Silent Song: Pergolakan Batin Perempuan Penyintas Tragedi 65 USD | 22 March 2017 | 09:34 WIB Pusat Kajian Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma dan Institut Ungu Pada hari Jumat, 17 Maret 2017 bekerja sama dalam pemutaran film “Silent Song” karya Faiza Mardzoeki sekaligus dilanjutkan dengan diskusi bertajuk “Theatre, History, and Remembering There Were Women”. Acara ini melibatkan hampir seratus pengunjung lintas disiplin dari dosen, mahasiswa, seniman, artis, aktivis HAM hingga penyintas tragedi ‘65. Film dengan durasi hampir dua jam tersebut berbasis teater “Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer” yang sebelumnya pernah dipentaskan di Goethe Haus pada tahun 2014. Naskah drama teater itu menurut Faiza bermula dari penelitian yang pernah dilakukannya selama hampir dua tahun dari berbagai wawancara dengan para perempuan penyintas tahanan politik ‘65 yang ada di berbagai wilayah di Jawa, seperti Solo, Yogya, Semarang, dan Jakarta hingga mereka yang menjadi eksil di Swedia dan Belanda. Alur film teater beranjak dari kisah cucu salah seorang penyintas. Narasi kemudian berlanjut pada pergulatan batin lima orang perempuan yang berusia antara 70-80an tahun yang dulunya pernah menjadi tahanan politik selama lebih dari sepuluh tahun. Kenangan pada kejadian pahit itu berkelindan sekaligus dengan kebanggaan pada masa muda mereka yang penuh energi. Stigma dan trauma kekerasan seksual selama di penjara adalah salah satu momok yang menjadi hantu terus menerus dalam ingatan mereka. Selepas menonton film, dihadirkan diskusi yang melibatkan Faiza Mardzoeki (penulis & direktur Institut Ungu), Dr. Elisabeth Arti Wulandari (dosen Universitas Sanata Dharma) dan Naomi Srikandi (seniman teater) dengan dua penanggap, yaitu Dr. Baskara T. Wardaya dan Dr. Yeri Wirawan dari bidang sejarah. Elisabeth Arti Wulandari menyoroti bagaimana film teater itu bisa untuk melihat kembali peristiwa ’65. “Para aktor itu mewakili para penyintas dalam memberi kesaksian,” ungkapnya. “Suara dan tubuh mereka menjadi sarana dari kesaksian tersebut.” Kesaksian yang ‘hadir’ dari peran para aktor tersebut menghadirkan respon penonton. Konsep bearing witness menurut Arti dikatakan berhasil jika ada keterlibatan penonton dalam kesaksian tersebut. Sementara Faiza terinspirasi melahirkan karya tersebut dari perjalanannya bertemu dengan ibu-ibu penyintas. “Mereka menyimpan cerita yang dahsyat!” ujar Faiza tentang bagaimana ketika ibu-ibu tersebut ditangkap di saat usia mereka masih sangat muda dan penuh energi. “Ada api semangat ketika diberi kesempatan untuk bicara. Ada semacam ungkapan ingin didengar!” Naomi Srikandi sebagai seniman yang berkecimpung di bidang teater dan aktivis melihat, “Masih sangat sedikit karya teater yang bicara tentang peristiwa ’65. Seni mestinya bisa digunakan tidak hanya untuk mengingat tetapi juga untuk menghapus sejarah dan seniman-seniman kita terlibat di sana!” Upaya semacam ini mestinya banyak dikerjakan oleh banyak seniman sehingga bisa diperbandingkan dan dijadikan kajian. (DI_IRB) 1/1