam pengukuran kadar ini adalah dengan melakukan
pengenceran sampel darah menggunakan larutan HCL dan
aquades. Penyimpangan hasil pemeriksaan cara sahli ini adalah
15-30%.
4) Fotoelektrik kolorimeter
27
Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan menggunakan
fotoelektrik kalorimeter. Penetapan kadar hemoglobin dengan
fotoelektrik kalorimeter memiliki banyak metode antara lain
metode cyanmethemoglobin (HiCN), metode oksihemoglobin, dan
metode alkali hematin. Kesalahan hasil pengukuran tidak kurang
dari 2 %.
4. Hubungan gas karbon monoksida (CO) terhadap hemoglobin (Hb)
Karbon
monoksida
(CO)
bergabung
dengan
molekul
hemoglobin (Hb) pada tempat yang sama seperti oksigen. Oleh karena
itu, karbon monoksida (CO) dapat memindahkan oksigen dari
hemoglobin (Hb), sehingga menurunkan kapasitas darah sebagai
pembawa oksigen (Guyton dan Hall, 2008). Menurut Slamet (2002) Efek
gas karbon monoksida (CO) terhadap kesehatan disebabkan karena
karbon monoksida (CO) dapat menggeser oksigen yang terikat
hemoglobin (Hb) dan mengikat hemoglobin (Hb) menjadi Karboksihemoglobin (COHb) seperti pada reaksi:
HbO2 + CO  COHb + O2
Hal ini disebabkan karena afinitas karbon monoksida (CO)
terhadap hemoglobin (Hb) = 210x daripada afinitas O2 terhadap Hb.
Reaksi ini mengakibatkan Berkurangnya kapasitas darah untuk
menyalurkan O2 kepada jaringan-jaringan tubuh. Gejala yang terasa
dimulai sebagai pusing-pusing, kurang dapat memperhatikan sekitarnya,
kemudian terjadi kelainan fungsi susunan saraf pusat, perubahan fungsi
28
paru-paru dan jantung, terjadi rasa sesak nafas, pingsan pada 250 ppm,
dan akhirnya dapat menyebabkan kematian pada 750 ppm (Slamet,
2002).
Menurut Wardhana (2004), dalam keadaan normal darah sudah
mengandung COHb sebanyak 0,5%, yang
berasal dari proses
metabolisme di dalam tubuh, terutama hasil pemecahan heme yang
termasuk komponen hemoglobin dalam darah. COHb berasal dari
konsentrasi gas karbon monoksida (CO) yang terdapat di udara dalam
konsentrasi rendah. COHb tidak dapat mengikat dan membawa oksigen.
Meningkatnya konsentrasi COHb dapat menyebabkan kurva disosiasi
Hb-O2 bergeser ke kiri, sehingga terjadi mekanisme kompensasi yaitu
dengan mengikat oksigen tergantung pada kebutuhan jaringan (Kiswari,
2014). Menurut ACGIH 2003 dalam Suma’mur (2009) menyatakan
bahwa kadar COHb maksimal yang dianjurkan dalam tubuh seseorang
adalah 3,5%.
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi gas karbon monoksida (CO) di udara dan
pengaruhnya pada tubuh bila kontak terjadi pada waktu yang lama
Konsentrasi CO
di udara
(ppm)
3
5
10
20
40
60
80
100
Sumber : Wardhana, 2004
Konsentrasi
COHb dalam
darah
(%)
0.98
1.3
2.1
3.7
6.9
10.1
13.3
16.5
Gangguan pada
tubuh
Tidak ada
Belum begitu terasa
Sistem syaraf sentral
Panca indera
Fungsi jantung
Sakit kepala
Sulit bernafas
Pingsan-kematian
29
Paparan karbon monoksida (CO) yang terjadi dalam waktu lama
dapat menyebabkan polisitemia. Polisitemia sekunder adalah peningkatan
massa sel darah merah yang disebabkan peningkatan produksi sel darah
merah. Kondisi ini merupakan akibat dari peningkatan produksi
eritropoietin yang disebabkan oleh hipoksi jaringan (Kiswari, 2014).
Salah satu gejala polisitemia adalah peningkatan warna kulit (sering
kemerah-merahan) disebabkan oleh peningkatan kadar hemoglobin (Hb)
(Handayani dan Haribowo, 2008).
30
B. Kerangka Pemikiran
Paparan Gas CO
Gas CO
terhirup
Masuk kedalam
Tubuh
Gas CO berikatan dengan Hemoglobin menjadi COHb
O2Hb + CO  COHb + O2
O2 dalam darah menurun
Mekanisme Kompensasi
Faktor yang
mempengaruhi:
1. Jenis Kelamin
Kadar Hb
Meningkat
2. Ketinggian Daerah
3. Kebiasaan Merokok
4. Usia
Polisitemia
5. Status Gizi (IMT)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: diteliti
: Tidak diteliti
C. Hipotesis
Ada hubungan antara paparan gas karbon monoksida (CO) dengan
kadar hemoglobin (Hb) pada pedagang di daerah Gladag Surakarta.
Download